December 2024
·
14 Reads
This page lists works of an author who doesn't have a ResearchGate profile or hasn't added the works to their profile yet. It is automatically generated from public (personal) data to further our legitimate goal of comprehensive and accurate scientific recordkeeping. If you are this author and want this page removed, please let us know.
December 2024
·
14 Reads
December 2024
·
38 Reads
Work engagement can create a better work culture, reduces turnover, and increases productivity. This research provides practical knowledge by determining the role of gratitude in the workplace toward employee engagement. Having mixed method with a sequential explanatory design, this research involved 166 police officers at Satuan Kerja Personil Polres Aceh Besar, consisting of 123 policemen and 43 police women. The instrument used were a gratitude scale and a work engagement scale. The finding suggested that feeling grateful will enhance work engagement among police officers. The gratitude perceived by participants is closely connected to their faith, with transcendental values linked to a vertical correlation with God. This spiritual perspective helps them cope with challenging situations at work. Abstrak : Keterlibatan kerja akan menciptakan budaya kerja yang baik, mengurangi turnover dan meningkatkan produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran rasa syukur di tempat kerja terhadap keterlibatan kerja pada personel polisi. Menggunakan Mix Method, dengan model sequential explonatory design, penelitian ini melibatkan 166 anggota polisi yang terdiri dari 123 polisi laki-laki dan 43 orang polisi perempuan. Intrumen penelitian berupa skala rasa syukur dan skala keterikatan kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perasaan bersyukur akan meningkatkan keterlibatan kerja pada personal polisi. Perasaan syukur yang dirasakan oleh partisipan lebih berkaitan dengan syukur dalam konteks hubungan transedental dengan Tuhan. Perasaan bersyukur membantu karyawan dalam menghadapi berbagai situasi tidak menyenangkan di tempat kerja.
December 2024
·
3 Reads
Children's emotional development is greatly influenced by their parents' parenting patterns, including communication style, emotional support, and consistent setting of boundaries. The purpose of this article is to examine the influence of parental parenting style on children's emotional development through psychology and neuroscience perspectives. The method used in this research is a literature study that collects data from various theoretical and empirical studies regarding parenting patterns and children's emotional development. The literature used includes research that discusses the three main parenting styles. Democratic, authoritarian and permissive parenting styles can have different influences on children's emotional regulation, both psychologically and biologically. Brain structures, such as the amygdala and prefrontal cortex, play a key role in emotional regulation, while positive interactions with parents can optimize the development of children's emotional intelligence. In addition, the use of neuroscience-based parenting strategies, such as providing verbal stimulation and instilling positive values from the womb, shows significant results in building children's emotional stability. This study highlights the importance of a supportive and scientifically based parenting environment to prepare children to face emotional challenges in the future. By understanding the impact of parenting styles on children's emotional development, this research provides important insights for parents, educators, and psychology practitioners to create effective parenting strategies. It also supports a holistic approach to children's emotional development, integrating knowledge of psychology and neuroscience to ensure optimal emotional well-being.
September 2024
·
116 Reads
Keywords: academic stress, first-year students, university
July 2024
·
61 Reads
Abstrak Eric Fromm, seorang psikolog dan filsuf Jerman-Amerika, terkenal dengan teorinya tentang kebutuhan manusia dan masyarakat yang sehat. Teorinya dapat digunakan untuk menganalisis Pancasilaisme, ideologi dasar negara Indonesia, dan melihat bagaimana Pancasilaisme mempromosikan masyarakat yang sehat dan sejahtera. Artikel ini merupakan telaah literatur dari berbagai sumber, melalui mesin pencari Google dan Google Scholar dengan kata kunci pancasila, pancasilaisme, teori Eric Fromm, cinta produktif. Hasil dari penelitian ini adalah Pancasilaism dan teori Erich Fromm menawarkan perspektif yang berbeda namun saling melengkapi tentang cinta dan bagaimana mencapainya. Pancasilaism dapat memberikan landasan moral untuk membangun hubungan yang saling menghormati, menghargai, dan mendukung, sedangkan teori Erich Fromm dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang psikologi cinta dan bagaimana mencapai cinta produktif. Pancasilaisme, dengan nilai-nilainya yang luhur, dapat menjadi landasan yang kuat untuk menumbuhkan cinta produktif. P ancasilaisme bukan hanya seperangkat ide abstrak, tetapi juga kerangka kerja praktis untuk membangun masyarakat yang sehat dan sejahtera di Indonesia. Dengan menerapkan prinsip-prinsip pancasila, Indonesia dapat mencapai perdamaian, keadilan, dan kemakmuran bagi semua rakyatnya. Interpretasi teori fromm dan pancasilaisme dapat bervariasi dan masih ada ruang untuk diskusi dan analisis lebih lanjut tentang hubungan antara keduanya. Penerapan pancasilaisme dalam praktiknya tidak selalu sempurna, dan ada tantangan yang harus dihadapi. Abstract Eric Fromm, a German-American psychologist and philosopher, is famous for his theory of human needs and a healthy society. His theory can be used to analyze Pancasilaism, the basic ideology of Indonesia, and see how Pancasilaism promotes a healthy and prosperous society. This article is a literature review from various sources, through the Google search engine and Google Scholar with the keywords pancasila, pancasilaism, Eric Fromm's theory, productive love. The result of this research is that Pancasilaism and Erich Fromm's theory offer different but complementary perspectives on love and how to achieve it. Pancasilaism can provide a moral foundation for building relationships that respect, value, and support each other, while Erich Fromm's theory can provide a deeper understanding of the psychology of love and how to achieve productive love. Pancasilaism, with its noble values, can be a strong foundation for fostering productive love. Pancasilaism is not only a set of abstract ideas, but also a practical framework for building a healthy and prosperous society in Indonesia. By applying the principles of Pancasila, Indonesia can achieve peace, justice and prosperity for
April 2024
·
157 Reads
·
1 Citation
Experientia Jurnal Psikologi Indonesia
Abstrak-Mahasiswa yang bekerja akan rentan mengalami kelelahan berlebih baik dari segi fisik dan juga emosional. Kelelahan berlebih dari segi fisik dan emosional pada perkuliahan menggambarkan adanya academic burnout yaitu rasa lelah yang muncul karena beban pembelajaran, pandangan sinis pada tugas-tugas kewajiban perkuliahan dan juga adanya rasa kurang kompeten yang dirasakan oleh mahasiswa. Salah satu cara agar mahasiswa dapat mengurangi tingkat academic burnout yang dimilikinya akibat bekerja adalah melakukan pengaturan diri untuk belajar yang disebut sebagai self-regulated learning. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan self-regulated learning dan academic burnout pada mahasiswa yang bekerja di masa pandemi Covid-19. Penelitian ini dilakukan pada 149 mahasiswa yang bekerja di Surabaya dengan metode incidental sampling yang terdiri dari 64 mahasiswa dan 85 mahasiswi. Variabel academic burnout dan self-regulated learning diukur memakai skala yang disusun oleh peneliti sendiri berdasarkan dimensi-dimensi pada skala school burnout inventory Salmela-Aro dkk. (2009) dan dimensi-dimensi pada skala self-regulated learning yang disusun oleh Kadioǧlu dkk. (2011). Uji hipotesa menunjukkan nilai r = −0.468 (p = 0.000; p < 0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa self-regulated learning memiliki hubungan yang signifikan dengan academic burnout pada mahasiwa yang bekerja di masa pandemi Covid-19. Arah hubungan yang bersifat negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi self-regulated learning yang dimiliki mahasiswa yang bekerja maka semakin rendah academic burnout yang dirasakan oleh mahasiswa tersebut. Kata kunci: academic burnout, self-regulated learning, mahasiswa yang bekerja Abstract-Students who work will be vulnerable to experiencing excessive fatigue both physically and emotionally. Excessive physical and emotional fatigue in lectures illustrates the existence of academic burnout, namely the fatigue that arises due to the burden of learning, a cynical view of the tasks of lecture obligations, and the feeling of incompetence felt by students. Students can reduce academic burnout using self-regulated learning. The purpose of this study is to examine the relationship between self-regulated learning and academic burnout in working students during the Covid-19 pandemic. This study was conducted on 149 working students in Surabaya using the incidental sampling method consisting of 64 male students and 85 female students. The variables of academic burnout and self-regulated learning were measured using a scale developed by the author based on the dimensions of the school burnout inventory scale of Salmela-Aro dkk. (2009) and the dimensions of the self-regulated learning scale developed by Kadioǧlu dkk. (2011). The hypothesis test shows the value of r =-0.468 (p = 0.000; p < 0.05), so it can be concluded that self-regulated learning has a significant relationship with academic burnout in working students during the Covid-19 pandemic. The negative correlation means that the higher self-regulated learning, then the academic burnout will be lower.
April 2024
·
62 Reads
Jurnal Pengabdian Masyarakat Indonesia
Menjawab persoalan yang dihadapi oleh masyarakat seperti kurangnya semangat belajar, pemahaman urgensi pendidikan, serta kurangnya kemampuan atensi dan motorik anak-anak ketika belajar. Program pemberdayaan ini berfokus pada pengembangan atensi dan motorik anak-anak melalui media belajar. Perkembangan tersebut perlu diperhatikan karena dapat berpengaruh padai keterlambat belajar, prestasi tak optimal, kesulitan menyelesaikan tugas, dan kesulitan dalam tuntutan sosial. Tujuan dari pemberdayaan ini yaitu untuk membatu anak-anak meningkatkan kemampuan belajar serta meningkatkan kesadaran bagi para orang tua tentang pentingnya atensi dan motorik dalam proses perkembangan anak. Metode yang digunakan yaitu menggunakan metode CBR (Community Based Research). Adapun hasil dari program pemberdayaan ini yaitu adanya peningkatan atensi dan motorik anak-anak di Desa Keputih Tegal Timur Surabaya. Hal tersebut berdasarkan ketertarikan dan kefokusan dalam penyelesaian puzzle, kreativitas saat membuat batik jumputan, dan keantusiasan serta merancang strategi pada anak-anak untuk memenangkan games bola karet dan estafet bola.
January 2024
·
75 Reads
Abstrak Usia dini sering kali disebut sebagai golden age, merupakan periode dimana seorang anak akan berkembang pesat. Keterlibatan orangtua merupakan salah satu bentuk partisipasi orangtua dalam pendidikan dan kehidupan anak. Keterlibatan orangtua penting untuk membantu tumbuh kembang anak, karena orang tua adalah pendidik utama bagi anak. Faktor yang dapat mempengaruhi keterlibatan orangtua diantaranya adalah pengetahuan parenting. Pengetahuan parenting adalah kemampuan mengenai cara menumbuhkembangkan dan mendidik anak melalui interaksi antara anak dan orangtua. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pelaksanaan parenting yang dilaksanakan orang tua kepada anak usia dini. Kata Kunci: Parenting, Orang Tua, Anak Usia Dini Pendahuluan Perkembangan kognitif pada dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni aspek biologis dan lingkungan. Dalam aspek lingkungan, keluarga dan sekolah mempunyai kontribusi yang besar. Orang tua adalah guru pertama bagi anaknya, oleh karena itu orang tua merupakan pusat sentral yang dijadikan sebagai sorotan dalam perkembangan anak. Brunet (1975) mengatakan bahwa interaksi antara orangtua dan anak dianggap sangat penting selama tahun-tahun awal kehidupan seorang anak, karena ini adalah periode ketika asosiasi kognitif penting akan berkembang. Karakter anak juga secara konsisten dipengaruhi oleh kualitas interaksi mereka dengan pengasuh atau orang tua. Usia dini sering kali disebut sebagai golden age, merupakan periode dimana seorang anak akan berkembang pesat. Bahkan, Suyanto (2005) mengemukakan bahwa pada usia 4 tahun pertama anak, kecerdasan otakknya akan mencapai 50%. Dengan demikian, kognitif dan karakter anak akan lebih mudah dikembangkan pada usia dini. Pola asuh merupakan suatu kebiasaan yang dilaksanakan orang tua dalam memimpin, memelihara, dan membimbing anak secara konsisten sejak anak lahir hingga beranjak remaja yang akan membentuk kepribadian anak sesuai norma dan nilai pada kehidupan masyarakat (Rahimah & Ismail, 2022). Pola asuh yang salah akan menyebabkan pembentukan karakter yang salah pada anak (Sari, Sumardi, & Mulyadi, 2020). Tidak hanya karakter, pola asuh juga berperan besar terhadap aspek perkembangan anak usia dini. Syahrul dan Nurhafizah (2021) bahkan mengemukakan bahwa pola asuh mempunyai pengaruh terhadap perkembangan sosial dan emosional anak usia dini. Selanjutnya, Brantasari (2022) dan Permata (2022) menyatakan adanya pengaruh pola asuh terhadap perkembangan bahasa anak. Dengan kata lain, pola asuh sangat penting. Dengan parenting yang diterapkan, orangtua terlibat dalam tumbuh kembang anak. (Adriana and Zirmansyah 2021). Oleh karena itu, pola asuh atau parenting yang baik berperan penting bagi perkembangan anak khususnya pada masa usia dini.
January 2024
·
374 Reads
Adolescence is a transition period from childhood to adulthood marked by physical and emotional changes. Adolescence is the beginning where a person will experience significant changes in developing himself in the social environment both positive and negative changes. The percentage of delinquency committed by teenagers in the Jabodetabek area is quite high, in this case teenage boys have a fairly high percentage compared to adolescent girls. One of the causes of this behavior is caused by several factors, namely lack of self-control. Self-control is one of the internal factors of individuals that influence aggressive behavior in adolescents and this study also aims for adolescents to understand the function of the importance of self-control in everyday life. This study aimed to examine the effect of self-control on aggressive behavior in adolescents. In addition, an individual has good self-control then the individual will have a good ability to control his behavior. ABSTRAK Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan fisik dan emosional. Usia remaja adalah awal dimana seseorang akan mengalami perubahan-perubahan yang signifikan dalam mengembangkan dirinya dilingkungan sosial baik perubahan bersifat positif maupun negatif. Persentase kenakalan yang dilakukan oleh remaja diwilayah Jabodetabek tergolong cukup tinggi, dalam hal ini remaja laki-laki memiliki presentase yang cukup tinggi dibandingkan dengan remaja perempuan. Salah satu penyebab terjadinya perilaku tersebut disebabkan karena beberapa faktor yaitu kurangnya pengendalian diri. Kontrol diri merupakan salah satu faktor internal individu yang mempengaruhi perilaku agresif pada remaja. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh kontrol diri terhadap perilaku agresif pada remaja lalu Penelitian ini juga bertujuan untuk remaja dapat memahami fungsi dari pentingnya kontrol diri dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, suatu individu memiliki kontrol diri yang baik maka individu akan memiliki kemampuan yang baik dalam mengontrol perilakunya. PENDAHULUAN Pada usia menginjak remaja maka mereka akan mengembangkan dan mencapai kematangan fisik, mental, sosial, dan emosi. Masa-masa ini biasanya akan terasa sulit, baik bagi para remaja itu sendiri maupun bagi keluarga atau lingkungan. Selain itu, masa remaja juga dicirikan oleh kurangnya kesanggupan seorang remaja dalam pengendalikan diri. Ketika para remaja mengalami situasi yang tidak menyenangkan atau mendapatkan sesuatu yang tidak mereka sukai, mereka akan lebih cenderung memberikan tanggapan yang negatif dan agresif dalam pengambilan keputusan dan ketika mengatasi sebuah situasi yang tidak menyenangkan. Lalu sehubungan dengan itu, menurut (Anggreini & Mariyanti, 2014) Masa remaja yang merupakan masa peralihan dan pencarian jati diri, remaja mengalami proses pembentukan dalam perilakunya, dimana para remaja mencari dan berusaha untuk mencapai pola diri yang ideal. Namun menurut (Azzahrah & Rozali, n.d.) Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik dan emosional. Ketidaksiapan remaja dalam menghadapi perubahan dapat menimbulkan berbagai perilaku menyimpang. Begitupun yang dikemukakan oleh (Rahmayani & Rozali, n.d.) Masa remaja sebagai proses pencarian jati diri dengan rasa ingin tahu yang tinggi, terkadang membuat remaja melakukan berbagai macam perilaku negatif, yang disebabkan oleh ketidakmampuan remaja dalam mengontrol perilakunya atau yang disebut dengan kontrol diri (self control). Anak yang kesulitan untuk mengatur emosi dapat berpotensi menjadi pelaku. Ketika seseorang merasa marah dan frustasi, perbuatan menyakiti dan mengintimidasi orang lain bisa saja dilakukan. Jika sulit untuk mengendalikan emosi, maka masalah kecil saja dapat membuat seseorang terprovokasi dan meluapkan emosinya secara berlebihan. Fenomena agresi atau perilaku menyimpang pada pelajar dan remaja dewasa ini sudah sulit dikategorikan sebagai kenakalan, tetapi sudah menjuru ke perilaku negtaif yang dapat merusak kebiasaaan baik
January 2024
·
421 Reads
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tingkat resiliensi pada remaja yang telah menjadi korban cyberbullying. Metode yang dipakai adalah kuantitatif deskriptif dengan mengirimkan survei melalu google forms. Responden penelitian ini berjumlah 73 remaja yang berusia antara 13 sampai 18 tahun yang telah mengalami cyberbullying. Alat pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada aspek-aspek resiliensi menurut Connor dan Davidson (2003) yang terdiri dari kompetensi personal, kepercayaan pada naluri, penerimaan positif terhadap perubahan dan hubungan yang aman, kontrol diri dan faktor, serta pengaruh spiritual. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai rata-rata empiris resiliensi adalah 101,45 yang diklasifikasikan tinggi dengan standar deviasi sebesar 19,16. Tingkat resiliensi yang tinggi menunjukkan bahwa remaja korban cyberbullying memiliki kemampuan untuk mengatasi dan pulih dari dampak negatif, seperti stres dan depresi. Ini tercermin dari remaja korban cyberbullying memiliki kompetensi personal yang tinggi yang mencakup kemampuan untuk mengelola emosi, mengambil keputusan yang tepat, dan membangun hubungan interpersonal yang sehat, mereka juga memiliki kepercayaan pada naluri yang kuat yang mencakup keyakinan akan kemampuan diri sendiri untuk mengatasi masalah dan menghadapi tantangan, kontrol diri yang baik juga mendukung resiliensi karena remaja korban cyberbullying mampu mengendalikan emosi dan perilakunya cenderung lebih mudah pulih dari pengalaman traumatis. Selain itu, dukungan sosial yang tinggi juga berperan penting karena adanya orang-orang yang memberikan dukungan dan perhatian, sehingga membantu remaja tersebut merasa didukung dan tidak sendiri dalam menghadapi permasalahannya. Serta, pengaruh spiritual dengan keyakinan akan bantuan dari Tuhan Yang Maha Esa, menunjukkan bahwa remaja tersebut memiliki keyakinan spiritual dan kepercayaan akan kekuatan yang lebih tinggi untuk menjadi sumber kekuatan dan ketenangan dalam menghadapi kesulitan. Abstract This research aims to explain the level of resilience in adolescents who have been victims of cyberbullying. The method used is descriptive quantitative by sending surveys trough Google Forms. The research respondents consist of 73 adolescents aged between 13 to 18 years who have experienced cyberbullying. The measurement instrument tool used in this study refers to the aspects of resilience according to Connor and Davidson (2003), which include of personal competence, trust in instinct, positive acceptance of change and secure relationship, self-control and factors, and spiritual influences. The analysis results show that the empirical average resilience score is 101.45, classified as high with a standard deviation of 19.16. High resilience levels indicate that adolescents who are victims of cyberbullying have the ability to cope and recover from negative impacts such as stress and depression. This is reflected in the high personal competence of cyberbullying victims, including the ability to manage emotions, make appropriate decisions, and build healthy interpersonal relationships. They also have strong trust in their instincts, which includes belief in their own ability to overcome problems and face challenges. Good self-control also supports resilience because adolescents who are victims of cyberbullying can control their emotions and behaviors, making it easier for them to recover from traumatic
... They are less likely to seek social interactions, which can limit their opportunities for positive social support and enhance their emotional experiences (Paradilla et al., 2021). Multiple studies suggest that introverted individuals may reflect more frequently and process information internally (Purnomo et al., 2023), potentially leading to increased feelings of stress or anxiety, thereby diminishing their subjective well-being. ...
January 2023
Nusantara Journal of Multidisciplinary Science
... Pencegahan bullying dan kekerasan seksual telah dilakukan pada penelitian-penelitan sebelumnya. Penelitian Omalia [9] melakukan sosialisasi untuk mencegah bullying dan kekerasan seksual, penelitian Puspasari [10] melakukan psikoedukasi untuk mencegah bullying dan kekerasan seksual, dan penelitian Ella Faridati [11] melakukan pelatihan perilaku melalui metode role play untuk mencegah bullying di sekolah. Salah satu alternatif yang efektif dalam upaya edukasi dan penanganan kasus bullying dan kekerasan seksual adalah melalui penggunaan website. ...
December 2022
... Available Online: http://jurnal.undira.ac.id/index.php/jpmk/ Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh(Rahmi, 2014) (Aisyah & Wartini, 2016) yang menemukan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi. 6. Peran Mediasi Komitmen Organisasi Pada Hubungan Antara Keterikatan Kerja Dan Organizational Citizenship Behaviour Berdasarkan hasil pengujian pada pengaruh tidak langsung keterikatan kerja dan organizational citizenship behaviour melalui variabel mediasi komitmen organisasi yang memiliki adanya nilai path coefficients 0,107 yang mendekati nilai +1, nilai T-Statistic 2,580 (>1.96), serta nilai p-value 0,010 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi memediasi hubungan secara penuh (full mediation) antara keterikatan kerja dan organizational citizenship behaviour, hal tersebut dikarenakan adanya perubahan yang terjadi pada pengaruh hubungan langsung (direct effects) dan hubungan tidak langsung (indirect effects) dimana jika sebelumnya diketahui keterikatan kerja dan organizational citizenship behaviour memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan, pengaruh tersebut ditemukan terdapat perubahan jika melalui komitmen organisasi, keterikatan kerja terhadap organizational citizenship behaviour memiliki pengaruh positif dan signifikan. ...
February 2023
... Masyarakat modern saat ini hampir tidak mungkin tidak terkena paparan media teknologi, dengan berbagai macam tujuan salah satunya adalah interaksi sosial. Mengingat saat ini di era revolusi industri menekankan pada digitalisasi yang mengandalkan teknologi (Difa Islami et al., 2022). ...
December 2022
... Hal ini disebabkan oleh karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang HIV dan kultur masyarakat yang religious yang memandang LGBT adalah sebuah dosa atau kesalahan. Hal ini diungkapkan oleh Prahastami & Winta (2022) tentang para penentang kaum LGBT yang meyakini bahwa pelaku LGBT merupakan 'penyakit menular' dalam lingkungan sosial. ...
April 2022
Journal of Gay & Lesbian Social Services
... Siswa yang aktif dalam mencari pengetahuan, seperti membaca buku, mencari sumber informasi yang dapat dipercaya di internet, atau berbicara dengan konselor sekolah, cenderung memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi pendidikan seksual. (Huwae, 2022). ...
March 2022
... Milenial cenderung tidak loyal pada perusahaan tempat ia bekerja dan cenderung konsumtif dalam berperilaku. Penelitian (Refachlis et al., 2021) menyimpulkan generasi milenial miliki intensi turnover yang lebih tinggi yang harus dihambat oleh organisasi sehingga tidak terjadi permasalahan mendasar bagi produktivitas perusahaan. ...
March 2021
... Terdiri dari Informasi, Identitas, Institusi, dan Insentif. Solusi ini termasuk menyediakan lebih banyak informasi untuk mengurangi ketidakpastian tentang masa depan, memastikan kebutuhan masyarakat akan identitas sosial yang kuat dan rasa kebersamaan terpenuhi, kebutuhan untuk dapat mempercayai institusi yang berperan sebagai penanggung jawab 'the commons' [10]. Dan nilai insentif untuk meningkatkan diri sendiri dan penggunaan yang bertanggung jawab, sambil menghukum eksploitasi yang berlebihan. ...
September 2017
... Altruisme menurut pandangan psikologi sosial merupakan motif atau dorongan yang memunculkan tingkah laku yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain (Batson, 2011). Meskipun psikologi sosial memandang altruisme sebagai motif, ilmuwan psikologi evolusioner dan psikologi perkembangan memandang altruisme sebagai tingkah laku (Fahmi, 2020). ...
February 2020
... Dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Idrus dan Makonah tahun 1957, diketahui bahwa keduanya menggunakan ketenaran mereka untuk mendapatkan fasilitas negara. Dan akhirnya mendapatkan jerat hukuman selama 9 bulan penjara dengan tuduhan penipuan (Matanasi, 2018 (Pambudi & Milla, 2019). ...
June 2019