Ekosistem pertanian (agroekosistem) memegang faktor kunci dalam pemenuhan kebutuhan pangan suatu bangsa. Keanekaragaman hayati (biodiversiy) yang merupakan semua jenis tanaman, hewan, dan mikroorganisme yang ada dan berinteraksi dalam suatu ekosistem sangat menentukan tingkat produktivitas pertanian. Namun demikian dalam kenyataannya pertanian merupakan penyederhanaan dari keanekaragaman hayati secara alami menjadi tanaman monokultur dalam bentuk yang ekstrim. Hasil akhir pertanian adalah produksi ekosistem buatan yang memerlukan perlakuan oleh pelaku pertanian secara konstan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berupa masukan agrokimia (terutama pestisida dan pupuk) telah menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang tidak dikehendaki (Altieri, 1999). Jasa-jasa ekologis yang diemban oleh keanekaragaman hayati pertanian, diantaranya jasa penyerbukan, jasa penguraian, dan jasa pengendali hayati (predator, parasitoid, dan patogen) untuk mengendalikan hama, sangatlah penting bagi pertanian berkelanjutan. Dengan adanya kemajuan pertanian modern, prinsip ekologi telah diabaikan secara berkesinambungan, akibatnya agroekosistem menjadi tidak stabil. Perusakan-perusakan tersebut menimbulkan munculnya hama secara berulang dalam sistem pertanian, salinisasi, erosi tanah, pencemaran air, timbulnya penyakit dan sebagainya (Van Emden & Dabrowski, 1997). Memburuknya masalah hama ini sangat berhubungan dengan perluasan monokultur dengan mengorbankan keragaman tanaman, yang merupakan komponen bentang alam (landscape) yang penting dalam menyediakan sarana ekologi untuk perlindungan tanaman dan serangga-serangga berguna. Salah satu masalah penting dari sistem pertanian homogen adalah menurunnya ketahanan tanaman terhadap serangga hama, terutama disebabkan oleh penggunaan pestisida yang tidak bijaksana (Altieri & Nicholls, 2004).