Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
Jurnal Kajian Sosial Humaniora
Volume 1 Number 3 2025, pp 171-188
ISSN: 3064-0318 (Online)
DOI: https://doi.org/10.63082/jksh.v1i3.23
Received: January 31, 2025; Revised: March 21, 2024; Accepted: March 30, 2024
171
Literasi Politik di Era Demokrasi Digital: Analisis
Kewaspadaan Pemilih terhadap Hoaks Pemilu
di Kota Pariaman
Reno Fernandes1*, Amin Akbar2
1Universitas Negeri Padang, 2Universiti Pendidikan Sultan idris
*Corresponding author, e-mail: renofernandes@fis.unp.ac.id
Abstrak
Dalam era demokrasi digital, hoaks pemilu menjadi ancaman serius bagi kualitas demokrasi,
terutama di kalangan pemilih digital native. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat
kewaspadaan pemilih digital native di Kota Pariaman terhadap hoaks pemilu serta menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhinya, dengan pendekatan kuantitatif berbasis survei. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kewaspadaan pemilih masih rendah, dengan hanya 15%
responden yang secara aktif memverifikasi informasi, sementara mayoritas (60%) jarang atau tidak
pernah mengecek kebenaran berita yang mereka terima. Selain itu, sebagian besar pemilih digital
native lebih mengandalkan sumber yang kurang kredibel, seperti grup percakapan WhatsApp dan
media sosial, dalam mencari informasi politik. Temuan ini menegaskan bahwa literasi politik tidak
hanya mencakup pemahaman tentang sistem politik dan hak suara, tetapi juga keterampilan dalam
memilah informasi di ekosistem digital yang semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan
strategi literasi digital yang lebih komprehensif melalui kolaborasi antara pemerintah, akademisi,
dan organisasi masyarakat sipil guna meningkatkan kesadaran kritis pemilih digital native dalam
mengidentifikasi informasi yang valid dan mencegah penyebaran disinformasi politik.
Kata Kunci: Disinformasi; Demokrasi Digital; Hoaks Pemilu; Literasi Politik.
Abstract
In the era of digital democracy, election hoaxes pose a serious threat to the quality of democracy,
especially among digital native voters. This study aims to measure the level of vigilance of digital
native voters in Pariaman City towards election hoaxes and analyze the factors that influence it,
using a survey-based quantitative approach. The results show that voter vigilance is still low, with
only 15% of respondents actively verifying information, while the majority (60%) rarely or never
check the veracity of the news they receive. In addition, most digital native voters rely more on less
credible sources, such as WhatsApp conversation groups and social media, to find political
information. These findings confirm that political literacy includes not only an understanding of
the political system and voting rights, but also skills in sorting out information in an increasingly
complex digital ecosystem. Therefore, a more comprehensive digital literacy strategy is needed
through collaboration between the government, academics and civil society organizations to
increase the critical awareness of digital native voters in identifying valid information and
preventing the spread of political disinformation.
Keywords: Disinformaton; Digital democracy; Election hoaxes; Political literacy.
How to Cite: Fernandes, R. & Akbar, A. (2025). Literasi Politik di Era Demokrasi Digital: Analisis
Kewaspadaan Pemilih terhadap Hoaks Pemilu di Kota Pariaman. Jurnal Kajian Sosial
Humaniora, 1(3), 171-188.
ISSN: xxxx - xxx
172
(Literasi Politik di...)
This is an open access article distributed under the Creative Commons 4.0 Attribution License, which permits unrestricted
use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. ©2025 by author.
Pendahuluan
Era digital telah membawa perubahan besar dalam pola konsumsi informasi
politik masyarakat. Kemudahan akses terhadap informasi melalui media sosial
memberikan peluang bagi pemilih untuk memperoleh informasi politik secara cepat dan
luas, sekaligus dengan mudah memberikan akses terhadap keterlibatan masyarakat
dalam diskusi dan partisipasi politik (Mascitti, 2024)). Di sisi lain, maraknya hoaks dan
disinformasi dalam pemilu menjadi ancaman serius bagi kualitas demokrasi (Tandoc Jr
et al., 2020). Hoaks pemilu dapat mempengaruhi persepsi, preferensi, dan keputusan
pemilih, terutama bagi kelompok digital native yang menjadikan media sosial sebagai
sumber utama informasi politik (Guess et al., 2020).
Fenomena ini semakin diperparah oleh algoritma media sosial yang cenderung
memperkuat efek echo chamber dan filter bubble, di mana pengguna lebih sering
terpapar informasi yang sesuai dengan preferensi mereka dan jarang mendapat sudut
pandang yang berbeda (Iosifidis & Nicoli, 2020) Dalam konteks pemilu, kondisi ini
dapat meningkatkan polarisasi politik serta memperkuat bias informasi yang tidak selalu
berbasis fakta (Badrun, 2018). Rendahnya literasi digital dan politik di kalangan pemilih
semakin memperburuk situasi, karena banyak individu yang tidak memiliki
keterampilan untuk mengevaluasi kredibilitas sumber informasi (Fernandes et al., 2022)
Dalam perkembangan terakhir Indonesia, penyebaran informasi politik yang
menyesatkan sering kali meningkat secara signifikan menjelang pemilu, menciptakan
tantangan besar bagi ekosistem demokrasi yang sehat. Studi yang dilakukan oleh
Iskandar (Iskandar & Faozi, 2025) menunjukkan bahwa platform digital seperti
Facebook, WhatsApp, Instagram, TikTok, dan Twitter (X) menjadi saluran utama
penyebaran hoaks politik. Pola distribusi informasi di media sosial yang bersifat cepat
dan luas membuat misinformasi lebih mudah menyebar dibandingkan dengan
klarifikasi yang valid. Selain itu, algoritma media sosial yang dirancang untuk
mempertahankan keterlibatan pengguna sering kali memperkuat echo chamber, di
mana individu cenderung menerima informasi yang sesuai dengan pandangan mereka
tanpa verifikasi yang memadai (Weiss & Zoorob, 2021) .
Fenomena ini semakin kompleks ketika pemilih tidak memiliki literasi politik
yang cukup untuk membedakan antara informasi yang valid dan hoaks. Literasi politik,
yang mencakup pemahaman terhadap proses politik, kemampuan berpikir kritis, serta
Fernandes, R. & Akbar, A. 173
Jurnal Kajian Sosial Humaniora
keterampilan verifikasi informasi, menjadi faktor penting dalam membangun ketahanan
masyarakat terhadap hoaks pemilu (Kozyreva et al., 2020). Kurangnya literasi politik
dapat membuat pemilih lebih rentan terhadap manipulasi informasi yang dapat
memengaruhi preferensi dan keputusan politik mereka (Fyfe, 2007). Oleh karena itu,
diperlukan upaya edukasi yang lebih masif dan sistematis, baik melalui lembaga
pendidikan formal maupun program sosialisasi berbasis komunitas, guna meningkatkan
daya kritis masyarakat dalam menghadapi arus informasi yang semakin kompleks di era
digital.
Penelitian mengenai hoaks dalam pemilu telah banyak dikaji dalam berbagai
penelitian sebelumnya. Sebagian besar kajian masih berfokus pada persebaran hoaks
dalam skala nasional atau terbatas pada platform media sosial tertentu (Lim, 2023;
Tapsell, 2021). Beberapa penelitian menyoroti bagaimana hoaks politik mempengaruhi
perilaku pemilih dan kepercayaan terhadap sistem (Imawan, 2023; Kurniawan et al.,
2024; Nwagwu et al., 2022; Surjatmodjo et al., 2024). Selain itu, penelitian lain
menunjukkan bahwa hoaks lebih cepat menyebar dibandingkan dengan berita faktual,
terutama di lingkungan digital yang minim verifikasi (Aïmeur et al., 2023). Namun,
kajian yang secara spesifik mengukur kewaspadaan pemilih digital native terhadap hoaks
pemilu di tingkat lokal masih sangat terbatas.
Kota Pariaman memiliki tingkat partisipasi pemilih yang cukup tinggi, mencapai
69,3%, menjadikannya kota dengan partisipasi tertinggi kedua di Sumatera Barat setelah
Kota Sawahlunto. Tingginya angka partisipasi ini mencerminkan kesadaran politik
masyarakat yang relatif baik, tetapi belum tentu diiringi dengan tingkat literasi politik
yang memadai. Pemilih digital native, yang mengandalkan media sosial sebagai sumber
utama informasi politik, rentan terhadap misinformasi dan hoaks, terutama di tengah
algoritma media sosial yang memperkuat efek echo chamber dan filter bubble, di mana
individu lebih cenderung terpapar informasi yang sesuai dengan pandangan mereka
tanpa proses verifikasi yang kritis(Erickson, 2024; Interian et al., 2023). Studi
menunjukkan bahwa eksposur terhadap misinformasi politik dapat membentuk opini
yang keliru dan sulit dikoreksi, bahkan setelah diberikan klarifikasi(Lewandowsky & van
der Linden, 2021; Pantazi et al., 2021). Oleh karena itu, meneliti bagaimana pemilih di
Kota Pariaman memilah informasi politik menjadi penting untuk memahami tantangan
serta strategi dalam membangun ketahanan terhadap hoaks pemilu.
Selain itu, Kota Pariaman memiliki jaringan sosial yang kuat dalam komunitasnya,
yang dapat mempercepat penyebaran informasi politik, baik yang valid maupun yang
menyesatkan. Sebagai kota dengan infrastruktur digital yang berkembang, peningkatan
ISSN: xxxx - xxx
174
(Literasi Politik di...)
penggunaan media sosial di kalangan masyarakat, terutama generasi muda, juga menjadi
faktor krusial dalam pola konsumsi informasi politik. Penelitian menunjukkan bahwa
meskipun digital native memiliki akses luas terhadap informasi, mereka tidak selalu
memiliki keterampilan literasi digital yang cukup untuk mengevaluasi kredibilitas
sumber (Bouaamri et al., 2024; Koskelainen et al., 2023; Oh et al., 2021; Yang et al.,
2021) Rendahnya literasi politik dapat membuat mereka lebih rentan terhadap
propaganda politik berbasis hoaks, yang dapat mempengaruhi preferensi pemilih dan
melemahkan kualitas demokrasi (Bringula et al., 2022; Karolčík et al., 2025).
Penelitian ini menawarkan kebaruan dengan mengarahkan fokusnya pada Kota
Pariaman, yang memiliki tingkat partisipasi pemilih yang tinggi. Konteks ini menarik
karena tingginya partisipasi pemilih dapat menjadi indikasi kesadaran politik yang lebih
besar, tetapi juga menghadirkan tantangan dalam menyaring informasi politik yang
akurat. Di Kota Pariaman, pemilih digital native, yang terdiri dari pemilih pemula (17–
20 tahun), Generasi Z (21–25 tahun), dan Generasi Milenial (26–40 tahun), mencakup
54,1% dari total pemilih (KPU, 2024). Secara teoritis, kelompok digital native memiliki
aksesibilitas yang tinggi terhadap internet dan teknologi informasi serta terbiasa
berinteraksi dengan berbagai sumber informasi digital dalam kesehariannya (Ben
Youssef et al., 2022; Wong et al., 2022) Namun, kemudahan akses ini tidak selalu
berbanding lurus dengan kemampuan dalam menyaring dan memverifikasi informasi
yang diterima, terutama dalam konteks politik dan pemilu. Tantangan utama bagi
pemilih digital native adalah membedakan antara informasi faktual dan hoaks, yang
sering kali dikemas dengan narasi persuasif dan tersebar luas di media sosial (Benaissa
Pedriza, 2021).
Berdarkan data diatas , penelitian ini lebih lanjut mengembangkan perspektif baru
dengan mengeksplorasi hubungan antara literasi politik dan kecenderungan pemilih
dalam melakukan verifikasi informasi yang mereka terima di media sosial. Dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif melalui survei, penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kewaspadaan pemilih digital
native terhadap hoaks pemilu. Faktor-faktor ini mencakup tingkat literasi politik, pola
konsumsi informasi, serta mekanisme verifikasi yang dilakukan oleh individu dalam
menilai kredibilitas suatu berita.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
memahami dinamika penyebaran informasi politik di tingkat lokal serta merumuskan
strategi yang lebih efektif dalam meningkatkan literasi politik masyarakat. Selain itu,
temuan penelitian ini juga dapat menjadi rujukan bagi penyelenggara pemilu, akademisi,
Fernandes, R. & Akbar, A. 175
Jurnal Kajian Sosial Humaniora
dan pembuat kebijakan dalam menyusun kebijakan edukasi pemilih yang lebih relevan
bagi generasi digital native. Dengan meningkatnya literasi politik dan kewaspadaan
terhadap disinformasi, diharapkan pemilih digital native dapat menjadi aktor yang lebih
kritis dan tangguh dalam menghadapi lanskap informasi politik yang semakin kompleks
di era digital.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei untuk
mengukur tingkat kewaspadaan pemilih digital native terhadap hoaks pemilu di Kota
Pariaman. Survei dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang
disebarkan kepada responden yang dipilih secara acak. Penelitian ini juga menggunakan
teknik analisis deskriptif dan inferensial untuk mengidentifikasi hubungan antara literasi
politik, pola konsumsi informasi, serta kecenderungan pemilih dalam melakukan
verifikasi terhadap informasi yang diterima.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemilih di Kota Pariaman yang
berjumlah 72.660 orang berdasarkan data dari KPU (2024). Pengambilan sampel
dilakukan dengan metode random sampling untuk memastikan keterwakilan
proporsional dari masing-masing kategori usia. Berdasarkan perhitungan menggunakan
rumus Slovin dengan tingkat kepercayaan 95% dan margin of error 4,9%, jumlah sampel
yang diambil adalah 400 responden.
Data yang diperoleh dari kuesioner akan dianalisis menggunakan perangkat lunak
statistik untuk menguji hubungan antara variabel penelitian. Analisis akan mencakup
uji validitas dan reliabilitas instrumen, serta teknik statistik seperti uji regresi logistik
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kewaspadaan pemilih digital
native terhadap hoaks pemilu. Dengan metode ini, penelitian diharapkan dapat
memberikan gambaran empiris mengenai bagaimana pemilih digital native di Kota
Pariaman menyikapi fenomena disinformasi politik serta memberikan rekomendasi
dalam upaya meningkatkan literasi politik di kalangan pemilih muda..
Hasil dan Pembahasan
Tingkat Kewaspadaan Pemilih Digital Native terhadap Hoaks Pemilu
Di era digital, arus informasi yang cepat dan luas membawa konsekuensi besar
bagi proses demokrasi, terutama dalam konteks pemilu. Pemilih digital native, yang
terdiri dari generasi yang tumbuh dengan teknologi digital, memiliki akses yang luas
ISSN: xxxx - xxx
176
(Literasi Politik di...)
terhadap informasi politik dari berbagai platform media sosial, situs berita daring, dan
aplikasi perpesanan instan(Kim & Yang, 2016). Namun, kemudahan akses ini juga
diiringi dengan tantangan berupa maraknya hoaks dan disinformasi yang dapat
memengaruhi persepsi serta keputusan politik pemilih (Rubio & Monteiro,
2023).Dalam konteks pemilu, hoaks sering digunakan sebagai alat propaganda politik
untuk memengaruhi opini publik, menciptakan polarisasi, atau bahkan menurunkan
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi (Au et al., 2022).
Pemilih digital native diharapkan memiliki tingkat literasi digital yang lebih tinggi
dibandingkan generasi sebelumnya, sehingga lebih mampu menyaring informasi dan
membedakan fakta dari misinformasi(Guess & Munger, 2023). Namun, penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa meskipun mereka memiliki keterampilan dalam
mengakses informasi secara daring, tidak semua memiliki kemampuan kritis yang cukup
untuk menilai kredibilitas sumber berita (Swart, 2023). Fenomena ini menjadi perhatian
utama dalam studi literasi politik di era digital, di mana kemampuan verifikasi informasi
menjadi aspek krusial dalam membangun kesadaran politik yang sehat (Abdullah et al.,
2021).
Dalam konteks Kota Pariaman, pemilih digital native memiliki proporsi yang
cukup besar dalam daftar pemilih tetap, mencapai 54,1% dari total pemilih (KPU, 2024).
Dengan dominasi kelompok usia ini, pemahaman terhadap pola konsumsi informasi
serta kewaspadaan mereka terhadap hoaks pemilu menjadi hal yang penting untuk
dikaji. Oleh karena itu, penelitian ini mengukur sejauh mana pemilih digital native di
Kota Pariaman secara aktif memverifikasi informasi yang mereka peroleh terkait pemilu.
Hasil survei menunjukkan bahwa tingkat kewaspadaan pemilih digital native
terhadap hoaks pemilu masih tergolong rendah. Banyak di antara mereka yang tidak
secara aktif melakukan pengecekan ulang terhadap informasi yang diterima, baik melalui
pencarian di mesin pencari, sumber berita resmi, maupun sumber informasi lain yang
kredibel. Pembahasan lebih lanjut mengenai pola dan kecenderungan verifikasi
informasi oleh pemilih digital native di Kota Pariaman disajikan dalam bagian berikut.
Tabel 1. Frekuensi Pengecekan Kebenaran Informasi oleh Pemilih Digital Native
Frekuensi Mengecek Kebenaran Informasi
Persentase (%)
Sering
15%
Jarang
38%
Fernandes, R. & Akbar, A. 177
Jurnal Kajian Sosial Humaniora
Tidak Pernah
22%
Tidak Tahu
10%
Tidak Menjawab
2%
Hasil ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh pemilih digital native di Kota
Pariaman (60%) belum memiliki kebiasaan memverifikasi informasi yang mereka terima.
Temuan ini sejalan dengan studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa rendahnya
literasi digital dan politik berkontribusi terhadap rendahnya kewaspadaan terhadap
hoaks pemilu(Bulya & Izzati, 2024; Isnaini et al., 2025). Kurangnya keterampilan dalam
menilai kredibilitas informasi membuat pemilih lebih rentan terhadap manipulasi
informasi, terutama dalam konteks pemilu, di mana propaganda politik sering kali
dikemas dalam bentuk misinformasi yang menarik dan mudah tersebar (Pareek &
Goncalves, 2024).
Selain itu, penelitian ini mengungkap bahwa meskipun pemilih digital native
memiliki akses luas terhadap berbagai sumber informasi, mereka cenderung bergantung
pada media sosial dan aplikasi pesan instan sebagai sumber utama informasi politik
(Newton, 2021). Hal ini berisiko tinggi karena media sosial sering menjadi sarana utama
penyebaran hoaks, terutama yang berkaitan dengan politik dan pemilu (Khalyubi &
Perdana, 2021). Temuan ini juga mengindikasikan bahwa pola konsumsi informasi yang
tidak selektif dapat memperbesar kemungkinan pemilih digital native menerima dan
mempercayai informasi yang belum diverifikasi.
Ketidakbiasaan dalam memverifikasi informasi ini dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, termasuk keterbatasan pengetahuan mengenai metode pengecekan
fakta, rendahnya kesadaran akan pentingnya verifikasi informasi, serta kecenderungan
untuk mempercayai informasi yang sesuai dengan preferensi politik mereka (Foyet &
Child, 2024). Studi lain menunjukkan bahwa individu lebih cenderung mempercayai
informasi yang mendukung pandangan mereka sebelumnya, sebuah fenomena yang
dikenal sebagai confirmation bias(Caffrey et al., 2023). Dengan demikian, rendahnya
tingkat verifikasi informasi dalam kelompok pemilih digital native bukan hanya sekadar
persoalan teknis, tetapi juga berkaitan dengan aspek psikologis dan sosial.
Sumber Verifikasi Informasi Pemilih Digital Native
Selain mengukur frekuensi pengecekan kebenaran informasi, survei ini juga
meneliti sumber yang digunakan pemilih digital native dalam melakukan verifikasi
informasi. Data ini penting karena menunjukkan sejauh mana pemilih menggunakan
sumber yang kredibel dalam memastikan keabsahan berita yang mereka terima. Dalam
era digital, akses terhadap berbagai sumber informasi semakin luas, namun tidak semua
ISSN: xxxx - xxx
178
(Literasi Politik di...)
sumber memiliki tingkat kredibilitas yang sama (Raleigh et al., 2023). Oleh karena itu,
memahami pola preferensi pemilih dalam memilih sumber verifikasi dapat memberikan
wawasan tentang efektivitas upaya literasi politik dan digital dalam meningkatkan
kewaspadaan terhadap hoaks pemilu. Tabel 2 menunjukkan berbagai sumber yang
digunakan pemilih digital native dalam mengecek kebenaran informasi terkait pemilu.
Tabel 2. Sumber Verifikasi Informasi oleh Pemilih Digital Native
Sumber
Verikasi
Informasi
Selal
u (%)
Kada
ng-kadang
(%)
Tida
k Pernah
(%)
Tid
ak Tahu
(%)
Tid
ak
Menjawa
b (%)
Google
9,38
%
31,41
%
37,6
6%
5,1
6%
0,9
4%
Teman
12,3
4%
39,06
%
28,1
3%
4,0
6%
0,6
3%
Grup
WhatsApp
3,75
%
16,09
%
57,8
1%
4,8
4%
1,5
6%
Portal
Berita Online
Resmi
9,22
%
18,28
%
48,7
5%
5,9
4%
1,8
8%
Situs
Resmi
Pemerintah
5,31
%
13,59
%
58,2
8%
5,6
3%
1,4
1%
Majalah/S
urat Kabar
2,97
%
15,78
%
58,2
8%
5,4
7%
1,2
5%
Dari data di atas, terlihat bahwa hanya sebagian kecil responden yang secara aktif
memanfaatkan mesin pencari seperti Google (9,38%) atau situs berita resmi (9,22%)
dalam memverifikasi informasi yang mereka terima. Sebaliknya, mayoritas pemilih
cenderung mengandalkan teman (12,34%) yang sering kali menjadi jalur utama
penyebaran hoaks politik (Andriyendi et al., 2023). Ketergantungan pada jaringan sosial
pribadi sebagai sumber verifikasi informasi dapat menjadi masalah, mengingat informasi
yang disebarkan dalam lingkaran sosial sering kali bersifat bias dan kurang diverifikasi
secara faktual (Majerczak & Strzelecki, 2022; Waruwu et al., 2021).
Rendahnya pemanfaatan sumber informasi yang kredibel juga terlihat dalam
minimnya penggunaan situs resmi pemerintah (5,31%) dan media cetak seperti surat
kabar atau majalah (2,97%). Hal ini menunjukkan adanya pergeseran pola konsumsi
Fernandes, R. & Akbar, A. 179
Jurnal Kajian Sosial Humaniora
informasi dari media tradisional ke media digital yang lebih interaktif namun memiliki
risiko penyebaran misinformasi yang lebih tinggi (Caled & Silva, 2022). Penelitian
sebelumnya juga mengonfirmasi bahwa generasi digital native lebih cenderung
mengakses berita melalui media sosial daripada melalui sumber berita tradisional, yang
sering kali memiliki standar jurnalistik yang lebih ketat (Sixto-García et al., 2023).
Ketidakpercayaan terhadap media arus utama dan institusi pemerintah juga dapat
menjadi faktor yang menyebabkan rendahnya penggunaan sumber resmi dalam
verifikasi informasi. Dalam konteks politik, kepercayaan publik terhadap media dan
pemerintah memainkan peran penting dalam membentuk kebiasaan konsumsi
informasi pemilih (Hutchens et al., 2021).Jika pemilih merasa bahwa media atau
pemerintah memiliki agenda tertentu, mereka mungkin lebih memilih untuk
mengandalkan sumber informasi alternatif yang belum tentu memiliki standar verifikasi
yang ketat (Kington et al., 2021).
Temuan penelitian ini menegaskan bahwa meskipun pemilih digital native
memiliki akses luas terhadap berbagai sumber informasi, mereka belum secara optimal
memanfaatkan sumber yang kredibel dalam memverifikasi kebenaran berita politik.
Rendahnya kebiasaan melakukan verifikasi informasi ini mengindikasikan bahwa masih
terdapat kesenjangan antara akses informasi dan literasi digital yang dimiliki oleh pemilih
muda. Padahal, dalam ekosistem informasi yang semakin kompleks dan penuh dengan
disinformasi, kemampuan untuk memilah dan memverifikasi berita menjadi
keterampilan yang sangat krusial dalam menjaga kualitas demokrasi (D’Andrea et al.,
2025; Horowitz et al., 2022).
Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih kuat untuk meningkatkan kesadaran
akan pentingnya verifikasi informasi. Program literasi digital yang lebih komprehensif
harus dirancang agar tidak hanya memberikan pemahaman dasar tentang bahaya hoaks,
tetapi juga membekali pemilih dengan keterampilan praktis dalam menilai kredibilitas
sumber informasi(Steinfeld, 2023). Kolaborasi antara pemerintah, media, dan lembaga
pendidikan menjadi kunci dalam memastikan bahwa informasi yang valid dan
terpercaya dapat diakses dengan mudah oleh publik. Pemerintah dapat berperan dalam
membangun regulasi yang memperketat penyebaran berita palsu, sementara media
harus lebih proaktif dalam menyediakan konten yang akurat dan mudah dipahami. Di
sisi lain, lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam menanamkan pola pikir
kritis sejak dini agar generasi muda lebih terbiasa dalam memverifikasi informasi sebelum
mempercayainya atau menyebarkannya (Vargas & Saetermoe, 2024).
Implikasi terhadap Literasi Politik dan Demokrasi Digital
ISSN: xxxx - xxx
180
(Literasi Politik di...)
Hasil penelitian ini memiliki beberapa implikasi penting terhadap literasi politik
di era demokrasi digital. Temuan ini tidak hanya mengonfirmasi adanya kelemahan
dalam kewaspadaan pemilih terhadap hoaks pemilu, tetapi juga menyoroti aspek-aspek
yang perlu diperbaiki dalam sistem edukasi politik dan literasi digital di Indonesia.
Pertama, rendahnya kebiasaan memverifikasi informasi menunjukkan bahwa banyak
pemilih digital native belum memiliki kesadaran yang cukup terhadap bahaya hoaks
pemilu. Fenomena ini dapat berdampak signifikan pada kualitas partisipasi politik,
mengingat keputusan yang diambil berdasarkan informasi yang tidak akurat berpotensi
mempengaruhi dinamika demokrasi secara lebih luas(Helbing et al., 2023). Pemilih yang
kurang waspada terhadap misinformasi cenderung lebih mudah terpengaruh oleh narasi
politik yang menyesatkan, yang pada akhirnya dapat mengarah pada polarisasi opini
publik dan penurunan kepercayaan terhadap proses demokrasi (Chambers, 2021).Oleh
karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam membangun
kesadaran kritis terhadap misinformasi politik, termasuk melalui pendidikan formal dan
kampanye literasi digital yang efektif.
Kedua, minimnya penggunaan sumber kredibel dalam verifikasi informasi
menunjukkan perlunya edukasi lebih lanjut mengenai pentingnya mencari informasi
dari portal berita terpercaya dan situs resmi pemerintah. Studi sebelumnya menegaskan
bahwa peningkatan literasi politik dapat membantu pemilih memilah informasi dengan
lebih baik dan mencegah penyebaran hoaks (Bringula et al., 2022). Kurangnya kebiasaan
memverifikasi informasi di sumber yang kredibel dapat dikaitkan dengan faktor
kepercayaan publik terhadap institusi media dan pemerintah. Studi Kalogeropoulos et
al., (2021) mencatat bahwa erosi kepercayaan terhadap media arus utama dapat
mendorong masyarakat untuk beralih ke sumber informasi alternatif yang sering kali
kurang terverifikasi. Oleh karena itu, strategi edukasi yang menekankan pentingnya
literasi media dan kemampuan berpikir kritis harus menjadi prioritas dalam upaya
peningkatan literasi politik di kalangan pemilih muda.
Ketiga, peran media sosial dan grup percakapan seperti WhatsApp dalam
penyebaran informasi politik menjadi tantangan tersendiri. Studi Sampat & Raj, (2022)
menunjukkan bahwa berita palsu lebih cepat menyebar dibandingkan berita benar,
terutama dalam platform yang berbasis interaksi sosial seperti WhatsApp dan Facebook.
Hoaks yang tersebar di media sosial sering kali dirancang untuk menarik emosi dan
memanipulasi opini publik dengan narasi yang provokatif(Bilro et al., 2022; Dwivedi et
al., 2023). Dalam konteks ini, diperlukan strategi khusus untuk meningkatkan kesadaran
kritis pemilih digital native terhadap informasi yang mereka konsumsi di media sosial.
Fernandes, R. & Akbar, A. 181
Jurnal Kajian Sosial Humaniora
Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah penguatan mekanisme fact-
checking serta peningkatan literasi digital berbasis komunitas, di mana individu
diajarkan untuk secara aktif memeriksa keabsahan berita sebelum menyebarkannya.
Implikasi dari temuan ini menegaskan bahwa dalam era demokrasi digital, literasi
politik tidak bisa hanya berfokus pada pemahaman dasar tentang sistem politik dan hak
suara, tetapi juga harus mencakup keterampilan dalam menavigasi ekosistem informasi
yang semakin kompleks. Kemampuan memilah informasi yang kredibel, memahami
bias media, serta mengenali strategi manipulasi informasi menjadi keterampilan esensial
bagi pemilih digital native agar tidak mudah terpengaruh oleh hoaks dan disinformasi
yang dapat mengganggu proses demokrasi (Dame Adjin-Tettey, 2022).
Dalam konteks ini, upaya literasi politik harus dilakukan secara lebih
komprehensif dan berkelanjutan dengan melibatkan berbagai aktor strategis.
Pemerintah, akademisi, media, serta organisasi masyarakat sipil perlu bekerja sama dalam
merancang kebijakan dan program edukasi yang lebih adaptif dengan pola konsumsi
informasi generasi digital native. Kurikulum pendidikan, misalnya, perlu memasukkan
materi literasi digital yang membekali siswa dengan keterampilan kritis dalam menilai
informasi politik di media sosial. Selain itu, platform media sosial juga harus berperan
aktif dalam menyaring dan menandai informasi yang menyesatkan, sebagaimana
diusulkan dalam berbagai penelitian tentang mitigasi hoaks(Sallami & Aïmeur, 2025).
Literasi politik dalam era digital juga harus mempertimbangkan dinamika
interaksi sosial di ruang digital. Generasi digital native tidak hanya menjadi konsumen
informasi tetapi juga produsen dan distributor informasi melalui media sosial dan
platform daring lainnya. Oleh karena itu, edukasi politik tidak cukup hanya berfokus
pada kesadaran individu, tetapi juga harus membangun tanggung jawab kolektif dalam
menciptakan ekosistem informasi yang sehat. Kampanye edukasi berbasis komunitas,
pelatihan jurnalistik warga, serta kolaborasi dengan influencer digital dapat menjadi
strategi yang efektif dalam menanamkan budaya verifikasi informasi sebelum
menyebarkannya.
Dengan pendekatan yang lebih holistik ini, diharapkan generasi muda dapat
menjadi pemilih yang lebih cerdas, kritis, dan tangguh dalam menghadapi disinformasi
politik. Mereka tidak hanya mampu membedakan informasi yang valid dan
menyesatkan tetapi juga berperan aktif dalam menjaga kualitas demokrasi dengan
membangun ruang diskusi yang sehat dan berbasis fakta. Tanpa peningkatan literasi
politik yang memadai, generasi digital native berisiko menjadi sasaran utama manipulasi
ISSN: xxxx - xxx
182
(Literasi Politik di...)
informasi yang dapat merusak integritas pemilu dan stabilitas demokrasi secara
keseluruhan (Danang Sa’adawisna & Bayu Karunia Putra, 2023)
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kewaspadaan pemilih digital
native di Kota Pariaman terhadap hoaks pemilu masih relatif rendah. Mayoritas
responden jarang atau bahkan tidak pernah melakukan verifikasi informasi, serta
cenderung mengandalkan sumber yang kurang kredibel dalam mengecek kebenaran
informasi politik. Hal ini mengindikasikan bahwa literasi politik digital masih perlu
ditingkatkan agar generasi digital native dapat lebih kritis dalam memilah informasi yang
mereka konsumsi.
Temuan ini menegaskan bahwa dalam era demokrasi digital, literasi politik tidak
hanya mencakup pemahaman tentang sistem politik dan hak suara, tetapi juga harus
melibatkan keterampilan dalam menavigasi ekosistem informasi yang semakin
kompleks. Rendahnya kebiasaan memverifikasi informasi serta dominasi media sosial
sebagai sumber utama informasi politik menuntut adanya strategi literasi digital yang
lebih efektif dan berkelanjutan.
Implikasi dari penelitian ini mengarah pada perlunya kolaborasi antara
pemerintah, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta platform media sosial dalam
merancang program edukasi yang mampu meningkatkan kemampuan pemilih dalam
menilai kredibilitas informasi. Kurikulum pendidikan harus memasukkan materi
tentang literasi digital dan politik, sementara kampanye publik dan pelatihan berbasis
komunitas perlu diperkuat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya
hoaks dan disinformasi dalam politik.
Dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan adaptif terhadap pola konsumsi
informasi generasi digital native, diharapkan mereka dapat menjadi pemilih yang lebih
cerdas, kritis, dan tangguh dalam menghadapi disinformasi politik. Literasi politik yang
kuat tidak hanya akan membantu mereka dalam membuat keputusan politik yang lebih
rasional, tetapi juga akan berkontribusi pada terciptanya ruang diskusi demokratis yang
lebih sehat dan berbasis fakta. Tanpa peningkatan literasi politik yang memadai, risiko
manipulasi informasi dalam pemilu akan semakin besar, yang pada akhirnya dapat
mengancam kualitas demokrasi di Indonesia.
Fernandes, R. & Akbar, A. 183
Jurnal Kajian Sosial Humaniora
Daftar Pustaka
Abdullah, N. H., Hassan, I., Fazil Ahmad, M., Hassan, N. A., & Ismail, M. M. (2021).
Social Media, Youths and Political Participation in Malaysia: A Review of
Literature. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.3849948
Aïmeur, E., Amri, S., & Brassard, G. (2023). Fake news, disinformation and
misinformation in social media: a review. Social Network Analysis and Mining,
13(1), 30. https://doi.org/10.1007/s13278-023-01028-5
Andriyendi, D. O., S, N., & Dewi, S. F. (2023). Media sosial dan pengaruhnya terhadap
partisipasi politik pemilih pemula pada Pilkada. Journal of Education, Cultural
and Politics, 3(1), 101–111. https://doi.org/10.24036/jecco.v3i1.172
Au, C. H., Ho, K. K. W., & Chiu, D. K. W. (2022). The Role of Online Misinformation
and Fake News in Ideological Polarization: Barriers, Catalysts, and Implications.
Information Systems Frontiers, 24(4), 1331–1354.
https://doi.org/10.1007/s10796-021-10133-9
Badrun, U. (2018). Ketahanan Nasional Indonesia Bidang Politik di Era Demokrasi
Digital (Tantangan Tahun Politik 2018-2019 dan Antisipasinya). Jurnal Kajian
Lemhannas R, 33(Maret), 21–36.
Ben Youssef, A., Dahmani, M., & Ragni, L. (2022). ICT Use, Digital Skills and
Students’ Academic Performance: Exploring the Digital Divide. Information,
13(3), 129. https://doi.org/10.3390/info13030129
Benaissa Pedriza, S. (2021). Sources, Channels and Strategies of Disinformation in the
2020 US Election: Social Networks, Traditional Media and Political Candidates.
Journalism and Media, 2(4), 605–624.
https://doi.org/10.3390/journalmedia2040036
Bilro, R. G., Loureiro, S. M. C., & dos Santos, J. F. (2022). Masstige strategies on social
media: The influence on sentiments and attitude toward the brand. International
Journal of Consumer Studies, 46(4), 1113–1126.
https://doi.org/10.1111/ijcs.12747
Bouaamri, A., Otike, F., & Hajdu Barát, A. (2024). A review of the effectiveness of
Collaborations and Partnerships in sustaining a Digital Literacy. The Serials
Librarian, 85(7–8), 232–246.
https://doi.org/10.1080/0361526X.2024.2391737
Bringula, R. P., Catacutan-Bangit, A. E., Garcia, M. B., Gonzales, J. P. S., & Valderama,
A. M. C. (2022). “ Who is gullible to political disinformation ?” : predicting
susceptibility of university students to fake news. Journal of Information
Technology & Politics, 19(2), 165–179.
https://doi.org/10.1080/19331681.2021.1945988
ISSN: xxxx - xxx
184
(Literasi Politik di...)
Bulya, B., & Izzati, S. (2024). Indonesia’s Digital Literacy as a Challenge for Democracy
in the Digital Age. The Journal of Society and Media, 8(2), 640–661.
https://doi.org/10.26740/jsm.v8n2.p640-661
Caffrey, C., Lee, H., Withorn, T., Galoozis, E., Clarke, M., Philo, T., Eslami, J., Ospina,
D., Haas, A., Kohn, K. P., Macomber, K., Clawson, H., & Vermeer, W. (2023).
Library instruction and information literacy 2022. Reference Services Review,
51(3/4), 319–396. https://doi.org/10.1108/RSR-08-2023-0061
Caled, D., & Silva, M. J. (2022). Digital media and misinformation: An outlook on
multidisciplinary strategies against manipulation. Journal of Computational
Social Science, 5(1), 123–159. https://doi.org/10.1007/s42001-021-00118-8
Chambers, S. (2021). Truth, Deliberative Democracy, and the Virtues of Accuracy: Is
Fake News Destroying the Public Sphere? Political Studies, 69(1), 147–163.
https://doi.org/10.1177/0032321719890811
D’Andrea, A., Fusacchia, G., & D’Ulizia, A. (2025). Policy Review: Countering
Disinformation in the Digital Age - Policies and Initiatives to Safeguard
Democracy in Europe. Information Polity.
https://doi.org/10.1177/15701255251318900
Dame Adjin-Tettey, T. (2022). Combating fake news, disinformation, and
misinformation: Experimental evidence for media literacy education. Cogent Arts
& Humanities, 9(1). https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2037229
Danang Sa’adawisna, & Bayu Karunia Putra. (2023). POLITICAL EDUCATION TO
INCREASE BEGINNER VOTER PARTICIPATION IN THE 2019
GENERAL ELECTIONS. Awang Long Law Review, 5(2), 419–431.
https://doi.org/10.56301/awl.v5i2.716
Dwivedi, Y. K., Ismagilova, E., Rana, N. P., & Raman, R. (2023). Social Media
Adoption, Usage And Impact In Business-To-Business (B2B) Context: A State-
Of-The-Art Literature Review. Information Systems Frontiers, 25(3), 971–993.
https://doi.org/10.1007/s10796-021-10106-y
Erickson, J. (2024). Rethinking the filter bubble? Developing a research agenda for the
protective filter bubble. Big Data & Society, 11(1).
https://doi.org/10.1177/20539517241231276
Fernandes, R., Ananda, A., & Montessori, M. (2022). Implementation of
Intracurricular Political Education into Sociology Education for Young Voters.
Specialusis Ugdymas, 1(43), 8916–8927.
Foyet, M., & Child, B. (2024). COVID-19, social media, algorithms and the rise of
indigenous movements in Southern Africa: perspectives from activists, audiences
and policymakers. Frontiers in Sociology, 9.
Fernandes, R. & Akbar, A. 185
Jurnal Kajian Sosial Humaniora
https://doi.org/10.3389/fsoc.2024.1433998
Fyfe, I. (2007). Hidden in the Curriculum: Political Literacy and Education fo
Citizenship. Australia Melbourne Journal of Politics, 32, 110–134.
Guess, A. M., Lockett, D., Lyons, B., Montgomery, J. M., Nyhan, B., & Reifler, J.
(2020). “Fake news” may have limited effects beyond increasing beliefs in false
claims.
Guess, A. M., & Munger, K. (2023). Digital literacy and online political behavior.
Political Science Research and Methods, 11(1), 110–128.
https://doi.org/10.1017/psrm.2022.17
Helbing, D., Mahajan, S., Fricker, R. H., Musso, A., Hausladen, C. I., Carissimo, C.,
Carpentras, D., Stockinger, E., Argota Sanchez-Vaquerizo, J., Yang, J. C.,
Ballandies, M. C., Korecki, M., Dubey, R. K., & Pournaras, E. (2023). Democracy
by Design: Perspectives for Digitally Assisted, Participatory Upgrades of Society.
Journal of Computational Science, 71, 102061.
https://doi.org/10.1016/j.jocs.2023.102061
Horowitz, M., Cushion, S., Dragomir, M., Gutiérrez Manjón, S., & Pantti, M. (2022).
A Framework for Assessing the Role of Public Service Media Organizations in
Countering Disinformation. Digital Journalism, 10(5), 843–865.
https://doi.org/10.1080/21670811.2021.1987948
Hutchens, M. J., Hmielowski, J. D., Beam, M. A., & Romanova, E. (2021). Trust Over
Use: Examining the Roles of Media Use and Media Trust on Misperceptions in
the 2016 US Presidential Election. Mass Communication and Society, 24(5), 701–
724. https://doi.org/10.1080/15205436.2021.1904262
Imawan, R. (2023). Digital Democracy: The Evolution of Indonesia Electoral Politics.
The Sunan Ampel Review of Political and Social Sciences, 3(1), 65–78.
Interian, R., G. Marzo, R., Mendoza, I., & Ribeiro, C. C. (2023). Network polarization,
filter bubbles, and echo chambers: an annotated review of measures and reduction
methods. International Transactions in Operational Research, 30(6), 3122–3158.
https://doi.org/10.1111/itor.13224
Iosifidis, P., & Nicoli, N. (2020). Digital democracy, social media and disinformation.
Routledge.
Iskandar, F., & Faozi, A. A. (2025). Legal Review of Hoaxes on Social Media in the Post-
Truth Era. Law and Judicial Review, 1(1/2), 47–61.
Isnaini, I., Nasyiriyah, T. N., Aulia Istighfari, N., & Rohmah, S. R. (2025). The Role of
Digital Literacy in Social Media. MIMESIS, 6(1), 58–74.
https://doi.org/10.12928/mms.v6i1.12242
ISSN: xxxx - xxx
186
(Literasi Politik di...)
Kalogeropoulos, A., Rori, L., & Dimitrakopoulou, D. (2021). ‘Social Media Help Me
Distinguish between Truth and Lies’: News Consumption in the Polarised and
Low-trust Media Landscape of Greece. South European Society and Politics, 26(1),
109–132. https://doi.org/10.1080/13608746.2021.1980941
Karolčík, Š., Steiner, J., & Čipková, E. (2025). Politics and political literacy in education
from the perspective of the public. Cogent Education, 12(1).
https://doi.org/10.1080/2331186X.2025.2457560
Khalyubi, W., & Perdana, A. (2021). Electoral Manipulation Informationally on Hoax
Production in 2019 Presidential and Vice Presidential Election in Indonesia.
Journal of Government and Political Issues, 1(2).
https://doi.org/10.53341/jgpi.v1i2.17
Kim, E., & Yang, S. (2016). Internet literacy and digital natives’ civic engagement:
Internet skill literacy or Internet information literacy? Journal of Youth Studies,
19(4), 438–456. https://doi.org/10.1080/13676261.2015.1083961
Kington, R. S., Arnesen, S., Chou, W.-Y. S., Curry, S. J., Lazer, D., & Villarruel, A. M.
(2021). Identifying Credible Sources of Health Information in Social Media:
Principles and Attributes. NAM Perspectives, 2021.
https://doi.org/10.31478/202107a
Koskelainen, T., Kalmi, P., Scornavacca, E., & Vartiainen, T. (2023). Financial literacy
in the digital age—A research agenda. Journal of Consumer Affairs, 57(1), 507–
528. https://doi.org/10.1111/joca.12510
Kozyreva, A., Lewandowsky, S., & Hertwig, R. (2020). Citizens Versus the Internet:
Confronting Digital Challenges With Cognitive Tools. Psychological Science in
the Public Interest, 21(3), 103–156. https://doi.org/10.1177/1529100620946707
Kurniawan, W., Arham, M., & Muluk, H. (2024). Social Media’s Influence on Political
Participation: Insights from a Systematic Review and Meta-Analysis in
Indonesian Psychology. Jurnal Psikologi, 51(3), 236.
https://doi.org/10.22146/jpsi.101469
Lewandowsky, S., & van der Linden, S. (2021). Countering Misinformation and Fake
News Through Inoculation and Prebunking. European Review of Social
Psychology, 32(2), 348–384. https://doi.org/10.1080/10463283.2021.1876983
Lim, M. (2023). “ Everything Everywhere All At Once”: Social Media,
Marketing/Algorithmic Culture, and Activism in Southeast Asia. Georgetown
Journal of International Affairs, 24(2), 181–190.
Majerczak, P., & Strzelecki, A. (2022). Trust, Media Credibility, Social Ties, and the
Intention to Share towards Information Verification in an Age of Fake News.
Behavioral Sciences, 12(2), 51. https://doi.org/10.3390/bs12020051
Fernandes, R. & Akbar, A. 187
Jurnal Kajian Sosial Humaniora
Mascitti, M. (2024). The Metaverse impact on the politics means. Computer Law &
Security Review, 55, 106037.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.clsr.2024.106037
Newton, K. (2021). Widespread Reach, not much Influence: Online News and Mass
Political Attitudes and Behaviour in the <scp>UK</scp>. The Political
Quarterly, 92(4), 716–726. https://doi.org/10.1111/1467-923X.13052
Nwagwu, E. J., Uwaechia, O. G., Udegbunam, K. C., & Nnamani, R. (2022). Vote
Buying During 2015 And 2019 General Elections: Manifestation and
Implications on Democratic Development in Nigeria. Cogent Social Sciences, 8(1).
https://doi.org/10.1080/23311886.2021.1995237
Oh, S. S., Kim, K.-A., Kim, M., Oh, J., Chu, S. H., & Choi, J. (2021). Measurement of
Digital Literacy Among Older Adults: Systematic Review. Journal of Medical
Internet Research, 23(2), e26145. https://doi.org/10.2196/26145
Pantazi, M., Hale, S., & Klein, O. (2021). Social and Cognitive Aspects of the
Vulnerability to Political Misinformation. Political Psychology, 42(S1), 267–304.
https://doi.org/10.1111/pops.12797
Pareek, S., & Goncalves, J. (2024). Peer-supplied credibility labels as an online
misinformation intervention. International Journal of Human-Computer Studies,
188, 103276. https://doi.org/10.1016/j.ijhcs.2024.103276
Raleigh, C., Kishi, R., & Linke, A. (2023). Political instability patterns are obscured by
conflict dataset scope conditions, sources, and coding choices. Humanities and
Social Sciences Communications, 10(1), 74. https://doi.org/10.1057/s41599-023-
01559-4
Rubio, R., & Monteiro, V. de A. (2023). Preserving trust in democracy: The Brazilian
Superior Electoral Court’s quest to tackle disinformation in elections. South
African Journal of International Affairs, 30(3), 497–520.
https://doi.org/10.1080/10220461.2023.2274860
Sallami, D., & Aïmeur, E. (2025). Exploring beyond detection: a review on fake news
prevention and mitigation techniques. Journal of Computational Social Science,
8(1), 23. https://doi.org/10.1007/s42001-024-00351-x
Sampat, B., & Raj, S. (2022). Fake or real news? Understanding the gratifications and
personality traits of individuals sharing fake news on social media platforms. Aslib
Journal of Information Management, 74(5), 840–876.
https://doi.org/10.1108/AJIM-08-2021-0232
Sixto-García, J., Silva-Rodríguez, A., Rodríguez-Vázquez, A. I., & López-García, X.
(2023). Redefining journalism narratives, distribution strategies, and user
involvement based on innovation in digital native media. Journalism, 24(6),
ISSN: xxxx - xxx
188
(Literasi Politik di...)
1322–1341. https://doi.org/10.1177/14648849211062766
Steinfeld, N. (2023). How Do Users Examine Online Messages to Determine If They
Are Credible? An Eye-Tracking Study of Digital Literacy, Visual Attention to
Metadata, and Success in Misinformation Identification. Social Media + Society,
9(3). https://doi.org/10.1177/20563051231196871
Surjatmodjo, D., Unde, A. A., Cangara, H., & Sonni, A. F. (2024). Information
Pandemic: A Critical Review of Disinformation Spread on Social Media and Its
Implications for State Resilience. Social Sciences, 13(8), 418.
https://doi.org/10.3390/socsci13080418
Swart, J. (2023). Tactics of news literacy: How young people access, evaluate, and engage
with news on social media. New Media & Society, 25(3), 505–521.
https://doi.org/10.1177/14614448211011447
Tandoc Jr, E. C., Lim, D., & Ling, R. (2020). Diffusion of disinformation: How social
media users respond to fake news and why. Journalism, 21(3), 381–398.
Tapsell, R. (2021). Social media and elections in Southeast Asia: The emergence of
subversive, underground campaigning. Asian Studies Review, 45(1), 117–134.
Vargas, J. H., & Saetermoe, C. L. (2024). The antiracist educator’s journey and the
psychology of critical consciousness development: A new roadmap. Educational
Psychologist, 59(1), 20–41. https://doi.org/10.1080/00461520.2023.2243329
Waruwu, B. K., Tandoc, E. C., Duffy, A., Kim, N., & Ling, R. (2021). Telling lies
together? Sharing news as a form of social authentication. New Media & Society,
23(9), 2516–2533. https://doi.org/10.1177/1461444820931017
Weiss, M., & Zoorob, M. (2021). Political frames of public health crises: Discussing the
opioid epidemic in the US Congress. Social Science & Medicine, 281, 114087.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2021.114087
Wong, L.-W., Tan, G. W.-H., Hew, J.-J., Ooi, K.-B., & Leong, L.-Y. (2022). Mobile
social media marketing: a new marketing channel among digital natives in higher
education? Journal of Marketing for Higher Education, 32(1), 113–137.
https://doi.org/10.1080/08841241.2020.1834486
Yang, J., Tlili, A., Huang, R., Zhuang, R., & Bhagat, K. K. (2021). Development and
Validation of a Digital Learning Competence Scale: A Comprehensive Review.
Sustainability, 13(10), 5593. https://doi.org/10.3390/su13105593