ArticlePDF Available

Uji Efektivitas Ekstrak Daun Cengkih dan Jintan untuk Menurunkan Intensitas Serangan Penyakit Antraknosa pada Tanaman Cabai Besar

Authors:

Abstract

Anthracnose disease is one of the diseases in chili plants that can reduce yields by up to 80%. This study aims to determine the effectiveness and optimal concentration of natural fungicides from cloves and cumin in reducing the incidence and intensity of anthracnose disease (Colletotrichum sp.) attack directly on large chili plants in the field. The research was conducted in Sumberejo Village, Ngablak District, Magelang Regency. The study used a completely randomized design (CRD) with eight treatments and four replications. The extract treatments used clove leaves and cumin leaves with concentrations of 1%, 2%, and 3%, and no treatment and synthetic fungicides. The variables observed in this study were disease incidence, intensity of attack, and total fruit weight at harvest. The use of pesticides in the study showed significant differences from that of the control. The best natural fungicides for disease incidence in this study were CK3 (1,79%) and JK3 (2,94%), while the best natural fungicide treatments for attack intensity in this study were CK3 (11,25%) and JK3 (16,25%). Applying clove and cumin leaf fungicides to plants does not reduce crop yields.
ISSN:2527-2748 (Online)
Accredited by Ministry of Education, Culture,
Research, and Technology with the ranking
of Sinta (S3) SK NO.105/E/KPT/2022,
7th April 2022
Jurnal Ilmiah Membangun Desa dan Pertanian
(JIMDP)
2024:9(2):180-186
https://ejournal.agribisnis.uho.ac.id/index.php/JIMDP
doi: https://doi.org/10.37149/JIMDP.v9i2.1078
This is an open-access article under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN CENGKIH DAN JINTAN
UNTUK MENURUNKAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT ANTRAKNOSA
PADA TANAMAN CABAI BESAR
Jimmy Dwi Cahya1), Andree Wijaya Setiawan1*)
1Universitas Kristen Satya Wacana
*Corresponding author: fpb.andre@uksw.edu
To cite this article:
Cahya, J. D., & Setiawan, A. W. (2024). Uji Efektivitas Ekstrak Daun Cengkih dan Jintan untuk Menurunkan
Intensitas Serangan Penyakit Antraknosa pada Tanaman Cabai Besar. Jurnal Ilmiah Membangun Desa Dan
Pertanian, 9(2), 180186. https://doi.org/10.37149/jimdp.v9i2.1078
Received: January 26, 2024; Accepted: March 03, 2024; Published: March 10, 2024
ABSTRACT
Anthracnose disease is one of the diseases in chili plants that can reduce yields by up to
80%. This study aims to determine the effectiveness and optimal concentration of natural fungicides
from cloves and cumin in reducing the incidence and intensity of anthracnose disease (Colletotrichum
sp.) attack directly on large chili plants in the field. The research was conducted in Sumberejo Village,
Ngablak District, Magelang Regency. The study used a completely randomized design (CRD) with
eight treatments and four replications. The extract treatments used clove leaves and cumin leaves
with concentrations of 1%, 2%, and 3%, and no treatment and synthetic fungicides. The variables
observed in this study were disease incidence, intensity of attack, and total fruit weight at harvest. The
use of pesticides in the study showed significant differences from that of the control. The best natural
fungicides for disease incidence in this study were CK3 (1,79%) and JK3 (2,94%), while the best
natural fungicide treatments for attack intensity in this study were CK3 (11,25%) and JK3 (16,25%).
Applying clove and cumin leaf fungicides to plants does not reduce crop yields.
Keywords: eugenol; flavonoid; natural fungicide; plectranthus ambisonics; syzigium aromatic.
PENDAHULUAN
Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman hortikultura yang sering
dibudidayakan di dataran rendah hingga tinggi. Cabai memiliki nilai ekonomi tinggi dan setiap tahun,
kebutuhan masyarakat dan industri akan cabai meningkat. Dalam proses budidaya cabai, petani
seringkali mengalami kendala terserangnya tanaman oleh beberapa hama dan penyakit salah
satunya ialah antraknosa. Antraknosa atau patek disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici.
Penyakit antraknosa merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman cabai yang dapat
menginfeksi buah muda hingga matang. Antraknosa menjadi salah satu permasalahan terbesar pada
bidang pertanian karena menyebabkan kerusakan bagi tanaman sehingga menurunkan produktivitas
lahan yang signifikan. Antraknosa menyerang pada wilayah tropis, sub-tropis, dan beriklim sedang
(Freeman et al., 1998). Buah cabai yang terinfeksi Colletotrichum sp. dapat hancur hingga seluruhnya
(Jayawardana et al., 2015). Penyakit antraknosa dapat menyebabkan kegagalan produksi hingga
80% (Prihatiningsih et al., 2020).
Penanganan antraknosa sangat diperlukan untuk menanggulangi kegagalan panen bagi para
petani. Petani biasanya menginginkan hasil yang instan sehingga menggunakan fungisida sintetis.
Pada umumnya petani menggunakan fungisida sintetis dengan bahan aktif difenokonazol, ziram,
azoksistrobin, dan lain sebagainya (Marsuni, 2020). Arif (2015) melaporkan bahwa penggunaan
fungisida sintetis dapat menyebabkan dampak kerusakan pada lingkungan, resistensi OPT,
kesehatan petani dan konsumen. Untuk mengurangi penggunaan fungisida sintetis, diperlukan
pengendalian alternatif lainnya seperti penggunaan fungisida nabati.
Fungisida nabati merupakan fungisida yang berasal dari tumbuhan yang memiliki memiliki
bahan aktif untuk membunuh dan menghambat pertumbuhan jamur yang merugikan pada tanaman
budidaya (Saenong, 2017). Bahan aktif yang digunakan sebagai fungisida nabati merupakan produk
Jurnal Ilmiah Membangun Desa dan Pertanian (JIMDP)
2024: 9(2):180-186
Cahya & Setiawan
181
eISSN: 2527-2748
metabolit sekunder dari tumbuhan. Pada umumnya tanaman menghasilkan metabolit sekunder untuk
beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang kurang optimal untuk pertumbuhan (Verpoorte &
Alfermann, 2000). Cengkih dan jintan memiliki kandungan aktif yang dapat dimanfaatkan menjadi
fungisida nabati.
Cengkih merupakan salah satu tanaman perkebunan dataran tinggi. Bagian tanaman cengkih
seperti daun, bunga, dan batang memiliki senyawa bioaktif yang memiliki banyak manfaat salah
satunya dapat dimanfaatkan sebagai fungisida nabati. Dalam penelitian Suhendar & Sogandi (2019)
melaporkan bahwa senyawa yang terdapat dari ekstrak daun cengkih adalah eugenol, phenol dan
caryophyllene. Gülçin (2011) & Suhendar & Sogandi (2019) melaporkan bahwa senyawa eugenol
termasuk kedalam senyawa fenol turunan dari guaiakol. Senyawa eugenol memiliki sifat antioksidan
yang dapat menjaga membrane sel dari peroksidasi. Eugenol memiliki sifat antibakteri dan antifungi
sehingga dapat dijadikan sebagai bahan alami untuk pembuatan fungisida (Marchese et al., 2017).
Tanaman bangun-bangun (Plectranthus ambonicus) atau yang biasa disebut dengan
tanaman jintan sudah banyak digunakan sebagai obat. Tanaman jintan memiliki daun yang lunak
dengan permukaan bawah daun yang ditutupi rambut dan memiliki tepi daun bergerigi serta memiliki
aroma yang aromatic. Ekstrak daun jintan memiliki senyawa bioaktif yang dapat dimanfaatkan
sebagai antioksidan untuk menghambat pertumbuhan pathogen seperti flavonoid, alkaloid, dan
terpenoid (Kumar et al., 2019). Flavonoid merupakan senyawa yang berasal dari metabolit sekunder
tanaman yang disintesis sebagai respon terhadap infeksi mikroba dan dapat dimanfaatkan menjadi
antijamur dan antimikroba. Flavonoid dapat membentuk ikatan dengan protein terlarut dan dinding sel
bakteri. Semakin lipofilik flavonoid semakin besar kerusakan pada membrane dari mikroba dan jamur
(Liu et al., 2021).
Penggunan tumbuhan untuk fungisida nabati pada penelitian sebelumnya sudah banyak
diterapkan dalam upaya mengurangi serangan antraknosa pada tanaman cabai antara lain daun sirih,
daun sirsak, daun papaya (Zulkipli et al., 2018) ,daun mengkudu (Marsuni, 2020), daun pacar cina
(Efri et al., 2017), asap cair dari tempurug kelapa (Zuanif & Despita, 2019) dan lain sebagainya.
Nurmansyah et al (2023) melaporkan bahwa cengkih memiliki kandungan bahan aktif eugenol yang
mampu menghambat pertumbuhan Fusarium oxysporus. Dalam penelitian Harianto (2018),
penggunaan fungisida nabati ekstrak daun cengkih dan daun jintan dapat menghambat total
pertumbuhan jamur Colletotrichum sp. dalam skala in vitro. Berdasarkan hasil pengujian dalam skala
in vitro diperlukan pengujian dalam sekala in vivo untuk mengetahui potensi fungisida nabati dari
ekstrak daun cengkih dan daun jintan dalam skala in vivo serta memberikan potensi penggunaan
fungisida nabati dalam budidaya tanaman cabai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas
penggunaan fungisida dari ekstrak daun cengkih dan jintan serta konsentrasi terbaik dari kedua
fungisida tersebut..
MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Desa Sumberejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang (-
7.4042700, 110.395.0000). Lahan yang digunakan ialah demplot dengan petani setempat dengan
varietas cabai besar Pilar F1 yang ditumpang sari dengan tanaman seledri. Penelitian dilakukan pada
bulan Juli-Oktober 2023. Perlakuan menggunakan daun cengkih dan daun jintan yang diekstrak
menjadi fungisida nabati dan antracol sebagai kontrol kedua. Suhu dan kelembaban saat penelitian
ialah 26,9-29,3 dan 66-72%.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan dan 2
kontrol antara lain jintan konsentrasi 1% (JK1), jintan konsentrasi 2% (JK2), jintan konsentrasi 3%
(JK3), cengkih konsentrasi 1% (CK1), cengkih konsentrasi 2% (CK2), cengkih konsentrasi 3% (CK3),
kontrol tanpa perlakuan (K1), dan kontrol menggunakan fungisida sintetis (K2).
Daun jintan yang digunakan didapatkan dari Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat sedangkan daun cengkih yang digunakan berasal dari perkebunan cengkih Zanzibar di Desa
Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Jawa Tengah. Daun jintan dan cengkih dicuci kemudian
dikeringanginkan. Daun yang sudah kering di blender dan di saring menggunakan saringan 60 mesh.
Daun cengkih dan jintan yang sudah halus dimaserasi menggunakan etanol 96% selama 3 hari.
Ekstraksi dilakukan menggunakan rotary vaccum evaporator pada suhu  dengan rotasi 65 rpm.
Hasil ekstraksi dilarutkan dengan air sesuai dengan konsentrasi yang diperlukan dan ditambah
perekat dan dimasukan kedalam sprayer. Penyemprotan dilakukan setiap 3 hari sekali pada sore
hari. Berapa parameter yang dilakukan sebagai berikut:
Jurnal Ilmiah Membangun Desa dan Pertanian (JIMDP)
2024: 9(2):180-186
Cahya & Setiawan
182
eISSN: 2527-2748
Kejadian Penyakit
Pengamatan kejadian penyakit antraknosa dilakukan dengan menghitung buah yang
terserang serta yang memiliki gejala antraknosa seperti bercak hitam konsentris kemudian dihitung
dengan rumus menurut (Hamidson et al., 2018)
Kejadian penyakit =
100% (1)
Keterangan: n = total buah yang terserang per tanaman, N = total buah per tanaman
Keparahan Penyakit
Pengamatan keparahan penyakit dilakukan pada setiap pengamatan setelah menghitung
jumlah buah dan persentase serangan yang kemudian dihitung menggunakan rumus menurut
(Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2018)
I = 
 100% (2)
Keterangan: n = total buah yang terserang dalam kategori skor (v), v = skor pada setiap kategori
serangan, N = total seluruh tanaman yang diamati, Z = skor tertinggi
Tabel 1. Nilai skor serangan Antraknosa
Skor
Skala Kerusakan
(%)
Keterangan
0
0
Tidak Terinfeksi
1
0 - 5
Sangat Ringan
2
5 -15
Ringan
3
15 - 30
Sedang
4
>30
Berat
Hasil Panen
Pengamatan hasil panen dilakukan untuk mengetahui apakah pemberian perlakuan
mempengaruhi hasil panen dari tanaman cabai. Menurut (Habibi & Wujayanto, 2019) pengamatan
hasil panen dilakukan dengan menimbang hasil panen setiap perlakuan menggunakan neraca.
Analisis Data
Data hasil pengamatan dilakukan analisis sidik ragam (ANOVA), data yang menunjukan nilai
signifikan dilakukan pengujian lanjut uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kepercayaan 95%
(=0,05). Data diuji menggunakan aplikasi STATA MP 17.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyemprotan fungisida nabati dilakukan setelah 80 hst setiap 3 hari sekali, dan pengamatan
dilakukan pada umur tanaman 96 hst yang dilakukan 3 hari sekali. Berdasarkan data hasil
pengamatan, perlakuan penggunaan fungisida nabati dari ekstrak daun cengkih dan jintan dengan
konsentrasi tertentu pada tanaman cabai mampu mengurangi serangan patogen Colletotrichum
capsici.
Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya perbedaan antara perlakuan dan konsentrasi
pada kejadian penyakit. Dapat dilihat dari tabel 2, dari awal hingga akhir pengamatan terjadi kenaikan
kejadian penyakit. Pada pengamatan pertama dan kedua, CK3 memiliki nilai kejadian terendah
dibandingkan seluruh perlakuan. Pada pengamatan ke 3 JK2 memiliki nilai kejadian terendah yakni
0,75%, sedangkan pada pengamatan ke 4 hingga akhir nilai kejadian terendah terdapat pada
perlakuan antracol. Dari awal pengamatan hingga akhir, tanaman tanpa perlakuan memiliki kejadian
dan tingkat kenaikan terbesar yakni dari awal 6,95% menjadi 21,6%, sedangkan perlakuan fungisida
nabati dengan kejadian terendah CK3 dengan nilai kejadian sebesar 0,31-1,79%. Pada perlakuan
fungisida nabati jintan, perlakuan dengan konsentrasi 3% memiliki nilai kejadian terendah
dibandingkan konsentrasi 1% dan 2%. Dapat dilihat pada tabel 2, peningkatan konsentrasi pada
fungisida yang digunakan semakin efektif dampak fungisida dalam menurunkan kejadian penyakit
antraknosa pada tanaman cabai.
Jurnal Ilmiah Membangun Desa dan Pertanian (JIMDP)
2024: 9(2):180-186
Cahya & Setiawan
183
eISSN: 2527-2748
Tabel 2. Kejadian penyakit setiap pengamatan
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
Kontrol
c 6,95
b 11,13
c 15,55
c 17,77
e 19,61
e 21,6
Antracol
ab 0,83
a 0,80
ab 0,80
a 1,01
d 1,01
d 1,01
CK1
abc 2,12
ab 3,04
abc 3,83
bc 5,10
a 6,55
a 6,81
CK2
ab 0,70
a 1,13
ab 1,81
ab 2,63
bc 3,07
abc 3,32
CK3
a 0,31
a 0,62
a 0,92
a 1,24
cd 1,79
cd 1,79
JK1
bc 2,91
ab 3,78
bc 4,61
bc 6,03
a 6,43
a 6,43
JK2
ab 0,52
a 0,75
a 0,75
ab 2,23
ab 3,84
ab 4.08
JK3
a 0,63
a 1.05
ab 1,33
a 1,32
bc 2,12
bc 2,94
Keterangan: Angka dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan signifikan menurut uji BNJ pada
taraf 5%.
Setiap pengamatan terjadi kenaikan kejadian penyakit hal ini disebabkan oleh penyebaran
spora patogen Colletotrichum capsici. Kommula (2017) menyatakan bahwa penyakit antraknosa
dapat ditularkan melalui tanah, air, dan udara. Lahan sekitar lahan penelitian terdapat lahan cabai
yang lebih tua dan banyak terserang antraknosa hal ini dapat menjadi salah satu penyebab
penyebaran spora C. capsici melalui angin dan serangga seperti polinator dan hama. Wardana et al
(2021) menyatakan bahwa serangan lalat buah pada cabai akan meninggalkan luka. Beberapa
tanaman yang terserang penyakit pada penelitian ini disebabkan oleh bekas luka dari ovipositor lalat
buah yang meninggalkan luka pada permukaan buah cabai sehingga memudahkan cendawan C.
capsici tumbuh tanpa melakukan penetrasi pada lapisan epidermis buah cabai.
Efektivitas penggunaan fungisida nabati dari ekstrak daun cengkih dan jintan dapat dilihat
pada tabel 3. Hasil uji BNJ menunjukan bahwa adanya perbedaan nyata antara tanaman tanpa
perlakuan dengan tanaman yang diberi fungisida nabati cengkih dan jintan. Hal ini membuktikan
bahwa pemberian perlakuan fungisida nabati efektif dalam mengurangi kejadian penyakit antraknosa.
Perlakuan CK3 merupakan perlakuan terbaik dalam mengurangi kejadian penyakit, tidak ada
perbedaan nyata antara perlakuan CK3 dengan fungisida sintetis dan perlakuan CK2, perlakuan JK3
tidak memiliki perbedaan nyata dengan perlakuan CK3. Efektivitas penggunaan fungisida nabati
dapat dilihat dari besarnya nilai kejadian penyakit pada tabel 3. Semakin tinggi konsentrasi yang
digunakan maka semakin efektif fungisida nabati dalam mencegah terinfeksinya buah oleh
Colletotrichum sp. Dengan ini dapat dikatakan bahwa penanganan penyakit antraknosa
menggunakan fungisida nabati dapat menggantikan penggunaan fungisida sintetis yang memberikan
dampak yang negatif pada lingkungan dan kesehatan petani.
Tabel 3. Pengaruh pemberian perlakuan terhadap insiden dan keparahan penyakit Antraknosa
Perlakuan
Kejadian Penyakit
(%)
Keparahan Penyakit
(%)
K-
e 21,60
e 71,25
K+
d 1,01
d 6,25
CK1
a 6,81
a 33,75
CK2
abc 3,32
abc 20,00
CK3
cd 1,79
bd 11,25
JK1
a 6,43
a 30,00
JK2
ab 4.08
ac 28,75
JK3
bc 2,94
bc 16,25
Keterangan: Angka dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan signifikan menurut uji BNJ pada
taraf 5%.
Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya perbedaan antara perlakuan dan konsentrasi
pada keparahan penyakit. Tabel 4 menunjukkan keparahan penyakit antraknosa setiap pengamatan
dapat dilihat dari. Pada hari pertama hingga akhir pengamatan, tanaman tanpa perlakuan memiliki
keparahan penyakit tertinggi. Pada pengamatan pertama keparahan penyakit terendah terdapat pada
perlakuan CK3 dan JK2. Pada pengamatan ke 2 dan 3, keparahan penyakit terendah terdapat pada
perlakuan antracol dan CK3, dan untuk pengamatan 4 hingga akhir keparahan penyakit terendah
terdapat pada perlakuan antracol. Tanaman tanpa perlakuan memiliki kenaikan keparahan penyakit
yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tanaman kontrol memiliki tingkat
keparahan penyakit hingga 33,75-71,25%. CK3 memiliki tingkat keparahan terendah daripada
Jurnal Ilmiah Membangun Desa dan Pertanian (JIMDP)
2024: 9(2):180-186
Cahya & Setiawan
184
eISSN: 2527-2748
perlakuan fungisida nabati lainnya yakni sebesar 2,5-11,25%. Pada perlakuan jintan, JK3 memiliki
keparahan terendah yakni 16,25%. Sama halnya dengan kejadian penyakit, semakin tinggi
konsentrasi fungisida yang digunakan semakin efektif dampak fungisida dalam menurunkan
keparahan penyakit antraknosa.
Tabel 4. Keparahan penyakit setiap pengamatan
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
Kontrol
d 33,75
c 48,75
c 56,25
c 62,50
e 66,25
e 71,25
Antracol
abc 5,00
ab 5,00
a 5,00
a 6,25
d 6,25
d 6,25
CK1
bcd 13,75
a 20,00
b 21,25
b 27,50
c 32,50
a 33,75
CK2
abc 5
ab 7,50
ab 10,00
ab 15,00
abc 18,75
abc 20,00
CK3
a 2,50
ab 5,00
a 5,00
a 7,50
ad 11,25
bd 11,25
JK1
cd 15,00
a 20,00
b 25,00
b 28,75
bc 30,00
a 30,00
JK2
ab 2,50
b 3,75
a 3,75
ab 12,50
abc 26,25
ac 28,75
JK3
ab 3,75
ab 6,25
ab 8,75
a 8,75
abd 15,00
bc 16,25
Keterangan: Angka dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan signifikan menurut uji BNJ pada
taraf 5%.
Tinggi rendah keparahan penyakit disebabkan oleh perkembangan jamur pada tanaman yang
telah terinfeksi. Saxena et al (2016) menyatakan bahwa suhu 27 dan kelembaban 80% merupakan
kondisi optimal untuk perkembangan cendawan C. capsici. Suhu rata-rata saat penelitian ialah 26,9-
29,3 dan kelembaban rata-rata sebesar 66-72%. Berdasarkan penelitian Prihatiningsih et al (2020)
dan Kommula (2017) koloni Colletotrichum sp. dapat berkembang optimal pada suhu 25-30. Suhu
dan kelembaban pada saat penelitian merupakan faktor yang cocok untuk pertumbuhan dari
cendawan sehingga perkembangan cendawan menjadi optimal mengakibatkan tanaman dengan
tanpa perlakuan yang tidak ada pemberian antifungi mendapatkan keparahan penyakit yang parah.
Berdasarkan data pada tabel 3, hasil uji BNJ menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara tanaman tanpa perlakuan dengan perlakuan lainnya. Perlakuan CK3 merupakan
konsentrasi terbaik pada perlakuan fungisida dari cengkih dan merupakan perlakuan terbaik
dibandingkan perlakuan fungisida lainnya, sedangkan pada perlakuan jintan JK3 merupakan
konsentrasi terbaik dalam menurunkan keparahan penyakit antraknosa. Sama halnya dengan insiden
penyakit, perlakuan CK3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan fungisida sintetis. Tidak ada
perbedaan nyata pada perlakuan CK3, CK3, dan JK3. Selaras dengan hasil penelitian, semakin tinggi
konsentrasi yang digunakan dalam penelitian maka tingkat efektivitas fungisida nabati menjadi
semakin baik dalam menghambat pertumbuhan Colletotrichum sp. yang dimana diakibatkan tingginya
kandungan bahan aktif pada larutan dengan konsentrasi tinggi. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa tingkat kejadian penyakit lebih rendah dibandingkan dengan keparahan penyakit hal ini dapat
disebabkan oleh sedikitnya faktor yang dapat menyebarkan spora Colletotrichum sp.. Penelitian
dilakukan pada musim kemarau sehingga tidak ada penyebaran spora oleh percikan air hujan dan
sedikitnya keberadaan hama pada lahan sehingga mengakibatkan sedikitnya faktor penyebaran
spora. Penggunaan fungisida nabati dari ekstrak daun cengkih dan jintan telah terbukti efektif dalam
menurunkan tingkat kejadian dan keparahan penyakit antraknosa. Penggunaan fungisida nabati
dapat menurunkan kejadian dan keparahan penyakit antraknosa, hal ini disebabkan kandungan
eugenol dari daun cengkih dan flavonoid dari daun jintan. Selaras dengan yang dikatakan Rukmana
& Yudirachman (2016), eugenol memiliki fungsi antioksidan yang dimana dapat menghambat
pertumbuhan bakteri dan jamur. Liu et al (2021) menyatakan bahwa flavonoid dapat dijadikan
sebagai antifungi karena flavonoid mampu merusak dinding sel dari jamur dan mikroba. Data hasil
penelitian menunjukan bahwa fungisida nabati dari cengkih lebih baik dibandingkan fungisida nabati
dari jintan. Berdasarkan penelitian Syafrida et al (2018) flavonoid memiliki sifat sensitif terhadap suhu
(termolabil) dan mudah terkoksidasi. Flavonoid akan terdegradasi akibat reaksi oksidasi sehingga
flavonoid membentuk senyawa lain yang mudah menguap. Pengurangan efektifitas dari daun jintan
juga dapat disebabkan oleh proses ekstrasi menggunakan suhu tinggi. Syafrida et al (2018) juga
melaporkan bahwa penggunaan suhu yang tinggi dalam proses-proses yang ekstraksi mengakibatan
menurunnya kandungan flavonoid.
Penggunaan perlakuan pada saat budidaya dapat mempengaruhi hasil panen. Untuk
mengetahui adakah pengaruh perlakuan fungisida nabati pada penelitian ini dilakukan penghitungan
bobot dan jumlah buah selama dau kali panen. Bobot dan jumlah buah selama dua kali panen dapat
Jurnal Ilmiah Membangun Desa dan Pertanian (JIMDP)
2024: 9(2):180-186
Cahya & Setiawan
185
eISSN: 2527-2748
dilihat dari Tabel 5. Setelah dilakukan uji anova, didapatkan hasil tidak signifikan pada bobot dan
jumlah buah antar perlakuan, Hal ini membuktikan bahwa pemberian fungisida nabati dari ekstrak
daun cengkih dan jintan tidak memberikan dampak pada hasil panen cabai.
Tabel 5. Hasil panen
Perlakuan
Rataan bobot buah
(gram)
Rataan jumlah buah
(buah)
Panen ke-1
Panen ke-2
Panen ke-1
Panen ke-2
Kontrol
39.075
21.075
17.75
8.50
Antracol
60.650
41.750
18.25
14.25
CK1
66.300
32.600
17.25
11.75
CK2
43.350
44.750
15.25
12.25
CK3
50.313
36.000
13.00
10.00
JK1
43.263
39.475
12.75
11.75
JK2
72.875
23.500
14.00
7.75
JK3
56.225
47.375
14.50
11.00
KESIMPULAN DAN SARAN
Pemberian perlakuan fungisida nabati dari daun cengkih dan jintan berpengaruh nyata dalam
menurunkan tingkat insiden dan keparahan penyakit antraknosa pada cabai. Seluruh konsentrasi
yang digunakan mampu menekan infeksi Colletotrichum sp. Perlakuan terbaik ialah CK3 dengan
insiden dan keparahan terendah yakni 1,79% dan 11,25% serta tidak berbeda signifikan dengan
perlakuan fungisida sintetis. Perlakuan terbaik pada fungisida nabati dari daun jintan adalah JK3
dengan insiden dan keparahan sebesar 2,84% dan 16,25%. Konsentrasi terbaik dalam menurunkan
insiden dan keparahan serangan antraknosa adalah 3%. Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan,
semakin tinggi efektitivas fungisida daun cengkih dan jintan dalam menurunkan kejadian dan
keparahan penyakit antraknosa pada cabai. Pemberian perlakuan tidak mempengaruhi hasil panen
sehingga penggunaan fungisida nabati dalam budidaya dapat diterapkan guna mengurangi dampak
negatif dari penggunaan fungisida sintetis.
REFERENSI
Arif, A. (2015). Pengaruh Bahan Kimia Terhadap Penggunaan Pestisida Lingkungan. Jurnal Farmasi,
3(4), 134143. https://doi.org/10.24252/jurfar.v3i4.2218
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. (2018). Petunjuk Teknis Pengamatan dan Pelaporan
Organisme Penganggu Tumbuhan dan Dampak Perubahan Iklim (OPT-DPI).
https://tanamanpangan.pertanian.go.id/assets/front/uploads/document/JuknisDitlinrev2015.pd
f
Efri, Aeny, T. N., Maryono, T., & Ronalddi, E. (2017). Pengaruh Fraksi Ekstrak Daun Pacar Cina
(Aglaia Odorata L.) terhadap Pertumbuhan Colletotrichum Capsici Penyebab Penyakit
Antraknosa pada Cabai (Capsicum Anuum L.) Secara in vitro. Jurnal Hama Penyakit
Tanaman Tropika, 17(2), 179184. https://www.neliti.com/id/publications/228974/pengaruh-
fraksi-ekstrak-daun-pacar-cina-aglaia-odorata-l-terhadap-pertumbuhan-co
Freeman, S., Katan, T., & Shabi, E. (1998). Characterization of Colletotrichum species responsible for
anthracnose diseases of various fruits. Plant Disease, 82(6), 596605.
https://doi.org/10.1094/PDIS.1998.82.6.596
Gülçin, I. (2011). Antioxidant activity of eugenol: A structure-activity relationship study. Journal of
Medicinal Food, 14(9), 975985. https://doi.org/10.1089/jmf.2010.0197
Habibi, I., & Wujayanto, K. (2019). Efektivitas Pengendalian Penyakit Antraknosa Secara Organik
Terhadap Produksi Tanaman Cabai Rawit 60 Efektivitas Pengendalian Penyakit
Antraknosa Secara Organik Terhadap Produksi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens
L.) (Kajian dalam Polibag) IMAM H. Jurnal Ilmiah Hijau Cendekia, 4(2), 6069.
https://doi.org/10.32503/hijau.v4i2.626
Hamidson, H., Suwandi, S., & TA, E. (2018). Penyakit Antraknosa (Colletotrichum spp.) pada
Tanaman Cabai di Kabupaten Ogan Ilir. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2018,
129137. https://conference.unsri.ac.id/index.php/lahansuboptimal/article/view/1237/630
Harianto, R. (2018). Selektifitas Beberapa Fungisida Nabati dalam Menghambat Penyakit Antraknosa
(Collectroticum capsici) pada Tanaman Cabai (Capsicum annum L) Skala Laboratorium.
Jurnal Ilmiah Membangun Desa dan Pertanian (JIMDP)
2024: 9(2):180-186
Cahya & Setiawan
186
eISSN: 2527-2748
Skripsi. http://repository.umsu.ac.id/handle/123456789/9502
Jayawardana, H. A. R. K., Weerahewa, H. L. D., & Saparamadu, M. D. J. S. (2015). Adding the
nutrient solution with silicon enhanced resistance to anthracnose disease in chili pepper
(Capsicum annuum l.). Journal of Horticultural Science and Biotechnology, 90(5), 557562.
https://doi.org/10.1080/14620316.2015.11668714
Kommula, S. K. (2017). Effect of Various Factors (Temperature, pH, and Light Intensity) on Growth of
Colletotrichum capsici Isolated from Infected Chilli. International Journal of Pure & Applied
Bioscience, 5(6), 535543. https://doi.org/10.18782/2320-7051.3071
Kumar, P., Sangam, & Kumar, N. (2019). Pharmacognostical, Pharmacological Studies and
Traditional uses of Plectranthus Ambonicus: A Review. Research Journal of Pharmacognosy
and Phytochemistry, 11(4), 244. https://doi.org/10.5958/0975-4385.2019.00041.4
Liu, W., Feng, Y., Yu, S., Fan, Z., Li, X., Li, J., & Yin, H. (2021). The flavonoid biosynthesis network in
plants. International Journal of Molecular Sciences, 22(23), 118.
https://doi.org/10.3390/ijms222312824
Marchese, A., Barbieri, R., Coppo, E., Orhan, I. E., Daglia, M., Nabavi, S. F., Izadi, M., Abdollahi, M.,
Nabavi, S. M., & Ajami, M. (2017). Antimicrobial activity of eugenol and essential oils
containing eugenol: A mechanical viewpoint. Critical Reviews in Microbiology, 43(6), 668
689. https://doi.org/10.1080/1040841X.2017.1295225
Marsuni, Y. (2020). Pencegahan Penyakit Antraknosa pada Cabai Besar (Lokal: Lombok Ganal)
dengan Perlakuan Bibit Kombinasi Fungisida Nabati. Prosiding Seminar Nasional Lingkungan
Lahan Basah, 5(2), 113116. https://snllb.ulm.ac.id/prosiding/index.php/snllb-
lit/article/view/398/401
Nurmansyah, N., Agustien, A., & Mansyurdin, M. (2023). Potensi Pestisida Minyak Atsiri Untuk
Pengendalian Jamur Fusarium oxysporum Penyebab Penyakit Layu Tanaman Budidaya.
Jurnal AGROSAINS Dan TEKNOLOGI, 8(2), 94. https://doi.org/10.24853/jat.8.2.94-103
Prihatiningsih, N., Djatmiko, H. A., & Erminawati, E. (2020). Komponen epidemi penyakit antraknosa
pada tanaman cabai di kecamatan baturaden kabupaten Banyumas. Jurnal Agro, 7(2), 203
212. https://doi.org/10.15575/8000
Rukmana, R., & Yudirachman, H. (2016). Untung Selangit dari Agribisnis Cengkeh. Lily Publisher.
Saenong, M. S. (2017). Tumbuhan Indonesia Potensial sebagai Insektisida Nabati untuk
Mengendalikan Hama Kumbang Bubuk Jagung (Sitophilus spp.). Jurnal Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian, 35(3), 131. https://doi.org/10.21082/jp3.v35n3.2016.p131-142
Saxena, A., Raghuwanshi, R., Gupta, V. K., & Singh, H. B. (2016). Chilli anthracnose: The
epidemiology and management. Frontiers in Microbiology, 7(SEP).
https://doi.org/10.3389/fmicb.2016.01527
Suhendar, U., & Sogandi. (2019). Identifikasi Senyawa Aktif Ekstrak Daun Cengkeh (Syzygium
aromaticum) sebagai Inhibitor Streptococcus mutans. Al-Kauniyah: Jurnal Biologi, 12(2), 229
239. https://doi.org/10.15408/kauniyah.v12i2.12251
Syafrida, M., Darmanti, S., & Izzati, M. (2018). Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Kadar Air,
Kadar Flavonoid dan Aktivitas Antioksidan Daun dan Umbi Rumput Teki (Cyperus rotundus
L.). Bioma : Berkala Ilmiah Biologi, 20(1), 44. https://doi.org/10.14710/bioma.20.1.44-50
Verpoorte, R., & Alfermann, A. W. (2000). Metabolic Engineering of Plant Secondary Metabolism -
Google Livros. Kluwer Academic Publishers.
Wardana, Purnamasari, W. O. D., & Muzuna. (2021). Pengenalan dan Pengendalian Hama Penyakit
pada Tanaman Tomat dan Semangka di Desa Sribatara Kecamatan Lasalimu Kabupaten
Buton. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Membangun Negeri, 5(2), 464476.
https://doi.org/10.35326/pkm.v5i2.1811
Zuanif, V., & Despita, R. (2019). Uji Kemampuan Asap Cair secara in Vitro dan in Vivo untuk Penyakit
Antraknosa (Colletotrichum capsici) pada Tanaman Cabai (Capsicum anuum L.).
Agriekstensia, 18(2), 160169.
https://jurnal.polbangtanmalang.ac.id/index.php/agriekstensia/article/view/434/105
Zulkipli, S., Marsuni, Y., Orbani, H., Agroteknologi, R. P., Pertanian-Univ, F., Mangkurat, L., &
Selatan, B.-K. (2018). Uji Lapangan Beberapa Pestisida Nabati untuk Menekan
Perkembangan Penyakit Antraknosa pada Tanaman Cabai Besar. Jurnal Proteksi Tanaman
Tropika, 1(2), 3234. https://jtam.ulm.ac.id/index.php/jpt/article/view/28/8
... Penerapan fungisida organik anfus tidak hanya menekan pertumbuhan penyakit akan tetapi mampu memenuhi unsur hara tanaman, terutama unsur hara P yang berfungsi sebagai sumber makanan vital untuk perkembangbiakan dan produktivitas tanaman. Menurut Cahya & Setiawan, (2024), setelah melakukan uji ANOVA, temuan tersebut tidak memberikan hasil yang signifikan secara statistik mengenai variasi jumlah buah pada berbagai perlakuan. Temuan ini menunjukkan bahwa penggunaan fungisida nabati yang berasal dari ekstrak cengkeh dan daun jinten tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hasil cabai. ...
... Hal ini diyakini karena tanaman cabai rawit tahan terhadap serangan penyakit. Menurut Cahya & Setiawan, (2024), setelah melakukan uji ANOVA, hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan berat buah yang signifikan secara statistik antar perlakuan. Data tersebut menunjukkan bahwa penggunaan fungisida nabati berbahan dasar ekstrak cengkeh dan daun jintan tidak berdampak signifikan terhadap hasil tanaman cabai. ...
Article
Full-text available
This study aimed to determine the effect of using biodegradable polypropylene mulch and organic fungicide doses on the growth and yield of cayenne pepper plants. The research was conducted from 09 December to 02 March 2024 in the Cibungur Village Garden Land, Buniwangi Village, Surade District, Sukabumi Regency, West Java Province. This research used a Split Plot Design, which was arranged based on two treatment factors, factor 1, namely M0= control treatment, M1= polyethylene mulch, and M2= polypropylene mulch. Factor 2 is F0= control treatment, F1= 15 g, F2= 20 g, F3= 25 g, and there are 12 treatment combinations repeated three times, so there are 36 experimental units and consist of 2 plants, so there are 72 plants. The observation parameters were plant height, number of leaves, number of fruit per plant, number of fruit per plot, wet weight of fruit per plant, wet weight of fruit per plot, dry weight of fruit per plant, and dry weight per plot. The use of polypropylene mulch can significantly increase the growth of plant height, number of leaves, number of fruit per plant, number of fruit per plot, wet weight of fruit per plant, wet weight of fruit per plot, dry weight of fruit per plant and dry weight per plot. Giving a dose of 25 g can significantly increase the growth of plant height, number of leaves, number of fruit per plant, number of fruit per plot, wet weight of fruit per plant, wet weight of fruit per plot, and dry weight of fruit per plant. Dry weight per plant and dry weight per plot. There was a real interaction between biodegradable polypropylene mulch and a dose of 25 g organic fungicide on the wet fruit weight per plant and wet fruit weight parameters per plot.
Article
Full-text available
Pemakaian pestisida sintetis untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman sudah lama digunakan, dan diketahui sangat efektif, namun penggunaan secara terus menerus dan berulang ulang menyebabkan pencemaran lingkungan, toksisitas residu, resistensi patogen dan bahaya bagi pengguna. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian pemanfaatan pestisida nabati perlu di intensifkan hingga didapatkan pestisida nabati yang handal yang efektifitasnya tidak beda dengan pestisida sintetis serta ramah lingkungan. Fusarium oxysporum merupakan salah satu patogen yang sangat sulit dikendalikan, merupakan patogen tular tanah yang mempunyai forma species yang sangat banyak, gejala serangan pada tanaman berupa layu dan busuk. Namanya tergatung inang yang diserangnya, diantaranya yang sangat merugikan petani adalah Fusarium oxysporum f. sp. cubense, penyebab penyakit layu fusarium tanaman pisang, kejadian penyakit mencapai 64,45% bahkan dapat memusnahkan perkebunan pisang Cavendish dalam waktu lima tahun. Fusarium oxysporum f.sp. capsici, menyerang tanaman cabai kegagalan panen hingga 50%, Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici penyebab penyakit layu tanaman tomat serangan mencapai 50% dan Fusarium oxysporum f. sp. Zingiberi menyebabkan kehilangan hasil jahe mencapai 90%. Tulisan ini menyajikan beberapa pestisida nabati minyak atsiri yang telah diujikan terhadap jamur patogen Fusarium oxysporum penyebab penyakit layu dan busuk fusarium pada beberapa tanaman yang dibudidayakan, diharapkan pestisida nabati ini dapat mengurangi pemakaian pestisida sintetisABSTRACTThe use of synthetic pesticides to control pests and plant diseases has been used for a long time, and is known to be very effective, however, continuous and repeated use causes environmental pollution, residual toxicity, pathogen resistance and danger to users. Based on this, research on the development of the use of vegetable pesticides needs to be intensified in order to obtain reliable plant pesticides for controlling pests and plant diseases, which are not much different in effectiveness from synthetic pesticides and are environmentally friendly. Fusarium oxysporum is one of the pathogens that is very difficult to control, is a soil borne pathogen that has a very large number of species forms, with symptoms of attack on plants in the form of wilting and rot. Its name depends on the host it attacks, one of which is quite important and very detrimental to farmers is Fusarium oxysporum f. sp. cubense, Fusarium oxysporum f.sp. capsici, Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici and Fusarium oxysporum f. sp. zingiberi. This article presents several essential oil vegetable pesticides that have been tested against the pathogenic fungus Fusarium oxysporum which causes fusarium wilt and rot in several cultivated plants. It is hoped that these vegetable pesticides can reduce the use of synthetic pesticides.
Article
Full-text available
Flavonoids are an important class of secondary metabolites widely found in plants, contributing to plant growth and development and having prominent applications in food and medicine. The biosynthesis of flavonoids has long been the focus of intense research in plant biology. Flavonoids are derived from the phenylpropanoid metabolic pathway, and have a basic structure that comprises a C15 benzene ring structure of C6-C3-C6. Over recent decades, a considerable number of studies have been directed at elucidating the mechanisms involved in flavonoid biosynthesis in plants. In this review, we systematically summarize the flavonoid biosynthetic pathway. We further assemble an exhaustive map of flavonoid biosynthesis in plants comprising eight branches (stilbene, aurone, flavone, isoflavone, flavonol, phlobaphene, proanthocyanidin, and anthocyanin biosynthesis) and four important intermediate metabolites (chalcone, flavanone, dihydroflavonol, and leucoanthocyanidin). This review affords a comprehensive overview of the current knowledge regarding flavonoid biosynthesis, and provides the theoretical basis for further elucidating the pathways involved in the biosynthesis of flavonoids, which will aid in better understanding their functions and potential uses.
Article
Full-text available
Penyakit antraknosa merupakan penyakit utama pada tanaman cabai yang dapat menyebabkan kegagalan panen dan kerugian mencapai 80 %. Tujuan penelitian untuk menilai perkembangan penyakit antraknosa cabai di Kecamatan Baturraden, menguji pengaruh komponen epideminya terhadap pertumbuhan jamur Colletotrichum gloeosporioides dan penekanan penyakit pada buah cabai. Metode penelitian yang digunakan adalah survey dengan pengambilan sampel secara purposive random sampling di empat desa di Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. Pengujian pengaruh komponen epidemi dilakukan di Laboratorium Perlindungan Tanaman Faperta Unsoed dengan menumbuhkan jamur C. gloeosporioides pada beberapa suhu dan menguji penekanan penyakit pada buah cabai. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap. Variabel pengamatan yaitu intensitas penyakit, laju infeksi, kecepatan pertumbuhan jamur, persentase penghambatan pertumbuhan jamur dan penekanan penyakit pada buah cabai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit antraknosa di desa Kemutug Lor menunjukkan intensitas penyakit tertinggi yaitu 76% dengan laju infeksi 0,345 unit/hari. Suhu optimum yang mendukung pertumbuhan C. gloeosporioides yaitu 29oC, dengan kecepatan pertumbuhan 14,72 mm.hari-1. Pertumbuhan C. gloeosporioides dihambat oleh bakteri endofit cabai BE2 sebesar 78,6%. Bakteri endofit cabai dapat menekan penyakit antraknosa pada buah cabai dengan efektivitas 30,93%. Anthracnose is the main disease in chili that can cause crop failure and losses up to 80%. The aim of the study was to assess the development of chili anthracnose in the Baturraden district, to examine the effect of its epidemic components on the growth of Colletotrichum gloeosporioides, and suppression of anthracnose. The research method used was a survey with purposive random sampling in four villages in Baturraden district, Banyumas Regency. Testing the effect of epidemic components was carried out in Plant Protection Laboratory, Faculty of Agriculture Unsoed by growing the C. gloeosporioides at several temperatures, and testing the disease suppression of chilies with chili endophytic bacteria. The design used was a Completely Randomized Design. The variables observed were disease intensity, infection rate, fungal growth rate, percentage of inhibition of fungal growth, and disease suppression in chilies. The results showed that chili anthracnose in the village of Kemutug Lor showed the highest intensity of 76% with an infection rate of 0,345 units per day. The optimum temperature that supported the growth of C. gloeosporioides was 29oC with a growth rate of 14,72 mm day-1. Growth of C. gloeosporioides was inhibited by endophytic bacteria BE2 chili by 78,6%. Chili endophytic bacteria could suppress anthracnose in chilies by 30,93% effectivity.
Article
Full-text available
In this review, information about the Phytochemistry, Traditional uses, medicinal uses, side effects and future prospective of Plectranthus Ambonicus are given. PA was used in herbal medicines for the treatment of various disorders like asthma, flu, eczema and cardiovascular disorders. The plant shows these properties due to the presence of various important constituents or secondary metabolites like flavanoids, glycosides, phenols, tannins, and steroids, etc. which were already identified by various spectroscopic methods. The different parts of the plant were used to prepare medicines. As the plant contain various important constituents and also found effective in traditional system of medicine there is the future scope of this plant so that it can be used to prepare medicines which are effective against diseases without side effects.
Article
Full-text available
Abstract Dental caries is a common disease experienced by people who do not maintain oral hygiene. Habits of not maintain oral hygiene result in the formation of plaque. The microorganism known to be involved in the formation of dental caries is Streptococcus mutans. Plants that have antibacterial properties, such as clove (Syzygium aromaticum) leaf, can be an alternative for carrying this problem. This study aims to identify the bioactive compounds of clove leaves and to determine the mechanism of its action in inhibiting the growth of Streptococcus mutans. Clove leaves were macerated using 96% methanol for the extraction. Antibacterial activity was examined by agar diffusion method, bioactive compounds were identified using gas chromatography mass spectrometry, and bacterial cell membrane changes were observed by an image captured using scanning electron microscopy. The results showed that the methanol extract of clove leaf had inhibitory activity on Streptococcus mutans growth, with inhibitory zones of ±32 mm and the minimum inhibitory concentration of 20% extract. It was suspected that the mechanism of inhibitory action is by making pores in the bacterial cell membrane. The results also showed that the clove leaves contain bioactive compounds of 3-allyl-6-methoxyphenol-eugenol, caryophyllene, 1,4,7,-cycloundecatriene, 1,5,9,9-tetramethyl, phenol, 2-methoxy-4-(2-propenyl), and eugenol acetate which can be candidates for producing active compounds to overcome dental caries.
Article
Full-text available
Jatibarang Reservoir is a dam built in Talun Kacang village, Kandri, Gunung Pati, Semarang t with the aim of Water Resources Management and flood control in Semarang City. The presence of Zooplankton in a waters has a close relationship with water quality and its interaction in the environment.The research aimed to find out the distribution and diversity of Zooplankton species in Jatibarang reservoir waters. The method used is Purposive Random Sampling method by dividing the sampling point into 4 research stations, namely Dermaga zone, middle zone, inlet zone, and outlet zone. From the result of this research, we get the type of zooplankton Brachionus sp., Cylops sp., Collotecha sp., Conochilus sp., Daphnia sp., Harringia sp., Rotaria sp., Keratella sp. and species from the Asphlanchnidae (Asphlanchinii) and Trichotriidae Family. The species diversity in Jatibarang reservoirs in each zone is low with abundance between 30-80 ind / L and the equalization and dominance of each low species. The dominant species is Brachionus sp. and Cyclops sp. Water quality measurement results show the waters of Jatibarang reservoir is good for the life of aquatic biota Keywords: Zooplankton, Jatibarang Reservoir, Diversity.
Article
Full-text available
Eugenol is a hydroxyphenyl propene, naturally occurring in the essential oils of several plants belonging to the Lamiaceae, Lauraceae, Myrtaceae, and Myristicaceae families. It is one of the major constituents of clove (Syzygium aromaticum (L.) Merr. & L.M. Perry, Myrtaceae) oil and is largely used in both foods and cosmetics as a flavoring agent. A large body of recent scientific evidence supports claims from traditional medicine that eugenol exerts beneficial effects on human health. These effects are mainly associated with antioxidant and anti-inflammatory activities. Eugenol has also shown excellent antimicrobial activity in studies, being active against fungi and a wide range of gram-negative and gram-positive bacteria. The aim of this review is to analyze scientific data from the main published studies describing the antibacterial and antifungal activities of eugenol targeting different kind of microorganisms, such as those responsible for human infectious diseases, diseases of the oral cavity, and food-borne pathogens. This article also reports the effects of eugenol on multi-drug resistant microorganisms. On the basis of this collected data, eugenol represents a very interesting bioactive compound with broad spectrum antimicrobial activity against both planktonic and sessile cells belonging to food-decaying microorganisms and human pathogens.
Article
Cabai mempunyai nilai ekonomis tinggi di Indonesia dan termasuk komoditas startegis. Penyakit antraknosa adalah salah satu penyakit penting pada tanaman cabai. Pengendalian penyakit antraknosa pada tanaman cabai menggunakan asap cair belum pernah dilakukan sehingga penelitian ini perlu untuk dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan asap cair dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada tanaman cabai yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum capsici. Kajian dilakukan secara in vitro dan perlakuan yang sama dilakukan juga secara in vivo. Kajian in vitro dilakukan di Laboratorium Proteksi Tanaman dan kajian in vivo dilakukan di lahan BBPP Ketindan dimulai bulan Maret sampai Juni 2018. Metode kajian untuk in vitro yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan metode kajian untuk in vivo yaitu Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perlakuan terdiri dari B0K0:tanpa asap cair, B1K1:asap cair tempurung kelapa konsentrasi 1%, B1K3: asap cair tempurung kelapa konsentrasi 3%, B1K5: asap cair tempurung kelapa konsentrasi 5%, B1K7: asap cair tempurung kelapa konsentrasi 7%, B2K1: asap cair sekam konsentrasi 1%, B2K3: asap cair sekam konsentrasi 3%, B2K5: asap cair sekam konsentrasi 5%, B2K7: asap cair sekam konsentrasi 7%. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali sehingga diperoleh 36 satuan percobaan. Parameter yang diamati adalah diameter koloni cendawan dan persentase penghambatan asap cair. Hasil pengamatan in vitro menunjukkan bahwa aplikasi asap cair 3%, 5% dan 7% mampu menghambat pertumbuhan cendawan Colletotrichum capsici sebanyak 100%. Aplikasi asap cair dari tempurung kelapa secara in vivo (lapangan) dengan konsentrasi 7% mampu menghambat pertumbuhan cendawan Colletotrichum capsici dan aplikasi asap cair konsentrasi 1% mampu menghambat pertumbuhan cendawan Colletotrichum capsici sampai hari ke 4 setelah penyemprotan dengan arti lain penyemprotan perlu dilakukan setiap 4 hari sekali. Kata kunci—asap cair tempurung kelapa, asap cair sekam, antraknosa, cabai
Book
Plant secondary metabolism is an economically important source of fine chemicals, such as drugs, insecticides, dyes, flavours, and fragrances. Moreover, important traits of plants such as taste, flavour, smell, colour, or resistance against pests and diseases are also related to secondary metabolites. The genetic modification of plants is feasible nowadays. What does the possibility of engineering plant secondary metabolite pathways mean? In this book, firstly a general introduction is given on plant secondary metabolism, followed by an overview of the possible approaches that could be used to alter secondary metabolite pathways. In a series of chapters from various authorities in the field, an overview is given of the state of the art for important groups of secondary metabolites. No books have been published on this topic so far. This book will thus be a unique source of information for all those involved with plants as chemical factories of fine chemicals and those involved with the quality of food and ornamental plants. It will be useful in teaching graduate courses in the field of metabolic engineering in plants.