BookPDF Available

METOMIL ZAT AKTIF DALAM PROSES DEGRADASI SEL

Authors:
  • University Brawijaya Malang
i
METOMIL
ZAT AKTIF DALAM PROSES DEGRADASI SEL
ii
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i
untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta
atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c,
huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta
atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak
Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
iii
METOMIL
ZAT AKTIF DALAM PROSES DEGRADASI SEL
iv
METOMIL
ZAT AKTIF DALAM PROSES DEGRADASI SEL
©2022
Penulis :
Diana Arfiati
Sri Andayani
Nurhalisa
Hartati Kartikaningsih
Rizki Kusma Pratiwi
Zakiyah Nur Inayah
Desain Cover & Penata Isi
Tim MNC Publishing
Cetakan I, Desember 2022
Diterbitkan oleh :
Media Nusa Creative
Anggota IKAPI (162/JTI/2015)
Bukit Cemara Tidar H5 No. 34, Malang
Telp. : 0812.3334.0088
E-mail : medianusacreative@gmail.com
Website : www.mncpublishing.com
ISBN 978-623-175-055-6
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan
sebagian atau seluruh isi buku ke dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun
mekanis, termasuk fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya,
tanpa izin tertulis dari Penulis dan/ atau Penerbit. Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2000 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal 72, Ayat (1), (2), dan (6)
v
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. vii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... ix
BAB 1 PERMASALAHAN DALAM PENGGUNAAN
PESTISIDA PADA BIDANG PERTANIAN ....................... 1
1.1 PESTISIDA PADA BIDANG PERTANIAN .......................... 2
1.2 INSEKTISIDA BERBAHAN AKTIF METOMIL ................... 2
1.3 MEKANISME MASUKNYA RESIDU METOMIL KE
LINGKUNGAN PERAIRAN ................................................... 4
1.4 MEKANISME DEGRADASI METOMIL DI
LINGKUNGAN PERAIRAN ................................................... 6
1.5 ASETONITRIL SEBAGAI PRODUK DEGRADASI
METOMIL ................................................................................ 14
1.6 POTENSI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
TERKONTAMINASI ASETONITRIL ................................... 15
BAB 2 ASETONITIRIL SEBAGAI PRODUK DEGRADASI
METOMIL DALAM DEGRADASI SEL ............................ 19
2.1 MEKANISME ASETONITRIL MASUK KE DALAM
TUBUH IKAN NILA (Oreochromis niloticus) ....................... 20
2.2 EFEK TOKSIK ASETONITRIL TERHADAP INSANG
IKAN ......................................................................................... 21
2.3 MEKANISME PERJALANAN ASETONITRIL DI
DALAM TUBUH ..................................................................... 25
2.4 NASIB ASETONITRIL DI HATI DAN EFEK KERUSKAN
YANG DITIMBULKAN ......................................................... 27
2.5 NASIB ASETONITRIL DI GINJAL DAN EFEK
KERUSKAAN YANG DITIMBULKAN ............................... 33
2.6 EFEK TOKSIK ASETONITRIL TERHADAP TUBUH
IKAN ......................................................................................... 36
2.7 STUDI TOKSIKOLOGI METOMIL PADA IKAN .............. 46
vi
BAB 3 DETEKSI RESIDU METOMIL DI LINGKUNGAN ....... 51
3.1 KONTROL KUALITAS PESTISIDA ..................................... 52
3.2 DETEKSI RESIDU METOMIL DI LINGKUNGAN ............ 53
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 61
GLOSARIUM .......................................................................................... 81
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur kimia metomil ....................................................... 4
Gambar 2. Pergerakan pestisida dalam siklus hidrologi ............... 6
Gambar 3. Reaksi kimia degradasi metomil di lingkungan
perairan................................................................................ 10
Gambar 4. Penjelasan reaksi kimia degradasi metomil di
lingkungan perairan .......................................................... 11
Gambar 5. Reaksi penataan ulang Beckmann, eliminasi metomil
oxime, dan menghasilkan asetonitril .............................. 12
Gambar 6. Reaksi penataan ulang Beckmann, eliminasi, dan
menghasilkan asetonitril ................................................... 12
Gambar 7. Reaksi berikatan antar unsur. ........................................... 14
Gambar 8. Struktur kimia asetonitril .................................................. 15
Gambar 9. Peluang ikan nila terkontaminasi asetonitril.................. 16
Gambar 10. Migrasi pestisida melalui rantai makanan ..................... 17
Gambar 11. Mekanisme asetonitril masuk ke dalam tubuh ikan
nila (O. niloticus) ................................................................. 20
Gambar 12. Reaksi aksi ikatan hidrogen dengan hidroksil dan
asetonitril pada difusi sederhana untuk masuk ke
dalam sirkulasi darah ........................................................ 21
Gambar 13. Mekanisme masuknya air membawa asetonitril ke
dalam insang ....................................................................... 22
Gambar 14. Gambaran histologi insang ikan ...................................... 24
Gambar 15. Perjalanan asetonitril di dalam tubuh bersama aliran
darah .................................................................................... 25
Gambar 16. Sturktur anatomi tubuh ikan dan peredaran darah ...... 27
Gambar 17. Struktur anatomi hati (hepar) ........................................... 29
Gambar 18. Metabolisme asetonitril di hati ......................................... 31
Gambar 19. Penjelasan metabolisme asetonitril di hati...................... 32
Gambar 20. Jaringan hati ikan menunjukkan degenerasi vacuolar
dengan penyumbatan sinusoid ........................................ 33
Gambar 21. Struktur anatomi ginjal kaitannya dengan fungsi
kerja ...................................................................................... 34
viii
Gambar 22. Jaringan ginjal ikan menunjukkan degenerasi
hidropik (panah 1) dan nekrosis (panah 2) .................... 35
Gambar 23. Efek toksik sianida di dalam tubuh ................................. 36
Gambar 24. Diagram alir terkait efek toksik sianida di dalam
tubuh .................................................................................... 37
Gambar 25. Bentuk ikatan sianida dengan ferri (Fe3+) ....................... 39
Gambar 26. Reaksi pembentukan ROS oleh mitokondria dan
NADPH oksidase ............................................................... 39
Gambar 27. Reaksi berikatan asam arakidonat (PUFA) dengan
radikal bebas sehingga menghasilkan MDA ................. 40
Gambar 28. Penjelasan reaksi berikatan antara asam arakidonat
(PUFA) dengan radikal bebas superoksida dan
hidroksil radikal sehingga menghasilkan MDA ............ 41
Gambar 29. Reaksi berikatan antara MDA dengan protein (amina
grup-NH2) ........................................................................... 42
Gambar 30. Penjelasan reaksi berikatan antara MDA dengan
protein (amina grup-NH2) ................................................ 42
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Studi toksikologi bahan aktif metomil pada ikan nila ......... 49
Tabel 2. Metode deteksi dan ekstraksi sampel .................................... 53
Tabel 3. Metode deteksi pestisida ......................................................... 55
Tabel 4. Metode deteksi lainnya ............................................................ 57
Tabel 5. Metode ekstraksi sampel ......................................................... 57
x
Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian | 1
2 | Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian
1.1 PESTISIDA PADA BIDANG PERTANIAN
Pestisida merupakan bahan kimia yang digunakan untuk
melindungi tanaman pertanian dari hama yang dianggap
merugikan atau mengganggu dalam proses budidaya. Fungsi
utama pestisida adalah untuk memastikan kualitas hasil panen
akan berhasil dengan baik. Namun, penggunaan pestisida sebagai
pengendali hama yang berlebihan dan tidak rasional akan
berdampak negatif yaitu munculnya residu pestisida dan
pencemaran lingkungan. Pencemaran akibat residu pestisida telah
menyebabkan kekhawatiran luas di negara-negara di seluruh
dunia (Carvalho, 2017; Meng et al., 2022).
Penggunaan pestisida sulit dipisahkan dari kegiatan
pertanian terutama ketika padi ditanam di lahan, untuk
meningkatkan produksi baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Pestisida digunakan di sawah, terutama pada awal musim tanam.
Sebagian pestisida yang digunakan akan masuk dan larut ke
dalam air dan mencemari perairan (Atifah et al., 2019). Praktik
penggunaan pestisida oleh petani biasanya tidak didasarkan pada
faktor lingkungan, tetapi hanya insting dengan harapan pestisida
tersebut merata di seluruh areal yang diperlukan. Praktik yang
umum dilakukan oleh petani adalah menyemprotkan pestisida
dengan dosis tertentu (Jamin dan Erlangga, 2016).
Tingkat pengetahuan petani terhadap penggunaan
pestisida menurut Hudha dan Husamah (2015) dikatakan kurang
baik jika melakukan kegiatan seperti mencampur beberapa jenis
pestisida tanpa membaca bahan aktif dan label yang terdapat pada
kemasan. Pencampuran pestisida sering dilakukan hanya
berdasarkan pengalaman sesama petani. Selain itu takaran,
periode penyemprotan dan jumlah zat yang dicampurkan
seringkali di luar prosedur, sehingga dapat berdampak pada
pencemaran lingkungan. Menurut Shankar et al. (2013),
penggunaan pestisida di bidang pertanian untuk mengendalikan
hama juga akan berdampak pada organisme non target seperti
ikan dan mempengaruhi kesehatan ikan melalui gangguan
metabolisme, kadang-kadang sampai menyebabkan kematian.
Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian | 3
1.2 INSEKTISIDA BERBAHAN AKTIF METOMIL
Metomil (C5H10N2O2S) adalah salah satu insektisida yang
mudah ditemukan di pasaran dan paling banyak digunakan secara
komersial di bidang pertanian. Struktur kimia metomil dapat
dilihat pada Gambar 1. Metomil di seluruh dunia digunakan pada
berbagai tanaman seperti buah-buahan (tomat), biji-bijian (padi
dan kedelai), kapas dan tanaman hias (Malhat et al., 2015; Wartono
et al., 2021; WHO, 1996). Metomil digunakan untuk
mengendalikan dan menghilangkan banyak hama pertanian
seperti belalang, siput, laba-laba, kutu, ngengat, kumbang,
wereng, cacing dan sebagainya. Metomil memiliki dampak
terhadap organisme (biologis) yang luas, sehingga tidak jarang
residu metomil terdeteksi pada produk pertanian serta pada
perairan alami (EPA, 1998; Haider dan Kata, 2020; Wartono et al.,
2018).
Metomil memiliki waktu paruh atau tingkat retensi 262
hari pada pH 6, 7 dan 8 yaitu 54, 38, dan 20 minggu di air,
sedangkan lama penguraian pada air payau (perairan estuari)
adalah 165 hari. Metomil memiliki daya toksisitas yang tinggi dan
mampu membunuh serangga dalam waktu 6 jam. Dengan
demikian Metomil memiliki cara kerja yang cepat jika
dibandingkan dengan insektisida berbahan aktif selain Metomil
seperti Betacyflutrin, Imidacloprid dan Thiametoxam (Howard,
2017; Kongphonprom dan Burakham, 2016; Lin et al., 2020;
Montgomery dan Crompton, 2017; Srikhaow et al., 2022;
Purnamasari et al., 2015). Salah satu insektisida berbahan aktif
metomil yaitu Lannate® 25 WP yang mengandung metomil 25 %
(Islamy et al., 2017). Penelitian terkait kelarutan metomil telah
dilakukan oleh Fang et al. (2019), dengan menggunakan suhu 20,
25, dan 30 ºC. Hasil yang diperoleh yaitu metomil dapat larut pada
ketiga perlakuan suhu tersebut yaitu 20-30 ºC.
Sumatera Selatan menjadi daerah dengan penggunaan
insektisida metomil tertinggi yaitu sebesar 19,20 %. Residu
insektisida terdeteksi pada tanah di Sentra Sawah Padi Musi
Rawas, Sumatera Selatan, Indonesia yaitu sebesar 0,04 ppm. Hasil
4 | Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian
ini telah melebihi baku mutu yaitu 0,02 ppm (Wartono et al., 2018;
Wartono et al., 2021). Metomil juga terdeteksi pada perairan
Mlonggo, Kabupaten Jepara berdasarkan penelitian Prasetyo et al.,
(2015) sebesar 0,01 ppm. Kadar metomil tersebut masih dalam
batas aman atau dibawah LoD (Limit of Detection). Kasus
keracunan akibat bahan kimia pertanian di Jepang dari tahun 2009
hingga 2013 terjadi sekitar 15% diakibatkan oleh adanya masukan
bahan pestisida berbahan aktif metomil (Meng et al., 2013).
Gambar 1. Struktur kimia metomil
Sumber: (Gasparetto et al., 2012)
1.3 MEKANISME MASUKNYA RESIDU METOMIL KE
LINGKUNGAN PERAIRAN
Pengaplikasian insektisida berbahan aktif metomil
dilakukan dengan cara penyemprotan pada tanaman yaitu larutan
akan dipecah oleh sprayer menjadi butiran-butiran kecil kemudian
diarahkan ke sasaran penyemprotan (Djojosumarto, 2008). Saat
dilakukan penyemprotan kemungkinan pertama adalah
terdistribusinya butiran-butiran pestisida oleh hembusan angin
menuju media non target yang sebenarnya tidak diinginkan.
Kemungkinan kedua menurut Wudianto (2010), adalah sebagian
dari butiran-butiran pestisida yang membasahi media target
menetes ke tanah yang diakibatkan karena penyemprotan terlalu
lama pada sasaran atau volume yang disemprotkan terlalu besar.
Tetesan tersebut kemudian terserap oleh tanah sehingga
menyebabkan akumulasi di dalam tanah dan menimbulkan
adanya pencemaran tanah. Ketika jika terjadi hujan, partikel-
partikel yang terakumulasi dalam tanah maupun sisa-sisa
pestisida pada target akan terbilas atau tercuci dan terbawa ke
aliran air irigasi hingga menuju sungai, sehingga menyebabakan
Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian | 5
pencemaran sungai oleh pestisida. Robinson (1973),
mengemukakan bahwa aliran pembuangan pestisida akan
beragam menurut laju arus air permukaan dan jenis tanah,
sedangkan pencucian mula-mula bergantung pada kekuatan
adsorbsi/desorbsi antara konstituen tanah dan pergolakan air
yang melaluinya.
Adanya energi panas dari sinar matahari menyebabkan
terjadinya penguapan ke atmosfer dan berujung dengan terjadinya
hujan (pencucian). Metode penyemprotan dan hujan dipengaruhi
oleh angin sehingga dapat menyebabkan kontaminasi di sekitar
lokasi penyemprotan atau bahkan kekuatan angin mampu
membawa zat aktif ke tempat yang jauh. Faktor-faktor yang telah
dijelaskan di atas merupakan jalan terjadinya pencemaran
ekosistem perairan (Lin et al., 2020; Lushchak et al., 2018). Ilustrasi
terkait mekanisme masuknya residu metomil ke lingkungan
perairan dapat dilihat pada Gambar 2.
Mekanisme masuknya pestisida atau insektisida ke
lingkungan perairan merupakan aplikasi langsung dari pestisida
ke dalam lingkungan air. Migrasi pestisida yang diaplikasikan ke
lahan pertanian dengan air hujan dan air irigasi akan berpengaruh
kepada organisme perairan yang hidup di dalamnya. Demikian
juga pembuangan air limbah dari perusahaan yang memproduksi
pestisida dan perusahaan yang melakukan pengolahan pestisida,
jika limbahnya masuk ke pearairan umum juga akan berpengaruh
pada kehidupan organisme di dalam air tersebut.
6 | Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian
Gambar 2. Pergerakan pestisida dalam siklus hidrologi.
Pencemaran air oleh pestisida yang menyebar terjadi
karena penguapan (4) dengan perpindahan jarak
pendek dan jarak jauh (5), limpasan permukaan (8)
atau pencucian ke air tanah (13). (1) aplikasi pestisida;
(2) diserap oleh tanaman; (3) terdegradasi oleh sinar
ultraviolet; (4) penguapan (diuapkan ke atmosfer); (5)
transportasi jarak pendek dan jarak jauh; (6)
diendapkan oleh curah hujan; (7) limpasan; (8)
limpasan permukaan ke danau dan sungai; (9)
perairan tercemar; (10) umur rembesan; (11) melekat
pada partikel tanah; (12) biodegradasi (didegradasi
oleh oksidasi bakteri atau hidrolisis kimia); (13)
pencucian (debit air tanah ke sungai); (14) pencemaran
wilayah sekitarnya.
Sumber: (Lushchak et al., 2018)
Selama penggunaan pestisida dan tetesannya atau partikel
(molekul pestisida) yang bermigrasi karena pengaruh angin tidak
sampai mencemari lingkungan maka penggunaan tersebut masih
dapat di tolerir. Kondisi yang harus di cegah adalah terjadinya
Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian | 7
pengendapan pestisida tersebut di badan air. Setelah melakukan
penyemprotan atau penggunaan pestisida, beberapa di antaranya
akan menempel pada tubuh tanaman atau bahkan dapat masuk ke
dalam tubuh tanaman. Sebagian lagi dari pestisida yang
disemprotkan tersebut akan masuk ke bagian lain yaitu tersebar di
tanah, bahkan menguap atau menghilang ke udara. Sebagian lagi
dari pestisida yang disemprotkan juga akan mengalir ke sungai,
masuk ke Rawa atau Danau bahkan masuk kedalam drainase lahan
pertanian, karena adanya aliran air atau mungkin terbawa oleh air
hujan, sehingga mencemari badan air (Atifah et al., 2019; Meng et
al., 2022).
Pestisida menempati posisi unik di antara bahan kimia
sintetis yang ditemui manusia setiap hari. Pestisida sekarang ini
dapat ditemukan hampir di seluruh dunia. Pestisida yang berasal
dari aktivitas manusia juga dapat masuk ke badan air melalui
limpasan permukaan, pencucian, dan/atau erosi. Sementara itu,
evaporasi dan angin dapat membawa residu pestisida ke atmosfer,
yang dapat menyebabkan kontaminasi air permukaan, tanah,
flora, dan fauna melalui presipitasi (hujan). Kejadian kontaminasi
tersebut seringkali terjadi di lokasi yang jauh dari tempat asal
disebarnya pestisida tersebut (Lushchak et al., 2018).
Dampak penggunaan pestisida dalam pertanian padi
khususnya di sawah dataran rendah akan mencemari lingkungan
perairan di sekitarnya. Hal ini juga terjadi pada persawahan di
pesisir Pulau Jawa, seperti Semarang, dimana banyak persawahan
dataran rendah memiliki saluran yang mengarah ke laut. Salah
satu cara masuknya bahan pencemar pestisida ke laut adalah
melalui sungai. Di pesisir utara pulau Jawa, persawahan sangat
luas dan sebagian besar masih berbatasan dengan wilayah pesisir
seperti Semarang. Bagian barat Semarang, yang pesisir
daratannya masih banyak terdapat persawahan dan tambak yang
masih menggunakan pestisida untuk membasmi hama serta air
sungai yang bagian hulunya terdapat perkebunan seperti di
daerah Boja (Suryono et al., 2016).
8 | Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian
1.4 MEKANISME DEGRADASI METOMIL DI
LINGKUNGAN PERAIRAN
Fang et al. (2019), melakukan penelitian terkait kelarutan
yang baik pada metomil dengan menggunakan suhu 20, 25, dan 30
ºC. Hasil yang diperoleh yaitu metomil dapat larut pada ketiga
perlakuan suhu tersebut. Namun pada suhu 30 ºC metomil sangat
cepat larut. Sehingga diketahui bahwa laju degradasi metomil
dapat dipercepat dengan menaikan suhu ataupun pH. Hasil ini
sesuai dengan Lushchak et al. (2018), laju kelarutan dalam proses
degradasi pada lingkungan perairan secara abiotik dipengaruhi
oleh suhu dan pH. Li et al. (2008), menggunakan pH 7.8 dan suhu
22 ºC pada media pemeliharan yang akan dilakukan paparan
bahan aktif metomil pada ikan sejenis Wader yaitu Pseudorasbora
parva.
Kelarutan dalam air artinya terjadi mekanisme penurunan
status bahan aktif metomil, bukan menghilangkan zat tersebut
dalam air, namun lebih ke arah bereaksi dengan air atau terjadi
proses degradasi atau penguraian. Menurut Lushchak et al. (2018),
laju kelarutan dalam proses degradasi pada lingkungan perairan
secara abiotik dipengaruhi oleh suhu dan pH, sedangkan secara
biotik dipengaruhi oleh kinerja mikroorganisme seperti bakteri
(Yulianto dan Amaloyah, 2017). Faktor-faktor inilah yang bekerja
dalam pemutusan ikatan kimia dalam degradasi metomil,
sehingga terjadi perubahan ke bentuk yang lain atau penurunan
status dari zat aktif menjadi kurang aktif atau bahkan menjadi
tidak aktif.
Persistensi pestisida mengacu pada lamanya waktu
pestisida tetap berada di lingkungan. Hal ini tergantung pada
seberapa cepat pestisida tersebut terurai (terdegradasi), yang
sebagian besar merupakan fungsi dari komposisi kimia dan
kondisi lingkungan. Kegigihan atau sifat stabil pada kondisi awal
dari pestisida biasanya dinyatakan sebagai waktu paruh (T1/2)
dari pestisida tersebut. Pestisida dapat terdegradasi oleh sinar
matahari (Foto dekomposisi), suhu udara yang tinggi atau suhu
air yang tinggi (degradasi termal), kondisi kelembaban, aksi
Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian | 9
biologis (pembusukan oleh aktifitas mikroba) dan kondisi tanah.
Pestisida yang bertahan atau lama proses terurainya secara
perlahan akan masuk ke hewan air dan mungkin akan lebih
tersedia untuk hewan air akibat lamanya waktu tinggal di dalam
air (Seyler et al., 1994). Reaksi dengradasi metomil di lingkungan
perairan dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
Metomil yang telah masuk ke lingkungan perairan akan
mengalami reaksi kimia dengan air dengan bantuan suhu atau
energi panas dari sinar matahari (Lushchak et al., 2018) sehingga
terjadilah proses penguraian atau degradasi. Degradasi secara
abiotik melalui hidrolisis pada kondisi lingkungan alami di badan
air berlangsung lambat (Todey et al., 2018). Mekanisme degradasi
metomil pada lingkungan perairan yaitu terjadi reaksi hidrolisis,
dimulai dengan bereaksinya air (H2O) dengan metomil sehingga
akan menghasilkan metil amina (CH3NH2), metomil oxime, dan
karbon dioksida (CO2). Reaksi hidrolisis yaitu pemutusan ikatan
kimia yang dapat terjadi karena metomil memiliki struktur yang
mengandung gugus ester (COO) yang mudah terhidrolisis. Gugus
karbon (C) akan menjadi CO2. Hal ini sesuai dengan Prawitasari et
al. (2018), bahwa reaksi hidrolisis pestisida terjadi karena terdapat
struktur kimia dalam molekul pestisida yang dapat dihidrolisis
seperti ikatan ester.
Unsur N pada metomil oxime mengikat hidroksil (OH)
kemudian akan menghasilkan metomil sufoksida oxime melalui
pengikatan oksigen oleh unsur S (sulfur). Hal ini dapat terjadi
karena unsur S (sulfur) memiliki 6 elektron valensi, dimana 2
elektron telah digunakan berikatan dengan unsur C (karbon) dan
metil (CH3), sehingga masih tersisa 4 elektron bebas. 2 elektron
bebas unsur S (sulfur) digunakan untuk berikatan dengan oksigen
dengan cara membentuk ikatan kovalen koordinasi.
10 | Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian
Gambar 3. Reaksi kimia degradasi metomil di lingkungan perairan
Sumber: (World Health Organization, 2002)
Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian | 11
Gambar 4. Penjelasan reaksi kimia degradasi metomil di lingkungan
perairan
Sumber: (Hasil Study Penulis)
Namun unsur S (sulfur) sudah stabil karena telah
memenuhi aturan oktet yaitu stabil dengan 8 elektron, dimana 6
elektron dari unsur S (sulfur) itu sendiri dan 2 elektron berasal
dari ikatan dengan unsur C (karbon) dan metil (CH3). Mekanisme
ini juga terjadi pada ozon (O3). Selanjutnya metomil oxime dan
sulfoksida oxime akan menghasilkan asetonitril. Mekanisme yang
terjadi dijelaskan pada Gambar 5 dan 6.
12 | Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian
Gambar 5. Reaksi penataan ulang Beckmann, eliminasi metomil
oxime, dan menghasilkan asetonitril
Sumber: (Murti dan Matsumura, 2012)
Gambar 6. Reaksi penataan ulang Beckmann, eliminasi, dan
menghasilkan asetonitril. A) Reaksi yang terjadi pada
metomil oxime; B) Reaksi yang terjadi pada metomil
sulfoksida oxime
Sumber: (Hasil Study Penulis)
Produk oxime menghasilkan asetonitril melalui penataan
ulang Beckmann dan eliminasi. Hal ini disebabkan karena pada
dasarnya produk oksim (RRC=NOH) akan mengalami penataan
ulang Beckmann dan eliminasi menjadi nitril (Chau dan Afghan,
2020; Murti dan Matsumura, 2012). Sesuai dengan penjelasan
reaksi pada Gambar 5.
Mekanisme metomil oxime menghasilkan asetonitril
diawali dengan reaksi pengikatan hidrogen (H+) oleh 1 elektron
bebas oksigen atau terjadi protonasi (penambahan kation
hidrogen) pada oksigen sehingga membentuk H2O. Selanjutnya
terjadi pelepasan H2O dan diikuti dengan perpindahan gugus alkil
S-CH3 ke samping unsur N (nitrogen) dan akan membentuk ikatan
CH3-C=N-S-CH3. Namun unsur C (karbon) dari senyawa yang
terbentuk tersebut mengalami kekurangan 1 elektron, dimana
Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian | 13
unsur C (karbon) memiliki elektron valensi 4 dan berikatan
rangkap 2 dengan unsur N (nitrogen) dan rangkap tunggal
dengan unsur C (karbon) sehingga hanya memiliki 7 elektron,
sedangkan untuk mencapai kestabilan dibutuhkan 8 elektorn.
Oleh karena itu, terjadi eliminasi yaitu ikatan N (nitrogen) dengan
alkil S-CH3 akan terputus kemudian terjadi penataan ulang untuk
mencapai kestabilan unsur-unsur yang berikatan sehingga
terbentuk asetonitril (CH3-C≡N).
Mekanisme yang sama juga terjadi pada pembentukan
asetonitril dari metomil sulfoksida oxime. Produk yang dihasilkan
dari degradasi metomil yaitu oxime dan asetonitril. Waktu yang
dibutuhkan pada kondisi alami lingkungan untuk menghasilkan
oxime dan asetonitril yaitu 30 dan 34 hari (World Health
Organization, 2002). Namun, laju degradasi metomil dapat
dipercepat dengan menaikan suhu ataupun pH dari keadaan
lingkungan sebenarnya. Metode ini biasanya dilakukan dengan uji
eksperimental (Fang et al., 2019).
Mekanisme dari reaksi degradasi metomil menghasilkan
asetonitril di lingkungan perairan, seperti yang dijelaskan pada
Gambar 4 dan 6 melepaskan unsur-unsur CO2, H2O, NH2, SO,
CH3, OH-. Unsur-unsur ini akan mengalami perubahan bentuk
dengan berikatan dengan unsur lain disekitarnya, reaksi berikatan
antar unsur dapat dilihat pada Gambar 7.
A
B
14 | Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian
Gambar 7. Reaksi berikatan antar unsur. A) Hidroksil; B) NH2
(amina); C) Sulfur
Sumber: (Hasil Study Penulis)
Hidroksil (OH-) dapat berikatan dengan H+ sehingga
menghasilkan H2O (Gambar 7 bagian A). Amonia (NH2) dapat
berikatan H2O menghasilkan NH3. NH3 dapat berikatan dengan
air (H2O) menghasilkan NH4+ dan hidroksil (OH-). Reaksi ini
disebut dengan amonifikasi. Selanjutnya NH4+ dapat berikatan
dengan oksigen (O2) menghasilkan NO2-, H2O, dan 4H+. NO2-
dapat berikatan dengan oksigen (O2) menghasilkan NO3- (Gambar
7 bagian B). Reaksi ini disebut dengan nitrifikasi.
Sulfur (S) berikatan dengan oksigen (O2) menghasilkan
SO2. SO2 dapat berikatan dengan O2 menghasilkan SO3. SO3
berikatan dengan air (H2O) menghasilkan 2H+ dan SO42- (Gambar
7 bagian C). Reaksi yang terjadi merupakan siklus sulfur. Reaksi di
atas membuktikan bahwa unsur yang terlepas dari degradasi
metomil di lingkungan perairan akan berikatan dengan unsur lain
sehingga berubah bentuk menjadi CO2 (karbon dioksida), H2O
(air), SO42- (ion sulfat), NH4+ ( amonium) dan NO3- (nitrat).
1.5 ASETONITRIL SEBAGAI PRODUK DEGRADASI
METOMIL
Asetonitril digunakan sebagai pelarut dalam industri
kimia dan pembuatan obat-obatan, termasuk C6-fluoroketon,
vitamin A, kortison, produk pertanian, dan obat karbon amina.
Terlepasnya asetonitril ke dalam media air menjadi perhatian
khusus karena merupakan zat beracun dan dapat diubah menjadi
hidrogen sianida dalam proses metabolisme (Li et al., 2016). Air
limbah yang mengandung asetonitril adalah limbah industri
C
Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian | 15
organik beracun yang membutuhkan perawatan untuk
membuatnya tidak berbahaya (Wang et al., 2018). Asetonitril
adalah zat beracun yang menyebabkan efek egative pada
kesehatan dan kematian. Asetonitril menghalangi pengunaan
oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi seluler sehingga
menyebabkan sel kekurangan oksigen. Toksisitas asetonitril
tergantung pada jumlah, rute kontaminasi, waktu, dan frekuensi
paparan (Gasparetto et al., 2012). Struktur kimia asetonitril dapat
dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Struktur kimia asetonitril
Sumber: (Gasparetto et al., 2012)
1.6 POTENSI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
TERKONTAMINASI ASETONITRIL
Ilustrasi terkait besarnya potensi ikan nila (O. niloticus)
terkontaminasi bahan aktif metomil atau produk degradasinya,
dapat dilihat pada Gambar 9. Ikan nila (O. niloticus) merupakan
jenis ikan yang dapat hidup dimana saja karena bersifat euryhaline
(kisaran salinitas lebar). Ikan nila dapat mewakili keadaan
lingkungan sebenarnya, seperti mampu hidup di sungai, danau,
air payau, dan lingkungan perairan lainnya. Ikan nila ada yang
dibudidaya di perairan umum maupun perairan terbatas serta
hidup bebas di alam (Tyas et al., 2016).
16 | Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian
Ikan nila (Oreochromis niloticus)
Gambar 9. Peluang ikan nila terkontaminasi asetonitril
Sumber: (Hasil Study Penulis)
Berdasarkan banyaknya lokasi yang dapat di huni oleh
ikan nila, maka potensi pertemuan bahan aktif metomil atau
produk degradasinya di lingkungan perairan dengan ikan nila
akan sangat besar. Efek negatif dari penggunaan pestisida tidak
hanya terbatas pada daerah tempat pestisida digunakan. Hal ini
disebabkan karena sifat kumulatif dari banyak pestisida
menyebabkannya banyak beredar di berbagai ekosistem perairan
dan dapat terakumulasi oleh banyak organisme hidup dan dapat
bermigrasi melalui rantai makanan (Lushchak et al., 2018).
Mekanisme ini dikenal dengan istilah bola salju, mulai dari tingkat
trofik rendah tercemar pestisida, kemudian dikonsumsi oleh
tingkat trofik di atasnya dan akhirnya sampai ke manusia
(Kardinan dan Ruhnayat, 2000), dapat dilihat pada Gambar 10.
Perairan
Sungai
Tawar
Payau
Lingkungan
perairan
Euryhaline
Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian | 17
Bioakumulasi pestisida dalam rantai makanan yaitu
setiap konsumen berturut-turut dalam rantai makanan
mengumpulkan kontaminan ke tingkat yang lebih tinggi,
sehingga memperbesar paparan saat bergerak ke atas rantai
makanan (Lushchak et al., 2018). Bioakumulasi juga dikenal
dengan biomagnifikasi. Biomagnifikasi adalah akumulasi pestisida
pada setiap tingkat rantai makanan yang berurutan. Beberapa
pestisida menumpuk di rantai makanan. Misalnya, jika pestisida
ada dalam jumlah kecil di dalam air, pestisida itu dapat diserap
oleh tanaman air yang selanjutnya dimakan oleh serangga dan
ikan kecil. Ini juga menjadi terkontaminasi. Pada setiap langkah
dalam rantai makanan, konsentrasi pestisida meningkat. Ketika
ikan bermigrasi seperti bass atau trout berulang kali
mengkonsumsi hewan yang terkontaminasi, mereka
mengkonsentrasikan tingkat tinggi dalam lemak tubuh mereka.
Ikan bisa menularkan racun ini ke manusia (Seyler et al., 1994).
Gambar 10. Migrasi pestisida melalui rantai makanan
Sumber: (Lushchak et al., 2018)
18 | Permasalahan dalam Penggunaan Pestisida pada Bidang Pertanian
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 19
20 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
2.1 MEKANISME ASETONITRIL MASUK KE DALAM
TUBUH IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
Mekanisme asetonitril masuk ke dalam tubuh ikan nila (O.
niloticus) dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. Asetonitril
diabsorbsi ke dalam tubuh ikan nila (O. niloticus) melalui insang.
Insang terletak paling luar dan memiliki permukaan yang luas dan
terbuka sehingga ada kontak langsung dengan air. Selain itu di
dalam insang terdapat banyak kapiler atau pembuluh darah,
sehingga memungkinkan bahan toksik di dalam air untuk masuk
ke dalam tubuh melalui insang. Hal ini sesuai dengan Saravanan et
al. (2011) dan Authman et al. (2013), bahwa ikan dianggap sebagai
bioindikator yang baik karena kemampuannya menyerap bahan
kimia dengan sangat cepat melalui insang, sehingga mereka
sangat sensitif terhadap pencemar lingkungan (Afshan et al., 2014).
Secara khusus, insang menyediakan permukaan yang paling luas
terkena media air dan merupakan organ pertama yang terkena zat
beracun. Insang adalah rute utama bahan toksik yang terbawa air
masuk pada ikan (Macirella dan Brunelli, 2017).
Gambar 11. Mekanisme asetonitril masuk ke dalam tubuh ikan nila
(O. niloticus)
Sumber: (Hasil Study Penulis)
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 21
Gambar 12. Reaksi aksi ikatan hidrogen dengan hidroksil dan
asetonitril pada difusi sederhana untuk masuk ke
dalam sirkulasi darah
Sumber: (Hasil Study Penulis)
Mekanisme masuknya asetonitril ke dalam insang yaitu
dengan difusi sederhana diawali dengan adanya aksi ikatan
hidrogen (H+) dengan molekul (OH-) dan zat terlarut yaitu
asetonitril, sehingga terbentuk ikatan asetonitril dengan air (H2O).
Asetonitril yang terbawa bersama air akan diabsorpsi masuk ke
dalam insang dengan cara difusi sederhana untuk melewati atau
melintasi bagian semipermeabel yaitu selaput epidermis agar
dapat memasuki aliran darah. Difusi sederhana terjadi karena
adanya perbedaan gradien konsentrasi atau tekanan antara air (di
luar tubuh) dan insang (di dalam tubuh) ikan, sehingga asetonitril
dapat masuk ke darah dan diikuti dengan pelepasan ikatan
dengan air (H2O). Mekanisme ini terjadi tanpa menggunakan
energi karena tidak melawan gradien konsentrasi. Setelah masuk
ke dalam sirkulasi darah akan diangkut serta didistribusikan ke
seluruh tubuh ikan (Govind, 2013; Yang et al., 2020). Absorbsi
asetonitril masuk ke dalam insang sangat bisa terjadi selain karena
difusi sederhana, juga karena jarak antara darah dengan air sangat
dekat. Hal ini disebabkan untuk memudahkan dalam proses
pengambilan O2 dan pengeluaran CO2. Darah mengalir pada
22 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
permukaan dalam lamela yaitu antara darah dan air hanya
dipisahkan oleh dua atau tiga lapis sel atau selaput tipis yang
sangat peka (epidermis). Epidermis terletak pada membran basal
yang merupakan bagian dari lamela (Pertiwi et al., 2017).
2.2 EFEK TOKSIK ASETONITRIL TERHADAP INSANG
IKAN
Mekanisme masuknya air membawa asetonitril ke dalam
insang melalui lamela, dapat dilihat pada Gambar 13 Insang
merupakan organ yang sangat sensitif terhadap bahan toksik yang
masuk (Afshan et al., 2014). Air masuk melalui lamela-lamela
insang, sehingga materi yang tersuspensi di dalam air mudah
menempel pada mukus (lendir) insang. Semakin banyak materi
yang menempel, maka sel mukus akan memproduksi lebih banyak
mukus dan menyelimuti lamela. Hal ini terjadi sebagai akibat dari
masuknya bahan toksik ke dalam jaringan insang.
Gambar 13. Mekanisme masuknya air membawa asetonitril ke dalam
insang
Sumber: (Campbell dan Reece, 2002; Evans et al., 2005)
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 23
Mukus ini berfungsi untuk menangkap partikel asing dari
air yang masuk ke dalam insang. Banyaknya mukus pada lamela
ini menyebabkan difusi oksigen terganggu akibatnya tubuh akan
mengalami hipoksia. Hipoksia merupakan suatu keadaan sel
bahkan jaringan mengalami kekurangan oksigen. Hipoksia
merupakan awal dari terjadinya stres oksidatif yang berujung
pada keruskan membran sel (Lestari et al., 2018).
Toksisitas suatu bahan bergantung dari konsentrasi yang
diberikan. Konsentrasi sub-letal biasanya bersifat tidak mematikan
secara langsung tetapi menghambat proses fisiologis, perubahan
morfologi dan tingkah laku ikan (Suryani dan Aunurohim, 2013).
Jaringan insang yang rusak akibat akumulasi bahan toksik yaitu
secara histologi terjadi sekresi lendir berlebihan pada lamela,
bertambahnya ukuran sel (hypertropi), ukuran rongga mengalami
penyempitan ke tepi (hyperlasia) dan penggabungan dua atau lebih
lamela menjadi satu (lamela fusion).
Menurut Maftuch et al. (2015), zat toksik dapat
menyebabkan pembendungan pada aliran darah sehingga terjadi
pembengkakan sel atau edema pada lamela sekunder. Menurut
Sudaryatma et al. (2013), hiperlasia lamela sekunder merupakan
suatu respon fisiologis untuk melindungi jaringan dari zat toksik
dengan cara menstimulasi pertumbuhan sel epitel insang dengan
cepat. Menurut Sipahutar et al. (2013), pertumbuhan sel yang cepat
dan banyak menyebabkan fusi lamela sekunder. Kejadian
hiperlasia selalu disertai dengan fusi lamela. Fusi lamela yang
terjadi akibat hiperlasia sel lamela secara terus menerus mengisi
ruang antar lamela sekunder dengan sel baru sehingga
menyebabkan perlenkatan antar lemela sekunder. Gambaran
pengamatan histologi insang dapat dilihat pada Gambar 14.
24 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
Gambar 14. Gambaran histologi insang ikan. A) Normal, SL
Lamella Sekunder, BV - Pembuluh Darah, PLE Epitel
Lamelar Primer, PL - Lamella Primer, RE - Epitel
Respirasi, ILR Wilayah Antar Lamelar; B) Terpapar
pestisida berbahan bahan aktif malation 0, 626 ppb
setelah 96 jam, TSL-Penebalan Lamella Sekunder, HPL -
Perdarahan pada Lamella Primer, ELT - Lapisan Epitel di
Ujung, LA - Aneurisma Lamelar, LUE - Pengangkatan
Epitel, DCC - Deformasi Inti Tulang Rawan, ESL - Erosi
Lamella Sekunder (5μm thick; H&E staining; 200X)
Sumber: (Subburaj et al., 2018)
A
B
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 25
2.3 MEKANISME PERJALANAN ASETONITRIL DI
DALAM TUBUH
Mekanisme perjalanan asetonitril di dalam tubuh setelah
berhasil masuk ke aliran darah di insang yaitu dapat dilihat pada
Gambar 15. Sistem peredaran darah pada ikan bersifat tunggal
atau tertutup, artinya hanya dapat melewati satu jalur siklus darah
yang berawal dari jantung (darah hanya melewati jantung satu
kali dalam satu kali peredaran) menuju insang, selanjutnya
dialirkan atau dipompa ke arah kepala (otak) dan dorsal aorta dan
mengalir ke seluruh tubuh atau organ-organ (Furst, 2015).
Terdapat pembuluh darah pada ikan yaitu arteri, vena, dan
kapiler. Arteri merupakan pembuluh darah yang mengalirkan
darah menjauhi jantung atau saluran yang dilalui darah keluar
dari insang dan menuju ke bagian tubuh. Vena merupakan
pembuluh darah yang mengalirkan darah menuju jantung.
Sedangkan kapiler merupakn pembuluh darah yang sangat kecil,
umumnya kapiler melliputi sel atau jaringan karena langsung
berhubungan dengan sel, oleh karena itu kapiler berfungsi sebagai
tempat pertukaran zat (Purnamasari dan Santi, 2017).
Gambar 15. Perjalanan asetonitril di dalam tubuh bersama aliran
darah
Sumber: (Randall, 1968)
26 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
Mekanisme yang terjadi diawali dengan masuknya darah
dari seluruh tubuh ke sinus venosus yaitu kantung yang terletak di
depan atrium melalui sepasang ductus cuvieri yang masuk di
bagian lateral dan sinus hepaticus yang masuk pada dinding
posterior dari sinus venosus. Sinus venosus berfungsi menampung
darah dari vena hepatika yang membawa darah dari vena kardinal
anterior dan posterior. Selanjutnya, darah masuk ke dalam atrium
melalui lubang sinus atrial. Atrium berfungsi menerima darah dari
sinus venosus. Darah dari atrium mengalir melalui lubang
atrioventikular diteruskan ke dalam rongga ventrikel. Lubang
atrioventikular dibatasi oleh katup atrioventikular sehingga aliran
darah tidak kembali ke rongga atrium.
Ventrikel berfungsi menerima darah hanya dari atrium
dan memompa darah melalui aorta ventralis ke insang namun
terlebih dahulu akan masuk ke conus arteriosus. Conus arteriosus
berfungsi mengatur tekanan darah saat mengalir melalui kapiler
yang mengelilingi insang ikan. Setelah itu masuk ke aorta ventralis
yang berfungsi meneruskan atau memasok darah ke insang
(Lagler et al., 1977).
A
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 27
Gambar 16. Struktur anatomi tubuh ikan dan peredaran darah. A)
Letak arteri branchialis afferent, arteri branchialis
efferent, aorta dorsal, vena jugularis, arteri carotid, vena
caudalis; B) Sinus venosus yang menerima aliran darah
dari vena hepatika, masuk ke atrium diteruskan ke
ventrikel, selanjutnya mengalir ke conus arteriosus ke
aorta ventral menuju ke arteri branchialis afferent
(masuk insang) dan arteri branchialis efferent (keluar
insang), mengalir ke aorta dorsal
Sumber: (Lagler et al., 1977)
Darah yang keluar dari aorta ventralis melewati arteri
branchialis afferent menuju tiap insang. Arteri ini bercabang
menjadi kapiler halus yang berfungsi dalam pertukaran gas dan
membawa bahan toksik (asetonitril) di dalam insang. Arteri ini di
dalam insang bercabang menjadi kapiler halus yang berfungsi
dalam pertukaran gas dan membawa bahan toksik (asetonitril).
Kemudian keluar insang, kapiler tersebut menyatu kembali
menjadi arteri branchialis efferent yang membawa O2 bersama
asetonitril yang akan mengalir ke dua arah yaitu ke arteri carotid
yang mengantarkan darah ke kepala (otak). Darah dari otak
dibawa oleh vena jugularis, kemudian dialirkan masuk ke vena
cardinal. Vena cardinal berfungsi membawa darah kembali ke
B
28 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
jantung, selanjutnya siklus peredaran darah dimulai dari awal.
Selain itu, arteri brachialis efferent yang membawa darah
mengandung asetonitril mengalir ke aorta dorsalis. Aorta dorsalis
mengalir mengikuti tulang belakang dan bercabang ke seluruh
tubuh (organ tubuh) (Gambar 15 dan 16) (Lagler et al., 1977).
Aorta dorsalis membawa darah ke sinusoid hepar (Dewi et
al., 2018). Sinusoid hepar memiliki akses mengalirkan atau
membawa darah masuk ke sel hepatosit menuju vena sentralis
(Putri et al., 2018; Snell, 2012). Hepatosit adalah sel yang melapisi
sinusoid dan membentuk sebagain besar sel hati. Terkait dengan
bahan toksik asetonitril yang dibawa oleh darah akan
dimetabolisme di hepatosit (Mekanisme lebih lanjut dibahas pada
sub bab H) (Junquiera & Carneiro, 2012; Snell, 2012). Darah yang
telah selesai diproses akan dibawa keluar oleh vena hepatika
(Gambar 15 dan 16).
Sementara itu dari arah ekor mengalir darah yang dibawa
oleh vena caudalis (Gambar 16), lalu menuju arteri renalis. Arteri
renalis membawa darah yang mengandung hasil metabolisme
toksik dan nutrisi di hati masuk ke ginjal untuk diproses (difiltrasi,
absorpsi, dan eliminasi). Darah yang telah difiltrasi oleh
glomerulus ginjal dibawa keluar oleh vena renalis. Selanjutnya,
darah mengalir ke permukaan tengah dari ginjal dan bermuara
pada vena kardinalis posterior, dan kembali ke jantung (masuk ke
sinus venosus) (Lagler et al., 1977) sehingga tahap peredaran darah
akan dimulai kembali (Gambar 15 dan 16).
2.4 NASIB ASETONITRIL DI HATI DAN EFEK
KERUSAKAN YANG DITIMBULKAN
Hati merupakan organ yang berfungsi mensintesis nutrien
yang terserap dan sebagai pembuangan limbah dari darah. Pratiwi
dan Manan (2015), juga menyebutkan bahwa hati merupakan
kelenjar pencernaan terbesar serta tersusun atas jalinan serabut
dan sel parenkim (hepatosit). Organ hati umumnya merupakan
kelenjar yang kompak dan berwarna merah kecoklatan (Jamin dan
Erlangga, 2016). Struktur utama hati yaitu sel hati atau hepatosit.
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 29
Hepatosit memiliki tanggung jawab terhadap peran sentral hati
dalam proses metabolisme. Hepatosit normal memiliki ciri-ciri
dengan bentuk sel buat, oval, dan terdapat lempeng-lempeng
hepatosit. Sel hepatosit memiliki nucleus, namun ada juga yang
memiliki lebih dari satu nucleus (binukleat) yang terdapat pada
bagian tengah sel (Lialy et al., 2018).
Hati menjadi organ yang rentan terhadap pengaruh
senyawa toksik dan merupakan sasaran utama dari efek senyawa
toksik tersebut. Organ ini dapat melakukan detoksifikasi terhadap
material atau benda asing yang masuk ke dalam tubuh ikan,
namun hal tersebut dapat memicu sel-sel pada hati mengalami
kematian (nekrosis) sehingga dapat mengganggu aktivitas
metabolisme dan menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi
fisiologis (Sumoharjo dan Sulistyawati, 2020). Tingkat kerusakan
hati dibagi menjadi tiga kategori, tingkat ringan yaitu perlemahan
hati yang ditandai oleh pembengkakan sel. Kerusakan tingkat
sedang yaitu kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat
ditandai oleh nekrosis (Jannah et al., 2017). Struktur anatomi hati
terkait fungsinya dalam metabolisme darah yang membawa
asetonitiril, dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Struktur anatomi hati (hepar)
Sumber: (Harwin et al., 1984)
30 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
Hati (hepar) merupakan organ yang memiliki peranan
penting dalam proses metabolisme asupan makanan dan bahan
toksik di dalam tubuh ikan (Lushchak et al., 2018; Pratiwi dan
Manan, 2015). Bahan toksik yang tidak dapat disaring oleh insang
akan diproses oleh organ hati (Irene et al., 2021). Hati ikan tersusun
atas sel hepatosit, sinusoid, sel kupffer, vena sentralis, arteri
hepatika, vena porta, dan saluran empedu. Unsur utama pada
struktur hati adalah sel hepatosit. Sel hepatosit saling bertumpuk
dan membentuk lapisan sel. Kemudian saling berhubungan
membentuk suatu unit struktural yang disebut lobulus hepar.
Hepatosit berfungsi dalam metabolisme karbohidrat, lipid, dan
protein dari asupan makanan, dari usus serta metabolisme
(biotransformasi/detoksifikasi) bahan toksik (asetonitril) menjadi
molekul atau zat yang larut air sehingga akan dikeluarkan melalui
urin oleh ginjal. Sinusoid merupakan pembuluh darah kecil
beriliku yang memiliki akses ke hepatosit dan vena sentraslis.
Vena sentralis berfungsi menerima darah dari sinusoid dan
mengembalikan ke sirkulasi melalui vena hepatika, yang
selanjutnya akan dialirkan masuk ke ginjal. Arteri hepatika
berfungsi membawa darah beroksigen ke hati. Sel kupffer
berfungsi membersihkan sel darah yang hampir mati dari siklus
darah dengan proses fagositosis dan hasil eksositosis kemudian
dieksresikan ke dalam empedu melalui saluran empedu
(Junquiera & Carneiro, 2012; Snell, 2012).
Terkait nasib darah dan asetonitirl di dalam hati akan
dimetabolisme oleh sel hepatosit. Hepatosit adalah sel yang
melapisi sinusoid dan membentuk sebagain besar sel hati. Terkait
dengan darah yang membawa nutrisi dari usus dan asetonitril
akan dimetabolisme di hepatosit (Laily et al., 2018). Selalin itu,
pada sinusoid terdapat sel kupffer yang berfungsi membersihkan
sel darah yang hampir mati (rusak) (Junquiera & Carneiro, 2012).
Reaksi metabolisme (biotransformasi) asetonitril yang terjadi pada
sel hepatosit yaitu dapat dilihat pada Gambar 18.
Asetonitril dapat diubah menjadi hidrogen sianida (HCN)
dalam proses metabolisme di hati (Li et al., 2016), dalam waktu ±2-
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 31
12 jam. Waktu paruh asetonitril dan sianida di dalam tubuh yaitu
32 dan 15 jam (Michaelis et al., 1991; Losek et al., 1991). Selain itu
juga dihasilkan formaldehyde. Mekanisme yang terjadi pada
reaksi metabolisme asetonitril yaitu fase 1 akan terjadi oksidase
dengan pelepasan 1 unsur H (hidrogen) dari metil (CH3) dan
diikuti dengan pengikatan OH (hidroksil) sehingga menghasilkan
cyanohydrin.
Gambar 18. Metabolisme asetonitril di hati
Sumber: (Gasparetto et al., 2012; Li et al., 2016; Mateus et al., 2005)
32 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
Gambar 19. Penjelasan metabolisme asetonitril di hati
Sumber: (Hasil Study Penulis)
Reaksi ini melibatkan sitokrom P450 monoksigenase
(CYP), NADPH, dan O2. NADP+ dan H2O juga dihasilkan dalam
fase 1 (Gambar 19). Selanjutnya terjadi fase 2 yaitu katalase atau
dari tahap 1 langsung terdisosiasi menjadi hidrogen sianida dan
formaldehida. Hidorgen sianida (HCN) yang dihasilkan dari
metabolisme, dapat diabsorbsi masuk dengan cepat dalam
sirkulasi darah. HCN yang terdapat pada plasma mudah
terdisosiasi menjadi ion nitril (CN-) dan hidrogen. Menurut
Yanuartono et al. (2019), ion nitrile (CN-) inilah yang bersifat toksik
yang biasa dikenal dengan sianida (CN). Sianida akan dikeluarkan
melalui urine oleh ginjal. Formaldehyde (CH2O) yang dihasilkan
bersama hidrogen sianida (HCN) di fase 2 akan menghasilkan
asam format (CH2O2) melalui pelepasan unsur hidrogen (H) dan
pengikatan hidroksil (OH). Asam format (CH2O2) selanjutnya akan
menjadi CO2 dan 2H+ (Gambar 19) (Gasparetto et al., 2012; Logue et
al., 2005; Mateus et al., 2005). Berikut merupakan contoh kerusakan
pada hati yaitu degenerasi vacuolar dapat dilihat pada Gambar 20.
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 33
Gambar 20. Jaringan hati ikan menunjukkan degenerasi vacuolar
dengan penyumbatan sinusoid
Sumber: (Ibrahem, 2012)
2.5 NASIB ASETONITRIL DI GINJAL DAN EFEK
KERUSAKAN YANG DITIMBULKAN
Ginjal menjadi salah satu organ tubuh yang sangat penting
bagi ikan. Ginjal mengatur kadar air pada ikan (osmoregulasi).
Secara umum, ginjal tersusun atas kapsula Bowman, yang berisi
kumpulan sel-sel glomerulus. Mubarokah et al. (2016b),
menjelaskan bahwa, ginjal juga berfungsi sebagai pengekskresi
zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh, seperti senyawa
nitrogen dan bahan beracun yang terdapat dalam sistem sirkulasi,
mengatur keseimbangan air dan elektrolit dalam tubuh, serta
menjaga keseimbangan asam-basa, dan menghasilkan hormon
renin.
Organ ginjal lebih sensitif terhadap senyawa toksik karena
berperan penting dalam eksresi hasil metabolisme, pencernaan,
dan penyimpanan berbagai unsur senyawa. Umumnya kerusakan
yang terjadi pada organ ginjal yaitu: nekrosis tubular, nekrosis
hematopoietik, agregat melano makrofag, edema kapsul Bowman,
34 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
degenerasi glomerulus dan hiperemia (Mirghaed et al., 2018). Ginjal
ikan terdiri dari ginjal anterior (juga dikenal sebagai ginjal kepala)
dan ginjal posterior (juga dikenal sebagai tubuh atau batang ginjal)
(Mubarokah et al., 2016a). Nasib darah dan asetonitiril di dalam
ginjal, dapat dilihat pada Gambar 21.
Ginjal ikan terdiri dari dua bagian yaitu head kidney dan
vertebrae kidney. Head kidney berfungsi sebagai jaringan
hematopoietik yaitu berperan dalam pembentukan darah seperti,
erirosit, leukosit, trombosit, dan sebagainya (Abdel-Aziz et al.,
2010; Chouw et al., 2019). Vertebrae kidney berfungsi sebagai sistem
urinaria. Secara umum struktur ginjal ikan terdiri atas kapsula
bowman yang membungkus glomerulus, tubulus kontortus distal,
dan pembuluh darah (Azani et al., 2017).
Gambar 21. Struktur anatomi ginjal kaitannya dengan fungsi kerja
Sumber: (Hasil Study Penulis)
Terkait nasib darah dan asetonitiril dalam ginjal diawali
dari arteri renalis membawa darah yang mengandung hasil
metabolisme toksik asetonitril berupa sianida (CN) dan nutrisi di
hati masuk ke ginjal untuk diproses (difiltrasi, absorpsi, dan
eliminasi). Sianida (CN) dapat dikeluarkan dari tubuh melalui
urine (Gasparetto et al., 2012). Tahap filtasi darah oleh glomerulus
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 35
hampir tidak menghasilkan urine yang mengandung
makromolekul seperti protein. Hal ini dikarenakan sulitnya
menembus dinding glomerulus. Reabsorpsi zat-zat yang masih
berguna bagi tubuh berlangsung melalui tubulus kontortus
proksimal. Hasil buangan yang dihasilkan oleh ginjal berupa urin
dialirkan melalui sepasang ureter yang terletak di pinggiran
rongga badan sebelah dorsal menuju ke belakang. Ureter kiri dan
kanan bergabung di belakang membentuk kantong urine (vesica
urinaria), dari organ ini urine dikeluarkan menjadi uretra yang
pendek dan bermuara pada porus urogenital. Darah yang telah
difiltrasi oleh glomerulus ginjal dibawa keluar oleh vena renalis.
Terkait mekanisme ginjal sebagai ekskresi hasil metabolisme
menyebabkan rentan terjadi kerusakan seperti nekrosis tubular,
nekrosis hematopoietik, agregat melano makrofag, edema kapsul
Bowman, degenerasi glomerulus dan hiperemia. Umumnya
kerusakan yang terjadi pada organ ginjal yaitu: nekrosis tubular,
nekrosis hematopoietik, agregat melano makrofag, edema kapsul
Bowman, degenerasi glomerulus dan hiperemia (Mirghaed et al.,
2018). Nekrosis pada ginjal ikan lele dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Jaringan ginjal ikan menunjukkan degenerasi hidropik
(panah 1) dan nekrosis (panah 2)
Sumber : (Ibrahem, 2012)
36 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
2.6 EFEK TOKSIK ASETONITRIL TERHADAP TUBUH
IKAN
Pestisida merupakan zat beracun yang sangat berbahaya
bagi kesehatan dan lingkungan. Hal ini karena pestisida memiliki
sifat berbahaya bagi lingkungan dan dapat menyebarkan radikal
bebas. Radikal bebas yang timbul akibat paparan pestisida dapat
menyababkan berbagai kerusakan pada organ-organ tubuh seperti
mutasi genenetik dan gangguan sistem saraf pusat (Meidiantie et
al., 2010). Efek toksik asetonitil dan sianida sebagai produk
metabolisme oleh hati, di dalam tubuh ikan nila (O. niloticus),
dapat dilihat pada Gambar 23 dan 24 :
Gambar 23. Efek toksik sianida di dalam tubuh
Sumber: (Hasil Study Penulis)
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 37
Gambar 24. Diagram alir terkait efek toksik sianida di dalam tubuh
Sumber: (Hasil Study Penulis)
38 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
Asetonitril (CH3CN) dan sianida (CN) dapat berikatan dan
menonaktifkan beberapa enzim yang mengandung besi dalam
bentuk Ferri (Fe3+) dan kobalt. Ikatan kimia tersebut menyebabkan
hilangnya integritas struktural dan efektivitas enzim. Sianida
dapat menyebabkan terjadinya hipoksia intraseluler dengan
mengikat sitokrom oksidase a3 dalam mitokondria. Sitokrom
oksidase a3 berperan penting dalam reduksi oksigen menjadi air
melalui proses fosforilasi oksidasi.
Ikatan ini menyebabkan terhambatnya enzim terminal dari
rantai respirasi, rantai transport elektron dan proses fosforilasi
oksidatif. Fosforilasi oksidatif adalah proses menggunakan
oksigen untuk menghasilkan adenosine triphosphate (ATP).
Gangguan pada proses ini berakibat fatal karena sangat berperan
penting untuk mensintesis ATP dan berlangsungnya respirasi sel.
Pasokan ATP yang rendah menghambat mitokondria dalam
mengekstraksi dan menggunakan oksigen, sehingga walaupun
kadar oksigen normal dalam darah tetap tidak dapat digunakan
untuk menghasilkan ATP. Akibatnya, terjadi pergeseran
metabolisme sel dari aerobik menjadi anaerobik.
Berhentinya respirasi aerobik menyebabkan akumulasi
oksigen dalam vena. Pada keadaan ini, permasalahanya bukan
pada pengiriman oksigen tetapi pengeluaran dan pemanfaatan
oksigen di tingkat sel. Hal ini mengakibatkan energi sel bekurang
sehingga kemampuan sel menggunakan oksigen menurun.
Mitokondria terdapat pada organ hati, ginjal, dan otak, sehingga
efek yang ditimbulkan sianida akan berefek pada organ tersebut
(Kim et al., 2016). Selain itu sianida dapat mengikat
methemoglobin, yang konsentrasinya antara 1-2% dari kadar
hemoglobin dalam darah. Ikatan sianida ini membuat jenis
hemoglobin ini tidak mampu membawa oksigen (gangguan pada
difusi), sehingga dapat mengakibatkan kerusakan sel dalam
berbagai jaringan organ tubuh (Achyani, 2011; Cahyawati et al.,
2017; Catherine dan Ferdinal, 2018; Gasparetto et al., 2012).
Struktur berikatan sianida dengan Fe3+ dapat dilihat pada Gambar
25 :
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 39
Gambar 25. Bentuk ikatan sianida dengan ferri (Fe3+)
Sumber: (Hasil Study Penulis)
Gambar 26. Reaksi pembentukan ROS oleh mitokondria dan NADPH
oksidase
Sumber: (Kikusato et al., 2016; Meo et al., 2016; Susilawati, 2021)
40 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
Gambar 27. Reaksi berikatan asam arakidonat (PUFA) dengan radikal
bebas sehingga menghasilkan MDA
Sumber: (Ligor et al., 2012; Venkatachalam et al., 2012)
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 41
Gambar 28. Penjelasan reaksi berikatan antara asam arakidonat
(PUFA) dengan radikal bebas superoksida dan
hidroksil radikal sehingga menghasilkan MDA
Sumber: (Hasil Study Penulis)
42 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
Gambar 29. Reaksi berikatan antara MDA dengan protein (amina
grup-NH2)
Sumber: (Jové et al., 2020; Papuc et al., 2016)
Gambar 30. Penjelasan reaksi berikatan antara MDA dengan protein
(amina grup-NH2)
Sumber: (Hasil Study Penulis)
Hipoksia dapat mengakibatkan peningkatan produksi ROS
oleh mitokondria, sehingga menyebabkan stres oksidatif yang
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 43
berdampak pada kerusakan sel di berbagai jaringan (Catherine
dan Ferdinal, 2018). Sumber ROS pada keadaan hipoksia berasal
dari mitokondria dan aktivitas enzim NADPH oksidase (Andriani
et al., 2016). ROS yang dihasilkan yaitu superoksida radikal dan
hidroksil radikal. Hidroksil radikal yang menyebabkan putusnya
ikatan hidrogen pada karbon. Ikatan hidrogen tersebut diikat oleh
radikal hidroksil sehingga membentuk H2O (air). Hal ini
menyebabkan karbon PUFA menjadi tidak stabil karena
kehilangan ikatan dengan unsur hidrogen, sehingga radikal
superoksida dapat masuk dan berikatan dengan asam lemak tak
jenuh (PUFA) membran sel seperti asam arakidonat menghasilkan
peroksida radikal. Selanjutnya satu unsur oksigen pada radikal
superoksida belum mencapai kestabilan sehingga berikatan
dengan unsur hidrogen membentuk lipid hidroperoksida.
Kemudian lipid hidroperoksida mengalami reaksi siklik
membentuk peroksida siklik, endoperoksida siklik, dan
menghasilkan malondialdehyde (MDA).
Reaksi berikatan ROS dan PUFA meningkatan peroksidasi
lipid sehingga dari reaksi berikatan tersebut menghasilkan MDA.
Hal ini mengakibatkan kadar MDA meningkat. Peroksidasi lipid
merupakan reaksi oksidasi lipid secara terus-menerus oleh radikal
bebas. Keadaan ini meningkatkan marker stres oksidatif yaitu MDA
(Subandrate, 2016). MDA merupakan penanda kerusakan seluler
yang disebabkan oleh radikal bebas (Edem et al., 2012; Zaetun et
al., 2019).
Peroksidasi lipid dapat diinisiasi oleh molekul kimia yang
dapat mengambil atom hidrogen dari ikatan Polyunsaturated Fatty
Acid (PUFA) di membran sel. Molekul kimia tersebut yaitu radikal
hidroksil, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Asam
arakidonat merupakan PUFA yang terdapat pada membran sel
dan hepar yaitu. Pemecahan ikatan ini mengakibatkan asam
arakidonat menginduksi microsome platelet untuk menghasilkan
MDA dalam jumlah besar (Pratama et al., 2019). MDA bersifat
reaktif karena dapat berikatan dengan protein (amina grup)-NH2)
yang terdapat pada membran sel (Jové et al., 2020). Hasil dari
44 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
berikatannya MDA dengan protein menghasilkan senyawa liar
atau yang tidak diinginkan oleh sel yaitu lisin-MDA-lisin. Ikatan
ini akan menjadi rantai panjang yaitu lisin dapat berikatan lagi
oleh MDA sehingga akan menyebabkan kanker.
Asam arakidonat juga terdapat pada membran eritrosit.
Ikatan ROS dengan asam arakidonat pada membran eritrosit
menyebabkan hemolisis sel yang akan diikuti dengan
menurunnya kadar eritrosit diikuti hemogobin dan hematokrit
(Tamam et al., 2012). Perlu diingat bahwa radikal bebas tidak
dapat mempertahankan bentuk aslinya dalam waktu lama dan
akan segera berikatan dengan molekul lain disekitarnya, molekul
yang terambil elektronnya akan menjadi radikal bebas sehingga
memulai reaksi berantai yang akhirnya mengakibatkan kerusakan
bahkan kematian sel (Berlianti et al., 2014).
Hipoksia mengakibatkan otak merespon dengan cara
sekresi hormon CRF (Corticotropin Releasing Factor) oleh
hipotalamus, regulasi kelenjar pituitary melepas hormon ACTH
(Adrenocorticopin Hormone), sehingga merangsang sel interrenal
untuk sekresi hormon kortisol. Hormon ini berperan dalam proses
glukoneogenesis katabolisme non-karbohidrat yang akan
mendeposisi cadangan glikogen di hati dan otot untuk
meningkatkan glukosa darah. Glukosa darah akan digunakan
pada metabolisme anaerob untuk menghasilkan energi (Hastuti et
al., 2004; Nakano, 2020; Syawal et al., 2011).
Reaksi pembentukan ROS oleh mitokondria dan aktivitas
NADPH oksidase menghasilkan superoksida radikal anion (O2.-)
dan hidroksil radikal (OH.-). Radikal bebas ini akan berikatan
dengan asam arakidonat (PUFA) pada membran eritrosit dan
hepar, sehingga menghasilkan MDA. MDA sangat reaktif karena
dapat berikatan dengan protein (amina grup-NH2) pada membran
sel. Berdasarkan hal ini diketahui bahwa bahan aktif metomil
dapat merusak sel pada bagian membran sel yang terdapat lemak
dan protein. Semua keadaan yang disebabkan oleh sianida seperti
yang telah dijelaskan, menimbulkan stres oksidatif, sel akan
bekerja dalam keadaan tekanan oksidatif dan mengakibatkan
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 45
kerusakan sel. Stres oksidatif juga disebabkan karena gangguan
atau stres fisiologi seperti gangguan metabolisme dalam respirasi
sel yang dapat merusak sistem pertahanan sel dan akhirnya terjadi
stres oksidatif dan kerusakan sel (Berlianti et al., 2014). Stres
oksidatif dapat mengakibatkan pertahanan tubuh menurun
dikarenakan tubuh ikan dalam keadaan tidak stabil dan akan
berpengaruh terhadap leukosit. Hal ini disebabkan karena leukosit
memainkan peran kunci dalam sistem kekebalan dan menjadi
sangat penting di bawah kondisi stres (Ni et al., 2016). Toksisitas
asetonitril tergantung pada jumlah (dosis paparan), rute
kontaminasi, waktu, dan frekuensi paparan (Gasparetto et al.,
2012).
Ikan memiliki molekul yang bertanggung jawab atas
respons humoral bawaan dan adaptif dapat diubah oleh berbagai
zat yang salah satunya adalah pestisida (Díaz-Resendiz et al.,
2015). Molekul tersebut adalah molekul lisozim yang memiliki
peran penting dalam system imun innate yang sering mengalami
perubahan akibat paparan pestisida.
Sebuah studi menunjukkan bahwa aktifitas lisozim
meningkat pada hati dan limpa ikan sturgeon (Huso huso) yang
terekspose pestisida diazinon dengan konsentrasi akut (1,5 ppm)
namun pada paparan dengan konsentrasi subakut dan subklinis,
aktivitas lisozim menurun pada plasma, hati, ginjal, dan limpa.
Pada penelitian (Dıaz-Resendiz dan Girón-Pérez, 2014) dilaporkan
bahwa paparan klorpirifos (0,102 dan 0,2555 ppm) pada ikan nila
(Oreochromis niloticus) dapat memicu peningkatan aktivitas lisozim
dalam plasma akan tetapi pada konsentrasi yang lebih rendah
(0,051 ppm), pestisida ini tidak menyebabkan efek pada aktivitas
enzim tersebut
Molekul penting lainnya dari sistem imun innate pada
ikan adalah protein C3 komplemen yang juga dapat mengalami
perubahan akibat paparan pestisida. Deregulasi pada konsentrasi
dan ekspresi mRNA molekul ini telah dilaporkan terjadi pada
ginjal anterior, limpa, dan plasma ikan mas (C. carpio L.) yang
terpapar pestisida klorofenrifos secara akut (Li et al., 2013).
46 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
2.7 STUDI TOKSIKOLOGI METOMIL PADA IKAN
Pestisida yang masuk ke sistem perairan menjadi masalah
bagi lingkungan. Pembunuhan ikan terkait pestisida yang tidak
disengaja terjadi di seluruh dunia. Beberapa dari pembunuhan ini
melibatkan ribuan ikan. Ikan dan spesies satwa liar lainnya,
termasuk yang langka telah menjadi korban keracunan pestisida.
Penggunaan pestisida merupakan salah satu dari banyak faktor
yang berkonstribusi terhadap penurunan jumlah ikan dan spesies
akuatik lainnya.
Pestisida mampu membunuh salmon dan kehidupan air
lainnya secara langsung dan dalam waktu singkat. Paparan
pestisida tertentu dalam jangka panjang dapat mengubah
kemampuan berenang yang pada gilirannya dapat mengurangi
kemampuan untuk mencari makan, menghindari pemangsa, ke
wilayah tertentu, dan mempertahankan posisi di sistem sungai.
Banyak pestisida mengganggu perilaku ikan salmon untuk
menghindari pemangsaan selama migrasi. Gangguan perilaku
tersebut telah diteliti oleh beberapa peneliti terkait dengan efek
sub-lethal.
Beberapa pestisida telah terbukti menyebabkan ikan
mencari suhu air yang kurang optimal, sehingga mengakibatkan
rentan terhadap penyakit dan pemangsaan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pestisida tertentu dapat mengganggu
kemampuan salmon untuk berpindah dari air tawar ke air laut.
Namun dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Salmon dewasa
menyesuaikan migrasi mereka untuk menghindari daerah
tercemar yang mengakibatkan pemijahan tertunda. Perubahan
perilaku dapat mengganggu sistem kekebalan ikan salmon,
menyebabkan endokrin mengganggu pada tahap awal
perkembangan. Bertindak sebagai penghambat hormon seks,
menyebabkan perkembangan seksual abnormal, feminisasi laki-
laki, rasio seks abnormal dan perilaku kawin yang tidak biasa.
Mengganggu proses hormon lain, seperti fungsi tiroid dan
perkembangan tulang. Efek tidak langsung dari pestisida adalah
mengganggu pasokan makanan ikan, mengubah kebiasaan
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 47
akuatik, mengurangi pertumbuhan dan kemungkinan
kelangsungan hidup ikan.
Dilaporkan bahwa toksisitas kronis pada akhirnya dapat
menyebabkan kematian atau dapat mengakibatkan eliminasi
spesies atau individu dalam jangka waktu yang lama, melalui
sejumlah efek seperti induksi kemandulan, gangguan dalam
mekanisme pertahanan alami organisme, kehilangan nafsu makan,
kebutaan, hipereksitabilitas atau kelemahan lainnya dan
penurunan kesuburan (Apostol, 1979; Ewing, 1999; Dutta dan
Meijer, 2003; Louis dan Diana, 2013; Shankar et al., 2013).
Ikan nila (Oreochromis niloticus) yang terpapar pestisida
metomil dalam konsentrasi subletal selama 30 hari dapat
mempengaruhi kinerja sistem antioksidan pada hati dan
meningkatkan keberadaan stress oksidatif (Meng et al., 2013).
Selain itu penelitian terdahulu yang telah dilakukan terbukti
bahwa paparan pestisida berbahan aktif metomil dapat
mengakibatkan perubahan hematologi, kerusakan organ atau
jaringan serta menyebabkan kematian. Hal ini mengacu pada
penelitian Li et al. (2008); Elbialy et al. (2015); Islamy et al. (2017);
Islamy, (2017); Chinnamani et al. (2018). Toksisitas metomil untuk
hewan air telah menarik perhatian yang cukup besar (Meng et al.,
2016; Meng et al., 2017).
Paparan pestisida cenderung akan berdampak pada
kesehatan suatu organisme. Pada konsentrasi tertentu, pestisida
metomil dapat menyebabkan keracunan akut pada spesies P.
parva, menyebabkan kematian, neurotiksik dan menyebabkan
beberapa perubahan pada sejumlah enzim hepatic. Sedangkan
pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan gangguan pada
sistem endokrin dan menyebabkan gangguan berbagai gen
tertentu pada testis dan kelenjar pituitary pada ikan nila
(Oreochromis niloticus) yang mengarah pada perubahan tingkat
hormon seks steroid dan vitollohenin. Hal ini pada akhirnya akan
menyebabkan sistem reproduksi ikan nila mengalami disfungsi.
Ikan nila (O. niloticus) yang mengalami paparan melalui perairan
yang terkontaminasi metomil menimbulkan potensi dampak
48 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
negatif yaitu terjadinya gangguan pada sistem antioksidan pada
hati ikan. Dampak tersebut semakin meningkat seiring
meningkatnya waktu dan konsentrasi pemaparan (Li et al., 2008;
Meng et al., 2014; Meng et al., 2016).
Studi tentang dampak pemaparan pestisida menerangkan
adanya sejumlah peningkatan pada jumlah sel mikronuklei dalam
periferal sel darah merah ikan nila (O. niloticus) setelah terpapar
oleh pestisida. Sel mikronuklei dalam sel darah merah (eritrosit)
ikan dapat dijadikan sebagai teknik bioassay yang sangat berguna
dalam pengujian adanya dampak genotoksisitas. Hal ini juga
menunjukkan bahwa analisis mikronuklei memiliki potensi
sebagai alat untuk melihat kualitas air secara in situ (Al-Sabti dan
Metcalfe, 1995; Naqvi et al., 2016). Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kilawati dan Islamy (2019),
menunjukkan bahwa paparan bahan aktif metomil (Lannate® 25
WP) berbasis pada konsentrasi (LC50) 4,015 ppm menunjukkan
terbentuknya mikronukleus sebesar 318,33%. Hal ini juga sesuai
dengan hasil penelitian Islamy et al. (2017), bahwa paparan
pestisida berbasis metomil diinduksi setelah 96 jam secara
signifikan meningkatkan potensi genotoksik bersamaan dengan
peningkatan konsentrasi.
Hasil penelitian Chinnamani et al. (2018), menunjukkan
bahwa metomil menyebabkan penurunan parameter hematologi
pada Channa striatus. Sehingga pestisida metomil dapat
melemahkan dan menganggu kesehatan ikan serta mengakibatkan
gangguan fisiologis yang parah hingga mengakibatkan kematian
ikan. Berikut merupakan studi atau penelitian toksikologi
insektisida metomil pada ikan nila yang dapat dilihat pada Tabel
1.
Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel | 49
Tabel 1. Studi toksikologi bahan aktif metomil pada ikan nila
No
Sampel
Studi
Konsentrasi atau
Volume Metomil
Spesifik Statement
1
Ikan nila
0,2 -200 µg/L
Penghambatan sistem
antioksidan
2
Ikan nila
0,2-200 µg/L
Gangguan sistem
endokrin dan variasi
genetik
3
Ikan nila
3,2-10 mg/L
Genotoksisitas yang
disebabkan oleh metomil
4
Ikan nila
0,2-200 µg/L
Cedera dan apoptosis
jaringan testis
5
Ikan nila
0,2-200 µg/L
Menyebabkan kerusakan
oksidatif dan kerusakan
jaringan gonad
Sumber: (1) Meng et al., (2014); (2) Meng et al., (2016); (3) Islamy et al.,
(2017); (4) Meng et al., (2019); (5) Meng et al., (2021)
50 | Asetonitiril sebagai Produk Degradasi Metomil dalam Degradasi Sel
Deteksi Residu Metomil di Lingkungan | 51
52 | Deteksi Residu Metomil di Lingkungan
3.1 KONTROL KUALITAS PESTISIDA
Bahaya pestisida berbahan aktif metomil tidak hanya akan
dialami oleh organisme target namun juga organisme non target
(El-Gawad et al., 2012). Hal lain yang perlu lebih diwaspadai
adalah terjadinya biomagnifikasi, yaitu kontaminasi dan
akumulasi residu pestisida di dalam tubuh mahluk hidup melalui
rantai makanan. Oleh karena itu akan sangat berbahaya bagi
manusia karena menempati urutan pertama dalam rantai
makanan (Amilia et al., 2016). Akuakultur berkontribusi pada
keamanan pangan global sebagai salah satu sektor penghasil
makanan hewani yang berkembang paling cepat (Zahran et al.,
2018). Oleh karena itu dibutuhkan prosedur untuk kontrol kualitas
formulasi pestisida.
Metode Fourier Transform Infrared (FTIR) bertujuan untuk
identifikasi spektrum bahan aktif pestisida (Lee et al., 2017). Selain
itu, tujuan yang telah dijelaskan akan mengarah sebagai aturan
yang disarankan untuk kontrol kualitas formulasi pestisida yang
dapat diakses secara komersial dan memeriksa formulasi yang
dipalsukan yang membahayakan produk pangan (Asan Mohamed
dan Janaki, 2021). Keprihatinan publik dan meningkatnya
kesadaran akan pestisida membutuhkan metode yang tersedia
untuk menjamin kualitas dan keaslian. Pencocokan spektrum
banyak digunakan dalam berbagai bidang termasuk pencarian
spektrum senyawa yang tidak diketahui dalam database spektral
yang ada dan kontrol kualitas dengan cara membandingkan
spektrum produk dengan standar (Xia et al., 2022). Metode lain
yang dapat digunakan yaitu Gas ChromatographyMass
Spectrometry (GCMS) yaitu tergolong dalam deteksi formulasi
pestisida teknik tingkat tinggi karena sensitivitas dan
selektivitasnya, daya resolusi tinggi, dan keberadaan
perpustakaan spektrum massa untuk menyaring sampel yang
tidak diketahui (Hassaan dan El Nemr, 2020).
Deteksi Residu Metomil di Lingkungan | 53
3.2 DETEKSI RESIDU METOMIL DI LINGKUNGAN
Insektisida berbahan aktif metomil termasuk golongan
pestisida karbamat. Metode untuk mendeteksi residu metoksil di
lingkungan disajikan pada Tabel 2, 3, 4 dan 5.
Tabel 2. Metode deteksi dan ekstraksi sampel
No
Pestisida
Sampel
Teknik
Ekstraksi
Metode
Deteksi
1
Pestisida
multikelas
Air sumur
LLE
GC/FID
2
Multikelas
pestisida
River water
LLE
GC/FID
3
Organofosfor
Trifluralin
Endapan
LLE
GC/MS
4
Organofosfat
Air keran, Air
sungai, Air danau
SPE
GC/µECD
5
Organoklorin
Air minum dan air
lingkungan
SPE
GC-
QqQ/MS
6
Karbamat
Air danau, Air
sungai, Air sumur
SPE
UPLC-
MS/MS
7
Organofosfat
Keran air
SPE
HPLC/UV
8
Organoklorin
Air sungai, Air
permukaan, Air keran
SPME
GC/MS
9
Organofosfat
Air sungai, Limbah
pertanian
SPME
GC-
ICD/MS
10
Organofosfat
Air keran, Air hujan,
Air sungai
DLLME
HPLC
11
Multikelas
pestisida
Air, Susu, Jus buah
madu
SPE and
DLLME
GC/MS
12
Organophosph
orus
Tanah
SPE and
DLLME
GC/MS
13
Fungisida
Air danau, air sungai
SDME
HPLC
14
Klorotalonil,
Kresoxim-metil
famoxadone
Pabrik pengolahan
air limbah
SDME
HPLC
15
Organofosfat
Tanah
SDME
GC/NPD
54 | Deteksi Residu Metomil di Lingkungan
No
Pestisida
Sampel
Teknik
Ekstraksi
Metode
Deteksi
16
Pestisida
multikelas
Sayur dan buah
SPE
GC/MS
17
Organofosfat
Jus buah apel, jeruk,
anggur, dan nanas
SPE
GC/NPD
18
Organoklorin,
Triazin
Jus tebu, Jus buah
QuECh
ERS
GC/ECD
19
Organofosfat
Sayuran
CFME
GC/NPD
20
Pestisida
multikelas
Jus buah
SPME
-
21
Organofosfat
Terong Kubis
Kembang Kol
QuECh
ERS
LC-
MS/MS
22
Karbamat
Kentang
SPE
GC/FID,
GC/ NPD
23
Organoklorin
Jaringan ikan
QuECh
ERS
GC/ECD
24
Organoklorin
Jaringan otot ikan
SPME
GC/ECD
25
Pestisida
multikelas
Minyak sayur dan
buah
d-SPE
GC
MS/MS
26
Fungisida
Sayuran
Shaking
with
CH2Cl2
GC/NPD,
GC/µECD
Sumber: (1 dan 2) Farajzadeh et al. (2015); (3) Hassan et al. (2010); (4)
Rashidi et al. (2017); (5) Liu et al. (2017); (6) Shi et al. (2014); (7)
Ravelo-Pérez et al. (2008); (8 dan 10) Wang et al. (2016); (9)
Saraji et al. (2015); (11) Shamsipur et al. (2016); (12) Ahmadi et
al. (2015); (13 dan 14) Amde et al. (2015); (15) Salemi et al.
(2013); (16) Sivaperumal et al. (2015); (17) Katsumata et al.
(2008); (18) Furlani et al. (2011); (19) Wu et al. (2016); (20)
Pelit et al. (2015); (21) Sinha et al. (2012); (22) Delgado et al.
(2001); (23) Stremel et al. (2018); (24) Fidalgo-Used et al.
(2003); (25) Uclés et al. (2018); (26) Khummueng et al. (2006)
Deteksi Residu Metomil di Lingkungan | 55
Tabel 3. Metode deteksi pestisida
No
Metode
Ekstraksi
Keuntungan
Kerugian
1
GC/ECD
Sensitivitas tinggi
dan selektivitas yang
baik dengan elemen
detektor yang
selektif
Daya penyelesaian
tinggi dan
kemampuan untuk
menyelesaikan analit
Penggunaan pelarut
yang banyak
Tidak memadai
untuk senyawa
polar, termo-labil,
dan volatilitas
rendah
Kemurnian gas
tinggi
2
GC/MS and
GC/MS/MS
Sensitivitas dan
selektivitas tinggi
Daya resolusi tinggi
dan kemampuan
untuk
menyelesaikan analit
Keberadaan
perpustakaan
spektrum massa
untuk menyaring
sampel yang tidak
diketahui
Penggunaan pelarut
yang banyak
Tidak memadai
untuk senyawa
polar, termo-labil,
dan volatilitas
rendah
Kemurnian gas
tinggi
3
LC/UV
Komposisi fase gerak
dan fase diam
bervariasi
Dapat digunakan
untuk hampir semua
zat terlarut organik,
terlepas dari
volatilitas atau
stabilitas termalnya
Harga murah,
mudah
diaplikasikan, dan
Sebagian besar
menggunakan
pelarut organik
yang mahal,
beracun,
digunakan sebagai
fase gerak
Efisiensi dan
selektivitas
pemisahan yang
tidak memadai
56 | Deteksi Residu Metomil di Lingkungan
No
Metode
Ekstraksi
Keuntungan
Kerugian
rentang linier yang
besar
Dapat diotomatisasi
dan diperkecil
(teknologi microchip)
4
LC/
Fluorescence
Efisiensi pemisahan
yang tinggi
Beberapa senyawa
berfluoresensi
5
LC/MS
LC/MS/MS
Komposisi fase gerak
dan fase diam
bervariasi
Aplikasi untuk
hampir semua zat
terlarut organik,
terlepas dari
volatilitas atau
stabilitas termalnya
Dapat diotomatisasi
dan diperkecil
(teknologi microchip)
Penggunaan pelarut
yang banyak
Dipengaruhi oleh
gangguan matriks
(peningkatan ion)
Kurangnya
perpustakaan
spektral
Identifikasi sulit
menggunakan
sampel yang
menyediakan
ionisasi lunak
6
AMS
Advantage
(PSI/MS-
DESI- DART)
Analisis senyawa
langsung dari
lingkungan asalnya
Tidak membutuhkan
persiapan sampel
Fitur yang mudah
digunakan
Sebagian besar
teknologi masih perlu
membawa sampel
kembali ke
laboratorium untuk
dianalisis, hal ini
disebabkan
keterbatasan
teknologi itu sendiri
dan spektrometer
massa
6
AMS
Advantage
(PSI/MS-
Analisis senyawa
langsung dari
lingkungan asalnya
Sebagian besar
teknologi masih perlu
membawa sampel
Deteksi Residu Metomil di Lingkungan | 57
No
Metode
Ekstraksi
Keuntungan
Kerugian
DESI- DART)
Tidak membutuhkan
persiapan sampel
Fitur yang mudah
digunakan
kembali ke
laboratorium untuk
dianalisis, hal ini
disebabkan
keterbatasan
teknologi itu sendiri
dan spektrometer
massa
Sumber: (Hassaan dan El Nemr, 2020)
Tabel 4. Metode deteksi lainnya
No
Metode Deteksi
1
GC/FID-GC/ECD-GC/FPD-GC/NPD-GC-µECD
2
Optical biosensors
3
Capillary electrophoresis (CE)
4
Piezoelectric biosensor
5
Micellar electrokinetic capillary chromatography (MEKC)
6
HPLC/MS-HPLC/MS/MS-HPLC/DAD-HPLC/UV
7
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
8
Electrochemical biosensors
9
Molecular imprinted polymer (MIP) biosensor
10
UHPLC/MS-UHPLC/TOF/MS-LC-MS/MS
Sumber: (Hassaan dan El Nemr, 2020)
Tabel 5. Metode ekstraksi sampel
No
Metode
Ekstraksi
Keuntungan
Kerugian
1
Liquid-liquid
extraction
(LLE)
Sederhana, mudah
beradaptasi dengan
berbagai jenis sampel
dan analisis.
Kompatibel dengan
sebagian besar alat
analisis
Memerlukan pelarut
dalam jumlah besar
Teknik yang
memakan waktu
58 | Deteksi Residu Metomil di Lingkungan
No
Metode
Ekstraksi
Keuntungan
Kerugian
2
Solid phase
extraction
(SPE)
Lebih sedikit memakan
waktu daripada LLE,
dan memiliki teknologi
yang kuat untuk
memurnikan dan
melakukan pra-fokus
Memerlukan pra-
perawatan dan
membutuhkan pelarut
organik lebih banyak
3
Quick, easy,
cheap,
rugged,
effective and
safe
(QuEChERS)
Berbagai macam
analisis (termasuk
pestisida dengan
polaritas tinggi, asam
dan basa),
membutuhkan pelarut
dan peralatan gelas
dengan volume
rendah, dan perangkat
yang sederhana,
fleksibel dan efisien
Faktor pengayaan
rendah
4
Solid phase
micro-
extraction
(SPME)
Bebas pelarut,
sederhana dan mudah
digunakan, cepat, dan
portabel
Kesulitan dalam
pemindahan sampel
Cukup rapuh untuk
serat, dan masa
pakai terbatas
5
Dispersive
liquidliquid
micro-
extraction
(DLLME)
Kesederhanaan,
menggunakan pelarut
dalam jumlah kecil,
ekstraksi kecepatan
tinggi,
dan murah
Efisiensi ekstraksi
yang rendah
6
Single drop
micro-
extraction
(SDME)
Cepat dan murah,
mudah dioperasikan,
ramah lingkungan
karena membutuhkan
sedikit pelarut organik,
dan pembaruan fase
ekstraksi
Kurangnya stabilitas
dari suspending drop,
dan waktu ekstraksi
yang cukup lama
Deteksi Residu Metomil di Lingkungan | 59
No
Metode
Ekstraksi
Keuntungan
Kerugian
7
Hollow fiber-
liquid phase
micro-
extraction
(HF-LPME)
Biaya rendah,
pengurangan
signifikan dalam
volume penerima dan
fase sampel, faktor
pemupukan tinggi,
kemampuan luar biasa
untuk kebersihan
sampel
Kesulitan
otomatisasi penuh
dalam konfigurasi
throughput tinggi
Kontaminasi sampel
larutan terutama
dari pengaduk
magnet yang
terkontaminasi
8
Continuous
Flow Micro-
extraction
(CFME)
Konsumsi pelarut yang
lebih sedikit,
penggunaan alat yang
murah, dan ekstraksi
pestisida yang cepat,
sederhana dan efisien
dalam matriks yang
kompleks
Volume tetesan
mikro terbatas
Kesulitan saat
memasukkan tetesan
ke dalam ruang kaca
ekstraksi
Sumber: (Hassaan dan El Nemr, 2020)
60 | Deteksi Residu Metomil di Lingkungan
61
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Aziz, E. S. H., Abdu, S. B. S., Ali, T. E. S., & Fouad, H. F.
(2010). Haemopoiesis in the Head Kidney of Tilapia,
Oreochromis niloticus (Teleostei: Cichlidae): A
Morphological (Optical and Ultrastructural) Study. Fish
Physiology and Biochemistry, 36(3), 323336.
https://doi.org/10.1007/s10695-008-9297-z
Afshan, S., Ali, S., Ameen, U. S., Farid, M., Bharwana, S. A.,
Hannan, F., & Ahmad, R. (2014). Effect of Different Heavy
Metal Pollution on Fish. Res. J. Chem. Environ., 2, 7479.
Ahmadi, K., Abdollahzadeh, Y Asadollahzadeh, M., Hemmati, A.,
Tavakoli, H., & Torkaman, R. (2015). Chemometric Assisted
Ultrasound Leaching-Solid Phase Extraction Followed by
Dispersive-Solidification LiquidLiquid Microextraction for
Determination of Organophosphorus Pesticides in Soil
Samples. Talanta, 137, 167173.
Al-Sabti, K., & Metcalfe, C. D. (1995). Fish Micronuclei for
Assessing Genotoxicity in Water. Mutat. Res, 343, 121135.
Amde, M., Tan, Z. Q., Liu, R., & Liu, J. F. (2015). Nanofluid of Zinc
Oxide Nanoparticles in Ionic Liquid for Single Drop Liquid
Microextraction of Fungicides in Environmental Waters
Prior to High Performance Liquid Chromatographic
analysis. Journal of Chromatography B, 1395, 715.
Amilia, E., Joy, B., & Sunardi, S. (2016). Residu Pestisida pada
Tanaman Hortikultura (Studi Kasus di Desa Cihanjuang
Rahayu Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat).
Agrikultura, 27(1), 2329.
https://doi.org/10.24198/agrikultura.v27i1.8473
Andriani, A., Prijanti, A. R., Mudjihartini, N., & Jusman, S. W. A.
(2016). Dampak Hipoksia Sistemik terhadap
Malondialdehida, Glial Fibrillary Acidic Protein dan
Aktivitas Asetilkolin Esterase Otak Tikus. EJournal
Kedokteran Indonesia, 4(2), 112118.
62 | Daftar Pustaka
https://doi.org/10.23886/ejki.4.6287.112-8
Apostol, S. (1979). The Toxicity of Certain Pesticides to Protozoa.
Proc . Symp. Environ. Biol, 97102.
Asan Mohamed, B., & Janaki, P. (2021). Determination of active
ingredients in commercial insecticides using spectral
characteristics of fourier transform infrared spectroscopy
(Ftir). Journal of Applied and Natural Science, 13(SI), 110123.
https://doi.org/10.31018/jans.v13iSI.2809
Atifah, Y., Lubis, M., Lubis, L. T., & Maulana, A. (2019).
Pencemaran Pestisida pada Sungai Batang Gadis,
Mandailing Natal, Sumatera Utara. BIOEDUSCIENCE: Jurnal
Pendidikan Biologi Dan Sains, 3(2), 100105.
https://doi.org/10.29405/j.bes/32100-1053729
Authman, M. M., Ibrahim, S. A., El-Kasheif, M. A., & Gaber, H. S.
(2013). Heavy metals pollution and their effects on gills and
liver of the Nile Catfish inhabiting El-Rahawy Drain, Egypt.
Glob. Vet., 10, 103115.
Azani, W., Zainuddin, & Rahmi, E. (2017). Gambaran Histologis
Sistem Urinaria Ikan Gabus (channa striata). Jimvet, 01(4),
709714.
Berlianti, N. A., Widodo, C. S., & Juswono, U. P. (2014). Studi
Tentang Pengaruh Limbah Pencemar Terhadap Kandungan
Radikal Bebas pada Organ Insang Ikan Nila (Oreochromis
niloticus). Natural, 2(4), 355310.
Cahyawati, P. N., Zahran, I., Jufri, M. I., & Noviana. (2017).
Keracunan Akut Sianida. WICAKSANA: Jurnal Lingkungan
Dan Pembangunan, 1(1), 8087.
Campbell, N. A., & Reece, J. B. (2002). Biology. San Francisco, CA:
Cummings. CA: Cummings.
Carvalho, F. P. (2017). Pesticides, environment, and Food safety.
Food and Energy Security, 6(2), 4860.
Catherine, C., & Ferdinal, F. (2018). Pengaruh Hipoksia Sistemik
Kronik terhadap Kadar Malondialdehid (MDA) pada darah
dan Jaringan Ginjal Tikus Sprague Dawley. Tarumanagara
Medical Journal, 1(1), 5458.
Daftar Pustaka | 63
Chau, A. S. Y., & Afghan, B. K. (2020). Anal of Pest in Water Anal
Nitrogen Cont Pest (A. S. Y. Chau & B. K. Afghan (eds.)). CRC
Press.
Chinnamani, S., Mageswari, M., Murugaian, P., & Sivasuriyan, S.
(2018). Hamatological Response in a Freshwater Fish
Channa striatus Exposed to Endosulfan Pesticide.
International Journal of Zoology and Applied Biosciences, 3(4),
344348.
Chouw, A., Putera, B. W., Sartika, C. R., Diantini, A., Djuwantono,
T., Faried, A., Dewi, D. A. P., & Riswandani, J. (2019).
Pengaruh Usia Ibu Hamil terhadap Jumlah Sel Punca
Hematopoietik dan Very Small Embryonic-like Stem Cell
pada Darah Tali Pusat. Indonesian Journal of Clinical
Pharmacy, 8(2), 114120.
https://doi.org/10.15416/ijcp.2019.8.2.114
Delgado, M. J. S., Barroso, S. R., Fernandez-Tostado, G. T., & Polo-
Diez, L. M. (2001). Stability Studies of Carbamate Pesticides
and Analysis by Gas Chromatography with Flame
Ionization and Nitrogen-Phosphorus Detection. Journal of
Chromatography A, 921, 287296.
Dewi, E., Fadliyani, & Ismiranda. (2018). Jurnal Sains Riset |
Volume VIII Nomor I 55 Jurnal Sains Riset | Volume VIII
Nomor I 88. Jurnal Sains Riset Riset, VIII(1), 2530.
Díaz-Resendiz, K. J. G., Toledo-Ibarra, G. A., Girón-PérezDíaz-
Resendiz, M., & I. (2015). Modulation of Immune Response
by Organophosphorus Pesticides: Fishes as a Potential
Model in Immunotoxicology. Journal of Immunology Research,
Volume 201, 10 pages.
Dıaz-Resendiz, K. J. G., & Girón-Pérez, M. I. (2014). Effect of chlor-
pyrifos on the immune response of Nile tilapia (Oreochromis
niloticus). Revista Bio Ciencias, 3(1), 5964.
Djojosumarto, P. (2008). Pestisida dan Aplikasinya. PT: Agromedia
Pustaka.
Dutta, H. M., & Meijer, H. J. M. (2003). Sub-lethal effects of
Diazinon on the structure of the testis of bluegill. lepomis
64 | Daftar Pustaka
macrochirus: a microscopic analysis. Environ. Pollut, 125(3),
355360.
Edem, V. F., Kosoko, A., Akinyoola, S. B., Owoeye, O., Rahamon,
S. K., & Arinola, O. G. (2012). Plasma Antioxidant enzymes,
lipid Peroxidation and Hydrogen Peroxide in Wistar Rats
Exposed to Dichlorvos Insecticide. Archives of Applied Science
Research, 4(4), 17781781.
El-Gawad, E. A. A., Abbass, A. A., & Shaheen, A. A. (2012). Risks
Induced by Pesticides on Fish Reproduction. The Global
Journal of Fisheries and Aqua. Res, 5(5), 329338.
Elbialy, Z., Ismail, T., Abdelhady, D., & Elasely, A. (2015).
Assessment of Genotoxic Effects of Pesticide Residues and
Related Haemato-Biochemical Parameters on Farmed Nile
Tilapia (Oreochromis Niloticus L.) in Kafrelsheikh
Governorate, Egypt. Alexandria Journal of Veterinary Sciences,
44(1), 136. https://doi.org/10.5455/ajvs.176708
EPA. (1998). Environmental Protection Agency of the United.
Evans, D. H., Piermarini, P. M., & Choe, K. P. (2005). The
Multifunctional Fish Gill: Dominant Site of Gas Exchange,
Osmoregulation, Acid-base Regulation, and Excretion of
Nitrogenous Waste. Physiological Reviews, 85(1), 97177.
https://doi.org/10.1152/physrev.00050.2003
Ewing, R. D. (1999). Diminishing Returns: Salmon Decline and
Pesticides. In Biotech Research and consulting, INC., Corvallis
(p. 55). Funded by the orgon pesticide education network.
Fang, L., Song, C., Zhang, J., Zhang, S., Zhang, C., Chen, J., &
Meng, S. (2019). Effects of Multiple Environmental Factors
on the Elimination of Methomyl in Aquaculture Water.
Aquaculture Environment Interactions, 11, 213220.
https://doi.org/10.3354/aei00304
Farajzadeh, M. A., Feriduni, B., & Mogaddam, M. R. A. (2015).
Development of Counter Current Salting-out Homogenous
Liquid-Liquid Extraction for Isolation and Preconcentration
of Some Pesticides from Aqueous Samples. Analytica Chimica
Acta, 885, 122131.
Daftar Pustaka | 65
Fidalgo-Used, N., Centineo, G., Blanco-Gonzalez, E., & Sanz-
Medel, A. (2003). Solid- Phase Microextraction as a Clean-up
and Preconcentration Procedure for Organochlorine
Pesticides Determination in Fish Tissue by Gas
Chromatography with Electron Capture Detection. Journal of
Chromatography A, 1017, 3544.
Furlani, R. P. Z., Marcilio, K. M., Leme, F. M., & Tfoun, S. A. V.
(2011). Analysis of Pesticide Residues in Sugarcane Juice
Using QuEChERS Sample Preparation and Gas
Chromatography with Electron Capture Detection. Food
Chemistry, 126, 1283 1287.
Furst, B. (2015). The Heart: Pressure-Propulsion Pump or Organ of
Impedance? Journal of Cardiothoracic and Vascular Anesthesia,
29(6), 115. https://doi.org/10.1053/j.jvca.2015.02.022
Gasparetto, J. C., De Francisco, T. G., Campos, F. R., & Pontarolo,
R. (2012). The Impact of Acetonitrile on Human health:
Clinical and Toxicological Overview. International Journal of
Child Health and Human Development, 5(3), 289300.
Govind, P. (2013). Toxicity of Cyanide in Fishes: an Overview.
Universal Journal of Pharmacy, 2(2), 2326.
Haider, H. H., & Kata, F. S. (2020). The Protective Role of Ascorbic
Acid in the Reproductive Functions of Female Laboratory
Mice Treated with Methomyl Pesticide. Journal of Basrah
Researches, 46(2), 89102.
Harwin, F. M., Lyons, L., & Monsen, H. (1984). The Liver, a Poster.
In Anatomical Chart Company, Chicago, Illinois. Wolters
Kluwer/Lippincott Williams andWilkins: Pub- lishers.
Hassaan, M. A., & El Nemr, A. (2020). Pesticides pollution:
Classifications, human health impact, extraction and
treatment techniques. Egyptian Journal of Aquatic Research,
46(3), 207220. https://doi.org/10.1016/j.ejar.2020.08.007
Hassan, J., Farahani, A., Shamsipur, M., & Damerchili, F. (2010).
Rapid and Simple Low Density Miniaturized Homogeneous
LiquidLiquid Extraction and Gas Chromatography/Mass
Spectrometric Determination of Pesticide Residues in
66 | Daftar Pustaka
Sediment. Journal of Hazardous Materials, 184, 869871.
Hastuti, S., Mokoginta, I., Dana, D., & Sutardi, T. (2004). Resistensi
Terhadap Stres dan Respons Imunitas Ikan Gurami
(Osphronemus Gouramy, Lac.) Yang Diberi Pakan
Mengandung Kromium-Ragi. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan Dan
Perikanan Indonesia, 11(1), 1521.
https://journal.ipb.ac.id/index.php/jippi/article/view/704
5
Howard, P. H. (2017). Fate and Exposure Data for Organic Chemicals
(P. H. Howard (ed.); Volume III). CRC Press.
Hudha, A. M., & Husamah. (2015). Problematika Perilaku Petani di
Kota Batu Dalam Penggunaan Pestisida Sintesis dan
Penanggulangannya Berbasis Eco-Education. In Fullpaper
Seminar Nasional Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan
(BKPSL) dan PPLH Unsri.
Ibrahem, M. D. (2012). Experimental exposure of african catfish
Clarias Gariepinus (Burchell, 1822) to phenol: clinical
evaluation, tissue alterations and residue assessment. Journal
Of Advanced Research, 3, 177183.
Irene, C., Eddiwan, E., & Windarti, W. (2021). STUDY OF GILL,
KIDNEY AND LIVER STRUCTURE OF Pangasius
hypophthalmus IN THE TANJUNG KUDU LAKE AND
SAIL RIVERS, RIAU PROVINCE. Asian Journal of Aquatic
Sciences, 4(2), 134143.
https://doi.org/10.31258/ajoas.4.2.134-143
Islamy, R. A. (2017). Pengaruh Flavonoid Rumput Laut Coklat
(Sargassum sp.) Terhadap Hematologi, Mikronuklei dan Histologi
Pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Setelah Dipapar Pestisida
Berbahan Aktif Metomil. Universitas Brawijaya.
Islamy, R. A., Yanuhar, U., & Hertika, A. M. S. (2017). Assessing
the Genotoxic Potentials of Methomyl-based Pesticide in
Tilapia (Oreochromis niloticus) Using Micronucleus Assay.
The Journal of Experimental Life Sciences, 7(2), 8893.
https://doi.org/10.21776/ub.jels.2017.007.02.05
Jamin, & Erlangga. (2016). Pengaruh insektisida golongan
Daftar Pustaka | 67
organofosfat terhadap benih ikan nila gift (Oreochromis
niloticus, Bleeker): analisis histologi hati dan insang. Acta
Aquatica, 3(2), 4653.
Jannah, R., Rosmaidar, Nazaruddin, Winaruddin, Balqis, U., &
Armansyah, T. (2017). Pengaruh paparan timbal (Pb)
terhadap histopatologis hati ikan nila (Oreochromis
nilloticus). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Veteriner, 01(4), 742748.
Jové, M., Mota-Martorell, N., Pamplona, R., Pradas, I., Martín-Gari,
M., Ayala, V., & Pamplona, R. (2020). The Advanced
Lipoxidation end-Product Malondialdehyde-Lysine in
Aging and Longevity. Antioxidants, 9(1132), 120.
https://doi.org/10.3390/antiox9111132
Junquiera, L. C., & Carneiro, J. (2012). Histologi Dasar (Edisis 10).
Kardinan, A., & Ruhnayat, A. (2000). Mimba: Manfaat dan
Budidaya. Penebar Swadaya.
Katsumata, H., Matsumoto, T., Kaneco, S., Suzuki, T., & Ohta, K.
(2008). Preconcentration of Diazinon Using Multiwalled
Carbon Nanotubes as Solid-Phase Extraction Adsorbents.
Microchemical Journal, 88, 8286.
Khummueng, W., Trenerry, C., Rose, G., & Marriott, P. J. (2006).
Application of Comprehensive Two-Dimensional Gas
Chromatography with Nitrogenselectivedetection for the
Analysis of Fungicide Residues in Vegetable Samples.
Journal of Chromatography A, 1131, 203214.
Kikusato, M., Furukawa, K., & Toyomizu, M. (2016). Roles of
mitochondrial oxidative phosphorylation and reactive
oxygen species generation in the metabolic modification of
avian skeletal muscle. Proceedings of the Japan Society for
Animal Nutrition and Metabolism, 60(2), 5767.
Kilawati, Y., & Islamy, R. A. (2019). The Antigenotoxic Activity of
Brown Seaweed (Sargassum sp.) Extract Against Total
Erythrocyte and Micronuclei of Tilapia Oreochromis
niloticus Exposed by Methomyl-Base Pesticide. The Journal of
Experimental Life Sciences, 9(3), 205210.
https://doi.org/10.21776/ub.jels.2019.009.03.11
68 | Daftar Pustaka
Kim, J., Perales Villarroel, J. P., Zhang, W., Yin, T., Shinozaki, K.,
Hong, A., Lampe, J. W., & Becker, L. B. (2016). The
Responses of Tissues from the Brain, Heart, Kidney, and
Liver to Resuscitation Following Prolonged Cardiac Arrest
by Examining Mitochondrial Respiration in Rats. Oxidative
Medicine and Cellular Longevity, 7463407, 17.
https://doi.org/10.1155/2016/7463407
Kongphonprom, K., & Burakham, R. (2016). Determination of
Carbamate Insecticides in Water, Fruit, and Vegetables by
Ultrasound-Assisted Dispersive Liquid-Liquid Micro
Extraction and High-Performance Liquid Chromatography.
Anal. Lett., 49, 753767.
Lagler, K. F., Bardach, J. E., Milller, R. F., & Passino, D. R. M.
(1977). Ichthyyology. John Willey and Sons. Inc. New York-
London.
Laily, H., Farikhah, F., & Firmani, U. (2018). ANALISIS
HISTOLOGIS GINJAL, HATI DAN JANTUNG IKAN LELE
AFRIKA Clarias gariepinus YANG MENGALAMI
ANOMALI PADA SIRIP PEKTORAL. Jurnal Perikanan
Pantura (JPP), 1(2), 30.
Lee, L. C., Liong, C. Y., & Jemain, A. A. (2017). A Con- temporary
Review on Data Preprocessing (DP) Practice Strategy in
ATR-FTIR Spectrum. Chemometrics and Intelli- Gent Laboratory
Systems, 163, 6475. https://doi.org/doi:https://
doi.org/10.1016/j.chemolab.2017.02.008
Lestari, W. P., Wiratmini, N. I., & R, D. A. A. G. (2018). Struktur
Histologi Insang Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus L.)
Sebagai Indikator Kualitas Air Lagoon Nusa Dua, Bali.
Simbiosis, 6(2), 4549.
https://doi.org/10.24843/jsimbiosis.2018.v06.i02.p03
Li, C., Yue, Z., Feng, F., Xi, C., Zang, H., An, X., & Liu, K. (2016). A
Novel Strategy for Acetonitrile Wastewater Treatment by
Using a Recombinant Bacterium with Biofilm-Forming and
Nitrile-Degrading Capability. Chemosphere, 161, 224-232.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.chemosphere.20
Daftar Pustaka | 69
16.07.019.
Li, H., Jiang, H., Gao, X., Wang, X., Qu, W., Lin, R., & Chen, J.
(2008). Acute toxicity of the pesticide methomyl on the
topmouth gudgeon (Pseudorasbora parva): Mortality and
effects on four biomarkers. Fish Physiology and Biochemistry,
34(3), 209216. https://doi.org/10.1007/s10695-007-9178-x
Li, W., Cressy, M., Qin, H., Fulga, T., Van Vactor, D., & Dubnau, J.
(2013). MicroRNA- 276a Functions in Ellipsoid Body and
Mushroom Body Neurons for Naive and Conditioned
Olfactory Avoidance in Drosophila. Jurnal Neuroscience,
33(13), 5821--5833.
Lialy, H., Farikhah, & Firmani, U. (2018). Analisis histologis ginjal,
hati dan jantung ikan lele afrika Clarias gariepinus yang
mengalami anomali pada sirip pektoral. Perikanan Pantura
(JPP), 1(2), 3038.
Ligor, M., Olszowy, P., & Buszewski, B. (2012). Application of
Medical and Analytical Methods in Lyme Borreliosis
Monitoring. Analytical and Bioanalytical Chemistry, 402(7),
22332248. https://doi.org/10.1007/s00216-011-5451-z
Lin, Z., Zhang, W., Pang, S., Huang, Y., Mishra, S., Bhatt, P., &
Chen, S. (2020). Current Approaches to and Future
Perspectives on Methomyl Degradation in Contaminated
Soil/Water Environments. Molecules, 25(3), 116.
https://doi.org/10.3390/molecules25030738
Liu, Y., Gao, Z., Wu, R., Wang, Z., Chen, X., & Chan, T. W. D.
(2017). Magnetic Porous Carbon Derived from a Bimetallic
MetalOrganic Framework for Magnetic Solid- Phase
Extraction of Organochlorine Pesticides From Drinking and
Environmental Water Samples. Journal of Chromatography A,
1479, 5561.
Logue, R. P., Krischten, N. P., Petrikovics, I., Moser, M. A.,
Rockwood, G. A., & Baskin, S. I. (2005). Determination of
The Cyanide Metabolite 2-Aminothiazoline-4-Carboxylic
Acid in Urine and Plasma by Gas Chromatography-mass
Spectrometry. J. Chromat. B., 819, 237244.
70 | Daftar Pustaka
Losek, J., Rock, A., & Boldt, R. (1991). Cyanide Poisoning from a
Cosmetics Nail Remover. Pediatrics, 88, 40337.
Louis, A. H., & Diana, L. W. (2013). Pesticides and Aquatic
animals: A Guide to reducing impacts on aquatic systems. In
Virgina Cooperative Extension (pp. 013420).
Lushchak, V. I., Matviishyn, T. M., Husak, V. V., Storey, J. M., &
Storey, K. B. (2018). Pesticide toxicity: A mechanistic
approach. EXCLI Journal, 17, 11011136.
https://doi.org/10.17179/excli2018-1710
Macirella, R., & Brunelli, E. (2017). Morphofunctional Alterations
in Zebrafish (Danio rerio) Gills after Exposure to Mercury
Chloride. International Journal of Molecular Sciences, 18(4).
https://doi.org/10.3390/ijms18040824
Maftuch, M., Putri, V. D., Lulloh, M. H., & Wibisono, F. K. H.
(2015). Studi Ikan Bandeng (Chanos chanos) yang
Dibudidayakan di Tambak Tercemar Limbah Kadmium
(Cd) dan Timbal (Pb) di Kalanganyar, Sidoarjo, Jawa Timur
Terhadap Histologi Hati, Ginjal dan Insang. Journal Of
Environmental Engineering and Sustainable Technology, 2(2),
114122.
Malhat, M., Watanabe, H., & Youssef, A. (2015). Degradation
Profile and Safety Evaluationof Methomyl Residues in
Tomato and Soil. Hellenic Plant Protection Journal, 8, 5562.
Mateus, F. H., Lepera, J. S., & Lanchote, V. L. (2005). Determination
of Acetonitrile and Cyanide in Rat Blood: Application to an
Experimental Study. Journal of Analytical Toxicology, 29(2),
105109. https://doi.org/10.1093/jat/29.2.105
Meidiantie, S., Ari, R., & Muanis, N. A. (2010). Petunjuk Praktis
Membuat Pestisida Organik. Agromedia Pustaka.
Meng, S., Chen, X., Song, C., Fan, L., Qiu, L., Zheng, Y., Chen, J., &
Xu, P. (2021). Effect of Chronic Exposure to Pesticide
Methomyl on Antioxidant Defense System in Testis of
Tilapia (Oreochromis niloticus) and Its Recovery Pattern.
Applied Sciences (Switzerland), 11(8).
https://doi.org/10.3390/app11083332
Daftar Pustaka | 71
Meng, S. L., Chen, J. Z., Hu, G. D., Song, C., Fan, L. M., Qiu, L. P.,
& Xu, P. (2014). Effects of Chronic Exposure of Methomyl on
The Antioxidant System in Liver of Nile Tilapia
(Oreochromis niloticus). Ecotoxicology and Environmental
Safety, 101(1), 16.
https://doi.org/10.1016/j.ecoenv.2013.10.020
Meng, S. L., Hu, G. D., Qiu, L. P., Song, C., Fan, L. M., Chen, J. Z.,
& Xu, P. (2013). Effects of Chronic Exposure of Methomyl on
The Antioxidant System in Kidney of Tilapia (Oreochromis
niloticus) and Recovery Pattern. J. Toxicol. Environ. Health
Part A, 76, 937943.
Meng, S. L., Liu, T., Chen, X., Qiu, L. P., Hu, G. D., Song, C., Fan, L.
M., Zheng, Y., Chen, J. Z., & Xu, P. (2019). Effect of Chronic
Exposure to Methomyl on Tissue Damage and Apoptosis in
Testis of Tilapia (Oreochromis niloticus) and Recovery
Pattern. Bulletin of Environmental Contamination and
Toxicology, 102(3), 371376. https://doi.org/10.1007/s00128-
018-2522-2
Meng, S. L., Qiu, L. P., Hu, G. D., Fan, L. M., Song, C., Zheng, Y.,
Wu, W., Qu, J. H., Li, D. D., & Chen, J. Z. (2016). Effects of
Methomyl on Steroidogenic Gene Transcription of The
Hypothalamic-Pituitary-Gonad-Liver Axis in Male Tilapia.
Chemosphere, 165, 152162.
Meng, S. L., Qiu, L. P., Hu, G. D., Fan, L. M., Song, C., Zheng, Y.,
Wu, W., Qu, J. H., Li, D. D., & Chen, J. Z. (2017). Effect of
Methomyl on Sex Steroid Hormone and Vitellogenin Levels
in Serum of Male Tilapia (Oreochromis niloticus) and
Recovery Pattern. Environ. Toxicol, 32, 18691877.
Meng, X., Guo, Y., Wang, Y., Fan, S., Wang, K., & Han, W. (2022).
A Systematic Review of Photolysis and Hydrolysis
Degradation Modes, Degradation Mechanisms, and
Identification Methods of Pesticides. Journal of Chemistry,
9552466, 113. https://doi.org/10.1155/2022/9552466
Meo, S. D., Reed, T. T., Venditti, P., & Victor, V. m. (2016). Role of
ROS and RNS Sources in Physiological and Pathological
72 | Daftar Pustaka
Conditions. Hindawi Publishing Corporation, 1245049, 44.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1155/2016/1245049
Michaelis, H. C., Clemes, C., Kijewski, H., Neurath, H., & Eggert,
A. (1991). Acetonitrile Serum Concentration and Cyanide
Blood-levels in a Case of Suicidal Oral Acetonitrile Ingestion.
Clin Toxicol, 29, 58447.
Mirghaed, A. T., Ghelichpour, M., & Mirzargar, S. S. (2018). Toxic
Effects of Indoxacarb on Gill and Kidney Histopathology
and Biochemical Indicators in Common Carp (Cyprinus
carpio). Aquaculture Research., 112.
Mirghaed, A. T., Ghelichpour, M., Mirzargar, S. S., Joshaghani, H.,
& Mousavi, H. E. (2018). Toxic effects of indoxacarb on gill
and kidney histopathology and biochemical indicators in
common carp (Cyprinus carpio). Aquaculture Research,
49(11), 112. https://doi.org/10.1111/are.13617
Montgomery, J. H., & Crompton, T. R. (2017). Environmental
Chemicals Desk Reference. CRC Press.
Mubarokah, L., Tjahjaningsih, W., & Sulmartiwi, L. (2016a). Efek
Immunotoksik Logam Berat Merkuri Klorida (HgCl2)
terhadap Perubahan Ukuran Melano-Makrofag Ginjal Ikan
Mas (Cyprinus carpio). Journal of Aquaculture and Fish Health,
5(3), 126133.
Mubarokah, L., Tjahjaningsih, W., & Sulmartiwi, L. (2016b). EFEK
IMMUNOTOKSIK LOGAM BERAT MERKURI KLORIDA
(HgCl2) TERHADAP PERUBAHAN UKURAN MELANO-
MAKROFAG GINJAL IKAN MAS (Cyprinus carpio). Journal
of Aquaculture and Fish Health, 5(3), 126133.
https://doi.org/10.20473/jafh.v5i3.11334
Murti, C. R. K., & Matsumura, F. (2012). Biodegradation of Pesticides
(C. R. K. Murti & F. Matsumura (eds.); I). Springer US.
https://doi.org/10.1007/978-1-4684-4088-1
Nakano, T. (2020). Stress in Fish and Application of Carotenoid for
Aquafeed as an Antistress Supplement. In Encyclopedia of
Marine Biotechnology (pp. 29993019).
https://doi.org/10.1002/9781119143802.ch134
Daftar Pustaka | 73
Naqvi, G. Z., Shoaib, N., & Ali, M. A. (2016). Genotoxic Potential of
Pesticides in the Peripheral Blood Erythrocytes of Fish
(Oreochromis mossambicus). Pakistan J. Zool, 48(6), 1643
1648.
Ni, M., Wen, H. S., Li, J., Chi, M., Bu, Y., Ren, Y., Zhang, M., Song,
Z., & Ding, H. (2016). Effects of stocking density on
mortality, growth and physiology of juvenile Amur sturgeon
(Acipenser schrenckii). Aquaculture Research, 47(5), 1596
1604. https://doi.org/10.1111/are.12620
Papuc, C., Goran, G. V., Predescu, C. N., & Nicorescu, V. (2016).
Mechanisms of Oxidative Processes in Meat and Toxicity
Induced by Postprandial Degradation Products: A Review.
Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, 00, 1
28. https://doi.org/10.1111/1541-4337.12241
Pelit, F. O., Pelit, L., Dizdasß, T. N., Aftafa, C., Ertasß, H., &
Yalçınkaya, E. E. (2015). A Novel Polythiophene Ionic
Liquid Modified Clay Composite Solid Phase
Microextraction Fiber: Preparation, Characterization and
Application to Pesticide Analysis. Analytica Chimica Acta,
859, 3745.
Pertiwi, S. L., Zainuddin, & Rahmi, E. (2017). Gambaran Histologi
Sistem Respirasi Ikan Gabus (Channa striata). 1(3), 291298.
Prasetyo, D. E., Wulandari, S. Y., & Ismunarti, D. H. (2015). Kajian
Konsentrasi Pestisida Karbamat (Karbofuran Dan Metomil)
Di Perairan Mlonggo, Kabupaten Jepara. Journal of
Oceanography, 4(2), 451456.
Pratama, D. A. O. A., Aulia, Z., Aulanni’am, A., & Permata, F. S.
(2019). Studi Toksisitas Organofosfat ( Diazinon ) Terhadap
Gambaran Histopatologi Hepar dan Kadar
Malondialdehyde ( MDA ) dalam Serum Tikus ( Rattus
norvegicus ) The Study of f Organophosphate ( Diazinon )
Toxicity ity Toward Liver Histopathology and nd Malondia.
Vet Bio Clin J, 1(2), 1523.
Pratiwi, C. H., & Manan, A. (2015). Teknik dasar histologi pada
ikan gurami (Osphronemus gouramy). Jurnal Ilmiah
74 | Daftar Pustaka
Perikanan Dan Kelautan, 7(2), 153158.
Prawitasari, S., Nur Jannah, S., & Akhdiya, A. (2018). Seleksi dan
Identifikasi Secara Molekuler Bakteri Pendegradasi
Insektisida Piretroid dari Tanah. Indonesia Journal of Halal,
1(1), 8. https://doi.org/10.14710/halal.v1i1.3110
Purnamasari, R., & Santi, D. R. (2017). Fisiologi Hewan. In E. T.
Pribadi (Ed.), Sereal Untuk (Ceatakan P, Vol. 51, Issue 1).
Program Studi Arsitektur UIN Sunan Ampel.
Purnamasari, Y., Hoesain, M., & Haryadi, N. T. (2015). The
effectiveness of Insecticide Imidacloprid, Betacyfluthrin,
Thiamethoxam and Metomil against the Myzus persicae.
Berkala Ilmiah Pertanian, x(x), 14.
Putri, R. P., Rousdy, D. W., & Yanti, A. H. (2018). Aktivitas
Hepatoprotektif Ekstrak Metanol Buah Lakum (Cayratia
trifolia (L.) Domin) Terhadap Diameter Vena Sentralis, Lebar
Sinusoid dan Berat Hepar Tikus Putih (Rattus novergicus L.)
yang Diinduksi Parasetamol. Jurnal Protobiont, 7(3), 7276.
https://doi.org/10.26418/protobiont.v7i3.29088
Randall, D. J. (1968). Functional Morphology of the Heart in Fishes.
A M . Zoologist, 8, 179189.
Rashidi, N. H., Aini, W. I. W., Afzal, K. M., & Sanagi, M. M. (2017).
New magnetic graphene-based inorganic eorganic sol-gel
hybrid nanocomposite for simultaneous analysis of polar
and non-polar organophosphorus pesticides from water
samples using solid-phase extraction. Chemosphere, 166, 21
30.
Ravelo-Pérez, L. M Hernández-Borges, J Rodríguez-Delgado, M.
A. (2008). Multiwalled Carbon Nanotubes as Efficient Solid-
Phase Extraction Materials of Organophosphorus Pesticides
from Apple, Grape, Orange and Pineapple Fruit Juices.
Journal of Chromatography A, 1211, 3342.
Robinson, J. (1973). Dynamic of pesticides residues in the enviroment.
Dalam C.A. Edwards (ed). Environmental Pollution by Pesticides.
Plenum. Press.
Salemi, A., Rasoolzadeh, R., Nejad, M. M., & Vosough, M. (2013).
Daftar Pustaka | 75
Ultrasonic Assisted Headspace Single Drop Micro-Extraction
and Gas Chromatography with Nitrogenphosphorus
Detector for Determination of Organophosphorus Pesticides
in Soil. Analytica Chimica Acta, 769, 121126.
Saraji, M., Jafari, M. T., & Mossaddegh, M. (2015). Carbon
Nanotubes Silicon Dioxide Nanohybrids Coating for Solid-
Phase Microextraction of Organophosphorus Pesticides
Followed by Gas Chromatography-corona Discharge Ion
Mobility Spectrometric Detection. Journal of Chromatography
A, 1429, 3039.
Saravanan, M., Kumar, K. P., & Ramesh, M. (2011). Haematological
and Biochemical Responses of Freshwater Teleost Fish
Cyprinus carpio (Actinopterygii: Cypriniformes) during
acute and Chronic Sublethal Exposure to Lindane. Pestic.
Biochem. Phys., 100, 206211.
Seyler, L. D., Rutz, D., Allen, J., & Kamrin, M. (1994). A Pesticide
Information Project of the Cooperative Extension Offices of Cornell
University. Extoxnet: Extension Toxicology Network.
Shamsipur, M., Yazdanfar, N., & Ghambarian, M. (2016).
Combination of Solid-Phase Extraction with Dispersive
LiquidLiquid Microextraction Followed by GCMS for
Determination of Pesticide Residues From Water, Milk,
Honey and Fruit Juice. Food Chemistry, 204, 289297.
Shankar, K. M., Kiran, B. R., & Venkateshwarlu, M. (2013). A
Review on Toxicity of Pesticides in Fish”,. International
Journal of Open Scientific Research, 1(1), 1536.
Shi, Z., Hu, J., Li, Q., Zhang, S., Liang, Y., & Zhang, H. (2014).
Graphene Based Solid Phase Extraction Combined with
Ultra-Higher Performance Liquid Chromatography
Tandem Mass Spectrometry for Carbamate Pesticides
Analysis in Environmental Water Samples. Journal of
Chromatography A, 1355, 219227.
Sinha, S. N., Vasudev, K., & Rao, M. V. V. (2012). Quantification of
Organophosphate Insecticides and Herbicides in Vegetable
Samples Using the ‘‘Quick Easy Cheap Effective Rugged and
76 | Daftar Pustaka
Safe” (QuEChERS) Method and a High-Performance Liquid
Chromatography-Electrospray Ionisation-Mass
Spectrometry (LC-MS/MS) . Food Chemistry, 132, 15741584.
Sipahutar, L. W., Aliza, D., Winaruddin, & Nazaruddin. (2013).
Gambaran Histopatologi Insang Ikan Nila yang Dipelihara
Dalam Tempratur Air di Atas Normal. Jurnal Medika
Veterinaria, 7(1), 13.
Sivaperumal, P., Anand, P., & Riddhi, L. (2015). Rapid
Determination of Pesticide Residues in fruits and
Vegetables, Using Ultra-High-Performance Liquid
Chromatography/Timeof- Flight Mass Spectrometry. Food
Chemistry, 168, 356365.
Snell, R. S. (2012). Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem (trans. L S).
Srikhaow, A., Chaengsawang, W., Kiatsiriroat, T.,
Kajitvichyanukul, P., & Smith, S. M. (2022). Adsorption
Kinetics of Imidacloprid, Acetamiprid and Methomyl
Pesticides in Aqueous Solution onto Eucalyptus Woodchip
Derived Biochar. Minerals, 12(5).
https://doi.org/10.3390/min12050528
Stremel, T. R. D. O Domingues, C. E., Zittel, R., Silva, C. P.,
Weinert, P. L., & Monteiro, F. C. (2018). Development,
Validation and Matrix effect of a QuEChERS Method for the
Analysis of Organochlorine Pesticides in Fish Tissue. Journal
of Environmental Science and Health, Part B, 53(4), 246254.
Subandrate. (2016). Hubungan Kadar Glukosa Darah dengan
Peroksidasi Lipid pada Pasien Diabetes Melitus tipe 2. CDK-
242, 43(7), 487489.
Subburaj, A., Jawahar, P., Jayakumar, N., Srinivasan, A., & Ahilan,
B. (2018). Acute Toxicity Bioassay of Malathion (EC 50%) on
the Fish, Oreochromis mossambicus (Tilapia) and Associated
Histological Alterations in Gills. Journal of Entomology and
Zoology Studies, 6(1), 103107.
Sudaryatma, P. E., Eriawati, N. N., Panjaitan, I. F., & Sunarsih, L.
N. (2013). Histopatologi Insang Ikan Lele (Clarias bathracus)
yang Terinfeksi Dactylogyrus sp. Jurnal Sains Veteriener, 1(2),
Daftar Pustaka | 77
7883.
Sumoharjo, & Sulistyawati. (2020). EFEK SUB LETHAL AMONIA
AMBIEN TERHADAP HISTOPATOLOGIS IKAN NILA
(Oreochromis niloticus) YANG DIPELIHARA DALAM
SISTEM BIOFLOK. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 8(1),
84101.
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jari/article/view/1
1243
Suryani, A., & Aunurohim. (2013). Paparan Sub Lethal Insektisida
Diazinon 600 EC terhadap Pertumbuhan Ikan Mujair
(Oreocrhomis mossambicus). Jurnal Sains Dan Seni Pomits,
2(2), 191196.
Suryono, C. A., Rochaddi, B., & Irwani, I. (2016). Kajian Awal
Kontaminasi Pestisida Organoklorin dalam Air Laut di
Wilayah Perairan Paling Barat Semarang. Buletin Oseanografi
Marina, 5(2), 101106.
https://doi.org/10.14710/buloma.v5i2.15728
Susilawati, I. D. A. (2021). Kajian Pustaka: Sumber Reactive
Oxygen Species (ROS) Vaskular. Stomatognatic (J.K.G Unej),
18(1), 110.
Syawal, H., Kusumorini, N., Manalu, W., & Affandi, R. (2011).
Respons fisiologis dan hematologis ikan mas (Cyprinus
Carpio) pada suhu media pemeliharaan yang berbeda. Jurnal
Iktiologi Indonesia, 12(1), 1-11.
Tamam, M., Hadisaputro, S., Setianingsih, I., Soemantri, A.,
Semarang, K., Yogyakarta, S., Biologi, L., & Eijkman, M.
(2012). Hubungan antara Stres Oksidatif dengan Kadar
Hemoglobin pada Penderita Thalassemia / Hbe Correlation
between Stres Oxidatif and Hemoglobine Level of
Thalassemia / Hbe. Jurnal Kedokteran, 27(1), 3842.
Todey, S. A., Fallon, A. M., & Arnold, W. A. (2018). Neonicotinoid
insecticide hydrolysis and photolysis: Rates and residual
toxicity. Environmental Toxicology and Chemistry, 37(11), 2797
2809. https://doi.org/10.1002/etc.4256
Tyas, N. M., Batu, D. T. F. L., & Affandi, R. (2016). Uji Toksisitas
78 | Daftar Pustaka
Letal Cr6+ Terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus).
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 21(2), 128132.
https://doi.org/10.18343/jipi.21.2.128
Uclés, S., Hakme, E., Ferrer, C., & Fernández-Alba, A. R. (2018).
Analysis of Thermally Labile Pesticides by On-Column
Injection Gas Chromatography in Fruit and Vegetables.
Analytical and Bioanalytical Chemistry, 410(26), 68616871.
Venkatachalam, H., Nayak, Y., & Jayashree, B. S. (2012). Evaluation
of the Antioxidant Activity of Novel Synthetic Chalcones
and Flavonols. International Journal of Chemical Engineering
and Applications, 3(January), 216219.
https://doi.org/10.7763/ijcea.2012.v3.189
Wang, Y. L., You, L. Q., Mei, Y. W., Liu, J. P., & He, L. J. (2016).
Benzyl Functionalized Ionic Liquid as New Extraction
Solvent of Dispersive Liquid-Liquid Microextraction for
Enrichment of Organophosphorus Pesticides and Aromatic
Compounds. Chinese Journal of Analytical Chemistry, 44, 942
949.
Wang, Y., Mei, X., Ma, T., Xue, C., Wu, M., Ji, M., & Li, Y. (2018).
Green recovery of hazardous acetonitrile from high-salt
chemical wastewater by pervaporation. Journal of Cleaner
Production, 197, 742749.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2018.06.239
Wartono, W., Suwignyo, R. A., Napoleon, A., & Suheryanto.
(2021). Isolation of Indigenous Bacteria from Paddy Field for
Methomyl Degradation. Jurnal Ilmu Alam Dan Lingkungan,
12(2), 3239.
Wartono, W., Suwignyo, R. A., Napoleon, A., & Suheryanto, S.
(2018). Insecticides Residue in the Centre of Paddy Field in
Musi Rawas, South Sumatera, Indonesia. E3S Web of
Conferences, 68(04014), 16.
https://doi.org/10.1051/e3sconf/20186804014
WHO. (1996). Methomyl: IPCS, Environmental Health Criteria Vol 178
(pp. 3334).
World Health Organization. (2002). Pesticide Residues in Food (Part
Daftar Pustaka | 79
I). World Health Organization.
Wu, L., Hu, M., Li, Z., Song, Y., Yu, C., & Zhang, H. (2016).
Dynamic Microwave Assisted Extraction Combined with
Continuous-Flow Microextraction for Determination of
Pesticides in Vegetables. Food Chemistry, 192, 596602.
Wudianto, R. (2010). Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar
Swadaya.
Xia, J., Xu, W., Li, Y., Li, G., Wang, X., Xiong, Y., & Min, S. (2022).
Quality control of pesticide using infrared spectroscopic
coupled with fingerprint analysis. Infrared Physics and
Technology, 122(104052), 17.
https://doi.org/10.1016/j.infrared.2022.104052
Yang, C., Lim, W., & Song, G. (2020). Mediation of oxidative stress
toxicity induced by pyrethroid pesticides in fish. Comparative
Biochemistry and Physiology Part - C: Toxicology and
Pharmacology, 234(February), 108758.
https://doi.org/10.1016/j.cbpc.2020.108758
Yanuartono, Indarjulianto, S., Nururrozi, A., & Purnamaningsih,
H. (2019). Review: Hidrogen Sianida dan Implikasinya pada
Ternak. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Peternakan Tropis, 6(2), 214
224. https://doi.org/10.33772/jitro.v6i2.5638
Yulianto, & Amaloyah, N. (2017). Toksikologi Lingkungan (Cetakan
Pe).
Zaetun, S., Kusuma Dewi, L. B., & Rai Wiyadna, I. B. (2019). Profil
Kadar Mda (Malondialdehide) Sebagai Penanda Kerusakan
Seluler Akibat Radikal Bebas Pada Tikus Yang Diberikan Air
Beroksigen. Jurnal Analis Medika Biosains (JAMBS), 5(2), 79.
https://doi.org/10.32807/jambs.v5i2.109
Zahran, E., Risha, E., Awadin, W., & Palić, D. (2018). Acute
exposure to chlorpyrifos induces reversible changes in
health parameters of Nile tilapia (Oreochromis niloticus).
Aquatic Toxicology, 197, 4759.
https://doi.org/10.1016/j.aquatox.2018.02.001
80 | Daftar Pustaka
Glosarium | 81
GLOSARIUM
Abiotik
:
Komponen bagian dari makhluk hidup
Aerob
:
Menggunakan oksigen
Akumulasi toksik
:
Penyimpanan atau pengumpulan toksik
dalam tubuh makhluk hidup
Anaerob
:
Tanpa menggunakan oksigen
Arteri
:
salah satu jenis pembuluh darah yang
membawa darah dari jantung dan
menyebarkan darah beroksigen ke
beberapa bagian tubuh
Atom
:
Satu satuan dasar materi yang terdiri atas
inti atom serta elektron bermuatan negatif
yang mengelilinginya
Biotik
:
Komponen bagian dari yang tidak hidup
Degradasi bahan
toksik
:
Penguraian bahan toksik di lingkungan
(penurunan status bahan toksik atau aktif)
Degradasi
jaringan
:
Penurunan fungsi jaringan
Difusi sederhana
:
Pergerakan yang terjadi karena adanya
perbedaan tekanan yaitu bergerak dari
daerah tinggi ke rendah
Elektron bebas
:
Pasangan elektron milik suatu atom yang
sudah tidak berikatan
Elektron valensi
:
Elektron pada kelopak terluar yang
terhubung dengan suatu atom dan
berpartisipasi dalam pembentukan ikatan
kimia
Ester
:
Senyawa organik yang terdapat pada
suatu struktur kimia
Euryhaline
:
Organisme yang dapat beradaptasi dengan
kadar salinitas yang luas
82 | Glosarium
Fisiologi
:
Cabang-cabang biologi yang mempelajari
berlangsungnya sistem kehidupan
Frekuensi
paparan
:
Jumlah dalam pemberian bahan toksik
pada organisme uji
Glikogen
:
Salah satu jenis polisakarida simpanan
dalam tubuh hewan. Pada manusia dan
vertebrata lain, glikogen disimpan
terutama dalam sel hati dan otot. Glikogen
terdiri atas subunit glukosa dengan ikatan
rantai lurus dan ikatan rantai percabangan
Glukosa
:
senyawa organik yang membentuk
karbohidrat dengan jenis monosakarida.
Glukosa juga sering disebut dengan gula
darah yang digunakan sebagai sumber
energi pada saat kondisi stres
Hemolisis
:
Kerusakan sel darah merah
Hidrolisis
:
Penguraian zat dalam reaksi kimia yang
disebabkan oleh air
Hipoksia
:
Kondisi rendahnya kadar oksigen di dalam
sel-sel tubuh. Akibatnya, sel-sel di seluruh
bagian tubuh mengalami penurunan
fungsi
Hormon
:
zat kimia yang diproduksi oleh sistem
endokrin dalam tubuh dan berfungsi
untuk membantu mengendalikan hampir
semua fungsi tubuh, seperti pertumbuhan,
metabolisme, hingga kerja berbagai sistem
organ
Ikatan kovalen
rangkap 1
:
Kedua atom saling menggunakan 1
elektron bersama dimana elektron yang
digunakan berasal dari kedua atom yang
berikatan
Ikatan kovalen
rangkap 2
:
Kedua atom saling menggunakan 2
elektron bersama dimana elektron yang
Glosarium | 83
digunakan berasal dari kedua atom yang
berikatan
Ikatan Kovalen
Koordinasi
:
Jenis ikatan kovalen dua pusat dimana
kedua elektron yang digunakan berasal
dari satu atom
Insektisida
:
Zat kimia beracun yang digunakan untuk
membunuh serangga
Jaringan
:
Kumpulan sel yang membentuk suatu
struktur dasar fungsional
Kapiler darah
:
darah yang berasal dari pembuluh darah
kapiler, dimana pembuluh darahnya kecil
Katabolisme
:
Lintasan metabolisme yang merombak
suatu substrat kompleks molekul organik
menjadi komponen-komponen
penyusunnya sambil melepaskan energi,
pada umumnya berupa ATP
Kelarutan
:
Kemampuan suatu zat untuk larut dalam
suatu pelarut (saling bereaksi) sehingga
terjadi penurunan status suatu zat akibat
bereaksi
Kontaminas
:
Keberadaan suatau bahan yang dapat
merusak, menganggu, menginfeksi
makhluk hidup
Lipid
:
Sekelompok senyawa non heterogen yang
meliputi asam lemak dan turunannya,
lemak netral (trigliserida), fosfolipid serta
sterol
Membran sel
:
Membran semipermeabel pada sebuah sel
yang mengelilingi dan membungkus isi
sitoplasma dan nukleoplasma. Membran
sel memisahkan sel dari cairan interstitial
di sekitarnya. Pembentukan membran sel
dilakukan dengan bahan dasar berupa
lipoprotein yang dibentuk oleh lemak dan
protein
84 | Glosarium
Migrasi
:
Perpindahan dari satu tempat ke tempat
lain
Mitokondria
:
organel dengan membran ganda yang
ditemukan pada sebagian besar organisme
eukariotik. Mitokondria menghasilkan
sebagian besar suplai adenosina trifosfat
pada sel, yang digunakan sebagai sumber
energi kimia. Oleh karena itu, mitokondria
disebut sebagai "pembangkit tenaga" pada
sel
Molekul
:
Bagian terkecil dari senyawa yang
tersusun dari dua atau lebih atom
Metomil
:
Salah satu jenis insektisida
Persistensi
:
Tingkat ketahanan (kuat) di tempat
keberadaannya
Pestisida
:
Zat kimia yang digunakan untuk
mencegah, menghancurkan atau
mengendalikan penyakit, serangga,
rerumputan, dan organisme berbahaya
lainnya
Radikal bebas
:
molekul yang kehilangan satu buah
elektron dari pasangan elektron bebasnya,
atau merupakan hasil pemisahan
homolitik suatu ikatan kovalen. Akibat
pemecahan homolitik, suatu molekul akan
terpecah menjadi radikal bebas yang
mempunyai elektron tak berpasangan
Rantai makanan
:
Perpindahan energi makanan dari tingkat
rendah ke tingkat yang lebih tinggi
Rute masuk
:
Jalur masuk
Sel
:
Unit terkecil dari suatu makhluk hidup
sehingga merupakan unsur penyusun
Struktur kimia
:
Pemodelan struktur senyawa kimia yang
memberikan informasi tentang bagaimana
Glosarium | 85
suatu atom yang berbeda membentuk
suatu molekul
Suhu
:
Skala yang menyatakan tingkatan panas
atau dingin
Termal
:
Temperatur (suhu) atau energi panas
Toksik
:
Zat racun atau senyawa asing bagi
organisme makhluk hidup
Toksisitas
:
Kemampuan suatau bahan untuk
mengakibatkan kerusakan
Unsur
:
Zat tunggal yang tidak dapat diuraikan
lagi
pH
:
Derajat keasamaan atau kebasaan suatu
larutan
Respirasi seluler
:
Proses menghasilkan energi dengan
memecah molekul kompleks menjadi
molekul yang lebih sederhana. Proses
respirasi umumnya memecah molekul
gula sederhana menjadi karbon dioksida,
uap air dan energi
Stres
:
Reaksi yang timbul pada ikan akibat
adanya perubahan pada lingkungan salah
satunya
Stres oksidatif
:
keadaan di mana jumlah radikal bebas di
dalam tubuh melebihi kapasitas tubuh
untuk menetralkannya. Akibatnya
intensitas proses oksidasi sel-sel tubuh
normal menjadi semakin tinggi dan
menimbulkan kerusakan yang lebih
banyak
Vena
:
Pembuluh darah yang mengangkut darah
dari bagian tubuh lain untuk kembali ke
jantung
Waktu paruh
:
Waktu yang dibutuhkan suatu zat atau
bahan untuk bertahan pada lingkungan
(tempat) keberadaaanya
86 | Glosarium
Glosarium | 87
88
89
90
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
The degradation modes and characteristics of different pesticides were introduced. In addition, this paper also describes the degradation mechanism of different pesticides, classifies, and summarizes the methods of degradation products identification. For the sake of human life health and better biological environment, we should have a familiar knowledge of the natural degradation of pesticides and understand the photo-hydrolysis and its influencing factors (temperature, pH, light, etc.). Through the degradation mechanism and influencing factors, the degradation time could be accelerated and it also provides a theoretical basis and basic support for the treatment of pesticide residues in the future.
Article
Full-text available
Pesticides have become a basic necessity for yield development. This might be credited to the quickly expanding population, which has presented weight on the food creation industry.Fourier Transform Infra-red Spectroscopy utilizes sample with less course of action, less time consuming, simple, fast, non-destructive and environmental friendly infrared-based method. It makes use of Smart iTR window and pellets use on omnic transmission window. In FTIR the peaks formed for the representative sample are from 800 cm-1 to 4000 cm-1 of wavenumbers against the % transmittance. The FTIR spectra obtained for pesticide formulations were on par with the NIST (National Institute of Standards and Technology) spectra library. Comparing the commercial-grade spectra with the Spectrabase, NIST library and Bio-rad software showed the peak ranges for different functional groups of the compound and can be examined with KnowItAll software’s ProcessItIR and AnalyseItIR. We can obtain the active principle of the peak, peak intensities. This method can be viewed as genuine choices to long and tedious chromatographic strategies as a rule suggested for quality control of commercially accessible pesticide formulations and check for adultered formulations that harm agricultural produce.
Article
Full-text available
The chronic effect of environmental methomyl on the antioxidant system in testis of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) and its recovery pattern was investigated. Tilapia were exposed to sublethal concentrations of 0.2, 2, 20 and 200 μgL⁻¹ methomyl for 30 days and thereafter moved to methomyl-free water for 18 days. Antioxidant levels in testis, including glutathione peroxidase, catalase, glutathione-S-transferase, glutathione reductase, superoxide dismutase, reduced glutathione, oxidized glutathione were measured every 6 days during the period of exposure, and at 18 days after being transferred to methomyl-free water. The results showed that lower methomyl concentration (0.2 μgL⁻¹) had no effect on the above antioxidants, thus 0.2 μgL⁻¹ could be seen as NOAEL for methomyl to tilapia. However, higher methomyl concentration of 2, 20 and 200 μgL⁻¹ could significantly influence the above antioxidants. Glutathione peroxidase and oxidized glutathione increased significantly. On the contrary, reduced glutathione decreased significantly. Catalase, superoxide dismutase, glutathione reductase, glutathione-S-transferase increased at lower methomyl (2 and 20 μgL⁻¹), but decreased at higher methomyl (200 μgL⁻¹). The recovery test showed that oxidative damage caused by lower methomyl of 2 and 20 μgL⁻¹ was reversible, and oxidative damage caused by higher methomyl of 200 μgL⁻¹ was irreversible within 18 days of recovery period.
Article
Full-text available
Secondary metabolites of lakum (Cayratia trifolia (L.) Domin) fruit have been evaluated in previous researches. The fruit contains flavonoids, terpenoids and phenols which have antioxidant properties. The aim of this research was to determine the hepatoprotective activity of methanolic extract of lakum fruit in Wistar rats’ liver induced by high doses of paracetamol. Ripe lakum fruits were macerated with methanol as the solvent. Thirty-five male Wistar rats (Rattus novergicus L.) were used in this research and devided into 7 groups (normal, negative, positive, solvent, 115 mg kg-1, 230 mg kg-1, and 345 mg kg-1 of lakum fruit methanolic extract). Results showed that the effect of 230 mg kg-1 of lakum fruit methanolic extract (central vein diameter: 40,20 ± 6,97 µm; sinusoid wide: 5,60 ± 0,94 µm; and liver weight: 6,33 ± 0,98 g) were similar to the effect of silymarin (central vein diameter: 42,99 ± 6,60 µm; sinusoid wide: 4,49 ± 0,44 µm; and liver weight: 6,58 ± 0,88 g) as the standard drug.
Article
Full-text available
ABSTRAK Sejumlah besar tanaman hijauan banyak mengandung glikosida sianogenik dandapat dirombak menjadi hidrogen sianida (HCN) yang bersifat toksik. Hidrogen sianida dapat menyebabkan keracunan pada manusia dan hewan.Konsentrasi HCN dalam hijauan dapat diturunkan melalui beberapa metode pengolahan seperti pengupasan, pengeringan, fermentasi, pemotongan dan penyimpanan.Gejala klinis keracunan HCN pada ruminansia dapat berupa peningkatan pulsus, sesak nafas, lemas, tremor, dilatasi pupil, kembung dan dapat menyebabkan kematian. Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian sodium nitrit dan sodium tiosulfat melalui injeksi intravena.Kata Kunci : glikosida sianogenik, keracunan klinis, intravenaABSTRACTA large number of forage contains cyanogenic glycosides which will be degraded into hydrogen cyanide (HCN) which are toxic. Hydrogen cyanide can cause poisoning in both animals and humans. Hydrogen cyanide concentration in the forage can be reduced through several methods of feed processing. The processing includes stripping, drying, fermentation, soaking, chopping, and storing. Clinical symptoms of HCN poisoning in ruminants are increased pulse, difficulty of breathing, weakness, tremors, pupil dilatation, bloating, and can lead to death. Treatments can be performed by administering sodium nitrite and sodium thiosulfate by intravenous injection.Keywords: cyanogenic glycosides, clinical poisoning, intravenous
Article
Full-text available
The word ''pesticides" is a complex word that encompasses all compounds that are applied to destroy or regulate pests; this includes insecticides (insects), herbicides (weeds) and fungicides (fungi). One of the primary sponsors of the green revolution was finding ways to improve and use safe pesticides to control the wide range of herbal and insect pests, which affect negatively the quantity and quality of world food production. This review provides an analysis of pesticides' definition, classifications, toxicity, factors affecting toxicity, pesticides in water resources, their environmental fate, impacts on human health and their methods of detection, disposal and treatment. Moreover, this work gives a brief description of the extraction methods used for pesticides analysis besides comparing the analytical techniques used to measure the very low concentration of pesticides. Finally, this work suggests to find further alternative methods to identify the pesticide residues and other highly hazardous pollutants.
Article
The public concern and increasing awareness of pesticide calls for methods available to assure quality and authenticity. Spectra matching is widely used in various applications including the search for a spectrum of an unknown compound in an existing spectral database and quality control by means of comparing the spectra of products with standards. Although the infrared spectroscopy (IR) fingerprint has many applications in a lot of areas, there are several limitations in pesticide. The pesticide formulation is a significant impediment against analyzing IR fingerprint of pesticide with similarity estimation. In the present study, a novel strategy combining Fourier-transform infrared spectroscopy (FT-IR) analysis was developed and validated to allow comprehensive analysis and rapid authentication of pesticide. A pesticide IR spectral database which included 604 pesticide standards was established. A simple, fast, and environmentally friendly IR-based pre-treatment method was proposed that can eliminate the negative effect of pesticide formulation on similarity estimation. In order to verify the effectiveness of proposed method, 30 pesticide samples were randomly collected from market, including liquid and solid, with the concentration of active components from 1% to 80%. For 30 samples, the proposed strategy resulted in a 90% accuracy rate and a 3.33% error rate based on the liquid chromatography (LC) data. It is therefore clear that IR spectral database combining with the proposed pre-treatment appear to be a promising tool for monitoring and analysis in the pesticide industry.
Article
Increasing amount of vascular reactive oxygen species (ROS) play a key role in the pathogenesis of almost all stages of cardiovascular diseases (CVD), such as atherosclerosis, hypertension, myocardial infartion, etc. This paper aimed to present a brief review of the important vascular sources of ROS. Vascular ROS is mainly produced by enzymatic sources in the vascular cells, i.e. phagocytic inflammatory cells (neutrophils, monocytes/macrophages), and nonphagocytic cells (endothelium, smooth muscle cell and fibroblast). Enzymatic sources of vascular ROS are NADPH oxidase, xanthine oxidase, eNOS, lipoxygenase, cyclooxygenase, and mitochondrial electron transport. In conclusion, over production of ROS induce oxidative burst and will be detrimental for cardiovascular health. A better understanding of ROS would be worwhile for developing method for preventing CVD based on ROS inhibition.
Article
In the present study, the freshwater fish, Oreochromis mossambicus were exposed to five different acute concentrations of Malathion like 0.626, 1.252, 2.503, 5.006 and 10.012 ppb for 96 hrs. The 96 h LC50 of Malathion for O. mossambicus was determined to be 0.5925±0.0625 ppb MAL/l. In addition, the study aimed to investigate the histopathological alterations of acute concentrations of Malathion in the gills. The most common histopathological changes in the gills of fish exposed to Malathion were characterized by thickening of secondary lamellae, hemorrhage at primary lamellae, epithelial lining in the tips, lamellar aneurysm, lifting up of epithelium, deformation of the cartilage core, erosion of secondary lamellae, cartilage tissue hypertrophy, shortening of the secondary lamellae, blood congestion in the secondary lamellae and curling of secondary lamellae. Ultimately, the study revealed that the degree of distortion of the gill was in proportion to the duration of exposure and concentration i.e., dose and time dependent.