Available via license: CC BY
Content may be subject to copyright.
Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2024), X(X), XX-XX e-ISSN: 2580-1228
DOI: 10.24854/jpu617 p-ISSN: 2088-4230
X
Handling Editor: Omar K. Burhan, Brawijaya University, Malang, Indonesia
This open access article is licensed under Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use,
distribution, and reproduction, provided the original work is properly cited.
PERAN WELAS DIRI TERHADAP
PENGUNGKAPAN KESULITAN PADA INDIVIDU
DEWASA AWAL DARI KELUARGA YANG BERCERAI
Giftania Grace Nathalie & Dicky Sugianto
Universitas Pelita Harapan, Jl. M. H. Thamrin Boulevard, Lippo Karawaci, Tangerang 15811, Indonesia
Korespondensi: gnathalie0912@gmail.com
THE ROLE OF SELF-COMPASSION ON DISTRESS DISCLOSURE AMONG
EMERGING ADULTS FROM DIVORCED FAMILIES
Manuscript type: Original Research
Abstract
Emerging adults who experienced parental divorce may face interpersonal difficulties,
which can manifest as reduced distress disclosure. This study examines the role of self-
compassion in distress disclosure among emerging adults with a history of parental divorce.
A simple linear regression analysis was conducted on data collected from a survey of 128
young adults who had experienced parental divorce prior to the age of 16. Results indicate
that, at an overall level, self-compassion did not significantly predict distress disclosure
among emerging adults who experienced parental divorce. However, additional analysis
suggests that the overidentification component of self-compassion correlated positively with
distress disclosure. The duration of parental divorce (the time that had passed since the
divorce) was positively correlated with overall self-compassion and the mindfulness
component of self compassion, while correlating negatively with the self-judgment
component of self-compassion. Cultural differences may explain these findings, where
individuals in individualistic cultures tends to disclose difficulties to others, while those in
collectivits cultures may supress such experiences.
Article history:
Received 9 March 2022
Received in revised form 17 October 2022
Accepted 17 October 2022
Available online 15 November 2024
Keywords:
distress disclosure
emerging adults
parental divorce
self-compassion
Abstrak
Orang dewasa awal dari keluarga yang bercerai dapat mengalami berbagai kesulitan, termasuk kesulitan
interpersonal. Kesulitan interpersonal ini dapat termanifestasikan pada rendahnya pengungkapan kesulitan atau
informasi pribadi yang menyakitkan (distress disclosure). Penelitian ini mengaji peran welas diri terhadap
pengungkapan kesulitan pada orang dewasa awal dari keluarga yang bercerai. Data survei terhadap 128 orang
dewasa awal yang orang tuanya bercerai sebelum mereka berusia 16 tahun dianalisis menggunakan regresi linier
sederhana. Penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum, welas diri tidak berhubungan secara signifikan
dengan pengungkapan kesulitan pada orang dewasa awal dari keluarga yang bercerai. Analisis tambahan
menunjukkan korelasi positif antara komponen identifikasi berlebihan welas diri dengan pengungkapan
kesulitan. Selain itu, usia perceraian orang tua berkorelasi secara positif dengan welas diri secara keseluruhan
dan komponen wawas welas diri. Usia perceraian orang tua juga berkorelasi negatif dengan komponen
menghakimi diri welas diri. Faktor perbedaan budaya mungkin dapat menjelaskan penemuan ini di mana dalam
budaya individualistis, individu cenderung mencari orang lain untuk mengungkapkan kesulitan yang dihadapi
sementara individu dalam budaya kolektivis cenderung memendam pengalaman tersebut.
Kata Kunci: dewasa awal, pengungkapan kesulitan, perceraian orang tua, welas diri
Dampak dan Implikasi dalam Konteks Ulayat
Hasil studi ini mengungkapkan bagaimana orang dewasa awal dari keluarga yang bercerai dapat berkutat dengan pikiran-pikiran
negatif sebagai reaksi terhadap masa awal perceraian orang tua, sehingga dapat menginisiasi pengungkapan kesulitan. Hal ini
berkontradiksi dengan budaya Indonesia yang masyarakatnya relatif berkomunikasi secara implisit dan hati-hati, terutama ketika
menceritakan permasalahan yang bersifat personal (aib) karena dianggap memalukan kaum dan keluarga. Hasil penelitian ini
memungkinkan pandangan alternatif bagi individu dalam menghadapi situasi yang menekan, seperti perceraian orang tua, untuk
dapat mempraktikkan welas diri yang terejawantah melalui nilai-nilai yang lazim dalam budaya Indonesia, seperti penerimaan,
kesabaran, dan keikhlasan alih-alih menceritakan perasaan tertekan kepada orang lain yang mungkin dipandang sebagai mengumbar
aib.
Nathalie & Sugianto
X
PENDAHULUAN
Berbagai negara mengalami peningkatan kasus perceraian setiap tahunnya, termasuk
Indonesia. Indonesia sendiri mengalami peningkatan kasus perceraian pada tahun 2014 hingga 2016,
dengan jumlah 344,237 kasus pada tahun 2014, 347,256 kasus pada tahun 2015, dan 365,633 kasus
pada tahun 2016 (Badan Pusat Statistik, 2021). Total peningkatan angka perceraian dari tahun 2014
hingga 2016 adalah sebanyak 21,396 kasus (Badan Pusat Statistik, 2021). Peningkatan angka
perceraian dari tahun ke tahun ini dapat menghasilkan dampak yang negatif, terutama pada anak-
anak.
Keluarga merupakan elemen esensial dalam kehidupan anak dan landasan untuk penyesuaian
anak dengan lingkungan sosialnya (Saikia, 2017). Perpecahan dalam keluarga dapat mengurangi rasa
aman pada anak (Bowlby, 1973). Berkurangnya rasa aman ini dapat berdampak negatif secara
psikologis bagi anak. Jika tidak mendapat penanganan yang baik, konsekuensi perceraian orang tua
pada masa kanak-kanak tersebut dapat berkembang pada tahap kehidupan yang selanjutnya (Huurre
dkk., 2006).
Beberapa penelitian mengungkapkan dampak yang berkelanjutan perceraian orang tua
terhadap kehidupan anak. Misalnya, perceraian orang tua dapat meningkatkan risiko masalah
interpersonal serta pandangan negatif terhadap pernikahan di masa dewasa (Amato & Cheadle, 2005;
Cartwright, 2006; Savitri, 2011). Lebih sepsifik, anak yang mengalami perceraian orang tua sebelum
usia 16 tahun memiliki kesehatan mental yang lebih buruk dan merupakan salah satu indikator stres
yang dapat berlanjut hingga masa dewasa (Cherlin dkk., 1998; Huurre dkk., 2006). Hal inilah yang
dapat dialami oleh para dewasa awal dari keluarga yang bercerai di mana meski kebanyakan dari
mereka telah mengembangkan kapasitas kognitif yang lebih baik, mereka masih membutuhkan
keterlibatan dan dukungan orang tua karena perkembangan kematangan otak serta emosi masih tetap
berlanjut (Hochberg & Konner, 2020).
Dampak negatif perceraian orang tua terhadap anak memerlukan strategi yang efektif (Du
Plooy & Van Rensburg, 2015). Du Plooy dan Van Rensburg (2015) mengemukakan bahwa
komunikasi yang terbuka dengan lingkungan sosial berkontribusi untuk mengatasi dampak dari
perceraian orang tua secara efektif. Zaki dan Williams (2013) menambahkan bahwa ada saatnya
seseorang membutuhkan sumber daya orang lain untuk membantu mengatasi permasalahannya.
Misalnya, orang lain dapat memfasilitasi pemulihan dengan memberikan perspektif baru,
menawarkan saran, atau memberikan perhatian seperti mendengarkan dengan penuh kasih
Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2024), X(X), XX-XX
X
(Dupasquier dkk., 2019). Kahn dan Hessling (2001) menyatakan bahwa untuk mendapatkan
dukungan sosial seperti ini, dibutuhkan adanya kemauan untuk mengungkapkan pengalaman
menyakitkan yang disebut dengan pengungkapan kesulitan (distress disclosure).
Pengungkapan kesulitan adalah salah satu bentuk pengungkapan diri yang berfokus pada
pengungkapan emosi negatif (Kreiner & Levi-Belz, 2019) dan mengacu pada kesediaan seseorang
untuk mengungkapkan informasi pribadi yang menyakitkan (distressing) kepada orang lain (Ward
dkk., 2007). Hal yang sifatnya personal seperti ini umumnya dilakukan dengan tingkat kenyamanan,
kejujuran, keintiman, serta keterkaitan (Carpenter & Greene, 2016). Oleh sebab itu, individu
umumnya lebih bersedia untuk berbagi informasi pada kedua tahap ini dengan teman dekat, anggota
keluarga yang dekat atau pasangan romantis (Carpenter & Greene, 2016).
Di satu sisi, orang dewasa awal dari keluarga yang bercerai cenderung untuk menutup diri,
memiliki tingkat kepercayaan interpersonal yang lebih rendah, serta menghadapi kesulitan untuk
berkomunikasi dan menjadi akrab dalam sebuah hubungan (Ross & Miller, 2009; Sarbini &
Wulandari, 2014). Budaya di Indonesia juga cenderung melihat pengungkapan emosi sebagai hal
yang negatif, di mana komunikasi dilakukan secara hati-hati (Kurniawan & Hasanat, 2015), sehingga
dapat menghambat terjadinya pengungkapan kesulitan. Hal ini dapat mengakibatkan rendahnya
kesejahteraan psikologis pada orang dewasa awal dari keluarga yang bercerai (Dewi & Utami, 2015)
sebagaimana yang dinyatakan oleh Ward dkk. (2007) bahwa tingkat pengungkapan kesulitan yang
lebih rendah berkaitan dengan kesehatan mental yang lebih buruk. Oleh karena itu, diperlukan faktor
lain yang dapat mempromosikan pengungkapan kesulitan pada orang dewasa awal dari keluarga yang
bercerai.
Salah satu hal yang dapat berkaitan dengan pengungkapan kesulitan adalah welas diri. Welas
diri merupakan sikap terbuka dan tergerak oleh penderitaan pribadi, memiliki perasaan peduli dan
baik terhadap diri sendiri, mempunyai pemahaman dan sikap yang tidak menghakimi terhadap
ketidakcukupan dan kegagalan seseorang, serta mengakui bahwa pengalaman seseorang adalah
bagian dari kemanusiaan (Neff, 2003a). Welas diri memerlukan tiga komponen dasar, yaitu
mengasihi diri (self-kindness), kemanusiaan universal (common humanity), dan wawas terhadap
pikiran serta perasaan (mindfulness) (Neff, 2003a; Neff, 2021; Sugianto dkk., 2020). Walaupun ketiga
komponen ini berbeda secara konseptual, komponen-komponen ini bersinergi untuk mempromosikan
satu dengan yang lain (Neff, 2003a) serta dapat menjadi salah satu cara penyelesaian masalah yang
disebut sebagai respons diri penuh welas asih atau compassionate self-responding (Neff, 2018).
Nathalie & Sugianto
X
Neff (2003a) menjelaskan bahwa agar individu dapat memahami diri dengan kebaikan
(mengasihi diri/self-kindness), individu memerlukan mental space yang dapat dicapai untuk
mengamati pemikirannya sebagaimana adanya, sesuatu yang disebut dengan wawas (mindfulness).
Namun, dengan memberikan kebaikan kepada diri sendiri, individu juga dapat menerima perasaan
aman secara emosional yang dibutuhkan untuk melihat penderitaan yang dihadapi dengan jelas tanpa
melebih-lebihkan atau menghindarinya, sehingga dapat melembutkan self-consciousness dan
memungkinkan individu untuk merasa lebih terhubung dengan orang lain (kemanusiaan
universal/common humanity) (Neff, 2003a). Hal tersebut yang merupakan respons diri penuh welas
asih, dapat memfasilitasi kepercayaan interpersonal dalam relasi yang intim (Neff & Beretvas, 2012;
Salazar, 2015) yang kemudian dapat membantu mengurangi upaya penghindaran dalam hubungan
sosial (Gilbert dkk., 2017) pada orang dewasa awal dari keluarga yang bercerai, sehingga mendorong
inisiasi untuk melakukan interaksi sosial atau mendiskusikan informasi pribadi (pengungkapan
kesulitan) dengan orang terdekat yang dipercaya (Ignatius & Kokkonen, 2007).
Sebaliknya, Neff dan Beretvas (2012) menjelaskan bahwa individu yang cenderung
merendahkan serta kritis terhadap diri sendiri (menghakimi diri/self-judgement) merasa hanya dirinya
yang menghadapi penderitaan (isolasi/isolation), dan fokus pada kegagalannya secara berlebihan
(identifikasi berlebihan/over-identification), yang merupakan kondisi kurangnya respons diri yang
berwelas asih atau uncompassionate self-responding ini (Neff, 2018), dapat mengarah pada self-
absorption yang menghalangi keintiman dan rasa keterhubungan dalam relasi. Di sisi lain,
Pietromonaco dan Collins (2017) mengungkapkan bahwa keterkaitan sosial merupakan salah satu
sumber kenyamanan dan keamanan. Kurangnya keintiman juga telah dikaitkan dengan kurangnya
rasa nyaman dalam relasi interpersonal (Ubando, 2016). Hal ini dapat menghambat munculnya
perilaku pengungkapan kesulitan pada orang dewasa awal dari keluarga yang bercerai, mengingat
pengungkapan perasaan yang tidak menyenangkan serta pengalaman yang menyakitkan
membutuhkan kenyamanan dalam relasi interpersonal (Carpenter & Greene, 2016).
Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya penting untuk mengetahui peran welas diri dalam
memprediksi pengungkapan kesulitan pada orang dewasa awal dari keluarga yang bercerai.
Penelitian terkait dengan topik ini masih cenderung sedikit dan belum ditemukan adanya penelitian
baru yang dapat menegaskan hasil penelitian Dupasquier dkk. (2019) dan Triana dkk. (2019) pada
populasi yang berbeda, khususnya di Indonesia yang merupakan salah satu negara dengan angka
kasus perceraian yang meningkat setiap tahunnya (Badan Pusat Statistik, 2021).
Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2024), X(X), XX-XX
X
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran dalam menghadapi
kesulitan orang dewasa awal dari keluarga yang bercerai dalam melakukan pengungkapan kesulitan
dengan adanya welas diri. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai informasi untuk
merumuskan intervensi dalam meningkatkan kesehatan mental.
Berdasarkan paparan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran welas diri
dalam memprediksi pengungkapan kesulitan pada orang dewasa awal dari keluarga yang bercerai.
Hipotesis nol dalam penelitian ini adalah welas diri tidak memprediksi pengungkapan kesulitan
secara signifikan pada orang dewasa awal dari keluarga yang bercerai, sedangkan hipotesis alternatif
penelitian ini adalah welas diri memprediksi pengungkapan kesulitan secara signifikan pada orang
dewasa awal dari keluarga yang bercerai.
METODE
Partisipan
Penelitian ini merekrut partisipan berusia 18 hingga 25 tahun dan mengalami perceraian orang
tua sebelum umur 16 tahun. Total partisipan berjumlah 152 orang. Namun, peneliti melakukan
penyaringan data terhadap 24 orang partisipan yang mengalami perceraian orang tua setelah umur 16
tahun, sehingga peneliti hanya melakukan analisis data terhadap 128 partisipan (Musia = 19.99; SDusia
= 1.61). Peneliti merekrut partisipan dengan menggunakan convenience sampling, yaitu dengan
merekrut partisipan yang sesuai dengan kriteria penelitian dan bersedia untuk mengisi kuesioner.
Data demografis dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 1.
Demografi Partisipan Penelitian
Variabel
N
%
Jenis Kelamin
Laki-laki
14
10.938
Perempuan
114
89.063
Status Okupasi
Pekerja
35
27.344
Pelajar/Mahasiswa
93
72.656
Identifikasi Etnis
Bali
1
.781
Banjar
4
3.125
Batak
7
5.469
Betawi
3
2.344
Bugis
3
2.344
Dayak
2
1.563
Gorontalo
1
.781
Jawa
55
42.969
Kutai
1
.781
Manado
1
.781
Melayu
2
1.563
Nathalie & Sugianto
X
Variabel
N
%
Minahasa
3
2.344
Minang
2
1.563
Muna
1
.781
Padang
1
.781
Sasak
1
.781
Sunda
29
22.656
Tionghoa
10
7.813
Tolaki
1
.781
Domisili
Pulau Bali & Nusa Tenggara
3
2.344
Pulau Jawa
105
82.031
Pulau Kalimantan
7
5.469
Pulau Papua
1
.781
Pulau Sulawesi
5
3.906
Pulau Sumatera
7
5.469
Apakah orang tua Anda menikah lagi setelah bercerai?
Tidak
24
18.750
Ya
104
81.250
Sudah berapa lama orang tua Anda bercerai?
2.5 tahun
1
.7810
4 tahun
5
3.906
5 tahun
8
6.250
6 tahun
5
3.906
7 tahun
7
5.469
8 tahun
12
9.375
9 tahun
8
6.250
10 tahun
10
7.813
11 tahun
10
7.813
12 tahun
6
4.688
13 tahun
8
6.250
14 tahun
7
5.469
15 tahun
9
7.031
16 tahun
5
3.906
17 tahun
6
4.688
18 tahun
6
4.688
19 tahun
8
6.250
20 tahun
4
3.125
21 tahun
3
2.344
Alasan perceraian orang tua
Perselingkuhan
56
43.750
Konflik Orang Tua
24
18.750
Alasan tidak jelas
22
17.188
Ekonomi
12
9.375
Kekerasan dalam Rumah Tangga
9
7.031
Ketidakcocokan
4
3.125
Ditinggalkan salah satu orang tua
1
.781
Mayoritas partisipan berjenis kelamin perempuan (89.06%), berstatus mahasiswa atau pelajar
(72.65%), berasal dari suku Jawa (42.96%), berdomisili di Pulau Jawa (82.03%), memiliki orang tua
yang menikah lagi setelah bercerai (68.87%), dan mengalami perceraian orang tua selama 8 tahun
Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2024), X(X), XX-XX
X
(9.37%). Alasan perceraian orang tua dikelompokkan menjadi tujuh kategori, di mana sebagian besar
partisipan mengalami perceraian orang tua dikarenakan adanya perselingkuhan dari salah satu orang
tuanya (43.75%).
Prosedur
Peneliti melakukan permohonan izin penggunaan Skala Welas Diri dan melakukan adaptasi
alat ukur Distress Disclosure Index ke dalam Bahasa Indonesia. Kemudian, peneliti melakukan
adaptasi alat ukur dengan metode terjemahan bolak-balik yang dibantu oleh teman peneliti yang
tinggal dan berkuliah di Australia dan Kanada, serta seorang kepala sekolah yang dulunya berprofesi
sebagai seorang penerjemah. Sebelum peneliti menyebarkan kuesioner uji coba alat ukur, peneliti
mengajukan permohonan etik kepada Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN).
Setelah itu, peneliti menyebarkan kuesioner uji coba alat ukur untuk melihat validitas dan
reliabilitasnya. Kemudian, peneliti membuat survei penelitian dalam bentuk Google Form dan
menyebarkan survei tersebut melalui media sosial selama satu minggu. Melalui penyebaran
kuesioner, peneliti memperoleh data yang bersifat anonim dan disimpan ke dalam Google Drive yang
hanya dapat diakses oleh peneliti. Peneliti telah meminta persetujuan kepada partisipan untuk
berpartisipasi sebelum mengisi survei. Kompensasi partisipasi dalam penelitian diberikan kepada
sepuluh orang melalui undian.
Peneliti juga melakukan kontak ke beberapa komunitas broken home, yaitu
@broken_homejakarta, @westrong.id, @behome.id, @brokenhomedaily, dan @BrokenHomeMDR
serta kamunitas mahasiswa, yaitu @collegemenfess dan komunitas penitipan kuesioner penelitian,
yaitu @titipsurvei melalui aplikasi Instagram dan Twitter dengan menjelaskan gambaran umum
penelitian dan meminta bantuan menyebarkan kuesioner.
Instrumen
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner demografis yang terdiri dari usia,
jenis kelamin, status, suku, dan domisili. Terdapat tiga pertanyaan tambahan: "Apakah orang tua
Anda menikah lagi setelah bercerai?" yang merupakan pertanyaan tertutup (ya/tidak), "Sudah berapa
lama orang tua Anda bercerai?", dan "Alasan perceraian orang tua" yang dapat dijawab dengan
jawaban singkat. Peneliti mengajukan pertanyaan tambahan ini untuk melihat apakah terdapat
perbedaan yang signifikan terkait latar belakang perceraian orang tua. Data ini juga akan digunakan
untuk membantu peneliti dalam menganalisis hasil penelitian.
Nathalie & Sugianto
X
Selanjutnya, peneliti menggunakan alat ukur Self-Compassion Scale (Neff, 2003b) yang
diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu Skala Welas Diri atau SWD (Sugianto dkk., 2020). Alat
ukur ini terdiri dari 26 butir pernyataan yang dikategorikan ke dalam enam subskala untuk melihat
tingkat welas diri pada partisipan. Contoh butir dari masing-masing subskala adalah sebagai berikut:
"Saya baik terhadap diri saya saat mengalami penderitaan" (subskala Mengasihi Diri), "Saya tidak
menerima dan menghakimi kelemahan dan kekurangan saya" (subskala Menghakimi Diri), "Saya
mencoba untuk melihat kegagalam saya sebagai bagian dari kondisi yang dialami manusia pada
umumnya" (subskala Kemanusiaan Universal), "Ketika saya merasa sedih, saya cenderung merasa
orang lain mungkin lebih bahagia dibandingkan saya" (subskala Isolasi), "Ketika sesuatu membuat
saya kesal, saya berusaha menjaga emosi saya tetap stabil" (subskala Kewawasan/Mindfulness), dan
"Ketika suatu hal menjengkelkan terjadi, saya terbawa perasaan" (subskala Identifikasi
Berlebihan/Overidentification). SWD menggunakan skala Likert lima pilihan (1 = "Hampir Tidak
Pernah"; 5 = "Hampir Selalu"). Adapun butir yang harus dilakukan penilaian terbalik adalah skor dari
butir-butir subskala negatif, yaitu subskala menghakimi diri, isolasi, dan identifikasi berlebihan. Skor
mean total untuk keenam mean subskala yang lebih tinggi mencerminkan tingkat welas diri yang
lebih tinggi, sementara skor mean total untuk keenam mean subskala yang lebih rendah
mencerminkan tingkat welas diri yang lebih rendah. Dalam pengambilan data, peneliti memperoleh
nilai Cronbach's Alpha untuk SWD sebesar .87 dan reliabilitas untuk subskala Mengasihi Diri sebesar
.703, Menghakimi diri sebesar .727, Kemanusiaan Universal sebesar .745, Isolasi sebesar .812,
Kewawasan/Mindfulness sebesar .696, dan Identifikasi Berlebihan/Overidentification sebesar .680.
Peneliti juga menggunakan versi adaptasi Distress Disclosure Index (DDI) yang dikonstruksi
oleh Kahn dan Hessling (2001) untuk mengukur tingkat pengungkapan kesulitan pada partisipan.
Skala ini bersifat unidimensional dan terdiri dari 12 butir pernyataan. Contoh butir dari DDI adalah
sebagai berikut: "Saya mencoba mencari orang lain untuk diajak bicara tentang masalah saya". DDI
menggunakan skala Likert lima pilihan (1 = "Sangat Tidak Setuju"; 5 = "Sangat Setuju"). Butir yang
diharuskan untuk dinilai secara terbalik berjumlah enam butir dan enam butir lainnya diskoring
seperti biasa. Skor total yang lebih tinggi mencerminkan tingkat pengungkapan kesulitan yang lebih
tinggi, sementara skor total yang lebih rendah mencerminkan tingkat pengungkapan kesulitan yang
lebih rendah.
Dalam melakukan uji coba alat ukur Distress Disclosure Index yang sudah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia, peneliti memperoleh sebanyak 74 partisipan. Hasil reliabilitas yang
ditunjukkan oleh nilai Cronbach's Alpha adalah sebesar .91 dan nilai inter-item correlation berkisar
Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2024), X(X), XX-XX
X
.66 sampai .80, kecuali pada item nomor 8 ("Jika saya mengalami hari yang buruk, hal terakhir yang
ingin saya lakukan adalah membicarakannya") yang menghasilkan nilai -.02. Mengacu pada hal ini,
peneliti berdiskusi dengan peneliti kedua dan memutuskan untuk mengeliminasi item tersebut karena
item cenderung tidak menunjukkan pengukuran yang kredibel terhadap konstruk (Piedmont, 2014).
Dalam pengambilan data, peneliti memperoleh nilai Cronbach's Alpha sebesar .90. Validitas alat
ukur Distress Disclosure ditunjukkan melalui expert judgement.
Teknik Analisis
Peneliti melakukan analisis deskriptif, menguji normalitas, validitas, reliabilitas, korelasi, dan
regresi dengan menggunakan Jeffrey's Amazing Statistic Program (JASP) versi 0.14.1. Validitas
untuk alat ukur akan dilihat melalui expert judgement, sebagaimana yang telah dipaparkan pada
bagian sebelumnya. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan internal consistency, yaitu
Cronbach's Alpha. Alat ukur dikatakan reliabel jika nilai koefesien reliabilitas > .6 (Sugiyono, 2012).
Uji korelasi antar variabel dilakukan dengan menggunakan Pearson’s r jika kedua data mengikuti
distribusi normal dan Spearman’s rho jika ada salah satu data yang tidak mengikuti distribusi normal.
HASIL
Peneliti melakukan analisis deskriptif terhadap variabel penelitian berupa perhitungan rerata,
standar deviasi dan distribusi data menggunakan uji Shapiro-Wilk. Jika nilai p pada uji Shapiro-Wilk
menunjukkan taraf signifikansi di bawah .05, maka data distribusi data dianggap tidak mengikuti
distribusi normal (Goss-Sampson, 2020). Hasil dari analisis deskriptif dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Statistik Deskriptif
Variabel
M
SD
p Shapiro-Wilk
Keterangan
1. SK
3.406
.783
.197
Distribusi normal
2. SJ
3.647
.831
.004
Distribusi tidak normal
3. CH
3.803
.829
< .001
Distribusi tidak normal
4. I
4.033
.921
< .001
Distribusi tidak normal
5. M
3.416
.804
.019
Distribusi tidak normal
6. O
3.639
.882
< .001
Distribusi tidak normal
7. SCS
2.884
.566
.220
Distribusi normal
8. DDI
28.656
10.315
.001
Distribusi tidak normal
9. UPOT
11.824
4.796
.002
Distribusi tidak normal
10. SPOT
.813
.392
< .001
Distribusi tidak normal
Catatan: * = Signifikan pada level .05; ** = Signifikan pada level .01; *** = Signifikan pada level .001; SK = Self-
Kindness/Mengasihi Diri; SJ = Self-Judgement/Menghakimi Diri; CH = Common Humanity/Kemanusiaan Universal; I =
Isolation/Isolasi; M = Mindfulness/Wawas; O = Overidentification/Identifikasi berlebihan; SCS = Self-Compassion
Scale/Skala Welas Diri; DDI = Distress Disclosure Index; UPOT = Usia Perceraian Orang Tua; SPOT = Status
Pernikahan Orang Tua (menikah lagi atau tidak setelah bercerai).
Nathalie & Sugianto
X
Selanjutnya, peneliti juga melaksanakan uji korelasi terhadap welas diri dan komponen welas
diri, pengungkapan kesulitan, usia perceraian orang tua, dan status pernikahan orang tua setelah
bercerai. Uji korelasi dengan korelasi Pearson dilakukan terhadap subskala Mengasihi Diri dengan
skor Skala Welas Diri karena distribusi data mengikuti distribusi normal. Uji korelasi dengan korelasi
Spearman dilakukan kepada variabel lainnya karena distribusi data dari salah satu variabel tidak
mengikuti distribusi normal. Hasil uji korelasi ini dapat diamati pada Tabel 3.
Hasil menunjukkan bahwa welas diri tidak berkorelasi secara signifikan dengan
pengungkapan kesulitan. Peneliti berhipotesis bahwa peningkatan welas diri akan diikuti dengan
peningkatan pengungkapan kesulitan. Sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 2, pengungkapan
kesulitan tidak terdistribusi normal. Oleh karena itu, peneliti menguji hipotesis dengan menggunakan
Spearman’s rho. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3, welas diri (SCS) tidak berhubungan
signifikan dengan pengungkapan kesulitan (DDI). Dengan demikian, hipotesis nul diterima.
Meskipun gagal mengkonfirmasi hipotesis penelitian, peneliti melakukan analisis tambahan
untuk mengakomodir penelitian-penelitian lanjutan, dengan melihat secara detil hubungan setiap
dimensi welas diri dengan pengungkapan kesulitan. Sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 3,
komponen identifikasi berlebihan welas diri berkorelasi positif secara signifikan dengan
pengungkapan kesulitan. Selain itu, usia perceraian orang tua berkorelasi secara positif secara
signifikan dengan welas diri dan komponen wawas welas diri. Usia perceraian juga berkorelasi
negatif secara signifikan dengan komponen menghakimi diri welas diri. Berdasarkan hasil, terlihat
pula bahwa status pernikahan orang tua setelah bercerai tidak berkorelasi secara signifikan dengan
variabel manapun.
Tabel 3.
Hasil Uji Korelasi
Variabel
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1. SK
-
2. SJ
-.305***
-
3. CH
.601***
-.110
-
4. I
-.191*
.538***
-.112
-
5. M
.646***
-.186*
.578***
-.054
-
6. O
-.279**
.523***
-.116
.618***
-.137
-
7. SCS
-.739***
-.635***
.622***
-.623***
.651***
-.668***
-
8. DDI
-.046
.022
.028
.026
-.025
.199*
-.054
-
9. UPOT
.070
-.210*
.076
-.133
.219*
-.185
.226*
-.033
-
10. SPOT
-.013
-.021
-.130
.036
-.021
.137
-.022
-.135
.064
-
Catatan: * = Signifikan pada level .05; ** = Signifikan pada level .01; *** = Signifikan pada level .001; SK = Self-
Kindness/Mengasihi Diri; SJ = Self-Judgement/Menghakimi Diri; CH = Common Humanity/Kemanusiaan Universal; I =
Isolation/Isolasi; M = Mindfulness/Wawas; O = Overidentification/Identifikasi berlebihan; SCS = Self-Compassion
Scale/Skala Welas Diri; DDI = Distress Disclosure Index; UPOT = Usia Perceraian Orang Tua; SPOT = Status
Pernikahan Orang Tua (menikah lagi atau tidak setelah bercerai).
Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2024), X(X), XX-XX
X
DISKUSI
Berdasarkan hasil analisis data, welas diri tidak berhubungan dengan pengungkapan kesulitan
secara signifikan pada dewasa awal dari keluarga yang bercerai. Hal ini berkontradiksi dengan hasil
penelitian-penelitian sebelumnya (Dupasquier dkk., 2019; Heath dkk., 2017; Schellekens dkk., 2017)
yang menyatakan bahwa welas diri dapat memprediksi tingkat pengungkapan kesulitan pada
individu. Oleh sebab itu, di dalam diskusi ini, peneliti mengeksplorasi faktor-faktor lain yang lebih
relevan dengan konteks Indonesia.
Salah satu hal yang dapat menjelaskan hasil penelitian ini adalah faktor budaya. Kim dkk.
(2008) mengemukakan bahwa budaya merupakan faktor yang dapat memengaruhi tendensi seseorang
untuk mengungkapkan informasi personal dirinya dalam konteks sosial. Penelitian terdahulu banyak
dilakukan di negara dengan budaya individualistis. Individu pada budaya individualis secara relatif
lebih suka meminta dukungan sosial secara langsung dengan kepercayaan bahwa setiap orang harus
secara proaktif mengejar kesejahteraan hidupnya (Kim dkk., 2008). Selain itu, orang-orang dari
budaya individualistis cenderung memandang dukungan sosial sebagai salah satu sarana untuk
mencapai tujuan pribadi (Taylor dkk., 2004). Dengan demikian, ketika merasa tertekan, mereka
cenderung berfokus pada tujuannya untuk mengatasi stres dengan meminta waktu dan perhatian
orang lain dalam prosesnya (Taylor dkk., 2004). Hal ini memungkinkan mereka untuk memiliki
tingkat pengungkapan kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu-individu budaya
kolektif.
Di sisi lain, penelitian ini dilakukan di Indonesia yang berbudaya kolektif. Negara dengan
budaya ini relatif lebih berhati-hati dalam menceritakan masalah personal kepada orang lain dengan
keyakinan bahwa individu tidak boleh membebani dan mengecewakan orang lain (Kim dkk., 2008).
Dengan keyakinan ini, mereka cenderung tidak mencari orang lain ketika merasa tertekan.
Kecenderungan untuk tidak mengungkapkan pengalaman negatif ini umumnya dikaitkan dengan nilai
budaya seperti kesopanan dalam mengekspresikan emosi, mencegah rasa malu, dan menjaga
keharmonisan hubungan (Kim dkk., 2008; Kurniawan & Hasanat, 2015). Beberapa kerangka budaya
Asia juga menekankan perbaikan diri melalui pola pikir kritis, namun mendorong pandangan penuh
kasih dan penerimaan terhadap diri (Neff dkk., 2008), sehingga individu terbiasa untuk menerima
situasi tersebut dan menyimpan informasi personal yang menyakitkan dalam dirinya sendiri, alih-alih
mengungkapkannya kepada orang lain.
Di Indonesia, kecenderungan individu untuk mengungkapkan pengalaman negatif
dipengaruhi oleh keseluruhan budaya Indonesia yang mendidik anak untuk tidak menceritakan hal
Nathalie & Sugianto
X
yang dianggap sebagai aib kepada orang lain (Daharnis dkk., 2001). Sejak kecil, kebanyakan anak di
Indonesia dihukum ketika menceritakan hal aib, sehingga individu terbiasa untuk tidak terbuka dari
masa kanak-kanak sebab nilai budaya di Indonesia yang memandang bahwa menceritakan aib
merupakan suatu hal yang memalukan bagi dirinya, kaumnya, dan keluarganya (Daharnis dkk.,
2001). Berdasarkan analisis ini, ketiadaan hubungan bermakna antara welas diri dengan
pengungkapan kesulitan di dalam penelitian ini dapat peneliti atribusi kepada kecenderungan
kolektivisme masyarakat Indonesia.
Hasil analisis tambahan menunjukkan bahwa hanya komponen identifikasi berlebihan yang
berkorelasi secara positif dan signifikan dengan pengungkapan kesulitan walaupun korelasinya
sangat rendah. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat identifikasi berlebihan, tingkat
pengungkapan kesulitan individu dewasa awal dari keluarga yang bercerai cenderung tinggi pula.
Dreisoerner dkk. (2021) yang mengungkapkan bahwa identifikasi berlebihan mendorong individu
melakukan pemikiran yang mendalam akan situasi yang ia hadapi. Pemikiran mendalam ini
berkorelasi positif dengan tingkat pengungkapan diri individu. Hal ini dapat terjadi ketika bagian
kognisi yang mengatur emosi mempertahankan fungsi sinyal emosi tersebut, sehingga menyebabkan
jaringan kognisi mengakses kembali memori terkait pengalaman emosional, menstimulasi pemikiran
mendalam, serta kebutuhan untuk berbicara dengan sesama, yang kemudian mendorong
pengungkapan kepada orang lain (Garrison dkk., 2014; Rimé, 2009). Dengan demikian, adanya
pemikiran mendalam ini mendorong seseorang untuk melakukan pengungkapan perasaan yang
menekan kepada orang lain.
Selain itu, penelitian ini menunjukkan korelasi positif antara usia perceraian orang tua dengan
welas diri secara keseluruhan, dan komponen wawas akan pikiran dan perasaan. Hasil juga
menunjukkan korelasi yang negatif antara usia perceraian orang tua dengan komponen menghakimi
diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Kirana dan Suprapti (2021) yang mengungkapkan bahwa
seiring berjalannya waktu, dewasa awal dari keluarga yang bercerai dapat memandang dirinya dengan
lebih positif dan tidak melihat kekurangan sebagai rintangan yang dapat menghentikannya
melanjutkan hidup. Penjelasan ini merupakan komponen kewawasan, yaitu keadaan pikiran yang
tidak menghakimi di mana individu dapat mengamati pikiran dan perasaan sebagaimana adanya,
tanpa mencoba untuk melebih-lebihkan, menyangkal atau pun menarik diri, sehingga mereka
cenderung bersikap lembut pada diri sendiri ketika menghadapi pengalaman yang menyakitkan
daripada menjadi marah ketika hidup tidak mencapai standar ideal yang ditetapkan (Neff, 2003a,
2021).
Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2024), X(X), XX-XX
X
Dalam penelitian ini, peneliti juga menemukan bahwa semakin lama usia perceraian orang
tua, dewasa awal dari keluarga yang bercerai lebih dapat memahami dan menerima keadaan yang
dialami dibandingkan saat pertama kalinya mereka mengalami kejadian tersebut, sebagaimana yang
ditemukan juga dalam penelitian Du Plooy dan Van Rensburg (2015) serta Kirana dan Suprapti
(2021). Penjelasan ini sesuai dengan pernyataan Neff (2003a) bahwa welas diri merupakan
penerimaan, keterbukaan, dan pemahaman yang tidak menghakimi terhadap penderitaan seseorang
serta keinginan untuk meringankan penderitaan dengan kebaikan, sehingga pengalaman individu
dipandang sebagai bagian dari kemanusiaan. Selain itu, terdapat perubahan persepsi dalam hal
pembebasan diri dari rasa bersalah atas perceraian orang tua, di mana individu dapat menyadari
bahwa perceraian orang tua bukanlah kesalahannya dan bahwa dirinya tidak dapat "menyelamatkan"
kondisi hubungan orang tuanya (Du Plooy & Van Rensburg, 2015; Halligan dkk., 2014). Hal ini
sejalan dengan gagasan yang dikemukakan oleh Neff (2003a), yaitu ketika komponen menghakimi
diri rendah, individu cenderung tidak menyalahkan diri, memaksakan penilaian yang bersifat negatif,
dan menghakimi diri sendiri.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa welas diri tidak berkaitan dengan pengungkapan
kesulitan secara signifikan pada orang dewasa awal dari keluarga yang bercerai. Budaya merupakan
faktor yang mungkin lebih dapat memengaruhi kecenderungan seseorang untuk mengomunikasikan
pengalaman yang menyakitkan dalam konteks sosial. Peneliti juga menemukan bahwa semakin lama
usia perceraian orang tua, semakin tinggi tingkat welas diri dan wawas serta semakin rendah tingkat
menghakimi diri pada dewasa awal dari keluarga yang bercerai.
Terdapat beberapa keterbatasan yang dapat dipertimbangkan untuk penelitian selanjutnya.
Pertama, faktor kurangnya sampel dan penyebaran yang tidak seimbang antara sampel laki-laki dan
perempuan, sehingga perlu hati-hati dalam menggeneralisir hasil penelitian pada individu dari
kelompok lain atau yang bukan merupakan partisipan penelitian. Kedua, penelitian ini tidak
menjelaskan hubungan sebab-akibat sebab penelitian ini masih termasuk penelitian korelasi.
Terakhir, faktor alat ukur perlu diperhatikan. Eliminasi terhadap satu item dilakukan dalam penelitian
ini (Distress Disclosure Index). Hal tersebut menjadi potensi keterbatasan terkait dengan proses
adaptasi dan kualitas psikometrik yang mungkin dapat memengaruhi analisis data, sehingga alat ukur
perlu untuk diuji kembali dan bukan hanya sekadar melakukan item drop.
Nathalie & Sugianto
X
SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini menemukan bahwa welas diri tidak berkaitan secara signifikan dengan
pengungkapan kesulitan pada orang dewasa awal dari keluarga yang bercerai. Hasil penelitian ini
tidak konsisten dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Terdapat faktor lainnya yang mungkin
lebih dapat memengaruhi pengungkapan kesulitan pada dewasa awal dari keluarga yang bercerai,
seperti misalnya, budaya. Walaupun begitu, peneliti menemukan korelasi positif yang signifikan
antara komponen kewawasan dengan pengungkapan kesulitan sekalipun korelasinya sangat rendah.
Ditemukan juga bahwa usia perceraian orang tua berkorelasi positif dan signifikan dengan welas diri
dan komponen wawas, serta berkorelasi negatif dan signifikan dengan komponen menghakimi diri.
Penelitian selanjutnya dapat merekrut sampel dengan mempertimbangkan jumlah yang
merata pada setiap kelompok, sehingga hasil penelitian dapat mewakili populasi dengan lebih baik.
Penelitian selanjutnya juga dapat mempertimbangkan faktor lain. Sebagaimana telah peneliti ungkap
dalam diskusi ini, sejauh apa peran individualisme dan kolektivisme terhadap pengungkapan
kesulitan menjadi topik yang menarik. Peneliti selanjutnya dapat mengeskplorasi, misalnya, peran
kolektivisme sebagai penekan (suppressor) yang menihilkan peran welas diri terhadap pengungkapan
kesulitan. Terkait dengan alat ukur Distress Disclosure Index, penelitian selanjutnya dapat
mempertimbangkan untuk merevisi item yang tidak mencapai standar validitas dan mengujinya
kembali, sehingga alat ukur memiliki kualitas psikometrik yang lebih baik dalam mengukur tingkat
pengungkapan kesulitan pada partisipan. Terakhir, ada baiknya jika penelitian selanjutnya menggali
mengenai kedua variabel ini lebih lanjut di Indonesia.
Bagi dewasa awal dari keluarga yang bercerai, disarankan untuk mempraktikkan welas diri
sebagai salah satu cara penyelesaian masalah alternatif dalam menghadapi konsekuensi negatif yang
diakibatkan oleh orang tua. Apabila merasa perlu untuk bercerita, dianjurkan untuk bercerita kepada
pihak yang aman dan dipercaya, seperti psikolog. Bagi tenaga profesional di bidang psikologi,
disarankan untuk menggunakan informasi terkait dengan manfaat dari melakukan pengungkapan
kesulitan dan mempraktikkan welas diri dalam merumuskan intervensi dalam konseling atau terapi
berupa pengajaran teknik welas diri misalnya, melatih untuk berbicara baik atau positif kepada diri
sendiri untuk meningkatkan kesehatan mental.
Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2024), X(X), XX-XX
X
ASPEK ETIK STUDI
Pernyataan Etik
Seluruh prosedur yang dilakukan pada studi ini telah sesuai dengan Deklarasi Helsinki tahun 1964
dan segala adendumnya atau dengan standar etika yang relevan. Aspek etik dari studi ini telah diuji
dan disetujui oleh Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (nomor persetujuan:
033/2021/Etik/KPIN). Pernyataan kesediaan berpartisipasi dari seluruh partisipan telah diperoleh.
Konflik Kepentingan
Tidak terdapat konflik kepentingan pada penelitian ini.
Ketersediaan Data
Data yang digunakan dalam studi ini dapat diakses dengan menghubungi penulis melalui surel.
REFERENSI
Amato, P. R., & Cheadle, J. (2005). The long reach of divorce: Divorce and child well-being across
three generations. Journal of Marriage and Family, 67(1), 191–206.
https://doi.org/10.1111/j.0022-2445.2005.00014.x
Badan Pusat Statistik. (2021). Jumlah nikah, talak dan cerai, serta rujuk (pasangan nikah). Badan
Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/indicator/27/176/1/jumlah-nikah-talak-dan-cerai-serta-
rujuk.html
Bowlby, J. (1973). Attachment and loss. Basic Books.
Carpenter, A., & Greene, K. (2016). Social penetration theory. Dalam C. R. Berger & M. E. Roloff
(Eds.), The International Encyclopedia of Interpersonal Communication (hal. 1–4). John
Wiley & Sons, Inc. https://doi.org/10.1002/9781118540190.wbeic160
Cartwright, C. (2006). You want to know how it affected me? Young adults’ perceptions of the impact
of parental divorce. Journal of Divorce and Remarriage, 44(3–4), 125–143.
https://doi.org/10.1300/J087v44n03_08
Cherlin, A. J., Chase-Lansdale, P. L., & McRae, C. (1998). Effects of parental divorce on mental
health throughout the life course. American Sociological Review, 63(2), 239–249.
https://doi.org/10.2307/2657325
Daharnis, Nirwana, H., Ilyas, A., & Karneli, Y. (2001). Pengungkapan diri (self-disclosure) pada
mahasiswa. Jurnal Ilmu Pendidikan, 8(4), 294–304. https://doi.org/10.17977/jip.v8i4.579
Dewi, P. S., & Utami, M. S. (2015). Subjective well-being anak dari orang tua yang bercerai. Jurnal
Psikologi, 35(2), 194–212. https://doi.org/10.22146/jpsi.7952
Nathalie & Sugianto
X
Dreisoerner, A., Junker, N. M., & Van Dick, R. (2021). The relationship among the components of
self-compassion: A pilot study using a compassionate writing intervention to enhance self-
kindness, common humanity, and mindfulness. Journal of Happiness Studies, 22(1), 21–47.
https://doi.org/10.1007/s10902-019-00217-4
Du Plooy, K., & Van Rensburg, E. (2015). Young adults’ perception of coping with parental divorce:
a retrospective study. Journal of Divorce and Remarriage, 56(6), 490–512.
https://doi.org/10.1080/10502556.2015.1058661
Dupasquier, J. R., Kelly, A. C., Moscovitch, D. A., & Vidovic, V. (2019). Cultivating self-
compassion promotes disclosure of experiences that threaten self-esteem. Cognitive Therapy
and Research, 44(1), 108–119. https://doi.org/10.1007/s10608-019-10050-x
Garrison, A. M., Kahn, J. H., Miller, S. A., & Sauer, E. M. (2014). Emotional avoidance and
rumination as mediators of the relation between adult attachment and emotional disclosure.
Personality and Individual Differences, 70, 239–245.
https://doi.org/10.1016/j.paid.2014.07.006
Gilbert, P., Catarino, F., Duarte, C., Matos, M., Kolts, R., Stubbs, J., Ceresatto, L., Duarte, J., Pinto-
Gouveia, J., & Basran, J. (2017). The development of compassionate engagement and action
scales for self and others. Journal of Compassionate Health Care, 4(1), 1–24.
https://doi.org/10.1186/s40639-017-0033-3
Goss-Sampson, M. A. (2020). Statistical analysis in JASP 0.1.4: A guide for students. https://jasp-
stats.org/wp-content/uploads/2020/11/Statistical-Analysis-in-JASP-A-Students-Guide-v14-
Nov2020.pdf
Halligan, C., Chang, I. J., & Knox, D. (2014). Positive effects of parental divorce on undergraduates.
Journal of Divorce and Remarriage, 55(7), 557–567.
https://doi.org/10.1080/10502556.2014.950905
Heath, P. J., Brenner, R. E., Vogel, D. L., Lannin, D. G., & Strass, H. A. (2017). Masculinity and
barriers to seeking counseling: The buffering role of self-compassion. Journal of Counseling
Psychology, 64(1), 94–103. https://doi.org/10.1037/cou0000185
Hochberg, Z., & Konner, M. (2020). Emerging adulthood, a pre-adult life-history stage. Frontiers in
Endocrinology, 10(January), 1–12. https://doi.org/10.3389/fendo.2019.00918
Huurre, T., Junkkari, H., & Aro, H. (2006). Long-term psychosocial effects of parental divorce: A
follow-up study from adolescence to adulthood. European Archives of Psychiatry and
Clinical Neuroscience, 256(4), 256–263. https://doi.org/10.1007/s00406-006-0641-y
Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2024), X(X), XX-XX
X
Ignatius, E., & Kokkonen, M. (2007). Factors contributing to verbal self-disclosure. Nordic
Psychology, 59(4), 362–391. https://doi.org/10.1027/1901-2276.59.4.362
Kahn, J. H., & Hessling, R. M. (2001). Measuring the tendency to conceal versus disclose
psychological distress. Journal of Social and Clinical Psychology, 20(1), 41–65.
https://doi.org/10.1521/jscp.20.1.41.22254
Kerns, K. A., & Brumariu, L. E. (2014). Is insecure parent-child attachment a risk factor for the
development of anxiety in childhood or adolescence? Child Development Perspectives, 8(1),
12–17. https://doi.org/10.1111/cdep.12054.Is
Kim, H. S., Sherman, D. K., & Taylor, S. E. (2008). Culture and social support. American
Psychologist, 63(6), 518–526. https://doi.org/10.1037/0003-066X
Kirana, A. M., & Suprapti, V. (2021). Psychological well being dewasa awal yang mengalami riwayat
perceraian orang tua di masa remaja. Buletin Riset Psikologi Dan Kesehatan Mental, 1(1),
1003. https://doi.org/10.20473/brpkm.v1i1.27695
Kreiner, H., & Levi-Belz, Y. (2019). Self-disclosure here and now: Combining retrospective
perceived assessment with dynamic behavioral measures. Frontiers in Psychology, 1, 2–12.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.00558
Kurniawan, A. P., & Hasanat, N. U. (2015). Perbedaan ekspresi emosi pada beberapa tingkat generasi
suku jawa di yogyakarta. Jurnal Psikologi, 34(1), 1–17. https://doi.org/10.22146/jpsi.7086
Neff, K. D. (2003a). The development and validation of a scale to measure self-compassion. Self and
Identity, 2, 223–250. https://doi.org/10.1080/15298860390209035
Neff, K. (2003b). Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy attitude toward
oneself. Self and Identity, 2(2), 85–101. https://doi.org/10.1080/15298860309032
Neff, K. (2018). Setting the record straight about the self-compassion scale. Mindfulness, 10, 200–
202. https://doi.org/10.1007/s12671-018-1061-6
Neff, K. (2021). The three elements of self-compassion. Self-Compassion. https://self-
compassion.org/the-three-elements-of-self-compassion-2/
Neff, K. D., & Beretvas, S. N. (2012). The role of self-compassion in romantic relationships. Self and
Identity, 12(1), 1–21. https://doi.org/10.1080/15298868.2011.639548
Neff, K. D., Pisitsungkagarn, K., & Hsieh, Y. P. (2008). Self-compassion and self-construal in the
United States, Thailand, and Taiwan. Journal of Cross-Cultural Psychology, 39(3), 267–285.
https://doi.org/10.1177/0022022108314544
Nathalie & Sugianto
X
Piedmont, R.L. (2014). Inter-item correlations. In A. C. Michalos (Ed.) Encyclopedia of Quality of
Life and Well-Being Research. Springer, Dordrecht. https://doi.org/10.1007/978-94-007-
0753-5_1493
Pietromonaco, P. R., & Collins, N. L. (2017). Interpersonal mechanisms linking close relationships
to health HHS public access. Am Psychol, 72(6), 531–542.
https://doi.org/10.1037/amp0000129
Rimé, B. (2009). Emotion elicits the social sharing of emotion: Theory and empirical review. Emotion
Review, 1(1), 60–85. https://doi.org/10.1177/1754073908097189
Ross, L. T., & Miller, J. R. (2009). Parental divorce and college students: The impact of family
unpredictability and perceptions of divorce. Journal of Divorce and Remarriage, 50(4), 248–
259. https://doi.org/10.1080/10502550902790746
Saikia, R. (2017). Broken family: Its causes and effects on the development of children. International
Journal of Applied Research, 3(2), 445–448.
Salazar, L. (2015). Exploring the relationship between compassion, closeness, trust, and social
support in same-sex friendships. The Journal of Happiness & Well-Being, 3(1), 15–29.
Sarbini, W., & Wulandari, K. (2014). Kondisi psikologi anak dari keluarga yang bercerai. Artikel
Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa. 1–5.
https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58954/Wasil%20Sarbini.pdf?seque
nce=1
Savitri, L. S. Y. (2011). Pengaruh perceraian pada anak. [eBook edition]. Direktorat Pembinaan
Pendidikan Anak Usia Dini, 30. http://repositori.kemdikbud.go.id/591/1/35 PENGARUH
CERAI.pdf
Schellekens, M. P. J., Karremans, J. C., van der Drift, M. A., Molema, J., van den Hurk, D. G. M.,
Prins, J. B., & Speckens, A. E. M. (2017). Are mindfulness and self-compassion related to
psychological distress and communication in couples facing lung cancer? A dyadic approach.
Mindfulness, 8(2), 325–336. https://doi.org/10.1007/s12671-016-0602-0
Sugianto, D., Suwartono, C., & Sutanto, S. H. (2020). Reliabilitas dan validitas self-compassion scale
versi Bahasa Indonesia. Jurnal Psikologi Ulayat, 7(2), 177–191.
https://doi.org/10.24854/jpu107
Sugiyono. (2012). Metode penelitian pendidikan (Pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D).
Alfabeta.
Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2024), X(X), XX-XX
X
Taylor, S. E., Sherman, D. K., Kim, H. S., Jarcho, J., Takagi, K., & Dunagan, M. S. (2004). Culture
and social support: Who seeks it and why? Journal of Personality and Social Psychology,
87(3), 354–362. https://doi.org/10.1037/0022-3514.87.3.354
Triana, Erliana, Y. D., & Mustafa, K. (2019). Hubungan antara self-compassion dengan self-
disclosure pada remaja di panti asuhan tritunggal sumbawa. Jurnal Diskursus Ilmu Psikologi
& Pendidikan, 1(1), 11–13. https://doi.org/10.36761/jp.v1i1.212
Ubando, M. (2016). Gender differences in intimacy, emotional expressivity, and relationship
satisfaction. Pepperdine Journal of Communication Research, 4(13), 19–29.
https://digitalcommons.pepperdine.edu/pjcr/vol4/iss1/13
Ward, M., Doherty, D. T., & Moran, R. (2007). It’s good to talk: Distress disclosure and
psychological wellbeing. [eBook edition]. Health Research Board.
https://www.drugsandalcohol.ie/11849/1/HRB_ResearchSeries1.pdf
Zaki, J., & Williams, W. C. (2013). Interpersonal emotion regulation. Emotion, 13(5), 803–810.
https://doi.org/10.1037/a0033839