Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
Jurnal Penelitian Inovatif (JUPIN) DOI: https://doi.org/10.54082/jupin.562
Vol. 4, No. 4, November 2024, Hal. 1879-1890 p-ISSN: 2808-148X
https://jurnal-id.com/index.php/jupin e-ISSN: 2808-1366
1879
SKENA dalam Perspektif Mahasiswa FISIP Unsoed
Satria Arbina*1, Sulyana Dadan2, Arizal Mutahir3
1,2,3Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman, Indonesia
Email: 1satria.arbina@mhs.unsoed.ac.id, 2Sulyana.dadan@unsoed.ac.id, 3Arizal.mutahir@unsoed.ac.id
Abstrak
Penelitian ini mengeksplorasi konsep "skena" dalam perspektif mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) Universitas Jenderal Soedirman. "Skena" sering kali diidentifikasi sebagai kelompok sosial atau subkultur
yang berkaitan dengan minat atau identitas budaya tertentu, seperti musik, seni, atau fashion. Dalam konteks
mahasiswa FISIP Unsoed, penelitian ini berfokus pada dua aspek utama: (1) bagaimana mahasiswa memahami
dan mengartikan konsep skena, dan (2) bagaimana skena tercermin dalam tren fashion di kalangan mahasiswa
tersebut. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini menggunakan wawancara mendalam dan dokumentasi untuk
mengumpulkan data dari para mahasiswa yang terlibat dalam skena. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skena
tidak hanya sekedar perkumpulan, tetapi juga sebuah lingkungan sosial yang dinamis dan memungkinkan
anggotanya untuk mengekspresikan identitas budaya mereka secara bebas. Namun, terdapat pergeseran makna
skena yang kini lebih sering diidentikkan dengan fashion atau gaya berpakaian, yang dipengaruhi oleh media
sosial. Penelitian ini berupaya untuk memberikan wawasan baru dalam memahami dinamika sosial-budaya di
kalangan mahasiswa, khususnya terkait fenomena skena.
Kata kunci: Fashion, Identitas, Mahasiswa, Subkultur, Skena
Abstract
This research explores the concept of "scene" from the perspective of students at the Faculty of Social and Political
Sciences (FISIP) of Jenderal Soedirman University. A "scene" is often identified as a social group or subculture
associated with a particular cultural interest or identity, such as music, art or fashion. In the context of FISIP
Unsoed students, this research focuses on two main aspects: (1) how students understand and interpret the concept
of scene, and (2) how the scene is reflected in fashion trends among these students. Using a qualitative approach,
in-depth interviews and documentation were used to collect data from students involved in the scene. The results
show that the scene is not just an association, but also a dynamic social environment that allows its members to
freely express their cultural identity. However, there is a shift in the meaning of the scene, which is now more often
identified with fashion or clothing styles influenced by social media. This research aims to provide new insights
into understanding the socio-cultural dynamics among university students, particularly in relation to the scene
phenomenon.
Keywords: Identity, Fashion, Scenes, Student, Subcultures
1. PENDAHULUAN
Pembentukan identitas diri terjadi seiring dengan perjalanan hidup seseorang, banyak faktor yang
mempengaruhi proses pembentukannya (Akbar & Faristiana, 2023). Menurut Lestari (2019) salah satu
aspek yang dapat mempengaruhinya adalah music (Tamara & Djie, 2024). Musik sebagai identitas diri
merupakan konsep di mana individu atau kelompok menggunakan media berupa music sebagai sarana
untuk mengekspresikan diri, baik secara personal maupun sosial (Manurung & Anom, 2023). Music
bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga cerminan nilai-nilai, keyakinan, pengalaman, dan aspirasi
seseorang (Yusnan, 2022). Musik yang berfungsi sebagai alat untuk mengartikulasikan identitas,
memiliki keefektifan dalam menggambarkan kondisi sosial dan pribadi masyarakat (Sulianta, 2020).
Kondisi sosial memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan dan evolusi gaya musik, salah satu
faktornya yaitu kelompok pergaulan (Adnan et al., 2021). Seseorang dapat dengan mudah terpengaruh
oleh genre musik dalam suatu kelompok tertentu sebagai cerminan identitas sosialnya (REZA, 2023).
Jurnal Penelitian Inovatif (JUPIN) DOI: https://doi.org/10.54082/jupin.562
Vol. 4, No. 4, November 2024, Hal. 1879-1890 p-ISSN: 2808-148X
https://jurnal-id.com/index.php/jupin e-ISSN: 2808-1366
1880
Hal ini selaras dengan teori Identitas Sosial dan Musik yang ditemukan oleh Simon Frith pada tahun
1983, bahwa teori ini menjabarkan bagaimana music dapat membentuk dan menegaskan suatu identitas
(Gusmanto et al., 2021). Frith berpendapat bahwa genre music kerap dikaitkan dengan identitas
kelompok tertentu, seperti kelas, ras, atau gender (Hayat & Hadiansyah, 2023). Sebagai contoh, gaya
music hip-hop menjadi identitas bagi generasi muda di komunitas urban yang merasa terpinggirkan oleh
masyarakat arus utama. Music ini memberikan mereka platform untuk mengekspresikan pengalaman
serta menumbuhkan solidaritas dengan sesama anggota komunitas (Maharani et al., 2024). Hip-hop
kemudian menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan dan bentuk pemberdayaan komunitas.
Musik sejak dulu melekat dalam setiap lapisan masyarakat. Eksistensi musik semakin kuat di era
modern saat ini (Siregar & Gulo, 2020). Kuatnya eksistensi terbukti dengan semakin banyaknya jenis
serta aliran music yang dipengaruhi oleh tingkat kreativitas dan ketertarikan masyarakat yang kian
meningkat sehingga segmentasi pasar musik semakin beragam (Meilinda et al., 2021). Seiring
berjalannya waktu, kini banyak musisi yang akhirnya memutuskan untuk keluar jalur atau biasa dikenal
dengan istilah indie (Ma’ruf, 2021). Indie sendiri diambil dari kata “independent”, dapat diartikan
dengan seorang musisi yang menciptakan karya tanpa melalui sebuah label music (Almas et al., 2022).
Sehubungan dengan hal itu, banyak orang yang akhirnya mendalami konsep indie, hingga memiliki
penggemar yang tergabung dalam sebuah kelompok atau biasa disebut “SKENA” (Azzam & Meiji,
2023). Berdasarkan artikel Prambors FM , Skena adalah singkatan dari tiga kata yaitu Sua, cengKErama,
kelaNA (Rizki et al., 2024). Dapat diartikan bahwa istilah Skena merupakan perkumpulan kolektif yang
merujuk pada konteks sosial di mana terdapat fenomena terjadi dan berkembang, untuk menggambarkan
arena sosial atau lingkungan di mana aktivitas budaya, termasuk music, seni, dan mode, berlangsung
(Iskandar, 2021). Skena biasanya memiliki minat, nilai, serta gaya hidup yang khas (Wahid, 2024).
Konsep dari Skena adalah mencari kepuasan dengan sesama penggemar (Pramesti, 2021). Dalam
praktiknya pelaku skena musik mengadakan pertemuan yang biasanya berujung dengan pertunjukan
musik menggunakan konsep Do-it-yourself (DIY). Konsep skena digunakan sebagai model kebudayaan
bagi penikmat dan pelaku musik tertentu, yang memungkinkan mereka untuk menjadi diri sendiri tanpa
mengikuti arus utama (Muhamad & Rachman, 2024). Hal ini memberikan kebebasan berekspresi
kultural dan identitas alternatif yang membedakan mereka dari musik-musik mainstream (Septian &
Hendrastomo, 2020).
Sejalan dengan hal tersebut, perkembangan skena di Purwokerto saat ini dapat dikatakan pesat.
Purwokerto yang merupakan kota kecil di Provinsi Jawa Tengah, memiliki masyarakat yang antusias
akan musik. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya komunitas kolektif seperti JesUdu di segmentasi
musik Jazz, Voice Hell di segmentasi musik keras (rock, metal, pop punk), Heartcorner di segmentasi
musik indie, serta masih banyak yang lainnya. Kegiatan bermusik di Purwokerto didukung oleh
Pemerintah Kabupaten Banyumas (Handayani & Soeparan, 2022). Dukungan Pemerintah Kabupaten
Banyumas akan kegiatan bermusik disalurkan melalui hibah sebuah gedung yang diberi nama Soetejda
kepada para seniman.
Dalam perkembangannya, konsep skena dalam konteks sosial mendapat perhatian serius dari para
ahli. Aini et al., (2024) mengatakan bahwa kehidupan di era modern ditandai dengan perubahan gaya
hidup yang cepat, termasuk tren “skena” yang menjadi bagian integral dari budaya mahasiswa di
Universitas Jember. Selain itu, Sutopo and Lukisworo, (2023) juga meyakini bahwa skena metal ekstrim
termasuk dalam praktik sosio-kultural kelompok budaya kaum muda berbasis musik. Kemudian,
Nurfitria, (2020) mempunyai pendapat bahwa tren fashion dan gaya hidup terutama di kalangan anak
muda diidentifikasikan dalam fashion bernama skena di Indonesia. Sedangkan Ramadhani and Rosa,
(2023) juga sepakat bahwa populasi skena music kian meningkat sebagai dinamika kolektiva dan
resistensi music mahasiswa. Namun dalam hal ini, belum ditemukan penelitian dalam fenomena skena
pada mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman. Padahal,
berbagai perspektif yang bermunculan banyak terdapat persinggungan antara bentuk arti dan pandangan
fashion terhadap istilah skena.
Dalam perjalanannya, para pelaku skena juga berekspresi melalui cara berpakaian (Aini et al.,
2024). Hanya dengan mengenakan pakaian tertentu, orang lain dapat menilai kepribadian dan citra diri
seseorang (Meifilina, 2022). Hal ini berhubungan dengan para pelaku skena yang memiliki ciri khas
Jurnal Penelitian Inovatif (JUPIN) DOI: https://doi.org/10.54082/jupin.562
Vol. 4, No. 4, November 2024, Hal. 1879-1890 p-ISSN: 2808-148X
https://jurnal-id.com/index.php/jupin e-ISSN: 2808-1366
1881
tersendiri di setiap kelompok (Rahmawati, 2022). Sebagai contoh, Skena Punk memiliki gaya
berpakaian serba hitam, celana jeans sobek, jaket kulit, serta mengenakan aksesoris tindik atau piercing.
Namun dalam praktiknya banyak orang yang salah persepsi dengan istilah skena, bukan lagi diartikan
sebagai suatu kelompok yang memiliki aktivitas budaya tertentu melainkan sebagai bentuk gaya fashion
yang menjadi identitas kelompok skena tersebut (MM & Palupi, 2022). Permasalahan ini timbul sejalan
dengan perkembangan skena yang semakin luas. Masyarakat semakin hilang arah dalam mengartikan
skena, banyak anggapan simpang-siur sehingga istilah skena mengalami krisis identitas (Penarik, 2021).
Di lingkungan mahasiswa, khususnya pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal
Soedirman, yang mana kehidupan berekspresi mahasiswa dan masalah identitas menjadi perhatian yang
sangat menonjol. Istilah skena sudah menyebar di kalangan mereka, namun tidak sedikit yang masih
mengalami kesalahan untuk mengartikan skena sehingga menciptakan banyak anggapan untuk
mengartikannya. Untuk alasan ini, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai salah satu upaya untuk
menginterpretasi istilah skena dalam perspektif mahasiswa FISIP UNSOED. Penelitian ini memiliki
fokus untuk menganalisis dua karakteristik yang berbeda: (1) pengertian skena dalam pandangan
mahasiswa FISIP UNSOED; (2) skena dalam bentuk tren fashion. Dua fokus utama ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan perspektif yang berbeda dalam konteks diskusi global.
2. METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian ini dirancang untuk memberikan pemahaman terhadap skena dalam konteks
sosial budaya era modern, dengan fokus pada mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas
Jenderal Soedirman sebagai studi kasus. Metode kualitatif menjadi pendekatan utama untuk
mengumpulkan data dari informan. Metode Kualitatif adalah sebuah metode penelitian yang bertujuan
untuk meneliti objek alamiah dengan peneliti sebagai instrumen kunci (Adlini et al., 2022). Teknik
dalam pengumpulan data penelitian kualitatif dilakukan melalui gabungan analisis data yang bersifat
induktif, serta hasil penelitian kualitatif dengan penekanan dalam makna (Abdussamad, 2022). Metode
pendekatan kualitatif juga merupakan prosedur penelitian yang bisa menghasilkan data yang dijelaskan
secara deskriptif, dijelaskan dalam bentuk tulisan dari sasaran penelitian yang akan diamati
(Pahleviannur et al., 2022). Jenis penelitian kualitatif yang akan dilakukan pada penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif deskriptif, Gunawan, (2022) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif deskriptif
merupakan sebuah metode penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk menemukan pengetahuan atau
teori tentang penelitian pada waktu tertentu. Penelitian kualitatif deskriptif yang akan dilakukan
nantinya merupakan penelitian yang menjelaskan terkait bagaimana interpretasi istilah skena menurut
mahasiswa FISIP UNSOED itu sendiri, juga bagaimana mahasiswa FISIP ini memahami istilah skena
dalam kesehariannya, mulai dari bagaimana mahasiswa tersebut berpakaian hingga budaya yang
dibawakan berdasarkan istilah dari skena.
Teknik pengumpulan data yang nantinya akan digunakan pada penelitian ini adalah teknik
wawancara mendalam, yang mana wawancara ini akan dilakukan dengan para mahasiswa yang
memenuhi kriteria dari istilah skena mulai dari cara berpakaian dan gaya hidup. Wawancara sebagai
sebuah teknik pengumpulan data menurut Gunawan, (2022) adalah suatu teknik pengambilan data
menggunakan format pertanyaan yang terencana dan diajukan secara lisan kepada responden dengan
tujuan-tujuan tertentu. Wawancara bisa dilakukan secara tatap muka di antara peneliti dengan responden
dan bisa juga melalui telepon (Waruwu, 2023). Selain itu pada penelitian ini juga menggunakan teknik
pengumpulan data dokumentasi, menurut Sugiyono (2020) dokumentasi digunakan sebagai salah satu
teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif (Susanto & Jailani, 2023). Dokumentasi berupa
foto dan catatan lapangan yang digunakan untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan detail
(Waruwu, 2023). Dokumentasi juga digunakan untuk mengumpulkan data sekunder, seperti buku, jurnal
ilmiah, dan dokumen resmi (Firdaus et al., 2023). Selain itu juga digunakan untuk menguji kredibilitas
data dengan triangulasi sumber (Alfansyur & Mariyani, 2020), dokumentasi pada penelitian ini akan
dilakukan dengan menjelaskan bentuk interpretasi skena dari awal berkembang hingga dokumentasi
yang didapatkan dari penelitian ini.
Jurnal Penelitian Inovatif (JUPIN) DOI: https://doi.org/10.54082/jupin.562
Vol. 4, No. 4, November 2024, Hal. 1879-1890 p-ISSN: 2808-148X
https://jurnal-id.com/index.php/jupin e-ISSN: 2808-1366
1882
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Pengertian Skena
Skena seringkali diartikan sebagai perkumpulan orang-orang yang berfokus pada minat, kegiatan,
atau identitas budaya tertentu (Ayuna, 2023). Menurut kajian Sosiologis, individu dan kelompok
berinteraksi serta terbentuk berdasarkan pengalaman bersama yang unik (Lesmana et al., 2023). Di
dalam sebuah skena biasanya menjadi tempat berkumpul orang-orang yang merasa tidak diakomodasi
oleh arus utama (Zamroni, 2022). Dalam konteks sosial budaya, konsep skena tidak hanya mencakup
apa yang terlihat secara langsung, tetapi juga melibatkan identitas, nilai, norma yang berkembang di
dalamnya (Aini et al., 2024). Hal tersebut selaras dengan pendapat yang disampaikan Responden 1,
Cleo, menunjukan bahwa pengertian skena adalah nama lain dari perkumpulan orang-orang yang
memiliki satu tujuan. Perkumpulan ini biasanya berbeda dari arus utama. Berikut penuturan dari
Responden 1, Cleo, yaitu:
“Skena itu menurutku sekumpulan orang-orang yang suka akan sesuatu, misal skena musik metal nah
mereka itu kumpul jadi satu. Tapi biasanya kumpulan-kumpulan mereka itu beda sama komunitas pada
umumnya. Bedanya itu dari cara mereka mengelola komunitasnya si kalo menurutku. Jadi kalo
komunitas kan biasanya ngadain event pasti cari untung kan buat kas apa lainnya, nah kalo skena
biasanya Cuma sekedar nyari kepuasan aja.” (Responden 1, Cleo, Wawancara, Juni 2024).
Respon dari Cleo ini mengindikasikan bahwa skena itu bisa dikatakan sebagai sebuah komunitas.
Skena dan komunitas memiliki perbedaan. Skena dan komunitas adalah dua konsep yang sering
digunakan dalam sosiologi untuk menggambarkan kelompok sosial, tetapi keduanya memiliki
perbedaan yang signifikan (Lesmana et al., 2023). Skena biasanya mengacu pada subkultur atau
kelompok sosial yang terbentuk berdasarkan minat atau identitas spesifik, seperti musik, seni, atau
aktivitas tertentu (Sutopo & Lukisworo, 2023). Skena cenderung lebih cair dan dinamis, dengan anggota
yang terlibat dalam interaksi sosial berdasarkan simbol-simbol budaya tertentu. Identitas dalam skena
sering kali didefinisikan oleh partisipasi dalam kegiatan atau ekspresi budaya tertentu, seperti gaya
berpakaian atau genre musik, dan keanggotaannya bisa berubah seiring waktu (Ramdan, n.d.).
Di sisi lain, komunitas merujuk pada kelompok sosial yang lebih terorganisir dan stabil, biasanya
terbentuk dari kedekatan geografis, kesamaan tujuan, atau hubungan emosional yang kuat (Fatrida et
al., 2022). Komunitas cenderung memiliki struktur sosial yang lebih jelas dan hubungan antar anggota
yang lebih permanen (Wibawanti Ratna Amina, 2022). Identitas dalam komunitas lebih stabil dan sering
kali terkait dengan peran atau posisi sosial dalam komunitas tersebut. Komunitas juga lebih terikat pada
norma dan aturan kolektif, dengan anggota yang memiliki komitmen jangka panjang terhadap
kelompok.
Dengan demikian, meskipun skena dan komunitas keduanya melibatkan interaksi sosial dan
identitas kolektif, skena lebih berfokus pada ekspresi budaya dan bersifat lebih dinamis sementara,
komunitas lebih terstruktur dan stabil, dengan fokus pada hubungan sosial yang berkelanjutan.
Perbedaan dari tata kelola tersebut, para pegiat skena mempunyai tujuan untuk mendapatkan kepuasan
dengan melakukan apa yang mereka suka sehingga menciptakan ruang alternatif. Contohnya adalah
ketika para pegiat musik-musik keras kerap mendapat penolakan, mereka membentuk kelompok sendiri
dan menciptakan lingkungan yang saling mendukung diantara pegiat skena. Seperti pada penelitian yang
dilakukan oleh Simanjorang dan Pawitan (2020) menjelaskan bahwa kondisi Skena musik di Bandung
tumbuh secara alami oleh pertemuan-pertemuan informal walaupun dalam keterbatasan ekonomi.
Kondisi lingkungan dalam sebuah skena yang terbentuk dari individu-individu dengan visi yang
sama biasanya ditentukan oleh adanya kesamaan tujuan, nilai, dan ekspresi budaya yang dipegang teguh
oleh anggotanya (Sarfilianty Anggiani, 2021). Lingkungan ini cenderung mendorong terbentuknya
suasana kolaboratif, di mana dukungan timbal balik menjadi elemen penting dalam interaksi sosial
(Cahyadi et al., 2023). Hal ini memungkinkan anggota skena untuk mengekspresikan identitas mereka
secara bebas dan autentik, tanpa takut akan adanya penolakan atau kritik dari dalam kelompok. Suasana
yang inklusif dan suportif ini berkontribusi pada stabilitas dan kohesi sosial dalam skena tersebut,
Jurnal Penelitian Inovatif (JUPIN) DOI: https://doi.org/10.54082/jupin.562
Vol. 4, No. 4, November 2024, Hal. 1879-1890 p-ISSN: 2808-148X
https://jurnal-id.com/index.php/jupin e-ISSN: 2808-1366
1883
menjadikannya lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan individu maupun
kelompok secara keseluruhan. Penelitian lebih lanjut dapat mengeksplorasi bagaimana dinamika
semacam ini mempengaruhi keberlangsungan dan evolusi skena dalam jangka panjang. Terciptanya
sebuah lingkungan yang saling mendukung juga dituturkan oleh Responden 2, yaitu Dany. Adapun
penuturan Responden 2, Dany yaitu :
“Skena sependek pengetahuanku itu sebuah lingkungan yaa, skena ada beberapa misal musik, dan
skena yang aku terjun ke dalamnya ya skena skate dan sebagainya tapi makin kesini karena pengaruh
media sosial istilah skena mulai berganti pengertian yang awalnya sebuah lingkungan pertemanan yang
sevisi ibaratnya malah menjadi arti fashion.” (Responden 2, Dany, Wawancara, Juni 2024).
Penuturan Dany mengenai perubahan makna "skena" mencerminkan dinamika sosial yang terjadi
akibat pengaruh media sosial terhadap persepsi dan interaksi dalam kelompok-kelompok subkultur.
Pada awalnya, skena dipandang sebagai sebuah lingkungan sosial yang dibentuk oleh kesamaan visi dan
minat di antara anggotanya, seperti dalam skena musik atau skateboarding, di mana ikatan sosial dan
nilai-nilai komunal menjadi pusat dari identitas kelompok tersebut. Namun, Dany mencatat bahwa
seiring berjalannya waktu, media sosial telah mempengaruhi transformasi makna skena dari yang
semula merupakan cerminan dari komunitas dan solidaritas berbasis minat, menjadi lebih terkait dengan
aspek visual dan penampilan, atau apa yang disebut sebagai "fashion."
Perubahan ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat menggeser fokus dari interaksi sosial
yang mendalam ke arah representasi diri yang lebih superfisial, di mana penampilan dan gaya menjadi
indikator utama identitas dalam skena. Fenomena ini juga dapat dilihat sebagai bentuk komodifikasi
budaya subkultur, di mana elemen-elemen yang sebelumnya dianggap otentik dan berakar pada
pengalaman kolektif kini diperlakukan sebagai tren yang dapat dipasarkan. Dengan demikian, skena
tidak lagi semata-mata tentang kesatuan visi, tetapi juga tentang bagaimana individu menampilkan diri
mereka dalam ruang digital, yang dapat mempengaruhi dinamika dan kohesi dalam kelompok tersebut.
Sama halnya dengan Cleo dan Dany, Responden 3, Anggi memandang "skena" sebagai suatu
bentuk komunitas yang memiliki keunikan tersendiri, berbeda dari komunitas umum pada umumnya.
Menurutnya, skena, khususnya dalam konteks musik, ditandai oleh aktivitas-aktivitas yang dilakukan
secara mandiri oleh anggotanya, seperti mengadakan konser kecil atau "gigs" yang menampilkan karya
orisinal dengan pendanaan sendiri dan tanpa tujuan komersial. Keunikan ini, menurut Anggi,
memberikan identitas tersendiri kepada para anggotanya, karena skena beroperasi di luar logika bisnis
yang biasa terlihat dalam industri musik arus utama, di mana konser biasanya diorientasikan pada
keuntungan. Dengan kata lain, skena menawarkan ruang di mana individu dapat mengekspresikan diri
dan membangun identitas kolektif yang berbeda dari norma-norma yang ada di masyarakat umum.
Berikut penuturannya :
“Menurut aku ya mas, skena itu sebenarnya sama aja sama komunitas cuma setahuku skena itu
kebanyakan unik si mas. Unik disini itu kaya misalkan anak-anak kolektif musik bikin semacam konser
kecil ya gigs lah itu mereka bawain lagu sendiri, pake uang sendiri, terus juga yang nonton kebanyakan
orang-orang mereka aja dan ga ambil untung dari ticketing jadi kan beda aja gitu sama kebanyakan
konser yang kasarannya dibisniskan. Terus juga karna unik, orang yang terlibat tu jadi punya identitas
tersendiri loh mas.” (Responden 3, Anggi, Wawancara, Juni 2024).”
Pendapat Anggi, Dany, dan Cleo memberikan pandangan yang kaya dan beragam tentang konsep
"skena," terutama dalam konteks musik, dengan masing-masing menyoroti aspek yang berbeda dari
fenomena ini. Anggi melihat skena sebagai komunitas yang unik, di mana orisinalitas dan independensi
menjadi fondasi utama. Baginya, skena adalah ruang sosial yang didorong oleh semangat DIY (do it
yourself), di mana anggota secara aktif terlibat dalam kegiatan yang bersifat non-komersial, seperti
mengadakan konser kecil atau "gigs" yang menampilkan karya-karya orisinal mereka. Dalam
pandangannya, keunikan ini memberikan identitas khusus kepada anggota skena, yang membedakannya
dari komunitas umum yang lebih berorientasi pada keuntungan finansial. Cleo menguatkan pandangan
Jurnal Penelitian Inovatif (JUPIN) DOI: https://doi.org/10.54082/jupin.562
Vol. 4, No. 4, November 2024, Hal. 1879-1890 p-ISSN: 2808-148X
https://jurnal-id.com/index.php/jupin e-ISSN: 2808-1366
1884
ini dengan menyoroti perbedaan manajemen dan tujuan antara skena dan komunitas umum. Menurut
Cleo, meskipun skena serupa dengan komunitas dalam hal kumpulan orang dengan minat yang sama,
skena berbeda dalam pendekatannya terhadap kegiatan dan event. Skena lebih berfokus pada kepuasan
pribadi dan ekspresi diri daripada mencari keuntungan, yang merupakan ciri khas dari komunitas yang
lebih terorganisir dan komersial. Kedua pandangan ini menegaskan bahwa skena mempertahankan
semangat orisinalitas dan ekspresi bebas yang memungkinkan anggotanya untuk merasakan kebebasan
dalam mengekspresikan identitas mereka.
Namun, Dany membawa perspektif yang berbeda dengan menunjukkan bagaimana skena telah
mengalami perubahan makna seiring waktu, terutama akibat pengaruh media sosial. Dany mencatat
bahwa skena, yang awalnya berfungsi sebagai lingkungan pertemanan dan solidaritas berbasis kesamaan
visi, kini mulai bergeser menjadi lebih terkait dengan aspek fashion dan gaya hidup. Menurutnya, media
sosial telah memainkan peran besar dalam menggeser fokus skena dari interaksi sosial yang mendalam
ke arah penampilan visual dan ekspresi gaya hidup yang lebih superfisial. Dany melihat adanya
transformasi dalam cara skena dipahami dan dihayati oleh para anggotanya, dengan media sosial
mempercepat komodifikasi identitas budaya yang sebelumnya lebih autentik dan kolektif.
Secara keseluruhan, ketiga pendapat ini menggambarkan skena sebagai sebuah fenomena sosial
yang kompleks, di mana berbagai faktor, seperti orisinalitas, independensi, dan pengaruh media sosial,
memainkan peran penting dalam membentuk identitas dan dinamika kelompok tersebut. Anggi dan Cleo
sepakat bahwa skena adalah ruang unik yang menolak komersialisasi dan menekankan ekspresi diri,
sementara Dany memperingatkan bahwa makna skena bisa bergeser seiring perubahan sosial yang lebih
luas. Ketiga perspektif ini menggarisbawahi bahwa meskipun skena tetap menjadi tempat bagi ekspresi
individualitas dan kebebasan, ia juga rentan terhadap perubahan yang dibawa oleh dinamika sosial dan
teknologi. Pandangan-pandangan ini menunjukkan bahwa skena bukanlah entitas statis, tetapi terus
berkembang, mencerminkan dan merespons perubahan dalam masyarakat yang lebih luas.
3.2. Skena dan Fashion
Tren fashion skena di kalangan mahasiswa sering kali mencerminkan perpaduan antara ekspresi
individualitas dan afiliasi dengan subkultur tertentu. Dalam konteks mahasiswa, tren ini biasanya
berkembang di lingkungan yang lebih bebas dan kreatif, di mana mahasiswa merasa lebih leluasa untuk
bereksperimen dengan penampilan mereka tanpa terlalu terikat oleh norma-norma sosial yang ketat.
Temuan mengungkapkan bahwa mahasiswa yang terlibat dalam tren "skena" cenderung menunjukkan
pola perilaku dan preferensi yang sejalan dengan gaya hidup alternatif. Mereka biasanya mengadopsi
gaya berpakaian yang unik dan tidak lazim, memiliki minat yang mendalam pada musik, seni, dan
budaya popular alternatif, serta terlibat dalam aktivitas rekreasi yang tidak umum. Hal ini seperti yang
disampaikan oleh responden 1, Cleo yaitu :
“Sebenarnya gaya berpakaian itu ada trendnya masing-masing ya, misalkan skena yang sekarang lagi
rame di kalangan mahasiswa. Aku sendiri melihat orang dengan gaya “skena” itu keren jadi aku pengin
kelihatan keren aja si” (Responden 1, Cleo, Wawancara, Juni 2024)
Cleo memberikan pandangan yang menarik tentang bagaimana tren fashion dalam skena saat ini
menjadi fenomena yang signifikan di kalangan mahasiswa. Ia mengamati bahwa gaya berpakaian yang
dikaitkan dengan skena tidak hanya diakui di dalam lingkup komunitas tersebut, tetapi juga telah
menjadi simbol gaya yang "keren" dan diadopsi oleh banyak mahasiswa. Cleo secara pribadi mengakui
bahwa daya tarik utama dari gaya "skena" ini adalah bagaimana penampilan tersebut mencerminkan
citra keren yang diidamkan. Dalam hal ini, fashion skena bukan hanya berfungsi sebagai tanda afiliasi
dengan subkultur tertentu, tetapi juga sebagai alat untuk membangun dan mengekspresikan identitas diri
yang lebih luas di mata orang lain (Epafras et al., n.d.).
Pendapat Cleo juga menunjukkan bahwa adopsi gaya skena oleh mahasiswa bisa dilihat sebagai
bagian dari dinamika sosial yang lebih besar, di mana mode dan identitas saling berinteraksi. Ketika
Cleo mengatakan bahwa ia ingin "kelihatan keren," ini mengisyaratkan bahwa motivasi untuk mengikuti
tren skena tidak hanya didorong oleh minat terhadap nilai-nilai atau estetika skena itu sendiri, tetapi juga
Jurnal Penelitian Inovatif (JUPIN) DOI: https://doi.org/10.54082/jupin.562
Vol. 4, No. 4, November 2024, Hal. 1879-1890 p-ISSN: 2808-148X
https://jurnal-id.com/index.php/jupin e-ISSN: 2808-1366
1885
oleh keinginan untuk diakui dan dihargai oleh lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, Cleo
mencerminkan bagaimana fashion skena telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar
simbol budaya subkultur; ia telah menjadi elemen penting dalam membangun citra pribadi yang diterima
secara sosial.
Lebih jauh lagi, pernyataan Cleo dapat dilihat dalam konteks yang lebih luas, di mana tren fashion
skena sering kali menyebar melampaui lingkup komunitas aslinya dan memengaruhi mode di arus
utama, khususnya di kalangan anak muda dan mahasiswa. Pengaruh ini menunjukkan bahwa fashion
skena telah mencapai status tertentu sebagai ikon gaya yang diadopsi oleh mereka yang mungkin tidak
sepenuhnya terlibat dalam skena itu sendiri (Nibras, n.d.), tetapi tetap tertarik untuk mengekspresikan
diri melalui elemen visual yang diidentifikasikan dengan skena. Hal ini juga mencerminkan peran
penting media sosial dan interaksi antaranggota masyarakat dalam menyebarkan dan memperkuat tren
ini (Setiadarma et al., 2024), di mana penampilan fisik dan gaya berpakaian menjadi cara utama bagi
individu seperti Cleo untuk berkomunikasi dan membangun identitas sosial mereka di mata orang lain.
Adapun penuturan dari Responden 2 :
“Pola fesyen atau gaya berpakaian skena itu menurutku lebih pada fungsionalnya si, soalnya aku kan
pernah terlibat dalam lingkungan anak-anak skate sama musik ya orang bilang si skena skate sama
skena musik. Jadi kalo di skena skate itu orang berpakaian dengan baju oversize, celana gombrong itu
sebenernya biar main skatenya nyaman karena kalo pake baju sama celana yang sempit jadinya ga
nyaman selain itu si aku liat orang-orang pake brand yang berbau skena misal sepatu salomon,new
balance,dr martens itu keren sii kalo orang bilang kalcer banget.” (Responden 2, Dany, Wawancara
Juni 2024).
Dany mengungkapkan bahwa gaya berpakaian dalam skena, khususnya di kalangan skater dan
komunitas musik, lebih berfokus pada aspek fungsional daripada sekadar estetika. Dalam
pengamatannya, penggunaan pakaian oversize dan celana gombrong di skena skate memiliki tujuan
praktis, yaitu memberikan kenyamanan saat bermain skateboard. Pakaian yang longgar dianggap lebih
mendukung aktivitas fisik yang intens seperti skating, dibandingkan dengan pakaian yang ketat dan bisa
menghambat gerakan. Selain aspek fungsional, Dany juga menyebutkan bahwa ada elemen identitas dan
simbolisme yang terkait dengan merek-merek tertentu yang populer di kalangan skena, seperti Salomon,
New Balance, dan Dr. Martens. Mengenakan brand-brand ini bukan hanya soal mengikuti tren, tetapi
juga cara untuk mengekspresikan afiliasi dengan budaya skena dan menunjukkan pemahaman terhadap
nilai-nilai yang dianut oleh komunitas tersebut. Istilah "kalcer" yang disebut Dany merujuk pada
pemahaman mendalam terhadap budaya atau subkultur tertentu, yang dalam hal ini, diwujudkan melalui
pemilihan merek fashion yang memiliki makna khusus dalam skena.
Pendapat Dany mencerminkan bagaimana fashion dalam skena skate dan musik tidak hanya
berfungsi sebagai penanda identitas visual tetapi juga sebagai alat untuk mendukung aktivitas dan
mengekspresikan keterkaitan dengan nilai-nilai dan estetika komunitas tersebut.
Penuturan lain dari responden 3, Anggi yaitu :
“Tren fashion skena menurutku itu sebuah bentuk ekspresi aja si, misalkan seseorang suka musik punk
dan dia punya gaya pakaian yang mirip sama punk berarti dia itu pengen berekspresi aja gitu.”
(Responden 3, Anggi, wawancara, Juni 2024)
Pendapat Anggi menggambarkan bagaimana fashion dalam skena tidak sekadar sebagai sebuah
tren yang diikuti secara pasif, tetapi lebih sebagai medium yang kuat untuk mengekspresikan diri dan
identitas pribadi (Mulyana, 2022). Bagi Anggi, pilihan gaya berpakaian yang sesuai dengan genre musik
atau subkultur tertentu, seperti punk, mencerminkan sesuatu yang jauh lebih mendalam daripada sekadar
mengikuti arus mode yang sedang populer. Ini adalah cara bagi seseorang untuk memperlihatkan kepada
dunia siapa mereka sebenarnya, serta menunjukkan minat, nilai-nilai, dan kepercayaan yang mereka
anut. Dalam konteks ini, fashion menjadi sarana komunikasi yang tidak verbal, di mana seseorang dapat
mengekspresikan diri mereka tanpa harus berbicara (Nurapriyanti & Hartono, 2023). Ketika seseorang
Jurnal Penelitian Inovatif (JUPIN) DOI: https://doi.org/10.54082/jupin.562
Vol. 4, No. 4, November 2024, Hal. 1879-1890 p-ISSN: 2808-148X
https://jurnal-id.com/index.php/jupin e-ISSN: 2808-1366
1886
memilih untuk mengenakan pakaian yang terinspirasi dari subkultur punk, misalnya, mereka mungkin
sedang menunjukkan kecintaan mereka pada musik punk, gaya hidup anti-mainstream, atau semangat
pemberontakan terhadap norma-norma yang ada. Setiap elemen dalam gaya berpakaian mereka mulai
dari jaket kulit, sepatu boots, hingga aksesoris seperti pin dan rantai bukan hanya sekadar estetika, tetapi
juga membawa makna simbolis yang berkaitan dengan identitas dan pandangan hidup mereka.
Anggi juga menekankan bahwa fashion skena memungkinkan seseorang untuk merasa terhubung
dengan komunitas yang memiliki kesamaan minat dan nilai. Dengan mengenakan gaya yang serupa
dengan subkultur yang mereka sukai, individu tidak hanya mengekspresikan identitas pribadi mereka,
tetapi juga memperkuat rasa kebersamaan dengan kelompok tersebut (Sugiharto & Agustina, 2024). Ini
menciptakan ikatan sosial yang kuat di antara mereka yang memiliki pandangan dan selera yang serupa.
Ketiga pendapat ini mengungkapkan perspektif yang berbeda mengenai gaya berpakaian dalam
skena, menunjukkan bagaimana fashion tidak hanya berfungsi sebagai sarana penampilan tetapi juga
sebagai bentuk ekspresi dan identitas. Dany, misalnya, mengaitkan fashion skena dengan fungsionalitas,
terutama dalam konteks aktivitas fisik seperti skateboarding. Bagi Dany, pilihan untuk memakai baju
oversize dan celana gombrong lebih didorong oleh kebutuhan praktis pakaian yang longgar
memungkinkan kebebasan bergerak yang lebih besar, sehingga lebih nyaman untuk digunakan saat
bermain skateboard. Namun, Dany juga mengakui bahwa merek-merek tertentu seperti Salomon, New
Balance, dan Dr. Martens yang populer di kalangan skena tidak hanya dipilih karena alasan
kenyamanan, tetapi juga karena merek-merek ini memiliki nilai estetika yang kuat dan secara visual
mencerminkan identitas budaya skena. Ini menunjukkan bahwa bagi Dany, fashion skena bukan hanya
soal kenyamanan, tetapi juga soal keselarasan dengan budaya dan subkultur yang dia ikuti.
Cleo, di sisi lain, memberikan pandangan yang lebih estetis dan berbasis tren. Dia melihat fashion
skena sebagai sesuatu yang menarik terutama karena membuat seseorang terlihat keren. Dalam
pandangannya, tren fashion selalu berubah dan mengikuti arus yang populer di kalangan tertentu dalam
hal ini, di kalangan mahasiswa. Cleo mengakui bahwa dia tertarik untuk mengikuti gaya berpakaian
skena bukan karena fungsionalitasnya atau karena ia merasa terhubung secara mendalam dengan
subkultur tersebut, tetapi lebih karena dorongan untuk menyesuaikan diri dengan tren yang sedang
berkembang dan keinginan untuk tampil keren di mata orang lain. Bagi Cleo, fashion adalah alat untuk
mencapai penampilan yang diinginkan, sebuah cara untuk menonjolkan dirinya di tengah lingkungan
sosialnya.
Berbeda dari Dany dan Cleo, Anggi melihat fashion skena sebagai bentuk ekspresi diri yang lebih
personal. Bagi Anggi, ketika seseorang memilih untuk berpakaian sesuai dengan gaya tertentu yang
terkait dengan subkultur, seperti punk, hal itu mencerminkan keinginan mereka untuk menunjukkan
siapa mereka sebenarnya dan apa yang mereka sukai. Anggi menekankan bahwa tren fashion dalam
skena adalah cara bagi individu untuk mengekspresikan identitas mereka, bahkan jika gaya tersebut
tidak selalu mengikuti arus utama atau dianggap populer di masyarakat luas. Dengan demikian, fashion
bagi Anggi adalah lebih dari sekadar mengikuti tren atau memastikan kenyamanan fisik; ini adalah
medium untuk mengekspresikan kepribadian dan preferensi musik atau budaya seseorang.
Secara keseluruhan, ketiga pandangan ini menggambarkan berbagai motivasi yang mendasari
adopsi gaya berpakaian skena. Dany melihatnya sebagai perpaduan antara kenyamanan dan identitas
budaya, yang penting dalam aktivitas fisik yang dilakukannya. Cleo, sebaliknya, lebih menekankan
aspek estetika dan popularitas, menggunakan fashion sebagai alat untuk menyesuaikan diri dengan tren
sosial dan meningkatkan penampilannya. Anggi menekankan pentingnya ekspresi diri dan identitas
pribadi, memandang fashion sebagai cara untuk mengekspresikan siapa dirinya dan apa yang dia sukai.
Ketiga perspektif ini mencerminkan bagaimana fashion dalam skena bisa bermakna berbeda bagi setiap
individu, tergantung pada bagaimana mereka memprioritaskan kenyamanan, estetika, atau ekspresi diri.
4. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini mencerminkan dinamika yang kompleks mengenai fenomena
"skena" di kalangan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal
Soedirman. Melalui kajian mendalam, penelitian ini mengungkap bahwa "skena" pada awalnya
dipahami sebagai sebuah subkultur yang terdiri dari kelompok individu dengan minat dan tujuan yang
Jurnal Penelitian Inovatif (JUPIN) DOI: https://doi.org/10.54082/jupin.562
Vol. 4, No. 4, November 2024, Hal. 1879-1890 p-ISSN: 2808-148X
https://jurnal-id.com/index.php/jupin e-ISSN: 2808-1366
1887
sama, yang umumnya berbeda dari arus utama. Kelompok-kelompok ini sering kali terkait dengan
ekspresi budaya tertentu seperti musik, mode, dan olahraga, yang kemudian membentuk identitas
kolektif yang khas di kalangan anggotanya. Dalam konteks ini, "skena" tidak hanya dilihat sebagai tren
fashion atau gaya hidup semata, tetapi juga sebagai sebuah komunitas dengan nilai-nilai yang dipegang
bersama, termasuk prinsip-prinsip Do-It-Yourself (DIY) yang menekankan pada kemandirian dan
kreativitas dalam mengadakan acara dan kegiatan tanpa tujuan komersial.
Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan pengaruh kuat dari media sosial, terjadi
pergeseran yang signifikan dalam pemahaman dan penghayatan konsep "skena" di kalangan mahasiswa.
Pengaruh media sosial telah mengubah cara pandang dan orientasi para anggotanya, dari yang
sebelumnya berfokus pada interaksi sosial mendalam dan solidaritas komunitas, menjadi lebih
berorientasi pada aspek visual dan estetika semata. "Skena" yang dulunya merupakan simbol
perlawanan terhadap arus utama dan ruang bagi ekspresi individual serta kolektif, kini lebih sering
dipersepsikan sebagai bagian dari tren fashion yang menitikberatkan pada tampilan luar. Ini
mengindikasikan bahwa identitas "skena" telah mengalami dekonstruksi, di mana nilai-nilai autentik
yang dulu diusung mulai memudar, digantikan oleh citra-citra yang didorong oleh popularitas di media
sosial.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perubahan persepsi ini memunculkan krisis identitas dalam
komunitas "skena" di kalangan mahasiswa FISIP UNSOED. Mereka yang sebelumnya merasa
terhubung dengan nilai-nilai dan tujuan bersama dalam "skena" kini menghadapi tantangan dalam
mempertahankan makna autentik dari komunitas tersebut. Krisis ini terlihat dalam pergeseran dari
sebuah komunitas yang berpusat pada interaksi sosial dan ekspresi budaya yang mendalam, menjadi
lebih pada bagaimana individu menampilkan diri mereka di depan publik, khususnya di platform digital.
Akibatnya, "skena" yang dahulu memiliki makna yang kaya dan penuh dengan simbol-simbol
perlawanan kini kerap kali dipandang sebagai tren yang dangkal dan komodifikasi dari identitas
subkultur.
Kesimpulan ini menggarisbawahi bahwa meskipun "skena" masih berfungsi sebagai wadah
ekspresi budaya dan identitas bagi mahasiswa FISIP, maknanya telah berevolusi seiring waktu. Evolusi
ini menandakan adanya pergeseran nilai-nilai dari yang bersifat kolektif dan komunal menjadi lebih
individualistik dan visual. Oleh karena itu, "skena" di era digital menghadapi tantangan besar dalam
mempertahankan relevansinya sebagai ruang untuk ekspresi budaya yang otentik di tengah arus
perubahan sosial dan teknologi yang terus berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdussamad, Z. (2022). Buku Metode Penelitian Kualitatif.
Adlini, M. N., Dinda, A. H., Yulinda, S., Chotimah, O., & Merliyana, S. J. (2022). Metode Penelitian
Kualitatif Studi Pustaka. Jurnal Edumaspul, 6(1), 974–980.
Adnan, G., Murdani, T., & Zaenab, C. (2021). Resistensi Local Wisdom Aceh dan Lombok dalam
Menghadapi Westernisasi 4.0.
Aini, H. N. C., Luvianasari, M. T., Landicho, M. J., & Saputri, S. D. (2024). Analisis Tren Lifestyle
“Skena” Dalam Kerangka Sosial Budaya Pada Era Modern. Jurnal Insan Pendidikan Dan Sosial
Humaniora, 2(2), 202–216.
Akbar, N. F., & Faristiana, A. R. (2023). Perubahan Sosial dan Pengaruh Media Sosial Tentang Peran
Instagram dalam Membentuk Identitas Diri Remaja. Simpati: Jurnal Penelitian Pendidikan Dan
Bahasa, 1(3), 98–112.
Alfansyur, A., & Mariyani, M. (2020). Seni mengelola data: Penerapan triangulasi teknik, sumber dan
waktu pada penelitian pendidikan sosial. Historis: Jurnal Kajian, Penelitian Dan Pengembangan
Pendidikan Sejarah, 5(2), 146–150.
Almas, M. C., Merang, O. S., Payunglangi, A. S., & Jeansen, E. (2022). Kritik Sosial dalam Musik.
Musikolastika: Jurnal Pertunjukan Dan Pendidikan Musik, 4(2), 76–84.
Ayuna, N. E. (2023). Peran komunikasi dalam proses akulturasi sistem sosial lokal. Technomedia
Jurnal Penelitian Inovatif (JUPIN) DOI: https://doi.org/10.54082/jupin.562
Vol. 4, No. 4, November 2024, Hal. 1879-1890 p-ISSN: 2808-148X
https://jurnal-id.com/index.php/jupin e-ISSN: 2808-1366
1888
Journal, 8(1 Juni), 35–51.
Azzam, S. A., & Meiji, N. H. P. (2023). Telaah Moshing sebagai Bentuk Ekspresi Pemuda pada
Komunitas Musik Hardcore di Malang Raya. Jurnal Studi Pemuda, 12(1), 33–49.
Bennett, A. (2023). Youth, Music, and DIY Careers. Sage Journal.
Cahyadi, N., S ST, M. M., Ani Mekaniwati, S. E., Djajasinga, I. N. D., Hidayati, H., SE I, M. M.,
Munarsih, E., Nurcholifah, I., & S EI, M. M. (2023). Perilaku Dalam Organisasi. CV Rey Media
Grafika.
Epafras, L. C., Suleeman, E., & Yasmine, D. I. (n.d.). Dinamika Aktivisme Digital Kaum Muda
Indonesia dalam Wacana Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB).
Fatrida, N. D., Elviani, M. K. Y., & Keb, A. M. (2022). Asuhan Keperawatan Keluarga Dan Komunitas:
Upaya Pencegahan Kanker Payudara Anak Usia Remaja. Penerbit Adab.
Fiqih Rahmawati. (2023). Apa Arti Kata Skena yang Ramai di Medsos? Ternyata Akronim 3 Kata IniNo
Title. https://www.kompas.tv/lifestyle/423925/apa-arti- kata-skena-yang ramai-di-medsos-
ternyata-akronim-3-
Firdaus, I., Hidayati, R., Hamidah, R. S., Rianti, R., & Khotimah, R. C. K. (2023). Model-Model
Pengumpulan Data dalam Penelitian Tindakan Kelas. Jurnal Kreativitas Mahasiswa, 1(2), 105–
113.
Guerra, P. (2023). Raw Power: Punk, DIY and Underground Cultures as Spaces of Resistance in
Contemporary Portugal. Sage Journal.
Gunawan, I. (2022). Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Bumi Aksara.
Gusmanto, R., CUFARA, D. P., & Ihsan, R. (2021). Kekitaan: Komposisi Musik Yang Mengungkap
Identitas Budaya Kabupaten Pasaman Barat. Ekspresi Seni: Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Karya
Seni, 23(1), 18–34.
Halimah Nur Churil Aini, Meydina Tri Luvianasari, Maris Jennet Landicho, & Selvia Deva Saputri.
(2024). Analisis Tren Lifestyle “Skena” Dalam Kerangka Sosial Budaya Pada Era Modern. Jurnal
Insan Pendidikan Dan Sosial Humaniora, 2(2), 202–216. https://doi.org/10.59581/jipsoshum-
widyakarya.v2i2.3118
Handayani, N. L. P., & Soeparan, P. F. (2022). Ekonomi Kreatif Sebagai Pendorong Pemulihan
Ekonomi Pada Masa New Normal di Kabupaten Banyumas. Jurnal Mahasiswa: Jurnal Ilmiah
Penalaran Dan Penelitian Mahasiswa, 4(2), 39–50.
Hayat, H., & Hadiansyah, F. (2023). Youth Culture pada Novel Antariksa Karya Tresia. Stilistika:
Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra, 16(2), 251–268.
Helen. (2023, 04 10). Apa Arti dari Skena, Kata yang Viral di Sosial Media. Retrieved from Prambors
FM: https://www.pramborsfm.com/music/apa-arti-dari-kata-skena-kata-yang-viral-di-sosial-
media/all
Irwansyah, R. P. (2021). Peningkatan Awareness Skena Musik Independen Indonesia. Journal of
Education, Humaniora and Social Sciences, 966.
Iskandar, T. (2021). Pola Komunikasi Komunitas Musik Loudbreed Dalam Mengakomodasi Tour Band
Kolektif Di Kota Bandung. Universitas Komputer Indonesia.
Jones, E. (2023). DIY and Popular Music: Mapping an Ambivalent Relationship across Three Historical
Case Studies. Sage Journal.
Lesmana, H. S. J., SH, M. H., & Inas Sofia Latif, S. H. (2023). Pengantar Sosiologi: Interaksi Individu
Dengan Individu, Individu Dengan Kelompok, Kelompok Dengan Kelompok. Berkah Aksara Cipta
Karya.
Lestari, N. D. (2019). Proses Produksi Dalam Industri Musik IndependenDi Indonesia. Jurnal
Komunikasi BSI, 161.
Ma’ruf, S. (2021). Strategi Branding Band Indie Sudut Pelangi Dikalangan Mahasiswa Pekanbaru.
Universitas Islam Riau.
Jurnal Penelitian Inovatif (JUPIN) DOI: https://doi.org/10.54082/jupin.562
Vol. 4, No. 4, November 2024, Hal. 1879-1890 p-ISSN: 2808-148X
https://jurnal-id.com/index.php/jupin e-ISSN: 2808-1366
1889
Maharani, C., Juliansyah, V., & Purnama, D. T. (2024). Fenomena Korean Wave dan Fanatisme
Penggemar Dalam Bermedia Sosial Studi Kelompok Fandom di Kota Pontianak: Fenomena
Korean Wave dan Fanatisme Penggemar Dalam Bermedia Sosial Studi Kelompok Fandom di Kota
Pontianak. Jurnal Sosiologi Nusantara, 10(1), 18–42.
Manurung, J., & Anom, E. (2023). Strategi Pemanfaatan Media Sosial Sebagai Sarana Promosi Sekolah
Musik Di Dotodo Music Edutainment. Technomedia Journal, 8(2 Oktober), 248–260.
Meifilina, A. (2022). Pelatihan Personal Branding Dalam Membangun Citra Diri. Science Contribution
to Society Journal, 2(1), 32–48.
Meilinda, N., Giovanni, C., Triana, N., & Lutfina, S. (2021). Resistensi Musisi Independen terhadap
Komodifikasi dan Industrialisasi Musik di Indonesia. Jurnal Komunikasi, 16(1), 77–88.
MM, L., & Palupi, Y. (2022). Ilmu Sosial Dasar. BUKU Karya Dosen IKIP PGRI Wates, 1(1).
Muhamad, F. I., & Rachman, A. (2024). Perancangan Video Klip Animasi Band Nightfall Dengan Pesan
Anti Pembajakan Musik Digital. Jurnal Desain, 11(2), 319–334.
Mulyana, A. (2022). Gaya Hidup Metroseksual: Perspektif Komunikatif. Bumi Aksara.
Najla, A. N. (2020). DAMPAK MENDENGARKAN MUSIK TERHADAP KONDISI PSIKOLOGIS
REMAJA. Jurnal Edukasi, 6.
Nibras, N. A. A. (n.d.). Penggunaan Bahasa Campuran (Indonesia-Korea) Sebagai Modal Sosial Pada
Penggemar K-Pop Di Jakarta. Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas ….
Nurapriyanti, T., & Hartono, F. C. (2023). Pemaknaan Fashion Thrift sebagai Komunikasi: Studi Kasus
Pelanggan Toko Seventysix. Store Tangerang. JBSI: Jurnal Bahasa Dan Sastra Indonesia, 3(01),
112–128.
Nurfitria, A. (2020). Pengaruh Literasi Ekonomi dan Gaya Hidup terhadap Perilaku Pembelian
Konsumtif Untuk Produk Fashion pada Mahasiswa Jurusan IPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Oliveira, A. (2023). DIY or die? A typology of DIY careers in the Portuguese independent music scenes.
Sage Journal.
Pahleviannur, M. R., De Grave, A., Saputra, D. N., Mardianto, D., Hafrida, L., Bano, V. O., Susanto, E.
E., Mahardhani, A. J., Alam, M. D. S., & Lisya, M. (2022). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Pradina Pustaka.
Penarik, N. H. A. B. (2021). Analisis Framing Identitas Diri Penganut Cross-dresser Dan Cross-hijaber
Ditinjau Dari Media Online. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan.
Pramesti, D. K. W. (2021). Fanatisme Dan Eksistensi Fans Afgan.
Rahmawati, I. (2022). Pengantar Psikologi Sosial. Bumi Aksara.
Ramadhani, D. E., & Rosa, D. V. (2023). Fashion Skena: Kontestasi Tampilan Kaum Muda di Coffee
Shop Jember. Jurnal Studi Pemuda, 12(1), 66–81.
Ramdan, R. D. M. (n.d.). Konsumsi Kelas Seni Di Ganara Art Jakarta Sebagai Rekreasi Anak Muda.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif ….
REZA, K. S. (2023). Fashion Sebagai Komunikasi Artifaktual Dalam Pembentukan Identitas Diri
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Lampung.
Rizki, A. V., Brahmasta, N. S., Fergiansyah, R., & Satvikadewi, A. A. I. P. (2024). Skena Musik
Independen Indonesia Analisis Wacana Kritis Van Dijk Pada Komentar Video Clip Lagu
“Runtuh”–Feby Putri Ft Fiersa Besari. Harmoni: Jurnal Ilmu Komunikasi Dan Sosial, 2(3), 220–
227.
Rizkidarajat, W. Rahmadona, A, E. Geminove, M, J.(2024). Kolektif Pemuda dan Placemaking:
Penciptaan Ruang Alternatif oleh Heartcorner Collective, Purwokerto. Jurnal Penelitian Inovatif.
Sarfilianty Anggiani, M. M. (2021). Keterampilan Interpersonal: Pengembangan Pribadi Berintegritas
dan Kerja Sama Menyenangkan. Prenada Media.
Jurnal Penelitian Inovatif (JUPIN) DOI: https://doi.org/10.54082/jupin.562
Vol. 4, No. 4, November 2024, Hal. 1879-1890 p-ISSN: 2808-148X
https://jurnal-id.com/index.php/jupin e-ISSN: 2808-1366
1890
Septian, W. T., & Hendrastomo, G. (2020). Musik Indie Sebagai Identitas Anak Muda di Yogyakarta.
E-Societas: Jurnal Pendidikan Sosiologi, 9(1).
Setiadarma, A., Abdullah, A. Z., Sadjijo, P., & Firmansyah, D. (2024). Tinjauan Literatur Transformasi
Sosial dalam Era Virtual. Khatulistiwa: Jurnal Pendidikan Dan Sosial Humaniora, 4(1), 232–244.
Siregar, D., & Gulo, Y. (2020). Eksistensi Parmalim Mempertahankan Adat dan Budaya Batak Toba di
Era Modern The existence of Parmalim Defends Toba Batak Customs and Culture in the Modern
Era. Anthropos, 6(1), 41–51.
Sugiharto, Y. E., & Agustina, M. T. (2024). Gaya Hidup Clubbers pada Usia Emerging Adulthood.
Observasi: Jurnal Publikasi Ilmu Psikologi, 2(1), 151–166.
Sulianta, F. (2020). Literasi Digital, Riset dan Perkembangannya Dalam Perspektif Social Studies. Feri
Sulianta.
Susanto, D., & Jailani, M. S. (2023). Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data Dalam Penelitian Ilmiah.
QOSIM: Jurnal Pendidikan, Sosial & Humaniora, 1(1), 53–61.
Sutopo, O. R. (2020). Melampaui Subkultur/Post-Subkultur: Musisi sebagai Jalan Hidup Kaum Muda.
Jurnal Studi Pemuda.
Sutopo, O. R., & Lukisworo, A. A. (2023). Praktik Pertunjukan Musik Mandiri dalam Skena Metal
Ekstrem. Resital: Jurnal Seni Pertunjukan, 24(2), 97–111.
Tamara, T., & Djie, J. A. (2024). Analisis Tingkat Kepuasan Mahasiswa Program Studi Musik terhadap
Pembelajaran Blended Learning pada kelas Instrumen Piano Klasik, Universitas Pelita Harapan
[The Analysis of Music Students’ Satisfaction Level Towards Blended Learning in Classical Piano
In. Jurnal SENI MUSIK, 14(1), 9–23.
Wahid, M. R. A. (2024). Pengaruh Brand Image, Product Knowledge Dan Lifestyle Terhadap Minat
Beli Kelompok Skena (Studi Kasus Pengguna New Balance Di Yogyakarta). Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi YKPN Yogyakarta.
Waruwu, M. (2023). Pendekatan penelitian pendidikan: metode penelitian kualitatif, metode penelitian
kuantitatif dan metode penelitian kombinasi (Mixed Method). Jurnal Pendidikan Tambusai, 7(1),
2896–2910.
Wibawanti Ratna Amina, N. (2022). Membangun Komunitas Dalam Pengembangan Masyarakat. PT.
Gaptek Media Pustaka.
Yusnan, M. (2022). Nilai Pendidikan: Intertekstualitas Dalam Cerita Rakyat Buton. Rena Cipta
Mandiri.
Zamroni, M. (2022). Filsafat Komunikasi: Pengantar Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis.
IRCiSoD.