ArticlePDF Available

PERAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENDORONG TRANSISI ENERGI MELALUI SOUTH-SOUTH AND TRIANGULAR COOPERATION The Role of The Indonesian Government in Promoting The Energy Transition Through South-South and Triangular Cooperation

Authors:

Abstract

This article examines the Indonesian government’s role in using the South- South and Triangular Cooperation (SSTC) mechanism to promote clean energy transition and accomplish the Paris Agreement’s Nationally Determined Contribution (NDCs) targets through the Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) Project. The SSTC is a multi-sector cooperation framework among states that includes governmental actors, international organizations, and civil society, with the goal of pursuing sustainable development. This research employs Green theory and SSTC norms through a qualitative descriptive analysis and data gathering methods based on a literature review. The study indicates that the CASE Project, through collaborative initiatives involving grassroots movements, can evantually support the Indonesian government in attaining renewable energy transition and national NDC targets.
©2024 Indonesian Journal of International Relations
Vol. 8, No. 2, pp. 286-312.
DOI: 10.32787/ijir.v8i2.498
ISSN: 2548-4109 electronic
ISSN: 2657-165X printed
PERAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENDORONG TRANSISI
ENERGI MELALUI SOUTH-SOUTH AND TRIANGULAR
COOPERATION
The Role of The Indonesian Government in Promoting The Energy Transition Through South-South
and Triangular Cooperation
Tunjung Wijanarka
Ni Nyoman Clara Listya Dewi
Hubungan Internasional
Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia
Hubungan Internasional
Universitas Udayana, Indonesia
tunjungwijanarka@gmail.com
claralistya@unud.ac.id
*Correspondent author: tunjungwijanarka@gmail.com
INFO ARTIKEL
Article History
Received
17 December 2023
Revised
24 July 2024
Accepted
27 July 2024
____________________
Keywords:
CASE project; energy
transition; Indonesia;
south-south and triangular
cooperation.
____________________
Kata kunci:
proyek CASE; transisi
energi; Indonesia; kerja
sama selatan-selatan dan
triangular.
____________________
Abstract
This article examines the Indonesian government’s role in using the South-
South and Triangular Cooperation (SSTC) mechanism to promote clean
energy transition and accomplish the Paris Agreement’s Nationally
Determined Contribution (NDCs) targets through the Clean, Affordable, and
Secure Energy for Southeast Asia (CASE) Project. The SSTC is a multi-sector
cooperation framework among states that includes governmental actors,
international organizations, and civil society, with the goal of pursuing
sustainable development. This research employs Green theory and SSTC
norms through a qualitative descriptive analysis and data gathering methods
based on a literature review. The study indicates that the CASE Project,
through collaborative initiatives involving grassroots movements, can
evantually support the Indonesian government in attaining renewable energy
transition and national NDC targets.
Abstrak
Artikel ini mengkaji bagaimana peran pemerintah Indonesia dalam
menggunakan skema South-South and Triangular Cooperation (SSTC) untuk
mendorong transisi energi bersih dan target capaian Nationally Determined
Contribution (NDC) Indonesia berdasarkan Paris Agreement melalui skema
Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) Project.
SSTC merupakan sebuah skema kerja sama multi sektor antar negara yang
melibatkan aktor negara, organisasi internasional, dan masyarakat sipil dengan
tujuan untuk mengejar pembangunan secara berkelanjutan. Melalui penelitian
kualitatif jenis deskriptif analisis, serta menggunakan teknik pengumpulan
data secara studi pustaka, penelitian ini akan menggunakan konsep teori hijau
dan konsep SSTC. Penelitian ini menyimpulkan bahwa CASE Project pada
akhirnya dapat membantu Pemerintah Indonesia dalam mendorong transisi
energi bersih dan target capaian NDC nasional melalui gerakan kolaboratif
dengan melibatkan gerakan akar rumput.
Indonesian Journal of International Relations
287
PENDAHULUAN
Masifnya fenomena perubahan iklim
telah membuat kondisi Bumi menjadi
semakin rentan dari adanya ancaman yang
berisiko bagi manusia dan makhluk hidup
lainnya, seperti misalnya bencana alam
hingga penularan wabah penyakit secara
global. Namun sayangnya, berbagai
persoalan tersebut masih belum tuntas
tertangani dan masih menjadi permasalahan
bersama bagi generasi saat ini yang pada
akhirnya akan menjadi limpahan
permasalahan bagi generasi mendatang.
Krisis iklim telah menjadi salah satu isu
kontemporer yang paling membutuhkan
perhatian dari semua pihak. Sejak akhir abad
19 dari dimulainya Revolusi Industri, suhu
rata-rata permukaan Bumi telah naik sekitar
1 derajat Celsius.
Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC), memprediksikan bahwa
dengan emisi yang manusia keluarkan
sekarang akan membuat Bumi lebih panas
1.5 derajat Celsius di tahun 2100 nanti
(Cannon, 2022). Kondisi ini jelas akan sangat
berbahaya, mengingat jika isu pemanasan
global atau global warming tidak ditangani
melalui komitmen penuh dan serius, maka
akan berdampak pada berbagai permasalahan
alam lanjutan yang sulit untuk dikontrol oleh
aktor negara sekalipun. Beberapa
permasalahan yang timbul akibat
permasalahan iklim misalnya seperti
terganggunya sirkulasi laut, pola cuaca
ekstrem, kenaikan permukaan air laut, krisis
kesehatan, hingga krisis pangan yang
semuanya bermuara bagi kerugian seluruh
umat manusia (Amnesty International, 2023).
Perubahan iklim yang terjadi ketika
suhu rata-rata bumi meningkat dalam jangka
waktu yang lama, pada dasarnya disebabkan
oleh meningkatnya konsentrasi dan
akumulasi gas rumah kaca seperti CO2, CH4,
N2O yang terjebak pada lapisan Stratosfer
(Krisis Iklim, 2023). Gas rumah kaca yang
dihasilkan oleh kegiatan manusia yang
melepaskan emisi karbon ke udara, baik
seperti pembakaran bahan bakar fosil,
deforestasi, hingga produksi industri tersebut
yang pada akhirnya menghasilkan krisis
iklim yang sedang manusia hadapi (Mollins,
2021). Situasi ini yang pada akhirnya
mendorong aktor negara dan non-negara
untuk secara sadar berkontribusi terhadap
penanggulangan krisis iklim yang telah
terjadi melalui skema kerja sama multilateral
sebagai sebuah bentuk komitmen bersama
dan menyeluruh bagi permasalahan iklim
(WALHI, 2023).
Indonesia secara positif di bawah
pemerintahan Presiden Joko Widodo
berkomitmen penuh untuk berkontribusi
Peran Pemerintah Indonesia dalam Mendorong Transisi Energi
Melalui South-South and Triangular Cooperation
Tunjung Wijanarka & Ni Nyoman Clara Listya Dewi
288
pada penurunan emisi gas rumah kaca
nasional atau Nationally Determined
Contribution (NDC) yang sejalan dengan
diratifikasinya Paris Agreement melalui UU
No 16 Tahun 2016 (Menlhk RI, 2022). Target
Dokumen NDC Indonesia menetapkan target
penurunan gas rumah kaca di Indonesia
sebesar 29 persen tanpa syarat, dan 41 persen
bersyarat pada tahun 2030 (Bappenas, 2022).
Menyadari bahwa konsumsi kebutuhan
energi di Indonesia masih didominasi oleh
sumber daya non-terbarukan yang mencapai
lebih dari 50 persen (ESDM, 2021),
Indonesia secara sadar berusaha mengurangi
ketergantungan tersebut melalui kebijakan
transisi energi bersih dan terbarukan. Fakta
ini pada dasarnya sejalan dengan situasi
bahwa Indonesia masih menjadi salah satu
negara penyumbang emisi karbon tertinggi di
dunia. Komposisi emisi karbon banyak
dihasilkan dari pembakaran energi non-
terbarukan, seperti batu bara (Mutia, 2022).
Menarik untuk melihat lebih jauh
bagaimana negara mengambil peran dalam
mewujudkan komitmen nasionalnya dalam
mengatasi permasalahan iklim. Beberapa
kajian sebelumnya telah hadir untuk
membahas bagaimana Pemerintah Indonesia
berperan dalam mendukung komitmen
internasional dalam mengatasi permasalahan
iklim melalui target capaian NDC dalam
skema Paris Agreement. Dalam kajian yang
diberikan oleh Panggabean (2021) misalnya,
banyak memberikan argumentasi bahwa
Paris Agreement belum sepenuhnya mampu
mencapai target capaian NDC secara mandiri
tanpa bantuan dari negara atau aktor lain.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga masih
banyak berfokus pada sektor-sektor non-
krusial seperti restorasi lahan gambut yang
tidak sepenuhnya memberikan efektivitas
dukungan terhadap transisi energi bersih dan
terbarukan yang banyak didominasi oleh
tingginya produksi gas rumah kaca melalui
sektor energi (Panggabean, 2021).
Dalam tulisan berikutnya yang berasal
dari Nofansya (2023) mencoba
menitikberatkan fokus bahasan pada
bagaimana implementasi Paris Agreement
dalam bentuk kebijakan luar negeri. Tulisan
tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa
ekonomi hijau menjadi alternatif pilihan yang
patut dipilih oleh pemerintah Indonesia
dalam mengusahakan komitmennya sesuai
Paris Agreement (Nofansya et al., 2023).
Sejalan dengan kajian Nofansya, kajian dari
Ayuningsih (2023) berargumen bahwa target
capaian NDC Indonesia akan efektif tercapai
jika pemerintah Indonesia mampu berfokus
pada sektor ekonomi ramah lingkungan
Indonesian Journal of International Relations
289
sebagai titik tumpu utama dalam mendukung
target capaian NDC (Ayuningsih et al.,
2023). Tulisan Poerwantika (2022) mengenai
diplomasi lingkungan dan kajian Yuliartini
dan Suwatno (2022), adaptasi Indonesia
dalam Paris Agreement misalnya juga
banyak memberikan argumentasi tentang
bagaimana peran pemerintah Indonesia
dalam memanfaatkan skema kerja sama
internasional dalam mendukung kondisi
nasional (Poerwantika et al., 2022), serta
dalam membantu mengatasi krisis iklim
melalui transisi energi bersih (Yuliartini &
Suwatno, 2022).
Dari beberapa kajian-kajian
sebelumnya, banyak kajian berfokus pada
bagaimana upaya nasional dan internasional
saling bertemu untuk mendukung komitmen
Indonesia dalam mengatasi krisis iklim.
Model-model anjuran mengenai kerja sama
negara-sentris yang berfokus pada ekonomi
hijau menjadi beberapa bentuk utama dari
kajian-kajian sebelumnya yang berusaha
membahas tentang bagaimana peran
Indonesia dalam mendukung transisi energi
bersih dan terbarukan. Dalam beberapa
kajian tersebut, bentuk kerja sama tradisional
bilateral dan multilateral yang menjadi
beberapa skema utama tentang bagaimana
Indonesia mampu mengambil perannya
dalam mendukung komitmen internasional
permasalahan iklim (Wardhana &
Marifatullah, 2020). Selain itu, dalam kajian-
kajian yang telah dilakukan sebelumnya
belum sepenuhnya memberikan wujud nyata
dari bagaimana komitmen ini dapat
diwujudkan melalui program kerja
pemerintah Indonesia yang efektif.
Dengan demikian, sebagai bentuk
untuk menghadirkan kajian yang lebih
relevan dan efektif, penelitian ini berusaha
menghadirkan fokus kajian yang berbeda.
Tulisan ini tidak lagi berfokus pada model
kerja sama tradisional bilateral, melainkan
akan menggunakan sudut pandang analisis
kerja sama modern yang lebih inovatif
melalui skema South-South and Triangular
Cooperation (SSTC) atau Kerja sama
Selatan-Selatan dan Triangular (KSST).
Selain itu, berbeda dari penelitian-penelitian
sebelumnya yang banyak berfokus pada
kajian negara-sentris, tulisan ini berusaha
berfokus pada komitmen internasional
dengan keterlibatan multi aktor yang tidak
hanya terbatas pada negara saja. Selain itu,
sejalan dengan konsep green theory atau teori
hijau mengenai efektivitas akar rumput,
kajian ini akan berfokus pada bagaimana
peran pemerintah Indonesia dalam
mendukung transisi energi bersih melalui
kerangka SSTC yang diwujudkan dalam
CASE Project.
Peran Pemerintah Indonesia dalam Mendorong Transisi Energi
Melalui South-South and Triangular Cooperation
Tunjung Wijanarka & Ni Nyoman Clara Listya Dewi
290
Dalam mendukung komitmen transisi
energi bersih dan target capaian NDC
nasional, Indonesia melalui pemerintahan
Joko Widodo memanfaatkan skema SSTC
dalam mendorong percepatan transisi energi
bersih dan terbarukan di Indonesia (UNDP,
2020). SSTC sendiri merupakan skema kerja
sama inovatif yang melibatkan tidak hanya
negara, namun juga organisasi internasional,
masyarakat sipil, swasta, hingga filantropis
(OECD, 2022). Skema kerja sama ini
berbeda dengan bentuk kerja sama aktor
negara dalam konsepsi tradisional. Sebab,
SSTC melibatkan banyak aktor baik negara
maupun non-negara, seperti negara maju
sebagai pendonor, negara berkembang
sebagai fasilitator dan penerima, serta
organisasi internasional maupun lembaga
wadah pemikir (think tank) sebagai fasilitator
(Kemenlu, 2015).
Dalam mendukung transisi energi
bersih dan terbarukan, SSTC yang
melibatkan GIZ (Gessellschaft fur
Internationale Zusammenarbeit) Indonesia
(GIZ Indonesia, 2023), Institute for Essential
Service Reform (IESR), dan Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/
Bappenas merumuskan sebuah kerja sama
yang digambarkan melalui Clean, Affordable
and Secure Energy for South East Asia
(CASE-SEA) Project. CASE Project
merupakan program regional yang
diselenggarakan dan didanai oleh
Bundesministerium fur Umwelt, Naturschutz
und Reaktorsicherheit (BMU) atau German
Federal Ministry for the Environment,
Nature Conservation, and Nuclear Safety.
Program ini bertujuan untuk mendorong
transisi energi, khususnya pada sektor
ketenagalistrikan di wilayah Asia Tenggara
pada umumnya, termasuk Indonesia sebagai
salah satu negara yang menjadi target kerja
sama melalui skema SSTC-CASE Project
(IESR, 2023). Sehingga dalam kajian ini,
penulis berusaha membahas bagaimana
Indonesia memanfaatkan skema SSTC yang
diimplementasikan melalui CASE Project
sebagai pendorong transisi energi bersih dan
terbarukan di Indonesia sekaligus dalam
membantu mencapai target NDC nasional
berdasarkan Paris Agreement.
KERANGKA ANALISIS
Teori Hijau (Green Theory)
Teori hijau atau green theory masuk ke
dalam kerangka besar Critical Theory
bersama dengan pandangan
environmentalisme (Dugis, 2016). Teori
hijau dan environmentalisme meskipun
sama-sama memberikan perhatian terhadap
Indonesian Journal of International Relations
291
permasalahan lingkungan, namun keduanya
sedikit memiliki perbedaan dalam melihat
politik dan manusia sebagai aktor yang
paling berperan di dalamnya (Dunne et al.,
2013). Environmentalisme memandang
bahwa struktur politik, sosial, dan ekonomi
yang ada saat ini mampu mengatasi
permasalahan-permasalahan lingkungan.
Environmentalisme masih memandang
bahwa manusia adalah pusat dari segala
aktivitas sosial, ekonomi, dan politik,
sehingga peran sentral tentang penyelesaian
permasalahan iklim hanya bisa dilakukan
oleh manusia melalui kebijakan-kebijakan
politik bersama. Dapat dikatakan bahwa
pandangan environmentalisme masih sangat
bersifat antroposentrisme dengan
mempertimbangkan manusia sebagai pusat
dari tindakan dan perilaku aktor-aktor
negara. Sehingga, banyak kebijakan
environmentalisme yang bersifat negara-
sentris dan mengandalkan kebijakan dari atas
ke bawah (top-down). Kebijakan dari atas ke
bawah ini yang kemudian banyak
digambarkan environmentalisme melalui
komitmen-komitmen internasional mengenai
lingkungan seperti United Nations
Framework on Climate Change Conference
(UNFCCC) yang dapat dengan efektif
mengatasi permasalahan lingkungan (Lestari,
2016).
Sedikit berbeda dengan
environmentalisme yang mendasarkan
pandangannya pada sudut pandang
antroposentrisme, teori hijau memandang
bahwa struktur politik, sosial, dan ekonomi
yang ada saat ini menjadi penyebab utama
timbulnya permasalahan lingkungan
(Burchill, 2005). Dengan basis pandangan
yang bertumpu pada ekosentrisme, teori hijau
memandang bahwa meskipun komitmen
politik internasional memang diwujudkan
sebagai bentuk komitmen internasional
dalam mengatasi permasalahan lingkungan,
akan tetapi tujuan tersebut akan sangat sulit
tercapai jika tidak mempertimbangkan
lingkungan sebagai pertimbangan pertama
(Connelly & Smith, 2003). Jika pandangan
masih menitikberatkan pada manusia sebagai
pertimbangan utama, maka teori hijau
memandang kebijakan politik apapun pada
akhirnya tidak akan sepenuhnya efektif
(Lestari, 2016).
Perlu digarisbawahi bahwa teori hijau
tidak menolak secara mentah-mentah
komitmen politik internasional yang
dituangkan oleh aktor-aktor negara (Denis,
2021). Namun, teori hijau memiliki
pandangan bahwa kebijakan top-down yang
banyak dipakai saat ini tidak benar-benar
efektif karena tidak melibatkan apa yang
disebut teori hijau dengan moralitas hijau,
Peran Pemerintah Indonesia dalam Mendorong Transisi Energi
Melalui South-South and Triangular Cooperation
Tunjung Wijanarka & Ni Nyoman Clara Listya Dewi
292
atau sebuah konsep pembatasan tindakan
eksploitasi manusia terhadap alam. Selain itu
teori hijau juga mengusulkan adanya
keterlibatan gerakan akar rumput sebagai
perwujudan dari gerakan akar rumput atau
gerakan dari bawah ke atas yang dianggap
lebih efektif. Teori hijau menganggap bahwa
dengan memanfaatkan gerakan-gerakan
terkecil akan mampu memberikan dukungan
yang lebih efektif alih-alih hanya
memanfaatkan skema top-down yang
sifatnya negara-sentris (Goodin, 2013).
Oleh karena itu, teori hijau dalam
kajian yang diangkat penulis mengenai peran
pemerintah Indonesia dalam mendukung
transisi energi bersih melalui CASE Project
akan digunakan sebagai sebuah kerangka
analisis dalam memandang efektifitas CASE
Project dalam mendukung transisi energi dan
target capaian NDC Indonesia. Meskipun
CASE Project merupakan produk dari
komtimen politik internasional, namun
CASE Project merupakan sebuah kerja sama
SSTC dengan memanfaatkan efektivitas
gerakan akar rumput dalam
implementasinya. Gerakan ini pada akhirnya
akan disesuaikan dengan kebutuhan masing-
masing daerah kerja tanpa menyamaratakan
bentuk program kerjanya. Sehingga, hal ini
akan menimbulkan efektivitas yang lebih
baik dan inklusif sebagaimana diilhami oleh
teori hijau dengan slogan utamanya Think
Globally, Act Locally.
South-South and Triangular Cooperation
(SSTC)
Dalam sejarah perkembangannya,
SSTC berawal dari South-South Cooperation
(SSC) yang tidak dapat terlepas dari upaya
negara-negara berkembang untuk saling
meningkatkan kemandirian di bidang
pembangunan. Respons negara-negara
berkembang terhadap bantuan teknis yang
diberikan oleh negara-negara Utara pada
umumnya tidak cukup memuaskan. Sebab
pada umumnya bantuan yang diberikan oleh
negara-negara Utara memiliki persyaratan
(conditionally) dan muatan politik.
Akibatnya, kebutuhan lokal dan nasional
negara Selatan tidak sepenuhnya terpenuhi
dengan baik.
Dalam sejarah kelembagaan
internasional, SSTC berkembang seiring
dengan terbentuknya United Nations
Conference on Trade and Development
(UNCTAD) oleh G-77 pada 1964. UNCTAD
pada akhirnya menjadi sebuah institusi
formal pendorong kerja sama pembangunan
dengan fokus pada kerja sama teknik dan
kerja sama ekonomi. Kerja sama ini pada
Indonesian Journal of International Relations
293
akhirnya terus berlanjut dan berada di bawah
kerangka United Nations Office for South-
South Cooperation (UNOSSC) yang
merupakan lanjutan dari Buenos Aires Plan
of Action (BAPA) pada 1978 (Kemenlu,
2015).
Mekanisme SSTC adalah manifestasi
solidaritas di antara negara-negara dan
masyarakat Selatan yang berkontribusi pada
kesejahteraan nasional, kemandirian nasional
dan kolektif dalam rangka pencapaian
kesepakatan internasional. SSTC tidak dilihat
sebagai bentuk kerja sama tradisional kaku,
melainkan dilihat sebagai pembangunan
multi sektor yang melibatkan banyak pihak,
tidak hanya negara, namun juga organisasi
internasional, hingga masyarakat. Secara
sederhana, SSTC dapat didefinisikan sebagai
kerja sama Selatan-Selatan yang didukung
oleh pihak ketiga (traingular) yaitu mitra
Utara. UNOSSC sendiri memberikan
gambaran bahwa mekanisme kerja SSTC
merupakan bentuk dukungan yang diberikan
oleh negara maju, organisasi internasional
dengan melibatkan masyarakat sipil sebagai
upaya meningkatkan kapasitas nasional dan
mendukung inklusifitas (ILO, 2015).
Dapat dipahami bahwa dalam
mekanisme SSTC setidaknya terdapat dua
prinsip utama yang dipatuhi dan
dilembagakan dalam mekanisme tersebut.
Prinsip normatif mencakup beberapa aspek,
seperti: (1) menghormati kedaulatan dan
kepemilikan nasional; (2) kemitraan di antara
yang sederajat; (3) tanpa syarat; (4) tidak
mencampuri urusan dalam negeri; dan (5)
saling menguntungkan. Selain prinsip
normatif, terdapat prinsip operasional yang
mencakup beberapa poin, yaitu: (1)
akuntabilitas dan transparansi dalam kerja
sama; (2) efektivitas pembangunan; (3)
koordinasi bersama; dan (4) pendekatan
multi sektor (ILO, 2015). Sehingga, dapat
disebutkan bahwa mekanisme SSTC
merupakan mekanisme yang tidak
dipaksakan dan tidak ada campur tangan
terhadap urusan internal negara penerima.
Malahan, SSTC bergantung pada
penggunaan keunggulan komparatif karena
didorong oleh permintaan. Serta, SSTC
menawarkan solusi yang disesuaikan dengan
kebutuhan negara tertentu. Dengan kata lain,
SSTC tidak seperti bentuk donor tradisional
Utara-Selatan yang pada umumnya bersyarat
(Perwita et al., 2023).
Melalui kajian peran pemerintah
Indonesia dalam mendukung transisi energi
dan target capaian NDC, penulis akan
berfokus pada bagaimana pemerintah
Indonesia memanfaatkan skema kerja sama
SSTC yang diwujudkan dalam bentuk
program kerja CASE Project. Dalam
Peran Pemerintah Indonesia dalam Mendorong Transisi Energi
Melalui South-South and Triangular Cooperation
Tunjung Wijanarka & Ni Nyoman Clara Listya Dewi
294
mendukung transisi energi bersih dan
terbarukan, SSTC yang melibatkan GIZ
Indonesia (GIZ Indonesia, 2023), Institute for
Essential Service Reform (IESR), dan
Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional (PPN)/ Bappenas merumuskan
sebuah kerja sama yang digambarkan melalui
Clean, Affordable and Secure Energy for
South East Asia (CASE-SEA) Project. CASE
Project merupakan program regional yang
diselenggarakan dan didanai oleh German
Federal Ministry for the Environment,
Nature Conservation, and Nuclear Safety
(BMU). Program ini bertujuan untuk
mendorong transisi energi, khususnya pada
sektor ketenagalistrikan di wilayah Asia
Tenggara pada umumnya, termasuk
Indonesia sebagai salah satu negara yang
menjadi target kerja sama melalui skema
SSTC-CASE Project (IESR, 2023).
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis berfokus
pada kajian mengenai bagaimana SSTC
menjadi sebuah skema kerja sama inovatif
yang tidak hanya melibatkan aktor negara,
namun juga aktor non-negara dalam
membantu transisi energi bersih dan capaian
NDC Indonesia. Metode penelitian kualitatif
dengan jenis analisis deskriptif digunakan.
Pengumpulan data dengan menggunakan
teknik studi pustaka sebagai cara utama
dalam mengumpulkan data primer maupun
sekunder. Data primer berupa sumber-
sumber resmi pertama yang diperoleh dari
Kementerian PPN/Bappenas, IESR, GIZ
Indonesia, dan BMU. Sedangkan, data
sekunder didapatkan melalui sumber-sumber
kedua seperti buku, jurnal, hingga portal
berita online yang kredibel. Data tersebut
berfungsi sebagai landasan utama dalam
penulisan hasil penelitian tentang bagaimana
skema SSTC dapat mendorong transisi energi
bersih di Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Krisis Iklim: Sebuah Realitas Pahit dari
Hasil Konsumsi Energi di Indonesia
Krisis iklim yang diakibatkan oleh
pemanasan global telah menjadi
permasalahan krusial serta agenda global
yang perlu mendapatkan perhatian lebih (Al
Huda, 2023). Kerja sama internasional,
terutama melalui peran negara menjadi salah
satu penentu keberhasilan manusia dalam
mengatasi permasalahan iklim. Salah satu
sumbangan utama krisis iklim adalah melalui
produksi gas rumah kaca seperti
Karbondioksida (CO2), Metana (CH4),
Belerang Oksida (SO2), Nitrogen Monoksida
Indonesian Journal of International Relations
295
(NO), hingga Kloroflourkarbon (CFC) yang
terakumulasi dan terjebak dalam lapisan
Stratosfer (Krisis Iklim, 2023). Gas rumah
kaca yang dihasilkan oleh kegiatan manusia
yang melepaskan emisi karbon ke udara,
seperti pembakaran bahan bakar fosil,
deforestasi, hingga produksi industrilah yang
pada akhirnya menghasilkan krisis iklim
yang sedang kita hadapi saat ini (Mollins,
2021).
Dapat dikatakan bahwa aktivitas
manusia masih sangat didominasi oleh
berbagai kegiatan yang mengarah pada
tingginya produksi emisi karbon global.
Ketidakseimbangan cara pandang manusia
dalam pembuatan kebijakan, telah membuat
banyak aktivitas manusia masih bermuara
pada pemenuhan aspek ekonomi saja, tanpa
mempertimbangkan kebijakan berbasis
lingkungan. Teori hijau misalnya,
berargumen bahwa alih-alih manusia dapat
berfokus pada kebijakan yang sifatnya
ekosentrisme, dengan mempertimbangkan
alam sebagai pusat kebijakan. Manusia masih
tetap berfokus pada kebijakan yang berfokus
pada cara pandang antroposentrisme dengan
manusia adalah pusat dari segala kebijakan,
dan bisa memanfaatkan sumber daya alam
secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan
manusia (Dunne et al., 2013).
Berbagai fakta telah menjelaskan
bahwa berbagai kegiatan yang dilakukan oleh
manusia belum sepenuhnya menempatkan
alam pada posisi pertama. Misalnya
kebijakan peralihan penggunaan mobil
konvensional yang tinggi emisi menjadi
mobil listrik tanpa emisi, tidak benar-benar
sepenuhnya ramah lingkungan (Yudiartono
et al., 2022). Sebab, konsumsi energi listrik
di seluruh dunia masih sepenuhnya
bergantung pada pasokan energi non-
terbarukan (Jpnn, 2022). Greenpeace
menyebut, Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) sebagai kontributor terburuk utama
yang bertanggungjawab atas hampir setengah
(46%) dari emisi CO2 dunia (Syahni, 2020).
Di Indonesia sendiri, tercatat sejak 2006-
2021 setidaknya terdapat 171 PLTU batu
bara yang beroperasi dengan total kapasitas
lebih dari 32.000 Megawatt (MW).
Pembangkit-pembangkit ini yang kemudian
ikut menyumbang akumulasi CO2 yang
dihasilkan oleh seluruh PLTU di dunia yang
mencapai 258.394 juta ton dengan rata-rata
emisi tahunan sekitar 6.463 juta ton (Global
Energy Monitor, 2023).
Realitas ini mengindikasikan bahwa
ketergantungan manusia akan bahan bakar
fosil untuk memenuhi kebutuhan energi
masih sangat tinggi. Melalui data pada Tabel
1, dapat dilihat bahwa lebih dari 85 persen
Peran Pemerintah Indonesia dalam Mendorong Transisi Energi
Melalui South-South and Triangular Cooperation
Tunjung Wijanarka & Ni Nyoman Clara Listya Dewi
296
pasokan energi listrik di Indonesia masih
didominasi oleh pembangkit listrik tinggi
emisi karbon (non-EBT), seperti PLTU,
PLTG, PLTGU, PLTD, dan PLTMG.
Sementara pembangkit listrik energi bersih
dan terbarukan (EBT) seperti PLTA, PLTP,
PLTMH, PLTS, dan PLTB masih berada
pada pada persentase di bawah 15 persen.
Pasokan listrik di Indonesia masih sangat
didominasi oleh PLTU yang mencapai
hampir 50 persen dari keseluruhan produksi
listrik non-EBT. Sedangkan, pasokan listrik
EBT masih didominasi oleh PLTA sebagai
pemasok lebih dari 50 persen pasokan listrik
EBT (BPS, 2022). Sehingga dapat dikatakan
bahwa salah satu kebijakan transisi energi
bersih melalui peralihan penggunaan mobil
konvensional menjadi mobil listrik di
Indonesia tidak benar-benar ramah
lingkungan. Sebab, produksi energi listrik di
Indonesia terbukti masih didominasi oleh
produksi listrik non-terbarukan.
Tabel 1. Kapasitas Terpasang
Perusahaan Listrik Negara (PLN)
menurut Jenis Pembangkit Listrik
(MW) Tahun 2019-2021
Jenis
Pembangkit
Listrik
2019
2020
Non-EBT
Tenaga Uap
(PLTU)
33.095
33.920
Tenaga Gas
(PLTG)
4.998
5.174
Tenaga Gas Uap
(PLTGU)
12.056
11.993
Tenaga Diesel
(PLTD)
5.009
5.388
Tenaga Mesin
Gas (PLTMG)
1.920
1.749
Total Non-EBT
57.078
58.224
EBT
Tenaga Air
(PLTA)
5.447
5.513
Tenaga Panas
Bumi (PLTP)
1.986
1.979
Tenaga Mikro
Hidro (PLTMH)
170
204
Tenaga Surya
(PLTS)
18
18
Tenaga Lainnya
(PLTB)
143
296
Total EBT
7.764
8.010
Total Kapasitas
Terpasang
64.843
65.236
Sumber: (BPS, 2022), sumber diolah oleh penulis.
Dari fakta dan data dari Tabel 1, dapat
dilihat bahwa bahan bakar fosil adalah
sumber energi yang masih mendominasi
dalam pemanfaatan energi dan merupakan
energi yang tidak ramah lingkungan.
Meskipun semua sumber energi mempunyai
dampak, akan tetapi, ukurannya sangat
berbeda. Seperti yang dapat dilihat melalui
data Tabel 1, bahan bakar fosil adalah sumber
energi yang terburuk dan perlu untuk
dikurangi secara bertahap. Semua pihak, baik
aktor negara maupun aktor non-negara
memerlukan sebuah proses untuk melakukan
Indonesian Journal of International Relations
297
transisi secara bertahap dan pasti untuk
melepaskan diri dari ketergantungan akan
energi fosil (Ritchie, 2020). Menyadari
bahwa konsumsi kebutuhan energi di
Indonesia masih didominasi oleh sumber
daya non-terbarukan yang mencapai lebih
dari setengah pasokan energi nasional
(ESDM, 2021), Indonesia secara sadar
berusaha mengurangi ketergantungan
tersebut melalui kebijakan transisi energi
bersih dan terbarukan. Mengingat bahwa
pandangan sebagian besar Ilmuwan Iklim
mengatakan bahwa perubahan iklim yang
sedang berlangsung, serta gas rumah kaca
yang sudah dilepaskan akan terus
berkontribusi lebih lanjut terhadap
pemanasan global selama dekade berikutnya,
diperlukan sebuah usaha nyata dalam
mengatasi krisis iklim (Nettleton &
Kutwaroo, 2010).
Komitmen Indonesia dalam Kerangka
UNFCCC
Dalam komitmen global, kerangka
kerja sama mengenai penanganan
permasalahan iklim sudah ada sejak tahun
1988 dengan didirikannya Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC). Lalu pada
tahun 1992, Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) mengadakan United Nation
Conference on Environmental Development
(UNCED) untuk lebih jauh mengevaluasi
dampak dari perubahan iklim. Pada Earth
Summit tahun 1992 di Rio de Janeiro, melalui
UNCED dihasilkanlah sebuah kerangka kerja
sama United Nations Framework on Climate
Change Conference (UNFCCC), untuk
mengatasi permasalahan iklim. UNFCCC
kemudian baru mulai berlaku pada 1994 yang
kemudian dilanjutkan dengan adanya Kyoto
Protocol (Protokol Kyoto) pada 1997 (Kim et
al., 2020). Protokol Kyoto merupakan sebuah
perjanjian pertama yang mengikatkan
negara-negara industri untuk secara serius
mengurangi gas rumah kaca (Bassetti, 2022).
Dalam penerapan Protokol Kyoto, pada
dasarnya belum sepenuhnya memberikan
efektivitas bagi penanganan krisis iklim. Di
mana beberapa permasalahan seperti belum
terikatnya semua negara ke dalam perjanjian
internasional, kurangnya ikatan hukum dan
sanksi (soft law) yang terimplementasi di
dalam Protokol Kyoto, serta kurangnya
dukungan finansial, menjadi beberapa
permasalahan utama bagi gagalnya skema
internasional Protokol Kyoto (Rosen, 2015).
Kegagalan ini kemudian dilanjutkan dengan
diadakannya Conference of The Parties
(COP) secara tahunan dengan salah satu COP
terpenting yang menjadi titik balik komitmen
sejak Protokol Kyoto adalah Paris
Agreement (COP21) pada tahun 2015.
Peran Pemerintah Indonesia dalam Mendorong Transisi Energi
Melalui South-South and Triangular Cooperation
Tunjung Wijanarka & Ni Nyoman Clara Listya Dewi
298
Paris Agreement menjadi cikal bakal
bagi komitmen internasional untuk secara
serius menetapkan target global dalam
membatasi kenaikan suhu rata-rata global di
bawah 2 derajat Celsius, atau di atas tingkat
pra-industri. Selain itu, upaya ini juga
ditujukan untuk membatasi kenaikan suhu
menjadi di bawah 1,5 derajat Celsius.
Sebagai sebuah komitmen global, kerangka
UNFCCC terus diperbarui melalui beberapa
kerangka perjanjian besar, seperti Paris
Agreement (COP21) (2015) (Pramudianto,
2016), COP26 di Glasgow, Skotlandia
(2021), hingga COP27 di Sharm el-Sheikh,
Mesir (2022), yang secara berkesinambungan
melanjutkan komitmen internasional dalam
mengatasi permasalahan iklim sebagai
sebuah agenda global. Salah satu poin
penting yang menjadi keberlanjutan dari
COP27 di Sharm el-Sheikh adalah mengenai
komitmen penanganan iklim nasional yang
tertuang dalam target NDC masing-masing
negara sejak Paris Agreement. Dalam
COP27 di Sharm el-Sheikh, salah satu
catatan penting yang dipertegas adalah
mengenai upaya bersama yang tidak hanya
melibatkan pemerintah, namun juga swasta,
hingga akar rumput sebagai bagian yang
berkesinambungan dalam pengentasan
permasalahan iklim (Flores, 2022).
Komitmen internasional dalam
mengatasi krisis iklim akibat adanya
peningkatan produksi gas rumah kaca tidak
dapat dicapai tanpa adanya kesadaran serius
dalam sifat perekonomian global dewasa ini.
Ini tidak berarti bahwa salah satu sumber
penyumbang gas rumah kaca terbesar seperti
PLTU harus langsung dihilangkan dalam
waktu yang singkat (CACC, 2021). Dampak
buruk malah akan terjadi ketika PLTU
sebagai salah satu penyumbang utama
konsumsi listrik nasional dihapuskan secara
tiba-tiba. Dampak tersebut pada rentetan
permasalahan ekonomi lanjutan seperti
penutupan industri yang berakhir pada
pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan
yang tentu saja akan berdampak pada
timbulnya permasalahan sosial lainnya.
Maka dari itu, kerangka internasional
dalam mengatasi permasalahan iklim tetap
berusaha memperhatikan kondisi nyata dan
tindakan realistis yang dapat dilakukan oleh
negara-negara dunia. Mengingat bahwa
terdapat permasalahan ketimpangan antara
negara maju (industri) dan negara
berkembang terkait dengan perubahan iklim
yang selalu menjadi perdebatan dalam setiap
konvensi lingkungan internasional. Negara-
negara berkembang selalu berupaya untuk
membuat negara-negara maju mengambil
Indonesian Journal of International Relations
299
tanggung jawab dan kewajiban lebih besar
dalam membangun ekonomi rendah karbon
(David et al., 2019). Meskipun tidak
mengurangi komitmen bersama dalam
mengatasi permasalahan iklim sebagai salah
satu agenda global. Skema ini yang kemudian
dipertegas sejak COP21 di Paris, bahwa
melalui konsep NDC, masing-masing negara
memiliki tanggung jawab yang sama, namun
dengan kewajiban yang berbeda.
Agar sejalan dengan target NDC
masing-masing negara, sejak COP21 Paris
Agreement, prinsip Common but
Differentiated Responsibilities and
Respective Capabilities (CBDR-RC)
semakin dipertegas mengenai komitmen
internasional yang diselaraskan dengan
kemampuan masing-masing negara dalam
mengurangi laju emisi gas rumah kaca
(Bilqis & Afriansyah, 2020). Prinsip ini
menjadi penting dalam membangun
kerangka internasional yang selaras namun
berbeda antara negara maju dan berkembang
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
(Romdhane, 2021). Prinsip ini didasarkan
pada keberagaman dan perbedaan
kemampuan negara-negara dalam mengatasi
krisis iklim. Prinsip ini menjadi landasan
penting untuk kesepakatan-kesepakatan
tentang perubahan iklim, termasuk Paris
Agreement (2015) (IRID, 2021).
Indonesia di bawah pemerintahan Joko
Widodo menyadari bahwa transisi energi
bersih dan terbarukan menjadi salah satu
pekerjaan rumah utama yang perlu
mendapatkan perhatian lebih. Mengingat
bahwa konsumsi energi di Indonesia masih
sangat didominasi oleh bahan bakar non-EBT
sebagai pemasok utama kebutuhan energi
nasional yang nilainya mencapai 85 persen
(BPS, 2022). Nilai ini tentu saja dihasilkan
bukan karena Indonesia tidak memperhatikan
komitmen nasional melalui kerangka NDC
Paris Agreement yang tertuang dalam UU No
16 Tahun 2016 Pengesahan Paris Agreement
(Paris Agreement, 2016). Akan tetapi,
pelaksanaan target NDC sekali lagi
diselaraskan dengan prinsip CBDR-RC
masing-masing negara. Prinsip ini membantu
merumuskan kebijakan nasional yang lebih
realistis bagi masing-masing negara,
termasuk Indonesia dalam melaksanakan
komitmen penanganan krisis iklim global.
Komitmen Indonesia dalam Transisi
Energi melalui Skema SSTC
Menyadari bahwa penanganan iklim
membutuhkan kerja sama bersama. Indonesia
kemudian memanfaatkan skema SSTC
sebagai salah satu pendorong komitmen
NDC Indonesia yang selaras dalam kerangka
UNFCCC dalam mendorong proses transisi
Peran Pemerintah Indonesia dalam Mendorong Transisi Energi
Melalui South-South and Triangular Cooperation
Tunjung Wijanarka & Ni Nyoman Clara Listya Dewi
300
energi. SSTC menjadi salah satu pilar
komitmen Indonesia dalam memanfaatkan
skema kerja sama multisektor yang inovatif
dan kuat dalam transisi energi bersih dan
terbarukan di Indonesia dan kawasan.
Sebagaimana dipahami dalam prinsip
CBDR-RC, negara-negara maju diharapkan
menjadi pemimpin global dalam upaya
mengurangi emisi gas rumah kaca dan
memberikan dukungan finansial dan
teknologi kepada negara berkembang untuk
mengatasi permasalahan iklim (Romdhane,
2021).
Setidaknya SSTC merupakan sebuah
skema menarik dalam mendorong
terciptanya transisi energi. Skema ini secara
tegas tidak membatasi aktor yang terlibat di
dalamnya. Malahan, keterlibatan multi aktor
lintas politik sangat kentara dan menjadi
kunci utama di dalamnya. UNOSSC
setidaknya memberikan gambaran mengenai
SSTC sebagai sebuah dukungan negara maju,
organisasi internasional, dan masyarakat sipil
kepada negara-negara berkembang, atas
permintaan mereka dalam meningkatkan
keahlian dan kapasitas nasional mereka
melalui mekanisme SSTC. Mekanisme SSTC
biasanya juga termasuk dukungan langsung,
pembagian biaya, proyek pengembangan
bersama, program pelatihan negara ketiga
dan dukungan untuk Selatan-Selatan, serta
dengan memberikan pengetahuan,
pengalaman dan sumber daya yang
diperlukan untuk membantu negara
berkembang lainnya, sesuai dengan prioritas
dan strategi pembangunan nasional lainnya
(ILO, 2015).
Sebagaimana digambarkan melalui
Tabel 1, dapat dilihat bahwa Indonesia masih
memiliki ketergantungan terhadap pasokan
energi non-EBT sebesar 85 persen dari total
keseluruhan konsumsi energi listrik nasional.
Dari 85 persen konsumsi, PLTU batu bara
masih menjadi produsen hampir 50 persen
pasokan energi non-EBT (BPS, 2022).
Kebutuhan akan energi yang besar ini tentu
saja diakibatkan adanya kebutuhan pasokan
listrik industri dan rumah tangga di Indonesia
yang semakin meningkat setiap tahunnya.
Berdasarkan data Institute for Essential
Services Reform (IESR) pada 2021, subsidi
listrik pemerintah terhadap konsumsi energi
listrik rumah tangga menjadi salah satu
pemicu masih bergantungnya konsumsi
energi yang dihasilkan dari PLTU batu bara
(IESR, 2021c). Mengingat fakta bahwa
produksi energi di Indonesia masih
didominasi oleh bahan bakar fosil, Indonesia
akan tetap menjadi salah satu negara
penyumbang produksi gas rumah kaca jika
Indonesian Journal of International Relations
301
tidak dengan serius melakukan transisi energi
sebagaimana dipahami dalam komitmen
NDC Nasional Indonesia dalam kerangka
UNFCCC.
Meskipun kerangka CBDR-RC dapat
dipahami sebagai sebuah komitmen ‘pribadi’
suatu negara yang memperbolehkan NDC
Nasional Indonesia untuk mengurangi emisi
karbon yang disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing negara. Indonesia di bawah
Presiden Joko Widodo menyadari bahwa
NDC Indonesia akan sulit tercapai tanpa
adanya komitmen bersama. Selain itu,
komitmen pemerintahan Joko Widodo adalah
juga untuk mendorong tatanan dunia yang
lebih adil dan sejajar dalam lingkup target
SDGs. Sehingga, pemerintahan Joko Widodo
berkomitmen untuk bersama-sama
mendorong transisi energi bersih dan
terbarukan, melalui skema SSTC yang
diimplementasikan ke dalam CASE Project.
Indonesia secara positif berusaha
memanfaatkan skema SSTC sebagai
perwujudan kerja sama internasional multi
sektor dalam mendorong transisi energi
bersih dan capaian NDC Indonesia (Fauzi,
2023). Mengingat bahwa pada COP27
komitmen internasional juga menegaskan
bahwa penanganan permasalahan iklim
internasional tidak bisa dilakukan secara
kaku melalui aktor negara. Komitmen
bersama multi sektor sangat dibutuhkan
sebagai sebuah wujud keseriusan semua
pihak dalam mengatasi permasalahan iklim.
Transisi Energi di Indonesia melalui
CASE Project
Pasca Covid-19 (2021) dapat dikatakan
sebagai tahun iklim. Perhatian dunia terpusat
pada upaya mitigasi yang lebih ambisius
untuk melakukan pencegahan akan
terjadinya bencana katastropik akibat
perubahan iklim. Pemerintah Indonesia
dalam hal ini terus berupaya untuk
memutakhirkan dokumen NDC. Dokumen
NDC pertama Indonesia diserahkan kepada
UNFCCC pada tahun 2015. Akan tetapi,
IESR menganggap strategi dan target
penurunan emisi dalam NDC Indonesia yang
terakhir belum sejalan dengan Paris
Agreement. Di sektor energi listrik misalnya,
menurut skenario Low-Carbon Compatible
with Paris Agreement (LCCP), listrik
Indonesia masih dipasok dari energi fosil
dengan dominasi PLTU batubara hingga 38
persen sebagaimana telah digambarkan pada
Tabel 1 (BPS, 2022).
IESR secara sadar mendorong
pemerintah Indonesia untuk mengambil
langkah mitigasi yang lebih serius, salah
satunya agar lebih berani dalam mengambil
komitmen untuk target penurunan emisi yang
Peran Pemerintah Indonesia dalam Mendorong Transisi Energi
Melalui South-South and Triangular Cooperation
Tunjung Wijanarka & Ni Nyoman Clara Listya Dewi
302
lebih besar. Kajian Deep Decarbonization of
Indonesia’s Energy System: A Pathway to
Zero Emissions yang dipublikasikan oleh
lembaga think tank (wadah pemikir)
menemukan bahwa Indonesia bahkan bisa
mencapai nir-emisi pada pasokan energi
listrik pada tahun 2045-2050. IESR mengkaji
bahwa terdapat 443 GW yang menunjukkan
bahwa potensi energi terbarukan di Indonesia
jauh lebih besar dari data yang dimiliki
pemerintah. Misalnya potensi tenaga surya
saja bisa mencapai 3.000 hingga 20.000
GWp (IESR, 2021b).
Dalam mendukung transisi energi
bersih dan terbarukan, SSTC yang
melibatkan GIZ Indonesia (GIZ Indonesia,
2023), Institute for Essential Service Reform
(IESR), dan Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas
merumuskan sebuah kerja sama yang
digambarkan melalui Clean, Affordable and
Secure Energy for South East Asia (CASE-
SEA) Project. CASE Project merupakan
program regional yang diselenggarakan dan
didanai oleh German Federal Ministry for
the Environment, Nature Conservation, and
Nuclear Safety (BMU) yang berakhir pada
Februari 2024. Program ini bertujuan untuk
mendorong transisi energi, khususnya pada
sektor ketenagalistrikan di wilayah Asia
Tenggara pada umumnya, termasuk
Indonesia sebagai salah satu negara yang
menjadi target kerja sama melalui skema
SSTC-CASE Project (IESR, 2023).
Skema SSTC menjadi skema menarik
sebagai salah satu solusi alternatif
keberhasilan transisi energi bersih dan
terbarukan Indonesia serta mendorong
tercapainya target NDC nasional. Memang
benar skema SSTC melalui CASE Project
masih dalam tahap proses yang terus
berlanjut dan belum menunjukkan data
gamblang mengenai berapa penurunan yang
dapat dilakukan. Akan tetapi, dapat dipahami
bahwa skema SSTC-CASE Project
merupakan salah satu bentuk kerja sama
inovatif yang tidak hanya melibatkan aktor
negara sebagai aktor transisi energi dan target
capaian NDC. Namun, juga melibatkan
aktor-aktor non-negara seperti lembaga
wadah pemikir (think-tank) IESR hingga
lapisan masyarakat sebagai gambaran dari
komunitas akar rumput terkecil. Teori hijau
berpendapat bahwa dalam sistem politik
internasional yang masih penuh dengan
kepentingan politik berbasis
antroposentrisme, aktor negara perlu sadar
akan kebijakan yang lebih serius dalam
mencapai keberhasilan transisi energi bersih
Indonesian Journal of International Relations
303
yang berfokus pada ekosentrisme
(Hadiwinata, 2017).
Ekosentrisme sendiri menurut teori
hijau bukan sebuah paham yang menolak
akan adanya pembangunan, namun paham ini
mengendepankan alam sebagai salah satu
pertimbangan utamanya. Mengingat bahwa
umat manusia memiliki generasi mendatang
sebagai komunitas yang tidak boleh
dirugikan atas apa yang sudah generasi
manusia lakukan saat ini. Dalam
mencapainya, diperlukan sebuah komitmen
nyata tidak hanya melalui kebijakan top-
down. Teori hijau juga menegaskan bahwa
perlunya skema atau gerakan yang
melibatkan akar rumput sebagai salah satu
penunjuang yang akan selaras dengan
kebijakan negara sentris. Sehingga,
komitmen internasional seperti COP-
UNFCCC akan memberikan dampak
maksimal ketika skema tersebut dibarengi
dengan bentuk kerja sama yang melibatkan
aktor-aktor non-negara, hingga masyarakat
sebagai komunitas akar rumput sekalipun.
Program CASE Project yang
merupakan hasil kolaborasi antara
pemerintah Indonesia, pemerintah Jerman,
dan IESR memiliki beberapa fokus utama,
yaitu: 1) Transformasi energi melalui
peningkatan pemanfaatan energi terbarukan.
2) Ekonomi hijau sebagai sebuah skema
pemanfaatan ekonomi rendah karbon. 3)
Akses energi berkelanjutan dengan target
net-zero emission. 4) Mobilitas berkelanjutan
dengan pemanfaatan sistem transportasi
rendah karbon. 5) Mendorong transisi energi
di sektor ketenagalistrikan di Indonesia
(IESR, 2021a). Salah satu target strategis
yang berperan penting dalam mencapai
target-target penurunan emisi gas rumah kaca
nasional yaitu sektor energi. Target CASE
Project adalah untuk membantu transisi
energi Indonesia sebesar 20 persen pada
sektor energi bersih dan terbarukan.
Pelaksanaan CASE Project di
Indonesia bertujuan untuk mengubah narasi
arah sektor energi secara substantif,
khususnya sektor ketenagalistrikan di
Indonesia menuju transisi energi ke arah
energi bersih yang berlandaskan pada
kebijakan berbasis bukti untuk pemenuhan
target NDC Paris Agreement. Melalui kerja
sama konsorsium yang dapat digambarkan ke
dalam bentuk skema SSTC, IESR sebagai
lembaga wadah pemikir membantu
memberikan kajian dan pengimplementasian
transisi energi bersih di Indonesia melalui
berbagai kerangka kerja dengan ujung
tombak penurunan ketergantungan energi
karbon (CASE Project, 2023). Dengan
bantuan investasi dari GIZ Jerman, kajian
dari IESR, bantuan implementasi dari
Peran Pemerintah Indonesia dalam Mendorong Transisi Energi
Melalui South-South and Triangular Cooperation
Tunjung Wijanarka & Ni Nyoman Clara Listya Dewi
304
Bappenas, serta kerja sama dari sektor akar
rumput. CASE Project mampu menjadi
solusi alternatif yang dapat mendukung
proses transisi energi bersih dan membantu
target capaian NDC Indonesia berdasarkan
kerangka Paris Agreement.
Dalam Rencana Umum Energi
Nasional, pemerintah mempunyai target 23
persen bauran energi terbarukan pada 2025.
Menurut data dan analisis IESR, untuk
mencapai target tersebut, Indonesia harus
menambahkan kapasitas energi terbarukan
sekitar 2-3 GW setiap tahun hingga tahun
2025. Namun, pada laporan IESR
menunjukkan bahwa dalam tiga tahun
terakhir, rata-rata penambahan kapasitas
energi terbarukan hanya sebesar 250-350
MW. Sementara di sepanjang 2021,
penambahan diperkirakan hanya mencapai
sekitar 400-500 MW (IESR, 2021c). Ini
berarti bahwa sebagai bagian untuk
mengatasi masalah selisih penambahan
kapasitas tersebut, Indonesia perlu
mempertimbangkan opsi-opsi bagi
pengembangan energi terbarukan yang
berpotensi di berbagai wilayah seperti PLTS
skala besar hingga skala kecil (PLTS atap) di
perdesaan (Bappenas RI, 2021).
Sejalan dengan komitmen tersebut,
pemerintah melalui berbagai sektor
menginisiasi berbagai macam proyek
lanjutan yang dirasa mampu menjadi
pendorong bagi tercapainya target energi
bersih di Indonesia. Pemerintah Indonesia
dalam hal ini berusaha merealisasikan Proyek
Adopsi Surya nusantara yang memiliki target
3,6 GW PLTS atap hingga 2025. Indonesia
berkomitmen melalui kerja sama dengan
IESR bahwa Solar Archipelago nantinya
menyasar penggantian subsidi listrik rumah
tangga miskin dengan pemasangan PLTS
atap (jumlah kumulatif 1 GWp/tahun).
Proyek ini nantinya bisa secara bertahap
membantu strategi pemerintah untuk
mencapai target 23 persen energi terbarukan
pada 2025. Melalui kajian IESR, dengan
adanya target 3,6 GW nantinya akan
menyerap setidaknya 121.500 pekerja dan
mampu menurunkan 4,58 juta ton CO2.
Sejalan dengan hal tersebut, minat
masyarakat Indonesia secara umum
mengenai PLTS atap juga terus meningkat.
Pada 2018 hanya sebesar 1,6 MW, kemudian
pada 2021 menjadi sekitar 59,84 MW (IESR,
2021a).
Proses transisi energi menuju energi
rendah karbon pada dasarnya perlu memuat
prinsip berkeadilan dan inklusif. Misalnya
sebagaimana dilakukan oleh Kabupaten
Paser, Kalimantan Timur yang mencoba
Indonesian Journal of International Relations
305
mengembangkan PLTS sebagai dorongan
terhadap transisi energi di Indonesia. Dalam
hal ini, IESR menghitung potensi yang sangat
besar di Kabupaten Paser yang mencapai 81
ribu GWh/tahun, dan energi air 721
GWh/tahun (Tumiwa & Citraningrum,
2021). Selain berbagai bentuk dorongan
melalui pemerintah, terdapat gerakan
ekonomi hijau melalui perusahaan swasta
berbasis panel surya bernama Solarhub.id.
Solarhub.id pada dasarnya merupakan
platform penyedia PLTS atap yang terus
berkembang setiap tahunnya. Pada tahun
2021 saja, direktori perusahaan yang tersedia
di Solarhub.id naik tiga kali lipat menjadi 45
perusahaan penyedia PLTS atap yang
tersebar di seluruh Indonesia (IESR, 2021b).
Transisi energi bersih dan terbarukan
menjadi kunci dari bagaimana umat manusia
bertanggungjawab terhadap Bumi dan
generasi mendatang. Krisis iklim menjadi
bukti nyata dari bagaimana manusia telah
merusak peradaban mereka sendiri.
Komitmen internasional melalui Paris
Agreement tentang target capaian NDC
masing-masing negara menjadi
‘cengkeraman’ yang mungkin tidak dapat
dilakukan oleh pemerintah Indonesia secara
mandiri. Melalui skema SSTC, pemerintah
Indonesia mampu memanfaatkan skema
kerja sama multi sektor yang tidak hanya
bersifat negara sentris saja, namun juga
melibatkan aktor-aktor lainnya seperti swasta
hingga masyarakat sebagai aktor akar
rumput. CASE Project yang didanai oleh
pemerintah Jerman, dan diimplementasikan
melalui kerja sama bersama Bappenas RI dan
bantuan pemikiran dari IESR, mencoba
merumuskan beberapa langkah tepat
berdasarkan peluang yang dimiliki Indonesia
dalam mencapai keberhasilan transisi energi
bersih dan terbarukan. Meskipun demikian,
pada dasarnya masih banyak sekali terdapat
kendala dan permasalahan yang menghambat
keberhasilan dan target capaian NDC
Indonesia.
Tantangan Implementasi SSTC melalui
CASE Project
Tantangan transisi energi sangat
spesifik dan berbeda-beda di setiap negara,
tidak terkecuali di Indonesia. Perbedaan
budaya dan penguasaan tekonologi adalah
dua dari banyaknya tantangan untuk
mengimplementasikan upaya SSTC melalui
CASE Project. Oleh sebab itu, pemerintah
Indonesia harus mulai memikirkan beragam
sumber energi, teknologi, penerimaan
masyarakat, edukasi dan skema pendanaan
yang stabil untuk memastikan bahwa transisi
energi dapat berjalan dengan progresif dan
lebih inklusif. Transisi energi semata-mata
Peran Pemerintah Indonesia dalam Mendorong Transisi Energi
Melalui South-South and Triangular Cooperation
Tunjung Wijanarka & Ni Nyoman Clara Listya Dewi
306
bukan hanya permasalahan ekonomi dan
teknologi saja, namun juga mencakup
implikasinya terhadap kehidupan
masyarakat. Transisi energi mempengaruhi
budaya yang berkembang dalam masyarakat,
termasuk gaya hidup dan pola adaptasi dari
proses transisi tersebut. Transisi energi dan
perubahan sosial mencakup keterlibatan
masyarakat dalam mendukung transisi energi
bersih, termasuk diskursus yang berkembang
di dalamnya. Maka tantangan pertama ada
pada cara pandang dan perbedaan budaya di
masyarakat.
Perbincangan mengenai transisi energi
kerap mengabaikan proses adaptasi
masyarakat dan berbagai bentuk perubahan
sosial. Seringkali isu transisi energi lebih
ditekankan pada skema pembiayaan dan
risiko teknis di lapangan. Padahal sebagai
penerima dampak pertama dari transisi
energi, masyarakat dan kebudayaan yang
mengiringinya, adalah elemen utama untuk
dipertimbangkan berbagai dampak yang ada.
Beberapa penelitian mempertimbangkan
aspek sosio-kultural dalam mengantisipasi
masa depan energi masyarakat, namun
fokusnya masih pada masa depan sistem
energi, bukan masa depan masyarakat itu
sendiri (Routsalainen et al., 2017). Ini
merupakan konsekuensi sosial yang timbul di
masyarakat, mengingat bahwa transisi energi
akan berkaitan dengan hasil dari tujuan
pembangunan. Semakin cepatnya kemajuan
di bidang teknologi maka target-target
pembangunan berkelanjutan akan lebih
mudah tercapai (Zhang & Kong, 2020).
Dalam menjawab tantangan pada
bidang budaya, yang pertama harus
ditekankan adalah strategi pemerintah dan
stakeholder terkait untuk menempatkan
transisi energi secara lebih luas lagi dalam
perubahan sosial di masyarakat yang
berkelanjutan. Kerja sama antar lembaga
menjadi penting untuk mengidentifikasi
hubugan di antara keduanya. Dalam CASE
Project, Indonesia dapat mempertimbangkan
aspek kultural dalam merumuskan rencana
pembangunan pada daerah transisi. Nilai
keterbukaan dan interaksi antar sesama
masyarakat dalam satu lingkup tertentu
adalah budaya. Dalam kelompok-kelompok
kecil ini, edukasi mengenai transisi energi
bersih juga dapat berjalan. Perspektif budaya
akan menghubungkannya dengan
kepentingan transisi energi. Kebiasaan-
kebiasaan yang tertanam akan menjadi satu
bentuk kerangka konvensional yang belum
tentu dapat berkelindan satu dengan yang
lainnya. Maka diperlukan upaya yang lebih
strategis untuk memahami dinamika budaya
Indonesian Journal of International Relations
307
yang tumbuh bersama dengan upaya transisi
energi bersih.
Tantangan dalam upaya transformasi
energi bersih ada banyak namun untuk
memastikan inklusivitas dan pemerataan
akses maka dukungan sosial dan budaya
mutlak diperlukan. Keterikatan masyarakat
terhadap kearifan lokal akan berkorelasi
dengan upaya untuk menjaga lingkungan dan
alam semesta. Nilai-nilai tanggung jawab
terhadap alam semesta yang sudah mengakar
di masyarakat Indonesia dan menjadi suluh
dalam menjalani kehidupan. Salah satu
contohnya nilai Tri Hita Karana yang terdiri
dari Parahyangan, Pawongan dan
Palemahan yang menjadi pedoman hidup
harmonis masyarakat Bali. Salah satu
unsurnya yakni, Palemahan, memiliki makna
hubungan harmonis manusia dengan alam
dan lingkungan sekitarnya. Implementasinya
adalah dengan berperilaku ramah
lingkungan, menjaga dan tidak merusak
alam. Sama halnya dengan tradisi Sasi di
wilayah Maluku dan Papua, yang merupakan
tradisi melarang memanen sumber daya
tertentu baik di perkebunan atau laut dalam
satu waktu tertentu. Tujuannya untuk
menjaga ekosistem dari kepunahan akibat
ekspolitasi berlebihan umat manusia. Dua
tradisi ini hanya menjadi contoh dari sekian
banyak budaya dalam kehidupan masyarakat
Indonesia yang berkaitan langsung dengan
upaya menjaga keseimbangan alam semesta.
Sehingga upaya untuk
mengimplementasikan transisi energi bersih
akan tidak menjadi begitu sulit.
Transisi energi baru terbarukan juga
berkaitan dengan penguasaan teknologi. Ini
menjadi tantangan berikutnya untuk
mendukung pengembangan energi dengan
lebih strategis. Dalam bidang tata kelola
industri, Indonesia harus dapat menanamkan
pemikiran bahwa Indonesia tidak boleh
hanya menjadi negara pengimpor produk-
produk teknologi saja. Melainkan juga harus
memainkan peranan sentral dalam aspek
penciptaan lapangan kerja, peningkatan
pemahaman terhadap ketahanan energi dan
penguasaan teknologi. Realisasi capaian
energi terbarukan juga bergantung pada
pengalaman yang dimiliki oleh pengguna,
yaitu masyarakat itu sendiri. Integrasi energi
terbarukan ke dalam sistem energi global
memerlukan sistem pengendalian yang lebih
baik yang dapat mengakomodasi sumber-
sumber energi yang bervariasi (EPO, 2022).
Hal ini berarti bahwa sumber daya manusia
yang mengelola dan menguasai teknologi
energi baru terbarukan ini menjadi sangat
penting untuk dipikirkan kapabilitas dan
kemampuannya.
Peran Pemerintah Indonesia dalam Mendorong Transisi Energi
Melalui South-South and Triangular Cooperation
Tunjung Wijanarka & Ni Nyoman Clara Listya Dewi
308
Maka untuk mengakomodir tantangan
di atas, keterlibatan aktif sektor swasta
sangatlah penting termasuk urusan mobilisasi
kapasitas inovasi sektor swasta (IEA, 2019).
Keterlibatan sektor swasta ini dapat
membantu dalam menemukan peluang dan
mengidentifikasi masalah dan kesenjangan
yang berguna untuk mengatur pengalokasian
sumber daya. Misalnya bagaimana sektor
swasta membantu mengenalkan produk
teknologi ramah lingkungan kepada
masyarakat dan mengelola pasar. Inovasi dari
energi baru terbarukan menjadi sebuah
produk tentu dibutuhkan untuk dalam
kapasitasnya untuk membiasakan perilaku
masyarakat terhadap agenda transisi energi
bersih. Kolaborasi ini akan semakin
mengakselerasi kebutuhan pengguna
terhadap produk-produk energi bersih.
Tantangan lainnya adalah terkait
kapasitas kontribusi masyarakat terhadap
agenda transisi energi. Optimalisasi ini
dimungkinkan melibatkan masyarakat secara
penuh. Perbaikan sosial berarti memastikan
keadilan sosial, mengurangi kemiskinan, dan
mencapai masyarakat yang inklusif. Semua
manfaat positif ini dapat dicapai dengan
berkontribusi secara aktif kepada masyarakat
Dalam melakukan transformasi sumber
energi di tingkat rumah tangga, masyarakat
tentu akan ada kompleksitas tantangan yang
turut menyertainya. Ada faktor lainnya di
luar finansial yang turut menyumbangkan
pertimbangkan jika dalam satu rumah tangga
perlu untuk mentransformasikan sumber
energinya ke energi bersih. Misalnya sampai
sejauh mana komitmen suatu rumah tangga
mengganti ke produk energi yang ramah
lingkungan, sejauh mana edukasi dan
pemahaman tentang gaya hidup
berkelanjutan dan bagaimana aksesibilitas
pengguna terhadap layanan produk energi
baru terbarukan.
SIMPULAN
Krisis iklim menjadi salah satu
permasalahan utama yang dihadapi oleh umat
manusia. Berbagai tindakan dan skema state-
centric telah diupayakan sebagai salah satu
kerangka serius yang menekankan tentang
kerja sama antaraktor negara untuk
mengatasi permasalahan iklim. Meskipun
upaya ini sudah dilakukan dalam berbagai
bentuk konsensus internasional seperti
Protokol Kyoto, Paris Agreement, dan
berbagai COP, efektivitas kerja sama belum
kentara dirasakan sebagai sebuah komitmen
nyata dari aktor-aktor tersebut. Krisis iklim
masih menjadi hambatan utama dari
bagaimana negara berperan dalam menekan
Indonesian Journal of International Relations
309
laju kenaikan suhu rata-rata permukaan
Bumi. Efektivitas dari kerja sama antar aktor
negara belum menunjukkan hasil yang
maksimal dari komitmen yang telah mereka
lakukan sejak lama.
Indonesia sebagai salah satu negara
yang terus berupaya untuk berkembang dan
meningkatkan pertumbuhan ekonominya
tentu berada dalam pusaran permasalahan ini.
Tentang bagaimana dapat mengupayakan
pertumbuhan ekonomi secara positif
sekaligus menjaga resiliensi iklim. Tuntutan
NDC Paris Agreement menjadi salah satu
tonggak dari bagaimana aktor negara seperti
Indonesia memiliki peran dan tanggung
jawab berbeda antara negara maju dan
berkembang sebagai upaya mengatasi
permasalahan iklim. Maka dari itu, sebagai
sebuah upaya mendukung inklusivitas
transisi energi dan target capaian NDC,
Indonesia memanfaatkan kerja sama SSTC
sebagai salah satu kerja sama kolaboratif dan
inovatif dalam mendorong terciptanya
ketahanan iklim. Melalui kerja sama SSTC
yang diimplementasikan melalui CASE
Project, Indonesia memiliki komitmen
positif dalam upayanya mendorong transisi
energi bersih dan terbarukan sekaligus
mendorong tercapainya target NDC nasional
Indonesia. Meskipun demikian,
permasalahan transfer teknologi dan
perbedaan kebudayaan juga menjadi dua
faktor utama dalam menciptakan
keberhasilan transisi energi melalui skema
SSTC-CASE Project di Indonesia.
REFERENSI
Al Huda, A. K. N. (2023). Transisi Energi di
Indonesia: Overview & Challenges.
Pertamina, 9(2).
Amnesty International. (2023). Climate
Change. Amnesty International.
Ayuningsih, A. N., Oktaviani, M. A.,
Chandra, A., Athyah, N., Manda M., P.
D., Citra, Z., & Sulaiman, S. D. (2023).
Ratifikasi Paris Agreement Dan
Pengaplikasian National Determined
Contribution (Ndc) Indonesia. JISIP
UNJA (Jurnal Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Jambi), 7(1), 6069.
https://doi.org/10.22437/jisipunja.v7i1.
21859
Bappenas. (2022). Diskusi Ndc Dalam Upaya
Mengurangi Emisi Nasional. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
http://greengrowth.bappenas.go.id/disk
usi-ndc-dalam-upaya-mengurangi-
emisi-nasional/
Bappenas RI. (2021). Indonesia-Jerman
Usung Program CASE untuk Dukung
Transisi Energi Bersih. Bappenas.
https://www.bappenas.go.id/id/berita/in
donesia-jerman-usung-program-case-
untuk-dukung-transisi-energi-bersih
Bassetti, F. (2022). Success or failure? The
Kyoto Protocol’s troubled legacy.
Foresight.
Bilqis, A., & Afriansyah, A. (2020). Paris
Agreement: A Response to an Approach
of Common but Differentiated
Peran Pemerintah Indonesia dalam Mendorong Transisi Energi
Melalui South-South and Triangular Cooperation
Tunjung Wijanarka & Ni Nyoman Clara Listya Dewi
310
Responsibilities and Respective
Capabilities Principle in Kyoto
Protocol. De Jure Journal, 20(10), 391
408.
BPS. (2022). Kapasitas Terpasang PLN
menurut Jenis Pembangkit Listrik
(MW), 2019-2021.
Burchill, S. (2005). Theories of International
Relations: Third Edition. Palgrave
Macmillan.
CACC. (2021). Climate Jobs: Building a
workforce for the climate emergency.
Campaign Against Climate Change.
Cannon, J. C. (2022). Laporan IPCC
Terbaru: Perubahan Iklim Ancam
Kesejahteraan Manusia dan Kesehatan
Bumi.
https://www.mongabay.co.id/2022/03/0
1/laporan-ipcc-terbaru-perubahan-
iklim-ancam-kesejahteraan-manusia-
dan-kesehatan-bumi/
CASE Project. (2023). CASE Project. CASE.
Connelly, G., & Smith, G. (2003). Politics
and the Environment - From Theory to
Practice. Routledge.
David, A., Espagne, E., & Marx, N. L.
(2019). Developed countries must take a
bigger role in climate change. The
Conversation.
Denis, M. J. (2021). Green IR Theory and
Domestic Wars: Revisiting
Environmental Conflicts in Africa.
SSRN Electronic Journal, 3(9).
Dugis, V. (2016). Teori Hubungan
Internasional Perspektif-perspektif
Klasik. CSGS Univeritas Airlangga.
Dunne, T., Kurki, M., & Smith, S. (2013).
International Relations Theories.
Oxford University Press.
EPO. (2022). New Energy Landscapes.
European Patent Office.
ESDM. (2021). Tambah 40.000 MW dalam
10 Tahun ke Depan, 52 Persen dari
EBT.
Fauzi, P. R. (2023). Peluang dan Tantangan
Transisi Energi: Implikasi Kebijakan
Pasca Presidensi G20 Indonesia.
Taxpedia, 1(1).
https://doi.org/https://doi.org/10.61261/
muctj.v1i1.14
Flores, G. (2022). Apa yang perlu kamu
ketahui tentang COP 27. Greenpeace.
GIZ Indonesia. (2023). GIZ Indonesia
Cooperation. GIZ Indonesia.
Global Energy Monitor. (2023). Coal
Consumption Data.
Goodin, R. E. (2013). Green Political
Theory. Polity.
Hadiwinata, B. S. (2017). Studi dan Teori
Hubungan Internasional: Arus Utama,
Alternatif, dan Reflektivi. Yayasan
Pustaka Obor.
IEA. (2019). World Energy Outlook.
International Energy Agency.
https://www.iea.org/reports/world-
energy-outlook-2019
IESR. (2021a). Accelerating Low Carbon
Energy Transition in Indonesia.
IESR. (2021b). Deep decarbonization of
Indonesia’s energy system: A pathway
to zero emissions by 2050.
IESR. (2021c). Meninjau Kemajuan Industri
Baterai Kendaraan Listrik Indonesia.
IESR. (2023). Institute for Essential Services
Reform (IESR). Institute for Essential
Services Reform.
ILO. (2015). Triangular Cooperation and
Decent Work Good Practices.
Indonesian Journal of International Relations
311
IRID. (2021). Pertumbuhan Hijau
Berkelanjutan bagi Indonesia di Forum
Internasional.
Jpnn. (2022). Pengamat: Kendaraan Listrik
Tidak Sepenuhnya Ramah Lingkungan.
JPNN News.
Kemenlu. (2015). Kajian Mandiri:
Reorientasi Kerja Sama Selatan-
Selatan dan Triangular bagi
Kepentingan Nasional.
Kim, Y., Tanaka, K., & Matsuoka, S. (2020).
Environmental and economic
effectiveness of the Kyoto Protocol.
Plos One.
https://doi.org/https://doi.org/10.1371/j
ournal.pone.0236299
Krisis Iklim. (2023). Apa itu Krisis Iklim?
https://krisisiklim.com/apa/
Lestari, Y. S. (2016). Enviornmentalism and
Green Politics: Pembahasan Teoritis.
Journal of Community, 2(2).
Menlhk RI. (2022). Nationally Determined
Contribution (NDC) Pertama Republik
Indonesia.
Mollins, J. (2021). Fokus Bahan Bakar Fosil
dalam Topik Hutan dan Pepohonan di
COP26. CIFOR.
Mutia, A. (2022). 10 Negara Penyumbang
Emisi Karbon Terbesar di Dunia, Ada
Indonesia! Katadata.
Nettleton, G., & Kutwaroo, K. (2010). Coal
and Climate Change.
Nofansya, A., Silvya Sari, D., Yulianti, D.,
Kunci ABSTRAK Kebijakan Luar
Negeri, K., Paris, P., Ekonomi, K., &
Lingkungan, K. (2023). Implementasi
Perjanjian Paris dalam Kebijakan Luar
Negeri Indonesia. Padjadjaran Journal
of International Relations, 5(1), 7590.
https://doi.org/10.24198/padjirv5i1.396
85
OECD. (2022). Triangular Co-operation:
Why Does It Matter?
Panggabean, B. T. G. B. (2021). Kesiapan
Indonesia Dalam Memenuhi Nationally
Determined Contribution ( Ndc )
Sebagai implementasi Paris Agreement
Terkait Restorasi Lahan Gambut.
Dharmasisy, 1(1), 59.
Paris Agreement, Pub. L. No.
LN.2016/NO.204, TLN NO.5939, LL
SETNEG : 4 HLM (2016).
Perwita, A. A. B., Simanjuntak, T. R.,
Hergianasari, P., Wijanarka, T., Nau, N.
U. W., Yanuartha, R. A., Seba, R. O. C.,
Sukmi, S. N., & Wibisono, I. W. (2023).
Kebijakan Luar Negeri Joko Widodo:
Sebuah Catatan Lintasan Isu. Satya
Wacana Press.
Poerwantika, T. R., Shylvia Windary,
Faturahman Rasyid, & Bebby Estefany
Santoso. (2022). Diplomasi
Lingkungan: Indonesia Dalam
Mewujudkan Transisi Energi Post
COP26. Jurnal Multidisiplin Madani,
2(9), 35963609.
https://doi.org/10.55927/mudima.v2i9.1
182
Pramudianto, A. (2016). Dari Kyoto Protocol
1997 Ke Paris Agreement 2015 :
Dinamika Diplomasi Perubahan Iklim
Global Dan Asean Menuju 2020.
Global: Jurnal Politik Internasional,
18(1), 76.
https://doi.org/10.7454/global.v18i1.11
9
Ritchie, H. (2020). What are the safest and
cleanest sources of energy? Our World
in Data.
Peran Pemerintah Indonesia dalam Mendorong Transisi Energi
Melalui South-South and Triangular Cooperation
Tunjung Wijanarka & Ni Nyoman Clara Listya Dewi
312
Romdhane, M. (2021). Apa Prinsip Common
But Differentiated Responsibilities and
Respective Capabilities (CBDR-RC)?
ClimaTalk.
https://climatalk.org/2021/07/12/what-
is-the-cbdr-rc-principle/
Rosen, A. (2015). The Wrong Solution at the
Right Time: The Failure of the Kyoto
Protocol on Climate Change. Politics &
Policy, 43(1).
Routsalainen, J., Karjalainen, J., Anak, M., &
Heinonen, T. (2017). Budaya, nilai-
nilai, gaya hidup, dan kekuatan di masa
depan energi: Visi penting antar rekan
untuk energi terbarukan. Energy
Research & Social Science, 34.
Syahni, D. (2020). Kala PLTU Batubara
Picu Perubahan Iklim dan Ancam
Kesehatan Masyarakat.
Tumiwa, F., & Citraningrum, M. (2021). Seri
Survey Potensi Pasar PLTS Atap di
Indonesia. IESR.
UNDP. (2020). Project to Accelerating
Clean Energy Access to Reduce
Inequality.
WALHI. (2023). Global Climate Strike 2023,
Anak Muda Indonesia Tegaskan Krisis
Iklim Harus Jadi Prioritas Agenda
Kampanye Pemilu 2024.
Wardhana, A. R., & Marifatullah, W. H.
(2020). Transisi Indonesia Menuju
Energi Terbarukan. Jurnal Refleksi
Pemikiran Dan Kebudayaan, 38(2).
Yudiartono, Windarta, J., & Adiarso. (2022).
Analisis Prakiraan Kebutuhan Energi
Nasional Jangka Panjang Untuk
Mendukung Program Peta Jalan
Transisi Energi Menuju Karbon Netral.
Jurnal Energi Baru Dan Terbarukan,
3(3).
Yuliartini, N. P. R., & Suwatno, D. S. R.
(2022). Ratifikasi Terhadap Traktat
Persetujuan Paris ( Paris Indonesia
Dalam Upaya Mitigasi Dan Adaptasi.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan
Undiksha, 10(2), 328337.
Zhang, D., & Kong, Q. (2020). Green energy
transition and sustainable development
of energy firms: An assessment of
renewable energy policy. Energy
Economics, 111.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.
eneco.2022.106060
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Paris Agreement merupakan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengenai mitigasi, adaptasi, dan pembiayaan emisi gas rumah kaca. Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change, dan diundangkan pada tanggal 25 Oktober 2016. Pengesahan ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memberikan jaminan kepada setiap warga negara. untuk mendapatkan lingkungan hidup yang berkualitas. Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Paris Agreement, Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan kontribusinya dengan menyusun dan melaporkan rencana-rencana dalam Nationally Determined Contribution (NDC) sesuai dengan kewajiban negara sebagai bentuk implementasi dari Perjanjian Paris (Paris Agreement). Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia mencakup aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang akan dilaksanakan pada tahun 2020. Pengesahan Paris Agreement dilakukan atas dasar internal dan eksternal. Dari sisi internal, alasan di balik pengesahan tersebut berasal dari kebutuhan akan dukungan ekonomi dari negara maju, tekanan dari LSM dan masyarakat adat Indonesia, alasan pegawai dan hukum tata negara Indonesia dalam merespon isu perubahan iklim. Dari sisi eksternal, adalah pemenuhan tuntutan global, tekanan internasional, serta meningkatkan eksistensi dan citra positif Indonesia di forum internasional. Ratifikasi Paris Agreement diharapkan dapat meningkatkan kerja sama bilateral dan multilateral dalam pelaksanaan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan dukungan pendanaan, transfer teknologi serta mekanisme transparansi dan tata kelola yang berkelanjutan.
Article
Full-text available
Secara umum, tujuan dari kebijakan transisi energi adalah untuk mengadopsi pemanfaatan energi bersih yang lebih luas. Hal ini didorong oleh kekhawatiran global terhadap perubahan iklim. Penggunaan berlebihan energi fosil selama bertahun-tahun telah menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) melebihi batas yang aman, yang berkontribusi pada perubahan iklim. Oleh karena itu, pemimpin dunia telah berkomitmen untuk mengendalikan peningkatan suhu global, sebagaimana diatur dalam Paris Agreement 2015. Salah satu langkah yang banyak diambil oleh negara-negara saat ini adalah menerapkan kebijakan net zero emissions, yaitu mencapai nol emisi bersih. Untuk mencapai tujuan ini, berbagai negara telah mengembangkan kebijakan dan roadmap. Sebagai contoh, International Energy Agency (IEA) telah menerbitkan roadmap yang menggambarkan bagaimana sebuah negara dapat mencapai net zero emissions. Roadmap tersebut mencakup beberapa kebijakan kunci yang dapat diimplementasikan, antara lain pengembangan energi terbarukan secara massif, menghentikan penggunaan pembangkit listrik berbasis energi fosil, serta memperluas penggunaan kendaraan listrik dan biofuel. Karena sektor energi memiliki kontribusi yang signifikan terhadap emisi GRK, kebijakan transisi energi perlu memprioritaskan sumber energi dan teknologi yang rendah karbon.
Article
Full-text available
Aartikel ini dimaksudkan untuk menganalisis terkait revisi strategi dan proses transformasi transisi energi post - COP 26 di Indonesia yang dibasiskan kepada metode diplomasi lingkungan. Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersumber kepada data sekunder dengan teknik pengumpulan studi literatur dan teknik analisis studi kasus serta konsep transisi energi yang diikuti oleh dua teori yaitu teori Diplomasi dan teori Diplomasi Lingkungan untuk menjadi landasan penelitian. Penelitian berargumen bahwa dengan permasalahan tingkat konsumsi energi, Indonesia mulai melakukan strategi revisi transisi energi post - COP26 berbentuk diplomasi lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia, khususnya pada masa pemerintahan Jokowi mengeluarkan berbagai kebijakan kerja sama nasional dan luar negeri seperti Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan, Generator Antasena Biohidrogen Indonesia - Tiongkok, serta upaya Indonesia dalam G20 untuk mendukung proses keberhasilan strategi revisi transisi energi.
Article
Full-text available
This study investigates the environmental and economic impacts of the Kyoto Protocol on Annex I parties through an impact assessment by combining the propensity score matching and the difference-in-difference methods. We establish a country-level panel data set including CO2 emissions, gross domestic product (GDP), and other socioeconomic data for 1997–2008 and 2005–2008. Based on the impact evaluation, we conduct the simulation predicting the impacts of the Protocol to capture the differences of marginal damage cost of carbon emissions between the actual and counterfactual situations. The results suggest that participating as an Annex I party has a significant positive impact on CO2 emission reductions, but a negative impact on the GDP of the participants in the long run. The predicted marginal benefit of the Protocol based on the marginal damage cost of carbon emissions shows that the marginal benefit of emission reductions mitigates a limited portion of the GDP loss. Future global climate change frameworks should focus on balancing the impact on economic and environmental performance in order to ensure sustainable development, especially for developing countries that have low capacity to mitigate emissions.
Article
Full-text available
Recent outbreak of environmental conflicts in African countries is a threat to peaceful human coexistence. This is opposed to the rather decline in warfare on the international arena. This work therefore explored other possible means of tackling domestic conflicts by employing the Green International Relations (IR) theory in explaining the cause(s) and possible solutions to environmental conflicts in Africa. The methodology used in this study is mainly the analysis of secondary data from journals, literatures, documentaries, while also examining a couple of case studies as an empirical basis. The findings in this study revealed that environmental change is unlikely to be a an independent cause of domestic wars that are related to environmental scarcity in Africa, hence, sought relevance of other factors like economy and politics. It recommended that in order to avoid conflicts arising from environmental change, the state and non-state actors must consider the health of the ecosystem as paramount, adopt legal approaches to protecting the environment, take environmental consciousness as a moral duty, work for improved economy and a make the society relatively prosperous, and most importantly should opt for non-violent alternatives in the face of resource scarcity.
Article
The development of green energy is an important tool to balance economic growth and environmental protection. Using 27,043 data observations from A-share listed companies on the Shanghai and Shenzhen stock exchanges in China during 2007–2018, this study examines the relationship between renewable energy policies and total factor productivity of energy firms. Our study shows that renewable energy policies promote the total factor productivity of energy firms and that the promotion effect from policy implementation is somewhat persistent. Our findings are robust to several measures of total factor productivity. Further study suggests that the boosting effect from implementing renewable energy policy may be overshadowed by its effects on resource allocation efficiency and technological innovation. In addition, differences in firms' type, external environment, and geographical location make the impact of renewable energy policies on total factor productivity heterogeneous. For example, renewable energy policies tend to suppress the total factor productivity of state-owned firms, large-scale firms, and firms with high equity concentration.