ArticlePDF Available

Di Atas Kereta Angin: Berjalan di Ruang Hibriditas

Authors:

Abstract

This study aim ed to strip the journey of colonised and coloniser subjects in the short story Di Atas Kereta Angin (DAKA). The exploration use d Homi K. Bhabha's postcolonial concept to see the characters' walking into hibridity space. By us ed a qualitative method, the results of this study show that there is mimicry in the way Dullah and bumiputra characters look and behave in front of Europeans. The mimicry was triggered by the justice and equality discourse and the changing times produced by Europeans. Although the mimicry as mockery in the eyes of one of the Europeans, Jan Buskes. The mimicry of Dullah and the bumiputra character makes them a hybrid subject, situated between Java and Europe. This hybrid condition creates a space of hybridity. The space of hybridity in DAKA is basically a negation created by the relationship between the coloniser and the colonised. On the one hand, Dullah and the bumiputra use it to achieve the justice and equality created by Kees and the other colonies. But on the other hand, it also became a space for the coloniser, Kees, to discipline Dullah's body. The existence of the narratives of justice and equality that were used to soften the hearts of Dullah and other natives, turned out to create a space of hybridity-ambivalence. With this ambivalence, DAKA is the one that negates the author's own view that Dutch figures have a humanist side. Furthermore, through DAKA, Bhabha's concept of mimicry as mockery does not apply universally, for example Kees condition , instead he deconstructs it. Finally, through DAKA, postcolonial studies can be used even though DAKA is set during the coloni z ation era in the Indies. This means that postcolonial can speak beyond a specific time and space — when colonisation was still going on, before, or after. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menelanjangi perjalanan subjek terjajah dan penjajah di dalam Cerpen Di Atas Kereta Angin (DAKA) . Penelanjangan tersebut menggunakan konsep poskolonial Homi K. Bhabha untuk melihat perjalanan tokoh-tokoh di ruang hibriditas. Dengan menggunakan metode kualitatif, maka hasil penelitian ini menunjukkan adanya mimikri cara berpenampilan dan bertingkah laku tokoh Dullah dan bumiputra di hadapan orang Eropa. Mimikri tersebut dipicu oleh wacana keadilan dan kesetaraan serta zaman sudah berubah yang diproduksi oleh orang Eropa. Meskipun mimikri tersebut juga menjadi mockery di hadapan mata salah satu orang Eropa, Jan Buskes. Mimikri tokoh Dullah dan bumiputra menjadikannya sebagai subjek yang hibrid, berada di antara Jawa dan Eropa. Kondisi yang hibrid inilah yang melahirkan ruang hibriditas. Ruang hibriditas dalam DAKA pada dasarnya adalah negasi yang diciptakan oleh hubungan antara penjajah dan terjajah. Di satu sisi, Dullah dan bumiputra menggunakannya untuk mencapai keadilan dan kesetaraan yang diciptakan oleh Kees dan koloni-koloni lainnya. Akan tetapi di sisi lain juga menjadi ruang penjajah, Kees, dalam mendisiplinkan tubuh Dullah. Keberadaan narasi keadilan dan kesetaraan yang digunakan untuk melunakkan hati Dullah dan bumiputra lainnnya, ternyata melahirkan ruang hibriditas-ambivalen. Dengan adanya ambivalen tersebut, maka DAKA —menjadi salah satu—yang menegasi padangan penulisnya sendiri yang menggap tokoh-tokoh Belanda memiliki sisi humanis. Selanjutnya, melalui DAKA , konsep mimicry as mockery Bhabha tidak berlaku secara universal, contohnya Kees tidak terganggu sama sekali, malahan dia mendekonstruksinya kembali. Terakhir, melalui DAKA , kajian pokolonial dapat digunakan meskipun DAKA memiliki latar waktu saat era kolonialisasi di Hindia berlangsung saat itu. Artinya, poskolonial dapat berbicara di luar ruang dan waktu tertentu—saat era kolonialisasi masih berlangsung, sebelum, atau sesudahnya.
Mardiani & Dwi Rezki Hardianto Putra Rustan
231 |
©2023, Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 12(2)
DI ATAS KERETA ANGIN: BERJALAN DI RUANG HIBRIDITAS
Di Atas Kereta Angin: Walking into Hibridity Space
Mardiani & Dwi Rezki Hardianto Putra Rustan
Fakultas Sastra, Universitas Sawerigading Makassar
Jalan Kandea I No. 27, Bontoala, Makassar
dwireski22@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menelanjangi perjalanan subjek terjajah dan penjajah di dalam Cerpen Di
Atas Kereta Angin (DAKA). Penelanjangan tersebut menggunakan konsep poskolonial Homi K. Bhabha
untuk melihat perjalanan tokoh-tokoh di ruang hibriditas. Dengan menggunakan metode kualitatif, maka
hasil penelitian ini menunjukkan adanya mimikri cara berpenampilan dan bertingkah laku tokoh Dullah
dan bumiputra di hadapan orang Eropa. Mimikri tersebut dipicu oleh wacana keadilan dan kesetaraan
serta zaman sudah berubah yang diproduksi oleh orang Eropa. Meskipun mimikri tersebut juga menjadi
mockery di hadapan mata salah satu orang Eropa, Jan Buskes. Mimikri tokoh Dullah dan bumiputra
menjadikannya sebagai subjek yang hibrid, berada di antara Jawa dan Eropa. Kondisi yang hibrid inilah
yang melahirkan ruang hibriditas. Ruang hibriditas dalam DAKA pada dasarnya adalah negasi yang
diciptakan oleh hubungan antara penjajah dan terjajah. Di satu sisi, Dullah dan bumiputra
menggunakannya untuk mencapai keadilan dan kesetaraan yang diciptakan oleh Kees dan koloni-koloni
lainnya. Akan tetapi di sisi lain juga menjadi ruang penjajah, Kees, dalam mendisiplinkan tubuh Dullah.
Keberadaan narasi keadilan dan kesetaraan yang digunakan untuk melunakkan hati Dullah dan
bumiputra lainnnya, ternyata melahirkan ruang hibriditas-ambivalen. Dengan adanya ambivalen
tersebut, maka DAKAmenjadi salah satuyang menegasi padangan penulisnya sendiri yang menggap
tokoh-tokoh Belanda memiliki sisi humanis. Selanjutnya, melalui DAKA, konsep mimicry as mockery
Bhabha tidak berlaku secara universal, contohnya Kees tidak terganggu sama sekali, malahan dia
mendekonstruksinya kembali. Terakhir, melalui DAKA, kajian pokolonial dapat digunakan meskipun
DAKA memiliki latar waktu saat era kolonialisasi di Hindia berlangsung saat itu. Artinya, poskolonial
dapat berbicara di luar ruang dan waktu tertentusaat era kolonialisasi masih berlangsung, sebelum,
atau sesudahnya.
Kata-kata kunci: ambivalensi, cerpen, hibriditas, mimikri
Abstract
This study aimed to strip the journey of colonised and coloniser subjects in the short story Di Atas
Kereta Angin (DAKA). The exploration used Homi K. Bhabha's postcolonial concept to see the
characters' walking into hibridity space. By used a qualitative method, the results of this study show
that there is mimicry in the way Dullah and bumiputra characters look and behave in front of Europeans.
The mimicry was triggered by the justice and equality discourse and the changing times produced by
Europeans. Although the mimicry as mockery in the eyes of one of the Europeans, Jan Buskes. The
mimicry of Dullah and the bumiputra character makes them a hybrid subject, situated between Java and
Europe. This hybrid condition creates a space of hybridity. The space of hybridity in DAKA is basically
a negation created by the relationship between the coloniser and the colonised. On the one hand, Dullah
and the bumiputra use it to achieve the justice and equality created by Kees and the other colonies. But
Naskah Diterima Tanggal 28 Juni 2023Direvisi Akhir Tanggal 29 November 2023Disetujui Tanggal 2 Desember 2023
doi: https://doi.org/10.26499/jentera.v12i2.6730
Di Atas Kereta Angin: Berjalan.....
| 232
©2023, Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 12(2)
on the other hand, it also became a space for the coloniser, Kees, to discipline Dullah's body. The
existence of the narratives of justice and equality that were used to soften the hearts of Dullah and other
natives, turned out to create a space of hybridity-ambivalence. With this ambivalence, DAKA is the one
that negates the author's own view that Dutch figures have a humanist side. Furthermore, through
DAKA, Bhabha's concept of mimicry as mockery does not apply universally, for example Kees condition,
instead he deconstructs it. Finally, through DAKA, postcolonial studies can be used even though DAKA
is set during the colonization era in the Indies. This means that postcolonial can speak beyond a specific
time and spacewhen colonisation was still going on, before, or after.
Keywords: ambivalence, hybridity, mimicry, short story
How to Cite: Mardiani & Rustan, D. R. H. P. (2023). Di Atas Kereta Angin: Berjalan di Ruang Hibriditas. Jentera:
Jurnal Kajian Sastra, 12(2), 231243. doi: https://doi.org/10.26499/jentera.v12i2.6730
PENDAHULUAN
Trauma kolonialbahkan pasca kemerdekaan didengungkanyang dialami oleh bangsa
indonesia pada masa lalu, rupanya tidak mudah lenyap dari ingatan. Dalam konteks poskolonial
di Indonesia, trauma tersebut tidak lain sebagai pengalaman yang lahir dari sebuah penderitaan
kolonialisasi masyarakat (pribumi) selama berabad-abad. Tidak jarang trauma tersebut direspon
melalui karya sastra. Berbagai motif pun muncul, salah satunya adalah menjadikan karya sastra
sebagai ruang artikulasi pengalaman traumatis untuk memulihkan kondisi masyarakat kolonial
yang mengalami kesengsaraan di masa lalu, demi memposisikan dirinya di masa depan (Gandi,
2022). Meskipun demikian, karya sastra tersebut tidak sepenuhnya dapat membebaskan diri
dari konstruksi ruang kolonialisasi, karena kekuatan dalam membentuk formasi sosial, posisi,
dan komposisi tertentuberkaitan dengan kultur kolonialmenjadi bagian yang inheren di
masyarakat. Dengan demikian, kehadiran sastra indonesia tidak dapat lepas masyarakat yang
terkolonialisasi (Faruk, 2001: 8). Pandangan ini juga selaras dengan Loomba (2016), bahwa
sastra yang ditulis, baik penjajah atau terjajah sering mengambil dan menyerap aspek-aspek
budaya lain sehingga sastra kolonial berpotensi berada di ruang hibriditas.
Salah satu karya sastra yang yang berimplikasi berada di ruang tersbut adalah Teh dan
Penghianatan (2019) karya Iksaka Banu. Karya tersebut merupakan kumpulan cerpen yang
menarasikan kondisi pada masa kolonial (Oktiva & Syamsudin, 2021; Widyawati & Andalas, 2021).
Menurut Banu (2019), Teh dan Penghianatan mengajak kita bertamasya kembali ke masa
lampau. Iksaka Banu meramu cerita-ceritanya melalui fakta-fakta historis yang dikemas secara
estetis (Suweleh, 2020). Konteks sosial dari masa lampaudalam narasinya secara spesifik
merupakan hubungan dialektis antara penjajah dan terjajah pada masa kolonial. Bagi Iksaka
Banu, dirinya menghadirkan narasi baru, yaitu dengan menjadikan tokoh-tokoh orang Belanda
sebagai karakter sentral (Swarnasta, 2020). Lebih jauh, dirinya juga mengatakan bahwa tokoh-
tokoh tersebut memiliki sisi humanis. Namun, apakah humanisasi tersebut tidak memiliki motif
tertentu dalam proses kolonialisasi itu?
Teh dan Penghianatan 13 kumpulan cerpen, salah satunya Di Atas Kereta Angin
(DAKA). Secara garis besar DAKA, menceritakan tentang awal mula sepeda dipakai oleh
masyarakat bumiputra di Hindia Belanda (Banu, 2019). Tokoh utama dalam DAKA adalah
Kees, sementara yang menjadi tokoh antagonis adalah Jan Buskes. Keberadaan tokoh sentral
orang Eropa ini tentu berbeda dengan beberapa karya sastra lainnyabaik yang lahir saat era
kolonialisme berlangsung, maupun setelahnyaseperti Max Havelar (1860), karya-karya Mas
Marco Kartodikromo, dan sebagainya.
Cerita DAKA bermula ketika Kees memberikan sebuah sepeda (fiest) kepada bujang
rumahnya, Dullah. Pemberian itu justru menimbulkan masalah pada keluarga Jan Buskes.
Ketika Jan bertemu dengan Kees, dia menceritakan sebuah pemandangan yang menurutnya
perlu mendapat perhatian serius, yaitu ketika dia melihat Dullah mengendarai fiets,
Mardiani & Dwi Rezki Hardianto Putra Rustan
233 |
©2023, Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 12(2)
mengenakan pantalon dan sandal. Jan sangat terganggu dengan pemandangan itu. Namun, Kees
berpandangan lain dengan menggap Dullah setara dengan dirinya, meskipun niatnya adalah
menaklukkan hati para pribumi. Penaklukan itu terbukti ketika Dullah tetap mengikuti
keinginan Kees. Maka, ia membiarkan Dullah, Bejo dan Kliwon tetap duduk di kereta angin
(sepeda). Percakapan Jan dan Kees diakhiri dengan perselisihan. Hingga pada akhirnya, Kees
membuktikan kesetaraan itu dengan mengajak Jan dan keluarganya berjalan-jalan ke candi-
candi. Di tengah perjalanan, Jan terkejut melihat monyet-monyet (atau Pribumi) mengendarai
sepeda. Ketika kendaraan mereka berhenti, mereka bergegas turun dan tak disangka Dullah
lewat. Sejenak, Kees memanggil Dullah dan menyuruhnya untuk pergi ke bengkel Tuan Guus
yang tidak jauh dari lokasinya dan dengan cekatan Dullah naik ke atas sepeda dan mengikuti
perintah Kees.
Dari sinopsis di atas, maka asumsi yang dapat disimak adalah adanya gejala hibriditas
kultural di antara Kees (Belanda) dan Dullah (Pribumi) melalui peniruan atau interaksi identitas
di antara keduanya. Peniruan (mimikri) itu rupanya dipicu oleh sesuatuseperti kesetaraan
atau motif lainyang menganga di antara keduanya. Padahal hibriditas itu sebenarnya
berbentuk layaknya ruang dalam memproduksi dan mempertahankan wacana kekuasaan atau
status quo melalui replikasi identitas kultural (Bhabha, 2012; Loomba, 2016). Hibriditas itu
tentu dipicu melalui kebebasan subjek terjajah dalam mereplikasi kedirian subjek penjajah,
meskipun tidak sepenuhnya sama (Bhabha, 2012). Meski begitu pada akhirnya kebebasan itu
juga berimplikasi dikebiri melalui ketidakpastian identitas. Dengan demikian, berdasarkan
uraian singkat itu, maka penelitian ini bertujuan untuk menelanjangi teks DAKA dengan
mengikuti perjalanan subjek terjajah di dalam ruang hibriditas menggunakan optik poskolonial
Homi K. Bahbha. Penelusuran itu diformulasikan melalui dua rumusan masalah: (1) Bagaimana
identitfikasi subjek subjek terjajah menjadi orang Eropa melalui mimkiri dalam DAKA? dan (2)
Bagaimana ruang hibriditas terbentuk sebagai konsekuesi perjumpaan antara penjajah dan
terjajah dalam DAKA. Bagi penulis, sangat penting untuk mengurai beberapa peneltian yang
membahas DAKA sebagai objek material, dan konsep poskolonial Bhabha sebagai objek
formal.
Namun, sejauh mata memandang, tidak satupun penelitian yang secara khusus
menjadikan DAKA sebagai objek material. Kendati begitu, terdapat beberapa karya Iksaka Banu
yang ditelanjangi melalui konsep poskolonial Bhabha: Pertama, penelitian (Abdullah &
Rabbani, 2022) yang berjudul Identitas Tokoh Pribumi dalam Cerpen Penunjuk Jalan Karya
Iksaka Banu: Kajian Pascakolonial Homi K. Bhabha. Penelitian ini dimulai dari konsepsi
hibriditas yang melahirkan interaksi simbolik atau mimikri. Selanjutnya, artikel dengan judul
Jejak Kolonial dalam Kumpulan Cerpen “Teh dan Penghianat” Karya Iksaka Banu (2021)
dengan membahas hibriditas, mimikri dan ambivalensi dalam kumpulan cerpen tersebut. Akan
tetapi, Kautsar (2021), tidak membahas secara keseluruhan kumpulan cerpen itu, melainkan
hanya mengambil beberapa contoh cerpen yang berkaitan dengan objek formalnya.
Selain karya Iksaka Banu, beberapa karya sastra juga telah diteliti menggunakan optik
Bhabha, beberapa di antaranya: pertama, jurnal berjudul Crisis of Identity and Mimicry in
Orwell's Bumese Days seen through a Local Native Character U Po Kyin: A Postcolonial
Reading oleh Perdana & Wardani (2017). Dalam penelitian ini, mereka menggunakan dua
konsep pembacaan poskolonialyaitu krisis identitas Rutherford-Ashcroft dan mimikri a la
Bhabhadalam menganalisis pengalaman U Po Kyin dalam novel Bumese Days karya Orwell.
Kedua, penelitian berjudul Failure of Identity Formation in Jean Rhys's Wide Sargasso Sea: A
Study of Hybridity and Mimicry oleh Moosavinia & Al-Muslimawi (2022). Terakhir, penelitian
dari Zeng & He (2021) dengan judul Semiotics of Postcolonial Exile in Vijay Seshadri. Jurnal
ini terakhir ini cukup menarik karena mengelaborasikan tiga optik yaitu Said, Bhabha, dan
Baudrillard untuk melihat alienasi semiotika poskolonial dalam puisi-puisi Vijay Seshadri.
Di Atas Kereta Angin: Berjalan.....
| 234
©2023, Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 12(2)
Meski begitu, dari keseluruhan penelitian sebelumnya terdapat dua garis besar masalah
yang ditangkap oleh penulis: Pertama, beberapa penelitian sebelumnya memiliki sedikit
misinterpretasi dalam mengoperasikan konsep Bhabha; Kedua, beberapa penelitian belum
dapat secara komprehensif dalam menyesuaikan antara metode dan pengoperasiannya di
pembahasan, sebagaimana permasalahan ini dapat disimak dari jurnal Zeng dan He. Dengan
demikian, beberapa permasalahan itulah yang membedakan dengan tulisan ini.
LANDASAN TEORI
Mungkin nama Homi K. Bhabha sudah tidak asing lagi di telinga kitaapalagi bagi
pembaca yang sering berhadapan dengan konsep-konsep poskolonial. Teori poskolonial
Bhabha berkutat pada beberapa konsep, yaitu mimikri/mockery, space, hibriditas, ambivalensi,
dan sebagainya. Namun, apabila beberapa penelitian sebelumnya membahas konsep Bhabha
beranjak dari mimikri dan hibriditas, maka penulis justru pmemulai dari pertanyaan yang
fundamental, mengapa mimikri dan tatanan hibrid itu bisa eksis di antara subjek terjajah dan
penjajah? Konsep-konsep Bhabha setidak-tidaknya diilhami oleh beberapa pemikir
sebelumnya, yaitu Lacan, Fanon, Gramci, Foucault dan sebagainya.
Persoalan hasrat adalah yang paling fundamental ketika membicarakan mimikri. Hasrat
kepada yang-Lain inilah yang memicu terjadinya proses peniruan (mimikri). Menurut Bhabha,
2012), “mimicry is the desire for a reformed, recognizable Other, as a subject of a difference
that is almost the same, but not quite”. Bhabha dalam konsep ini menggunakan huruf “O” besar
yang memicu proses peniruan. Hal ini diartikan bahwa Other tersebut berbeda dengan
penggunaan “other. Konsep ini diilhami dari konsep Lacan yang dikembangkan oleh Bhabha.
Bagi Lacan (1991), konsep “othermengacu pada objek penyebab hasrat (object a), sedangkan
Other” mengacu pada pusat otoritas simbolik—atau disebut oleh ayah simbolik yang bertugas
menentukan cara pandang subjek. Dalam konteks poskolonial yang berlakon sebagai pusat
otoritas adalah penjajah itu sendiri.
Petanda dari other ini dicontohkan oleh Bhabha menggunakan konsep liberty
(kebebasan) setelah era pencerahan di Eropa (Bhabha, 2012). Dalam konteks ini, konsep
“kebebasan” tentu bebas diimajinasikan oleh subjek kolonialkonteks budak di era ituuntuk
direpresentasikan melalui peniruannya pada kekuasaan. Akan tetapi, dalam proses
representasional tersebut, otoritas simbolik (penjajah) mengikutkan wacana
kekuasaan/pengetahuan untuk mendisiplinkan tubuh terjajah. Dalam konteks ini, bagi Bhabha
(2012), mimikri hadir sebagai strategi dari kekuasaan untuk mendistribusikan kepentingannya
melalui ketidaksadaran subjek terjajah. Akibat dari distribusi kekuasaan tersebut, maka subjek
terjajah tidak akan pernah merasakan “kebebasan” yang sepenuhnya. Kebebasan tersebut
dijarah dan selalu diatur sesuai dengan keinginan kekuasaan. Dengan kata lain, hadirnya
kebebasan yang diatur itu dianggap sebagai wacana ambivalen sejak dari awal terciptanya.
Oleh karena itu, wacana ambivalen tersebut menjadi dasar dari terbentuknya proses
mimikri tersebut. Hal ini diperjelas oleh Bhabha (2012), bahwa “mimicry is constructed around
an ambivalence”. Karena dari awal mimikri terkonstruksi di sekitar wacana ambivalensi, maka
mimikri pada akhirnya juga dilanda ketidakpastian (Bhabha, 2012). Ketidakpastian keselipan,
kelebihan, perbedaan yang terus menerus. Itulah sebabnya, Bhabha mengatakan subjek dalam
mimicry… that is almost the same, but not quite”.
Kendati begitu, dengan ketidakpastian itu dapat mengubah mimikri menjadi ejekan
(mockery). Menurut Bhabha (2012), ketidakpastian tersebut menjadikan subjek peniru yang
eksis secara parsial atau tidak lengkap. Akibatnya, ketidakutuhan atau ketidakpastian tersebut
dapat dibalik oleh subjek kolonial melalui sebuah representasi yang laindiluar dari objek,
seperti tindakan, cara berpakaian yang dicitrakan atau dihadrikan oleh penjajah. Hal ini
berimplikasi pada kegagalan strategis pendisiplinan subjek kolonial dalam mimikri itu sendiri
Mardiani & Dwi Rezki Hardianto Putra Rustan
235 |
©2023, Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 12(2)
sehingga mimikri tidak hanya berbicara kemiripan, tapi sekaligus ancaman (Bhabha, 2012).
Meskipun demikian, subjek kolonial mengalami ketidakutuhan identitas yang mengakibatkan
dirinya berada di ruang hibriditas. Ruang inilah yang menjadi konsekuensi dari perjumpaan
antara penjajah dan terjajah. Ruang ini disebut oleh Bhabha seabgai liminal space.
Mengenai hibriditas sebagai ruang perjumpaan, Bhabha sebenarnya tidak konsisten
dalam menandai pada ruang itu. Terkadang menyebutnya sebagai ruang liminal (Bhabha,
2012), di satu sisi menyebutnya sebagai ruang ketiga (Bhabha & Rutherford, 1990). Akan tetapi
substansinya tetap sama, ruang tersebut merupakan tempat terjadinya negosiasi, sekaligus
kontestasi kebudayaan di antara keduanya (Bhabha, 2012; Bhabha & Rutherford, 1990). Dengan
demikian, hibriditas sebagai ruang menjadi konsekuensi dari perjumpaan antara penjajah dan
terjajah (Setiawan, 2023). Dalam ruang tersebut kemungkinan-kemungkinan lain bisa saja
terjadiseperti munculnya struktur otoritas baru hingga bentuk politik baru (Bhabha &
Rutherford, 1990).
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, khususnya metode
studi literatur (Ahimsa-Putra, 2009). Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data berupa kata-kata tertulis (Bogdan, Robet, Biklen, 2007; Moleong, 2018).
Dari metode ini terdapat dua langkah untuk memecahkan masalah penelitian, yaitu metode
pengumpulan data dan analisis data. Metode pengumpulan data adalah seperangkat cara atau
teknik yang merupakan perpanjangan pancaindra manusia karena tujuannya untuk
mengumpulkan fakta-fakta empiris yang berkaitan dengan masalah penelitian (Faruk, 2017).
Objek data penelitian ini berasal dari dua objek, yaitu cerpen DAKA karya Iksaka Banu sebagai
objek material dan konsep poskolonial Homi K. Bhabha sebagai objek formal. Keduanya
merupakan sumber data.
Sumber data itu dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer
dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara membaca secara ketat teks dalam DAKA,
kemudian mencatat konsep-konsep yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dalam konteks
ini, membaca ketat adalah upaya melibatkan keterampilan kognitif dalam menghasilkan suatu
interpretasi mendalam di hadapan teks (Phelan, 2021). Sementara itu, data sekunder
dikumpulkan dengan cara membaca konsep-konsep, pemikiran, cara pandang, peristiwa, dan
hal-hal yang berkaitan dengan teks DAKA dan konsep poskolonial Bhabha. Data sekunder ini
bersumber dari buku, jurnal, majalah, laporan penelitian, makalah seminar, internet, dan lain-
lain yang dapat mendukung tujuan penelitian ini.
Data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode dekonstruksi. Analisis ini
diterapkan sebagai upaya untuk membongkar atau mendekonstruksi hubungan-hubungan yang
terbangun dalam pembentukan cerpen DAKA. Hal ini dilakukan bertolok dari asumsi yang telah
dikemukakan sebelumnya tentang hubungan dikotomis oposisi biner antara penjajah dan
terjajah. Oleh karena itu, pembongkaran terhadap oposisi biner dalam formasi teks tersebut,
digunakan untuk menemukan pola relasi yang lebih adil dan seimbang, termasuk kemungkinan
penyangkalan terhadap asumsi dasarnya atau membongkar sebuah mimesis (imajinasi teks)
yang mapan (Derrida & Attridge, 1992; Noor, 2002). Tujuannya dimaksudkan sebagai proses
pencarian efek kolonialisme dalam teks (Allen, 2004).
Identifikasi data secara dekonstruktif dimulai dengan mengidentifikasi oposisi biner
dalam teks, kemudian membalikkannya untuk menunjukkan pertentangan atau pengaburan
hirarki atau batas-batas di antara keduanya sesuai dengan prinsip dekonstruksi. Melalui prinsip
tersebut, tahapan yang dilalui adalah pertama, mengklasifikasikan dan menganalisis data dari
sumber pustaka yang menunjukkan adanya oposisi biner penjajah dan yang terjajah melalui
data sekunder yang dihubungkan dengan data primer yang ada berupa narasi dalam cerpen. Hal
Di Atas Kereta Angin: Berjalan.....
| 236
©2023, Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 12(2)
ini bertujuan untuk menunjukkan adanya pengelompokan identifikasi yang mengindikasikan
adanya oposisi tertentu melalui tokoh-tokoh yang ada di dalam DAKA. Kedua, membalik
penanda yang berasal dari data oposisi tersebut untuk menyelidiki lebih lanjut mengenai
mimikri dan hibriditas yang menjadi tujuan penelitian ini. Ketiga, menarik kesimpulan.
PEMBAHASAN
Pada dasarnya, kelahiran teks DAKA, tidak terlepas dari konteks historis yang berupaya
diimajinasikan kembali oleh Iksaka Banu menjadi sebuah karya sastra. Konteks historis DAKA
memiliki referensi dengan kondisi politik, sosial, dan budaya yang terjadi di era kolonialisasi
Belanda. Jika membaca sekilas (fast reading) keseluruhan isi teks DAKA, maka citra yang
terpotret adalah adanya hubungan humanis antara Dullah (Pribumi) dan Kees. Meski di sisi
lain, terdapat pula pemikiran atau anggapan merendahkan Pribumi yang datang dari Jan Busket.
Kees menganggap perlakuan humanisseperti disetarakan dan diberikan keadilankepada
pribumi dipandang sebagai bentuk perubahan dan kemajuan. Namun, bagi Jan, pribumi mesti
ditangani dengan keras untuk melayani pemerintahan Hindia. Narasi humanisasi yang dibawa
oleh Kees tekesan mengafirmasi padangan Iksaka Banu melalui wawancanya bersama
Swarnasta (2020), bahwa tokoh-tokoh utama Belanda dalam cerpennyatermasuk DAKA
ternyata memiliki sisi humanis. Dengan demikian, karena “zaman sudah berubah” (Banu, 2019:
95), dan atas nama “keadilan dan kesetaraan” (Banu, 2019: 97), maka Kees memberikan sedikit
kebebasan kepada Dullah beserta pribumi atau bumiputra lainnya untuk mengidentifikasi
kediriannya melalui identitas yang melekat pada dirinyadan juga pada orang Eropa lainnya.
Penanda tentang “zaman (yang) sudah berubah” dan adanya “keadilan dan kesetaraan”
tercitra pada situasi dan kondisi pada awal abad ke 20 di Hindia Belanda, yaitu ketika terjadi
perubahan sikap politik dari pemerintahan Hindia Belanda terhadap pribumi. Perubahan itu,
terjadi dari yang eksploitatif ke politik kesejahteraan. Model perubahan itulah yang
membuahkan perkembangan yang signifikan (Faruk, 2007). Perubahan pandangan politik itu
disublimasi melalui sebuah kebijakan yang disebut politik etis. Kebijakan itu memuat tiga
gagasan yang dianggap mampu mensejahterakan pribumi, yaitu transmigrasi, irigasi, dan
edukasi. Melalui kebijakan itu pula maka terbukalah sebuah ruang dapat memicu kemungkinan-
kemungkinan baru yang muncul dari pribumisalah satunya munculnya resistensi dari pribumi
terpelajar. Namun, apakah ruang tersebut mampu dimanfaatkan oleh pribumijika melihat
keberadaan DAKAuntuk melakukan resistensi atau malah sebaliknya?
Kendati demikian, sebelum mendapatkan jawaban tersebut, maka penulis beranjak dari
pertanyaan yang cukup ontologis, mengapa Kees memberikan kebebasan itu agar pribumi dapat
menemukan “keadilan dan kesetaraan” tersebut? Apakah karena “zaman sudah berubah”?
pertanyaan ini perlu ditelusuri secara ketat melalui close reading terhadap teks DAKA.
Penelusuran ini dilakukan untuk melihat wacana-wacana lain di balik wacana tersebut. Alih-
alih melakukan humanisasi, tetapi justru berimplikasi sebaliknyaterjadi ambivalensidi
ruang hibriditas.
Mimkri dalam DAKA: Identifikasi Subjek Terjajah Menjadi Orang Eropa
Sebagaimana yang telah dinarasikan sebelumnya bahwa humanisasi melalui “keadilan
dan kesetaraan” dan “zaman sudah berubah” memberikan kebebasan pada Dullah dan
bumiputra dalam DAKA untuk mengidentifikasi atau melakukan mimikri (peniruan) terhadap
identitas yang melekat pada dirinya. Dengan kata lain, Dullah dan bumiputra menjadikan narasi
humanisasi tersebut sebagai a priori untuk melakukan pencitraan melalui peniruan pada
identitas orang Eropa. A priori tersebut berupa abstraksi pengetahuan yang hanya dapat didapati
melalui pengalaman (Kant, 2007). Jika menggunakan konsepsi Lacanian, a priori itu ibarat
objek penyebab hasrat (Bracher, 1997; Lacan, 2006). Melalui a apriori atau objek penyebab
Mardiani & Dwi Rezki Hardianto Putra Rustan
237 |
©2023, Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 12(2)
hasrat itu, Dullah dan bumiputra mengkospetualisasikannya melalui pengalaman mimikri untuk
setara dan berlaku adil seperti dengan orang Eropa.
Mimkri pada dasarnya merupakan hasrat subjek untuk menjadi seperti seperti yang-lain.
Proses menjadi atau meniru tersebut hampir sama dengan yang-lain, tetapi tidak sepenuhnya
sama (Bhabha, 2012). Dalam DAKA terdapat dua mimkri yang dicitrakannya, yaitu cara
berpenampilan dan bertingkah laku seperti orang Eropa.
Bujangmu. Tadi orang itu dengan bebas mengendarai fiets. Mengenakan pantolan
dan selop kaki pula,” sahut Jan. “Menurutku itu agak keterlaluan. Bukan demikian?
Apakah semua sepengetahuanmu?” (Banu, 2019: 93).
Akhirnya di kota-kota besar seperti Batavia, Bogor, Semarang, Surabaya, Bandung,
Pemerintah membolehkan bumiputra mendirikan sekolah, mengenakan busana
Eropa, serta mengendarai fiest. Kereta angin kata orang Melayu. Alias sepeda …]Di
beberapa tempat, mereka bahkan bisa menghadap pembesar tanpa harus bersimpuh
di lantai. Jangan lupa, para bumiputra kini juga mahir berdansa tango saat
rohaniawan kita masih menganggap tarian itu berasal dari liukan cabul para wanita
Negro,” (Banu, 2019: 97).
Dari dua kutipan tersebut, terdapat beberapa penanda yang menjadi mimikricara
berpenampilan dan bertingkah lakuDullah dan bumiputra. Dullah dalam hal ini sebagai
Bujang dari rumah Kees “mengenakan pantalon dan selop kaki”. Sementara itu, bumiputra
boleh “mendirikan sekolah”, “mengendarai fiest”, “bisa menghadap pembesar tanpa harus
bersimpuh”, dan “berdansa tango”. Semua penanda-penanda tersebut berasal dari tubuh orang-
orang Eropa. Peniruan tersebut tidak lain karena adanya narasi yang lahir dari tempat subjek
mengidentifikasinyagaze kolonialuntuk mewujudkan “kesetaraan dan keadilan” dan
membuktikan bahwa “zaman sudah berubah”.
Sebagaimana yang diasusmsikan oleh Bhabha (2012), bahwa subjek kolonial berlaku
seperti itu karena memiliki hasrat menjadi yang-lain. Dalam konteks ini, Bhabha (2012)
berpandangan bahwa mimikri tersebut ibarat sebuah fantasi untuk mencapai hasrat menjadi
yang-lain. Menurut Fanon (2008), hasrat kolonial diartikulasikan sebagai ruang berfantasi.
Artinya, “kesetaraan dan keadilan” dijadikan sebagai ruang berfantasi atau dalam konteks ini
hanya dapat diperoleh melalui peniruan Dullah atau bumiputra terhadap orang Eropa. Dengan
kata lain, orang Eropa seolah-olah memanggil subjek melalui konsepsi “kesetaraan dan
keadilan”, serta “zaman sudah berubah” untuk memetaforakan atau mengidentifikasi dirinya
sendiri melalui mimikri.
Kendati demikian, mimikri cara berpenampilan dari Dullah tidak sepenuhnya sama
dengan orang-orang Eropa. Hal ini kemudian dispesifikasi dan lebih detail melalui pandangan
Kees di hadapan Jan:
Ia tetap masih mengenakan sarung yang digulung sepinggang. Bagaimana pula
telapak kakinya bisa mengayuh pedal licin saat musim hujan seperti ini bila tidak
berkasut? Ia pun masih memakai ikat kepala. Pendeknya, secara keseluruhan
penampilannya masih jawa seperti warga lainnya. Orang tidak akan keliru mengira
ia seorang eropa,” (Banu, 2019: 94-5).
Narasi dialog tersebut, memperlihatkan bahwa Dullah “masih mengenakan sarung” dan
“memakai ikat kepala”. Artinya, terdapat ketidakpastian dalam cara berpenampilan Dullah. Di
satu sisi, Ia mengenakan “pantalon” dan “selop kaki” seperti penampilan orang Eropa, tetapi di
sisi lain, Ia juga mengenakan “sarung” dan “ikat kepala” yang menandakan dirinya masih
terlihat seperti orang Jawa. Fenomena ini tentu dianggap sebagai bentuk artikulasi ganda pada
diri Dullah atau mengalami kegegeran identitas. Bhabha (2012) kemudian berpandangan,
Di Atas Kereta Angin: Berjalan.....
| 238
©2023, Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 12(2)
bahwa mimkri tidak pernah sampai pada identifikasi sepenuhnya pada yang-lain. Mimikri
subjek kolonial akan bermuara pada a sign of double articulation (Bhabha, 2012: 122).
Dengan kata lain, dalam mimkri itu sendiri terjadi mekanisme penolakan pada bentuk
keseluruhan identitas yang-lain. Bahkan lebih jauh, mimikri menjadi sekaligus ancaman dalam
meresistensi (Bhabha, 2012; Latupapua, 2011). Bhabha kemudian menyebutnya sebagai
mockery (ejekan).
Dalam DAKA tentu terdapat beberapa mimikri yang terkesan menjadi mockery.
Pandangan yang dilontarkan oleh Jan Busketpada kutipan sebelumnyaketika melihat
Dullah di jalanan bebas mengendarai fiets. Mengenakan pantolan dan selop kaki,”(Banu,
2019: 93), membuat diriya merasa terganggu. Selain itu, Jan juga mengutarakan responnya
terhadap bumiputra yang mengendarai fiets (sepeda).
Kau benar, Kees. Di pagi bermandi matahari ini, sekarang aku dapat melihat dengan
jelas yang kau katakan tadi malam: Monyet-monyet naik sepeda! (Banu, 2019:
101).
Perkatan itu secara simbolik membentuk oposisi biner antara Eropa yang beradab dan
Pribumi yang tidak beradabseperti binatang. Seolah-olah bumiputra yang “mengendarai
sepeda” telah mengolok-olokmenganggu pandangandirinya. Dalam artian, melalui optik
Jan, secara tidak langsung bumiputra dan Dullah telah melakukan resistensi kultural. Menurut
(Bhabha, 2012), sebenarnya di antara mimikri dan mockery terdapat tujuan dalam membentuk
dan mengadabkan subjek, meskipun mimikri itu menganggu cara pandang, di mana peniruan
itu berasal. Lebih lanjut Bhabha (2012) meminjam istilah Lacan, bahwa mimikri ibarat
kamunflase dan menjadi strategi dalam memproduksi kedirian melintasi batas-batas kultural.
Berhubungan dengan itu, yang membedakan antara mimikri dan kamuflase terletak pada
pasifikasi subjek kolonial atau pribumi. Dalam kaitannya, asumsi yang dibangun oleh Bhabha
(2012) adalah munculnya fenomena penggunaan sekaligus penyalahgunaan (use and abuse)
dalam diri subjek kolonial yang berkaitan dengan mimikri tersebut. Dengan kata lain, subjek
kolonial memakai citra diri sebagai pribumi dan kehadiran penjajah yang parsial dan virtual
dalam dirinya secara bersamaan dengan memunculkan resistensi terhadap otoritas kolonial. Hal
tesebut berarti, mimikri merupakan sebuah bentuk pasifikasi yang menyerap citra kolonialis
sekaligus mengganggu pandangan mata mereka, tetapi pada akhirnya digunakan dalam rangkah
pengingkaran atau perlawanan pasif, sementara kamuflase lebih bersifat aktif untuk tujuan
menyerap citra-citra dari luar dirinya (Latupapua, 2011). Setiawan (2023) mengutip Bhabha
dengan menyebutkan mimikri secara gamblang sebagai reaksi yang melampaui stereotip.
Dalam DAKA, bagi Jan Buskes, gangguan mimikri tersebut tidak hanya dirasakan oleh
kelompoknya, melainkan juga para bangsawan bumiputra, sebagaimana teks berikut ini:
“’Nah, mengapa bujangmu naik fiets dan memakai pantatol Eropa?’ Jan Buskes
mendekatkan wajahnya kepadaku ‘Bukan kelompok kita saja yang akan tersengat
melihat hal semacam itu. Tapi juga para bangsawan bumiputra. Bagi mereka
pantalon dan sepatu adalah pembeda kedudukan priyayi dan kawula. Jangan
membuat mereka merasa terhina.’,(Banu, 2019: 94)
Sebenarnya ketika membaca teks ini, konteks dari frasa “merasa terhina” diimplikasikan
secara tidak langsung juga dirasakan oleh Jan Buskes. Meski pandangan tersebut diutarakan
melalui citra “bangsawan bumiputra”. Dalam artian, narasi di atas menjadikan citra
“bangsawan” tersebut sebagai topeng pada dirinya sendiri. Lantaran merasa terhina akan apa
yang dikenakan dan dilakukan oleh Bujang Kees, maka secara otomatis Dullahsecara
simboliksadar atau tidak sadar sedang melakukan perlawananatau dapat disebut
Mardiani & Dwi Rezki Hardianto Putra Rustan
239 |
©2023, Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 12(2)
mendekonstruksi peniruan identitasnyamelalui mimikri tersebut, meski perlawanan itu
adalah selemah-lemahnya perlawanan (pasifitas).
Ketika mimikri berlangsung dalam produk-produk representasional yang menggaggu
keutuhan wacana/pengetahuan yang berada dalam relasi kekuasaan berbasis oposisi biner,
maka hal itu memberikan efek peruntuhan dan ketidakhadiran budaya otentik atau orginalitas
kedirian subjek. Dengan kata lain, hilangnya keontentikan tersebut merupakan konsekuensi dari
mimikri itu sendiri, sebagaimana dalam DAKA melalui Kees ketika mengomentari kedirian
Dullah:
“Pendeknya, secara keseluruhan penampilannya masih Jawa seperti warga lainnya.
Orang tidak akan keliru mengira ia seorang Eropa,” (Banu, 2019: 95).
Efek dari ketidakhadiran budaya otentik itu, menjadikan subjek mengalami kondisi yang
hibrid di antara “Jawa” dan “Eropa”. Kondisi yang hibrid inilah yang menciptakan sebuah ruang
yang disebut sebagai hibriditas atau liminal space.
Hibriditas sebagai Ruang: Konsekuensi Perjumpaan Penjajah-Terjajah dalam DAKA
Mengenai hibriditas sebagai ruang perjumpaan, Bhabha sebenarnya tidak konsisten
dalam menandai pada ruang itu. Terkadang menyebutnya sebagai ruang liminal (Bhabha,
2012), di satu sisi menyebutnya sebagai ruang ketiga (Bhabha & Rutherford, 1990). Akan tetapi
substansinya tetap sama, ruang tersebut merupakan tempat terjadinya negosiasi, sekaligus
kontestasi kebudayaan di antara keduanya (Bhabha, 2012; Bhabha & Rutherford, 1990). Dengan
demikian, hibriditas sebagai ruang menjadi konsekuensi dari perjumpaan antara penjajah dan
terjajah (Setiawan, 2023). Dalam ruang tersebut kemungkinan-kemungkinan lain bisa saja
terjadiseperti munculnya struktur otoritas baru hingga bentuk politik baru (Bhabha &
Rutherford, 1990).
Pada pembahasan sebelumnya, kita dapat melihat bahwa mimikri menegasikan sebuah
penundaan (different) pada identitas yang otentikDullah dan Bumiputra yang berada di antara
“Jawa” dan “Eropa” dan kabur dari proses identifikasi. Meskipun sebenarnya otentisitas dari
identitas itu tidak pernah ada, sebab di mana pun dan pada waktu apa pun, tubuh selalu
mengalami proses penundaan identitas melalui perjumpaan dengan identitas-identitas lainnya.
Fenomena ini diakibatkan karena terjadi goncangan makna(citra) yang melekat pada identitas
(Bhabha, 1990a).
Sebenarnya ruang hibrid dalam DAKA tidak hanya diciptakan oleh yang terjajah
melalui mimikri dan mockerynya, tetapi faktanya sumbu terbentunya ruang ini dipicu oleh Kees
beserta penjajah lainnya. Mereka kemudian memulai menyalakan sumbu tersebut ketika dirinya
merasakan kegelishan (anxiety) dengan apa yang terjadi di dunia kala ituterjadinya
pemberontakan dan perlawanan di mana-mana:
“Misalnya, sejak revolusi Cina berhasil menumbangkan dinasti Manchu, banyak
orang Cina di Hindia Timur ingin dipersamakan haknya menjadi warga kelas satu,”
(Banu, 2019: 97).
“Kaitannya, perubahan itu memberi inspirasi kepada bumiputra untuk mencari
keadilan dan kesetaraan serupa. Terutama setelah perkumpulan Budi Utomo dan
Sarikat Dagang Islam berdiri,” (Banu, 2019: 97).
“Saat ini berita ketidakadilan, baik yang benar-benar terjadi…dengan cepat akan
tersebar ke seluruh dunia melalui surat kabar dan kawat telegram. Alih-alih
mendapat dukungan, dunia justru akan menekan kita. Menganggap kita tiran,”
(Banu, 2019: 98).
“Sehingga tragedi terusirnya Spanyol dari Kuba dan Filipina tidak terjadi di sini.
Apa Jadinya bila jutaan penduduk Hindia ini memberontah kepada kita yang hanya
ratusan ribu jumlahnya, lantaran merasa diperlakukan tidak adil?” (Banu, 2019:
98).
Di Atas Kereta Angin: Berjalan.....
| 240
©2023, Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 12(2)
Dari kutipan-kutipan itu, Kees menjadikan peristiwa-peristiwa di “revolusi Cina”,
“terusirnya Spanyol dari Kuba dan Filipina”, serta “setelah perkumpulan Budi Utomo dan
Sarikat Dagang Islam berdiri”. Peristiwa-peristiwa itu menjadikan “keadilan dan kesetaraan”
sebagai tujuan yang serupa. Maka dari itu, Kees beserta pemerintahan Hindia di beberapa
tempat membuka ruang baru yang seolah-olah adil dan setara. Setidak-tidaknya Dullah dan
bumiputra dapat merasakan “sedikit” kesetaraan dan keadilan ketika berjalan di ruang tersebut,
meskipun tidak sepenuhnyamelalui mimikri identitas.
Akibat dialektika di antara keduanyapenjajah dan terjajah, maka lahirlah ruang ketiga
atau ruang hibriditas. Keberadaan ruang ketiga sebenarnya adalah sublasi dari keberadaan
ruang pertama dan ruang kedua. Menurut Setiawan (2023), ruang pertama dianggap sebagai
ruang otoritas yang dimiliki oleh penjajah, ruang kedua sebagai resistensi terhadap penundukan
yang berasal dari ruang pertama, dan ruang ketiga adalah hasil dari perjumpaan di antara
keduanya dan tidak dimiliki oleh keduanya. Tidak ada identitas yang superior di dalam ruang
tersebut, semuanya terlihat kabur dan tertunda di tengah-tengah sehingga dalam DAKA Dullah
dan bumiputra mengalami identitas yang terbelah dan hibrid di antara “Jawa” dan “Eropa”.
Meski begitu, melalui kekaburan identitas itu, ruang ini menawarkan bagi terjajah untuk
menyelewengkan wacana induknya (Loomba, 2016). Meskipun sebaliknya, penjajah dapat
mempertahankan status quonya. Pada akhirnya, secara tentatif, ruang hibrid sebagai ruang
antara, senyatanya hanya menjadi ruang kontestasi sekaligus negosiasi, meski tidak ada satu
pun yang memilikinya. Namun, karena ketidaan itu, maka setiap di antara mereka dapat
menjarahnya dan terkadang melahirkan ambivalesi di ruang hibriditas itu.
Dalam DAKA konteks negosiasi diikuti oleh intrik-intrik politik kekuasaan. Meskipun
Kees memproyeksikan “keadilan dan kesetaraan” serta “zaman sudah berubah” itu melalui
pembebasan subjek terjajah dalam mengidentifikasi kediriannya. Akan tetapi, objek abstrak
yang diproyeksikan itu melalui mimikri di ruang hibriditas ternyata berpotensi mengalami
ambivalenibarat fatamorgana yang selalu tertunda dan lenyap ketika terlihat sangat dekat.
Perhatikan kutipan-kutipan di bawah ini:
Maka, dengan upaya sederhana, seperti membiarkan Dullah, Si Bejo, atau Si
Kliwon duduk di atas kereta angin, sesungguhnya kita sedang melunakkan hati
mereka. Melukis citra baik kita di mata mereka. Sehingga tragedi terusirnya
Spanyol dari Kuba dan Filipina tidak terjadi di sini,(Banu, 2019: 98).
Untuk masalah lain, mungkin aku percaya. Tetapi soal pakaian dan fiets, maaf,
aku tak percaya. Sudah enam bulan bujangku memakai pakaian seperti itu dan naik
sepeda. Ia justru tambah setia denganku” (Banu, 2019: 98).
Tujuan Kees beserta koloni-koloni lainnya di sebagian Hindia sebenarnya memiliki motif
lain. Motif tersebut tercitrakan melalui “sesungguhnya kita sedang melunakkan hati mereka”
dan melalui pakaian dan fiets, Dullah dapat bertambah setia dengannya. Citra-citra tersebut
menjadi tenyata menjadi motif kemunculan ruang hibriditas tersebut. Meskipun narasi
“keadilan dan kesetaraan” diseolah-olahkan hadir menjadi objek hasrat subjek terjajah.
Disinilah ambivalensi hibriditas itu hadir. Menurut Bhabha (1990b), ambivalesi (dalam ruang
hibrid) menjadi kekuatan yang dapat menundukkan, mereproduksi, menciptakan, memaksa dan
memandu arah subjek terjajah. Pada akhirnyadalam kaitannya dengan DAKAambivalensi
dalam ruang hibriditas malah mendisiplinkan tubuh terjajah. Keberadaan pendisiplinan dan
penundukan itu tertera dalam DAKA:
“’Ambil sepedamu, antar surat ini kepada Tuan Brummans, lalu tunggu sebentar.
Beliau akan memberikan dokumen yang harus kugarap di rumah sore nanti,’
Mardiani & Dwi Rezki Hardianto Putra Rustan
241 |
©2023, Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 12(2)
kataku.‘Baik, Ndoro.’ Dullah menerima amplop yang kuangsurkan, kemudian pergi
ke belakang. Sebentar kemudian ia sudah berada di atas fiets. Sarungnya digulung,
memperlihatkan pantalon hitam di bawahnya,” (Banu, 2019: 100).
“’Benar, Dullah. Sekarang dengarkan,’ kuraih bahu Dullah. ‘Lekas pergi ke bengkel
Tuan Guus, Katakan auto-ku mogok, perlu diderek ke bengkel. Setelah itu, cari
delman, suruh antar kami ke Prambanan’.‘Baik, Ndoro,’ sahut Dullah. Lantas dengan
cekatan ia menumpangkan kaki kiri ke atas pedal sembari mendorong fietsnya agak
kencang. Pada titik yang sudah diperhitungkan dengan cermat, ia melompat ke atas
sadel, kemudian mulai mengayuh kencang,” (Banu, 2019: 102).
Berdasarkan kutipan tersebut, secara eksplisit menarasikan tindakan Dullah yang
menunjukkan ketundukannya kepada Kees. Sebaliknya, Kees tidak terlalu menunjukkan
kegangguannya akan cara berpenampilan dan berprilaku dari Dullah serta bumiputra lainnya.
Meskipun di sisi lain terdapat ketakutan terhadap pemberontakan, tekanan dari dunia persoalan
ketidakadilan yang terjadi di Hindia, serta terusirnya pemerintah Hindia dan koloni-koloni
lainnya dari bumi Hindia. Namun, Kees berupaya untuk mendekonstruksi pula prilaku dan
panampilan Dullah sebagai ruang simbolis mendistribusikan kepentingan politiknya. Pada
akhirnya, perjalanan di antara Kees, koloni-koloni lainnya, Dullah, dan bumiputra tetap berada
di ruang hibriditas yang substansinya menjadi ruang kontestasi dan negosiasi politik-kultural.
Dengan melihat fenomena tersebut, terdapat beberapa kritik, baik terhadap Iksaka Banu
dan juga kepada konsep mimikri Bhabha. Pertama, penulis menyuarakan sisi humanis dari
tokoh utama Belanda dari cerpen-cepenyatermasuk DAKA. Namun, sebaliknya humanisasi
tersebut lantas memiliki makna tertunda (different) karena narasi humanisasi yang digaungkan
oleh Kees dalam DAKA malah berupaya mengkolonialisasi secara tidak sadar kepada Dullah
dan bumiputra. Kedua, dalam konteks cerpen DAKA, resistensi dari Dullah dan bumiputra tidak
menganggu secara universal. Artinya, pandangan Bhabha menyoal dekonstruksi mimicry as
mockery tidak berlaku pada keseluruhan tokoh Eropa di dalam DAKA. Meskipun hipotesis ini
hanyalah berupa penundaan makna. Bukannya tidak bersepakat dengan Bhabha, tapi penulis
berupaya membumikan realitas DAKA untuk melihat relasi antara konsep dari Bhabha dan
cerpen itu sendiri.
Selain itu, ketika melihat dari latar (setting) waktu DAKA, berarti narasi yang dibangun
oleh penulis merupakan ruang dan waktu di era kolonialisasi Belanda di Hindia. Artinya,
konsep poskolonial tidak dapatsecara serampangandimaknai sebagai pascakolonial yang
mengacu pada persoalan waktu setelah kolonian. Poskolonial mengacu pada segala aspek yang
berkaitan dengan kolonialisasibisa pula dimaknai sebagai beyond (melampaui) kolonialisasi
(Nurhadi, 2007). Hal ini dikarenakan kolonialisasi yang dilakukan sejak dahulu selalu
melibatkan kekerasan fisik atau militeristik, meskipun begitu justru di dalam DAKA kolonilisasi
dilakukan dengan wajah yang lain, bahkan menyentuh arena kultural. Konteks ini sedikit
bersinggungan dengan pandangan Ashcroft, Griffiths, & Tiffin (2003: 168), bahwa
postcolonialism…deals with the effect of colonialization on cultures and societies”. Oleh
karena itu, dengan mengambil DAKA sebagai satu objek material studi ini, maka poskolonial
dapat berbicara di luar ruang dan waktu tertentusaat era kolonialisasi masih berlangsung,
sebelumnya, atau sesudahnya.
SIMPULAN
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa cerpen DAKA karya Iksaka Banu
memproyeksikan adanya mimikri sebagai identifikasi subjek terjajah terhadap orang Eropa.
Selain itu, konsekuesi dari perjumpaan di antara keduanya memperoduksi ruang yang hibrid.
Menggunakan optik poskolonial Homi K. Bhabha, mimikri dalam DAKA dilakoni oleh Dullah
dan bumiputra terhadap orang Eropaseperti Kees dan koloni-koloni lainnya. Mimikri tersebut
Di Atas Kereta Angin: Berjalan.....
| 242
©2023, Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 12(2)
dipicu oleh hadirnya sebuah narasi atau wacana keadilan dan kesetaraan serta zaman sudah
berubah yang diproduksi oleh orang Eropa. Keberadaan wacana tersebut, memberikan ruang
bebas kepada Dullah dan bumiputra untuk dapat mengisinya dengan cara meniru atau
memfantasikan identitas yang melekat pada diri orang Eropa. Bentuk mimikri yang ditemukan
adalah cara berpenampilan dan bertingkah laku. Meskipun di sisi yang lain, mimikri yang
dilakukan oleh Dullah dan bumiputra ternyata menggangu penglihatan sebagian orang Eropa,
seperti Jan Buskes. Pada titik tersebut, mimikri ternyata dapat berubah menjadi mockery atau
olok-olokan. Meski begitu, mimikri yang dilakukan oleh Dullah dan bumiputra malah menunda
bahkan melenyapkan kehadiran otentisitas identitasnya dengan berada di antara Jawa dan
Eropaatau menjadi hibrid. Akibatnya, hubungan yang hibrid tersebut menciptakan sebuah
ruang yang disebut ruang hibriditas.
Ruang hibriditas dalam DAKA pada dasarnya adalah negasi yang diciptakan oleh
hubungan antara penjajah dan terjajah. Di satu sisi, Dullah dan bumiputra menggunakannya
untuk mencapai keadilan dan kesetaraan yang diciptakan oleh Kees dan koloni-koloni lainnya.
Akan tetapi di sisi lain juga menjadi ruang penjajah, Kees, dalam mendisiplinkan tubuh Dullah.
Keberadaan narasi keadilan dan kesetaraan yang digunakan untuk melunakkan hati Dullah dan
bumiputra lainnnya, ternyata melahirkan ruang hibriditas yang ambivalen. Alih-alih Kees ingin
menghumanisasi, tetapi malah sebaliknya. Kees berupaya untuk mendekonstruksi pula prilaku
dan panampilan Dullah sebagai ruang simbolis mendistribusikan kepentingan politiknya. Pada
akhirnya, perjalanan di antara Kees, koloni-koloni lainnya, Dullah, dan bumiputra tetap berada
di ruang hibriditas yang substansinya menjadi ruang kontestasi dan negosiasi politik-kultural.
Temuan tersebut tentu menegasikan pandangan Iksaka Banu yang menggap bahwa
dirinya telah menarasikan tokoh utama Belanda yang memiliki sisi humanis. Namun,
kenyataannya yang ditemukan malah terjadi kolonialisasi baru secara tidak sadar melalui
pelakonan Kees di DAKA. Selain itu juga ditemukan bahwa mimicry as mockery dari Bhabha
tidak berlaku pada keseluruhan tokoh Eropa di dalam DAKA, sebagaimana faktanya
diperlihatkan melalui Kees. Terakhir, melalui DAKA, kajian pokolonial dapat digunakan
meskipun DAKA memiliki latar waktu saat era kolonialisasi di Hindia berlangsung saat itu.
Artinya, poskolonial dapat berbicara di luar ruang dan waktu tertentusaat era kolonialisasi
masih berlangsung, sebelum, atau sesudahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, R. D., & Rabbani, I. (2022). Identitas Tokoh Pribumi dalam Cerpen Penunjuk Jalan Karya
Iksaka Banu: Kajian Pascakolonial Homi K. Bhabha. MIMESIS, 3(1), 1023.
Ahimsa-Putra, H. S. (2009). Paradigma Ilmu Sosial-Budaya Sebuah Pandangan. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.
Allen, P. (2004). Membaca, dan Membaca Lagi: (Re)interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995.
Magelang: Indonesiatera.
Ashcroft, B., Griffiths, G., & Tiffin, H. (2003). The empire writes back: Theory and practice in post-
colonial literatures: 2nd edition. The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial
Literatures: 2nd Edition. https://doi.org/10.4324/9780203426081
Banu, I. (2019). Teh dan Penghianat. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Bhabha, H. K. (1990a). Dissemination: time, narrative, and the margins of the modern nation. Dalam
H. K. Bhabha (Ed.), Nation and Narration (hlm. 1344). London: Routledge.
Bhabha, H. K. (1990b). Introduction: narrating the nation. Dalam H. K. Bhabha (Ed.), Nation and
Narration (hlm. 1344). London: Routledge.
Bhabha, H. K. (2012). The location of culture. The Location of Culture.
https://doi.org/10.4324/9780203820551
Bhabha, H. K., & Rutherford, J. (1990). The Third Space. Dalam J. Rutherford (Ed.), Identity:
Community, Culture, Difference (hlm. 1238). London: Lawrence & Wishart.
Mardiani & Dwi Rezki Hardianto Putra Rustan
243 |
©2023, Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 12(2)
Bogdan, Robet, Biklen, K. S. (2007). Qualitative research for education : an introduction to theories
and methods | Bogdan, Robert; Biklen, Sari Knopp | download. Alien and Bacon, Inc, New York.
Bracher, M. (1997). Lacan, Discourse, and Social Change: A Psychoanalytic Cultural Criticism. New
York: Comell University Press.
Derrida, Jacques., & Attridge, Derek. (1992). Acts of literature. Routledge.
Fanon, F. (2008). Black Skin White Masks. London: Pluto Press.
Faruk. (2001). Beyond Imagination, Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta: Gama Media.
Faruk. (2007). Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia. .
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faruk. (2017). Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal (4 ed.). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gandi, W. (2022). Kesaksian Pascakolonial dalam No Time Like The Present karya Nadine Gordimer:
Memori, Trauma, dan Upaya Pemulihan Subjek. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Kant, I. (2007). Critique of Pure Reason. England: Palgrave Macmillan.
Kautsar, S. A. Al. (2021). Jejak Kolonial Dalam Kumpulan Cerpen “Teh Dan Pengkhianat” Karya
Iksaka Banu. Bapala, 1(4).
Lacan, J. (2006). Écrits. New York: W.W.Norton & Company, Inc.
Latupapua, F. E. (2011). Inferioritas dan Mimikri: Kajian Poskolonial terhadap Lirik Lagu-Lagu
Populer Maluku Periode Tahun 2000-2010. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Loomba, A. (2016). Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Narasi.
Moleong, L. J. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif. XI. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moosavinia, S. R., & Al-Muslimawi, R. M. (2022). Failure of Identity Formation in Jean Rhys’s Wide
Sargasso Sea: A Study of Hybridity and Mimicry. The Indian Review of World Literature in
English, 18(1), 1014.
Noor, R. (2002). Mimikri dan Resistensi Radikal Pribumi terhadap Kolonialisme Belanda dalam
Roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Nurhadi. (2007). Poskolonial: Sebuah Pembahasan. Yogyakarta.
Oktiva, T., & Syamsudin, O. R. (2021). Unsur-Unsur Sejarah dan Nilai Pendidikan Karakter dalam
Kumpulan Cerpen Teh dan Pengkhianat Karya Iksaka Banu. Diskursus: Jurnal Pendidikan
Bahasa Indonesia, 4(1). https://doi.org/10.30998/diskursus.v4i1.8974
Perdana, B. E. G., & Wardani, E. D. (2017). Crisis of Identity and Mimicry in Orwell’s Burmese Days
Seen through a Local Native Character U Po Kyin: A Postcolonial Readin. Journal of Language
and Literature, 17(1). https://doi.org/10.24071/joll.v17i1.588
Phelan, J. W. (2021). Literature and Understanding; The Value of a Close Reading of Literary Texts.
Abingdon & New York: Rotledge.
Setiawan, R. (2023). Kritik Sastra Poskolonial: Said, Bhabha, dan Spivak. Surabaya: Pusaka Aksara.
Diambil dari www.pustakaaksara.co.id
Suweleh, F. (2020). TOKOH-TOKOH NATIVEPHILIA DALAM ANTOLOGI CERPEN SEMUA
UNTUK HINDIA KARYA IKSAKA BANU: ANALISIS PASCAKOLONIAL HOMI K.
BHABA. JENTERA: Jurnal Kajian Sastra, 9(2). https://doi.org/10.26499/jentera.v9i2.2837
Swarnasta, R. (2020, Juli 13). Kemanusiaan dalam Fiksi Sejarah Iksaka Banu.
Widyawati, M., & Andalas, E. F. (2021). Pribumi di Mata Kolonial dalam Kumpulan Cerpen Teh dan
Pengkhianat Karya Iksaka Banu. MEDAN MAKNA: Jurnal Ilmu Kebahasaan dan Kesastraan,
19(2). https://doi.org/10.26499/mm.v19i2.3434
Zeng, H., & He, L. (2021). Semiotics of Postcolonial Exile in Vijay Seshadri. Critical Sociology, 47(7
8). https://doi.org/10.1177/0896920521995887
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Thesis
Full-text available
Penelitian ini menelaah novel No Time Like the Present (NTLP) karya Nadine Gordimer sebagai objek material. Novel ini secara garis besar menceritakan kondisi dan situasi negara Afrika Selatan pasca-apartheid dengan berbagai persoalan pascakolonial. Berpusat pada kehidupan satu keluarga campuran, hitam dan putih, bersama tokoh-tokoh bekas pejuang kemerdekaan Umkhonto, novel NTLP memperlihatkan bagaimana esensi tersiksa dan terfragmentasi dari sebuah negara yang berjuang mendefinisikan diri sebagai bangsa pasca-apartheid. Berkenaan dengan hal itu, sebagai implikasi atas persoalan tersebut, maka penelitian ini memformulasikan dua masalah, (1) Bagaimana konstruksi memori dan trauma kolonial dalam novel NTLP karya Nadine Gordimer? dan (2) Bagaimana upaya subjek dalam menerima atau memulihkan diri terhadap trauma tersebut? Dalam menjawab masalah tersebut, penelitian ini menggunakan perspektif trauma pascakolonial yang digagas Step Craps dan dikombinasikan dengan teori rekonsiliasi Dominick LaCapra sebagai objek formal. Penelitian ini bertujuan (1) mendeskripsikan konstruksi memori dan trauma kolonial melalui kesaksian naratif yang berdampak terhadap keberadaan subjek traumatis dalam novel, dan (2) menilik upaya subjek yang traumatis untuk bertahan hidup melalui jalan pemulihan atau penerimaan terhadap trauma yang dialami. Penelitian ini bersifat kualitatif-deskriptif dengan menganalisis data menggunakan metode fenomenologi dan analisis naratif untuk menganalisis peristiwa sekaligus pengalaman traumatis yang dikonstruksi dalam teks sastra. Penelitian ini menghasilkan temuan, (1) konstruksi memori traumatis yang bersumber dari peristiwa apartheid dinarasikan dalam berbagai bentuk siksaan yang dilakukan rezim kulit putih, baik secara langsung terhadap Umkhonto serta masyarakat Afrika Selatan secara umum, meliputi penangkapan dan pembunuhan, segregasi dan kehidupan kladestin, invasi rumah, serta rasisme kultural. Pengalaman tersebut pada gilirannya menyebabkan trauma kolektif, yang dinarasikan dalam symtom-symtom seperti ketidakmampuan subjek, perasaan rendah diri, membenci diri sendiri, hingga Xenophobia. Selanjutnya, (2) dalam upaya rekonsiliasi, transformasi dan reformasi sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya mendorong subjek traumatis tetap bertahan di masa kini dan kelak di masa depan, walaupun masa lalu masih menjadi hantui. Sebagai entitas yang mewakili kolektivisme orang-orang Afrika Selatan, Umkhonto menunjukkan upaya bertahan, menghubungkan kembali pengalaman, pengetahuan, dan perasaan di antara mereka melalui penerimaan terhadap kenyataan, pemilihan pendengar atau teman hidup yang tepat, dan bekerja hingga memberi hak suara dalam pemilu.
Article
Full-text available
p>Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan unsur-unsur sejarah dan nilai pendidikan karakter dalam kumpulan cerpen “Teh dan Pengkhianat” karya Iksaka Banu. Metodologi penelitian yang digunakan untuk menganalisis kumpulan cerpen ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan struktural. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik baca dan catat. Hasil penelitian disimpulkan: 1) Unsur sejarah yang ditampilkan dalam kumpulan cerpen “Teh dan Pengkhianat” karya Iksaka Banu dikelompokkan menjadi tiga, yaitu peritiwa sejarah 67%, tokoh sejarah 20% dan waktu sejarah 13%. 2) Nilai pendidikan karakter yang ditampilkan dalam kumpulan cerpen “Teh dan Pengkhianat” karya Iksaka Banu terdapat 13 jenis nilai pendidikan karakter dengan jumlah data 25. Kata Kunci: Unsur-unsur sejarah, Nilai Pendidikan Karakter, Teh dan Pengkhianat</p
Article
This study analyzes how crisis of identity and mimicry occurs in the postcolonial discourse. A local native character whose name is U Po Kyin is the focus of the study. As a native character, he holds a high ranking position for local in the British Raj in Burma. However, he is portrayed as a corrupt official as he accepts bribes and denounces his rival. His ambition to get the membership, an elite European Club, drives him infuriated to destroy his rivals reputation because naturally it is him who would be elected as the first local member of the Club. At the end of the novel, Kyin finally secures his membership but he fails to atone his evil-doings by building pagodas as a Buddhist. Kyins attitude is seen as how he manages to deal with his inferiority towards the British. He is also observed to mimic the British as his strategy to erase the idea of being colonized.There are two problem formulations in this study. The first is to find out how U Po Kyin suffers from crisis of identity through his characterization in the novel. Then, the second objective is to understand how his crisis of identity leads him to mimic the British.This study condludes that U Po Kyin suffers from crisis of identity. He is oppressed conscious and unconsciously by the British. This causes his self-image to be eroded. Even though he is relatively wealthier than his fellow natives, he still craves for more as he realizes that there is something more than money. He wants to be detached from his inferiority. The elite European Club represents his ambition because it offers him status to be like the British. That is why he schemes to crush his rival. In his schemes, denigrating his rival means to mimic the British because he needs to differ himself from the natives. However, he is still powerless because the British still consider him as the subject of colonialization. Keywords: crisis of identity, mimicry, postcolonial reading
Book
Rethinking questions of identity, social agency and national affiliation, Bhabha provides a working, if controversial, theory of cultural hybridity - one that goes far beyond previous attempts by others. In The Location of Culture, he uses concepts such as mimicry, interstice, hybridity, and liminality to argue that cultural production is always most productive where it is most ambivalent. Speaking in a voice that combines intellectual ease with the belief that theory itself can contribute to practical political change, Bhabha has become one of the leading post-colonial theorists of this era.