ArticlePDF Available

Dialektika Progresif; “One Dimensional Man”, Desublimasi Represif: Kritik Herbert Marcuse Atas Masyarakat Industri Modern

Authors:

Abstract

Marcuse’s main idea is that technology and mass consumption have created a social order that makes people "one-dimensional human," losing the ability to think critically and see social alternatives. Marcuse argued that a fundamental change in society was needed to allow the liberation of individuals from the pressures and constraints generated by the capitalist system. The purpose of this paper is to critically explore the dialectic of Herbert Marcuse's approach to the "one-dimensional man" and repressive desublimation. This research method uses a qualitative approach with a critical approach to the study of Herbert Marcuse's thought. The concepts of "repressive sublimation" and "administrated" describe the way modern society directs its natural human impulses into a form regulated and controlled by social and political authorities. Repressive sublimation results in the suppression of self-expression and creativity, while administrated refers to the dominance of bureaucracy and technocracy in managing society. This results in unfreedom and homogenization in society. This study contains Marcuse's biography, looking at the content of his works, contributions to knowledge and communication, and the relevance of Herbert Marcuse's critical thinking to the current context. One Dimensional Man; is used as a spectacular work a narrative created to criticize the irrational and oppressive grand narrative of capitalism with an exploitative power structure through the affirmative dimension, for which Marcuse suggests rebuilding the dimension of negation; Where society again has critical power and is no longer in a state of silence.
Dialektika Progresif; “One Dimensional Man”, Desublimasi Represif: Kritik Herbert Marcuse Atas Masyarakat Industri Modern
(Lilik Sumarni, Alexander Seran)
VOL. 1, NOMOR: ISSUE 1
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
E-ISSN 3031-0784
DIALEKTIKA PROGRESIF;
“ONE DIMENSIONAL
MAN”, DESUBLIMASI
REPRESIF: KRITIK
HERBERT MARCUSE
ATAS MASYARAKAT
INDUSTRI MODERN
Lilik Sumarni¹, Alexander Seran²
¹Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Muhammadiyah Jakarta,
Indonesia
²Fakultas Ekonomi Universitas Katolik
Atmajaya, Indonesia
Article history
Received: 17 Januari 2024
Revised: 18 Januari 2024
Accepted: 19 Januari 2024
*Corresponding author
liliksumarni1@gmail.com
Abstrak
Gagasan utama Marcuse bahwa teknologi dan konsumsi massal telah
menciptakan tatanan sosial yang membuat orang menjadi "manusia satu
dimensi," kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan melihat alternatif
sosial. Marcuse berpendapat bahwa diperlukan perubahan fundamental dalam
masyarakat untuk memungkinkan pembebasan individu dari tekanan dan
kendala yang dihasilkan oleh sistem kapitalis. Tujuan penulisan ini adalah
mendalami dialektika secara kritis pada pendekatan Herbert Marcuse
terhadap "one dimensional man" dan desublimasi represif. Metode penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pendekatan kritis terhadap
kajian pemikiran Herbert Marcuse. Konsep "sublimasi represif" dan
"teradministrasikan" untuk menggambarkan cara masyarakat modern
mengarahkan dorongan alamiah manusia ke dalam bentuk yang diatur dan
terkendali oleh otoritas sosial dan politik. Sublimasi represif menghasilkan
penindasan ekspresi diri dan kreativitas, sementara teradministrasikan
mengacu pada dominasi birokrasi dan teknokrasi dalam mengelola
masyarakat. Hal ini menghasilkan ketidakbebasan dan homogenisasi dalam
masyarakat. Kajian ini berisi tentang biografi Marcuse, melihat isi dari karya-
karyanya, kontribusi dibidang pengetahuan dan komunikasi serta relevansi
pemikiran-pemikiran kritis Herbert Marcuse pada konteks saat ini. One
Dimensional Man; dijadikan thema sebagai karya yang spetakuler sebuah
narasi-narasi yang diciptakan untuk mengkritisi narasi besar kapitalisme yang
irasional dan menindas dengan struktur kekuasaan yang bersifat eksploitatif
melalui dimensi afirmatif, untuk itu Marcuse menyarankan membangun
kembali dimensi negasi; dimana masyarakat kembali memiliki daya kritis dan
tidak lagi dalam keadaan terbungkam.
Kata Kunci: Dialektika Progresif,Herbert Marcuse, One dimensional man
Abstract
Marcuse’s main idea is that technology and mass consumption have created a
social order that makes people "one-dimensional human," losing the ability to
think critically and see social alternatives. Marcuse argued that a fundamental
change in society was needed to allow the liberation of individuals from the
pressures and constraints generated by the capitalist system. The purpose of
this paper is to critically explore the dialectic of Herbert Marcuse's approach to
the "one-dimensional man" and repressive desublimation. This research method
uses a qualitative approach with a critical approach to the study of Herbert
Marcuse's thought. The concepts of "repressive sublimation" and
"administrated" describe the way modern society directs its natural human
impulses into a form regulated and controlled by social and political authorities.
Repressive sublimation results in the suppression of self-expression and
creativity, while administrated refers to the dominance of bureaucracy and
technocracy in managing society. This results in unfreedom and
homogenization in society. This study contains Marcuse's biography, looking at
the content of his works, contributions to knowledge and communication, and
the relevance of Herbert Marcuse's critical thinking to the current context. One
Dimensional Man; is used as a spectacular work a narrative created to criticize
the irrational and oppressive grand narrative of capitalism with an exploitative
power structure through the affirmative dimension, for which Marcuse suggests
rebuilding the dimension of negation; Where society again has critical power
and is no longer in a state of silence.
Keywords: Dialectics of progressive, Herbert Marcuse, One-Dimensional Man
Copyright © 2024 Author. All rights reserved
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
166
PENDAHULUAN
Salah satu e-commerce dengan jumlah pengguna terbesar adalah Shopee. Perusahaan ini
berkantor pusat di Singapura dan telah hadir sejak tahun 2015, kini telah menjangkau sejumlah negara
di Asia, termasuk Indonesia. Shopee menawarkan berbagai program dan promosi menarik, seperti
gratis ongkir dan cashback, yang menjadi daya tarik bagi masyarakat. Namun, dampak dari
kemudahan ini adalah perubahan perilaku konsumen yang semakin konsumtif. Ini juga berdampak
pada para mahasiswa, sebagai bagian dari masyarakat, yang ikut terperangkap dalam perilaku
konsumerisme yang semakin marak seiring dengan meningkatnya penggunaan e-commerce.
Mahasiswa, sebagai generasi muda, sangat menyukai sistem belanja yang praktis dan efisien yang
ditawarkan oleh e-commerce. Mereka menemukan kenyamanan dalam berbelanja online melalui
smartphone mereka. Namun, di balik kemudahan ini, muncul perilaku konsumtif. Banyak mahasiswa
yang awalnya hanya "mengintip" produk tertentu, namun akhirnya tergoda untuk membelinya karena
ada diskon, cashback, atau gratis ongkir. Banyak dari barang- barang ini sebenarnya tidak dibutuhkan
secara nyata (Putra, 2023). Perilaku konsumtif ini didorong oleh program-program dan promosi yang
menarik dari e-commerce. Toko online sering kali mengadakan flash sale atau promo penjualan cepat
yang menggoda. Selain itu, beberapa mahasiswa juga terpengaruh untuk membeli barang hanya untuk
mengikuti tren atau sesuai dengan apa yang teman-teman mereka lakukan, terutama karena faktor
gengsi. Perilaku konsumtif yang semakin merajalela ini telah membentuk mahasiswa menjadi
konsumen yang boros. Mereka seringkali membeli barang yang tidak mereka butuhkan, menciptakan
gaya hidup palsu, dan mengabaikan pertimbangan rasional dalam berbelanja online.
Dari hasil survei yang dilakukan terhadap 43 mahasiswa, hampir semua dari mereka (95.3%)
mengakui bahwa belanja online telah mempengaruhi pengeluaran mereka. Mayoritas mahasiswa
(51.2%) melaporkan berbelanja online setidaknya sekali sebulan, yang menunjukkan bahwa
kemunculan situs belanja online berperan dalam memicu perilaku konsumtif di kalangan mahasiswa.
Perkembangan teknologi adalah sebuah anugerah, tetapi juga bisa menjadi bumerang jika tidak bijak
dalam menggunakannya. Belanja online memudahkan semua orang dan kalangan, namun diperlukan
daya kritis supaya tidak terjebak dalam iklan-iklan yang membius dan menciptakan kebutuhan palsu,
yang seakan-akan penting dan mendesak tetapi sesungguhnya kita tidak membutuhkannya (Gunawan,
2022).
Marcuse (Marcuse, 1991) mengembangkan gagasan yang memprovokasi tentang alienasi,
peradaban konsumerisme, dan sublimasi represif dalam masyarakat modern. Marcuse juga merupakan
salah satu tokoh sentral dalam Gerakan Frankfurt, sebuah kelompok intelektual yang menggali isu -isu
kritis terkait
sosial, budaya, dan
politik. Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh pemikiran Marx, Freud,
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
167
dan Hegel, dan ia menerapkan pandangan-pandangan ini dalam analisis tajam tentang perkembangan
sosial dan politik abad ke-20. Selama hidupnya, Marcuse terus berjuang untuk pemahaman yang lebih
mendalam tentang bagaimana individu dapat mencapai pembebasan dan meraih potensi kreatifnya
dalam masyarakat yang terkendali oleh konformitas dan kapitalisme. Pemikirannya terus menjadi
sumber inspirasi bagi banyak gerakan sosial dan pemikir kontemporer yang berusaha mencari solusi
untuk masalah-masalah kompleks dalam dunia modern.
Adapun dalam penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati et al., (2021) berjudul “Teori Kritis dan
Dialektika Pencerahan Max Horkheimer”, hasilnya menunjukkan pemikiran Max Horkheimer, seorang
tokoh kritis generasi pertama dari Mazhab Frankfurt. Pemikirannya meliputi Dialectic of
Enlightenment(Dialektika Pencerahan) dan Teori Kritis. Dialectic of Enlightenment adalah buku
yang ditulis oleh Adorno dan Horkheimer pada tahun 1947 dengan judul “Dialektik der Aufklarung”.
Buku ini berisi kritik terhadap masyarakat modern dan mengembangkan argumen bahwa upaya
sistematis untuk mencari akal budi dan kebebasan yang tercerahkan secara ironis telah berdampak
jangka panjang dalam menciptakan bentuk- bentuk baru rasionalitas dan penindasan. Sementara itu,
esai-esai yang dikumpulkan dalam Critical Theory tidak hanya menolak positivisme, tetapi juga
menyangkal kecenderungan ilmiah Marxisme ortodoks. Menurut Horkheimer, tugas dari teori kritis
adalah untuk menembus dunia benda dan menunjukkan hubungan dasar antara individu-individu.
Dalam berbagai analisa dan berbagai telaah, dapat dipahami bahwa teori kritis merupakan suatu
cara bagaimana mengungkap sesuatu dibalik teks atau sesuatu yang tampak. Menelisik lebih jauh
dengan berbagai perspektif serta berbicara tentang nilai dalam konsep kesadaran manusia, karena
tidak ada sesuatupun yang bebas nilai. Ketika manusia dihadapkan pada era industri modern dengan
kompleksitas masalah yang dihadapi yang menimbulkan kegelisahan ditengah-tengah produk-produk
teknologi tinggi dan informasi yang masif. Berikut ini akan dijabarkan mengenai biografi, karya-karya,
reseacrh roadmap, Kontribusi dalam bidang keilmuan dan konsep kunci, elemen teori kritis dalam
karya-karyanya serta Pemikiran-Pemikiran Herbert Marcuse Masih Relevan Dalam Konteks Politik
Modern, Termasuk Situasi Politik Indonesia Jelang Pemilu 2024.
Teori Kritis merupakan teori yang reflektif. Artinya, teori itu tidak langsung saja mengenai salah
satu masalah, melainkan dalam menangani sebuah masalah, ia menyadari dirinya sendiri, ia
merefleksikan perannya sendiri sebagai teori. Teori Kritis dibangun atas dasar kritik terhadap
pandangan tradisional mengenai teori: teori membatasi dirinya diri pada kontemplatif. Teori yang
kontemplatif memiliki arti bahwa teori hanya melihat, tetapi tidak menjadi praksis dan mengubah apa
yang dilihat tersebut. Dengan pendekatan kontemplatif itu, teori tradisional menjadi afirmatif. Artinya,
dengan memberikan pengertian yang lebih memuaskan tentang realitas, justru menjadi puas dengan
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
168
realitas; jadi, realitas itu diafirmasi atau dibenarkan. Dengan demikian, teori tradisional menjadi
pendukung keadaan yang ada.
Farr (2013) menyebutkan bahwa Herbert Marcuse, adalah seorang filsuf dan teoritikus sosial
yang memainkan peran kunci dalam pengembangan pemikiran kritis abad ke-20. Herbert Marcuse
adalah seorang filsuf Jerman-Yahudi, teoretikus politik dan sosiolog, dan anggota Frankfurt School.
Dikenal sebagai “Bapak gerakan Kiri Baru”, karya terbaik yang dikenal adalah Eros and Civilization,
Dimension Aesthetic, dan One-Dimensional Man. Marcuse adalah intelektual yang memberi pengaruh
besar pada gerakan Kiri Baru dan gerakan mahasiswa pada tahun 1960-an. Marcuse mengikuti
pendidikan di Universitas Berlin dan Freiburg. Marcuse bersama Max Horkheimer dan Theodore W.
Adorno di Frankfurt School mendirikan sebuah aliran yang bernama Mahzab Frankfurt. Mahzab
Frankfurt ini menjadikan terkenal karena mengembangkan sebuah teori bernama ‘Teori Kritis’.
Sebagai pemahaman dari ide gagasan; Manusia satu dimensi dari Herbert Marcuse, maka
diangkat studi kasus yang banyak terjadi pada saat ini. Berikut ini ulasan tentang bagaimana bahayanya
budaya konsumtif sebagai berikut: Kemunculan cyber community sebagai wujud perkembangn
teknologi internet yang semakin maju, dunia digital telah memberikan kemudahan yang belum pernah
terbayangkan sebelumnya, terutama dalam hal belanja. Siapa pun, di mana pun, dan kapan pun dapat
dengan mudah berbelanja online, cukup dengan menggesekkan jari di layar smartphone. Semua begitu
mudah, cepat dan banyak pilihan. Sejak kemunculan internet, aktivitas jual-beli online atau yang sering
disebut online shop telah menjadi tren baru di kalangan masyarakat. Kemudian, muncul berbagai
platform e-commerce yang bertujuan untuk mempermudah proses berbelanja online. E-commerce
adalah aplikasi atau situs web yang memfasilitasi transaksi belanja elektronik dan membantu toko-
toko dalam memasarkan produk mereka dengan lebih efektif (Susandi & Sukisno, 2017; Nafi’ (2023).
Tujuan penelitian ini melihat fenomena yang terjadi dalam dunia sosial saat ini dalam bentuk genggaman
digitalisasi dan hal ini dipotret dalam kacamata teori kritis Herbert Marcuse dalam menjelaskan
simptom sosial yang penuh kepalsuan tersebut.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kulitatif dengan kritikal thinking dengan mengjaji teori dari
Herbert Marcuse melihat objek kasus pada fenomen budaya konsumerisme dan melihat lebih detail dari
pemikiran Marcuse (1991). Pemikiran ini menjadi nilai kritis dalam pembahasan dengan melihat
kasus-kasu yang diangkat dari sisi sosiologis. Yin (2009) menjelaskan bahwa kajian kualitatif lebih
mendalam dengan grand theory yang diulas melalui kasus-kasus yang unik dalam membangun
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
169
informasi baru. Pendeketan fenomena-fenomena yang dihadirkan merupakan data yang dijadikan
pengulas kasus yang di hadapkan dengan teori yang berlaku saat ini.
HASIL DAN DISKUSI
Kasus: E-Commerce Membentuk Budaya Konsumtif Mahasiswa; dalam Perspektif Teori Kritis
Pemikiran Herbert Marcuse
Masyarakat digital kita saat ini semakin cenderung menjadi konsumtif dalam berbagai aspek
kehidupan. Fenomena ini terutama terlihat dalam konsumsi barang dan layanan secara online.
Ketersediaan berbagai platform e-commerce dan media sosial telah mendorong masyarakat untuk
terus membeli produk dan mengikuti tren terbaru. Hal ini seringkali dilakukan tanpa pertimbangan
yang matang terhadap kebutuhan sebenarnya. Salah satu dampak dari konsumtif ini adalah masalah
finansial yang seringkali muncul. Masyarakat digital cenderung membeli barang-barang yang
sebenarnya tidak mereka butuhkan, terutama ketika terpengaruh oleh iklan online yang agresif. Ini
dapat mengakibatkan hutang konsumtif dan masalah keuangan pribadi yang serius. Selain itu,
konsumtif dalam dunia digital juga menciptakan dampak lingkungan yang signifikan. Dalam upaya
untuk memenuhi permintaan konsumen yang terus bertambah, produksi barang-barang konsumen
seringkali memerlukan sumber daya alam yang besar dan berkontribusi pada polusi lingkungan. Selain
itu, pembuangan sampah elektronik juga menjadi masalah yang semakin besar.
Sifat konsumtif masyarakat digital juga dapat mengganggu kesehatan mental. Dorongan untuk
selalu memiliki yang terbaru dan terbaik dapat menciptakan tekanan psikologis dan rasa tidak puas
yang berkelanjutan. Ini dapat mengarah pada masalah stres dan kecanduan belanja online, yang dapat
merusak kesejahteraan mental seseorang. Penting untuk mendorong kesadaran dan pendidikan
mengenai konsumsi yang bijak di masyarakat digital. Masyarakat perlu memahami pentingnya
mempertimbangkan kebutuhan sebenarnya sebelum membeli, serta dampak finansial, lingkungan, dan
kesehatan mental dari perilaku konsumtif. Selain itu, platform digital dan pemasar juga memiliki peran
dalam mengurangi tekanan konsumtif dengan menghindari praktik iklan yang menggoda dan merayu.
Dengan kesadaran yang lebih baik dan tindakan kolektif, kita dapat mencapai keseimbangan yang
lebih sehat antara konsumsi dan kehidupan di era digital.
Akibat yang berbahaya dari budaya konsumtif, diantaranya; (1) Overindebtedness yang
merupakan konsumtif yang berlebihan seringkali mengakibatkan individu dan rumah tangga terjebak
dalam utang yang besar. Orang-orang membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan
dengan menggunakan kartu kredit atau pinjaman, dan ini bisa menyebabkan masalah finansial serius.
Utang yang berlebihan dapat memberatkan seseorang secara ekonomi dan mengganggu kesejahteraan
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
170
finansial mereka; (2) Dampak Lingkungan: budaya konsumtif seringkali memicu produksi dan
pembuangan sampah yang berlebihan. Produksi barang-barang konsumen yang besar memerlukan
penggunaan sumber daya alam yang besar dan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Selain itu,
banyak barang konsumen juga memiliki siklus hidup pendek, yang berarti mereka cepat menjadi
sampah. Ini berkontribusi pada masalah polusi dan kerusakan lingkungan; (3) Ketidakpuasan dan Stres:
budaya konsumtif seringkali membuat individu merasa tidak puas dengan apa yang mereka miliki.
Mereka terus-menerus mencari barang-barang baru dan terbaik, yang dapat menyebabkan stres dan
tekanan psikologis. Orang yang terjebak dalam budaya konsumtif mungkin merasa tidak bahagia atau
tidak puas dengan hidup mereka, karena mereka selalu mencari lebih banyak barang dan pengalaman;
(4) Ketidaksetaraan Sosial: budaya konsumtif seringkali memperkuat ketidaksetaraan sosial. Orang-
orang dengan akses terbatas terhadap sumber daya finansial mungkin merasa tertinggal dan
terpinggirkan, sementara yang lebih mampu secara finansial dapat memperoleh barang-barang mahal
dan status sosial yang lebih tinggi. Ini dapat memperdalam kesenjangan sosial dan meningkatkan
ketidaksetaraan ekonomi; (5) Terkungkung dalam
Mode
Hidup: budaya
konsumtif dapat
menghambat individu untuk mengejar tujuan hidup yang lebih berarti. Orang mungkin terjebak dalam
lingkaran rutinitas membeli dan mengonsumsi, sehingga tidak memiliki waktu atau sumber daya untuk
mengejar impian dan tujuan yang lebih penting dalam hidup.
Penting untuk menyadari dampak negatif dari budaya konsumtif dan berusaha untuk menjalani
gaya hidup yang lebih bijak secara konsumsi. Ini mencakup membuat pilihan yang lebih sadar dalam
berbelanja, memprioritaskan nilai-nilai yang lebih penting daripada kepemilikan barang, dan mencari
keseimbangan antara konsumsi dan kebahagiaan yang berkelanjutan. Kasus di atas merupakan contoh
gaya hidup masyarakat modern; yang menurut Marcuse disebut dengan kebutuhan palsu. Menurut
Marcuse (Lubis, 2015: 17-18); masyarakat kapitalis lanjut seakan- akan sudah teradministrasikan atau
menjadi satu dimensi; yaitu artinya yang ada hanya dimensi afirmatif; dimana masyarakat tidak lagi
memiliki daya kritis dan cenderung mendukung dan membenarkan sistem dan struktur (kekuasaan)
yang membentuk mereka meskipun sebenarnya sistem itu bersiafat irasional dan eksploitatif. Korelasi
dari kasus mahasiswa yang konsumtif di era e-commerce atau belanja online ini, bahwa sistem dan
struktur serupa itu bekerja lewat manipulasi dan penciptaan kebutuhan- kebutuhan yang sebetulnya
tidak dibutuhkan oleh masyarakat dan menganggap bahwa kebutuhan itu betul- betul kebutuhan yang
harus mereka dipenuhi. Masyarakat kehilangan dimensi ‘negasi’ yaitu dimensi kritisnya, menjadi
irasional dan tertindas menindas. Marcuse berpendapat; kapitalisme mendorong manusia untuk
bekerja lebih dari yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, dan ini menciptakan
ketakutan akan kesadaran manusia yang sedang dieksploitasi. Marcuse menekankan bahwa
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
171
pentingnya teori kritis adalah memberikan kesadaran kepada individu untuk memahami realitasnya
dan menolak dieksploitasi.
Pemikirin Marcuse Tentang ‘Manusia Satu Dimensi’ dalam Perspektif Teori Kritis
Lubis (2015), salah satu pendiri Mahzab Frankfurt dan tokoh utama Teori Kritis,
mengembangkan gagasan tentang "kapitalisme lanjut" yang menghasilkan pemikiran masyarakat yang
sangat terbatas. Dia percaya bahwa kapitalisme mendorong nafsu manusia untuk mencari keuntungan
materi yang berlebihan, yang menghasilkan apa yang disebutnya sebagai "penindasan berlebihan."
Penindasan ini terjadi ketika segelintir orang mengendalikan distribusi sumber daya dan dengan
demikian memiliki kendali atas umat manusia secara keseluruhan. Marcuse berpendapat bahwa untuk
mengatasi penindasan berlebihan ini, kita perlu menghilangkan kelangkaan dan membebaskan
manusia dari prinsip prestasi yang telah mendominasi pikiran manusia. Kapitalisme mendorong
manusia untuk bekerja lebih dari yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, dan ini
menciptakan ketakutan akan kesadaran manusia yang sedang dieksploitasi. Marcuse menekankan
bahwa pentingnya Teori Kritis adalah memberikan kesadaran kepada individu untuk memahami
realitasnya dan menolak dieksploitasi.
Kapitalisme lanjut (Putra, 2018), yang juga disebut "kapitalisme terorganisasi" atau "kapitalisme
yang diatur oleh negara" oleh Jurgen Habermas, menciptakan ketidakadilan sosial yang memaksa
negara untuk ikut campur tangan lebih banyak dalam kehidupan masyarakat untuk menjaga
keseimbangan. Marcuse mencatat contoh di mana para pekerja di pabrik Western Electric Company di
Hawthorne mengeluh tentang gaji yang tidak mencukupi. Untuk mengatasi keluhan ini, pemerintah
dapat berjanji untuk memberikan jaminan sosial, tetapi ini hanya mengatasi masalah sementara tanpa
mengubah struktur masyarakat yang mendukung ketidakadilan. Sistem kapitalisme tetap utuh.
Marcuse juga memperkenalkan konsep "manusia satu dimensi," yang menggambarkan bagaimana
perubahan dalam konsumsi dan pelemahan gerakan buruh telah membuat kelas pekerja terkooptasi
oleh sistem nilai komoditi. Mereka telah kehilangan semangat revolusioner mereka dan menjadi
konsumen seperti kaum borjuis. Selain itu, Marcuse mengkritik media massa yang memengaruhi
pemikiran masyarakat dengan informasi yang bersifat konsumtif dan sering kali menyesatkan,
menciptakan kebutuhan palsu. Contohnya adalah iklan produk pemutih kulit yang menyebarkan
gagasan bahwa kecantikan hanya bisa dicapai dengan kulit putih. Baik buruh maupun borjuis
terpengaruh oleh narasi ini dan merasa membutuhkan produk tersebut dalam berbagai bentuknya.
One-Dimensional Man atau Manusia Satu Dimensi (Marcuse, 1991), adalah salah-satu buku
fenomenal dan terlaris yang ditulis oleh Herbert Marcuse. Judul buku tersebut dapat dikatakan sebagai
kesimpulan umum dari keseluruhan isinya. Melalui karya ini, Marcuse ingin mengatakan, yang sekaligus
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
172
mengritik, bahwa manusia modern adalah manusia berdimensi satu. Mengacu pada konteks
penulisannya, buku ini merupakan hasil dari studi Marcuse yang menganalis secara kritis masyarakat
industri modern seperti Amerika, Eropa dan Uni Soviet. Namun bukan berarti uraian-uraiannya tak
punya relevansi bagi kawasan-kawasan lain di dunia. Pemikiran Herbert Marcuse bertautan dengan
suasana filsafat Hegelian dan Marxisme. Marx dan Hegel memandang filsafat sebagai suatu usaha untuk
mengerti masyarakat dan periode sejarah di masa hidupnya. Marcuse mengambil semangat revolusi
Marx, sebagai keinginan agar dengan pemikiran filosofisnya dapat menyumbangkan terjadinya
perubahan radikal dalam masyarakat.
Membongkar Pesan Dibalik Karya- Karya Herbert Marcuse
Adapun dijelaskan dalam (Fajarni, 2022), karya Marcuse selain One- Dimensional Man atau
Manusia Satu Dimensi yang telah dijelaskan diatas, antara lain: D Eros dan Peradaban adalah sebuah
buku karya filsuf dan kritikus sosial Jerman Herbert Marcuse, dimana penulis mencetuskan masyarakat
tanpa penindasan, mengupayakan penyelarasan teori-teori Karl Max dan Sigmund Freud, dan
menjelaskan potensi ingatan kolektif untuk dijadikan sumber pembelotan dan pemberontakan dan
menekankan cara untuk masa depan alternatif. Judulnya diambil dari Peradaban dan Kekecewaan
Manusia (1930) karya Freud. Dimensi Aesthetic adalah tanggapan terhadap tulisan-tulisan sebelumnya
dalam teori kritis tentang subjek seni, terutama karya Walter Benjamin dan Theodor Adorno. Marcuse
menolak panggilan Benjamin dalam “Karya Seni di Zaman Reproduksi Mekanis” untuk politisasi (yaitu,
refleksi harfiah dari realitas politik yang dipersepsikan) dari seni modern yang dapat direproduksi baik
untuk mencerminkan keadaan masyarakat dan untuk memicu perubahan. Seperti Benjamin dan
Adorno, Marcuse percaya bahwa seni menjanjikan perlawanan terhadap penindasan masyarakat, dan
bahwa revolusi budaya harus dikaitkan dengan revolusi politik atau sosial. Adorno (seperti yang
diwakili terutama oleh Teori Estetika setelah kematiannya) dan Marcuse setuju bahwa kemungkinan
ini harus diwujudkan melalui pelepasan artistik dan simbolisme. Namun Marcuse menawarkan saran
yang lebih inklusif dan kurang radikal untuk sumber kekuatan seni modern daripada Adorno, yang
percaya bahwa karya-karya budaya tinggi adalah satu-satunya sumber artistik potensi emansipasi.
Marcuse sebaliknya menunjuk apa yang dianggapnya sebagai keberhasilan budaya tinggi dan
menerjemahkannya ke semua bidang seni. Bagi Marcuse, janji seni akan transendensi hanya bisa
dipenuhi melalui kemandirian konseptual dari masyarakat, tetapi kemandirian ini dapat diakses
melalui sejumlah media. Artis yang sukses akan mendapatkan kebenaran dalam karyanya melalui
detasemen yang menghasilkan representasi simbolik.
Seni yang sukses ini tentu harus membangkitkan kerinduan akan sesuatu yang utopis dan janji
kebahagiaan tertinggi yang diwakili oleh keindahan. Kerinduan simbolis untuk pemenuhan ini akan
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
173
membangkitkan kita dari rasa puas diri. Marcuse menyatakan dalam pengantar buku bahwa ia
menganggap sastra sumber utama pengaruhnya untuk sistem ini, tetapi merasa bahwa ide-ide itu akan
berlaku untuk musik dan seni visual juga. Dia lebih lanjut menyatakan bahwa “Standar ini tidak hanya
memungkinkan kita untuk membedakan antara sastra” tinggi “dan” sepele “, opera dan operet, komedi
dan slapstick, tetapi juga antara seni yang baik dan buruk dalam genre ini. Pengaruh dan Kritik
terhadap Marcuse dalam Konteks Frankfurt School Herbert Marcuse adalah salah satu anggota
terkemuka dari Frankfurt School yang pada masa pasca-perang menjadi figur politik dan kiri yang
eksplisit. Dia selalu mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Marxis, seorang sosialis, dan seorang
Hegelian, sementara rekan-rekannya seperti Adorno dan Horkheimer semakin mengambil arah yang
lebih konservatif seiring bertambahnya usia mereka. Salah satu esai kontroversialnya, "Toleransi
Represif" (1965), menyoroti pandangan kontroversialnya mengenai toleransi. Marcuse
berargumen bahwa toleransi sejati seharusnya tidak memberikan tempat bagi penindasan dari agenda
politik kiri yang dia percayai banyak dihalangi oleh orang- orang dari kanan politik. Dia ingin
memastikan bahwa suara-suara yang lebih radikal dan terpinggirkan tetap bisa diungkapkan, dan oleh
karena itu, dia menganggap toleransi terhadap pidato yang bersifat
represif
sebagai
"tidak
otentik.
Secara sederhana, Marcuse mendukung pembungkaman suara konservatif dalam upaya untuk
memberikan lebih banyak ruang bagi pandangan kiri. Pendekatan radikalnya ini, sering kali
diungkapkan melalui perhimpunan dan protes mahasiswa, menjadikannya figur yang sangat populer di
kalangan mahasiswa perguruan tinggi. Pengaruh Marcuse dalam gerakan mahasiswa sering kali
diperbesar, meskipun jumlah orang yang benar-benar membaca karyanya mungkin tidak besar. Tetapi,
dia memiliki dampak yang signifikan pada beberapa tokoh utama dalam gerakan radikal, termasuk
aktivis Black Power seperti Angela Davis dan penulis anarkis Abbie Hoffman. Keduanya adalah murid
Marcuse di Brandeis University dan sangat mengagumi pemikirannya. Angela Davis bahkan mengikuti
jejak Marcuse dengan pindah ke San Diego pada tahun 1960-an. Namun, Marcuse juga mendapat kritik
tajam, terutama dari kalangan konservatif yang menentang materialisme ateistik yang diidentifikasi
dengan "Marxisme Barat," yang menjadi populer di kalangan mahasiswa pada tahun 1960-an dan 1970-
an. Esai "Toleransi Represif" khususnya menjadi target kritik dari pihak kanan politik. Banyak kritikus
konservatif, seperti David Horowitz, menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan yang
mereka pandang tidak adil terhadap agenda politik kanan, terutama di lingkungan perguruan tinggi,
dan mereka menunjuk pada esai Marcuse sebagai salah satu akar penyebab ketidakadilan ganda ini.
Karya-karya Marcuse, dari berbagai sumber diantaranya: (1) The Struggle Against Liberalism in
the Totalitarian View of the State (1934): Dalam karya ini, Marcuse mengeksplorasi pandangan totaliter
terhadap negara dan liberalisme. Ia menyoroti konflik antara dua pandangan ini dan mencoba untuk
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
174
menggambarkan dampak totaliter pada masyarakat; (2) Reason and Revolution: Hegel and the Rise of
Social Theory
(1941):
Marcuse menghubungkan karya Hegel dengan perkembangan teori sosial
modern. Ia menyoroti peran Hegel dalam membentuk pemikiran sosial dan politik, khususnya dalam
konteks revolusi dan perubahan sosial; (3) Eros and Civilization: A Philosophical Inquiry into Freud
(1955): dalam buku ini, Marcuse menyelidiki hubungan antara psikoanalisis Sigmund Freud dan
masyarakat kapitalis. Ia mengeksplorasi konsep eros (insting kehidupan) dan upaya untuk memahami
bagaimana pembebasan seksual dapat mengubah masyarakat; (4) One- Dimensional Man: Studies in
the Ideology of Advanced Industrial Society (1964): Karya ini merupakan kritik terhadap masyarakat
industri modern yang dianggap Marcuse sebagai masyarakat yang mengekang dan mempersempit
pemikiran individu. Ia menggambarkan bagaimana masyarakat ini menciptakan "manusia satu
dimensi".;(5) An Essay on Liberation (1969): Marcuse mendorong pemikiran pembebasan dan revolusi
sosial. Ia mengajukan argumen tentang perlunya pembebasan individu dan kolektif sebagai langkah
menuju masyarakat yang lebih adil dan bebas; (6) The Aesthetic Dimension: Toward a Critique of
Marxist Aesthetics (1978): Marcuse mendiskusikan peran estetika dalam teori sosial. Ia berpendapat
bahwa estetika memiliki peran penting dalam memahami dan mengubah masyarakat; (7) Soviet
Marxism: Analisis Kritis (1958): Karya ini adalah pemeriksaan kritis terhadap Marxis Soviet, berfokus
pada perkembangannya sejak kematian Joseph Stalin. Marcuse mengevaluasi sejauh mana Uni Soviet
menyimpang dari prinsip-prinsip Marxis asli dan bagaimana sistem tersebut berevolusi ke arah yang
berbeda; (8) Toleransi Represif (1965): Dalam esai ini, Marcuse berargumen bahwa konsep toleransi
dalam masyarakat demokratis dapat menjadi represif dalam dirinya sendiri. Dia membahas
keterbatasan kebebasan berbicara dan toleransi terhadap gagasan-gagasan yang intoleran,
mengusulkan bahwa toleransi yang sejati harus selektif dan kritis untuk mencegah pemeliharaan
ideologi yang menindas. (9) Negations (1968): Negations adalah kumpulan esai yang mengangkat
berbagai aspek teori kritis dan filsafat. Marcuse mengeksplorasi topik seperti sifat pemikiran dialektis,
kemungkinan humanisme baru, dan peran seni dan budaya dalam masyarakat; (10) Kontrarevolusi dan
Pemberontakan (1972): Karya ini menguji fenomena kontrarevolusi dan pemberontakan dalam
masyarakat kontemporer. Marcuse merenungkan keadaan aktivisme politik dan potensi perubahan
radikal di dunia yang seringkali tampak resisten terhadapnya; (11) Studi dalam Filsafat Kritis (1973):
Buku ini berisi kumpulan esai dan kuliah yang mendalam tentang filsafat kritis dan penerapannya dalam
masyarakat kontemporer. Marcuse mengeksplorasi topik seperti materialisme sejarah, filsafat budaya,
dan tantangan teori kritis dalam dunia modern; (12) Tentang Masalah Dialektika (1976): Esai ini, yang
diterbitkan dalam jurnal Telos, membahas masalah pemikiran dialektis dan relevansinya dalam konteks
filsafat dan teori kritis kontemporer. Marcuse merenungkan evolusi pemikiran dialektis dan perannya
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
175
dalam mengatasi masalah sosial dan politik; (13) Dimensi Estetika (1978): Dalam karya ini, Marcuse
menjelajahi dimensi estetika pengalaman manusia. Dia membahas hubungan antara estetika, budaya,
dan masyarakat, dengan menekankan potensi seni dan budaya untuk menantang dan mengubah status
quo.
Dialektika Progresif Pemikiran Herbert Marcuse dan Relevansinya Pada Konteks Kekinian
Marcuse (1991) menjelaskan bahwa perkembangan masyarakat yang sepihak mengubah
hubungan antara rasionalitas dan irasionalitas. Berbeda dengan aspek rasionalitas yang fantastik dan
gila, ranah absurd menjadi tempat bagi pemikiran yang benar-benar rasional -gagasan yang dapat
“memajukan seni kehidupan.” Jika suatu masyarakat mapan mengatur semua komunikasi biasa,
memvalidasi atau menjajahnya sesuai dengan kebutuhan sosial, maka nilai-nilai yang asing bagi
kebutuhan tersebut tidak dapat memiliki sarana komunikasi lain selain komunikasi yang tidak biasa,
yaitu fiksi. Arah estetis mempertahankan kebebasan berekspresi yang memungkinkan penulis dan
seniman menyebut orang dan benda dengan namanya menamai benda yang sebenarnya tidak bisa
disebutkan namanya. Wajah sebenarnya dari zaman kita muncul dalam novel Samuel Beckett; Kisah
nyata ditulis dalam lakon Der Stellvertreter karya Rolf Hochhut. Di sini, bukan lagi imajinasi yang
berbicara, namun akal budi yang pada kenyataannya membenarkan segala sesuatu dan mengampuni
segala sesuatu kecuali dosa terhadap ruh. Imajinasi memberikan kekuatan pada realitas ini, yang
melampaui dan melampaui imajinasi. Auschwitz masih menghantui, bukan kenangan namun
pencapaian manusia penerbangan luar angkasa, roket dan rudal, “labirin bawah tanah di bawah bar
makanan ringan”, pabrik elektronik yang indah dan bersih, higienis, dengan hamparan bunga; gas
beracun yang sebenarnya tidak berbahaya bagi manusia; keamanan di mana kita semua berpartisipasi.
Di sinilah pencapaian besar umat manusia dalam ilmu pengetahuan, kedokteran dan teknologi terjadi;
upaya untuk menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan adalah satu- satunya harapan pada saat
terjadi bencana. Bermain dengan kemampuan yang luar biasa, kemampuan bertindak sesuai hati
nurani, melawan alam, melakukan eksperimen terhadap manusia dan benda, mengubah ilusi menjadi
kenyataan dan fiksi menjadi kebenaran, adalah bukti melihat betapa Imajinasi telah menjadi alat untuk
kemajuan. Dan ini adalah alat yang, seperti alat lain di masyarakat lanjut usia, disalahgunakan secara
sistematis.
Penentuan kecepatan dan gaya politik, kekuatan imajinasi melampaui Alice in Wonderland
dalam memanipulasi kata-kata, mengubah makna menjadi absurditas dan absurditas menjadi makna.
Dua bidang yang sebelumnya bertentangan ini bersatu atas dasar teknis dan politik: sihir dan sains,
hidup dan mati, kebahagiaan dan penderitaan. Si cantik mengungkapkan kengeriannya ketika
pembangkit listrik tenaga nuklir dan laboratorium yang sangat rahasia menjadi “taman industri”
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
176
dalam suasana yang menyenangkan; Markas Besar Pertahanan Sipil memiliki “tempat perlindungan
nuklir yang mewah” dengan karpet “lembut”, sofa, televisi dan Scrabble, “dirancang sebagai ruang
tunggu masa damai dan tempat perlindungan bagi sebuah keluarga jika perang pecah. Jika kengerian
persepsi itu tidak merasuk ke dalam kesadaran, jika mudah diterima begitu saja, maka hal itu
disebabkan karena persepsi-persepsi tersebut (a) sepenuhnya masuk akal dalam konteks tatanan
yang ada, (b) merupakan tanda kecerdasan dan kekuatan manusia yang unggul. Perpaduan
menjijikkan antara estetika dan realitas ini bertentangan dengan filsafat yang menentang imajinasi
“puitis” dengan alasan ilmiah dan empiris. Kemajuan teknologi diiringi dengan meningkatnya
rasionalisasi, bahkan realisasi imajinasi. Pola dasar kengerian dan kegembiraan, perang dan
perdamaian kehilangan karakter bencananya. Kehadiran mereka dalam kehidupan sehari- hari
individu bukan lagi sebuah kekuatan irasional: avatar modern mereka adalah elemen dominasi
teknologi dan tunduk padanya.
Dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan ruang imajinasi romantis, masyarakat memaksa
imajinasi untuk membuktikan dirinya di medan baru, di mana gambar-gambar ini diterjemahkan ke
dalam kemungkinan dan proyeksi proyek sejarah. Terjemahan ini akan sama buruk dan terdistorsinya
dengan perusahaan yang membuatnya. Terpisah dari ranah produksi material dan kebutuhan material,
imajinasi hanyalah sebuah permainan, tidak memiliki nilai dalam ranah kebutuhan, dan hanya terlibat
dalam logika dan kebenaran agung. Ketika kemajuan teknis menghapus pemisahan ini, ia
memperkenalkan gambarannya sendiri tentang logika dan kebenaran; itu mengurangi kebebasan
kemampuan pikiran. Tapi itu juga mengurangi kesenjangan antara imajinasi dan Nalar. Kedua
kemungkinan yang berlawanan ini menjadi saling bergantung pada landasan yang sama. Dalam
kaitannya dengan kemungkinan peradaban industri maju, bukankah semua permainan imajinasi
mempunyai kemungkinan teknis yang dapat diverifikasi dalam hal peluang realisasinya. Gagasan
romantis tentang “ilmu imajinasi” tampaknya memiliki dimensi yang semakin empiris.
Marcuse (1991), imajinasi pun tak luput dari proses konkretisasi. Bahwa banyak orang tergila-
gila pada citra, sengsara karena citra. Psikoanalisis mengetahui hal ini dengan baik dan mengetahui
konsekuensinya. Namun, “memberikan imajinasi segala cara untuk berekspresi” adalah sebuah
kemunduran. Individu yang terfragmentasi (juga terfragmentasi dalam imajinasinya) akan
mengorganisir dan menghancurkan lebih dari apa yang mereka izinkan saat ini. Pembebasan seperti itu
akan menjadi sebuah kengerian yang tidak dapat dihentikan, bukan sebuah bencana budaya, namun
sebuah ledakan dari kecenderungan- kecenderungan represif yang paling menindas. Nalar adalah
imajinasi yang dapat menjadi rekonstruksi apriori dan pengalihan alat-alat produksi menuju
kehidupan yang damai, kehidupan tanpa rasa takut. Dan ini tidak akan pernah menjadi imajinasi
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
177
mereka yang terpesona dengan gambaran dominasi dan kematian. Membebaskan imajinasi untuk
menyediakan segala cara berekspresi memerlukan penindasan terhadap banyak hal yang sekarang
bebas dan yang akan mempertahankan masyarakat yang represif. Dan pembalikan tersebut bukanlah
masalah psikologis atau moral, namun masalah politik, dalam pengertian yang telah digunakan di sini
sepanjang waktu: praktik- praktik yang melaluinya versi tersebut dikembangkan, didefinisikan,
dipelihara dan direvisi. Ini adalah aktivitas individu, terlepas dari organisasinya. Oleh karena itu, kita
harus bertanya kembali pada diri kita sendiri pertanyaan berikut:
“Bagaimana individu-individu yang diatur yang telah mengkompromikan kebebasan
dan kepuasan mereka sendiri, dan dengan demikian menciptakannya kembali dalam
skala yang lebih besar, dapat membebaskan diri mereka sendiri dan juga para
pemimpin mereka? Bagaimana orang bisa berpikir bahwa lingkaran setan ini bisa
diputus? “
Paradoksnya (Marcuse, 1991); gagasan tentang institusi sosial baru tampaknya bukanlah persoalan
yang paling sulit dalam menjawab pertanyaan tersebut. Masyarakat yang lebih tua sendiri sedang
mengembangkan atau telah memodifikasi institusi dasar mereka menuju peningkatan perencanaan.
Karena pengembangan dan penggunaan semua sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan
vital global merupakan prasyarat untuk pengamanan, hal ini tidak sejalan dengan dominasi
kepentingan tertentu yang menghambat pencapaian tujuan ini. Perubahan kualitatif bergantung pada
perencanaan global yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan ini, dan masyarakat yang
bebas dan rasional hanya dapat muncul atas dasar ini. Institusi- institusi yang menjadi tempat untuk
mencapai perdamaian dengan tegas menantang klasifikasi tradisional menjadi pemerintahan otoriter
dan demokratis, terpusat dan liberal. Saat ini, penolakan terhadap perencanaan terpusat atas nama
demokrasi liberal yang terlupakan sebenarnya berfungsi sebagai dukungan ideologis terhadap
kepentingan- kepentingan yang represif. Tujuan dari penentuan nasib sendiri individu bergantung pada
kontrol sosial yang efektif atas produksi dan distribusi kebutuhan (dalam hal tingkat budaya yang
dicapai, baik material maupun intelektual). Disini, rasionalitas teknologi, tanpa bersifat eksploitatif,
menjadi satu-satunya norma dan pedoman dalam perencanaan dan pengembangan sumber daya yang
dapat diakses oleh semua orang. Otonomi dalam produksi dan distribusi barang dan jasa penting tidak
akan ada gunanya. Tugas ini merupakan tugas teknis dan, sebagai pekerjaan yang benar-benar teknis,
berkontribusi dalam mengurangi beban fisik dan mental.
Dalam hal ini, kendali terpusat dapat dibenarkan jika hal tersebut menciptakan prasyarat bagi
penentuan nasib sendiri yang berarti. Hak untuk menentukan nasib sendiri ini kemudian bisa efektif
dalam lingkupnya sendiri dalam pengambilan keputusan mengenai produksi dan distribusi surplus
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
178
ekonomi, dan dalam kelangsungan hidup individu. Dalam setiap kasus, kombinasi kekuasaan terpusat
dan demokrasi langsung bisa sangat bervariasi, bergantung pada tingkat pembangunan. Penentuan
nasib sendiri akan efektif jika massa telah terpecah menjadi individu- individu yang bebas dari
propaganda, indoktrinasi dan manipulasi, mampu mengetahui dan memahami kebenaran dan
mengevaluasi alternatif-alternatif. Dengan kata lain, masyarakat akan menjadi rasional dan bebas sejauh
ia diorganisir, dipelihara, dan diciptakan kembali oleh subjek-subjek sejarah yang secara fundamental
baru. Pada tahap perkembangan masyarakat industri yang maju saat ini, sistem material dan budaya
telah menolak persyaratan tersebut. Kekuatan dan efisiensi sistem ini, asimilasi mendalam antara
pemikiran dengan fakta, pemikiran dengan perilaku yang diperlukan, aspirasi dengan kenyataan,
menentang munculnya subjek baru. Hal ini juga bertentangan dengan pandangan bahwa mengganti
kendali atas produksi dengan “kendali dari bawah” berarti perubahan kualitatif. Gagasan ini berlaku
dan masih berlaku ketika pekerjaan merupakan penolakan nyata terhadap kehidupan
dan merupakan
dakwaan terhadap masyarakat saat ini. Namun, ketika kelompok-kelompok ini mendukung cara hidup
yang ada, kebangkitan mereka untuk memegang kendali akan memperluas cara hidup tersebut ke dalam
konteks yang berbeda.
Marcuse (1991), fakta-fakta dan alternatif-alternatif ada di sana seperti fragmen-fragmen yang
tidak saling terhubung, atau seperti dunia objek yang bisu tanpa subjek, tanpa praktik yang akan
menggerakkan objek-objek ini ke arah baru. Teori dialektika tidak terbantahkan, tetapi tidak dapat
memberikan obatnya. Itu tidak bisa menjadi positif. Memang, konsep dialektika, dalam memahami fakta-
fakta yang ada, melampaui fakta-fakta yang ada. Ini merupakan tanda kebenarannya yang sejati. Ini
mendefinisikan kemungkinan- kemungkinan sejarah, bahkan kebutuhan- kebutuhan; tetapi realisasi
mereka hanya dapat terjadi dalam praktik yang merespons teori, dan saat ini, praktik tidak memberikan
respons semacam itu. Baik karena alasan teoretis maupun empiris, konsep dialektis menyatakan
dirinya tidak berdaya. Realitas manusia adalah kisahnya, dan dalam kisah ini konflik tidak meledak
secara spontan. Konflik antara dominasi yang terarah dan memuaskan di satu sisi, dan pencapaiannya
yang berkontribusi pada penentuan nasib sendiri dan pengamanan, dapat terlihat jelas tanpa
perlawanan apa pun, namun konflik tersebut juga dapat tetap menjadi konflik yang dapat diatasi dan
bahkan menguntungkan, karena seiring dengan perkembangan teknologi. Dan perbudakan ini
menghilangkan kebebasan yang merupakan prasyarat bagi pembebasan. Hal ini menunjukkan tentang
kebebasan berpikir dalam satu-satunya arti di mana pemikiran dapat bebas dalam dunia yang diatur
sebagai kesadaran akan produktivitasnya yang tertekan dan sebagai kebutuhan mutlak untuk
melepaskan diri dari totalitas. Namun, kebutuhan mutlak ini tidak berlaku jika hal tersebut dapat
menjadi kekuatan pendorong praktik sejarah, penyebab efektif perubahan kualitatif. Tanpa
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
179
kekuatan fisik ini, bahkan kesadaran yang paling tajam pun tetap tidak berdaya. Bahkan ketika sifat
absurd global menjadi jelas dan disertai dengan kebutuhan akan perubahan, memahami kebutuhan ini
tidak pernah cukup untuk memahami alternatif-alternatif yang ada. Dihadapkan pada efisiensi yang
meluas dalam sistem kehidupan saat ini, alternatif- alternatif ini selalu tampak mengada-ada. Dan
pemahaman akan kebutuhan, kesadaran akan nasib segala sesuatu, tidak akan cukup, bahkan pada
tahap ketika pencapaian ilmu pengetahuan dan tingkat produktivitas telah menghilangkan kualitas
alternatif yang mengada-ada. Dimana realitas yang ada tidaklah mengada-ada. Apakah ini berarti bahwa
teori masyarakat kritis memberikan kelonggaran dan menyerahkan bidang tersebut kepada sosiologi
eksperimental, yang, selain orientasi teoretisnya namun juga orientasi metodologisnya, mungkin juga
mengalami kesalahan-kesalahan tertentu yang digantikan, sehingga memberikan layanan ideologis
dengan mengklaim menghapuskan nilai, penilaian Atau apakah konsep-konsep dialektis sekali lagi
membuktikan kebenarannya dengan memahami situasi mereka sendiri dan juga masyarakat yang
mereka analisis. Sebuah jawaban mungkin muncul jika kita mempertimbangkan kelemahan terbesar
teori kritis: ketidakmampuannya merespons kecenderungan emansipatoris dalam masyarakat yang
sudah mapan.
Teori sosial kritis, pada saat kelahirannya, harus menghadapi kehadiran kekuatan-kekuatan
nyata (objektif dan subyektif) dalam masyarakat mapan (atau yang sudah ada), yang diciptakan untuk
berkembang) menuju institusi-institusi yang lebih rasional dan kebebasan yang lebih besar dalam
menghapuskan institusi- institusi mapan yang menjadi hambatan untuk kemajuan. Inilah landasan
empiris yang mendasari teori tersebut, dan dari landasan empiris inilah muncul gagasan untuk
membebaskan kemungkinan- kemungkinan yang melekat, jika tidak dihalangi dan didistorsi, dalam hal
produktivitas, kemampuan, serta kebutuhan fisik dan intelektual. Tanpa ekspresi kekuatan-kekuatan
ini, kritik sosial akan tetap valid dan masuk akal, namun tidak akan mampu menerjemahkan
rasionalitasnya ke dalam praktik sejarah. Imunitas dari kemungkinan yang melekat tidak lagi cukup
untuk mengungkap alternatif sejarah.
Marcuse (1991), kemungkinan yang melekat pada masyarakat industri maju adalah untuk
mengembangkan kekuatan-kekuatan produktif dalam skala yang lebih besar, untuk memperluas
penaklukan alam, untuk memenuhi kebutuhan semakin banyak orang, untuk menciptakan kebutuhan-
kebutuhan dan kemampuan-kemampuan baru. Namun kemungkinan-kemungkinan ini secara bertahap
diwujudkan melalui sarana dan lembaga yang kehilangan potensi emansipatorisnya, dan proses ini
tidak hanya berdampak pada sarana namun juga tujuan. Instrumen produktivitas dan kemajuan, yang
diorganisir dalam sistem totaliter, tidak hanya menentukan penggunaan efektifnya tetapi juga
kemungkinan penggunaannya. Namun, dibalik pendirian yang konservatif terdapat kelompok marginal
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
180
dan orang luar, mereka yang dieksploitasi dan ditindas karena ras dan warna kulit yang berbeda, mereka
yang menganggur dan mereka yang tidak memiliki pekerjaan. Mereka berada di luar proses demokrasi.
Selain itu, hidup mereka adalah tuntutan yang paling langsung dan jelas untuk mengakhiri kondisi dan
institusi yang tidak dapat ditoleransi. Oleh karena itu, perlawanan mereka bersifat revolusioner
meskipun hati nurani mereka tidak revolusioner. Oposisi mereka menyerang sistem dari luar dan oleh
karena itu tidak terpengaruh oleh sistem; itu adalah kekuatan primordial yang melanggar aturan
permainan, dan dengan melakukan hal itu, terungkap bahwa ini adalah permainan yang memang
dirancang. Ketika mereka berkumpul di jalan-jalan, tidak bersenjata, tidak terlindungi, untuk menuntut
hak-hak sipil yang paling primitif, mereka tahu bahwa mereka akan menghadapi anjing, batu dan bom,
penjara, kamp konsentrasi dan bahkan kematian. Kekuatan mereka ada di balik setiap demonstrasi
politik yang mendukung para korban ketertiban umum. Fakta bahwa anak-anak kita mulai menolak
bermain game bisa menjadi tanda bahwa ini adalah awal dari akhir suatu periode. Tidak ada tanda-tanda
bahwa ini akan menjadi akhir yang bahagia. Kapasitas ekonomi dan teknis masyarakat yang sudah
mapan cukup besar untuk memungkinkan akomodasi dan konsesi bagi kaum tertindas, dan angkatan
bersenjata mereka terlatih dan diperlengkapi dengan baik untuk menghadapi situasi darurat.
Persamaan sejarah yang sederhana dengan orang-orang barbar yang mengancam kerajaan-kerajaan
yang beradab menimbulkan masalah ini, yakni periode barbar kedua mungkin merupakan kelanjutan
dari kerajaan beradab itu sendiri. Namun kemungkinan besar, selama periode ini, sejarah ekstrem akan
bertemu lagi dimana kesadaran umat manusia yang paling maju dan kekuatan yang paling
tereksploitasi. Teori kritis masyarakat tidak memiliki konsep yang dapat menjembatani kesenjangan
antara masa kini dan masa depannya; tanpa memberikan janji dan tanpa menunjukkan keberhasilan,
teori ini tetap negatif. Oleh karena itu, ia ingin tetap setia kepada mereka yang, tanpa harapan, telah
memberikan dan memberikan hidup mereka untuk Penolakan Besar.
Elemen teori kritis dalam karya-karya Marcuse, bahwa pemaparan teori kritis menggugah
pemikiran salah satu pendiri Mazhab Frankfurt, Herbert Marcuse. Marcuse berfokus pada “kapitalisme
maju”, yang menciptakan pemikiran sepihak dalam masyarakat. Menurut Marcuse, keserakahan
kapitalis (keuntungan materi) mencerminkan apa yang disebut Marcuse sebagai “penindasan
berlebihan”, yang didistribusikan berdasarkan keinginan segelintir orang untuk mengontrol distribusi,
dan dengan demikian juga bertujuan untuk mendominasi umat manusia. Menurut Marcuse,
“penindasan berlebihan” ini perlu dihilangkan dengan menghilangkan kelangkaan dan membebaskan
masyarakat dari cengkeraman “prinsip pencapaian” yang selama ini mendominasi pemikiran
manusia. Beberapa elemen Teori Kritis dalam karya-karya Marcuse adalah sebagai berikut; (1) Manusia
harus membebaskan diri dari ketergantungan yang menurut Marcuse disebut “desublimasi represif”;
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
181
(2) Manusia harus terbebas dari system kapitalis yang konsumeristik dengan jebakan teknologi maju
yang telah memberikan “kebebasan palsu” yang mengekang dan mengendalikan; (3) Tugas Teori Kritis
adalah mendobrak jebakan kapitalisme moderen “pola pikir satu dimensi’ yang menghambat
perubahan sosial dan menghambat Masyarakat untuk berpikir kritis; (4) Dimensi afirmatif digantikan
dengan negasi (masyarakat memiliki daya kritis); (5) Caranya melakukan (dimensi afirmatif digantikan
dengan negasi) dengan cara Masyarakat harus memiliki daya kritis dan menentang atau menolak
system dan struktur (yang bersifat irasional dan eksploitatif) yang konsumeritif dan manipulative; (6)
Manusia harus membebaskan diri dari ketergantungan yang menurut Marcuse disebut “desublimasi
represif”; (7) Manusia harus terbebas dari system kapitalis yang konsumeristik dengan jebakan
teknologi maju yang telah memberikan “kebebasan palsu” yang mengekang dan mengendalikan; (8)
Tugas Teori Kritis adalah mendobrak jebakan kapitalisme moderen “pola pikir satu dimensi’ yang
menghambat perubahan sosial dan menghambat Masyarakat untuk berpikir kritis.; dan yang terakhir
adalah (9) Dimensi afirmatif digantikan dengan negasi (masyarakat memiliki daya kritis) Caranya
melakukan (dimensi afirmatif digantikan dengan negasi) dengan cara Masyarakat harus memiliki
daya kritis dan menentang atau menolak system dan struktur (yang bersifat irasional dan eksploitatif)
yang konsumeritif dan manipulatif.
Konteks saat ini, pemikiran Marcuse dapat menjadi pendorong dialektika progresif yang
merangsang pemikiran kritis seperti: Pertama, kita perlu mempertimbangkan bagaimana konsep
“toleransi represif” dari Herbert Marcuse berinteraksi dengan isu kebebasan berbicara dan
ekstremisme dalam masyarakat kita saat ini. Setyabudi (2023), ada urgensi untuk mendiskusikan
kembali salah satu konsep toleransi, yaitu costly tolerance, untuk mempertimbangkan makna dan
aktualisasinya. Konsep ini berasal dari tradisi Kristen dan memiliki imperatif moral yang kuat untuk
mentransformasikan praktik toleransi menjadi lebih sempurna sebagai virtue. Dari perspektif ini,
toleransi yang dangkal, semu, dan hanya basa-basi, yang seringkali jatuh pada sikap acuh tak acuh tanpa
pengorbanan apa pun, kehilangan maknanya dan tidak layak disebut toleransi. Masa depan agama-
agama di Indonesia dengan keragamannya di tengah badai yang selalu menarik pendulum keagamaan
ke arah ekstremisme masih terbuka untuk aksi kejahatan atas nama agama. Toleransi palsu tidak cukup
untuk membayar ini, dan dalam pandangan konsepsi kritis ini, akan membutuhkan banyak
pengorbanan yang harus dibayar. Ini setidaknya memerlukan diskusi lebih lanjut.
Kedua, bagaimana “rasionalitas teknologi masyarakat” dari Marcuse dapat digunakan untuk
memahami dampak teknologi informasi dan media sosial pada masyarakat kita saat ini. Sebagai contoh,
dalam (Mutando, (2022); Hidayat (2023)) game Mobile Legend Bang-Bang menjadi tren di kalangan
remaja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan beberapa faktor yang membuat remaja menjadi
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
182
kecanduan bermain game ini, seperti (1) rasa penasaran yang besar terhadap game ini, (2) kebutuhan
untuk mencari hiburan sebagai cara untuk menghilangkan stres dari aktivitas sehari-hari seperti tugas
sekolah, dan (3) pengabaian waktu ibadah karena terlalu asyik bermain game ini. (4) Menurut teori “One
Dimensional Man”, kecanduan game Mobile Legend Bang Bang yang dialami oleh remaja di Desa
Wonosari, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal adalah hasil dari kemajuan teknologi yang dibentuk
oleh sistem totaliter. Sistem ini menindas pecandunya dengan cara yang lembut, nyaman dan rasional.
Realitas ini menunjukkan bahwa game Mobile Legend Bang Bang dikemas dengan cara yang sangat
menarik sehingga remaja menjadi terhipnotis dan betah bermain game ini dalam waktu yang lama.
Akibatnya, mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka alami sebenarnya adalah penindasan.
Keadaan ini membuktikan bahwa bermain game Mobile Legend Bang Bang telah menjadi kebutuhan
palsu bagi remaja yang seharusnya tidak mereka lakukan setiap hari.
Ketiga, apakah konsep “manusia satu dimensi” dari Marcuse masih relevan untuk
menggambarkan keterasingan individu di era digital dan konsumeris saat ini. Florensia (2022),
menjelaskan bahwa budaya populer K-Pop semakin meresap ke dalam masyarakat dan berbagai tren
pun muncul seiring dengan itu. Namun, tidak semua tren dari K-Pop diterima oleh masyarakat umum,
sehingga hanya penggemar K-Pop yang mengikuti tren tersebut. Salah satu tren yang saat ini diikuti oleh
penggemar K-Pop adalah mengoleksi photocard idola K-Pop. Ini menarik untuk diteliti karena bagi
masyarakat umum, mengoleksi foto dalam bentuk kertas bukanlah hal yang biasa. Skripsi ini
menganalisis penggemar grup K-Pop SEVENTEEN yang mengikuti tren koleksi photocard dan
bergabung dalam group order (GO). Dengan pendekatan metode kualitatif dan menggunakan teori
fetisisme komoditas dari Theodor Adorno yang didasarkan pada fetisisme komoditas Karl Marx,
penelitian ini menemukan bagaimana fetisisme komoditas dilakukan oleh penggemar terhadap
photocard dan faktor apa saja yang melatarbelakangi munculnya fetis tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa fetisisme terhadap photocard menciptakan kenikmatan palsu dan kesadaran
palsu di mana penggemar menciptakan fungsi dan makna yang seharusnya tidak dimiliki oleh
photocard, sehingga penggemar melakukan berbagai pengorbanan baik secara materi maupun tenaga
untuk mendapatkan photocard yang mereka inginkan. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya
fetis terhadap photocard di antara penggemar termasuk kemudahan dengan adanya group order (GO)
dan persaingan di antara penggemar itu sendiri.
Keempat, bagaimana “kesadaran kritis” dari Marcuse dapat membantu kita memahami peran
aktivisme dan gerakan sosial dalam mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim dan isu-isu
ekonomi. Sejauh ini, banyak orang telah menyadari bahwa kesadaran kritis dapat memicu transformasi
sosial yang diperlukan untuk mengatasi tantangan global. Aktivisme dan gerakan sosial memiliki
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
183
potensi untuk memobilisasi masyarakat dalam mendukung perubahan kebijakan, mendorong praktik
ekonomi yang lebih berkelanjutan, dan upaya mitigasi perubahan iklim.
Kelima, bagaimana “Penolakan Besar” dari Marcuse dapat diterapkan dalam upaya mengatasi isu-
isu seperti kesenjangan ras, gender, dan ekonomi dalam masyarakat kita saat ini. Kritik terhadap
Konsumerisme: Marcuse menekankan bahaya konsumerisme dalam masyarakat kapitalis yang dapat
memperparah kesenjangan ekonomi. Solusi untuk masalah ekonomi bisa melibatkan kritis terhadap
budaya konsumen yang memperkuat ketidaksetaraan. Keenam, apakah pandangan Marcuse tentang
peran intelektual dalam masyarakat masih relevan di era informasi dan komunikasi yang semakin
berkembang? Menurut Dewi, (2013), Marcuse dengan tegas mengkritik masyarakat modern sebagai
masyarakat yang tidak sehat karena hanya memiliki satu dimensi, atau apa yang disebutnya sebagai
“one dimensional man/society”. Kondisi ini tercipta karena adanya sistem totaliter yang telah
mematikan sikap kritis individu atau masyarakat. Sistem status quo ini berkuasa dalam tiga bentuk
utama: politik, ekonomi, dan teknologi (ilmu pengetahuan), dengan bantuan rasio teknologis. Sistem ini
menciptakan bentuk toleransi yang tampaknya memberikan kebebasan maksimal, tetapi
sebenarnya menyembunyikan bentuk penindasan baru. Marcuse menyebut kondisi ini sebagai
“repressive tolerance”. Untuk mengatasi kondisi ini, Marcuse berpendapat bahwa diperlukan kesadaran
dari kelompok masyarakat untuk melakukan “the great refusal” dan revolusi. Potensi untuk perubahan
berada di tangan mereka yang terpinggirkan dan para intelektual atau mahasiswa, bukan lagi di tangan
para buruh yang telah kehilangan semangat revolusioner mereka dan ikut dalam mempertahankan
sistem totaliter tersebut.
Ketujuh, bagaimana kritik Marcuse terhadap budaya populer dapat digunakan untuk memahami
pengaruh media, hiburan, dan industri budaya terhadap pembentukan opini publik saat ini. Menurut
Hanif (2011), studi media muncul dengan adanya media massa pada tahun 1920-1930-an. Awalnya,
studi ini berfokus pada media itu sendiri, tetapi pada tahun 1970-an, studi ini berkembang menjadi studi
tentang budaya penonton yang menggunakan media massa. Ada perbedaan pendapat antara
modernisme dan postmodernisme: dalam aspek filosofis, termasuk epistemologi, metafisika, dan sifat
manusia, modernisme menekankan objektivitas, realisme, dan otonomi;
sebaliknya,
postmodernisme
menekankan subjektivitas dan konstruksi sosial. Dalam aspek studi media, termasuk eksistensi media
massa, berita, jurnalis, etika, dan nilai-nilai; modernisme menekankan objektivitas, sedangkan
postmodernisme menekankan subjektivitas. Budaya populer dibentuk oleh media massa atas nama
kepentingan kapitalis yang menawarkan dan menjual berbagai kebutuhan dan keinginan yang
dimanipulasi dalam iklan dengan menggunakan simbol-simbol untuk mendorong masyarakat agar terus
membeli. Karena hegemoni ini, anggota masyarakat sebagai pengguna media massa tanpa sadar
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
184
menjadi konsumtif, hedonistik, dan memiliki kesadaran palsu. Kita membutuhkan kesadaran kritis
berdasarkan pandangan postmodernisme tentang subjektivitas media massa. Untuk memperluas dan
menyebarkan kesadaran kritis ini, kita dapat melakukan pelatihan literasi media bagi pengguna media
agar mereka dapat menggunakan media massa dengan cara yang cerdas dan bijaksana. Pemikiran-
pemikiran Herbert Marcuse masih relevan dalam konteks politik modern, termasuk situasi politik
indonesia jelang pemilu 2024, meliputi; (a) Kritik terhadap Kepentingan Korporasi, marcuse
berpendapat bahwa masyarakat kapitalis cenderung didominasi oleh kepentingan bisnis besar dan
oligarki ekonomi. Dalam konteks pemilu, pemikiran ini dapat mengatasi permasalahan seperti besarnya
pengaruh perusahaan besar dalam pemilu dan bagaimana uang politik mempengaruhi proses pemilu.
Marcuse mendorong kritik terhadap kandidat yang mewakili kepentingan perusahaan daripada
kepentingan rakyat; (b) Kebijakan Publik dan Kemiskinan: Marcuse juga menekankan masalah
kemiskinan dalam masyarakat kapitalis dan peran pemerintah dalam masalah ini. Pada pemilu 2024,
pemikiran ini bisa merujuk pada rencana para kandidat untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dan
masalah sosial seperti pengangguran, perumahan, dan akses terhadap layanan kesehatan; (c)
Kekuasaan represif dan ideologis: Marcuse mengembangkan konsep kekuasaan represif dan ideologis,
yang mengacu pada cara pemerintah dan organisasi sosial mengendalikan massa melalui kontrol fisik
dan ideologis. Selama pemilu, hal ini dapat mencakup perdebatan mengenai kebijakan keamanan, hak
asasi manusia, dan kebebasan berekspresi; (d) Pembungkaman Alternatif: Marcuse juga mencatat
bahwa masyarakat kapitalis cenderung membungkamatau mengabaikan alternatif politik dan budaya.
Dalam konteks pemilu, hal ini dapat merujuk pada upaya untuk membatasi akses pemilu dari berbagai
partai atau upaya untuk menyembunyikan suara oposisi.
KESIMPULAN
Herbert Marcuse, seorang teoritikus sosial yang berpengaruh, menyampaikan kritiknya terhadap
"manusia satu dimensi" dalam konteks kapitalisme lanjut serta konsep "sublimasi represif dan
teradministrasikan." Kesimpulan mengenai pandangan-pandangannya adalah sebagai berikut.
1. Perkembangan masyarakat satu dimensi mengubah hubungan antara rasional dan irasional. Dalam
kontras dengan aspek fantastis dan gila dari rasionalitasnya, ranah irasional menjadi tempat dari
yang benar-benar rasional - ide-ide yang dapat "mendorong seni hidup". Jika masyarakat yang
mapan mengatur semua komunikasi normal, memvalidasi atau menginvaliasinya sesuai dengan
persyaratan sosial, maka nilai-nilai yang asing terhadap persyaratan ini mungkin tidak memiliki
medium komunikasi lain selain yang abnormal, yaitu fiksi. Dimensi estetika masih
mempertahankan kebebasan berekspresi yang memungkinkan penulis dan seniman untuk
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
185
menyebut
orang
dan
hal
dengan namanya - untuk menyebut hal-hal yang sejatinya tak dapat
disebutkan.
2. Kritik terhadap manusia satu dimensi dalam kapitalisme lanjut: Marcuse menilai bahwa dalam
masyarakat kapitalisme lanjut, individu cenderung mengalami penyederhanaan pikiran dan
perilaku. Mereka terjebak dalam budaya konsumerisme dan alienasi, di mana kebutuhan material
dan hiburan semata mendominasi. HalIni mengakibatkan kurangnya pemahaman kritis dan
kesadaran terhadap masalah sosial yang lebih dalam. Marcuse memperingatkan bahwa dalam
realitas ini, resistensi dan perubahan sosial yang substansial menjadi sulit untuk dicapai.
3. Konsep "sublimasi represif" dan "teradministrasikan" untuk menggambarkan cara masyarakat
modern mengarahkan dorongan alamiah manusia ke dalam bentuk yang diatur dan terkendali oleh
otoritas sosial dan politik. Sublimasi represif menghasilkan penindasan ekspresi diri dan
kreativitas, sementara teradministrasikan mengacu pada dominasi birokrasi dan teknokrasi dalam
mengelola masyarakat. Hal ini menghasilkan ketidakbebasan dan homogenisasi dalam masyarakat.
4. Perlunya kesadaran kritis yang lebih dalam dan pembebasan dari norma-norma yang membatasi
dalam masyarakat. Marcuse memandang bahwa manusia perlu mengembangkan potensi kreatif
mereka untuk melawan kapitalisme lanjut yang mengurung mereka dalam konformitas dan
alienasi. Pandangan-pandangan ini mencerminkan peran penting Marcuse dalam pemikiran kritis
dan perjuangan untuk perubahan sosial yang lebih baik dalam masyarakat kontemporer.
REFERENSI
Dewi, N. Y. (2013). One Dimensional Man (Studi Terhadap Kritik Herbert Marcuse Mengenai Masyarakat
Modern) (Doctoral Dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).
Fajarni, S. (2022). Teori Kritis Mazhab Frankfurt: Varian Pemikiran 3 (Tiga) Generasi Serta Kritik
Terhadap Positivisme, Sosiologi, Dan Masyarakat Modern. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin,
24(72-95).
Farr, A. (2013). Herbert Marcuse. Https://Plato.Stanford.Edu/Entries/Marc Use/
Florensia, K. (2022) Fetisisme Komoditas Penggemar Budaya Popular Korean Pop (K-Pop): Studi Kasus
Tren Koleksi Photocard Pada Kelompok Carats Di Group Order (Go) (Bachelor's Thesis, Program
Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta).
Gunawan, C. (2022). E-Commerce Memicu Mahasiswa Semakin Konsumtif?
Https://Bandungbergerak.Id/Article/Deta Il/2033/E-Commerce-Memicu-
Hanif, M. (2011). Studi Media Dan Budaya Populer Dalam Perspektif Modernisme Dan
Postmodernisme. Komunika: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 5(2), 235-251.
Doi:Https://Doi.Org/10.24090/Komunika.V5i 2.174
HUMANUS: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara Volume : 1; No: 2 (2024); pp 165-186
186
Hidayat, MA. (2023). Self Disclosure Generasi Z pada Media Sosial TikTok. HUMANUS : Jurnal
Sosiohumaniora Nusantara, 1(1), 81-92. https://doi.org/10.62180/bq8hax67.
Kurniawati, A., Seran, A., & Sigit, R. R. (2021). Teori Kritis Dan Dialektika Pencerahan Max Horkheimer.
Jisip: Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 10(2), 124-135.
Lubis, Y A. (2015). Pemikiran Kritis Kontemporer, Dari Teori-Teori Kritis, Culture Studies, Feminisme,
Potskolonial Hingga Multikulturalisme. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Marcuse, Herbert (1991). One Dimensional Man: Studies In The Ideology Of Advanced Industrial
Society. London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1991. 2nd
Mutando, M. (2022). Fenomena Permainan Game Mobile Legends Bang Bang Dalam Tinjauan “One
Dimensional Man” Herbert Marcuse (Studi Kasus Di Kalangan Remaja Desa Wonosari Kecamatan
Pegandon Kabupaten Kendal). Skripsi. Semarang: UIN Walisongo Semarang.
Nafi’, M. R. (2023). Budaya Donasi Online Di Youtube Melalui Fitur Superchat. Humanus : Jurnal
Sosiohumaniora Nusantara, 1(1), 93-100. Https://Doi.Org/10.62180/2zk3tr46.
Putra, A. M. (2018). Konsumerisme:" Penjara" Baru Hakikat Manusia. Societas Dei: Jurnal Agama Dan
Masyarakat, 5(1), 73-73. Doi:Https://Doi.Org/10.33550/Sd.V5i1.79
Putra, Ak. (2023). Analisis Komunikasi Virtual Youtuber Dalam Kacamata Baudrillardian. Humanus :
Jurnal Sosiohumaniora Nusantara, 1(1), 1-13. Https://Doi.Org/10.62180/Paz0a861
Setyabudi, M. N. P. (2023). Toleransi Itu Mahal, Tidak Setiap Orang Mampu Dan Berani Membayarnya!
Berkaca Pada Agenda Costly Tolerance. Peradaban Journal Of Religion And Society, 2(1), 1-19.
Susandi, D., & Sukisno. (2017). Sistem Penjualan Berbasis E-Commerce Menggunakan Metode Objek
Oriented Pada Distro Dlapak Street Wear. J. Sist. Inf (4): 58.
Yin, R. K. (2009). Case study research: Design and methods (Vol. 5). sage.
... Penelitian yang sebelumnya dapat dilihat dalam menanggapi kasus mogok kerja para buruh atau karyawan mereka memiliki penyebab dan cara penyelesaian konflik yang berbeda. Dalam penelitian ini penyebabnya adalah tidak adanya kenaikan upah bagi para buruh dan kritik buruh terhadap kondisi yang dianggap menyengsarakan mereka (Sumarni & Seran, 2024). ...
Article
Full-text available
A national labor action is a form of protest carried out by workers to demand their rights that are considered unfulfilled. The national labor action that occurred in 2023 in Indonesia had a significant impact on various sectors, including the industrial sector. One of the impacts that arose was the decline in employee performance in several affected companies. The research method used is the descriptive qualitative method. Descriptive qualitative research aims to describe and illustrate existing phenomena. Thus, it can be concluded that the workers are disappointed with the injustice in terms of the wages given, they feel that the wages/salaries given are not proportional to the performance they put out. This reason is a factor in the workers’ insistence on getting an increase in their wages. Overall, the workers’ national labor action was based on dissatisfaction with the wages given to workers in Indonesia, giving rise to the national labor action. In this context, the calculation of inflation, economic growth, and the current need for a decent living are important factors that must be considered in raising wage increases for workers. These factors can also affect the work stress and welfare of the workers. The speech action this time conveyed two demands, namely the revision of the DKI UMP from 3.6% to 15% and the implementation of the minimum wage under the Jakarta Labor Law.
Article
Full-text available
Teknologi dan masyarakat seperti dua hal yang saling terikat dan tidak dapat terlepas. Tentunya perkembangan teknologi ini memunculkan medium-medium baru dalam berkomunikasi yang dapat disebut sebagai new media. Pengaruh budaya dari munculnya new media ini adalah konten yang disebut sebagai livestreaming, penelitian ini membahas mengenai konten livestreaming yang dilakukan oleh virtual youtuber (VTuber), sebuah entitas digital yang menggunakan teori computer-mediated communication (CMC) dalam interaksinya. Adapun peneliti akan membahas mengenai persepsi penonton VTuber dalam memahami avatar digital ini menggunakan teori-teori yang dikembangkan oleh Jean Baudrillard, simulacra dan hyperreality. Peneliti mencoba menganalisis fenomena VTuber ini sebagai sebuah bentuk komunikasi post-truth yang diterka akan menjadi bentuk komunikasi massa yang mendominasi kehidupan manusia yang akan datang, serta memberi potret apakah komunikasi ini bisa dikategorikan sebagai sebuah komunikasi yang absah atau tidak.
Article
Full-text available
The use of social media in Indonesia can be categorized at a high level. Generation Z is a generation that is more interested in the internet compared to other groups. This is supported by a survey by the Alvara Research Center which shows that generation Z is included in the internet addiction category with a usage duration of 7-10 hours a day at 20.9%. TikTok is the social media that has been used the longest by the public. This research aims to determine the forms of self-disclosure carried out by generation Z, the causal factors, social implications, and analyze them based on uses and gratification theory, self-disclosure theory, and Maslow's hierarchy theory. The method used in this research is descriptive qualitative by conducting interviews, observations and literature studies. Then, based on the research results, they were analyzed using the Milles & Huberman technique. From the results of this research, it was found that the forms of self-disclosure carried out by generation Z vary according to the "Johari Window" concept, the causal factor is because generation Z's need for social media TikTok is in accordance with the uses and gratification theory, and the social implications of self-disclosure are to fulfill The basic human need for establishing social relationships on TikTok is in accordance with Maslow's hierarchy theory
Article
Full-text available
Donasi online telah menjadi semakin populer dalam beberapa tahun terakhir, terutama dengan adanya kemajuan teknologi dan akses mudah ke internet. Budaya siber mengacu pada praktik-praktik dan norma-norma yang berkembang dalam ruang digital. Donasi online sebagai budaya siber memiliki dampak yang signifikan terhadap masyarakat dan cara mereka berpartisipasi dalam kegiatan amal. Dalam penelitian ini akan membahas mengapa dan bagaimana penonton melakukan donasi terhadap streamer di Youtube melalui fitur superchat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif analisis deskriptif, yang melakukan observasi dan wawancara dengan narasumber. Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa budaya donasi online melalui fitur superchat sudah menjadi fenomena yang berkembang di Masyarakat.
Article
Full-text available
Artikel konseptual dan interperatif ini mendiskusikan kembali salah satu konsepsi toleransi yang patut untuk dipertimbangkan makna dan aktualisasinya, yaitu costly tolerance. Konsepsi yang berasal dari tradisi Kristiani ini memiliki imperatif moral yang kuat untuk mentransformasikan praktik toleransi pada matra yang lebih sempurna sebagai virtue. Dalam kaca mata ini, barangkali toleransi dalam kadar minimalis yang semu, dangkal, dan basa-basi, yang seringkali justri terjatuh dalam sikap indifference atau acuh tak acuh yang tidak membutuhkan pengorbanan apa-apa, menjadi kehilangan makna dan tidak patut menyandang kata toleransi. Masa depan agama-agama di Indonesia dengan keragamannya di tengah badai yang selalu menarik pendulum keagamaan ke arah ekstrimisme sehingga masih membuka diri bagi aksi kejahatan atas nama agama, tidak cukup dibayar dengan toleransi yang penuh kepalsuan, dan dalam pandangan konsepsi kritis ini, akan membutuhkan banyak pengorbanan yang perlu dibayar.
Article
Full-text available
The Critical Theory of the Frankfurt School through its emancipatory vision requires a new paradigm in social science that can liberate humans from the economic domination of capitalism, various established ideologies, and social order that is oppressive and unfair. This article aims to: 1) review in detail the variants of Critical Theory thought developed by the first, second, and third generations of the Frankfurt School; 2) explain the criticisms of Critical Theory on positivism; 3) describe the criticisms of Critical Theory on Sociology; and 4) reviewing the criticisms of Critical Theory on modern society. By using a qualitative approach and library research design, as data mining techniques, this study concludes that: 1) There are differences of thought among the three generations of the Frankfurt School. The first generation has built the foundation of Critical Theory towards the ideas of emancipation while acknowledging the subject-object relation, as well as agreeing to objectification. Jurgen Habermas as the second generation through his communicative action theory framework answers the stagnation of the first generation by emphasizing his Critical Theory on developing the subject's argumentative capacity. The third generation of thought by Axel Honneth departs from ethical interests through recognition; 2) Critical Theory criticizes positivism for preserving the status quo so that it fails to get out of the existing problems and preserving these problems; 3) Critical Theory criticizes Sociology because it is considered ideological, neutral, passive, and too focused on methodology, thus failing to build public awareness to overcome unequal and unfair realities; 4) Critical theory states that modern society went through cultural repression, where certain social and cultural obligation was institutionalized by the capitalistic economy. Those capitalism ethics makes humans view other humans as things or objects. Abstrak: Teori Kritis Mazhab Frankfurt melalui visi emansipatorisnya menghendaki sebuah paradigma baru dalam ilmu pengetahuan sosial yang mampu membebaskan manusia dari dominasi ekonomi kapitalisme, ragam ideologi mapan, serta tatanan sosial yang penuh penindasan dan ketidakadilan. Artikel ini bertujuan untuk: 1) mengulas secara rinci varian pemikiran Teori Kritis yang dikembangkan oleh generasi pertama, generasi kedua, dan generasi ketiga Mazhab Frankfurt; 2) menjelaskan kritik-kritik Teori Kritis terhadap positivisme; 3) memaparkan kritik-kritik Teori Kritis terhadap Sosiologi; serta 4) mengulas kritik-kritik Teori Kritis terhadap masyarakat modern. Melalui pendekatan kualitatif dengan desain library research, artikel ini menyimpulkan bahwa: 1) Terdapat perbedaan pemikiran diantara ketiga generasi Mazhab Frankfurt. Generasi pertama telah membangun fondasi Teori Kritis ke arah emansipatoris dengan tetap mengakui relasi subjek-objek, sekaligus mengamini objektifikasi dan kemudian mengalami kebuntuan pemikiran akibat terjebak dengan kritik yang mereka buat sendiri. Jurgen Habermas sebagai generasi kedua melalui kerangka teori tindakan komunikatifnya menjawab kebuntuan generasi pertama dengan menitikberatkan Teori Kritisnya pada pengembangan kapasitas argumentatif subjek. Adapun pemikiran generasi ketiga oleh Axel Honneth berangkat dari kepentingan etis melalui jalan pengakuan; 2) Teori Kritis mengkritik positivisme karena melanggengkan status quo, sehingga ia tidak mampu keluar dari permasalahan yang ada melainkan melanggengkan permasalahan tersebut; 3) Teori Kritis mengkritik Sosiologi karena dianggap bersifat ideologis, netral, pasif, dan terlalu fokus pada metodologi, sehingga gagal dalam membangun kesadaran masyarakat agar dapat mengadakan perubahan terhadap realitas yang penuh dengan ketimpangan dan ketidakadilan; 4) Teori Kritis menyatakan bahwa masyarakat modern mengalami represi kultural, yakni suatu kondisi di mana tuntutan sosial budaya tertentu dilembagakan oleh tatanan ekonomi kapitalisme. Prinsip kinerja kapitalis tersebut membuat manusia memandang yang lain sebagai benda (things) atau objek.
Article
Full-text available
Abstrak – Berawal dari adanya masalah pada pemasaran Distro Dlapak Street Wear yang tidak maksimum, tidak ada media yang membantu memudahkan pelanggan dari luar kota untuk transaksi, dan tidak ada yang dapat membantu dalam memasarkan produk perangkat komputer untuk memasarkan produknya setiap hari maka dikembangkan suatu aplikasi penjualan online pada Distro Dlapak Street Wear. Penjualan online atau e-commerce adalah suatu aplikasi dan proses bisnis yang menghubungkan toko dan konsumen melalui transaksi elektronik dan dapat membantu pihak toko dalam pemasaran produk yang maksimal. Maka diwujudkan sebuah aplikasi dengan melakukan penelitian yang bertujuan membantu Distro Dlapak Street Wear dalam memperluas cakupan promosi, membantu pelanggan yang berasal dari luar kota agar tetap dapat berbelanja dan memaksimalkan dalam pemasaran produk. Penelitian pengembangan sistem yang dilakukan merupakan jenis Penelitian Terapan (Applied Research). Dalam penelitian ini akan menerapkan teori analisis sistem dengan pendekatan berorientasi obyek. Pengujian dilakukan dengan metode ISO 9126. Hasil penelitian dapat langsung diterapkan untuk memecahkan permasalahan pada Distro Dlapak Street Wear. Kata Kunci – Penjualan Online, E-Commerce, Transaksi Elektronik, Orientasi Obyek, ISO 9126.
Article
This research wants to know the thoughts of one of the critical figures of the first generation of the Frankfurt School, namely Max Horkheimer. This study uses a qualitative method with a literature review study. Based on the literature review study, there are several works of Max Horkheimer’s thought. However, this research intends to discuss are Max Horkheimer’s two prominent thoughts, namely the Dialectic of Enlightenment and Critical Theory. Dialectic of Enlightenment is a book by Adorno and Horkheimer published in 1947 with the title Dialectic der Aufklarung which contains criticism of modern society. This book develops the claim that the systematic search for reason and enlightened freedom has a long-term ironic effect in producing new forms of rationality and oppression. The various essays collected in “Critical Theory” contain not only an acute rejection of positivism but also a denial of the scientific tendencies of orthodox Marxism. According to Horkheimer, the task of critical theory is to penetrate the world of matter and show the basic relationship between persons.Keyword: critical theory, enlightenment dialectic, frankfurt schoolPenelitian ini ingin mengetahui pemikiran dari salah seorang tokoh kritis generasi pertama dari Mazhab Frankfurt, yaitu Max Horkheimer. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan studi literatur review. Berdasarkan studi literatur review, terdapat beberapa hasil karya pemikiran Max Hoekheimer. Namun, yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah dua pemikiran Max Horkheimer yang menonjol, yaitu: Dialectic of Enlightenment (Dialektika Pencerahan) dan Teori Kritis. Dialectic of Enlightenment merupakan buku karangan Adorno dan Horkheimer yang terbit pada tahun 1947 dengan judul Dialektik der Aufklarung yang berisi kritik terhadap mayarakat modern. Buku ini mengembangkan klaim bahwa pencarian sistematik dari akal budi dan kebebasan yang tercerahkan mempunyai pengaruh ironis jangka panjang dalam melahirkan bentuk-bentuk rasionalitas dan penindasan baru. Berbagai esai yang dikumpulkan dalam “Critical Theory” tidak hanya berisi penolakan akut terhadap positivisme, namun juga berisi penyangkalan terhadap tendensi keilmuan Marxisme ortodoks. Menurut Horkheimer, tugas teori kritis adalah untuk menembus dunia benda dan menunjukkan hubungan dasariah antar pribadi.Kata Kunci: dialektika pencerahan, mazhab frankfurt, teori kritis
Book
Combining aspects of Marxist theory, the Frankfurt School, French social theory, and American social science, Marcuse outlines a theory of advanced industrial society in which changes in production, consumption, and culture combine to create a technological society in which thought and labor is restructured in such a way that perpetuates domination and dehumanization. Marcuse argues that this leads to an oversimiplified culture that he refers to as a "one-dimensional society." Reason is used as a method of control in this society. Marcuse outlines simultaneous tensions in society: 1) advanced industrial society is capable of containing qualitative change and 2) forces exist which can break this containment and explode the society.
One Dimensional Man (Studi Terhadap Kritik Herbert Marcuse Mengenai Masyarakat Modern) (Doctoral Dissertation
  • N Y Dewi
Dewi, N. Y. (2013). One Dimensional Man (Studi Terhadap Kritik Herbert Marcuse Mengenai Masyarakat Modern) (Doctoral Dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).
Fetisisme Komoditas Penggemar Budaya Popular Korean Pop (K-Pop): Studi Kasus Tren Koleksi Photocard Pada Kelompok Carats Di Group Order (Go)
  • K Florensia
Florensia, K. (2022) Fetisisme Komoditas Penggemar Budaya Popular Korean Pop (K-Pop): Studi Kasus Tren Koleksi Photocard Pada Kelompok Carats Di Group Order (Go) (Bachelor's Thesis, Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).