ArticlePDF Available

Pengembangan Self Help Book untuk Mengatasi Kesepian pada Remaja dengan Teknik Menulis Cerita

Authors:

Abstract

This study aims to produce an instructional book about to overcome loneliness by story writing aimed at class VIII in junior high schools in Tangerang. The research method used is the Design By Research (DBR) method which consists of four stages of the model, analysis-exploration, design-construction, analysis-reflection, implementation. Formative evaluation had be done by a validation evaluation 88% (very feasible), validity of the material experts is 78% (adequate), validity of guidance counseling teacher is 100% (very feasible) and the students are 90% (very feasible). The result of the research is a book that contains the stages of story writing using story theory from the perspective of narrative therapy.
Pengembangan Self-Help Book untuk Mengatasi Kesepian Pada Remaja
81
Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 11 (1)
Juni 2022
PENGEMBANGAN SELF-HELP BOOK UNTUK MENGATASI KESEPIAN PADA
REMAJA DENGAN TEKNIK MENULIS CERITA
Rina Fitriana
1
Karsih
2
Susi Fitri
3
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan media pembelajaran self help book (buku bantuan diri)
mengenai cara mengatasi kesepian dengan teknik menulis cerita yang ditujukan kepada kelas VIII di
salah satu SMP di Kota Tangerang untuk digunakan secara mandiri. Metode penelitian yang digunakan
merupakan metode Design By Research (DBR) yang terdiri dari empat tahapan model yaitu analisis-
eksplorasi, desain-konstruksi, evaluasi-refleksi dan implementasi. Evaluasi dilakukan oleh validator
ahli media, ahli materi, guru bimbingan konseling dan peserta didik. Berdasarkan data tersebut
menunjukkan hasil evaluasi validitas ahli media 88% (sangat layak). Validitas ahli materi 78% (layak),
guru bimbingan konseling 100% (sangat layak) dan peserta didik 90% (sangat layak). Hasil penelitian
adalah sebuah buku yang berisi tahapan menulis cerita menggunakan teori cerita pada perspektif terapi
naratif.
Kata Kunci: Pengembangan, Model DBR, Self-Help Book, Kesepian, Teori Cerita, Terapi
Naratif
Abstract
This study aims to produce an instructional book about to overcome loneliness by story writing aimed
at class VIII in junior high schools in Tangerang. The research method used is the Design By Research
(DBR) method which consists of four stages of the model: analysis-exploration, design-construction,
analysis-reflection, implementation. Formative evaluation had be done by a validation evaluation 88%
(very feasible), validity of the material experts is 78% (adequate), validity of guidance counseling
teacher is 100% (very feasible) and the students are 90% (very feasible). The result of the research is
a book that contains the stages of story writing using story theory from the perspective of narrative
therapy.
Keywords: Development, DBR Model, Self-Help Book, Loneliness, Story Theory, Narrative
Therapy
1
Universitas Negeri Jakarta, rinafitriana424@gmail.com
2
Universitas Negeri Jakarta, karsih@unj.ac.id
3
Universitas Negeri Jakarta, susi.fitri@unj.ac.id
Pengembangan Self-Help Book untuk Mengatasi Kesepian Pada Remaja
82
Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 11 (1)
Juni 2022
Kesepian terjadi karena terdapat
perbedaan kognisi sosial pada individu.
Kognisi sosial melibatkan aktivitas kognitif
seperti berpikir tentang orang lain dan
hubungan sosial. Salah satu karakteristik
khusus yang paling menonjol pada
hubungan sosial remaja adalah membangun
persahabatan. Persahabatan dan dukungan
dari teman dapat mengurangi atau
menghilangkan kesepian pada individu
karena menunjukkan keberhasilan dalam
bersosial serta memiliki kompetensi sosial
yang lebih tinggi
Koneksi dengan teman sebaya
menjadi faktor pendukung yang penting
pada masa remaja (Santrock, 2014). Individu
perlu terhubung dengan orang lain agar
tidak merasa kesepian. Seseorang dapat
sendirian untuk sementara waktu dan tidak
merasa kesepian karena mereka terhubung
dengan pasangan, keluarga dan teman
mereka bahkan ketika berada di kejauhan.
Remaja sering mendeskripsikan
kesepian yang dialaminya sebagai
kekosongan, kebosanan dan keterasingan.
Remaja harusnya tidak kesepian karena
mulai meluasnya koneksi dengan orang lain
terutama teman sebaya. Namun faktanya
remaja lebih sering kesepian ketika merasa
ditolak, terasing dan tidak mampu memiliki
peran dalam lingkungannya. Remaja yang
sulit dalam membentuk hubungan sosial
terutama di lingkungan sekolah akan
melakukan penarikan diri yang dapat
berkontribusi pada kesepian (Woohdhouse,
Dykas, & Cassidy, 2011).
Penyebab lain terjadinya kesepian
pada remaja yaitu belum terbentuknya
hubungan interpersonal yang intim dan
terjadinya penolakan hingga kurangnya
pertemanan dengan teman sebaya
(Vanhalst, Luyckx, & Goossens, 2020).
Selain itu, kesepian juga dapat dialami
dalam relasi dengan pacar disebabkan
remaja tidak menerima perhatian yang
diinginkannya dari pasangannya (Danneel,
Maes, & Vanhalst, 2017). Meningkatnya
kesepian yang dialami oleh remaja juga
dipengaruhi oleh berkurangnya kedekatan
remaja dan kehangatan dalam hubungan
remaja-orang tua yang disebabkan oleh
konflik antara mereka.
Remaja yang mengalami kesepian
rentan mengalami depresi, bunuh diri dan
melakukan kenakalan remaja. Jika tidak
segera diatasi, kesepian dapat menimbulkan
kekhawatiran yang akan berpengaruh pada
perkembangan remaja. Masa remaja
menjadi penentu individu karena individu
akan menghadapi tugas perkembangan
berikutnya yaitu membentuk hubungan
intim dan memulai masa dewasa awal. Jika
mampu membentuk persahabatan yang
sehat dan menciptakan relasi dengan
individu lain, keintiman akan tercapai.
Namun jika tidak, isolasi akan terjadi. Hal
tersebut merupakan tahap perkembangan
keenam Erikson yaitu keintiman versus
isolasi pada rentang usia 19-36 tahun.
Studi pendahuluan yang telah
dilakukan dengan melibatkan 160 peserta
didik kelas VIII di salah satu SMP Negeri
di Kota Tangerang menunjukkan hasil
bahwa sebanyak 41% peserta didik
mengalami kesepian dan sebanyak 35,1%
peserta didik tidak mengetahui penyebab
mereka mengalami kesepian. Selain itu
diketahui bahwa sebanyak 41.8% peserta
didik menyatakan mereka memiliki
kesulitan dalam menjalin hubungan
pertemanan dan 43,3% peserta didik tidak
masuk ke dalam kelompok teman sebaya.
Kemudian sebanyak 72% dari 160
peserta didik menyatakan bahwa mereka
mencari informasi lain dalam penyelesaian
masalahnya. Sehingga pemberian materi
menggunakan self help book akan mudah
diterima oleh peserta didik untuk
membantu mengatasi permasalahannya
secara mandiri. Dengan demikian, perlu
adanya pengembangan media untuk
mengatasi kesepian pada remaja.
Pengembangan Self-Help Book untuk Mengatasi Kesepian Pada Remaja
83
Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 11 (1)
Juni 2022
SELF HELP BOOK
Self help book sebagai media yang
digunakan agar individu dapat memperoleh
informasi sehingga dapat mengatasi
masalah dirinya tanpa bantuan profesional
(Bergsma, 2007). Self help book termasuk
dalam kategori buku nonfiksi yang
menawarkan informasi, pengambilan
keputusan, dan pemecahan masalah yang
menyertakan proses dan prosedur untuk
mencapai tujuan perawatan dan
menghasilkan pemikiran atau perilaku baru.
Dengan demikian, self-help book diarahkan
pada penyelesaian konflik antarpribadi dan
psikologis. Self help book memiliki empat
manfaat menurut Pantalon (1995) yaitu 1)
dapat menjadi alat psikoedukasi yang
berguna karena menawarkan proses
intervensi yang jelas dan ringkas, 2) lebih
ekonomis, 3) memberikan latihan perilaku
yang bermanfaat, 4) pembahasan yang
disajikan berdasarkan penelitian.
KESEPIAN
Kesepian merupakan pengalaman
subjektif yang membuat individu merasa
terasing dari dunia luar disebabkan oleh
hubungan sosial yang tidak memuaskan
sehingga terjadi keterputusan dari individu
dan tempat serta terdapat ketidaksesuaian
antara tingkat kontak sosial yang
diinginkan dan dicapai. Weiss (Weiss,
1973) membagi kesepian menjadi dua yaitu
kesepian emosional dan kesepian sosial.
Kesepian emosional terjadi ketika tidak ada
ketertarikan intim dengan orang lain
sehingga menghasilkan perasaan hampa
dan cemas. Sedangkan kesepian sosial yaitu
mengacu pada tidak adanya persahabatan
yang bermakna akibat dari kurangnya rasa
memiliki pada kelompok yang diinginkan
dan terjadi ketika seseorang tidak terlibat
secara sosial di lingkungannya.
Selain itu, Margalit (2010)
menyatakan bahwa terdapat kesepian
eksistensial dan kesepian representasi.
Kesepian eksistensial mengacu pada
kondisi kesepian yang menggambarkan
tentang isolasi pribadi, individu akan
memiliki perasaan ketidakbermaknaan,
ketidakberdayaan, isolasi, kesendirian dan
hilangnya kebebasan. Sedangkan kesepian
representasi yaitu kondisi kesepian yang
terjadi saat munculnya kesadaran bahwa
diri seseorang tidak pernah bisa dipahami
oleh orang lain secara keseluruhan. Jenis
kesepian ini mirip dengan kesepian
eksistensial karena hilangnya pengalaman
positif. Namun, pada kesepian ini
dipengaruhi oleh kehadiran orang lain.
Situasi sosial yang mempengaruhi
kesepian yaitu 1) Perubahan dalam
hubungan sosial yang dicapai, 2) Perubahan
dalam hubungan sosial yang diinginkan, 3)
Kuantitas dan kualitas kontak sosial, 4)
Faktor pribadi yang berkontribusi pada
kesepian antara lain perasaan malu, harga
diri yang rendah dan kurangnya
keterampilan sosial.
Ciri-ciri individu yang kesepian
menurut Perlam & Peplau (1981) yaitu
merasa marah, menutup diri, kosong,
canggung, tegang, gelisah dan cemas.
Selain itu, individu yang kesepian pada
dasarnya memiliki pandangan negatif
seperti mereka kurang bahagia, kurang puas
dan lebih pesimis (Russell et al., 1978;
Perlman et al., 1978).
Sementara itu, individu yang kesepian
dapat berdampak ke fisik maupun
psikologisnya. Dampak fisik antara lain
sakit kepala, nafsu makan yang buruk dan
perasaan lelah. Perlman & Peplau (1981)
juga mengemukakan bahwa kesepian
berkaitan erat dengan berbagai penyakit
fisik. Sedangkan dampak psikologis yang
akan dirasakan yaitu penurunan
kesejahteraan dalam bentuk depresi,
masalah tidur (Gierveld, 1998). Selain itu,
kesepian pada masa remaja berkaitan
dengan depresi, perilaku antisosial,
kecemasan sosial, penolakan sosial,
kurangnya keterampilan sosial, kenakalan
remaja, gangguan penyesuaian diri, stress
Pengembangan Self-Help Book untuk Mengatasi Kesepian Pada Remaja
84
Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 11 (1)
Juni 2022
kronis, merasa tidak berdaya, insomnia dan
bunuh diri (Bonetti, Campbell, & Gilmore
(2010), Copeland, Fisher, & Moody (2018),
Banerjee & Rai (2020)).
TEORI CERITA
McAdams (1993) menjelaskan proses
yang terjadi ketika individu bercerita dapat
mendukung penyembuhan. Cerita akan
membentuk realitas dimana individu
membangun dan membentuk apa yang
dilihat, dirasakan dan dilakukan dalam
hidupnya (Smith & Liehr, 2014).
Menuliskan cerita dapat mengubah
hubungan individu dengan orang lain dan
menjauhkan individu dari masalah. Melalui
cerita, individu juga dapat berkonsultasi
dengan orang lain serta diri mereka sendiri
jika masalah tersebut muncul kembali
dalam hidup mereka.
TERAPI NARATIF
Terapi naratif merupakan teknik yang
mengidentifikasi suatu masalah melalui
perspektif naratif yang berfokus pada cerita
masalah dan berupaya untuk memodifikasi
keyakinan, nilai dan interpretasi yang
menyakitkan yang dimiliki individu.
Tujuan umum terapi naratif untuk
mengajak individu menggambarkan
pengalaman mereka dalam perspektif yang
baru. Perspektif baru ini memungkinkan
individu untuk mengembangkan makna
baru terhadap pikiran, perasaan dan
perilaku yang bermasalah.
Selain itu, individu akan dibantu
untuk mengidentifikasi kekuatan dan
kompetensi yang mereka miliki termasuk
ketika mereka mengalami kesulitan (Corey,
2013). Menurut White (White, 1990)
individu mengkonstruksi makna hidup
melalui cerita secara interpretative yang
dianggap sebagai kebenaran identitas
individu. Selain menceritakan dirinya,
individu juga dapat menceritakan
keterlibatan orang sebagai kelengkapan
cerita hidupnya.
METODOLOGI
Metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian dan pengembangan
menggunakan metode DBR (Design by
Research) sebagai tahapan pengembangan
media. DBR merupakan metode penelitian
yang menghasilkan produk tertentu sesuai
bidang keilmuan, dan terdapat efektifitas
pada produk sebagai solusi dari masalah
yang ada. Produk dapat berbentuk prosedur,
buku, modul, paket, atau program (Haryati,
2012; Saputro, 2017; Sugiyono, 2013).
DBR merupakan bagian dari Educational
Design research (Mc Kenney & Reeves,
2012). Metode DBR memiliki empat
tahapan diantaranya analisis-eksplorasi,
desain-konstruksi, evaluasi-refleksi,
implementasi. Namun peneliti tidak dapat
melakukan implementasi ke setting
pendidikan melihat bahwa media yang
dikembangkan akan memerlukan waktu
yang banyak dalam penerapannya
sedangkan peneliti memiliki keterbatasan
waktu dalam melakukan penelitian.
Populasi pada penelitian ini adalah
peserta didik kelas VIII SMP di salah satu
SMP Negeri di Kota Tangerang Tahun
ajaran 2021/2022 dengan total 280 Peserta
didik. Sampel pada penelitian ini
melibatkan 165 peserta didik dengan
penentuan jumlah sampel menggunakan
rumus Slovin. Pengambilan subjek
menggunakan teknik purposive sampling
yaitu metode pengambilan sampel
disesuaikan dengan karakteristik yang
dianggap tepat atau sesuai oleh peneliti.
Penelitian ini dilakukan pada bulan
Maret 2021 hingga Januari 2022. Uji coba
produk pada penelitian ini melibatkan
beberapa responden seperti ahli media, ahli
materi, guru BK dan peserta didik untuk
melihat kelayakan produk yang
dikembangkan. Teknik pengambilan data
Pengembangan Self-Help Book untuk Mengatasi Kesepian Pada Remaja
85
Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 11 (1)
Juni 2022
menggunakan instrumen kuesioner yang
dikembangkan oleh peneliti berdasarkan
rujukan dari buku media dan
pengembangan manual dan digital
(Kustandi & Sujipto, 2011). Instrumen
tersebut menggunakan metode rating scale.
HASIL PENELITIAN
Adapun hasil dari penelitian
pengembangan media self help book ini
merujuk pada model DBR (Mc Kenney &
Reeves, 2012) yang hanya sampai pada
tahap evaluasi dan refleksi. Berikut
penjelasannya:
Tahap analisis dan eksplorasi yaitu
mengidentifikasi masalah yang terjadi di
lapangan disertai melakukan tinjauan
literatur untuk mendapatkan pengetahuan
teoritis yang akan membentuk pemahaman
tentang masalah dan topik yang relevan.
Kemudian pengumpulan data untuk
dilakukan analisis data yang bertujuan
meninjau kembali masalah tersebut sebagai
fenomena yang layak untuk diteliti.
Tahap desain dan konstruksi yaitu
mengeksplorasi ide yang potensial untuk
masalah yang telah dianalisa. Selain itu
mempertimbangkan ide yang dilaksanakan
sesuai dengan keputusan dengan pemikiran
rasional yang sesuai dengan data yang ada
di lapangan. Pada tahap ini juga peneliti
membuat kerangka spesifikasi rinci untuk
konten produk yang akan dikembangkan.
Selain itu menentukan proposisi desain
yang akan dikembangkan berdasarkan
tujuan, waktu dan ruang lingkup penelitian.
Konstruksi dilakukan dengan menentukan
bentuk produk sehingga mempercepat
proses pengembangan produk secara
keseluruhan.
Tahap evaluasi dan refleksi yaitu
melakukan penilaian terhadap media yang
telah dikembangkan bersama dengan
beberapa validator diantaranya ahli media,
ahli materi, guru BK dan peserta didik.
Kemudian pada tahap refleksi menyertakan
proses pertimbangan mengenai masukan
secara teoritis, temuan empiris, hingga
respon subjektif. Refleksi berperan dalam
penemuan pemahaman baru secara teoritis.
Hasil dari tahap evaluasi yang melibatkan
ahli media memperoleh persentase sebesar
88% (tabel 1) dengan kriteria sangat layak
dan ahli materi memperoleh persentase
sebesar 78% (tabel 2) dengan kriteria layak.
No
Aspek
Kriteria
1
Desain
Cover
Sangat
Layak
2
Desain Isi
3
Bahasa
4
Ilustrasi
5
Tipografi
6
Lay Out
Tabel 1 Hasil Validasi Ahli Media
No
Aspek
Persentase
Kriteria
1
Konteks
78%
Layak
2
Materi
3
Ilustrasi
Tabel 2 Hasil Validasi Ahli Materi
Setelah melakukan uji validitas ahli,
peneliti selanjutnya melakukan perbaikan
media berdasarkan hasil masukan dan saran
yang diberikan oleh para ahli. Berikut
penjelasannya:
Kelemahan
Saran
Perbaikan
Jenis font
kurang tepat.
Perbaiki jenis
font agar
tulisan
terlihat lebih
jelas.
Jenis font
telah
diperbaiki
dengan
memilih
font yang
memiliki
tingkat
keterbacaan
yang lebih
jelas.
Tidak ada non
contoh pada
buku yang
akan
memudahkan
Tambahkan
non conton
agar peserta
didik
memperoleh
Non contoh
telah
ditambahka
n.
Pengembangan Self-Help Book untuk Mengatasi Kesepian Pada Remaja
86
Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 11 (1)
Juni 2022
peserta didik
mengidentifik
asi hal yang
boleh dan
tidak boleh
dilakukan.
pemahaman
lebih jelas.
Tabel 3 Perbaikan Ahli Media
Kelemahan
Saran
Perbaikan
Pemilihan
kata-kata
masih sangat
teoritis
sehingga
akan
menyulitkan
peserta didik
untuk
memahami
isi buku
Perbaiki kata-
kata menjadi
lebih mudah
dipahami
Pada
beberapa
bagian buku,
penggunaan
kalimat telah
diubah
menjadi lebih
sederhana
Tidak ada
glosarium
Tambahkan
glosarium
supaya kata
asing yang
digunakan
dapat
dipahami
Glosarium
telah
ditambahkan
di bagian
akhir buku
Desain buku
masih perlu
dirancang
lebih
dinamis agar
tidak
monoton.
Perlu
dilakukan
perbaikan
untuk
menyesuaikan
perubahan
desain.
Perubahan
desain pada
cover supaya
dapat lebih
menarik
pembaca.
Tabel 4 Perbaikan Ahli Materi
Peneliti juga melakukan uji coba
keterbacaan kepada guru BK yang
memperoleh persentase 100% (tabel 5) dan
uji coba keterbacaan kepada 3 peserta didik
diperoleh hasil persentase sebesar 90%
(tabel 6).
No
Aspek
Persentase
Kriteria
1
Desain
90%
Sangat
Layak
2
Materi
Tabel 5 Hasil Validasi Guru BK
No
Aspek
Persentase
Kriteria
1
Desain
90%
Sangat
Layak
2
Materi
Tabel 6 Hasil Validasi Peserta Didik
Berdasarkan hasil evaluasi pada tahap
evaluasi dan refleksi tersebut, maka media
self help book untuk mengatasi kesepian
pada remaja dengan teknik menulis cerita
dapat dikategorikan layak dan dapat
digunakan oleh peserta didik sebagai media
bantuan diri yang dapat digunakan secara
mandiri.
Penelitian pengembangan ini
memiliki beberapa keterbatasan yang masih
harus diperbaiki agar dapat dipergunakan
secara maksimal oleh peserta didik dalam
mengatasi kesepian. Beberapa keterbatasan
pada penelitian ini meliputi: (1) penelitian
ini hanya sampai tahap evaluasi dan
refleksi; (2) belum terpenuhinya
karakteristik self help book yang terdiri
dari 12 karakteristik menurut Patalon
(1995) antara lain belum terpenuhinya
persiapan untuk kegagalan dan penyertaan
contoh kasus. Oleh karena itu, masih perlu
penyempurnaan pada penelitian
selanjutnya.
KESIMPULAN
Hasil penelitian pengembangan
media self help book untuk mengatasi
kesepian pada remaja dengan teknik
menulis cerita memiliki kesimpulan bahwa
self help book merupakan media yang dapat
dikembangkan untuk mengajak peserta
didik keluar dari rasa kesepian yang
dialaminya melalui menulis cerita yang
didasari oleh terapi naratif. Pengembangan
media self help book untuk mengatasi
kesepian dengan menulis cerita telah
memenuhi komponen yang layak.
Penelitian ini dilakukan dengan metode
Design by Research (DBR) yang terdiri dari
empat tahapan yaitu analisis-eksplorasi,
desain-konstruksi, evaluasi-refleksi,
implementasi. Dalam penelitian ini, peneliti
Pengembangan Self-Help Book untuk Mengatasi Kesepian Pada Remaja
87
Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 11 (1)
Juni 2022
hanya melakukan sampai tahap evaluasi-
refleksi, oleh karena ina perlu
penyempurnaan lebih lanjut agar media
yang dikembangkan dapat digunakan
secara lebih maksimal.
Spesifikasi media ini dilengkapi
dengan isi materi berupa penjelasan
mengenai kesepian, tahapan dalam menulis
cerita, gambar ilustrasi, warna yang
menarik dan tata letak yang telah disusun
secara proporsional.
Evaluasi yang digunakan penelitian ini
adalah evaluasi formatif dengan melakukan
uji validitas kepada ahli media dan ahli
materi. Kemudian melakukan uji
keterbacaan media kepada guru BK dan
peserta didik menggunakan kuesioner
berupa angket.
Berdasarkan evaluasi yang telah
dilakukan, validasi ahli media oleh dosen
Teknologi Pendidikan memperoleh
persentase 88% dengan kriteria sangat
layak. Validasi ahli materi oleh dosen
Bimbingan dan Konseling memperoleh
persentase 78% yang termasuk kriteria
layak. Sementara hasil uji keterbacaan oleh
guru BK memperoleh persentase 100%
dengan kriteria sangat layak dan uji
keterbacaan oleh peserta didik memperoleh
persentase 90% dengan kriteria sangat
layak.
Dari hasil penilaian tersebut, terdapat
beberapa keunggulan dan kelemahan pada
media self help book menurut para ahli.
Keunggulan media ini yaitu memiliki
prosedur teknik yang jelas dan terstruktur,
media ini juga memiliki konten yang
lengkap dari mulai konsep dasar hingga
evaluasi setelah penggunaan buku,
termasuk media yang baru dan menarik
karena tidak hanya menyediakan informasi
saja tetapi juga terdapat gambar ilustrasi
yang dapat menarik pembaca. Adapun
kelemahan pada media ini berupa bahasa
yang digunakan masih sangat teoritis
sehingga perlu disederhanakan agar
pembaca dapat memahami dengan jelas.
Perbaikan pada media ini telah dilakukan
berdasarkan saran dan masukan dari para
ahli agar media dapat digunakan dengan
tepat sesuai sasaran pengguna buku yaitu
peserta didik jenjang SMP.
Sehingga, saran untuk penelitian ini
adalah: 1) penelitian dapat dilanjutkan
hingga tahap implementasi ke setting
pendidikan, 2), peneliti selanjutnya perlu
melengkapi 12 karakteristik self help book
yang masih belum terpenuhi pada penelitin
ini, 3) Penelitian selanjutnya perlu
menyiapkan alternatif lain jika peserta didik
menolak untuk menggunakan media ini, 4)
Penelitian selanjutnya perlu menyiapkan
kemungkinan terjadinya kekambuhan di
masa depan pada peserta didik yang telah
menggunakan media ini.
DAFTAR PUSTAKA
Banerjee, D., & Rai, M. (2020). Social
Isolation in Covid-19: The impact
of Loneliness. International
Journal of Social Psychiatry.
Bergsma, A. (2007). Do self-help books
help? Netherlands: Springer
Science+Business Media B.V.
Bonetti, L., Campbell, M., & Gilmore, L.
(2010). The Relationship pf
Loneliness and Social Anxiety with
Children's and Adolescents Online
Communication. Cyberpsychology,
Behavior and Social Networking,
279-284.
Copeland, M., Fisher, J., & Moody, J.
(2018). Different Kinds of Lonely:
Dimensions of Isolation and
Substance Use in Adolescence.
Journal of Youth and Adolescence,
1755-1770.
Pengembangan Self-Help Book untuk Mengatasi Kesepian Pada Remaja
88
Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 11 (1)
Juni 2022
Corey, G. (2013). Theory and Practice of
Counseling and Psychotherapy.
California: Brooks/Cole.
Danneel, S., Maes, M., & Vanhalst, J.
(2017). Developmental Change in
Loneliness and Attitude Toward
Aloneness in Adolescence. New
York: Springer Science.
Gierveld, J. (1998). A Review of
Loneliness: concept and definitions,
determinants and consequences.
Reviews in Clinical Gerontology,
73-80.
Kustandi, C., & Sujipto, B. (2011). Media
pembelajaran manual dan digital.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Margalit, M. (2010). Lonely Children and
Adolescents. New York: Springer.
Mc Kenney, S., & Reeves, T. (2012).
Conducting Educational Design
Research. USA: Routledge.
Pantalon, M., Lubetkin, B., & Fishman, S.
(1995). Use and Effectiveness of
Self-Help Books in the Practice of
Cognitive and Behavioral Therapy.
COGNITIVE AND BEHAVIORAL,
213-228.
Perlman, D., & Peplau, L. (1981). Social
Psychology of Loneliness. London:
Academic Press.
Santrock. (2014). Adolescence. New York:
Mc. Graw Hill.
Smith, M., & Liehr, P. (2014). Middle
Range Theory for Nursing. (Third,
Ed.) New York: Springer
Publishing Company.
Vanhalst, J., Luyckx, K., & Goossens, L.
(2020). Experiencing Loneliness in
Adolescence: A Matter of
Individual Chacarteristics, Negative
Peer Expreiences, or Both. Social
Development, 100-118.
Weiss, R. (1973). Loneliness: The
Experience of Emational and Social
Isolation. Cambridge: M.I.T Press.
White, M. (1990). Narrative Means to
Therapeutic Ends. New York:
Norton.
Woohdhouse, S., Dykas, M., & Cassidy, J.
(2011). Loneliness and Peer
Relations in Adolescence. Social
Development, 274-293.
Pengembangan Self-Help Book untuk Mengatasi Kesepian Pada Remaja
89
Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 11 (1)
Juni 2022
Lampiran
Rancangan Desain Model
Pengembangan Self-Help Book untuk Mengatasi Kesepian Pada Remaja
90
Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 11 (1)
Juni 2022
Pengembangan Self-Help Book untuk Mengatasi Kesepian Pada Remaja
91
Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 11 (1)
Juni 2022
Pengembangan Self-Help Book untuk Mengatasi Kesepian Pada Remaja
92
Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 11 (1)
Juni 2022
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Social isolation is broadly associated with poor mental health and risky behaviors in adolescence, a time when peers are critical for healthy development. However, expectations for isolates’ substance use remain unclear. Isolation in adolescence may signal deviant attitudes or spur self-medication, resulting in higher substance use. Conversely, isolates may lack access to substances, leading to lower use. Although treated as a homogeneous social condition for teens in much research, isolation represents a multifaceted experience with structurally distinct network components that present different risks for substance use. This study decomposes isolation into conceptually distinct dimensions that are then interacted to create a systematic typology of isolation subtypes representing different positions in the social space of the school. Each isolated position’s association with cigarette, alcohol, and marijuana use is tested among 9th grade students (n = 10,310, 59% female, 83% white) using cross-sectional data from the PROSPER study. Different dimensions of isolation relate to substance use in distinct ways: unliked isolation is associated with lower alcohol use, whereas disengagement and outside orientation are linked to higher use of all three substances. Specifically, disengagement presents risks for cigarette and marijuana use among boys, and outside orientation is associated with cigarette use for girls. Overall, the adolescents disengaged from their school network who also identify close friends outside their grade are at greatest risk for substance use. This study indicates the importance of considering the distinct social positions of isolation to understand risks for both substance use and social isolation in adolescence.
Article
Full-text available
Adolescents are particularly vulnerable to experiencing feelings of loneliness. Changes in different social contexts and the inability to cope with these changes can result in different types of loneliness. According to the multidimensional view on loneliness, loneliness can be experienced in relationships with peers and parents and can be placed in a broader perspective by taking into account attitudes toward aloneness (i.e., positive and negative). However, we do not yet know how loneliness and attitudes toward aloneness develop across adolescence. These developmental trends were examined in two samples of Flemish adolescents consisting of 834 adolescents (61.9% girls, M age = 14.84; Sample 1), and 968 adolescents (58.6% girls, M age = 14.82; Sample 2), respectively. Adolescents filled out the Loneliness and Aloneness Scale for Children and Adolescents (LACA) during regular school hours on three (Sample 1) and four (Sample 2) measurement occasions with a 1-year interval. Latent growth curve modeling (LGCM) was applied. In line with theoretical notions, adolescents' parent-related loneliness and positive attitude toward aloneness were expected to increase, and adolescents' peer-related loneliness and negative attitude toward aloneness were expected to decrease. Clear evidence was found for the hypotheses regarding attitudes toward aloneness. The results regarding peer-related loneliness were inconsistent across samples and parent-related loneliness decreased, which was in contrast with theoretical expectations. In general, the two types of loneliness and attitudes toward aloneness changed in different directions during adolescence, suggesting the added value of a multidimensional view on loneliness.
Article
Full-text available
Children and adolescents now communicate online to form and/or maintain relationships with friends, family, and strangers. Relationships in "real life" are important for children's and adolescents' psychosocial development; however, they can be difficult for those who experience feelings of loneliness and/or social anxiety. The aim of this study was to investigate differences in usage of online communication patterns between children and adolescents with and without self-reported loneliness and social anxiety. Six hundred twenty-six students ages 10 to 16 years completed a survey on the amount of time they spent communicating online, the topics they discussed, the partners they engaged with, and their purposes for communicating over the Internet. Participants were administered a shortened version of the UCLA Loneliness Scale and an abbreviated subscale of the Social Anxiety Scale for Adolescents (SAS-A). Additionally, age and gender differences in usage of the online communication patterns were examined across the entire sample. Findings revealed that children and adolescents who self-reported being lonely communicated online significantly more frequently about personal and intimate topics than did those who did not self-report being lonely. The former were motivated to use online communication significantly more frequently to compensate for their weaker social skills to meet new people. Results suggest that Internet usage allows them to fulfill critical needs of social interactions, self-disclosure, and identity exploration. Future research, however, should explore whether or not the benefits derived from online communication may also facilitate lonely children's and adolescents' offline social relationships.
Book
The foundation of middle range theory reported during the past decade was described and analyzed. A CINAHL search revealed 22 middle range theories that met selected criteria. This foundation is a fi rm base for new millennium theorizing. Recommendations for future theorizing include: clear articulation of theory names and approaches for generating theories; clarifi cation of concept linkages with inclusion of diagrammed models; deliberate attention to research-practice connections of theories; creation of theories in concert with the disciplinary perspective; and, movement of middle range theories to the front lines of nursing research and practice for further analysis, critique, and development.
Article
The present study builds on the child-by-environment model and examines the joint contribution of intra-individual characteristics (i.e., self-esteem and shyness) and peer experiences (i.e., social acceptance, victimization, friendship quantity, and friendship quality) in the association with loneliness. A total of 884 adolescents (Mage= 15.80; 68 percent female) participated in this multi-informant study. Results indicated that, in addition to self-esteem and shyness, being poorly accepted by peers, being victimized, lacking friends, and experiencing poor-quality friendships each contributed independently to the experience of loneliness. Further, friendship quantity and quality mediated the relation between the two intra-individual characteristics and loneliness. Finally, a significant interaction was found between self-esteem and social acceptance in predicting loneliness. The present study highlights the importance of investigating the joint effects of inter-individual experiences and intra-individual characteristics in examining loneliness. Suggestions to elaborate the child-by-environment model in loneliness research are discussed, and clinical implications are outlined.
Article
Despite the limited, albeit positive, evidence of the efficacy of self-help books (SHBs), they are widely prescribed to patients by therapists. It appears that this is due in part to their great appeal to the general public. Based upon the available empirical studies, it appears that some SHBs are effective in changing problematic behaviors when used alone and when used in conjunction with therapy. In this article, the case is made for a SHB plus cognitive behavioral therapy as being more useful in some cases than a SHB alone, because the combination addresses the crucial and frequently cited issue of compliance with the directives of the treatment regimen in a SHB (Rosen, 1987). We offer recommendations for selecting and assigning SHBs that we believe are beneficial.
Article
Describes loneliness as a natural response of the individual to certain situations and not as a form of weakness. Emotional and social isolation (as 2 distinct forms of loneliness) are delineated, as well as feelings of emptiness, anxiety, restlessness, and marginality. Examples from case studies are included. (PsycINFO Database Record (c) 2012 APA, all rights reserved)
Article
The well-being of older adults in general, and their loneliness in particular, are important themes in recent discussions in the Western world. The social integration and participation of older adults in society are seen as indicators of productive aging, and the alleviation of loneliness forms part of policies aimed at achieving the goal of ‘successful’ aging. Discussions about loneliness date back to ancient times, when they were led by philosophers. They wrote primarily about ‘positive’ loneliness. This positive type of loneliness - as indicated in the concept of ‘Einsamkeit’ used in German literature until 1945 - is perceived to be related to the voluntary withdrawal from the daily hassles of life and oriented towards higher goals, such as reflection, meditation and communication with God.