ArticlePDF Available

Renewable Energy Policies: A Case Study of Indonesia and Norway in Sustainable Energy Resource Management

Authors:
  • Indonesian National Police Academy
  • STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh

Abstract

ABSTRAK. Negara Nordik telah menjadi teladan bagi negara-negara yang akan melakukan transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan. Norwegia merupakan salah satu negara yang berhasil dengan pemanfaatan energi baru terbarukan sebesar 98% dari kebutuhan energi nasional. Keunggulannya membuat negara ini pun melakukan kampanye hijau hingga mencetuskan program NICFI dan REDD+ terkait upaya pengurangan karbon dan deforestasi sebagai tindak lanjut transisi energi. Indonesia sebagai negara yang kaya akan potensi energi baru terbarukan pun telah bekerja sama dengan Norwegia tentang program transisi energi ini. Namun, sejak adanya banyak perbedaan antara kedua negara, maka kebijakan dalam bidang yang sama pun harus menyesuaikan dengan kondisi masing-masing negara, sehingga output yang dihasilkan berbeda. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah mengkaji kebijakan energi baru terbarukan Indonesia dengan perbandingan negara-negara Kawasan Nordik yang dinilai telah mampu memanfaatkan energi terbarukan secara optimal dengan mempertimbangkan upaya pengurangan karbon, deforestasi dan dampak lingkungan. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan di mana sumber data didapat dari regulasi energi baru terbarukan kedua negara dan penelitian terdahulu terkait. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kebijakan energi baru terbarukan berbasis kebijakan keamanan energi, Norwegia lebih unggul terkait pembatasan dan pencadangan energi, sedangkan untuk diversifikasi Indonesia lebih beragam potensinya. Akan tetapi, dalam tindak lanjut dampak lingkungan pasca transisi Indonesia dan Norwegia memiliki perbedaan. Cadangan energi yang dimilikinya mengantarkan Norwegia menjadi suplier bagi negara adidaya, sedangkan Indonesia cenderung memanfaatkan sumber dayanya sesuai dengan kepentingan nasional. ABSTRACT. The Nordic countries have become role models for countries transitioning from fossil fuels to renewable energy. Norway is one of the countries that has succeeded in utilizing renewable energy for 98% of national energy needs. Its excellence has made this country also carry out green campaigns to trigger the NICFI and REDD + programs related to efforts to reduce carbon and deforestation as a follow-up to the energy transition. As a country rich in renewable energy potential, Indonesia has also worked with Norway on this energy transition program. However, since there are many differences between the two countries, policies in the same field must also adjust to the conditions of each country so that the resulting output is different. Therefore, this research aims to examine Indonesia's new renewable energy policy by comparing Nordic countries that have been able to utilize renewable energy optimally by considering efforts to reduce carbon, deforestation, and environmental impacts. This is a literature research where data sources are obtained from the renewable energy regulations of the two countries and related previous research. The results of this study show that in new renewable energy policies based on energy security policies, Norway is superior regarding energy restrictions and reserves. At the same time, for diversification, Indonesia has more diverse potential. However, Indonesia and Norway have differences in the follow-up of post-transition environmental impacts. Its energy reserves have led Norway to become a supplier to superpowers, while Indonesia tends to utilize its resources under national interests.
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja Volume 49, No. 2, November 2023: 186-209
p-ISSN: 0216-4019 e-ISSN: 2614-025X
DOI: 10.33701/jipwp.v49i2.36843246
Terbit Tanggal 15 November 2023
KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN: STUDI KASUS INDONESIA DAN NORWEGIA
DALAM PENGELOLAAN SUMBER ENERGI BERKELANJUTAN
Kiki Apriliyanti1, Darlin Rizki2
1Akademi Kepolisian, Kota Semarang, Indonesia
2STAIN Teungku Dirundeng, Meulaboh, Indonesia
E-mail: kikiapriliyanti.inpa@gmail.com; 1997darlin@gmail.com
ABSTRAK. Negara Nordik telah menjadi teladan bagi negara-negara yang akan melakukan transisi energi dari
energi fosil ke energi baru terbarukan. Norwegia merupakan salah satu negara yang berhasil dengan pemanfaatan
energi baru terbarukan sebesar 98% dari kebutuhan energi nasional. Keunggulannya membuat negara ini pun
melakukan kampanye hijau hingga mencetuskan program NICFI dan REDD+ terkait upaya pengurangan karbon
dan deforestasi sebagai tindak lanjut transisi energi. Indonesia sebagai negara yang kaya akan potensi energi baru
terbarukan pun telah bekerja sama dengan Norwegia tentang program transisi energi ini. Namun, sejak adanya
banyak perbedaan antara kedua negara, maka kebijakan dalam bidang yang sama pun harus menyesuaikan dengan
kondisi masing-masing negara, sehingga output yang dihasilkan berbeda. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini
adalah mengkaji kebijakan energi baru terbarukan Indonesia dengan perbandingan negara-negara Kawasan Nordik
yang dinilai telah mampu memanfaatkan energi terbarukan secara optimal dengan mempertimbangkan upaya
pengurangan karbon, deforestasi dan dampak lingkungan. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan di
mana sumber data didapat dari regulasi energi baru terbarukan kedua negara dan penelitian terdahulu terkait. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kebijakan energi baru terbarukan berbasis kebijakan keamanan energi,
Norwegia lebih unggul terkait pembatasan dan pencadangan energi, sedangkan untuk diversifikasi Indonesia lebih
beragam potensinya. Akan tetapi, dalam tindak lanjut dampak lingkungan pasca transisi Indonesia dan Norwegia
memiliki perbedaan. Cadangan energi yang dimilikinya mengantarkan Norwegia menjadi suplier bagi negara
adidaya, sedangkan Indonesia cenderung memanfaatkan sumber dayanya sesuai dengan kepentingan nasional.
Kata kunci: Indonesia; Norwegia; Kebijakan; Energi Terbarukan
RENEWABLE ENERGY POLICIES: A CASE STUDY OF INDONESIA AND NORWAY
IN SUSTAINABLE ENERGY RESOURCE MANAGEMENT
ABSTRACT. The Nordic countries have become role models for countries transitioning from fossil fuels to renewable
energy. Norway is one of the countries that has succeeded in utilizing renewable energy for 98% of national energy needs.
Its excellence has made this country also carry out green campaigns to trigger the NICFI and REDD + programs related
to efforts to reduce carbon and deforestation as a follow-up to the energy transition. As a country rich in renewable energy
potential, Indonesia has also worked with Norway on this energy transition program. However, since there are many
differences between the two countries, policies in the same field must also adjust to the conditions of each country so that
the resulting output is different. Therefore, this research aims to examine Indonesia's new renewable energy policy by
comparing Nordic countries that have been able to utilize renewable energy optimally by considering efforts to reduce
carbon, deforestation, and environmental impacts. This is a literature research where data sources are obtained from the
renewable energy regulations of the two countries and related previous research. The results of this study show that in new
renewable energy policies based on energy security policies, Norway is superior regarding energy restrictions and
reserves. At the same time, for diversification, Indonesia has more diverse potential. However, Indonesia and Norway have
differences in the follow-up of post-transition environmental impacts. Its energy reserves have led Norway to become a
supplier to superpowers, while Indonesia tends to utilize its resources under national interests.
Keywords: Indonesia; Norway; Policy; Renewable Energy
.
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023 187
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
PENDAHULUAN
Meningkatkan pangsa pembangkit
energi terbarukan adalah salah satu tujuan
utama dalam perjalanan menuju climate-neutral
energy systems di masa depan. The European
Green Deal berfokus pada pembangunan
berkelanjutan dan menghentikan perubahan
iklim sambil tetap menjaga kepentingan rakyat
di bawah naungan European Union (EU)
(Laktuka et al., 2023). Kawasan Uni Eropa yang
senantiasa memberikan perhatiannya adalah
kawasan Eropa Utara (Kawasan Nordik).
Negara-negara Nordik, seperti Denmark,
Norwegia, Swedia, dan Finlandia, memiliki
rencana yang sangat ambisius untuk
meningkatkan secara signifikan porsi energi
terbarukan dalam pembangkitan listrik.
Penggunaan energi terbarukan di kawasan
Nordik hampir lima kali lebih tinggi daripada
rata-rata Uni Eropa dan telah mengalami
peningkatan hampir tiga kali lipat (Nordic
Energy Research, 2021). Sektor-sektor seperti
kelistrikan, pemanasan, dan transportasi telah
menjadi pionir dalam peningkatan ini.
Sementara Denmark dan Islandia telah
mencatat peningkatan paling signifikan dalam
pangsa energi terbarukan mereka dalam
beberapa tahun terakhir, Swedia, Norwegia, dan
Finlandia mengonsumsi total energi terbarukan
yang lebih besar. Energi terbarukan telah
menjadi komponen yang konsisten dalam
perubahan lanskap energi yang terus berubah
(Halsnæs et al., 2021).
Salah satu negara dengan pencapaian
pengelolaan energi terbarukan terbaik di
kawasan Nordik adalah Norwegia. Norwegia
atau Kongeriket Norge (Kerajaan Norwegia)
merupakan negara Nordik di Semenanjung
Skandinavia dengan sistem pemerintahan
parlementer. Menempati posisi tujuh belas di
Global Peace Index, Norwegia merupakan
salah satu negara teraman di dunia. Bahkan
negara ini mampu mencukupi kebutuhan
pangan rakyatnya dan menempati urutan ke
enam dalam Food Security Indeks (Institute for
Economics and Peace, 2020). Keberhasilan
Norwegia ini tak terlepas dari kebijakan
pemerintah yang cergas dan pegelolaan sumber
daya alam yang dimilikinya. Pengelolaan migas
di Norwegia dimulai sejak ditemukannya
potensi migas di Landas Kontinen Norwegia
(Norwegian Contineltal Shelf) tepatnya di
Ekofisk pada tahun 1969. Produksi dari
lapangan dimulai pada 15 Juni 1971 diiringi
dengan penemuan-penemuan potensi migas
lainnya. Eksplorasi pada tahun 1970-an dibatasi
di daerah selatan paralel ke-62. Landas
Kontinen dibuka secara bertahap dan hanya
sejumlah blok yang diberikan di setiap putaran
lisensi. Perusahaan asing mendominasi
eksplorasi di lepas pantai Norwegia pada tahap
awal bertanggung jawab untuk
mengembangkan ladang minyak dan gas
pertama negara itu.
Statoil yang merupakan perusahaan
energi multinasional milik Norwegia dibentuk
pada tahun 1972 dengan prinsip partisipasi 50
persen negara di setiap izin produksi ditetapkan.
Aturan ini kemudian diubah sehingga Storting
(parlemen Norwegia) dapat mengevaluasi
apakah tingkat partisipasi negara harus lebih
rendah atau lebih tinggi, tergantung pada
keadaan. Sejak 1 Januari 1985, partisipasi
Negara dalam operasi perminyakan diatur
kembali. Partisipasi Negara dibagi menjadi dua
yaitu untuk perusahaan dan untuk the State's
Direct Financial Interest (SDFI) dalam setiap
operasi perminyakan. SDFI (the State's Direct
Finansial Interest) adalah pengaturan di mana
negara memiliki kepentingan di sejumlah
lapangan minyak dan gas bumi, jaringan pipa
dan fasilitas di darat (The Ministry of
Petroleum and Energy of Norway, 2020).
Sejak produksi dimulai di landas kontinen
Norwegia pada awal 1970-an, aktivitas
perminyakan telah menyumbang lebih dari
NOK 15.700 miliar untuk PDB Norwegia.
Angka ini tidak termasuk industri jasa dan
suplai terkait.
Sejalan dengan isu Pemanasan Global
sejak tahun 90an, Pemerintah Norwegia mulai
merumuskan kebijakan dalam penghematan
sumber daya alam sehingga dapat digunakan
secara berkelanjutan. Mulai dari peningkatan
harga jual minyak di mana hingga peralihan
dalam penggunaan energi terbarukan. Pada
kuartal kedua tahun 2020, harga minyak di
Norwegia telah menginjak USD 40.10 Per Barel
188 Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
(Norwegian Government, 2020a). Lonjakan
harga signifikan terjadi pada Juni 2022 di mana
harga minyak mencapai USD 116.80 Per Barel
(Index Mundi, 2023). Harga yang tinggi ini
sengaja ditetapkan oleh pemerintah untuk
menghemat penggunaan bahan bakar fosil dan
beralih ke pemanfaatan sarana yang ramah
lingkungan. Norwegia menyusun target
kebijakan energi 2020 untuk mengurangi emisi
gas rumah kaca sebesar 30%. Oleh karena itu,
Kementerian Migas dan Energi Norwegia
memanfaatkan energi terbarukan yang didapat
dari air, matahari dan angin untuk memenuhi
kebutuhan listrik nasional (Norwegian
Government, 2019).
Sebagai salah satu negara eksportir
energi dan modal terbesar di dunia, Norwegia
memiliki kepentingan besar dalam transisi
energi dan juga memiliki pengaruh yang
signifikan dalam proses tersebut. Faktor-faktor
seperti penurunan harga minyak di pasar global
dan perubahan menuju dekarbonisasi dalam
penggunaan gas di Eropa akan memengaruhi
peran Norwegia dalam dunia energi selama
beberapa dekade ke depan. Hal ini juga berlaku
untuk investasi internasional serta pengalaman
kebijakan yang dimiliki oleh Norwegia dalam
transisi energi, terutama dalam sektor
transportasi dan industri, termasuk sektor
minyak dan gas. Sinyal yang jelas dari negara-
negara produsen energi utama akan mengurangi
sebagian ketidakpastian seputar transisi energi.
Norwegia, dengan merumuskan rencana
transisi energi yang mencakup peran ekspor dan
investasi minyak dan gasnya, dapat memainkan
peran utama dalam memimpin upaya transisi
energi di antara produsen minyak dan gas. Hal
ini juga dapat membantu mendorong
keterlibatan yang signifikan dalam mencapai
tujuan akhir transisi energi serta dalam memulai
proses tersebut. Selain itu, ini juga dapat
memandu transisi yang lancar dalam sektor
energi, listrik, dan industri, yang memiliki
peran penting dalam perekonomian Norwegia
dan keterpaparannya terhadap tren
dekarbonisasi (Froggatt et al., 2020).
Pemanfaatan energi terbarukan
mempengaruhi perspektif politik luar negeri
Norwegia yang berorientasi lingkungan.
Norwegia aktif dalam program UN REDD yaitu
langkah-langkah yang didesain untuk
menggunakan insentif keuangan untuk
mengurangi emisi dari gas rumah kaca dari
deforestasi dan degradasi hutan (Direktorat
Pengendalian Perubahan Iklim, 2019). REDD+
pertama kali muncul sebagai respons terhadap
dampak dari kegiatan pembangunan global
yang telah berkontribusi terhadap deforestasi
dan degradasi hutan, menyebabkan peningkatan
emisi karbon di seluruh dunia. Peningkatan
karbon ini menjadi penyebab meningkatnya
suhu global. Hadir sebagai kerangka regulasi
dan peraturan yang dikembangkan oleh
UNFCCC, REDD+ bertujuan memberikan
insentif dan bantuan kepada negara-negara
berkembang untuk mengurangi tingkat emisi
karbon mereka (Ikhtiarin et al., 2023).
Norwegia pun sebagai negara terbesar kelima
pengekspor minyak dunia memulai inisiatif
implementasi program Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation in
Developing Countries (REDD+) dalam wadah
Norway’s International Climate and Forest
Initiative (NICFI) di negara berkembang seperti
Indonesia (Michel et al., 2014).
Kerja sama antara Indonesia dan
Norwegia dalam program REDD+ dimulai
dengan penandatanganan Letter of Intent (LoI)
pada tanggal 26 Mei 2010. Dalam kerja sama
ini, Norwegia berkomitmen memberikan
dukungan keuangan yang mencapai sekitar
USD 1 miliar kepada Indonesia untuk
mendukung pelaksanaan program REDD+.
Proses kerja sama ini dibagi menjadi tiga fase,
yaitu fase persiapan yang berlangsung dari
tahun 2011 hingga 2013, fase transformasi yang
berlangsung dari tahun 2017 hingga 2020, dan
fase implementasi penuh yang dimulai setelah
tahun 2018. Akan tetapi dalam implementasi
upaya pengurangan karbon mengalami
hambatan berupa kendala teknis kebijakan,
konflik dengan masyarakat adat, pembubaran
Badan Pengelola REDD+ dan Dewan Nasional
Perubahan Iklim (Aprillia, 2016). Puncak dari
kerja sama ini adalah pembayaran sejumlah Rp.
812,86 miliar sebagai hasil penurunan emisi
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023 189
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
Indonesia sejumlah 11,2 juta ton Ekuivalen
Karbon Dioksida (CO2eq) periode 2016-2017.
Angka tersebut merupakan hasil asesmen pihak
ketiga yang menunjukkan adanya pengurangan
35% dari keseluruhan emisi (Mawangi, 2020).
Akan tetapi, tertanggal 10 September
2021, Indonesia telah mengumumkan
pengakhiran Letter of Intent (LOI) antara
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Norwegia terkait Program REDD+. Keputusan
ini telah disampaikan melalui nota diplomatik
yang sesuai dengan Pasal XIII LoI, kepada
Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta.
Indonesia mengambil tindakan ini karena
melihat kurangnya perkembangan yang
signifikan dalam menerima Pembayaran
Berdasarkan Hasil dari pemerintah Norwegia,
yang telah diverifikasi oleh organisasi
internasional terkait pengurangan emisi sebesar
11,2 MtCO2e di Indonesia pada tahun
2016/2017 (Ikhtiarin et al., 2023). Meskipun
kerja sama ini tidak berlanjut, Indonesia tetap
memperhatikan isu iklim, pengurangan
deforestasi dan energi terbarukan. Undang-
undang Nomor 30 tahun 2007 pun
mengamanatkan negara dalam menyediakan
energi baru dan energi terbarukan oleh
Pemerintah Nasional dan Daerah sesuai
kewenangannya.
Indonesia memiliki tekad untuk
merumuskan dan menerapkan Kebijakan
Energi Nasional (KEN) yang transparan dan
terukur, bertujuan menjadi pedoman dalam
pengelolaan energi nasional. KEN didesain oleh
Dewan Energi Nasional (DEN) dan disahkan
melalui persetujuan DPR RI, sesuai dengan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun
2014 (Arsita et al., 2021). Prinsip yang
dipegang teguh dalam penyusunan KEN adalah
keadilan, keberlanjutan, dan ketahanan
lingkungan, dengan tujuan menciptakan
kemandirian energi dan ketahanan energi
nasional yang kuat. Tujuannya adalah
meningkatkan penggunaan Energi Baru
Terbarukan (EBT) sehingga setidaknya
mencapai 23% dari total energi primer nasional
pada tahun 2025, serta meningkatkan angka ini
menjadi 31% pada tahun 2050. Meskipun
demikian, hingga akhir tahun 2022, pencapaian
penggunaan energi terbarukan dalam bauran
energi nasional hanya mencapai 12,3%.
Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur
pemanfaatan energi terbarukan, seperti Perpres
Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan
Infrastruktur Ketenagalistrikan. Perpres ini
memberikan wewenang kepada pemerintah
pusat dan daerah untuk memberikan berbagai
bentuk dukungan, termasuk insentif fiskal,
kemudahan dalam perizinan, penetapan harga
beli tenaga listrik dari berbagai sumber EBT,
pembentukan badan usaha khusus untuk
penyediaan tenaga listrik, dan subsidi
(Renewable Energy Indonesia, 2023).
Kebijakan kerja sama yang semula
mengusung gardan ganda di sektor energi dan
lingkungan, kini difokuskan pada energi saja
sejak Indonesia telah mandiri dalam upaya
pengurangan emisi dan deforestasi. Pada tahun
2023, Indonesia memperkuat jalinan dengan
Norwegia dan negara Kawasan Nordik lainnya
seperti Denmark, Finlandia, Swedia, Norwegia
dan Islandia. Keberhasilan transisi energi yang
dilakukan oleh kawasan tersebut telah
mengilhami pelaksanaan transisi energi di
Indonesia (Kementerian ESDM RI, 2022a).
Namun kebijakan tersebut tidak dapat
diimplementasikan secara serta merta
mengingat adanya perbedaan dimensi yang
dimiliki oleh kedua kawasan.
Gambar 1. Research Gap
Sumber: Hasil Analisis Vosviewer, 2023.
Berdasarkan hasil analisis Vosviewer
di atas, research gap dalam penelitian ini adalah
terkait kebijakan energi baru terbarukan yang
berlandaskan wawasan lingkungan.
Pembangunan energi meskipun dalam konteks
energi baru terbarukan, acap kali menghadapi
190 Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
tantangan lingkungan. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan mengkaji tentang
kebijakan energi baru terbarukan Indonesia
dengan perbandingan negara-negara Kawasan
Nordik yang dinilai telah mampu
memanfaatkan energi terbarukan secara optimal
dengan mempertimbangkan upaya
pengurangan karbon, deforestasi dan dampak
lingkungan.
KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian ini mengkaji tentang
perbandingan kebijakan antara negara-negara
Nordik sebagai role model penataan kebijakan
energi baru terbarukan dan kebijakan nasional
Indonesia dalam konteks kebijakan yang sama.
Pengkajian lain juga dilaksanakan terkait
dampak lingkungan baik pengurangan karbon,
pengurangan deforestasi dan pengurangan
emisi. Dalam menganalisis isu tersebut
digunakan konsep keamanan energi (energi
security). Konsep keamanan energi
memperhatikan dua konteks yang berbeda
sesuai pelaku yang terlibat (Farid, 2016). Bagi
negara-negara yang menjadi pengekspor energi,
keamanan energi dinilai dalam konteks akses ke
pasar dan tingkat permintaan yang ada. Namun,
bagi negara-negara yang mengimpor energi,
keamanan energi dinilai dalam kerangka
bagaimana mereka dapat memastikan pasokan
dan suplai energi yang memadai untuk negara
(Ramadhani, 2018). Ruang lingkup penelitian
ini menempatkan Norwegia sebagai negara
pengekspor energi, sedangkan Indonesia
sebagai negara pengimpor energi.
Pengurangan karbon menjadi diskursus
yang senantiasa menyedot perhatian
masyarakat global. Terutama berkaitan
kebijakan untuk menekan emisi karbon dari
aktivitas industri untuk mengdorong
produktivitas suatu negara. Terdapat tiga
elemen kunci dalam kebijakan energi, atau
energy policy dengan tujuan menjaga keamanan
energi suatu negara. Pertama, Rationing
berupa alokasi sumber daya energi yang ada
dengan membatasi penggunaannya. Tujuannya
untuk mengurangi permintaan terhadap sumber
energi tertentu (seperti minyak bumi, gas alam,
dan batu bara) dengan harapan bahwa
pembatasan ini akan memberikan waktu
tambahan untuk menangani keterbatasan
energi. Kedua, Stockpiling dilakukan dengan
menyimpan cadangan sumber energi yang
paling banyak digunakan, seperti minyak bumi.
Hal ini bertujuan untuk mengurangi
ketergantungan pada negara-negara pengekspor
minyak, menjaga keamanan energi, dan
menghindari fluktuasi harga minyak dunia yang
tidak terkontrol. Ketiga, Diversification, sebuah
upaya untuk memastikan pasokan sumber daya
energi dengan melakukan penelitian,
eksplorasi, dan menemukan sumber energi baru
(energi alternatif) untuk menggantikan sumber
energi yang sudah ada. Negara berusaha
mengembangkan sumber daya energi alternatif
seperti biofuel, tenaga air, sel surya, dan tenaga
nuklir. Kerja sama internasional juga bisa
menjadi bagian dari strategi diversifikasi ini
(Bollino & Galkin, 2021).
Deforestasi menjadi isu yang krusial
ketika berbicara tentang degradasi lingkungan
dan keberlangsungan hidup. Kekhawatiran
akan tindakan deforestasi yang tidak terkendali
menyebabkan kerusakan lingkungan yang
berkelanjutan. Negara-negara yang
melaksanakan program pemanfaatan hutan kini
berada dalam tekanan internasional agar
mengambil langkah-langkah untuk
memperlambat laju deforestasi. Deforestasi
merupakan kondisi luas hutan yang mengalami
penurunan yang disebabkan oleh konvensi
lahan untuk infrastruktur, permukiman,
pertanian, pertambangan, dan perkebunan
(Addinul Yakin, 2011). Deforestasi merupakan
bentuk kehilangan lahan yang dapat menjadi
ancaman bagi kelangsungan makhluk hidup,
luas hutan yang mengalami penurunan akibat
rekayasa hutan untuk kepentingan manusia,
kemudian menimbulkan dampak serius berupa
pemanasan global (Wahyuni & Suranto, 2021).
Berbagai kegiatan yang disebabkan oleh
deforestasi akan berimbas secara langsung dan
dirasakan oleh manusia, sehingga diperlukan
adanya upaya untuk mendorong kesadaran
lingkungan bagi masyarakat agar menjaga
kelestarian alam Indonesia.
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023 191
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
Pemanasan global merupakan isu
penting dan krusial yang terjadi akibat aktivitas
ekonomi di berbagai negara dengan tidak
memperhatikan dampak lingkungan.
Temperatur bumi mengalami peningkatan
secara terus menerus, upaya pencegahan
nampaknya belum membuahkan hasil yang
diharapkan. Kerusakan hutan yang ada di
Indonesia terus mengalami peningkatan,
berdasarkan data yang ada menjelaskan bahwa
ukuran hutan Indonesia setiap tahun terus
mengalami pengurangan (Wahyuni & Suranto,
2021). Kekhawatiran kaum Environmentalis
mengenai dampak buruk terhadap lingkungan
telah dirasakan banyak negara saat ini.
Kerusakan lingkungan pada umumnya adalah
buah dari kegiatan ekonomi yang tidak
bertanggungjawab, dimana biaya sosial
ditimbulkannya tidak tercakup dalam akuntansi
yang berlaku di pasar. Biaya-biaya semacam
pencegahan dampak lingkungan tidak
dimasukkan dalam pengambilan keputusan,
sehingga merangsang kerugian ekonomis yang
harus ditanggung oleh sektor lain.
Mitigasi perubahan iklim menjadi salah
satu faktor utama yang mendorong peningkatan
permintaan terhadap energi terbarukan. Oleh
karena itu, diperlukan evaluasi menyeluruh
terhadap dampak keseluruhan sistem energi
terhadap lingkungan dan masyarakat, yang
mencakup berbagai kategori dampak dengan
tujuan untuk mengidentifikasi potensi
pertukaran dan sinergi yang mungkin terjadi.
Karena perubahan iklim saat ini tidak dapat
dihindari, integrasi adaptasi terhadap perubahan
iklim menjadi bagian integral dari upaya
pembangunan berkelanjutan. Adaptasi dapat
dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu
mengantisipasi perubahan iklim atau
meresponsnya setelah terjadi (Kamimoto et al.,
2013).
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif di mana menekankan analisis dan
deskripsi akan fenomena-fenomena yang terjadi.
Komponen pemahaman tersebut kemudian
secara holistik dirangkai dalam sebuah
deskripsi dengan memanfaatkan beragam
metode alamiah (Moleong, 2017). Paradigma
konstruktivisme diterapkan dengan
memandang kehidupan sosial tidak sebagai
realitas alami, tetapi sebagai hasil dari proses
konstruksi. Sebagaimana kebijakan
pengelolaan energi yang penuh dengan
konstruksi didasarkan pada kondisi nyata
lapangan dan kondisi sosial sekitar.
Penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan (library research) dengan
pengumpulan data pustaka yang diperoleh dari
berbagai sumber informasi kepustakaan yang
berkaitan dengan obyek penelitian seperti
melalui abstrak hasil penelitian, indeks,
tinjauan, jurnal dan buku referensi (Sugiyono,
2018). Data diperoleh dari regulasi yang
dipublikasikan Pemerintah Indonesia maupun
Norwegia didukung dengan penelitian
terdahulu terkait pengelolaan energi baru
terbarukan dan dampak lingkungan.
Metode analisis dimulai dari
pengumpulan data terkait. Reduksi data
dilakukan dengan melakukan koding akan data-
data terkumpul. Pembatasan ini difokuskan
pada elemen kebijakan energi yaitu terkait
rationing, stockpiling, diversification yang
dilakukan kedua negara. Dampak kebijakan
ditinjau dari hasil pengurangan karbon,
deforestasi dan dampak lingkungan. Kemudian,
data disajikan dengan memuat deskripsi
maupun visualisasi data seperti matriks dan
gambar. Kesimpulan ditarik dari temuan-
temuan hasil analisis dengan berpatok pada
fokus penelitian dan alat analisis yang
digunakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan The 9th Indonesia-Norway
Bilateral Energy Consultation (INBEC) Tahun
2022 di Oslo menandai kerja sama transisi
energi antara Indonesia dan Norwegia telah
lama berlangsung. Kerja sama bilateral antara
Indonesia dan Norwegia di sektor energi
dimulai pada tahun 1995 ketika Menteri
Pertambangan dan Energi Indonesia dan
Menteri Industri dan Energi Kerajaan Norwegia
menandatangani Memorandum of
Understanding (MoU) di Jakarta. Dalam MoU
tersebut, kedua negara sepakat untuk
192 Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
mengadakan konsultasi energi bilateral setiap
dua tahun untuk meningkatkan kerja sama di
bidang energi. Selain itu, mereka juga bekerja
sama dalam mengadakan seminar dan
pertemuan bisnis. Sebaliknya, Norwegia juga
mengikutsertakan Indonesia untuk
berpartisipasi dalam konferensi dan pameran
migas internasional terbesar mereka, yaitu The
Offshore Northern Seas (Kementerian ESDM
RI, 2022b). Periode yang cukup lama ini
tentunya berdampak pada kebijakan energi
terbarukan yang diimplementasikan di kedua
negara.
1. Tata Kelola Energi Energi Terbarukan
(Renewable Energy)
Indonesia dan Norwegia memiliki bentuk
negara yang berbeda. Dengan mengusung
bentuk negara republik dengan Pimpinan
negara yaitu Presiden dan Norwegia berbentuk
monarki tentunya memiliki perbedaan dimensi
kepemimpinan. Norwegia merupakan negara
dengan cadangan migas yang besar dan industri
energi yang sangat maju. Negara ini memiliki
visi untuk menjadi negara yang memimpin
dunia dalam pembangunan yang berwawasan
lingkungan. Kebijakan energi yang ditetapkan
oleh pemerintah Norwegia saat ini adalah
lingkungan akan menentukan batas produksi
energi dan langkah aktif yang harus dilakukan
untuk membatasi energi. Terdapat faktor-faktor
pendorong dalam kebijakan ini yaitu Protokol
Tokyo (Peningkatan Kesadaran Tentang
Masalah Iklim) dan kebijakan politik untuk
penghentian pengembangan lebih lanjut
pembangkit tenaga air berkapasitas skala besar.
Kebijakan energi, dalam jangka pendek dan
menengah, berfokus pada sumber energi baru
yang dapat diperbarui seperti angin dan
biomassa, pengurangan konsumsi energi,
sistem energi yang lebih fleksibel, produksi
listrik terdistribusi dan upaya pengurangan
emisi. Dalam perumusan kebijakan tentunya tak
lepas dari peran sektor administratif. Parlemen
Norwegia (Storting) menetapkan kerangka
politik dalam pengelolaan sumber daya energi
dan air di Norwegia. Pemerintah menugaskan
beragam kementerian seperti Kementerian
Perminyakan dan Energi, Kementerian
Pemerintahan Daerah dan Modernisasi,
Kementerian Iklim dan Lingkungan,
Kementerian Keuangan dan Kementerian
Perdagangan, Perindustrian dan Perikanan.
Kementerian Perminyakan dan Energi
memiliki tanggung jawab administratif secara
keseluruhan. Kementerian Iklim dan
Lingkungan bertanggung jawab atas peraturan
lingkungan. Kementerian Pemerintah Daerah
dan Modernisasi bertanggung jawab atas
peraturan perencanaan. Kementerian Keuangan
bertanggung jawab atas perpajakan pembangkit
listrik, berbagai pajak energi, dan pengeluaran
negara. Kementerian Perdagangan,
Perindustrian dan Perikanan memiliki tanggung
jawab kepemilikan atas Statkraft SF.
Kementerian Perminyakan dan Energi
memiliki tanggung jawab keseluruhan untuk
mengelola sumber daya energi dan air di
Norwegia. Tugas Kementerian adalah
memastikan bahwa pengelolaan pemerintahan
dilakukan sesuai dengan pedoman yang
diberikan oleh Storting dan Pemerintah. Dalam
kementerian ini, ditunjuk sebuah direktorat
pengelola sumber daya energi dan air yaitu
NVE (Norwegian Water Resource and Energy
Directorate). NVE di bawah naungan
Kementerian Perminyakan dan Energi,
bertanggung jawab untuk mengelola sumber
daya energi dalam negeri. NVE juga merupakan
otoritas regulasi nasional untuk sektor
kelistrikan. NVE juga bertanggung jawab untuk
mengelola sumber daya air Norwegia dan untuk
tugas-tugas pemerintah pusat terkait dengan
pengurangan risiko banjir, longsoran salju, dan
tanah longsor. NVE terlibat dalam penelitian
dan pengembangan serta kerja sama
pembangunan internasional.
Kementerian Perminyakan dan Energi
memiliki beberapa perusahaan milik negara
yaitu Enova SF dan Statnett SF. Enova adalah
badan usaha milik negara yang mengelola aset
di Dana Energi. Tujuan Enova adalah untuk
mempromosikan pergeseran ke arah konsumsi
dan produksi yang lebih ramah lingkungan,
serta pengembangan energi dan teknologi iklim.
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023 193
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
Sedangkan Statnett adalah badan usaha milik
negara yang bertanggung jawab untuk
membangun dan mengoperasikan jaringan
pusat. Perusahaan tersebut the Transmission
System Operator (TSO) untuk jaringan pusat di
Norwegia di mana memiliki lebih dari 90 persen
kepemilikan. Statnett bertanggung jawab atas
koordinasi sistem jangka pendek dan jangka
panjang di mana mengatur pengelolaan daya
dalam pemenuhan energi nasional.
Dalam pengelolaannya, terdapat peran
sektor penelitian dan riset tentang energi.
Program ini dilaksanakan oleh Lembaga
Penelitian Norwegia. Hasil dari temuan yang
dilakukan kemudian dilaporkan kepada
Kementerian Pendidikan dan Penelitian. Dana
pengembangan dalam penelitian ini sebagian
besar didapat dari dana Kementerian
Perminyakan dan Energi.
Dari tata kelola di atas dalam pengelolaan
energi baru terbarukan di Norwegia melibatkan
kementerian lintas sektor dengan tugas fungsi
berkaitan dengan energi. Sejak Norwegia
dominan dalam penggunaan energi air (hidro)
maka lembaga terlibat berkecimpung pula
dalam pengelolaan sumber daya air. Selain itu,
keikutsertaan kementerian berbasis lingkungan
dan iklim menandakan bahwa terdapat
kesadaran akan dampak lingkungan potensial
dibalik pembangunan energi meskipun dalam
konteks non fosil.
Visi pengelolaan energi di Indonesia
mengarah pada pencapaian tujuan nasional,
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD
1945. Pada Pasal 33 Ayat 1 turut menekankan
pada cabang-cabang produksi yang penting
bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya guna
kesejahteraan masyarakat. Ketahanan energi
dan kemandirian energi suatu negara dapat
dicapai melalui prinsip-prinsip tata kelola yang
efektif (effective governance principles). Hal ini
berlaku baik dalam upaya meningkatkan
pasokan energi (supply side management)
untuk memenuhi permintaan maupun dalam
mengelola penggunaan energi (demand side
management) agar lebih optimal dan efisien di
seluruh sektor pengguna (Dewan Energi
Nasional, 2016).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2007, ditetapkanlah Dewan Energi
Nasional (DEN). Dewan ini terdiri dari 7
Menteri yang memiliki tanggung jawab
langsung dalam hal penyediaan, transportasi,
penyaluran, dan pemanfaatan energi, serta 8
(delapan) anggota yang mewakili Pemangku
Kepentingan. Pembentukan Dewan Energi
Nasional ini diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 26 Tahun 2008, dengan tugas dan
tanggung jawab yaitu (a) Mengembangkan dan
merumuskan kebijakan energi nasional yang
akan disetujui oleh Pemerintah dengan
persetujuan DPR; (b) Menyusun Rencana
Umum Energi Nasional; (c) Menetapkan
langkah-langkah untuk mengatasi situasi
darurat dan krisis energi; dan (d) Melakukan
pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan
energi yang memiliki cakupan lintas sektoral.
Secara struktural susunan Dewan
Energi Naisonal baik Indonesia maupun
Norwegia memiliki pengelola yang serupa
kecuali dalam pengikutsertaan Kementerian
yang menaungi pemerintahan daerah. Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal
12 Ayat (3), pengelolaan energi dan sumber
daya mineral merupakan Urusan Pemerintahan
Pilihan. Urusan Pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan
potensi yang dimiliki Daerah. Pengelolaan
sumber daya alam pun kemudian dikelola
sesuai dengan kapasitas masing-masing daerah.
Oleh karena itu, meskipun Pemerintahan Dalam
Negeri tidak tergabung dalam Dewan Energi
Nasional, namun Pemerintah Derah tetap
memiliki wewenang dalam pengelolaan sumber
daya alam.
Akan tetapi, tren penggunaan energi
terbarukan masih kalah dengan energi tak
terbarukan (energi fosil). Data tahun 2023
menunjukkan bahwa energi fosil menyumbang
94.3% dari total keseluruhan kebutuhan
energi, sementara energi baru terbarukan
hanya berkisar 5,7% (Nunuk Febriananingsih,
2019).
194 Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
2. Kebijakan Energi Terbarukan
(Renewable Energi Policy)
Kajian perbandingan kebijakan energi
terbatukan difokuskan pada elemen keamanan
energi berupa rationing, stockpiling, dan
diversification.
a. Penjatahan (Rationing)
Upaya penjatahan ini berupa
pembatasan akan energi untuk dialihkan ke
energi lain yang lebih terbarukan dan ramah
lingkungan. Sejak awal produksi minyak pada
tahun 1970-an, Norwegia telah menerapkan
regulasi yang membatasi pembakaran dan
pembuangan energi fosil. Pada tahun 1971,
pemerintah mengadopsi prinsip-prinsip yang
dikenal sebagai Ten Oil Commandment dalam
rangka merumuskan kebijakan terkait industri
minyak (The World Bank, 2021). Pemerintah
Norwegia pun cenderung menerapkan
kebijakan go slowdalam mengelola sumber
daya tak terbarukan.
Tabel 1. Norway Ten Oil Commandment
Norway Ten Oil
Commandment
1. Bahwa pengawasan dan pengendalian
nasional atas semua kegiatan di landas
kontinen Norwegia harus dipastikan.
2. Bahwa penemuan-penemuan minyak
bumi harus dieksploitasi dengan cara
yang dirancang untuk menjamin
kemandirian maksimum bagi Norwegia
dalam hal ketergantungan pada pihak
lain untuk pasokan minyak mentah.
3. Bahwa aktivitas bisnis baru harus
dikembangkan, berdasarkan minyak
bumi.
4. Bahwa pengembangan industri minyak
harus dilakukan dengan pertimbangan
yang diperlukan untuk kegiatan
komersial yang ada, serta untuk
perlindungan alam dan lingkungan.
5. Bahwa pembakaran gas yang dapat
dieksploitasi di landas kontinen
Norwegia hanya boleh dilakukan dalam
periode uji coba yang terbatas.
6. Bahwa minyak bumi dari landas
kontinen Norwegia harus, sebagai
aturan utama, didaratkan di Norwegia,
dengan pengecualian untuk kasus-kasus
khusus di mana pertimbangan-
pertimbangan sosial-politik menjamin
solusi yang berbeda.
7. Bahwa Negara melibatkan diri pada
semua tingkat yang wajar, berkontribusi
untuk mengkoordinasikan kepentingan
Norwegia dalam industri perminyakan
Norwegia, dan untuk mengembangkan
komunitas minyak Norwegia yang
terintegrasi dengan tujuan nasional dan
internasional.
8. Bahwa sebuah perusahaan minyak milik
negara didirikan untuk melindungi
kepentingan komersial Negara, dan
untuk mengupayakan kerja sama yang
bijaksana dengan para pemangku
kepentingan minyak dalam dan luar
negeri.
9. Bahwa sebuah rencana kegiatan harus
diadopsi untuk daerah di utara paralel
ke-62 yang memenuhi faktor-faktor
sosial-politik yang unik yang terkait
dengan bagian negara tersebut.
10. Bahwa penemuan minyak bumi
Norwegia dapat memberikan tugas-
tugas baru bagi kebijakan luar negeri
Norwegia.
Sumber: (Gociu, 2021).
Selain 10 kebijakan tersebut terdapat
pula pembatasan dengan menggunakan skema
harga bahan bakar fosil sehingga masyarakat
beralih ke energi baru terbarukan. Harga bensin
tahun 2023 seharga 23.64 NOK/liter (Rp.
34.045,54) dan diesel seharga 21.91 NOK/liter
(Rp. 31.554,05) (Norges Bank, 2023). Harga
bensin di Indonesia untuk Pertamax seharga Rp
13.300/liter, Pertamax Dex Rp 16.900/liter,
Pertamax Turbo Rp. 15.900/liter, Pertalite
Rp10.000/liter, Dexlite Rp. 16.350/liter, dan
Solar Rp. 6.800/liter (Umiyani, 2023). Dari
perbandingan harga ini, diketahui bahwa harga
bensin dan diesel Norwegia setara 2 kali lipat
harga bensin Indonesia.
Konsumsi Petroleum di Norwegia
mencapai 210.000 Barrel/Hari, sedangkan
Indonesia mencapai 1.585.000 Barrel/Hari atau
setara 7 kali lipat. Perbandingan ini bukan
hanya dipengaruhi adanya transisi energi
dengan pembatasan penggunaan bahan bakar
fosil namun juga jumlah penduduk kedua
negara. Selain itu, luas serta perbedaan fasilitas
transportasi publik, sehingga masyarakat
memiliki opsi lebih banyak untuk sarana
transportasinya daripada di Indonesia.
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023 195
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
Meskipun Pertamina memberlakukan kenaikan
harga bensin, namun konsumsi belum pernah
kurang dari 1.400.000 Barrel/Hari selama 11
tahun terakhir.
b. Penimbunan (Stockpiling)
Dua energi terbaharukan di Norwegia
yang dapat diberlakukan cadangan yaitu energi
solar dan energi air. Energi surya (solar energy)
dan konservasi energi digunakan dalam
kebutuhan energi dan kebutuhan sehari-hari
mengingat bahwa Norwegia merupakan negara
subtropis yang membutuhkan cadangan panas
saat memasuki musim dingin.. Tenaga surya
dioptimalkan pada musim panas. Sehingga
surplus energi yang didapat akan disimpan dan
digunakan saat musim dingin tiba. Energi surya
telah menyumbangkan 3,3 TWh untuk
kebutuhan listrik nasional (Norwegian
Government, 2019). Kebutuhan listrik di
Norwegia 98% di antaranya telah dipenuhi dari
energi terbarukan. Selain untuk keperluan
industri dan jasa, penggunaan listrik di
Norwegia digunakan untuk sektor permukiman.
Permukiman membutuhkan penghangat di
setiap rumahnya, sedangkan penghangat sendiri
baik menggunakan listrik atau dengan bahan
bakar minyak memiliki harga yang tak
terlampau berbeda. Oleh karena itu, Pemerintah
Norwegia berinovasi dalam perancangan rumah
dengan daya simpan panas. Pemerintah
mengakomodir pula pompa panas yang
diaktifkan dari hasil tenaga surya di musim
panas. Dukungan pemerintah ini memudahkan
masyarakat untuk menghangatkan rumahnya
dengan harga yang ekonomis dan menghemat
anggaran rumah tangga.
Energi Air (hydropower) merupakan
penyuplai kebutuhan listrik terbesar di
Norwegia, melimpahnya sumber daya air di
sana membuat pemerintah berinovasi dalam
segala potensi yang dimiliki perairan Norwegia.
Pembangkit tenaga listrik menyumbangkan 129
TWh untuk kebutuhan listrik nasional (Bakken
et al., 2012). Kombinasi antara energi-energi
lain diimplementasikan dalam pengoptimalan
energi ini. Surplus yang didapat dari energi
surya dan energi angin disimpan dan digunakan
untuk memompa air dan menstabilkan
pembangkit-pembangkit tenaga air. Kondisi
geologi Norwegia yang bagaikan sarang semut
(memiliki banyak lubang di lapisan tanahnya)
membantu dalam proses pemompaan air ini.
Melimpahnya energi yang dihasilkan
menimbulkan kebijakan ekspor guna memenuhi
kebutuhan listrik negara lain. Ekspor listrik
dengan kontrak jangka panjang saat ini dibatasi
hingga 5 TWh / tahun. Ada kabel listrik yang
menghubungkan sistem Norwegia ke Swedia
dan Denmark, tetapi memiliki kapasitas
terbatas. Koneksi DC dengan kapasitas 800
MW ke Inggris dan Jerman. Tujuan sebenarnya
dari program ini tidak hanya untuk ekspor,
tetapi juga pertukaran energi jangka pendek,
karena sistem tenaga air biasanya memiliki
kapasitas pengaturan yang besar.
Indonesia memiliki potensi besar dalam
hal sumber energi terbarukan seperti panas
bumi, angin, matahari, dan energi arus laut.
Bahkan, Indonesia memiliki sekitar 40% dari
cadangan energi panas bumi dunia, yang dapat
membuat negara ini masuk dalam peringkat
sepuluh besar sebagai produsen energi panas
bumi terbesar di dunia jika sumber daya ini
dimanfaatkan dengan efisien (Kementerian
ESDM RI, 2023). Akan tetapi jumlah ini
merupakan cadangan yang harus dieksplorasi
dan dikelola terlebih dahulu, berbeda dengan
sistematika pencadangan yang telah
dilaksanakan oleh Norwegia dalam menghadapi
musim-musim ekstrem seperti musim dingin.
Cadangan energi ini juga belum tersimpan
dengan baik mengingat terbatasnya
infrastruktur energi terbarukan yang masih
terbatas. Meskipun begitu, Indonesia optimis
untuk mencapai 30% penggunaan energi
terbarukan dari total energi nasional pada tahun
2025.
c. Diversifikasi (Diversification)
Pergeseran tren energi di Norwegia
yang beralih dalam pengelolaan energi berbasis
lingkungan menyebabkan Pemerintah
Norwegia mengoptimalkan pemanfaatan energi
yang terbarukan (renewable energy) yang
selama ini telah dilaksanakan. Sektor energi
yang terbarukan meliputi pemanfaatan energi
surya (solar energy), biomassa (biomass),
energi air (hydroprower), energi angin (wind
energy) dan energi gelombang (wave energy).
196 Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
Energi surya (solar energy) penggunanya
mengalami peningkatan di sektor perumahan.
Pada tahun 2016, kapasitas terpasangnya
meningkat empat kali lipat dibandingkan tahun
2015, terutama di bangunan komersial dan
rumah-rumah pribadi yang terhubung ke
jaringan listrik. Perusahaan-perusahaan
Norwegia juga memiliki peran yang signifikan
dalam produksi silikon mentah dan wafer
silikon untuk industri sel surya.
Meskipun Norwegia terletak di utara
dengan iklim yang berbeda, potensi untuk
menghasilkan energi surya tetap besar.
Contohnya, Ås, sebuah kota kecil di selatan
Oslo, menerima sekitar 1.000 kilowatt-jam
(kWh) per meter persegi setiap tahunnya, yang
cukup serupa dengan banyak wilayah di Jerman
yang telah mengembangkan energi surya
dengan pesat selama satu dekade terakhir.
Untuk perbandingan, Spanyol memiliki rata-
rata 1.900 kWh per meter persegi per tahun,
sementara Australia memiliki 2.900 kWh per
meter persegi.
Sel surya dapat dipasang di atap atau
diintegrasikan ke dalam struktur bangunan.
Fasad dengan panel surya terintegrasi kadang-
kadang memiliki harga meter persegi yang
sebanding dengan fasad tradisional seperti
tembaga atau batu alam, sambil menyediakan
sumber energi yang gratis. Sel surya hampir
menjadi standar dalam pembangunan rumah-
rumah yang berorientasi ramah lingkungan. Di
bagian utara kota Trondheim, perusahaan
seperti Snøhetta, Skanska, dan Entra sedang
membangun proyek Powerhouse yang
diharapkan akan menghasilkan lebih banyak
energi daripada yang dikonsumsinya.
Biomassa (biomass) adalah bahan yang
berasal dari makhluk hidup, termasuk tanaman,
hewan dan mikroba. Menjadikan biomassa
sebagai sumber untuk memenuhi berbagai
kebutuhan menjadi sangat menarik sebab
biomassa merupakan bahan yang dapat
diperbaharui (Cangkang Sawit, 2018).
Pemanfaatan biomassa di Norwegia di dapat
dari limbah penggergajian dan industri kayu.
Limbah digunakan sebagai bahan bakar kompor
kayu. Hingga kini telah lebih dari 800 ribu
kompor kayu di Norwegia. Selain limbah kayu,
digunakan pula limbah lain seperti biogas dari
pupuk kandang, limbah kota, biogas dari
pembuangan limbah dan kayu potong.
Penggunaan biomassa ini bertujuan untuk
mengurangi penggunaan bahan bakar minyak.
Pemanfaatannya untuk mendukung kegiatan
rumah tangga pun dinilai efektif. Oleh karena
itu, Pemerintah Norwegia memberikan
perhatian khusus dalam pengembangan energi
biomassa yang dinilai bersih dan tidak
menghasilkan emisi. Kementerian Perminyakan
dan Energi juga menempatkan biomassa
sebagai prioritas dalam program penelitiannya.
Energi Air (Hydroprower) adalah satu-
satunya bentuk produksi energi terbarukan yang
dapat disesuaikan berdasarkan permintaan.
Dengan kombinasi stabilitas, fleksibilitas, dan
biaya produksi yang rendah, PLTA dapat
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
masyarakat yang berkelanjutan. PLTA juga
menawarkan manfaat non-listrik dalam bentuk
waduk serbaguna, peningkatan infrastruktur,
peningkatan ketersediaan air tawar, dan masih
banyak lagi. Menurut International Energy
Agency (IEA), tenaga air akan tetap menjadi
sumber energi terbarukan yang paling penting
di dunia di masa mendatang. Di Norwegia,
sekitar 96% dari seluruh listrik dihasilkan oleh
tenaga air terbarukan. Hal ini memberikan akses
yang stabil bagi industri Norwegia untuk
mendapatkan energi bersih yang murah.
Khususnya untuk industri berat yang
membutuhkan banyak energi, Norwegia
memiliki salah satu jejak karbon terkecil di
dunia (Neupane et al., 2021).
Energi Angin (Wind Energy)
dimanfaatkan pula oleh Pemerintah Norwegia
sebagai sumber energi nasional. Norwegia
memiliki wilayah yang luas dengan paparan
angin. Namun hanya ada sedikit konverter
energi yang dipasang. Alasannya adalah
melimpahnya tenaga air yang murah. Hingga
kini, energi angin telah menyumbang 1,9 TWh
untuk kebutuhan listrik nasional (Norwegian
Government, 2019). Walaupun memiliki output
yang kecil, energi angin mulai menarik
perhatian pemerintah. Didasarkan pada biaya
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023 197
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
instalasi, perawatan mesin dan biaya
pengelolaan, pemanfaatan energi angin akan
dikaji lebih lanjut dan disinergikan dengan
pemanfaatan energi air. Meskipun begitu,
pembangunan turbin-turbin angin semakin
bertambah tiap tahunnya. Di tahun 2020,
Pemerintah Norwegia akan memulai
membangun pembangkit listrik tenaga bayu
dengan kosep SeaTwirl di perairan laut utara
dengan tajuk Projek Horison (The Explorer,
2020). Indonesia memiliki ragam energi
terbarukan lebih banyak mengingat lokasinya di
ring of fire dan khatulistiwa. Dalam energi
hidro, potensi yang dimiliki sebesar 75.000
MW tersebar di 1.249 lokasi pada tahap
penyaringan, berkurang menjadi 12.894 MW
yang terdapat di 89 lokasi (P3TKEBT, 2021).
Energi air (hydropower) adalah salah satu
alternatif utama bagi bahan bakar fosil,
diperoleh dari eksploitasi potensi energi
potensial dan kinetik air. Saat ini, sekitar 20%
konsumsi listrik global dipasok oleh
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Indonesia memiliki banyak PLTA, seperti
PLTA Singkarak (Sumatera Barat), PLTA
Gajah Mungkur (Jawa Tengah), PLTA
Karangkates (Jawa Timur), PLTA Riam Kanan
(Kalimantan Selatan), dan PLTA Larona
(Sulawesi Selatan).
Energi angin (wind energy) dihasilkan
dari gerakan angin dan dikonversi menjadi
energi kinetik atau listrik melalui kincir angin.
Indonesia telah memanfaatkan energi angin
melalui Pembangkit Listrik Tenaga Bayu
(PLTB) seperti PLTB Samas di Bantul,
Yogyakarta. Energi matahari, atau tenaga surya,
berasal dari radiasi matahari dan dapat
dikonversi menjadi energi listrik. Indonesia
memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Surya
(PLTS) seperti PLTS Karangasem (Bali), PLTS
Raijua, PLTS Nule, dan PLTS Solor Barat
(NTT). Energi gelombang (wave energy) laut
didapat dari pergerakan naik turunnya
gelombang laut. Indonesia, sebagai negara
maritim dengan dua samudera, memiliki
potensi tinggi untuk memanfaatkan energi ini,
meskipun saat ini masih dalam tahap
pengembangan. Energi pasang surut air laut
diperoleh dari perbedaan ketinggian air laut saat
pasang dan surut serta arus pasang surut,
terutama di selat-selat kecil. Meskipun
potensial, energi pasang surut air laut belum
sepenuhnya dimanfaatkan di Indonesia.
Biofuel / bahan bakar organik adalah
jenis sumber energi terbarukan yang dihasilkan
dari bahan-bahan organik seperti tanaman
dengan tinggi kandungan gula (seperti sorgum
dan tebu) serta tanaman dengan tinggi
kandungan minyak nabati (seperti jarak,
ganggang, dan kelapa sawit). Sumber energi ini
memiliki potensi besar di Indonesia, walaupun
hingga saat ini baru sekitar 6% dari potensi
tersebut yang telah dimanfaatkan. Biomassa
adalah bentuk energi terbarukan yang merujuk
pada bahan biologis yang berasal dari
organisme yang masih hidup atau belum lama
mati. Sumber energi biomassa dapat mencakup
bahan bakar kayu, limbah organik, dan bahan
bakar berbasis alkohol. Salah satu contoh
penggunaan biomassa adalah Pembangkit
Listrik Tenaga Biomassa (PLTBM) Pulubala di
Gorontalo.
Energi panas bumi (geothermal) adalah
sumber energi terbarukan yang berupa panas
yang dihasilkan dan disimpan dalam bumi.
Energi panas bumi dianggap ekonomis,
berlimpah, berkelanjutan, dan ramah
lingkungan. Di Indonesia, terdapat sejumlah
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)
seperti PLTP Sibayak (Sumatera Utara), PLTP
Salak (Jawa Barat), PLTP Dieng (Jawa
Tengah), dan PLTP Lahendong (Sulawesi
Utara). Meskipun Indonesia memiliki potensi
besar dalam sumber energi terbarukan, lebih
dari 90% energi yang digunakan masih berasal
dari bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak
bumi, dan gas alam, sementara kurang dari 10%
berasal dari sumber energi terbarukan. Ini
merupakan sebuah paradoks mengingat potensi
yang besar yang dimiliki oleh Indonesia dalam
hal sumber energi terbarukan.
198 Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
3. Kebijakan Energi Terbarukan
Berwawasan Lingkungan (Green
Renewable Energi Policy)
Energi Gelombang (Wave Energy)
telah lama menjadi penelitian priortas di
Norwegia. Laut Utara mampu menghasilkan
sekitar 78 TWh. Energi gelombang di sini
memiliki potensi yang sangat tinggi di
Norwegia. Energi ini dinilai lebih futuristik.
Pemerintah mencoba untuk membangun
pembangkit listrik untuk mengkonversi energi
gelombang, namun karena dahsyatnya
gelombang laut utara. Pembangkit tersebut
hancur terkena dampak gelombang besar
(Øygarden kommune Norway, 2019). Hingga
saat ini pemanfaatan energi gelombang masih
dikaji sebagai alternatif energi di Norwegia.
Dengan pemanfaatan energi terbarukan
di Norwegia, penggunaan minyak dan gas mulai
berkurang dalam pemenuhan energi nasional.
Tingkat emisi yang tinggi serta regulasi Uni
Eropa yang begitu ketat membuat Pemerintah
Norwegia terfokus dengan pemanfaatan sumber
daya alam yang dimiliki negaranya. Sumber
daya minyak dan gas yang melimpah dialihkan
pada sektor ekspor. Berdasarkan data tahun
2017, diketahui bahwa Norwegia telah
mengekspor minyak sebanyak Inggris 42%,
Belanda 17%, Jerman 10%, Swedia 6%,
Denmark 5%, Prancis 4%, Irlandia 3%,
Amerika Utara 5% dan negara Eropa lainnya
8% (Energy Information Administration,
2020). Sebagai negara pengekspor energi,
Norwegia telah menyalurkan sumber daya
alamnya melalui jaringan pipa bawah laut.
Gambar 2. Jaringan Ekspor SDA Norwegia
Sumber: Hall, 2018.
Maraknya energi terbarukan di
Norwegia menimbulkan segmentasi dalam
pemanfaatan masing-masing energi.
Pemanfaatan energi terbarukan masih
didominasi oleh tenaga air (hydropower).
Tingkat efisiensinya yang tinggi ini
mempengaruhi pemanfaatan sumber energi
lainnya. Seluruh pemanfaatan harus
disinergikan dengan pemanfaatan tenaga air.
Hal ini menyebabkan ketergantungan negara
atas sumber daya air. Air sebagai sumber daya
alam terbatas menimbulkan paradigma baru
tentang upaya pemanfaatan energi
berkelanjutan. Pemerintah Norwegia pun
menuangkan elternatif energi lain seperti energi
angin yang disusun secara strategis dalam Buku
Putih (White Paper) Kebijakan Energi
Norwegia tahun 2030 (Nordic Energy
Research, 2017). Fokus utamanya adalah
keamanan pasokan energi, pengaruh energi
terhadap iklim dan pertumbuhan ekonomi
dengan mempertimbangkan penggunaan energi
yang efisien dan ramah lingkungan. Strategi
tersebut tergabung dalam Strategi “Energy 21”
yang dikembangkan oleh industri, lembaga
penelitian dan otoritas publik.
Program Norway’s International
Climate and Forest Initiative (NICFI)
merupakan program yang diprakarsai
Pemerintah Norwegia (Kementerian Iklim dan
Lingkungan) sebagai tindak lanjut Program
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023 199
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
REDD dan REDD+ yang diinisiasi oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa. REDD dan
REDD + adalah inisiatif Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) untuk memberi insentif dan
mendukung negara berkembang untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca dari
deforestasi dan degradasi hutan (Lestari, 2019).
Gerakan ini dibentuk saat UN Bali Action Plan
pada tahun 2007. Tujuan program ini adalah
untuk melindungi dan mengelola hutan dengan
lebih baik untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan.
Strategi REDD bertujuan untuk
membuat hutan lebih berharga dengan
menciptakan nilai finansial untuk karbon yang
tersimpan di pohon yang selanjutnya dapat
dibayarkan oleh negara maju. Strategi REDD+
melangkah lebih jauh dan mempromosikan
peran konservasi, pengelolaan hutan
berkelanjutan, dan peningkatan hutan dalam
mengurangi emisi. Bersama-sama, prakarsa ini
berupaya menawarkan opsi pembangunan yang
lebih menarik dan layak daripada penggunaan
hutan yang merusak (pemanfaatan lahan).
REDD dan REDD + didukung oleh sejumlah
negara donor termasuk Norwegia, Inggris,
Jerman, Amerika Serikat, dan Australia. Sejauh
ini para donor telah menjanjikan lebih dari US
$ 4 miliar untuk mendukung program di sekitar
50 negara mitra di Afrika, Asia-Pasifik dan
Amerika Latin baik di tingkat nasional, regional
dan global. Norwegia adalah donor tunggal
terbesar, memberikan kontribusi sekitar 60
persen dari total yang dijanjikan melalui
program NICFI.
NICFI telah berperan sebagai
katalisator untuk menetapkan REDD+ sebagai
komponen penting dari iklim internasional dan
inisiatif pembangunan berkelanjutan.
Tantangan yang dihadapi sekarang adalah
mengkonsolidasikan dan membangun capaian
selama ini. Hal ini penting untuk upaya global
berkelanjutan untuk melindungi sumber daya
hutan, mengurangi emisi melalui deforestasi
yang selanjutnya membantu mengurangi
kemiskinan dan mendorong pembangunan
berkelanjutan. Sejak tahun 2009, NICFI telah
menggelontorkan $2,1 miliar dalam bantuan
lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
NICFI menjanjikan alokasi dana sebesar $350
Juta per tahun dalam pendanaan kerja sama
pembangunan hingga tahun 2020. Meskipun
begitu, setelah penandatanganan Perjanjian
Paris, Program ini akan dimasukkan dalam
Kebijakan Energi Norwegia tahun 2030.
Hingga kini Norwegia telah menjadi investor di
beberapa negara seperti Amerika Latin, Asia
dan Afrika serta dalam kegiatan lain seperti
inisiasi multilateral dan organisasi masyarakat.
Program perpanjangan pada tahun 2016 s.d
2020, program ini terfokus pada 11 negara yaitu
di Kolombia, Ekuador, Guyana, Peru, Brazil,
Liberia, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia,
Myanmar, Vietnam dan Indonesia (Norwegian
Government, 2020b). Negara-negara tersebut
dipilih karena memiliki potensi hutan yang
besar terutama negara dengan hutan hujan
tropis. Sedangkan fokus penelitian makalah ini
adalah bentuk kerja sama NICFI di Brazil,
Republik Demokratik Kongo, Ekuador,
Indonesia, Kolombia, Ethiopia, Peru, Liberia
dan Guyana.
Program NICFI di Brazil ditandai
dengan penandatanganan Letter of Intent / MoU
tentang proyek iklim dan huta. Norwegia
berjanji untuk memberikan kontribusi hingga $
1 miliar untuk Amazon Fund di Brasil hingga
2015, jika Brasil dapat menunjukkan penurunan
deforestasi di Amazon. Pada KTT Perubahan
Iklim di Paris, Brazil dan Norwegia
memperpanjang kerja sama hingga tahun 2020.
Berkat program yang telah dilaksanakan, Brazil
telah mencapai hasil yang mengesankan dalam
memerangi deforestasi di Amazon. Periode
2008 s.d 2017, Brazil mengurangi deforestasi
rata-rata tahunan di Amazon hampir 65%
dibandingkan tahun 1996-2005. Pembayaran
terakhir atas kompensasi yang dijanjikan dari
Norwegia ke Amazon fund dilaksanakan pada
Desember 2018 didasarkan pada angka
deforestasi hutan tahun 2017 (Norwegian
Government, 2018).
Program NICFI di Kolombia
merupakan program gabungan dengan negara
lain seperti Jerman dan Inggris. Kolombia
berkomitmen untuk menerapkan tata kelola
lintas sektor untuk mengurangi deforestasi dan
mendukung pembangunan berkelanjutan.
200 Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
Upaya deforestasi di Kolombia tergolong dalam
tahap menengah. Untuk mendukung komitmen
itu, Jerman, Norwegia, dan Inggris akan
menyumbang hampir 300 juta USD, terutama
melalui pembayaran berbasis hasil untuk
pengurangan deforestasi. Pada tahun 2016,
Norwegia, Inggris dan Jerman telah
memberikan pembayaran pertama sebagai
imbalan atas pengurangan emisi dari deforestasi
di hutan hujan Amazon Kolombia pada 2013
dan 2014 (Norwegian Government, 2018).
Program NICFI di Republik
Demokratik Kongo bekerja sama berdasarkan
Letter of Intent/MoU dengan lembaga-lembaga
terkait seperti Central African Forest Initiative
(CAFI), Civil Society, Multilateral Channels
(UN-REDD) dan The African Development
Bank's regional fund, the Congo Basin Forest
Fund (CBFF). Angka deforestasi di Kongo
cenderung rendah. Namun angka ini berpotensi
naik seiring dengan perkembangan industri.
Pembukaan lahan sebagai sarana agrikultur pun
menjadi ancaman akan deforestasi. Pemerintah
Norwegian pun memberikan bantuan dana
hingga $200 Juta yang disalurkan melalui
lembaga-lembaga terkait. Angka deforestasi di
Kongo pun mulai menurun secara perlahan
(Norwegian Government, 2016d).
Program NICFI di Equador dimulai
dengan kerja sama antara Norwegia, Jerman
dan Ekuador pada tahun 2018 sebagai upaya
untuk mengurangi deforestasi di hutan amazon
yang dimiliki otoritas Ekuador. Berdasarkan
hasil deforestasi dalam golongan menengah,
dana dukungan yang telah diserahkan sebesar
$112 Juta. Ekuador menggunakan pembayaran
tersebut untuk berinvestasi dalam
pembangunan pedesaan yang berkelanjutan
untuk memberi manfaat bagi masyarakat dan
hutan. Setidaknya 70% dari dana tersebut
langsung digunakan untuk mendukung
komunitas dan organisasi lokal, termasuk
masyarakat adat (NICFI, 2019).
Program NICFI di Ethiopia merupakan
kerja sama antara Norwegia dan Pemerintah
Ethiopia yang ditandatangani pada tahun 2013
tentang kesepakatan iklim dan hutan untuk
mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan serta meningkatkan serapan
karbon di hutan. Perjanjian ini dibangun di atas
kerja sama iklim yang lebih luas yang
ditandatangani selama KTT iklim PBB di
Durban pada tahun 2011, Norwegia berjanji
untuk mendukung implementasi strategi hijau
Ethiopia (Climate Resilient Green Economy
Strategy). Strategi ini akan mengupayakan
pengurangan 200-250 juta ton emisi gas rumah
kaca. Norwegia menjanjikan $80 Juta untuk
biaya konservasi. Pembayaran sebagai imbalan
upaya deforestasi dibayarkan melalui lembaga-
lembaga terkait. Ethiopia yang masih dalam
tahap rendah upaya deforestasinya, menyusun
strategi agar program baik REDD maupun
NICFI berjalan dengan baik (Norwegian
Government, 2016a).
Program NICFI di Guyana dimulai
sejak tahun 2019 dengan kerja sama untuk
mempromosikan pembangunan hijau di Guyana
dan menjaga deforestasi pada tingkat yang
rendah. Guyana telah mengembangkan sistem
nasional pertama di dunia untuk memantau
tutupan hutan dan kandungan karbon dengan
uang yang diperoleh dari deforestasi rendah
yang berkelanjutan. Sistem yang diciptakan
membantu dalam penanganan deforestasi tahap
menengah. Sejauh ini, Norwegia telah
membayar Guyana sekitar $150 juta untuk hasil
yang berkaitan dengan deforestasi rendah dan
tata kelola yang lebih baik (Norwegian
Government, 2016b).
Program NICFI di Indonesia dimulai
dengan kerja sama di tahun 2011 antara
Norwegia dan Pemerintah Indonesia untuk
mendukung upaya pengurangan emisi gas
rumah kaca dari deforestasi, degradasi hutan
dan perusakan gambut hingga $1 miliar.
Norwegia akan membayar Indonesia
berdasarkan hasil yang dicapai. Norwegia
sejauh ini telah mencairkan sekitar NOK 795
juta untuk upaya iklim dan hutan di Indonesia.
Sebagian besar merupakan kegiatan yang
merupakan bagian dari kemitraan bilateral,
yang disalurkan melalui the United Nations
Development Programme (UNDP). Namun
pengurangan deforestasi di Indonesia tergolong
lambat karena tantangan investasi yang
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023 201
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
menargetkan sektor kehutanan dan perkebunan
(Norwegian Government, 2017).
Program NICFI di Liberia dimulai
dengan perjanjian kerja sama pada tahun 2014
antara Norwegia dan Pemerintah Liberia
tentang pelestarian hutan Liberia yang unik dan
kaya keanekaragaman hayati serta mengurangi
emisi gas rumah kaca dari deforestasi.
Norwegia akan mendukung upaya Liberia
hingga NOK 1 miliar hingga 2020. Proyek 5
tahun pertama yang diselenggarakan sebagai
program pertama membutuhkan anggaran $37
juta dilaksanakan oleh Forest Authorities of
Liberia (FDA) dengan dukungan dari Bank
Dunia. Program ini mulai perlahan sebagai
upaya pengurangan emisi dan deforestasi.
Proyek ini disertai dengan dukungan teknis
substansial yang diberikan oleh Bank Dunia.
Pelaksanaan proyek dan program selanjutnya di
bawah kemitraan akan fleksibel dan
disesuaikan dengan konteks sosial ekonomi di
Liberia.
Program NICFI di Peru diawali dengan
penandatanganan Letter of Intent pada tahun
2014 antara Norwegia, Peru dan Jerman dalam
rangka mengurangi emisi gas rumah kaca dari
deforestasi dan degradasi hutan di Amazon
Peru. Norwegia berkomitmen untuk membayar
hasil yang diverifikasi hingga $300 juta untuk
periode hingga 2020. Jerman akan melanjutkan
dukungan ekstensifnya saat ini ke Peru dalam
masalah iklim dan hutan, dan
mempertimbangkan kontribusi lebih lanjut atas
dasar penyampaian hasil Peru. Hingga tahun
2017, Norwegia telah menggelontorkan dana
sebesar NOK 1,5 miliar untuk hasil
pengurangan deforestasi dengan capaian
menengah (Norwegian Government, 2016c).
Berdasarkan data di atas diketahui
bahwa Program NICFI lebih efektif pada negara
yang memiliki hutan hujan tropis daripada
negara-negara di Afrika. Tantangan banyak di
hadapi terutama dalam ranah perkembangan
industri. Negara-negara berkembang
membutuhkan investasi dalam rangka
pembangunan. Seperti di Indonesia,
berkembangnya investasi sejalan dengan
naiknya laju deforestasi. Upaya akan
pengurangan deforestasi pun akan berbenturan
dengan kepentingan publik, apalagi jika
menyangkut pada masalah kesejahteraan.
Masyarakat Hal ini lah yang membuat
pembayaran oleh Norwegia mengalami
fluktuasi sesuai dengan hasil yang didapatkan.
Sejauh ini, penerima dana terbesar adalah
Brazil. Peran Norwegia sebagai negara
pendonor dalam upaya pembangunan berbasis
lingkungan ini mendapatkan banyak sanjungan
dalam masyarakat global. Norwegia dinilai
sebagai pemimpin akan gerakan hijau yang
mampu mengurangi dampak perubahan iklim.
Norwegia sebagai negara middle power pasca
perang dunia kedua pun mendapatkan simpati
dunia. Hal ini membawanya ke tatanan negara-
negara yang kuat dengan ekspor minyaknya
sekaligus negara pendukung konservasi
lingkungan. Norwegia yang menggunakan
niche diplomacy, menggantungkan diri dengan
niat baik orang lain daripada kekuatan fisiknya
sendiri. Upaya-upaya yang selama ini Norwegia
lakukan mengindikasikan pengupayaan akan
keamanan negara terhadap ancaman dunia di
mana negara-negara yang ia berikan dukungan
sumber daya adalah negara super power seperti
Amerika Utara dan Eropa Barat yang memiliki
armada terhebat di dunia.
Meskipun program ini dinilai berhasil
untuk kawasan tropis, Indonesia yang semula
bekerja sama dalam REDD+ memutuskan
untuk menterminasi kerja sama tersebut.
Program REDD+ memiliki potensi untuk
mendukung reformasi dalam sektor kehutanan
Indonesia, baik melalui pendanaan,
peningkatan kemampuan, atau transfer
teknologi, yang telah atau sedang berlangsung.
Akan tetapi implementasinya di Indonesia
mengalami banyak tantangan. Dalam
implementasi upaya pengurangan karbon
mengalami hambatan. Sejumlah isu pokok yang
masih belum terselesaikan, seperti sengketa
batas wilayah hutan, konflik kepemilikan tanah,
korupsi dalam sektor kehutanan, dan
ketidakpastian dalam perencanaan tata ruang
provinsi, menciptakan kompleksitas dalam
ranah ekologi politik yang dihadapi oleh
REDD+.
202 Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
Upaya pelaksanaan REDD+ yang
bertujuan untuk mengembalikan ekosistem
seperti semula juga berhadapan dengan
perluasan perkebunan kelapa sawit dan
tanaman industri lainnya. Negara, dengan
segala kuasanya, membagikan hak akses
kepada sumber daya ini kepada REDD+. Selain
itu, terjadi klaim hak atas sumber daya yang
harus dijaga. Dengan menggunakan narasi
tentang perubahan iklim, keberlanjutan, masa
depan, krisis karbon (mekanisme green
grabbing). Narasi-narasi ini akhirnya
menciptakan persepsi sosial dan mendukung
penerimaan REDD+ oleh masyarakat,
meskipun melibatkan mekanisme pasar. Pada
saat yang sama, mekanisme ini bersaing dengan
proyek-proyek perluasan lahan perkebunan
industri. Selain itu, klaim-klaim teritorial yang
luas oleh negara juga mengakibatkan eksklusi
masyarakat lokal dari akses dan peran dalam
hutan sekitarnya (Haekal & Suci, 2018).
4. Perbandingan Dampak Kebijakan
Terhadap Pengurangan Karbon,
Deforestasi dan Dampak Lingkungan.
Dari segi pengurangan karbon,
deforestasi dan dampak lingkungan kedua
negara memiliki upaya yang berbeda.
Pengurangan karbon menjadi salah satu beleid
dunia untuk menekan angka emisi gas rumah
kaca yang berdampak pada kondisi lingkungan
secara global (Barus & Wijaya, 2022).
Norwegia sebagai negara yang telah
memberlakukan kebijakan pengurangan karbon
dengan pemberlakuan pajak karbon (carbon
tax) dan perdagangan emisi gas rumah kaca
(greenhouse gas emission trading). Norwegia
adalah salah satu negara pertama di dunia yang
memperkenalkan pajak karbon, pada tahun
1991. Pajak ini dikenakan pada semua
pembakaran gas, minyak, dan diesel dalam
operasi perminyakan di landas kontinen dan
pada pelepasan CO2 dan gas alam, sesuai
dengan Undang-Undang Pajak CO2 untuk
Kegiatan Perminyakan. Untuk tahun 2022, tarif
pajak adalah NOK 1,65 per meter kubik standar
gas atau per liter minyak atau kondensat. Untuk
pembakaran gas alam, ini setara dengan NOK
705 per ton CO2. Untuk emisi gas alam, tarif
pajaknya adalah NOK 10,66 per meter kubik
standar. Untuk tahun 2023, pajak karbon adalah
NOK 1,78 per meter kubik gas dan NOK 2,03
per liter minyak atau kondensat. Untuk
pembakaran gas alam, ini setara dengan NOK
761 per ton CO2. Untuk emisi gas alam ke
udara, nilainya adalah NOK 13,67 per meter
kubik standar.
Kemudian, Undang-Undang
Perdagangan Emisi Gas Rumah Kaca Norwegia
mulai berlaku pada tahun 2005, dan Norwegia
bergabung dengan European Union Emission
Trading System (EU ETS) pada tahun 2008. Ini
berarti bahwa instalasi Norwegia di industri
perminyakan dan industri lain yang tunduk pada
sistem ini tunduk pada peraturan yang sama
untuk perdagangan emisi seperti yang berlaku
di Uni Eropa. EU ETS saat ini berada di fase
keempat, yang berlangsung hingga akhir 2030.
EU ETS adalah sistem cap and trade, yang
menetapkan cap, atau batas, pada total emisi
gas rumah kaca dalam sistem. Batas ini
berkurang dari tahun ke tahun sehingga target
emisi untuk sektor-sektor yang tercakup dalam
sistem ini dapat tercapai pada akhir periode.
Tunjangan emisi dialokasikan melalui lelang
atau gratis. Sektor-sektor yang dianggap
berisiko mengalami kebocoran karbon
menerima sebagian atau seluruh jatahnya secara
gratis. Hal ini berlaku untuk proporsi tertentu
dari emisi sektor minyak bumi yang mana ETS
berlaku. (Norwegian Petroleum, 2023).
Berlawanan dengan situasi di
Indonesia, peraturan mengenai pajak karbon
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan. Menurut peraturan ini, disebutkan
bahwa tarif pajak karbon terendah adalah Rp 30
per kilogram karbon dioksida setara. Tarif ini
sebenarnya jauh lebih rendah daripada usulan
awal yang mencapai Rp 75. Dengan tarif Rp 30
ini, Indonesia termasuk negara dengan pajak
karbon terendah di dunia. Regulasi ini
kemudian ditunda hingga tahun 2025 karena
pertimbangan pasar dan efektivitas
pelaksanaannya di Indonesia. Pajak karbon
masih belum diterima dengan baik oleh
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023 203
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
masyarakat Indonesia. Meskipun begitu,
Pemerintah melihat bahwa mekanisme pasar
merupakan salah satu syarat penting agar setiap
individu menyadari bahwa kualitas lingkungan
global sedang mengalami penurunan (Putri,
2023).
Gambar 3. Perbandingan Emisi Karbon
dan Emisi Karbon Per Kapita Norwegia
dan Indonesia
Sumber: World Population Review, 2023.
Dari data di atas, carbon footprint yang
dihasilkan oleh Indonesia setara sepuluh kali
lipat dari yang dihasilkan oleh Norwegia.
Dalam jangka waktu tiga tahun, Norwegia
berhasil menurunkan emisi karbonnya. Akan
tetapi Indonesia terjadi kenaikan 56,94 CO2 Mt.
Dari segi emisi per kapita yang diperoleh dari
kontribusi rata-rata penduduk setiap negara
dengan membagi total emisi dengan jumlah
penduduknya. Norwegia mampu menurunkan
nilainya, sedangkan Indonesia mengalami
kenaikan. Hal ini pun terlihat dengan
meningkatnya isu polusi yang terjadi di
beberapa daerah di Indonesia.
Deforestasi adalah proses
berkurangnya luas hutan akibat pengalihan
lahan untuk keperluan infrastruktur,
pemukiman, pertanian, pertambangan, dan
perkebunan. Laju deforestasi menjadi bagian
integral dari isu pemanasan global yang saat ini
terjadi. Berkurangnya tutupan lahan memicu
kerusakan lingkungan dan kebakaran hutan
yang memperburuk pemanasan global.
Kerusakan hutan di Indonesia terus meningkat
dan menyebabkan pengurangan luas hutan
setiap tahunnya, yang berdampak negatif bagi
Indonesia dan dunia. Berdasarkan data
Greenpeace, Indonesia menjadi negara
penyumbang emisi gas karbon terbesar ketiga
setelah Amerika Serikat dan Tiongkok, dengan
sekitar 80% emisi ini disebabkan oleh
pembakaran hutan. Selain itu, pembakaran
hutan juga memiliki dampak negatif pada
kesehatan manusia, seperti menyebabkan
masalah pernapasan yang berkepanjangan
(Wahyuni & Suranto, 2021).
Penurunan luas hutan di Indonesia
berakar dari tindakan manusia yang mengambil
sumber daya hutan untuk proyek-proyek
pembangunan, perkebunan, pertambangan, dan
infrastruktur. Dampaknya sangat merugikan
karena berpotensi merusak ekosistem.
Kewajiban untuk menjaga keberlanjutan alam
harus diperhatikan baik oleh pemerintah
maupun masyarakat. Pemerintah pun
cenderung menggunakan mekanisme penataan
penggunaan dan fungsi lahan untuk mengurangi
deforestasi tanpa mengganggu laju investasi di
sektor perkebunan. Selain itu, sanksi yang ketat
juga diberlakukan sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku. Di kawasan tertentu
seperti hutan lindung maupun konservasi,
sanksi yang diberikan cenderung lebih berat
(Dewi et al., 2023).
Berbeda dengan Indonesia, Norwegia
bukan hanya memperhatikan isu deforestasi
lokal namun juga merambah ke internasional.
Norway's International Climate and Forest
Initiative (NICFI) memimpin upaya
pengurangan deforestasi dikomandoi
Kementerian Iklim dan Lingkungan Norwegia
(Norwegian Government, 2020). Norwegia
mengalokasikan dana hingga 3 miliar NOK per
tahun untuk mengurangi deforestasi. Meskipun
inisiatif ini awalnya diperkirakan akan
berlangsung hingga tahun 2020, pemerintah
Norwegia berupaya memperpanjang program
ini hingga tahun 2030. Norwegia sejauh ini
telah mendukung upaya pengurangan
2017 CO2
Emissions
(Mt)
2020 CO2
Emissions
(Mt)
Indonesia 511,33 568,27
Norwegia 52,49 42,18
0
100
200
300
400
500
600
2017
Emissions
Per Capita
2020
Emissions
Per Capita
Indonesia 1,9 2,09
Norwegia 10 7,74
0
2
4
6
8
10
12
204 Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
deforestasi di lebih dari 70 negara. Pengurangan
deforestasi juga akan menjadi instrumen
penting untuk mencapai tujuan Paris
Agreement (INTERPOL, 2018).
Tabel 2. Perbandingan Deforestasi
Norwegia dan Indonesia
Norwegia
Indonesia
Kehilangan Tutupan Pohon
Kehilangan Tutupan Pohon
Tahunan oleh Pendorong
Dominan
Sumber: Global Forest Watch, 2023.
Dalam rentang waktu dari tahun 2001
hingga 2022, Norwegia mengalami penurunan
tutupan pohon sebesar 905 ribu hektar, yang
setara dengan penurunan sekitar 7.7% dalam
tutupan pohon sejak tahun 2000. Tidak terdapat
kehilangan tutupan pohon yang signifikan di
wilayah-wilayah Norwegia selama periode
2001-2022 yang disebabkan oleh pendorong
utama dari deforestasi. Di Norwegia, empat
wilayah utama, yaitu Hedmark (231 ribu
hektar), Oppland (113 ribu hektar), Buskerud
(98.1 ribu hektar), Telemark (67.4 ribu hektar),
dan Akershus (65.8 ribu hektar), berkontribusi
sebanyak 56% dari total penurunan tutupan
pohon. Hedmark adalah wilayah yang paling
signifikan mengalami penurunan tutupan
pohon, dengan penurunan sebesar 231 ribu
hektar, yang jauh melampaui rata-rata sebesar
47.7 ribu hektar (Global Forest Watch, 2023b).
Selama periode dari tahun 2002 hingga
2022, Indonesia mengalami penurunan hutan
primer basah sebesar 10.2 juta hektar, yang
berkontribusi sebanyak 35% dari total
hilangnya tutupan pohon dalam periode yang
sama. Selain itu, total luas hutan primer basah
di Indonesia juga berkurang sebanyak 11%
selama periode ini. Dalam rentang waktu dari
tahun 2001 hingga 2022, Indonesia mengalami
penurunan tutupan pohon sebesar 29.4 juta
hektar, setara dengan penurunan sebesar 18%
dalam tutupan pohon sejak tahun 2000, serta
setara dengan emisi CO₂e sebesar 21.1 gigaton.
Lebih lanjut, sebanyak 96% dari penurunan
tutupan pohon di Indonesia selama periode
2001-2022 terjadi di wilayah-wilayah di mana
faktor utama yang mendorong penurunan ini
adalah deforestasi. Empat wilayah utama di
Indonesia, yaitu Riau (4.09 juta hektar),
Kalimantan Barat (3.83 juta hektar),
Kalimantan Timur (3.63 juta hektar),
Kalimantan Tengah (3.60 juta hektar), dan
Sumatera Selatan (3.03 juta hektar),
bertanggung jawab atas 51% dari total
penurunan tutupan pohon antara tahun 2001 dan
2022. Riau merupakan wilayah yang
mengalami penurunan tutupan pohon paling
besar, yaitu sebesar 4.09 juta hektar, jauh
melebihi rata-rata sebesar 892 ribu hektar
(Global Forest Watch, 2023a).
Dampak lingkungan kedua negara
ditinjau dari data Environment Performance
Indeks (EPI). Perhitungan ini merupakan
representasi upaya nasional negara dalam
melindungi kesehatan lingkungan,
meningkatkan vitalitas ekosistem, dan
memitigasi perubahan iklim. Indikator-
indikator ini mengukur seberapa dekat negara-
negara dalam memenuhi target keberlanjutan
yang telah ditetapkan secara internasional untuk
dampak lingkungan (Yale Center for
Environmental Law & Policy, 2022). Indeks ini
melakukan pemeringkatan dari 180 negara di
mana posisi Norwegia sebagai negara dengan
kebijakan mitigasi dampak lingkungan terbaik
berada di peringkat 20 (Skor 59.3), sedangkan
Indonesia berada di peringkat 164 (Skor 28.2).
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023 205
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
Tabel 3. Perbandingan Penilaian Kebijakan
Mitigasi Dampak Lingkungan Berbasis EPI
Komponen
Kebijakan
Norwegia
Indonesia
Vitalitas
ekosistem
57,60
34,10
Keanekaragaman
Hayati
71,20
51,20
Perlindungan
Ekosistem
30,80
13,60
Perikanan
39.70
16,30
Agrikultur
11,80
21,60
Pengasaman
100,00
43,90
Pengolahan air
limbah
64,30
NA
Kesehatan
92,20
25,30
Kualitas Udara
92,40
21,50
Sanitasi air
minum
100,00
28,50
Logam berat
93,00
34,00
Pengelolaan
limbah
70,70
29,50
Kebijakan Iklim
43,90
23,20
Perubahan iklim
43,90
23,20
Sumber: Yale Center for Environmental Law
& Policy, 2022.
Ditinjau dari tiap penilaian komponen
kebijakan terlihat bahwa Norwegia jauh lebih
unggul terkait mitigasi dampak lingkungan.
Indonesia hanya unggul pada sektor agrikultur
di mana sektor tersebut merupakan sektor
unggulan dalam negeri. Kekhawatiran terletak
pada kebijakan pengelolaan limbah. Masifnya
pelepasan limbah secara tidak
bertanggungjawab menyebabkan dampak
lingkungan yang begitu besar.
SIMPULAN
Dalam segi tata kelola kebijakan
Indonesia terhadap pengelolaan energi baru
terbarukan masih membutuhkan penguatan
internal dan pengembangan berkala.
Perbandingan kebijakan keamanan energi
Indonesia dan Norwegia sebagai bagian dari
Negara Nordik menunjukkan bahwa dalam segi
pembatasan energi Norwegia lebih berani
meningkatkan harga bahan bakar fosilnya
sehingga konsumsinya dapat berkurang guna
mendukung transisi energi. Indonesia sendiri
sejak energi baru terbarukan belum optimal
sehingga pembatasan energi dengan
peningkatan harga BBM pun kurang
berpengaruh dan bahkan mengalami kenaikan
konsumsi di tahun 2022. Pencadangan energi
terbarukan di Indonesia juga belum terlaksana
mengingat kondisi iklim tropis yang
memungkinkan angin dan matahari tersedia
sepanjang tahun. Kemudian, terkait
diversifikasi, Indonesia terletak di lokasi
strategis ring of fire dan khatulistiwa sehingga
potensi energi baru terbarukan pun lebih
banyak. Namun, dalam konteks ini
pemanfaatannya masih belum optimal dalam
penyediaan energi nasional.
Selanjutnya, kebijakan pengelolaan
energi terbarukan bagi Norwegia menjadi salah
satu pemanfaatan geopolitik negara middle
power”. Surplus energi membuat Negara
Nordik ini menjadi eksportir yang menyuplai
negara adidaya Eropa Barat sehingga memicu
ketergantungan suplai energi. Selain itu,
pergerakan kampanye hijau yang mengajak
negara-negara berkembang dalam NICFI dan
REDD+ semakin menguatkan posisinya dalam
perpolitikan lingkungan global. Indonesia yang
semula bekerja sama dalam program tersebut
menemui berbagai hambatan mulai dari
pengelola REDD+ internal Indonesia,
perlawanan masyarakat, dan Result Based
Payment (RBP) sebagai kompensasi
keberhasilan pengurangan karbon dan
deforestasi. Dengan kebijakan Indonesia yang
pro investasi pun, program ini bersaing dengan
kebijakan industri sawit yang kian berkembang.
Hasil dari kebijakan terkait energi bersih
berbasis wawasan lingkungan pun dapat terlihat
dari kondisi pengurangan karbon, deforestasi
dan dampak lingkungan. Norwegia pun unggul
dalam ketiga sektor tersebut. Indonesia lebih
tertinggal dari Norwegia dalam hal kebijakan
dampak lingkungan. Beberapa kebijakan yang
diadopsi pun masih menemui kesukaran.
Kebijakan pemanfaatan energi baru terbarukan
bukan hanya solusi bagi perubahan lingkungan
ekstrem, namun juga kebijakan lain perlu
diintegrasikan secara komprehensif untuk
206 Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
mengurangi dampak lingkungan potensial
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Addinul Yakin. (2011). Prospek Dan Tantangan
Implementasi Pasar Karbon Bagi
Pengurangan Emisi Deforestasi Dan
Degradasi Hutan Di Kawasan ASEAN.
Seminar Nasional ASEAN Dan
UNRAM 2011, 0122.
Aprillia, D. M. (2016). Faktor-Faktor
Penghambat Implementasi Kerjasama
Indonesia Dan Norwegia Dalam Skema
Redd+ Di Kabupaten Kapuas Provinsi
Kalimantan Tengah (2013-2015). JOM
Fisip, 3(2), 115.
Arsita, S. A., Saputro, G. E., & Susanto. (2021).
Perkembangan Kebijakan Energi
Nasional dan Energi Baru Terbarukan
di Indonesia. Jurnal Syntax
Transformation, 2(12), 17791788.
Bakken, T. H., Sundt, H., Ruud, A., & Harby,
A. (2012). Development of small
versus large hydropower in Norway
comparison of environmental impacts.
Energy Procedia, 20(1876), 185199.
Barus, E. B., & Wijaya, S. (2022). Penerapan
Pajak Karbon Di Swedia Dan Finlandia
Serta Perbandingannya Dengan
Indonesia. JURNAL PAJAK
INDONESIA (Indonesian Tax Review),
5(2), 256279.
Bollino, C. A., & Galkin, P. (2021). Energy
security and portfolio diversification:
Conventional and novel perspectives.
Energies, 14(14), 124.
Cangkang Sawit. (2018). Pengertian Biomassa.
https://cangkangsawit.id/bisnis-
cangkang-sawit/pengertian-biomassa/
Dewan Energi Nasional. (2016). Tentang
Dewan Energi Nasional.
Dewi, R. U. I., Zuhaiery, A., Sa’diyah, N. H.,
Rizqiya, T. F., & Nurpratiwi, H. (2023).
Harmonisasi Masyarakat Dan
Pemerintah Untuk Mengatasi
Deforestasi. Dewantara: Jurnal
Pendidikan Sosial Humaniora, 2(2),
149157.
Direktorat Pengendalian Perubahan Iklim.
(2019). Pertanyaan Seputar REDD+
dan Implementasi REDD+ di
Indonesia.
http://ditjenppi.menlhk.go.id/berita-
ppi/33-beranda/1804-faq.html
Energy Information Administration, U. (2020).
Country Analysis Executive Summary:
Norway Petroleum and other liquids. 1
6.
Farid, M. (2016). Keamanan Energi dalam
Politik Luar Negeri Indonesia.
Prosiding Interdisciplinary
Postgraduate Student Conference 2nd,
2, 7180.
Froggatt, A., Stevens, P., & Bradley, S. (2020).
Expert Perspectives on Norway’s
Energy Future. Energy, Environment
and Resources Programme, June.
Global Forest Watch. (2023a). Indonesia.
https://www.globalforestwatch.org/das
hboards/country/IDN/?category=undef
ined
Global Forest Watch. (2023b). Norwegia.
https://www.globalforestwatch.org/das
hboards/country/NOR/?category=unde
fined
Gociu, A. (2021). The Norwegian Petroleum
Regulatory Framework and the
Transition to Green Energy. Queen
Mary Law Journal, June 2020, 3363.
Haekal, L., & Suci, P. E. (2018). Kuasa dan
Eksklusi REDD+ sebagai “Climate
Leviathan” dan Alih Fungsi Lahan di
Indonesia. BALAIRUNG: Jurnal
Multidisipliner Mahasiswa Indonesia,
1(1), 109125.
Hall, M. (2018). Norwegian Gas Exports:
Assessment of Resources and Supply to
2035. In Oxford Institute for Energy
Studies (Issue NG127). OXFORD
University Press.
Halsnæs, K., Bay, L., Kaspersen, P. S., Drews,
M., & Larsen, M. A. D. (2021). Climate
Services for Renewable Energy in the
Nordic Electricity Market. MDPI
Journal, 9(46), 118.
Ikhtiarin, D. A., Agustin, V. M., Nethan, A.,
Diana, M. V., Yuel, B., Dwi Wiratma,
H., & Subandi, Y. (2023). Dinamika
Kerja Sama Indonesia-Norwegia Di
Bidang Lingkungan Hidup Melalui
Program Reducing Emissions From
Deforestation and Forest Degradation
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023 207
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
(Redd+) Tahun 2017-2021. Dinamika
Sosial, 7(1), 5665.
Index Mundi. (2023). Crude Oil (petroleum)
Monthly Price - US Dollars per Barrel.
http://www.indexmundi.com/commodi
ties/?commodity=crude-
oil&months=360
Institute for Economics and Peace. (2020).
GLOBAL PEACE INDEX 2020:
Measuring peace in a complex world.
INTERPOL. (2018). Norway steps up fight
against illegal deforestation with UN,
INTERPOL.
https://www.interpol.int/fr/ Actualites-
et- evenements/Actualites/2018/
Norway-steps-up-fight-against-illegal-
deforestation-with-UN-
INTERPOL#:~: text=Norway’s Prime
Minister Jens Stoltenberg,to extend it
through 2030.
Kamimoto, M., Maurice, L., Nyboer, J., Urama,
K., & Weir, T. (2013). Renewable
Energy and Climate Change. In
Intergovernmental Panel on Climate
Change. Cambridge University Press.
Kementerian ESDM RI. (2022a). Indonesia -
Nordik Sepakat Tingkatkan Kerja Sama
Energi Bersih.
https://www.esdm.go.id/id/ media-
center/arsip-berita/indonesia-nordik-
sepakat-tingkatkan-kerja-sama-energi-
bersih
Kementerian ESDM RI. (2022b). The 9th
Indonesia-Norway Bilateral Energy
Consultations.
https://migas.esdm.go.id/
post/read/the-9th-indonesia-norway-
bilateral-energy-consultations
Kementerian ESDM RI. (2023). Pemerintah
Optimistis EBT 23% Tahun 2025
Tercapai.
https://www.esdm.go.id/id/berita-
unit/direktorat-jenderal-
ketenagalistrikan/ pemerintah-
optimistis-ebt-23-tahun-2025-
tercapai#:~:text=Indonesia memiliki
potensi besar cadangan,apabila telah
dikelola dengan baik.
Laktuka, K., Pakere, I., Kalnbalkite, A.,
Zlaugotne, B., & Blumberga, D.
(2023). Renewable energy project
implementation: Will the Baltic States
catch up with the Nordic countries?
Utilities Policy, 82(May 2022),
101577.
Lestari, N. (2019). Factors causing failure of the
REDD+ program implementation in
central Kalimantan. Jurnal Manajemen
Hutan Tropika, 25(1), 2834.
Mawangi, G. T. (2020, July 5). Norwegia Bayar
Rp812,86 M ke Indonesia Karena
Berhasil Turunkan Emisi. Antara News.
Michel, J., Kallweit, K., & von Pfeil, E. (2014).
Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation
(REDD) (M. Köhl & L. Pancel, Eds.;
pp. 121). Springer Berlin Heidelberg.
Moleong, L. J. (2017). Metode Penelitian
Kualitatif. Remaja Rosdakarya.
Neupane, B., Vereide, K., & Panthi, K. K.
(2021). Operation of norwegian
hydropower plants and its effect on
block fall events in unlined pressure
tunnels and shafts. Water (Switzerland),
13(11), 120.
NICFI. (2019). Equador.
https://www.nicfi.no/partner-
countries/ecuador/
Nordic Energy Research. (2017). Summaries of
Nordic Energy Commission reports.
2014(August).
Nordic Energy Research. (2021). Nordics Lead
Europe in Renewables.
https://www.nordicenergy.org/article/n
ordics-lead-europe-in-renewables/
Norges Bank. (2023). Petrolium Price in
Norway.
https://oilpricez.com/no/norway-oil-
price
Norwegian Government. (2016a). Ethiopia.
https://www.regjeringen.no/en/topics/c
limate-and-
environment/climate/climate-and-
forest-initiative/kos-innsikt/Ethiopia/
id751782/
Norwegian Government. (2016b). Guyana.
https://www.regjeringen.no/en/topics/c
limate-and-
environment/climate/climate-and-
forest-initiative/kos-innsikt/guyana/id
734164/
Norwegian Government. (2016c). Peru.
https://www.regjeringen.no/en/topics/c
208 Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
limate-and-
environment/climate/climate-and-
forest-initiative/kos-innsikt/peru/id234
5605/
Norwegian Government. (2016d). The Congo
Basin. https://www.regjeringen.no/en/
topics/ climate-and-
environment/climate/c limate-and-
forest-initiative/kos-innsikt/ congo-
basin-fund/id734156/
Norwegian Government. (2017). Indonesia.
https://www.regjeringen.no/en/topics/c
limate-and-
environment/climate/climate-and-
forest-initiative/kos-innsikt/-
indonesia/id 734 165/
Norwegian Government. (2018). Brazil.
https://www.regjeringen.no/en/topics/c
limate-and-
environment/climate/climate-and-
forest-initiative/kos-innsikt/brazil-and-
the-amazon-fund/id734166/
Norwegian Government. (2019). Renewable
energy production in Norway. Ministry
of Petroleum and Energy.
https://www.regjeringen.no/en/topics/e
nergy/renewable-energy/renewable-
energy-production-in-
norway/id2343462/
Norwegian Government. (2020a). Norm Price
for Crude Oil Produced on the
Norwegian. 134.
Norwegian Government. (2020b). Norway’s
International Climate and Forest
Initiative (NICFI).
https://www.regjeringen.no/en/topics/c
limate-and-
environment/climate/climate-and-
forest-initiative/id2000712/
Norwegian Petroleum. (2023). Instruments To
Reduce Greenhouse Gas Emissions.
https://www.norskpetroleum.no/en/env
ironment-and-technology/emissions-
to-air/
Nunuk Febriananingsih. (2019). Tata Kelola
Energi Terbarukan Di Sektor
Ketenaglistrikan Dalam Kerangka
Pembangunan Hukum Nasional.
Majalah Hukum Nasional, 49(2), 29
56.
Øygarden kommune Norway. (2019). Ocean
Wave Power Plants.
https://www.atlasobscura.com/places/o
cean-wave-power-
plants#:~:text=Norway began toying
with the,power plant opened at
Toftestallen.
P3TKEBT. (2021). Peta Potensi Energi Hidro
Indonesia 2020.
https://p3tkebt.esdm.go.id/ news-
center/arsip-berita/peta-potensi-energi-
hidro-indonesia-2020
Putri, C. A. (2023, February 2). Pajak Karbon
di RI “Ngaret”, Sri Mulyani: Ini Rumit!
CNBC Indonesia.
Ramadhani, A. (2018). Evolusi Konsep
Keamanan Energi. Global: Jurnal
Politik Internasional, 19(2), 98.
Renewable Energy Indonesia. (2023).
Kebijakan Energi Terbarukan dan
Kedudukan Energi Terbarukan di
Indonesia Saat Ini.
https://renewableenergy.id/kebijakan-
energi-terbarukan/#:~:text=Kebijakan
energi terbarukan di
Indonesia,pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya.
Sugiyono. (2018). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (23rd
ed.). CV. Alfabeta.
The Explorer. (2020). This world-leading,
North Sea test centre holds the future
for floating wind power.
https://www.theexplorer.no/
stories/energy/this-world-leading-
north-sea-test-centre-holds-the-future-
for-floating-wind/?gclid=
The Ministry of Petroleum and Energy of
Norway. (2020). Norway’s oil history
in 5 minutes.
https://www.regjeringen.no/en/topics/e
nergy/oil-and-gas/norways-oil-history-
in-5-minutes/id440538/
The World Bank. (2021). Global Flaring And
Venting Regulations.
https://flaringventingregulations.world
bank.org/norway#:~:text=Norway has
imposed restrictions on,related policies
(Meland 2022).
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023 209
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
Umiyani, A. (2023, September 8). Harga BBM
Pertamina 8 September 2023 Terbaru di
Seluruh SPBU. INews.
Wahyuni, H., & Suranto, S. (2021). Dampak
Deforestasi Hutan Skala Besar terhadap
Pemanasan Global di Indonesia. JIIP:
Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 6(1),
148162.
https://doi.org/10.14710/jiip.v6i1.1008
3
World Population Review. (2023). Carbon
Footprint by Country 2023.
https://worldpopulationreview.com/co
untry-rankings/carbon-footprint-by-
country
Yale Center for Environmental Law & Policy.
(2022). 2022 Environmental
Performance Index Results. EPI
(Environmental Performance Index), 1.
https://epi.yale.edu/epi-results/2022/
component/epi
210 Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Volume 49 No. 2, November 2023
Kebijakan Pemerintah Untuk Energi Terbarukan di Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara-Negara Kawasan Nordik)
(Kiki Apriliyanti, Darlin Rizky Zega)
... Human resources play a pivotal role in ensuring the success of energy transition efforts in any region. This readiness can be assessed by the public's understanding of efficient electricity usage and their awareness of renewable energy (Apriliyanti & Rizki, 2023). In Indonesia and Thailand, communities still face challenges in implementing proper and efficient electricity usage. ...
Article
Many countries are transitioning from conventional energy to renewable energy sources. This transformation requires support through socialization and training activities targeting all sectors of society, including educators in schools. The Al-Hidayah Waqaf Foundation in Thailand is an educational institution with educators who have limited knowledge regarding the implementation of renewable energy as part of energy diversification efforts. Collaborative activities were conducted with the Al-Hidayah Waqaf Foundation in Thailand through socialization and training on renewable energy. The outcomes of these activities provided educators with increased knowledge, information, and perspectives on renewable energy.
Article
Full-text available
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat bagaimana tarif dan mekanisme penerapan pajak karbon di Swedia dan Finlandia untuk kemudian dibandingkan dengan rencana penerapannya di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021. Metode penelitian yang digunakan berupa kualitatif deskriptif dengan metode pengumpulan data berupa wawancara dan studi literatur. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Swedia, yang memiliki tarif pajak karbon tertinggi di dunia, berhasil menekan emisi karbonnya dan tanpa memberikan dampak negatif bagi perekonomian negaranya. Serupa dengan Finlandia, yang merupakan negara pertama yang menerapkan pajak karbon di dunia, berhasil menekan emisi karbonnya dan tanpa memberikan dampak negatif bagi perekonomian negaranya. Indonesia akan mulai menerapkan pajak karbon sejak April 2022 atas sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap-batu bara, dimana mekanisme yang diterapkan adalah Cap-and-Tax yakni gabungan dari perdagangan karbon dan emisi karbon. Tarif pajak karbon yang diterapkan adalah sama dengan harga karbon di pasar karbon namun tidak boleh kurang dari Rp30 per kilogram CO₂ ekuivalen.
Article
Full-text available
Despite the recent expansion of the scope, the main pillars of energy security remain physical supply and price components. This paper highlights the novel developments of this notion, including the exporters’ perspective, relevant challenges, indicators, and policies. Furthermore, we apply the portfolio theory approach to five Gulf Cooperation Council countries to construct portfolios representing the trade-offs between maximizing returns (oil export growth or export prices) and minimizing risks (standard deviation of return variables). We assess portfolios’ resilience to external demand and logistical shocks by running several disruptive scenarios. We find that oil exporters adopt a balanced approach to the risks associated with export volume growth and pricing, which is different from some major oil importers that prioritize either the physical supply or price stability. Simulation scenarios of increasing oil exports to China would have a significant impact mainly on Saudi Arabia and the United Arab Emirates (UAE), but not on the others, while scenarios of reduced oil exports to the United States would impact mainly Saudi Arabia and Kuwait. A blockade of the Malacca Strait would reduce export volumes and increase portfolio risks for all five economies, with Kuwait and Oman most affected.
Article
Full-text available
The main objective of this study is to investigate the effect of hydropower plant operation on the long-term stability of unlined pressure tunnels of hydropower plants in Norway. The authors analyzed the past production data of some hydropower plants to find out the number of starts/stops and the frequency and magnitude of load changes. The study demonstrates that an average of 200–400 start/stop events are occurring per turbine per year for the analyzed period, with an increasing trend. Currently, 150–200 large load changes per turbine smaller than 50 MW are occurring every year, and this is expected to increase by 30–45% between 2025 and 2040 for one of the studied power plants. Most importantly, the monitored pressure transients and pore pressure response in the rock mass during real-time operation at Roskrepp power plant are presented. A new method is proposed to calculate and quantify the hydraulic impact (HI) of pressure transients on rock joints and the effect of duration of shutdown/opening, which is found to be the most dominant parameter affecting the magnitude. The results show that faster shutdown sequences cause unnecessary stress in rock mass surrounding pressure tunnel. The hydraulic impact (HI) can be more than 10 times higher when the shutdown duration is reduced by 50 percent. The study recommends that duration of normal shutdowns/openings in hydropower plants should be slower so that hydraulic impacts on the rock joints are reduced and cyclic hydraulic fatigue is delayed, prolonging the lifetime of unlined pressure tunnels and shafts.
Article
Full-text available
Deforestation in the context of climate change Deforestation in Southeast Asia is more becomes a crucial issue. serious than in Amazonia and Central Africa due to forest clearing done for economic activities such as agriculture and timber production. mong the. In order to A ASEAN countries, Indonesia contributes to the biggest number solve this issue, Indonesia cooperates with the Government of Norway to implement the Reducing Emission from Degradation and Deforestation Plus REDD+) program. The program is implemented in several regions in Indonesia as pilot projects. One of them is in Central Kalimantan. Although many resources are spent to support the success of the program in Central Kalimantan, it seems that the program does not successfully solve the problem for Central Kalimantan Province suffers. Therefore, aims (high degradation and deforestation this study to investigate the cause of failure in implementing REDD+ in Central Kalimantan s the program by using the bottom-up implementation model applied a qualitative method were. This study. The informants in this study government and non-government agent involved in REDD+ in Central Kalimantan, such as Lembaga Dayak Panarung, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara of Central Kalimantan, and Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. s the implementation Data collected using interview and observation. Collected data from interview and observation were supported by secondary data. were This study found that there are two major problems causing the failure of REDD+ implementation. The first problem is the communities. They different perceptions between thought that the REDD+ program was ed to certain groups. Furthermore, the practice of bad forestry governance trigger bad implementation. a project that only benefit s
Chapter
Full-text available
This Intergovernmental Panel on Climate Change Special Report (IPCC-SRREN) assesses the potential role of renewable energy in the mitigation of climate change. It covers the six most important renewable energy sources – bioenergy, solar, geothermal, hydropower, ocean and wind energy – as well as their integration into present and future energy systems. It considers the environmental and social consequences associated with the deployment of these technologies and presents strategies to overcome technical as well as non-technical obstacles to their application and diffusion. SRREN brings a broad spectrum of technology-specific experts together with scientists studying energy systems as a whole. Prepared following strict IPCC procedures, it presents an impartial assessment of the current state of knowledge: it is policy relevant but not policy prescriptive. SRREN is an invaluable assessment of the potential role of renewable energy for the mitigation of climate change for policymakers, the private sector and academic researchers.
Article
Full-text available
This study has compared the accumulated environmental impacts from 27 small-scale hydropower plants with 3 large hydropower projects. The results show a slight tendency that large hydropower has a lower degree of impacts than many small-scale projects, but lack of precision in the data and weak methodological foundation introduces uncertainty in the results. Taking into account other benefits such as the provision of regulated power, it is reasonable to assume that a few large hydropower projects will produce electricity to a lower environmental cost compared to many small projects, which should be considered when realizing renewable energy policy objectives.
Article
The research identifies and describes administrative procedures for implementing RES electricity generation infrastructure projects in Baltic and Nordic countries. The administrative processes of installing small to large solar parks and onshore wind farms for electricity generation were assessed, looking at several criteria such as the timeline, complexity, information availability, impact of public opinion, and local authorities (municipalities). The methodology developed allows evaluating administrative procedures using a multi-criteria analysis method, resulting in a single-score quantification that can be further utilized in complex energy simulation models. The obtained results allow identifying the potential recommendations for process optimization in the analysed countries. For instance, the introduction of a single point of contact as in Norway, the consolidation of the environmental impact assessment and spatial planning phases as in Finland, and the simplification of the microgeneration and small-scale installation permitting process as in Lithuania.
Article
Kebijakan terkait energi di Indonesia kian mengalami dinamika namun secara garis besar mulai mengarah ke transisi energi terbarukan. Dalam rangka mengurangi emisi karbon, Indonesia turut mengatur perundang-undangan tentang energi yang dapat melanggengkan pelaksanaan program pembangunan dengan landasan energi terbarukan dalam Kebijakan Energi Nasional. Melalui studi pustaka dari berkas perundang-undangan hingga berita terkini, penulis menunjukkan bagaimana perkembangan dari kebijakan energi Indonesia dan khususnya dalam upaya Indonesia dalam transisi ke arah energi terbarukan. UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi menjadi dasar dalam pengembangan aturan-aturan terkait rancangan energi baru dan terbarukan. Dalam memaksimalkan bauran energi baru dan terbarukan, pemerintah melakukan pembangunan pembangkit listrik tenaga energi terbarukan khususnya untuk mengatasi masalah rasio elektrifikasi, dukungan terhadap pengaturan regulasi energi terbarukan, memaksimalkan lembaga Dewan Energi Nasional dan lembaga lain, penetapan target-target khusus, hingga mengadakan bentuk kerja sama bilateral di tingkat internasional
Chapter
Emissions caused from deforestation and forest degradation are a major source of global anthropogenic greenhouse gases (GHG). Economic analysis suggests that reducing emissions from the forest sector offers a comparatively cost-effective opportunity to cut GHG, providing an incentive for forest-rich countries in the tropics to get “REDD-ready”. This chapter provides an overview of the REDD mechanism. First, we introduce what lies at the heart of this economic instrument: forest carbon pools. Subsequently, central REDD building blocks will be described, including policy and strategy considerations; measurement, reporting and verification (MRV); baseline construction; and benefit-sharing arrangements. Finally, multilateral actors as well as the voluntary carbon market will be introduced, demonstrating that REDD implementation is advancing on the ground.
Faktor-Faktor Penghambat Implementasi
  • D M Aprillia
Aprillia, D. M. (2016). Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Kerjasama Indonesia Dan Norwegia Dalam Skema Redd+ Di Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah (2013-2015). JOM Fisip, 3(2), 1-15.