Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
Efektifitas Batas Minimal Usia Perkawinan ….
Efektivitas Aturan Batas Minimal Usia Perkawinan Dalam Meminimalisir
Permohonan Dispensasi Kawin Di Pengadilan Agama
Tali Tulab, Mohammad Noviani Ardi dan Alwi Haidar
Universitas Islam Sultan Agung Semarang
E-mail : mn.ardi@unissula.ac.id
Abstract
One of the problems that never met the solution is the number of cases of
underage marriage that occur in Indonesia. Even after there is a Law that
regulates the minimum age of marriage is also considered to still have
loopholes that can be utilized, that is, the community can still apply for
marriage dispensation to the relevant Court. So this study focuses on the
opinion of judges regarding the effectiveness of article 7 of Law No.16 of
2019 which determines the minimum limit that a person can hold a marriage
in the Demak Class IB Religious Court. This research is a qualitative type
with data search techniques through interviews with judges and documents.
This study also compiled data on marriage dispensation applications before
the enactment of Law No.16 of 2019 and after in the Demak Class IB
Religious Court. As we know that Law No.16 of 2019 is a change from Law
No.1 of 1974 on marriage which regulates the minimum age of marriage,
where previously it was 19 years for men and 16 years for women then
changed to 19 years for men and women. The purpose of enacting Law
No.16 of 2019 is to minimize early marriage in Indonesia. But this is
contrary to the data of marriage dispensation applications at the Demak
Class IB Religious Court. That is, since the enactment of this regulation, the
application for marriage dispensation in the Class IB Demak Religious
Court has increased. This shows that this regulation is less effective in
suppressing the practice of early marriage in Indonesia.
Keywords: Marriage Dispensation, Religious Court, Indonesia, Family Law.
Abstrak
Dalam praktek hukum perkawinan di Indonesia, salah satu permasalahan
yang tak kunjung menemukan solusi yang tepat adalah banyaknya kasus
perkawinan di bawah umur. Meskipun secara normatif, telah ada Undang-
Undang yang mengatur batas minimal usia untuk bisa melaksanakan
perkawinan, tetapi masih terdapat celah yang bisa disiasati oleh
masayarakat, celah tersebut adalah dispensasi kawin ke Pengadilan Agama.
Oleh karena itu fokus penelitian ini adalah pendapat Hakim Pengadilan
Agama, khususnya di Pengadilan Agama Kelas IB Demak, mengenai
efektifitas pasal 7 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 yang mengatur batas
minimal usia seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinan. Penelitian
Volume 19 Nomor 1, Halaman 22-36
Istinbath : Jurnal Hukum
ISSN : Print 1829-8117 – Online 2527-3973
J u r n a l H u k u m
ISTINBATH
Tali Tulab, Mohammad Noviani Ardi & Alwi Haidar
Page | 23
ini adalah penelitian normatif empiris, dengan teknik pencarian data
interview dan dokumentasi, dan dengan analisis kualitatif. Penelitian ini
juga mengkomparasikan data permohonan dispensasi kawin sebelum dan
sesudah diberlakukannya Undang-Undang No.16 Tahun 2019 sebagai
perubahan atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dari
hasil analisis diketahui bahwa pembaharuan dalam Undang-Undang No.16
Tahun 2019 adalah perubahan perarutan tentang batas minimal usia
perkawinan, yang awalnya 19 Tahun bagi laki-laki dan 16 Tahun bagi
perempuan, menjadi 19 Tahun bagi laki-laki dan perempuan. Adapun
tujuan perubahannya adalah untuk meminimalisir perkawinan dini di
Indonesia. Tetapi faktanya sejak peraturan ini diberlakukan, hasilnya justru
bertolak belakang tujuan peraturan tersebut, permohonan dispensasi kawin
tetap mengalami kenaikan, khususnya di Pengadilan Agama Kelas IB
Demak. Oleh karena itu peneliti berasumsi bahwa peraturan ini kurang
efektif dalam menekan praktek perkawinan dini di Indonesia, diperlukan
solsusi yang dapat mengatasi penyebab utamanya misalnya melalui
transformasi adat kebiasaan dan tradisi, serta pemahaman yang ada
dimasyarakat terkait perkawinan.
Kata kunci: Dispensasi Kawin, Pengadilan Agama, Indonesia, Hukum
Keluarga.
Pendahuluan
Perkawinan adalah sebuah kodrat bagi setiap manusia, karena untuk
melestarikan spesiesnya manusia harus melalui sebuah perkawinan yang sah secara
hukum negara maupun hukum agama, selain itu perkawinan juga merupakan sebuah
jalan yang akan mengantarkan seseorang kepada terbentuknya keluarga yang bahagia.
1
Secara istilah, perkawinan artinya suatu akad yang bersifat sebagai pengikat antara
seorang laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk menghalalkan hubungan antara
1
Gusti nadya Nurhaliza, “Pengaruh Kenaikan Batas Usia Perkawinan Bagi Perempuan Terhadap
Peningkatan Dispensasi Kawin Di Pengadilan Agama Sampit” (Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim, 2020).
Istinbath: Jurnal Hukum
Website : http://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/istinbath/index
Received : 2022-04-12| Published : 2022-08-26.
This is an open access article distributed under the terms of the Creative
Commons Attribution 4.0 International License, which permits unrestricted use,
distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is
properly cited.
Efektifitas Batas Minimal Usia Perkawinan ….
keduanya, dengan tujuan terciptanya hubungan yang bahagia dan dipenuhi rasa kasih
sayang sebagaimana tuntunan Allah SWT.
2
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 adalah sebuah ikatan yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan sebuah ibadah. Hal ini menunjukan bahwa perkawinan
dalam Islam adalah sebuah ibadah dan merupakan hal yang disucikan. Oleh karenanya,
demi menjaga kesucian itu maka negara menetapkan beberapa syarat, salah satunya
adalah batas minimal usia perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang No.16 Tahun
2019 tentang perubahan terhadap Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dalam pasal 7 mengatakan bahwa
seorang perempuan berumur 16 Tahun sudah diizinkan untuk melakukan perkawinan,
dan karena banyaknya permasalahan sosial yang dihadapi diantaranya adalah banyak
masyarakat yang menilai bahwa perempuan berumur 16 Tahun belum dewasa baik
secara fisik maupun psikis
3
maka dirumuskan perubahan atas Undang-Undang ini yaitu
melalui Undang-Undang No.16 Tahun 2019 yang mengatakan bahwa seorang
perempuan harus berumur 19 Tahun untuk diizinkan melakukan perkawinan.
4
Karena
dalam melakukan sebuah perkawinan diperlukan adanya kematangan dari segi fisik
maupun psikis. Dengan adanya penentuan batas minimal usia perkawinan ini
diharapkan akan mampu mewujudkan tujuan perkawinan tanpa berakhir pada
perceraian serta memperoleh keturunan yang baik dan sehat.
5
Permasalahan yang muncul kemudian, sebagai akibat dari perkawinan dini
adalah, banyaknya kasus kematian ibu dan anak dikarenakan belum siapnya fisik
seorang perempuan untuk menjadi seorang ibu.
6
Selain itu Menurut data dari Badan
Pusat Statistik, Propinsi Jawa Tengah Tahun 2018 merupakan salah satu daerah dengan
kasus kematian ibu dan anak tertinggi di Indonesia, yaitu mencapai 4.481 (Empat ribu
2
Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Di Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1997).
3
Mubasyaroh Stain Kudus, “Analisis Faktor Penyebab Perkawinan Dini Dan Dampaknya Bagi
Pelakunya,” Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Sosial Keagamaan 7 (2016): 386–411.
4
“Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan” (2019).
5
Ali Asghar Engineer, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam Diterjemah Oleh Farid Wjidi Dan Cici
Farkha Assegaf (Bandung: Yayasan Bentang Budaya, 1994), 138.
6
B Rini Heryanti, “Implementasi Perubahan Kebijakan Batas Usia Perkawinan,” Jurnal Ius
Constituendum 6, no. 2 (2021): 120–43.
Tali Tulab, Mohammad Noviani Ardi & Alwi Haidar
Page | 25
empat ratus delapan puluh satu) kasus. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan dini
adalah sebuah masalah sosial yang harus diselesaikan.
Pemerintah menetapkan Undang-undang yang mengatur batas minimal usia
perkawinan, merupakan upaya dana media untuk mencegah terjadinya perkawinan dini
di Indonesia. Karena menurut data dari Badan Pusat Statistik Nasional perkawinan dini
di Indonesia menduduki peringkat 2 di ASEAN dan peringkat 8 di dunia.
7
Tingginya
perkawinan dini di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari faktor
ekonomi, budaya, pendidikan dan masih banyak faktor lainnya.
8
Faktor lain yang cukup dominan menyebabkan tingginya perkawinan dini di
Indonesia adalah, banyak masyarakat yang masih berpegang pada sistem adat yang
memilih untuk mengawinkan anak mereka sebelum mencapai batas minimal usia yang
ditentukan oleh Undang-Undang. Masih banyak masyarakat yang berpandangan,
dengan mengawinkan anak mereka akan memperbaiki ekonomi, ada juga yang
berpandangan agar dapat mencegah anak mereka dari pengaruh pergaulan bebas.
9
Bila mengacu kepada peraturan normatif yang berlaku, maka masyarakat yang
mempraktikkan perkawinan usia dini, setidaknya telah melanggar 3 (tiga) aturan hukum
di Indonesia.
10
yaitu:
1. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan;
2. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang perlindungan Anak;
3. Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang PTPPO
Dan aspek pelanggaran normatif ini masih banyak belum diketahui dan disadari oleh
masyarakat secara luas.
Berdasarkan hal tersebu, maka peneliti bermaksud meneliti dan mediskusikan
fakta normatif dan empirik dari hukum perkawinan ini, dengan tujuan untuk mengetahui
pandangan hakim di Pengadilan Agama, khususnya pengadilan agama Kelas IB Demak,
7
kompas, “Https://Www.Kompas.Com/Sains/Read/2021/05/20/190300123/Peringkat-Ke-2-Di-
Asean-Begini-Situasi-Perkawinan-Anak-Di-Indonesia?Page=all,” accessed October 18, 2021,
https://www.kompas.com/sains/read/2021/05/20/190300123/peringkat-ke-2-di-asean-begini-situasi-
perkawinan-anak-di-indonesia?page=all.
8
Tinuk Cahyani, Dwi and Halimatus Salmah, Khalidawati, “Tinjauan Normatif Batas Minimal
Usia Anak Untuk Melakukan Perkawinan,” Jurnal De Jure 11, no. 2 (2019): 93.
9
Syahruddin Nawi and Salle Salle, “Analisis Pengaruh Berbagai Variabel Terhadap Permohonan
Dispensasi Perkawinan,” Journal of Lex Philosophy (JLP) 1, no. 1 (2020): 84–98,
https://doi.org/10.52103/jlp.v1i1.28.
10
Supri Yadin Hasibuan, “Pembaharuan Hukum Perkawinan Tentang Batas Minimal Usia
Perkawinan Dan Konsekuensinya,” Teraju 1, no. 02 (2019): 79–87,
https://doi.org/10.35961/teraju.v1i02.88.
Efektifitas Batas Minimal Usia Perkawinan ….
mengenai efektivitas Undang-Undang No.16 Tahun 2019 yang memang direvisi untuk
memperketat ketentuan tentang batas minimal usia perkawinan, dan juga mencari tahu
solusi konkrit apa yang biasa digunakan oleh para hakim atau yang bisa ditawarkan oleh
para hakim untuk mengatasi fenomena perkawinan usia dini.
Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang digunakan untuk memperoleh dan
menganalisis data yang diperlukan dalam penelitian ini.
11
Penelitian ini menggunakan
metode yuridis sosiologis, yakni dengan mengkaji berjalannya hukum di masyarakat.
12
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan teknik wawancara
dan studi pustaka. Kemudian data yang didapat diolah dan dianalisis agar memperoleh
jawaban atas penelitian yang diajukan.
Hasil dan Pembahasan
Konstruksi Hukum Batas Minimal Usia Perkawinan dalam Undang-Undang
Perkawinan Di Indonesia
Perkawinan di Indonesia adalah sebuah perbuatan hukum. Karena perbuatan
hukum, maka diperlukan adanya kedewasaan dan kematangan jiwa raga untuk
melakukannya.
13
Meskipun begitu, Indonesia bukanlah negara sekuler, negara yang
memisahkan antara negara dan agama. Hal itu dibuktikkan dengan produk hukum yang
dihasilkan, yaitu tetap memerhatikan pandangan agama. Sebagai contoh dalam pasal 2
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa sebuah
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya.
Karena undang-undang menyatakan perkawinan itu harus dilaksanakan menurut
hukum agama masing-masing, maka memperhatikan aspek kebaikan bagi anak yang
akan dikawinkan juga menjadi aspek yang tidak boleh ditinggalkan. Dengan kata lain
bila faktor usia mempengaruhi banyak aspek pasca terjadinya akad kawin, maka faktor
usiapun harus menjadi pertimbangan bagi orang tua yang hendak mekawinkan anaknya.
11
Sofyan A.P. Kau, Metode Penelitian Hukum Islam (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2013), 154.
12
Erlis Septiana Nurbani Salim HS, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi
(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2013), 34.
13
Slamet Arofik and Alvian Riski Yustomi, “Analisis Ushul Dan Kaidah Fikih Terhadap
Implementasi Dispensasi Perkawinan Di Bawah Umur Di Kantor Urusan Agama (Kua) Kecamatan Perak
Kabupaten Jombang,” Usratuna: Jurnal Hukum Keluarga Islam 4, no. 1 (2020): 111–37,
https://doi.org/10.29062/usratuna.v4i01.260.
Tali Tulab, Mohammad Noviani Ardi & Alwi Haidar
Page | 27
Ketika membahas tentang batasan umur siap kawin, ada ayat al-qur’an yang
membahas tentang hal tersebut, firman oleh Allah SWT dalam surat An-Nur (24) 59:
Artinya :
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah
mereka meminta izin (untuk mekawin), seperti orang-orang yang
sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-
ayatNya. Dan Allah maha Mengetahui lagi maha Bijaksana” (An-Nur
(24): 59).
14
Dari ayat diatas dapat kita ketahui bahwa Islam memang tidak mengatur secara spesifik
batas minimal usia yang diperbolehkan untuk mekawin, oleh karena itu diperlukan
ijtihad, dalam rangka merinci dan menemukan serta merumuskan ketentuan hukum
yang dapat dirujuk, ketika membahas batasan usia yang dianggap siap untuk mekawin.
Hal itu perlu juga dilakukan dalam rangka mewujudkan pembaharuan-pembaharuan
hukum, khususnya hukum perkawinan. Di Indonesia dalam peraturan normatifnya
pemerintah telah menetapkan batas usia minimal perkawinan. Adapun tujuannya selain
untuk pembaharuan hukum, juga sebagai upaya negara dalam mengakomordir hukum
yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan melakukan unifikasi hukum agar dapat
berlaku bagi seluruh warga negara, dan agar sesuai dengan perkembangan dan tuntutan
zaman.
15
Lewat Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 7
ditentukan bahwa sebuah perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun. Kemudian pada tahun 2019 lewat Undang-Undang No.16 Tahun 2019 batas
minimal usia perkawinan mengalami perubahan, yaitu menjadi 19 (sembilan belas)
tahun bagi pihak pria maupun wanita. Hal ini tentu tidak terlepas dari upaya pemerintah
untuk melindungi masyarakat. Sebagaimana pencatatan perkawinan yang tidak diatur
dalam Islam, tetapi demi perlindungan masyarakat khususnya pihak wanita dan anak
14
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemahan New Cordova, 2012, 358.
15
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011),
93.
Efektifitas Batas Minimal Usia Perkawinan ….
maka Indonesia menetapkan bahwa setiap perkawinan harus dilaksanakan di hadapan
pegawai pencatat kawin.
16
Konstruksi hukum tentang pembatasan usia perkawinan merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari pembahasan hukum perkawinan, dan sebagaimana yang sudah
diketahui bahwa hukum perkawinan merupakan bagian dari rumah besar hukum
keluarga, dan dalam tatanan negara di dunia, terdapat tiga kategori penerapan hukum
keluarga (Ahwal Syakhsiyah) yang dijalankan
17
:
1. Negara yang menerapkan hukum keluarga tradisional, yaitu hukum keluarga
berdasarkan fiqh klasik, negara yang menerapkan sistem semacam ini antara
lain: Arab Saudi, Kuwait, Yaman, Sinegal, Nigeria, dan lain sebagainya.
2. Negara yang menjalankan hukum keluarga secara sekuler, yaitu memisahkan
hukum Islam dengan hukum negaranya, yang termasuk dalam kategori ini
adalah: minoritas Muslim di Philipina, Turki, Albania, dan Tanzania.
3. Negara yang menerapkan pembaruan hukum keluarga Islam. Negara yang
termasuk dalam kategori ini antara lain: Turki, Malaysia, Brunei, Lebanon
dan Indonesia.
Adapun berkaitan penerapan hukum islam terkait batasan usai yang dibolehkan untuk
mekawin, maka terjadi perbedaaan antara negara yang menerapkan pembaharuan
hukum keluarga. Perbedaan penerapan batas minimal usia perkawinan di berbagai
negara dapat kita lihat pada tabel berikut
18
:
Tabel 1: Batas usia minimal perkawinan di berbagai negara
NO
NEGARA
USIA KAWIN
PRIA
WANITA
1
Bangladesh
21
18
2
Irak
18
18
3
Mesir
18
16
4
Libanon
18
17
5
Maroko
18
15
16
I Nyoman Sujana, Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Putusan Mahkamah
Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), 102.
17
Asrori Achmad, “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha Dan Penerapannya Dalam Undang-
Undang Perkawinan Di Dunia Islam,” Al-’Adalah 12, no. 4 (2015): 807–24.
18
Achmad.
Tali Tulab, Mohammad Noviani Ardi & Alwi Haidar
Page | 29
6
Aljazair
21
18
7
Somalia
18
18
8
Libya
18
16
9
Tunisia
19
17
10
Yordania
16
15
11
Yaman Utara
15
15
12
Yaman Selatan
18
16
13
Malaysia
18
16
14
Turki
17
15
15
Syria
18
17
16
Cyplus
18
17
17
Pakistan
18
16
18
Israel
20
19
Urgensi Perubahan Batas Minimal Usia Perkawinan
Negara mengatur berbagai hal yang berhubungan dengan perkawinan, agar dapat
memberikan kepastian hukum bagi pasangan calon mempelai yang akan mekawin
ataupun bagi pasangan suami istri yang sudah lama mekawin. Kepastian hokum bagi
mereka yang akan mekawin, contohnya, pencatatan perkawinan, keharusan
melaksanakan dan memenuhi rukun dan syarat perkawinan oleh calon mempelai,
sampai penentuan batas minimal usia perkawinan.
Regulasi tentang batas minimal usia perkawinan tentu tidak lepas dari dinamika
perumusan Undang-Undang. Pada awalnya batas minimal usia perkawinan yang
terdapat dalam Pasal 7 Rancangan Undang-Undang Perkawinan tahun 1973 adalah 21
tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan, namun karena Rancangan Undang-
Undang ini menimbulkan berbagai permasalahan akhirnya pembahasan Rancangan
Undang-Undang ini ditunda.
19
Kemudian pada tahun 1974 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan batas usia minimal perkawinan sebagaimana
yang terdapat dalam pasal 7 Undang-Undang ini adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16
19
Ahmad, “Ketentuan Batas Minimal Usia Kawin: Sejarah, Implikasi Penetapan Undang-Undang
Perkawinan,” Petita: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Dan Syariah 1, no. 1 (2016),
https://doi.org/10.22373/petita.v1i1.77.
Efektifitas Batas Minimal Usia Perkawinan ….
tahun bagi perempuan. Hal ini berarti bahwa Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974
mengubah Rancangan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1973.
20
Setelah Undang-Undang ini berlaku selama kurang lebih 45 tahun, tepatnya
dalam sidang paripurna DPR-RI hari Senin, 16 September 2019 menyetujui perubahan
terbatas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
21
Perubahan tersebut
diantaranya mencakup pada pasal 7 yang menentukan batas usia minimal perkawinan
menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Undang-Undang ini mulai berlaku sejak
diundangkannya yaitu tanggal 15 Oktober 2019.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya perubahan batas minimal
usia perkawinan di Indonesia, pertama, perbedaan batas minimal usia perkawinan
antara laki-laki dan perempuan dinilai adalah sebuah diskriminasi bagi kaum
perempuan.
22
Kedua, perempuan berumur 16 tahun dianggap belum siap baik secara
fisik maupun psikis untuk melakukan perkawinan, karena berdasarkan data dari
UNICEF seorang perempuan yang melahirkan pada usia 20 tahun kebawah memiliki
resiko kematian 2 kali lebih besar dibanding pada perempuan yang melahirkan pada
usia diatas 20 tahun.
23
Ketiga, seseorang yang sudah dewasa baik secara fisik maupun
psikis pasti akan berpandangan jauh ke depan, memiliki pertimbangan-pertimbangan
sebelum memutuskan suatu hal,
24
dengan begitu diharapkan tujuan perkawinan yaitu
untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah dapat terwujud.
Meskipun pemerintah telah menetapkan batas minimal usia perkawinan, tapi di
tengah-tengah masyarakat masih melakukan praktek perkawinan di bawah umur.
Fenomena ini bukan hanya terjadi pada masyarakat desa yang notabene masih
memegang teguh kepercayaan adat istiadat, tetapi juga hal ini terjadi pada masyarakat di
kota-kota besar. Tentu saja hal ini memerlukan perhatian khusus, karena dalam sebuah
perkawinan tentu akan menemui berbagai permasalahan yang menuntut kedewasaan
untuk dapat menyelesaikannya. Selain itu aspek kesehatan psikologi dan reproduksi
20
Ahmad.
21
Dewi Khusna, “Eksistensi Batas Usia Minimal 19 Tahun Bagi Perempuan Dalam Perkawinan,”
Negara Dan Keadilan 9, no. 1 (2020): 1, https://doi.org/10.33474/hukum.v9i1.6927.
22
Septi Indrawati and Agus Budi Santoso, “Tinjauan Kritis Batas Usia Perkawinan Di Indonesia
Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019,” Amnesti Jurnal Hukum 2, no. 1 (2020): 16–23,
https://doi.org/10.37729/amnesti.v2i1.804.
23
Fathur Rahman Alfa, “Perkawinan Dan Perceraian Di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Ahwal
Syakhsiyyah 1, no. 1 (2019): 52.
24
Khusna, “Eksistensi Batas Usia Minimal 19 Tahun Bagi Perempuan Dalam Perkawinan.”
Tali Tulab, Mohammad Noviani Ardi & Alwi Haidar
Page | 31
juga menjadi hal yang juga patut diperhatikan, karena secara medis kesehatan psikologis
dan reproduksi adalah dua hal yang akan terdampak secara signifikan bila perkawinan
itu dilakukan tidak dalam kondisi usia yang matang dan siap untuk berumah tangga.
25
Permohonan Dispensasi Kawin Di Pengadilan Agama Demak Dan Pendapat
Hakim Mengenai Efektivitas Pasal 7 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Tentang
Batas Minimal Usia Perkawinan
Untuk memperkuat bahwa adanya peraturan tentang pembatasan usia perkawian
tidak berdampak signifikan, berikut penulis paparkan data dari Pengadilan Agama Kelas
IB Demak, sebagai salah satu Pegadilan yang mengadili perkara perdata seperti
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, perwakafan, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi
syariah di wilayah kabupaten Demak, sesuai dengan Undang-Undang No. Tahun
tentang kekuasaan kehakiman. Cakupa perakara perdata Perkawinan disini adalah
perkara perceraian, baik cerai gugat maupun cerai talak, permohonan dispensasi kawin,
pembagian harta gono gini, hak asuh anak dan permohonan itsbat kawin.
Pengadilan Agama Kelas IB Demak dalam mengadili dan memutus perkara
yang mereka terima selalu berpatokan pada Kompilasi Hukum Islam dan Undang-
Undang yang berlaku. Misalnya untuk dispensasi kawin, sebelum bulan November 2019
mereka menggunakan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan sejak
bulan November 2019 dan seterusnya mereka menggunakan Undnag-Undang No.16
Tahun 2019 tentang perubahan terhadap Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Berikut adalah data permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Kelas
IB Demak sejak tahun 2018 hingga 2021.
Tabel 2: Data Permohonan Dispensasi Kawin di PA Kelas IB Demak
NO
BULAN
TAHUN 2018
TAHUN 2019
TAHUN 2020
TAHUN
2021
A
B
A
B
A
B
A
B
1
JANUARI
8
5
6
4
25
18
45
24
2
FEBRUARI
5
4
5
5
21
27
40
44
3
MARET
5
7
2
2
15
14
35
41
25
Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Memenuhi Dunia Perkawinan (Jakarta: Kencana Mas Publishing
House, 2005), 56.
Efektifitas Batas Minimal Usia Perkawinan ….
4
APRIL
5
4
11
6
7
12
40
20
5
MEI
10
9
5
10
6
-
38
35
6
JUNI
4
2
1
2
47
36
69
44
7
JULI
6
7
10
4
48
36
40
57
8
AGUSTUS
7
4
6
10
40
38
34
62
9
SEPTEMBER
5
6
3
3
49
56
38
30
10
OKTOBER
4
4
9
5
37
43
-
-
11
NOPEMBER
2
3
27
20
39
37
-
-
12
DESEMBER
2
2
19
22
14
28
-
-
JUMLAH
63
57
104
93
348
345
379
357
Keterangan:
A: Diterima; B: Diputus
Di Pengadilan Agama Kelas IB Demak, pada tahun 2018 terdapat sebanyak 63
(enam puuluh tiga) permohonan dispensasi kawin dan 57 (lima puluh tujuh)
permohonan yang diputus, hal ini saat masih mengacu pada Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang perkawinan dimana batas minimal usia perkawinan adalah 16 tahun
bagi pihak perempuan dan 19 tahun bagi pihak laki-laki.
Lalu pada 2019, terdapat dua bagian, yaitu bulan Januari hingga Oktober dimana
masih mengacu pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Bulan November hingga
Desember dimana sudah mengacu pada Undang-Undang No.16 Tahun 2019. Selama
bulan Januari hingga Oktober terdapat 58 (lima puluh delapan) permohonan dispensasi
kawin di Pengadilan Agama kelas IB Demak, dan ada 51 (lima puluh satu) perkara yang
diputus. Sedangkan pada bulan November hingga Desember 2019 terdapat sebanyak 46
permohonan dispensasi kawin dan ada sebanyak 42 (empat puluh dua) permohonan
yang diputus. Hal yang menarik disini adalah, dimana hanya dua bulan, tetapi jumlah
permohonan dispensasi kawin mendekati jumlah sejak bulan Januari 2019 sampai
Oktober 2019.
Kemudian pada tahun 2020, permohonan dispensasi kawin meningkat tajam,
yaitu berada diangka 348 (tiga ratus empat puluh delapan) selama periode Januari 2020
sampai dengan Desember 2020. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan dari tahun
sebelumnya sebesar 244 (dua ratus empat puluh empat) permohonan.
Tali Tulab, Mohammad Noviani Ardi & Alwi Haidar
Page | 33
Dilanjutkan pada tahun 2021, permohonan dispensasi kawin pada periode
Januari hingga September berada pada angka 379 (tiga ratus tujuh puluh sembilan), dan
perkara yang diputus adalah 357 (tiga ratus lima puluh tujuh) perkara.
Kesimpulan yang dapat diambil dari data diatas adalah, permohonan dispensasi
kawin di Pengadilan Agama Kelas IB Demak, selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Tetapi, setelah berlakunya Undang-Undang No.16 Tahun 2019 dimana merubah batas
minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun bagi calon mempelai laki-laki maupun
perempuan membuat permohonan dispensasi kawin meningkat. Hal itu menunjukkan
bahwa berlakunya Undang-Undang No.16 Tahun 2019 yang diharapkan dapat menjadi
solusi terkait permasalahan perkawinan dini di Indonesia justru menimbulkan
permasalahan baru, yaitu lonjakan permohonan dispensasi kawin.
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, bahwa pemerintah telah mengubah
batas minimal usia perkawinan melalui Undang-Undang No.16 Tahun 2019, dengan
tujuan utama untuk menekan tingginya praktek perkawinan di bawah umur yang terjadi
di Indonesia. Dan untuk menilai efektifitas suatu hukum adalah dengan melihat kepada
tercapai tidaknya tujuan dari dibentuknya hukum tersebut. Faktanya, berdasarkan data
yang di peroleh dari Pengadilan Agama Demak, peneliti bearsumsi bahwa adanya
peraturan ini justru membuat permohonan dispensasi kawin meningkat, hal ini
mengindikasikan bahwa peraturan yang diberlakukan tersebut kurang efektif dalam
mencegah dan menekan perkawinan di bawah umur.
Asumsi tersebut diperkuat dengan pendapat hakim dari Pengadilan Agama
Demak yang khusus menangani perkara permohonan dispensasi kawin, menurut Hakim
Pengadilan Agama Demak, peraturan ini tidak akan efektif selama masih ada celah yang
terbuka untuk melaksanakan perkawinan di bawah umur, dan celah itu adalah kebolehan
mengajukan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama. Adanya peraturan yang menen-
tukan batas minimal usia perkawinan, tetapi di sisi lain tetap membuka ruang untuk
terjadinya perkawinan di bawah umur, menjadi salah satu faktor utama tidak menuru-
nnya angka pengajuan dispensasi kawin.
Salah satu solusi yang bisa dilakukan agar tercapai tujuan Undang-Undang ini
adalah dengan menentukan batas minimal dan menutup semua jalan untuk melakukan
perkawinan di bawah umur. Jika pasangan yang hendak melakukan perkawinan belum
cukup umur maka satu-satunya jalan bagi mereka adalah menunggu sampai mereka
Efektifitas Batas Minimal Usia Perkawinan ….
cukup umur untuk melakukan perkawinan. Mungkin jika hal ini diberlakukan pada
awalnya akan menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Tetapi seiring berjalannya
waktu masyarakat pasti akan mampu memahami tujuan utama diberlakukannya
peraturan itu. Selain itu hal lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan
edukasi dan sosialisasi yang berkaitan dengan kesehatan psikologi dan reproduksi
kepada masyarakat, agar mereka memahami bahwa kebiasaan atau tradisi mekawinkan
anak diusia muda bukan lah suatu hal yang baik, adapun berkenaan dengan kegelisahan
para orang tua tentang pergaulan bebas, maka pemerintah juga harus mengedukasi
masyarakat tentang perlunya melakukan pendidikan, pembinaan dan pemberian contoh
yang baik dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Karena bila orang tua mampu
mendidik anaknya dengan baik, akan dapat menciptakan lingkungan yang baik, dan
apabila lingkungan baik, maka dipastikan akan memperbesar potensi terwujudnya
terbentuknya pribadi-pribadi anak yang akan menjadi generasi penerus yang baik pula.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Tujuan utama
diubahnya dan diberlakukannya batasan usia mekawin dalam Undang-Undang
perkawinan adalah untuk meminimalisir perkawinan dini di Indonesia yang relatif
tinggi. Akan tetapi faka empiris dilapangan menunjukkan hal yang justru bertolak
belakang, hal ini dibuktikan dengan data permohonan dispensasi kawin di Pengadilan
Agama, salah satunya di Pengadilan Agama Demak. Sejak diberlakukannya peraturan
ini, permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Demak justru mengalami
peningkatan, ini mengindikasikan bahwa peraturan ini kurang efektif dalam menekan
praktek perkawinan dini di Indonesia. Peningkatan pengajuan permohonan dispensai
kawin ini terkonfirmasi dengan pernyataan dan pendapat Hakim Pengadilan Agama
yang khusus menangani perkara permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama
Demak, dan menyatakan bahwa aturan penentuan batas usia kawin dalam peraturan
perundang-undangan memiliki sifat memaksa, dan jika ingin berlaku efektif menekan
praktek perkawinan dini di Indonesia adalah dengan tidak membuka ruang bagi
pasangan yang ingin melakukan perkawinan di bawah umur, dan didukung dengan
tindakan prepentif melalui edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang dampak
kesehatan psikologi dan reproduksi bagi anak yang kawin dibawah umur.
Tali Tulab, Mohammad Noviani Ardi & Alwi Haidar
Page | 35
Daftar Pustaka
Achmad, Asrori. “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha Dan Penerapannya Dalam
Undang-Undang Perkawinan Di Dunia Islam.” Al-’Adalah 12, no. 4 (2015):
807–24.
Ahmad. “Ketentuan Batas Minimal Usia Kawin: Sejarah, Implikasi Penetapan Undang-
Undang Perkawinan.” Petita: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Dan Syariah 1, no. 1
(2016). https://doi.org/10.22373/petita.v1i1.77.
Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Bandung: Al-Ma’arif, 1997.
Ali Asghar Engineer. Hak-Hak Perempuan Dalam Islam Diterjemah Oleh Farid Wjidi
Dan Cici Farkha Assegaf. Bandung: Yayasan Bentang Budaya, 1994.
Andi Syamsu Alam. Usia Ideal Memenuhi Dunia Perkawinan. Jakarta: Kencana Mas
Publishing House, 2005.
Arofik, Slamet, and Alvian Riski Yustomi. “Analisis Ushul Dan Kaidah Fikih Terhadap
Implementasi Dispensasi Perkawinan Di Bawah Umur Di Kantor Urusan Agama
(Kua) Kecamatan Perak Kabupaten Jombang.” Usratuna: Jurnal Hukum
Keluarga Islam 4, no. 1 (2020): 111–37.
https://doi.org/10.29062/usratuna.v4i01.260.
Cahyani, Dwi, Tinuk, and Halimatus Salmah, Khalidawati. “Tinjauan Normatif Batas
Minimal Usia Anak Untuk Melakukan Perkawinan.” Jurnal De Jure 11, no. 2
(2019): 93.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Dan Terjemahan New Cordova,
2012.
Fathur Rahman Alfa. “Perkawinan Dan Perceraian Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Ahwal
Syakhsiyyah 1, no. 1 (2019): 52.
Gusti nadya Nurhaliza. “Pengaruh Kenaikan Batas Usia Perkawinan Bagi Perempuan
Terhadap Peningkatan Dispensasi Kawin Di Pengadilan Agama Sampit.”
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2020.
Hasibuan, Supri Yadin. “Pembaharuan Hukum Perkawinan Tentang Batas Minimal
Usia Perkawinan Dan Konsekuensinya.” Teraju 1, no. 02 (2019): 79–87.
https://doi.org/10.35961/teraju.v1i02.88.
Heryanti, B Rini. “Implementasi Perubahan Kebijakan Batas Usia Perkawinan.” Jurnal
Ius Constituendum 6, no. 2 (2021): 120–43.
I Nyoman Sujana. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Putusan
Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010. Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
2015.
Indrawati, Septi, and Agus Budi Santoso. “Tinjauan Kritis Batas Usia Perkawinan Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.” Amnesti
Jurnal Hukum 2, no. 1 (2020): 16–23.
Efektifitas Batas Minimal Usia Perkawinan ….
https://doi.org/10.37729/amnesti.v2i1.804.
Khusna, Dewi. “Eksistensi Batas Usia Minimal 19 Tahun Bagi Perempuan Dalam
Perkawinan.” Negara Dan Keadil an 9, no. 1 (2020): 1.
https://doi.org/10.33474/hukum.v9i1.6927.
kompas. “Https://Www.Kompas.Com/Sains/Read/2021/05/20/190300123/Peringkat-
Ke-2-Di-Asean-Begini-Situasi-Perkawinan-Anak-Di-Indonesia?Page=all.”
Accessed October 18, 2021. https://www.kompas.com/sains/read/2021/05/20
/190300123/peringkat-ke-2-di-asean-begini-situasi-perkawinan-anak-di-
indonesia?page=all.
Kudus, Mubasyaroh Stain. “Analisis Faktor Penyebab Perkawinan Dini Dan
Dampaknya Bagi Pelakunya.” Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Sosial
Keagamaan 7 (2016): 386–411.
Mardani. Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011.
Nawi, Syahruddin, and Salle Salle. “Analisis Pengaruh Berbagai Variabel Terhadap
Permohonan Dispensasi Perkawinan.” Journal of Lex Philosophy (JLP) 1, no. 1
(2020): 84–98. https://doi.org/10.52103/jlp.v1i1.28.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (2019).
Salim HS, Erlis Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan
Disertasi. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2013.
Sofyan A.P. Kau. Metode Penelitian Hukum Islam. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2013.