ArticlePDF Available

Abstract

Until now, many rejections of the terminology of Islam Nusantara have emerged, not only among the general public, but also in the academic environment. In fact, moderate Islam is a means to tackle extremism, radicalism, and terrorism. Therefore, a systematic description of what is meant by moderate Islam is needed from various literatures. It is for this purpose that this article was written. With a qualitative approach and the type of literature research on works related to moderate Islam, it was found that moderate Islam must be understood with middle Islam, not extreme right or left. Although in Western literature, moderate is synonymous with liberal and secular, but a representative attitude is to filter what comes from the West. Not everything that comes from the West must be accepted, and not all must be rejected, as well as the terminology of moderate Islam. Even the arguments against moderate Islam, if analyzed, have a fundamental weakness, because they are not in accordance with the spirit of moderate Islam. The basis for the foundation of moderate Islam is clear, namely Q.S. al-Baqarah [2]: 143, so it has a normative basis that can be accounted for. Furthermore, Islam in the archipelago is essentially a representation of moderate Islam, although it must be admitted that not all adherents are moderate. (Sampai saat ini, penolakan terhadap terminologi Islam Nusantara banyak bermunculan, tidak hanya di kalangan masyarakat awam, namun juga di lingkungan akademik. Padahal, Islam moderat adalah sarana untuk menanggulangi ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Oleh sebab itu, diperlukan uraian yang sistematis terkait apa yang dimaksud dengan Islam moderat dari berbagai literatur. Untuk tujuan itulah artikel ini ditulis. Dengan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian pustaka terhadap karya-karya terkait Islam moderat, ditemukan bahwa Islam moderat haruslah dipahami dengan Islam pertengahan, tidak ekstrem kanan maupun kiri. Meskipun dalam literatur Barat, moderat identik dengan liberal dan sekuler, akan tetapi sikap yang repreentatif adalah dengan melakukan filterisasi terhadap apa yang datang dari Barat. Tidak semua yang datang dari Barat harus terima, dan tidak pula semua pula harus ditolak, begitu pula terminologi Islam moderat. Argumen-argumen penolak Islam moderat pun, jika dianalisis, mempunyai kelemahan yang mendasar, karena tidak sesuai dengan semangat Islam moderat. Dasar pijakan Islam moderat pun jelas, yakni Q.S. al-Baqarah [2]: 143, sehingga mempunyai landasan normatif yang bisa dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut, Islam yang ada di Nusantara ini pada hakikatnmya merupakan representasi Islam moderat, meski harus diakui bahwa tidak semua penganutnya berpaham moderat.)
NUANSA
JURNAL PENELITIAN ILMU SOSIAL DAN KEAGAMAAN ISLAM
P-ISSN: 1907-7211 | E-ISSN: 2442-8078
Volume 19 No. 2 July-December (2022)
Published By:
Research Institute and Community Engagement
State Islamic Institute of Madura
NUANSA
Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July-December (2022)
EDITOR IN CHIEF
Moh Mashur Abadi
MANAGING EDITOR
Moch. Cholid Wardi
EDITORS
Taufikkurrahman Upik
Agwin Degaf
Fitriyatul Qomariyah
Khaerul Umam
Sri Rizqi Wahyuningrum
Fajrian Yazdajir Iwanebel
Faraniena Yunaeni Risdiana
Fikri Mahzumi
Aria Indah Susanti
Benny Afwadzi
REVIEWERS
Choirul Mahfud
Mohammad Muchlis Solichin
Muh. Nashiruddin
Fadllan
Achmad Muhlis
Ade Sofyan Mulazid
Siti Musawwamah
Mohammad Subhan Zamzami
Siswanto
Syukron Affani
Ulfa Muhayani
Iskandar Ritonga
Mohammad Kosim
Eko Ariwidodo
Sri Handayani
Slamet
Farahdilla Kutsiyah
Erie Hariyanto
Wahyudin Darmalaksana
Khairunnisa Musari
Moh Mufid
Ahmad Chairul Rofiq
Jonaedi Efendi
Sutan Emir Hidayat
Mukhammad Zamzami
Baharuddin
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam is a journal that
publishes scientific articles which have been derivated from research on social
sciences and islamic studies. This journal is published biannually on June and
December and published articles reviewed by experts on the related issues.
Jurnal Nuansa's scope includes: education, culture, politics, law, economy,
theology, philosophy, communication, and history.
All published articles will be added with a DOI CrossRef Unique Number
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam has been accredited
by The Ministry of Research, Technology and Higher Education of the Republic
of Indonesia as an academic journal in Sinta 3 (SK No.36/E/KPT/2019) valid for
5 years from Volume 16 No. 2 2019.
P-ISSN: 1907-7211
E-ISSN: 2442-8078
Editorial Office:
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan keagamaan Islam,
Research Institute and Community Engagement
of IAIN MADURA
Jl. Raya Panglegur KM. 4 Tlanakan Pamekasan, Jawa Timur,
Indonesia, 69371
Email: jurnalnuansa@gmail.com
Website: http://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/nuansa
TABLE OF CONTENTS
Nasikhin, Mahfud Junaedi
Strategies For Delivering Islamic Religious Education
Learning Materials in The Post-Truth Era
127-145
Thomas Rizki Ali, Bowo Sugiarta, Ahmad Sabiq
Strategi Bertahan Kelompok Minoritas Agama
Menghadapi Diskriminasi: Pengalaman Jemaat
Ahmadiyah Indonesia Banjarnegara Jawa Tengah
146-165
Senata Adi Prasetia
Pencarian Kembali Moderasi Beragama Dalam Kitab
Itāf Al-Dhaki
166-181
Benny Afwadzi
Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap
yang Representatif
182-208
nuansa
Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Kegamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July December 2022
http://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/nuansa
DOI: 10.19105/nuansa.v19i2.6687
Page: 182-208
Benny Afwadzi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang
Email: afwadzi@pai.uin-malang.ac.id
Article History
Submitted: July 15, 2022
Revised: August 22, 2022
Accepted: January 19, 2023
How to Cite:
Afwadzi, Benny. Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap yang
Representatif.” NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial Dan Keagamaan Islam 19,
no. 2 (2022): 182-208.
Resepsi atas Islam Moderat: Antara
Kritik dan Sikap yang Representatif
Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap yang Representatif
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 183
Vol. 19 No. 2 July December 2022
Abstrak:
Until now, many rejections of the terminology of Islam Nusantara have emerged, not only among
the general public, but also in the academic environment. In fact, moderate Islam is a means to
tackle extremism, radicalism, and terrorism. Therefore, a systematic description of what is meant by
moderate Islam is needed from various literatures. It is for this purpose that this article was written.
With a qualitative approach and the type of literature research on works related to moderate Islam,
it was found that moderate Islam must be understood with middle Islam, not extreme right or left.
Although in Western literature, moderate is synonymous with liberal and secular, but a
representative attitude is to filter what comes from the West. Not everything that comes from the
West must be accepted, and not all must be rejected, as well as the terminology of moderate Islam.
Even the arguments against moderate Islam, if analyzed, have a fundamental weakness, because
they are not in accordance with the spirit of moderate Islam. The basis for the foundation of
moderate Islam is clear, namely Q.S. al-Baqarah [2]: 143, so it has a normative basis that can be
accounted for. Furthermore, Islam in the archipelago is essentially a representation of moderate
Islam, although it must be admitted that not all adherents are moderate.
(Sampai saat ini, penolakan terhadap terminologi Islam Nusantara banyak bermunculan, tidak hanya
di kalangan masyarakat awam, namun juga di lingkungan akademik. Padahal, Islam moderat adalah
sarana untuk menanggulangi ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Oleh sebab itu, diperlukan
uraian yang sistematis terkait apa yang dimaksud dengan Islam moderat dari berbagai literatur.
Untuk tujuan itulah artikel ini ditulis. Dengan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian pustaka
terhadap karya-karya terkait Islam moderat, ditemukan bahwa Islam moderat haruslah dipahami
dengan Islam pertengahan, tidak ekstrem kanan maupun kiri. Meskipun dalam literatur Barat,
moderat identik dengan liberal dan sekuler, akan tetapi sikap yang repreentatif adalah dengan
melakukan filterisasi terhadap apa yang datang dari Barat. Tidak semua yang datang dari Barat harus
terima, dan tidak pula semua pula harus ditolak, begitu pula terminologi Islam moderat. Argumen-
argumen penolak Islam moderat pun, jika dianalisis, mempunyai kelemahan yang mendasar, karena
tidak sesuai dengan semangat Islam moderat. Dasar pijakan Islam moderat pun jelas, yakni Q.S. al-
Baqarah [2]: 143, sehingga mempunyai landasan normatif yang bisa dipertanggungjawabkan. Lebih
lanjut, Islam yang ada di Nusantara ini pada hakikatnmya merupakan representasi Islam moderat,
meski harus diakui bahwa tidak semua penganutnya berpaham moderat.)
Kata Kunci:
Islam Moderat, Kritik, Q.S. al-Baqarah [2]: 143, Sikap Representatif
Pendahuluan
Sampai saat ini, penolakan terhadap terminologi Islam moderat masih terjadi secara
massif. Meskipun banyak kalangan, negarawan maupun akademisi, gencar menyuarakan
gagasan ini,
1
namun dalam tataran akar rumput masih ditemui ganjalan di sana-sini, berupa
1
Suhaimi Suhaimi and Raudhonah Raudhonah, “Moderate Islam in Indonesia: Activities of Islamic Da’wah
Ahmad Syafii Maarif,” Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies 14, no. 1 (2020): 95112; M. Sidi
Ritaudin, “Promosi Islam Moderat Menurut Ketum (MUI) Lampung Dan Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Raden Intan Lampung,” Jurnal TAPIs 13, no. 2 (2017): 48–73; Abd Hannan, “Islam Moderat Dan
Tradisi Popular Pesantren: Strategi Penguatan Islam Moderat Di Kalangan Masyarakat Madura Melalui Nilai
Tradisi Popular Islam Berbasis Pesantren,” Jurnal Sosiologi Dialektika 13, no. 2 (2020): 152; Ahmad Ikhwanul
Muttaqin and Syaiful Anwar, “Dinamika Islam Moderat, Studi Atas Peran LP. Ma’arif NU Lumajang Dalam
Mengatasi Gerakan Radikal,” Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam 12, no. 1 (2019): 2038; Eka Prasetiawati,
Benny Afwadzi
184 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July December 2022
pandangan negatif terhadap Islam moderat yang kemudian berimplikasi pada penolakan
atasnya. Dalam penelitian sebelumnya, penulis menemukan bahwa terdapat sebagian
mahasiswa dari kampus Islam yang menolak Islam moderat. Salah satu alasan penolakan
bagi mahasiswa model ini adalah, bahwa Islam moderat hanyalah bungkus dari Islam
liberal. Hal ini dikarenakan adanya kelompok liberal yang mengatasnamakan Islam moderat,
sehingga klaim moderat pada dasarnya hanyalah menjadi topeng atas paham liberal yang
diusung. Ajaran Islam sendiri sudah moderat sejak awal diturunkan sehingga tidak perlu
memunculkan terminologi Islam moderat.
2
Pola pikir yang hampir, faktanya, sama juga dimiliki oleh sebagian akademisi di
Indonesia. Misalnya saja Afrizal Nur dan Mukhlis Lubis yang berpandangan bahwa Islam
tidak perlu diberikan embel-embel moderat, terlebih lagi istilah moderat itu sendiri
sebenarnya lebih terkait dengan hegemoni Barat. Bagi Barat, yang disebut moderat adalah
mereka yang bisa menjadi mitra dan menerima paham-paham Barat, seperti sekularisme
dan berbagai kepentingannya, oleh sebab itu munculnya Islam moderat. Lebih lanjut, Nur
dan Lubis secara tegas menyatakan,
Jelas, klasifikasi demikian menggambarkan cara pandang Barat terhadap Islam dan
kaum Muslim sesuai ideologi mereka. Karena itu, umat Islam wajib menyadari,
bahwasanya harus ada demarkasi (pembatasan) makna antara Islamsebagai agama
dengan term moderat, gabungan dua kata tersebut sangat mendiskreditkan makna
Islam yang memiliki maknanya yang begitu luas, karena dibatasi oleh istilah hasil
ijtihad manusia yang tidak apple to apple.
3
Argumen-argumen di atas tidaklah dapat disalahkan sepenuhnya karena terminologi
Islam moderat memang bebas ditarik sana-sini. Masing-masing pihak bebas mengklaim
moderat seraya diikuti dengan klaim radikal pada oposisinya. Inilah fakta yang terjadi hari-
hari ini di Indonesia. Begitu pula, Islam moderat memang mempunyai “gesekan-gesekan”
dengan Barat, sehingga kadang maknanya menjadi kabur. Hanya saja, Islam moderat sendiri
sebenarnya tidaklah sama dengan Islam liberal, sebab secara teoritis ia adalah paham
pertengahan antara paham liberal dan paham radikal, yang dalam bahasa Arab diredaksikan
dengan Islam wasathiyah. Dengan demikian, eksplorasi secara mendalam dari berbagai
literatur diperlukan untuk menjernihkan hal ini. Jangan sampai batas perbedaan antara
liberal dan moderat dikaburkan sehingga sudut pandang negatif terhadap terminologi ini
masih ditemukan di masyarakat, terlebih lagi di lingkungan akademik.
“Menanamkan Islam Moderat Untuk Menanggulangi Radikalisme Di Indonesia,” Fikri: Jurnal Kajian Agama,
Sosial, dan Budaya 2, no. 2 (2017): 523570.
2
Benny Afwadzi and Miski Miski, “The Articulation of Moderate Islam among Muslim Students,” Proceedings
of the International Symposium on Religious Literature and Heritage (ISLAGE 2021) 644 (2022): 366367.
3
Afrizal Nur and Mukhlis Lubis, “Konsep Wasathiyah Dalam Al-Quran (Studi Komparatif Antara Tafsir Al-
Tahrîr Wa at-Tanwîr Dan Aisar at-Tafâsîr),” Jurnal An-Nur 4, no. 2 (2015): 211.
Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap yang Representatif
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 185
Vol. 19 No. 2 July December 2022
Apabila dilacak dalam berbagai literatur, kajian mengenai Islam moderat terbagi
menjadi dua kategori besar. Pertama, kajian-kajian yang berusaha menguak bagaimana
eksistensi Islam moderat itu dipahami dan diaktualisasikan dalam objek tertentu, baik itu
organisasi Islam, lembaga keagamaan, daerah, maupun tokoh yang dikenal oleh publik.
4
Kedua, kajian-kajian yang berupaya untuk memformulasikan paham Islam moderat sebagai
sarana menanggulangi radikalisme dan relasinya dengan berbagai ajaran Islam, baik secara
teoritis maupun praktis.
5
Artikel ini mempunyai pretensi yang sama sebagaimana kategori
kedua, hanya saja dalam artikel ini, penulis berupaya membuat formulasi yang sistematis
terkait terminologi Islam moderat supaya ia bisa dipahami secara utuh dari berbagai
literatur yang ada.
Artikel ini bertujuan agar terminologi Islam moderat tidak lagi dipahami secara
parsial dan “tercecer” dalam berbagai literatur yang ada, sehingga “missunderstanding”
terhadapnya tidak lagi terjadi. Islam moderat, dengan segala kekurangannya, oleh banyak
kalangan dipandang menjadi sarana untuk menanggulangi radilalisme, ekstremisme, dan
terorisme, sehingga eksistensinya menjadi penting.
6
Untuk itulah, dalam artikel ini, penulis
membagi uraian menjadi beberapa bahasan agar sampai pada tujuan tersebut, yaitu
pengertian Islam moderat, perbedaan pemahaman terhadap Islam moderat di Timur dan
Barat, argumen-argumen penolak terminologi ini, pijakan dari terminologi Islam moderat,
dan yang terakhir adalah Islam Nusantara (di Indonesia) sebagai Islam moderat. Semoga
artikel ini dapat membantu memahami Islam moderat dan resepsinya secara utuh.
4
Syamsun Ni’am, “Pesantren: The Miniature of Moderate Islam in Indonesia,” Indonesian Journal of Islam and
Muslim Societies 5, no. 1 (2015): 111–134; Jeremy Menchik, “Moderate Muslims and Democratic Breakdown in
Indonesia,” Asian Studies Review 43, no. 3 (2019): 415433, https://doi.org/10.1080/10357823.2019.1627286;
Moch Nur Ichwan, “Towards a Puritanical Moderate Islam: The Majelis Ulama Indonesia and the Politics of
Religious Orthodoxy,” in Contemporary Developments in Indonesian Islam Explaining the Conservative Turn, ed. Martin
Van Bruinessen (Singapore: ISEAS Publishing, 2013), 60–104; Ahmad Zainul Hamdi, “Radicalizing
Indonesian Moderate Islam from within: The NU-FPI Relationship in Bangkalan, Madura,” Journal of
Indonesian Islam 7, no. 1 (2013): 71–95; Mutawali Mutawali, “Moderate Islam in Lombok: The Dialectic
between Islam and Local Culture,” Journal of Indonesian Islam 10, no. 2 (2016): 309334; Benny Afwadzi and
Miski Miski, “Religious Moderation in Indonesian Higher Educations: Literature Review,” ULUL ALBAB
Jurnal Studi Islam 22, no. 2 (2021): 203231.
5
Nurul Faiqah and Toni Pransiska, “Radikalisme Islam vs Moderasi Islam: Upaya Membangun Wajah Islam
Indonesia Yang Damai,” Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman 17, no. 1 (2018): 3360; Asep Abdurrohman,
“Eksistensi Islam Moderat Dalam Perspektif Islam,” Rausyan Fikr 14, no. 1 (2018): 2941; Ardiansyah
Ardiansyah, “Islam Wasaîyah Dalam Perspektif Hadis: Dari Konsep Menuju Aplikasi, Mutawatir: Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadis 6, no. 2 (2016): 232–256; Ahmad Fauzi, “Moderasi Islam, Untuk Peradaban Dan
Kemanusiaan,” Jurnal Islam Nusantara 2, no. 2 (2018): 232244.
6
Amirudin Amirudin et al., “Internalisasi Nilai-Nilai Piil Pesenggiri Dan Islam Moderat Dalam Menangkal
Paham Radikal Pada UKM Mahasiswa UIN Raden Intan Lampung,” Al-Idarah: Jurnal Kependidikan Islam 10,
no. 2 (2020): 256–270; Prasetiawati, “Menanamkan Islam Moderat Untuk Menanggulangi Radikalisme Di
Indonesia.”
Benny Afwadzi
186 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July December 2022
Metode Penelitian
Artikel ini memakai pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian pustaka (library
research) terhadap terminologi Islam moderat. Sehingga, sumber primer dalam artikel
diperoleh dari berbagai macam karya, baik buku, artikel, maupun makalah prosiding yang
membahas mengenai Islam moderat dan resepsinya. Sejak paham ini digencarkan, telah
banyak sekali karya tulis yang lahir berkenaan dengan ini sehingga sumbernya cukup
melimpah. Adapun sumber sekundernya berasal dari karya-karya yang berkenaan dengan
tema-tema terkait, misalnya Islam radikal dan Islam di Indonesia. Dengan kombinasi
sumber primer dan sekunder ini diharapkan konstruksi resepsi Islam moderat dapat
dipahami secara komprehensif. Setelah data-data tersebut terkumpul dilakukan analisis isi
(content analysis) supaya mendapatkan gambaran yang objektif.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Apa itu Islam Moderat?
Moderat adalah pertengahan dan menghindarkan diri dari ucapan dan perilaku yang
ekstrem sebagaimana ditegaskan KBBI. Dalam konteks keindonesiaan, makna inilah yang
digunakan, sehingga Islam moderat adalah Islam yang senantiasa berada di tengah-tengah
dan tidak berposisi di dua titik ekstrem yang saling berlawanan (ektrem kanan dan ekstrem
kiri; ifrāth dan tafrīth). Dengan demikian, Islam moderat, dalam konteks Indonesia,
dipahami sebagai pemikiran dan praktik keagamaan keislaman yang berada di tengah-
tengah dan tidak mengadopsi salah satu kutub ekstrem, baik pemikiran liberal khas Barat
(kiri) maupun Islam yang berhaluan radikal (kanan).
7
Artinya, Islam moderat secara
karakter pemikiran berbeda dengan tipologi lain: Islam liberal dan Islam radikal.
Bahasa Inggris menyebut moderate Islam sebagai terjemahan Islam moderat,
sedangkan dalam bahasa Arab diungkapkan dengan Islam wasathiyah. Namun, dalam
berbagai literatur di Indonesia diperoleh beberapa kata yang menggambarkan moderatisme,
yakni Islam moderat, moderasi Islam, Islam wasathiyah atau wasathiyah, dan moderasi
beragama. Beberapa kata ini, acapkali dimaksudkan untuk hal yang sama, tetapi terkadang
dibumbuhi dengan sense yang berbeda. Misalnya saja, kata Islam moderat terlihat lebih
problematis dibandingkan dengan Islam wasathiyah dan moderasi Islam, sehingga beberapa
penulis barangkali menghindari langsung kata ini. Selain itu, kalangan yang berpijak pada
terminologi Islam moderat–biasanya dengan tegas menuliskan redaksi “Islam moderat”–,
nantinya memberikan karakteritik yang cenderung pada aspek-aspek sosiologis dan fakta-
fakta terkini yang terjadi di Indonesia. Sementara itu, bagi kalangan yang berpijak pada
ajaran Islam yang memang berintikan moderasi–lazimnya menuliskan dengan “moderasi
7
Afwadzi and Miski, “Religious Moderation in Indonesian Higher Educations: Literature Review,” 211–212.
Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap yang Representatif
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 187
Vol. 19 No. 2 July December 2022
Islam” atau wasathiyah”–menjelaskan karakteristik berdasarkan aspek-aspek moderat dari
ajaran Islam secara langsung.
8
Kementerian Agama, melalui Lajnah pentashihan pada tahun 2012 menerbitkan
buku yang menggunakan judul Moderasi Islam dan Quraysh Shihab memakai kata
Wasathiyah. Dua buku ini menjelaskan tentang ajaran Islam yang moderat dari berbagai
dimensinya.
9
Adapun kata yang terakhir (moderasi beragama) adalah kata yang popular
digunakan pada zaman sekarang dan digencarkan oleh Kementerian Agama, yang kalau
melihat hasil terbitannya yang berjudul Moderasi Beragama (2019), maka dapat dipahami
bahwa kata moderasi beragama lebih terkait pada aspek moderat semua agama, dan bukan
khusus dalam Islam saja. Dengan kata ini pula dipahami bahwa ajaran agama itu moderat,
dan yang “bermasalah” adalah perilaku penganut agamanya.
10
Dengan demikian, kata ini
tidak menyangkal subtansi ajaran agama yang memang sudah moderat sejak awalnya dan
mencakup untuk semua agama di Indonesia.
Meskipun demikian, dalam tulisan ini, Islam moderat dan beberapa istilah lainnya
tidaklah dibeda-bedakan mengingat tujuan yang dikehendaki sama, yakni moderatisme
Islam atau Islam yang berada di tengah-tengah. Meskipun bungkusnya berbeda, tetapi
subtansinya sama. Dalam Islam moderat, meninggalkan dua kutub ekstrem (kiri dan kanan)
dalam beragama merupakan semangat dari moderasi itu sendiri. Moderat berarti tidak
radikal dan tidak pula liberal. Hal ini ditandaskan oleh Kementerian Agama melalui buku
Moderasi Beragama:
“Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem
dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama yang ekstrem meyakini mutlak
kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap sesat penafsir selainnya.
Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif. Di sisi lain, ada juga umat beragama
yang esktrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian agama, atau
mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi toleransi yang tidak pada
8
Hal ini bisa dikonfirmasi dalam beberapa tulisan yang membahas mengenai karakteristik Islam moderat,
Islam wasathiyah, atau moderasi Islam, misalnya Masdar Hilmy, “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism?: A
Reexamination on the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU,” Journal of Indonesian Islam 7, no. 1 (2013):
28; Zakiya Darajat, “Muhammadiyah Dan NU: Penjaga Moderatisme Islam Di Indonesia,” Hayula: Indonesian
Journal of Multidisciplinary Islamic Studies 1, no. 1 (2017): 89–90; Joshua T. White, “Beyond Moderation:
Dynamics of Political Islam in Pakistan,” Contemporary South Asia 20, no. 2 (2012): 180182; Kementerian
Agama RI, Moderasi Islam (Tafsir Al-Qur’an Tematik) (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012),
44–80; Nur and Lubis, “Konsep Wasathiyah Dalam Al-Quran (Studi Komparatif Antara Tafsir Al-Tahrîr Wa
at-Tanwîr Dan Aisar at-Tafâsîr),” 212–213; Ali Muhammad Ash-Shallabi, Wasathiyah Dalam Al-Qur’an: Nilai-
Nilai Moderasi Islam Dalam Akidah, Syariat, Dan Akhlak (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020), 79226.
9
Kementerian Agama RI, Moderasi Islam (Tafsir Al-Qur’an Tematik); M. Quraysh Shihab, Wasathiyah: Wawasan
Islam Tentang Moderasi Beragama (Jakarta: Lentera Hati, 2020).
10
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2019).
Benny Afwadzi
188 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July December 2022
tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa disebut ekstrem liberal.
Keduanya perlu dimoderasi.”
11
Beberapa ulama pun telah memformulasikan makna Islam moderat atau Islam
wasathiyah dengan pengertian yang seperti yang dipaparkan sebelumnya. Misalnya Quraysh
Shihab, ulama ahli tafsir yang menulis Tafsir al-Misbah, dalam bukunya yang tertitel
Wasathiyah menguraikan bahwa Islam moderat atau Islam wasathiyah ialah,
“Keseimbangan dalam segala persoalan hidup dunia dan ukhrawi, yang selalu harus
disertai upaya menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi berdasarkan petunjuk
agama dan kondisi objektif yang sedang dialami. Dengan demikian, ia tidak sekadar
menghidangkan dua kutub lalu memilih apa yang ada di tengahnya. Wasathiyah
adalah kesimbangan yang disertai prinsip “tidak berkekurangan dan tidak juga
berkelebihan”, tetapi pada saat yang sama ia bukanlah sikap menghindar dari situasi
sulit atau lari dari tanggung jawab. Sebab, Islam mengajarkan keberpihakan pada
kebenaran secara aktif tapi dengan penuh hikmah.”
12
Ada pula ulama asal Mesir, Yūsuf al-Qaradhāwī menjelaskan bahwa moderasi Islam
adalah sikap pertengahan (wasathiyah) dan keadilan (ta‘ādul) di antara dua kubu yang saling
bertolakbelakang. Dalam moderasi Islam, salah satu kubu tidak boleh mendominasi dan
kemudian menegasikan yang lain. Porsi yang diambil harus proporsional oleh masing-
masing kubu dan tidak berlebihan.
13
Ia juga menyatakan bahwa Islam moderat tidak berada
dua kutub ekstrem: kelompok yang terlalu menuhankan Barat dan menerima apa-apa saja
dari mereka tanpa adanya kritik, dan kelompok yang suka melakukan truth claim seraya
mengharamkan banyak hal yang sebenarnya tidak haram secara mutlak (baca: tidak ada dalil
pengharaman secara qath’i).
14
Pandangan terhadap Islam Moderat Versi Timur vis a vis Versi Barat
Dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, kata moderat tidak mempunyai
perbedaan yang berarti. Secara ringkas, keduanya mengajukan makna pertengahan dan
sesuatu yang wajar. Meskipun demikian, kata “pertengahan” dan “wajar” sendiri sebenarnya
masih ambigu. Mengapa dikatakan demikian? Karena pemahaman terhadap kata tersebut
tetaplah dipengaruhi oleh konteks yang menyelimuti orang yang memahaminya. Kapankah
dan bagaimana pendapat serta perilaku itu dinilai sebagai moderat tentunya masih
debatable. Mengutup bahasa Gadamer, masing-masing penafsir kata moderat mempunyai
“horizon” (cakrawala pengetahuan)nya sendiri-sendiri.
15
Konteks dunia Timur (baca: Islam)
11
Ibid., 7.
12
Shihab, Wasathiyah: Wawasan Islam Tentang Moderasi Beragama, 43.
13
Yūsuf Al-Qaraāwī, Fiqh Al-Wasaiyah Al-Islāmiyah Wa Al-Tajdīd: Ma’ālim Wa Manārāt (Egypt: Markaz al-
Qaraāwī li al-Wasaiyah al-Islāmiyah wa al-Tajdīd, 2009), 23, https://www.al-qaradawi.net/node/5066.
14
Ibid., 1213.
15
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Nawesea Press, 2009), 45
52.
Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap yang Representatif
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 189
Vol. 19 No. 2 July December 2022
tidak dapat disamakan dengan konteks dunia Barat. Keduanya mempunyai kondisi dan
problem sedemikian rupa yang berbeda. Bahkan, Timur Tengah dan Indonesia, dua wilayah
yang masuk kategori Timur, berada pada konteks dan masalah yang juga berlainan. Oleh
karenanya, pemahaman terhadap kata moderat, bagaimanapun juga, tidak akan pernah
membentuk sebuah konklusi yang selaras.
Perbedaan pengertian Islam moderat di Timur dan Barat telah banyak dipaparkan
dan diteliti oleh banyak peneliti. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa bahwa konteks
dan tujuan yang berbeda antara Timur dan Barat berimplikasi pada kecenderungan
pemaknaan Islam moderat atau moderasi Islam yang berbeda pula.
16
Di Timur Islam
moderat lebih bernuansa ajaran, sedangkan di Barat lebih pada aspek politis. Islam dan
Khatun menemukan bahwa di dunia Timur, yang merupakan basis penduduk Islam, kajian
terhadap Islam moderat dipusatkan pada eksplorasi makna kata wasathiyah. Mereka
melandaskan pemikirannya pada argumen-argumen berdasarkan Al-Qur’an dan sunah.
Dengan mekanisme seperti ini, Islam moderat pun didefinisikan sebagai posisi yang paling
sesuai, seimbang atau pertengahan antara dua kubu ekstrem (ekstremisme dan kelalaian
dalam beragama). Dalam konteks ini, ia lebih dikaitkan sebagai respon terhadap teologi
ekstremis dan kontra terhadap terorisme yang banyak mengatasnamakan Islam. Sementara
di Barat, di mana Islam menjadi minoritas, Islam moderat dikaitkan dengan norma-norma
sosial liberal, pluralisme politik, hermeneutika, proses demokrasi, afinitas organisasi, dan
pendapat tentang hak monopoli kekerasan oleh negara, adaptasi, kemauan untuk bekerja
sama atau berkompromi dengan negara-negara Barat.
17
Temuan hampir serupa juga didapatkan oleh Rashid et al. Menurut mereka, di dunia
Timur, diskursus Islam moderat difokuskan pada aspek-aspek moderat dalam ajaran-ajaran
Islam serta interaksi ajaran-ajaran Islam tersebut dengan modernitas, akan tetapi di Barat,
Islam moderat dikaji dengan perspektif berbeda. Dalam konteks ini, Islam moderat
diidentikkan dengan aspek-aspek politis, berupa pluralisme di bidang politik, norma-norma
sekuler-liberal, dan sistem demokrasi. Di samping itu, kajian Islam moderat juga
digambarkan dengan paham anti terhadap kekerasan, tunduk pada legitimasi negara, dan
juga bisa bekerja sama dan beradaptasi dalam praktik kehidupan masyarakat Barat.
18
16
Radzuwan Ab Rashid et al., “Conceptualizing the Characteristics of Moderate Muslims: A Systematic
Review,” Social Identities: Journal for the Study of Race, Nation, and Culture (2020): 113,
https://doi.org/10.1080/13504630.2020.1814720; Suveyda Karakaya and A. Kadir Yildirim, “Islamist
Moderation in Perspective: Comparative Analysis of the Moderation of Islamist and Western Communist
Parties,” Democratization 20, no. 7 (2013): 1322–1349; Tazul Islam and Amina Khatun, “‘Islamic Moderation’
in Perspectives: A Comparison Between Oriental and Occidental Scholarships,” International Journal of
Nusantara Islam 3, no. 2 (2015): 6978.
17
Islam and Khatun, “‘Islamic Moderation’ in Perspectives: A Comparison Between Oriental and Occidental
Scholarships.”
18
Ab Rashid et al., “Conceptualizing the Characteristics of Moderate Muslims: A Systematic Review,” 10.
Benny Afwadzi
190 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July December 2022
Kajian Islam moderat di Barat memang lebih banyak didominasi unsur-unsur
politik dibanding sebagai sebuah ajaran dan doktrin keislaman, dan secara tidak langsung
memberikan citra negatif pada terminologi tersebut. Hal ini terlihat misalnya mengenai
kriteria moderat bernuansa politik di Amerika Serikat (AS) yang bisa bermasalah apabila
dipahami dari sudut keindonesiaan, yang ditemukan oleh John L. Esposito dan Graham E.
Fuller. Mereka menyebutkan bahwa salah satu syarat disebut moderat adalah keberpihakan
pada Israel atau minimal menghindari konfrontasi, walaupun secara politik, dengan mereka.
Sementara itu, kalangan yang kritis terhadap Israel dan tidak memberikan dukungan kepada
sikap koalisi Amerika Serikat terhadap Israel dianggap sebagai Muslim militan.
19
Pandangan
ini berbanding terbalik dengan telaah Islam moderat versi Indonesia, yang barangkali
melihat Islam moderat versi AS sebagai Islam liberal, dan Islam militan versi AS sebagai
Islam moderat.
Keterangan serupa juga dipaparkan oleh Hilmy. Menurutnya, pemahaman moderat
di AS lebih pada bias-bias ideologis-politik-ekonomi. Tragedi berdarah runtuhnya menara
kembar WTC pada 11 September 2001 merupakan titik balik penting pergeseran
pandangan mengenai moderatisme di AS. Jika sebelum kejadian tersebut, Islam moderat
dikaitkan dengan pemikiran dan sikap nirkekerasan, akan tetapi setelah kejadian tersebut,
Islam moderat diseret pada kontestasi identitas keagamaan yang membedakan identitas
kalangan yang pro Barat dan pro Ekstrimis. Orang-orang yang pro Barat inilah yang disebut
sebagai moderat. Jadi, pengertian Islam moderat, secara tumpang tindih, digunakan untuk
orang-orang mendukung HAM, demokrasi, sekularisme, kebijakan Amerka terhadap war
on terror, dan hal-hal yang semacamnya.
20
Cherney dan Murphy menggarisbawahi bahwa Muslim moderat merupakan Muslim
yang anti terhadap terorisme dan mempunyai keyakinan Islam yang akomodatif terhadap
nilai-nilai sekuler Barat.
21
Van Es et al. menyebutkan bahwa moderat adalah pandangan
politik yang selaras dengan nilai-nilai liberal.
22
Karakaya dan Yildirim telah membuat
kategorisasi definisi Islam moderat yang cukup representatif. Menurut mereka, dalam
berbagai literatur, ada beberapa titik fokus pengertian moderasi. Beberapa pengertian
tersebut adalah, pertama, Movement from a relatively closed and rigid worldview to one
more open and tolerant of alternative perspectives yang disampaikan Schwedler; kedua,
19
Ahmad Najib Burhani, “Al-Tawassu Wa-l Itidāl: The NU and Moderatism in Indonesian Islam, Asian
Journal of Social Science 40 (2012): 565.
20
Masdar Hilmy, “Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia? Menimbang Kembali Modernisme Nahdlatul Ulama
Dan Muhammadiyah,” Miqot 36, no. 2 (2012): 266; Hilmy, “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism?: A
Reexamination on the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU,” 2829.
21
Adrian Cherney and Kristina Murphy, “What Does It Mean to Be a Moderate Muslim in the War on
Terror? Muslim Interpretations and Reactions,” Critical Studies on Terrorism 9, no. 2 (2016): 5.
22
Margaretha A. van Es, Nina ter Laan, and Erik Meinema, “Beyond ‘Radical’ versus ‘Moderate’? New
Perspectives on the Politics of Moderation in Muslim Majority and Muslim Minority Settings,” Religion 51, no.
2 (2021): 161, https://doi.org/10.1080/0048721X.2021.1865616.
Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap yang Representatif
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 191
Vol. 19 No. 2 July December 2022
moderasi ideologis dan menghormati proses demokrasi yang ada oleh Wickham dan
Brooks; ketiga, moderasi ideologis dan pemahaman terhadap demokrasi itu sendiri oleh El-
Ghobashy dan Clark; keempat, moderasi adalah demokrasi yang dipaparkan oleh Robinson;
kelima, meningkatkan fleksibilitas terhadap keyakinan ideologis yang utama oleh Wegner
dan Pellicer, dan Somer; dan keenam, menjauhi ekstremisme yang diajukan oleh Nasr dan
Zakaria.
23
Alasan utama Barat memberikan asosiasi Islam moderat yang berbeda dengan dunia
Timur adalah karena berkaitan dengan agenda politik yang sedang mereka bangun.
24
Islam
dan Khatun menjelaskan bahwa konteks Barat dalam menjabarkan moderasi adalah
demokratisasi, deradikalisasi, dan pluralisme, sedangkan konteks Timur hanya berupa
respon terhadap paham ekstremisme dan kontra terorisme.
25
Ini tentunya menyebabkan
perbedaan pandangan terhadap Islam moderat di dunia Timur dan Barat sekaligus gesekan-
gesakan di antara keduanya akibat jalur intelektualitas dan komunikasi yang tidak terbatas.
Ketika berbicara mengenai Islam moderat, harus dimulai dari konsepsi seperti apa yang
dimaksud terlebih dahulu, dan ini menjadi persoalan yang urgen. Di dunia Timur, kajiannya
lebih ke arah normatif dari terminologi tersebut, sedangkan di dunia Barat yang menjadi
perhatian adalah efek politis dari adanya penggunaan kata itu. Dalam dunia Timur
mengenal varian Islam liberal, moderat, dan radikal, akan tetapi di Barat barangkali cuma
hanya ada dua varian, yaitu Islam moderat dan radikal. Menggunakan kerangka berpikir
Barat untuk menguraikan Islam moderat bisa menimbulkan problem ketika lawan bicara
adalah orang Timur, misalnya Indonesia yang masih menggunakan pola pikir konteks
keindonesiaan.
Dengan motif banyaknya kasus radikal dan teror yang melanda negara-negara Barat
seperti Eropa dan Amerika, terutama setelah peristiwa 11 September, mereka mempunyai
tendensi politik agar warga Muslim bisa menerima demokrasi dan pluralisme Barat, patuh
pada pemerintahan, dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan radikal-teror. Tidak hanya
itu, bahkan, paham Islam moderat kemudian diinstitusikan atau menjadi institusi sebagai
organisasi-organisasi yang dapat dipantau langsung oleh negara.
26
Secara umum, tidak ada
23
Karakaya and Yildirim, “Islamist Moderation in Perspective: Comparative Analysis of the Moderation of
Islamist and Western Communist Parties,” 1327.
24
Ab Rashid et al., “Conceptualizing the Characteristics of Moderate Muslims: A Systematic Review,” 10.
25
Islam and Khatun, “‘Islamic Moderation’ in Perspectives: A Comparison Between Oriental and Occidental
Scholarships,” 72–75.
26
Sara Silvestri, “Public Policies towards Muslims and the Institutionalization of ‘Moderate Islam’ in Europe:
Some Critical Reflections,” in Muslims in 21st Century Europe: Structural and Cultural Perspectives (London:
Routledge, 2010), 45–58; Ahmad Ali Nurdin et al., “The Role of Centre for Islamic Thought and Education
(CITE): Correcting Negative Image of Islam, Spreading Moderate Islam in Australia,” Ulul Albab: Jurnal Studi
Islam 20, no. 1 (2019): 147–176; Yvonne Yazreck Haddad and Tyler Golson, “Overhauling Islam:
Representation, Construction, and Cooption of ‘Moderate Islam’ in Western Europe,” Journal of Church and
State 49, no. 3 (2007): 487516.
Benny Afwadzi
192 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July December 2022
kepentingan untuk menguak lebih jauh gambaran Islam tentang hakikat moderasi
sebagaimana dalam kesarjanaan Timur. Dalam kacamata inilah, muncul kritik yang
diarahkan oleh sebagian Muslim di dunia Timur terhadap Islam moderat. Mereka
berpandangan bahwa eksistensi Islam moderat yang berasal dari Barat malah seakan-akan
malahan memperkuat hegemoni Barat atas dunia Islam itu sendiri.
Bagaimana dengan Indonesia? Tidak bisa dipungkiri, sebagai negara berpenduduk
mayoritas Muslim, kajian Islam moderat diarahkan pada kajian elaboratif makna wasathyah
dan aspek-aspek moderasi dalam berbagai ajaran Islam. Ditegaskan bahwa ajaran-ajaran
Islam mengandung unsur-unsur moderasi (wasathiyah).
27
Namun, menurut penulis, bukan
berarti pula tidak terdapat agenda politis sebagaimana di Barat, meskipun didasari tidak
sebebas yang terjadi di sana. Secara umum, kajian Islam moderat di Indonesia tidak bisa
diidentikkan dengan paham liberal dan sekuler, sebab hal itu dipandang sebagai salah satu
kubu ekstrem. Indonesia mempunyai konteks khas dan masalah yang boleh jadi berbeda
dengan negara-negara berpenduduk Muslim lainnya maupun negara-negara Barat, yang
dimulai dari perilaku-perilaku radikal-teror, gerakan-gerakan yang mengusik bentuk negara
Pancasila, gerakan-gerakan yang berdakwah dengan cara kekerasan, hingga penolakan
terhadap budaya dan tradisi yang berkembang di wilayah Nusantara. Dari masalah inilah
kemudian menyebabkan Kementerian Agama memberikan empat indikator seseorang bisa
dikatakan moderatkomitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan akomodatif
terhadap budaya lokal, dan indikator pertama jelas menuju pada alasan politismeski tidak
seliberal di Barat, yakni komitmen kebangsaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan Pancasila.
28
Argumen-Argumen Penolak Terminologi Islam Moderat
Para sarjana Muslim menyadari bahwa moderat pada dasarnya merupakan karakter
yang dimiliki oleh agama Islam. Islam mengajarkan pada pemeluknya untuk selalu menjaga
posisi pertengahan. Dari berbagai ajaran agama Islam, seperti akidah, ibadah, dan akhlak,
pertengahan adalah prinsip yang menjadi pegangan. Para sarjana Muslim membuktikan
bahwa Islam mempunyai prinsip moderasi dalam berbagai aspeknya. Ia tidak condong ke
salah satu kubu ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Bahkan, dikatakan
bahwameski subjektifmoderasi itulah yang menjadi nilai khas yang dimiliki Islam dan
tidak dimiliki oleh agama-agama lainnya. Terlebih lagi, Al-Qur’an dan hadis, sebagai sumber
27
Bisa dilihat dalam buku resmi terbitan Kementerian Agama Republik Indonesia, Kementerian Agama RI,
Moderasi Islam (Tafsir Al-Qur’an Tematik).
28
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 4247.
Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap yang Representatif
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 193
Vol. 19 No. 2 July December 2022
normatif pertama dan kedua dalam Islam, dalam banyak ayat dan redaksi hadisnya
mengonfirmasi sikap yang berpatokan pada dimensi moderat ini.
29
Meskipun demikian, dalam tataran realitasnya, mengombinasikan kata Islam dan
moderat, sehingga menjadi “Islam moderat”, dianggap sebagai problem bagi sebagian umat
Islam. Apabila dianalisis, ada beberapa argumentasi yang diajukan oleh mereka, pertama,
argumen ajaran Islam yang sebenarnya sudah moderat dan universalitas Islam. Pada
dasarnya, mereka menerima bahwa Islam memang agama yang menjunjung tinggi sikap
moderat, atau dalam arti yang lebih jelas, ajaran-ajaran Islam memang sudah moderat.
Namun, mereka mempersoalkan eksistensi Islam moderat (wasathiyah) dan menolaknya,
sehingga tidak ada istilah tersebut. Dengan demikian, moderasi sebenarnya sudah ada
secara inheren dalam ajaran Islam dan tidak perlu dieksplisitkan menjadi terminologi
khusus: “Islam moderat”. Bahkan, eksistensi nama Islam moderat malah mengungkapkan,
secara impisit, hal sebaliknya bahwa Islam itu tidak moderat. Adanya istilah Islam moderat
dan Islam-Islam lainnyatidak perlu dimunculkan, sebab terkesan akan mengotak-kotakkan
Islam dan mereduksi makna universal Islam itu sendiri. Penggabungan kata Islam dan
moderat malah mendiskreditkan Islam yang maknanya sebenarnya begitu luas.
30
Kedua, argumen Islam moderat pro liberal dan sekuler ala Barat. Menurut para
penolak terminologi ini, Islam moderat hanyalah perang istilah yang dimunculkan oleh
dunia Barat untuk mengonfirmasi paham-paham liberalisme dan sekulerisme yang
dimilikinya. Islam moderat hanyalah bungkus, sedangkan subtansinya atau isinya adalah
Islam liberal dan Islam sekuler. Lebih jauh, paham Islam moderat dipandang tidak anti
terhadap Barat, bisa menjadi mitra yang baik, dan malahan tidak menolak berbagai
kepentingan Barat. Pemahaman seperti ini bisa dirujukkan pada definisi Islam moderat
menurut para sarjana yang ada di Barat seperti diulas sebelumnya.
31
Menurut Nur dan
Lubis, istilah wasathiyah atau moderat acapkali dipergunakan untuk membenarkan orang
29
Ash-Shallabi, Wasathiyah Dalam Al-Qur’an: Nilai-Nilai Moderasi Islam Dalam Akidah, Syariat, Dan Akhlak;
Shihab, Wasathiyah: Wawasan Islam Tentang Moderasi Beragama; Ardiansyah, “Islam Wasaîyah Dalam Perspektif
Hadis: Dari Konsep Menuju Aplikasi; Kementerian Agama RI, Moderasi Islam (Tafsir Al-Qur’an Tematik);
Muhammad Khairan Arif, “Moderasi Islam (Wasathiyah Islam) Perspektif Al-Qur’an, As-Sunnah Serta
Pandangan Para Ulama Dan Fuqaha,” Al-Risalah 11, no. 1 (2020): 2243; Al-Qaraāwī, Fiqh Al-Wasaiyah Al-
Islāmiyah Wa Al-Tajdīd: Ma’ālim Wa Manārāt; Mohammad Hashim Kamali, The Indicators of Wasatiyyah or
Moderation in Islam, Islam and Civilisational Renewal 7, no. 2 (2016): 264266.
30
Nur and Lubis, “Konsep Wasathiyah Dalam Al-Quran (Studi Komparatif Antara Tafsir Al-Tahrîr Wa at-
Tanwîr Dan Aisar at-Tafâsîr),” 210–211; Daniel Pipes, “There Are No Moderates: Dealing with
Fundamentalist Islam,” The National Interest, no. 41 (1995): 48–57; Hilmy, “Whither Indonesia’s Islamic
Moderatism?: A Reexamination on the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU,” 27–28; Silvestri,
“Public Policies towards Muslims and the Institutionalization of ‘Moderate Islam’ in Europe: Some Critical
Reflections,” 49.
31
Nur and Lubis, “Konsep Wasathiyah Dalam Al-Quran (Studi Komparatif Antara Tafsir Al-Tahrîr Wa at-
Tanwîr Dan Aisar at-Tafâsîr),” 209–211; Abdurrohman, “Eksistensi Islam Moderat Dalam Perspektif Islam,”
36.
Benny Afwadzi
194 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July December 2022
yang berpikir dan bertindak secara liberal dalam beragama, sedangkan orang yang
menjalankan syariat Islam secara konsisten dipandang tidak moderat.
32
Ketiga, argumen ketidakparipurnaan (ghayr kāffah) Muslim moderat dalam
beragama. Para penolak Islam moderat memandang bahwa Muslim moderat tidak
menjadikan seluruh ajaran Islam sebagai petunjuk kehidupan yang diamalkan, padahal
seharusnya Islam mencakup keseluruhan hidup seseorang. Mereka mengambil sebagian
ajaran dan mencampakkan sebagian yang lain. Banyak Muslim moderat menolak untuk
memanjangkan jenggot dan memotong kumis, menolak cadar dan jubah, dan malah
menggunakan celana yang isbal (menjulurkan celana melebihi mata kaki). Muslim moderat
juga dipandang tidak sensitif, tidak mempunyai kepedulian, dan tidak memberikan
pembelaan terhadap Islam sebagai agama yang dianutnya, misalnya tatkala simbol-simbol
agamanya dihina seperti banyak terjadi belakangan ini.
33
Keempat, argumen justifikasi konsep ummatan wasathan (umat pertengahan) dan
dīn al-wasath (agama pertengahan) terhadap terminologi Islam moderat merupakan
persoalan post hoc. Artinya, pemahaman aktual Islam moderat yang didasarkan atas kata
wasath muncul relatif belakangan setelah terminologi ini mencuat sebagai perlawanan atas
Islam radikal. Dalam berbagai kitab tafsir, kedua konsep tersebut tidak merujuk pada posisi
pertengahan antara liberal dan radikal-teror, akan tetapi lebih merujuk pada agama yang
berada di tengah-tengah antara Yahudi yang keras (sampai membunuh nabinya) dan
Nasrani yang lembek (hingga menuhankan/menganggap anak Tuhan terhadap nabinya).
Makna baru wasath sebagai posisi di tengah antara liberal dan radikal-teror baru muncul
dan berkembang setelah istilah Islam moderat beredar, dan tidak didasarkan pada doktrin-
doktrin yang telah ada sebelumnya.
34
Menurut penulis, untuk dapat memahami persoalan Islam moderat secara objektif
haruslah dimulai darimengutip bahasa Amin Abdullahfakta-fakta secara historis dan
bukan normatif belaka.
35
Fakta ini harus berpijak pada pemahaman historis bahwa Islam
tidaklah tunggal. Secara normatif, Islam adalah agama yang disebarkan oleh Nabi
Muhammad dan hanya ada satu, tetapi secara historis tidaklah satu, atau bisa dikatakan
interpretasi terhadap Islam ini sangat bervariasi. Variasi interpretasi ini muncul dalam
berbagai dimensi keislaman, baik teologi, fikih, maupun tasawuf, dan bahkan dibumbuhi
32
Nur and Lubis, “Konsep Wasathiyah Dalam Al-Quran (Studi Komparatif Antara Tafsir Al-Tahrîr Wa at-
Tanwîr Dan Aisar at-Tafâsîr),” 210.
33
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 13.
34
Rahmatullah Rahmatullah, “Islam Moderat Dalam Perdebatan,” Dialog: Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan
71, no. 1 (2011): 43–44; Burhani, “Al-Tawassu Wa-l Itidāl: The NU and Moderatism in Indonesian Islam,
566567.
35
M. Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas Atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap yang Representatif
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 195
Vol. 19 No. 2 July December 2022
dengan saling menyesatkan dan mengkafirkan antara satu dengan yang lain.
36
Contoh yang
paling mudah, misalnya, konflik antara As’ariyah dan Salafi-Wahabi terkait perdebatan
seputar ayna Allah (dimanakah Allah?), apakah di atas langit ataukah tanpa tempat dan arah,
yang kemudian berimplikasi pada saling menyesatkan pun menjadi bukti yang gamblang
bahwa interpretasi terhadap Islam tidaklah tunggal.
Selanjutnya, pada faktanya, muncul kekerasan dan teror yang dilakukan oleh
sekelompok orang Islam dalam kehidupan beragama di Indonesia. Dengan dalih
memerangi orang kafir, mereka berani melakukan bom bunuh diri dengan
mengatasnamakan Islam. Terkadang, keluarganya juga ikut dikorbankan dalam aksi
berdarah ini. Hal ini sebagaimana terjadi dalam bom bunuh diri tahun 2018 di tiga gereja di
Surabaya.
37
Citra Islam sebagai agama yang damai pun rusak akibat ulah mereka ini,
sehingga ia digambarkan sebagai agama yang penuh teror dan aksi anarkis hingga timbul
istilah yang popular di Barat: “islamophobia.’
38
Selain itu juga, muncul pula golongan yang berpaham untuk merubah haluan
negara, sebagaimana dilakukan oleh almarhum HTI, sehingga bisa menghancurkan
Pancasila sebagai kesepakatan kenegaraan bersama di awal berdirinya negara.
39
Padahal,
Pancasila merupakan “jalan tengah” atas perdebatan dan pertentangan pada masa awal
pendirian negara Indonesia. Pancasila adalah haluan negara yang menjadi “moderatisme”
antara pihak yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan yang ingin
menjadikannya negara sekuler. Eksistensi Pancasila memang tidak memuaskan bagi semua,
termasuk umat Islam, hanya saja berbagai keberagaman di Indonesia bisa diakomodir
olehnya, baik suku, agama, maupun adat tradisi.
Ada pula sekelompok orang yang kerap melakukan aksi sweeping, dan acapkali
dibumbuhi dengan aksi-aksi kekerasan dalam dakwahnya. Sebenarnya, setiap orang Islam
pasti sepakat dengan amar ma’ruf nahi munkarnya, akan tetapi jika kata-kata kasar dan
perilaku yang melangar hukum acapkali menyertainya maka tentu menjadi masalah.
Masyarakat, utamanya non-Muslim, akan berkurang simpatinya pada Islam. Implikasi
lanjutannya, karakter damai dan toleran sebagai identitas Islam Indonesia pada akhirnya
36
Benny Afwadzi and Miski Miski, Islam Moderat Dan Shī‘ah Zaydiyah: Kontribusi Pemikiran Hadis Muammad Ibn
Ismā‘īl Al-an‘ānī Bagi Moderasi Islam Di Indonesia (Malang: UIN-Maliki Press, 2020), 5153.
37
Dendy Suseno Adhiarso, “The Influence of Watching News About Church Bombings in Surabaya on the
Public Perception Toward the Veiled Muslim Women in Yogyakarta,” Ulul Albab: Jurnal Studi Islam 20, no. 2
(2019): 284–301; Hendro Wicaksono, “Analisis Kriminologis: Serangan Bom Bunuh Diri Di Surabaya,”
Deviance: Jurnal Kriminologi 2, no. 2 (2018): 88101; Benny Afwadzi, “Membangun Moderasi Beragama Di
Taman Pendidikan Al-Qur’an Dengan Parenting Wasathiyah Dan Perpustakaan Qur’ani,” Transformasi: Jurnal
Pengabdian Masyarakat 16, no. 2 (2020): 106120.
38
Enes Bayrakli and Farid Hafez, Islamophobia in Muslim Majority Societies (London and New York: Routledge,
2018).
39
Mengenai kajian yang cukup komprehensif mengenai HTI, lihat Syamsul Arifin, Utopia Negara Khilafah:
Ideologi Dan Gerakan Sosial Hizbut Tahrir (Malang: Literasi Nusantara, 2020).
Benny Afwadzi
196 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July December 2022
akan terdistorsi, atau dengan istilah Azra: Islam dapat terlihat “jahat” dan menakutkan bagi
banyak orang.
40
Melihat fakta ini, banyak pakar kemudian menelurkan istilah Islam moderat di
Nusantara untuk membuat jarak distingsi antara kelompok-kelompok di atas dengan umat
Islam yang damai dan toleran serta bisa mencari jalan pertengahan. Seyogyanya, ia bukanlah
aliran keagamaan atau mazhab yang baru, namun ia hanya berupa ciri khas untuk
membedakan perilaku keislaman yang tidak dilandaskan atas prinsip moderatisme. Pola
pikir yang dibangun tidak hanya berkutat pada wilayah ajaran Islam yang moderat tetapi
juga pada wilayah Islam yang sosiologis. Sebagian penolak Islam moderat hanya
mendasarkan pandangannya bahwa sudah moderat dari awalnya tetapi kurang melihat
dalam perkembangan secara sosiologis bagaimana Islam dipraktikkan hari-hari ini. Lebih
lanjut, sebenarnya moderat inilah yang dipahami dan diaktualisasikan oleh sebagian besar
Muslim Indonesia. Atau dengan kata lain, cara berislam Muslim Indonesia pada dasarnya
adalah Islam moderat, yang mencakup Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah,
41
atau
bahkanmeskipun problematisorang-orang PKS (Partai Keadilan Sejahtera) sekalipun.
42
Klaim-klaim Islam moderat adalah bungkus dari Islam liberal pun kurang bisa
dipertanggungjawabkan. Memang pengertian Islam moderat perspektif Barat memiliki
konotasi yang agak berbeda dengan pengertian di Indonesia, dan itulah yang harus
dipahami. Sehingga, seseorang bisa selektif dalam memilih mana pemahaman yang
representatif untuk digunakan dan mana yang ditinggalkan. Tidak selamanya diskursus dari
Barat diterima mentah-mentah tanpa adanya kritik dan kontekstualisasi yang proporsional.
Menurut Nasaruddin Umar, Islam moderat tidaklah identik dengan Islam liberal, yang
mentolelir segala macam kehidupan modern, tanpa memberikan sikap kritis. Selektif
40
Azyumardi Azra, Relevansi Islam Wasathiyah: Dari Melindungi Kampus Hingga Mengaktualisasikan Kesalehan
(Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2020), 144147.
41
Muttaqin and Anwar, “Dinamika Islam Moderat, Studi Atas Peran LP. Ma’arif NU Lumajang Dalam
Mengatasi Gerakan Radikal”; Hilmy, “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism?: A Reexamination on the
Moderate Vision of Muhammadiyah and NU”; Darajat, “Muhammadiyah Dan NU: Penjaga Moderatisme
Islam Di Indonesia”; Mohamad Salik, “Conserving Moderate Islam in Indonesia: An Analysis of Muwafiq’s
Speech on Online Media,” Journal of Indonesian Islam 13, no. 2 (2019): 373394; Suhaimi and Raudhonah,
“Moderate Islam in Indonesia: Activities of Islamic Da’wah Ahmad Syafii Maarif.”
42
Menarik melihat pendapat Arifianto yang menyatakan bahwa PKS adalah kelompok moderat, karena
mereka tetap menerima prinsip-prinsip demokrasi dengan mengikuti pemilu. Padahal, dalam banyak literatur
disebutkan mereka adalah perwujudan gerakan Tarbiyah yang diidentifikasi sebagai radikal. Mereka juga
mendukung keberadaan Pancasila selama mendukung kebijakan orang-orang Islam, meskipun pada awalnya
mengusung negara Islam sebagai asas tujuannya. Sedangkan kelompok NU dan Muhammadiyah, oleh
Arifianto, disebut sebagai kelompok integratif sebab telah terintegrasi dengan sistem politik di Indonesia.
Mereka mendukung Pancasila secara penuh, menerima prinsip-prinsip demokrasi, dan meninggalkan tujuan
awalnya untuk mendirikan negara Islam. Intinya, antara PKS dengan NU dan Muhammadiyah terdapat
perbedaan tipis, yakni pada penerimaan pada Pancasila secara penuh ataua tidak. Lihat, Alexander R.
Arifianto, “Islamic Campus Preaching Organizations in Indonesia: Promoters of Moderation or Radicalism?,”
Asian Security 15, no. 3 (2019): 32342, https://doi.org/10.1080/14799855.2018.1461086.
Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap yang Representatif
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 197
Vol. 19 No. 2 July December 2022
terhadap banyak hal, termasuk hal-hal dari Barat, adalah karakteristik Islam moderat.
Moderat adalah pemahaman ajaran Islam yang holistik, yang selalu tunduk dengan kritis
dan pasrah terhadap ajaran Islam. Walaupun begitu, menurut Umar, simbol-simbol
keagamaan tertentu, misalnya tidak memelihara jenggot atau berjubah tidak bisa menjadi
parameter moderat. Muslim moderat tidak harus menjauhi atribut Islam dan menyetujui
jargon-jargon sekuler. Sikap moderat ditunjukkan melalui pemikiran dan sikap seseorang
terhadap agamanya yang mengarah pada hal itu.
43
Adapun Islam moderat yang dipandang tidak paripurna (kāffah) disebabkan karena
sempitnya dalam memahami ajaran agama dan fenomena keberagamaan. Sehingga, muncul
pandangan bahwa yang namanya Islam harus seperti Islam yang dianut dan dijalankannya.
Jika tidak, maka dipandang bukan Islam atau minimal Islam dengan label buruk. Padahal,
dalam memahami Islam, harus dapat memahami distingsi mana ajaran yang universal dan
mana ajaran yang sifatnya partikular, mana yang thawābit (tetap, konstan) dan mana pula
yang mutaāwil (berubah-ubah), mana yang masuk kategori tasyri’ dan mana pula yang
ghayru tasyri’, serta mana yang harus dipahami secara tekstual dan mana yang ditafsirkan
secara kontekstual. Belum lagi berkenaan dengan tafsir terhadap ajaran agama yang
bervariasi. Maksudnya, hasil ijtihad seorang mujtahid dapat berbeda dengan hasil ijtihad dari
mujtahid lainnya. Kementerian Agama pun mengingatkan pentingnya hal ini dalam melihat
Islam moderat:
“.... Moderat dalam beragama sama sekali bukan berarti mengompromikan prinsip-
prinsip dasar atau ritual pokok agama demi untuk menyenangkan orang lain yang
berbeda paham keagamaannya, atau berbeda agamanya. Moderasi beragama juga
bukan alasan bagi seseorang untuk tidak menjalankan ajaran agamanya secara serius.
Sebaliknya, moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran
agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi
berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama.”
44
Q.S. al-Baqarah [2]: 143 sebagai Pijakan Terminologi Islam Moderat
Sebenarnya banyak sekali argumentasi dari Al-Qur’an, hadis Nabi, dan juga
perkataan generasi Islam awal (sahabat dan tabi’in) yang menjelaskan prinsip-prinsip
moderasi dalam Islam, baik secara eksplisit maupun implisit. Argumentasi-argumentasi
inilah yang ditampilkan oleh Yūsuf al-Qaradhāwī, sarjana Muslim asal Mesir yang getol
menyuarakan wasathiyah di Timur Tengah, di awal bukunya yang berjudul Fiqh al-
Wasathiyah.
45
Dalam konteks ini, ia ingin menunjukkan bahwa moderasi mempunyai dasar
yang kuat dalam tradisi Islam klasik, dan bukan pemikiran yang terlepas darinya. Bahkan, al-
Qaradhāwī menegaskan bahwa moderasi itulah yang merupakan inti ajaran Islam itu
43
Nasaruddin Umar, Islam Nusantara: Jalan Panjang Moderasi Beragama Di Indonesia (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2019), 272275.
44
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 1314.
45
Al-Qaraāwī, Fiqh Al-Wasaiyah Al-Islāmiyah Wa Al-Tajdīd: Ma’ālim Wa Manārāt, 15.
Benny Afwadzi
198 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July December 2022
sendiri. Ia bukan pemikiran yang mempermudah (tasāhul) dalam agama sebagaimana
dituduhkan oleh sebagian kalangan. Metode wasathiyah (moderasi) adalah metode yang
digali dari sumber-sumber Islam sendiri, yaitu Al-Qur’an, hadis Nabi, dan kaidah-kaidah
ushul fikih, yang mengedepankan keringanan (rukhshah) dalam furū’ (fikih) akan tetapi
ketat dalam ushūl (akidah).
46
Dalam Al-Qur’an, terdapat ayat yang biasa dipakai sebagai justifikasi Islam moderat
oleh banyak pakar, yaitu dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 143 yang menggunakan kata wasatha.
Hal yang menarik mengenai ayat ini ialah bahwa ia berposisi di tengah-tengah surat al-
Baqarah. Jumlah ayat dalam surat al-Baqarah sendiri adalah 286, sehingga ayat yang ke 143
adalah pas di pertengahan.
47
Sesuatu yang “tengah” biasa diasosiasikan laksana inti atau
jantung dari sesuatu. Hal ini mengandung isyarat bahwa prinsip wasathiyah hendaknya
menjadi pedoman dalam kehidupan sosial-keagamaan.





“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
wasathan (pertengahan, adil, pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Kata ummahseperti dalam ayat di atasadalah salah satu kata dalam Al-Qur’an
untuk menyebut sebuah komunitas masyarakat. Kata ini pula diserap dalam bahasa
Indonesia, yakni umat. Dalam Al-Qur’an, kata ini disebutkan sebanyak 64 kali (singular 52
kali dan plural 12 kali) untuk menunjuk pada kumpulan atau komunitas kaum muslimin.
48
Secara semantik, menurut Umar, kata ini mempunyai lima komponen yang harus ada,
pertama, komunitas masyarakat yang dihimpun oleh ikatan kasih sayang yang sangat dalam
dan luhur; kedua, memiliki visi kemanusiaan dengan orientasi ke masa depan; ketiga, berada
di bawah kepemimpinan yang disegani; keempat, rakyatnya santun tetapi kritis; dan kelima,
mempunyai sistem kepemimpinan yang ideal. Apabila kelima hal tersebut tidak terpenuhi,
maka tidak dapat disebut sebagai ummah.
49
Sementara itu, kata wasathan dalam ayat di atas, menurut Quraysh Shihab, seperti
dikutip Wahab, mempunyai beberapa makna, yaitu dipilih, yang terbaik, bersikap adil,
rendah hati, moderat, istiqamah, mengikuti ajaran Islam, tidak ekstrem baik dalam hal-hal
yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat, begitu pula spiritual dan jasmani, harus bisa
menyeimbangkan antara kedua sisinya. Lebih lanjut, bagi Shihab, wasathiyah adalah sesuatu
46
Ardiansyah, “Islam Wasaîyah Dalam Perspektif Hadis: Dari Konsep Menuju Aplikasi, 237.
47
Ibid., 234.
48
Shihab, Wasathiyah: Wawasan Islam Tentang Moderasi Beragama, 136137.
49
Umar, Islam Nusantara: Jalan Panjang Moderasi Beragama Di Indonesia, 433.
Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap yang Representatif
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 199
Vol. 19 No. 2 July December 2022
yang baik yang berada di antara dua kutub yang ekstrem.
50
Dalam bukunya Wasathiyah,
Shihab juga mengungkapkan makna wasathan dalam dua kitab tafsir yang mempunyai
corak berbeda, yakni Tafsīr al-Thabarī (829-923 M) yang bercorak ma’tsūr (riwayat) dan
Tafsir al-Rāzī (1150-1210 M) yang bercorak ra’yī (rasional). Menurut al-Thabarī, kata
tersebut secara bahasa bermakna “yang terbaik”, namun ia sendiri lebih cenderung memilih
arti “pertengahan/bagian dari dua ujung.” Sementara itu, al-Rāzī mengulas pemaknaan kata
wasathan secara luas dalam kitab tafsirnya. Beberapa makna yang disebutkannya adalah adil,
terbaik, paling utama atau paling baik, dan bersikap moderat atau pertengahan antara
berlebihan dan berkekurangan dalam segala hal. Meskipun begitu, bagi al-Rāzī, makna-
makna tersebut berdekatan dan tidak saling bertentangan.
51
Dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 143, pijakan terrminologi Islam moderat secara khusus
berada pada kata ummatan wasathan. Moderat artinya pertengahan, dan wasathan dalam
ayat tersebut, dalam salah satu makna populer, bermakna pertengahan pula. Tafsir atau
penjelasan apapaun mengenai ummatan wasathan tidak akan pernah bergeser dari maksud
“pertengahan”, meski dengan konteks yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, dapat disebutkan
secara tegas bahwa ummatan wasathan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 143 adalah pijakan bagi
terminologi Islam moderat yang saat ini ramai diperbincangkan. Dalam hal ini, pertengahan
tidak melulu harus dimaknai pertengahan antara Yahudi dan Nasrani sebagaimana
dipaparkan berbagai kitab tafsir, akan tetapi mengikuti konteks di mana redaksi
“pertengahan” itu hadir, dengan tentunya tetap menjaga prinsip-prinsip ajaran Islam. Itulah
mengapa argumen post hoc terhadap Islam moderat tidaklah representatif. Ummatan
wasathanselain juga pasangannya, yakni khayru ummahadalah konsep ideal yang dimiliki
oleh masyarakat Islam. Di dalamnya, terdapat keharmonisan dan keseimbangan dalam
hidup dan tidak terjebak dalam dua kubu ekstremyang sama-sama burukyang saling
bertentangan.
Hamka menjelaskan bahwa ummatan wasathan merupakan ajaran yang dibawa oleh
Nabi Muhammad. Umat yang bergelar ini, menurutnya, merupakan umat yang selalu
menempuh jalan tengah dalam kehidupan dan menerima kehidupan sesuai kenyataannya.
Mereka tidak tenggelam dalam kehidupan duniawi sehingga menanfaatkan kekayaan untuk
kebaikan, dan tidak pula larut dalam bingkai spiritualitas semata. Kedua jalan hidup tersebut
harus dipertemukan. Selain itu, mereka juga berupaya selalu berada di jalan yang lurus
(shirāt al-mustaqīm), yang menjadi syarat mutlak sebuah umat masuk kategori sebagai
ummatan wasathan.
52
50
Abdul Jamil Wahab, Islam Radikal Dan Moderat: Diskursus Dan Kontestasi Varian Islam Indonesia (Jakarta: PT
Elex Media Komputindo, 2019), 194195.
51
Shihab, Wasathiyah: Wawasan Islam Tentang Moderasi Beragama, 713.
52
Abdur Rauf, “Interpretasi Hamka Tentang Ummatan Wasathan Dalam Tafsir Al-Azhar,” Qof: Jurnal Studi
Al-Qur’an dan Tafsir 3, no. 2 (2019): 161177.
Benny Afwadzi
200 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July December 2022
Yaaqub dan Othman, setelah menelusuri pendapat ahli fikih klasik dan
kontemporer, menyimpulkan bahwa dalam konsep ummatan wasathan harus ada keadilan
sosial, kebebasan diri, kesetaraan dan hak-hak yang dimiliki oleh mereka sendiri. Pada saat
yang sama pula, mereka harus mampu mengendalikan unsur-unsur yang menyimpang,
seperti ideologi ekstrim, kelalaian, berlebih-lebihan dan hal lain sebagainya, sembari mencari
dan mempertahankan jalan tengah. Tegasnya, kata mereka, istilah tersebut digunakan
sebagai rujukan umat Islam dalam konteks interaksi dan keterlibatan dalam bidang sosial-
budaya.
53
Islam Nusantara sebagai Islam Moderat
Jika ditilik sejarahnya, maka dipahami bahwa teori masuknya Islam di Indonesia
biasanya dibagi menjadi empat, yaitu teori Arab, India, Persia, dan China. Masing-masing
mempunyai landasan argumen dan bukti-bukti empiris yang diajukan. Barangkali juga,
semua teori memang benar, dan problem yang ada hanya berkisar pada siapa yang lebih
dahulu membangun eksistensinya di Indonesia. Meskipun begitu, dari manapun Islam
Indonesia awalnya berasal, tidak dapat menghilangkan fakta bahwa keberagamaan Islam
Indonesia memiliki karakter yang distingtif dengan Islam yang ada di tempat lain. Dengan
kata lain, Islam Indonesia adalah Islam yang unik. Keunikan ini dilihat dari, misalnya,
penyebaran Islam yang tidak menggunakan media perang dan ekspansi (futūāt) lazimnya
di wilayah-wilayah lain, akan tetapi lebih pada tradisi dan budaya masyarakat setempat.
Sehingga dari sini, tradisi yang dikembangkan di Indonesia, secara historis, adalah “Islam
damai” dan bukan “Islam perang.”
Islam dengan format damai, inklusif, toleran, dan akomodatif terhadap budaya lokal
inilah yang kemudian menjelma sebagai sebuah paradigma Islam Indonesia. Masyarakat
Muslim Indonesia pada hakikatnya tidak berwatak keras dan radikal, akan tetapi toleran dan
dapat berdialog dengan orang lain yang berbeda. Ajaran yang dibangun pun berdasarkan
prinsip-prinsip moderasi, yaitu tawassuth (pertengahan), tawāzun (seimbang), tasāmu
(toleran), dan i’tidāl (tegak lurus). Konsep persaudaraan yang dibangun juga berlandaskan
universalisme Islam, yaitu ukhuwah islāmiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah
wathaniyah (persaudaraan sesama anak bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan
sesama umat manusia). Mereka tidak memakai kekerasan dalam berdakwah dan
menyebarkan Islam, dan terbukti efektif mengislamkan Indonesia dalam waktu yang relatif
singkat. Contoh sederhana, misalnya, Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus yang enggan
menyembelih sapi dalam rangka menghormati umat Hindu yang mengkultuskan Sapi, dan
53
Muhamadul Bakir Yaakub and Khatijah Othman, “A Textual Analysis for the Term ‘Wasatiyyah’ (Islamic
Moderation) in Selected Quranic Verses and Prophetic Tradition,” Journal of Education and Social Sciences 5
(2016): 67.
Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap yang Representatif
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 201
Vol. 19 No. 2 July December 2022
yang kemudian berefek pada umat Hindu Kudus yang secara massal berkonversi menjadi
Muslim.
Keberagamaan di Indonesia mempunyai ciri khas moderat kemudian mengantarkan
pada konsep Islam Nusantara yang digaungkan oleh NU dalam muktamar ke 33 tahun
2015 di Jombang, sekaligus sebagai perlawanan atas radikalisme yang berkembang di
Indonesia. “Islam Nusantara” adalah keunikan sifat dan karakteristik Islam di wilayah
Nusantara. Ini agak berbeda dengan “Islam di Nusantara yang berkonotasi kepada
penggambaran existing Islam di Nusantara, yang meliputi sejarah perkembangan, populasi,
dan ciri khasnya.
54
Atau dalam versi lain, dipandang sama pengertiannya dengan Islam di
Nusantara, jadi Islam Nusantara ialah Islam di Nusantara.
55
Meskipun terdapat perbedaan
pemahaman, keduanya berjalin kelindan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Islam di
Nusantara adalah fakta-fakta Islam di Indonesia, sedangkan Islam Nusantara adalah
konsepsi atas fakta-fakta tersebut dengan berbagai disiplin keilmuan. Hal tersebut layaknya
fakta bahwa Islam adalah agama moderat (wasathiyah), dan Islam moderat sebagai konsepsi
atas kemoderatan Islam tersebut dengan telaah berbagai keilmuan. Atau dengan pengertian
kedua, malah tidak perlu dibeda-bedakan antara keduanya. Atas dasar ini, dapat dikatakan
bahwa Islam Nusantara pada dasarnya merupakan Islam moderat itu sendiri.
Mubarok dan Rustam menuturkan karakter Islam Nusantara adalah damai, ramah,
santun, dan menghargai budaya, sekaligus teguh dalam menegakkan ajaran Islam untuk
mengukuhkan hal ini. Lebih lanjut, Islam Nusantara mempunyai beberapa karakter yang
dipandang moderat. Pertama, kontekstual, yaitu ajaran Islam mampu beradaptasi dengan
perbedaan waktu dan masa. Kedua, toleran, yaitu mengakui eksistensi yang variatif terhadap
berbagai ajaran Islam di Nusantara dan tidak menegasikannya. Ketiga, menghargai tradisi,
yakni tidak memberangus budaya masyarakat, tetapi memodifikasikannya dengan nilai-nilai
keislaman. Keempat, progresif, yaitu mampu berdialog dengan kemajuan paradaban dan
tradisi lain. Kelima, membebaskan, yaitu bisa menjadi solusi atas berbagai problematika
yang muncul di masyarakat.
56
Namun bukan berarti wajah Islam Nusantara yang toleran dan damai tetapi tetap
memegang prinsip keislaman menghiasi semua model keberagamaan Islam di Nusantara
pada masa sekarang. Hal ini disebabkan adanya variasi pemahaman dan praktik Islam di
Indonesia, yang disebabkan munculnya ideologi keras maupun liberal yang diimpor dari
luar. Ideologi impor ini kemudian membentuk paradigma “baru” yang cenderung distingtif
dengan paradigma Islam Indonesia pada umumnyadengan meminjam istilah Gus Dur
54
Umar, Islam Nusantara: Jalan Panjang Moderasi Beragama Di Indonesia, 107; Zainul Milal Bizawie, Masterpiece
Islam Nusantara: Sanad Dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945) (Tangerang: Pustaka Compass, 2016), 3.
55
Lihat, A. Ginanjar Sya’ban, Mahakarya Islam Nusantara: Kitab, Naskah, Manuskrip, Dan Korespondensi Ulama
Nusantara (Tangerang: Pustaka Compass, 2017).
56
Ahmad Agis Mubarok and Diaz Gandra Rustam, “Islam Nusantara: Moderasi Islam Di Indonesia,” Journal
of Islamic Studies and Humanities 3, no. 2 (2018): 153168.
Benny Afwadzi
202 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July December 2022
yang mempribumi. Merujuk pada uraian Aksin Wijaya, Islam model baru ini terlalu
membanggakan identitas ke-Arab-an dan ke-Barat-annya, dan kurang apresiatif pada
identitas peradabannya sendiri. Padahal, Muslim pribumi Indonesia harusnya menjadi orang
yang bangga (tidak inferior) terhadap identitas keindonesiaanya sekaligus mengapresiasi
nilai-nilai positif yang ada dalam peradaban lainnya. Sehingga, mereka tidak anti-Arab dan
tidak pula anti-Barat, tetapi kritis terhadap keduanya.
57
Meskipun demikian, dalam tataran Islam Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyahjuga termasuk organisasi-organisasi moderat Indonesia lainnya yang tidak
disebut di sini seperti al-Washliyah dan Nahdlatul Wathandipandang sebagai manifestasi
Islam moderat di Indonesia. Banyak riset yang mengonfirmasi pandangan ini. Meskipun
disadari bahwa ada gesekan-gesekan dalam dua organisasi besar tersebut, akan tetapi tidak
merubah rel besar moderatisme yang dipegang oleh keduanya.
58
Bahkan, materi pendidikan
di lembaga pendidikan NU dan Muhammadiyah menyimpan asas-asas moderatisme,
meskipun dengan perspektifnya sendiri-sendiri, yaitu NU dengan Aswaja dan Ke-NU-an,
dan Muhammadiyah dengan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.
59
Begitu pula jargon Islam
Nusantara dan Islam berkemajuan yang digaungkan oleh keduanya pada hakikatnya
menyimpan prinsip-prinsip moderatisme Islam. Meskipun pada awal berdirinya, NU dan
Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam, ingin menegakkan syariat Islam secara formal,
akan tetapi lambat laun kedua organisasi ini menerima konsep-konsep bernegara, seperti
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan
Undang-Undang 1945. Karena memahami kondisi di Nusantara yang plural dan tidak dapat
disatukan dalam sebuah agama tertentu secara formal, maka keduanya menyatu dalam
sistem politik dan berkebangsaan di Indonesia, yang distilahkan oleh Arifianto sebagai
kalangan “integratif”.
60
Sebagai sebuah organisasi, yang mempunyai massa dalam jumlah banyak, tentunya
tidak bisa menyamaratakan semua pemikiran massanya, begitu pula dalam konteks
moderatisme. Jika diamati, maka model moderatisme “warga” dua organisasi Islam moderat
57
Aksin Wijaya, “Islam Dalam Pusaran Tiga Peradaban: Pergulatan Islam Dengan Identitas Ke-Arab-an, Ke-
Barat-an Dan Ke-Indonesia-An,” in Berislam Di Jalur Tengah: Dinamika Pemikiran Keislaman Dan Keindonesiaan
Kontemporer, ed. Aksin Wijaya (Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), 2244.
58
Darajat, “Muhammadiyah Dan NU: Penjaga Moderatisme Islam Di Indonesia”; Menchik, “Moderate
Muslims and Democratic Breakdown in Indonesia”; Hilmy, “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism?: A
Reexamination on the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU”; Hamdi, “Radicalizing Indonesian
Moderate Islam from within: The NU-FPI Relationship in Bangkalan, Madura”; Ahmad Najib Burhani,
“Lakum Dīnukum Wa-Liya Dīnī: The Muhammadiyah’s Stance towards Interfaith Relations,” Islam and
Christian-Muslim Relations 22, no. 3 (2011): 329–342; Burhani, “Al-Tawassu Wa-l Itidāl: The NU and
Moderatism in Indonesian Islam.”
59
Toto Suharto, “Gagasan Pendidikan Muhammadiyah Dan NU Sebagai Potret Pendidikan Islam Moderat
Di Indonesia,” Islamica: Jurnal Studi Keislaman 9, no. 1 (2014): 81109.
60
Arifianto, “Islamic Campus Preaching Organizations in Indonesia: Promoters of Moderation or
Radicalism?”
Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap yang Representatif
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 203
Vol. 19 No. 2 July December 2022
tersebut dapat dipetakan menjadi tiga kelompok, dengan mengikuti kategorisasi Hilmy.
61
Kelompok pertama, moderatisme-radikal, mereka adalah orang-orang yang dekat dengan
ideologi garis keras dan ideologi keagamaan yang puritan. Memang mereka adalah massa
dari kalangan NU atau Muhammadiyah, hanya saja tidak terlalu mengikuti rel moderatisme
yang diusung oleh kedua organisasi tersebut. Kelompok pertama ini, bahkan, kemudian
bermetamorfosis dan berkonversi menjadi bagian dari gerakan dan organisasi keagamaan
yang radikal, seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), dan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). Konversi ini
diakibatkandengan menggunakan bahasa Arifinkarena adanya orientasi ideologis yang
lebih jelas dalam organisasi dan gerakan radikal tersebut dibanding NU dan
Muhammadiyah.
62
Kelompok kedua, moderatisme-lunak, yakni orang-orang yang tergolong awam
dalam kategori pemahaman keagamaan. Karena itu, moderatisme yang mereka bangun pun
karena hanya sekedar ikut-ikutan dan berorientasi pada unsur-unsur sosiologis-pragmatis
belaka. Mereka pun rentan direkrut oleh organisasi-organisasi radikal karena keterbatasan
kajian-kajian keislaman itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa kelompok kedua ini adalah
segmen terbanyak dalam NU dan Muhammadiyah, dan menjadi basis utama massa
keduanya. Sementara itu, kelompok ketiga adalah moderatisme-tengah, yang berisi orang-
orang terpelajar dan berpendidikan dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Mereka
mempunyai pengetahuan keislaman dan kepesantrenan yang mumpuni, sehingga menjadi
aktor perubahan sosial di lingkungan masing-masing. Jumlah kelompok ketiga ini memang
tidak terlalu banyak, tidak seperti kelompok kedua, hanya saja kelompok ini mempunyai
posisi yang potensial sebab merekalah penggerak utama moderatisme dalam tubuh
organisasi NU dan Muhammadiyah, yang kemudian diikuti oleh jutaan warganya.
Secara lebih jauh dalam tatanan global, negara-negara di berbagai belahan dunia,
baik Timur maupun Barat menyuarakan terminologi Islam moderat ini untuk merespon
isu-isu global, seperti radikalisme dan terorisme. Di Malaysia misalnya, konsep moderatisme
Islam mulai diperkenalkan secara resmi dalam pemerintahan oleh perdana menteri
kelimanya, yakni Mohd Najib Tun Abdul Razak yang menduduki jabatannya mulai tahun
2009 sampai 2018.
63
Di Indonesia sendiri, Islam moderat menjadi konsep yang diusung
oleh para presiden yang ada, dengan cara dan metodenya sendiri-sendiri. Mulai tahun 2004,
61
Hilmy, “Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia? Menimbang Kembali Modernisme Nahdlatul Ulama Dan
Muhammadiyah,” 270–271.
62
Arifin, Utopia Negara Khilafah: Ideologi Dan Gerakan Sosial Hizbut Tahrir, iv.
63
Wan Kamal Mujani, Ermy Azziaty Rozali, and Nor Jamaniah Zakaria, “The Wasatiyyah (Moderation)
Concept: Its Implementation in Malaysia,” Mediterranean Journal of Social Sciences 6, no. 4S2 (2015): 6672.
Benny Afwadzi
204 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July December 2022
Pemerintah telah mengampanyekan Islam moderat sebagai perwajahan Islam Indonesia.
64
Moderatisme menjadi concern para pemimpin Nusantara. Joko Widodo, presiden RI
sekarang ini, pun mendukung secara penuh Islam moderat atau moderasi beragama.
Begitupula Kementerian Agama getol menyuarakan moderasi beragama sebagai counter
atas gerakan radikalisme. Bahkan, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN),
atas instruksi Kementerian Agama tahun 2019, berlomba-lomba mendirikan Rumah
Moderasi Beragama (RMB) untuk tujuan ini. RMB ini memiliki komitmen untuk mengawal
implementasi dan pengembangan moderasi beragama melalui lingkungan perguruan tinggi
di bawah Kemenag.
65
Penutup
Islam moderat menemukan posisi pentingnya saat ini karena banyaknya kasus dan
pemikiran ektrem, radikal, dan teror. Namun dalam poin ini, perlu pemahaman yang
komprehensif terkait terminologi ini. Islam moderat, sebagai sebuah kata yang dipakai oleh
banyak orang, harus dipahami sebagai paham keislaman yang berada di tengah-tengah, tidak
ektrem kanan maupun ekstrem kiri. Memang terdapat interpretasi yang agak berbeda antara
Timur (Islam), termasuk Indonesia dengan Barat terkait kata sehingga muncul penolakan,
namun sikap yang representatif tidaklah dengan menolaknya, tetapi melakukan filterisasi
terhadap hal-hal yang tidak pantas dilekatkan pada terminologi Islam moderat. Tidak semua
dari Barat harus ditolak dan tidak pula harus diterima semua, begitu pula dalam memahami
Islam moderat ini.
Lebih lanjut, argumen-argumen yang dipakai oleh penolak terminologi ini harusnya
dipikirkan kembali karena tidak sesuai dengan semangat yang dikembangkan oleh Islam
moderat. Islam moderat bukan mazhab atau aliran baru, tetapi merupakan ciri khas untuk
membedakan dengan Islam-Islam lain yang berpaham ektrem. Bahkan, pijakan bagi
terminologi ini pun berasal dari dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 143, sehingga landasan
normatifnya tidak diragukan lagi. Terakhir, Islam Nusantara atau Islam di Indonesia pada
hakikatnya merupakan representasi Islam moderat itu sendiri, meski tidak semua
penganutnya berpaham moderat.
64
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, A Genealogy of Moderate Islam: Governmentality and Discourses of
Islam in Indonesia’s Foreign Policy,” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies 23, no. 3 (2016): 399
433.
65
Suprapto Suprapto, “Istiqamah Di Jalur Tengah: Penguatan Demokrasi Beragama Di Pascasarjana
PTKIN,” in Berislam Di Jalur Tengah: Dinamika Pemikiran Keislaman Dan Keindonesiaan Kontemporer, ed. Aksin
Wijaya (Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), 132.
Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap yang Representatif
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 205
Vol. 19 No. 2 July December 2022
DAFTAR PUSTAKA
Ab Rashid, Radzuwan, Syed Ali Fazal, Zulazhan Ab. Halim, Nasharudin Mat Isa, Zuraidah
Juliana Mohamad Yusoff, Razali Musa, and Mohd Isa Hamzah. “Conceptualizing
the Characteristics of Moderate Muslims: A Systematic Review.” Social Identities:
Journal for the Study of Race, Nation, and Culture (2020): 113.
https://doi.org/10.1080/13504630.2020.1814720.
Abdullah, M. Amin. Studi Agama, Normativitas Atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Abdurrohman, Asep. “Eksistensi Islam Moderat Dalam Perspektif Islam.” Rausyan Fikr
14, no. 1 (2018): 2941.
Adhiarso, Dendy Suseno. “The Influence of Watching News About Church Bombings in
Surabaya on the Public Perception Toward the Veiled Muslim Women in
Yogyakarta.” Ulul Albab: Jurnal Studi Islam 20, no. 2 (2019): 284301.
Afwadzi, Benny. “Membangun Moderasi Beragama Di Taman Pendidikan Al-Qur’an
Dengan Parenting Wasathiyah Dan Perpustakaan Qur’ani.” Transformasi: Jurnal
Pengabdian Masyarakat 16, no. 2 (2020): 106120.
Afwadzi, Benny, and Miski Miski. Islam Moderat Dan Shī‘ah Zaydiyah: Kontribusi
Pemikiran Hadis Muammad Ibn Ismā‘īl Al-an‘ānī Bagi Moderasi Islam Di
Indonesia. Malang: UIN-Maliki Press, 2020.
———. “Religious Moderation in Indonesian Higher Educations: Literature Review.”
ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam 22, no. 2 (2021): 203231.
———. “The Articulation of Moderate Islam among Muslim Students.” Proceedings of
the International Symposium on Religious Literature and Heritage (ISLAGE 2021)
644 (2022): 363373.
Al-Qaraāwī, Yūsuf. Fiqh Al-Wasaiyah Al-Islāmiyah Wa Al-Tajdīd: Ma’ālim Wa Manārāt.
Egypt: Markaz al-Qaraāwī li al-Wasaiyah al-Islāmiyah wa al-Tajdīd, 2009.
https://www.al-qaradawi.net/node/5066.
Amirudin, Amirudin, Sri Purwanti Nasution, Subandi Subandi, and Dedi Lazwardi.
“Internalisasi Nilai-Nilai Piil Pesenggiri Dan Islam Moderat Dalam Menangkal
Paham Radikal Pada UKM Mahasiswa UIN Raden Intan Lampung.” Al-Idarah:
Jurnal Kependidikan Islam 10, no. 2 (2020): 256270.
Ardiansyah, Ardiansyah. “Islam Wasaîyah Dalam Perspektif Hadis: Dari Konsep Menuju
Aplikasi.” Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis 6, no. 2 (2016): 232–256.
Arif, Muhammad Khairan. “Moderasi Islam (Wasathiyah Islam) Perspektif Al-Qur’an, As-
Sunnah Serta Pandangan Para Ulama Dan Fuqaha.” Al-Risalah 11, no. 1 (2020):
2243.
Arifianto, Alexander R. “Islamic Campus Preaching Organizations in Indonesia: Promoters
of Moderation or Radicalism?” Asian Security 15, no. 3 (2019): 323–342.
https://doi.org/10.1080/14799855.2018.1461086.
Arifin, Syamsul. Utopia Negara Khilafah: Ideologi Dan Gerakan Sosial Hizbut Tahrir.
Malang: Literasi Nusantara, 2020.
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Wasathiyah Dalam Al-Qur’an: Nilai-Nilai Moderasi Islam
Dalam Akidah, Syariat, Dan Akhlak. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020.
Azra, Azyumardi. Relevansi Islam Wasathiyah: Dari Melindungi Kampus Hingga
Mengaktualisasikan Kesalehan. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2020.
Benny Afwadzi
206 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July December 2022
Bayrakli, Enes, and Farid Hafez. Islamophobia in Muslim Majority Societies. London and
New York: Routledge, 2018.
Bizawie, Zainul Milal. Masterpiece Islam Nusantara: Sanad Dan Jejaring Ulama-Santri
(1830-1945). Tangerang: Pustaka Compass, 2016.
Burhani, Ahmad Najib. “Al-Tawassu Wa-l I’tidāl: The NU and Moderatism in Indonesian
Islam.” Asian Journal of Social Science 40 (2012): 564581.
———. “Lakum Dīnukum Wa-Liya Dīnī: The Muhammadiyah’s Stance towards Interfaith
Relations.” Islam and Christian-Muslim Relations 22, no. 3 (2011): 329342.
Cherney, Adrian, and Kristina Murphy. “What Does It Mean to Be a Moderate Muslim in
the War on Terror? Muslim Interpretations and Reactions.” Critical Studies on
Terrorism 9, no. 2 (2016): 159181.
Darajat, Zakiya. “Muhammadiyah Dan NU: Penjaga Moderatisme Islam Di Indonesia.”
Hayula: Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic Studies 1, no. 1 (2017): 79
94.
van Es, Margaretha A., Nina ter Laan, and Erik Meinema. “Beyond ‘Radical’ versus
‘Moderate’? New Perspectives on the Politics of Moderation in Muslim Majority
and Muslim Minority Settings.” Religion 51, no. 2 (2021): 161–168.
https://doi.org/10.1080/0048721X.2021.1865616.
Faiqah, Nurul, and Toni Pransiska. “Radikalisme Islam vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia Yang Damai.” Al-Fikra: Jurnal Ilmiah
Keislaman 17, no. 1 (2018): 3360.
Fauzi, Ahmad. “Moderasi Islam, Untuk Peradaban Dan Kemanusiaan.” Jurnal Islam
Nusantara 2, no. 2 (2018): 232244.
Haddad, Yvonne Yazreck, and Tyler Golson. “Overhauling Islam: Representation,
Construction, and Cooption of ‘Moderate Islam’ in Western Europe.” Journal of
Church and State 49, no. 3 (2007): 487516.
Hamdi, Ahmad Zainul. “Radicalizing Indonesian Moderate Islam from within: The NU-
FPI Relationship in Bangkalan, Madura. Journal of Indonesian Islam 7, no. 1
(2013): 7195.
Hannan, Abd. “Islam Moderat Dan Tradisi Popular Pesantren: Strategi Penguatan Islam
Moderat Di Kalangan Masyarakat Madura Melalui Nilai Tradisi Popular Islam
Berbasis Pesantren.” Jurnal Sosiologi Dialektika 13, no. 2 (2020): 152.
Hilmy, Masdar. “Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia? Menimbang Kembali Modernisme
Nahdlatul Ulama Dan Muhammadiyah.” Miqot 36, no. 2 (2012): 262–281.
———. “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism?: A Reexamination on the Moderate
Vision of Muhammadiyah and NU.” Journal of Indonesian Islam 7, no. 1 (2013):
2448.
Ichwan, Moch Nur. “Towards a Puritanical Moderate Islam: The Majelis Ulama Indonesia
and the Politics of Religious Orthodoxy.” In Contemporary Developments in
Indonesian Islam Explaining the Conservative Turn, edited by Martin Van
Bruinessen, 60104. Singapore: ISEAS Publishing, 2013.
Islam, Tazul, and Amina Khatun. “‘Islamic Moderation’ in Perspectives: A Comparison
Between Oriental and Occidental Scholarships.” International Journal of Nusantara
Islam 3, no. 2 (2015): 6978.
Resepsi atas Islam Moderat: Antara Kritik dan Sikap yang Representatif
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 207
Vol. 19 No. 2 July December 2022
Kamali, Mohammad Hashim. “The Indicators of Wasatiyyah or Moderation in Islam.”
Islam and Civilisational Renewal 7, no. 2 (2016): 264266.
Karakaya, Suveyda, and A. Kadir Yildirim. “Islamist Moderation in Perspective:
Comparative Analysis of the Moderation of Islamist and Western Communist
Parties.” Democratization 20, no. 7 (2013): 13221349.
Kementerian Agama RI. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, 2019.
———. Moderasi Islam (Tafsir Al-Qur’an Tematik). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an, 2012.
Menchik, Jeremy. “Moderate Muslims and Democratic Breakdown in Indonesia.” Asian
Studies Review 43, no. 3 (2019): 415433.
https://doi.org/10.1080/10357823.2019.1627286.
Mubarok, Ahmad Agis, and Diaz Gandra Rustam. “Islam Nusantara: Moderasi Islam Di
Indonesia.” Journal of Islamic Studies and Humanities 3, no. 2 (2018): 153168.
Mujani, Wan Kamal, Ermy Azziaty Rozali, and Nor Jamaniah Zakaria. “The Wasatiyyah
(Moderation) Concept: Its Implementation in Malaysia.” Mediterranean Journal of
Social Sciences 6, no. 4S2 (2015): 6672.
Mutawali, Mutawali. “Moderate Islam in Lombok: The Dialectic between Islam and Local
Culture.” Journal of Indonesian Islam 10, no. 2 (2016): 309–334.
Muttaqin, Ahmad Ikhwanul, and Syaiful Anwar. “Dinamika Islam Moderat, Studi Atas
Peran LP. Ma’arif NU Lumajang Dalam Mengatasi Gerakan Radikal.” Tarbiyatuna:
Jurnal Pendidikan Islam 12, no. 1 (2019): 2038.
Ni’am, Syamsun. “Pesantren: The Miniature of Moderate Islam in Indonesia.” Indonesian
Journal of Islam and Muslim Societies 5, no. 1 (2015): 111134.
Nur, Afrizal, and Mukhlis Lubis. “Konsep Wasathiyah Dalam Al-Quran (Studi Komparatif
Antara Tafsir Al-Tahrîr Wa at-Tanwîr Dan Aisar at-Tafâsîr).” Jurnal An-Nur 4, no.
2 (2015): 205225.
Nurdin, Ahmad Ali, Rosihon Anwar, Husnul Qodim, and Usep Dedi Rostandi. “The Role
of Centre for Islamic Thought and Education (CITE): Correcting Negative Image
of Islam, Spreading Moderate Islam in Australia.” Ulul Albab: Jurnal Studi Islam
20, no. 1 (2019): 147176.
Pipes, Daniel. “There Are No Moderates: Dealing with Fundamentalist Islam.” The
National Interest, no. 41 (1995): 4857.
Prasetiawati, Eka. “Menanamkan Islam Moderat Untuk Menanggulangi Radikalisme Di
Indonesia.” Fikri: Jurnal Kajian Agama, Sosial, dan Budaya 2, no. 2 (2017): 523
570.
Rahmatullah, Rahmatullah. “Islam Moderat Dalam Perdebatan.” Dialog: Jurnal Penelitian
dan Kajian Keagamaan 71, no. 1 (2011): 4048.
Rauf, Abdur. “Interpretasi Hamka Tentang Ummatan Wasathan Dalam Tafsir Al-Azhar.”
Qof: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 3, no. 2 (2019): 161177.
Ritaudin, M. Sidi. “Promosi Islam Moderat Menurut Ketum (MUI) Lampung Dan Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung.” Jurnal TAPIs 13, no. 2
(2017): 4873.
Salik, Mohamad. “Conserving Moderate Islam in Indonesia: An Analysis of Muwafiq’s
Speech on Online Media.” Journal of Indonesian Islam 13, no. 2 (2019): 373–394.
Benny Afwadzi
208 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 19 No. 2 July December 2022
Shihab, M. Quraysh. Wasathiyah: Wawasan Islam Tentang Moderasi Beragama. Jakarta:
Lentera Hati, 2020.
Silvestri, Sara. “Public Policies towards Muslims and the Institutionalization of ‘Moderate
Islam’ in Europe: Some Critical Reflections.” In Muslims in 21st Century Europe:
Structural and Cultural Perspectives, 4558. London: Routledge, 2010.
Suhaimi, Suhaimi, and Raudhonah Raudhonah. “Moderate Islam in Indonesia: Activities of
Islamic Da’wah Ahmad Syafii Maarif.” Ilmu Dakwah: Academic Journal for
Homiletic Studies 14, no. 1 (2020): 95112.
Suharto, Toto. “Gagasan Pendidikan Muhammadiyah Dan NU Sebagai Potret Pendidikan
Islam Moderat Di Indonesia.” Islamica: Jurnal Studi Keislaman 9, no. 1 (2014): 81
109.
http://wfa.ust.hk/women_matter_asia_files/Women_Matter_Asia.pdf%0Ahttp://
dx.doi.org/10.1016/j.paid.2014.01.052%0Ahttps://www.mckinsey.com/featured-
insights/leadership/the-leadership-journey-of-abraham-lincoln?cid=other-eml-alt-
mkq-mck-oth-1805&hlkid=145b6.
Suprapto, Suprapto. “Istiqamah Di Jalur Tengah: Penguatan Demokrasi Beragama Di
Pascasarjana PTKIN.” In Berislam Di Jalur Tengah: Dinamika Pemikiran
Keislaman Dan Keindonesiaan Kontemporer, edited by Aksin Wijaya, 131141.
Yogyakarta: IRCiSoD, 2020.
Sya’ban, A. Ginanjar. Mahakarya Islam Nusantara: Kitab, Naskah, Manuskrip, Dan
Korespondensi Ulama Nusantara. Tangerang: Pustaka Compass, 2017.
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta:
Nawesea Press, 2009.
Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. “A Genealogy of Moderate Islam: Governmentality and
Discourses of Islam in Indonesia’s Foreign Policy.” Studia Islamika: Indonesian
Journal for Islamic Studies 23, no. 3 (2016): 399433.
Umar, Nasaruddin. Islam Nusantara: Jalan Panjang Moderasi Beragama Di Indonesia.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2019.
Wahab, Abdul Jamil. Islam Radikal Dan Moderat: Diskursus Dan Kontestasi Varian Islam
Indonesia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2019.
White, Joshua T. “Beyond Moderation: Dynamics of Political Islam in Pakistan.”
Contemporary South Asia 20, no. 2 (2012): 179194.
Wicaksono, Hendro. “Analisis Kriminologis: Serangan Bom Bunuh Diri Di Surabaya.”
Deviance: Jurnal Kriminologi 2, no. 2 (2018): 88101.
Wijaya, Aksin. “Islam Dalam Pusaran Tiga Peradaban: Pergulatan Islam Dengan Identitas
Ke-Arab-an, Ke-Barat-an Dan Ke-Indonesia-An.” In Berislam Di Jalur Tengah:
Dinamika Pemikiran Keislaman Dan Keindonesiaan Kontemporer, edited by Aksin
Wijaya, 2244. Yogyakarta: IRCiSoD, 2020.
Yaakub, Muhamadul Bakir, and Khatijah Othman. “A Textual Analysis for the Term
‘Wasatiyyah’ (Islamic Moderation) in Selected Quranic Verses and Prophetic
Tradition.” Journal of Education and Social Sciences 5 (2016): 61–68.
Article
Full-text available
Religious moderation has been popular and widely promoted to students as a countermeasure to radicalism. However, it runs across several challenges. Not to mention that radicalism has extended its influence within Islamic universities in Indonesia. Many research organisations have found that Indonesian students tend to be radical. Hence, the discussion around religious moderation among students highlights its urgency. With emphasis on the reception of Islamic university students to religious texts, this study proposed the appropriate approach to religious moderation in the context of plural Indonesian society with the reception of Qur'anic verses and hadiths that promoted moderation. It employed a qualitative approach with a purposive sampling technique involving 81 students of Islamic Religious Education of UIN Maulana Malik Ibrahim Malang as the research subjects. They were students from four semester IV and VI classes. This study revealed several key findings: firstly, the majority of students equate religious moderation with religious tolerance; secondly, students draw from a range of verses and hadiths that emphasise religious moderation, primarily on tolerance promotion; and thirdly, students' application of religious moderation based on religious texts manifests through verbal, written and practical approaches. This study presents a model for developing religious moderation rooted in students' comprehension of religious texts advocating moderation. This study implies using religious texts to promote moderate thought to lessen radicalism and intolerance in the world. CONTRIBUTION: This study introduces a religious text-oriented approach to enhance the development of religious moderation, thereby refining strategies and methods that have predominantly emphasised aspects of social reality. The religious texts that advocate for moderation are accepted and applied by students in their lives. This contribution is crucial to lessening radicalism and intolerance in Indonesia.
Article
Full-text available
This article is an attempt to review various studies on religious moderation or moderate Islam among students in the higher educations in Indonesia. It is written as prompted by the incompleteness of various studies regarding the same theme. Specifically, the main issue concerns how the studies on this theme emerge and continue to develop. It is then formulated into three main issues: how the construction of religious moderation is developed in Indonesia; how it is formulated into strategic policies in the higher education context; and how relevant the religious moderation program in the higher educations in Indonesia in the context of contemporary life is. By using a qualitative-library approach and content analysis, the finding shows that religious moderation or moderate Islam, which is believed to be Islam itself, is a moderate religious understanding and attitude. It is not extreme, is not either left or right; and is interpreted with four indicators: national commitment, tolerance, non-violence, and accommodative to local culture. From this stance, Indonesian Islamic moderation researchers propose various recommendations to be applied to specific education policies. In the practice, these recommendations are academically applied, both in formal and informal ways, according to the situations and conditions of the related higher education context. Moreover, recent studies have shown that several counter-radicalism strategies, through the moderation implemented in various higher educations, seem relevant in the higher education context.
Article
Full-text available
This paper aims to find out the character of Islam Nusantara, as a manifestation of the existence of moderate Islam that was taught by the Walisongo and religious figures to this day. The historical phenomenology is employed to understand Islam Nusantara. The results of this research showed that Islam in Nusantara has five special characters. First, Islam Nusantara is always in accordance with their contexts. Second, it has a tolerant attitude towards differences. Third, it appreciates traditions that have long existed before. Fourth, it has a progresive attitude towards the progress of time. Fifth, it emancipates. AbstrakTulisan ini bertujuan untuk mengetahui karakter Islam Nusantara,sebagai wujud adanya adanya Islam moderat yang diajarkan oleh para Walisongo dan tokoh-tokoh agama hingga saat ini. Penulis menggunakan pendekatan historis fenomenologis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Islam di Nusantara memiliki lima karekter. Pertama, Islam Nusantara selalu sesuai dengan konteks zaman. Kedua, ia mengambil sikap toleran terhadap perbedaan. Ketiga, ia menghargai tradisi yang telah lama ada sebelumnya. Keempat, ia bersikap progresif terhadap kemajuan zaman. Kelima, ia membebaskan.
Article
Full-text available
Muslims are increasingly conceived through a binary frame of ‘radical’ versus ‘moderate’. In this thematic issue, we critically explore how the dichotomy of ‘radical’ versus ‘moderate’ is constructed and mobilized in different Muslim majority and Muslim minority settings across the world, and we examine the active role played by Muslims in upholding, appropriating, and/or subverting this binary frame. How do Muslims present themselves, their religion, and other Muslim groups amidst growing concerns about the dangers of ‘radical’ Islam – not only through texts, but also through a wide variety of aesthetic practices? And how do discourses about national sovereignty, loyalty, and belonging feed into these representations? This issue brings together scholars from various disciplines, who analyze how the ‘politics of moderation’ play out in Kenya, Norway, Russia, Morocco, Indonesia, and Egypt. We also call for the development of new pathways of thinking about Islam and Muslims in the contemporary world.
Article
Full-text available
[Bahasa]: Persoalan radikalisme dan terorisme di Indonesia sudah sangat nampak kian berbahaya. Bahkan, aksi tersebut sudah menyeret anak-anak di dalamnya. Misalnya saja bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya pada tahun 2018 silam yang juga melibatkan empat orang anak yang notebenenya masih sekolah, bahkan yang menyedihkan dua diantaranya masih berada pada tingkatan Sekolah Dasar. Pengabdian ini berupaya untuk turut berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan tersebut dengan bentuk pengabdian di lembaga pendidikan dasar Islam, yakni Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) dengan kerangka besar moderasi beragama. Kegiatan yang dijalankan ada dua, yakni parenting yang bernuansa wasathiyah dan perpustakaan Qur’ani. Dengan metode Participatory Action Research (PAR) dan dilaksanakan dalam jangka waktu tiga bulan, yaitu Juli sampai September 2020, pengabdi sampai pada kesimpulan bahwa dua kegiatan tersebut cukup bisa membangun pemahaman keagamaan masyarakat TPQ menjadi lebih moderat, atau paling tidak, bisa lebih memperkuat moderasi beragama yang sudah mereka yakini. Mereka menyadari bahwa harus adanya kecintaan terhadap Indonesia dan adanya kesadaran bahwa perbuatan radikalisme dan terorisme merupakan perbuatan yang keji. Meskipun demikian, pengabdi menyadari bahwa perlu waktu yang jauh lebih lama untuk bisa merubah pemahaman ke arah yang benar-benar moderat. Kata Kunci: moderasi; parenting wasathiyah; perpustakaan; Taman Pendidikan al-Qur’an [English]: The problems of radicalism and terrorism in Indonesia have become increasingly dangerous. The actions have already dragged children into it. For example, the suicide bombing in three churches in Surabaya in 2018 involved four schoolchildren; sadly, two of them were still at the elementary school level. This community service program seeks to resolve these problems by implementing religious moderation in Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ). The program comprised two activities; parenting with wasathiyah nuances and the Qur'anic library and applied Participatory Action Research (PAR). It was implemented within a period of three months, from July to September 2020. The results show that both programs are able to construct a moderate religious understanding of the TPQ community, or at the very least, reinforce the existing religious moderation they already have. They realized that people must love their homeland (Indonesia) and that radicalism and terrorism are heinous. Nonetheless, it will take much longer to change their understanding into a truly moderate one. Keywords: moderation; parenting wasathiyah; library; Taman Pendidikan al-Qur’an
Article
Full-text available
Abstrak:Islam moderat yang tercermin dalam organisasi social keagaman di Indonesia telah memberikan sumbangsih yang berharga bagi kelangsungan hidup bertolerasi di kancah nasional khususnya dan dunia pada umumnya. Terbukti dengan adanya dialog antar organisasi dan kerjasama social keagamaan mampu menjadi prototype di kalayak public sebagai ummatan wasatan yang memberikan angin segar bagi kelangsungan hidup yang rukun dan damai dalam menggapai bangsa yang beradab di bawah naungan konsep normative yang membumi.Kata Kunci: Eksistensi, Islam, Moderat.
Article
Full-text available
This study aims to observe the activities of the preaching of Ahmad Syafii Maarif as a manifestation of Islamic moderation in the frame of humanity and Indonesian-ness. Ahmad Syafii Maarif in his various ideas always presents a portrait of Islam in Indonesia that is inclusive and tolerant. Where the construction of Islamic da'wah is based on Islamic doctrine as a religion of enlightenment that rahmatan lil alamin. The research was conducted through a literature approach by examining various ideas of Ahmad Syafii Maarif. Data collection techniques are done through a discourse analysis and interview approach. The results of this study indicate that the figure of Buya Syafii Maarif runs moderate Islamic da'wah activities or persuasive Islamic da'wah by interpreting makruf as something known and accepted by reason and by the public. while evil is something that is rejected by common sense. Syafii Maarif's moderate da'wah activities were conceptualized into three main Islamic ideas, namely Islam, humanity, and Indonesian-ness. Ahmad Syafii Maarif consistently carried out persuasive and rational Islamic da'wah, not intimidation propaganda. Besides, the existence of the Maarif Institute aims to smooth activities to voice his thoughts about the teachings of Islam so that the character and characteristics of moderate Indonesian Islam are socialized.Penelitian ini bertujuan meneropong aktivitas dakwah Ahmad Syafii Maarif sebagai manifestasi moderasi Islam dalam bingkai kemanusiaan dan keindonesiaan. Ahmad Syafii Maarif dalam berbagai gagasannya selalu menampilkan potret Islam di Indonesia yang inklusif dan toleran. Dimana konstrusi dakwah Islam didasarkan pada doktrin Islam sebagai agama pencerahan yang rahmatan lil alamin. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kepustakaan dengan mengkaji berbagai gagasan Ahmad Syafii Maarif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan analisis wacana dan wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan sosok Buya Syafii Maarif menjalankan aktivitas dakwah Islam moderat atau dakwah Islam persuasif dengan memaknai makruf sebagai sesuatu yang dikenal dan diterima oleh akal maupun oleh masyarakat. sedangkan munkar adalah sesuatu yang ditolak oleh akal sehat. Aktivitas dakwah moderat Syafii Maarif dikonsepsikan ke dalam tiga gagasan keislaman utama, yakni keislaman, kemanusiaan dan keindonesiaan. Ahmad Syafii Maarif konsisten melakukan dakwah Islam persuasif dan rasional, bukan dakwah intimidatif. Selain itu, keberadaan Maarif Institute bertujuan untuk kelancaran kegiatan menyuarakan pemikirannya tentang ajaran Islam sehingga tersosialisasikannya watak dan ciri khas Islam Indonesia yang moderat.
Article
Full-text available
This article explains that all religions strictly prohibit acts of terror that can threaten harmony, wholeness and diversity of the nation. Terrorism and radicalism are not always ideologically motivated, but non-religious factors are dominant such as social, economic, political and others. Therefore, it is necessary to promote and promote a new discourse and paradigm of inclusive and tolerant Islamic understanding of moderation of Islam (wasathiyah al-Islām). The emergence of radical Islamism must immediately be balanced with the vision of moderate Islam. That is the image of Islam that upholds the valuesof moderation, tolerance and equality of rights.Moderation of Islam is a middle ground in the midst of religious diversity. The image of moderation of Islam appears in harmony between Islam and local wisdom. This Local Value as a cultural heritage of the archipelago, can be juxtaposed parallel so that between the spirit of Islam and cultural wisdom goes hand in hand, not mutually negate. This is where the image of Indonesian Islam is considered very appropriately applied in the context of cultural heterogeneity in the ASEAN region and the world Normal 0 false false false EN-US X-NONE AR-SA /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
Article
The term of “moderate”constitutes quite controversial term among Islamic scholars. Some Islamic scholars supported the trend of moderate Muslim, while others disagreed since the moderate term had negative effects on Muslim and Islam itself. Therefore, this article deals with the dispute of ‘moderate‘ term among scholars. Besides, the article also portrays some characteristics of Muslim moderate according to several contemporary Muslim scholars.‘Moderat’ merupakan istilah yang cukup kontroversial di kalangan sarjana Islam. Beberapa sarjana Islam mendukung trend Islam moderat, sementara yang lainnya tidak mendukung dengan alasan istilah moderat memiliki efek negatif terhadap muslim dan Islam sendiri. Oleh karena itu, artikel ini memaparkan perdebatan istilah ‘moderat’ di antara para sarjana muslim. Di samping itu, artikel ini juga memaparkan sejumlah karakteristik muslim moderat menurut sejumlah sajana muslim kontemporer.KEYWORDS: moderate, characteristic, movement, radical
Article
Konsep Wasathiyah Islam atau moderasi Islam saat ini telah menjadi arah atau aliran pemikiran Islam yang telah menjadi diskursus penting dalam dunia Islam dewasa ini, melihat kondisi umat Islam yang selalu menjadi tertuduh dalam setiap peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh personal muslim yang tidak memahami karakter dan ini ajaran Islam. Oleh karenanya penilitian literatif ini bertujuan memberikan pemahaman dan konsep orisinil tentang aliran pemikiran moderasi islam, agar setiap muslim modern dapat memahami dan mengimplementasikannya dengan benar dan komprehensif dalam kehidupannya sehari-hari. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dan kajian literasi Islam klasik maupun modern dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan kitab-kitab klasik dan modern dari para Ulama dan Fuqaha yang kompeten dibidangnya. Literatur tersebut dikaji dan dianalisa oleh peneliti dengan teliti untuk menghasilkan kesimpulan yang tepat dan teruji. Hasil penelitian ini adalah; diketahuinya secara pasti makna dan konsep moderasi Islam menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan para Ulama serta menjawab keraguan sebagian muslim terhadap konsep moderasi Islam The concept of Wasathiyah Islam or the current Islamic moderation has become the direction or the flow of Islamic thought that has become an important discourse in the Islamic world today, see the condition of Muslims who have always become accused in every event Violence committed by personal Muslims who do not understand the character and this teachings of Islam. Therefore, this literative study aims to provide an original understanding and concept of the flow of Islamic moderation thinking, so that every modern Muslim can understand and implement it properly and comprehensively in its life.This research uses a method of literature and study of classical and modern Islamic literacy from the Qur'an, As-Sunnah and the classical and modern books of scholars and Fuqaha who are competent in their field. The literature is examined and analysed by researchers carefully to produce precise and proven conclusions.The results of this research are; To be sure the meaning and concept of moderation of Islam according to the Qur'an, As-Sunnah and scholars and answer the doubt of some Muslims on the concept of moderation Islam