ArticlePDF Available

Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata Kabupaten Enrekang

Authors:
  • Politeknik Pariwisata Makassar

Abstract

Kabupaten Enrekang memiliki 25 desa wisata yang tersebar di seluruh daerah kecamatan. Kehadiran desa wisata ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan potensi desa melalui kepariwisataan. Salah satu komponen penting dari kehadiran desa wisata adalah membuat paket wisata. Penyusunan paket wisasta menjadi hal yang penting karena mampu mensinergikan potensi desa secara merata. Berdasarkan hal tersebut, maka kegiatan pengabdian masyarakat program studi Usaha Perjalanan Wisata – Politeknik Pariwisata Makassar membuat pelatihan/bimbingan teknik pengembangan produk paket wisata. Metode yang digunakan adalah ceramah dan simulasi. Hasil pelatihan ini menunjukkan adanya peningkatan pemahaman peserta terhadap peran penting produk paket wisata dan peserta telah dapat menyusun paket wisata desanya sendiri.
Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata Kabupaten Enrekang
Windra Aini*, Amirullah, Mukarramah Machmud, Rusdi, Ruth Rinda, Atriana Djabbar, Sri Maryati
PADAIDI: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat
P-ISSN XXXXX | E-ISSN XXXXXXX
Vol. 1 No. 1 JanuariJuli 2024
Publisher: P3M Politeknik Pariwisata Makassar
Available online:
http://journal.poltekparmakassar.ac.id/index.php/padaidi
39 PADAIDI: Journal of Tourism Dedication, VOL.1 NO.1 (2024): Januari-Juni
Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata
Kabupaten Enrekang
Windra Aini1*, Amirullah², Mukarramah Machmud³, Rusdi⁴, Ruth Rinda⁵, Atriana Djabbar⁶, Sri
Maryati⁷
1234567Usaha Perjalanan Wisata, Politeknik Pariwisata Makassar
Jl. Gunung Rinjani Kota Mandiri Tanjung Bunga · Makassar, Sulawesi Selatan. 9022
1windraaini@gmail.com 2amirullahakpar@gmail.com 3mukarramahmachmud@poltekparmakassar.ac.id
4rusdipoltekpar@gmail.com 5ruthrinda2804@gmail.com 6atrianadj@gmail.com 7srimaryatia@gmail.com
*Corresponding Author: Windra Aini
Received: April, 2024
Accepted: April, 2024
Published: April 2024
Abstract
The Enrekang Regency district encompasses 25 tourist villages. Establishing these villages is
expected to enhance the socioeconomic well-being of the local community by fostering the
development of village resources through tourism. One crucial aspect of the implementation of a
tourist village is the creation of a comprehensive tour package. Formulating tourism packages is a
vital step because it allows for the optimal utilisation of the village's potential. Based on this, the
community service activities of the Tourism Travel Business study program at Makassar Tourism
Polytechnic provided training and technical guidance on developing tour package products. The
methods used were lectures and simulations. The results of this training demonstrated an increase
in participants' understanding of the importance of tour package products, and participants were
able to develop their village tour packages.
Keywords: Village Tourism, Training, Travel, Enrekang
Abstrak
Kabupaten Enrekang memiliki 25 desa wisata yang tersebar di seluruh daerah kecamatan.
Kehadiran desa wisata ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
pemberdayaan potensi desa melalui kepariwisataan. Salah satu komponen penting dari kehadiran
desa wisata adalah membuat paket wisata. Penyusunan paket wisasta menjadi hal yang penting
karena mampu mensinergikan potensi desa secara merata. Berdasarkan hal tersebut, maka
kegiatan pengabdian masyarakat program studi Usaha Perjalanan Wisata Politeknik Pariwisata
Makassar membuat pelatihan/bimbingan teknik pengembangan produk paket wisata. Metode yang
Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata Kabupaten Enrekang
Windra Aini*, Amirullah, Mukarramah Machmud, Rusdi, Ruth Rinda, Atriana Djabbar, Sri Maryati
40 PADAIDI: Journal of Tourism Dedication, VOL.1 NO.1 (2024): Januari-Juni
digunakan adalah ceramah dan simulasi. Hasil pelatihan ini menunjukkan adanya peningkatan
pemahaman peserta terhadap peran penting produk paket wisata dan peserta telah dapat
menyusun paket wisata desanya sendiri.
Kata Kunci: Desa Wisata, Pelatihan, Perjalanan, Enrekang
1. PENDAHULUAN
Strategi untuk mengembangkan desa wisata melalui peningkatan kompetensi
sumber daya manusia. Menurut (Bagus Gede Wiliam Pranata Kesuma et al., 2023)
peningkatan kompetensi di desa wisata melalui pengemasan produk wisata berstandar
industri, percepatan kerjasama antara desa wisata dengan industri pariwisata. Kompetensi
pengelola desa wisata menghadapi berbagai tantangan dalam mengembangkan produk
wisata. (Rusdi et al., 2023) mengemukakan bahwa tantangan yang dihadapi oleh desa
wisata adalah sulitnya memasarkan karena kurangnya perencanaan paket wisata, padahal
memiliki potensi yang cukup besar, terutama di bidang pengembangan agrowisata. Pada
kondisi ini, diperlukan alternatif strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan desa
wisata. (Pantiyasa & Rosalina, 2020) menguraikan strategi seperti mempertahankan kualitas
produk, memperbaiki infrastruktur, memperbaiki manajemen dan meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, meningkatkan teknologi informasi, melakukan kerjasama yang lebih
baik dengan perusahaan biro perjalanan wisata, meningkatkan peran serta masyarakat
dalam pengawasan dan promosi melalui media sosial.
Keberadaan perguruan tinggi berperan dalam pengembangan desa wisata.
(Wikantiyoso et al., 2021) mengemukakan bahwa peran dan keterlibatan mediator dalam
proses pembangunan partisipatif meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
mengorganisir dan membangun desa wisata yang berkelanjutan. Menurut (Fedrina &
Darmawan, 2024) pemangku kepentingan utama dalam pengembangan desa wisata adalah
organisasi lokal, masyarakat, industri, universitas, dan pemerintah daerah. Dengan
demikian, keberadaan perguruan tinggi dalam pengembangan desa wisata tidak hanya
membawa manfaat pendidikan, tetapi juga membantu memfasilitasi kolaborasi antara
berbagai pemangku kepentingan, memperkuat kapasitas masyarakat lokal, dan
mengarahkan pembangunan menuju keberlanjutan.
Pengembangan produk perjalanan wisata melalui pelatihan sebagai cara yang efektif
untuk memperkaya pengabdian masyarakat perguruan tinggi. Menurut (Maharani et al.,
2022) Strategi yang dilakukan Pokdarwis desa wisata dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat adalah dengan memberikan pelatihan softskill dalam pengelolaan desa wisata
dan meningkatkan kreatifitas masyarakat melalui sosialisasi dan contoh langsung agar
masyarakat kreatif ikut serta dalam mengembangkan wisata setempat. (Menggo et al.,
2022) menjelaskan bahwa Metode yang digunakan untuk mencapai kemampuan pengelola
desa wisata adalah ceramah, tanya jawab, diskusi, bermain peran, demonstrasi dan
presentasi pribadi. Oleh karena itu, pengembangan produk perjalanan wisata melalui
pelatihan membawa manfaat ganda dalam pengabdian masyarakat perguruan tinggi, yaitu
memberikan keterampilan praktis kepada masyarakat dalam pengelolaan wisata dan
Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata Kabupaten Enrekang
Windra Aini*, Amirullah, Mukarramah Machmud, Rusdi, Ruth Rinda, Atriana Djabbar, Sri Maryati
41 PADAIDI: Journal of Tourism Dedication, VOL.1 NO.1 (2024): Januari-Juni
mendorong partisipasi aktif dalam pembangunan dan pengembangan destinasi wisata
lokal.
Kabupaten Enrekang, secara geografis, terletak di antara garis lintang selatan
3014’36” 3050’0” dan garis bujur timur 119040’53” 12006’33”. Berbatasan dengan
beberapa kabupaten sekitarnya, Enrekang bertemu dengan Kabupaten Tana Toraja di
sebelah utara, Kabupaten Luwu di sebelah timur, Kabupaten Sidenreng Rappang di sebelah
selatan, dan Kabupaten Pinrang di sebelah barat. Dengan luas mencapai 1.786,01 Km2,
wilayah kabupaten ini mencakup sekitar 2,83 persen dari total wilayah Provinsi Sulawesi
Selatan. Pembagian administratifnya meliputi 12 kecamatan, yang kembali terbagi menjadi
129 desa atau kelurahan.
Berdasarkan data dari website jadesta sulsel, Kabupaten Enrekang memiliki 25 desa
wisata yang terdiri dari 22 desa dalam kategori rintisan dan 3 desa dalam kategori
berkembang. Desa-desa tersebut adalah 1) Desa Bamba Puang; 2) Banua; 3) Batu mila; 4)
Benteng Alla Utara; 5) Bone-bone; 6) Bungin; 7) Buntu Mondong; 8) Eran Batu; 9) Kadingeh;
10) Kendenan; 11) Langda; 12) Latimojong; 13) Lewaja; 14) Limbong; 15) Mendatte; 16)
Parombean; 17) Pepandengan; 18) Salassa; 19) Salukanan; 20) Sanlepongan; 21) Singki; 22)
Sumbang; 23) Tallang Rilau; 24) Tallung Ura; 25) Tokkonan.
Menurut UU No. 10 tahun 2009 dan (Wirdayanti et al., 2021), konsepsi tentang desa
wisata menggambarkan suatu daerah yang menjadi tujuan wisata atau destinasi pariwisata.
Desa ini menggabungkan daya tarik wisata, infrastruktur umum, fasilitas pariwisata, dan
aksesibilitas dalam satu kesatuan, yang diatur oleh struktur kehidupan masyarakat yang
kental dengan tata cara dan tradisi lokal. Namun, pembangunan desa selama ini sering lebih
mengutamakan konsep "membangun desa" daripada "desa membangun". Dalam
paradigma pembangunan yang lebih tradisional, faktor-faktor eksternal sering
mendominasi arah pembangunan desa, yang pada gilirannya membuat desa semakin
bergantung pada bantuan luar. Sebaliknya, pendekatan "desa membangun" menekankan
peran serta masyarakat sebagai faktor utama dalam membangun desa yang berkelanjutan.
Desa wisata di Indonesia mengalami perkembangan yang positif saat ini. Selain
meningkatkan beragam paket wisata berbasis sumber daya pedesaan, banyak desa juga
mulai mengembangkan pariwisata berdasarkan keunikan lokal, seperti melalui
pengembangan pondok wisata atau homestay. Meskipun begitu, masih banyak kegiatan
pariwisata di pedesaan yang cenderung mengambil manfaat dari sumber daya alam secara
berlebihan. Ironisnya, tujuan awal pembangunan desa wisata untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan melestarikan lingkungan desa mulai tergeser oleh dorongan
untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Dampaknya, banyak daya tarik wisata
alam di pedesaan yang mengalami kerusakan akibat wisata massal, yang jika dibiarkan
terus-menerus dapat merusak sumber daya pedesaan secara permanen.
Desa Wisata Hijau merupakan inovasi yang dirancang untuk mengatasi tantangan
lingkungan yang dihadapi. Konsep ini muncul sebagai respons terhadap kekhawatiran global
terhadap lingkungan, sebagaimana yang ditekankan dalam Agenda 21 yang disusun oleh
UNECD. Fokusnya adalah mencapai pembangunan yang berkelanjutan, dengan
memperhatikan hubungan yang kompleks antara aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial
Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata Kabupaten Enrekang
Windra Aini*, Amirullah, Mukarramah Machmud, Rusdi, Ruth Rinda, Atriana Djabbar, Sri Maryati
42 PADAIDI: Journal of Tourism Dedication, VOL.1 NO.1 (2024): Januari-Juni
budaya. Pertama, dalam konteks lingkungan alam, desa wisata hijau berusaha untuk
memastikan bahwa aktivitas wisata tidak merusak ekosistem alam setempat. Di sisi
ekonomi, desa wisata bertujuan untuk menciptakan dampak positif yang berkelanjutan,
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bagi penduduk setempat. Sementara itu, dari
sudut pandang sosial budaya, desa wisata menekankan penghargaan terhadap warisan
budaya lokal, sambil mendorong pelestariannya untuk generasi mendatang. Dengan
pendekatan ini, Desa Wisata Hijau berupaya menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan
konservasi lingkungan dan pelestarian budaya, menuju tujuan pembangunan yang
berkelanjutan.
Gambar 1. Konsep Pembangunan Berkelanjutan
[Sumber: (FAO, 2009)]
Idea gambar pada gambar 1 tercermin dalam kerangka pembangunan pariwisata
berkelanjutan yang didefinisikan sebagai "Tourism that takes full account of its current and
future economic, social and environmental impacts, addressing the needs of visitors, the
industry, the environment and host communities" pariwisata yang memperhitungkan
sepenuhnya dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan saat ini maupun di masa depan, serta
memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan, dan masyarakat tuan rumah.
(Susyanti & Latianingsih, 2014). Dengan dasar konsep tersebut, maka bentuk pembangunan
pariwisata berkelanjutan, yang juga diadopsi oleh Desa Wisata Hijau, mengarah pada
beberapa prinsip dasar sebagai berikut: a) Mendorong tumbuhnya kegiatan wisata yang
ramah dan peduli pada lingkungan; b) Mendorong pengembangan produk pariwisata
berbasis pelestarian; c) Mendorong pengembangan produk pariwisata sesuai minat pasar
berbasis pelestarian, misalnya wisata budaya, wisata pusaka (heritage tourism), wisata
alam, dan wisata kreatif; d) Mendorong tumbuh dan berkembangnya pariwisata berbasis
komunitas; e) Mendorong kepedulian dan tanggung jawab industri pariwisata dan industri
pendukung lainnya dalam penerapan konsep pembangunan ramah lingkungan; f)
Mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya lokal.
Kehadiran program desa wisata diharapkan dapat mendukung pemerataan
pembangunan sampai ke pelosok desa melalui kegiatan wisata. Jumlah desa wisata yang
ada terus berkembang sering dengan banyaknya desa yang mulai merasakan manfaat
Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata Kabupaten Enrekang
Windra Aini*, Amirullah, Mukarramah Machmud, Rusdi, Ruth Rinda, Atriana Djabbar, Sri Maryati
43 PADAIDI: Journal of Tourism Dedication, VOL.1 NO.1 (2024): Januari-Juni
hadirnya desa wisata ini. Namun, banyak juga desa wisata yang tidak dapat bertahan dalam
mengembangkan potensinya menjadi sebuah desa wisata yang berdaya guna. Banyak
faktor yang mempengaruhi kondisi ini, salah satu yang paling dominan adalah kesiapan
sumber daya manusianya. Berdasarkan pertimbangan ini, maka Politeknik Pariwisata
Makassar melalui program studi Usaha Perjalanan Wisata melakukan kegiatan pengabdian
masyarakat dengan mengadakan pelatihan pengembangan produk paket wisata di desa
wisata.
2. METODE
2.1 Tema, Peserta dan Lokasi Pengabdian
Kegiatan “Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata Kabupaten
Enrekang” ini dilaksanakan pada tanggal 11-12 Mei 2023 di Aula Rumah Jabatan Bupati
Enrekang. Peserta pelatihan berjumlah 30 orang yang merupakan anggota POKDARWIS
(Kelompok Sadar Wisata), pengelola desa wisata, pemilik daya tarik wisata dan pemandu
wisata. Peserta berasal dari desa dan kecamatan di Kabupaten Enrekang.
2.2 Narasumber dan Materi
Narasumber kegiatan berasal dari Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Enrekang, Dr.
Windra Aini (Politeknik Pariwisata Makassar), Drs. Amirullah, M.Pd (Politeknik Pariwisata
Makassar) dan 6 (enam) orang mahasiswa program studi usaha perjalanan wisata sebagai
tim pembantu. Kegiatan pelatihan berbentuk ceramah dan diskusi serta praktek pembuatan
paket wisata. Materi yang disampaikan kepada masyarakat meliputi: 1) Potensi dan strategi
pengembangan sector pariwisata dan ekonomi kreatif; 2) Produk wisata di desa wisata; dan
3) Pola perjalanan wisata. Untuk mengetahui keberhasilan kegiatan pelatihan, pada hari
terakhir pelatihan tim pengabdian melakukan survei melalui pengisian angket yang diisi
oleh peserta. Angket dibuat untuk dapat mengukur tingkat pemahaman dan kemampuan
peserta dalam mengimplementasikan pelatihan yang telah dibuat.
2.3 Tahap-Tahap Pengembangan
Paket perjalanan wisata adalah sebuah produk perjalanan yang diproduksi dan
dipasarkan oleh agen perjalanan wisata atau mungkin oleh agen perjalanan wisata lain
(Alola et al., 2021). Biasanya, paket wisata terdiri dari kombinasi berbagai elemen
pariwisata, termasuk transportasi, akomodasi, atraksi wisata, layanan makanan dan
minuman, serta bimbingan dari seorang tour leader, yang semuanya dijual kepada para
wisatawan dalam satu harga (Holloway & Humpreys, 2019). Pengelompokkan paket wisata
bisa didasarkan pada beberapa faktor, seperti jumlah peserta tur, jenis transportasi yang
digunakan, makanan yang disediakan, jarak ke tujuan wisata, durasi perjalanan, dan tujuan
akhirnya (Georgi Jordanov & Desislava Yordanova, 2015).
Paket perjalanan wisata dibuat melalui tahap-tahap pengembangan paket wisata
digambarkan sebagai berikut:
Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata Kabupaten Enrekang
Windra Aini*, Amirullah, Mukarramah Machmud, Rusdi, Ruth Rinda, Atriana Djabbar, Sri Maryati
44 PADAIDI: Journal of Tourism Dedication, VOL.1 NO.1 (2024): Januari-Juni
Gambar 2. Pengembangan Paket Wisata
[Sumber: (Georgi Jordanov & Desislava Yordanova, 2015)]
Pada tahap analisis, dilakukan penelitian terhadap perilaku konsumen serta pihak
pemasok, serta faktor-faktor yang berpotensi memengaruhi permintaan paket wisata,
termasuk faktor ekonomi, iklim, sumber daya alam, warisan budaya, infrastruktur,
ketersediaan fasilitas, dan harga akomodasi serta atraksi pariwisata. Hasil dari analisis ini
kemudian menjadi landasan untuk merancang konsep paket wisata yang mengikuti tren
terkini, seperti paket wisata budaya atau kuliner, yang kemudian dijadikan dasar untuk
menentukan tema yang tepat bagi paket wisata tersebut.
(Rahman et al., 2013) Proses pembuatan paket wisata dimulai dengan tahap riset
pasar, yang bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik, kebutuhan, dan preferensi
pasar sasaran serta pola perjalanan yang mereka lakukan. Informasi yang didapat dari riset
pasar menjadi dasar untuk menentukan destinasi atau tempat-tempat wisata yang akan
dimasukkan dalam paket. Selanjutnya, dilakukan negosiasi dan penandatanganan kontrak
dengan berbagai pihak terkait dalam industri pariwisata, seperti akomodasi, transportasi,
restoran, dan objek wisata. Setelah kontrak disepakati, langkah berikutnya adalah
menghitung biaya dan menetapkan harga jual paket wisata. Untuk memasarkan paket
tersebut, dibuatlah berbagai alat promosi seperti brosur. Tahap terakhir melibatkan
penyusunan itinerary serta penerbitan dokumen perjalanan seperti voucher dan tiket.
Seluruh tahapan ini dilakukan dengan kolaborasi antarpihak terkait dalam industri
pariwisata untuk menciptakan produk wisata yang menyeluruh, memenuhi kebutuhan, dan
memberikan kepuasan kepada para wisatawan selama perjalanan.
Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata Kabupaten Enrekang
Windra Aini*, Amirullah, Mukarramah Machmud, Rusdi, Ruth Rinda, Atriana Djabbar, Sri Maryati
45 PADAIDI: Journal of Tourism Dedication, VOL.1 NO.1 (2024): Januari-Juni
Gambar 3. Proses Pembuatan Paket Wisata
Gambar 3 merupakan langkah-langkah tambahan dalam proses pembuatan paket
wisata yang mencakup riset pasar, penentuan destinasi, membuat kontrak, pembuatan
dokumen perjalanan, membuat brosur, dan menghitung biaya:
1. Riset Pasar: Sebelum merencanakan paket wisata, riset pasar merupakan langkah
penting untuk memahami tren industri, preferensi pelanggan potensial, dan
persaingan. Analisis pasar dapat mencakup penelitian tentang popularitas destinasi
tertentu, preferensi aktivitas wisata, demografi pelanggan potensial, dan tren harga.
2. Penentuan Destinasi: Berdasarkan hasil riset pasar, perusahaan wisata memilih
destinasi yang menarik dan sesuai dengan minat target pasar mereka. Penentuan
destinasi juga memperhitungkan faktor-faktor seperti musim wisata, cuaca,
aksesibilitas, dan keamanan.
3. Membuat Kontrak: Setelah memilih penyedia layanan seperti hotel, maskapai
penerbangan, agen perjalanan lokal, dan penyedia aktivitas, perusahaan wisata
membuat kontrak dengan mereka untuk menetapkan persyaratan, tarif, dan jadwal
layanan yang disepakati.
4. Pembuatan Dokumen Perjalanan: Setelah kontrak ditetapkan, perusahaan wisata
menghasilkan dokumen perjalanan penting seperti tiket pesawat, voucher hotel,
itinerary perjalanan, dan voucher aktivitas. Dokumen ini diberikan kepada
pelanggan sebagai panduan dan bukti layanan yang telah dibeli.
5. Membuat Brosur: Brosur merupakan alat pemasaran penting yang digunakan untuk
mempromosikan paket wisata kepada calon pelanggan. Brosur berisi informasi
tentang destinasi, aktivitas, fasilitas akomodasi, harga, dan kontak perusahaan.
Desain brosur harus menarik dan informatif untuk menarik minat pelanggan
potensial.
6. Menghitung Biaya: Perusahaan wisata melakukan perhitungan biaya untuk
menentukan harga paket wisata yang mencakup semua layanan dan keuntungan
yang diinginkan. Biaya yang harus diperhitungkan meliputi biaya transportasi,
akomodasi, makanan, tiket masuk, guide, dan keuntungan perusahaan.
Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata Kabupaten Enrekang
Windra Aini*, Amirullah, Mukarramah Machmud, Rusdi, Ruth Rinda, Atriana Djabbar, Sri Maryati
46 PADAIDI: Journal of Tourism Dedication, VOL.1 NO.1 (2024): Januari-Juni
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum pelatihan narasumber memberikan pengarahan yang berkaitan dengan
penyusunan paket wisata, pengetahuan pasar dan pola perjalanan. Setelah narasumber
mempresentasikan hal tersebut, selanjutnya pengetahuan peserta perlu diukur. Untuk
mengukur peningkatan pengetahuan peserta maka dilakukan pre-test dan post-test. Hasil
dari kedua test tersebut ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 1. Hasil Pre dan Post Test Pelatihan Menyusun Paket Wisata
[Sumber: Tim Abdimas, 2023]
Materi
Post-Test
Mengenal Potensi Desa Wisata
93%
Jenis Paket Wisata
65%
Komponen Paket Wisata
70%
Paket wisata Kreatif dan Inovatif
74%
Membuat Paket Wisata
86%
Dari tabel 1, dapat dilihat perbandingan antara hasil pre-test (sebelum pelatihan)
dan post-test (setelah pelatihan) untuk berbagai materi yang diajarkan dalam pelatihan
menyusun paket wisata.Mengenal Potensi Desa Wisata: Peningkatan signifikan terlihat dari
78% pada pre-test menjadi 93% pada post-test. Ini menunjukkan bahwa peserta pelatihan
mengalami peningkatan pemahaman tentang potensi desa wisata setelah mengikuti
pelatihan. Jenis Paket Wisata: Terjadi peningkatan yang cukup besar dari 32% pada pre-test
menjadi 65% pada post-test, menunjukkan peningkatan pemahaman tentang berbagai jenis
paket wisata setelah pelatihan.
Komponen Paket Wisata: Peserta pelatihan juga menunjukkan peningkatan yang
signifikan dari 27% pada pre-test menjadi 70% pada post-test dalam pemahaman tentang
komponen-komponen yang harus ada dalam paket wisata. Paket Wisata Kreatif dan
Inovatif: Peningkatan yang sangat besar terlihat dari 23% pada pre-test menjadi 74% pada
post-test, menunjukkan bahwa peserta pelatihan berhasil memahami konsep-konsep
kreatif dan inovatif dalam menyusun paket wisata. Membuat Paket Wisata: Materi ini
menunjukkan peningkatan yang paling signifikan, dari 26% pada pre-test menjadi 86% pada
post-test, menandakan bahwa peserta pelatihan telah berhasil memperoleh pemahaman
yang lebih baik tentang proses pembuatan paket wisata setelah mengikuti pelatihan.
Dari hasil post-test yang signifikan ini, dapat disimpulkan bahwa pelatihan
menyusun paket wisata telah berhasil meningkatkan pemahaman peserta dalam berbagai
aspek yang terkait dengan industri pariwisata. Secara keseluruhan terdapat peningkatan
pengetahuan penyusunan paket wisata. Peningkatan signifikan adalah pada proses
pembuatan paket wissata. Hal ini diduga terkait dengan metode yang digunakan, yaitu
ceramah dan simulasi.
Pelatihan ini menghasilkan beberapa produk paket wisata yang dirancang sendiri
oleh para pengelola desa wisata. Paket-paket wisata yang dihasilkan berupa paket wisata
sejarah, paket wisata pendakian gunung latimojong dan paket wisata alam. Berikut adalah
dokumentasi kegiatan pelatihan.
Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata Kabupaten Enrekang
Windra Aini*, Amirullah, Mukarramah Machmud, Rusdi, Ruth Rinda, Atriana Djabbar, Sri Maryati
47 PADAIDI: Journal of Tourism Dedication, VOL.1 NO.1 (2024): Januari-Juni
Gambar 4. Presentasi Narasumber
[Sumber: Tim Abdimas, 2023 ]
Gambar 4 menampilkan momen di mana narasumber sedang memberikan
informasi yang tentang produk perjalanan wisata di Kabupaten Enrekang dengan tujuan
untuk mempromosikan destinasi tersebut dan meningkatkan minat serta partisipasi dalam
pariwisata lokal.
Gambar 5. Sesi Diskusi dengan peseta
[Sumber: Tim Abdimas, 2023 ]
Sesi diskusi dengan peserta terlihat pada gambar 5, terjadi interaktif antar kelompok
untuk bertukar gagasan, pendapat, dan pengalaman terkait topik yang sedang dibahas.
Peserta merupakan perwakilan pengurus dewsa wisata, pemerintah, akademisi, profesional
industri terkait, atau individu dari berbagai lapisan masyarakat. Format diskusi berlangsung
secara terbuka dan interaktif. Peserta diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan,
menyampaikan pendapat dan berbagi pengalaman terkait topik yang dibahas. Hasi Diskusi
bertujuan untuk menghasilkan pemahaman yang lebih dalam tentang topik yang dibahas,
bertukar informasi dan wawasan, serta mendorong kolaborasi dan inovasi dalam
penyusunan paket wisata pada desa wisata di Kabupaten Enrekang.
Gambar 6. Presentasi dari Kepala Dinas Pariwisata Enrekang
[Sumber: Tim Abdimas, 2023 ]
Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata Kabupaten Enrekang
Windra Aini*, Amirullah, Mukarramah Machmud, Rusdi, Ruth Rinda, Atriana Djabbar, Sri Maryati
48 PADAIDI: Journal of Tourism Dedication, VOL.1 NO.1 (2024): Januari-Juni
Gambar 6 menunjukkan aktivitas presentasi dari Kepala Dinas Pariwisata Enrekang.
Presentasi yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pariwisata Enrekang seperti Visi dan Misi
Pariwisata, Potensi Pariwisata, Destinasi Wisata Unggulan, Kerjasama dan Kolaborasi,
Harapan dan Pemanggilan Aksi. Melalui presentasi ini, Kepala Dinas Pariwisata Enrekang
berharap dapat meningkatkan pemahaman dan dukungan semua pihak terkait untuk
mewujudkan visi dan misi pembangunan pariwisata yang berkelanjutan di Kabupaten
Enrekang.
Gambar 7. Para Narasumber dan seluruh peserta
[Sumber: Tim Abdimas, 2023 ]
Gambar 7 menampilkan momen kolaboratif di mana berbagai pihak terkait dalam
industri pariwisata berkumpul pada kegiatan pengabdian masyarakat yang digelar oleh
Politeknik Pariwisata Makassar. Kegiatan ini selain memberi penguatan kepada peserta
juga untuk bertukar informasi, berdiskusi, dan berkolaborasi untuk memajukan industri
pariwisata Kabupaten Enrekang.
Implikasi dari pelatihan ini adalah peningkatan kompetensi sumber daya manusia
(SDM) dalam pengelolaan produk perjalanan wisata di desa wisata Kabupaten Enrekang.
Dengan meningkatnya pemahaman dan keterampilan peserta dalam menyusun paket
wisata, diharapkan terjadi peningkatan kualitas produk wisata yang ditawarkan oleh desa
wisata. Hal ini dapat meningkatkan daya tarik dan daya saing destinasi pariwisata
Kabupaten Enrekang di pasar pariwisata lokal, regional, maupun global.
4. KESIMPULAN
Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengelola desa wisata
dalam menyusun dan merancang paket wisatanya berdasarkan potensi desa yang dimiliki.
Selama pelatihan peserta merasakan manfaat yang diberikan. Mereka menjadi percaya diri
dalam menyususn paket wisata karena telah dibekali ilmu dan pengetahuan yang memadai.
Setelah pelatihan ini diharapkan para peserta dapat mengimplementasikan paket
wisata yang dibuat pada desa masing-masing. Hasil pelatihan ini juga diharapkan menjadi
contoh bagi pengembangan paket wisata selanjutnya. Saran bagi pengembangan
keterampilan selanjutnya adalah melakukan pemasaran terhadap produk paket wisata yang
telah dibuat.
Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata Kabupaten Enrekang
Windra Aini*, Amirullah, Mukarramah Machmud, Rusdi, Ruth Rinda, Atriana Djabbar, Sri Maryati
49 PADAIDI: Journal of Tourism Dedication, VOL.1 NO.1 (2024): Januari-Juni
PERNYATAAN PENGHARGAAN
Program Studi Usaha Perjalanan Wisata dari Politeknik Pariwisata Makassar, dengan
tulus mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh pihak yang telah
turut serta serta mendukung keberhasilan kegiatan pengabdian masyarakat di Kabupaten
Enrekang.
DAFTAR PUSTAKA
Alola, U. V., Avcı, T., & Öztüren, A. (2021). The nexus of workplace incivility and emotional
exhaustion in the hotel industry. Journal of Public Affairs, 21(3).
https://doi.org/10.1002/pa.2236
Bagus Gede Wiliam Pranata Kesuma, I Nyoman Sukma Arida, & Ni Made Sofia Wijaya.
(2023). Barriers to Tourism Travel Service Business Cooperation with Pioneering
Tourism Villages in Tabanan Regency. International Journal Of Humanities Education
and Social Sciences (IJHESS), 3(1). https://doi.org/10.55227/ijhess.v3i1.550
FAO. (2009). Declaration of the World Summit on Food Security. World Food Summit,
November 2009.
Fedrina, R., & Darmawan, R. (2024). The Role of Stakeholders in the Co-Creation Process in
Tourism Village. KnE Social Sciences. https://doi.org/10.18502/kss.v9i2.14881
Georgi Jordanov, & Desislava Yordanova. (2015). Guide for the development of Tourism
Packages based on Artificial Reefs. Innovative, Competitive and Integrated Tools for
Sustainable Coastal Tourism and Inclusive Blue Growth in the Mediterranean and Black
Seas, 160.
Maharani, T. S., Hidayati, A. N., & Habib, M. A. F. (2022). Peran pokdarwis dewi arum
pulosari dalam peningkatan ekonomi masyarakat desa wisata pandean berbasis bisnis
kreatif. Fair Value: Jurnal Ilmiah Akuntansi Dan Keuangan, 4(10).
https://doi.org/10.32670/fairvalue.v4i10.1755
Menggo, S., Su, Y. R., & Taopan, R. A. (2022). PELATIHAN BAHASA INGGRIS PARIWISATA DI
DESA WISATA MELER. JURNAL WIDYA LAKSANA, 11(1).
https://doi.org/10.23887/jwl.v11i1.34908
Pantiyasa, I. W., & Rosalina, P. D. (2020). The Development Strategy of Paksebali Village Into
a Smart Eco-Village Destination as a Tourism Icon in Klungkung District-Bali.
https://doi.org/10.2991/icss-18.2018.308
Rahman, S. A., Benjamin, A. M., & Nazri, E. M. (2013). Economic Tour Package Model Using
Heuristic. November. https://doi.org/10.1063/1.4887754
Pelatihan Pengelolaan Produk Perjalanan Wisata di Desa Wisata Kabupaten Enrekang
Windra Aini*, Amirullah, Mukarramah Machmud, Rusdi, Ruth Rinda, Atriana Djabbar, Sri Maryati
50 PADAIDI: Journal of Tourism Dedication, VOL.1 NO.1 (2024): Januari-Juni
Rusdi, Muh., Maoudy, A. F., Amirullah, A., & Yahya, Muh. (2023). Tour Packages and
Traditional Drinks in Kassi Tourism Village, Jeneponto Regency. Journal of Asian
Multicultural Research for Economy and Management Study, 4(2).
https://doi.org/10.47616/jamrems.v4i2.433
Susyanti, D. W., & Latianingsih, N. (2014). Potensi desa melalui pariwisata pedesaan. Jurnal
Epigram, 11(1), 6570.
Wikantiyoso, R., Cahyaningsih, D. S., Sulaksono, A. G., Widayati, S., Poerwoningsih, D., &
Triyosoputri, E. (2021). Development of Sustainable Community-Based Tourism in
Kampong Grangsil, Jambangan Village, Dampit District, Malang Regency. International
Review for Spatial Planning and Sustainable Development, 9(1).
https://doi.org/10.14246/IRSPSD.9.1_64
Wirdayanti, A., Asri, A., Anggono, B. D., Hartoyo, D. R., Indarti, E., Gautama, H., S, H. E.,
Harefa, K., Minsia, M., Rumayar, M., Indrijatiningrum, M., Susanti, T., & Ariani, V.
(2021). Pedoman Desa Wisata. Pedoman Desa Wisata KEMENPAREKRAF 2019, 194.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
The potential of the tourist village destinations is immense, and it is the responsibility of all stakeholders to ensure that more attention is paid to them. This is especially the case for the Cisaat tourist village, which has a great deal of potential, and the agricultural villages which are the main tourist attractions. As a result, the Co-creation Strategy has become an essential bridge for the management and development of the tourism village in Cisaat. This study seeks to investigate the role of facilitators in the development of tourist villages through a qualitative methodology. Through interviews with representative stakeholders, data was collected. The results of the study reveal that the primary stakeholders in the development of tourism villages are local organizations, communities, industries, universities, and local governments. The outcome of the study is a strategy for the development of tourism products, access to destinations, and the improvement of services for tourists. Keywords: co-creation, stakeholder, tourism village
Article
Full-text available
The development of rural tourism at the national level has been initiated by the Ministry of Tourism and Creative Economy, which supports the empowerment of rural communities. This provides new motivation for tourist villages to continuously strive to develop their villages, including Kassi Tourist Village in Jeneponto Regency, South Sulawesi Province. One of the challenges faced by this village is the difficulty in marketing it due to the lack of tourism package planning, even though it has substantial potential, especially in the field of agro-tourism development. This study aims to identify the tourism components present in Kassi Tourist Village, Jeneponto Regency, in order to identify the potential of agro-tourism as a main attraction in Kassi Tourist Village. Through an analysis of raw materials such as palm wine (tuak) and coffee, which are the primary products of agro-tourism, they can become unique attractions for visitors to the village. Furthermore, this study also involves traditional beverage management activities. The research methodology used to achieve these objectives is a qualitative descriptive method. The results of this study suggest that introducing traditional beverages such as tuak and coffee sarru as the main attraction for visitors in Kassi Tourist Village during their activities in the village, from harvesting to final product production ready for sale, can complement each other in the development of agro-tourism. These findings can serve as a reference for travel agencies, especially in the development of tourism packages, which have not yet been created by existing travel operators in Jeneponto Regency and Makassar.
Article
Full-text available
Tourism villages in Bali Province have reached 37.26% of the existing villages and only 2 are in the independent category. Tabanan Regency has a number of pilot tourism villages and the majority are more than five years old. Obstacles to increasing the status of a tourist village are thought to occur due to the lack of tourists and the ability of managers to cooperate with the tourism industry. Research needs to be done to overcome barriers to the establishment of cooperation between tourism villages and industry. The problems described need to be solved by formulating a strategy. The pilot Tourism Village which is the location of the research focus has great potential but has experienced obstacles. This study aims to: analyze the role of Tourism Travel business(1), barriers to cooperation between tourism travel business and pilot Tourism Village(2), and develop a management strategy of pilot tourism village in Tabanan Regency(3). This study used qualitative descriptive method. The Data was obtained through in-depth interviews with eight experts. Obstacles are described using coding techniques and then strategies are made to overcome them. The strategy was prepared using Intepretive Structural Modeling analysis techniques. The results showed that UPW has a role in assessing cooperation proposals consisting of details of tourist activities offered, equipment required, price details, feed back, matching proposal descriptions, uniqueness, service quality, cleanliness, and safety. Barriers to cooperation occur due to the location of the tourist village, the potential benefits of the formation of cooperation, and tourist interest. The strategies formed to overcome these obstacles are increasing the competence of human resources in Pilot tourism villages, packaging of industry-standard tourism products, accelerating cooperation between tourism villages and the tourism industry. Suggestions in this study is the implementation of a strategy that is in accordance with the strategy model that has been formed.
Article
Full-text available
This discussion aims to find a sustainable community-based development model through a multi-stakeholder participatory approach. Rural planning in Indonesia has undergone significant changes in the last decade. Community-based development and participation is now an established agricultural development planning policy. Community participation produces planning and design decisions based on community needs, priorities, and affordability which often results in better and more realistic designs, plans, and programmes. In the development of kampung tourism, implementing community participation can reduce cost, increase the use of local resources, and socially empower the community. Kampong Grangsil is a hamlet of hardworking and civic-minded flower farmers. These farmers and members of their community organized and developed their village into a tourism destination that they named Kampoeng Boenga Grangsil (KBG)-Grangsil Flower Village. The high level of community participation as well as a Villages Partner Development Programme, made possible through the collaboration of village governments and university research teams, succeeded in making KBG into what it is today. Mentoring, through in-situ assistance (in Grangsil) and ex-situ assistance (at the Campus and Woodcraft Gallery), was carried out to strengthen resources. Throughout the mentoring programme, the research team acted as both a mediator and facilitator for developing Grangsil into an environmentally-friendly tourism destination. The role and involvement of mediators in the participatory development process increased the ability of communities to organize and build sustainable villages.
Conference Paper
Full-text available
A tour-package is a prearranged tour that includes products and services such as food, activities, accommodation, and transportation, which are sold at a single price. Since the competitiveness within tourism industry is very high, many of the tour agents try to provide attractive tour-packages in order to meet tourist satisfaction as much as possible. Some of the criteria that are considered by the tourist are the number of places to be visited and the cost of the tour-packages. Previous studies indicate that tourists tend to choose economical tour-packages and aiming to visit as many places as they can cover. Thus, this study proposed tour-package model using heuristic approach. The aim is to find economical tour-packages and at the same time to propose as many places as possible to be visited by tourist in a given geographical area particularly in Langkawi Island. The proposed model considers only one starting point where the tour starts and ends at an identified hotel. This study covers 31 most attractive places in Langkawi Island from various categories of tourist attractions. Besides, the allocation of period for lunch and dinner are included in the proposed itineraries where it covers 11 popular restaurants around Langkawi Island. In developing the itinerary, the proposed heuristic approach considers time window for each site (hotel/restaurant/place) so that it represents real world implementation. We present three itineraries with different time constraints (1-day, 2-day and 3-day tour-package). The aim of economic model is to minimize the tour-package cost as much as possible by considering entrance fee of each visited place. We compare the proposed model with our uneconomic model from our previous study. The uneconomic model has no limitation to the cost with the aim to maximize the number of places to be visited. Comparison between the uneconomic and economic itinerary has shown that the proposed model have successfully achieved the objective that minimize the tour cost and cover maximum number of places to be visited.
Article
The purpose of this study is to determine the role of local human resources who are members of the tourism awareness group in the management of Pandean Tourism Village so that it advances and develops as it is today. This study uses a qualitative descriptive method with the technique of making informants using purposive. Data collection techniques used are interviews and field observations. The results of this study indicate that the role of Pokdarwis Dewi Arum Pulosari is in advancing village tourism in its own way and introducing local culture to the community through optimizing social media, improving the community's economy and providing additional hospitality knowledge to the surrounding community in managing the Pandean tourist village. The strategy carried out by Pokdarwis Dewi Arum Pulosari in improving the welfare of the community is to provide soft skill training in tourism village management and increase community creativity through socialization and direct examples so that creative communities participate in developing natural tourism in Pandean Village and improve the local community's economy by providing opportunities creative businesses such as tour guides to transportation service providers. The supporting factors for tourist villages are the willingness of the community to actively participate, the advancement of community innovation, beautiful natural resources, and high solidarity among the community to advance the village
Article
Workplace incivility is continuously seen as a stressor for the employee and the organization. No organization prospers in an uncivil environment. The high level of turnover intention that results from an uncivil working environment threatens the organization's reputation and sustainability. Adopting from Bagozzi's Appraisal‐Emotional Response, this study tested the relationship between workplace incivility, turnover intention, and job satisfaction via the mediating role of emotional exhaustion, using AMOS version 22. The findings reviews that workplace incivility harms both the employees and the organization. Also, workplace incivility has a positive impact on emotional exhaustion and turnover intentions while a negative influence on job satisfaction. Human resource managers are advised to train both supervisors and customers to curtail uncivil behaviors. Both theoretical and practical implications were given. In conclusion, the study suggests further research presenting the limitations of the study.
Potensi desa melalui pariwisata pedesaan
  • D W Susyanti
  • N Latianingsih
Susyanti, D. W., & Latianingsih, N. (2014). Potensi desa melalui pariwisata pedesaan. Jurnal Epigram, 11(1), 65-70.