Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
PRISMA FISIKA, Vol. 10, No. 2 (2022), Hal. 206 - 213 ISSN : 2337-8204
206
Identifikasi Struktur Bawah Permukaan Daerah Panas Bumi dengan
Metode Magnetik di Daerah Tarutung Bagian Selatan dan Sekitarnya,
Provinsi Sumatra Utara
Nurul Hidayati1*, Yudha Arman2, Zulfian3
Prodi Geofisika, FMIPA Universitas Tanjungpura
*Email : nurulhidayyati26@gmail.com
(Diterima 19 Juli 2022; Disetujui 19 Agustus 2022; Dipublikasikan 31 Agustus 2022)
Abstrak
Telah dilakukan penelitian tentang identifikasi struktur bawah permukaan daerah panas bumi melalui
pemodelan 2D metode magnetik di daerah Tarutung bagian Selatan dan sekitarnya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui struktur lapisan bawah permukaan pada lokasi manifestasi panas bumi di
daerah penelitian. Pemodelan 2D dilakukan berdasarkan hasil anomali magnetik regional dan didukung
oleh informasi geologi daerah tersebut. Penggunaan metode kontinuasi ke atas pada data anomali
magnetik menghasilkan nilai anomali magnetik regional mulai dari -86,7 nT hingga 108,9 nT yang
berasosiasi dengan terdapatnya sesar dan mata air panas. Daerah prospek ini didominasi oleh batuan
andesit dan aglomerat berasal dari Formasi Gunung Api Toru (Tmvo) dan batuan tufa berasal dari Satuan
Tufa Toba (Qvt). Lebih lanjut, pemodelan 2D pada penampang sayatan A-A’, sayatan B-B’, sayatan C-C’,
dan sayatan D-D’ menguatkan hasil interpretasi sebelumnya terkait keberadaan struktur sesar. Terdapat
3 perlapisan batuan untuk setiap profil pada sayatan, yaitu andesit dan aglomerat, cap rock (tufa dan
aluvium) sebagai tempat keluarnya air panas, dan zona reservoir yaitu batu pasir. Proses demagnetisasi
akibat alterasi hidrotermal ditunjukkan oleh adanya bagian dari daerah penelitian yang memiliki nilai
suseptibilitas kecil.
Kata Kunci : Metode Magnetik, Panas Bumi, Kontinuasi ke Atas, Anomali Regional, Pemodelan 2D
1. Latar Belakang
Indonesia mempunyai 299 prospek panas
bumi yang terpencar di sepanjang jalur vulkanis.
Jalur vulkanis dimulai dari bagian Barat
Sumatra, berlanjut ke Pulau Jawa, Bali, Nusa
Tenggara, selanjutnya berbelok ke arah Utara
melalui Maluku dan Sulawesi. Salah satu daerah
yang dilalui jalur vulkanis yaitu daerah Tarutung
dan sekitarnya yang terletak di Provinsi
Sumatra Utara [1]. Berdasarkan informasi
geologi, daerah tersebut terdapat manifestasi
panas bumi berupa mata air panas dan fumarol,
serta terdapat struktur geologi berupa patahan
dan batas geologi.
Potensi panas bumi di daerah Tarutung
dapat dilihat dengan adanya lokasi pemandian
air panas di Air Panas Ria-Ria dan Air panas
Hutabarat. Struktur sesar yang terdapat di
daerah Sipoholon, Tapanuli Utara diduga
merupakan jalur sumber air panas untuk kedua
tempat pemandian tersebut [2]. Hasan, et al
(2005) [3] melaporkan manifestasi panas bumi
di daerah Sipoholon, Tarutung berupa mata air
panas, bualan gas dan solfatara dengan tipe air
panas di daerah tersebut terdiri dari tipe
klorida, tipe bikarbonat dan tipe sulfat. Daerah
wisata pemandian air panas lainnya yang
terdapat di daerah penelitian yaitu Mata Air
Panas Sipoholon, Mata Air Panas Hutabarat,
Mata Air Panas Sitompul, Mata Air Panas Tapian
Nauli, Mata Air Panas Parbubu, Mata Air Panas
Ugan, Mata Air Panas Penabungan, Mata Air
Panas Pansur Batu, Mata Air Panas Simamora
dan Air Panas Saitnihuta.
Sistem panas bumi meliputi sistem
hidrotermal yang terdiri dari sistem tata air,
proses pemanasan dan kondisi sistem air yang
terpanaskan terakumulasi. Syarat dari sistem
panas bumi yakni terdapatnya air, batuan
pemanas, batuan sarang dan batuan penutup
[4]. Melalui mekanisme alterasi hidrotermal,
sistem panas bumi tersebut dapat mengubah
nilai suseptibilitas magnetik batuan menjadi
lebih rendah.
Batuan tersebut kemudian bersifat
paramagnetik atau bahkan diamagnetik.
Berdasarkan hal tersebut, metode magnetik
dapat diterapkan untuk penentuan struktur
geologi daerah bawah permukaan seperti
patahan, lipatan, intrusi batuan beku dan
reservoir panas bumi [5]. Hal ini disebabkan
medan magnet terukur dipengaruhi oleh variasi
nilai suseptibilitas batuan bawah permukaan.
Penerapan metode magnetik untuk
mengidentifikasi keberadaan panas bumi
pernah dilakukan sebelumnya. Mahmudi, et al
PRISMA FISIKA, Vol. 10, No. 2 (2022), Hal. 206 - 213 ISSN : 2337-8204
207
(2019) [6] melaporkan penggunaan metode
magnetik daerah panas bumi di wilayah Jaboi
Sabang. Wilayah panas bumi tersebut
diidentifikasi memiliki manifestasi panas bumi
karena menunjukkan nilai anomali magnetik
rendah. Keberadaan sesar Ceuneuhot
ditunjukkan oleh kontras nilai anomali tinggi
dan rendah. Terdapat 5 lapisan yang berbeda
berdasarkan kontras suseptibilitas. Berdasarkan
interpretasi yang dilakukan, daerah penelitian
didominasi oleh andesit, breksi dan tufa [6].
Penerapan metode magnetik di daerah
Tarutung bagian Selatan dan sekitarnya
dilakukan untuk mengidentifikasi panas bumi
yang ada. Upaya ini dilakukan untuk
mendapatkan struktur bawah permukaan yang
dapat digunakan sebagai dasar bagi pemetaan
potensi energi panas bumi.
2. Metodologi
Lokasi penelitian berada di daerah Tarutung
bagian Selatan dan sekitarnya berada pada
wilayah dengan koordinat 1°50’00” - 2°07’59”
LU dan 98°41’58” – 99°07’00” BT. Data yang
digunakan untuk penelitian ini adalah data
sekunder berupa peta anomali magnetik daerah
Tarutung dan sekitarnya yang diterbitkan oleh
Pusat Survei Geologi. Anomali magnetik pada
peta ini sudah melalui tahap koreksi harian dan
koreksi IGRF.
Pengolahan data diawali dengan proses
digitasi. Tujuan dilakukannya proses digitasi
adalah untuk memperoleh nilai digital anomali
magnetik dan koordinat pada wilayah yang
diinginkan sehingga dapat diolah secara
numerik dengan bantuan komputer. Data hasil
proses digitasi kemudian diolah untuk
menghasilkan peta anomali magnetik total.
Reduksi ke ekuator dengan menggunakan sudut
inklinasi sebesar -15.4705° dan nilai sudut
deklinasi sebesar -0.714054° dilakukan untuk
menghilangkan pengaruh skewness dari anomali
yang ditinjau. Transformasi ini memungkinkan
benda anomali seolah-olah bertumpuk dengan
sumber medan magnetik, sehingga benda
anomali tersebut dapat dikorelasikan dengan
anomali geofisika lainnya [7].
Upward continuation (kontinuasi ke atas)
kemudian dilakukan untuk memperoleh
anomali magnetik regional dengan
menghilangkan efek dangkal (lokal) dalam data.
Pada penelitian ini, kontinuasi ke atas dilakukan
menggunakan nilai ketinggian 500 m. Hasil yang
diperoleh pada tahap ini digunakan untuk
memodelkan struktur berdasarkan kondisi
geologi berupa manifestasi panas bumi yang
diduga adanya sumber panas bumi.
Pemodelan 2D didasarkan pada anomali
magnetik regional. Pada proses ini, nilai IGRF
yang digunakan sebesar 42225,86 nT, nilai
sudut inklinasi sebesar -15,4705° dan nilai
sudut deklinasi sebesar -0,714054°. Proses
pemodelan 2D bertujuan untuk
menggambarkan struktur bawah permukaan
dan menjelaskan model reservoir panas bumi.
Metode yang digunakan untuk mendapatkan
kecocokan antara data teoritis (respon model)
dengan data lapangan adalah proses trial and
error dengan mengubah-ubah harga parameter
model.
Parameter model yang digunakan adalah
geometri benda anomali, kedalaman dan nilai
suseptibilitas. Proses pengulangan pengubahan
parameter model dilakukan hingga respons
model memiliki nilai Root Mean Square Error /
RMSE (kesalahan hampiran) yang kecil ke data
lapangan. Kesalahan hampiran tersebut dihitung
menggunakan persamaan:
(1)
dengan adalah respon model ke i,
adalah data lapangan ke i, adalah jumlah
data
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Anomali Magnetik
Gambar 3 merupakan peta anomali
magnetik total hasil digitasi di daerah penelitian.
Anomali magnetik total didapatkan dari hasil
koreksi terhadap data observasi di lapangan [8].
Berdasarkan gambar tersebut daerah penelitian
memiliki nilai anomali magnetik total antara (-
107,4) nT hingga 123,3 nT.
Nilai anomali magnetik terdapat tiga
kelompok anomali, diantaranya anomali
magnetik rendah yang ditunjukkan dengan
warna biru gelap hingga hijau muda berkisar
antara (-107,4) nT hingga (-3,2) nT. Anomali
magnetik sedang yang ditunjukkan dengan
warna kuning sampai jingga yang berkisar
antara (-2,5) nT hingga 37,3 nT. Anomali
magnetik tinggi yang ditunjukkan dengan warna
merah sampai ungu muda yang berkisar antara
46,9 nT hingga 123,3 nT.
Persebaran anomali rendah tersebar di
arah Utara hingga Tenggara daerah Tarutung.
Berdasarkan informasi geologi anomali rendah
berada pada Satuan Tufa Toba. Sedangkan
persebaran anomali sedang tersebar di arah
Selatan hingga Barat Daya daerah Tarutung,
anomali sedang berada pada Satuan Tufa Toba,
Formasi Barus, dan Komplek Sibolga. Sementara
itu, di arah Tenggara hingga Selatan Tarutung
terdapat didominasi anomali tinggi berada pada
Formasi Gunung Api Toru. Anomali rendah pada
Satuan Tufa Toba disebabkan oleh batuan tufa
yang mempunyai nilai anomali magnetik rendah
dan adanya peran dari panas bumi di daerah
PRISMA FISIKA, Vol. 10, No. 2 (2022), Hal. 206 - 213 ISSN : 2337-8204
208
tersebut, sedangkan nilai anomali magnetik
tinggi pada Formasi Gunung Api Toru
disebabkan oleh batuan gunung api.
Gambar 3. Peta anomali magnetik total
Peta anomali magnetik total yang
dihasilkan masih dipengaruhi oleh arah inklinasi
medan magnetik bumi yang menghasilkan pola
dipol pada data magnetik akibat terinduksinya
kemagnetan batuan. Oleh karena itu, diperlukan
proses transformasi reduksi ke ekuator (RTE)
yang bertujuan untuk mentransformasikan
vektor kemagnetan induksi sehingga memiliki
arah vertikal seperti kondisi di ekuator dan
dapat lebih memudahkan interpretasi dengan
menggambarkan pola sumber anomali. Proses
transformasi reduksi ke ekuator ini diharapkan
menghasilkan pola anomali bersifat monopol.
Gambar 4. Peta anomali magnetik di RTE
Gambar 4 merupakan hasil transformasi
reduksi ke ekuator (RTE) dari hasil anomali
magnetik total daerah penelitian, yang
menggambarkan persebaran anomali magnetik
setelah direduksi ke ekuator dari tinggi hingga
rendah yang berkisar antara (-101,7) nT hingga
122,1 nT. Penguatan anomali berskala biru
gelap hingga hijau muda dengan nilai berkisar
antara (-101,7) nT sampai (-1,8) nT. Anomali
magnetik sedang yang ditunjukkan dengan
warna kuning sampai jingga yang berkisar
antara 8,3 nT hingga 46,9 nT. Anomali magnetik
tinggi yang ditunjukkan dengan warna merah
sampai ungu muda yang berkisar antara 55,3 nT
hingga 122,1 nT.
Setelah dilakukan koreksi reduksi ke
ekuator (RTE) didapatkan pelemahan nilai
anomali magnetik dibanding dengan anomali
magnetik total. Pelemahan nilai anomali
magnetik ini dikarenakan adanya perubahan
nilai inklinasi menjadi 0° pada hasil anomali
magnetik total.
Peta anomali magnetik reduksi ke ekuator
(RTE) masih berupa gabungan antara anomali
regional dan anomali residual, maka perlu
adanya pemisahan antara kedua anomali
tersebut untuk melihat bagaimana pola masing-
masing keduanya. Pemisahan anomali regional
dan residual dapat dilakukan dengan
transformasi kontinuasi ke atas. Proses
kontinuasi ke atas bertujuan untuk
mendapatkan pola anomali magnetik regional
yang lebih halus dengan menghitung data yang
seolah-olah diamati pada ketinggian tertentu
dengan menghilangkan pengaruh anomali lokal
[9].
Hasil dari proses transformasi ini adalah
anomali magnetik regional, anomali regional
yang mana erat kaitannya dengan pendugaan
keberadaan panas bumi karena pada umumnya
panas bumi berada di bawah permukaan yang
yang cukup dalam. Anomali magnetik regional
diharapkan dapat membantu dalam proses
tahap interpretasi dan pemodelan struktur
bawah permukaan sebagian mata air panas pada
daerah Tarutung bagian Selatan dan sekitarnya.
Karena anomali magnetik regional merupakan
anomali magnetik hasil respon dari batuan di
bawah permukaan yang lebih dalam.
Oleh karena itu, pada penelitian ini
dilakukan pengangkatan ke atas dlakukan
dengan interval 100 m dengan metode trial and
error hingga pola konturnya tidak berubah lagi,
didapatkan anomali regional yang pola
anomalinya tidak berubah lagi yaitu pada
ketinggian 500 m.
Gambar 5 merupakan hasil anomali
magnetik regional yang telah dilakukan
kontinuasi ke atas pada ketinggian 500 m, yang
menggambarkan persebaran anomali magnetik
setelah dilakukan pengangkatan ke atas dari
tinggi hingga rendah yang berkisar antara (-
86,7) nT hingga 108,9 nT. Perubahan anomali
magnetik berskala biru gelap hingga hijau muda
dengan nilai berkisar antara (-86,7) nT sampai
(-2,8) nT. Anomali magnetik sedang yang
PRISMA FISIKA, Vol. 10, No. 2 (2022), Hal. 206 - 213 ISSN : 2337-8204
209
ditunjukkan dengan warna kuning sampai jingga
yang berkisar antara 8,5 nT hingga 47,5 nT.
Gambar 5. Peta anomali magnetik regional
Anomali magnetik tinggi yang ditunjukkan
dengan warna merah sampai ungu muda yang
berkisar antara 54,8 nT hingga 108,9 nT.
Berdasarkan hasil kontinuasi ke atas didapatkan
perbedaan dibanding dengan anomali magnetik
total sebelumnya, terlihat adanya perubahan
nilai anomali rendah yang tersebar pada arah
Barat–Barat Laut hingga Timur Laut– Timur
Tarutung. Kehadiran panas bumi umumnya
dicirikan dengan nilai anomali magnetik yang
rendah diantara anomali magnetik tinggi yang
berada disekelilingnya. Hal ini dapat
dikarenakan proses demagnetisasi akibat
adanya alterasi hidrotermal. Proses tersebut
dapat mengubah mineral yang ada menjadi
mineral paramagnetik atau bahkan diamagnetik
[10].
3.2 Interpretasi Bawah Permukaan
Gambar 6 merupakan sayatan yang dibuat
pada peta anomali magnetik regional. Sayatan
yang dibuat sejumlah empat sayatan, yaitu
sayatan A-A’, B-B’, CC’ dan D-D’. Pemodelan 2D
yang dilakukan pada penelitian ini
menggunakan forward modeling yang dilakukan
secara berulang.
Pengulangan proses forward modeling dapat
dikatakan sebagai inverse modeling. Agar
diperoleh solusi terbaik maka pemodelan ini
dilakukan dengan modifikasi parameter model
trial and error. Sehingga dari proses tersebut
diperoleh kecocokan antara data kalkulasi
dengan data observasi.
Informasi pendukung dari data geologi
maupun data geofisika lainnya dapat menjadi
pertimbangan utama dan membantu dalam
penentuan model awal. Sementara itu,
pengetahuan mengenai karakteristik fisis panas
bumi yang ditinjau dapat membantu perkiraan
parameter yang perlu diubah dan sejauh mana
perubahan yang dilakukan hingga didapatkan
hasil nilai RMSE terkecil [11].
Gambar 6. Sayatan-sayatan pada anomali
magnetik regional yang di-overlay
dengan peta geologi di lokasi
penelitian
a. Sayatan A-A’
Bat
ua
n
Wa
rna
Suseptibili
tas (SI)
Formasi
batuan
Kedalama
n
(m)
Batuan
dominan
1
2
3
0,00818 –
0,01760
Formasi
Gunung Api
Toru
-1587 –
(+2147)
Aglomerat
dan
andesit
4
-0,01258
Formasi
Gunung Api
Toru
-1587 –
(+2147)
Andesit
teralterasi
5
6
7
8
0,00253 –
0,02514
Tufa Toba
-1320 –
(+75)
Tufa
9
0,00692
Alluvium
-964 –
(+75)
Alluvium
10
11
0,00044
Kelompok
Tapanuli
Tak
Terpisahkan
-644 –
(+2147)
Batu pasir
Gambar 8. Hasil model 2D bawah permukaan
pada sayatan A-A’ (penampang peta
geologi)
PRISMA FISIKA, Vol. 10, No. 2 (2022), Hal. 206 - 213 ISSN : 2337-8204
210
Gambar 9 merupakan hasil pengolahan data
pada sayatan A-A’ dengan panjang sayatan
sekitar 25800 m. Sayatan A-A’ memotong salah
satu sesar yang berarah Barat Laut–Tenggara
Tarutung, manifestasi panas bumi berupa mata
air panas yang terdapat pada informasi geologi,
dan anomali positif dan anomali negatif yang
terletak di sebelah Timur Tarutung. Model 2D
ini sesuai dengan model geologi pada lembar
Pemaatangsiantar (bagian dari peta geologi
lembar Tarutung dan sekitarnya) [12].
Berdasarkan Gambar 8, dapat dilihat bahwa
model bawah permukaan pada sayatan A-A’
dengan nilai RMSE yang didapat yaitu 1,849 dan
total kedalaman sekitar 3500 m (sekitar 2000 m
di bawah permukaan laut dan sekitar 1580 m di
atas permukaan laut). Batuan 1, 2 dan 3
memiliki nilai suseptibilitas 0,00818 – 0,0176 SI
pada kedalaman sekitar 1587 m di atas
permukaan laut hingga 2147 m di bawah
permukaan laut dengan ketebalan lapisan
sekitar 3734 m. Lalu, batuan 4 memiliki nilai
suseptibilitas -0,01258 SI pada 484 m di atas
permukaan laut hingga 1080 m di bawah
permukaan laut. Batuan 1, 2, 3 dan 4 ini berada
pada lapisan pertama dan batuan beku ini
mengalami intrusi.
Pada bagian tengah daerah penelitian
terdapat batuan intrusi riolit berumur Plistosen
bawah yang dikenal sebagai Tufa Toba. Batuan
ini tersebar di daerah Gunung Tua berupa
subvulkanik dengan struktur kekar tiang
(columnar joint) [13]. Pada penampang sayatan
A-A’ juga memotong sesar yang terdapat pada
peta geologi, dan terlihat pada sayatan A-A’
terdapat struktur sesar tersebut yang berada
pada endapan Alluvium (Qh) membentuk
daerah graben dan juga berada pada formasi
batuan Tuba Toba (Qvt) dan Tapanuli Tak
Terpisahkan (Put).
Batuan 1, 2, dan 3 diduga sebagai batuan
aglomerat dan batuan andesit, sedangkan
batuan 4 diduga mineral kuarsa ataupun
lempung kalsit yang tersusun dalam batuan
andesit. Batuan ini berasal dari Formasi Gunung
Api Toru (Tmvo) yang berumur Miosen Tengah
hingga Miosen Akhir. Kemudian, pada batuan 5,
6 dan 7 yang memiliki nilai suseptibilitas dengan
rentang 0,00253 – 0,02514 SI pada kedalaman
sekitar 1320 m di atas permukaan laut hingga
75 m di bawah permukaan laut dengan
ketebalan lapisan maksimum sekitar 1395 m.
b. Sayatan B-B’
Bat
ua
n
Wa
rna
Suseptibili
tas (SI)
Formasi
batuan
Kedalama
n
(m)
Batuan
dominan
1
2
3
0,00253
Tufa Toba
-1430 –
(+610)
Tufa
4
0,00692
Alluvium
-1084 –
(+340)
Alluvium
5
6
7
0,00818 –
0,01823
Formasi
Gunung Api
Toru
-582 –
(+2044)
Aglomerat
dan
andesit
8
-0,01644
Formasi
Gunung Api
Toru
-774 –
(+1843)
Andesit
teralterasi
9
10
11
0,00044
Kelompok
Tapanuli Tak
Terpisahkan
+39 –
(+2096)
Batu pasir
Gambar 9. Hasil model 2D bawah permukaan
pada sayatan B-B’
Gambar 9 merupakan hasil pengolahan
data pada sayatan B-B’ dengan panjang sayatan
sekitar 26000 m dengan nilai RMSE 2,945.
Sayatan B-B’ memotong tiga sesar yang berarah
Barat Laut–Tenggara Tarutung dan manifestasi
panas bumi berupa mata air panas yang
terdapat pada informasi geologi. Sayatan ini juga
memotong kontur anomali negatif yang terletak
di sebelah Barat Laut Tarutung melewati
anomali positif menuju ke anomali negatif yang
terletak di sebelah Timur Laut Tarutung.
Penafsiran litologi batuan pada daerah
penelitian didasarkan pada data geologi.
Berdasarkan informasi geologi diketahui bahwa
di permukaan lokasi penelitian didominasi oleh
sebaran Satuan Tufa Toba (Qvt), endapan
Alluvium (Qh), dan Formasi Gunung Api Toru
(Tmvo).
PRISMA FISIKA, Vol. 10, No. 2 (2022), Hal. 206 - 213 ISSN : 2337-8204
211
c. Sayatan C-C’
Bat
ua
n
Wa
rna
Suseptibili
tas (SI)
Formasi batuan
Kedalama
n
(m)
Batuan
dominan
1
2
0,00253 –
0,00258
Tufa Toba
-1339 –
(+90)
Tufa
3
-0,004549
Tufa Toba
-1199 –
(+456)
Tufa
teralterasi
4
0,00692
Alluvium
-990 –
(+102)
Alluvium
5
6
7
0,00504 –
0,01132
Formasi Gunung
Api Toru
-1360 –
(+2038)
Aglomerat
dan
andesit
8
9
(-0,0139)
–
(-0,0050)
Formasi Gunung
Api Toru
-1520 –
(+1072)
Andesit
teralterasi
10
12
0,00044
Kelompok
Tapanuli Tak
Terpisahkan
-308 –
(+2025)
Batu pasir
Gambar 10. Hasil model 2D bawah permukaan
pada sayatan C-C’
Gambar 10 merupakan hasil pengolahan
data pada sayatan B-B’ dengan panjang sayatan
sekitar 23700 m dengan nilai RMSE 1,65.
Sayatan C-C’ memotong enam sesar yang
diantaranya sesar berarah Barat Daya-Timur
Laut Tarutung, sesar berarah Utara–Selatan
Tarutung, dan sesar berarah Barat Laut–
Tenggara Tarutung dan manifestasi panas bumi
berupa mata air panas yang terdapat pada
informasi geologi. Sayatan ini juga memotong
pola kontur anomali negatif yang terletak di
sebelah Barat Laut Tarutung melewati anomali
positif menuju ke anomali negatif yang terletak
di sebelah Timur Tarutung.
d. Sayatan D-D’
Gambar 11 merupakan hasil pengolahan
data pada sayatan B-B’ dengan panjang sayatan
sekitar 15400 m dengan nilai RMSE 2,6. Sayatan
D-D’ memotong empat sesar yang berarah Barat
Laut–Tenggara Tarutung dan manifestasi panas
bumi berupa mata air panas yang terdapat pada
informasi geologi. Sayatan ini juga memotong
pola kontur anomali positif yang terletak di
sebelah Barat Laut Tarutung melewati anomali
negatif menuju ke anomali positif yang terletak
di sebelah Tenggara Tarutung.
Bat
ua
n
Wa
rna
Suseptibili
tas (SI)
Formasi
batuan
Kedalama
n
(m)
Batuan
dominan
1
2
(-0,0025)
Tufa Toba
-1100 –
(+460)
Tufa
teralterasi
3
4
0,00252 –
0,00253
Tufa Toba
-860 –
(+1070)
Tufa
5
0,00692
Alluvium
-910 –
(-400)
Alluvium
6
7
(-0,0088)
–
(-0,0045)
Formasi
Gunung Api
Toru
-1470 –
(+880)
Andesit
teralterasi
8
9
0,00567 –
0,01635
Formasi
Gunung Api
Toru
-590 –
(+2190)
Aglomerat
dan
andesit
10
11
0,00044
Kelompok
Tapanuli Tak
Terpisahkan
+50 –
(+2100)
Batu pasir
Gambar 11. Hasil model 2D bawah permukaan
pada sayatan D-D’
Berdasarkan Gambar 8, 9, 10 dan 11
merupakan hasil interpretasi batuan yang ada
dibawah permukaan pada penampang A-A’, B-B’,
C-C’ dan D-D’. Berdasarkan hasil interpretasi
keempat penampang, dapat indikasi sistem
panas bumi di lokasi penelitian berupa
keberadaan reservoir dan cap rock. Lapisan
batuan paling atas di permukaan diindikasikan
sebagai cap rock dengan litologi batuan di
permukaan andesit, aluvium dan tufa dengan
nilai kemagnetan yang cukup rendah.
Lapisan bawah diindikasikan sebagai
reservoir yang merupakan tempat
berkumpulnya fluida yang telah terpanaskan
oleh batuan pemanas terdapat pada batu pasir.
Selain itu, pada keempat penampang tersebut
didukung juga dengan adanya struktur sesar
sebagai jalur transportasi panas dari dalam
bumi ke permukaan yang dihasilkan dalam
PRISMA FISIKA, Vol. 10, No. 2 (2022), Hal. 206 - 213 ISSN : 2337-8204
212
bentuk manifestasi berupa mata air panas.
Kemudian, pada lokasi penelitian juga terdapat
batuan teralterasi yakni batuan andesit
teralterasi dan batuan tufa teralterasi diduga
akibat proses alterasi hidrotermal.
Diduga di bawah lapisan reservoir terdapat
batuan pemanas yang menjadi sumber panas
fluida di reservoir dan batuan lainnya dari
magma bawah permukaan bumi sehingga
terdapat manifestasi panas bumi. Hal tersebut
diduga menjadi penyebab batuan-batuan
teralterasi mengalami demagnetisasi atau
penurunan nilai magnetnya. Demagnetisasi ini
berasal dari proses alterasi hidrotermal yang
disebabkan oleh magma yang masih terdapat di
bawah lapisan batuan andesit yang paling
bawah pada model sayatan tersebut. Hal ini
dapat memperkuat dugaan keberadaan panas
bumi pada daerah penelitian.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil
interpretasi dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Nilai anomali magnetik regional pada daerah
penelitian antara -86,7 nT hingga 133,2 nT.
Anomali magnetik rendah berkisar -86,7 nT
sampai -3,0 nT tersebar pada arah Barat–
Barat Laut hingga Timur Laut–Timur
Tarutung. Kehadiran panas bumi umumnya
dicirikan dengan nilai anomali magnetik
yang rendah diantara anomali magnetik
tinggi yang berada di sekelilingnya yang
bersesuaian dengan manifestasi panas bumi
dan sesar yang ada pada informasi geologi
daerah tersebut.
2. Struktur bawah permukaan daerah panas
bumi di lokasi penelitian pada penampang
sayatan A-A’, B-B’, C-C’, dan D-D’ yaitu
terdapat sistem panas bumi berupa reservoir
dengan hasil identifikasi yakni batu pasir,
kemudian terdapat cap rock di permukaan
berupa andesit, tufa dan alluvium sebagai
cap rock, dan terdapat batuan beku (andesit
teralterasi) diduga disebabkan pemanasan
oleh magma di bawah struktur atau proses
demagnetisasi akibat proses alterasi
hidrotermal.
3. Hasil pemodelan juga diperkuat dengan
keberadaan sesar yang umumnya berfungsi
sebagai jalur transportasi panas dari dalam
bumi ke permukaan yang dihasilkan dalam
bentuk manifestasi berupa mata air panas.
5. Pengakuan
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Pusat Survei Geologi atas data yang diberikan
dalam penelitian ini.
Daftar Pustaka
[1] Royana, R., 2013, Panduan Kelestarian
Ekosistem untuk Pemanfaatan Panas
Bumi, WWF-Indonesia, Jakarta. [cited
from book]
[2] Situmorang, T., 2005, Penyelidikan
Geomagnet Daerah Panas Bumi Ria-Ria
Sipoholon Tarutung Tapanuli Utara-
Sumatera Utara, Pemaparan Hasil
Kegiatan Lapangan Subdit Panas Bumi,
10:1-5. [cited from journal]
[3] Hasan, R.; Setiadarma; Risdianto, D. dan
Supardi, K., 2005, Geologi Daerah Panas
Bumi Sipoholon-Tarutung Kabupaten
Tapanuli Utara Sumatera Utara,
Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan
Subdit Panas Bumi, 7:1-7. [cited from
journal]
[4] Murbanendra, B.W., 2016, Identifikasi
Panas Bumi di Gedongsongo
Menggunakan Metode Magnetik,
Universitas Negeri Semarang, Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Semarang. [cited from research paper]
[5] Santosa, B.J.; 2013, Magnetic Method
Interpretation to Determine Subsurface
Structure Around Kelud Volcano, Indian
Journal of Applied Research, 3:328-331.
[cited from journal]
[6] Mahmudi, D.; Isa, M. dan Sugiyanto, D.,
2019, Interpretasi Struktur Bawah
Permukaan Berdasarkan Data Magnetik
Daerah Panas Bumi Jaboi Sabang, J. Aceh
Phys. Soc. 8:90-93. [cited from conference
journal]
[7] Baranov, 1957, A New Method for
Interpretation of Aeromagnetic Maps:
Pseudo-Gravimetric Anomalies,
Geophysics, 22:359-383. [cited from
journal]
[8] Siregar, A.M.; Dewi, I.K. dan Ngatijo, 2021,
Identifikasi Batuan Granit Daerah
Prospek Panas Bumi Nyelanding
Menggunakan Metode Magnetik, Science
and Physics Education Journal (SPEJ),
4:67. [cited from conference proceedings]
[9] Blakely, R.J., 1995, Potential Theory in
Gravity and Magnetic Applications,
Cambridge University Press, United States
of America. [cited from book]
[10] Sumintadireja, P., 2005, Vulkanologi dan
geothermal, Diktat Kuliah Vulkanologi
dan Geothermal, Penerbit ITB, Bandung.
[cited from book]
[11] Grandis, H., 2009, Pengantar Pemodelan
Inversi Geofisika, CV. Bhumi Printing,
Bandung. [cited from book]
PRISMA FISIKA, Vol. 10, No. 2 (2022), Hal. 206 - 213 ISSN : 2337-8204
213
[12] Clarke, M.C.G.; Ghazali, S.A.; Harahap, H.;
Kusyono dan Stephenson, B., 1982, Peta
Geologi Lembar Pematangsiantar,
Sumatra Skala 1:250.000, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung. [cited from geological map]
[13] Sulistyawan, I.H. dan Harahap, B.H., 2013,
Magmatisme Sumber Daya Mineral dan
Energi di Tapanuli Selatan, Sumatera
Utara, JSD.Geol., 23:167-177. [cited from
journal]