ChapterPDF Available

Agar Ruang Tak Jadi Raung: Konflik dan Demokratisasi Tata Ruang Maritim

Authors:

Abstract

Konflik atas ruang maritim merupakan satu isu kritis dalam pembangunan saat ini. Tipe dan frekuensi konflik sangat mungkin meningkat di masa depan bersamaan dengan ekspansi aktivitas ekonomi dari daratan ke zona maritim. Salah satu tipe konflik atas ruang maritim dipicu oleh kompetisi atas wilayah pesisir. Paper ini berupaya menjawab pertanyaan bagaimana demokratisasi formulasi tata kelola ruang pesisir dapat mengurangi konflik di masa depan? Jawaban atas pertanyaan ini dikembangkan dengan menggunakan gagasan Lefebvre tentang produksi ruang dan konsep soft space. Argumen yang dibangun adalah bahwa konflik atas ruang pesisir terjadi karena representasi ruang yang diproduksi oleh tata ruang, sering berbenturan dengan spatial practice ruang aktual lokal yang menyejarah dan lived space, yakni ruang dihayati oleh komunitas-komunitas dimana pemetaan dan zonasi dilakukan. Praktik spasial lokal sudah ada jauh sebelum ada conceived space yang dibentuk oleh tata ruang yang diproduksi negara. Agar ruang tak menjadi raung (baca: konflik), proses produksi ruang demi kepentingan ekonomi harus dinegosiasikan secara demokratis. Penggunaan pendekatan soft space berbasis lived space memungkinkan produksi ruang pesisir yang tidak dihegemoni. Dengan cara ini, konflik atas ruang pesisir di masa depan bisa diredam. Kata Kunci: Ruang Pesisir, Representasi Ruang, Praktik Spasial, Soft Space
Menggagas Konsep
Maritim 2045
Okto Irianto, dkk.
Balai Pustaka
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Ketentuan Pidana
Pasal 113:
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/
atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/
atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk
pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
PENULIS
Sarwono Kusumaatmadja
Tukul Rameyo Adi
Susilastuti Dwi Nugraha Jati
Darma Agung Setya Iransyah
Hendra Yusran Siry
Ludiro Madu
Lukmandono
Anang Siswanto
Nova Vincentia Pati
Sylvia Prisca Delima
Thomas Nugroho
Hotden Leonardo Nainggolan
Nikolaus Loy
Minto Basuki
Dian Inda Sari
Menggagas Konsep Maritim 2045
BP No. 6834
No. KDT. 081
ISBN 978-602-260-461-7
xiii + 302 hlm.
16 × 24 cm
Editor
Okto Irianto
Venda Yolanda Pical
Alfonsina Marthina Tapotubun
Penyelaras Bahasa
Febi Dasa Anggraini
Mirza Ahmad Heviko
Penata Letak
Ratih Rahayu
Perancang Sampul
Aly Ibnu Husein
Diterbitkan oleh
Penerbitan dan Percetakan
Balai Pustaka
Jalan Bunga No. 8–8A
Matraman, Jakarta 13140
Tel. (6221) 8583369,
Faks. (6221) 29622129
Website: http://www.balaipustaka.co.id
Cetakan Pertama: Desember 2021
©Hak Cipta dilindungi oleh Undang-
Undang
iii
Menggagas Konsep Maritim 2045
SAMBUTAN
Buku ini merupakan kerja sama Kementerian Koordinator Bidang
Kemaritiman dan Investasi dengan beberapa penulis yang terdiri dari
negarawan, pemerhati kebijakan, serta para dosen di berbagai perguruan
tinggi di Indonesia.
Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh penulis
yang telah bekerja sama sehingga buku ini dapat diselesaikan dengan
baik. Menurut saya pendekatan buku ini sangat baik karena para penulis
yang beragam pada akhirnya berhasil memberikan perspektif yang relatif
lengkap terhadap konsep Haluan Maritim Nasional yang sedang kami
gagas. Merupakan keinginan kami agar konsep Haluan Maritim Nasional
ini dapat menjadi salah satu referensi dalam penyusunan kebijakan
pembangunan Indonesia jangka panjang agar tercipta Indonesia Emas
yang kita cita-citakan di tahun 2045.
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Balai Pustaka
yang menerbitkan buku ini. Balai Pustaka selaku penerbit yang memiliki
sejarah panjang ternyata mendukung penuh usaha kami untuk
meningkatkan literasi kemaritiman. Saya sangat mengapresiasi hal ini.
Mudah-mudahan kerja sama penerbitan buku ini merupakan kerja sama
pertama yang akan dilanjutkan di masa-masa yang akan datang.
Desember 2021
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi
Luhut Binsar Pandjaitan
iv
Menggagas Konsep Maritim 2045
KATA PENGANTAR
Indonesia adalah negara kepualauan terbesar di dunia. Sebagian
besar wilayah Indonesia adalah perairan. Oleh karena itu, Indonesia sejak
dahulu dikenal sebagai negara maritim.
Meskipun negara Indonesia dikenal sebagai negara maritim, namun
pemanfaatan sumber daya maritim yang ada belum dimanfaatkan secara
maksimal. Masih banyak kendala atau permasalahan yang dihadapi
bangsa Indonesia dalam mengelola potensi, khususnya bidang kelautan
ini.
Selain itu, dengan potensi sumber daya maritim yang dimiliki,
Pemerintah Indonesia berharap menjadi poros maritim dunia. Cita-cita
ini mengacu kepada Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI). Melalui KKI
ini, Pemerintah menyadari masih terdapat kendala atau permasalahan
dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai
poros maritim diperlukan kajian dan masukan dari berbagai kalangan,
khususnya para pakar di bidang kelautan dan kemaritiman. Selain itu,
harus pula dibuat landasan atau acuan dalam menyusun strategi agar
cita-cita Indonesia sebagai poros maritim dapat terwujud.
Buku Menggagas Konsep Maritim 2045 ini berisi kajian dari 14 penulis
terkait kemaritiman Indonesia. Semoga dengan hadirnya buku Menggagas
Konsep Maritim 2045 ini, cita-cita Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia
bisa diwujudkan. Selain itu, potensi sumber daya maritim Indonesia bisa
dimanfaatkan secara maksimal.
Semoga cita-cita mulia ini terwujud.
Balai Pustaka
v
Menggagas Konsep Maritim 2045
PENGANTAR EDITOR
Presiden Jokowi kembali menyinggung keinginan kolektif bangsa
untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Hal tersebut
disampaikannya dalam sambutannya di acara puncak peringatan Hari
Maritim Nasional 2021. Presiden menyatakan bahwa sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia selayaknya Indonesia menjadi poros maritim
dunia. Selain itu Presiden Jokowi menginginkan agar ekonomi biru
Indonesia semakin diperkuat yang ditunjukkan dari kerja nyata, mulai
dari meningkatkan konektivitas laut dan keamanan maritim dengan
tujuan agar dapat melindungi kepentingan rakyat serta menumbuhkan
ekonomi yang merata.
Selama lebih kurang tujuh tahun terakhir ini strategi untuk mencapai
cita-cita poros maritim dunia, seperti yang disinggung presiden di atas,
mengacu kepada Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) yang disusun untuk
dilaksanakan setiap lima tahun. Dalam dokumen Kebijakan Kelautan
Indonesia I, yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2017, tercantum visi bangsa untuk menjadikan Indonesia
sebagai negara maritim yang berdaulat, maju, mandiri, kuat serta
mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan pertahanan
dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional.
Dalam pelaksanaan KKI selama ini, Pemerintah menyadari dua hal.
Pertama adalah terdapat kesulitan dalam mendenisikan acuan dan
strategi yang efektif dan esien atas kebijakan kemaritiman Indonesia yang
sangat luas apabila target pencapaiannya adalah dalam jangka waktu 5
tahunan. Hal kedua adalah kesadaran bahwa isu kemaritiman merupakan
isu jangka panjang yang membutuhkan konsistensi implementasi
walaupun terdapat pergantian pemerintahan. Pemerintah menyadari
bahwa dibutuhkan suatu peta jalan atau tepatnya suatu haluan kebijakan
kemaritiman jangka panjang. Untuk itu pemerintah saat ini sedang
menyusun rencana kebijakan kemaritiman jangka panjang tersebut yang
diberi nama Haluan Maritim Nasional. Diharapkan konsep Haluan Maritim
Nasional ini dapat menjadi salah satu pilar utama pembangunan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2024–2045.
vi
Menggagas Konsep Maritim 2045
Konsep Haluan Maritim Nasional harus diformulasi dengan baik
dengan mempertimbangkan berbagai faktor dan kondisi masa kini dan
perkembangan di masa yang akan datang sehingga mampu tercipta
sintesis yang baik dengan kebijakan-kebijakan pembangunan lainnya.
Konsep Haluan Maritim Nasional harus dikenalkan kepada seluruh
komponen bangsa, baik dari dalam maupun luar pemerintahan, sehingga
akan tercipta rasa memiliki bersama. Selain itu, hal yang lebih penting
lagi adalah perlunya keterbukaan pemerintah dalam menerima dan
menyaring masukan dari seluruh pihak terkait agar terbangun suatu
konsep yang menyeluruh, efektif, dan membumi.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator
Kemaritiman dan Investasi dalam menerima dan menyaring masukan
di atas adalah dengan mengundang kalangan akademisi, pemerhati,
serta praktisi kebijakan untuk menuangkan konsep pemikiran kebijakan
kemaritiman melalui suatu kumpulan tulisan ilmiah. Tulisan-tulisan
ini kemudian disatukan dalam sebuah buku dan diterbitkan oleh suatu
penerbit nasional sehingga akan tersedia secara luas. Buku ini diharapkan
dapat membahas semua komponen kebijakan kemaritiman, mulai dari
kegigihan diplomasi, kekokohan kedaulatan, pembangunan ekonomi,
dinamika sosial kemasyarakatan, maupun geliat budaya.
Terdapat 14 tulisan yang berhasil dikumpulkan dalam buku ini.
Dengan maksud untuk memberikan gambaran yang lengkap mengenai
gagasan Haluan Maritim Nasional, maka tulisan tersebut disusun
dalam 5 (lima) bagian sebagai berikut: 1. Budaya maritim dan sejarah
gagasan kemaritiman Indonesia; 2. Lingkungan strategis, pertahanan
dan keamanan, serta diplomasi kemaritiman; 3. Pengelolaan sumber
daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia; 4. Pengelolaan
ruang laut dan perlindungan lingkungan; dan 5. Ekonomi, infrastruktur
kelautan dan peningkatan kesejahteraan.
Bagian pertama yang membahas budaya maritim dan sejarah
gagasan kemaritiman Indonesia diwakili oleh tiga buah tulisan. Tulisan
pertama menjadi pengantar ke arah konsep Haluan Maritim Nasional
yang sebenarnya bukan merupakan konsep baru. Untuk itu Sarwono
Kusumaatmadja, penulis paling senior dalam buku ini yang pernah
menjabat sebagai Menteri Eksplorasi Laut/Kelautan Perikanan 1999--
2001, merupakan narasumber yang sangat kredibel untuk mengantar
pembaca ke dalam wacana kemaritiman dalam pemerintahan Indonesia
vii
Menggagas Konsep Maritim 2045
modern. Melalui tulisan berjudul “Menggenapkan Haluan Maritim
Nasional”, Sarwono Kusumaatmadja menguraikan perjalanan konsep
Wawasan Nusantara sejak Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 yang
telah melintasi perjalanan panjang berbagai pemerintahan selama ini.
Tulisan ini mengingatkan bahwa kegigihan tersebut harus “digenapkan”
melalui rumusan Haluan Maritim Nasional sebagai bagian RPJP 2024--
2045 sehingga konsep tersebut harus dirumuskan dengan visi jangka
panjang melalui strategi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan.
Tulisan di atas kemudian diikuti oleh Tukul Rameyo Adi yang
menjabarkan pengembangan budaya kemaritiman Indonesia melalui
tulisan yang berjudul “Bangkit Budaya Bahari: Peningkatan Literasi
Kebaharian dalam Kerangka Haluan Maritim 2024. Memulangkan Sirih
ke Gagangnya, Pinang ke Tampuknya”. Literasi bahari, dalam pandangan
penulis, berkaitan dengan tingkat minat, pemahaman atau kemampuan
anak bangsa memahami laut dan kelautan termasuk budaya di
dalamnya, yang saat ini harus diakui berada dalam tingkat yang amat
rendah. Tukul Rameyo juga berpandangan bahwa menyiapkan generasi
masa depan yang memiliki literasi bahari kuat tidak kalah pentingnya
dengan menyiapkan haluan maritim itu sendiri. Literasi bahari mutlak
diperlukan untuk membentuk ekosistem pembangunan bagi pelaksanaan
pembangunan nasional yang menempatkan kedaulatan kemaritiman
sebagai salah satu haluannya.
Tulisan ketiga dalam bagian ini adalah “Media dan Promosi Budaya
Maritim” oleh Susilastuti Dwi Nugraha Jati. Dengan mengandalkan
pengalamannya sebagai wartawan, Susilastuti Dwi Nugraha Jati
mengingatkan bahwa kredo wartawan adalah memperjuangkan
kebenaran sehingga wartawan perlu dan patut ditempatkan sebagai
agen untuk mempromosikan budaya maritim. Strategisnya peran
wartawan ini mengharuskan wartawan memiliki background tentang
potensi kemaritiman secara menyeluruh. Dalam kenyataannya selama
ini potensi kemaritiman yang dipahami wartawan masih sebatas pada
persoalan yang tampak di permukaan sehingga karya jurnalistik yang
dihasilkan masih berupa berita-berita lempang (straight news). Susilastuti
berpendapat perlunya sebuah intervensi agar wartawan bisa memainkan
peran strategis secara maksimal dengan mengubah pola relasi antara
wartawan dan struktur kuasa yang terlibat dalam masalah kemaritiman.
viii
Menggagas Konsep Maritim 2045
Bagian kedua membahas isu lingkungan strategis, pertahanan
keamanan, dan diplomasi yang diwakili oleh tiga buah tulisan. Posisi
geogras dan karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan
mengharuskan cara pandang yang unik bagi setiap elemen pemerintahan
terutama yang berkaitan dengan diplomasi dalam berinteraksi
dengan negara lain di kawasan. Terdapat tiga tulisan dalam bagian
ini. Tulisan pertama adalah “Membangun Kekuatan Pertahanan di Era
Ketidakpastian” oleh Darma Agung Setya Iransyah. Dalam tulisannya ini
penulis membahas perencanaan pertahanan Indonesia yang dihadapkan
pada kondisi ketidakpastian pasca-Perang Dingin dengan aktor-faktor-
vektor yang baru. Darma Agung Setya Iransyah mengingatkan bahwa
pembangunan kekuatan pertahanan tidak bisa diselesaikan hanya
dengan peningkatan rasio anggaran pertahanan terhadap PDB dan
alutsista modern tetapi juga harus didukung dengan peneguhan kembali
visi Poros Maritim, pengkajian ulang politik luar negeri, investasi pada
teknologi serta restrukturisasi organisasi.
Diplomasi dengan corak wawasan kemaritiman mungkin bukan
merupakan hal yang baru, namun implementasi faktual dari konsep
itu perlu diperkuat dengan memberikan contoh yang telah ada dalam
kancah diplomasi Indonesia selama ini. Untuk itu tulisan kedua dalam
bagian ini sangat penting karena mengangkat pengalaman diplomasi
Indonesia dalam salah satu organisasi kemaritiman kawasan yaitu CTI-
CFF (Coral Triangle Initiative for Coral Reefs, Fisheries, and Food Security).
Tulisan kedua ini berjudul “CTI-CFF Sebagai Wahana Diplomasi Politik
Maritim Indonesia” oleh Hendra Yusran Siry dari Kementerian Kelautan
dan Perikanan yang merupakan narasumber paling tepat untuk menulis
karena pengalamannya menjabat sebagai Interim Executive Director,
Regional Secretariat, CTI-CFF pada tahun 2018-2019. Dalam tulisannya
ini Hendra Yusran Siry menguraikan sejarah pendirian CTI-CFF yang
merupakan inisiatif pemerintah Indonesia. Tidak lupa dijelaskan juga
mengenai struktur dan mekanisme operasional sehari-hari CTI-CFF. Di
akhir tulisannya Hendra Yusran Siry menekankan pentingya CTI-CFF
menjadi bagian utama strategi diplomasi dan kebijakan luar negeri
Indonesia di bidang kelautan.
Tulisan ketiga adalah “Memperkuat Diplomasi Indonesia Dengan
Menggunakan Identitas Maritim” oleh Ludiro Madu dari Universitas
Pembangunan Nasional Veteran (UPN Veteran) Yogyakarta. Dalam
ix
Menggagas Konsep Maritim 2045
tulisan ini Ludiro Madu melakukan analisis untuk mengidentikasi upaya
yang perlu dilakukan Indonesia melalui kebijakan luar negeri Indonesia
guna mewujudkan cita-cita sebagai poros maritim dan pusat peradaban
maritim dunia. Ludiro Madu mengingatkan bahwa kebijakan luar negeri
Indonesia perlu memainkan faktor strategis dari karakteristik maritim
dalam setiap kebijakan luar negeri dan diplomasi di tengah semakin
kuatnya perebutan pengaruh antar-negara di kawasan Indo-Pasik.
Karakteristik itu berkaitan dengan penguatan konektivitas maritim di
tingkat domestik, kerja sama maritim dengan negara-negara kepulauan
dunia, dan kontribusi positif untuk mengurangi konik maritim.
Bagian berikutnya adalah pengelolaan sumber daya kelautan
dan pengembangan sumber daya manusia yang diisi dengan empat
buah tulisan. Tulisan pertama adalah “Rantai Nilai dan Tata Kelola
Sumber Daya Maritim” oleh Lukmandono dan Anang Siswanto dari
Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya (ITATS). Dalam tulisan tersebut
Lukmandono menyampaikan pentingnya model pendekatan rantai nilai
yang merupakan rangkaian kegiatan berkesinambungan yang dapat
dilakukan oleh institusi terkait sejak memulai produksi produk, penjualan,
distribusi, dan penyediaan produk dengan cara yang dapat menambah
nilai kepada pelanggan. Tulisan kedua adalah “Nilai dan Ambisi Strategis
Haluan Maritim Nasional 2045” oleh Nova Vincentia Pati dari Universitas
Sam Ratulangi, Manado. Pada tulisan ini Nova Vincentia Pati mencoba
menawarkan konsep investasi maritim Indonesia menuju tahun emas
2045 dengan menggunakan konsep Maritime 2050 dari negara Inggris
sebagai pembanding.
Sementara itu, Sylvia Prisca Delima dari Sekolah Tinggi Ilmu
Pelayaran Jakarta membedah isu pendidikan dan riset kemaritiman
dalam tulisan ketiga. Sylvia Prisca Delima menyampaikan hasil riset
mengenai arah maritim nasional dengan merangkum sejumlah
pembelajaran terbaik dari berbagai negara yang kemudian disilangkan
dengan konsep wawasan kemaritiman berbasis geogra manusia
Indonesia dan pendekatan pembangunan berbasis maritim. Berdasarkan
hasil analisis ini, Sylvia Prisca Delima mengungkapkan sejumlah gagasan
pokok berkenaan dengan pendidikan dan riset kemaritiman yang dapat
dipertimbangkan serta lompatan yang diperlukan demi mewujudkan visi
haluan maritim Indonesia.
x
Menggagas Konsep Maritim 2045
Bagian ini ditutup dengan tulisan keempat yang berjudul
“Pengelolaan Sumber daya Kelautan dalam Perspektif Ekonomi Politik”
oleh Thomas Nugroho yang berasal dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Thomas Nugroho menguraikan permasalahan yang dihadapi dalam
pengelolaan sumber daya kelautan selama ini. Pengelolaan yang
dijalankan dengan prinsip-prinsip dasar berkelanjutan, keterpaduan,
transparansi, partisipasi, dan keadilan sering kali menghadapi berbagai
tantangan dan masalah menyangkut realitas sosial, interaksi proses
ekonomi, politik, kepentingan, dan kekuasaan dalam pembangunan di
masyarakat. Sebagai kesimpulan, penulis menyarankan adanya analisis
pengelolaan yang komprehensif berkaitan dengan aspek struktur, aspek
kelembagaan, aspek tokoh, dan dinamika interaksi.
Pada bagian berikutnya terdapat dua tulisan yang membahas
isu pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut. Tulisan
yang pertama adalah “Pengelolaan Ruang Pesisir dan Perlindungan
Masyarakat Pesisir” oleh Hotden Leonardo Nainggolan, salah satu
pengajar di Universitas HKBP Nommensen, Medan. Dalam tulisannya
ini, Hotmen Leonardo Nainggolan mengkaji pengelolaan ruang pesisir
dan perlindungan masyarakat pesisir. Tulisan ini menyimpulkan dua hal
penting yaitu: Pertama, perlunya perhatian khusus dari pemerintah pusat
dan daerah dalam pengelolaan sumber daya yang sifatnya lintas wilayah
seperti sumber daya perikanan dan kelautan mengingat besarnya
kemungkinan timbulnya konik kewenangan. Kedua, salah satu upaya
alternatif untuk meminimalkan dampak negatif pembangunan yang
merusak ekosistem pesisir adalah dengan konservasi dan pemulihan
sumber daya alam pesisir berkelanjutan melalui pemulihan kawasan
mangrove, peningkatan kualitas habitat, peningkatan kualitas kawasan
hijau, dan pemberdayaan masyarakat terhadap kawasan mangrove
melalui pendekatan partisipatif dan kemitraan.
Tulisan kedua adalah “Agar Ruang Tak Jadi Raung: Konik dan
Demokratisasi Tata Ruang Maritim” yang disampaikan oleh Nikolaus
Loy dari UPN Veteran Yogyakarta yang mencoba menjawab pertanyaan
mengenai demokratisasi, formulasi, dan implementasi tata kelola ruang
pesisir dalam mengurangi konik di masa depan. Untuk menjawab
masalah ini, Nikolaus Loy menggunakan gagasan Levebre tentang
produksi ruang dan konsep soft space yang berargumen bahwa pemetaan
xi
Menggagas Konsep Maritim 2045
dan zonasi yang dilakukan negara sering berbenturan dengan ruang dan
lingkungan yang lebih dulu beroperasi yaitu komunitas-komunitas lokal
atau adat terkait. Nikolaus Loy berargumen bahwa konik di masa depan
dapat dihindari apabila proses produksi ruang dinegosiasikan secara
demokratis yaitu dengan menggunakan pendekatan soft space.
Pada bagian ekonomi dan infrastruktur kelautan dan peningkatan
kesejahteraan terdapat dua tulisan yaitu pertama dari Minto Basuki,
akademisi dari ITATS dan Dian Inda Sari dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Graha Kirana, Medan. Tulisannya yang berjudul “Ekonomi Maritim Ship
Recycling dalam Perspektif Teknologi Kelautan” membahas salah satu
potensi ekonomi kelautan besar yang sangat menarik yang selama ini
luput menjadi perhatian. Potensi tersebut adalah industri ship recycling
dari kapal-kapal tua yang tidak dapat beroperasi secara ekonomis lagi.
Potensi ini cukup besar karena jumlah kapal yang tidak ekonomis tersebut
telah mencapai lebih dari 8000 kapal sehingga potensi besi yang dapat
didaur ulang mencapai lebih dari 11 juta ton. Sementara itu Dian Inda Sari
membahas konsep Ekosistem Logistik Nasional dalam tulisannya yang
berjudul “Urgensi Ekosistem Logistik Nasional dalam Roadmap Aspek
Kemaritiman dan Aspek Investasi Haluan Maritim Indonesia 2045”. Penulis
mengingatkan bahwa Ekosistem Logistik Nasional harus berfungsi sebagai
agregator serta kolaborator agar logistik di Indonesia dapat beroperasi
secara lebih esien. Dian Inda Sari mengidentikasikan beberapa isu yang
perlu ditindaklanjuti antara lain perlunya penerapan sistem ini di seluruh
pelabuhan Indonesia di samping penataan infrastruktur pelabuhan
seperti Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM), kelembagaan Kekarantinaan,
serta tata ruang pelabuhan.
Buku ini disusun dengan harapan dapat memberikan sumbangan
dalam penyusunan konsep Haluan Maritim Nasional yang lengkap,
lugas, eksibel, dan bervisi jangka panjang. Disadari sepenuhnya bahwa
isu kemaritiman merupakan spektrum yang sangat luas. Keterbatasan
waktu dan sumber daya menyebabkan tulisan di dalam buku ini baru
dapat mengangkat beberapa isu dalam lima tema umum khazanah
kemaritiman Indonesia. Namun demikian diharapkan 14 tulisan ini dapat
berfungsi selayaknya konstelasi bintang dalam perjalanan kapal di tengah
samudra.
xii
Menggagas Konsep Maritim 2045
Buku ini telah diterbitkan pada tahun 2021 dengan judul “Menggagas
Haluan Maritim Nasional.” Dengan pertimbangan frase Haluan Maritim
Masional dan berbagai masukan maka judul buku ini diganti menjadi
“Menggagas Konsep Maritim 2045”. Selain itu, buku ini juga telah
dipresentasikan pada Seminar Nasional Maritim 2021 pada tanggal 20
s.d. 21 Desember 2021 di Bogor.
Okto Irianto
xiii
Menggagas Konsep Maritim 2045
DAFTAR ISI
Sambutan iii
Kata Pengantar iv
Pengantar Editor v
Bagian 1 Budaya Maritim dan Sejarah Gagasan Kemaritiman Indonesia 1
Menggenapkan Haluan Maritim Nasional: Sarwono Kusumaatmadja 2
Bangkit Budaya Bahari: Peningkatan Literasi Kebaharian dalam
Kerangka Haluan Maritim 2045: Memulangkan Sirih Ke Gagangnya,
Pinang Ke Tampuknya: Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T. 8
Wartawan Di Pusaran Kompleksitas Isu-Isu Kemaritiman:
Susilastuti Dwi Nugraha Jati 32
Bagian 2 Lingkungan Strategis, Pertahanan Keamanan, dan Diplomasi 51
Membangun Kekuatan Pertahanan Di Era Ketidakpastian:
Darma Agung Setya Iransyah 52
Cti-Cff Sebagai Wahana Diplomasi Politik Maritim Indonesia:
Hendra Yusran Siry 73
Memperkuat Diplomasi Indonesia Dengan Menggunakan
Identitas Maritim: Ludiro Madu 107
Bagian 3 Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia 125
Rantai Nilai dan Tata Kelola Sumber Daya Maritim:
Lukmandono - Anang Siswanto 126
Nilai dan Ambisi Strategis Haluan Maritim Nasional 2045:
Nova Vincentia Pati 144
Transformasi Pembangunan Manusia dan Penalaran
Daya Lenting Maritim: Sylvia Prisca Delima 162
Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dalam Perspektif Ekonomi Politik:
Thomas Nugroho 182
Bagian 4 Pengelolaan Ruang Laut dan Perlindungan Lingkungan Laut 205
Pengelolaan Ruang Pesisir dan Perlindungan Masyarakat Pesisir:
Hotden Leonardo Nainggolan: Hotden Leonardo Nainggolan 206
Agar Ruang Tak Jadi Raung: Konik dan Demokratisasi Tata
Ruang Maritim: Nikolaus Loy 234
xiv
Menggagas Konsep Maritim 2045
Bagian 5 Ekonomi dan Infrastruktur Kelautan dan Peningkatan Kesejahteraan 253
Ekonomi Maritim Ship Recycling dalam Perpektif Teknologi Kelautan:
Minto Basuki 254
Urgensi Ekosistem Logistik Nasional dalam Roadmap Aspek
Kemaritiman dan Aspek Investasi Haluan Maritim Indonesia 2045:
Dian Inda Sari 273
Biodata Singkat Penulis 297
234
Menggagas Konsep Maritim 2045
AGAR RUANG TAK JADI RAUNG: KONFLIK
DAN DEMOKRATISASI TATA RUANG
MARITIM
Oleh: Dr. Nikolaus Loy, S.I.P., M.A.
ABSTRAK
Konik atas ruang maritim merupakan satu isu kritis dalam pembangunan
saat ini. Tipe dan frekuensi konik sangat mungkin meningkat di masa depan
bersamaan dengan ekspansi aktivitas ekonomi dari daratan ke zona maritim. Salah
satu tipe konik atas ruang maritim dipicu oleh kompetisi atas wilayah pesisir.
Paper ini berupaya menjawab pertanyaan bagaimana demokratisasi formulasi
tata kelola ruang pesisir dapat mengurangi konik di masa depan? Jawaban atas
pertanyaan ini dikembangkan dengan menggunakan gagasan Lefebvre tentang
produksi ruang dan konsep soft space. Argumen yang dibangun adalah bahwa
konik atas ruang pesisir terjadi karena representasi ruang yang diproduksi oleh
tata ruang, sering berbenturan dengan spatial practice ruang aktual lokal yang
menyejarah dan lived space, yakni ruang dihayati oleh komunitas-komunitas
dimana pemetaan dan zonasi dilakukan. Praktik spasial lokal sudah ada jauh
sebelum ada conceived space yang dibentuk oleh tata ruang yang diproduksi
negara. Agar ruang tak menjadi raung (baca: konik), proses produksi ruang demi
kepentingan ekonomi harus dinegosiasikan secara demokratis. Penggunaan
pendekatan soft space berbasis lived space memungkinkan produksi ruang
pesisir yang tidak dihegemoni. Dengan cara ini, konik atas ruang pesisir di masa
depan bisa diredam.
Kata Kunci: Ruang Pesisir, Representasi Ruang, Praktik Spasial, Soft
Space.
PENDAHULUAN
Rancangan Haluan Maritim Nasional 2045 (HMN), yang diterbitkan
Kemenko Kemaritiman dan Investasi, memproyeksikan Indonesia sebagai
pusat peradaban maritim dunia. HMN, yang merupakan kelanjutan dari ide
besar Indonesia sebagai poros maritim dunia, memiliki dua tujuan yakni
235
Menggagas Konsep Maritim 2045
ekonomi dan kebangsaan. Dalam bidang ekonomi, Indonesia ditargetkan
menjadi negara berbasis ekonomi maritim yang kokoh, bertumbuh
pesat, adil, merata, dan berkelanjutan. Visi kebangsaan mencita-citakan
Indonesia sebagai bangsa bahari yang unggul, berdaulat, dan berdaya
saing, berbasis pada sumber daya manusia yang maju, inovatif, dan
berkarakter Nusantara. Pembangunan ekonomi maritim akan mendorong
produksi dan komodikasi ruang demi kepentingan pengelolaan sumber
daya, tranportasi, pariwisata, dan kegiatan lain. Kompetisi untuk
mengakses dan mengonstruksi ruang maritim, terutama ruang pesisir,
dapat mendorong perluasan konik yang sudah terjadi saat ini.
Tulisan ini hendak mengembangkan gagasan tentang bagaimana
tata ruang maritim, sebagai instrumen negosiasi akses, dapat
menghasilkan sebuah model tata kelola yang rendah konik, tetapi
juga produktif. Pendekatan yang dipakai adalah perspektif spasial
konstruktivis, sekaligus kritis, yang dikembangkan Henri Lefebvre.
Kerangka pikir Lefebvre dipakai untuk membangun penjelasan
bagaimana representasi ruang pesisir yang mengabaikan praktik spasial
setempat dan pengalaman meruang yang menyejarah, dapat menjadi
sumber konik. Untuk mencegahnya, demokratisasi tata ruang melalui
pendekatan soft space perlu dipertimbangkan dalam tata ruang pesisir
di masa depan. Seluruh argumen dikembangkan dalam tujuh bagian.
Setelah pendahuluan, bagian kedua mendiskusikan pemikiran Lefebvre
tentang ruang, disusul uraian singkat tentang praktik spasial masyarakat
pesisir di bagian tiga. Bagian keempat berisi kebijakan spasial nasional,
sementara bagian kelima membahas konik spasial akibat benturan
antara antara ruang abstrak dan praktik meruang. Bagian keenam
menawarkan pendekatan demokratisasi tata ruang dan soft space sebagai
instrumen pencegahan konik akan memetakan kecenderungan konik
atas ruang pesisir di Indonesia saat ini. Bagian ketujuh adalah penutup.
PRODUKSI RUANG:
TRIAD SPASIAL LEFEBVRE
Teori produksi ruang yang dikembangkan oleh Henri Lefebvre
dapat menjadi sumber inspirasi untuk mengembangkan kebijakan tata
kelola ruang pesisir yang rendah konik. Lefebvre, seorang lsuf Marxis
Prancis mencoba membangun sebuah teori ruang yang utuh. Baginya,
ruang bukan merupakan sebuah kontainer yang menampung berbagai
macam makhluk dan aktivitas di dalamnya. Ruang adalah hasil dari
236
Menggagas Konsep Maritim 2045
proses konstruksi sosial (Lefebvre, 1991; Walet, 2014). Manusia aktif
memproduksi ruang secara individual atau melalui interaksi dengan
orang lain. Makna ruang sebagai destinasi pariwisata, kebun atau pesisir
dibentuk oleh mereka yang mendiami ruang itu, dalam interaksi dengan
lingkungan sekitar, terbentuk dalam jaringan yang melibatkan aktivitas
sosial ekonomi, kehidupan pribadi dan kegiatan waktu luang (Pamungkas,
2016).
Bagaimana ruang diproduksi? Dalam magnum opusnya, The
Production of Space, Lefebvre mengembangkan konsep the spatial triad
yakni tiga elemen ruang yang saling berhubungan. (Lefebvre H. , 1991, pp.
33,38-39). Pertama, spatial practice (praktik meruang) yakni bagaimana
aktivitas dan praktik sehari-hari dimanifestasikan dalam ruang tertentu.
Praktik spasial berhubungan dengan ruang sik dan karenanya paling
mudah dikenali. Leary (2009) menyebut tiga elemen kunci praktik spasial
yakni lingkungan material seperti bangunan, infrastruktur, jaringan
yang menghubungkan tempat kerja, ruang pribadi, dan waktu luang;
praktik atau aktivitas rutin harian; proses sosio-ekonomi dimana ruang
direproduksi atau dihasilkan dalam interaksi dengan representasi ruang
dan ruang representasional (Walet, 2014, 21) . Pemaknaan ruang yang
dihasilkan dari praktik spasial adalah perceived space. Istilah ini merujuk
pada ruang yang terbentuk dari aktivitas sehari-hari, kesan indrawi, dan
persepsi tentang alam sekitar (Lefebvre, p. 27). Disebut perceived karena
aspek sik memungkinkan ruang ini dapat dilihat, dirasakan, disentuh
atau dialami secara indrawi (Walet, 2014, 21).
Lefebvre memandang praktik sosial sebagai praktik spasial karena
setiap praktik sosial selalu mengapropriasi atau menguasai ruang sik
dimana praktik sosial terjadi. Dalam gagasan Lefebvre, praktik spasial
sebuah masyarakat menghasilkan ruang masyarakat itu. Praktik spasial
secara perlahan namun pasti memproduksi ruang dengan menguasai
dan menyesuaikan ruang itu. Secara analitik, praktik spasial sebuah
masyarakat diungkapkan dengan menguraikan ruang (Lefebvre 1991, 38).
Adapun yang diuraikan adalah berbagai rutinitas harian, rute, jaringan
yang menghubungkan berbagai tempat yang difungsikan untuk bekerja,
kehidupan pribadi, dan aktivitas waktu luang.
Proses apropriasi adalah tindakan menyesuaikan ruang geogras
tertentu untuk praktik sosial tertentu. Aktivitas sosial beribadah, misalnya,
mengapropriasi ruang sik yang kemudian bernama gereja atau masjid.
237
Menggagas Konsep Maritim 2045
Praktik sosial memproduksi sawit mengapropriasi ruang bernama
perkebunan sawit. Sementara di laut, kegiatan berlayar untuk berdagang,
mengapropriasi ruang yang bernama rute, jaringan pelabuhan utama,
pelabuhan penghubung, dan terminal peti kemas. Dengan demikian,
praktik sosial memberikan makna pada ruang dengan menjadikannya
sebagai tempat. Ketika seorang nelayan membangun kolam-kolam
sepanjang pesisir atau muara, ia sedang menamai sebidang pantai atau
muara sebagai tambak. Ketika ia kemudian mengurus semacam sertikat
pada pemerintah setempat, ia sedang memberikan status properti pada
sebuah lokasi geogras dimana aktivitas produksi, ikan atau garam,
sedang dilakukan. Dengan demikian, praktik spasial adalah tindakan
memberikan status fungsi pada lokasi geogras tertentu. Status fungsi
ini dibentuk melalui proses sosial dimana intensionalitas kolektif tentang
ruang terbangun.
Praktik spasial memproduksi, mentransformasi, dan mereproduksi
hubungan spasial dengan berbagai elemen dalam ruang itu. Akumulasi
kapital adalah salah satu yang membentuk pola praktik spasial ini.
Dalam ruang pesisir, praktik spasial budi daya ikan yang mengapropriasi
ruang pantai bernama tambak memiliki relasi dengan ruang lain seperti
pelabuhan dan pantai wisata yang berada dalam lokasi yang sama.
Tambak menjadi berbeda dengan pelabuhan karena aktivitas sosial
yang berbeda tetapi keduanya dihubungkan dalam relasi dan kekuatan
produksi kapitalis.
Kedua, representations of space (reprensentasi ruang) adalah ruang
yang dikonseptualisasi, ruang ilmuwan, perencana oleh para ahli,
perencana ahli perkotaan, teknorat, dan ahli rekayasa sosial (Lefebvre,
1991, 38). Representasi ruang dilakukan dengan peta, zonasi, gambar
atau instrumen lain yang mewakili ruang. Lefebvre menyebut ruang tipe
ini sebagai conceived space. Ruang yang dilahirkan dari rahim pikiran
para ahli melalui penggunaan ilmu tata ruang, pemetaan, dan zonasi.
Pengalaman yang dihasilkan oleh tipe ruang ini adalah pengalaman
abstrak dan karena itu elemen kedua dalam triad Lefebvre ini disebut juga
sebagai mental space. Apa yang kita bayangkan tentang zona maritim
sebenarnya adalah gambaran mental tentang sebuah kawasan di laut
yang dikonstruksi melalui peta, model, zonasi, tata ruang, dan diskursus
yang diproduksi dan direproduksi. Peta dan zonasi membantu kita
membayangkan seolah-olah ruang maritim memiliki batas sik yang solid
seperti tanah di daratan.
238
Menggagas Konsep Maritim 2045
Gambaran mental ini diproduksi dalam konteks historis tertentu.
Para ahli atau sekelompok ahli yang umumnya ditugasi negara
memproduksi representasi ruang melalui penggunaan ilmu pengetahuan
seperti geogra. Konstruksi ruang abstrak ini melibatkan kekuasaan
dan ideologi, khususnya kapitalisme. Representasi ruang dalam bentuk
berbagai tata ruang pada masa kini, sangat berkaitan dengan globalisasi
neoliberal dimana privatisasi ruang menjadi instrumen kunci dalam
ekspansi kapitalisme global dalam berbagi sektor ekonomi. Kehadiran
masyarakat adat yang menguasai ruang alam dan ruang hidup adalah
hambatan utama dari ekspansi kapitalisme global. Oleh karena itu,
abstraksi ruang adalah cara kapitalisme meruntuhkan ruang alam dan
ruang hidup masyarakat adat. Sebagai gantinya, instalasi ruang abstrak
memungkinkan penundukan dan kontrol oleh kekuatan kapital terhadap
ruang dan sumber daya di dalamnya demi tujuan ekspansi.
Ketiga, representational spaces, yakni ruang lived (dihidupi) melalui
simbol dan imaji yang berhubungan dengan ruang itu. Dimensi ruang ini
tidak hanya dihayati oleh para penghuninya tetapi juga pihak lain seperti
penulis, seniman, atau bahkan lsuf (Lefebvre, 1991, 39). Pada zaman
sekarang, ruang ini juga dihuni oleh youtuber, facebooker, dan instagramer.
Lived space adalah bentuk pengalaman akan ruang yang paling bermakna
karena melibatkan proses bawah sadar, lebih menggunakan hati, perasaan
daripada pikiran (Walet, 2014). Ruang hidup melibatkan imajinasi, simbol,
serta sejarah kelompok manusia dan individu yang menjadi bagiannya.
Ungkapan “Yogya terbuat dari rindu” adalah pengalaman meruang yang
intim dari mereka yang pernah tinggal atau mengunjungi Yogya.
Ruang representasi membangkitkan perasaan mendalam dan
bermakna (Carp, 2008). Pengalaman akan ruang ini melibatkan zona
pribadi seperti rumah, festival, relasi yang sangat personal, dan subjektif
dengan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dalam gagasan Buser
(2012), ruang representasi sangat berhubungan erat dengan kenangan,
perasaan, sangat bersifat simbolik, kualitatif, cair, dan dinamis, melibatkan
nilai, norma, dan pengalaman sosial (Walet, 2014, 23). Ruang representasi
juga sangat dipengaruhi oleh budaya. Oleh karena itu, imajinasi orang
tentang rumah akan berbeda dalam kebudayaan yang berbeda. Dalam
ruang yang disebut rumah, budaya berbeda menghasilkan pengalaman
berbeda dalam interaksi antaranggota, bereproduksi, mendidik, dan
menjalani hidup sebagai keluarga dengan peran-peran berbeda. Para ahli
tata ruang sangat memahami fungsi dan kekuatan ruang representasi
239
Menggagas Konsep Maritim 2045
karena mampu meningkatkan utilitas ruang. Ingatan masa kecil,
labirin, jalan setapak, kuburan, masjid atau gereja kuno, dan monumen,
memiliki sisi emosional yang dapat menjadi daya tarik sebuah ruang
demi kepentingan pariwisata. Dimensi ketiga ini menjelaskan mengapa
seseorang sangat terikat dengan ‘ruang’ tempat kelahiran.
Sebagai realitas sosial, ruang selalu berubah, bergerak, meski
mungkin memiliki bentuk menetap pada momen tertentu. Proses produksi
ruang ini melibatkan relasi kuasa. Oleh karena itu, Elden berargumen
bahwa ‘there is a politic of space because space is political,” (Elden, 2007).
Kekuasaan adalah bagian dari produksi ruang dan ruang adalah praktik
kuasa itu sendiri. Dalam ruang, kekuasaan dapat dipraktikkan secara
produktif, melalui negara. Dalam aspek ini, Lefebvre berbeda dengan
Marx, yang cenderung menempatkan kekuasaan secara negatif, dengan
menjadi alat represif. Bagi Lefebvre, ruang sosial menjadi alat pikiran dan
tindakan, alat produksi, komoditas dan sumber daya produksi, alat kontrol
sosial, basis dari pemilikan yang diatur melalui hukum atau perencanaan
hierarkis, instrumen ideologis yang bersifat simbolik, dan medan untuk
mengembangkan perlawanan baik melalui seni atau aksi sosial kolektif.
(Nalle, 2021, p. 69).
Gagasan Lefebvre dipakai untuk memahami bagaimana produksi
ruang abstrak melalui tata ruang tidak selalu sejalan dengan praktik
spasial dan pengalaman meruang. Dalam wilayah pesisir, ruang-ruang
baru yang diciptakan melalui zonasi menafsirkan ulang ruang sik dengan
memberi fungsi baru. Fungsi baru ini harus dinegosiasikan dengan fungsi
lama ruang dalam praktik spasial yang menyejarah di suatu kawasan. Pada
ringkat tertentu, ruang ciptaan para ahli menghegemoni pengalaman
meruang dengan mengubahnya menjadi sekadar komoditas industri.
PRAKTIK SPASIAL MASYARAKAT PESISIR
Ruang pesisir dan pulau kecil, selain tersusun oleh lingkungan sik
dan alam yang khas, juga terbentuk oleh praktik spasial komunitas-
komunitas masyarakat yang berdiam di dalamnya. Laut dan pesisir
adalah bagian tak terpisahkan dari kelompok-kelompok migran yang
berbeda asal, namun kemudian mendiami rangkaian nusa di antara dua
samudra, yakni Nusantara. Masyarakat ini kemudian membentuk sebuah
kesepakatan kultural dan politik sebagai bangsa bernegara bernama
Indonesia.
240
Menggagas Konsep Maritim 2045
Secara umum, praktik spasial masyarakat pesisir dapat
dikelompokkan ke dalam empat bentuk. Pertama, pesisir dan perairan di
sekitarnya adalah ruang mata pencaharian. Bagi komunitas-komunitas
pantai, pesisir, teluk, pulau kecil adalah daerah tangkapan dan daerah
budi daya perikanan. Aktivitas ini melahirkan kegiatan ikutan yakni
pembuatan perahu, memperbaiki perahu, pembuatan dan perawatan
jaring, serta aktivitas perdagangan ikan dan hasil laut lain. Ketika teknologi
budi daya diperkenalkan, kemudian komunitas-komunitas masyarakat
pesisir mengembangkan praktik spasial berupa budi daya ikan, kerang
mutiara, dan rumput laut. Pesisir sebagai lokus ekonomi komunitas telah
hidup dan berevolusi selama ratusan tahun. Beberapa komunitas ini,
kemudian berkembang menjadi pusat kerajaan, kota-kota kolonial, dan
akhirnya kota-kota pantai di masa Indonesia modern.
Kedua, pesisir adalah lokus transaksi. Sebelum ekonomi modern
berkembang, komunitas-komunitas masyarakat pesisir telah melakukan
perdagangan dengan komunitas-komunitas yang dekat maupun yang
jauh dari tempat tinggal mereka. Jauh sebelum negara membangun
pelabuhan-pelabuhan modern yang menghubungkan ekonomi Flores dan
Jawa, masyarakat pesisir di Flores telah melakukan hubungan dagang
dengan Makassar di Sulawesi. Kota ini adalah pusat ekonomi maritim di
kawan Indonesia Timur. Jaringan pelayaran rakyat merupakan tulang
punggung transaksi antar-kedua pulau. Moda transportasi utama berupa
kapal kayu atau kapal layar tiang tunggal yang dalam bahasa setempat
disebut Lambo.
Ketiga, pesisir adalah ruang sosial dan kultural. Kedekatan hidup
dengan laut melahirkan tradisi, budaya dan pada tingkat tertentu sistem
religi lokal yang khas. Tradisi labuhan, sedekah laut di sepanjang pantai
selatan Jawa adalah contohnya. Tradisi ini menggambarkan hubungan
khas antara komunitas-komunitas nelayan dengan laut yang dipandang
sebagai sumber penghidupan. Upacara yang kadang-kadang dicap
sebagai animis, berakar dari sebuah loso tentang hubungan manusia
dengan alam yang diwakili laut. Sudati (2000) berargumen bahwa
penghormatan pada laut adalah bentuk penghargaan pada lingkungan
ekologis, kekuatan yang menciptakannya, dan keseimbangan antara
manusia, lingkungan alam, dan pencipta (Sutopo, 2018, p. 37).
Keempat, ruang pesisir adalah sumber pengetahuan tentang
hidup dan identitas kolektif. Komunitas-komunitas masyarakat Melayu
di Riau, misalnya, menggunakan laut dan juga sungai sebagai sumber
241
Menggagas Konsep Maritim 2045
Pendidikan dan pengajaran anak. Hal ini tercermin dari berbagai
peribahasa dan sastra Melayu terutama pantun. Laut dan pesisir adalah
sumber pembentuk identitas individu dan komunitas. Ungkapan ‘Nenek
moyangku orang pelaut’, “selamat mengarungi bahtera rumah tangga”
menggambarkan pengaruh laut dan wilayah pesisir pada gambaran diri
orang Indonesia. Dalam komunitas Ngada, NTT zaman dahulu, identitas
personal sering dilabeli sebagai ata mau (orang pantai) dan ata dua atau
isi dua (orang gunung). Kategorisasi ini mengandung makna tertentu,
misalnya, kategori kedua dihubungkan dengan sikap susah membuka diri
pada perubahan dan kemajuan. Praktik spasial masyarakat pesisir adalah
hasil dari interaksi dengan lingkungan daratan dan lautan, dipraktikkan
dan direproduksi sepanjang sejarah komunitas, dilegitimasi oleh norma
dan struktur kekuasaan komunitas setempat.
KEBIJAKAN SPASIAL MARITIM
Pada masa kini, praktik spasial komunitas pesisir di atas masih ada
yang aktif beroperasi, sebagian berada dalam konik, atau berdampingan
dengan praktik spasial baru yang berkembang berkat kebijakan spasial
maritim. Tata ruang maritim dibutuhkan untuk mendorong target
pertumbuhan ekonomi maritim. Visi Indonesia 2045 menempatkan
ekonomi maritim sebagai salah satu sektor penting dalam perekonomian
nasional, bersama dengan kekuatan maritim dan peradaban maritim.
Kontribusi sektor maritim dalam PDB diharapkan meningkat dari 6,4 %
(2015), 9,0 % (2030), menjadi 12,5 % (2045) (Bappenas, 2019, hal. 15).
Pembangunan ekonomi maritim bertumpu pada esiensi dan efektivitas
konektivitas laut, industrialisasi perikanan berkelanjutan, dan pariwisata
bahari yang inklusif. Pengarusutamaan ekonomi maritim membutuhkan
penataan ruang maritim, termasuk ruang pesisir. Sebagai lokus kebijakan
dan tindakan, ruang pesisir akan menjadi medan kontestasi dan negosiasi
berbagai aktor yang berpeluang menimbulkan tabrakan kepentingan.
Konik yang sudah terjadi saat ini dapat mengalami peningkatan ketika
tata ruang pesisir tidak mampu mendamaikan aspirasi dan kepentingan
ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya yang saling bersaing.
Kebijakan spasial maritim didasarkan pada paradigma Marine
Spatial Planning (MSP) atau perencanaan ruang maritim. Eler dan Douvere
(2009) mendenisikan MSP sebagai “proses publik dalam menganalisis
242
Menggagas Konsep Maritim 2045
dan mengalokasikan distribusi aktivitas manusia di wilayah laut untuk
mencapai tujuan ekologis, sosial, dan ekonomi” (Siedschlag, 2019).
Distibusi aktivitas maritim diterjemahkan ke dalam zonasi yang didasarkan
pada sekelompok atau lebih aktivitas prioritas. MSP mendekati ruang
pesisir secara rasional dan positif. Ruang pantai dan pesisir dilihat sebagai
suatu lokasi yang objektif, berada di luar dan bisa dimanipulasi dengan
rasionalitas teknis. Teknikalisasi kemudian melahirkan pendekatan
zonasi yang canggih dimana suatu aktivitas bisa didelienasi dari aktivitas
lainnya. Zonasi beranjak dari persepsi bahwa ruang maritim dan pesisir
sebagai ruang yang relatif luas dan kosong. Sebuah open acces yang
siap dikomodikasi. Cara pandang ini mengabaikan realitas bahwa ruang
maritim itu adalah tempat yang ‘sibuk’ baik oleh aktivitas manusia,
interaksi dan perkembangbiakan makhluk dalam ekosistem setempat
dan ekosistem lain yang dihubungkan oleh perubahan musim dan arus
laut.
Kebijakan spasial maritim nasional diterjemahkan ke dalam Undang-
undang dan peraturan di bawahnya. Pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil diatur dalam UU No. 27/2007, (kemudian diubah menjadi
UU No.1/2014). UU tersebut mendenisikan wilayah pesisir sebagai
“daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut”. Ekosistem pesisir sangat dipengaruhi oleh
aktivitas manusia, perubahan lingkungan di daratan, maupun dinamika
ekosistem dan arus laut. Wilayah pesisir dapat mengandung sumber daya
hayati, nonhayati, maupun sumber daya buatan manusia. UU ini juga
memasukkan perairan sejauh 12 mil laut, teluk, laguna, perairan dangkal,
dan perairan yang menghubungkan pulau sebagai perairan pesisir.
Demi berbagai kepentingan, UU di atas membagi ruang pesisir ke
dalam kawasan atau zonasi berdasarkan parameter sik, biologis, sosial,
dan ekonomi (Lihat bagan). Ada kawasan yang diperuntukkan bagi aktivitas
umum dan kawasan yang bersifat strategis. Pengelompokan pulau kecil
didasarkan pada ukuran luas, yakni lebih kecil atau sama dengan 2000
km2. Meski menyebutkan ekosistem pulau kecil sebagai bagian pulau, UU
di atas tidak menjelaskan apakah ekosistem sekitar pulau kecil adalah
zona terpisah atau menjadi bagian dari luas sebuah pulau.
243
Menggagas Konsep Maritim 2045
Bagan: Alokasi Ruang Laut Menurut No.27/2007 jo UU No 1 Tahun 2014
(Sumber: Sujadmi and Bahjatul, 2020, p. 167.)
Selain itu, zonasi maritim juga diatur dalam PP No.32/2019
tentang Rencana Tata Ruang Laut. PP ini ditujukan untuk mendukung
perkembangan ekonomi maritim, termasuk wisata bahari yang
didenisikan sebagai “kegiatan wisata alam yang berlangsung di wilayah
pesisir dan/atau laut yang meliputi wisata pantai, wisata bentang laut,
dan wisata bawah laut”. Pasal 22 dari Peraturan yang sama membagi
ruang laut ke dalam beberapa kawasan. Pariwisata masuk ke dalam
kawasan pemanfaatan umum, selain perikanan, pertambangan, industri
maritim, energi, pertahanan keamanan, dan transportasi. Kawasan yang
dapat masuk ke dalam zona pariwisata jika memiliki daya tarik wisata
bahari, memilik objek wisata bahari, akses yang mudah, luas yang mampu
mendukung konservasi demi mendukung wisata alam dan kondisi
lingkungan yang mendukung. Kawasan pesisir dan pulau kecil dimasukkan
dalam zona pariwisata jika memiliki objek wisata dalam bentuk budaya,
bentang alam, dan panorama bawah laut dapat dimasukkan ke dalam
zona pariwisata maritim.
244
Menggagas Konsep Maritim 2045
KONFLIK SPASIAL DI PESISIR
Perekonomian maritim yang berkelanjutan mungkin akan mencegah
kelangkaan sumber daya perikanan dan sumber daya lain. Kekayaan laut
mungkin masih berlimpah, tetapi ruang pesisir yang bebas konik akan
semakin langka. Sejauh ini, konik spasial pesisir mencakup beberapa
tipe. Pertama, konik horizontal antarkelompok nelayan berkaitan dengan
daerah tangkapan ikan dan penggunaan peralatan tangkap. Kasus konik
nelayan Selat Madura masuk dalam tipe ini (Suryanto & Aniputro, 2013).
Kedua, konik yang muncul akibat aktivitas pertambangan, terutama
pertambangan batu, pasir, timah, atau mineral lain. Pesisir Pulau Bangka
adalah daerah dengan konik yang disebabkan oleh pertambangan timah
(Bidayani & Kurniawan, 2020). Ketiga, konik atas penggunaan ruang
pantai untuk aktivitas budi daya ikan dan rumput laut. Keempat, konik
atas ruang pantai, pulau kecil, dan perairan yang berkaitan dengan
aktivitas pariwisata. Konsorsium Pembaruan Agraria melaporkan bahwa
dari 241 total kasus konik berkaitan dengan lahan pada 2020, dan tiga
kasus berkaitan dengan ruang pesisir. Lembaga yang sama melaporkan
bahwa dari 264.272 hektare konik lahan di tahun yang sama, seluas 243
hektare merupakan ruang pesisir. (www.https://sdgscenter.unhas.ac.id)
Dalam beberapa kasus, ruang pesisir terutama yang berdekatan
dengan daerah industri dan perkotaan menjadi lokus konik dengan
sebab tumpang tindih. Studi yang dilakukan (Mujio, 2016) dan Cadith
(2019) menyimpulkan kecenderungan tersebut. Cadith yang melakukan
penelitian di pesisir Banten menemukan pola dan aktor konik yang
sangat kompleks. Konik melibatkan antarkelompok nelayan karena
penangkapan ikan atau tambang pasir, antarnelayan dengan perusahaan
penambang pasir, antarnelayan dan industri, konik antarindustri,
antarpemerintah dan nelayan, antarpewaris kesultanan, serta
antarnelayan dan manajemen pelabuhan. Sebab-sebab konik mencakup
penggunaan sumber daya dan akses ke ruang pesisir. Variabel penting
dalam konik ini adalah perubahan rezim pengelolaan ruang yang bersifat
terbuka menjadi rezim ruang yang dikontrol negara. Tipe konik ruang
pesisir dengan sebab kompleks akan meningkat bersamaan dengan
perluasan aktivitas pariwisata bahari. Studi yang dilakukan Syafriny
dan Sangkertadi (2019) di Manado, misalnya, menemukan bagaimana
kepentingan konservasi, komunitas, dan turisme bersaing satu sama lain.
245
Menggagas Konsep Maritim 2045
Kasus konik atas ruang pantai dan pulau kecil di Flores adalah
contoh bagaimana produksi ruang demi pariwisata menimbulkan konik.
Penetapan Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo sebagai destinasi
premium adalah bentuk representasi ruang dalam gagasan Lefebvre.
Badan Otoritas Pariwisata (BOP) dan Labuan Bajo sebagai sebuah
conceived space, telah meningkatkan jumlah turis dan investasi di sektor
pariwisata. Pariwisata juga mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan
Manggarai Barat dan Kabupaten lain di Flores. Jumlah kunjungan
wisatawan meningkat tidak hanya di Labuan Bajo dan Komodo, tetapi
juga di Kabupatan Ngada dan Ende.
Bersamaan dengan peningkatan aktivitas pariwisata, muncul
berbagai konik atas ruang pantai, pulai kecil, tanah, dan sumber daya
lain. Zonasi Labuan Bajo sebagai BOP, mendorong privatisasi pantai
dan ruang publik. WALHI NTT menemukan bahwa privatisasi ruang
pesisir menggusur komunitas-komunitas masyarakat dari ruang hidup,
meniadakan zona rekreasi murah bagi masyarakat, menghilangkan akses
nelayan ke ruang pantai dan mempertajam konik atas persediaan air
(Walhi, 2020). Salah satunya adalah kasus konik atas ruang pantai Pede
di Labuan Bajo. Pesisir Teluk Labuan Bajo tidak memiliki kawasan pantai
yang luas dan panjang. Sebagian pantai telah dipakai untuk pelabuhan,
tempat kuliner, dan marina. Hotel-hotel di pantai menjadi pantai di
dekatnya sebagai kawasan privat. Pantai Pede yang terletak pada sisi
barat adalah salah satu kawasan yang masih bisa diakses oleh publik.
Pada 2012, sebuah perusahaan hendak membangun hotel di pantai
tersebut yang dapat mengakibatkan masyarakat kehilangan semua
akses ke pantai. Rencana pembangunan ini ditolak oleh masyarakat dan
menimbulkan konik berkepanjangan.
Konik atas ruang pesisir dan ruang lainnya berakar dari dua
benturan ruang. Pertama, benturan antara praktik spasial lokal dengan
representasi ruang yang dihasilkan oleh kebijakan tata ruang. Selama
ratusan tahun, Pulau Komodo dan perairan sekitarnya adalah ruang sik
yang menjadi lokus geogras untuk praktik spasial bertani dan penangkap
ikan. Praktik spasial ini cenderung tidak bertentangan dengan praktik
spasial konservasi karena Varanus Komodiensis adalah bagian dari lived
space kampung-kampung nelayan setempat. Dengan kata lain, Pulau
komodo adalah buaya Komodo dan orang Komodo. Representasi ruang
yang dihasilkan dari transformasi Labuan Bajo sebagai ‘ruang konservasi’
246
Menggagas Konsep Maritim 2045
menyebabkan praktik spasial suku-suku setempat menjadi ‘tidak ramah’
konservasi, dan karena itu ilegal. Representasi ruang baru ini bahkan
menjadi alat kontrol dan dominasi dalam bentuk rencana Pemerintah
NTT memindahkan suku-suku setempat ke luar dari Pulau Komodo dan
Pulau Rinca. Berbagai kelompok masyarakat sipil menduga wacana ruang
konservasi sebenarnya hanya merupakan selubung ideologis agenda
lain. Agenda lain itu adalah perubahan praktik spasial dimana Komodo
dijadikan semacam ‘etalase alam’ untuk menarik lebih banyak wisatawan.
Dasar dari semua rencana itu adalah ekspansi kapitalisme waktu luang
yang bernama pariwisata premium.
Kedua, representasi ruang sering mentransformasi secara paksa,
meruntuhkan, membenamkan ruang hidup, dan pengalaman meruang
setempat. Tata ruang yang didominasi pendekatan rasional, teknis,
komersial, mengabaikan sejarah, narasi, ikatan psikologis, dan budaya
yang menjadi pengalaman meruang komunitas-komunitas setempat.
Dalam kasus Pulau Komodo, representasi ruang Komodo sebagai zona
konservasi dan turisme beroperasi dalam ideologi kapitalis yang memecah
relasi antara-Orang Komodo dan buaya Komodo. Fragmentasi relasi
ini ditopang oleh pertemuan wacana sustainabilitas antara konservasi
dan akumulasi kapital. Kelestarian Komodo adalah syarat tak dapat
ditawar untuk kelestarian kapital yang mewajah dalam berbagai ruang
hotel, jaringan tour dan pekerjaan yang tercipta oleh keduanya. Dalam
wacana kelestarian, lebih tinggi kesesuaian ‘nasib’ industri pariwisata
dan ‘nasib’ buaya Komodo, dibandingkan kesesuaian ‘nasib’ antara
industri pariwisata dengan komunitas-komunitas masyarakat Komodo.
Representasi ruang yang menghasilkan praktik spasial yang bernama
turisme kemudian merampas pengalaman meruang masyarakat lokal.
Pada tingkat tertentu, industri pariwisata bahkan mereproduksi dan
mengkapitalisasi pengalaman meruang lokal sebagai komoditas industri.
Tabrakan antara tiga dimensi ruang akan makin sering terjadi bersamaan
dengan ambisi besar mengembangkan ekonomi maritim di masa depan.
AGAR RUANG TAK JADI RAUNG
Tiga dimensi ruang yang dibahas sebelumnya dapat menjadi dasar
penyusunan tata ruang pesisir agar ruang tak jadi raung (konik). Benturan
yang menimbulkan konik ini dapat diatasi jika di masa depan, produksi
247
Menggagas Konsep Maritim 2045
ruang menggunakan pendekatan yang demokratis. Demokratisasi
produksi ruang terutama dilakukan ketika kebijakan tata ruang di tingkat
nasional hendak diterjemahkan dalam proses produksi ruang di tingkat
lokal.
Pemangku kepentingan pada komunitas yang paling rendah perlu
dilibatkan dalam perumusan kebijakan zonasi pesisir. Partisipasi ini
memungkinkan kebijakan ruang nasional diadaptasi pada tingkat lokal
dengan memperhitungkan aktor, kepentingan, tradisi, dan operasi
ruang yang sudah efektif berlaku. Forum stakeholder di tingkat lokal
menjadi medan dimana berbagai kepentingan, rezim ruang lama dan
baru dinegosiasikan, sehingga menghasilkan sebuah tata kelola ruang
akomodatif, produktif, dan rendah konik.
Sejauh ini pelibatan pemangku kepentingan lokal dalam
penyusunan tata ruang belum maksimal. Ketua Harian DPP Kesatuan
Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata, pada 2018,
melaporkan bahwa hanya sekelompok kecil masyarakat pesisir dan
pemangku kepentingan utama yang dilibatkan dalam proses penyusunan
Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RZWP3K) di semua provinsi. Proses penyusunan juga tidak transparan,
mengabaikan perdebatan terbuka yang dapat mengakomodasi aspirasi
pihak desa, kecamatan atau kabupaten yang memiliki pantai dan pulau-
pulau terkecil (Ambari, 2018).
Demokratisasi tata ruang dapat dijalankan melalui pendekatan soft
space (ruang yang cair). Konsep soft space menunjuk pada pendekatan
yang lebih eksibel terhadap teritorial dan proses perencanaan spasial
(Haughton, Allmendinger, Counsell, & Vigar, 2010). Pendekatan ini
berkembang di Eropa untuk merespons munculnya ruang-ruang baru
yang memiliki fungsi tertentu, tidak dibatasi oleh batas-batas organisasi
dan geogras. Soft space, dengan demikian, melampaui area-area
perencanaan konvensional karena melibatkan kongurasi aktor dan
bentuk-bentuk kerja sama yang baru. Perbatasan dalam pendekatan
bersifat lentur dan fokus perencanaan justru di area perbatasan yang
menjadi zona transisi, tumpang tindih, dan saling memengaruhi.
Ciri-ciri penting dari pendekatan ini adalah (1) devolusi kekuasaan,
termasuk dalam fungsi perencanaan dari pemerintah pusat ke
tingkat administrasi yang lebih rendah; (2) pergeseran dari kontrol
perencanaan terpusat ke tata kelola partisipatif yang memungkinkan
248
Menggagas Konsep Maritim 2045
negara, pihak swasta, dan masyarakat sipil bekerja sama; (3) integrasi
bidang kebijakan yang berkaitan dengan tata ruang; (4) mendorong
semangat kewirausahaan; (5) dalam bidang maritim, menekankan aspek
sustainabilitas lingkungan (Jay, 2018). Satu ciri lain yang penting dari
pendekatan soft space adalah kombinasi antarsifat formal dan informal,
yang memungkinkan aktor baru dapat mengambil bagian ketika proses
perencanaan berlangsung. Dalam bidang maritim, pendekatan soft space
juga melibatkan proses informal sebagai persiapan pendekatan formal
dengan tujuan menjaring aspirasi dan pengetahuan baru.
Aspek penting soft space yang bisa diadopsi dalam tata ruang pesisir
adalah devolusi kekuasaan ke tingkat lokal, tata kelola partisipatif dan
berjenjang, serta proses informal mendahului proses formal. Negara
dalam hal ini pemerintah pusat menetapkan aturan umum yang bersifat
nasional. Perencanaan yang lebih detail diserahkan ke pemerintah daerah.
Untuk tujuan ini, daerah harus memiliki kapasitas politik dan teknis untuk
mengembangkan model perencanaan yang demokratis.
Perencanaan tata ruang, termasuk tata ruang pesisir, pertama-
tama bukan proses teknis, tetapi proses politik yang melibatkan
pemangku kepentingan, tujuan, dan kepentingan yang berbeda. Para
pemangku kepentingan juga melakukan praktik spasial dan pengalaman
spasial berbeda. Proses teknik fungsinya hanya menerjemahkan apa
yang dinegosiasikan dalam proses perencanaan tata ruang. Karena itu,
partisipasi memadai harus dibuka dalam perencanaan zonasi di tingkat
lokal, melibatkan komunitas-komunitas lokal yang berkerja sama dengan
pihak swasta, masyarakat sipil, lembaga pemerintah dan kalangan
akademisi. Partisipasi luas yang melibatkan metode koordinasi terbuka
memampukan proses perencanaan menangkap ‘roh’ dari ruang yakni
narasi, kenangan, norma, fungsi budaya, dan identitas yang melekat
pada ruang hidup komunitas-komunitas lokal. Pengabaian pengalaman
meruang (ruang representasi) akan menyebabkan tata ruang maritim
nasional dilihat sebagai bentuk kolonisasi internal oleh kelompok-
kelompok yang termarginalisasi dan kehilangan akses ke ruang hidup.
Informalitas harus mendahului formalitas. Proses konsultasi informal
memungkinkan otoritas yang bertanggung jawab dalam perencanaan
ruang pesisir dan para perencana mendengarkan suara-suara yang
selama ini tidak didengarkan. Suara-suara itu bisa berasal dari ilmuwan
kritis yang memberikan input alternatif terhadap proses maupun bentuk
249
Menggagas Konsep Maritim 2045
tata ruang, suara kelompok-kelompok nelayan dan masyarakat adat
yang memahami kondisi setempat, berasal dari kelompok pemuda, kaum
perempuan, pelaku ekonomi lokal, serta pelaku pariwisata yang memiliki
pengalaman dan praktik meruang mendahului para perencana. Sasaran
akhir adalah keadilan spasial yang dapat mencegah konik lebih besar di
masa depan.
PENUTUP
Ekonomi maritim adalah masa depan Indonesia. Sumber daya
lautan dapat menjadi pendorong utama pembangunan Indonesia.
Penataan ruang maritime, khususnya ruang pesisir, menjadi bagian tak
terpisahkan kebijakan pembangunan ekonomi maritim. Penataan ruang
menjadi penting mengingat ekspansi ekonomi ke ruang-ruang baru akan
menimbulkan kompetisi atas ruang. Konik berulang atas ruang pesisir,
dengan skala meluas, sangat mungkin terjadi. Penataan ruang pesisir yang
sentralistis, didominasi negara dan mengabaikan hak-hak masyarakat
lokal atas ruang, akan mendorong konik-konik baru. Dengan demikian,
tata ruang sebagai upaya mendamaikan kepentingan yang saling
bersaing, justru gagal mencapai tujuannya. Untuk itu, perencanaan tata
ruang pesisir perlu mengakomodasi kepentingan masyarakat setempat,
dan pemangku kepentingan relevan lain. Para perencana tidak bisa
mengabaikan praktik spasial dan pengalaman hidup meruang yang telah
beroperasi sebelum negara datang ke lokasi geogras yang bernama
pesisir. Akomodasi hanya mungkin tercapai melalui perencanaan yang
demokratis, partisipatoris, dan akomodatif.
250
Menggagas Konsep Maritim 2045
REFERENSI
Ambari, M. 2018. Masyarakat Pesisir Semakin Tersisih karena Tata Ruang Laut
Nasional. Diunduh dari: https://www.mongabay.co.id/2018/09/10/.
Bappenas. 2019. Ringkasan Eksekutif: Indonesia 2045, Berdaulat, Maju, Adil dan
Makmur. Diunduh November 5, 2021, from www. Bappenad.go.id.
Bidayani, E., & Kurniawan. 2020. Resolusi Konik Pemanfaatan Sumber Daya
Pesisir antara Nelayan. Society, 14-24. Diunduh dari https://society.
sip.ubb.ac.id/.
Cadith, J. 2019. Konik dalam Pemanfaatan Sumber Daya di Pesisir Teluk.
Diunduh November 10, 2021, https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/
jap/article/download/6929/4822.
Carp, J. 2008. Ground-Truthing: Representations of Social Space: Using Lefebvre’s
Conceptual Triad. Journal of Planning Education and Research.
SDGS Center. Anugerah atau Kutukan dalam Pengelolaan Konik Wilayah.
Diunduh dari www.https://sdgscenter.unhas.ac.id/ar
Elden, S. 2007. There is a Politics of Space because Space is Political: Henri
Lefebvre and the Production of Space. Radical Philosophy Review, 10(2),
101-116.
Haughton, G., Allmendinger, P., Counsell, D., & Vigar, G. (2010). The
New Spatial Planning:Territorial Management with Soft Spaces. Oxon:
Routledge.
Jay, S. 2018. The Shifting Sea: from Soft Space to Lively Space. Journal
of Environmental Policy & Planning, 20(4), 450-467. doi: DOI:
10.1080/1523908X.2018.1437716
Lefebvre, H. 1991. The Production of Space. (D. Nicholson-Smith, Trans.)
Oxford, Britain: Blackwell.
Lefebvre, H. 2009. State, Space, World: Selected Essay. (N. B. Elden, Ed., & N.
B. Gerald Moore, Trans.) Minneapolis: University of Minnesota Press.
Mujio, L. A. 2016. Analysis of Potential Spatial Conicts at Coastal and Marine Zones
:. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan. Diunduh dari https://journal.
ipb.ac.id/index.php/sodality/article/download/13379/10051
Nalle, V. I. 2021. Pendekatan Geogra Hukum Kritis dalam Kajian Hukum Tata
Ruang Indonesia: Sebuah Wacana Filsafat Hukum dan Interdisiplin. Justitia
et Pax, 37(1), 61-83.
251
Menggagas Konsep Maritim 2045
Pamungkas, A. S. 2016. Produksi Ruang dan Revolusi Kaum Urban Menurut
Henri Lefebvre. Diunduh dari https://indoprogress.com/2016/01/
Siedschlag, K. G. 2019. A Place Based Perspective on Marine. Europa XXI, 36,
1-16. doi:http://doi.org/10.7163/Eu21.2019.36.6.
Sujadmi and Bahjatul, M. 2020. Perencanaan Tata Ruang Laut: Konik,
Negosiasi, dan Kontestasi. Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 5(2), 163-
173. DOI: 10.14710/jiip.v5i2.8514
Suryanto, & Aniputro, M. B. 2013. Model Penyelesaian Konik Nelayan di
Kawasan Selat Madura Berbasis pada Kearifan Lokal sebagai Modal Sosial.
Universitas AirLangga. Diunduh November 5, 2021, dari http://
repository.unair.ac.id/43093/
Syafriny, R., & Sangkertadi. 2019. Contested Space In Coastal City: A Case of
Conservation, Community and Tourism. architecture&ENVIRONMENT ,
18(2), 75-86.
Walet, L. A. 2014. Negotiating the Production of Space: the Implementation of
Rewilding in Northeast Portugal. Master Thesis. Wageningen University
and Research Cente.
Walhi. 2020. Menyisir Pulau Flores: Akses Publik, Konservasi Vs Privatisasi.
Diunduh dari www.walhi.or.id.
Wawancara
Dr. Sudirman, Universitas Kutai Kartanegara. Wawancara lewat telepon,
pada 12 November 2021.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Perkembangan penelitian hukum menunjukkan pentingnya pendekatan interdisipliner dalam menelaah isu hukum. Selain itu, isu hukum juga perlu ditelaah lebih kritis dan tidak melihatnya sebagai produk dari ruang vakum tanpa pengaruh faktor non-hukum. Tulisan ini menjelaskan perkembangan wacana geografi hukum kritis serta teori produksi ruang sosial dan keadilan spasial yang terkait dengan wacana tersebut. Pendekatan interdisipliner dengan berbagai teori kritis tersebut telah dikembangkan dalam kajian hukum tata ruang dengan kerangka geografi hukum kritis. Namun kajian hukum tata ruang di Indonesia belum banyak mengembangkan wacana tersebut dalam menelaah persoalan perkotaan. Hanya sedikit penelitian hukum tata ruang di Indonesia yang menggunakan perspektif geografi hukum kritis berdasarkan penelusuran yang diuraikan di tulisan ini. Padahal sebenarnya persoalan perkotaan di Indonesia serupa dengan fenomena yang menjadi latar belakang dari munculnya wacana geografi hukum kritis. Oleh karena itu, kajian hukum tata ruang di Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih filosofis dan kritis. Berbagai pendekatan baru yang berkembang dalam filsafat hukum, salah satunya adalah studi hukum kritis, dapat menjadi metode analisis untuk menganalisis pengaruh ekonomi dan kekuasaan terhadap tata ruang di Indonesia.
Article
Full-text available
It is widely acknowledged that marine spatial planning (MSP) should be responsive to the dynamism of the marine environment and the relatively tenuous human relationship with the sea. However, MSP remains conceptualised within rationalistic terms that limit this potential. This article places MSP within the context of spatial theory that holds greater promise for developing more progressive practice. Firstly, the interrelation of MSP with current notions of soft space (less formal, cross-cutting spatialities) is explored, suggesting that MSP is expressing some of the geographical and institutional freedoms of soft space, and may contribute new insights to this concept. Secondly, a progressive framework is developed that builds upon soft space principles. This draws in, on the one hand, underlying relational understandings of space, and on the other hand, insights from marine contexts. This leads to a picture of marine space-being-planned as lively space, expressing, amongst other things, the sea’s materiality. This concept is illustrated through an application of the framework to a strategic MSP exercise for the Baltic Sea region. Finally, it is suggested that MSP itself should be reconceptualised as immersed into this spatial ontology, with the agents and practices of planning taking their place within the wider assemblage of marine actants and relations.
Article
Planning requires accurate representation of a planning situation to formulate appropriate intervention that protects and promotes a common good. But most representations of social space are significantly limited by the distinct purposes of discipline, expertise, and policy domain, while planning is expected to be participatory and inclusive of all kinds of interrelationship. The article presents a method, based on an interpretation of Lefebvre's conceptual triad, for building a more comprehensive understanding of planning situations that involves recognizing sociospatial differences and investigating their interrelationship. Examples from the author's teaching, research, and community service in planning demonstrate ways in which the physical, conceptual, and social aspects of planning situations are at work and accessible.
Masyarakat Pesisir Semakin Tersisih karena Tata Ruang Laut Nasional
  • M Ambari
Ambari, M. 2018. Masyarakat Pesisir Semakin Tersisih karena Tata Ruang Laut Nasional. Diunduh dari: https://www.mongabay.co.id/2018/09/10/.
Ringkasan Eksekutif: Indonesia 2045, Berdaulat, Maju, Adil dan Makmur
  • Bappenas
Bappenas. 2019. Ringkasan Eksekutif: Indonesia 2045, Berdaulat, Maju, Adil dan Makmur. Diunduh November 5, 2021, from www. Bappenad.go.id.
Resolusi Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir antara
  • E Bidayani
  • Kurniawan
Bidayani, E., & Kurniawan. 2020. Resolusi Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir antara Nelayan. Society, 14-24. Diunduh dari https://society. fisip.ubb.ac.id/.
Anugerah atau Kutukan dalam Pengelolaan Konflik Wilayah. Diunduh dari www
  • Sdgs
  • Center
SDGS Center. Anugerah atau Kutukan dalam Pengelolaan Konflik Wilayah. Diunduh dari www.https://sdgscenter.unhas.ac.id/ar
The Production of Space
  • H Lefebvre
Lefebvre, H. 1991. The Production of Space. (D. Nicholson-Smith, Trans.) Oxford, Britain: Blackwell.