Article
To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the author.

Abstract

Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa lalu yang menitikberatkan pada sistem terpusat, dipandang sebagai sumber bagi munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi ini memunculkan pergolakan masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk reaksi. Dengan berlandaskan pada dasar hukum dan sejarah masyarakat Aceh maka diundangkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang menitikberatkan otonomi khusus pada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kekhususan ini merupakan peluang yang berharga untuk melakukan penyesuaian struktur, susunan pembentukan, dan penamaan pemerintahan di tingkat lebih bawah yang sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Aceh, yang diatur dalam peraturan daerah yang disebut Qanun. huk-2005- (1)

No full-text available

Request Full-text Paper PDF

To read the full-text of this research,
you can request a copy directly from the author.

Article
Full-text available
Penelitian ini mengkaji implementasi syariat Islam di Aceh dengan fokus pada penerapan konsep sadd al-dzari'ah dalam regulasi. Sadd al-dzari'ah adalah prinsip hukum Islam yang bertujuan mencegah tindakan yang dapat mengarah pada pelanggaran hukum syariat. Implementasi regulasi syariat sering menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk regulasi syariat Islam di Aceh, menganalisis implementasi sadd al-dzari'ah dalam penetapan regulasi, serta mengevaluasi efektivitasnya. Metode yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris dengan desain deskriptif, melibatkan wawancara mendalam dengan ahli hukum Islam, ulama, pejabat pemerintah, dan masyarakat. Lokasi penelitian adalah Provinsi Aceh, yang dikenal dengan penerapan syariat Islam formal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan sadd al-dzari'ah di Aceh efektif dalam mencegah pelanggaran syariat dan sejalan dengan maqashid al-syari’ah, yaitu tujuan utama hukum Islam untuk melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Meskipun demikian, terdapat perdebatan di masyarakat. Pendukung regulasi berargumen bahwa regulasi ini menjaga moral dan ketertiban, melindungi masyarakat dari perilaku terlarang seperti prostitusi online dan khalwat. Sebaliknya, kritik muncul dari pihak yang menilai regulasi terlalu restriktif, membatasi kebebasan individu, dan tidak fleksibel terhadap dinamika sosial modern. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun regulasi memiliki tujuan positif, implementasinya harus mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial secara menyeluruh. Disarankan agar dilakukan dialog intensif antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha, serta evaluasi berkala untuk memastikan dampak positif tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat.
Article
Full-text available
historical perspective and its relation to peacebuilding. This study used a qualitative method with a literature study model. The data in this study were sourced from various documents and literature that were relevant to the study. The results showed that the autonomy and privileges of Aceh were the fruit of the resistance carried out by the Acehnese people against the Indonesian government. Hence, these privileges changed from time to time according to the level of resistance and political negotiations that took place. However, the autonomy and privileges that had been achieved and formalized in Aceh's socio-political context were unable to have a maximum positive impact on the peacebuilding that leads the Aceh people gaining sustainable wellbeing.AbstrakKajian ini bertujuan mendeskripsikan tentang otonomi dan keistimewaan Aceh dalam perspektif sosio historis dan kaitannya dengan pembangunan perdamaian. Kajian ini menggunakan metode kualitatif dengan model studi kepustakaan. Data dalam kajian ini bersumber dari berbagai dokumen maupun literatur yang relevan dengan kajian yang dilakukan. Kajian ini menunjukkan bahwa otonomi dan keistimewaan Aceh merupakan buah dari perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Aceh terhadap Pemerintah Indonesia, sehingga keistimewaan tersebut mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan tingkat perlawanan dan negosiasi politik yang terjadi. Namun, otonomi dan keistimewaan yang berhasil diraih dan diformalisasikan dalam kehidupan sosial politik Aceh belum mampu memberikan dampak positif secara maksimal bagi pembangunan perdamaian yang mensejahteraan Masyarakat Aceh secara berkelanjutan
Article
This study wants to analyze the position of the Aceh qanun in the Indonesian legislative hierarchy. The discussion on the development of qanun cannot be separated from the events of the 1998 Reformation, which demanded the existence of democracy in various sectors of state life. The implementation of Islamic sharia in Aceh which is carried out by forming qanun-qanun is organized based on the Law on special autonomy, namely Law Number. 8 of 2001 concerning Special Autonomy for the Province of Aceh as the Province of Nanggroe Aceh Darussalam and Law Number. 11 of 2006 concerning Aceh Government. The author analyzes the legality of the Family Law Qanun Draft with the construction of constitutional law in terms of two points of view, namely the formality of establishing legislation and the concept of a unitary state. Based on the background that has been elaborated above, the issues to be discussed are: (1) how is the legality of the Family Law Qanun Draft in terms of the concept of a unitary state? (2) how is the legality of the Family Law Qanun Draft in terms of the formality of forming legislation? The position of Qanun in the legal system in Indonesia is different from local regulations in Indonesia which are also based on several reasons. First, legally the position of Qanun in Aceh Province clearly has a stronger legal force compared to other regional regulations in Indonesia. Secondly, sociologically, the majority of Indonesian population, especially in Aceh Province, implies that they have practiced Islam in their daily lives. Although the level of acceptance of Islamic law itself is stratified, nevertheless Islam becomes the dominant value in daily life, both in the spiritual content, language, culture, practice of behavior to the implementation of Islamic Sharia itself. Third, in terms of Islamic law, the content is loaded with the theme of justice. Islam which in its teachings also contains legal rules is a teaching system as well as a methodology for its achievement, because every nation has the same and universal ideals, in the form of justice, order, peace, harmony, holiness, and so forth. This rule is of course in accordance with the needs of humans who live on this earth.Keywords: Qanun, Family Law, Legislation.
ResearchGate has not been able to resolve any references for this publication.