ArticlePDF Available

DINAMIKA SHARING ECONOMY: APROPRIASI KARYA DESAIN GRAFIS MELALUI CROWDSOURCING

Authors:

Abstract

Penelitian ini mengkaji bagaimana praktik crowdsourcing dalam kontes desain grafis di platform digital memunculkan bentuk baru dari eksploitasi di era kapitalisme digital. Penelitian ini berfokus pada dua kelompok utama: komunitas desainer grafis online otodidak di desa Kaliabu, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dan para desainer grafis online akademis di Yogyakarta. Dengan menggunakan teori Christian Fuchs mengenai tenaga kerja digital (digital labour), penelitian ini menggambarkan bagaimana desainer terlibat dalam kontes desain tanpa adanya jaminan kompensasi, yang pada akhirnya menciptakan nilai lebih (surplus value) yang dieksploitasi oleh kapitalis digital. Melalui studi kasus dan wawancara mendalam dengan desainer dari kedua kelompok, penelitian ini mengungkapkan bahwa digitalisasi kerja memberikan keuntungan ganda bagi pemilik platform digital. Mereka dapat memanfaatkan tenaga kerja gratis yang disumbangkan oleh desainer, serta mendapatkan keuntungan dari apropriasi data dan karya yang dihasilkan desainer tanpa kompensasi yang layak. Dalam proses ini, apropriasi terjadi ketika karya-karya yang tidak memenangkan kontes dan data pribadi desainer digunakan oleh pihak ketiga tanpa sepengetahuan atau izin mereka, menjadikan desainer sebagai subjek eksploitasi yang tidak hanya merugikan secara finansial tetapi juga dalam aspek data pribadi mereka. Penelitian ini menunjukkan bahwa praktik-praktik crowdsourcing dalam industri desain grafis digital perlu ditinjau kembali.
DINAMIKA SHARING ECONOMY:
APROPRIASI KARYA DESAIN GRAFIS MELALUI CROWDSOURCING
Petrus Gogor Bangsa1, Wening Udasmoro2, Ratna Noviani3
1,2,3 Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada
Jl. Teknika Utara, Pogung, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta, 55284
Telp 0811-250-8687
email: petrus.gogor.bangsa@mail.ugm.ac.id1, udasmoro@ugm.ac.id2, ratna.noviani@ugm.ac.id3
Abstrak
Penelitian ini mengkaji bagaimana praktik crowdsourcing dalam kontes desain grafis di platform
digital memunculkan bentuk baru dari eksploitasi di era kapitalisme digital. Penelitian ini
berfokus pada dua kelompok utama: komunitas desainer grafis online otodidak di desa Kaliabu,
Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dan para desainer grafis
online akademis di Yogyakarta. Dengan menggunakan teori Christian Fuchs mengenai
tenaga kerja digital (digital labour), penelitian ini menggambarkan bagaimana desainer terlibat
dalam kontes desain tanpa adanya jaminan kompensasi, yang pada akhirnya menciptakan nilai
lebih (surplus value) yang dieksploitasi oleh kapitalis digital. Melalui studi kasus dan
wawancara mendalam dengan desainer dari kedua kelompok, penelitian ini mengungkapkan
bahwa digitalisasi kerja memberikan keuntungan ganda bagi pemilik platform digital.
Mereka dapat memanfaatkan tenaga kerja gratis yang disumbangkan oleh desainer, serta
mendapatkan keuntungan dari apropriasi data dan karya yang dihasilkan desainer tanpa
kompensasi yang layak. Dalam proses ini, apropriasi terjadi ketika karya-karya yang tidak
memenangkan kontes dan data pribadi desainer digunakan oleh pihak ketiga tanpa
sepengetahuan atau izin mereka, menjadikan desainer sebagai subjek eksploitasi yang
tidak hanya merugikan secara finansial tetapi juga dalam aspek data pribadi mereka.
Penelitian ini menunjukkan bahwa praktik-praktik crowdsourcing dalam industri desain
grafis digital perlu ditinjau kembali.
Kata Kunci: apropriasi, crowdsourcing, eksploitasi, desain grafis, kapitalisme digital,
pekerjaan spekulatif.
Abstract
This study examines how crowdsourcing practices in graphic design contests on digital platforms
give rise to new forms of exploitation in the era of digital capitalism. The research focuses on two
main groups: the community of self-taught online graphic designers in Kaliabu village, Salaman
Sub-district, Magelang Regency, Central Java, and the academic online graphic designers in
Yogyakarta. Using Christian Fuchs' theory of digital labour, this study illustrates how designers
engage in design contests without any guarantee of compensation, ultimately creating surplus
value exploited by digital capitalists. Through case studies and in-depth interviews with designers
from both groups, the research reveals that the digitalization of work provides dual benefits to
digital platform owners. They can exploit the unpaid labor contributed by designers and profit
from the appropriation of data and works produced by designers without fair compensation. In
this process, appropriation occurs when the designs that do not win contests and personal data
of designers are used by third parties without their knowledge or consent, making designers
subjects of exploitation that is detrimental not only financially but also in terms of their personal
data. This study indicates that the crowdsourcing practices in the digital graphic design industry
need to be re-evaluated.
Keywords: appropriation, crowdsourcing, digital capitalism, exploitation, graphic design,
speculative work.
ANDHARUPA: Jurnal Desain Komunikasi Visual & Multimedia
Vol. 10 No. 03 September 2024
publikasi.dinus.ac.id/index.php/andharupa
412
_________________________
Received: 28 Agustus 2024
Revised: 21 September 2024
Accepted: 30 September 2024
__________________
_________________________
Available online at:
bit.do/andharupa
30 September 2024
_________________________
1. PENDAHULUAN
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan teknologi digital telah
membawa perubahan signifikan dalam industri desain grafis. Platform digital
seperti 99designs, Fiverr, dan Upwork menyediakan ruang bagi desainer grafis untuk
mengakses peluang kerja dari berbagai belahan dunia. Namun, di balik
kemudahan akses ini, terdapat praktik-praktik yang menimbulkan pertanyaan
tentang keadilan dan apropriasi nilai lebih dari kerja digital (Fuchs et.al., 2024:141;
Krotz, 2024: 208).
Para desainer grafis yang bekerja di platform-platform ini seringkali harus
mengikuti kontes desain dengan harapan karya mereka akan dipilih dan
mereka akan mendapatkan bayaran. Kenyataannya, hanya sebagian kecil dari
desainer yang berhasil memenangkan kontes tersebut, sementara mayoritas dari
mereka menghabiskan banyak waktu dan usaha tanpa mendapatkan
kompensasi yang layak (Fuchs, 2024a:471). Fenomena ini dikenal sebagai
pekerjaan spekulatif, di mana desainer bekerja tanpa jaminan pembayaran, hanya
dengan harapan mendapatkan bayaran di kemudian hari jika karya mereka terpilih
(Dujarier, 2023:112-113; Fuchs, 2020:10).
Menurut teori nilai lebih yang dikemukakan oleh Karl Marx, nilai lebih adalah nilai yang
dihasilkan oleh pekerja melebihi nilai yang dibutuhkan untuk mereproduksi tenaga
kerjanya. Dalam konteks digital, kapitalis digital mengambil nilai lebih dari waktu dan
usaha yang dihabiskan oleh para desainer grafis tanpa memberikan kompensasi yang
adil (Suseno, 2016). Selain itu, platform digital juga mengumpulkan data dari aktivitas
pengguna dan menjadikannya komoditas yang dijual kepada pengiklan, menciptakan
model bisnis di mana kerja pengguna diubah menjadi komoditas data yang sangat
berharga (Fuchs, 2014).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji praktik apropriasi nilai lebih dalam pekerjaan
desain grafis digital, dengan fokus pada kerja spekulatif dan eksploitasi yang dialami oleh
desainer di platform crowdsourcing. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
mengidentifikasi dan memahami pengalaman desainer grafis yang berpartisipasi dalam
kontes desain di platform digital; menganalisis bagaimana kapitalis digital
mengeksploitasi kerja gratis desainer grafis melalui model crowdsourcing; dan
mengeksplorasi praktik apropriasi data dan privasi yang dilakukan oleh platform digital
terhadap para penggunanya (Carlos, 2024:98). Hill (2021:2) menekankan bahwa dalam
kapitalisme platform, platform digital mengatur pengalaman penggunanya dalam
kerangka agensi digital yang tertib, yang kemudian memungkinkan kapital untuk
mengalir sementara moralitas terabaikan.
Penelitian ini memberikan kontribusi baru dalam literatur yang ada dengan
menggabungkan analisis teori nilai lebih Marx dengan konteks digitalisasi dan
Bangsa et al., Dinamika Sharing Economy... 412-425
413
kapitalisme platform (Boyer, 2022:2). Sebelumnya, penelitian tentang desain grafis dan
platform digital lebih banyak berfokus pada aspek teknis dan estetika dari desain,
sementara aspek ekonomi dan sosial dari pekerjaan desain grafis dalam konteks digital
seringkali terabaikan. Dengan demikian, penelitian ini memberikan wawasan baru
tentang dinamika kekuasaan dan eksploitasi dalam ekonomi digital, serta
menggarisbawahi pentingnya regulasi yang lebih ketat untuk melindungi hak-hak
desainer grafis di era digital (Schneider, 2022:19).
Penelitian ini menggunakan temuan empiris dengan teori nilai lebih Marx, yang
menyatakan bahwa kapitalis digital mengambil nilai lebih dari kerja yang tidak dibayar
oleh pekerja digital (Azhar, 2021:167). Selain itu, penelitian ini juga menggunakan
kerangka kerja Fuchs (2014) tentang eksploitasi digital dan apropriasi data, yang
menyoroti bagaimana platform digital mengubah aktivitas pengguna menjadi komoditas
data yang dijual kepada pengiklan. Dengan menggabungkan dua teori ini, penelitian ini
berusaha untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang praktik
apropriasi nilai lebih dalam pekerjaan desain grafis digital (Negri, 2024:459).
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi bagaimana
praktik crowdsourcing dalam kontes desain grafis di platform digital menciptakan
bentuk baru dari eksploitasi di era kapitalisme digital. Fokus utama penelitian ini adalah
pada komunitas desainer grafis online otodidak di desa Kaliabu, Kecamatan Salaman,
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dan para desainer grafis online akademis di
Yogyakarta. Pendekatan kualitatif dipilih karena memungkinkan pemahaman yang
mendalam tentang pengalaman subjektif dan konteks sosial yang membentuk interaksi
para desainer dengan platform digital.
Proses pengumpulan data dimulai dengan wawancara mendalam yang dilakukan
dengan desainer dari kedua komunitas tersebut. Wawancara ini bertujuan untuk
menggali pengalaman dan perspektif para desainer mengenai partisipasi mereka dalam
kontes desain di platform digital. Desainer dari desa Kaliabu, yang sebagian besar belajar
desain secara mandiri, memberikan wawasan tentang tantangan unik yang mereka
hadapi dalam industri yang kompetitif ini. Mereka berbagi cerita tentang bagaimana
mereka berpartisipasi dalam banyak kontes tanpa jaminan kemenangan atau
kompensasi, dan bagaimana mereka mengatasi keterbatasan akses ke pendidikan
formal dalam desain grafis.
Sementara itu, para desainer grafis akademis di Yogyakarta, dengan latar belakang
pendidikan formal mereka, menawarkan pandangan yang berbeda. Mereka seringkali
memiliki akses ke lebih banyak sumber daya dan jaringan profesional, namun tetap
menghadapi tantangan dalam memperoleh pengakuan dan kompensasi yang layak
melalui platform crowdsourcing. Wawancara ini difokuskan pada motivasi mereka untuk
berpartisipasi dalam kontes, pandangan mereka tentang keadilan dalam sistem ini, dan
persepsi mereka tentang bagaimana karya dan data mereka digunakan oleh platform
digital.
414
Bangsa et al., Dinamika Sharing Economy... 412-425
Selain wawancara, analisis literatur juga menjadi komponen kunci dalam penelitian ini.
Literatur yang dianalisis mencakup referensi yang membahas kapitalisme digital dan
tenaga kerja digital (digital labour), dan praktik crowdsourcing. Karya-karya utama
seperti “Digital Labour and Karl Marx” oleh Christian Fuchs dan “Crowdsourcing: Why
the Power of the Crowd is Driving the Future of Business” oleh Jeff Howe digunakan
sebagai landasan teoritis untuk memahami bagaimana konsep-konsep ini berlaku dalam
konteks desain grafis digital. Analisis literatur ini membantu untuk membingkai temuan
empiris dalam konteks teori yang lebih luas, menyediakan landasan untuk memahami
bagaimana praktik crowdsourcing berfungsi dalam struktur kapitalisme digital.
Dengan menggabungkan wawasan empiris dari desainer dengan analisis teoritis yang
mendalam, penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih kaya
tentang praktik crowdsourcing dalam industri desain grafis digital. Ini juga menyoroti
kebutuhan mendesak untuk regulasi yang lebih baik dan pendekatan alternatif yang
dapat melindungi desainer dari eksploitasi ekonomi dan data dalam ekosistem digital
yang berkembang pesat ini.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana apropriasi sebagai bentuk dari
eksploitasi terjadi pada komunitas desainer grafis online otodidak di Kaliabu, Kecamatan
Salaman, Kabupaten Magelang, dan desainer grafis online akademis di Yogyakarta
(Fuchs, 2024a:473). Kedua komunitas ini terlibat dalam praktik crowdsourcing di
platform digital, yang seringkali menghasilkan eksploitasi melalui penggunaan karya dan
data mereka tanpa kompensasi yang memadai (Dujarier, 2023:112; Fuchs, 2020:69).
3.1 Komunitas Desainer Grafis Online Otodidak di Kaliabu
Komunitas desainer grafis online otodidak di Desa Kaliabu, Kecamatan Salaman,
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terdiri dari individu-individu yang secara mandiri
belajar desain grafis. Desa ini terletak di dataran tinggi sekitar 23 kilometer barat daya
dari kota Magelang dan 17 kilometer barat dari Candi Borobudur. Masyarakat desa
Kaliabu sebagian besar bergelut di sektor informal, dan banyak pemuda desa yang
menganggur atau putus sekolah terlibat dalam aktivitas yang mengganggu keamanan
desa.
Perubahan signifikan mulai terjadi pada tahun 2010 ketika internet masuk ke desa ini
melalui program pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur teknologi informasi.
Para pemuda desa mulai beralih dari profesi di sektor informal dan aktivitas yang kurang
produktif ke profesi di bidang desain grafis setelah diperkenalkan pada kontes desain
logo di platform seperti 99designs.com oleh AB (pria, wawancara, 2021), seorang
mantan sopir bus yang saat menjadi pelopor dalam komunitas ini berusia 40 tahun. AB,
yang sebelumnya sering menghabiskan waktu di warung internet untuk kegiatan tidak
produktif, menemukan bahwa mengikuti kontes desain logo dapat menjadi sumber
penghasilan yang signifikan. Setelah beberapa kali mencoba, ia akhirnya memenangkan
415
Bangsa et al., Dinamika Sharing Economy... 412-425
hadiah besar pertama sebesar 400 US dollar, yang jauh lebih besar dari penghasilannya
sebagai sopir bus. Kesuksesan AB menarik perhatian pemuda desa lainnya. Mereka
belajar desain grafis secara otodidak dan mulai aktif berpartisipasi dalam kontes desain
di platform digital. AB sendiri mengajari mereka cara menggunakan perangkat lunak
desain dan mengajarkan strategi untuk memenangkan kontes. Mereka memanfaatkan
internet dan Google Translate untuk berkomunikasi dengan klien internasional dan
mengembangkan keterampilan mereka secara mandiri. Pengembangan teknologi
merupakan hasil sinergi dari berbagai kepentingan yang terkonsolidasi, dengan tujuan
akhir untuk mencapai sasaran spesifik yang memberikan manfaat bagi para pemangku
kepentingan utama dan investor. (Mahomedy, 2020:77).
Seiring waktu, jumlah warga yang terlibat dalam kontes desain meningkat pesat. Hingga
kini, sekitar 2.000 orang dari Kecamatan Salaman menjadi desainer aktif di platform
99designs, menjadikan daerah ini sebagai basis terbesar desainer logo di Indonesia
untuk platform crowdsourcing tersebut. Popularitas komunitas ini juga pernah menarik
perhatian manajemen 99designs, yang mengadakan pertemuan tahunan di Indonesia
untuk memberikan apresiasi kepada desainer mereka. Salah satu desainer dari
Magelang bahkan terpilih untuk merancang ulang logo platform 99designs. Komunitas
desainer grafis di Kaliabu telah menunjukkan bahwa dengan akses ke teknologi digital
dan internet, bahkan desa kecil dan terpencil dapat menjadi pusat inovasi dan aktivitas
ekonomi yang signifikan. Namun, keberlanjutan kesuksesan ini memerlukan kesadaran
dan adaptasi terhadap perubahan di pasar digital, serta upaya untuk memanfaatkan
pendapatan mereka secara lebih produktif (Prodnik, 2023:54).
Dalam konteks ini, apropriasi terjadi ketika karya-karya mereka yang tidak
memenangkan kontes tetap dimanfaatkan oleh platform atau pihak ketiga tanpa izin
atau kompensasi. Misalnya, meskipun karya mereka tidak dipilih sebagai pemenang,
tidak ada jaminan bahwa karya tersebut tidak akan digunakan secara ilegal oleh pihak
lain. Ini menempatkan desainer dalam posisi yang sangat rentan, di mana mereka telah
menginvestasikan waktu dan keterampilan mereka tanpa memperoleh imbalan yang
sesuai. Sebagai contoh konkret, EN (wawancara November 2014 dan September 2015),
seorang desainer otodidak, harus melakukan submit karya lebih dari seratus kali
sebelum akhirnya mendapatkan kemenangan pertamanya. Proses panjang ini
menyoroti ketidakpastian dan risiko yang dihadapi oleh para desainer dalam sistem
crowdsourcing. Tidak ada jaminan bahwa karya mereka yang tidak menang tidak akan
digunakan oleh pihak lain tanpa izin. Hal ini menunjukkan bagaimana pemilik platform
mendapatkan keuntungan ganda: pertama, dari kontribusi karya yang tidak dibayar, dan
kedua, dari potensi penggunaan karya tersebut tanpa memberikan kompensasi yang
layak kepada desainer. Pergeseran lanskap industri kreatif yang ditandai oleh dominasi
platform digital dan eksploitasi karya desain grafis tanpa bayaran telah merusak tatanan
tradisional antara pekerjaan formal dan informal, memaksa kita untuk membangun
kembali definisi tentang siapa yang berhak atas hasil karya mereka dan siapa yang
sekadar menjadi alat bagi keuntungan platform (Steinberg et.al., 2024:6).
Srnicek (2016:36-38) mengemukakan bahwa fenomena ini adalah bagian dari tren
umum dalam kapitalisme digital, di mana sebagian besar pekerjaan yang dilakukan tidak
416
Bangsa et al., Dinamika Sharing Economy... 412-425
dibayar. Perusahaan-perusahaan digital secara sistematis memanfaatkan waktu dan
tenaga kerja dari individu seperti desainer grafis, yang menjadi tenaga kerja gratis bagi
mereka. Srnicek menekankan bahwa ekstraksi nilai dari tenaga kerja yang tidak dibayar
oleh kapitalis digital adalah hal yang lazim dalam ekonomi kontemporer. Kerja gratis ini
menjadi sumber utama keuntungan bagi platform digital karena mereka menciptakan
sistem di mana banyak pekerja terlibat dalam aktivitas produktif tanpa kompensasi
langsung, yang pada gilirannya sangat menguntungkan pemilik platform. Fuchs
(2014:93-98) menekankan bahwa dalam kapitalisme digital, apropriasi tidak hanya
terjadi pada tingkat komoditas yang terlihat seperti produk fisik, tetapi juga pada tingkat
data dan karya digital yang diciptakan oleh pengguna. Fuchs berargumen bahwa
aktivitas pengguna di platform ini menciptakan data yang menjadi komoditas ekonomi
bagi kapitalis digital. Data ini kemudian dijual kepada pengiklan atau digunakan untuk
menargetkan pengguna dengan iklan yang relevan, tanpa memberikan kompensasi yang
layak atas waktu dan usaha mereka. Ini menunjukkan bagaimana kapitalisme digital
mengeksploitasi tidak hanya tenaga kerja fisik tetapi juga tenaga kerja digital yang tidak
terlihat (Nasution & Ghani, 2019:35).
Mengenai crowdsourcing, Badan Ekonomi Kreatif dan asosiasi desainer profesional di
Indonesia, seperti ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) dan AIDIA (Asosiasi
Profesional Desain Komunikasi Visual Indonesia), menyoroti praktik pekerjaan spekulatif
yang sering terjadi di industri desain. Mereka menekankan bahwa pekerjaan spekulatif,
di mana desainer bekerja tanpa kepastian pembayaran, sangat merugikan dan
mengurangi martabat profesi desain. Dalam konteks ini, desainer berisiko tinggi atas
apropriasi karya mereka, di mana karya yang tidak diterima atau tidak dipilih dalam
pitching atau kontes tetap dapat digunakan oleh klien atau pihak ketiga tanpa
kompensasi (Pasaribu, 2020:83-84).
3.2 Apropriasi dalam Konteks Desainer Grafis Akademis
Komunitas desainer grafis online akademis di Yogyakarta adalah mereka yang sebagian
besar memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang seni dan desain, terutama
dari Program Studi Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Kampus ini merupakan pusat pendidikan seni rupa dan desain yang berperan penting
dalam perkembangan desainer grafis di Indonesia. Pada periode akhir 1990-an,
teknologi digital dan internet mulai merambah ke dunia desain grafis, mengubah cara
desainer bekerja dan berkarya. Para mahasiswa dan lulusan DKV di ISI Yogyakarta mulai
memanfaatkan teknologi komputer dan internet untuk menciptakan karya-karya yang
lebih kompleks dan dinamis, seperti animasi, motion graphics, dan media interaktif
lainnya. Melalui perantaraan teknologi ini setiap orang bisa melakukannya dengan
mudah, murah, dan cepat (Naudé, 2022:1).
Dengan kemajuan teknologi, para desainer akademis ini memiliki akses yang lebih luas
untuk menyebarkan karya mereka. Awalnya, mereka menggunakan e-magazine dan
situs komunitas untuk mengunggah karya mereka dan berbagi dengan audiens global.
Seiring perkembangan teknologi web dan munculnya platform digital serta media sosial,
seperti Behance dan Instagram, para desainer grafis akademis ini mulai menggunakan
417
Bangsa et al., Dinamika Sharing Economy... 412-425
media ini untuk memamerkan portofolio mereka dan menjangkau klien secara global.
Kemampuan untuk menjangkau audiens yang lebih luas ini memungkinkan mereka
untuk meningkatkan visibilitas dan menarik perhatian klien dari luar negeri (Duan,
2023:1).
Namun, meskipun memiliki latar belakang pendidikan dan akses ke teknologi canggih,
desainer grafis akademis ini juga menghadapi tantangan yang signifikan dalam dunia
digital. Mereka harus bersaing dalam pasar yang sangat kompetitif dan menghadapi
risiko apropriasi karya mereka oleh pihak ketiga tanpa izin atau kompensasi. Meskipun
mereka lebih cenderung memiliki jaringan profesional yang lebih luas dan reputasi yang
lebih baik dibandingkan dengan desainer otodidak, mereka tetap rentan terhadap
bentuk-bentuk eksploitasi yang ada di platform crowdsourcing.
Secara keseluruhan, komunitas desainer grafis akademis di Yogyakarta menunjukkan
bagaimana pendidikan formal dan teknologi digital dapat memberdayakan individu
untuk berkarya dan bersaing di pasar global. Mereka memanfaatkan sumber daya dan
keterampilan yang mereka peroleh melalui pendidikan untuk menghasilkan karya yang
inovatif dan menarik, sambil menghadapi tantangan yang datang dengan cepatnya
perubahan teknologi dan dinamika pasar digital.
Desainer grafis akademis di Yogyakarta, meskipun memiliki akses ke pendidikan formal
dan lebih banyak sumber daya, juga tidak terlepas dari apropriasi di platform
crowdsourcing. Mereka sering mengunggah karya mereka ke platform digital sebagai
bagian dari portofolio atau kontes dengan harapan menarik perhatian klien dan
mendapatkan proyek. Meskipun mereka mungkin memiliki lebih banyak pengakuan
profesional dan akses ke pasar yang lebih luas, mereka tetap terjebak dalam sistem yang
sama di mana karya mereka dapat digunakan tanpa izin atau kompensasi yang memadai
(Marčeta, 2021:70).
Apropriasi dalam konteks ini terjadi ketika karya-karya yang diunggah ke platform, baik
sebagai entri kontes atau bagian dari portofolio, digunakan oleh pihak ketiga atau
platform sendiri tanpa pemberitahuan atau pembayaran kepada desainer. Hal ini
menempatkan desainer dalam situasi di mana mereka secara terus-menerus harus
menyerahkan hak atas karya mereka untuk mendapatkan peluang pekerjaan, yang
seringkali tidak terwujud dalam bentuk kompensasi yang layak (Narayan, 2022:4).
David Harvey (2007:165-170) menjelaskan bahwa neoliberalisme seringkali
menciptakan kondisi di mana tenaga kerja diperlakukan sebagai komoditas yang dapat
dieksploitasi tanpa jaminan kompensasi yang adil. Ini sangat relevan bagi desainer grafis
yang terlibat dalam crowdsourcing, di mana mereka seringkali bekerja dalam kondisi
yang sangat tidak stabil dan tidak aman, dengan sedikit atau tanpa jaminan bahwa usaha
mereka akan dihargai secara memadai. Arun Sundararajan (2016:27-35)
mengemukakan bahwa meskipun ekonomi berbagi memungkinkan individu untuk
mengakses pasar yang lebih luas dan menawarkan peluang ekonomi baru, model ini juga
menciptakan bentuk-bentuk kerja baru yang seringkali tidak diatur dengan baik (de
Rivera, 2020:726). Ini meninggalkan pekerja tanpa perlindungan yang memadai,
418
Bangsa et al., Dinamika Sharing Economy... 412-425
membuat mereka rentan terhadap apropriasi karya mereka oleh pihak ketiga tanpa
kompensasi yang layak. Dalam konteks desain grafis, ini berarti desainer harus
menghadapi ketidakpastian yang tinggi dalam penghasilan dan kurangnya kontrol atas
penggunaan karya mereka setelah diunggah ke platform digital.
Dalam ekonomi digital, model kerja seringkali tidak memiliki kejelasan yang memadai
terkait status hukum dan hubungan kerja. Hal ini menciptakan situasi yang serupa
dengan ekonomi informal, di mana para pekerja seringkali tidak memiliki akses ke
jaminan sosial atau perlindungan yang cukup atas hak-hak mereka. Desainer grafis yang
terlibat dalam sistem crowdsourcing seringkali berada dalam kondisi kerja yang sangat
tidak stabil, dengan perlindungan yang minim atau bahkan tidak ada terhadap
penggunaan karya mereka oleh pihak ketiga. (Juliawan et al., 2020, hal. 7-12).
Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) dan Asosiasi Profesional Desain Komunikasi
Visual Indonesia (AIDIA) dalam buku Proyek Desain mengkritik keras praktik pekerjaan
spekulatif yang lazim dalam industri desain. Mereka berargumen bahwa desainer
seringkali terpaksa mengikuti kontes atau pitching gratis, yang pada dasarnya adalah
bentuk eksploitasi di mana desainer memberikan ide dan konsep mereka tanpa
kepastian kompensasi. Ini menempatkan desainer dalam posisi rentan terhadap
apropriasi karya mereka oleh klien yang mungkin menggunakan ide-ide tersebut tanpa
memberikan imbalan yang pantas (Pasaribu, 2020:86-87).
Apropriasi dalam konteks desain grafis online, baik bagi desainer otodidak maupun
akademis, menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk regulasi yang lebih baik
dan pendekatan yang lebih adil dalam ekonomi digital. Ini penting untuk memastikan
bahwa desainer grafis dapat bekerja dalam lingkungan yang adil dan transparan, yang
memberikan penghargaan dan perlindungan yang layak atas kontribusi mereka. Tanpa
regulasi yang memadai, desainer grafis terus-menerus beresiko dieksploitasi dan
mengalami kerugian finansial serta kehilangan kontrol atas karya mereka (Krotz,
2024:228).
3.3 Implikasi Ekonomi dan Sosial
Apropriasi dalam konteks crowdsourcing memiliki dampak yang luas dan mendalam bagi
desainer grafis, baik secara finansial maupun sosial. Selain kerugian langsung yang
dihadapi para desainer ketika karya mereka digunakan tanpa kompensasi, mereka juga
ditempatkan dalam posisi yang sangat rentan terhadap eksploitasi data dan karya oleh
pihak ketiga (Demir, 2024:86).
Franz Magnis-Suseno (2016:117-121) menekankan bahwa eksploitasi adalah inti dari
kapitalisme. Dalam sistem ini, pekerja tidak hanya kehilangan kendali atas hasil kerja
mereka, tetapi juga dipaksa untuk menyerahkan sebagian dari nilai yang mereka
ciptakan kepada pemilik modal. Ini sangat sesuai dengan pengalaman para desainer
grafis yang melihat karya mereka dimanfaatkan tanpa kompensasi yang adil. Magnis-
Suseno menjelaskan bahwa dalam kapitalisme, nilai yang diciptakan oleh tenaga kerja
419
Bangsa et al., Dinamika Sharing Economy... 412-425
diambil oleh kapitalis melalui berbagai cara, salah satunya adalah melalui pemanfaatan
karya atau produk tanpa memberikan imbalan yang setara kepada pencipta aslinya.
Tentang ekonomi digital Badan Ekonomi Kreatif menggarisbawahi bahwa desainer
seringkali dihadapkan pada ketidakjelasan dalam hal kepemilikan karya mereka. Dalam
ekonomi digital, seringkali tidak ada peraturan yang jelas mengenai hak atas karya yang
diunggah ke platform crowdsourcing. Hal ini membuka peluang bagi pemilik platform
untuk memanfaatkan karya tersebut tanpa memberikan hak yang layak kepada pencipta
aslinya. Ketiadaan mekanisme yang jelas untuk melindungi hak-hak desainer dalam
sistem crowdsourcing memperburuk situasi mereka dalam hal keamanan ekonomi dan
kepastian kerja. Banyak desainer yang akhirnya harus menerima kenyataan bahwa karya
mereka dapat diambil dan digunakan tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka,
yang membuat mereka berada dalam posisi yang sangat tidak aman (Pasaribu, 2020:83-
85). Platform digital ibarat sebuah pemerintahan. Pandangan ini sejalan dengan konsep
'negara-perusahaan' yang dikemukakan Stern, di mana kapitalis digital memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk hukum dan
sosial (Törnberg, 2023:1).
Menurut Fuchs (2014:93-98) dalam kapitalisme digital, apropriasi tidak hanya terbatas
pada produk fisik tetapi juga pada data dan karya digital yang diciptakan oleh pengguna.
Fuchs menekankan bahwa aktivitas pengguna di platform digital menghasilkan data
yang menjadi komoditas ekonomi bagi kapitalis digital. Data ini dijual kepada pengiklan
atau digunakan untuk menargetkan pengguna dengan iklan yang relevan, tanpa
memberikan kompensasi kepada pengguna atas waktu dan usaha mereka. Ini
menunjukkan bagaimana kapitalisme digital mengeksploitasi tenaga kerja digital yang
tidak terlihat, dan bagaimana pengguna kehilangan kendali atas data dan karya mereka
sendiri.
Meskipun model ekonomi berbagi menawarkan peluang ekonomi baru dan
memungkinkan individu untuk mengakses pasar yang lebih luas, model ini juga
menciptakan bentuk-bentuk kerja baru yang seringkali tidak diatur dengan baik (Liang
et.al, 2022:9). Ini meninggalkan pekerja tanpa perlindungan yang memadai dan
membuat mereka rentan terhadap apropriasi karya mereka oleh pihak ketiga tanpa
kompensasi yang layak. Dalam konteks desain grafis, ini berarti bahwa desainer harus
menghadapi ketidakpastian yang tinggi dalam penghasilan dan kurangnya kontrol atas
penggunaan karya mereka setelah diunggah ke platform digital (Sundararajan, 2016: 27-
35).
Model kerja dalam ekonomi digital seringkali kabur dalam hal status hukum dan relasi
kerja. Ini menciptakan situasi yang mirip dengan ekonomi informal, di mana pekerja
tidak memiliki jaminan sosial atau perlindungan hak-hak pekerja yang memadai.
Desainer grafis yang terlibat dalam crowdsourcing seringkali bekerja dalam kondisi yang
sangat tidak pasti, dengan sedikit atau tanpa perlindungan yang layak terhadap
penggunaan karya mereka oleh pihak ketiga. Kondisi ini semakin memperparah
kerentanan mereka, karena mereka harus terus-menerus bersaing dalam pasar yang
tidak menjamin keamanan dan keadilan ekonomi (Juliawan et al., 2020, hal. 7-12).
420
Bangsa et al., Dinamika Sharing Economy... 412-425
Lebih lanjut, David Harvey (2007:165-170) menguraikan bagaimana neoliberalisme
menciptakan kondisi di mana tenaga kerja diperlakukan sebagai komoditas yang dapat
dieksploitasi tanpa jaminan kompensasi yang adil. Dalam sistem ini, desainer grafis, baik
otodidak maupun akademis, seringkali bekerja dalam kondisi yang sangat tidak stabil
dan tidak aman. Mereka terus-menerus harus mengejar peluang kerja yang mungkin
tidak pernah memberikan kompensasi yang memadai untuk usaha dan waktu mereka.
Dalam neoliberalisme, eksploitasi tenaga kerja tidak hanya mencakup pengambilan nilai
surplus tetapi juga melibatkan ketidakamanan dan ketidakpastian yang tinggi bagi
pekerja (Witheford, 2020:116).
Apropriasi dalam konteks crowdsourcing di industri desain grafis digital menunjukkan
kebutuhan mendesak untuk regulasi yang lebih baik dan perlindungan yang memadai
bagi para desainer. Tanpa regulasi yang efektif, desainer grafis terus-menerus beresiko
dieksploitasi dan mengalami kerugian finansial serta kehilangan kontrol atas karya dan
data mereka. Perlindungan yang lebih baik diperlukan untuk memastikan bahwa
desainer dapat bekerja dalam lingkungan yang adil dan transparan, yang memberikan
penghargaan dan perlindungan yang layak atas kontribusi mereka dalam ekosistem
digital (Krotz, 2024:229).
4. KESIMPULAN
Penelitian ini menyoroti bahwa praktik crowdsourcing dalam industri desain grafis
digital memiliki implikasi serius yang perlu ditinjau kembali. Para desainer grafis, baik
yang otodidak maupun akademis, seringkali berada dalam posisi yang sangat rentan
terhadap eksploitasi ekonomi dan apropriasi karya mereka. Dalam sistem ini, karya dan
data yang dihasilkan oleh desainer tidak hanya digunakan untuk keuntungan platform
digital tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh pihak ketiga tanpa izin atau kompensasi yang
memadai.
Apropriasi dalam praktik crowdsourcing terjadi ketika karya-karya yang tidak terpilih
atau tidak menang tetap dimanfaatkan oleh platform atau pihak lain. Ini menciptakan
situasi di mana para desainer kehilangan kendali atas hasil kerja mereka dan tidak
mendapatkan imbalan yang setara dengan usaha dan keterampilan yang mereka
investasikan. Para desainer tidak hanya berkontribusi dengan karya mereka tetapi juga
dengan data yang mereka hasilkan melalui aktivitas mereka di platform digital, yang
seringkali dikomodifikasi dan digunakan oleh perusahaan untuk kepentingan komersial
tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka. Kebutuhan akan regulasi yang lebih
baik dan pendekatan alternatif yang dapat melindungi desainer dari bentuk-bentuk
eksploitasi ini menjadi semakin mendesak. Regulasi yang efektif harus memastikan
bahwa desainer grafis dapat bekerja dalam lingkungan yang adil dan transparan, yang
menghargai dan melindungi kontribusi mereka dalam ekosistem digital. Ini termasuk
perlindungan terhadap apropriasi karya dan data, serta jaminan kompensasi yang adil
bagi semua desainer yang berpartisipasi dalam kontes desain di platform digital.
Pertama, peningkatan regulasi oleh pemangku kepentingan. Pemerintah dan badan
pengatur perlu mengembangkan kebijakan yang jelas dan komprehensif untuk
421
Bangsa et al., Dinamika Sharing Economy... 412-425
mengatur hak-hak desainer dalam konteks digital. Ini mencakup perlindungan hak cipta
yang kuat dan mekanisme yang memastikan desainer menerima kompensasi yang adil
untuk karya mereka. Kebijakan ini harus dirancang untuk menghadapi tantangan unik
yang dihadapi oleh desainer dalam ekosistem digital, di mana karya mereka seringkali
dapat dengan mudah diakses dan digunakan tanpa izin. Selain itu, platform digital yang
menyelenggarakan kontes desain harus meningkatkan transparansi dalam proses
mereka. Penting bagi platform untuk memiliki kebijakan yang jelas dan terbuka tentang
bagaimana karya-karya yang tidak menang akan digunakan. Desainer harus diberikan
pilihan untuk melindungi karya mereka dari apropriasi tanpa izin, sehingga mereka
dapat memiliki kontrol yang lebih besar atas hasil kerja mereka. Transparansi ini akan
membantu membangun kepercayaan antara desainer dan platform, serta memastikan
bahwa desainer merasa dihargai dan dilindungi.
Mengembangkan pendekatan alternatif dalam crowdsourcing juga esensial untuk
menciptakan model yang lebih adil dan berkelanjutan. Salah satu cara untuk
melakukannya adalah dengan memperkenalkan sistem di mana desainer diberi bayaran
untuk partisipasi mereka, bukan hanya untuk kemenangan. Ini akan mengakui usaha dan
keterampilan yang mereka investasikan dalam setiap proyek, bukan hanya karya yang
dipilih. Selain itu, model yang memberikan lebih banyak kontrol kepada desainer atas
bagaimana karya mereka digunakan dapat membantu mencegah apropriasi tanpa izin
dan memastikan bahwa desainer memiliki suara dalam cara karya mereka diperlakukan.
Edukasi dan peningkatan kesadaran juga memainkan peran penting dalam melindungi
desainer dari eksploitasi. Desainer harus dididik tentang hak-hak mereka dan cara
melindungi karya mereka dalam dunia digital. Kesadaran tentang risiko apropriasi dan
langkah-langkah yang dapat diambil untuk melindungi hak-hak mereka sangat penting
untuk mengurangi risiko eksploitasi. Program pendidikan dan kampanye kesadaran
dapat membantu desainer memahami nilai karya mereka dan bagaimana mereka dapat
melindungi diri dalam ekosistem digital yang seringkali kompleks dan tidak teratur.
Dengan demikian, menciptakan ekosistem digital yang lebih adil dan melindungi
desainer dari apropriasi dan eksploitasi adalah tanggung jawab bersama antara
pembuat kebijakan, platform digital, dan komunitas desainer itu sendiri. Setiap pihak
harus berperan aktif dalam memastikan bahwa desainer grafis dapat bekerja dalam
lingkungan yang adil dan transparan, yang memberikan penghargaan dan perlindungan
yang layak atas kontribusi mereka. Penelitian ini memberikan wawasan yang mendalam
tentang tantangan yang dihadapi oleh desainer dalam era digital dan menekankan
pentingnya tindakan kolektif untuk mengatasi isu-isu ini demi kesejahteraan dan
keberlanjutan industri desain grafis digital.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, S. 2021. The conditions of the global digital working class: The continuing
relevance of Friedrich Engels to theorising platform labour. Triple-C: Open
Access Journal for Global Sustainable Information Society, Vol 19 No 1
(2021). DOI: https://doi.org/10.31269/triplec.v19i1.1217
422
Bangsa et al., Dinamika Sharing Economy... 412-425
Boyer, R. 2022. Platform capitalism: a socio-economic analysis. Socio-Economic Review.
20 (4): 18571879. DOI:10.1093/ser/mwaa055.
Carlos, S.G. 2024. Datafeudalism: The Domination of Modern Societies by Big Tech
Companies. Philosophy and Technology, Volume 37, Issue 3 September
2024. DOI 10.1007/s13347-024-00777-1
Demir, I. 2024. Errand runners of digital platform capitalism: The errand economy as a
contribution to the discussion on the gig economy. Triple-C: Open Access
Journal for Global Sustainable Information Society, 22(1):86-103.
https://doi.org/10.31269/triplec.v22i1.1438
De Rivera, J. 2020. A guide to understanding and combatting digital capitalism. Triple-C:
Open Access Journal for Global Sustainable Information Society, 18(2):725-
743. https://doi.org/10.31269/triplec.v18i2.1173
Duan, Y., 2023. Research on Wotobuy and Platform Capitalism. Advances in Economics
Management and Political Sciences 51(1):1-5 DOI: 10.54254/2754-
1169/51/20230598
Dujarier, M.A. 2023. How Work as a Category of Thought Has Been Disrupted in
Neoliberal Capitalist Societies. Triple-C: Open Access Journal for Global
Sustainable Information Society, Vol. 21 No. 2 (2023) pp. 107-121. DOI:
https://doi.org/10.31269/triplec.v21i2.1449
Fuchs, C. 2014. Digital Labour and Karl Marx. New York: Routledge.
_______. 2020. Engels@200: Friedrich Engels and digital capitalism. How relevant are
Engels's works 200 years after his birth? Triple-C: Open Access Journal for
Global Sustainable Information Society, Volume 19, Issue 1, pp. 15 - 51. DOI
10.31269/triple c.v19i1.1228
_______. 2024a. Appropriation of digital machines and appropriation of fixed capital as
the real appropriation of social being: A comment on Toni Negri’s article
“The appropriation of fixed capital: A metaphor?”. Triple-C: Open Access
Journal for Global Sustainable Information Society, Vol. 22 No. 1 (2024) pp.
468-475, DOI: https://doi.org/10.31269/triplec.v22i1.1512
Fuchs, C., Arslan, S.C., Allmer, T. 2024. Critical theory foundations of digital capitalism:
A critical political economy perspective. Triple-C: Open Access Journal for
Global Sustainable Information Society, Vol 22 No 1 (2024). DOI:
https://doi.org/10.31269/triplec.v22i1.1454
Harvey, D. 2007. A Brief History of Neoliberalism. New York: Oxford University Press.
Hill, D.W. 2021. Trajectories in platform capitalism. Mobilities, DOI:
10.1080/17450101.2021.1917970
423
Andharupa, Vol.10 No.03 Tahun 2024
Howe, J. 2006. Crowdsourcing: Why the Power of the Crowd is Driving the Future of
Business. New York: Crown Business.
Juliawan, H.B., Sinelir, H., Saraswati, I., Hasibuan, F.A., & Kurniawan, E. 2020. Buruh
Digital, Peluang Keuntungan dan Intaian Kerentanan, Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press.
Krotz, F. 2024. Digitalisation Today as the Capitalist Appropriation of People’s Mental
Labour. Triple-C: Open Access Journal for Global Sustainable Information
Society, Vol 22 No 1 (2024). DOI:
https://doi.org/10.31269/triplec.v22i1.1477
Liang, Y., Aroles, J., Brandl, B. 2022. Charting platform capitalism: Definitions, concepts
and ideologies. New Technology, Work and Employment. 37 (2): 308327.
doi:10.1111/ntwe.12234.
Mahomedy, A.C. 2020. Platform Capitalism Boon or Bane to Society? Journal of King
Abdulaziz University-Islamic Economics, Vol. 33 No. 1, pp: 71-82 (January
2020) DOI:10.4197/Islec. 33-1.5
Marčeta, P. 2021. Platform capitalism towards the neo-commodification of labour?
Elgar Online, DOI: 10.4337/9781802205138.00011
Narayan, D. 2022. Platform capitalism and cloud infrastructure: Theorizing a hyper-
scalable computing regime. Environment and Planning A
54(2):0308518X2210940 DOI: 10.1177/0308518X221094028
Nasution, P.P.P.A., Ghani, M.W. 2019. In the name of “like this”: The appropriation of
artwork in digital age. International Journal of Creative and Arts Studies,
Volume 6 Number 1, June 2019, p-ISSN 2339-191X, e-ISSN 2406-9760
Naudé, W. 2022. Late industrialisation and global value chains under platform
capitalism. Journal of Industrial and Business Economics,
https://doi.org/10.1007/s40812-022-00240-2
Negri, A. 2024. The Appropriation of Fixed Capital: A Metaphor? Triple-C: Open Access
Journal for Global Sustainable Information Society, Vol. 22 No. 1 (2024) pp.
459-467, DOI: https://doi.org/10.31269/triplec.v22i1.1512
Pasaribu, Y.M. (Ed.). 2020. Dasar Pengadaan dan Pengelolaan Jasa Desain di Indonesia.
Jakarta: Badan Ekonomi Kreatif.
Prodnik, J.A. 2023. The Crisis of Legitimacy and the Appropriation of Resistance in
Capitalism. Triple-C: Open Access Journal for Global Sustainable Information
Society, Vol. 21 No. 1 (2023) pp. 51-73, DOI:
https://doi.org/10.31269/triplec.v21i1.1403
424
Andharupa, Vol.10 No.03 Tahun 2024
Schneider, N. 2022. Governable stacks against digital colonialism. Triple-C: Open Access
Journal for Global Sustainable Information Society, Vol 20 No 1 (2022) pp.
19-36. DOI: https://doi.org/10.31269/triplec.v20i1.1281
Srnicek, N. 2016. Platform Capitalism. Cambridge: Polity Press.
Steinberg, M., Zhang, L., Mukherjee, R. 2024. Platform capitalisms and platform cultures.
International Journal of Cultural Studies, January 2024. DOI:
10.1177/13678779231223544
Sundararajan, A. 2016. The Sharing Economy: The End of Employment and the Rise of
Crowd-Based Capitalism. Cambridge: MIT Press.
Suseno, F.M. 2016. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Törnberg, P. 2023. How platforms govern: Social regulation in digital capitalism. Big Data
& Society. 10 (1). DOI:10.1177/20539517231153808.
Witheford, N.D. 2020. Left Populism and Platform Capitalism. Triple-C: Open Access
Journal for Global Sustainable Information Society, Vol 18 No. 1 (2020) pp.
116-131. DOI: https://doi.org/10.31269/triplec.v18i1.1130
425
Andharupa, Vol.10 No.03 Tahun 2024
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
This article critically examines the domination exerted by big digital companies on the current social, economic, and political context of modern societies, with a particular focus on the implications for the proper functioning of democracy. The objective of this article is to introduce and develop the concept of datafeudalism, expose its emergence for the proper functioning of modern societies and democracy, and to propose courses of action to reverse this situation. To achieve this purpose, firstly, the evolution from surveillance capitalism to datafeudalism will be discussed. Secondly, the structures and operating logic of data feudalism will be analyzed. Thirdly, the harmful impacts of datafeudalism on the proper functioning of the democratic systems of the European Union will be examined. Finally, an attempt will be made to outline courses of action that will make it possible to reverse the situation of economic, social and political tyranny exercised by big digital companies through datafeudalism.
Article
Full-text available
This paper deals with the question of how the process of digitalisation on the technical basis of the computer can be described in Marxist categories and what consequences are foreseeable as a result. To this end, the first section shows, based on a historical analysis of the emergence of the computer, that this apparatus was invented as an instrument of a division of human mental labour and thus complementary to the division of physical labour. It is therefore necessary to analyse computers and digitalisation in their relation to human beings and human labour. In the second section, the central ideology of digitalisation is elaborated, which is supposed to make the current form of digitalisation appear meaningful for people and society: The anthropomorphisation of the computer, which was said to be increasingly able to think, speak, and learn like humans, to become more and more intelligent, and to be able to do everything better than humans once the technical singularity had been reached. This claim, which has been propagated again and again, is contradicted on various levels. The computer operates on about two dozen simple mathematical, logical, and technical commands and can do nothing but run one programme at a time, developed and entered by programmers on the basis of behavioural or physical data. This sometimes produces amazing results because the computer can work quickly and systematically as well as reliably. But in contrast to humans, it faces the world as a behaviouristic machine that can neither understand meaning nor reflect its own or human behaviour. The computer also ”sees” and ”hears” its environment only on a physical basis and it ”thinks” at best on a statistical basis if the programme tells it to do so. The apparatus can therefore simulate mechanical machines, but in interaction with humans its actions and reactions are, as any machine, not socially oriented, but dependent on whether humans interpret them as meaningful und useful. The third section elaborates on the complementarity of mental and physical divisions of labour. This would be a central theme of a critical Marxism for an analysis of digitalisation today, which understands the previous capitalism from the division of physical labour. Even though there are some theoreticians who have contributed to this, so far there is no comprehensive theory of it. Therefore, section 4 wants to contribute to such a theory by collecting empirical observations in an interpretive way regarding the related questions. In this way, it becomes clear how the division of people's intellectual labour made possible by the computer is being dealt with today: Capitalism is reorganising more and more areas of human life such as mobility, social relations, education, medicine, etc. through the use of the computer. As a result, first and foremost the business fields of the digital economy are expanding. Moreover, capitalism no longer has to limit itself to controlling the field of production but is increasingly intervening in the whole symbolic world of people. Consequently, according to the thesis, we are heading for an expanded capitalism that will increasingly restrict and reduce both democracy and people's self-realisation. Section 5 emphasises once again that a different digitalisation is also possible, one that serves humanity and not capitalism. Further, some summarising and comments are added there.
Article
Full-text available
This article describes a new concept called the errand economy. It examines the dark side of the platform economy and the gig economy and makes a valuable contribution to the field. The concepts, especially for liberal scholars, hide the negative impact of platform capitalism on production relationships and the working class by emphasising digital technologies and piecework. The errand economy, however, especially highlights the degradation of labour, regardless of its qualifications, alongside processes such as flexibilisation, precarisation, and informalisation. That is because, under the conditions of the errand economy, platforms treat all types of work as cheap, worthless and degraded errands. The main mission of the platform economy is to end employment by using the discourse of flexibility and entrepreneurship and to transform all employees into errand workers by classifying them as self-employed. For this reason, the article proposes to use the concept of the errand economy together with the platform economy, which refers to digital infrastructures, and the gig economy, which emphasises the piecework.
Article
Full-text available
This article argues for a pluralization of the "platform capitalism" framework, suggesting we should think instead in terms of "platform capitalisms." This pluralization opens the way to a better account of how platforms work in different geocultural contexts, with our focus being on China, India and Japan. The article first outlines several roles the state has taken on in mediating platform capitalisms. We then signal three main axes around which to consider the implications of platform capitalisms for cultural production: state-platform symbiosis; platform precarity; and the informal-formal relation in cultural production. This short provocation, we hope, will help foreground the crucial role of the state in platform capitalisms, such that the state-culture-capitalism nexus might be better acknowledged in research on platforms and cultural production now and into the future. This is particularly important as states themselves increasingly become platform operators.
Article
Full-text available
The Web 3.0 era has made the use of digital e-platforms extremely popular, and people can access various digital platforms for online communication through mobile phones, computers and other devices. Nowadays, when material life is booming, the emergence of digital e-platforms has also led to great changes in people's consumption patterns. The platform capitalism arising from digital e-platforms has gradually taken a dominant position in the global economic market, and e-commerce-based platforms combined with social media platforms have created a new type of s-commerce. This article will use the research method of qualitative analysis, taking Wotobuy as an example, to introduce Wotobuy's platform characteristics and operation modes, and to explore and explain how platform capitalism affects consumer spending patterns, sectors of the economy, the labor market, the value creation process and social dynamics. The research finds that platform capitalism has changed the way consumers shop, but it has also raised significant concerns about power, privacy and the treatment of employees. In order to address these concerns, a balance must be found between innovation and regulation, and the development and intervention of relevant laws is necessary due to the growing influence of platforms.
Article
Full-text available
This article summarises and presents the main findings of Marie-Anne Dujarier’s French book Troubles dans le travail (2021). It focuses on the “travail” category of thought and practice in France, where it has become a ubiquitous and moral notion. The article traces the history of its social uses, highlighting its polysemy with respect to vernacular and scientific uses, then its limited meaning when used in institutions. It examines contemporary situations in which activity requiring effort, the production of use or exchange values, and the status of employment and remuneration are disconnected. Their frequency and importance cast doubt on who is working and when. This disruption in the “work” category of thought indicates that the eponymous institutions do not adequately accommodate real practices. They are therefore questioned. This observation is also an invitation for researchers to unpick this word for a better analysis of contemporary social, psychological and ecological issues. In France, the word “travail” is ubiquitous in our day-to-day exchanges, as well as in our scientific and political discussions (“travail” is often translated as ‘work’ or ‘labour’, translations are part of the history of the category). Although regularly given only one value, it also has a moral domain. But what does it mean? This article offers Anglo-Saxon readers a summary of in-depth sociological research on this issue, published in the book called Work Troubles. Sociology of a category of thought (French original title: Troubles dans le travail. Sociologie d’une catégorie de pensée) by the author of this article.
Article
Full-text available
In this essay, the rise of platform capitalism and its claims to a utopian economic world is explored. Using the tawḥīdī worldview, I trace its emergence within the context of the growth of modern capitalism itself. The study reveals that there are certain core elements within the institutional framework of the modern economy that empowers capitalism to hegemonize society and its structures. In its drive
Article
Full-text available
Capitalism has become so naturalised in recent decades that there seems to exist little to no alternative to it. Common acceptance of this social formation begs the basic question of how particular systems are legitimised. In this paper, I look at some legitimation mechanisms at play by focusing on the capitalist tendency to ideologically appropriate criticism emerging from social struggles. I draw on the study The New Spirit of Capitalism by Boltanski and Chiapello and the cool capitalism thesis put forward by McGuigan. Both provide a basis for a case study of two advertising campaigns by Slovenia’s biggest mobile network operators. During the period of mass uprisings following the 2008/09 economic crisis, the two operators harnessed the symbolism of resistance in their advertising targeted at young people. In each case, the messages of the protests in the ads were deradicalised and largely stripped of any meaningful political content. While it is clear the advertising industry plays an important systemic role in capitalism, the two case studies hint at another way that advertisements can help perpetuate the system: by reinterpreting the critical messages emerging from within society, they become neutralised, with the critical voices thereby becoming more easily integrated into the capitalist social structure.
Article
Full-text available
The rise of digital platforms has in recent years redefined contemporary capitalism-provoking discussions on whether platformization should be understood as bringing an altogether new form of capitalism, or as merely a continuation and intensification of existing neoliberal trends. This paper draws on regulation theory to examine social regulation in digital capitalism, arguing for understanding digital capitalism as continuities of existing capitalist trends coming to produce discon-tinuities. The paper makes three main arguments. First, it situates digital capitalism as a continuation of longer running post-Fordist trends of financialization, digitalization, and privatization-converging in the emergence of digital proprietary markets, owned and regulated by transnational platform companies. Second, as the platform model is founded on monopolizing regulation, platforms come into direct competition with states and public institutions, which they pursue through a set of distinct technopolitical strategies to claim power to govern-resulting in a geographically variegated process of institutional transformation. Third, while the digital proprietary markets are continuities of existing trends, they bring new pressures and affordances, thus producing discontinuities in social regulation. We examine such discontinuities in relation to three aspects of social regulation: (a) from neoliberalism to techno-feudalism; (b) from Taylorist hierarchies toward algorithmic herds and technoliberal subjectivity; and (c) from postmodernity toward an automated consumer culture.
Article
The overall task of this paper is to outline some foundations of a critical theory of digital capitalism. The approach of the Critique of Political Economy is taken as the starting point for theorising (digital) capitalism. First, the paper discusses selected classical definitions of capitalism. Theories of digital capitalism must build on definitions and theories of capitalism. If capitalism is not only an economic order but a societal formation, the analysis of capitalism is the analysis of economic exploitation and non-economic domination phenomena and their interaction. Theories of digital capitalism should also address the question of how class, racism, and patriarchy are related in the context of digitalisation. Second, the author introduces a notion of digital capitalism that is based on Marx’s approach of the Critique of Political Economy. Third, the paper engages with one influential contemporary approach to theorising capitalism, Nancy Fraser’s Cannibal Capitalism. The author discusses what we can learn from Fraser’s approach to theorising digital capitalism. Fourth, the author discusses existing understandings of digital capitalism that can be found in the academic literature. These definitions are compared to the understanding advanced in this article. Fifth, the paper discusses the relationship of the notion of digital capitalism from a Critical Political Economy perspective in comparison to the notions of the network society/informational capitalism (Manuel Castells), surveillance capitalism (Shoshana Zuboff), and platform capitalism (Nick Srnicek). Sixth, the paper reflects on the relationship between digital capitalism and violence as we live in a (digital) age where a new World War is all but uncertain. Finally, some conclusions are drawn.