09E02929 Sistem sanksi dalam hukum pidana saat ini menempatkan sanksi pidana sebagai sanksi ‘primadona”, sehingga keberadaan sanksi tindakan tidak sepopuler sanksi pidana. Hal ini setidaknya mempengaruhi pola pikir dan kebijakan yang diterapkan berkaitan dengan penggunaan sanksi tindakan yang terkesan menjadi sanksi pelengkap, yang pada akhirnya berpengaruh pada putusan-putusan hakim yang didominasi oleh penggunaan sanksi pidana Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingannya. Hal ini berbeda dengan sanksi pidana yang berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan. Perbedaan orientasi ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan sebenarnya memiliki kaitan pula dengan paham filsafat yang memayunginya, yakni kalau sanksi pidana lebih condong pada paham filsafat indeterminisme sebagaimana disebutkan di atas, maka sanksi tindakan bersumber dari paham filsafat determinisme. Yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan tentang sanksi tindakan sebagai upaya menanggulangi kejahatan korporasi dalam sistem hukum pidana khususnya tentang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, Apa faktor penyebab yang mempengaruhi kecenderungan hakim sehingga tidak menggunakan sanksi tindakan di dalam memutus suatu perkara yang termasuk kejahatan korporasi dan bagaimana kebijakan hukum pidana yang seyogyanya diterapkan di masa yang akan datang agar penggunaan sanksi tindakan bisa efektif dalam penegakan hukum pidana terhadap kejahatan korporasi khususnya di bidang lingkungan hidup di Indonesia. Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum sosiologis atau empiris dengan melakukan pendekatan penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam upaya menganalisis data dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan penerapannya di dalam masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur tentang bentuk-bentuk sanksi tindakan, antara lain: perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; penutupan seluruh atau sebagian korporasi; perbaikan akibat tindak pidana; mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan menempatkan korporasi di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Bahwa ada 3 (tiga) faktor penyebab hakim tidak menggunakan sanksi tindakan di dalam memutus suatu perkara yang termasuk kejahatan korporasi; pertama, kurangnya pemahaman hakim terhadap eksistensi sistem sanksi dalam hukum pidana, kedua, karena kelangkaan literatur yang secara khusus membahas tentang eksistensi sanksi tindakan dalam sistem sanksi dalam hukum pidana, ketiga, karena posisi sanksi tindakan dalam perundang-undangan pidana yang ditempatkan sebagai sanksi pelengkap atau sanksi nomor dua. Kebijakan hukum pidana yang diterapkan dalam rangka efektifitas sanksi tindakan dalam menanggulangi kejahatan korporasi di masa mendatang; Pertama, perlunya sistem satu pintu dalam pengajuan suatu rancangan undang-undang pidana ke DPR. Kedua, perumusan sanksi tindakan yang bersifat imperatif khusus terhadap kejahatan korporasi. Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum. ; M. Eka Putra, SH., M.Hum