Article

Challenges in Protecting Trafficking Victims' Rights in Indonesia

Authors:
To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the authors.

Abstract

This research focuses on the critical analysis of legal frameworks in Indonesia concerning the protection of witnesses and victims in human trafficking cases, scrutinizing the effectiveness and challenges from a perspective of dignified justice. Emphasizing the need for a fair judiciary system, the study delves into the implementation of existing laws and regulations related to the rights and protection of witnesses and victims in Trafficking in Persons (TPP) cases. Employing a normative legal methodology, the research extensively analyzes national and international norms and legal materials, including comparisons between national laws and international conventions such as the Palermo Protocol. Findings reveal that inadequate understanding and awareness among law enforcement about the significance of these rights, coupled with resource constraints, result in identity rights violations for witnesses and victims. Furthermore, challenges such as the perceived threats to witnesses and victims, limited human and financial resources in law enforcement agencies, legal uncertainties in TPP case handling, insufficient international cooperation in law enforcement, and the difficulty in balancing the rights of victims and defendants are identified. The study also highlights the importance of rehabilitation and reintegration policies for victims, suggesting that successful combat against human trafficking transcends judicial processes. Consequently, this research not only investigates existing laws and policies but also identifies gaps and potential improvements to ensure that witness and victim protection in combating TPP aligns with principles of dignified justice. The aim is to contribute significantly to developing a more effective, fair, and rights-sensitive judicial system in Indonesia. Highlights: Law Enforcement Gaps: Limited awareness and resources in protecting victims' rights. Legal and International Hurdles: Challenges in TPP case handling and cross-border cooperation. Rights Balance: Need for equilibrium between victim protection and defendant fairness. Keywords: Human Trafficking, Witness Protection, Legal Framework, Indonesia, Rights of Victims

No full-text available

Request Full-text Paper PDF

To read the full-text of this research,
you can request a copy directly from the authors.

Article
Full-text available
This paper addresses the pressing issue of human trafficking in the ASEAN region, focusing on the role of the Mutual Legal Assistance Treaty (MLA) as a legal strategy for regional collaboration. Human trafficking is not only a grave violation of human rights but also a complex transnational crime that requires coordinated international efforts. This study investigates the existing legal framework, policies, and institutional mechanisms in ASEAN to combat human trafficking. The study identified significant challenges faced by MLA, including limitations in the legal framework and coordination issues among member states. The findings suggest that strengthening MLA as an integrated legal approach that encompasses prevention, prosecution, protection, and cross-border cooperation is hampered because corruption and complicity of officials in trafficking crimes at various levels of government continue to be significant problems, which impede law enforcement and perpetuate impunity to effectively combat trafficking. The study uses comparative legal analysis to highlight the importance of strong regional collaboration, emphasising the need for improved information sharing and coordination to enhance legal and institutional responses. The paper concludes that a stronger MLA framework is essential to address the complexities of trafficking and provide better support for victims.
Article
Full-text available
Hukum internasional merupakan hukum yang mengatur segala aktivitas yang berskala internasional. Hukum internasional juga bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat internasional. Selain menciptakan perdamaian setiap bangsa, hukum internasional juga digunakan untuk mengatur hubungan kerjasama antar negara di berbagai dunia, hal ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup serta eksistensi keberadaan negara tersebut dalam pemerintahan hubungan berskala internasional. Terjalinnya hubungan internasional adalah agar negara tersebut tidak bersitegang dan menimbulkan konflik yang besar namun bagaimana jika ada negara yang tidak menjalin hubungan internasional dan malah menimbulkan sengketa antar negara yang tentu saja akan menimbulkan berbagai macam permasalahan. Peran hukum internasional adalah sebagai upaya dalam menjaga perdamaian dan mengabaikan segala bentuk peraturan yang tidak diperlukan dalam berbagai peraturan yang berkaitan dengan kebijakan tinggi, seperti yang berkaitan dengan masalah perdamaian atau perang. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dimana penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji sebuah peraturan perundang-undangan yang berlaku atau yang diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.
Article
Full-text available
Tujuan pembuatan artikel ini adalah untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Hukum Internasional. Dalam Artikel ini akan membahas mengenai Human Trafficking dan Peran Hukum Internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Human Trafficking. Adapun yang menjadi latar belakang mengapa penulis memilih judul ini dikarenakan kini kian maraknya proses perdagangan manusia atau Human Trafficking. Human trafficking kini sudah menjadi kejahatan transnasional yang terorganisir. Human Trafficking merupakan bentuk dari kekejaman yang sangat amat keji, hal tersebut dikarenakan Human Trafficking dalam pelaksanaanya sangat melanggar hak asasi manusia (HAM). Adapun peran hukum internasional dalam memberantas perdagangan manusia adalah dengan cara meratifikasi Protokol Palermo melalui UU Nomor 14 Tahun 2009 dan memperkuat ikatan kerja sama mendampingi sesama negara serta kerjasama lembaga internasional.
Article
Full-text available
Trafficking is the illicit and clandestine movement of persons across national and international borders, largely from developing countries and some countries and some countries with economies in transition, with the end goal of forcing women and girl children into sexually or economically oppressive and exploitative situations for the profit of recruiters, traffickers, and crime syndicates, as well as other illegal activities related to trafficking, such as forced domestic Labour, false marriages, clandestine employment and false adoption.
Article
Full-text available
This study aims to determine the legal protection for victims of trafficking in persons in terms of human rights perspective. This research is based on the fact that there are still cases of trafficking in persons and the protection of victims is still not effective. Victims are entitled to protection according to human rights guidelines. The author conducted this research using a normative research method using a statutory approach related to the object under study and also using a conceptual approach. The data collection technique used is secondary data consisting of primary legal materials, namely legislation and secondary legal materials in the form of books, scientific papers and data obtained. This study explains that a person who is a victim of trafficking in persons is entitled to protection in accordance with the provisions of the legislation as well as the provision of compensation rights to victims of trafficking in persons according to the human rights inherent in him. And this study also discusses the role of the government and the community in an effort to provide protection for victims of trafficking in persons to uphold human rights.
Article
Full-text available
Perdagangan orang merupakan bentuk kejahatan transnasional yang semakin marak terjadi namun sulit untuk dideteksi. Kejahatan ini ditemui di negara berkembang, memiliki jumlah populasi penduduk besar, jumlah penduduk perempuan dan laki–laki tidak seimbang. Tujuan tulisan ini untuk mengetahui pertanggungjawaban negara dalam penanganan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan hambatan yang dihadapi di Nusa Tenggara Timur yang menjadi obyek penelitian. Manfaat umum diharapkan sebagai bahan informasi kepada masyarakat terkait dengan tindak pidana perdagangan orang, secara khusus diharapkan sebagai bahan masukan bagi para pemangku kepentingan dalam rangka pengambilan kebijakan. Metode dalam tulisan ini bersifat dekriptif-analisis dengan pendekatan kualitatif, menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai data dan informasi yang didapatkan selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif. Pertanggungjawaban negara dalam penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah dengan dibentuknya Gugus Tugas pencegahan dan penanganan. Gugus Tugas ini belum optimal karena bersifat koordinatif dan adanya praktek sistem penempatan TKI yang tidak memberikan perlindungan sejak dini sehingga bertentangan dengan upaya pencegahan perdagangan orang. TPPO sebagai kejahatan yang bersifat luar biasa, sehingga dalam penanganannya juga harus melalui cara yang luar biasa. Oleh karenanya perlu merevisi Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia No 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang agar pembentukannya menjadi lembaga operasional bukan lembaga koordinatif.
Article
Full-text available
Setiap provinsi di Indonesia merupakan daerah asal sekaligus tujuan perdagangan orang dan akhir tahun 2017, Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati posisi atas sebagai daerah yang mengalami kasus perdagangan orang. Masuknya NTT dalam zona merah perdagangan orang merupakan suatu hal yang cukup mengejutkan. Sebelumnya, NTT tidak masuk dalam peringkat daerah yang terdampak masalah perdagangan orang. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang dijabarkan secara deskriptif sehingga objek atau subjek dapat digambarkan sesuai apa adanya kemudian dianalisis guna mendapatkan laporan yang komprehesif dari sudut pandang hak asasi manusia. Teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan wawancara dengan menggunakan purposive sampling. Kesimpulannya penanganan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) bersifat kompleks, dimana penanganannya memerlukan pemetaan yang komprehensif dan hanya berorientasi pada pemberantasan dan penghukuman pelaku tanpa berorientasi pada penanganan dan pemberdayaan korban. Hambatannya dapat dilihat dari sisi pemerintah dimana masih kurang dan beragamnya pemahaman para pemangku kepentingan tentang kebijakan yang ada, belum meratanya kapasitas dan kapabilitas para pengampu kepentingan di daerah, serta masih kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan terkait. Adapun dari sisi masyarakat, masih tingginya dorongan untuk bermigrasi ke kota atau luar negeri untuk mencari kehidupan yang lebih baik, gaya hidup konsumtif dikalangan remaja, keinginan memperoleh uang secara cepat, dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang bahayanya TPPO yang mengkibatkan masyarakat mudah tertipu oleh tawaran pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Article
Full-text available
Tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan yang melanggar hak asasi manusia. Dalam praktik, masih terdapat kendala untuk memulihkan hak asasi manusia korban tindak pidana perdagangan orang, sehingga diperlukan pendekatan berdasarkan hukum progresif dan hak asasi manusia (human rights based approach). Artikel ini menjawab rumusan masalah yaitu pemulihan korban tindak pidana perdagangan orang berdasarkan pendekatan hukum progresif dan hak asasi manusia dalam Putusan Nomor 978/Pid.Sus/2016/PN.JKT.PST. Metode penelitian menggunakan penelitian hukum kualitatif melalui pendekatan putusan, regulasi, dan doktrinal, serta pengumpulan data dengan studi kepustakaan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, serta wawancara narasumber. Hasil kajian menunjukkan Putusan Nomor 978/Pid.Sus/2016/PN.JKT.PST menerapkan hukum progresif melalui sita restitusi yang sesungguhnya belum diatur secara normatif dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Terobosan hukum ini dilakukan dengan menyita kekayaan terdakwa pada tingkat penyidikan atau penuntutan untuk kepentingan ganti kerugian terhadap korban. Selain itu, kajian terhadap putusan menunjukkan putusan ini sebenarnya telah memiliki dimensi berdasarkan pendekatan hak asasi manusia. Namun, terobosan hukum pada putusan masih belum sepenuhnya menjamin pemulihan hak asasi manusia karena terdapat kemungkinan terdakwa tidak mampu membayar atau tidak memiliki kekayaan untuk disita, maka negara berkewajiban hadir untuk memulihkan hak korban tindak pidana perdagangan orang melalui pemberian kompensasi.Kata kunci: tindak pidana perdagangan orang, hukum progresif, hak asasi manusia. ABSTRACT Human trafficking is a crime that violates human rights. In practice, there are still some obstacles in legal remedies of human rights of the victims of human trafficking that an approach based on progressive law and human rights is needed. This analysis elaborates the formulation of the problem in Decision Number 978/Pid.Sus/2016/PN.JKT.PST concerning legal remedies of the human trafficking victims based on progressive legal and human rights approach. The method applied is qualitative legal research through decisions, regulations, and doctrinal procedures, as well as library data collecting on primary and secondary legal materials, along with interviews. The results of the study show that the Decision Number 978/Pid.Sus/2016/PN.JKT.PST applies progressive law through the confiscation of restitution which is not yet normatively regulated in the Law on Eradication of Human Trafficking Crimes. Legal breakthrough is made by confiscating the assets of the defendant in the investigation or prosecution level for the victims' compensation. Further, the analysis result of court decisions shows that the decision has already had dimensions based on the human rights approach. But, the legal breakthrough in the declaration still cannot fully guarantee the legal remedies of human rights of the victims if the defendant cannot be able to pay or have no properties to confiscate. In this case, the state is obliged to give back the rights of the victims of human trafficking through compensation. Keywords: human trafficking, progressive law, human rights.
Article
Full-text available
Human Traffickingis one of the most common crimes occurs in Indonesia. To eradicate this crime, the government issued the 21/2007 of Human Trafficking Act (UU PTPPO). The statue sanctions persons committing the crime and providing protection to witnesses and victims. The law accomodate a number of penalties for the perpetrators of this crime, ranging from principal punishment, in the form of imprisonment and fine, to additional criminal and ballast. Although Islamic law does not explicitly regulate this crime, it is clearly contrary to Islamic principles of freedom, independence, equality and human dignity.
Article
This study analyzes the role of transnational organized crime in human trafficking in Indonesia, especially in illegal immigration routes in the Middle East. The case studies conducted in this study will provide a clear picture of the modus operandi, perpetrators and victims of human trafficking incidents involving transnational criminal networks. Efforts to prevent and combat human trafficking in Indonesia can be implemented through a variety of strategies, including public awareness-raising, enforce rigorous prosecution of perpetrators, strengthen international cooperation, and provide victims with adequate protection and rehabilitation. However, many challenges remain, including lack of coordination.
Article
p align="center"> Abstract Law. 21 of 2007 already contained the formulation of the Crime of Trafficking in Persons, but criminal law policies contained insufficient to combat human trafficking in West Kalimantan-Sarawak border, because it has not been formulated based on the modus operandi and the prediction of the development of the crime of trafficking in persons in the border region, so it needs to be done renewal. Keywords: T rafficking Crime, criminal law policy, criminal law Updates Abstrak UU No. 21 Tahun 2007 telah memuat rumusan Tindak Pidana Perdagangan orang, namun kebijakan hukum pidana yang dimuat belum memadai untuk memberantas perdagangan orang di wilayah perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak, karena belum diformulasikan berdasarkan modus operandi dan prediksi perkembangan kejahatan perdagangan orang di wilayah perbatasan, sehingga perlu dilakukan pembaharuan. Kat a Kunci: Ke j ahata n Perdagangan orang, Kebijakan hukum pidana, Pembaharuan hukum pidana </p
Upaya Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking)
  • Widiastuti Tri Wahyu
Peran Komunikasi Kepolisian Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
  • Chatrine Bachtiar
  • T Shasrini
Aspek Hukum Perlindungan Saksi Dan Korban Perdagangan Anak (Human Trafficking)
  • S Nurhayati
Penanganan Anak Korban Pemetaan layanan anak korban di beberapa Lembaga. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform
  • S W Eddyono
  • A G Kamilah
  • S M Wiryawan
Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
  • W B Mulyawan
  • W S Myharto
Akses Bantuan Hukum Bagi Kelompok Rentan Dalam Perkara Pidana
  • S Karim
  • F Hukum
  • U Hasanuddin
Perlindungan Saksi Tindak Pidana Pemilihan Umum Kepala Daerah. Malang: Universitas Brawijaya
  • Masharsono
Peran Korban Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang Sebagai Pekerja Migran Indoneisa
  • A F Turnip
Analisis Yuridis Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
  • G Rahayu
  • R Y Muliani
  • Y S Galih
Penguatan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai Pilar Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia
  • M Yarni
  • L Amir
Kedudukan lembaga perlindungan saksi dan korban di indonesia (kajian hukum islam
  • L Arliman
Pertanggung Jawaban Hukum Pelaku Trafficking In Person Berdasarkan Hukum Internasional Di Indonesia
  • G V P Sahetapy
  • E Baadila
  • J A Y Wattimena