Pendidikan adalah urusan semua orang. Ia bukanlah semata urusan pemerintah, atau ahli pendidikan semata. Pepatah lama mengatakan, bahwa dibutuhkan satu desa untuk membesarkan seorang anak. Pendidikan adalah sebuah upaya bersama yang membutuhkan landasan nilai, sekaligus usaha bersama dari seluruh masyarakat.
Mutu pendidikan mempengaruhi mutu kehidupan masyarakat di masa kini dan masa depan. Segala bentuk kejahatan, mulai dari pencurian, pembunuhan, pemerkosaan sampai dengan korupsi, berakar pada kegagalan sebuah masyarakat mewujudkan sistem dan filsafat pendidikan yang bermutu tinggi. Mutu pendidikan juga mempengaruhi masa depan sebuah bangsa. Kemampuan sebuah bangsa untuk tetap ada dan terlibat di dalam pembentukan masyarakat global yang adil dan makmur amat ditentukan dari mutu pendidikan di dalamnya.
Di Indonesia, pendidikan memiliki berbagai tantangan yang mesti dihadapi. Untuk bisa melakukan ini, beragam tantangan tersebut haruslah dipahami terlebih dahulu. Ada beberapa hal yang kiranya perlu diperhatikan.
Pertama, dunia pendidikan Indonesia jatuh ke dalam urusan birokrasi dan administrasi semata. Guru disibukkan dengan beragam bentuk pelatihan, sertifikasi dan beban administrasi. Pengajaran bermutu, yang menjadi salah satu unsur terpenting pendidikan, kerap kali terlupakan. Ini seperti dikatakan oleh Jürgen Habermas, bahwa sistem telah menjajah dunia kehidupan (Lebenswelt) yang penuh dengan makna dan kebebasan.[i]
Di beberapa institusi pendidikan, guru juga banyak dibebani oleh pekerjaan di luar bidang akademik, misalnya menjadi panitia acara sekolah. Hal ini kerap kali begitu menyita waktu dan tenaga, sehingga proses pengajaran yang baik, yang justru merupakan unsur utama pendidikan, justru terlupakan. Guru-guru, yang menolak untuk terlalu banyak dilibatkan di dalam acara-acara non-pendidikan sekolah, justru dianggap sebagai guru yang tidak dapat bekerja sama. Hal ini jelas menghambat proses pendidikan di sekolah.
Dua, dunia pendidikan juga telah kehilangan esensi utamanya. Pendidikan telah berubah semata menjadi pelatihan, yakni pelatihan untuk mempersiapkan murid memasuki dunia kerja. Dalam arti ini, pendidikan tidak lagi mengembangkan wawasan dan kepribadian murid, melainkan mengubahnya semata menjadi pegawai-pegawai pabrik dan perusahaan. Pola pendidikan ini jelas salah arah, karena justru dunia profesional sekarang ini amat membutuhkan manusia-manusia yang berwawasan luas dan berkarakter kuat.
Kiranya benar, bahwa pola pendidikan di Indonesia tidak banyak berubah, bahkan setelah 76 tahun merdeka. Pola pendidikan yang ada masih menerapkan pola Belanda di masa kolonial yang hanya menekankan kepatuhan dan kemampuan menghafal. Memang, pada masa penjajahan dulu, Pemerintah Belanda membutuhkan tenaga pegawai yang siap pakai. Mereka tidak membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir kritis, kreatif dan berwawasan luas. Ironisnya, pola semacam itu masih dipertahankan di masa kini, walaupun kolonialisme sudah lama berlalu.
Tiga, pendidikan yang sejati juga semakin sulit dilakukan di tengah perubahan budaya yang begitu cepat, akibat revolusi industri keempat yang terjadi sekarang ini. Di dalam revolusi industri keempat ini, manusia hidup di dunia digital bahkan lebih lama, daripada ia hidup di dalam dunia nyata sehari-hari. Ini tentunya membuat perubahan besar di dalam pemahaman manusia soal kenyataan itu sendiri. Proses pendidikan menjadi sulit, ketika murid lebih suka menghabiskan waktu bermain game atau berselancar di internet, daripada belajar dan berdiskusi dengan gurunya.
Penelitian terbaru bahkan membuktikan adanya penyakit kecanduan perangkat teknologi informasi dan komunikasi ini. Hubungan antar manusia di dunia nyata menjadi amat dangkal dan jarang. Sementara, hubungan manusia dengan mesin dianggap menjadi lebih utama. Ini tentunya memberikan tantangan besar bagi dunia pendidikan.
Empat, juga dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, informasi menjadi begitu banyak. Bahkan, bisa dibilang, dunia mengalami kebanjiran informasi. Akibatnya, banyak orang kebingungan. Bahkan, banyak juga yang terjebak pada berita palsu yang menyesatkan. Orang sulit untuk membedakan antara kebohongan dan kebenaran, serta antara informasi yang penting dan yang tak penting.
Di dalam proses pendidikan, banjir informasi menghasilkan kemiskinan berpikir. Peserta didik hanya menyalin informasi, tanpa menggunakan kemampuan berpikir kritis dan analitis. Kemampuan mereka untuk melampaui segala tantangan di dunia nyata pun berkurang. Mereka menjadi seperti komputer, yakni pandai menghafal informasi, namun lemah dalam penyelesaian masalah melalui pola pikir analitis dan kritis.
Lima, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini juga berdampak pada generasi yang lebih tua. Guru-guru senior seringkali tak mampu mengikuti perubahan pesat yang terjadi. Beberapa ingin terlibat lebih jauh, dan belajar menggunakan teknologi terbaru. Namun, tak sedikit pula yang menolak perubahan, sehingga tak mampu lagi mengikuti perkembangan yang ada. Jurang antar generasi ini membuat proses pendidikan menjadi sulit.
Ini juga menjadi hambatan komunikasi antara murid dengan guru-guru senior. Ketika komunikasi terhambat, maka kesalahpahaman akan terjadi. Ini seringkali bermuara pada kekerasan fisik maupun verbal yang terjadi antara guru dan murid. Dampaknya pun beragam, mulai dari putus sekolah, trauma terhadap pendidikan maupun pemecatan terhadap guru senior yang amat merugikan hidupnya. Upaya untuk mempersempit jurang antar generasi ini kiranya perlu dilakukan secara sistematik dan berkelanjutan.
Enam, persoalan tentang kesejahteraan guru telah lama menjadi masalah di dunia pendidikan Indonesia. Sebagian guru masih bekerja sebagai guru honorer. Status mereka tidak jelas, dan pendapatan mereka cenderung kecil. Ini membuat banyak guru honorer harus mencari pekerjaan sampingan.
Sebagai bagian penting dari sistem pendidikan nasional, ini tentu menjadi persoalan besar. Guru yang mengajar setengah hati tidak akan mampu membentuk karakter sekaligus pikiran anak didik dengan baik. Tidak hanya itu, mereka bahkan seringkali harus meninggalkan kelas, karena harus mencari uang di tempat lain. Ini tentu memberikan teladan buruk, sekaligus membuat seluruh proses belajar mengajar menjadi terhambat.
Tujuh, tantangan terbesar pengembangan pendidikan di Indonesia adalah korupsi di dalam sistem pendidikan itu sendiri. Sebagai pemegang tertinggi otoritas pendidikan di Indonesia, pemerintah kerap kali membuat peraturan-peraturan yang tidak masuk akal. Akibatnya, banyak sekolah harus kesulitan di dalam proses penyesuaian. Salah satunya adalah sikap diskriminatif pemerintah terhadap sekolah-sekolah swasta yang sudah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.
Ini juga ditambah dengan peraturan yang terus menerus berubah, sehingga membuat banyak pihak bingung. Tidak heran, bila banyak praktisi pendidikan berpendapat, bahwa pemerintah merupakan “musuh” terbesar pengembangan dunia pendidikan Indonesia. Peraturan yang diterapkan kerap kali amat berat bagi para peserta didik. Mereka diharuskan mempelajari hal-hal yang belum waktunya untuk dipelajari.
Delapan, semua ini bermuara pada lemahnya sistem pendidikan di Indonesia, sehingga rapuh terhadap segala bentuk serangan dari luar, seperti virus radikalisme agama dan mentalitas neoliberal yang mengukur segala sesuatu dari kaca mata uang. Keadaan ini membuat dunia pendidikan menjadi penuh dengan diskriminasi, mulai dari diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas (akibat radikalisme agama), sampai dengan diskriminasi terhadap kelompok miskin (akibat neoliberalisme). Manusia macam apa yang dihasilkan dari sistem pendidikan semacam itu? Tak heran, dalam banyak hal, Indonesia ketinggalan dari berbagai negara lainnya.
Buku ini ditulis sebagai upaya untuk menanggapi beragam tantangan pendidikan Indonesia tersebut. Di abad 21 ini, proses globalisasi dan perkembangan pesat teknologi di berbagai bidang tak lagi dapat dihindari. Dampak baik dan buruknya pun bisa langsung terasa di kehidupan sehari-hari. Diperlukan upaya untuk mengembangkan pendidikan secara menyeluruh di Indonesia, supaya bisa menjawab berbagai tantangan yang muncul di abad 21 ini. Buku ini adalah contoh dari upaya nyata semacam itu.
Dalam konteks itu, buku ini merupakan buku pertama yang berbicara soal visi yang menjadi dasar bagi revolusi pendidikan Indonesia abad 21. Ada beberapa buku filsafat dan teori pendidikan. Namun, buku-buku tersebut tidak menawarkan visi nyata bagi pengembangan pendidikan di abad 21 ini. Maka dari itu, terbitnya buku ini merupakan sesuatu yang perlu untuk dimaknai lebih dalam.
Buku ini ditujukan untuk para pendidik di berbagai bidang kehidupan, sekaligus kepada semua orang yang peduli pada mutu dan masa depan pendidikan di Indonesia. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, pendidikan adalah urusan dari semua orang, dan bukan hanya urusan para pendidik formal semata. Harapannya, dengan berpijak pada buku ini, dunia pendidikan Indonesia bisa berubah ke arah yang lebih baik, terutama dalam soal pembuatan kebijakan di sistem pendidikan nasional, maupun dari proses pendidikan hidup sehari-hari. Dengan begitu, bangsa Indonesia akan mampu menghadapi tantangan-tantangan baru di abad 21 ini.
Buku ini terdiri dari beberapa artikel ilmiah yang telah diterbitkan di beberapa jurnal ilmiah. Keterangan diberikan di bagian catatan akhir. Selamat membaca.
Reza A.A Wattimena