ArticlePDF Available

Kondisi Poshuman di Mongrel (2021) Karya Sabda Armandio

Authors:

Abstract

This article aims to examine the relations of posthuman subjects formed through language in Mongrel’s fiction. Relations of posthuman subjects will always be surrounded by the current situation being faced, so it is no longer necessary to differentiate human and nonhuman hierarchically. Mongrel is a fictional story published serially in the mass media KumparanPlus in 2021. This article uses a discursive approach to gain knowledge about the relationship of posthuman subjects by connecting meaning, representation, and context. This article shows that the posthuman conditions that surround characters in Mongrel include the economic crisis, advanced capitalism, and the creation of paguyuban (community), technology and artificial intelligence, and the work of shamans and the existence of Dimensi Kalia. In some ways, the posthuman condition in Mongrel exhibits the attempt to surpass the dichotomies especially between human/animal/plant/technology. The posthuman condition in Mongrel leads to a double-edged sword, namely the paguyuban going hand in hand with advanced capitalism. Mr. Polo, as the metaphor of advanced capitalism, no longer utilizes the dichotomy of human/nonhuman and modern science/shaman to develop his business. This is also the case for the paguyuban. However, what sets Mr. Polo apart is his attempt to control nonhuman entities in order to further his self-interested agenda.
156
p-ISSN: 1412-6932
e-ISSN: 2549-2225
RetorikVol. 11(2), 2023
Kondisi Poshuman di Mongrel (2021)
Karya Sabda Armandio
Helmi Naufal Zul’azmi
Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
e-mail: helminaufalzulazmi@mail.ugm.ac.id
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji relasi subjek-subjek poshuman yang di-
bentuk melalui bahasa di ksi Mongrel. Relasi subjek-subjek poshuman akan selalu
dilingkungi oleh situasi kesekarangan yang sedang dihadapi, sehingga tak perlu lagi
membedakan manusia dan nonmanusia secara hierarkis. Dalam hubungan itu, perlu
melampaui gagasan yang berpijak pada humanisme dan antroposentrisme ala Barat.
Mongrel adalah cerita ksi yang terbit secara bersambung di media massa daring
KumparanPlus pada 6 Juni–1 November 2021. Artikel ini menggunakan pendekatan
diskursif untuk mencapai pengetahuan tentang relasi subjek-subjek poshuman de-
ngan cara menghubungkan makna, representasi, dan konteks. Hasil pembahasan me-
nunjukkan bila kondisi poshuman yang melingkungi tokoh-tokoh di Mongrel antara
lain krisis ekonomi, kapitalisme lanjut, dan terciptanya paguyuban, teknologi dan ke-
cerdasan buatan, serta kerja dukun dan keberadaan Dimensi Kalia. Dalam beberapa
hal, kondisi poshuman di Mongrel menunjukkan upaya untuk mengaburkan dikoto-
mi, terutama antara manusia/hewan/tanaman/teknologi. Kondisi poshuman di Mong-
rel mengarah pada dua sisi mata pedang, paguyuban-paguyuban beriringan dengan
kapitalisme lanjut. Pak Polo sebagai metafora kapitalisme lanjut tak lagi memanfaat-
kan dikotomi manusia/nonmanusia dan ilmu modern/dukun untuk mengembangkan
dan memelihara bisnisnya. Hal yang sama diberlakukan oleh paguyuban-paguyuban.
Titik yang membedakan ialah Pak Polo berusaha menundukkan nonmanusia agar
sesuai dengan kepentingannya.
Kata kunci: antroposentrisme, dukun, kondisi poshuman, Mongrel, subjek-
subjek poshuman
Posthuman Conditions in Mongrel (2021)
by Sabda Armandio
Abstract
This article aims to examine the relations of posthuman subjects formed through
language in Mongrels ction. Relations of posthuman subjects will always be sur-
rounded by the current situation being faced, so it is no longer necessary to dier-
entiate human and nonhuman hierarchically. Mongrel is a ctional story published
serially in the mass media KumparanPlus in 2021. This article uses a discursive
approach to gain knowledge about the relationship of posthuman subjects by con-
DOI: 10.24071/ret.v11i2.7377
© 2023 Helmi Naufal Zul’azmi.
This article is distributed under Creative Commons Attribution License (CC BY 4.0), which permits unrestricted use, distribution,
and reproduction in any medium, provided the original author and source are credited.
hps://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik
157
hps://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik
Kondisi Poshuman di Mongrel (2021) Karya Sabda Armandio
necting meaning, representation, and context. This article shows that the posthu-
man conditions that surround characters in Mongrel include the economic crisis,
advanced capitalism, and the creation of paguyuban (community), technology and
articial intelligence, and the work of shamans and the existence of Dimensi Kalia.
In some ways, the posthuman condition in Mongrel exhibits the attempt to surpass
the dichotomies especially between human/animal/plant/technology. The posthuman
condition in Mongrel leads to a double-edged sword, namely the paguyuban going
hand in hand with advanced capitalism. Mr. Polo, as the metaphor of advanced cap-
italism, no longer utilizes the dichotomy of human/nonhuman and modern science/
shaman to develop his business. This is also the case for the paguyuban. However,
what sets Mr. Polo apart is his attempt to control nonhuman entities in order to fur-
ther his self-interested agenda.
Keywords: anthropocentrism, Mongrel, posthuman conditions, posthuman
subjects, shaman
Pendahuluan
Ada kecenderungan untuk mengetepikan nonmanusia di cerita ksi yang
berasal dari wacana pencerahan yang berkelindan dengan antroposentris. Dua
wacana itu nyaris selalu menempatkan manusia di pusat. Kecenderungan de-
mikian banyak terwujudkan melalui imajinasi umum distopia dan utopia.1
Distopia berhubungan dengan perkembangan teknologi yang tak terkontrol,
sehingga teknologi serupa ancaman bagi manusia. Sementara, utopia bervi-
si high-future mengandaikan teknologi bisa menyelamatkan manusia. Dua
imajinasi umum tersebut masih bertalian dengan ide pencerahan dan antro-
posentris.2 Tidak banyak cerita ksi yang menantang gagasan dan imajinasi
demikian, terutama ksi yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Mongrel adalah
satu dari yang sedikit itu. Mongrel terbit di KumparanPlus secara bersam-
bung pada 6 Juni sampai 1 November 2021.3 Ia4 menampilkan interaksi antara
1 Lars Schmeink, Biopunk Dystopias: Genetic Engineering, Society, and
Science Fiction (Liverpool: Liverpool University Press, 2016), 7–8.
2 Rosi Braidotti, “A Theoretical Framework for the Critical
Posthumanities”, Theory, Culture & Society 36, no. 6 (1 November 2019):
31–61, https://doi.org/10.1177/0263276418771486.
3 Sabda Armandio, “Mongrel”, KumparanPlus, 2021, https://kumparan.
com/sabda-armandio.
4 Kata ganti “ia” di konteks kalimat ini merujuk ke Mongrel. “Ia” saya
gunakan untuk membedakan dengan “dia” (yang juga dimanfaatkan
di artikel ini). Di artikel ini, penggunaan kata ganti “dia” merujuk ke
manusia, sementara “ia” merujuk ke kata benda.
158 RetorikVol. 11(2), 2023
Helmi Naufal Zul’azmi
(Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia)
manusia, hewan, teknologi di tiap-tiap ceritanya. Dari situ, Mongrel, tampak
berupaya agar tidak lagi memosisikan nonmanusia di pinggiran.
Fragmen awal Mongrel menceritakan Randu—satu di antara empat to-
koh utama—dibawa paksa Pak Polo untuk magang di kebunnya. Pak Polo me-
rupakan orang kaya, pemilik perusahaan desalinasi air laut dengan teknologi
canggih. Perusahaan tersebut sudah menggunakan robot dan kloning demi
menciptakan pekerja tanpa upah. Teknologi dikembangkan pula di sistem pa-
guyuban. Warga Hiritani sudah memakai topeng ogas dalam kesehariannya.
Ogas bisa memproyeksi hologram tiga dimensi dan diintegrasi dengan pengu-
bah suara, sehingga identitas individu menjadi lebih cair. Hal itu menandakan
bila komunikasi sehari-hari warga Hiritani telah dimediasi teknologi. Ada-
pun pembeda pemanfaatan teknologi oleh perusahaan Pak Polo dan warga
paguyuban ialah kepemilikan dan siapa yang paling diuntungkan. Dua hal
itu menggiring ke pembicaraan bagaimana relasi manusia dengan teknologi.
Dalam cerita satu sampai sepuluh, Armandio menggunakan sudut pan-
dang “kami” untuk menggerakkan alur dan plot. Sudut pandang jamak itu me-
ngesankan keinginan Armandio untuk berbicara melalui suara banyak indivi-
du. “Kami” digunakan secara bolak-balik merujuk pada Aku, Aliyah, Randu,
dan anjing bernama Wortel. “Kami” yang merujuk pada individu manusia dan
nonmanusia, disebut Braidotti sebagai relasi poshuman. Secara umum, gagas-
an poshuman fokus ke banyak kemungkinan relasi manusia dan nonmanusia
yang tidak memosisikan nonmanusia di pinggiran, sekaligus memperhatikan
kuasa antaraktor. Konsep pokok poshuman banyak mewacanakan cyborg,
kloning, makhluk hibrida, dan alien di ksi sains.5 Sayangnya, konsep pokok
tersebut belum membicarakan unsur dukun, mitos, serta relasi teknologi de-
ngan modal kapital yang menjadi elemen penting di Mongrel.
Satu fragmen Mongrel menceritakan keterhubungan antara Aku, Klo-
ning Aku, dan wortel. Kloning Aku adalah hasil dari upacara pemanggilan du-
kun. Keterhubungan mereka menunjukkan satu jalinan tak terpisahkan antara
manusia, teknologi, dan hewan; serta ada elemen dukun yang memungkinkan
keterhubungan itu melalui Kloning Aku. Ide poshuman memang tidak mema-
sukkan elemen dukun atau mitos dalam konseptualisasinya. Namun, kebera-
daan dukun termasuk dalam kriteria poshuman. Mereka adalah kategori yang
ditepikan oleh wacana modern sebagaimana nonmanusia ditepikan oleh ide
pencerahan dan antroposentris.
5 Elana Gomel, “Science (Fiction) and Posthuman Ethics: Redening the
Human”, The European Legacy 16, no. 3 (1 Juni 2011): 339–54, https://
doi.org/10.1080/10848770.2011.575597.
159
hps://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik
Kondisi Poshuman di Mongrel (2021) Karya Sabda Armandio
Perspektif poshuman digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji hu-
bungan manusia dengan nonmanusia yang berada di situasi kesekarangan.
Braidotti menawarkan kondisi poshuman dalam bentuk pemetaan pengetahu-
an, ide-ide tentang keadilan sosial, dan menjadi makhluk etis. Ia menawarkan
alternatif tafsir untuk membongkar pembedaan antara manusia dan nonma-
nusia.6 Pembedaan macam itu hanya akan sampai ke tataran relasi yang hie-
rarkis sebagaimana tradisi lsafat Barat mendudukkan manusia lebih tinggi
daripada hewan dan alam.7
Saya mendialogkan pembacaan poshuman dengan pendekatan diskursif
untuk menyimpulkan kondisi poshuman yang menyusun relasi manusia dan
nonmanusia di Mongrel. Pendekatan diskursif sebagai salah satu cara untuk
mencapai pengetahuan tentang subjek dengan cara menghubung-hubungkan
makna, representasi, dan konteks. Ia fokus ke bahasa yang memproduksi pe-
ngetahuan dalam konteks yang spesik, dalam penelitian ini Mongrel. Dalam
hubungan itu, Mongrel adalah ksi yang terhubung dengan konteks yang me-
lingkunginya; ia merupakan praktik kebahasaan yang nyata dan dinamis. Se-
mentara, untuk mengumpulkan data digunakan teknik baca dan catat. Mong-
rel adalah data primer, adapun data sekunder berupa pustaka pendukung, esai,
laporan berita, serta blog Armandio. Data sekunder itu digunakan untuk me-
nunjukkan bila Mongrel tidak terlepas dari konteks yang melingkunginya.
Penelitian ini bertujuan untuk memperkenalkan teori poshuman yang
merangkul berbagai aspek, yang tidak melawankan manusia dengan nonma-
nusia serta berusaha melampaui teori yang menempatkan manusia sebagai
pusat—memosisikan nonmanusia sebagai liyan. Dalam hubungan itu, kon-
disi poshuman menekankan agar kita bisa menyusun ulang apa yang disebut
manusia dalam konteks relasinya dengan nonmanusia ketika berada di sistem
dan cara pandang dominan. Situasi itu merujuk ke latar konteks Mongrel.
Oleh karena itu, ada kapitalisme lanjut, teknologi, dan dikotomi yang me-
nandai kondisi poshuman. Kapitalisme lanjut adalah cara tidak membedakan
manusia dan nonmanusia dalam rangka mengakumulasi keuntungan. Dalam
konteks demikian, kapitalisme lanjut melihat entitas nonmanusia sebagaima-
na cita-cita poshuman.
6 Rosi Braidotti, Posthuman Knowledge (Cambridge: Polity, 2019), 31.
7 Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury
Academic, 2019), 24.
160 RetorikVol. 11(2), 2023
Helmi Naufal Zul’azmi
(Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia)
Pembahasan
Krisis Ekonomi dan Kapitalisme Lanjut
Kapitalisme lanjut dalam konsep Braidotti menunjuk ke akselerasi kapi-
talisme yang bergerak demikian cepat.8 Nyaris seluruh aspek kehidupan telah
dikomodikasi. Dia mencontohkan bila informasi dari perilaku individu bisa
diolah menjadi keuntungan melalui seperangkat teknologi. Sebagaimana pen-
jelasan Braidotti, kapitalisme dalam cerita Mongrel sampai pada tahap ketika
perusahaan teknologi sudah membela diri, persaingan dengan kecerdasan bu-
atan, krisis ekonomi, serta air semakin tak terjangkau.
Lapis struktur kapitalisme Pak Polo bekerja secara sistemik. Ia mempu-
nyai tim riset sendiri untuk merekayasa teknologi. Didukung pula oleh kebi-
jakan negara tentang sistem ketenagakerjaan. Dalam semesta Mongrel yang
berlatar 2041, remaja berusia 14 tahun sudah diperbolehkan magang kerja.
“‘Iya,’ jawab Pak Polo, ‘Kerja. Dapat pengalaman. Empat belas tahun itu
usia paling pas untuk mulai magang …’” (Mongrel 001 NODA). Cuplikan
selanjutnya memperjelas apa yang dikatakan Pak Polo dalam payung hukum
negara. “Dan sesuai undang-undang ketenagakerjaan, anak muda berusia 14
tahun berhak untuk magang (Mongrel 002 SITU).
Pak Polo mengeksploitasi Dimensi Kalia9 untuk keuntungannya sendiri.
Seluruh kebun Pak Polo dilindungi oleh Pagar Gaib berbentuk kubah dari
lapisan Dimensi Kalia. Pagar Gaib tersebut berfungsi untuk mengatur siang
dan malam di dalam kebun. Eksploitasi Dimensi Kalia oleh Pak Polo dengan
terang ada di kutipan berikut,
Pak Polo amat bersungguh-sungguh ingin mengeksploitasi Dimensi Kalia untuk
menjalankan bisnisnya dan ia tak segan mengeluarkan banyak uang untuk riset
itu. (Mongrel 016 KONTAK)
Pak Polo merekayasa manusia dan nonmanusia di sekitarnya untuk men-
jalankan bisnisnya. Teknologi dalam payung kapitalisme Pak Polo mengu-
bah cara Pari Bandi hidup. Pari Bandi sebagai hewan purba memiliki riwayat
panjang hubungan dengan manusia. “Ia tumbuh dengan trauma yang dialami
8 Braidotti, Posthuman Knowledge, 185.
9 Dalam cerita Mongrel Dimensi Kalia merupakan higher dimension
yang bisa dijangkau dengan cara-cara tertentu. Dimensi Kalia merujuk
pada suatu tempat di mana semua suara yang pernah muncul di dunia
berkumpul dalam suatu ruang dan membentuk ekosistem otomaton non-
biologis. Dimensi Kalia berdampingan dengan dimensi sikal atau digital
(ruang digital).
161
hps://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik
Kondisi Poshuman di Mongrel (2021) Karya Sabda Armandio
umat manusia melalui suara-suara yang meminta tolong seperti ini. Dia me-
mahami ketakutan kita” (Mongrel 012 BADAI SUARA). Tubuh Pari Bandi
sebagai hewan purba dimodikasi oleh Pak Polo yang sudah mengeksploitasi
Dimensi Kalia. Modikasi itu dilakukan pada DNA Pari Bandi agar tidak bisa
kembali ke bentuk dalam dimensi yang lebih tinggi.
Modikasi tubuh Pari Bandi digunakan Pak Polo untuk memperpen-
dek pipa yang menghubungkan air laut di Jogja dengan perusahaannya. Tu-
buh Pari Bandi dijadikan semacam pintu masuk yang bisa memangkas jarak.
Jarak perusahaan dan air laut itu sekitar 500 km. Karena modikasi tubuh Pari
Bandi dan dimensi Kalia, berkuranglah jarak panjang itu.
Pagar gaib, eksploitasi Dimensi Kalia, modikasi Pari Bandi, kloning
untuk pekerja, cam-cop, dan robot, menggunakan teknologi canggih. Ia ber-
sandar pada kemajuan teknologi. Kapitalisme lanjut mencuri untung dari pe-
mahaman ilmiah kehidupan sehari-hari. Braidotti menggunakan kosakata all
that lives. Sebab hidup bukan hak prerogatif manusia, ia lebih menunjuk ke
individu manusia dan nonmanusia.10 Pada titik itulah tampak kesejajaran an-
tara teknologi Pak Polo dan maksud kapitalisme lanjut dari Braidotti. Tekno-
logi lebih dilihat sebagai alat bagi Pak Polo, sehingga penarasian di Mongrel
menempatkan teknologi untuk memperluas kemampuan manusia mengaku-
mulasi keuntungan di bawah produksi kapitalisme. Hubungan demikian me-
nempatkan teknologi untuk semata-mata melayani Pak Polo.
Pak Polo meng-kloning manusia, menggunakan robot, dan bahkan dia
mengeksploitasi Dimensi Kalia untuk keuntungannya seorang. Dimensi Ka-
lia dalam konteks Mongrel tidak sama dengan ruang digital. Ruang digital
merupakan ruang yang diciptakan manusia melalui teknologi, sedangkan Di-
mensi Kalia sudah ada selayaknya ruang sikal dan bukan buatan manusia.
Hanya saja ia ada di dimensi yang berbeda. Hal itu yang jadi titik pembeda
gagasan Braidotti dengan konteks cerita Mongrel. Pembahasan Braidotti be-
lum sampai pada dimensi gaib. Mestinya, karena all that lives, ia bisa diter-
jemahkan sampai dimensi gaib. Walaupun Mongrel dekat dengan fantasi dan
spekulatif, namun sudah ada kesaksian tentang perjalanan di alam lain.11 Bagi
Käll, istilah kapitalisme lanjut cocok dengan ide poshuman karena mewadahi
kemungkinan-kemungkinan baru bentuk kapitalisme sekaligus menghubung-
10 Braidotti, Posthuman Knowledge, 185.
11 T.A. Winedar, “‘Pulangnya Susah’: Begini Rasanya Tersesat di Alam
Lain”, Vice, 8 Maret 2023, https://www.vice.com/id/article/xgwqaw/
pengakuan-orang-hilang-ke-alam-lain.
162 RetorikVol. 11(2), 2023
Helmi Naufal Zul’azmi
(Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia)
kannya dengan bentuk sebelumnya.12 Dengan demikian, atribut gaib yang di-
eksploitasi Pak Polo adalah termasuk kapitalisme lanjut.
Adanya Dimensi Kalia amat dimungkinkan karena Mongrel lebih dekat
ke cerita ksi sains, fantasi, dan spekulatif. Persilangan genre itu bisa me-
wadahi gagasan abstrak Armandio tentang ruang atau dimensi. Kalia adalah
tempat berkumpulnya semua suara yang pernah ada. Ruang ini memiliki fre-
kuensi yang berbeda dengan ruang sik atau virtual di Mongrel. Ia juga mem-
punyai cara kerja sendiri, misalnya: setiap jam delapan di dimensi manusia,
maka akan ada badai suara di Dimensi Kalia.
Sementara kloning Aku, Aku, dan Wortel yang saling terhubung menun-
jukkan bila manusia-teknologi-hewan tidak lagi dibedakan. Keterhubungan
itu dilakukan oleh tim Pak Polo untuk mengawasi apa-apa saja yang dila-
kukan warga paguyuban. Pada titik ini, pengaburan batas antara manusia-
teknologi-hewan lebih untuk memelihara bisnis Pak Polo. Artinya, di bawah
sistem kapitalisme ada dua pola hubungan manusia dan nonmanusia. Satu sisi
menunjukkan pembagian tegas antara manusia dan teknologi, di sisi lain ada
usaha untuk mengaburkan batas-batas tersebut. Namun, keduanya sama-sama
berujung pada keuntungan pemilik modal kapital. Selain mengaburkan batas
antara manusia dan nonmanusia, keterhubungan tersebut menunjukkan cara
pengawasan dan kontrol yang berhubungan dengan kapitalisme lanjut.
Teknologi dan Kecerdasan Buatan
Pengawasaan Paguyuban Tapos oleh Pak Polo melalui keterhubungan
Aku-Kloning Aku-Wortel bertujuan untuk mengetahui apa yang sedang dan
akan dilakukan oleh warga paguyuban. Kloning Aku berada di rumah Pak
Polo untuk menerjemahkan informasi dari Aku dan Wortel. Mereka sema-
cam sirkuit dan siklus yang menjalin hubungan tak terpisahkan satu sama
lain di Mongrel, “Kamu adalah kamera, Wortel menerima apa yang kamu
lihat dalam keadaan acak, dan aku secara otomatis menerjemahkannya dan
mengirimkannya ke Pak Polo dan anak buahnya” (Mongrel 017 SIRKUIT &
SIKLUS). Dari pola itu, corak pengawasan dalam Mongrel beririsan dengan
gagasan pospanoptikon Deleuze & Guattari. Bila Foucault memfokuskan pa-
noptikon pada ruang tertutup yang dilakukan oleh institusi, pospanoptikon
12 Jannice Käll, Posthuman Property and Law: Commodication and
Control through Information, Smart Spaces and Articial Intelligence
(London: Routledge, 2022), 4.
163
hps://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik
Kondisi Poshuman di Mongrel (2021) Karya Sabda Armandio
berfokus pada ruang terbuka dan kontrol jarak jauh.13 Dari situ Deleuze dan
Guattari menambah korporasi sebagai aktor selain negara.
Teknologi pengawasan Aku-Kloning Aku-Wortel, batas-batas pengawas-
an menjadi lebih cair. Informasi yang diterima oleh Pak Polo bisa lebih luas
sesuai dengan apa yang dilihat oleh Aku. Konsep pospanoptikon ala Deleuze
dan Guattari berujung pada pemeriaan tubuh menjadi informasi untuk kemu-
dian perilaku yang diawasi diubah menjadi konsumen dalam sistem ekonomi
pasar. Sementara itu, pengawasan oleh Pak Polo lebih untuk merespons apa
yang akan dilakukan warga paguyuban sehingga bisnisnya bisa bersifat elas-
tis. Sebab, dalam Mongrel, warga paguyuban sudah tidak lagi hidup dalam
sistem kapitalisme.
Persinggungan pengawasan Pak Polo dengan panoptikon Foucault ada-
lah sifat pengawasan yang berjalan satu arah. Pak Polo mengawasi warga
dan warga tak bisa mengawasi balik Pak Polo. Namun, tujuan dari penga-
wasan ala panoptikon adalah tubuh-tubuh yang patuh. Tujuan dari konsep
panoptikon dan pospanoptikon inilah yang berbeda. Apa yang dibayangkan
Armandio melalui Mongrel lebih untuk resiliensi. Bila panoptikon mengargu-
mentasikan pengawasan jarak dekat dan pospanoptikon mengandaikan peng-
awasan jarak jauh melalui teknologi, keterhubungan Aku-Kloning Aku-Wor-
tel membayangkan pengawasan jarak jauh sekaligus dekat. Pengawasan jarak
jauh karena di dalam tubuh Aku dan Wortel ada mekanisme penyampaian
informasi (teknologi) ke Kloning Aku, lalu jarak dekat karena pengawasan itu
bergantung pada di mana tubuh Aku berada.
Pengawasan di Mongrel juga berbeda dengan bentuk teleskrin di ksi
1984-nya Orwell.14 Teleskrin ada di mana-mana, diketahui oleh karakter-
karakter di novel, dan menyebarkan propaganda. Sementara, pengawasan di
Mongrel ada di mana-mana seturut keberadaan Aku dan tidak diketahui oleh
karakter-karakter lain.
Model pengawasan yang diciptakan Pak Polo bisa memantau informasi
di dua media utama yang digunakan warga paguyuban. Dua media itu meru-
pakan wadah berjejaring antarwarga paguyuban, yakni media jiran dan toa.
13 Idha Saraswati Wahyu Sejati, “Meretas kuasa data, merebut ruang digital;
deteritorialisasi kekuasaan melalui resistensi terhadap Surveillance
Digital” (Tesis, Sanata Dharma University, 2020), https://repository.usd.
ac.id/39211/.
14 George Orwell, 1984, ed. oleh Ika Yuliana Kurniasih, trans. oleh
Landung Simatupang (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2016), https://
balaiyanpus.jogjaprov.go.id/opac/detail-opac?id=291024.
164 RetorikVol. 11(2), 2023
Helmi Naufal Zul’azmi
(Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia)
ster. Toa.ster adalah media sosial dengan server lokal, sedangkan Jiran adalah
majalah web gratis yang terbit setiap hari. Meski disebut setiap hari, hanya
ada enam edisi yang terbit dalam cerita Mongrel. Enam edisi itu ditandai de-
ngan nomor 135, 136, 137, 137, 139, dan 140 yang ada di pojok kanan atas di
setiap sampul. Ada dua edisi dengan nomor yang sama. Hal itu ditengarai ka-
rena nomor 137 yang disebut pertama dalam tulisan ini, mengabarkan berita
sabotase megaproyek WePower oleh warga paguyuban. Dalam edisi itu berita
sabotase megaproyek WePower diberi judul “Gempur! Rencana, rute, taktik,
dan senjata” (Mongrel 003 HIRITANI).
Untuk mengakses berita itu, pembaca perlu mendapatkan akses dengan
cara mendaftarkan diri ke asosiasi masing-masing. Hal itu adalah cara yang
dilakukan Jiran untuk memlter pembaca. Berita itu dianggap penting untuk
seluruh warga paguyuban dengan tetap memperhatikan kerahasiaan. Kera-
hasiaan berkaitan dengan agenda sabotase warga paguyuban. Pada titik ini,
keberpihakan media Jiran ke paguyuban-paguyuban bisa dilihat jelas. Keber-
pihakan itu bisa dibaca hanya melalui pemilihan kata-kata di judul tersebut.
Lebih jauh, Jiran mempertimbangkan keselamatan, kerahasiaan, keamanan,
keberhasilan rencana, dan secara bersamaan berusaha agar beritanya bisa di-
akses semua warga di paguyuban.
Setiap edisi terdiri dari sampul; pengaturan audiotikel, ukuran teks,
mode baca; hyperlink ke toa.ster; dan tiga rubrik: Utama, Gelanggang Warga,
dan Kepikiran. Dua rubrik yang disebut pertama merupakan berita. Hasil li-
putan anggota redaksi Jiran, walaupun tidak disebutkan nama-nama anggota
atau pekerja di Jiran. Ia sepadan dengan hasil liputan oleh anggota redaksi
di media tertentu. Sementara, Kepikiran adalah rubrik yang diisi oleh warga
paguyuban di luar redaksi Jiran. Aliyah rutin menulis untuk rubrik ini. Rubrik
ini menerbitkan gagasan dari warga paguyuban.
Toa.ster adalah media sosial paguyuban. Jaringan untuk berkomunikasi,
berbagi, dan menjembatani kebutuhan antarpaguyuban. Ia tersentralisasi da-
lam unit kecil untuk memudahkan moderasi serta menjaga privasi. Hanya bisa
digunakan oleh warga paguyuban, dikelola bersama dan untuk bersama. Toa.
ster menggunakan server lokal, sehingga warga paguyuban tetap bisa berko-
munikasi walaupun terjadi bencana alam dan tautan utama internet mati.
Ada banyak forum di dalam toa.ster. Setiap forum dilengkapi dengan
tur terjemahan otomatis (otosadur). Otosadur memudahkan jejaring antar-
paguyuban secara internasional yang sudah tentu berbeda bahasa. Toa.ster
adalah sarana untuk berkomunikasi dan berjejaring; di ruang toa.ster pula ada
165
hps://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik
Kondisi Poshuman di Mongrel (2021) Karya Sabda Armandio
forum untuk hiburan, rapat, diskusi, hingga membaca hasil penelitian yang
disebar secara gratis. Fungsi media sosial paguyuban ini sama dengan Jiran,
hanya saja toa.ster lebih aman karena hanya bisa dibaca oleh warga.
Ia didesain, dikelola, dan diperuntukkan ke warga paguyuban. Motivasi
itulah yang membedakannya dengan media sosial arus utama seperti facebo-
ok, twitter, hingga tik tok. Ruang toa.ster memungkinkan pula komunikasi
dua arah selayaknya karakter media sosial arus utama. Walaupun demikian,
model pengawasan lewat keterhubungan Aku, Kloning Aku, dan Wortel ma-
sih memungkinkan Pak Polo untuk mendapatkan informasi dari toa.ster.
Pak Polo mengembangkan kloning untuk mengakumulasi kekayaan-
nya. Dia melakukan kloning ke tokoh Aku, Wortel, Randu, serta orang-orang
miskin, pengangguran, dan yatim piatu. Aku dan Wortel dipergunakan untuk
mengawasi kehidupan di Paguyuban Tapos. Pak Polo butuh informasi apa-
apa saja yang sedang dan akan dilakukan oleh warga paguyuban sedangkan
Randu dan orang-orang miskin, pengangguran, dan yatim piatu dikloning un-
tuk dipekerjakan tanpa upah.
Pak Polo punya modal dan teknologi eksperimental untuk melakukan
percobaan-percobaan itu. Dia dan perusahaannya adalah bagian dari perang
air bersih antarperusahaan. Kloning untuk pekerja tanpa upah serta eksploita-
si Dimensi Kalia tersebut menunjukkan teknologi yang digunakan Pak Polo
sudah canggih.
Kondisi poshuman ditandai pula oleh pertanyaan-pertanyaan tentang si-
apa dan sejauh mana manusia bisa disebut manusia.15 Pertanyaan-pertanyaan
itu muncul ketika algoritma sudah menjadi bagian hidup sehari-hari. Dengan
mediasi teknologi dalam kehidupan sehari-hari, Braidotti berpendapat bila
teknologi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kemanusiaan. Manusia,
teknologi, hewan, tanaman, hingga alam tak perlu lagi dipertentangkan. Me-
reka sama-sama berhak hidup di ruang yang sama. Perhatikan kutipan berikut
yang dengan sempurna menunjukkan bila kloning dan manusia tak perlu lagi
dipertentangkan.
Kami sudah siap di tepi lapangan. Aku melakukan peregangan kaki dan leher.
Aliyah di sisiku sedang membantu Randu pemanasan. Randu berkelakar,
ia menepuk pundakku dan bilang kalau jangan-jangan aku tertukar dengan
kloningku di kebun Pak Polo. “Soalnya kamu belakangan jadi sering ketawa,”
katanya. “Jadi, kalau kamu sekarang ini ternyata hasil kloning sebaiknya
15 Braidotti, Posthuman Knowledge, 10–11.
166 RetorikVol. 11(2), 2023
Helmi Naufal Zul’azmi
(Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia)
kamu lebih jago bermain galasin ketimbang kamu yang asli.” (Mongrel 018
TERMINASI)
Teknologi lebih diperuntukkan sebagai alat oleh Pak Polo. Teknologi
canggih yang dia gunakan mengaburkan batas antara Aku, Wortel, Randu dan
tubuh kloning mereka. Teknologi tersebut juga mampu mengacak-acak di-
mensi Kalia dan dimensi manusia. Ada pula kamera cam-cop dengan sistem
AI. Seluruh teknologi Pak Polo juga tergolong teknologi tingkat lanjut yang
disebut Braidotti untuk menandai kondisi poshuman.
Relasi Pak Polo dengan teknologi ini lebih dekat dengan gagasan trans-
humanisme. Gagasan ini menurut Leung menempatkan teknologi sebagai alat
untuk melampaui limitasi manusia.16 Manusia bisa memodikasi tubuhnya
untuk meningkatkan kemampuan/kehidupannya. Pemikir transhumanis yang
disebut Leung itu mencontohkan transplantasi, operasi plastik, rekayasa ge-
netik yang mengungkapkan hasrat melampaui limitasi sekaligus kecemasan
terhadap kerentanan manusia. Gagasan transhumanis ini berasumsi bila ma-
nusia sebagai pusat dan teknologi sebagai alat untuk menegaskan posisi pusat
tersebut. Dalam konteks Pak Polo, dia tidak memodikasi dirinya sendiri.
Dia meng-kloning orang lain, lingkungan, Dimensi Kalia, serta hewan untuk
memperluas bisnisnya. Dia meningkatkan operasi bisnisnya melalui rekayasa
sekitarnya. Rekayasa itu terutama didorong oleh teknologi, sehingga teknolo-
gi ditempatkan sebagai alat semata untuk meningkatkan kehidupan Pak Polo.
Dalam cerita ksi sains spekulatif, relasi manusia dan teknologi yang
berpusat pada manusia sering membangkitkan ketegangan tertentu. Kete-
gangan itu direpresentasikan melalui nuansa distopia dan utopia dalam cerita
ksi. Kemudian, cerita ksi demikian juga membangkitkan ketegangan dan
pembicaraan seputar bagaimana bila robot yang bisa berpikir itu mengganti-
kan manusia. Ketegangan itu juga sering ditarik sampai titik ekstrem di pro-
duk-produk budaya populer, yang menggambarkan “perang” antara robot dan
manusia. Robot yang berpikir nyaris selalu diperlawankan dengan manusia.
Sebagai contoh adalah lm populer The Terminator (1984) dan Terminator
2: Judgment Day (1991). Film itu menempatkan pembunuh cyborg sebagai
musuh dan ancaman.
16 Cham Sum Jason Leung, “Posthumanism, Singularity, and the
Anthropocene: A Thematic Perspective on Posthuman Science Fiction”
(Disertasi, Hong Kong, Hong Kong Baptist University), 40, diakses
5 Desember 2023, https://scholars.hkbu.edu.hk/en/studentTheses/
posthumanism-singularity-and-the-anthropocene-a-thematic-perspect.
167
hps://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik
Kondisi Poshuman di Mongrel (2021) Karya Sabda Armandio
Dibandingkan dengan cara pandang di atas, teknologi lanjut dan kecer-
dasan buatan juga yang dikembangkan di paguyuban, dikembangkan dengan
logika dan motif yang berbeda. Warga Paguyuban Semiran yang dikenal pan-
dai mengutak-atik mesin mengembangkan robot yang bisa berbahasa. Bah-
kan robot-robot itu diprediksi akan mampu mengembangkan budaya mereka
sendiri. Robot yang mengembangkan bahasa dan budaya sendiri itu berbeda
dengan cara kerja teknologi yang menciptakan data atau konten menyerupai
input atau yang sekarang ini jamak disebut AI. Ia bisa mengembangkan baha-
sa dan budaya karena ia didesain agar mampu menggabungkan berbagai jenis
pengetahuan, dalam konteks ini yang ialah bahasa.
Dalam esainya tentang Mengajari Mesin Berpikir,17 Armandio lebih me-
nyoroti bagaimana kecerdasan buatan dimanfaatkan pemilik modal kapital
untuk mengakumulasi kekayaan dengan cara merebut hak-hak pekerja atau
memosisikan mereka di situasi rentan. Hal demikian dimungkinkan karena
kecerdasan buatan didesain dan dikembangkan dalam logika pasar dan ka-
pitalisme. Ia tidak berangkat dari kebutuhan individu dan fakta bila sumber
daya alam terbatas adanya. Oleh karena itu, kata Armandio, pengembang-
an dan eksperimen teknologi janganlah dicopot dari elemen sosialnya, agar
kami selalu berprogres melalui kontradiksi-kontradiksi yang muncul dari hu-
bungan antara manusia dengan teknologi.18 Sikap Armandio ini relatif tidak
mempertentangkan manusia dengan teknologi.
Hal demikian senada dengan gagasan Braidotti yang tak lagi memper-
lawankan manusia dengan teknologi.19 Hal demikian sejajar dengan realitas
relasi antara manusia dan teknologi di paguyuban-paguyuban di Mongrel.
Warga Paguyuban Semiran telah hidup bersama dengan Bangsa Nebatoid.
Bangsa Nebatoid terdiri dari empat suku: Andropot, Tetrapot, Mimistar Mari-
na, dan A’o. Mereka termasuk dalam spesies robot sederhana. Bangsa mereka
mempunyai bahasa sendiri yang disebut PiPo, bahasa resmi Bangsa Nebatoid.
Merangkul bangsa Nebatoid sebagai bagian dari makhluk yang hidup bersa-
ma manusia ditunjukkan melalui pengajaran bahasa PiPo lewat penjurusan
bahasa kelas dua belas.
17 Sabda Armandio, “Mengajari Mesin Berpikir: Apakah AI Akan
Menggantikan Pekerja?”, Jurno.id, diakses 5 Desember 2023, https://
jurno.id/mengajari-mesin-berpikir.
18 tengara.id, “Sabda Armandio: Berkeliling Semesta Spekulatif • tengara.
id”, tengara.id, 18 Agustus 2021, https://tengara.id/percakapan/sabda-
armandio/.
19 Braidotti, Posthuman Knowledge, 103–5.
168 RetorikVol. 11(2), 2023
Helmi Naufal Zul’azmi
(Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia)
Bahasa PiPo memiliki aturan dan diksinya sendiri. Bahasa ini mengan-
dalkan tinggi-rendah nada. “Misal ‘Þ’ dibaca ‘pip’ dengan nada tinggi dan
singkat; ‘┌’ dibaca ‘po’ dalam nada rendah dan singkat” (Mongrel 004 SA-
LADA). Bahasa PiPo hanya mengenal satu kata ganti persona dan itu ber-
bentuk jamak. Ia mengenal kategorisasi sik dan nonsik untuk kata ganti
itu. Pemisahan objek sik dan nonsik disebabkan karena mereka dilengkapi
tur neural yang terhubung dengan tumbuh-tumbuhan. Mereka bisa menang-
kap frekuensi suara di bawah 20 Hz, anomali medan magnet, dan arus listrik
dalam jangkauan tiga hingga empat meter.
Selain untuk robot, warga di paguyuban-paguyuban juga mengembang-
kan teknologi untuk tumbuhan. Tumbuhan sebagai makhluk hidup berada
di ruang yang sama. “Tanaman adalah teman, celoteh mereka (warga Pagu-
yuban Hiritani) pada suatu waktu, dan mereka berkata begitu bukan sebagai
lelucon” (Mongrel 003 HIRITANI). Warga mengembangkan teknologi yang
disesuaikan dengan kebutuhan tanaman, selain untuk memudahkan diri me-
reka sendiri. Andropot (salah satu suku dari Bangsa Nebatoid) didesain agar
subjektivitas tumbuhan untuk melanjutkan hidup bisa diterjemahkan melalui
perantara teknologi. Lantas mereka bisa mengambil keputusan sendiri soal
tempat mana yang baik buat mereka hidup. Tumbuhan perlu cahaya dan nutri-
si, Andropot menerima informasi, memberi dan mengarahkan ke mana sambil
memastikan cahaya dan nutrisi terpenuhi.
Apa yang dilakukan warga paguyuban terhadap tanaman merupakan
gambaran bagaimana mereka melihat diri mereka dengan relasinya ke tanam-
an. Mereka berusaha berkomunikasi dengan tanaman dengan cara mengem-
bangkan teknologi andropot. Mereka mengembangkan teknologi sesuai de-
ngan kebutuhan mereka, yaitu kebutuhan untuk hidup berdampingan dengan
tanaman. Andropot dan A’o mengumpulkan informasi dari sensor yang terpa-
sang pada tubuh tumbuhan yang ditanam, mulai dari ujung akar hingga ujung
tunas. Selain dapat menanggapi bunyi-bunyian dari luar, tanaman juga dapat
mengeluarkan suara spontan dari xilem mereka. Ini yang kemudian menjadi
pemicu sistem speech to text dan text to speech di dalam jaringan Bangsa
Nebatoid dapat bekerja. Hasilnya: mereka dapat memahami kami, dan kami
dapat memahami mereka (Mongrel 010 NOKTURNAL).
Selain pengembangan teknologi untuk kebutuhan hewan, tanaman, dan
Bangsa Andropot, warga paguyuban menggunakan WiFi jarak jauh. Tiap pa-
guyuban punya menara atau node (pusat percabangan koneksi internet di pa-
guyuban, berfungsi untuk menerima dan mentransmisikan informasi). Node
169
hps://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik
Kondisi Poshuman di Mongrel (2021) Karya Sabda Armandio
di tiap paguyuban saling jalin-menjalin mendistribusikan internet dari Pagu-
yuban Madya Pitalebar, pusat ISP berbasis komunitas internasional. Node di
paguyuban Tapos bernama menara Gigirkali, setinggi empat puluh meter dan
pada ketinggian lima belas meter ada ruang operasional berkapasitas lima
orang. Armandio mendeskripsikan WiFi jarak jauh ini tidak dalam kerangka
kecepatan atau kecanggihan meski Mongrel berlatar tahun 2041. Kami memi-
lih menggunakan teknologi rendah, begitu orang-orang kota menyebutnya,
yaitu dengan WiFi jarak jauh (Mongrel 001 NODA).
Diksi teknologi rendah digunakan untuk membedakannya dengan tek-
nologi tinggi. Diksi itu diikuti dengan kalimat, begitu orang-orang kota me-
nyebutnya, menunjuk bila orang kota menggunakan teknologi tinggi. Fokus
Armandio tidak pada kecepatan WiFi yang seringkali beriringan dengan ke-
majuan atau teknologi canggih, tetapi lebih pada tepat atau tidaknya penggu-
naan teknologi WiFi, distribusi, dan bagaimana dampak yang mengiringinya.
Teknologi tinggi yang tidak sesuai kebutuhan justru memperluas keren-
tanan karena tidak mampu beradaptasi jika kondisi berubah. Oleh karena itu,
Mongrel tak selalu mengartikan kecanggihan dan kecepatan paralel dengan
masa depan. Armandio cenderung menyesuaikan kebutuhan lingkungan seki-
tar dalam pemanfaatan teknologi. Canggih/tinggi, cepat, dan masa depan tak
selalu beriringan. Hal ini jadi titik pembeda antara gagasan Armandio dengan
kecenderungan utopis yang menggambarkan teknologi dengan visi high-futu-
re. Teknologi dalam visi yang kedua ini seringkali digambarkan dalam ben-
tuk yang sudah rapi dan mapan. Penggambaran demikian lebih jelas terlihat
di cerita ksi lm yang menggunakan unsur-unsur visual.20 Bagi Armandio,
dengan WiFi jarak jauh warga paguyuban diuntungkan, karena bila terjadi
bencana alam dan tautan utama internet mati, kami masih dapat berkomuni-
kasi satu sama lain melalui toa.ster di server lokal (Mongrel: 001 NODA).
Bahkan, menara Gigirkali mentransmisi internet ke kandang ternak, ladang,
hingga ponsel.
Dunia di cerita Mongrel yang melibatkan teknologi tinggi dan teknologi
rendah berbeda dengan relasi teknologi dan Pak Polo yang merepresentasikan
kapitalisme lanjut. Warga paguyuban tak lagi membedakan manusia dan non-
manusia, pengembangan teknologi juga diperuntukkan ke kebutuhan nonma-
nusia. Mongrel menawarkan agar tidak lagi melihat teknologi tinggi berdasar-
kan kecepatan dan kecanggihan, yang dipaparkan melalui contoh WiFi jarak
jauh yang berupaya menyesuaikan pengembangan dan penggunaan teknologi
20 Leung, “Posthumanism, Singularity, and the Anthropocene”, 45–59.
170 RetorikVol. 11(2), 2023
Helmi Naufal Zul’azmi
(Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia)
dengan kebutuhan manusia, hewan, dan lingkungan. Hal ini sejajar dengan
pendapat Braidotti,21 bahwa manusia terkait-terikat ke bumi, tanah, air, bak-
teri, hingga algoritma sehingga pengembangan teknologi tak menempatkan
manusia di pusat.
Di Antara Dukun dan Dimensi Kalia
Bagian sebelumnya menguraikan bagaimana krisis, kapitalisme lanjut,
dan demokrasi yang lelah untuk melihat relasi manusia dan nonmanusia. Ada
garis pembeda penggambaran relasi manusia dan nonmanusia seturut cerita
Mongrel. Pak Polo menggunakan teknologi untuk kebutuhan bisnisnya. Se-
mentara, warga paguyuban mendesain teknologi untuk menerjemahkan ke-
butuhan tanaman. Mereka juga memberi ruang Bangsa Andropot untuk me-
ngembangkan bahasa mereka sendiri. Dalam beberapa hal, kondisi poshuman
di ksi Mongrel mengaburkan dikotomi melalui unsur-unsur yang dipilih.
Cerita Mongrel sebagai satu kesatuan berupaya untuk melampaui dikoto-
mi tersebut. Sebab dikotomi yang tercetak di ksi sains spekulatif adalah juga
warisan modernitas ala Barat.22 Cara berpikir itu memberi konsekuensi logis
berupa dikotomi dan hierarki. Salah satu usaha untuk melampaui itu adalah
diciptakannya Dimensi Kalia sebagai ruang imajiner-spekulatif. Catatan Ar-
mandio di blognya begini,
... aku rasanya nggak berpikir dengan kata-kata. Di dalam kepalaku, semua
pikiranku terasa lebih seperti awan yang jumlahnya banyak dan nggak berbentuk
dan nggak terkoneksi satu sama lain dan isinya emosi dan gambar dan suara
dan perasaan dan hal-hal lain yang nggak bisa aku wakili dengan bahasa yang
aku pahami (saat ini cuma bisa dua bahasa Indonesia dan Inggris, sedikit bahasa
Sunda dan Jawa). Mereka mengambang di dimensi lain sebelum aku bisa tulis
dan katakan. Mereka ada di Dimensi Kalia.23
21 Braidotti, Posthuman Knowledge, 92.
22 Katarzyna Ostalska dan Tomasz Fisiak, “Utopia and Dystopia in the 21st
Century: Feminism, Intersectionality, and the Rejection of Binarism”,
dalam The Postworld In-Between Utopia and Dystopia: Intersectional,
Feminist, and Non-Binary Approaches in 21st-Century Speculative
Literature and Culture, ed. oleh Katarzyna Ostalska dan Tomasz Fisiak
(London: Routledge, 2021), 1–13.
23 Sabda Armandio, “200022 unlink the world unlock the rest and happy
new year”, Substack, seven sp(O_O)ky steps (blog), 4 Januari 2022,
https://sevenspookysteps.substack.com/p/200022-unlink-the-world-
unlock-the.
171
hps://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik
Kondisi Poshuman di Mongrel (2021) Karya Sabda Armandio
Dimensi Kalia bekerja dengan aturannya sendiri. Ia terpisah dengan di-
mensi manusia; ada badai suara di Dimensi Kalia ketika jam delapan di di-
mensi manusia; evolusi dari pencampuran DNA (gelombang suara). Dimensi
Kalia didesain Armandio sebagai dimensi terpisah dari dimensi manusia se-
dangkan dalam pengalamannya sehari-hari akan selalu ada apa yang dia sebut
sebagai Dimensi Kalia, dimensi mengambang di antara pikiran dan ekspresi
bahasanya. Ia berada di dalam dan di antara pikirannya yang mengandung
pula perasaan. Dia membaurkan antara rasionalitas dan emosi.
Kalia dalam Mongrel adalah dimensi tempat bertemunya semua suara
yang ada di bumi. “Jadi Dimensi Kalia sudah merekam suara di bumi selama
66 juta tahun?’ tanyaku, berusaha membayang-bayangkan waktu 66 juta ta-
hun” (Mongrel 012 BADAI SUARA). Makhluk-makhluk yang menemukan
celah ke Dimensi Kalia menganggap tempat itu semacam suaka. Makhluk-
makhluk itu menetap di Dimensi Kalia karena mereka tak perlu lagi hidup de-
ngan sifat kompetitif sebagaimana di dimensi manusia. Dimensi Kalia memi-
liki aturan evolusi seperti ini: gelombang suara yang menemukan wujudnya
di dimensi ini mengobati luka mereka, dan mencampur-campur DNA dengan
makhluk lain, suara lain, dan mekanisme lain sehingga mereka menemukan
wujud yang sama sekali tidak bisa kita kenali, dan abadi (Mongrel 012 BA-
DAI SUARA).
Karena Dimensi Kalia adalah tempat berkumpulnya semua suara dan
memiliki aturannya sendiri, ketika berada di sana Audionot bisa mengalami
waktu tidak secara linier. “... aku pernah larut dalam efek nostalgia palsu …
aku mendengar suara dari musik yang kusuka mengalun di tempat paling in-
dah yang pernah kukunjungi di masa lalu” (Mongrel 012 BADAI SUARA).
Audionot mengalami waktu tidak secara linier, melainkan dari suasana ke
suasana. Manakala berada di Kalia (kesekarangan), kesadarannya berada di
masa lalu. Dia menghadapi ingatan dan kenangan masa lalunya saat bersing-
gungan dengan gelombang suara di Kalia. Tubuhnya ada di sini sekarang ini,
sedangkan pikiran dan perasaannya berada di masa lalu. Dia mengalami itu
secara bersamaan. Sekarang dan yang lalu jadi blur. Gagasan waktu yang sa-
mar itu sejajar dengan pendapat Deleuze & Guattari mengenai eternal pre-
sent yang menganggap masa lalu secara permanen ada di saat ini (Panigrahi,
2023). Di Mongrel, masa lalu tertanam melalui suara. Suara yang belum ter-
bahasakan, yang berkumpul di Dimensi Kalia, lalu bertemu dan berevolusi
dengan suara-suara lain.
172 RetorikVol. 11(2), 2023
Helmi Naufal Zul’azmi
(Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia)
Suara dalam Mongrel menjadi medium penting untuk menghubungkan
masa lalu dan sekarang. Melalui suara di Dimensi Kalia pula, Mongrel me-
nawarkan komunikasi antara manusia dan Pari Bandi yang sudah punah. Pari
Bandi diceritakan bisa mengerti ketakutan manusia melalui suara. Suara-sua-
ra itu bertemu dengan Pari Bandi di Dimensi Kalia.
Kami pikir, Pari Bandi menolong manusia bukan karena mereka binatang yang
melakukan kebaikan secara random, tetapi karena ia tumbuh dengan trauma
yang dialami umat manusia melalui suara-suara yang meminta tolong seperti ini.
(Mongrel 012 BADAI SUARA)
Pari Bandi mengerti ketakutan manusia melalui suara di Dimensi Kalia.
Suara-suara yang dimaksud di dalam kutipan itu hanyalah bising. Tanpa satu
kata pun. Efek nuansa dari suara di Dimensi Kalia itulah yang mengkomuni-
kasikan perasaan takut manusia. Di akhir cerita Pari Bandi akan membantu
warga paguyuban menyelamatkan Randu sekaligus meluluhlantakkan bis-
nis Pak Polo. Ada pula hewan gural, Bebek Nin, yang bisa berkomunikasi
dengan manusia melalui suara suling; dan Bangsa Nebatoid yang berbahasa
PiPo didesain untuk memahami kebutuhan tanaman. Mongrel hendak melam-
paui dikotomi yang mengonstruksi hierarki antara manusia/hewan/teknologi/
tumbuhan serta masa lalu/sekarang.
Dikotomi yang memperhadapkan ilmu pengetahuan juga berusaha di-
kaburkan oleh Armandio. Sejak masa kolonial, sains dianggap sebagai ilmu
pengetahuan modern, diperlawankan dengan ilmu dukun. Kloning manusia di
Mongrel dilakukan dengan sains dan teknologi, serta cara kerja dukun. Unsur
sains bisa diamati melalui tim ilmuwan Pak Polo yang menggunakan jas lab.
“Ini adalah catatan percobaan dari orang yang berjas lab tadi” (Mongrel 016
KONTAK). Lalu unsur teknologi terlihat saat manipulasi siang dan malam di
kebun Pak Polo berlangsung. “‘Macet lagi?’ tanya Pak Polo agak berteriak.
‘Lekas perbaiki. Sia-sia saya bayar kamu mahal kalau mesin kamu macet
mulu’” (Mongrel 016 KONTAK).
Manipulasi siang dan malam tidak bisa dilihat dari paguyuban karena
kebun Pak Polo dipagari Pagar Gaib. Manipulasi itu merupakan tahap ketiga
dari rangkaian proses kloning. Tahap sebelumnya adalah persiapan sesajen
dari subjek asli. Sesajen itu berupa: 7 rambut, 7 kuku, jeruk purut, kain putih,
darah, ayam bakar. Diikuti oleh semacam prosedur upacara.
Setelah sesajen siap dan prosedur upacara dilakukan, masuklah ke tahap
ketiga. Tahap keempat adalah klon dari Dimensi Kalia mendekati sesajen.
Setelahnya, dukun Harun mengikat kembaran ajaib dengan tali yang sudah
dijampi-jampi” (Mongrel 016 KONTAK). Tahap terakhir adalah klon diberi
173
hps://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik
Kondisi Poshuman di Mongrel (2021) Karya Sabda Armandio
tubuh sik dan suara lantas diinkubasi 24 jam. Tubuh sik dan suara itu di-
ekstrak dari Dimensi Kalia. Pada titik ini tahap pengkloningan memuat unsur
sains dan teknologi karena memerlukan mesin extractor Kalia.
Armandio mengacak-acak ilmu pengetahuan yang dianggap modern de-
ngan yang tradisional. Cara kerja dukun dipakai di latar waktu tahun 2041
untuk percobaan kloning manusia yang sampai saat riset ini ditulis masih di-
perdebatkan perihal etisnya. Sains adalah narrative of reality atau ‘realitas
yang dinarasikan’. Ia adalah pemodelan dari realitas (representasi realitas se-
konsisten mungkin). Alat utama pencarian dalam Sains yakni metode ilmiah.
Realitas hanya bisa ditangkap melalui bias dan asumsi pengamatnya, sedang-
kan realitas itu sendiri diam seribu bahasa. Sistem lain seperti agama atau
kebatinan mempunyai realitas yang dinarasikannya sendiri. Oleh karenanya,
kloning manusia di Mongrel yang menggabungkan unsur sains & teknologi
serta metode dukun merupakan cara Armandio untuk memikirkan ulang pan-
dangan dominan tentang ilmu pengetahuan yang dianggap terberi.
Walaupun Mongrel menolak dikotomi sains dan nonsains melalui cara
kerja dukun, dari sisi naratif praktik dukun berada di sisi kapitalisme yang di-
habisi di dalam cerita. Sistem paguyuban tak menerapkan praktik terkait per-
dukunan sehingga dari segi naratif praktik dukun sejajar dengan kapitalisme
yang dikritik oleh Armandio. Ada ambiguitas dari Armandio untuk melihat
cara kerja ilmu tradisional/dukun. Di satu sisi dia tak membedakannya dengan
Sains, di sisi lain dia menunjukkan bila dukun menyisakan celah terbuka un-
tuk dikritik sebagaimana kapitalisme.
Dalam wawancara dengan Tengara.id, Armandio tidak percaya tentang
peradaban yang menuju ke hal buruk sehingga perlu di-restart. “Yang aku
percaya adalah kontradiksi dari perkembangan teknologi dan dinamikanya
dengan makhluk: dengan manusia, hewan, dan tumbuhan. Dengan lingkung-
an. Kontradiksi itu yang harus dijaga, untuk bisa terus progress.”24 Pernyataan
itu membentuk formasi diskursif bila kemenduaan Armandio saat melihat du-
kun lebih pada pemanfaatannya serta hubungannya dengan nonmanusia. Ilmu
dukun yang dimanfaatkan tidak untuk menjawab permasalahan manusia, he-
wan, dan tumbuhan itulah sisi yang ditolak Armandio.
Ada garis batas tegas untuk menunjukkan sikapnya terhadap kapitalis-
me yang direpresentasikan Pak Polo. Dia membangun narasi resisten melalui
pekerja yang balik ke desa untuk membangun dan merencanakan desa mere-
ka. Sisi kreatif kentara karena para pekerja bisa membayangkan bagaimana
24 tengara.id, “Sabda Armandio”.
174 RetorikVol. 11(2), 2023
Helmi Naufal Zul’azmi
(Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia)
mereka hidup di luar sistem kapitalisme. Membayangkan hidup di luar sistem
kapitalisme bukanlah pekerjaan gampang. Untuk itu, pekerja yang memba-
ngun dan merencanakan paguyuban di luar kapitalisme disebut kreatif dalam
penelitian ini.
Demokrasi yang lelah, krisis ekologi, kecemasan dari perkembangan
teknologi, ketidakpastian yang menghidupi kapitalisme menjadi serangkaian
situasi eksis yang melingkungi tokoh-tokoh di Mongrel. Itu adalah kesamaan
situasi material yang mesti dihadapi oleh manusia dan nonmanusia.25 Struktur
kapitalisme, negara, dan paguyuban sama-sama ada dan saling berebut ruang.
Jalin-menjalin antarstruktur itu memengaruhi kondisi manusia dan nonma-
nusia. Hal demikian dijelaskan melalui benang merah kepayahan, dalam ko-
sakata Braidotti (fatigue dan exhausted) menjalar nyaris ke seluruh dimensi
sosial. Sering kali muncul secara bersamaan perasaan kagum sekaligus cemas
saat menyadari realitas yang eksis. Sering pula kepayahan direspons dengan
pandangan yang bernuansa regresif dan dystopia.26 Perasaan-perasaan itu pula
yang hadir di tokoh-tokoh di Mongrel.
Memang, perasaan putus asa, takut, cemas, tertekan tidak muncul di
sana-sini atau di setiap cerita. Namun, perasaan demikian dialami oleh Aku,
Aliyah, Bu Isa, Audionot, kakak-kakak di paguyuban, dan Wortel. Perasaan
putus asa datang ke Aliyah saat dia melihat pemandangan sekitar dari menara
Gigirkali. “Perasaan samar bahwa sesuatu yang mengancam sedang meng-
hampiri kami, tetapi kami tidak punya fakta yang cukup untuk benar-benar
memercayai—apalagi menyelesaikannya” (Mongrel 004 SALADA). Perasa-
an demikian bisa pula muncul dari interaksi manusia dengan teknologi seperti
yang terjadi di Bu Isa dan Audionot.
Dalam kosakata Braidotti, perasaan fatigue dan exhausted bisa di-
sebabkan oleh pekerjaan, sistem politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan.27
Meski tak persis sama dengan apa yang dikatakan Braidotti, ada benang me-
rah bahwa kepayahan itu bisa muncul dari mana saja. Dari interaksi dengan
sistem sosial, politik, hingga budaya yang melingkungi kita. Schmeink mem-
perjelas maksud Braidotti dengan mengatakan bahwa kondisi poshuman me-
lihat pula bagaimana keseluruhan efek dari kondisi sosial, politik, dan eko-
nomi yang memengaruhi hidup kita.28 Apa yang dirasakan Kami adalah efek
25 Braidotti, Posthuman Knowledge, 19–22.
26 Schmeink, Biopunk Dystopias, 38.
27 Braidotti, Posthuman Knowledge, 92.
28 Schmeink, Biopunk Dystopias, 41.
175
hps://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik
Kondisi Poshuman di Mongrel (2021) Karya Sabda Armandio
dari sistem politik dan ekonomi yang ada di luar paguyuban. Hal itu terlihat
ketika Aliyah tahu bila kapitalisme masih bekerja di luar paguyuban; dan pe-
rasaan tertekan saat kami melihat gedung-gedung perkantoran di timur jauh.
Bangunan gedung-gedung perkantoran berbeda dengan bangunan yang ada
di paguyuban. “Bangunan tertinggi di paguyuban adalah menara Gigirkali
sekitar 40 meter” (Mongrel 001 NODA).
Sistem yang memberi efek lelah dan payah itu adalah sistem yang bera-
da di luar paguyuban. Meskipun berada di luar, efeknya tetap bisa dirasakan
karena paguyuban masih terhubung dengan dunia di luarnya. Sistem yang
demikian dihindari dalam paguyuban. Sistem paguyuban bagi Armandio ada-
lah sosialisme akar rumput.29 Armandio memperlawankan sosialisme akar
rumput dan kapitalisme. Walaupun logika dualisme diterapkan di situ, namun
bentuk penarasiannya menunjukkan sebaliknya. Armandio menggunakan la-
tar desa sebagai masa depan yang lebih baik. Desa dalam pandangan dominan
sekarang sering disamakan dengan keterbelakangan dan sebaliknya, kema-
juan ada di kota. Dari mentalitas seperti itu, muncul ujaran dengan tendensi
menghina: kampungan. Dalam Mongrel, paguyuban yang berupa desa itu di-
letakkan sebagai masa depan atau yang modern. Paguyuban-paguyuban su-
dah berjejaring secara internasional, mengembangkan Bangsa Nebatoid me-
lalui AI, penelitian-penelitian ilmiah berkembang lebih baik sesudah adanya
sistem paguyuban. Mongrel membaurkan dikotomi antara kota yang dianggap
modern dengan desa yang dianggap terbelakang melalui paguyuban.
Situasi-situasi yang sudah terjelaskan itu menempatkan kondisi pos-
human di Mongrel sebagai dunia yang nonbiner. Nonbiner yang diceritakan
dari manusia/hewan/tumbuhan/teknologi, waktu sekarang/masa lalu, Sains/
dukun, kota/desa. Logika biner tetap ada di Mongrel untuk menunjukkan se-
cara terang penolakan Armandio atas sistem dominan kapitalisme. Pak Polo
secara sikal digambarkan selayaknya manusia biasa, dan kemudian dihabisi
di dalam cerita.
Hal-hal demikianlah yang ditunjuk sebagai kondisi poshuman dalam pe-
nelitian ini. Kondisi poshuman di Mongrel yang berupaya melampaui diko-
tomi. Pemahaman terhadap situasi kesekarangan bisa membantu menyusun
apa dan siapa yang disebut manusia. Lantas didayagunakan agar kita tak lagi
kehilangan harapan atau putus asa atau tenggelam dalam ketakutan yang sa-
mar. Pendayagunaan itu mesti meletakkan nonmanusia lebih setara dengan
29 tengara.id, “Sabda Armandio.”
176 RetorikVol. 11(2), 2023
Helmi Naufal Zul’azmi
(Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia)
manusia, menentukan bentuk-bentuk relasi antara manusia dan nonmanusia.
Relasi yang, kata Braidotti, etis dan armatif.30
Hewan, tanaman, dan robot dianggap ada secara serius di paguyuban.
Ada jembatan kuning untuk lalu lintas khusus hewan. Andropot memiliki
kecerdasaannya sendiri untuk menerjemahkan kebutuhan tanaman. Bangsa
Nebatoid sebagai spesies robot sederhana sudah mempunyai bahasa dengan
strukturnya sendiri. Nin mampu berkomunikasi melalui suara dengan nada
1-7-9-7 dari suling. Kondisi poshuman yang dimaksud Braidotti tak hanya
membeberkan situasi sulit. Dia juga menawarkan kemungkinan-kemungkin-
an baru untuk hidup yang lebih baik. Saat merencanakan dan membangun sis-
tem di paguyuban, tokoh-tokoh di cerita Mongrel memiliki kesadaran untuk
mempertimbangkan nonmanusia.
Mongrel sebagai ksi sains fantasi memberi tawaran untuk menerjemah-
kan sisi emansipatif, relasi etis dan armatif, melalui sistem di paguyuban-
paguyuban. Aliyah, Aku, Randu, dan tokoh-tokoh manusia berada dalam po-
sisi yang lebih setara dengan Wortel, Babi Kutil, Pari Bandi, kloning, dan
robot yang ada di cerita Mongrel. Hewan, teknologi, tanaman jadi bagian
penting sekaligus berperan signikan untuk menentukan bagaimana sistem
paguyuban dikembangkan. Hal demikianlah yang menentukan bentuk-bentuk
relasi antara manusia dan nonmanusia.
Simpulan
Kondisi poshuman dalam Mongrel adalah krisis ekonomi dan ekologi,
kapitalisme lanjut dan terciptanya paguyuban, teknologi dan kecerdasan bu-
atan, serta kerja dukun dan Dimensi Kalia. Kondisi poshuman mengarah pada
dua sisi mata pedang. Di satu sisi, paguyuban-paguyuban beriringan dengan
kapitalisme lanjut. Pak Polo sebagai metafora kapitalisme lanjut memanfaat-
kan teknologi, cara kerja dukun, manusia, dan hewan untuk mengembangkan
dan memelihara bisnisnya. Pak Polo membaurkan batas antara manusia dan
nonmanusia sebagaimana gagasan poshuman. Namun, teknologi dan hewan
semata-mata dimanfaatkan perusahaan Pak Polo, mereka berusaha ditunduk-
kan di bawah kepentingan Pak Polo. Di sisi lain, tercipta pula kondisi di mana
paguyuban juga mengembangkan teknologi untuk menjawab persoalan yang
dihadapi sehari-hari oleh manusia dan nonmanusia. Teknologi, tanaman, dan
hewan dilihat sebagai individu yang hidup berdampingan dengan manusia.
30 Braidotti, Posthuman Knowledge, 294–96.
177
hps://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik
Kondisi Poshuman di Mongrel (2021) Karya Sabda Armandio
Itulah yang membedakan relasi manusia dan nonmanusia dalam konteks ini
dengan kapitalisme lanjut versi Pak Polo dan warga paguyuban.
Dalam beberapa hal, kondisi poshuman di Mongrel menunjukkan upa-
ya untuk melampaui dikotomi. Itu adalah usaha keluar dari warisan kolonial
yang memperlawankan sains dengan ilmu dukun. Sementara ada ambiguitas
bagaimana Mongrel memposisikan dukun. Di satu sisi, dukun berfungsi un-
tuk menerobos warisan kolonial, meskipun dihabisi di akhir cerita. Dikotomi
yang berusaha dilampaui di ksi Mongrel membentang dari manusia/hewan/
tanaman/teknologi, sekarang/masa lalu, sains/dukun, kota/desa. Unsur dukun
atau gaib inilah yang belum ada dalam konsep pokok poshuman. Ia adalah
kategori yang ditepikan oleh wacana modern, sehingga dalam konteks pene-
litian ini dukun termasuk kriteria poshuman. Sementara itu, sisi dikotomis
tetap ada di Mongrel untuk menunjukkan secara terang penolakan Mongrel
atas relasi-relasi yang terbentuk di bawah kapitalisme lanjut.
Daftar Pustaka
Armandio, Sabda. “200022 unlink the world unlock the rest and happy new
year”. Substack. seven sp(O_O)ky steps (blog), 4 Januari 2022. https://
sevenspookysteps.substack.com/p/200022-unlink-the-world-unlock-the.
———. “Mengajari Mesin Berpikir: Apakah AI Akan Menggantikan Pekerja?”
Jurno.id. Diakses 5 Desember 2023. https://jurno.id/mengajari-mesin-berpikir.
———. “Mongrel”. KumparanPlus, 2021. https://kumparan.com/sabda-armandio.
Braidotti, Rosi. “A Theoretical Framework for the Critical Posthumanities”.
Theory, Culture & Society 36, no. 6 (1 November 2019): 31–61. https://doi.
org/10.1177/0263276418771486.
———. Posthuman Knowledge. Cambridge: Polity, 2019.
Ferrando, Francesca. Philosophical Posthumanism. London: Bloomsbury
Academic, 2019.
Gomel, Elana. “Science (Fiction) and Posthuman Ethics: Redening the Human”.
The European Legacy 16, no. 3 (1 Juni 2011): 339–54. https://doi.org/10.1080/
10848770.2011.575597.
Käll, Jannice. Posthuman Property and Law: Commodication and Control through
Information, Smart Spaces and Articial Intelligence. London: Routledge,
2022.
Leung, Cham Sum Jason. “Posthumanism, Singularity, and the Anthropocene: A
Thematic Perspective on Posthuman Science Fiction”. Disertasi, Hong Kong
Baptist University. Diakses 5 Desember 2023. https://scholars.hkbu.edu.hk/en/
studentTheses/posthumanism-singularity-and-the-anthropocene-a-thematic-
perspect.
178 RetorikVol. 11(2), 2023
Helmi Naufal Zul’azmi
(Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia)
Orwell, George. 1984. Disunting oleh Ika Yuliana Kurniasih. Diterjemahkan
oleh Landung Simatupang. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2016. https://
balaiyanpus.jogjaprov.go.id/opac/detail-opac?id=291024.
Ostalska, Katarzyna, dan Tomasz Fisiak. “Utopia and Dystopia in the 21st Century:
Feminism, Intersectionality, and the Rejection of Binarism”. Dalam The
Postworld In-Between Utopia and Dystopia: Intersectional, Feminist, and
Non-Binary Approaches in 21st-Century Speculative Literature and Culture,
disunting oleh Katarzyna Ostalska dan Tomasz Fisiak, 1–13. London:
Routledge, 2021.
Schmeink, Lars. Biopunk Dystopias: Genetic Engineering, Society, and Science
Fiction. Liverpool: Liverpool University Press, 2016.
Sejati, Idha Saraswati Wahyu. “Meretas kuasa data, merebut ruang digital;
deteritorialisasi kekuasaan melalui resistensi terhadap Surveillance Digital”.
Tesis, Sanata Dharma University, 2020. https://repository.usd.ac.id/39211/.
tengara.id. “Sabda Armandio: Berkeliling Semesta Spekulatif • tengara.id”. Tengara.
id, 18 Agustus 2021. https://tengara.id/percakapan/sabda-armandio/.
Winedar, T.A. “‘Pulangnya Susah’: Begini Rasanya Tersesat di Alam Lain”. Vice,
8 Maret 2023. https://www.vice.com/id/article/xgwqaw/pengakuan-orang-
hilang-ke-alam-lain.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
What are the parameters that define a posthuman knowing subject, her scientific credibility and ethical accountability? Taking the posthumanities as an emergent field of enquiry based on the convergence of posthumanism and post-anthropocentrism, I argue that posthuman knowledge claims go beyond the critiques of the universalist image of ‘Man’ and of human exceptionalism. The conceptual foundation I envisage for the critical posthumanities is a neo-Spinozist monistic ontology that assumes radical immanence, i.e. the primacy of intelligent and self-organizing matter. This implies that the posthuman knowing subject has to be understood as a relational embodied and embedded, affective and accountable entity and not only as a transcendental consciousness. Two related notions emerge from this claim: firstly, the mind-body continuum – i.e. the embrainment of the body and embodiment of the mind – and secondly, the nature-culture continuum – i.e. ‘naturecultural’ and ‘humanimal’ transversal bonding. The article explores these key conceptual and methodological perspectives and discusses the implications of the critical posthumanities for practices in the contemporary ‘research’ university.
Article
Full-text available
The boundaries of the ethical have traditionally coincided with the boundaries of humanity. This, however, is no longer the case. Scientific developments, such as genetic engineering, stem-cell research, cloning, the Human Genome Project, new paleontological evidence, and the rise of neuropsychology call into question the very notion of human being and thus require a new conceptual map for ethical judgment. The contours of this map may be seen to emerge in works of science fiction (SF), which not only vividly dramatize the implications and consequences of new technologies and discoveries, but also exert a powerful influence on culture, creating a feedback loop of images and ideas. This essay focuses on three SF topoi: the human/animal evolutionary boundary; non-biological subjectivity (AI); and the human/alien interaction. It explores each of these topoi in a selection of SF texts, including novels by H. G. Wells, Olaf Stapledon, Stephen Baxter, William Gibson, Stanislaw Lem and others, showing how the boundaries of humanity are expanded and then exploded through the radical subversion of the tenets of liberal humanism.
200022 unlink the world unlock the rest and happy new year". Substack. seven sp(O_O)ky steps (blog), 4 Januari 2022
  • Sabda Armandio
Armandio, Sabda. "200022 unlink the world unlock the rest and happy new year". Substack. seven sp(O_O)ky steps (blog), 4 Januari 2022. https:// sevenspookysteps.substack.com/p/200022-unlink-the-world-unlock-the. ---. "Mengajari Mesin Berpikir: Apakah AI Akan Menggantikan Pekerja?" Jurno.id. Diakses 5 Desember 2023. https://jurno.id/mengajari-mesin-berpikir. ---. "Mongrel". KumparanPlus, 2021. https://kumparan.com/sabda-armandio.
Disunting oleh Ika Yuliana Kurniasih
  • George Orwell
Orwell, George. 1984. Disunting oleh Ika Yuliana Kurniasih. Diterjemahkan oleh Landung Simatupang. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2016. https:// balaiyanpus.jogjaprov.go.id/opac/detail-opac?id=291024.
Utopia and Dystopia in the 21st Century: Feminism, Intersectionality, and the Rejection of Binarism
  • Katarzyna Ostalska
  • Tomasz Dan
  • Fisiak
Ostalska, Katarzyna, dan Tomasz Fisiak. "Utopia and Dystopia in the 21st Century: Feminism, Intersectionality, and the Rejection of Binarism". Dalam The Postworld In-Between Utopia and Dystopia: Intersectional, Feminist, and Non-Binary Approaches in 21st-Century Speculative Literature and Culture, disunting oleh Katarzyna Ostalska dan Tomasz Fisiak, 1-13. London: Routledge, 2021.
Meretas kuasa data, merebut ruang digital
  • Idha Sejati
  • Saraswati Wahyu
Sejati, Idha Saraswati Wahyu. "Meretas kuasa data, merebut ruang digital;
Pulangnya Susah': Begini Rasanya Tersesat di Alam Lain
  • T A Winedar
Winedar, T.A. "'Pulangnya Susah': Begini Rasanya Tersesat di Alam Lain". Vice, 8 Maret 2023. https://www.vice.com/id/article/xgwqaw/pengakuan-oranghilang-ke-alam-lain.