DataPDF Available

Buku (PDF)_Integrasi Keberlanjutan dalam Perencanaan dan Desain_Elsa.pdf

Authors:
ii
INTEGRASI KEBERLANJUTAN
DALAM PERENCANAAN DAN
DESAIN
Editor:
Susy Fatena Rostiyanti
Seng Hansen
Penulis:
Elsa Try Julita Sembiring
Vidya Trisandini Azzizi
Rahmatyas Aditantri
Maria Prihandrijanti
Doni Fireza
Yaseri Dahlia Apritasari
David Widyanto
Abang Edwin Syarif Agustin
Aloysius Baskoro Junianto
Elaine Steffanny Tumilar
Podomoro University Press (PU PRESS)
2024
iii
INTEGRASI KEBERLANJUTAN DALAM
PERENCANAAN DAN DESAIN
Editor:
Susy Fatena Rostiyanti
Seng Hansen
Penulis:
Elsa Try Julita Sembiring
Vidya Trisandini Azzizi
Rahmatyas Aditantri
Maria Prihandrijanti
Doni Fireza
Yaseri Dahlia Apritasari
David Widyanto
Abang Edwin Syarif Agustin
Aloysius Baskoro Junianto
Elaine Steffanny Tumilar
Proofreader:
Sri Sulastri
e-ISBN: 978-623-8178-04-9 (PDF)
Diterbitkan oleh:
Podomoro University Press (PU PRESS)
APL Tower Lt. 5 Jl. S. Parman Kav. 28 Jakarta Barat 11470
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip dan
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin penulis dan
penerbit.
iv
KATA PENGANTAR
Sri Sulastri
Buku ini merupakan karya dosen-dosen di Fakultas Perencanaan
dan Desain Berkelanjutan (FPDB) Universitas Agung Podomoro.
Berisi tentang Sustainable Development Goals (SDG) atau Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan di bidang perencanaan wilayah dan
kota, arsitektur, desain produk, dan konstruksi. Diharapkan buku ini
dapat memberikan gambaran terkait penerapan konsep SDG pada
bidang-bidang tersebut di atas. Selain itu, buku ini juga dapat
memberikan kontribusi pada tujuan pembangunan berkelanjutan
secara global di Indonesia.
Buku ini ditujukan untuk mahasiswa, praktisi, pemerintah, dan
masyarakat umum yang memiliki perhatian dan minat terhadap SDG
sehingga dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan bagi para
pembacanya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada tim editor dan para penulis
yang telah berkontribusi terciptanya karya ini. Sebagai lembaga
penerbitan, kami mendukung sepenuhnya penerbitan karya-karya
dosen, mahasiswa, dan peneliti di lingkungan Universitas Agung
Podomoro.
Podomoro Universitas Press (PU Press)
v
EDITORIAL: TUJUAN PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF
PERENCANAAN DAN DESAIN
Susy Fatena Rostiyanti
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
United Nations Conference on Environment and Development
(UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992 menjadi tonggak
awal konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) (Hens, 2005). Konsep ini tertuang dalam dokumen
Agenda 21 yang merupakan cetak biru komprehensif atas langkah
global menuju pembangunan berkelanjutan. Perdana menteri
Norwegia, Gro H. Brundtland dalam konferensi tersebut menggagas
pembangunan berkelanjutan sebagai "… development that meets the
needs of the present without compromising the ability of future
generations to meet their own needs” (Poole, 1998).
Pembangunan berkelanjutan mencakup gagasan untuk mengenali
kendala-kendala yang disebabkan oleh teknologi saat ini dan
struktur masyarakat terhadap sumber daya lingkungan, serta
mempertimbangkan kapasitas alam untuk menyerap dampak
aktivitas manusia. Terdapat tiga komponen utama keberlanjutan
yaitu: (1) akuntabilitas lingkungan, (2) kesadaran sosial, dan (3)
kelayakan ekonomi. Keseimbangan dari ketiga komponen ini akan
mendorong keberlanjutan yang nyata (Sfakianaki, 2019).
Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan
berkelanjutan merupakan bidang multidisipliner yang perlu
mempertimbangkan tiga dimensi utama yaitu sosial, ekonomi, dan
lingkungan (Hajian & Kashani, 2021). Jika keberlanjutan sosial
menitikberatkan pembangunan pada pengentasan kemiskinan
maka keberlanjutan ekonomi difokuskan pada kelangsungan jangka
panjang sumber daya terbarukan dan tidak terbarukan yang dapat
menghasilkan pendapatan ekonomi jangka panjang. Dalam dimensi
vi
lingkungan, kelestarian lingkungan dikaitkan dengan perlindungan
dan konservasi alam (Poole, 1998).
Gagasan pembangunan berkelanjutan kemudian dituangkan dalam
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development
Goals (SDG) yang diinisiasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
SDG terdiri dari tujuh belas tujuan yang menjadi kerangka kerja bagi
negara anggota PBB sampai batas waktu pada tahun 2030. Ketujuh
belas tujuan tersebut dikelompokkan ke dalam enam bidang yaitu:
martabat (dignity), manusia (people), planet, kemitraan
(partnership), keadilan (justice), dan kemakmuran (prosperity) (Leal
Filho dkk., 2018). Penelitian Pradhan dkk. (2017) mendapati bahwa
terdapat dua SDG di Indonesia yang bersinergi, yaitu Kehidupan
Sehat dan Sejahtera (Good Health and Well Being, SDG 3) dan
Pendidikan Berkualitas (Quality Education, SDG 4). Akan tetapi, Air
Bersih dan Sanitasi Layak (Clean Water and Sanitation, SDG 6) serta
Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab (Responsible
Consumption and Production, SDG 12) merupakan SDG yang
berkorelasi negatif. Sinergi mengindikasikan bahwa kedua SDG
secara bersamaan menjadi agenda yang bisa tercapai; sementara
korelasi negatif mengindikasikan pencapaian satu SDG
mengorbankan SDG lainnya. Secara keseluruhan, keempat SDG di
atas masuk ke dalam bidang manusia dan planet.
Pembangunan berkelanjutan dalam konteks bidang manusia dan
planet sangat erat kaitannya dengan perencanaan dan desain.
Perencanaan dan desain mencakup spektrum luas dengan
mengintegrasikan prinsip-prinsip yang mendorong kepedulian
terhadap lingkungan, kelayakan ekonomi, dan keadilan sosial.
Pendekatan ini berupaya untuk meminimalkan jejak lingkungan
(ecological footprints), mengoptimalkan penggunaan sumber daya,
dan meningkatkan kualitas hidup melalui desain dan perencanaan
yang matang, mulai dari rencana kota, bangunan, lanskap, dan
infrastruktur yang menciptakan kondisi ekologi yang sehat
(Yigitcanlar & Dizdaroglu, 2015) hingga desain barang sehari-hari.
Dengan kata lain, perencanaan dan desain berkelanjutan mencakup
berbagai skala mulai dari makro hingga mikro.
vii
PERENCANAAN DAN DESAIN BERKELANJUTAN
Pergeseran global menuju pembangunan berkelanjutan di
perkotaan dimulai pada akhir abad ke-20. Separuh pertama abad
kedua puluh, pencemaran lingkungan walaupun telah terjadi belum
menjadi dasar aktivitas manusia untuk lebih ramah lingkungan
(Leyzerova, Sharovarova, & Alekhin, 2016). Kota di berbagai negara
mengalami berbagai masalah yang berkaitan dengan lingkungan
seperti perluasan kota, peningkatan urbanisasi, tekanan populasi
perkotaan, memburuknya kualitas air dan udara serta erosi tanah
(Hsieh, 2021). Kesadaran akan lingkungan muncul pada paruh
kedua abad ke-20 saat umat manusia mulai menghadapi menipisnya
sumber daya utama yang tidak dapat diperbarui dan munculnya
berbagai indikator krisis ekologi global.
Keberlanjutan dalam Skala Makro
Pembangunan berkelanjutan memerlukan inovasi baru terhadap
lingkungan, yang menekankan pentingnya melestarikan sumber
daya untuk generasi mendatang. Krisis sumber daya air menjadi
salah satu faktor pendorong inovasi pengelolaan air berkelanjutan.
Pengelolaan air berkelanjutan berfokus pada peningkatan
kesehatan sistem air permukaan dan air tanah yang mencegah
ekstraksi berlebihan pasokan air tawar, dan mengidentifikasi
sumber daya air alternatif seperti air hujan, desalinasi, serta air daur
ulang (Ngo dkk., 2016). Pendekatan ini semakin banyak digunakan
untuk mengatasi tantangan ketersediaan air saat ini dan masa
depan. Pengelolaan air berkelanjutan yang efektif sangat penting
untuk menghindari terjadinya hambatan pada pembangunan dan
efisiensi sistem sumber daya air yang berdampak pada
ketersediaan, permintaan, dan strategi pengelolaan air di masa
depan. Untuk mencapai keberlanjutan diperlukan keseimbangan
antara kebutuhan air manusia dan pasokan air alami. Pertimbangan
faktor seperti pengelolaan lahan dan air, evapotranspirasi, kualitas
dan kuantitas air, penggunaan air di hulu dan hilir, serta keterlibatan
seluruh pemangku kepentingan diperlukan dalam proses
perencanaan dan pengelolaan air. Pengelolaan air juga menjadi
viii
bagian yang tidak terpisahkan dalam perencanaan kota. Hal ini
dibahas dalam salah satu bab yang mengusung konsep kota ramah
air (water sensitive city, WSC). Konsep WSC menggabungkan
penyediaan air, sanitasi, pengendalian banjir, dan perlindungan
lingkungan melalui transformasi kota secara bertahap. Dalam
tulisan ini, dijabarkan pemahaman dari proses transformasi menuju
kota ramah air seperti halnya tujuan yang dicanangkan dalam SDG
6.
Sebagian besar wacana inovasi pelestarian sumbar daya berfokus
pada kemajuan teknologi untuk membangun solusi baru yang 'lebih
ramah lingkungan', atau inovasi sosial untuk menemukan metode
yang lebih baik dalam melaksanakan tanggung jawab yang ada di
pemerintah daerah atau masyarakat. Kota memerlukan inovasi
masyarakat yang radikal untuk mengatasi hambatan-hambatan
yang ada saat ini dalam pembangunan berkelanjutan, yang sering
kali lebih didasarkan pada kepentingan ekonomi dibandingkan
kelestarian lingkungan (Næss, 2021).
Untuk mengatasi tantangan ini, peneliti di bidang perencanaan
perkotaan berupaya mencari solusi melalui desain perkotaan
berkelanjutan (Turvey, 2019). Dalam skala makro yang melihat dari
sudut pandang perencanaan wilayah dan kota, perencanaan
berkelanjutan berkaitan dengan pengorganisasian dan pengelolaan
sumber daya fisik dan spasial, dengan fokus pada distribusi optimal
lahan dan aktivitas manusia dalam ruang terbatas atau wilayah
administratif tertentu. Berkaitan dengan kajian tentang nilai atau
value lahan, lahan perkotaan yang terbatas perlu dioptimalkan
melalui partisipasi berbagai pemangku kepentingan termasuk
masyarakat. Pembahasan terkait Participatory Strategic Value
Capture (PSVC) yang dimanfaatkan untuk penilaian lahan dikaji
dalam buku ini. PSVC ditengarai sebagai salah satu alat efektif dalam
menggabungkan pembangunan ekonomi dan keberlanjutan
sehingga pertumbuhan dan pengembangan wilayah berkontribusi
pada kepentingan jangka panjang masyarakat dan lingkungan.
Perencanaan berkelanjutan bertujuan untuk memfasilitasi
perubahan positif melalui integrasi pemahaman konteks sosio-
ix
ekologis dalam inisiatif kepentingan publik berbasis masyarakat
(Geneletti dkk., 2017). Pembangunan kota yang berkelanjutan
merupakan upaya mendesak agar terbentuk kota yang bukan saja
indah namun juga sehat dan ekologis dalam tujuannya untuk
memenuhi seluruh kebutuhan warganya (Leyzerova dkk., 2016).
Sasaran ini bukan saja merupakan tanggung jawab pemerintah kota
namun juga masyarakat guna menjamin kualitas hidup masyarakat
dan lingkungan perkotaan yang lebih baik, serta memberikan
keseimbangan antara kota dan lingkungan.
Pendekatan desain kota berkelanjutan sangat beragam termasuk
perencanaan dan desain berbasis masyarakat dan partisipatif;
perencanaan berbasis lingkungan; dan penggunaan ekosistem alami
di dalam kota yang dapat memberikan pelayanan sosio-ekologi dan
manfaat bagi masyarakat (Geneletti dkk., 2017). Pembangunan di
perkotaan juga perlu memastikan terbangunnya perumahan
berkelanjutan yang tetap memegang prinsip diterima secara sosial,
layak secara ekonomi, ramah lingkungan dan layak secara teknis
(Aşilioğlu, 2016). Makna dari prinsip sosial dan ekonomi juga
mencerminkan perlunya perumahan terjangkau dalam kota
berkelanjutan. Araji dan Shahin (2021) mendefinisikan perumahan
terjangkau sebagai unit perumahan yang memenuhi kebutuhan
dasar hunian individu dan keluarga dengan biaya yang wajar dan
sepadan dengan pendapatan mereka, baik saat ini maupun di masa
mendatang. Ketersediaan perumahan umum dan terjangkau guna
mencapai keberlanjutan ekonomi dan sosial merupakan kebutuhan
mendesak karena tempat tinggal adalah hak asasi manusia; kualitas
perumahan berkaitan erat dengan kinerja yang diberikan
penghuninya; serta kemampuan penyediaan perumahan yang aman
dan layak berkontribusi dalam membangun masyarakat. Kajian
perumahan terjangkau menjadi salah satu pembahasan dalam buku
ini dengan melihat pada perspektif kebijakan yang efektif, dan
perencanaan yang berkelanjutan. Dalam penyediaan perumahan
terjangkau diperlukan kerja sama antara pemerintah dan sektor
swasta yang diwadahi melalui jelasnya kebijakan pemerintah.
x
Keberlanjutan dalam Skala Meso
Dalam skala meso, pembangunan berkelanjutan yang berkaitan
dengan perencanaan dan desain dapat dikaitkan dengan dimensi
arsitektur dan konstruksi. Berdasarkan sudut pandang arsitektural,
perencanaan dan desain yang berkelanjutan menumbuhkan
interaksi yang harmonis antara struktur yang dibangun dan faktor
lingkungan alami seperti iklim, topografi, flora, satwa liar, dan bahan
bangunan alami yang tersedia (Eyüce, 2007). Pendekatan ini
melibatkan pemanfaatan aspek-aspek positif dari alam dengan tetap
menghindari terjadinya kerusakan lingkungan. Pada dasarnya,
menyesuaikan pembangunan dengan karakteristik spesifik suatu
lokasi secara alami akan mengurangi dampak lingkungan (Kırbaş &
Hızlı, 2016).
Adaptasi pembangunan terhadap karakteristik lokal sangat erat
kaitannya dengan konsep arsitektur vernakular. Arsitektur
vernakular mengusung pembangunan yang menggunakan bahan
dan teknik lokal oleh masyarakat setempat. Hal ini disesuaikan
dengan iklim, topografi, dan geografi tertentu. Arsitektur ini
mengedepankan kesejahteraan penghuninya, menjaga
kelangsungan budaya dan identitas arsitektur lokal (Uysal Urey,
2023). Dengan menyelaraskan dengan alam dan lingkungan
budayanya, arsitektur vernakular ramah budaya dan lingkungan.
Pada salah satu bab dalam buku ini, konsep arsitektur vernakular
diintegrasikan melalui teknik pendinginan pasif dan penggunaan
material lokal ke dalam desain modern di Indonesia. Pendekatan
arsitektur vernakular dapat menghasilkan bangunan yang lebih
berkelanjutan, energy-efficient, dan melestarikan budaya setempat.
Bidang arsitektur memiliki spektrum yang luas yang mencakup
bangunan, fasilitas publik dan lanskap sebagai bagian terintegrasi
dari bidang ini. Perencanaan dan desain lanskap bertujuan untuk
menciptakan perkotaan yang estetis, kokoh, fungsional, dan
konduktif dengan mempertimbangkan lokasi, infrastruktur, dan
fasilitas secara holistik (Aşilioğlu, 2016). Di perkotaan, desain
lanskap berfokus pada ruang luar ruangan, yang bentuknya lebih
fleksibel dan informal dibandingkan dengan ruang dalam ruangan
xi
yang terstruktur. Ruang luar ini berfungsi sebagai tempat sementara
untuk digunakan bersama, memadukan seni dengan karakteristik
lingkungan, fisik, dan biologis area tersebut.
Ruang publik sangat penting bagi vitalitas kota, namun seiring
dengan pertumbuhan wilayah perkotaan dan jumlah penduduk,
tekanan terhadap ruang publik pun semakin meningkat. Kota
menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan berbagai peran
ruang publik, yang berfungsi sebagai area pertemuan, domain
publik, ruang politik, dan zona komersial (Von Schönfeld & Bertolini,
2017). Pemanfaatan ruang publik yang intensif sering kali bersaing
dengan wilayah perkotaan yang terbatas, sehingga memerlukan
perencanaan yang matang untuk mengakomodasi beragam
kebutuhan tersebut. Ruang publik yang berkualitas, seperti kawasan
hijau, alun-alun, bangunan keagamaan, dan kompleks komunitas,
berperan sebagai pusat sosio-spasial, mendorong interaksi sosial
dan hubungan komunitas yang lebih kuat (Shirazi & Keivani, 2019).
Maka dari itu, ruang publik yang dirancang dengan baik untuk
beragam aktivitas dan fasilitas akan dapat memenuhi kebutuhan
sosial dan psikologis masyarakat. Pada akhirnya keberadaan ruang
publik dapat berkontribusi terhadap kesejahteraan mental dan fisik
yang mencerminkan kualitas hidup komunitas masyarakat suatu
kota (Chang dkk., 2023). Keberadaan bangunan keagamaan
khususnya masjid dalam ruang publik menjadi bahasan di dalam
buku ini. Masjid adalah lembaga masyarakat yang efektif dan
memiliki kontribusi besar terhadap pembangunan ekonomi dan
keharmonisan sosial, memadukan tradisi dengan modernitas dan
berfungsi sebagai pusat berbagai kegiatan yang meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan
(Hammoodi & Al-Hinkawi, 2023).
Alokasi ruang publik telah berkembang dengan fokus utama mulai
dari menyediakan kawasan hijau dan melestarikan kawasan yang
sensitif secara ekologis hingga meningkatkan nilai properti dan
menawarkan kawasan rekreasi (Jayakody, Amarathunga, & Haigh,
2018). Evolusi ini telah menyebabkan beragam interpretasi
terhadap ruang publik, meliputi area hijau seperti taman dan jalur
hijau, area publik seperti jalan dan alun-alun, serta ruang terbuka
xii
pribadi termasuk halaman. Dalam konteks ini, desain ruang publik
yang tepat bukan saja berkontribusi pada kualitas hidup masyarakat
tetapi juga menciptakan lingkungan hidup yang lebih baik dan
peningkatan nilai properti, sehingga mendorong masyarakat
berkelanjutan dan keseimbangan lingkungan. Taman sebagai salah
satu bentuk area hijau di ruang publik memegang peranan penting
dalam mengurangi perolehan radiasi matahari. Hal ini dibahas
dalam salah satu bab yang menjelaskan vegetasi dan naungan di
dalam area hijau berfungsi sebagai evapotranspirasi yang dapat
melepaskan uap air dan mendinginkan kawasan.
Pada dimensi konstruksi, pembangunan berkelanjutan di sektor ini
dikaitkan dengan konsep konstruksi berkelanjutan (sustainable
construction). Konstruksi berkelanjutan yang digaungkan pertama
kali di pertengahan dekade 1990 merupakan bentuk kesadaran dan
partisipasi sektor konstruksi terhadap isu pembangunan
berkelanjutan. Terminologi sustainable construction atau konstruksi
berkelanjutan muncul sebagai pembangunan lingkungan binaan
berbasis prinsip efisiensi sumber daya dan berbasis ekologi (Hill &
Bowen, 1997). Pandangan ini menitikberatkan pada isu lingkungan
yaitu bahwa proses konstruksi menggunakan energi dan material
yang berasal dari alam dan limbah yang dihasilkan kemudian
dibuang ke alam. Konsep ini dikenal sebagai konsep cradle to grave’
yang bersifat linear sehingga konstruksi berkelanjutan hanya
difokuskan pada kriteria lingkungan yang mencakup dampak
konstruksi terhadap lingkungan. Sedangkan konstruksi
berkelanjutan merupakan konsep cradle to cradle’ yang bersifat
sirkular (Thomas, Nair, & Enserink, 2023). Dengan demikian,
konstruksi berkelanjutan adalah sebuah konsep pembangunan
berbasis kemanfaatan sosial, keterjangkauan, teknologi andal dan
ramah lingkungan. Dalam konsep ini, pembangunan bukan saja
dititikberatkan pada aspek lingkungan tetapi jua aspek ekonomi dan
sosial.
xiii
Keberlanjutan dalam Skala Mikro
Pada level mikro, konsep berkelanjutan berkaitan erat dengan
aktivitas manusia sehari-hari. Dalam kesehariannya, manusia
berinteraksi dengan berbagai produk untuk berbagai kebutuhan.
Peran desainer produk menjadi penting dalam memastikan
terbangunnya konsep berkelanjutan saat menghasilkan produk
yang digunakan manusia. Desainer perlu mempertimbangkan peran
sosialnya secara kritis. Produk yang dihasilkan tidak semata-mata
untuk mempromosikan komersialisme dan konsumsi berlebihan
melalui perancangan produk yang menarik; namun perlu
dipertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan (Oh, 2017).
Dengan demikian, untuk memenuhi persyaratan mendasar
pembangunan berkelanjutan, produk baru yang masuk ke pasaran
harus lebih ramah lingkungan.
Pengembangan produk inovatif saat ini semakin dititikberatkan
pada pengurangan atau penghilangan dampak negatifnya terhadap
lingkungan. Pendekatan menuju keberlanjutan ini mencakup
seluruh tahapan siklus hidup produk, termasuk manufaktur,
penggunaan, dan pembuangan (Rohatyński, 2020). Aspek ekologis
masuk ke dalam pertimbangan selama tahap desain dan manufaktur
seperti adanya kemungkinan penggunaan sumber daya tak
terbarukan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan
(Efkolidis dkk., 2019).
Filosofi desain berbasis lingkungan mencakup beberapa
pendekatan inovatif dalam menciptakan produk (Efkolidis dkk.,
2019). Oh (2017) membagi pendekatan ini ke dalam tiga bagian
yaitu: a) green design yang berfokus pada prinsip lingkungan dengan
mengedepankan aspek pengurangan, penggunaan kembali, dan
daur ulang; b) ecodesign yang mengedepankan prinsip lingkungan
dan ekonomi yang mempertimbangkan seluruh siklus hidup produk,
mulai dari ekstraksi bahan mentah hingga pembuangan; dan c)
design for sustainability sebagai desain berbasis ketiga prinsip
keberlanjutan seperti kegunaan atau penggunaan yang bertanggung
jawab. Pendekatan lain dalam desain adalah cradle-to-cradle design
yang menciptakan sistem produksi sirkular yang mana limbah
xiv
digunakan kembali sebagai nutrisi untuk produk baru (Efkolidis
dkk., 2019). Secara sirkular, siklus hidup produk yang diawali dari
bahan mentah hingga desain, produksi, penggunaan konsumen, dan
limbah, kembali ke awal proses sebagai material daur ulang.
Material, produk, dan kemampuan daur ulang bergantung pada
produk generasi pertama (Ahn & Lee, 2018).
Aspek mendasar dari setiap produk adalah pilihan material dan
desain. Kedua aspek ini berkontribusi besar terhadap permasalahan
menipisnya sumber daya, kerusakan ekosistem, dan masalah
kesehatan manusia (Mestre, & Cooper, 2017). Pada aspek pertama,
pertimbangan terhadap pemilihan material dalam proses desain
sangatlah penting (Peck, Kandachar, & Tempelman, 2015). Hal ini
diangkat dalam salah satu bab yang membahas penggunaan produk
kemasan berbahan dasar Polipropilen (PP). Kemasan berupa
kantong pada awalnya menggunakan plastik sebagai bahan dasar.
Namun penggunaan plastik yang menimbulkan masalah lingkungan
sebagai limbah sulit terurai di alam (Li dkk., 2022) kemudian
digantikan dengan kantong berbahan dasar PP. Namun, mengacu
pada SDG 12, pilihan pengganti plastik sebagai produk kemasan
perlu ditinjau ulang untuk menjamin gaya hidup masyarakat yang
selaras dengan alam.
Aspek desain yang juga mendasari setiap produk perlu
mempertimbangkan ketersediaan sumber daya dan lingkungan.
Pengembangan desain pasca Perang Dunia II mendorong pola
konsumerisme dengan tujuan untuk mengimbangi produksi
(Andrews, 2009). Kemunculan teori Consumer Engineering’ yang
sampai saat ini masih terjadi mengubah perilaku masyarakat
melalui keusangan terencana, teknis, fungsional, atau gaya, dan
teknologi disruptif memiliki dampak tersendiri pada lingkungan (De
Vere, Kapoor, & Melles, 2011). Pembahasan yang mengaitkan
consumer engineering dalam konteks pengaruhnya terhadap
lingkungan menjadi topik tersendiri dalam buku ini.
Desain produk berkelanjutan memastikan kelestarian lingkungan
melalui berbagai pendekatan seperti memaksimalkan efisiensi
sumber daya, menggabungkan bahan daur ulang dan energi
xv
terbarukan, meminimalkan limbah dan emisi, dan mengelola produk
yang sudah habis masa pakainya secara efektif. Upaya ini sejalan
dengan tujuan mempromosikan teknologi produksi yang lebih
bersih seperti halnya SDG 12. Pemilihan dan penerapan teknologi
produksi yang lebih bersih diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi dan meminimalkan dampak lingkungan di seluruh proses
produksi (Mengistu dkk., 2024). Salah satu bab dalam buku ini
meninjau penerapan teknologi dalam desain produk untuk
mencapai keberlanjutan.
Diskusi pembangunan berkelanjutan tidak semata-mata
mengangkat dimensi lingkungan dan ekonomi namun juga dimensi
sosial yang berkaitan dengan salah satu SDG yang dituju yaitu
kesetaraan jender. Kesetaraan jender menjadi penting mengingat
secara tradisional berbagai bangsa didominasi oleh peran kuat pria.
Dominasi pria sering kali menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan
jender yang dianggap merupakan masalah sistemik (Jacoby & Van
Ael, 2021). Masalah yang timbul antara lain adalah ketidakadilan,
kesenjangan dan pelecehan seksual. Dalam konteks ini, pendidikan
memegang peranan penting untuk meningkatkan kesadaran akan
persamaan jender. Pendidikan desain produk didorong untuk
mengintegrasikan pengetahuan dan wawasan pada konsep baru dan
inovatif dengan pendekatan berdasarkan empati. Bab terakhir dari
buku ini akan memberikan gambaran pendidikan desain produk
menuju tercapainya SDG ke lima.
DAFTAR PUSTAKA
Ahn, S. H., & Lee, J. Y. (2018). Re-envisioning material circulation and
designing process in upcycling design product life cycle.
Archives of Design Research, 31(4), 5-20.
Andrews, T. (2009). Design and consume to utopia: Where industrial
design went wrong. Design Philosophy Papers, 7(2), 71-86.
Araji, S. Z., & Shahin, B. R. (2021). Identification of effective
integrated indicators for sustainable affordable housing
provision. dalam IOP Conference Series: Earth and
xvi
Environmental Science (Vol. 856, No. 1, p. 012055). IOP
Publishing.
Aşilioğlu, F. (2016). Sustainable landscape design in contemporary
residential gardens. Dalam R. Efe, İ. Cürebal, A. Gad dan B.
Tóth (Eds). Environmental sustainability and landscape
management, (hal. 703-720). St. Kliment Ohridski University
Press.
Chang, M., Huang, L., Zhai, T., Zhu, J., Ma, Y., Li, L., & Zhao, C. (2023).
A Challenge of Sustainable Urbanization: Mapping the Equity
of Urban Public Facilities in Multiple Dimensions in
Zhengzhou, China. Land, 12(8), 1545.
De Vere, I., Melles, G., & Kapoor, A. (2011). An ethical stance:
Engineering curricula designed for social responsibility.
dalam Proceedings of the 18th International Conference on
Engineering Design (Vol. 8).
Efkolidis, N., Hernandez, C. G., Talon, J. L. H., & Kyratsis, P. (2019).
Promote sustainability through product design process by
involving the user. Environmental Engineering &
Management Journal, 18(9), 1885-1896.
Eyüce, A. (2007). Learning from the vernacular: sustainable
planning and design. Open House International, 32(4), 9-22.
Geneletti, D., La Rosa, D., Spyra, M., & Cortinovis, C. (2017). A review
of approaches and challenges for sustainable planning in
urban peripheries. Landscape and Urban Planning, 165, 231-
243.
Hajian, M., & Kashani, S. J. (2021). Evolution of the concept of
sustainability. From Brundtland Report to sustainable
development goals. dalam C.M. Hussain dan J.F. Velasco-
Muñoz (Eds.), Sustainable resource management (hal. 1-24).
Elsevier.
Hammoodi, S. A., & Al-Hinkawi, W. S. (2023). The role of spatial value
in the reconstruction of religious buildings Mosul city:A
case study. Ain Shams Engineering Journal, 14(10), 102164.
xvii
Hens, L. (2005). The rio declaration on environment and
development. Regional sustainable development review:
Africa. Oxford, UK, Eolss Publishers.
Hill, R. C., & Bowen, P. A. (1997). Sustainable construction: principles
and a framework for attainment. Construction Management
& Economics, 15(3), 223-239.
Hsieh, C. M. (2021). Sustainable planning and design: Urban climate
solutions for healthy, livable urban and rural areas. Journal
of Urban Management, 10(1), 1-2.
Jacoby, A. J., & Van Ael, K. (2021). Bringing systemic design in the
educational practice: The case of gender equality in an
academic context. Proceedings of the Design Society, 1, 581-
590.
Jayakody, R. R. J. C., Amarathunga, D., & Haigh, R. (2018). Integration
of disaster management strategies with planning and
designing public open spaces. Procedia Engineering, 212,
954-961.
Kırbaş, B., & Hızlı, N. (2016). Learning from vernacular architecture:
ecological solutions in traditional Erzurum houses.
Procedia-Social and Behavioral Sciences, 216, 788-799.
Leal Filho, W., Azeiteiro, U., Alves, F., Pace, P., Mifsud, M., Brandli, L.,
... & Disterheft, A. (2018). Reinvigorating the sustainable
development research agenda: the role of the sustainable
development goals (SDG). International Journal of
Sustainable Development & World Ecology, 25(2), 131-142.
Leyzerova, A., Sharovarova, E., & Alekhin, V. (2016). Sustainable
strategies of urban planning. Procedia Engineering, 150,
2055-2061.
Li, X., Meng, L., Zhang, Y., Qin, Z., Meng, L., Li, C., & Liu, M. (2022).
Research and application of polypropylene carbonate
composite materials: a review. Polymers, 14(11), 2159.
Mengistu, A. T., Dieste, M., Panizzolo, R., & Biazzo, S. (2024).
Sustainable product design factors: A comprehensive
analysis. Journal of Cleaner Production, 142260.
xviii
Mestre, A., & Cooper, T. (2017) Circular Product Design. A Multiple
Loops Life Cycle Design Approach for the Circular Economy,
The Design Journal, 20:sup1, S1620-S1635.
Næss, P. (2021). Sustainable urban planningwhat kinds of change
do we need? Journal of Critical Realism, 20(5), 508-524.
Ngo, H. H., Guo, W., Chen, Z., Surampalli, R. Y., & Zhang, T. C. (2016).
Green technologies for sustainable water management:
Introduction and overview. H.H. Ngo, W. Guo, R.Y.
Surampalli, dan T.C. Zhang (Eds), Green Technologies for
Sustainable Water Management (hal. 1-34), American
Society of Civil Engineers.
Oh, S. (2017). From an Ecodesign Guide to a Sustainable Design
Guide: Complementing Social Aspects of Sustainable Product
Design Guidelines. Archives of Design Research, 30(2), 47-
64.
Peck, D., Kandachar, P., & Tempelman, E. (2015). Critical materials
from a product design perspective. Materials & Design
(1980-2015), 65, 147-159.
Poole, A. L. (1998). Opportunities for change. Structural Survey,
16(4), 200-204.
Pradhan, P., Costa, L., Rybski, D., Lucht, W., & Kropp, J. P. (2017). A
systematic study of sustainable development goal (SDG)
interactions. Earth's Future, 5(11), 1169-1179.
Rohatyński, R. (2020) Embedding ecological requirements into new
products. Building future competences, (Vol. 1, No. 2, p. 116-
133). IAGF
Sfakianaki, E. (2019). Critical success factors for sustainable
construction: A literature review. Management of
Environmental Quality, 30(1), 176-196.
Shirazi, M. R., & Keivani, R. (2019). The triad of social sustainability:
Defining and measuring social sustainability of urban
neighbourhoods. Urban Research & Practice, 12(4), 448-
471.
xix
Thomas, R. V., Nair, D. G., & Enserink, B. (2023). Conceptual
framework for sustainable construction. Architecture,
Structures and Construction, 3(1), 129-141.
Turvey, R. A. (2019). Urban planning and sustainable cities.
International Journal of Sustainable Society, 11(3), 139-161.
Uysal Urey, Z. C. (2023). Creation of a New Vernacular Architecture
and the Attainment of Sustainability: The Case of Akyaka
Town Development. Sustainability, 15(3), 2643.
Von Schönfeld, K. C., & Bertolini, L. (2017). Urban streets: Epitomes
of planning challenges and opportunities at the interface of
public space and mobility. Cities, 68, 48-55.
Yigitcanlar, T., & Dizdaroglu, D. (2015). Ecological approaches in
planning for sustainable cities: A review of the literature.
Global Journal Of Environmental Science and Management,
1(2), 159-188.
xx
DAFTAR ISI
Kata Pengantar iii
Editorial iv
Daftar Isi xix
Daftar Gambar xxi
Daftar Tabel xxiv
Bab 1 Menuju Kota Ramah Air 1
Elsa Try Julita Sembiring
Bab 2 Pembiayaan Kreatif dan Inklusif untuk Infrastruktur
Berkelanjutan 17
Vidya Trisandini Azzizi
Bab 3 Public Housing dalam Penyediaan Perumahan Terjangkau:
Sebuah Perspektif 30
Rahmatyas Aditantri
Bab 4 Arsitektur Vernakular Indonesia dalam Menghadapi
Perubahan Iklim dan Mendukung Pencapaian SDG 44
Maria Prihandrijanti
Bab 5 Redefinisi Masjid Rest Area Jalan Tol: Antara Norma dan
Substansi pada Arsitektur Masjid Kontemporer 60
Doni Fireza
Bab 6 Peran Taman dan Area Hijau Perkotaan sebagai Pembentuk
Urban Park Cooling: Sebuah Potensi Menurunkan
Temperatur Kota 78
Yaseri Dahlia Apritasari
Bab 7 Potensi dan Tantangan Kantong Belanja Spunbond sebagai
Produk Ramah Lingkungan 95
David Widyanto
xxi
Bab 8 Consumer Engineering dalam Desain Produk: Kontroversi
dan Dampaknya pada Lingkungan 112
Abang Edwin Syarif Agustin
Bab 9 Teknologi, Manusia dan Desain Berkelanjutan 125
Aloysius Baskoro Junianto
Bab 10 Peran Desain Produk dalam Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus 144
Elaine Steffanny Tumilar
Biografi Editor 166
Biografi Penulis 167
xxii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka transisi menuju kota ramah air
Gambar 2.1 Siklus Hidup Value Capture (VC)
Gambar 2.2 Kawasan Berorientasi Transit yang dapat menerapkan
Konsep LVC di Sepanjang Jalur MRT Jakarta
Gambar 2.3 Tahapan PSVC
Gambar 2.4 Matriks Kekuasaan dan Minat Pemegang Kepentingan
Gambar 3.1 Pembagian Kelompok Masyarakat berdasarkan
pasokan dan permintaan perumahan
Gambar 3.2 Jumlah Rumah Susun di Indonesia yang dibangun
Pemerintah
Gambar 4.1 Rumah Lontiok di Provinsi Riau: rumah panggung
dengan atap berbentuk perahu
Gambar 4.2 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals)
Gambar 5.1 Masjid As Safar KM 260B Bajaratna Jawa Tengah
Gambar 5.2 Masjid Saka Buana Ciujung Serang Banten
Gambar 5.3 Masjid BSI KM 166A Cipali Jawa Barat
Gambar 5.4 Masjid Sabilun Istiqomah KM 379A Batang Jateng
Gambar 5.5 Masjid Assalam Cahaya Iman KM 360B Batang Jateng
Gambar 5.6 Masjid Rest Area KM 429A Ungaran Jateng
Gambar 6.1 Simulasi penyebaran taman pada kawasan perkotaan
Gambar 6.2 Pola aliran angin pada ngarai perkotaan dengan
tanaman
Gambar 6.3 Pohon individu dan pohon berkelompok akan
memberikan pengaruh penurunan radiasi matahari
yang berbeda
xxiii
Gambar 6.4 Penataan pohon untuk menghasilkan penurunan
radiasi matahari
Gambar 7.1 Kantong belanja spunbond
Gambar 7.2 Kantong kresek yang terbuat dari PE
Gambar 7.3 Mesin ekstrusi blown film
Gambar 7.4 Sampah plastik dan biota laut
Gambar 7.5 Kampanye “Every day Say No to Plastic Bags
Gambar 7.6 Bahan non-woven spunbond
Gambar 7.7 Proses bahan non-woven dengan metode spunbond
Gambar 7.8 Layanan pesan antar makanan secara online
Gambar 8.1 Buku Consumer Engineering: A New Technique for
Prosperity (1932)
Gambar 8.2 Lokomotif SS1 yang dirancang oleh Raymond Loewy
untuk Pennsylvania Railroad
Gambar 8.3 Google Nest Thermostat
Gambar 8.4 Knixhult - IKEA, seri produk lampu berbahan dasar
bambu
Gambar 8.5 Tesla Model S
Gambar 8.6 The Global E-waste Monitor 2020
Gambar 8.7 Framework Laptop, Laptop dengan sistem modular
Gambar 9.1 Tiga Pilar Konsep Berkelanjutan
Gambar 9.2 Perkembangan Teknologi Lampu Pengatur Lalu Lintas
Gambar 9.3 Kurva S Siklus Hidup Teknologi
Gambar 9.4 Produk Mebel dari Kayu Limbah
Gambar 9.5 Contoh Desain Produk Hasil Fusing Plastik
Gambar 9.6 Pendekatan Desain Multidisiplin
Gambar 10.1 Proporsi Laporan Kasus Kekerasan Seksual di
Lingkungan Pendidikan yang diterima Komnas
Perempuan (2015-2021)
Gambar 10.2 Mendikbudristek saat meminta pimpinan PT harus
terbuka jika terjadi kekerasan seksual di kampus
xxiv
Gambar 10.3 Kesetaraan Gender
Gambar 10.4 The man-machine system loop, Meister (1971)
xxv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Proyeksi Kondisi Perumahan 2020-2045
1
1 MENUJU KOTA RAMAH AIR
Elsa Try Julita Sembiring
Ringkasan
Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk dan
urbanisasi, dengan proyeksi 70% penduduk tinggal di perkotaan
pada 2045. Hal ini meningkatkan kebutuhan energi dan emisi
CO2, memicu perubahan iklim yang berdampak pada ketahanan
air. Ketahanan air yang mencakup pemenuhan kebutuhan air
layak dan pengelolaan risiko terkait air, adalah krusial untuk
keberlanjutan ekonomi dan produktivitas masyarakat. Namun,
Indeks Ketahanan Air Indonesia masih di level 3 (moderate), dan
diprediksi belum mencapai target level 4 (reliable) pada 2030.
Pengelolaan air harus diintegrasikan dalam perencanaan kota,
menuju konsep kota ramah air (water sensitive city/WSC) yang
menggabungkan penyediaan air, sanitasi, pengendalian banjir,
dan perlindungan lingkungan. Transformasi ini berlangsung
bertahap dan bergantung pada kapasitas kota menghadapi
tantangan. Bab ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
mengenai proses transformasi menuju kota ramah air dan
sebagai evaluasi pengelolaan air kota. DKI Jakarta, sebagai
contoh, sedang dalam proses menuju kota ramah air. Upaya yang
dilakukan termasuk meningkatkan cakupan layanan air bersih,
pengelolaan air limbah, pengendalian banjir, dan penyediaan
ruang terbuka hijau. Tantangan masih banyak, namun prinsip-
prinsip kota ramah air sudah tercantum dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) 2030. Langkah-langkah strategis
diperlukan untuk percepatan transformasi ini, termasuk adopsi
teknologi ramah lingkungan, kemitraan multi sektor, dan inovasi.
2
PENDAHULUAN
Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk setiap
tahun. Tahun 2018 menjadi masuknya Indonesia dalam era kota
karena lebih dari setengah penduduknya tinggal di kawasan
perkotaan. Pada tahun 2045 diproyeksikan akan ada
peningkatan hingga 70% berada pada kawasan perkotaan
(World Bank, 2019). Peningkatan penduduk ini juga akan
meningkatkan kebutuhan energi yang berimplikasi juga pada
peningkatan emisi CO2. Berdasarkan data, setidaknya dalam 20
tahun terakhir, emisi CO2 Indonesia meningkat sebesar 159%
(World Bank, 2023).
Peningkatan emisi ini berkaitan dengan isu pemanasan global
yang jangka panjang menyebabkan perubahan iklim seperti
perubahan pola curah hujan dan kenaikan permukaan air laut.
Perubahan iklim ini menjadi tantangan semua negara di dunia.
Negara-negara termasuk Indonesia telah merumuskan aksi
melawan perubahan iklim dan dampaknya melalui Sustainable
Development Goal/SDG (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan)
sasaran 13 “urgers to take action to combat climate change and its
impacts”.
Ketahanan air merupakan salah satu aspek krusial yang
terdampak oleh perubahan iklim. Ketahanan air didefinisikan
sebagai keterpenuhan kebutuhan air yang layak dan
berkelanjutan untuk kehidupan dan pembangunan serta
terkelolanya risiko yang berkaitan dengan air (Dewan Sumber
Daya Air Nasional/NSDANAS, 2019). Berdasarkan Peraturan
Presiden No. 37 Tahun 2023 mengenai Kebijakan Nasional
Sumber Daya Air, ketahanan air berkaitan dengan landasan yang
turut berperan penting dalam keberlanjutan ekonomi dan
produktivitas masyarakat.
Ketahanan air bisa dinilai dengan menggunakan indeks
ketahanan air (IKA) yang mengukur dari berbagai dimensi.
Berdasarkan data IKA dari Asian Water Development Outlook
(AWDO) pada tahun 2020 dalam Dewan SDA Nasional, 2022,
Indonesia berada pada tingkat level 3 dengan kategori moderat
(capable). Level ini masih belum mencapai target IKA pada tahun
2030 yaitu 4 dengan kategori “Handal” (effective). Selanjutnya
dalam hal penyediaan air bersih dibanding dengan jumlah
penduduknya, Indonesia masih masuk dalam klasifikasi negara
insecure”. Selain itu dari sisi sanitasi aman, masih mencapai
3
10,16%. Ditambah lagi dengan berbagai risiko bencana banjir
dan kekeringan serta pencemaran badan air yang tinggi.
Melihat tantangan ini, pengelolaan air menjadi krusial
diintegrasikan dalam perencanaan dan perkembangan kota
sehingga tercipta lingkungan kota yang berkelanjutan dan tahan
terhadap perubahan iklim. Konsep kota ramah air atau water
sensitive city (WSC) merupakan solusi holistik yang
mengintegrasikan fungsi penyediaan air, sanitasi, pengendalian
banjir, dan perlindungan lingkungan. Tujuan utamanya adalah
mendukung ketahanan dan keberlanjutan pembangunan kota
yang layak huni, tangguh, dan sejahtera. Transformasi menuju
kota ramah air berlangsung secara bertahap, dan keberhasilan
setiap tahap sangat bergantung pada kapasitas kota dalam
menghadapi berbagai tantangan yang muncul. Tujuan bab ini
adalah memberikan pemahaman mengenai proses transformasi
menuju kota ramah air, sehingga suatu kota dapat mengevaluasi
sejauh mana pengelolaan air yang telah dilakukan.
TRANSFORMASI MENUJU KOTA RAMAH AIR
Paradigma pengelolaan air berkelanjutan menjadi pendekatan
baru yang dapat mengatasi tantangan dalam pengelolaan air yang
dihadapi perkotaan. “Kota ramah air mengintegrasikan nilai-
nilai dalam pengelolaan air berkelanjutan seperti perlindungan
lingkungan, kesetaraan, rehabilitasi, dan keberlanjutan dengan
layanan air seperti pengendali banjir, penghematan energi,
amenitas dan ketahanan kota terhadap perubahan iklim (Brown
dkk., 2009). Keterpaduan antara pengelolaan air dan desain kota
ini dicapai melalui teknologi dan infrastruktur yang beragam,
adaptif, dan multifungsi, dengan desain perkotaan yang
mendukung perilaku dan praktis ramah air, didukung oleh
institusi adaptif dan fleksibel (Brown dkk., 2009).
Paradigma pengelolaan air berkelanjutan pada awalnya lebih
banyak dikaitkan dengan inovasi teknologi yang lebih ramah
lingkungan dan perubahan nilai komunitas terhadap lingkungan
perairan. Namun, menurut Gleick (2003) ternyata pemahaman
mengenai perkembangan kebijakan jangka panjang paradigma
ini juga diperlukan mempercepat kemajuan pengelolaan air yang
berkelanjutan.
4
Brown dkk. (2009) menyusun sebuah kerangka transisi air
perkotaan dan benchmarking pada skala kota secara makro. Studi
kasus yang digunakan adalah Australia yang telah
mempraktikkan pengelolaan air selama 200 tahun lebih.
Kerangka ini mempertimbangkan urutan peristiwa, ideologi, dan
teknologi yang dilalui suatu kota saat beralih antara paradigma
pengelolaan air. Kerangka ini juga menunjukkan kontrak hidro-
sosial yang berkembang pada setiap fase. Kontrak hidro-sosial
merupakan seperangkat nilai, norma, dan kesepakatan yang
menguraikan tanggung jawab dan komitmen antara pihak yang
terlibat dalam pengelolaan air dalam hal ini: pemerintah,
penyedia layanan air, dan masyarakat (Linton & Budds, 2014).
Misalnya perbaikan lingkungan, keamanan pasokan air,
terkendalinya banjir, kenyamanan dan kesehatan masyarakat.
Kontrak hidro-sosial memainkan peran penting dalam
membentuk visi kota ramah air untuk praktik pengelolaan air
yang bertanggung jawab, berkelanjutan dan menguntungkan
seluruh pemangku kepentingan (Pille & Säumel, 2021).
Melalui pemahaman kerangka transisi ini, diharapkan kota yang
bercita-cita menuju kota ramah air memiliki suatu alat
benchmark untuk menilai kemajuan kota menuju pengelolaan air
berkelanjutan. Dengan demikian, kerangka ini dapat
mengidentifikasi strategi perubahan paling efektif (Brown dkk.,
2009). Berikut uraian kerangka transisi menuju kota ramah air.
Gambar 1.1 Kerangka transisi menuju kota ramah air
(Brown dkk., 2009)
Kota
Penyedia
Air (Water
Supply
City)
Kota
Pengelola
Limbah
(Sewered
City)
Kota
Bebas
Banjir
(Drained
City)
Kota
Pengelola
Perairan
(Waterways
City)
Kota
Mendaur
Ulang Air
(Water
Cycle
City)
Kota
Ramah Air
(Water
Sensitive
City)
5
Kota Penyedia Air (Water Supply City)
Pengelolaan air paling dasar di mana kota menyediakan
kebutuhan air penduduk kota. Air diekstraksi dari lingkungan
menggunakan berbagai infrastruktur seperti bendungan dan
sistem perpipaan air. Sumber daya air dianggap sebagai sumber
daya yang sangat murah dan tersedia tanpa batas.
Penggerak sosial politik: ditandai dengan munculnya kontrak
hidro-sosial secara formal disertai dengan pembentukan
pemerintahan daerah (atau semacam dewan air perkotaan) yang
mengumpulkan sistem perpajakan terpusat untuk membiayai
infrastruktur dan penyediaan air. Kontrak hidro-sosial secara
implisit menjanjikan penyediaan air yang aman, murah, dan tak
terbatas dari lingkungan (Brown, dkk., 2009).
Kota Pengelola Limbah (Sewered City)
Penggunaan air akan menimbulkan air buangan. Penemuan
bahwa air yang terkontaminasi sampah, limbah cair dan efluen
industri dapat menyebabkan penyakit mendorong inovasi
penyediaan saluran air buangan. Air buangan yang sebelumnya
tak terkendali, mulai dialirkan melalui sistem penyaluran air
limbah atau disebut sewered system menuju jauh dari pusat kota.
Namun, beberapa kota memilih berinvestasi dalam sistem septik
on-site karena dianggap lebih ekonomis dibandingkan saluran
pembuangan yang membutuhkan investasi yang besar. Fase ini
ditandai dengan adanya kontrak hidro-sosial yang memikirkan
perlindungan kesehatan masyarakat. Tanggung jawab institusi
pengelola air bersih diperluas untuk mencakup layanan air
buangan (Brown dkk., 2009).
Kota Bebas Banjir (Drained City)
Peningkatan kebutuhan manusia terhadap lahan menyebabkan
pemukiman berkembang jauh dari pusat kota dan bahkan juga
menduduki dataran banjir sehingga meningkatkan risiko banjir.
Pada tahap ini kota mulai mencari cara melindungi pemukiman
dan infrastruktur dari banjir. Air hujan dialirkan ke saluran air
hujan (drainase) menuju badan air terdekat. Pada fase
6
masyarakat mengharapkan layanan penyediaan air, pembuangan
limbah, dan drainase yang murah.
Kontrak hidro-sosial masih sama dengan fase sebelumnya.
Layanan drainase menjadi fungsi yang ditambahkan pada
pemerintah pusat. Secara bertahap, tanggung jawab ini beralih
ke pemerintah daerah pada kawasan yang baru dibangun. Pada
fase ini, kontrak hidro-sosial yang lebih kompleks yang
melibatkan banyak penyedia layanan air perkotaan (dan
terpisah) (Brown dkk., 2009).
Kota Pengelola Perairan (Waterways City)
Kota mengalami dampak yang lebih besar dari alih fungsi lahan
dan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.
Fenomena degradasi lingkungan, terutama di badan air seperti
algae bloom akibat polusi air limbah domestik dan pencemaran
laut yang menyebabkan tutupnya beberapa pantai. Namun, pada
saat yang sama, kebutuhan masyarakat akan rekreasi dan akses
ke ruang terbuka hijau meningkat
Dengan demikian, sumber daya air mulai diintegrasikan dalam
fungsi perencanaan sebagai aspek visual dan rekreasi. Fokus
kebijakan adalah melindungi badan air dengan mengurangi
polutan yang masuk ke perairan sehingga muncul berbagai baku
mutu air limbah untuk berbagai kegiatan (domestik ataupun
industri). Selain itu juga, pengolahan air limbah setempat dengan
septik tank (desentralisasi) mulai digantikan dengan sistem
saluran terpusat (sentralisasi). Selain itu, teknologi untuk
melindungi badan air penerima juga dikembangkan, seperti
misalnya lahan basah (wetland) dan bio-filtrasi.
Pada tahap ini, muncul kesulitan dalam mengelola air hujan
karena hal ini tidak dapat diselesaikan dengan hanya mengadopsi
kontrak hidro-sosial. Munculnya pemangku kepentingan baru
menimbulkan perubahan besar dalam distribusi tanggung jawab
dalam pengelolaan air.
7
Kota Mendaur Ulang Air (Water Cycle City)
Kota Mendaur Ulang Air muncul karena adanya kesadaran bahwa
air adalah sumber daya yang terbatas untuk mendukung
perkembangan kota dan populasi. Selain itu, telah muncul juga
pemahaman mengenai keterbatasan badan air untuk
menampung efluen dari pengolahan air limbah.
Oleh karena itu, arah pengelolaan air harus bisa menjawab
tantangan dalam mengintegrasikan siklus air termasuk
konservasi dan menyediakan suplai air yang beragam. Pada fase
ini, konservasi sumber daya air melalui proses daur ulang air
hujan, air bekas cucian, maupun air limbah menjadi air yang
digunakan untuk tujuan tertentu seperti flushing, penyiraman
taman, dan lain-lain. Teknologi terkait penampungan dan
penggunaan air hujan, pengolahan air limbah, dan pengolahan air
hujan dengan kolam retensi, lahan basah, atau biofiltrasi, juga
desalinasi diimplementasikan pada fase ini.
Kontrak hidro-sosial pada fase ini tidak hanya memberikan
layanan pasokan bebas risiko dengan sistem terpusat yang
terkontrol tetapi juga dengan pembagian peran pengelolaan (co-
management) antara bisnis, komunitas, dan pemerintah.
Sehingga risiko yang muncul dari aktivitas pengelolaan air dibagi
melalui instrumen privat ataupun publik.
Kota Ramah Air (Water Sensitive City)
Kota Ramah Air telah mengelola air sebagai suatu siklus yang
holistik dan terpadu. Sumber daya air tidak hanya dipandang
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia tetapi juga memberi
manfaat terhadap berbagai aktivitas perkotaan. Nilai normatif
seperti perbaikan dan perlindungan lingkungan, keamanan
suplai air, pengendalian banjir, kesehatan masyarakat, kelayakan
huni, dan keberlanjutan ekonomi (Pille & Säumel, 2021).
Pada tahap ini, masyarakat terlibat secara aktif dengan air,
melalui keuntungan rekreasi di ruang hijau berdekatan dengan
badan air, dan memiliki peluang untuk lebih terlibat dalam sistem
air. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya sebagai objek saja
tetapi juga sebagai subjek dalam sistem pengelolaan air.
8
Persyaratan kunci untuk mencapai kota ramah air mencakup
koordinasi para pemangku kepentingan, dukungan institusi
terkait, dan partisipasi komunitas masyarakat.
Berikut tiga pilar utama dalam mewujudkan kota ramah air
berdasarkan Wong & Brown (2009):
1. Kota sebagai Daerah Tangkapan Air: Pilar ini mengibaratkan
kota sebagai suatu tempat menampung air dalam berbagai
sumber baik air hujan maupun air limbah. Kota harus
memiliki strategi pengembangan sumber air alternatif
seperti recharge akuifer (air tanah), memanen air hujan dari
atap rumah, daur ulang air limbah, desalinasi air dan air
tanah. Air hasil olahan ini dapat dipakai untuk keperluan
seperti pembilasan toilet, pencucian pakaian, penyiraman
taman, dan irigasi. Dengan demikian terdapat fleksibilitas
dalam akses sumber air yang sesuai dengan tujuan
penggunaan tertentu dan meningkatkan ketahanan terhadap
krisis air jangka pendek dan panjang.
2. Kota sebagai Penyedia Layanan Ekosistem. Pilar ini bertujuan
memastikan bahwa lanskap perkotaan memiliki ketahanan
terhadap berbagai dampak perubahan iklim dengan
menyediakan layanan ekosistem baik untuk lingkungan
terbangun (buatan) dan alami mengingat tekanan
pertumbuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan desain lanskap perkotaan dengan
pengelolaan air berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu
dipahami dahulu nilai dan fungsi ekologi lanskap perkotaan
seperti mendukung keanekaragaman hayati, mempengaruhi
iklim mikro, menyimpan karbon, dan mendukung ketahanan
pangan kota. Nilai dan fungsi ini bisa ditemukan pada lanskap
dengan solusi berbasis alam. Salah satu contoh: Pengolahan
air hujan seperti lahan basah buatan dan sistem bioretensi
yang dapat diimplementasikan pada berbagai skala spasial.
3. Kota terdiri dari komunitas yang ramah air: Pilar ini
menekankan pentingnya kapasitas institusi dan dukungan
sosial untuk mencapai pengelolaan air berkelanjutan. Brown
(2008) berargumen bahwa kecuali teknologi baru ini
tertanam secara sosial dalam konteks kelembagaan lokal,
pengembangan teknologi secara terisolasi tidak cukup untuk
9
memastikan implementasi yang sukses dalam praktiknya.
Untuk mencapai hal ini diperlukan investasi institusi lokal
dan tanggung jawab dalam menjalankan pengelolaan air
dengan mengadopsi berbagai solusi teknologi. Komunitas
masyarakat juga harus terlibat harus turut aktif mengelola
layanan air. Pilar ini menjadi tugas paling berat dibanding
lainnya dikarenakan membutuhkan kolaborasi antar
pemangku kepentingan.
SEJAUH MANA JAKARTA MENUJU KOTA RAMAH AIR
DKI Jakarta sebagai ibukota negara, mengalami arus urbanisasi
yang cepat. Urbanisasi ini tentu mengakibatkan alih fungsi lahan
hijau yang tadinya berperan sebagai lahan resapan menjadi lahan
pemukiman dan berbagai infrastruktur. Di sisi lain, peningkatan
penduduk ini pun turun memberi tekanan permintaan sumber
daya air dan pemerintah harus merespon dengan cepat. Lalu
bagaimana transisi DKI Jakarta menuju Kota Ramah air?
Kota Penyedia Air (Water Supply City): DKI Jakarta masih
berupaya meningkatkan cakupan pelayanan air bersihnya
khususnya melalui sistem air bersih perpipaan. Al Hamasy
(2024) menyampaikan bahwa cakupan air bersih masih
mencapai 69% dari total wilayah layanan. Berdasarkan Perda
DKI Jakarta No. 1/2012 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah
Jakarta (RTRW) 2030 DKI Jakarta, strategi penataan ruang
terkait sumber daya air masih berupaya meningkatkan
pemanfaatan sumber daya air berkelanjutan dengan
mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat (Pasal
7). Selain itu, konservasi sumber daya air juga telah menjadi
strategi perencanaan wilayah seperti misalnya membatasi
pemanfaatan air tanah, melindungi dan melestarikan sumber
daya air dan meningkatkan kapasitas sungai/kanal melalui
pembangunan waduk/situ di beberapa tempat. Pada fase ini
kontrak hidro-sosial mencakup penyediaan air bersih yang
mencukupi kebutuhan melalui pembangunan waduk, perpipaan
dan infrastruktur lainnya. Namun, perencanaan tidak eksploitatif
karena sudah memasukkan aspek konservasi dan perlindungan
sumber daya air.
10
Sebagai Kota Pengelola Limbah (Sewered City), DKI Jakarta juga
telah memasuki fase ini. Berikut gambaran kondisi dalam
konteks ini.
a. Pemisahan Air Limbah dan Air Hujan: Jakarta menghadapi
masalah pencemaran air di banyak sungai dan badan air
permukaannya. Dari 13 sungai yang ada, 8 di antaranya
mengalami pencemaran. Masalah ini mendorong Jakarta
untuk mengimplementasikan strategi pemisahan sistem
pengelolaan air limbah dan air hujan. Upaya ini bertujuan
untuk mengurangi beban pencemaran yang berasal dari air
limbah domestik dan industri ke badan air, sehingga
meningkatkan kualitas lingkungan perairan.
b. Penyaluran dan pengolahan air limbah secara sentralisasi.
Hal ini baru menjadi fokus beberapa tahun terakhir melalui
adanya pembangunan Jakarta Sewarage System yang dimulai
2022. Hal ini bertujuan meningkatkan cakupan pelayanan air
limbah menjadi 75% pada tahun 2050. Zona prioritas akan
melayani 23% pada tahun 2027. Kondisi saat ini masih
berkisar 6-10%. (Jakarta.co.id, n.d.)
c. Pengolahan limbah secara desentralisasi. Jakarta, seperti
banyak kota lain di dunia, menghadapi dilema antara
menggunakan sistem septik on-site dan investasi dalam
saluran pembuangan terpusat. Sistem septik on-site dianggap
lebih ekonomis dalam beberapa kasus karena mengurangi
biaya infrastruktur besar yang dibutuhkan untuk saluran
pembuangan sentral. Terkait hal ini, pemerintah
mengeluarkan kebijakan Peraturan Gubernur Nomor 79
Tahun 2021 tentang Revitalisasi Tangki Septik Rumah
Tangga yang meliputi penyediaan prasarana air limbah
domestik dan pemasangan prasarana air limbah domestik.
Kontrak hidro-sosial pada ini sama dengan yang disampaikan
Brown dkk. (2009) di mana pemerintah sudah menjanjikan
derajat kesehatan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup
yang baik. Perbedaannya, tanggung jawab ini dikelola secara
terpisah dengan institusi penyedia air bersih, yakni perusahaan
daerah khusus mengurusi air limbah (PAL JAYA).
11
Sebagai kota yang berada di daerah dataran rendah dan rawan
banjir, DKI Jakarta juga tengah menuntaskan fase Kota Bebas
Banjir (Drained City). Hal ini tertuang dalam strategi perencanaan
dalam RTRW DKI Jakarta 2030 Pasal 44 (4) untuk meningkatkan
kapasitas sungai/kanal melalui berbagai cara seperti
pembangunan waduk, sumur resapan, menerapkan sistem
polder pada kawasan rendah yang rawan banjir,
menghubungkan antara kanal banjir, dan mengembangkan
cakupan drainase dan kapasitas saluran drainase. Upaya ini
secara simultan masih dilakukan dan DKI Jakarta belum
sepenuhnya bebas dari kejadian banjir.
Jakarta sebagai pengelola waterways city juga masih menghadapi
banyak tantangan mengingat permasalahan suplai, pencemaran
air, serta risiko banjir juga belum terselesaikan. Namun, RTRW
DKI Jakarta 2030 juga sudah memuat strategi menuju waterways
city yakni berupa pengelolaan sempadan sungai dan penyediaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH). Implementasi di lapangan terlihat
dari berbagai proyek yang berkembang seperti revitalisasi sungai
dan normalisasi/naturalisasi sungai (Antara News, 2021). Selain
itu juga terlihat dari perencanaan penyediaan ruang terbuka
hijau (RTH) minimal 30% dari luas wilayah dari kondisi eksisting
saat ini yang baru mencapai 5,20%. Realisasinya sudah mulai
dilaksanakan melalui berbagai seperti penghijauan di sekitar
sempadan sungai, penghijauan di gedung, dan mengalihkan aset
tidur, hingga membeli kembali lahan warga ( Dany, 2023).
Selanjutnya upaya pengurangan polutan yang masuk ke badan air
juga sudah diatur secara nasional terkait perizinan pembuangan
limbah ke lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, 2021) dan juga penerapan peraturan baku mutu air
limbah nasional sesuai kegiatan (Menteri Lingkungan Hidup,
2014).
Selanjutnya Jakarta sebagai kota daur ulang, RTRW DKI Jakarta
2030 sudah mencantumkan arahan upaya daur ulang air
meskipun masih dalam cakupan pulau-pulau pariwisata dan
pemukiman yang terdapat di kawasan Pantura. Dalam skala
menyeluruh DKI Jakarta, tampaknya belum menjadi prioritas.
Praktik daur ulang air yang ada di DKI Jakarta juga masih dalam
ranah inisiatif.
12
Menuju kota ramah air, Jakarta masih memiliki segudang tugas
untuk diselesaikan. Kondisi saat ini masih menunjukkan bahwa
fase transisi yang dilewati oleh negara maju dan berkembang
dapat berbeda-beda bagi tiap negara tergantung situasi sosial,
politik, geografis dan lainnya (Brown, 2019). Pada kasus DKI
Jakarta, setiap fase berjalan secara paralel dan masih dalam
proses.
Mengacu pada prinsip praktis Kota Ramah Air, diketahui bahwa
pilar 1 (kota sebagai tampungan air) dan prinsip 2 (kota sebagai
penyedia layanan ekosistem) sudah tertuang dalam RTRW DKI
Jakarta 2030. Namun, untuk prinsip 3 kota terdiri dari komunitas
ramah air tampaknya belum menjadi fokus hingga tahun 2030.
Pengaturan peningkatan peran serta masyarakat yang tertuang
dalam RTRW DKI Jakarta masih terbatas dalam pengendalian
banjir dengan mengembangkan sistem polder yang berbasis
pada partisipasi masyarakat. Meskipun, sebenarnya sudah ada
komunitas ini misalnya Komunitas Ciliwung Condet dan
komunitas lainnya, namun munculnya kelompok berasal dari
inisiatif masyarakat sendiri ( Ramadhini, 2018).
Kebijakan perencanaan DKI Jakarta merefleksikan pelajaran
yang dipetik dari negara-negara maju serta perkembangan ilmu
dan teknologi. Terlihat dari RTRW DKI Jakarta 2030 (khususnya
terkait sumber daya air) DKI Jakarta berupa mengantisipasi
risiko-risiko lingkungan di masa depan seperti kekurangan air,
pengendalian pencemaran, ataupun risiko sehingga proses
transisi setiap fase pengelolaan air terjadi secara paralel.
Meskipun hal ini menjadikan tidak ditemukan fase yang
dituntaskan secara penuh. Berbeda dengan kasus negara maju
(lokasi studi kasus), kota pada saat itu pemahaman terhadap
dampak-dampak yang muncul akibat perkembangan masih
minim. Hal ini menyebabkan dampak negatif dari satu fase yang
harus diselesaikan dengan fase berikutnya. Kota-kota di negara
berkembang berada dalam posisi yang sangat baik untuk
melakukan lompatan maju ini karena lebih sedikit sumber daya
yang telah diinvestasikan dalam infrastruktur dan institusi
pengelola air perkotaan tradisional, sehingga lebih mudah
menerima praktik-praktik ramah air (Brown dkk., 2016; Poustie
2014).
13
Lalu bagaimana caranya agar Jakarta agar dapat segera
melompat menuju Kota Ramah Air?
Lompatan ini dimungkinkan apabila negara berkembang
melompati teknologi versi lama dan menghindari proses industri
dengan warisan teknologi yang merusak lingkungannya. Dengan
melompat langsung ke produksi berkelanjutan, negara-negara
berkembang juga dapat menghindari 'lock-in' sosio-teknis yang
saat ini dialami oleh banyak negara industri (Maassen, 2012;
Barron, 2017). 'Lock-in' sosio-teknis mengacu pada situasi
masyarakat atau industri terjebak dalam menggunakan teknologi
atau praktik yang sudah ada, meskipun ada teknologi atau
praktik alternatif yang lebih baik atau lebih berkelanjutan
tersedia. Terdapat 3 katalis lompatan maju menuju ramah air
yaitu ilmu transdisiplin, kemitraan antar sektor dan eksperimen
inovasi (Brodnik dkk., 2018)
DKI Jakarta telah memasukkan prinsip-prinsip Kota Ramah Air
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Namun, untuk
mencapai visi ini sepenuhnya, perlu terus meningkatkan strategi
yang sesuai konteks dan kapasitas institusi absortif yang
mempertimbangkan: ilmu transdisiplin, kemitraan multisektor,
dan eksperimen inovasi sebagai katalis lompatan maju. Dengan
demikian, langkah-langkah ini merupakan bagian dari upaya
bersama untuk melompat menuju masa depan yang lebih
berkelanjutan dan ramah lingkungan bagi Jakarta sebagai Kota
Ramah Air.
DAFTAR PUSTAKA
Al Hamasy, A.I. (2024). Pemerataan air bersih di Jakarta jadi
tantangan menuju kota global: Pemprov DKI terus
berupaya memperluas cakupan layanan air bersih hingga
ke utara.
https://www.kompas.id/baca/metro/2024/05/04/pem
erataan-air-bersih-di-jakarta-jadi-tantangan-menuju-
kota-global
Barron N.J., Kuller M., Yasmin T., Castonguay A.C., Copa V.,
Duncan-Horner E., Gimelli F.M., Jamali B., Nielsen J.S., Ng
14
K, Novalia W., Shen P.F., Conn R.J., Brown R.R., Deletic A.
(2017) Towards water sensitive cities in Asia: an
interdisciplinary journey. Water Sci Technol. 76(5-
6):1150-1157. doi: 10.2166/wst.2017.287.
Brodnik, C., Holden, J., Marino, R., Wright, A., Copa, V., Rogers, B.,
Arifin, H. S., Brown, R., Djaja, K., Farrelly, M., Kaswanto, R.
L., Marsudiantoro, D., Marthanty, D., Maryonoputri, L.,
Payne, E., Purwanto, M., Lovering, D. R., Suharnoto, Y.,
Sumabrata, J., … Yuliantoro, D. (2018). Jumping to the top:
Catalysts for leapfrogging to a water sensitive city. IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science,
179(1). https://doi.org/10.1088/1755-
1315/179/1/012034
Brown, R. R. (2008). Local institutional development and
organizational change for advancing sustainable urban
water futures. Environmental Management, 41(2), 221
233. https://doi.org/10.1007/s00267-007-9046-6
Brown, R. R., Keath, N., & Wong, T. H. F. (2009). Urban water
management in cities: historical, current and future
regimes. Water Science and Technology, 59(5), 847855.
https://doi.org/10.2166/wst.2009.029
Brown, R., Rogers, B., & Werbeloff, L. (2016). Moving toward
water sensitive cities. In Melbourne, Australia: Centre for
Water Sensitive Cities.
Dany, F.W.W. (2023, Maret). Taktik mencapai 30 persen Ruang
Terbuka Hijau di Jakarta. Kompas.Com.
https://www.kompas.id/baca/metro/2023/02/28/unti
tled
Dewan Sumber Daya Air Nasional (NSDANAS). (2019).
Rekomendasi Isu Strategis Ketahanan Air.
Dewan Sumber Daya Air Nasional. (2022). Indeks Ketahanan Air.
. Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta(n.d.). Jakarta
Sewerange System (JSS).
15
https://jssdsda.jakarta.go.id/index.php/
frontend/description
Gleick, P. H. (2003). Water use. Annual Review of Environment
and Resources, 28(May), 275314.
https://doi.org/10.1146/annurev.energy.28.040202.12
2849
Linton, J., & Budds, J. (2014). The hydrosocial cycle: Defining and
mobilizing a relational-dialectical approach to water.
Geoforum, 57(June), 170180.
https://doi.org/10.1016/j.geoforum.2013.10.008
Maassen, A. (2012). Heterogeneity of Lock-In and the ole of
Strategic Technological Interventions in Urban
Infrastructural Transformations. European Planning
Studies, 20(3), 441460.
https://doi.org/10.1080/09654313.2012.651807
Menteri Lingkungan Hidup. (2014). KepMen LH nomor 5 / 2014.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014, 1815, 81.
ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2014/bn1815-
2014.pdf
Peraturan Daerah DKI Jakarta 1 Tahun 2012 tentang Rencana
Tata Ruang dan Wilayah 2030.
Peraturan Gubernur Nomor 79 Tahun 2021 tentang Revitalisasi
Tangki Septik Rumah Tangga.
Pille, L., & Säumel, I. (2021). The water-sensitive city meets
biodiversity: Habitat services of rain water management
measures in highly urbanized landscapes. Ecology and
Society, 26(2). https://doi.org/10.5751/ES-12386-
260223
Poustie, M. S. (2017). Enabling socio-technical transitions to
sustainable urban water management in the South West
Pacific Region. Monash University. Thesis.
https://doi.org/10.4225/03/58abc932366bc
16
Ramadhini, E. (2018, April). Sejarah Komunitas Ciliwung.
Wartapilihan.Com. https://wartapilihan.com/sejarah-
komunitas-ciliwung-depok/
Wong T.H., Brown, R.R. (2009). The water sensitive city:
principles for practice. Water Sci Technol. 60(3):673-82.
doi: 10.2166/wst.2009.436. PMID: 19657162.
World Bank (2023). CO2 emissions (kt) Indonesia
.https://data.worldbank.org/indicator/EN.ATM.CO2E.K
T?locations=ID
World Bank (2019). Waktunya ACT: Mewujudkan Potensi
Perkotaan
Indonesiahttps://www.worldbank.org/in/country/indo
nesia/publication/augment-connect-target-realizing-
indonesias-urban-potential
166
BIOGRAFI EDITOR
Dr. Ir. Susy Fatena Rostiyanti, S.T., M.Sc., IPM
Susy F Rostiyanti memiliki latar belakang
pendidikan di bidang Teknik Sipil yang secara
konsisten ditempuh sejak S1 sampai S3.
Kekhususan yang diambilnya adalah pada bidang
Manajemen dan Rekayasa Konstruksi. Dikenal
sebagai penulis buku alat berat, Susy pernah
diminta untuk menjadi saksi ahli di Mahkamah
Konstitusi terkait aspek alat berat dalam judicial
review atas beberapa Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.
Sebagai dosen, Susy telah aktif mengajar selama lebih dari 20 tahun di
bidang yang sama dan secara konsisten mempublikasikan hasil-hasil
penelitiannya baik pada jurnal nasional terakreditasi maupun jurnal
internasional bereputasi. Dharma lainnya pada Tridharma Perguruan
Tinggi yaitu pengabdian kepada masyarakat juga ditekuni seperti
keterlibatannya secara reguler dalam pelatihan yang diadakan oleh
Learning Center Persatuan Insinyur Indonesia pada Program
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan.
Ir. Seng Hansen, S.T., M.Sc., Ph.D., IPM
Seng Hansen memperoleh gelar Sarjana
Teknik Sipil dan Lingkungan dari Universitas
Gadjah Mada pada 2008, Master of Science in
Construction Contract Management dari
Universiti Teknologi Malaysia pada 2012, dan
PhD in Built Environment dari RMIT University
pada 2021. Sebelum terjun menjadi akademisi,
Hansen pernah bekerja pada salah satu BUMN
Karya di Indonesia dari 2008-2014. Saat ini
Hansen aktif mengajar dan meneliti di
Program Studi Manajemen dan Rekayasa Konstruksi (MRK) Universitas
Agung Podomoro, serta memberikan berbagai lokakarya. Beberapa
buku karya beliau antara lain Manajemen Kontrak Konstruksi, Quantity
Surveying, dan Gambar Konstruksi. Sedangkan fokus penelitian Hansen
mencakup aspek manajemen kontrak konstruksi, manajemen klaim
konstruksi, manajemen sumber daya manusia, aspek legal proyek
konstruksi, dan teknologi konstruksi.
167
BIOGRAFI PENULIS
Elsa Try Julita Sembiring
Elsa Try Julita Sembiring menyelesaikan
pendidikan S1 di Program Studi Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, dan
lulus pada tahun 2011. Setelah menyelesaikan
jenjang S1, beliau langsung melanjutkan studi
ke program S2 dengan kekhususan Teknologi
dan Manajemen Lingkungan di institut yang
sama. Saat menjalani pendidikan S2, Elsa mendapatkan kesempatan
meraih beasiswa untuk mengikuti pelatihan singkat mengenai
pengelolaan air terintegrasi di Universitas Duisburg-Essen pada tahun
2012. Selain itu, beliau juga terlibat dalam beberapa proyek berskala
nasional mengenai pengelolaan sanitasi dan air minum. Karir beliau di
industri dimulai sebagai engineer di PT. Lippo Cikarang, Tbk, sebuah
perusahaan pengembang yang mengelola lingkungan kawasan
pemukiman dan industri. Dengan latar belakang pendidikan dan
pengalaman industri tersebut, Elsa memulai karir akademis di Fakultas
Perencanaan dan Desain Berkelanjutan, Universitas Agung Podomoro,
dan masih aktif hingga saat ini.
Vidya Trisandini Azzizi
Penulis Vidya Trisandini Azzizi, Ph.D. adalah
seorang pengajar di program studi Perencanaan
Wilayah dan Kota di Universitas Agung
Podomoro. Penulis menyelesaikan S3 dari
Jurusan Teknik Sipil National Central University,
Taiwan, pada tahun 2021 dengan fokus
penelitian pada manajemen lahan dan
penyediaan hunian sosial inklusif bagi
masyarakat berpendapatan rendah. Sebelum
bekerja sebagai pengajar, Vidya memiliki pengalaman sebagai peneliti
kota cerdas di Research Center of Smart Construction, National Central
University serta sebagai fellow di program Local Pathway Fellowship
yang diselenggarakan oleh United Nation Sustainable Development
Solutions Network (UN SDSN) pada tahun 2022-2023.
168
Rahmatyas Aditantri
Rahmatyas Aditantri adalah dosen dan
peneliti di Universitas Agung Podomoro.
Beliau menyelesaikan pendidikan S1 dari
Program Perencanaan Wilayah pada tahun
2013 dan Kota serta S2 Arsitektur dengan
bidang keahlian Perumahan dan Permukiman
pada tahun 2015 dari Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, Surabaya. Penelitian
beliau berfokus pada perkembangan
permukiman serta hubungan antar wilayah,
dengan publikasi baik di jurnal nasional maupun internasional. Selain
mengajar dan melakukan penelitian, beliau juga aktif dalam
perencanaan Pembangunan dengan menjadi anggota Forum Penataan
Ruang Kabupaten Serang sebagai perwakilan dari Asosiasi Sekolah
Perencanaan Indonesia. Di bidang pengabdian masyarakat, beliau aktif
terlibat dalam perencanaan desa wisata yang juga memperoleh hibah
dari pemerintah. Dalam buku ini, beliau membahas mengenai sebuah
perspektif dalam mewujudkan hunian terjangkau bagi masyarakat.
Maria Prihandrijanti
Maria Prihandrijanti menyelesaikan pendidikan
S1 di Program Studi Teknik Lingkungan,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, pada
tahun 1995. Setelah menyelesaikan jenjang S1,
beliau memulai karirnya di industri kertas
sebagai Environmental Engineer selama 3 tahun
dan kemudian kembali ke dunia akademik
sebagai Peneliti dan Dosen di Pusat Studi Lingkungan dan Jurusan
Teknik Kimia Universitas Surabaya (1998-2013). Dalam periode
tersebut Maria juga melanjutkan studi ke program S3 di bidang
Environmental Engineering/Science (2001-2006) di Technical University
Hamburg-Harburg dan University of Vechta, Germany dengan beasiswa
penuh dari Pemerintah Jerman melalui DAAD (Deutsche Akademische
Austausch Dienst). Dari Universitas Surabaya, Maria sempat menjadi
dosen juga di Universitas Surya dan Universitas Matana sebelum
akhirnya pindah ke Program Studi Arsitektur, Fakultas Perencanaan
dan Desain Berkelanjutan Universitas Agung Podomoro sejak 2017
sampai saat ini. Bidang keahlian beliau adalah pengelolaan/pengolahan
169
air limbah domestik, sanitasi ekologis, arsitektur
ekologis/berkelanjutan, bangunan hijau, dan ekologi perkotaan.
Doni Fireza
Doni Fireza adalah dosen Program Studi
Arsitektur Podomoro University. Bidang
risetnya adalah sejarah, teori dan kritik
arsitektur, konservasi arsitektur, dan arsitektur
lanskap. Menamatkan pendidikan sarjana
arsitektur di Universitas Sebelas Maret
Surakarta pada tahun 1998, kemudian
melanjutkan pada program magister arsitektur
di Institut Teknologi Bandung dengan alur
Arsitektur Bentang Alam pada tahun 2001. Sebagai dosen, Doni pernah
mengajar di Universitas Komputer Indonesia Bandung, BINUS
University, memberikan kuliah tamu di UCSI University Malaysia, dan
juga sebagai penguji eksternal tamu pada program studi arsitektur
lanskap di International Islamic University Malaysia (IIUM) dan
program master in architecture di UCSI University Malaysia. Selain
sebagai dosen dan peneliti arsitektur, sejak tahun 1999 ia juga
berprofesi sebagai arsitek dan arsitek lanskap profesional dengan
mengelola studio arsitekturnya sendiri; donifireza architects - PT.
Dinamika Nurraya Fajar dengan karya arsitekturnya tersebar di
Jabodetabek, Bandung, Bali, Lampung, Palembang, Solo, Surabaya,
Manado, dan kota lainnya dengan lebih dari 40 hasil karya desain
arsitektur. Doni juga anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dan anggota
profesional Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI). Selain telah
menerbitkan berbagai tulisan di media massa, jurnal, dan prosiding
ilmiah nasional dan internasional, Doni sendiri sudah menerbitkan
enam buku, yaitu Desain Taman Islami (2007), Manifesto: Memahami
Perkembangan Arsitektur Kontemporer Dunia (2019), Dari Kebun
Perdesaan Sampai Sistem Taman Kota (2020),
Keresahan+Arsitektur=Kritik, sebuah antologi (2020), Arsitektur
Kontemporer, teori dan perkembangan (2021), dan Ziarah Arsitektur,
sebuah catatan perjalanan (2022). Mempunyai hobi menonton film,
musik, fotografi, jalan-jalan, mengunjungi situs pusaka budaya,
horologi, Doni juga aktif pada beladiri Shorinji Kempo sebagai pemegang
sabuk hitam tingkat II Dan. Saat ini Doni sedang menyelesaikan
pendidikan doktoral pada bidang arsitektur di Universiti Tun Hussein
Onn Malaysia (UTHM).
170
Yaseri Dahlia Apritasari
Yaseri memiliki bidang keahlian desain
bangunan ramah lingkungan, konservasi energi
dan air, mitigasi bencana, dan perubahan iklim.
Tidak hanya memiliki penelitian dan makalah
energi dan green building, namun juga
melakukan penerapan energi dan green building
di beberapa gedung bertingkat, salah satunya
adalah Pertamina Energy Tower. Yaseri pernah
mendapatkan scholarship dan representatif
Indonesia untuk workshop konservasi energi dari SIDA-Swedia-Afrika
Selatan. Beliau telah mengikuti berbagai workshop energi dan bangunan
hijau di Indonesia maupun luar negeri. Yaseri menamatkan jenjang S1
dan S2 bidang arsitektur di Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya. Saat ini beliau sedang studi doktoral di Institut Teknologi
Bandung dengan tema disertasi Lingkungan Termal, Rancangan
Kawasan Perkotaan: Geometri & Material Perkotaan Untuk Membentuk
Urban Cool Island. Beliau juga aktif di organisasi GBCI (Green Building
Council Indonesia), IABHI (Ikatan Ahli Bangunan Hijau Indonesia), IAI
(Ikatan Arsitek Indonesia), IPLBI (Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan
Indonesia), MASKEEI (Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi
Indonesia), dan representatif Indonesia untuk ACGSA (Arcasia
Committee Green Sustainable Architecture).
David Widyanto
David Widyanto adalah seorang praktisi dan
akademisi yang bergerak di bidang desain
produk. Lulus dari program studi Desain
Produk di Universitas Pelita Harapan pada
tahun 2006, beliau memulai karir sebagai
drafter CAD di industri desain interior.
Menyusul gelar Magister Teknik Industri dari
Universitas Pelita Harapan pada tahun 2011,
David memperkaya pengalamannya dengan
berbagai peran seperti product developer di pabrik sepatu, dosen tidak
tetap, project manager di industri aviasi, serta konsultan produk desain
dan teknik produksi. Pada tahun 2022, beliau bergabung dengan
Fakultas Perencanaan dan Desain Berkelanjutan, Universitas Agung
Podomoro sebagai akademisi dan terus aktif hingga saat ini.
171
Abang Edwin Syarif Agustin
Abang Edwin SA menyelesaikan pendidikan
S1 di Program Studi Desain Produk Industri,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Universitas Trisakti, dan lulus pada tahun
1994. Setelah menyelesaikan pendidikan S1,
beliau memutuskan untuk melanjutkan studi
ke program S2 pada tahun 2018, mengambil
Program Studi Magister Desain Produk di
Universitas Trisakti. Karir beliau dimulai satu
tahun sebelum lulus dari S1, bekerja sebagai
Desainer Produk di Studio Dedato dengan proyek pertama mendesain
booth telepon untuk Telkom yang digunakan di seluruh Indonesia.
Setelah lulus S1, beliau diterima di Panasonic dan bekerja sebagai
Desainer Produk selama 6 tahun. Pada tahun 2007, beliau memulai
karir internasionalnya dengan bekerja di Yahoo! Southeast Asia yang
bertempat di Singapura selama enam tahun. Dengan latar belakang
pendidikan serta pengalaman di industri yang beragam tersebut, Abang
Edwin memulai karir akademis di Fakultas Perencanaan dan Desain
Berkelanjutan, Universitas Agung Podomoro, dan masih aktif hingga
saat ini.
Aloysius Baskoro Junianto
Aloysius Baskoro Junianto lahir di Jakarta
pada tahun 1971. Beliau lulus dari
Departemen Desain FSRD Institut Teknologi
Bandung pada tahun 1995 dengan konsentrasi
Desain Produk. Mulai berkarir di industri
berbasis teknologi PT Dirgantara Indonesia,
Bandung dari tahun 1996-2003 sebagai
Human Factor Engineer. Beliau juga
memperoleh gelar Master of Industrial Design
dari UNSW Australia pada tahun 2001 dengan topik tesis Semiotika dan
User-Centered Design. Baskoro pernah mengajar pada program studi
Desain Produk UPH tahun 2004-2020. Selain itu, beliau banyak
berkecimpung di industri kerajinan dan pengembangan industri mebel
lokal sejak tahun 2005 hingga saat ini. Beliau adalah dosen tidak tetap
pada program studi D4 Bisnis Kreatif, Sekolah Vokasi Universitas
Indonesia. Saat ini menjabat sebagai dosen dan Ketua Program Studi
Desain Produk di Universitas Agung Podomoro.
172
Elaine Steffanny Tumilar
Elaine S. T. menyelesaikan pendidikan program
sarjana (S1) Bachelor of Fine Art (B.F.A.) in
Interior Design dan Master of Fine Art (M.F.A.) in
Interior Design, di Iowa State University, Ames,
Iowa, U.S.A di tahun 2009. Minat riset beliau
adalah Human Centered Design yang tertuang
dalam keilmuan Pendidikan Desain, Desain
Partisipatif dan Ergonomi. Karir beliau saat ini
aktif di akademis sebagai staf pengajar di
Jakarta, yaitu di Universitas Agung Podomoro,
Fakultas Perencanaan dan Desain Berkelanjutan, Program Studi Desain
Produk. Selama empat belas tahun sebelumnya, beliau berkarir sebagai
staf pengajar di Universitas Pelita Harapan (UPH) di Tangerang, Telkom
University di Bandung, Institut Teknologi Sains Bandung (ITSB) di
Cikarang, dan sebagai dosen tamu di beberapa universitas lainnya.
173
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
ResearchGate has not been able to resolve any references for this publication.