ArticlePDF Available

Pendidikan Agama dan Moral sebagai Alat Pencegahan Radikalisme

Authors:

Abstract and Figures

Tujuan dari penelitian untuk mengkaji dampak perilaku warga negara Indonesia terhadap keamanan negara, terutama berfokus pada radikalisme di kalangan siswa SMA, penelitian ini untuk mengetahui pengaruh Pendidikan Agama dan Pendidikan Moral dengan menggunakan analisis jalur menggunakan Smart Partial Least Square (Smart-PLS) dengan ukuran sampel 1000 responden yang dipilih secara acak. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk mengukur persepsi responden terhadap Pendidikan Agama (RE), Pendidikan Moral (ME), dan Pencegahan Radikalisme (RP). Kuesioner divalidasi melalui Exploratory Factor Analysis (EFA). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Pendidikan Agama secara langsung mempengaruhi Pencegahan Radikalisme, dengan Pendidikan Moral memainkan peran penting. Juga ditemukan bahwa ada keterkaitan antara dua variabel independen. Selain itu, temuan juga mengidentifikasi bahwa Pendidikan agama memberikan pengaruh tidak langsung pada Pencegahan Radikalisme, yang dimediasi melalui Pendidikan Moral di sekolah menengah. Berdasarkan hasil tersebut, disarankan agar pelaksanaan mata pelajaran Moral dan agama diwajibkan dari TK hingga SMA untuk semua siswa. .
Content may be subject to copyright.
35
Pendidikan Agama dan Moral sebagai Alat Pencegahan
Radikalisme
Virgana1, Soeparlan Kasyadi2
{virganaunindra@gmail.com1}
Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta, Indonesia1,2
Abstrak. Tujuan dari penelitian untuk mengkaji dampak perilaku warga negara
Indonesia terhadap keamanan negara, terutama berfokus pada radikalisme di kalangan
siswa SMA, penelitian ini untuk mengetahui pengaruh Pendidikan Agama dan
Pendidikan Moral dengan menggunakan analisis jalur menggunakan Smart Partial
Least Square [Smart-PLS] dengan ukuran sampel 1000 responden yang dipilih secara
acak. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk mengukur
persepsi responden terhadap Pendidikan Agama [RE], Pendidikan Moral [ME], dan
Pencegahan Radikalisme [RP]. Kuesioner divalidasi melalui Exploratory Factor
Analysis [EFA]. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Pendidikan Agama secara
langsung mempengaruhi Pencegahan Radikalisme, dengan Pendidikan Moral
memainkan peran penting. Juga ditemukan bahwa ada keterkaitan antara dua variabel
independen. Selain itu, temuan juga mengidentifikasi bahwa Pendidikan agama
memberikan pengaruh tidak langsung pada Pencegahan Radikalisme, yang dimediasi
melalui Pendidikan Moral di sekolah menengah. Berdasarkan hasil tersebut,
disarankan agar pelaksanaan mata pelajaran Moral dan agama diwajibkan dari TK
hingga SMA untuk semua siswa.
Kata kunci: Pendidikan agama; Pendidikan moral; radikalisme
Pendidikan Agama dan Moral sebagai Alat Pencegahan Radikalisme
Abstract. The purpose of the study is to examine the impact of Indonesian citizens'
behavior on state security, especially focusing on radicalism among high school
students, this study is to determine the influence of Religious Education and Moral
Education by using path analysis using Smart Partial Least Square [Smart-PLS] with
a sample size of 1000 randomly selected respondents. Data collection was carried out
using a questionnaire to measure respondents' perception of Religious Education
[RE], Moral Education [ME], and Prevention of Radicalism [RP]. The questionnaire
was validated through Exploratory Factor Analysis [EFA]. The results obtained show
that Religious Education directly affects the Prevention of Radicalism, with Moral
Education playing an important role. It was also found that there was a link between
the two indepen dent variables. In addition, the findings also identified that religious
education has an indirect influence on the Prevention of Radicalism, which is
mediated through Moral Education in secondary schools. Based on these results, it is
recommended that the implementation of moral and religious subjects be required
from kindergarten to high school for all students..
Keywords: Religious education; moral education; radicalism
36
1 Pendahuluan
Indonesia adalah negara berdaulat yang terdiri dari 16.771 pulau dan 300 kelompok etnis [1]. Negara
ini biasanya mengalami pengaruh variasi etnis, yang mengarah pada budaya dan cara hidup yang
berbeda, dan kadang-kadang memicu radikalisme dalam masyarakat. Perilaku ini dapat
dimanifestasikan sebagai toleransi nol terhadap beragam pendapat atau keyakinan orang lain, dan
sikap revolusioner yang melibatkan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan [2]. Lima
penganut agama resmi diakui di Indonesia, adalah Islam menjadi yang dominan, diikuti oleh Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Buddha, dan Hindu. Sayangnya, kehidupan sosial minoritas mungkin
terasa terisolasi karena perbedaan agama ini [3].
Untuk mempromosikan kohesi dan penerimaan nasional, Indonesia mengadopsi ideologi yang
dikenal sebagai Pancasila, yang terdiri dari lima kebijakan negara yang harus dipatuhi oleh semua
warga negara. Ideologi ini meliputi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi
kemanusiaan yang adil dan beradab, menjaga kesatuan bangsa, mempraktikkan kewarganegaraan
yang dipimpin oleh kebijaksanaan, permusyawaratan, dan perwakilan, serta menjamin keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan Moral yang terkandung dalam Pancasila merupakan
bagian penting dari kurikulum sekolah menengah, yang bertujuan untuk membentuk individu
menjadi siswa yang bermoral dan bermoral, mulia, mandiri, berpikir kritis, kreatif, kooperatif, dan
beragam secara global [4].
Salah satu cara yang sangat efektif untuk menanamkan pendidikan moral adalah melalui
pendidikan agama. Bentuk pendidikan ini wajib bagi semua siswa dari tingkat SD hingga universitas
di Indonesia. Namun, penilaian mata pelajaran agama seringkali hanya berfokus pada aspek kognitif,
sedangkan aspek afektif dan psikomotorik masih kurang berkembang [5]. Sangat penting untuk
dipahami bahwa radikalisasi mungkin tidak semata-mata berasal dari ajaran Islam tetapi dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kesenjangan ekonomi atau ketidakpuasan terhadap kebijakan
politik [6]. Proses radikalisasi telah ditemukan dalam penelitian sebelumnya dipicu oleh pemahaman
tentang perlunya perubahan sosial segera, atau perbaikan dalam sistem yang ada [7].
Pendidikan agama memainkan peran penting dalam mencegah radikalisme di sekolah, terbukti
dengan penerapan sekolah berbasis agama. Contoh dari jenis sekolah ini melibatkan pendidikan
yang diselenggarakan oleh yayasan Islam atau badan keagamaan lainnya, di mana insiden
perkelahian siswa antar kelompok tidak ada. Etika Islam, yang menjadi dasar bagi Islam,
menyediakan sistem etika yang kuat yang menumbuhkan kekuatan sosial dan perlindungan hukum
[8]. Dengan menanamkan nilai-nilai seperti rasa hormat, toleransi, rasa malu, dan komunikasi yang
efektif, pendidikan agama secara efektif melawan radikalisme di kalangan siswa [9]. Selain itu,
lembaga sosial, khususnya sekolah, memainkan peran penting dalam mengendalikan perilaku ini
[10]. Oleh karena itu, manajemen kurikulum memiliki peran penting dalam mengarahkan untuk
mencapai tujuan pendidikan [11].
Adalah bijaksana untuk mengakui bahwa di era globalisasi ini, di mana hambatan ruang dan
waktu telah berkurang, kemudahan mempromosikan individu atau kelompok telah membuka jalan
untuk kekerasan atas nama agama. Dalam hal ini, provokasi dapat dimanifestasikan dalam bentuk
fisik, psikis, atau verbal [12]. Oleh karena itu, guru harus bekerja dalam kesatuan untuk memberikan
pemahaman yang komprehensif dan diterima secara logis kepada siswa, mendorong pembangunan
karakter dalam kerangka sekolah. Pendidikan karakter terdiri dari kegiatan intra-kurikuler dan
ekstrakurikuler. Kegiatan intra-kurikuler mengacu pada penanaman Pendidikan Moral melalui
pembelajaran di kelas sedangkan kegiatan ekstrakurikuler melibatkan langkah-langkah untuk
implementasi nilai-nilai tersebut di luar kelas [13].
Siklus perkelahian siswa yang berulang, yang diamati tak lama setelah penerimaan siswa baru
yang mencari identitas di bawah pengaruh senior, menyoroti perlunya perhatian dari para pemangku
kepentingan untuk mengatasi dekadensi moral di sektor pendidikan Indonesia. Dekadensi moral ini
termasuk perilaku yang tidak terkendali, kecenderungan berorientasi pengelompokan, dan kekerasan
di antara siswa [14]. Oleh karena itu, Pendidikan Agama dan Pendidikan Moral merupakan
komponen penting dalam mencegah radikalisme di kalangan siswa. Sesuai dengan pengamatan ini,
dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1) Apakah ada pengaruh langsung dari Pendidikan Agama dan Pendidikan Moral dalam
mencegah radikalisme?
37
2) Apakah Pendidikan Agama secara langsung mempengaruhi moral siswa?
3) Apakah ada pengaruh tidak langsung dari Pendidikan Agama melalui Pendidikan Moral
dalam mencegah radikalisme?
Pendidikan agama, biasanya disampaikan melalui dakwah adalah ajakan yang didasarkan pada
visi dan misi agama, yang mendorong individu untuk terlibat dalam Pendidikan dan tindakan yang
bajik [15]. Siswa menerima paparan Pendidikan Agama melalui mata pelajaran agama yang
diajarkan di sekolah dan melalui khotbah Frida selama sholat berjamaah di masjid atau khotbah hari
Minggu di gereja untuk orang Kristen. Tindakan beribadah di masjid, gereja, atau pura mewakili
implementasi praktis dari nilai-nilai tersebut, yang cenderung mengekang radikalisme di kalangan
masyarakat, membuat pendidikan dengan fokus pada menanamkan nilai-nilai kehidupan penting
untuk membentuk karakter suatu bangsa [5]. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
pendidikan nilai-nilai Islam secara signifikan mempengaruhi perilaku siswa di Aceh [10] dan di
Thailand, juga ditemukan sangat berkorelasi dengan perkembangan etika siswa[8]. Namun, penting
untuk mengakui keberadaan Islamofobia dalam iklim sosial politik saat ini, yang dapat
menyebabkan pengalaman diskriminatif terkait stres bagi beberapa individu [3]; [16].
Korelasi antara pencegahan radikalisme di sekolah menengah dan penggunaan Pendidikan suci
sangat signifikan. Namun, penting untuk memastikan bahwa materi agama yang dibahas di luar
sekolah dan materi pelajaran yang diajarkan di sekolah tidak bertentangan satu sama lain. Ini akan
mencegah kebingungan dan melestarikan individualitas siswa di lingkungan sekolah. Sekolah
adalah tempat yang tepat untuk memberikan Pendidikan Agama dan terlibat dalam proses doktrin
untuk mencegah radikalisme berakar sejak usia dini [7]. Penelitian sebelumnya telah menetapkan
bahwa Pendidikan Agama diadakan di sekolah menengah Islam dan Kristen berpengaruh terhadap
pencegahan radikalisme [2], telah diamati bahwa sekolah berbasis agama menunjukkan radikalisme
yang lebih rendah dibandingkan dengan sekolah umum [17]. Upaya konsisten para tokoh agama
dalam mempromosikan Pendidikan Agama memainkan peran penting dalam mencegah radikalisme
di seluruh segmen masyarakat, termasuk mahasiswa [18]. Tokoh masyarakat, termasuk tokoh
agama, dianggap sebagai pelopor terkemuka dalam mencegah radikalisme [19]. Selain itu, ketika
pemerintah secara aktif mendukung dan mengintensifkan inisiatif Pendidikan Agama, itu menjadi
tindakan pencegahan berkelanjutan terhadap materi pelajaran [20]. Penting juga untuk mengakui
bahwa dampak kolektif Pendidikan Agama yang diprakarsai oleh para pemimpin agama,
masyarakat, pemerintah, dan guru dapat secara signifikan mempengaruhi psikologi individu, yang
mengarah pada adopsi sifat-sifat positif mereka. Diyakini bahwa pengaruh ini meluas ke ranah
afektif, mendorong pengembangan karakter dan nilai-nilai etika. Berdasarkan wawasan tersebut,
dirumuskan hipotesis berikut:
H-1: Pendidikan Agama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Pencegahan Radikalisme
di sekolah menengah.
Pendidikan Agama dan Pendidikan Moral Implementasi di sekolah menengah memiliki
korelasi yang tinggi. Pendidikan Agama tidak diragukan lagi berperan penting dalam memfasilitasi
pelaksanaan pendidikan moral pada siswa. Proses implementasi ini dapat dipengaruhi oleh integrasi
teori dan praktik dan dalam konteks ini, Pendidikan Agama berfungsi sebagai landasan teoritis [21].
Selain itu, kehadiran Pendidikan Kebaikan dalam lingkungan keluarga telah ditemukan untuk
memfasilitasi pembentukan Pendidikan Moral di sekolah [22]. Poin penting lainnya adalah
pemilihan guru agama oleh departemen yang berkuasa, guru yang mengajar di sekolah harus
memiliki kompetensi sebagai panutan bagi siswanya [23]. Efek kumulatif dari secara konsisten
memberikan undangan kebaikan kepada anggota keluarga, baik oleh orang tua atau guru,
menanamkan nilai-nilai ini jauh di dalam jiwa anak-anak. Hal ini pada akhirnya mengarah pada
integrasi tindakan yang berhubungan dengan kebaikan ke dalam kerangka etika anak-anak muda ini.
Berdasarkan pengamatan tersebut, dirumuskan hipotesis berikut untuk penelitian ini:
H-2: Pendidikan Agama berpengaruh yang signifikan terhadap Pendidikan Moral di sekolah
menengah.
38
Pendidikan Moral di sekolah bervariasi di seluruh negara dan dibentuk oleh karakteristik khas
mereka. Indonesia, dengan populasi yang beragam dari berbagai agama dan budaya, berjuang untuk
persatuan di bawah satu ideologi yang dikenal sebagai Pancasila, yang mewakili "lima prinsip".
Akibatnya, mata pelajaran Pendidikan Moral dalam kurikulum tepat dinamai "Pendidikan Moral
Pancasila". Ideologi ini terdiri dari lima prinsip dasar yang mengadvokasi semua warga negara untuk
menunjukkan perilaku yang baik dan merangkul nilai-nilai dasar, instrumental, dan praksis [24], dan
berfungsi sebagai nilai-nilai inti bangsa Indonesia, konsep ini menyatukan beragam latar belakang
budaya di dalam bangsa [25]. Sangat penting untuk dicatat bahwa inisiatif untuk menanamkan nilai-
nilai Pancasila sebagai kekuatan pengikat keberagaman Indonesia dimulai sejak usia dini, yaitu
dimulai dari keluarga [26].
Ada korelasi yang tinggi antara pendidikan moral dan pencegahan radikalisme di sekolah
menengah, moral yang baik akan menciptakan perilaku yang baik. Pendidikan Moral telah
diidentifikasi sebagai tindakan pencegahan yang efektif terhadap radikalisme [27]. Dengan
menerapkan nilai-nilai Pancasila, radikalisme di kalangan mahasiswa dapat dimitigasi [28]. Oleh
karena itu, upaya pembinaan mahasiswa berprofil Pancasila menjadi metode strategis untuk
memperkuat pencegahan radikalisme [24]. Ketika etika ideologi ini ditetapkan sebagai dasar negara,
dan diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah, ia dapat secara efektif melawan ideologi yang
bertentangan [25]. Perlu dipahami bahwa pendidikan etika yang terkandung dalam Pancasila
berpotensi mencegah radikalisme dan terorisme [29], dan menawarkan paradigma pendidikan etika
di sekolah [30]. Dari perspektif individu, moralitas memiliki implikasi yang signifikan untuk
membentuk karakter dan perilaku, sedangkan mata pelajaran etika membantu siswa memahami
tanggung jawab moral mereka [31]. Mempertimbangkan pengamatan ini, hipotesis penelitian
berikut dirumuskan:
H-3: Ada pengaruh signifikan dari Pendidikan Moral pada Pencegahan Radikalisme di sekolah
menengah.
Radikalisme seringkali dapat berasal dari perasaan tidak puas [16]. Radikalisme umumnya
merupakan tindakan dan sikap bahwa ekstremisme sebagai upaya untuk mengubah suatu situasi
secara drastis dan ekstrem, dapat terjadi di luar aturan yang berlaku [32]. Dalam konteks agama,
kebiasaan ini sebagian besar ditunjukkan oleh individu atau kelompok yang mengadopsi interpretasi
Al-Qur'an dan Sunnah yang lebih kaku. Persepsi ini cenderung membuat orang-orang ini menolak
semua kearifan budaya atau lokal lainnya karena takut mengorbankan kemurnian Islam [12], [33].
Selain itu, radikalisme atas nama agama biasanya menunjukkan karakteristik intoleransi,
keengganan untuk menghormati pendapat dan keyakinan orang lain, dan kecenderungan untuk
menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka [34]. Adalah bijaksana untuk mengakui
bahwa para pemimpin agama Muslim, khususnya para cendekiawan, memiliki pengaruh yang
signifikan dalam menafsirkan dan mempopulerkan kitab suci dan sejarah Islam. Oleh karena itu,
mereka harus berhati-hati saat menyampaikan pesan kepada pengikut mereka [19], Mengingat
meningkatnya prevalensi radikalisme, yang memainkan peran substansial dalam berbagai konflik
sosial. Mengikuti interpretasi yang tidak tepat dari para pemimpin agama Muslim, faktor-faktor lain
yang dapat bertindak sebagai sumber perpecahan yang penting jika tidak dikelola dan diatur dengan
tepat termasuk keragaman etnis, agama, ras, dan budaya [20].
Pendidikan Agama, pendidikan moral, dan pencegahan radikalisme. Pendidikan Agama, yang
diabadikan melalui kegiatan keagamaan di masyarakat dan pelajaran agama di sekolah, berfungsi
sebagai seruan berkelanjutan bagi individu untuk menunjukkan perilaku yang baik dan keterampilan
komunikasi yang tepat. Selanjutnya, jika dikombinasikan dengan pelajaran etika berbasis
pancasilaisme di sekolah, yang menerapkan sila Pancasila, Pendidikan Agama dapat lebih
memperkuat perilaku siswa, mendorong pencegahan radikalisme pada generasi muda. Berdasarkan
hasil ini, dugaan sementara berikut dirumuskan dalam hipotesis:
H-4: Pendidikan Agama secara tidak langsung mempengaruhi radikalisme melalui Pendidikan
Moral.
39
2 Metoda
1.1 Ukuran sampel
Dalam penelitian ini, teknik analisis jalur digunakan untuk analisis data statistik menggunakan
perangkat lunak PLS-SEM. Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner
yang berfokus pada tiga variabel antara lain Pendidikan Agama [RE], Pendidikan Moral [ME], dan
Pencegahan Radikalisme [RP]. Struktur kuesioner terdiri dari lima indikator untuk setiap variabel.
Setiap indikator terdiri dari empat pernyataan dengan skala respons mulai dari 1 [sama sekali tidak
setuju] hingga 5 [sangat setuju], menghasilkan total 60 item dalam kuesioner. Setelah ini, sampel
penelitian terdiri dari 1200 siswa dari sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan negeri
yang berada di tahun kedua, semuanya berlokasi di ibu kota Jakarta. Sampel ini dipilih menggunakan
teknik pengambilan sampel acak [35], yang memastikan kesempatan yang sama bagi individu untuk
menjadi bagian dari populasi penelitian [36]. Oleh karena itu, keputusan untuk fokus pada kelas dua
sekolah menengah dan sekolah kejuruan adalah karena puncak gejolak mental siswa di tingkat ini,
mengingat fakta bahwa mereka sedang menavigasi tahapan penting dari pengembangan pribadi dan
akademik. Kelas tiga dikecualikan karena siswa pada jenjang ini lebih fokus mempersiapkan ujian
akhir kelulusan. Penting juga untuk dipahami bahwa ibu kota Jakarta dipilih sebagai lokasi
penelitian karena wilayah ini terdiri dari masyarakat Indonesia dengan beragam ciri-ciri perilaku
dari berbagai provinsi di negara ini.
1.2 Pengukuran variabel
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk menganalisis hubungan antara dua
variabel independen [RS dan ME] dan variabel dependen [RP]. Untuk mencapai tujuan, data
dikumpulkan dari peserta penelitian menggunakan kuesioner. Analisis jalur digunakan untuk
menganalisis data yang dikumpulkan dan untuk mengembangkan instrumen penelitian, indikator
disusun berdasarkan definisi operasional masing-masing variabel. Selanjutnya, rencana induk dibuat
untuk memandu pengaturan item untuk instrumen. Instrumen yang terdiri dari total 60 butir ini,
dengan masing-masing variabel terdiri dari 20 butir tersebut kemudian diuji melalui Exploratory
Factor Analysis [EFA] untuk menyusun ulang posisi butir dan sangat berguna untuk menilai dimensi
skala kuesioner [37].
1.3 Prosedur dan Model Penelitian
Penelitian ini dilakukan sejak Januari 2024 hingga Agustus 2024 dan pembagian kuesioner
difasilitasi dengan bantuan beberapa guru dari sekolah konstruksi yang sebelumnya telah
mengadakan rapat koordinasi persiapan penelitian. Dari 1300 responden, 1200 menanggapi
instrumen dengan cepat dan akurat, dan tanggapan cepat ini berfungsi sebagai data penelitian.
Setelah itu, data yang diperoleh menjalani pengujian validitas dan reliabilitas menggunakan model
bootstrapping Smart-PLS. Proses ini memastikan keakuratan dan kredibilitas data yang
dikumpulkan untuk analisis dan interpretasi lebih lanjut. Model kerja kerangka penelitian
ditunjukkan pada Gambar 1.
H-1
H-2
H-4
H-3
Gambar 1 Direct and Indirect Research Model
Religious
Speech
Moral
Education
Radicalism
Prevention
40
3 Hasil dan Pembahasan
3.1 Analisis Demografi
Responden penelitian ini terdiri dari remaja yang bersekolah di sekolah menengah negeri dan
kejuruan, dengan sekitar 80% berusia 18 tahun. Penting juga untuk dicatat bahwa di antara siswa,
42,67% berasal dari jurusan vokasi. Rincian demografis responden disajikan pada Tabel 1.
Table 1 Latar Belakang Demografi Responden
Klasifikasi
Jumlah
Persentase
Total
Jenis Sekolah
Sekolah menengah atas
Sekolah menengah kejuruan
640
560
53.33%
46.67%
1200 [100%]
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
538
662
44.83%
55.17%
1200 [100%]
Usia
17 tahun
18 tahun
19 tahun
86
960
154
7.17%
80%
12.83%
1200 [100%]
Bidang studi
Ilmu Pengetahuan sosial
Ilmu pengetahuan alam
Ketrampilan
438
280
512
36.50%
23.33%
42.67%
1200 [100%]
.
3.2 Analisis Faktor
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 60 item, yang digunakan untuk
mendapatkan data yang relevan sehubungan dengan materi pelajaran. Setelah data yang cukup
dikumpulkan, EFA dilakukan menggunakan SPSS-24 untuk mengidentifikasi faktor umum
berdasarkan kesamaan item dalam variabel yang diukur. Analisis tersebut mengarah pada reposisi
item, dan identifikasi dimensi variabel baru. Untuk setiap variabel, ukuran kecukupan pengambilan
sampel Kaiser-Meyer-Olkin [KMO] ditemukan lebih besar dari 0,50, dengan nilai signifikan kurang
dari 0,05. Jumlah dimensi untuk setiap variabel, seperti yang dipengaruhi oleh EFA, disajikan dalam
Tabel 2.
Table 2 Hasil akhir Komposisi Instrumen
Variabel
Jumlah dimensi
sebelum EFA
Jumlah dimensi
setelah EFA
Keterangan
RS
5
3
Mengkodekan item sesuai dengan
dimensi baru
ME
5
4
Mengkodekan item sesuai dengan
dimensi baru
RP
5
4
Mengkodekan item sesuai dengan
dimensi baru
Semua item dalam instrumen diuji validitas dan keandalannya menggunakan Smart-PLS. Oleh
karena itu, agar suatu instrumen dianggap valid, instrumen tersebut harus memenuhi kriteria r >
0,70. Setelah melakukan uji validitas, ditemukan bahwa semua kecuali dua dari 60 item dalam
instrumen tersebut valid. Keandalan instrumen dinilai melalui perhitungan menggunakan Model
bootstrapping dengan Smart-PLS. Hasil yang diperoleh disajikan pada Tabel 3.
41
Table 3 Keandalan Variabel
Variabel
Cronbach's Alpha
Keandalan Komposit
Varians Rata-rata yang Diekstraksi [AVE]
RS
0.969
0.971
0.628
ME
0.969
0.971
0.627
RP
0.966
0.969
0.610
3.3 Menguji Hipotesis
Berdasarkan perhitungan yang disajikan pada Tabel 3, disimpulkan bahwa semua indikator secara
konsisten mengukur konstruksinya masing-masing secara efektif. Kesimpulan ini didukung oleh
nilai yang diperoleh dari reliabilitas Alpha dan Komposit Cronbach, yang keduanya melebihi
ambang batas 0,70. Nilai Average Variance Extracted [AVE] ditemukan lebih besar dari 0,050, yang
selanjutnya menegaskan keandalan dan validitas instrumen. Selanjutnya, dilakukan analisis statistik
untuk mengkaji dampak langsung dan tidak langsung menggunakan bootstrapping dengan model
Smart-PLS, dan hasil yang diperoleh ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Model Smart-PLS
Resume hasil perhitungan, yang diperoleh melalui bootstrapping model Smart-PLS yang
ditunjukkan pada Gambar 2, diwakili pada Tabel 4. Perhitungan ini memberikan jawaban penting
untuk pertanyaan penelitian.
42
Tabel 4 Hasil analisis
Hasil uji yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh langsung antar
variabel, yang dibuktikan dengan nilai-p menjadi 0,000 <,05. Hasil ini secara bersamaan menjawab
pertanyaan penelitian dan memvalidasi hipotesis. Hipotesis 1 [H-1] mengemukakan bahwa
Pendidikan Agama secara signifikan dan langsung mempengaruhi Pencegahan Radikalisme.
Hipotesis 2 [H-2] berpredikat pengaruh langsung dari Pendidikan Moral terhadap Pencegahan
Radikalisme. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh analisis, menjawab pertanyaan penelitian
pertama mengenai efek signifikan dari Pendidikan Agama dan Pendidikan Moral pada Pencegahan
Radikalisme. Hipotesis 3 [H-3] berusaha menjawab pertanyaan penelitian kedua mengenai pengaruh
Pendidikan Moral terhadap Pendidikan Agama. Analisis mengungkapkan pengaruh langsung dalam
hal ini. Selanjutnya, hasil penelitian juga menunjukkan pengaruh tidak langsung dari Pendidikan
Agama terhadap Pencegahan Radikalisme melalui Pendidikan Moral, dengan nilai p sebesar 0,000
<,05. Hasil ini mendukung Hipotesis 4 [H-4], sehingga menjawab pertanyaan ketiga, memberikan
bukti bahwa Pendidikan Agama secara tidak langsung berdampak pada Pencegahan Radikalisme
melalui Pendidikan Moral.
Perhitungan statistik mengungkapkan pengaruh langsung yang signifikan dari Pendidikan
Agama terhadap Pencegahan Radikalisme, dengan nilai p 0,000 < 0,05. Namun, keunikan tersebut
terletak pada penilaian pengaruh tidak langsung Pendidikan Agama melalui Pendidikan Moral [H-
4], terutama dalam mengevaluasi efektivitas Pendidikan Moral sebagai variabel intervensi terhadap
Pencegahan Radikalisme. Hasil ini dibuktikan dengan nilai p yang diperoleh sebesar 0,000 < 0,05,
St-dev. sebesar 0,015, dan nilai t-statistik sebesar 37,639.
Semua hipotesis dari penelitian ini divalidasi, menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung
dari variabel eksogen pada Pencegahan Radikalisme, dengan Pendidikan Moral bertindak sebagai
faktor intervensi. Hasil yang diperoleh dari analisis tersebut didukung oleh hasil beberapa penelitian
sebelumnya yang telah menunjukkan dampak Pendidikan Agama terhadap Pencegahan Radikalisme
pada siswa [12]; [33]. Beberapa penelitian ini lebih lanjut menjelaskan bahwa materi pelajaran
agama dalam buku ajar, jika diajarkan dan dijelaskan secara terus menerus, akan membawa
pemahaman yang mendalam dalam diri siswa. Oleh karena itu, Pendidikan Agama telah ditemukan
secara signifikan mempengaruhi kesadaran Pendidikan Moral [38];[39] dan Pencegahan
Radikalisme [26]; [40]. Beberapa penelitian juga menekankan peran lingkungan keagamaan dan
Pendidikan Moral dalam mengurangi perilaku radikal [41]; [42].
Pada penelitian ini, analisis lebih lanjut dilakukan dengan membandingkan pengaruh langsung
variabel eksogen pada variabel endogenik. Besarnya dampak langsung Pendidikan Agama terhadap
Pencegahan Radikalisme [p-31]8 dihitung sebesar 0,247 x 0,258 = 0,0615 atau 6,15%, sedangkan
pengaruh langsung Pendidikan Moral terhadap Pencegahan Radikalisme [p-32] ditentukan sebagai
0,704 x 0,704 = 0,4956 atau 49,56%. Membandingkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa dampak
Pendidikan Moral terhadap Pendidikan Agama ditemukan lebih signifikan dibandingkan dengan
Pendidikan Agama tentang Pencegahan Radikalisme. Nilai t statistik juga mendukung hasil ini,
dengan p-32 > p-31 [51,664 > 1 6.482]. Hal ini menunjukkan bahwa Pendidikan Moral, khususnya
pendidikan berbasis Pancasila di Indonesia, lebih penting daripada ajaran agama dalam mencegah
radikalisme. Temuan ini penting, bahwa proses pembelajaran moral harus diperkuat oleh pendidik
yang handal, oleh karena itu pelatihan guru guru yang mengajarkan pendidikan moral perlu
dilaksanakan secara nasional melalui dinas Pendidikan di masing-masing provinsi.
Penelitian ini juga membandingkan besarnya pengaruh tidak langsung Pendidikan Agama
melalui Pendidikan Moral terhadap Pencegahan Radikalisme, dihitung sebagai [p-321] = p-21 x p-
32 = 0,795 x,704 =0,5597 atau 55,97 %. Nilai ini jauh lebih tinggi dibandingkan dampak langsung
Pendidikan Agama terhadap Pencegahan Radikalisme [p-31] = 0,248 x 0,248 = 0,0615, dan magnet
Hypothesis
Original
Sample [O]
Sample
Mean [M]
Standard Deviation
[STDEV]
T-Statistics
[|O/STDEV|]
P -
Values
RS RP
0.248
0.247
0.015
16.482
0.000
RS ME
ME RP
0.795
0.704
0.794
0.704
0.015
0.014
53.685
51.664
0.000
0.000
RS ME
RP
0.559
0.559
0.015
37.639
0.000
43
pengaruhnya adalah p-321 > p-31 [56,05% > 6,10%]. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
Pendidikan Moral, sebagai variabel intervensi secara efektif mempengaruhi Pencegahan
Radikalisme. Faktor ini dapat dikembangkan di berbagai pengaturan seperti keluarga, komunitas,
dan sekolah [22]; [43] dan dalam konteks Indonesia, Pendidikan Moral yang berakar pada filosofi
nasional Pancasila sangat cocok. Negara-negara lain dapat menyesuaikan Pendidikan Moral mereka
agar selaras dengan latar belakang dan nilai-nilai budaya mereka yang unik. Berdasarkan sejarah
perjuangan bangsa Indonesia, Pancasila merupakan rumusan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa
yang telah ada sejak zaman nenek moyang [44].
4 Simpulan
Kesimpulannya, hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa baik
Pendidikan Agama maupun Pendidikan Moral memiliki pengaruh langsung yang signifikan
terhadap Pencegahan Radikalisme di sekolah menengah. Namun, ditemukan bahwa hanya
Pendidikan Moral, sebagai variabel intervensi, berkontribusi secara tidak langsung pada variabel
dependen. Berdasarkan hasil ini, penting untuk memastikan bahwa Pendidikan Agama didorong
untuk berkembang di masyarakat dan harus tetap menjadi bagian integral dari kurikulum di sekolah
tanpa kecuali. Adalah bijaksana untuk mengakui bahwa penghapusan agama dan Pendidikan Moral
dari kurikulum sekolah berpotensi menyebabkan peningkatan radikalisme di kalangan generasi
muda.
Untuk menyelidiki lebih lanjut materi pelajaran ini, direkomendasikan agar penelitian di masa
depan berfokus pada eksplorasi model serupa di lingkungan tingkat sekolah yang berbeda, seperti
di sekolah menengah pertama, atau sekolah di provinsi lain dan negara berkembang. Rekomendasi
ini penting karena melakukan penelitian tentang radikalisme di tingkat sekolah sebelumnya dapat
memberikan wawasan berharga dan berkontribusi pada pengembangan sistem peringatan dini untuk
mengatasi radikalisme secara efektif.
Referensi
[1] B. Yudhistira and A. Fatmawati, “Diversity of Indonesian soto,” Journal of Ethnic Foods, vol.
7, no. 1, p. 27, Dec. 2020, doi: 10.1186/s42779-020-00067-z.
[2] J. H. Prijanto, A. T. Padang, and A. E. Susanti, “Indication of the Effect of Radicalism on
Christian High School,” Advances in Social Science, Education and Humanities Research, vol.
320, no. Icskse 2018, pp. 2529, 2019, doi: 10.2991/icskse-18.2019.4.
[3] R. Bassioni and K. Langrehr, “Effects of Religious Discrimination and Fear for Safety on Life
Satisfaction for Muslim Americans,” J Muslim Ment Health, vol. 15, no. 1, pp. 1–14, 2021, doi:
10.3998/jmmh.133.
[4] R. Rusnaini, R. Raharjo, A. Suryaningsih, and W. Noventari, “Intensification of the Pancasila
Student Profile and Its Implications for Student Personal Resilience,” Jurnal Ketahanan
Nasional, vol. 27, no. 2, pp. 230249, 2021, doi: 10.22146/jkn.67613.
[5] M. Dzofir, “Value Education in Islam Learning and Its Implications for Student Moral
Development,” Jurnal Penelitian, vol. 14, no. 1, p. 77, 2020, doi: 10.21043/jp.v14i1.7401.
[6] Subhani, A. Yani, A. Arifin, T. Aisyah, Kamaruddin, and T. Alfiady, “Student radicalism
ideology prevention strategy: A study at an islamic boarding school in jabal nur, North Aceh,
Indonesia,” Emerald Reach Proceedings Series, vol. 1, no. 2018, pp. 401–407, 2018, doi:
10.1108/978-1-78756-793-1-00019.
[7] A. Adriantoni, Z. Siregar, and N. Nursyamsi, “A Strategy to Prevent Radicalism at Integrated
of Islamic Elementary School Students,” Syaikhuna: Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam, vol.
13, no. 02, pp. 212224, Oct. 2022, doi: 10.36835/syaikhuna.v13i02.6038.
[8] K. Laeheem, “Relationships between Islamic ethical behavior and Islamic factors among
Muslim youths in the three southern border provinces of Thailand,” Kasetsart Journal of Social
Sciences, vol. 39, no. 2, pp. 305311, 2018, doi: 10.1016/j.kjss.2018.03.005.
44
[9] N. Ali, B. Afwadzi, I. Abdullah, and M. I. Mukmin, “Interreligious Literacy Learning as a
Counter-Radicalization Method: A New Trend among Institutions of Islamic Higher Education
in Indonesia,” Islam and Christian-Muslim Relations, vol. 32, no. 4, pp. 383405, 2021, doi:
10.1080/09596410.2021.1996978.
[10] N. Nuriman and F. Fauzan, “The Influence of Islamic Moral Values on the Students’ Behavior
in Aceh,” Dinamika Ilmu, vol. 17, no. 2, pp. 275–290, 2017, doi: 10.21093/di.v17i2.835.
[11] H. S. Zainiyati, “Curriculum, islamic understanding and radical islamic movements in
Indonesia,” Journal of Indonesian Islam, vol. 10, no. 2, pp. 285–307, 2016, doi:
10.15642/JIIS.2016.10.2.285-308.
[12] Nuhayati and A. Hamid, “Radicalism Prevention Through Islamic Religious Education
Learning At Elementary School,” Jurnal Pendidikan Islam, vol. 6, no. 1, pp. 109126, 2020,
doi: 10.15575/jpi.v6i1.8352.
[13] C. Chairunnisa and Istaryatiningtias, “Character Education and Teacher’s Attitudes in
Preventing Radicalization in Junior High School Students in Indonesia,” Eurasian Journal of
Educational Research, vol. 2022, no. 97, pp. 252269, 2022, doi: 10.14689/ejer.2022.97.14.
[14] E. Malihah, B. Maftuh, and R. Amalia, “Tawuran Pelajar: Solidarity in the Student Group and
its Influence on Brawl Behaviour,” International Journal of Indonesian Society and Culture, vol.
6, no. 2, pp. 212221, 2014, doi: 10.15294/komunitas.v6i2.3301.
[15] M. H. Riza, “Digitalization of Da’wah as an Effort to Build a New Islamic Civilization During
the Covid-19 Pandemic,” Fastabiq : Jurnal Studi Islam, vol. 2, no. 1, pp. 45–61, 2021, doi:
10.47281/fas.v2i1.33.
[16] Remiswal, A. Ahmad, A. J. Firman, N. Asvio, and M. Kristiawan, “Teacher Creativity
Counteracts Radicalism in The World of Education Based on Local Cultural Values,”
International Journal of Instruction, vol. 16, no. 2, pp. 10031016, 2023, doi:
10.29333/iji.2023.16253a.
[17] Zarkasih, N. Yusro, R. Vebrianto, and M. Thahir, “Identifying Radicalism Potential in Senior
High School Students in Riau Province .,” Journal of Islamic and Social Studie, vol. 8, no. 1,
pp. 98110, 2022, doi: 10.30983/islam_realitas.v8i1.5286.
[18] B. Hariyanto, “The Role of the Religious Leader in Combating Radicalism and Terrorism
[Discourse Analysis of the NU’s Da’wah Political Language,” Proceedings of the International
Congress of Indonesian Linguistics Society [KIMLI 2021, vol. 622, no. Kimli, pp. 2327, 2021,
[Online]. Available: https://doi.org/10.2991/assehr.k.211226.006
[19] M. S. Muthuswamy, “The Role of Sharia and Religious Leaders in Influencing Violent
Radicalism,” Science, Religion and Culture, vol. 3, no. 1, pp. 118, 2016, doi:
10.17582/journal.src/2016/3.1.1.18.
[20] A. N. Murad and D. Rizki, “Development of Religious Moderation Study on Prevention of
Radicalism in Indonesia: A Systematic Literature Review Approach,” POTENSIA: Jurnal
Kependidikan Islam, vol. 8, no. 2, pp. 198224, 2023, doi: 10.24014/potensia.v8i2.20727.
[21] C. N. Annobil, “Predictors of the Basic School Religious and Moral Education Curriculum
Implementation in Cape Coast, Ghana,” European Journal of Research in Social Sciences, vol.
8, no. 4, pp. 3755, 2020, doi: 10.46529/socioint.2020226.
[22] Y. Harmawati, Sapriya, A. Abdulkarim, and P. Bestari, “Systematic Literature Review of Moral
Education in Schools,” Journal of Positive School Psychology, vol. 6, no. 8, pp. 87168728,
2022, [Online]. Available: https://journalppw.com/index.php/jpsp/article/view/11357/7338
[23] V. Llorent-Bedmar, V. C. Cobano-Delgado Palma, and M. Navarro-Granados, “Islamic religion
teacher training in Spain: Implications for preventing islamic-inspired violent radicalism,”
Teach Teach Educ, vol. 95, Oct. 2020, doi: 10.1016/j.tate.2020.103138.
[24] H. M. D. Walid, “Implementation of Pancasila Values Against the Prevention of Radicalism
Movement in the Digital Age,” Indonesian Journal of Counter Terrorism and National Security,
vol. 1, no. 2, pp. 223246, 2022, doi: 10.15294/ijctns.v1i2.59813.
[25] S. Sudjito, H. Muhaimin, and A. S. S. Widodo, “Pancasila and Radicalism: Pancasila
Enculturation Strategies As Radical Movement Preventions,” Jurnal Dinamika Hukum, vol. 18,
no. 1, p. 69, 2018, doi: 10.20884/1.jdh.2018.18.1.1686.
45
[26] S. D. Ariyani, “Is Moral Education Effective in Preventing Radicalism and Terrorism?,”
Indonesian Journal of Counter Terrorism and National Security, vol. 2, no. 1, pp. 115146,
2023, doi: 10.15294/ijctns.v2i1.66161.
[27] C. Winter, C. Heath-Kelly, A. Kaleem, and C. Mills, “A moral education? British Values,
colour-blindness, and preventing terrorism,” Crit Soc Policy, vol. 42, no. 1, pp. 85–106, Feb.
2022, doi: 10.1177/0261018321998926.
[28] F. M. P. Keraf and F. L. Kollo, “Preventing Radicalism Through The Values of Pancasila and
Instilling the Value of Character in Young Citizens,” International Journal for Educational and
Vocational Studies, vol. 1, no. 4, Jul. 2019, doi: 10.29103/ijevs.v1i4.1470.
[29] M. A. Al-Hashimi, T. A. Kristianto, and A. D. Idrissa, “Deradicalization Through the
Encouragement of Pancasila Values Education: Challenges for Indonesia and the International
Community,” Jurnal Panjar: Pengabdian Bidang Pembelajaran, vol. 4, no. 1, Feb. 2022, doi:
10.15294/panjar.v4i1.55020.
[30] M. Ma’arif, Z. Nuryana, and I. A. Saidi, “Character Education in the New Paradigm of Pancasila
Citizenship Education,” Universal Journal of Educational Research, vol. 8, no. 12, pp. 6893
6901, 2020, doi: 10.13189/ujer.2020.081255.
[31] T. M. Ali, R. Azhari, M. I. Kom, S. Rosyad, U. La, and T. Mashiro, “Moral Education and
Pancasila as the Ideology for the Country of Indonesia Member of the Regional House of
Representative of Indonesia or the Indonesian Deliberative Assembly in Banten Province-B-64
1”, doi: 10.47772/IJRISS.
[32] M. Adnan and A. Amaliyah, “Radicalism Vs Extremism: The Dilemma of Islam And Politics
In Indonesia,” Jurnal Ilmu Sosial, vol. 20, pp. 24–48, doi: 10.14710/jis.20.1.2021.24.
[33] [33] Z. Abidin and R. U. Fitriana, “Inculcating Religious Moderation Values to Counter
Radicalism in Islamic Junior Secondary School Students,” Edukasia Islamika, vol. 6, no. 1, pp.
5471, 2021, doi: 10.28918/jei.v6i1.3325.
[34] S. Sarbini and Moh. Dulkiah, “Religious Attitudes and Radical Behavior of Islamic Boarding
School Students,” Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi, vol. 9, no. 2, pp. 235–244, May 2023,
doi: 10.15575/psy.v9i2.8723.
[35] M. M. Rahman, “Review and Set of Recommenda-tions,” 2023. Accessed: Aug. 10, 2023.
[Online]. Available: http://www.scientificia.com/index.php/JEBE/article/view/201
[36] I. Etikan and K. Bala, “Sampling and Sampling Methods,” Biom Biostat Int J, vol. 5, no. 6, pp.
215217, 2017, doi: 10.15406/bbij.2017.05.00149.
[37] J. Baglin, “Improving Your Exploratory Factor Analysis for Ordinal Data : A Demonstration
Using FACTOR,” Practical Assessment, Research & Evaluation, vol. 19, no. 5, pp. 1–14, 2014,
doi: 10.1146/annurev.psych.53.100901.135239.
[38] A. D. Manea, “Influences of Religious Education on the Formation Moral Consciousness of
Students,” Procedia Soc Behav Sci, vol. 149, pp. 518–523, Sep. 2014, doi:
10.1016/j.sbspro.2014.08.203.
[39] A. Khanam, Z. Iqbal, and Q. Kalsoom, “Effect of Religious Education on the Moral
Development of Children,” International Journal of Management [IJM, vol. 11, no. 11, pp.
23142329, 2020, doi: 10.34218/IJM.11.
[40] P. Trees and J. D. R. Doret, “The Influence of Education and Socialization on Radicalization:
An Exploration of Theoretical Presumptions and Empirical Research,” 2011, doi:
10.1007/s10566-011-9155-5.
[41] B. Abida, L. Jingwei, and M. Hina Qayum3and Amr, “Environmental and Moral Education for
Effective Environmentalism: An Ideological and Philosophical Approach,” Int. J. Environ. Res.
Public Healt20, vol. 19, no. 2022, pp. 118, Nov. 2022, doi: 10.3390/ijerph192315549.
[42] R. Mckay, R. Holloway, and H. Whitehouse, “Religion and Morality,” Psychol Bull, vol. 141,
no. 2, 2015, doi: 10.1037/a0038455.
[43] A. Rinenggo and E. Kusdarini, “Moral values and methods of moral education at Samin
community,” Jurnal Civics: Media Kajian Kewarganegaraan, vol. 18, no. 1, pp. 26–37, Apr.
2021, doi: 10.21831/jc.v18i1.34580.
[44] Ranny Rataty, Internalizing Pancasila through Pop Culture and Youth Community,” Jurnal
Masyarakat dan Budaya, vol. 24, no. 2, 2022, doi: 10.55981/jmb.1601.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Religious studies have lately been considered a source of the spread of radicalism that is growing massively and targeting all ages, especially students. This study aims to identify and investigate religious teachers’ creativity in countering radicalism based on local cultural values. This study hypothesizes that there is a relationship between the creativity of religious teachers and efforts to counteract radicalism based on local cultural values. This study uses a mixed method convergent design in Lombok and Makassar which were determined intentionally through purposive sampling technique. The research was carried out from August to October 2021. The population in this study were all religious teachers (23 people) with a saturated sample at the research locus. The measurement variables in this study include aspects of the perspectives, policies, and practices of religious teachers in counteracting radicalism based on local cultural values. Qualitative and quantitative data analysis is carried out descriptively. The results show that the creativity of religious teachers has a relationship and occupies a central position to counteract radicalism based on local cultural values. Meanwhile, overall, there is a close relationship between the creativity of religious teachers in aspects of perspective, policy, and practice with efforts to counteract radicalism based on local cultural values.
Article
Full-text available
Indonesia is a country that has extraordinary diversity, from culture to religion. Indonesia has a state basis, namely Pancasila, where every item of Pancasila has a meaning or content that must be understood by every citizen. Every Indonesian citizen is obliged to choose one religion that he adheres to. Indonesia has six religions that are mutually tolerant. However, there are some people who do not understand Pancasila so that radical movements appear. The purpose of this study is to examine the important role of Pancasila in society and to analyze the importance of understanding Pancasila values in everyday life for the sake of creating tolerance among others. While this research method is a qualitative descriptive research method. The results of this study in this digital era, Indonesian people will understand the importance of Pancasila values as the basis of the state that must be implemented in everyday life. Indonesian people will also have a high sense of tolerance among others and uphold the motto of Bhinneka Tunggal Ika. So that Indonesia will become a harmonious religious country without any elements of war from within, let alone religious social movements that smell elements of radicalism.
Article
Full-text available
This article aims to record the development of literature on religious moderation and its efforts to prevent radicalism. The research method used is Systematic Literature Review (SLR), which is a method of collecting several articles, identifying, analyzing data, and conducting a critical review of the collected research data. The results of this study are known that the development of religious moderation studies to eradicate radicalism has been limited over the past five years. Previous researchers tend to develop more literature studies, while field research is only centralized in educational institutions. Two tendencies of researchers examine this topic, namely first the study of texts or narratives, the existing research dismantles radical ideas that are veiled in society through counter-religious texts. Second, in the field, researchers agree that educational institutions are a potential forum for the spread of radical understanding. In the future, the authors can conduct further investigations on the empirical spread of radicalism among young people, especially social media users.
Article
Full-text available
The purpose of this study was to determine the school's strategy for preventing radicalism in integrated Islamic elementary schools. The type of research used was qualitative with data collection techniques of observation, interviews and documentation, then analyzed the data by reduction. The results of this study indicate, first: The integration of the Integrated Islamic Elementary School learning curriculum in the city of Padang is divided into four types, namely strengthening the curriculum that applies to strengthening character, and strengthening students' personal in order to face global challenges. Second, the strategy in extracurricular activities is carried out in a structured and systematic pattern. The three environmental creation strategies are pursued in an Islamic atmosphere, non-discriminatory, based on genetic characteristics, upholding ethical values, respecting cultural pluralism, and being polite to school members. The four strategies for routine, spontaneous and exemplary activities in an effort to prevent radicalism are carried out by strengthening character, combining learning activities, nurturing and habituation in the form of worship activities, order, neatness and cleanliness, eating and drinking, and social behaviour.
Article
Full-text available
Deradicalisation is every effort to neutralize radical ideals through interdisciplinary approaches, such as law, psychology, religion, economics, education, humanity and socio-culture for those who are influenced or exposed to radical and / or pro-violence. Implementation of Deradicalization Program (Development) can be done through Deradicalization in Prisons with the Target of terrorism prisoners who are in prison by identifying, Rehabilitation, Reeducation and Resosialisation. Deradicalisation has a goal, among other things, to restore the actors involved who have a radical understanding to return to a more moderate mindset. Deradicalisation of terrorism is very important because terrorism has become a serious problem for the international community because at any time it will endanger the national security for the country hence deradicalization program is needed as a formula of prevention and prevention of radical understanding like terrorism.
Article
Full-text available
Some experts believe that students are considered to be a distinctive target for radical groups’ mobilization, especially for those who are enrolled for Rohis activities at schools. This is in line with some survey result revealing that the rampant radicalism among students has increased. Unfortunately, studies on radicalism prevention tend to be more theoretical and focusing more on MA / SMA / SMK students. This study aims to reveal the rationale behind the radicalism prevention which includes some various efforts to prevent radicalism, and the results accomplished from such effort in Madrasah Tsanawiyah (MTs) students. This is significantly important because MTs students are in their early adolescence phase that is unstable, imitative, and aggressive which makes them vulnerable for being exposed to radicalism. This study utilizes a qualitative approach. The data were collected through interviews, observations, and documentation, which were then, analyzed using the interactive models of Miles, Huberman, and Saldana which consisted of condensation, presentation, and verification. This study suggested that radicalism prevention was driven by the deep concern of principals and teachers of Madrasah over the rise of students who are exposed to radicalism. Madrasahs are seen to be seriously giving vaccines to students so that they are immune from the radicalism virus. The vaccine is internalized systemically and continuously involving the process of strengthening nationalism in daily routine and extracurricular activities, strengthening the counter-radicalization through the subject of PAI and PPKn, and developing the Aswaja-NU based curriculum. The vaccine is at a certain level capable of establishing students’ religious moderation values ​​as well as it can strengthen their immunity from the confrontation of the radicalism virus. Student immunity, of course, is not interminable for the conflict between vaccines and viruses is timeless so that Madrasah must always continuously update the types of vaccines and the internalization methods.
Article
Full-text available
p class="abstrak">This study aims at identifying the radicalism potential in senior high school students or equivalent levels including secondary schools and vocational schools in Riau Province. This study uses a survey design involving 230 students selected through random sampling consisting of 65 senior high school students, 100 vocational high school students, and 65 Islamic senior high school students. The collected data were analyzed qualitatively and quantitatively. The findings showed the radicalism potential of 20% in secondary school students, of 30.5% in vocational school students, and of 19.8% in Islamic secondary school students. Around 23.4% of the students were identified to have radicalism potential such as having fundamentalist behavior. The percentage obtained in this study is hoped to encourage the teaching of religious tolerance, universal morality, and formal education. Another implication for the people who are related to the education of youth is that they should pay more attention more to difficult social issues, especially those that are relevant to the use of social media. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi radikalisme pada siswa SMA/MA di Provinsi Riau. Designm penelitian ini menggunakan survey melibatkan 230 siswa yang diambil secara random sampling yang terdiri dari 65 siswa SMA, 100 siswa SMK, dan 65 SMA Islam. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan potensi radikalisme pada siswa SMA 20%, siswa SMK 30,5%, dan siswa MAN Islam 19,8%. Sekitar 23,4% siswa diidentifikasi memiliki potensi radikalisme seperti berperilaku fundamentalis. Persentase yang didapat dalam penelitian ini kurang sehingga diharapkan dapat dilaksanakan pengajaran tentang pentingnya toleransi beragama, akhlak, dan pendidikan formal. Implikasi lain bagi masyarakat yang terkait denganperan pemuda harus lebih memperhatikan kisruh yang ada, terutama yang relevan dengan penggunaan media sosial di era milenial ini </p
Article
Full-text available
The dynamics of social, national and state life continue to develop along with the development of phenomena, science, and technology. Nowadays, national problems continue to appear in the form of various phenomena that can be said to be actual, but clichéd. In the world of education, recently, for example, several viral news have appeared in the mass media and social media about problems that can be said to be clichés, namely intolerance. News or news about the issue of intolerance, for example, is a recorded conversation between the Principal of SMKN 2 Padang and a student's parents regarding the issue of uniforms for students to wear headscarves even though they are not Muslim. It can be said that this problem is not a new problem, because a few years ago there was also a problem that was essentially the same, only in a different context, namely the prohibition of the use of the hijab in several schools in the province of Bali. Then several other problems also emerged, such as the news about the case of a teacher at SMAN 58 Ciracas, East Jakarta who intervened in the election of the OSIS chairman, as well as what happened at SMAN 6 Depok which had gone viral on social media regarding the same issue, namely the problem of selecting the OSIS chairman. All of these problems are about intolerance. However, there are not a few other problems that occur in the world of primary and secondary education such as problems of radicalism and bullying. These problems are considered as a violation of the values of Pancasila. Therefore, the Ministry of Education and Culture continues to strive to prepare and implement appropriate policies to overcome these various problems. One of the efforts made is by initiating the "Profil Pelajar Pancasila", an ideal profile of Indonesian students, of course according to Pancasila. The purpose of this study is to find out more about the "Profil Pelajar Pancasila", and what its implications are for students' personal resilience. The method used in this study is a qualitative method. The results of the study indicate that the profile referred to in the "Profil Pelajar Pancasila are noble, independent, critical reasoning, creative, mutual cooperation and global diversity. The Ministry of Education and Culture in the idea of a student profile has conveyed what are the indicators of the "Profil Pelajar Pancasila". This profile is an indicator used to measure how the criteria for Indonesian students are in accordance with Pancasila, which was initiated by the Ministry of Education and Culture's Character Strengthening Center. In his study of the "Profil Pelajar Pancasila" which contains characters that refer to Pancasila, it has implications for students' personal resilience, where the Pancasila Student Profile directs students to become individuals with character in accordance with Pancasila which is summarized in a "Profil Pelajar Pancasila".
Article
Previous studies on radicalism among Islamic school students mostly focused on those residing in boarding schools. However, some students did not reside in the boarding school but usually participated in radicalism as "non-resident students". This study aimed to examine the influence of religious attitudes on radical behavior among non-resident students. A quantitative correlational approach was used and involved 100 subjects aged 12-20 years from 10 boarding schools in Cirebon Regency, West Java. The results showed that religious attitudes significantly influenced radical behavior of non-resident students, with a contribution of 32%.