ArticlePDF Available

HUBUNGAN KEMAMPUAN LITERASI VISUAL SISWA SMK DENGAN HASIL PENCIPTAAN KARYA PADA KOMPETENSI PEREKAMAN GAMBAR TELEVISI NONDRAMA SINGLE CAMERA

Authors:

Abstract

Work creation is an activity that requires complex abilities. There are three importantcomponents in the process of creating work, namely the work that is created, the person whocreates the work, and the viewers. The visual literacy ability of students as a crew, either asan individual or as a group, has not supported the process of recording nondrama televisionimages using a single camera whereas visual literacy ability is a continuous bridge from onecompetency to another, or from one step to the next one. Correlation study was applied to findthe relationship between one variable and another variable. Causal associative researchdesign was used to identify the correlation of vocational high school students’ visual literacyability and the results of their work creation. Quantitative approach in this study emphasizesthe analysis of numerical data processed by statistical method with the following hypothesis:There is a positive and significant correlation between visual literacy ability of vocationalhigh school students and the results of their creation of works in the competence of non-dramatelevision image recording using single camera. The result of data analysis demonstrates thatthe regression equation Y= 68.09β + 0.478× which means that for every 1 point increase instudents' visual literacy skills, there will be an increase in work creation results of 0.478points. This is strengthened by the result of the determination test of 50.4 % indicating thatstudents' visual literacy ability affects the results of the creation of works Penciptaan karya merupakan kegiatan yang memerlukan kemampuan kompleks. Ada tigakomponen penting dalam proses penciptaan karya, yaitu karya, pekarya, dan khalayak.Kemampuan literasi visual siswa sebagai seorang crew, baik sebagai individu maupunkelompok, pada kenyataannya belum menunjang proses perekaman gambar televisi nondramadengan single camera, padahal kemampuan literasi visual menjadi jembatan yangberkesinambungan dari satu kompetensi ke kompetensi lainnya, atau dari satu tahapan ketahapan berikutnya. Penelitian jenis korelasional digunakan dalam studi ini untuk mencari adatidaknya hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain. Desain penelitian asosiatifkausal digunakan untuk mengetahui hubungan kemampuan literasi visual siswa SMK denganhasil penciptaan karya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatankuantitatif yaitu penelitian yang menekankan analisisnya berdasarkan data-data numerical(angka) yang diolah dengan metode statistika. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:“Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kemampuan literasi visual siswa SMKdengan hasil penciptaan karya untuk kompetensi perekaman gambar televisi nondrama dengan menggunakan single camera”. Berdasarkan penghitungan data, diperoleh persamaan regresiY= 68,09β + 0,478× yang memiliki makna bahwa pada setiap kenaikan kemampuan literasivisual siswa sebanyak 1 poin maka akan ada kenaikan hasil penciptaan karya sebesar 0,478poin. Perolehan ini diperkuat dengan hasil uji determinasi sebesar 50,4% yang menunjukkankemampuan literasi visual siswa memberikan pengaruh terhadap hasil penciptaan karya.
Jurnal Sendikraf, Volume 3 No 1 Mei 2022 | 33
HUBUNGAN KEMAMPUAN LITERASI VISUAL SISWA SMK
DENGAN HASIL PENCIPTAAN KARYA PADA KOMPETENSI
PEREKAMAN GAMBAR TELEVISI NONDRAMA SINGLE CAMERA
THE CORRELATION OF VOCATIONAL HIGH SCHOOL STUDENTS
VISUAL LITERACY ABILITY AND THE WORK CREATION RESULTS
OF NONDRAMA TELEVISION IMAGE RECORDING USING SINGLE CAMERA
Sandi Erlan Rismaya
1
SMK Negeri 1 Sukalarang, Kabupaten Sukabumi
sandierlan2017@gmail.com
ABSTRACT
Work creation is an activity that requires complex abilities. There are three important
components in the process of creating work, namely the work that is created, the person who
creates the work, and the viewers. The visual literacy ability of students as a crew, either as
an individual or as a group, has not supported the process of recording nondrama television
images using a single camera whereas visual literacy ability is a continuous bridge from one
competency to another, or from one step to the next one. Correlation study was applied to find
the relationship between one variable and another variable. Causal associative research
design was used to identify the correlation of vocational high school students’ visual literacy
ability and the results of their work creation. Quantitative approach in this study emphasizes
the analysis of numerical data processed by statistical method with the following hypothesis:
There is a positive and significant correlation between visual literacy ability of vocational
high school students and the results of their creation of works in the competence of non-drama
television image recording using single camera. The result of data analysis demonstrates that
the regression equation Y= 68.09β + 0.478× which means that for every 1 point increase in
students' visual literacy skills, there will be an increase in work creation results of 0.478
points. This is strengthened by the result of the determination test of 50.4 % indicating that
students' visual literacy ability affects the results of the creation of works.
Keywords: visual literacy ability, work creation results, nondrama television image recording,
single camera.
ABSTRAK
Penciptaan karya merupakan kegiatan yang memerlukan kemampuan kompleks. Ada tiga
komponen penting dalam proses penciptaan karya, yaitu karya, pekarya, dan khalayak.
Kemampuan literasi visual siswa sebagai seorang crew, baik sebagai individu maupun
kelompok, pada kenyataannya belum menunjang proses perekaman gambar televisi nondrama
dengan single camera, padahal kemampuan literasi visual menjadi jembatan yang
berkesinambungan dari satu kompetensi ke kompetensi lainnya, atau dari satu tahapan ke
tahapan berikutnya. Penelitian jenis korelasional digunakan dalam studi ini untuk mencari ada
tidaknya hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain. Desain penelitian asosiatif
kausal digunakan untuk mengetahui hubungan kemampuan literasi visual siswa SMK dengan
hasil penciptaan karya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif yaitu penelitian yang menekankan analisisnya berdasarkan data-data numerical
(angka) yang diolah dengan metode statistika. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kemampuan literasi visual siswa SMK
dengan hasil penciptaan karya untuk kompetensi perekaman gambar televisi nondrama dengan
______________________________________________________
1
Sandi Erlan Rismaya adalah guru produktif pada program keahlian Seni dan Broadcasting Film di SMK Negeri 1
Sukalarang, Kabupaten Sukabumi, yang menyelesaikan pendidikan S2 pada program studi Teknologi Pendidikan.
Penulis berminat/menggeluti bidang penulisan naskah penelitian dan nonpenelitian, videografi, serta motion graphic.
Jurnal Sendikraf, Volume 3 No 1 Mei 2022 | 34
menggunakan single camera”. Berdasarkan penghitungan data, diperoleh persamaan regresi
Y= 68,09β + 0,478× yang memiliki makna bahwa pada setiap kenaikan kemampuan literasi
visual siswa sebanyak 1 poin maka akan ada kenaikan hasil penciptaan karya sebesar 0,478
poin. Perolehan ini diperkuat dengan hasil uji determinasi sebesar 50,4% yang menunjukkan
kemampuan literasi visual siswa memberikan pengaruh terhadap hasil penciptaan karya.
Kata kunci: kemampuan literasi visual, hasil penciptaan karya, perekaman gambar televisi
nondrama, single camera.
PENDAHULUAN
Proses penciptaan karya merupakan
kegiatan yang memerlukan kemampuan
kompleks dan spesifik: kognitif, afektif, dan
konatif. Ruang kreativitas akan terbentuk dari
sinergitas ketiga ranah tersebut. Kompetensi
kognitif akan membentuk ruang kognisi dalam
pemrosesan pesan secara auditif dan visual.
Kompetensi afektif berkaitan dengan persepsi
seseorang dalam bersikap secara positif atau
negatif. Kemampuan konatif akan merepresen-
tasikan kemampuan kogntif dan afektif tersebut
ke dalam sebuah tindakan konkret melalui
aktifivitas secara fisik maupun mekanik.
Sebagai karya audio visual, perekaman
gambar televisi nondrama dengan menggunakan
single camera memerlukan keterampilan
kompleks dan spesifik dalam perekaman gambar
bergerak, terutama dalam keterampilan
menganatomi dan mengoperasikan kamera secara
manual maupun automatis. Keterampilan
minimum pada ranah psikomotorik dalam hal ini
meliputi kemampuan merancang, mengaktifkan,
memproduksi, dan kemampuan membentuk
sesuatu menjadi pesan yang bisa didengar, dilihat
dan diapresiasi. Kemampuan kompleks inilah
yang terpetakan dalam reviewing visual literacy
yang meliputi persepsi visual (visual perception),
bahasa visual (visual language), pembelajaran
visual (visual learning), pemikiran visual (visual
thinking), dan komunikasi visual (visual
communication), baik sebagai representasi
kemampuan individu maupun kelompok.
Literasi visual adalah kemampuan untuk
menginterpretasi dan memberi makna dari sebuah
informasi yang berbentuk visual, baik dalam
bentuk teks, image, foto ataupun video. Dalam
literasi visual, aktivitas apapun akan selalu
melibatkan interaksi visual baik secara langsung
melalui indera penglihatan, maupun secara tidak
langsung melalui perantara media. Hal ini
menguatkan bahwa sebuah gambar visual bisa
dibaca, dimaknai, dan didekonstruksikan dengan
mengkomunikasikannya dalam pemahaman lain.
Ada tiga komponen penting dalam proses
perekaman gambar televisi nondrama single
camera, yaitu karya sebagai hasil aktivitas
perekaman, pekarya sebagai orang yang
melakukan aktivitas perekaman, dan khalayak
sebagai sasaran akhirnya. Produksi film, baik
produksi film yang bertutur secara fiktif maupun
film yang bertutur berdasarkan realitas kenyataan
pada dasarnya merupakan serangkaian tahapan
kolektif untuk merekonstruksi teks naskah
menjadi serangkaian gambar visual yang akan
diinterpretasikan oleh khalayak sesuai dengan
ruang kognisi dan persepsinya masing-masing.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurannisa
(2017) mengenai literasi visual untuk
memberikan stimulasi terhadap kemampuan
berpikir dalam proses pembelajaran
menunjukkan bahwa penggunaan literasi visual
mendukung kemampuan untuk mengingat
informasi dan memungkinkan mereka untuk
mempresentasikan kembali dengan cara mereka
sendiri. Kemampuan literasi visual sama dengan
kemampuan berpikir. Visual yang dikelola
dengan baik dalam proses pembelajaran dapat
meningkatkan kemampuan menggunakan
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dalam
mempelajari pengetahuan baru. Perancangan
instruksional visual dapat menjadi pilihan untuk
mengembangkan literasi visual dalam
pembelajaran. Kompetensi literasi visual yang
baik mampu membentuk seseorang untuk dapat
mengekspresikan gagasan yang merangkum
pemikiran mereka dan menginformasikannya
kembali kepada orang lain.
Berkaitan dengan hal tersebut, kemampuan
literasi visual siswa sebagai seorang crew, baik
sebagai individu maupun sebagai kelompok pada
Kompetensi Keahlian Produksi dan Siaran
Program Televisi, pada kenyataanya belum
menunjang proses perekaman gambar televisi
nondrama dengan single camera, padahal
kemampuan literasi visual menjadi jembatan
yang berkesinambungan dari satu kompetensi ke
kompetensi lainnya atau dari satu tahapan ke
tahapan berikutnya.
Jurnal Sendikraf, Volume 3 No 1 Mei 2022 | 35
Perbedaan kemampuan kognitif, afektif,
dan psikomotorik siswa untuk setiap tahapan
praproduksi, produksi, dan paskaproduksi
menjadi sebuah permasalahan ketika tahapan
tersebut berproses untuk memenuhi target
kesesuaian waktu (deadline) dan kualitas hasil
karya yang sesuai dengan standar kompetensi
lulusan, sebagaimana dinyatakan dalam Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
Level 2 untuk Kompetensi Keahlian Produksi dan
Siaran Program Televisi. Oleh karena itu,
diperlukan sebuah kajian kuantitatif dalam bentuk
penelitian terstruktur dan sistematis untuk
menelaah hubungan kemampuan literasi visual
siswa SMK dengan hasil penciptaan karya untuk
kompetensi perekaman gambar televisi
nondrama menggunakan single camera pada
siswa dengan Kompetensi Keahlian Produksi dan
Siaran Program Televisi (PSPTV).
Kemampuan literasi pada dasarnya adalah
kemampuan berbahasa yang mencakup
kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis serta kemampuan berpikir yang termasuk
elemen di dalamnya. Melek huruf, bagi seorang
pekarya akan memudahkan dalam berinteraksi
dengan orang lain dan lingkungannya dalam
mengakses, memahami, dan menggunakan
informasi secara cerdas. Literasi adalah
keberaksaraan, kemampuan membaca, dan
menulis (Padmadewi & Artini, 2018).
Kemampuan seseorang adalah hal utama dalam
memahami konsep literasi. Literasi akan selalu
berkaitan dengan kemampuan, kecakapan, dan
kompetensi seseorang dalam berinisiasi untuk
mendapatkan akses dan komunikasi terhadap
informasi dalam beragam bentuk dan saluran.
Adegan, video, dan gambar adalah bentuk
media yang selalu menjadi objek dalam proses
literasi visual. Literasi visual berada pada
kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-
ide yang disampaikan secara visual, termasuk
adegan, video, dan gambar (Yusa dan Suarya,
2016). Literasi visual juga hadir dari pemikiran
bahwa gambar bisa dibaca serta bisa
dikomunikasikan dari proses membaca. Konsep
demikian memaknai literasi sebagai aktivitas
yang tidak berdiri sendiri. Literasi visual
merupakan pemahaman tingkat lanjut antara
literasi media dan literasi teknologi dengan
mengembangkan kemampuan dan kebutuhan
belajar menggunakan materi visual dan
audiovisual (Sulianta, 2020).
Avgerinou & Ericson (1997) menyatakan
bahwa manusia mampu menginterpretasikan
objek, simbol, tindakan, dan apapun yang terjadi
di lingkungannya sehingga terjadi proses
komunikasi satu sama lain. Berdasarkan
penelitiannya, Avgerinou (2009) mengidenti-
fikasi sebelas kompetensi literasi visual, yaitu (1)
memahami kosakata visual; (2) memiliki
pengetahuan akan kesepakatan bersama atas
sebuah visual; (3) memiliki kemampuan berpikir
secara visual; (4) memiliki kemampuan untuk
menyajikan sebuah visualisasi; (5) memiliki
logika berpikir yang koheren dalam memaknai
sebuah visual; (6) memiliki kemampuan berpikir
secara kritis; (7) mampu membedakan karakter
stimulus yang bersifat visual; (8) mampu
melakukan rekonstruksi visual dari sebuah sajian
visual yang asli; (9) mampu mengidentifikasi
makna asosiatif dari sebuah visual; (10) mampu
melakukan konstruksi ulang sebuah makna dari
sajian visual; dan (11) benar-benar mampu
mengkonstruksi makna dari sebuah sajian visual.
Sebelas kompetensi ini didasari atas perubahan
lansekap budaya visual masyarakat serta
dipengaruhi oleh perkembangan tekonologi
komunikasi.
Kompetensi tersebut kemudian
diklasifikasikan lagi ke dalam klasifikasi yang
lebih mudah dipahami. Avgerinou (2011)
menyempurnakan konsep literasi visual tersebut
dengan menyajikan lima komponen utama, yaitu
bahasa visual, berpikir secara visual, mempelajari
visual, komunikasi visual, dan persepsi visual,
sebagaimana terlihat pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Komponen Literasi Visual
(Avgerinou, 2011)
Berdasarkan model Avgerinou tersebut,
literasi visual merupakan sebuah konsep yang
multidisiplin. Visual language bersifat holistik
dan harus dipelajari pada era digital ini. Seluruh
kompetensi literasi visual haruslah dikuasai
sebagai pengetahuan dasar dan pengetahuan
praktis menghadapi era visual. Lima komponen
tersebut menjadi dasar pemikiran dan dasar
analisis hubungan kemampuan literasi visual
Jurnal Sendikraf, Volume 3 No 1 Mei 2022 | 36
sebagai kemampuan siswa Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) dengan hasil penciptaan karya
untuk kompetensi perekaman gambar televisi
nondrama single camera. Widiatmojo (2019)
menggarisbawahi tiga konteks utama dalam
literasi visual, yaitu visual education (pendidikan
di bidang visual), visual reading (kemampuan
interpretasi, memahami, analisis dan persepsi),
visual writing (kemampuan komunikasi visual
dalam hal produksi makna).
Literasi visual memiliki dua kemampuan
utama, yaitu (1) kemampuan mengurai makna
(menafsirkan) visual. Untuk mengajarkan
kemampuan memahami dan menafsirkan gambar
perlu diketahui beberapa hal yang mempenga-
ruhinya, yaitu usia, budaya, dan preferensi
kesukaan anak; (2) kemampuan menyandikan
(membuat) visual, membuat gambar-gambar
dengan makna tertentu merupakan kemampuan
lebih lanjut dari literasi visual.
Hal mendasar dari berbagai penjelasan
literasi visual pada prinsipnya menegaskan bahwa
literasi visual dapat dimaknai sebagai kompetensi
yang melekat pada seseorang untuk melakukan
tindakan nyata dengan cara menginterpretasikan
pesan dalam bentuk adegan, gambar diam, dan
bergerak serta objek-objek yang tampak dan
dapat menjadi sebuah pengetahuan baru untuk
bisa dikomunikasikan dengan orang lain.
Anderson (2010) mengatakan bahwa
penciptaan merupakan proses menempatkan
elemen secara bersama-sama untuk membentuk
satu kesatuan yang utuh atau fungsional, yang
meliputi reorganisasi unsur ke dalam pola atau
struktur yang baru. Termasuk dalam kemampuan
mencipta yaitu menghipotesiskan, merencanakan,
dan menghasilkan.
Dalam proses perekaman gambar televisi
nondrama single camera, elemen yang ditata
meliputi elemen suara dan gambar yang saling
terkait membentuk satu kesatuan pesan melalui
media rekam manual maupun digital. Sebagai
karya, film merupakan penciptaan karya seni
budaya yang merepresentasikan pranata sosial
sebagai media komunikasi massa yang dibuat
berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau
tanpa suara dan dapat dipertunjukkan (UU
Perfilman Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 1 Nomor 33).
Sebagai media komunikasi yang bersifat audio
visual, film sangat efektif untuk menyampaikan
suatu pesan kepada sekelompok orang yang
berkumpul di suatu tempat tertentu. Dalam
pemahaman teknis, film juga didefinisikan
sebagai media komunikasi yang mempunyai
kandungan nilai seni dan budaya yang
menggabungkan unsur suara atau tanpa suara dan
gambar didalamnya. Selain memilik fungsi
entertaint, film bisa digunakan sebagai tontonan
yang bersifat audiovisual yang dengan sendirinya
berhubungan dengan hiburan serta film sebagai
piranti untuk menyampaikan pesan yang bersifat
dengar-pandang (Tjasmadi, 2008).
Dalam proses produksi karya, naskah
operasional yang sudah dirancang sedemikian
rupa akan diwujudkan melalui rangkaian gambar
yang diambil melalui proses syuting
menggunakan single camera atau multicamera.
Perekaman gambar single camera adalah teknik
merekam peristiwa acara televisi dengan satu
kamera ke dalam media layar televisi yang akan
atau tidak disiarkan secara langsung. Sistem
perekaman menggunakan satu kamera sangat
efektif digunakan untuk format program televisi
yang sederhana dengan peralatan perekaman
yang praktis.
Proses produksi pada perekaman gambar
single camera dilakukan dengan merekam objek
menggunakan satu kamera dengan cara merekam
per segmen atau keseluruhan acara. Proses
produksi tata fotografi elektronik dilakukan
dengan menggunakan satu kamera dengan cara
merekam adegan per shot atau keseluruhan acara.
Metode perekaman gambar dengan single camera
ini dilakukan dengan pola pengambilan gambar
secara individual dengan shot dan angle yang
berbeda-beda. Jadi perekaman gambar single
camera merupakan proses merekam pergerakan
objek sederhana dengan memperbanyak sudut
pandang pengambilan gambar serta ukuran shot
yang berbeda dengan menggunakan satu buah
kamera.
Teknik perekaman gambar dengan kategori
single camera umumnya digunakan untuk adegan
yang bentuknya tidak hanya continuity shot, akan
tetapi kompilasi shot. Single camera digunakan
untuk program noncerita atau program shot yang
dihasilkan untuk mempertegas narasi atau
informasi. Untuk dapat menghemat proses waktu
shooting, biasanya akan digunakan tambahan satu
sampai dengan dua kamera. Teknik penghematan
waktu ini tetap disebut sebagai teknik single
camera walaupun menggunakan lebih dari satu
kamera, karena masing-masing kamera tersebut
tetap mengambil gambar dan shot yang berbeda
di tempat yang berbeda. Dengan menggunakan
single camera, sutradara menjadi lebih bebas
untuk memilih berbagai versi pada shot yang
diambil masing-masing kamera saat proses
editing.
Jurnal Sendikraf, Volume 3 No 1 Mei 2022 | 37
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini termasuk jenis korelasional karena
penelitian ini mencari ada tidaknya hubungan
antara satu variabel dengan variabel yang lain.
Dilihat dari sifatnya, desain penelitiannya
termasuk asosiatif kausal, yaitu untuk
mengetahui hubungan antara kemampuan literasi
visual dengan hasil penciptaan karya. Sedangkan
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian
yang menekankan analisisnya berdasarkan data-
data numerical (angka) yang diolah dengan
metode statistika. Analisis korelasi dalam
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan dua variabel atau lebih. Penelitian ini
hanya menggunakan dua variabel, sehingga
korelasinya adalah korelasi sederhana (bivariate
correlation).
Populasi adalah objek atau subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti. Dalam penelitian
ini, pengambilan target populasi adalah seluruh
siswa yang ada di Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 1 Sukalarang, Kabupaten
Sukabumi pada tahun pelajaran 2021/2022
sebanyak 1485 orang. Sedangkan untuk populasi
terjangkau (accessible population) adalah seluruh
siswa pada Kompetensi Keahlian Produksi dan
Siaran Program Televisi di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 1 Sukalarang,
Kabupaten Sukabumi, sebanyak 98 siswa.
Sampel merupakan bagian dari populasi
yang akan diteliti, yaitu bagian dari populasi
terjangkau yang memiliki sifat sama dengan
populasi. Untuk mendapatkan data yang akurat,
faktual dan bisa dipertanggungjawabkan dalam
penyusunan penelitian ini, maka diperlukan
penyusunan data mengenai jumlah populasi
dengan teknik pengambilan sampel yang benar.
Untuk teknik penghitungan sampel digunakan
rumus Slovin (Riduwan, 2005).
𝑛 = 𝑁
1 + 𝑁(𝑒)2
Keterangan:
N : Jumlah siswa kompetensi keahlian PSPTV
n : Jumlah sampel
e : Kelonggaran ketidaktelitian sebesar 0,1
Berdasarkan rumus di atas, maka dapat dihitung
besarnya unit sampel sebagai berikut.
=98
1 + 98(0,1)2
=98
1,98
= 49,49
Dengan demikian, dalam penelitian ini
jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak
49,49 orang responden. Pada perhitungan yang
menghasilkan pecahan dengan angka koma, maka
dilakukan pembulatan ke atas menjadi 50
responden. Selanjutnya untuk menentukan
jumlah sampel yang akan diuji coba untuk
pengujian instrumen penelitian dengan
penghitungan sebagai berikut.
=50
1 + 50(0,1)2
=50
1,98 =34
Dalam proses pengumpulan data, teknik
yang digunakan untuk proses instrumentasi
mengacu kepada Widoyoko (2013), antara lain:
1. Observasi atau pengamatan yang digunakan
untuk mengetahui kemampuan literasi siswa
dan proses penciptaan karya. Metode yang
digunakan dalam proses observasi adalah
metode observasi partisipasi pasif, yaitu
peneliti hadir dalam peristiwa, tetapi tidak
berpartisipasi atau berinteraksi dengan orang
lain.
2. Dokumentasi yang dilakukan untuk
mengumpulkan data yang bersumber dari
arsip dan dokumen, terutama yang berada di
sekolah berupa hasil karya siswa. Dokumen-
dokumen, baik dokumen tertulis, gambar,
maupun tak tertulis dihimpun dan dianalisis
untuk mengumpulkan data kemampuan
literasi visual dengan hasil penciptaan karya
berupa karya film.
3. Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan
data tentang kemampuan literasi visual dan
hasil penciptaan karya siswa kelas XII.
Penelitian ini menggunakan kuesioner tertutup
dalam bentuk skala lajuan dengan numeric
rating scale. Dalam rating scale, responden
menjawab salah satu jawaban kuantitatif
(skor) yang telah disediakan.
Teknik analisis data dalam pengujian
hipotesis dilakukan dengan melakukan uji
korelasi yang ditujukan untuk mengetahui
hubungan kemampuan literasi visual siswa SMK
dengan hasil penciptaan karya untuk kompetensi
perekaman gambar televisi nondrama single
Jurnal Sendikraf, Volume 3 No 1 Mei 2022 | 38
camera. Adapun uji hipotesis dilakukan dengan
membandingkan perolehan nilai signifikansi
dengan nilai probabilitas signifikansi pada uji dua
sisi sebesar 0,05. Yang menjadi dasar
pengambilan keputusan dalam analisis regresi
yaitu dengan melihat output nilai signifikansinya.
Jika nilai signifikansi lebih kecil < dari nilai
probabilitas 0,05 maka hal ini memberikan makna
terdapatnya pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen. Sebaliknya, jika nilai
signifikansi lebih besar > dari nilai probabilitas
0,05, maka tidak terdapat pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen.
Uji hipotesis dilakukan juga dengan
membandingkan nilai thitung dengan ttabel. Adapun
dasar pengambilan keputusan dalam uji T adalah
jika nilai thitung > ttabel maka ada pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen.
Sebaliknya, Jika nilai thitung < ttabel maka tidak ada
pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen.
Selanjutnya, dalam menentukan besaran
pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen digunakan analisis regresi linear
sederhana yang berpedoman pada perolehan nilai
r square. Pengujian koefisien determinasi ini
dilakukan dengan maksud mengukur kemampuan
model dalam menerangkan seberapa pengaruh
variabel independen secara parsial atau bersama-
sama (simultan) mempengaruhi variabel
dependen yang dapat diindikasikan oleh
nilai adjusted R Squared (Ghozali, 2016).
Koefisien determinasi menunjukkan sejauh mana
kontribusi variabel bebas dalam model regresi
mampu menjelaskan variasi dari variabel
dependennya. Nilai koefisien determinasi yang
kecil memiliki arti bahwa kemampuan variabel
independen dalam menjelaskan variabel
dependen sangat terbatas, Sebaliknya jika nilai
mendekati 1 (satu) dan menjauhi 0 (nol) memiliki
arti bahwa variabel independen memiliki
kemampuan memberikan semua informasi yang
dibutuhkan untuk memprediksi variabel
dependen.
HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI
Kemampuan Literasi Visual Siswa
Indikator pengukuran untuk mendeskripsi-
kan kemampuan literasi visual siswa merupakan
modifikasi dari komponen pengukuran
Avgerinou (2009) pada re-viewing visual
literacy. Melalui proses modifikasi, indikator dan
sub indikator dari variabel literasi visual, terdiri
dari kemampuan (1) kosakata visual, yang
meliputi kemampuan untuk menyebutkan
kosakata dalam type of shot, pergerakan kamera,
sudut ketinggian kamera, serta pembingkaian
gambar; (2) simbol visual, yang meliputi
kemampuan untuk mengidentifikasi simbol-
simbol atau lambang dalam proses perekaman
gambar; (3) perbedaan visual, yang meliputi
kemampuan untuk membedakan antara type of
shot yang satu dengan type of shot yang lain,
kemampuan membedakan pergerakan kamera
secara horisontal maupun vertical; (4) asosiasi
visual, yang menitikberatkan pada kemampuan
mengurutkan pengoperasian kamera dan
perekamannya; (5) berpikir visual,
menitikberatkan kepada bagaimana proses
pembuatan gambar visual tercipta; dan (6)
visualisasi, sebagai finalisasi akhir dari
kemampuan literasi visual yang dimiliki melalui
proses pengadeganan dengan satu kamera.
Komponen variabel dan subvariabel kemampuan
literasi visual sebagai hasil modifikasi dari re-
viewing visual literacy Avgerinou tersebut
terlihat pada Tabel 1.
Dengan menggunakan metode observasi
dan kuesioner sebagai alat pengumpul data, dari
50 responden siswa diperoleh hasil sebanyak 18
siswa memiliki kemampuan literasi visual sangat
baik, 19 siswa memiliki kemampuan literasi
visual siswa dengan predikat baik, 6 siswa
memiliki kemampuan literasi visual cukup baik,
dan sisanya sebanyak 7 siswa memiliki
kemampuan literasi visual yang rendah atau
kurang baik.
Kelompok siswa yang memiliki
kemampuan literasi visual yang sangat baik ini
mempunyai penguasaan teori, praktik, serta
memahami bagaimana prosedur mempraktikkan
konsep yang dipahami tersebut. Misalnya, ketika
siswa mampu menyebutkan type of shot: close up
dan long shot, maka siswa tersebut mampu
mengidentifikasi perbedaan dari keduanya secara
detail. Siswa pada kelompok dengan predikat
sangat baik ini mampu menyebutkan dan
menunjukkan dengan mudah ukuran dari type of
shot tersebut, baik melalui perangkat kamera
maupun dalam bentuk pengadeganan yang
kompleks, misalnya mampu melakukan
kombinasi pergerakan kamera secara horisontal
(panning) dan pergerakan kamera secara vertikal
(tilting) terhadap objek yang bergerak secara
dinamis. Keberimbangan pemahaman secara teori
dan praktik ini diperoleh melalui persiapan dan
latihan yang berulang di luar tatap muka
pembelajaran secara regular dengan guru mata
pelajaran.
Jurnal Sendikraf, Volume 3 No 1 Mei 2022 | 39
Tabel 1. Indikator dan Sub Indikator
Kemampuan Literasi Visual Siswa
No
Indikator
Variabel
Sub Indikator Variabel
1
Kosakata Visual
Dapat menyebutkan
type of shot, pergerakan
kamera, sudut pandang
kamera, komposisi
gambar dalam kamera.
2
Simbol Visual
Dapat mengidentifikasi
simbol pada perangkat
kamera dan perekaman
gambar
3
Perbedaan
Visual
Dapat membedakan
karakteristik shot,
pergerakan dan sudut
pandang kamera serta
komposisi gambar
4
Asosiasi Visual
Dapat mengurutkan
pengoperasian kamera,
pengaturan
pencahayaan, aba-aba
perekaman gambar,
serta urutan
pengadeganan sebuah
gambar
5
Berpikir Visual
Dapat melakukan
proses perekaman
gambar sesuai standar
operasional prosedur
dalam setiap
pengadeganan
6
Visualisasi
Dapat melakukan
perekaman gambar
dengan pergerakan yang
bervariasi sesuai
rancangan naskah
Perbedaan signifikan antara kelompok
siswa yang memiliki kemampuan literasi visual
sangat baik dan baik yaitu pada aspek visualisasi.
Pada kelompok siswa dengan predikat baik ini,
mereka selalu ragu-ragu dengan adjusment
perangkat kamera yang dilakukan; mereka juga
tidak yakin dengan kualitas perekaman gambar
yang dihasilkan. Akan tetapi pada kelompok
responden dengan kemampuan literasi visual baik
ini, penguasaan teori maupun praktiknya setara
dengan kelompok siswa yang predikat
kemampuan literasi visualnya sangat baik.
Indikatornya antara lain (1) dapat menyebutkan
ukuran-ukuran shot dan mensimulasikannya
melalui anatomi pada tubuh manusia; (2) dapat
mengidentifikasi simbol atau lambang-lambang
visual yang ada pada perangkat kamera, baik pada
lensa kamera, badan kamera, maupun pada area
perekaman beserta fungsinya; dan (3) mampu
melakukan adjustment kamera melalui simbol
visual yang ada pada perangkat kamera dengan
baik. Pemahaman teoritis tidak beririsan atau
sejalan dengan kemampuan praktik dalam
menggunakan perangkat kamera. Siswa dengan
indikator ketidaktuntasan tersebut berjumlah 12
orang. Kelompok dengan kemampuan literasi
visual cukup baik ini sudah menguasai konsep
gambar, jenis shot dan perbedaannya serta teori
penggunaan perangkat kamera dengan baik, akan
tetapi kemampuan kognitif yang mereka miliki
belum bisa dioptimalkan dan diaplikasikan di
lapangan melalui penggunaan perangkat kamera
untuk merekam gambar atau objek. Selain
kurangnya motivasi untuk mempelajari
kompetensi videografi, adanya keterbatasan
antara jumlah siswa dengan perangkat kamera
yang tersedia merupakan faktor lainnya yang
berpengaruh. Meskipun spesifikasi alat
praktikum perekaman gambar yang tersedia
sudah sesuai dengan standar produksi program
acara televisi, akan tetapi rasio jumlah alat dengan
siswa belum memenuhi standar kelayakan.
Kelompok responden siswa dengan
kemampuan literasi visual rendah atau kurang
baik, indikatornya antara lain adalah penguasaan
secara teori sudah baik akan tetapi masih berupa
pemahaman secara parsial atau terpisah, misalnya
siswa hanya menyebutkan dan membedakan
antara jenis shot close up dan medium shot secara
kosakata istilah, akan tetapi belum mampu untuk
mengidentifikasi lebih detail perbedaan dan
penggunaannya dalam bentuk adegan, serta
emosi dari kedua jenis shot tersebut.
Kemampuan secara praktik pun masih
pada tingkatan keterampilan dasar berupa
kemampuan menyalakan kamera, memasang
memori kamera, mengatur fokus dan
pencahayaan secara otomatis. Penguasaan
kosakata dan fungsi simbol visual pada perangkat
kamera pun belum dikuasai dengan tuntas
sehingga berdampak pada ketidakmampuan
dalam proses perekaman gambar sederhana
maupun kompleks. Adanya minat dan motivasi
belajar pada kompetensi lain, salah satunya minat
pada kompetensi tata artistik dan editing yang
juga merupakan kompetensi utama dalam
Kompetensi Keahlian Produksi dan Siaran
Program Televisi menjadi faktor yang muncul
dalam proses identifikasi kemampuan literasi
visual tersebut. Kompetensi tata artistik menjadi
pilihan alternatif untuk siswa yang memiliki
kesulitan dalam menguasai materi videografi. Hal
tersebut disebabkan masih ada anggapan bahwa
Jurnal Sendikraf, Volume 3 No 1 Mei 2022 | 40
kemampuan dalam bidang tata artistik sesuai
dengan minat dan passion yang dimilikinya.
Gambaran tersebut sejalan dengan hasil analisis
univariat pada variabel kemampuan literasi visual
pada Tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Variabel
Kemampuan Literasi Visual
Interval
Kelas
F
Absolut
F Relatif
78-87
7
14
88-97
6
12
98-107
14
28
108-117
5
10
118-127
9
18
128-137
4
8
138-147
5
10
Jumlah
50
100%
Penghitungan data kuesioner melalui
aplikasi SPPS menunjukkan bahwa 13 siswa
berada pada kelompok rendah atau di bawah skor
rata-rata, 19 siswa berada pada kelompok sedang
atau pada kelompok rata-rata, dan 18 siswa
berada pada kelompok tinggi atau di atas rata-
rata. Memperbanyak media pembelajaran
berbasis video, screening tayangan audio visual
dengan program sejenis dari siswa lain di dalam
atau luar sekolah serta pembimbingan secara
intensif kepada siswa akan meningkatkan
motivasi dan menumbuhkan minat untuk belajar
secara mandiri.
Hasil Penciptaan Karya untuk Kompetensi
Perekaman Gambar Televisi Nondrama Single
Camera
Hasil penciptaan karya pada kompetensi
perekaman gambar televisi nondrama single
camera adalah kemampuan ranah psikomotorik
siswa setelah menerima pembelajaran dalam
kurun waktu tertentu berdasarkan acuan
kompetensi dasar dalam spektrum Kurikulum
2013 yang telah dimodifikasi dan dibatasi dengan
waktu pembelajaran pada semester ganjil tahun
pelajaran 2021/2022. Sasaran penilaian yaitu
penilaian secara individu melalui pengamatan
karya dan pernyataan dalam bentuk kuesioner.
Tabel 3 menunjukkan komponen variabel dan sub
variabel hasil penciptaan karya untuk kompetensi
perekaman gambar televisi nondrama single
camera, yang merupakan hasil modifikasi dari
kisi-kisi Uji Kompetensi Keahlian jenjang SMK
tahun 2021.
Tabel 3. Indikator dan Sub Indikator Kompetensi
Perekaman Gambar
No
Indikator
Variabel
Sub Indikator Variabel
1
Instalasi
Perangkat
Kamera
Dapat menginstalasi
kamera, memeriksa
fungsi kamera, serta
aktivasi kamera
2
Instalasi
perangkat
pendukung
kamera
Dapat melakukan
instalasi perangkat
pendukung kamera,
memeriksa fungsi alat
pendukung kamera,
aktivasi perangkat
pendukung perekaman
3
Adjusment
Kamera
Dapat melakukan
pengaturan kamera,
melakukan set up
kamera, sinkronisasi
kamera dengan
perangkat lain
4
Pengoperasian
Kamera
Dapat melakukan
pengambilan gambar
dengan berbagai
variasi, memberikan
gambar alternatif
sesuai perancangan
naskah, serta dapat
melakukan
administrasi dan
pelaporan data hasil
rekaman
Dengan menggunakan metode observasi
dan kuesioner sebagai alat pengumpul data, dari
50 responden siswa diperoleh hasil sebanyak 17
siswa memiliki kemampuan perekaman gambar
dengan hasil sangat kompeten, 20 siswa memiliki
kemampuan perekaman gambar dengan hasil
kompeten, 6 siswa memiliki kemampuan pere-
kaman gambar dengan hasil cukup kompeten, dan
sisanya sebanyak 7 siswa memiliki kemampuan
perekaman gambar dengan hasil kurang
kompeten.
Kelompok siswa dengan kemampuan
perekaman gambar sangat kompeten ini memiliki
kemampuan terutama dalam mengidentifikasi
perangkat kamera yang diperlukan dengan
kebutuhan di lapangan. Spesifikasi dari setiap
perangkat yang digunakan, baik perangkat utama
perekaman maupun perangkat pendukung sangat
dipahami secara detail sehingga ketika
melakukan adjusment dan sinkronisasi dengan
perangkat pendukung perekaman, seperti
perangkat lighting dan mikrofon, hasilnya akurat.
Jurnal Sendikraf, Volume 3 No 1 Mei 2022 | 41
Hasil akhir berupa pengambilan gambar sudah
memenuhi kaidah dasar sinematografi, yaitu shot
yang dihasilkan sudah sesuai dengan shot list
yang disusun bersama sutaradara. Mereka
memiliki kemampuan dalam menentukan fokus
objek serta hasil pergerakan kamera yang
dinamis, baik berupa pergerakan kamera secara
vertikal maupun horizontal. Kemampuan yang
tampak pada kelompok ini dan tidak terlihat pada
kelompok lain yaitu siswa dalam kelompok ini
sangat cekatan dalam melalukan perubahan set up
pencahayaan secara cepat dan akurat melalui
fitur-fitur kamera maupun penempatan perangkat
lighting dengan pengaturan intensitas
pencahayaan.
Pemahaman terhadap spesifikasi teknis
perangkat perekaman dengan kebutuhan gambar
di lapangan sudah sangat baik pada kelompok
kompeten, sehingga mereka sangat efektif dan
efisien dalam menentukan tipe dan jenis kamera
yang diperlukan. Penguasaan fungsi setiap bagian
kamera dikuasai secara detail terutama fitur
pencahayaan pada kamera. Proses instalasi dan
adjusment kamera sudah memenuhi standar
operasional penggunaan kamera. Hal tersebut
tampak pada proses set up serta instalasi berbagai
perangkat pendukung perekaman gambar.
Koordinasi dan komunikasi terjalin dengan
lancar, tugas dan wewenang setiap crew sebagai
individu maupun kelompok sudah dipraktikkan
dengan baik. Akan tetapi ada hal hal yang perlu
ditingkatkan yaitu antisipasi dari setiap
perubahan lokasi pengambilan gambar dari satu
ruangan ke ruangan lainnya, baik di dalam
maupun di luar ruangan karena secara cepat
terjadi perubahan intensitas pencahayaan yang
memengaruhi hasil kerja kamera.
Siswa pada kelompok cukup kompeten
memiliki pemahaman teknis yang cukup baik,
mengetahui fungsi dari setiap fitur perangkat
kamera serta mampu mengombinasikan fitur
yang satu dengan fitur yang lain. Dalam proses
sinkronisasi perangkat kamera dengan perangkat
pendukung, mereka sudah tidak memerlukan
bimbingan guru secara langsung. Artinya mereka
bisa melakukan instalasi dan sinkronisasi
perangkat secara mandiri. Akan tetapi, pada saat
pengoperasian kamera dari satu pengambilan
gambar ke pengambilan gambar berikutnya
mereka memerlukan waktu yang lebih lama untuk
setiap set up perangkat kamera terutama pada
proses pengaturan ulang fitur pencahayaan pada
kamera, sehingga efektivitas waktu pengambilan
gambar menjadi lebih lama dari jadwal yang
disediakan. Inisiatif untuk melakukan
pengambilan gambar alternatif (stok shot)
menjadi terabaikan akibat kekurangcekatan
dalam re-adjusment kamera pada perekaman
berikutnya.
Pada kelompok siswa kurang kompeten,
pemahaman kamera masih terbatas pada
penggunaan fitur-fitur secara automatis.
Kreativitas dan sensitivitas (sense) menjadi tidak
optimal dengan kurang kompetennya pemahaman
terhadap perangkat kamera. Pemahaman terhadap
perangkat pendukung pun masih perlu
pembimbingan dan latihan lagi secara intensif.
Kekurangcermatan pun terjadi pada pengaturan
fokus dan pencahayaan untuk setiap
pengadeganan. Konsentrasi untuk memutar ring
fokus pada kamera menjadi koreksi
kekurangtelitian yang sering dilakukan.
Pengoreksian pergerakan kamera melalui tripod
belum menjadi perhatian dari kelompok ini,
sehingga pengambilan gambar sering retake
(berulang) dan keliru akibat keseimbangan antara
objek yang bergerak dengan pergerakan kamera
tidak simultan.
Gambaran tersebut sejalan dengan hasil
analisis univariat pada variabel hasil penciptaan
karya untuk kompetensi perekaman gambar
televisi nondrama dengan single camera. Adapun
perolehan data distribusinya terlihat pada Tabel 4
berikut.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Variabel
Perekaman Gambar
Interval Kelas
F Absolut
F Relatif
F Kumulatif
80-89
1
2
2
90-99
6
12
14
100-109
6
12
26
110-119
10
20
46
120-129
10
20
66
130-139
10
20
86
140-149
7
14
100
Jumlah
50
100
Penghitungan data kuesioner melalui
aplikasi SPPS menunjukkan bahwa 13 data
berada pada kelompok rendah atau di bawah skor
rata-rata, 20 data berada pada kelompok sedang
atau pada kelompok rata-rata, dan 17 data berada
pada kelompok tinggi atau di atas rata-rata.
Perolehan data pada variabel hasil penciptaan
karya tersebut relevan dengan hasil perolehan
data pada variabel kemampuan literasi visual
siswa, yaitu bahwa 13 data berada pada kelompok
Jurnal Sendikraf, Volume 3 No 1 Mei 2022 | 42
rendah atau di bawah skor rata-rata, 19 data
berada pada kelompok sedang atau pada
kelompok rata-rata, dan 18 data berada pada
kelompok tinggi atau di atas rata-rata.
Untuk mengantisipasi siswa pada
kelompok skor rendah baik pada variabel
kemampuan literasi visual maupun variabel hasil
penciptaan karya, perbandingan rasio perangkat
kamera sebagai sarana utama praktikum dengan
jumlah siswa dalam setiap kegiatan praktik harus
terpenuhi. Idealnya satu buah perangkat kamera
digunakan untuk tiga orang siswa dalam setiap
kegiatan praktikum pembelajaran, sehingga
model pembelajaran tutorial sebaya bisa
dimaksimalkan dalam kondisi demikian.
Berdasarkan hasil pengamatan kepada kelompok
siswa di bawah rata-rata atau rendah, ada
ketidakpercayaan pada diri siswa, yang
diakibatkan karena adanya kompetisi sesama
siswa sehingga interaktivitas pembelajaran antara
siswa dengan guru sebagai instruktur menjadi
tidak optimal. Seiring berjalannya waktu,
dikhawatirkan akan muncul sikap malas, acuh,
dan tidak percaya diri untuk menguasai perangkat
kamera sebagai kompetensi utama dalam proses
penciptaan karya.
Hubungan Kemampuan Literasi Visual
dengan Hasil Penciptaan Karya
Berdasarkan uji statistika menggunakan
aplikasi SPSS diperoleh persamaan uji regresi
sederhana, yaitu: Y= 68,09β + 0,478×.
Persamaan ini memiliki makna bahwa jika
konstanta sebesar 68,09 dan variabel literasi
visual dianggap sama dengan nol, maka variabel
perekaman gambar sebesar 68,09. Kemudian jika
konstanta sebesar 0,478 dan variabel literasi
visual mengalami kenaikan sebesar 1 poin, maka
akan menyebabkan kenaikan variabel perekaman
gambar sebesar 0,478.
Dengan diketahuinya persamaan regresi di
atas, maka dapat dilakukan pengujian hipotesis
yang bertujuan untuk untuk mengetahui apakah
secara individu (parsial) variabel independen
mempengaruhi variabel dependen secara
signifikan. Berdasarkan hasil pengujian
menggunakan aplikasi SPSS diperoleh nilai
signifikansi sebesar 0,00 serta perolehan nilai t
tabel sebesar 1,67 pada tingkat kepercayaan 95%
atau (𝜎) 0,05.
Berdasarkan hasil pengujian menggunakan
aplikasi SPSS versi 20 terhadap variabel Literasi
Visual (X) diperoleh nilai Thitung sebesar 4,04 >
1,67 Ttabel dengan signifikansi sebesar 0,00 < 0,05.
Dengan demikian, dapat dinyatakan hipotesis nol
(H0) ditolak serta hipotesis alternatif (Ha)
diterima, yang menyatakan terdapat hubungan
yang positif dan signifikan antara kemampuan
literasi visual siswa dengan hasil penciptaan
karya untuk kompetensi perekaman gambar
televisi nondrama single camera.
Untuk menghitung besarnya pengaruh
variabel kemampuan literasi visual siswa
terhadap variabel hasil penciptaan karya untuk
lompetensi perekaman gambar televisi nondrama
single camera dilakukan uji determinasi. Adapun
perolehan nilai r pada uji determinasi dengan
aplikasi SPSS adalah sebesar 0,504 atau sebesar
50,4 %. Perolehan ini memiliki makna bahwa
kemampuan literasi visual siswa memberikan
pengaruh sebesar 50,4% terhadap hasil
penciptaan karya untuk kompetensi perekaman
gambar televisi nondrama single camera dan
sisanya sebesar 49,6% dipengaruhi oleh variabel
lain yang tidak masuk dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil
penelitian Nurannisa (2017) yang memberikan
gambaran bahwa kemampuan literasi visual sama
dengan kemampuan berpikir. Visual yang
dikelola dengan baik dalam proses pembelajaran
dapat meningkatkan kemampuan dalam
menggunakan pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya untuk mempelajari pengetahuan
baru. Kompetensi literasi visual yang baik
mampu membentuk seseorang untuk dapat
mengekspresikan ide dan gagasan serta
menginformasikannya kembali kepada orang
lain. Mencermati kedua hasil penelitian ini,
dapat disampaikan bahwa kemampuan literasi
visual sebagaimana dinyatakan oleh Avgerinou
dalam re-viewing visual literacy (2009)
mempunyai dampak pengiring (instructional
effect) serta dampak turunan (nurturant effect)
secara simultan atau bersama-sama terhadap
kualitas hasil penciptaan karya secara signifikan
dalam proses pembelajaran produktif kejuruan
bidang keahlian Seni Broadcasting dan Perfilman
di SMK Negeri 1 Sukalarang Sukabumi.
Indikator dampak turunan dalam
pembelajaran yaitu adanya efektivitas peggunaan
waktu perekaman gambar atau shooting secara
terjadwal berdasarkan alokasi waktu yang
direncanakan dalam rancangan desain produksi.
Teknik pengadeganan ketika proses perekaman
gambar pun teridentifikasi sudah memenuhi
kaidah-kaidah sinematografi sehingga informasi
dalam rangkaian gambar tersampaikan secara
jelas. Sedangkan adanya ketuntasan hasil belajar
Jurnal Sendikraf, Volume 3 No 1 Mei 2022 | 43
pada kompetensi pelajaran lain menunjukkan
adanya dampak pengiring yang positif dari
kemampuan literasi visual siswa terhadap hasil
penciptaan karya.
SIMPULAN
Berdasarkan sebaran ranah pembelajaran
yang menjadi acuan dalam penilaian mata
pelajaran produktif kejuruan di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) yang meliputi ranah
kognitif yaitu ranah yang berorientasi pada
kemampuan pengetahuan, penalaran dan
pemikiran, dan ranah psikomotor yang
berorientasi pada kemampuan dan aktivitas
motorik, maka kesinambungan di antara kedua
ranah tersebut harus terintegrasi, berjalan secara
simultan untuk pencapaian tujuan pembelajaran
yang lebih efektif dan terarah.
Mutu penciptaan karya akan tercipta dari
adanya keterpenuhan ruang kognisi siswa sebagai
kemampuan awal untuk melakukan apa yang
didengar, dilihat dan dipraktikkan dalam proses
penciptaan karya nondrama single kamera,
sehingga ada keterpaduan antara kemampuan
pengetahuan dengan keterampilan yang dimiliki
dengan mutu karya yang dihasilkan. Hal ini
sejalan dengan perolehan data persamaan regresi
Y= 68,09β + 0,478× yang memiliki makna bahwa
setiap kenaikan kemampuan literasi visual siswa
sebanyak 1 poin maka akan ada kenaikan hasil
penciptaan karya sebesar 0,478 poin. Perolehan
ini diperkuat dengan hasil uji determinasi sebesar
50,4% yang menunjukkan kemampuan literasi
visual siswa memberikan pengaruh terhadap hasil
penciptaan karya. Indikator tersebut
menunjukkan bahwa kemampuan literasi visual
siswa dapat menjadi jembatan penghubung ketika
proses praproduksi, produksi, dan paskaproduksi
dilakukan oleh individu maupun kelompok dalam
proses penciptaan karya.
Pada akhirnya, literasi visual sebagai
sebuah kemampuan, kesanggupan, kesiapan, dan
keterampilan dalam mengelola informasi visual
dapat menjadi acuan dalam menyusun rancangan
pembelajaran sehingga strategi pembelajaran
yang efektif terpetakan untuk meningkatkan mutu
produk televisi nondrama single camera. Hal ini
tentunya berdasarkan pemahaman bahwa
kemampuan literasi visual merupakan
kemampuan yang fundamental dalam ruang
lingkup proses penciptaan karya program televisi
nondrama single camera.
REFERENSI
Anderson, L. W, et al. (2010). Kerangka
Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran,
dan Asesmen Revisi Taksonomi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Avgerinou, M. (2009). Re-Viewing Visual
Literacy in the “Bain d’ Images” Era.
TechTrends, 53(2), 2834.
https://doi.org/10.1007/s11528-009-0264-z
Avgerinou, M. (2011). Toward a Cohesive
Theory of Visual Literacy.
https://doi.org/10.1080/23796529.2011.1167
4687
Avgerinou, M., & Ericson, J. (1997). A review of
the Concept of Visual Literacy, 28(4), 280
291.
Ghozali, I. (2016). Aplikasi Analisis Multivariete
dengan Program IBM SPSS 23 (Edisi 8).
Semarang: Badan Penerbit.
Yusa, I.M.M. & Suarya, I.N.A. (2016). Literasi
Visual Hanoman. Jakarta: Animage.
Padmadewi, N.N. & Artini, L.P. (2018). Literasi
di Sekolah: Teori dan Praktek. Bandung: Nila
Cakra.
Nurannisa, S. (2017). Menghadapi Generasi
Visual: Literasi Visual untuk Menstimulasi
Kemampuan Berpikir dalam Proses
Pembelajaran. Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran Sekolah Dasar 1(2a).
Riduwan. (2005). Dasar-Dasar Statistika.
Bandung: Alfabeta.
Sulianta, Feri. (2020). Literasi Digital Riset dan
Perkembangannya dalam Perspektif Social
Studies. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Tjasmadi, J.H.M. (2008). 100 Tahun Sejarah
Bioskop di Indonesia. Bandung: PT. Megindo
Tunggal Sejahtera.
Widiatmojo, R. (2019). Literasi Visual Sebagai
Penangkal Foto Hoaks di Era Digital.
Demokrasi Damai Era Digital, hal. 34.
Jakarta: SiberKreasi.
Widoyoko, E.P. (2020) Teknik Penyusunan
Instrumen Penelitian. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Regulasi
UU Perfilman Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 1 Nomor
33.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
The spread of hoax on health issue is a compelling phenomenon in digital era. By focusing on visual literacy as a way to avoid hoax, this qualitative research attempts to find how visual hoax operated. The main concept of Visual Literacy proposed by Maria Avgerinou, reading the spectrum of an image by Roland Barthes and six dimension of photograph life by Widiatmojo are used to analysis visual hoax. The result shows that visual hoax on corona virus occurred as the time frame dimension were diminished, the meaning was changed as well as the narration of the original image, the topic was compromised, the lost of image quality and the distribution on social media by anonymous identity. Therefore, people need to have basic competence in visual literacy, which is the ability to understand visual language accompanied by the ability to think and analyze. It will make an individual produce a positive perception that should be use to avoid hoaxes.
Book
Full-text available
Era saat ini yang ditandai dengan tercentusnya abad 21 yang menjadi tonggak kebangkitan digital. Berbagai pekerjaan dan cara kerja terdahulu sudah usang dan ditinggalkan. Digantikan dengan keterampilan digital yang sama sekali baru, praktis, ringkas, efektif, efisien, modern dan canggih. Data, Informasi dan Pengetahuan semuanya diproduksi dan dikelola secara digital. Hanya saja kesiapan masyarakat dan peran institusi pendidikan menjadi penentu dalam memanfaatkan semua kebaikan teknologi yang ada untuk menyiapkan peserta didik memiliki kompetensi literasi digital Untuk dapat memanfaatkan semua kebaikan teknologi di abad 21 untuk meningkatkan kompetensi literasi digital di ranah edukasi, penting peranannya mengalamati dengan seksama fenomena apa yang terjadi saat ini dari aspek teknologi, pendidik, peserta didik, masyarakat dan dinamika global di era krisis yang mengancam keberlangsungan pembeajaran . Hal unggulan yang dibahas dalam buku ini: • Kondisi masyarakat digital masa kini • Literasi digital sebagai solusi pendidikan • Perkembangan pemebelajaran ips dari masa ke masa • Kurikulum internasional IPS dan porsi dari literasi digital • Karakteristik peserta didik generasi digital • Pengembangan pembelajaran digital • Bentuk-bentuk pembelajaran digital kini dan masa depan semisal konten digital, community of practice menciptakan ruang partisipasi masyarakat digital, amunisi pembelajaran digital,knowledge management system, tool pembelajaran masa depan
Book
Full-text available
Buku dapat dibeli on-line di www.imamghozali.com
Article
Full-text available
How far can this empirical, unguidedventure guarantee that young people are not partial and passive receivers of visual messages; that they are able to make a critical selection between the necessary and the unnecessary; that they can recognize the different functions (i.e., to inform, to persuade, to instruct, and to entertain) of visual media and appreciate that in some instances, these functions are combined; and that they do distinguish superficial, glamorous, and pseudo-sophisticated messages from the truly meaningful ones? This paper discusses Visual Literacy (VL) against the new digital landscape mindsets and natives, and makes the case for VL's inclusion in the school curriculum as well as the educators' professional development.
Article
Full-text available
Many people from very diverse disciplines have attempted to define the concept of Visual Literacy (VL), but with little general consensus so far. This is probably due to the fact that those representing the different disciplines and paradigms are each wanting to interpret Visual Literacy in a way that reflects and flatters their contribution or way of thinking. As a consequence, a theoretical concept with seemingly little practical value has been created, but cannot be used productively until an agreed definition is established. It is self evident that if a concept does not have a broadly accepted definition, if the theory behind it is confusing, and if its viability on practical terms is a matter of continuing controversy, then the only reasonable way to cope with it is to abandon it. Nevertheless, with the exception of very few and of minor importance cases, no serious attempt has ever been made towards discarding VL altogether.
Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen Revisi Taksonomi
  • L W Anderson
Anderson, L. W, et al. (2010). Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen Revisi Taksonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Toward a Cohesive Theory of Visual Literacy
https://doi.org/10.1007/s11528-009-0264-z Avgerinou, M. (2011). Toward a Cohesive Theory of Visual Literacy.
Literasi di Sekolah: Teori dan Praktek
  • N N Padmadewi
  • L P Artini
Padmadewi, N.N. & Artini, L.P. (2018). Literasi di Sekolah: Teori dan Praktek. Bandung: Nila Cakra.
Menghadapi Generasi Visual: Literasi Visual untuk Menstimulasi Kemampuan Berpikir dalam Proses Pembelajaran
  • S Nurannisa
Nurannisa, S. (2017). Menghadapi Generasi Visual: Literasi Visual untuk Menstimulasi Kemampuan Berpikir dalam Proses Pembelajaran. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Sekolah Dasar 1(2a).
Dasar-Dasar Statistika
  • Riduwan
Riduwan. (2005). Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfabeta.