ArticlePDF Available

Akibat Hukum Akta Jual Beli yang tidak Dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah [The Legal Implications of a Sale and Purchase not Made in the Presence of Land Deed Official]

Authors:

Abstract

p> The deed of sale and purchase is a deed drawn up by the Land Deed Officers (PPAT) so that it is included as an authentic deed that must be signed by the parties and witnesses before the PPAT. This research analyzed the Supreme Court Decision No. 627/PK/PDT/2018 which makes the sale and purchase deed that was not signed before the PPAT as the object of the dispute. This study aims to find the legal consequences of sale and purchase deeds that are not made before the Official Making the Land Deed in the Supreme Court Decision Number 627/PK/PDT/2018. This study uses normative juridical methods with case approach. The result of this research is that not all sale and purchase deeds that are not signed before the PPAT can be cancelled. One of them is the deed of sale and purchase which is not signed before the PPAT but is already binding on a third party, so that it has the potential to harm the third party if the deed is canceled, such as the example of a dispute with the Supreme Court Decision Number 627/PK/PDT/2018. Bahasa Indonesia Abstrak: Akta Jual Beli merupakan akta yang dibuat oleh PPAT sehingga termasuk sebagai akta autentik yang harus ditandatangani oleh para pihak dan saksi di hadapan PPAT. Penelitian ini menganalisis Putusan Mahkamah Agung No. 627/PK/PDT/2018 yang menjadikan akta jual beli yang tidak ditandatangani di hadapan PPAT sebagai objek sengketanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai akibat hukum terhadap akta jual beli yang tidak dibuat di hadapan PPAT dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 627/PK/PDT/2018. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan kasus. Hasil penelitian ini bahwa tidak semua akta jual beli yang tidak ditandatangani di hadapan PPAT dapat dibatalkan. Salah satunya adalah akta jual beli yang tidak ditandatangani di hadapan PPAT namun sudah mengikat pihak ketiga, sehingga berpotensi merugikan pihak ketiga jika akta itu dibatalkan seperti contoh sengketa pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 627/PK/PDT/2018.</p
Notary Journal Volume 3, No. 2, October 2023
163
AKIBAT HUKUM AKTA JUAL BELI YANG TIDAK DIBUAT DI HADAPAN
PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
Inggar Komala Putri
Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan,
Indonesia
Rachel Bianda
Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan,
Indonesia
Anne Gunadi Martono Widjojo
Kantor Notaris & PPAT Dr. Anne Gunadi Martono Widjojo, S.H., Sp.N., M.Kn., Indonesia
Abstract
The deed of sale and purchase is a deed drawn up by the Land Deed Officers (PPAT) so that
it is included as an authentic deed that must be signed by the parties and witnesses before the
PPAT. This research analyzed the Supreme Court Decision No. 627/PK/PDT/2018 which
makes the sale and purchase deed that was not signed before the PPAT as the object of the
dispute. This study aims to find the legal consequences of sale and purchase deeds that are not
made before the Official Making the Land Deed in the Supreme Court Decision Number
627/PK/PDT/2018. This study uses normative juridical methods with case approach. The result
of this research is that not all sale and purchase deeds that are not signed before the PPAT
can be cancelled. One of them is the deed of sale and purchase which is not signed before the
PPAT but is already binding on a third party, so that it has the potential to harm the third party
if the deed is canceled, such as the example of a dispute with the Supreme Court Decision
Number 627/PK/PDT/2018.
Keywords: Land Deed Official; Authentic Deed; Deed of Sale and Purchase
Abstrak
Akta Jual Beli merupakan akta yang dibuat oleh PPAT sehingga termasuk sebagai akta autentik
yang harus ditandatangani oleh para pihak dan saksi di hadapan PPAT. Penelitian ini
menganalisis Putusan Mahkamah Agung No. 627/PK/PDT/2018 yang menjadikan akta jual
beli yang tidak ditandatangani di hadapan PPAT sebagai objek sengketanya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui mengenai akibat hukum terhadap akta jual beli yang tidak dibuat
di hadapan PPAT dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 627/PK/PDT/2018. Penelitian ini
menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan kasus. Hasil penelitian ini bahwa
tidak semua akta jual beli yang tidak ditandatangani di hadapan PPAT dapat dibatalkan. Salah
satunya adalah akta jual beli yang tidak ditandatangani di hadapan PPAT namun sudah
mengikat pihak ketiga, sehingga berpotensi merugikan pihak ketiga jika akta itu dibatalkan
seperti contoh sengketa pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 627/PK/PDT/2018.
Kata Kunci: Pejabat Pembuat Akta Tanah; Akta Autentik; Akta Jual Beli
A. Pendahuluan
Tanah erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Secara teoritis dan alami,
bahwa keberadaan manusia akan tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan
Notary Journal Volume 3, No. 2, October 2023
164
peradaban manusia. Manusia akan mengembangkan keturunannya secara kuantitatif berada di
muka bumi (tanah). Namun kondisi kebutuhan dan tersedianya tanah tidak seimbang, sehingga
harus dilakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi masalah tersebut.
Pada umumnya, cara masyarakat untuk memperoleh tanah umumnya dengan peralihan
hak antara lain jual beli. Peralihan hak merupakan suatu perbuatan hukum yang mana
beralihnya hak dari satu pihak ke pihak lain. Prinsip utama peralihan hak dengan jual beli
adalah adanya hak yang melekat bagi pemilik.1 Dalam hal ini artinya seseorang memiliki
kekuatan hukum sebagai pemilik hak atas tanah. Alas hak kepemilikan ini mengandung
konsekuensi hukum, sehingga legalitas jual beli dapat dikatakan sah jika subjek hukum sah
sebagai pemilik hak dan jual beli dilakukan melalui mekanisme yang disepakati dan ditetapkan
oleh ketentuan hukum. Dasar hukum peralihan hak atas tanah diatur dalam Pasal 37 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah2 menjelaskan bahwa peralihan
hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah,
pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali
pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
PPAT merupakan pihak yang mempunyai kedudukan dan peranan yang penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, karena PPAT merupakan pejabat umum yang diberikan
kewenangan oleh negara untuk membuat akta peralihan hak atas tanah dan akta-akta lainnya.
Pengertian PPAT, menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah,3 adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk
membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah susun. Sedangkan akta autentik menurut Pasal 1868 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk
yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu, di tempat di mana akta itu dibuat. Oleh karena itu, hanya pejabat yang berwenang
yang dapat membuat akta dan harus tunduk pada peraturan dan Kode Etik PPAT yang sudah
ditetapkan.
1 J. Andy Hartanto, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertifikat (Yogyakarta: Laksbang Mediatama,
2014), 5.
2 Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3 Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Notary Journal Volume 3, No. 2, October 2023
165
Dalam menjalankan jabatannya sebagai pembuat akta autentik mengenai perbuatan
hukum hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun, PPAT harus memperhatikan
syarat-syarat menganai akta autentik agar akta tersebut tidak turun pembuktian menjadi akta
dibawah tangan. Ditegaskan dalam Pasal 22 PP Nomor 37 Tahun 1998 bahwa untuk memenuhi
syarat autentik akta PPAT harus membacakan atau menjelaskan akta yang ia buat kepada para
pihak yang bersangkutan dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi sebelum
ditandanganinya akta tersebut oleh para pihak, saksi-saksi, dan PPAT. Namun pada praktiknya,
terdapat akta jual beli yang tidak dibacakan kepada para pihak dan pembuatannya tidak di
hadapan pejabat pembuat akta tanah. Penulis mengambil contoh perkara yang terdapat pada
Putusan Mahkamah Agung No. 627/PK/Pdt/2018. Putusan tersebut PPAT yang tidak
memperhatikan syarat-syarat pembuatan akta autentik, tetapi aktanya tidak turun kekuatan
pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan karena terdapat beberapa pertimbangan hakim.
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk
mengalisis akibat hukum akta jual beli yang tidak dibuat di hadapan PPAT dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 627/PK/PDT/2018. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
hukum normatif dengan menggunakan pendekatan kasus.
B. Pembahasan
Kasus ini bermula dari terjadinya utang piutang antara Muh. Zulham selaku anak dari
Nadjamuddin Sjahbani selaku pemilik tanah dan I Ketut Gegel selaku orang yang
meminjamkan uang kepada Muh. Zulham. Nadjamuddin Sjahbani merupakan pemilik tanah
dan bangunan yang menjadi rumahnya beralamat di Jalan Merak Nomor 15 Kelurahan Birobuli
Utara Palu, dengan bukti kepemilikan tanah dan bangunan berdasarkan fotokopi Surat
Perjanjian Penjualan/Sewa Beli dan fotokopi Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah
tentang Pelepasan Hak. Namun karena tanah tersebut belum bersertipikat, suatu hari
Nadjamuddin Sjahbani meminta anaknya yaitu Muh. Zulham untuk mengurus pembuatan
sertipikat atas tanah tersebut agar terdaftar atas nama Nadjamuddin Sjahbani di Kantor
Pertanahan Kota Palu. Namun, tanpa sepengetahuan Nadjamuddin Sjahbani, ternyata Muh.
Zulham memiliki hutang kepada temannya yaitu I Ketut Gegel sebesar Rp30.000.000 (tiga
puluh juta rupiah) yang tidak mampu dilunasi oleh Muh. Zulham. Suatu hari Muh. Zulham
ingin meminjam uang untuk kedua kalinya kepada I Ketut Gegel, namun tidak diberikan oleh
I Ketut Gegel karena hutang sebelumnya belum dibayarkan. Kemudian untuk membayar
hutangnya, Muh. Zulham menawarkan sertipikat orang tuanya untuk dibalik nama secara sah
menjadi milik I Ketut Gegel dengan metode jual beli di hadapan PPAT Farid, S.H.. Setelah
Notary Journal Volume 3, No. 2, October 2023
166
pembicaraan tersebut Muh. Zulham menghubungi pihak PPAT Farid, S.H. untuk proses
pembuatan sertipikat tanah ke atas nama Nadjamuddin Sjahbang sesuai permintaan
Nadjamuddin Sjahbang selaku pemilik tanah. Sehingga pada tanggal 15 Mei 2012 terbit
Sertipikat Hak Milik Nomor 02570/Birobuli Utara atas nama Nadjamuddin Sjahbang. Namun
sesuai hal yang sudah Muh. Zulham rencanakan sebelumnya, setelah terbit sertipikat tersebut
di atas, Muh. Zulham dengan sadar langsung memproses dan memberitahukan karyawan PPAT
Farid, S.H. untuk membuat Akta Jual Beli antara Nadjamuddin Sjahbang dan Muh. Zulham.
Pada saat penandatanganan AJB tersebut, Muh. Zulham mengatur waktu agar tidak dilakukan
di kantor PPAT Farid, S.H., untuk itu Muh. Zulham menginformasikan kepada karyawan
PPAT Farid, S.H. untuk melakukan tandatangan di rumah Nadjamuddin Sjahbang.
Pada hari penandatanganan akta tersebut, Muh. Zulham dan Karyawan PPAT Farid, S.H.
datang ke rumah Nadjamuddin Sjahbang. Muh. Zulham meminta Nadjamuddin Sjahbang
untuk menandatangani akta tersebut dan memberitahu Nadjamuddin Sjahbang bahwa akta
tersebut merupakan salah satu dokumen yang harus ditandatangani agar sertipikat rumah
Nadjamuddin Sjahbang segera diterbitkan. Karyawan PPAT Farid, S.H. menyampaikan agar
akta dibaca terlebih dahulu, namun Muh. Zulham meminta Nadjamuddin Sjahbang untuk
langsung menandatangani berkas tersebut tanpa mengetahui berkas apa yang sedang
ditandatangani, kemudian Karyawan PPAT Farid, S.H. melakukan dokumentasi saat
Nadjamuddin Sjahbang menandatangani Akta Jual Beli tersebut. Keesokan harinya I Ketut
Gegel selaku pembeli pura-pura dalam akta ini dihubungi untuk melakukan penandatanganan
di Kantor PPAT Farid, S.H.. Dalam proses jual beli pura-pura ini tidak ada uang yang diterima
oleh Nadjamuddin Sjahbang selaku pemilik tanah dan bangunan. Sehingga penandatanganan
akta jual beli ini tidak memenuhi asas terang dan kontan (tunai). Dalam perkara ini, terlihat
bahwa Muh. Zulham melakukan tipu daya kepada bapaknya yaitu Nadjamuddin Sjahbang yang
tidak mengetahui tentang pembuatan Akta Jual Beli tersebut.
Akta Jual Beli yang ditandatangani oleh Nadjamuddin Sjahbang dan I Ketut Gegel
kemudian oleh PPAT diberi Nomor 1012/2012 tertanggal 30 Mei 2012. Atas dasar AJB yang
telah bernomor tersebut, PPAT Farid, S.H. mengurus balik nama Sertipikat Hak Milik Nomor
0270/Birobuli Utara yang semula atas nama Nadjamuddin Sjahbang menjadi atas nama I Ketut
Gegel di Kantor Pertanahan Kota Palu atas permintaan Muh. Zulham. Setelah Sertipikat Hak
Milik Nomor 0270/Birobuli Utara menjadi atas nama I Ketut Gegel, ia mengajukan pinjaman
ke Bank Negara Indonesia dengan sertipikat tersebut sebagai jaminan.
Dalam rangka akan memberikan pinjaman kepada I Ketut Gegel dan Muh. Zulham, Bank
Negara Indonesia memeriksa kelayakan dengan cara datang ke alamat agunan tersebut yang
Notary Journal Volume 3, No. 2, October 2023
167
merupakan rumah Nadjamuddin Sjahbang. Pada saat datang ke rumah Nadjamuddin Sjahbang,
Muh. Zulham mengupayakan agar Nadjamuddin Sjahbang tidak berada di rumah, melainkan
hanya ada istri Nadjamuddin Sjahbang yang tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh
Muh. Zulham dan pihak Bank. Setelah melalui proses-proses dalam rangka pengajuan
pinjaman, diterbitkan perjanjian kredit dengan No. RO.PLU/2012/184/xxx GRIYA tanggal 25
Juli 2012 dengan jaminan Sertipikat Hak Milik Nomor 0270/Birobuli Utara yang sudah
menjadi atas nama I Ketut Gegel. Rumah Nadjamuddin Sjahbang diikat dengan Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) Nomor 107/2012 tanggal 30 Juli 2012 yang selanjutnya
dilakukan pendaftaran kepada Badan Pertanahan Nasional Kota Palu sehingga Sertipikat Hak
Tanggungan Nomor 2682/2012 tanggal 27 September 2012. Uang hasil penjaminan sertipikat
tersebut sebesar Rp460.000.000.- (empat ratus enam puluh juta rupiah) kemudian dibagi antara
Nadjamuddin Sjahbang dan I Ketut Gegel. Seiring berjalannya waktu, kredit Muh. Zulham
macet sehingga Bank Negara Indonesia hendak melakukan eksekusi hak tanggungan dengan
cara lelang, namun terhalang karena Nadjamuddin Sjahbang tidak mau pergi dari rumahnya
yang dijadikan agunan tersebut. Atas dasar kronologi kejadian dalam gugatan Putusan
Mahkamah Agung No. 627/PK/Pdt/2018 di atas, Nadjamuddin Sjahbang melakukan upaya
hukum sampai tingkat peninjauan kembali, dengan hasil padat tingkat pertama gugatannya
dikabulkan yang salah satu gugatannya adalah membatalkan Akta Jual Beli Nomor 1012/2012
tertanggal 30 Mei 2012, kemudian pada tingkat banding menguatkan putusan pada pengadilan
tingkat pertama, namun pada tingkat kasasi hakim mengabulkan gugatan pemohon kasasi yaitu
Bank Negara Indonesia dan PPAT Farid, S.H. yang salah satu gugatannya adalah menyatakan
sah Sertipikat Hak Tanggungan Nomor 2682/2012 tanggal 27 September 2012, kemudian
terakhir Nadjamuddin Sjahbang mengajukan peninjauan kembali namun hasilnya adalah
hakim menolak peninjauan kembali Nadjamuddin Sjahbang.
Berdasrkan uraian putusan di atas, Penulis akan mencoba menganalisis satu persatu
perbuatan hukum dalam akta jual beli tersebut. Pengertian jual beli dalam hukum perdata dapat
ditemukan dalam Pasal 1457 KUH Perdata bahwa jual beli adalah suatu persetujuan dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang
lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Jual beli dianggap telah terjadi apabila antara
kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan tentang barang tersebut dan harganya, meskipun
barang tersebut belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan. Lebih lanjut, istilah jual
beli tanah dapat ditemukan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) didasarkan pada
konsep dan pengertian jual beli menurut hukum adat. Sifat jual beli tanah berdasarkan konsep
Notary Journal Volume 3, No. 2, October 2023
168
hukum adat menurut Effendi Perangin adalah tunai dan terang.4 Terang dapat diartikan bahwa
pembuatan akta jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT. Sedangkan tunai dapat
diartikan sebagai bentuk pembayaran pada saat terjadinya transaksi ada bukti uang sesuai
dengan harga kesepakatan kedua belah pihak.
Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam jual beli hak atas tanah
diperlukannya adanya persyaratan formil bagi penjual atau pemilik hak atas tanah dan syarat
materiil jual beli hak atas tanah adalah subjek dan objek yang akan diperjualbelikan. Syarat
formil terhadap objek jual beli hak atas tanah berupa bukti kepemilikan tanah yang terkait
dengan hak atas tanah, dan juga terkait dengan prosedur peralihan hak atas tanah tersebut.
Prosedur jual beli hak atas tanah telah ditetapkan menurut Pasal 23 UUPA. Menurut ketentuan
tersebut jual beli tanah haruslah dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT. Sedangkan syarat materiil berkaitan dengan subjek
dan objek yang diperjualbelikan. Syarat materiil menentukan sahnya jual beli apakah penjual
berhak menjual tanah yang bersangkutan, pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan,
dan apakah objek jual beli tersebut dapat diperjualbelikan, serta tidak terlibat sengketa. Apabila
syarat formil tidak terpenuhi, maka AJB cacat administratif sehingga dapat dibatalkan,
sedangkan apabila tidak memenuhi syarat materiil, AJB cacat hukum dan batal demi hukum.
Dalam kasus ini Penulis melihat bahwa pihak yang terlibat jual beli memang pihak yang
sebenarnya yaitu Nadjamuddin Sjahbang selaku pemilik yang sah atas Sertipikat Hak Milik
No. 02570/Birobuli Utara, tetapi yang menjadi permasalahan adalah Nadjamuddin Sjahbang
tidak menghendaki adanya jual beli tersebut melainkan dikarenakan adanya penyalahgunaan
keadaan oleh Muh. Zulham yaitu anak dari NS yang membuat rencana seolah-olah adanya
peralihan hak dari Nadjamuddin Sjahbang kepada I Ketut Gegel, sehingga jual beli tersebut
dianggap tidak sah karena pemilik hak keperdataan yang sebenarnya memang tidak menjual
objek tanah tersebut kepada pihak I Ketut Gegel atau siapapun. Maka dari itu Penulis
berpendapat bahwa jual beli ini tidak sah dan tidak mengikat para pihak. Jika dikaitkan dengan
syarat sahnya perjanjian yang terdapat pada Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
4 Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah dari sudut Pandang Praktisi Hukum (Jakarta:
Radjawali, 1989), 16.
Notary Journal Volume 3, No. 2, October 2023
169
Syarat perjanjian yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat dikategorikan
menjadi dua yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif meliputi kesepakatan
para pihak dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Sedangkan syarat objektif meliputi
suatu pokok persoalan tertentu dan sebab yang tidak terlarang. Apabila syarat subjektif tidak
terpenuhi maka salah satu pihak mempunyai hak untuk perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Artinya perjanjian tersebut tetap mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan
pihak yang meminta pembatalan perjanjian tersebut. Jika syarat objektif dilanggar maka
perjanjian tersebut dianggap batal demi hukum yang artinya perjanjian tersebut semula
dianggap tidak pernah ada dan tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.5
Apabila dilihat dalam putusan pengadilan ini tentunya syarat subjektif dalam perjanjian
tidak terpenuhi yaitu pada unsur kesepakatan para pihak. Bagaimana bisa terjadi kesepakatan
sedangkan pihak Nadjamuddin Sjahbang tidak menjual objek tanah tersebut kepada pihak lain.
Jika dalam hal perjanjian mengandung cacat kehendak karena adanya kesepakatan
mengandung paksaan, penipuan, kekeliruan, dan penyalahgunaan keadaan, mengakibatkan
perjanjian ini dapat dibatalkan, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1321 KUH Perdata. Adanya tipu
daya yang dilakukan oleh Muh. Zulham kepada ayahnya Nadjamuddin Sjahbang, sehingga
Nadjamuddin Sjahbang tidak mengetahui tentang pembuatan akta jual beli tersebut. Hal ini
dilakukan oleh Muh. Zulham untuk pembayaran utangnya kepada I Ketut Gegel. Sehingga
Muh. Zulham membuat strategi agar sertipikat tersebut bisa dibalik nama ke nama I Ketut
Gegel. Untuk itu, dibuatnya seolah-olah terjadi jual beli antara Nadjamuddin Sjahbang dengan
I Ketut Gegel, yang pada kenyataannya Nadjamuddin Sjahbang tidak menerima uang dari hasil
penjualan tersebut dan tidak mengetahui bahwa sertipikat tersebut sudah beralih
kepemilikannya ke atas nama I Ketut Gegel. Apabila dilihat dari kronologi berdasarkan putusan
di atas, tanda tangan dalam akta jual beli yang memberi arti bahwa Nadjamuddin Sjahbang
telah sepakat melakukan jual beli tanah merupakan hasil rekayasa dari Muh. Zulham, sehingga
“sepakat” yang dilakukan oleh Nadjamuddin Sjahbang merupakan hasil tipu daya dari anaknya
yaitu Muh. Zulham. Ditegaskan dalam Pasal 1328 KUH Perdata bahwa penipuan merupakan
suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu
pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah dibuat
perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Sehingga dikarenakan tidak adanya
kesepakatan oleh para pihak dan adanya penyalahgunaan keadaan oleh Muh. Zulham yang
menipu Nadjamuddin Sjahbang dengan mengatakan bahwa dokumen tersebut merupakan salah
5 Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional (Bandung: Alumni, 1980), 13.
Notary Journal Volume 3, No. 2, October 2023
170
satu persyaratan balik nama sertipikat tanah milik Nadjamuddin Sjahbang yang sedang diurus
oleh Muh. Zulham, tanpa adanya tipu daya tersebut Nadjamuddin Sjahbang tidak akan menjual
rumahnya pada saat itu. Berdasarkan landasan hukum di atas Penulis berpendapat bahwa jual
beli di dalam kasus ini tidak sah dan dapat dimohonkan pembatalan karena adanya tipu daya.
Definisi jual beli secara umum menurut Pasal 1547 KUH Perdata ialah suatu perjanjian
di mana satu pihak mengikatkan diri untuk menyerahkan benda, sedang pihak lain mengikatkan
diri untuk menyerahkan sejumlah harga yang disepakati. Sehingga terdapat 3 (tiga) unsur yang
harus dipenuhi dalam jual beli, yaitu:
1. Suatu perjanjian;
2. Terdapat pihak yang mengikatkan diri untuk menyerahkan benda;
3. Terdapat pihak yang mengikatkan diri untuk menyerahkan sejumlah harga yang
disepakati.
Pada khususnya, jual beli tanah memiliki pengertian yaitu di mana pihak penjual
menyerahkan tanah dan pembeli membayar harga tanah, maka berpindahlah hak atas tanah itu
kepada pembeli. Perbuatan hukum perpindahan hak ini bersifat tunai, terang dan rill.6 Jual beli
tanah dalam hukum perdata dapat dilakukan dengan pembuatan akta jual beli agar mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna. Kekuatan akta jual beli adalah sebagai bukti bahwa
benar telah dilakukan perbuatan hukum, yang bersangkutan dan karena perbuatan itu, hal
tersebut dibuat oleh PPAT maupun PPAT Sementara dan sifatnya tunai sekaligus membuktikan
berpindahnya hak atas tanah yang bersangkutan kepada penerima hak.7 Namun, dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 627/PK/Pdt/2018 tidak didapati adanya unsur-unsur dalam jual beli
pada umumnya maupun pengertian jual beli tanah pada khususnya. Pihak Nadjamuddin
Sjahbang selaku penjual tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jual beli dibuktikan
dengan masih dikuasai secara fisik objek tanah dan bangunan yang diperjualbelikan tersebut
dan I Ketut Gegel selaku pihak yang berpura-pura tidak dapat membuktikan adanya harga yang
dibayarkan kepada NS, meskipun dalam akta jual beli terdapat klausa “Pihak Pertama mengaku
telah menerima sepenuhnya uang tersebut di atas dari Pihak Kedua dan untuk penerimaan uang
tersebut akta ini berlaku pula sebagai tanda penerimaan yang sah (kwitansi)”, tetapi tidak ada
yang menyaksikan penyerahan uang yang dimaksud.
6 Cici Fajar Novita, “Tinjauan Hukum Terhadap Jual Beli Tanah Tanpa Akta PPAT (Wilayah Kecamatan
Tinombo), Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion 2, no. 3 (2014),
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/LO/article/view/5773.
7 Yeni Puspita Dewi, Tina Marlina, and Irma Maulida,Kekuatan Akta Jual Beli (AJB) atas Tanah dalam Proses
Menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM), Jurnal Hukum Responsif 11, no. 2 (October 2020): 8,
https://jurnal.ugj.ac.id/index.php/Responsif/article/view/5014.
Notary Journal Volume 3, No. 2, October 2023
171
Untuk kepentingan pengalihan hak, jual beli tanah harus dilakukan di hadapan PPAT
selaku pejabat umum yang berwenang untuk dibuatkan akta autentik sebagai dasar bagi
peralihan hak tersebut. Unsur-unsur yang harus ada dalam akta autentik menurut Pasal 1868
KUH Perdata adalah:
1. Akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang;
2. Oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu;
3. Di tempat di mana akta itu dibuat.
Akta yang diperlukan dalam jual beli tanah adalah akta jual beli yang dibuat di hadapan
PPAT sesuai dengan tempat kedudukan PPAT yang meliputi satu provinsi dengan daerah kerja
kabupaten/kota. Mengenai peranan PPAT dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya suatu perbuatan hukum. Sebagaimana
dipertegas dalam Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998 bahwa PPAT bertugas pokok
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Hibah;
4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5. Pembagian hak bersama;
6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
7. Pemberian Hak tanggungan;
8. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Berdasarkan penjabaran tugas pokok PPAT di atas, maka dapat diketahui bahwa PPAT
memang berwenang untuk membuat suatu akta jual beli yang berakibat hukum menjadi dasar
perubahan data pedaftaran tanah. Namun, dalam pembuatan akta jual beli tersebut harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Akta jual beli merupakan bukti telah dilakukannya proses jual beli mengenai hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Mekanisme pembuatan akta jual beli diatur
dalam Pasal 22 PP No. 37 Tahun 1998 yang menjelaskan bahwa akta PPAT harus
dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2
(dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan
Notary Journal Volume 3, No. 2, October 2023
172
PPAT. Berdasarkan penjelasan tersebut, bahwa dalam proses penandatanganan akta jual beli
atau akta lain yang menjadi tugas pokok dari PPAT tersebut wajib untuk dihadiri atau
dilakukan oleh PPAT itu sendiri. Adanya kewajiban untuk membacakan dan menjelaskan isi
akta adalah untuk memastikan bahwa para penghadap telah sepenuhnya memahami apa yang
tertuang di dalam akta. Dengan kewajiban PPAT tersebut, para pihak yang hadir tentunya lebih
mudah untuk mengerti mengenai apa yang sedang ia lakukan, mengenai isinya apa, dan tidak
ada perbedaan penafsiran terhadap hal-hal yang tertulis di akta karena sudah dijelaskan oleh
PPAT. Dengan tidak adanya akta jual beli maka tidak dapat dilakukan peralihan hak jual beli
secara sempurna karena akta jual beli tersebut nantinya dapat menjadi salah satu syarat
peralihan hak jual beli berdasarkan laman berjudul Peralihan Hak Jual Beli yang diunggah oleh
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, yaitu:8
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya
di atas materai cukup;
2. Surat kuasa apabila dikuasakan;
3. Fotokopi identitas pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah
dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket;
4. Fotokopi akta pendirian dan pengesahan badan hukum yang telah dicocokkan dengan
aslinya oleh petugas loket, bagi badan hukum;
5. Sertifikat Asli;
6. Akta jual beli dari PPAT;
7. Fotokopi KTP dan para pihak penjual-pembeli dan atau kuasanya;
8. Izin pemindahan hak apabila di dalam sertifikat/keputusannya dicantumkan tanda
yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan jika telah
diperoleh izin dari instansi yang berwenang;
9. Fotokopi SPPT dan PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh
petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan
(pada saat pendaftaran hak).
Mengingat akta jual beli merupakan salah satu syarat yang diperlukan untuk peralihan jual
beli, maka dari itu PPAT harus berhati-hati dalam memenuhi syarat autentik akta agar aktanya
tidak menjadi akta di bawah tangan.
8Peralihan Hak Jual Beli,” Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, accessed 7 June
2023, https://www.atrbpn.go.id/cari-layanan.
Notary Journal Volume 3, No. 2, October 2023
173
Berbanding terbalik dengan peraturan mengenai syarat akta autentik yang telah diuraikan
pada Pasal 22 PP No. 37 Tahun 1998, dalam kasus ini PPAT Farid, S.H. tidak menghadiri
penandatanganan akta jual beli dan tidak membacakan akta jual beli yang dibuat olehnya.
Sedangkan dalam peraturan, PPAT wajib membacakan akta dan menjelaskan mengenai isi akta
tersebut sebelum ditandatangani oleh para pihak. Penulis berpendapat bahwa selain kewajiban
membacakan akta, PPAT juga wajib hadir dalam pelaksanaan penandatanganan akta jual beli
tersebut. Pelaksanaan penandatanganan akta jual beli dalam putusan ini dihadiri oleh Karyawan
PPAT Farid, S.H. dan pelaksanaan tanda tangannya dilakukan di rumah Nadjamuddin
Sjahbang, atas strategi Muh. Zulham dengan alasan ada dokumen terkait pengurusan sertipikat
yang harus ditandatangani Nadjamuddin Sjahbang. Mengenai hal tersebut, tentunya PPAT
Farid, S.H. telah melanggar ketentuan yang ada di Pasal 22 PP No. 37 Tahun 1998. Tidak hanya
itu, Penulis berpendapat bahwa PPAT Farid, S.H. telah melanggar Pasal 4 Huruf L Kode Etik
Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017 yaitu mengirim minuta
kepada klien-klien untuk ditandatangani oleh klien-klien tersebut. Dalam hal ini Penulis
melihat bahwa PPAT Farid, S.H. tidak bertanggung jawab dalam menjalankan kewajiban.
Nyatanya, seorang PPAT dituntut harus bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri,
jujur, tidak berpihak, dan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Sehingga dengan tidak bertanggung jawabnya PPAT Farid, S.H. tentu akan berdampak kepada
akta yang ia buat. Untuk memenuhi sifat autentik suatu akta, maka akta tersebut harus dibuat
di hadapan PPAT yang berwenang. Perbuatan hukum dalam putusan ini dapat dikatakan tidak
sesuai dengan syarat pemenuhan keautentikan suatu akta PPAT. Penandatanganan akta jual
beli oleh para pihak dilakukan tidak di hadapan PPAT yang menandatangani akta jual beli.
Akta tersebut dibawakan oleh Karyawan PPAT Farid, S.H. ke rumah Nadjamuddin Sjahbang
dan penandatanganan akta jual beli oleh penjual dan pembeli tidak dilakukan dalam waktu
yang bersamaan di hadapan PPAT. Karena perbuatan PPAT Farid, S.H. tersebut tentunya
berdampak dan berakibat terhadap akta yang dibuatnya.
Tidak terpenuhinya syarat autentik suatu akta yang harus dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah dan tidak dilakukan di hadapan PPAT mengakibatkan akta tersebut harus turun
pembuktian menjadi akta di bawah tangan yang menyebabkan kekuatan pembuktiannya tidak
sekuat akta autentik. Namun, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 627/PK/Pdt/2018, hakim
tidak menyatakan secara jelas dalam putusannya apakah akta yang dibuat oleh PPAT Farid,
S.H. tetap merupakan akta autentik atau menjadi akta di bawah tangan, tetapi hakim
menyatakan bahwa Sertipikat Hak Tanggungan Nomor 2682/2012 tanggal 27 September 2012
tetap sah dan bank berhak untuk melakukan eksekusi. Pertimbangan hakim dalam hal ini adalah
Notary Journal Volume 3, No. 2, October 2023
174
karena tidak ada cukup bukti untuk membuktikan akta tersebut dibuat atas dasar penipuan,
kemudian Nadjamuddin Sjahbang yang merupakan seorang sarjana seharusnya mengetahui
akibat ditandatanganinya suatu akta jual beli, dan akta tersebut sudah mengikat bank selaku
pihak ketiga, di mana bank telah beritikad baik memberikan pinjaman kepada I Ketut Gegel
selaku pemilik tanah berdasarkan data yuridis yang tercantum dalam Sertipikat Hak Milik No.
02570/Birobuli Utara. Putusan ini berdasar kepada Kamar Perdata Umum Poin VIII Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa “Pemegang hak
tanggungan yang beritikad baik harus dilindungi sekalipun kemudian diketahui bahwa pemberi
hak tanggungan adalah orang yang tidak berhak”.
Itikad baik sendiri merupakan doktrin atau ajaran yang berasal dari hukum Romawi.
Doktrin ini bermula dari sebuah doktrin ex bona fides (perbuatan seseorang dilakukan secara
wajar dan patut). Doktrin ini bermula dari pengakuan terhadap kontrak konsensual informal
yang awalnya hanya meliputi kontrak jual beli, sewa menyewa, persekutuan perdata dan
mandat, namun kemudian doktrin itikad baik berkembang. Doktrin itikad baik berakar pada
etika sosial romawi mengenai kewajiban yang komprehensif akan berlakunya ketaatan dan
keimanan baik pada warganegara maupun bukan.9
C. Kesimpulan
Penandatanganan akta jual beli yang tidak dilakukan di hadapan PPAT dapat berakibat
hukum terdegradasinya kekuatan pembuktian akta, yang seharusnya akta tersebut adalah akta
autentik berubah menjadi akta bawah tangan. Namun, pada Putusan Mahkamah Agung No.
627/PK/Pdt/2018, tidak menyatakan secara jelas dalam putusannya apakah akta yang dibuat
oleh PPAT Farid, S.H. tetap merupakan akta autentik atau menjadi akta di bawah tangan, tetapi
hakim menyatakan bahwa Sertipikat Hak Tanggungan Nomor 2682/2012 tanggal 27
September 2012 tetap sah dan bank berhak untuk melakukan eksekusi jaminan sehingga dapat
disimpulkan bahwa akta jual beli yang dibuat di bawah tangan tersbut tidak terdegradasi,
dengan pertimbangan karena tidak ada cukup bukti untuk membuktikan akta tersebut dibuat
atas dasar penipuan, kemudian Nadjamuddin Sjahbang yang merupakan seorang sarjana
seharusnya mengetahui akibat ditandatanganinya suatu akta jual beli, dan akta tersebut sudah
mengikat bank selaku pihak ketiga yang beritikad baik.
9 Ayu Bimo Setyo Putri, “Itikad Baik Pada Pendaftaran Hak atas Tanah dalam Sistem Hukum Pertanahan,” Jurnal
Cakrawala Hukum 8, no. 1 (June 2017): 14, https://doi.org/10.26905/idjch.v8i1.1726.
Notary Journal Volume 3, No. 2, October 2023
175
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 120, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5893.
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
112/KEP-4.1/IV/2017 tentang Pengesahan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
Buku
Hartanto, J. Andy. Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertifikat. Yogyakarta:
Laksbang Mediatama, 2014.
Perangin, Effendi. Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi
Hukum. Jakarta: Radjawali, 1989.
Subekti. Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional. Bandung: Alumni, 1980.
Jurnal Ilmiah
Dewi, Yeni Puspita, Tina Marlina, and Irma Maulida. Kekuatan Akta Jual Beli (AJB) atas
Tanah dalam Proses Menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).” Jurnal Hukum Responsif
11, no. 2 (October 2020): 86–92.
https://jurnal.ugj.ac.id/index.php/Responsif/article/view/5014.
Novita, Cici Fajar. “Tinjauan Hukum Terhadap Jual Beli Tanah tanpa Akta PPAT (Wilayah
Kecamatan Tinombo). Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion 2, no. 3 (2014).
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/LO/article/view/5773.
Notary Journal Volume 3, No. 2, October 2023
176
Putri, Ayu Bimo Setyo. “Itikad Baik Pada Pendaftaran Hak atas Tanah dalam Sistem Hukum
Pertanahan. Jurnal Cakrawala Hukum 8, no. 1 (June 2017): 12–21.
https://doi.org/10.26905/idjch.v8i1.1726.
Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 627/PK/Pdt/2018.
Media Internet
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. “Peralihan Hak Jual Beli.”
Accessed 7 June 2023. https://www.atrbpn.go.id/cari-layanan.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
In 1961 the government enacted Government Regulation No. 10 of 1961 on Land Registration, but this regulation can no longer fully achieve maximum results in national development, so it is deemed necessary to make improvements. The purpose of this study is to know and analyze the meaning and benchmarks of good faith in Article 24 Paragraph (2) of Government Regulation No. 24 of 1997 which regulates the procedure of registration of land rights derived from the old right, if evidence is lacking or not at all. This study uses a type of normative juridical research using the approach of legislation and conceptual approach. The meaning of good faith from the experts is not contrary to the existing rules, proper, honest, and does not intend to enrich themselves by harming others. A good measure of faith in the registration of physically controlled land rights uses objective benchmarks in an objective way, if all requirements are met, then it can be said to be in good faith. The procedure provided by this Regulation has provided justice and legal certainty, as the procedure is clear, and if the applicant is proven to do the forbidden, then it may be criminally and civil liable.
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
  • Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5893.
Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional. Bandung: Alumni
  • Subekti
Subekti. Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional. Bandung: Alumni, 1980. Jurnal Ilmiah
Kekuatan Akta Jual Beli (AJB) atas Tanah dalam Proses Menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM)
  • Yeni Dewi
  • Tina Puspita
  • Irma Marlina
  • Maulida
Dewi, Yeni Puspita, Tina Marlina, and Irma Maulida. "Kekuatan Akta Jual Beli (AJB) atas Tanah dalam Proses Menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM)." Jurnal Hukum Responsif 11, no. 2 (October 2020): 86-92. https://jurnal.ugj.ac.id/index.php/Responsif/article/view/5014.
Tinjauan Hukum Terhadap Jual Beli Tanah tanpa Akta PPAT (Wilayah Kecamatan Tinombo)
  • Cici Novita
  • Fajar
Novita, Cici Fajar. "Tinjauan Hukum Terhadap Jual Beli Tanah tanpa Akta PPAT (Wilayah Kecamatan Tinombo)." Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion 2, no. 3 (2014).