Content uploaded by Frensen Salim
Author content
All content in this area was uploaded by Frensen Salim on Oct 02, 2023
Content may be subject to copyright.
Kontribusi Persepsi Terhadap Dukungan Organisasi dan Resiliensi Karyawan
Terhadap Keterikatan Kerja
Frensen Salim1, Awaluddin Tjalla2
1,2Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma
email: frensensalim@gmail.com
Abstrak
Sumber daya manusia dipandang sebagai aset yang sangat penting, karena manusia
merupakan sumber daya yang dinamis dan selalu dibutuhkan dalam tiap proses produksi
barang dan jasa. Persepsi terhadap dukungan organisasi merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi keterikatan kerja yang termasuk ke dalam kelompok sumber daya
pekerjaan. Selain itu, resiliensi karyawan merupakan penilaian diri positif yang berkaitan
dengan kemampuan individu dalam mengontrol lingkungan dan pekerjaannya. Penelitian
ini bertujuan untuk menguji apakah persepsi terhadap dukungan organisasi dan resiliensi
karyawan dapat memprediksi keterikatan kerja. Sampel yang digunakan dalam pene-
litian ini adalah pegawai Direktorat Sumber Daya Manusia dan Umum di kantor pusat
Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia yang berjumlah 48 pegawai. Data
yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik statistik regresi linear berganda. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa persepsi terhadap dukungan organisasi dan resiliensi
karyawan berpengaruh signikan terhadap keterikatan kerja pada pegawai. Namun,
persepsi terhadap dukungan organisasi secara terpisah memberikan kontribusi yang
lebih besar daripada resiliensi karyawan.
Kata Kunci: Persepsi terhadap Dukungan Organisasi, Resiliensi Karyawan, Keterikatan
Kerja
The Contribution Of Perceived Organizational Support and
Employee Resilience To Employees’ Work Engagement
Abstract
Human resources are seen as very important assets because humans are a dynamic
resource and are always needed in every process of producing goods and services.
Perceived organizational support is one of the factors that inuence the work engagement
that belongs to the group of job resources. In addition, employee resilience is a positive
self-assessment related to the ability of individuals to control their environment and work.
Therefore, this study aimed to investigate whether perceived organizational support and
employee resilience predict work engagement. The samples used in this study were
employees of the Directorate of Human Resources and General Affairs at Head Ofce
Public Broadcasting Institution Radio of The Republic of Indonesia, which numbered
48 employees. The data obtained were analyzed using multiple linear regression. The
results showed that perceived organizational support and employee resilience had a very
signicant inuence on employees’ work engagement. However, perceived organizational
support contributed independently to a signicantly higher contribution than employee
resilience did.
Keywords: Perceived Organizational Support, Employee Resilience, Work Engagement
1
Kontribusi Persepsi Terhadap Dukungan Organisasi dan Resiliensi Karyawan ..... Frensen Salim
Pendahuluan
Sumber daya manusia (SDM) dipandang
sebagai aset organisasi yang sangat penting,
karena manusia merupakan sumber daya
yang dinamis dan selalu dibutuhkan dalam
tiap proses produksi barang dan jasa. Tanpa
adanya sumber daya manusia dalam suatu
organisasi, maka organisasi tersebut tidak akan
mampu berjalan dengan baik, karena sumber
daya manusia merupakan otak dan penggerak
bagi setiap organisasi yang ingin berkembang.
Setiap organisasi sangat mengandalkan dan
membutuhkan sumber daya manusia yang
ideal guna membangun organisasinya agar
dapat terus berkembang menjadi organisasi
Artikel INFO
Diterima : 9 Maret 2022
Direvisi : 16 April 2023
Disetujui : 25 Mei 2023
DOI:
http://dx.doi.org/10.24014/
jp.v14i2.16614
2
Jurnal Psikologi, Volume 19 Nomor 1, Juni 2023
yang lebih baik dan menonjol dibandingkan
organisasi lain yang bergerak pada bidang
yang sama, dengan adanya SDM yang
memadai membuat organisasi tersebut mampu
bersaing dengan organisasi lain yang bergerak
pada bidang yang sama. Oleh karena itu,
setiap organisasi selalu menyeleksi dengan
ketat untuk setiap sumber daya manusia yang
ingin masuk ke dalam organisasi itu. Seleksi
yang ketat membuat setiap sumber daya
manusia ingin meningkatkan kemampuan
dirinya dan mencari organisasi yang lebih baik
daripada yang sebelumnya.
Pada abad ke-21 ini, koneksi antara
kondisi psikologis karyawan dengan pekerjaan-
nya memegang peranan yang sangat penting
khususnya pada sektor pekerjaan yang
berhubungan dengan informasi dan pelayanan
(Bakker, 2011). Perusahaan atau instansi
tidak lagi hanya mencari calon karyawan yang
memiliki kemampuan di atas rata-rata, namun
mereka juga mencari calon karyawan yang
mampu menginvestasikan diri mereka sendiri
untuk terlibat secara penuh dalam pekerjaan,
proaktif, dan memiliki komitmen tinggi terhadap
standar kualitas kinerja (Bakker, 2011). Mereka
juga membutuhkan karyawan yang bisa terikat
dengan pekerjaannya (Bakker & Leiter, 2010).
Beragam penelitian saat ini berfokus
pada hal positif yang dapat membantu
meningkatkan kinerja organisasi diantaranya
melalui konsep perilaku kerja yang positif.
Optimisme, kepercayaan, dan keterikatan
(engagement) termasuk di dalam konsep positif
itu. Bakker dan Leiter (2010) menyatakan
bahwa keterikatan kerja atau work engagement
telah menjadi konsep positif yang dipakai oleh
berbagai konsultan organisasi. Dimasukkannya
keterikatan kerja ke dalam dimensi positif
karena konstruk tersebut menekankan pada
kesejahteraan seorang karyawan (Schaufeli
& Bakker, 2004). Karyawan yang memiliki
tingkat keterikatan kerja yang tinggi akan
menunjukkan performa terbaik mereka, hal
ini karena karyawan tersebut menikmati
pekerjaan yang mereka lakukan (Bakker,
2011).
Keterikatan kerja didenisikan sebagai
sikap kondisi atau positif melaksanakan tugas,
terlibat penuh dalam pekerjaan, dan berpikir
penuh tentang pekerjaan yang dicirikan oleh
tiga dimensi utama, yaitu semangat (vigor),
dedikasi (dedication), dan keterserapan
pekerjaan (absorption) (Bakker & Demerouti,
2008). Kahn (1990) menyatakan bahwa
karyawan yang terikat (engaged) dengan
pekerjaannya akan mencurahkan fisiknya,
pikirannya dan perasaannya terhadap apa
yang sedang dikerjakannya. Keterikatan
(engagement) merujuk pada besaran energi
yang khusus dicurahkan untuk mencapai
tujuan organisasi (Macey, Schneider, Barbera,
& Young, 2009). Bakker (2011) menambahkan
bahwa karyawan yang terikat (engaged)
akan cenderung lebih bekerja keras dan
mengeluarkan usaha lebih dalam bekerja.
Karyawan yang memiliki tingkat keterikatan
kerja yang tinggi akan menunjukkan performa
terbaik mereka, hal ini karena karyawan
tersebut menikmati pekerjaan yang mereka
lakukan.
Coffman (2002) menyatakan bahwa
karyawan yang terikat akan memberi hasil
lebih, memberikan keuntungan finansial
kepada organisasi, menciptakan keterikatan
emosional (emotional engagement) terhadap
pelanggan yang dilayani, dan menciptakan
lingkungan yang membuat rekan kerja
juga menjadi lebih produktif. Lebih dari
itu, karyawan yang terikat (engaged) akan
cenderung lebih bertahan lama di dalam suatu
organisasi dibandingkan dengan karyawan
yang tidak terikat (disengaged). Karyawan
yang tidak terikat terhadap pekerjaannya
secara konsisten akan menentang segala hal,
bekerja dengan perasaan tidak senang dan
menunjukkan hal tersebut ke lingkungannya.
Mereka biasanya menutup kesempatan pada
tantangan yang diberikan untuk mereka
(Coffman, 2002).
Bakker dan Leiter (2010) menyatakan
bahwa keterikatan dapat membawa
perbedaan besar pada setiap karyawan
3
Kontribusi Persepsi Terhadap Dukungan Organisasi dan Resiliensi Karyawan ..... Frensen Salim
dan dapat memberikan keuntungan besar
kepada organisasi sehingga dapat melawan
pesaingnya. Oleh karena itu, penting kiranya
untuk memberikan fokus lebih mengenai
masalah keterikatan karyawan terhadap
pekerjaan mereka, sehingga para karyawan
tidak hanya menghasilkan kinerja optimal,
tetapi juga menguntungkan organisasi dengan
mencapai prot yang direncanakan.
Bakker dan Demerouti (2008) menje-
laskan konsep keterikatan kerja (work
engagement) melalui variabel personal dan
situasional serta membagi variabel ini ke
dalam dua kelompok yaitu job resources dan
personal resources. Sumber daya pekerjaan
(job resources) mengacu pada aspek sik,
sosial atau organisasi dari suatu pekerjaan
yang dapat membantu mengurangi tuntutan
pekerjaan, meningkatkan kesempatan untuk
berkembang dan mencapai tujuan dalam
pekerjaan (Schaufeli & Bakker, 2004).
Selanjutnya, sumber daya personal (personal
resources) merupakan penilaian diri yang
positif yang berkaitan dengan kemampuan
individu untuk mengontrol lingkungannya
(Hobfoll, 2002).
Simpson (2009) menyebutkan bahwa
faktor lingkungan dan organisasi lebih
mendominasi terhadap nilai keterikatan
karyawan. Kedua faktor tersebut terangkum
dalam sumber daya pekerjaan dan tuntutan
pekerjaan. Dukungan organisasi yang
dirasakan karyawan ini dinilai sebagai
kepastian akan tersedianya bantuan dari
organisasi ketika bantuan tersebut dibutuhkan
untuk mendukung pelaksanaan tugas
karyawan agar dapat berjalan secara efektif
serta untuk menghadapi situasi-situasi
yang mengandung tekanan (Rhoades &
Eisenberger, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Ying,
Shin, Min, Yen, dan Siew (2013) di rumah
sakit swasta dan pemerintah di Malaysia,
menemukan bahwa dukungan organisasi,
dukungan supervisor, keadilan prosedural,
reward dan penghargaan serta efikasi diri
berkontribusi terhadap keterikatan kerja
perawat. Penelitian yang dilakukan oleh
Gokul, Sridevi, dan Srinivasan (2012)
menyatakan bahwa keterikatan berkembang
seiring dengan prinsip pertukaran dimana
karyawan akan terikat kepada organisasinya
ketika mereka merasa bahwa organisasi
tersebut juga berkomitmen memberikan
hasil yang diinginkan oleh karyawan. Eder
dan Eisenberger (2008) juga menambahkan
bahwa keterikatan akan meningkat ketika
adanya kecocokan antara harapan karyawan
dengan pekerjaan yang dikerjakan, dan
juga kecocokan antara harapan dengan
persepsi karyawan dengan dukungan yang
diberikan organisasi kepadanya atau yang
disebut sebagai persepsi terhadap dukungan
organisasi (perceived organizational support).
Dai dan Qin (2016) membuktikan dalam
penelitiannya bahwa dukungan organisasi
secara signikan mempengaruhi keterikatan
karyawan. Ketika karyawan merasakan
dukungan dari organisasi, rasa memiliki
karyawan terhadap organisasi semakin kuat.
Hal ini membuat karyawan bekerja keras untuk
mencapai tujuan organisasi dan menunjukkan
tingkat keterikatan karyawan semakin tinggi.
Beberapa peneliti juga telah mengin-
vestigasi hubungan antara sumber daya
personal dengan keterikatan kerja. Menurut
Luthans (2002), salah satu sumber daya
personal lainnya yang juga berpengaruh
terhadap keterikatan adalah resiliensi, yang
akan membantu individu untuk beradaptasi
secara efektif terhadap perubahan yang terjadi
dalam lingkungannya. Naswall, Kuntz, Hodliffe,
dan Malinen (2013) memberikan konsep
resiliensi karyawan (employee resilience)
untuk membahas resiliensi yang berkaitan
dengan karyawan dan masalah pekerjaan.
Luthans (2002) menyatakan bahwa pekerja
yang terikat memiliki sumber daya personal,
seperti resiliensi yang dapat membantu
mereka mengontrol lingkungan mereka secara
efektif dan membantu mereka mencapai
kesuksesan dalam pekerjaannya. Resiliensi
merupakan salah satu dari empat keadaan
4
Jurnal Psikologi, Volume 19 Nomor 1, Juni 2023
psikologis positif (positive psychological states)
dari modal psikologis (psychological capital)
(Luthans, Vogelgesang, & Lester, 2006) dan
telah diidentifikasikan sebagai kontribusi
positif terhadap keterikatan kerja (Medhurst
& Albrecht, 2016). Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan antara
resiliensi dan keterikatan kerja (Bakker dkk.,
2011; Bande dkk., 2015; King dkk., 2015;
Mache dkk., 2014; Shin, Taylor, & Seo, 2012).
Selain itu, adanya hasil penelitian
mengenai keterkaitan antara faktor-faktor
yang mempengaruhi keterikatan kerja, yaitu
sumber daya pekerjaan yang dalam penelitian
ini merupakan variable persepsi terhadap
dukungan organisasi dan sumber daya
personal yang dalam penelitian ini merupakan
variable resiliensi karyawan. Penelitian
tersebut dilakukan oleh Haider dan Abid (2017)
yang meneliti tentang hubungan dukungan
organisasi dan resiliensi karyawan pada
129 karyawan pegawai negeri dan pegawai
swasta. Hasil penelitian menunjukkan adanya
hubungan positif antara dukungan organisasi
dan resiliensi karyawan.
Alasan peneliti memilih topik persepsi
terhadap dukungan organisasi, resiliensi
karyawan, dan keterikatan kerja pada pegawai
dikarenakan dalam mengemban tugas dan
tanggung jawab pekerjaan, pegawai akan
menghadapi berbagai macam masalah
dan tantangan dalam pekerjaan, sehingga
dibutuhkan dukungan organisasi dan
resiliensi karyawan yang baik agar pegawai
dapat mempertahankan dan meningkatkan
keterikatan kerjanya. Selain itu, peningkatan
keterikatan kerja berguna untuk produktivitas
kerja, performa kerja, kepuasan kerja, dan
komunikasi organisasi (Rich, Lepine, &
Crawford, 2010). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah persepsi terhadap
dukungan organisasi dan resiliensi karyawan
dapat memprediksi keterikatan kerja dan
sejauh mana kontribusi relatif masing-masing
jika dibandingkan dengan yang lain.
Metode
Partisipan
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh pegawai Direktorat Sumber Daya
Manusia dan Umum (SDM dan Umum) di
Kantor Pusat Lembaga Penyiaran Publik Radio
Republik Indonesia (LPP RRI). Adapun kriteria
responden dalam penelitian ini adalah pria
atau wanita, berusia 21 – 50 tahun, dan masa
kerja minimal satu hingga dua tahun. Teknik
pengambilan sampel menggunakan simple
random sampling.
Partisipan dari penelitian ini berjumlah
48 karyawan (56,3% laki-laki dan 43,8%
perempuan). Mayoritas karyawan berada pada
rentang usia 41-54 tahun (35,4%). Sebagian
besar karyawan memiliki pendidikan akhir
Sarjana (S1) sebesar 43,8%. Kebanyakan,
karyawan memiliki pengalaman kerja lebih dari
5 tahun dengan komposisi 70,8%, selanjutnya
memiliki pengalaman kerja 1-2 tahun sebesar
12,5%, kemudian memiliki pengalaman kerja
4-5 tahun sebesar 10,4%, berikutnya memiliki
pengalaman kerja 3-4 tahun sebesar 4,2%,
dan memiliki pengalaman 2-3 tahun sebesar
2,1%.
Instrumen
Keterikatan kerja diukur dengan
menggunakan skala keterikatan kerja yang
diadaptasi dari Utrecht Work Engagement
Scale-9 (UWES-9; Schaufeli dkk., 2006)
yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh peneliti berdasarkan tiga
dimensi keterikatan kerja yang dikemukakan
oleh Schaufeli dkk. (2002) yaitu, energi yang
tinggi dan ketekunan kerja (vigor), kerelaan
dan ketulusan mendedikasi kemampuan
(dedication), dan merasa senang dalam
melakukan pekerjaan (absorption). UWES-9
memiliki sembilan item dan salah satu contoh
item dari skala ini, yaitu “Ketika bekerja, saya
merasa berenergi”. Sistem penilaian yang
digunakan pada item skala keterikatan kerja
menggunakan 7 pilihan jawaban, yaitu: Tidak
5
Kontribusi Persepsi Terhadap Dukungan Organisasi dan Resiliensi Karyawan ..... Frensen Salim
Pernah (TP), Sesekali (SK), Jarang (JR),
Kadang-Kadang (KD), Agak Sering (AS),
Sering (SR), dan Selalu (SL). Selanjutnya
reliabilitas skala diuji menggunakan Alpha
Cronbach dan menghasilkan koefisien
reliabilitas sebesar 0,900.
Persepsi terhadap dukungan organisasi
diukur dengan menggunakan skala yang
diadaptasi dari Survey of Perceived
Organizational Support (SPOS) 8-item Short
Form oleh Rhoades dkk. (2001) dengan
bentuk teknik penyusunan skala Likert. SPOS
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
oleh peneliti. SPOS 8-item Short Form terdiri
dari delapan aitem dan salah satu contoh
item dari skala ini, yaitu “Instansi tempat saya
bekerja sangat peduli akan kesejahteraan
saya”. Terdapat enam butir pernyataan yang
bersifat positif (favorable) dan dua butir
pernyataan yang bersifat negatif (unfavorable).
Sistem penilaian yang menggunakan 7 pilihan
jawaban (skor 1-7), yaitu Sangat Tidak Setuju
(STS), Tidak Setuju (TS), Agak Tidak Setuju
(ATS), Netral (N), Agak Setuju (AS), Setuju
(S), dan Sangat Setuju (SS). Skor bersifat
negatif (unfavorable) dalam perhitungan
akan dibalik. Selanjutnya reliabilitas skala
diuji menggunakan Alpha Cronbach dan
menghasilkan koesien reliabilitas sebesar
0,919.
Resiliensi karyawan diukur dengan
menggunakan skala resiliensi karyawan yang
diadaptasi dari Employee Resilience (EmpRes)
revised 9-item Scale oleh Naswall dkk. (2015)
dengan bentuk teknik penyusunan skala Likert
dan bersifat favorable serta menggunakan
instrumen unidimensional untuk mengukur
konstruk resiliensi karyawan. EmpRes
revised 9-item Scale terdiri dari sembilan
aitem yang telah direvisi dan diterjemahkan
ke dalam Bahasa Indonesia oleh peneliti.
Salah satu contoh item dari skala ini, yaitu
“Saya bekerja sama secara efektif untuk
mengatasi tantangan-tantangan yang tak
terduga dalam bekerja”. Sistem penilaian yang
digunakan pada item skala resiliensi karyawan
menggunakan 7 pilihan jawaban (skor 1-7),
yaitu: Tidak Pernah (TP), Sesekali (SK), Jarang
(JR), Kadang-Kadang (KD), Agak Sering (AS),
Sering (SR), dan Selalu (SL). Reliabilitas
skala diuji menggunakan Alpha Cronbach dan
menghasilkan koesien reliabilitas sebesar
0,860 dengan delapan item.
Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan
analisis regresi linear berganda untuk
menjawab pertanyaan penelitian.
Hasil
Tabel 1 menunjukkan persepsi terhadap
dukungan organisasi berkorelasi terhadap
keterikatan kerja pegawai (r = 0,475, p <0,01)
dan resiliensi karyawan berkolerasi terhadap
keterikatan kerja pegawai (r = 0,707, p <0,01).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi
terhadap dukungan organisasi dan resiliensi
karyawan secara terpisah berhubungan
dengan keterikatan kerja.
Tabel 1.
Zero Order Correlation
Variabel Keterikatan
Kerja
Persepsi terhadap
Dukungan Organisasi
Resiliensi
Karyawan
Keterikatan Kerja 0,475** 0,707**
Persepsi terhadap Dukungan Organisasi 0,475** 0,277
Resiliensi Karyawan 0,707** 0,277
Keterangan: ** signikansi p <0,01
Hasil analisis regresi berganda (Tabel
2) mengungkapkan bahwa persepsi terhadap
dukungan organisasi dan resiliensi karyawan
memiliki kontribusi yang signikan terhadap
6
Jurnal Psikologi, Volume 19 Nomor 1, Juni 2023
keterikatan kerja (F = 31,652, p <0,001).
Pengaruh persepsi terhadap organisasi dan
resiliensi karyawan secara simultan sebesar
58,50% (R2 = 0,585) terhadap keterikatan kerja
pegawai.
Tabel 2.
Hasil Analisis Regresi Berganda
Variabel Keterikatan Kerja
Beta S.Error SB B t Sig
Persepsi terhadap Dukungan Organisasi 0,391 0,129 0,303** 3,032 0,004
Resiliensi Karyawan 0,660 0,106 0,623** 6,230 0,000
Keterangan: R2 = 0,585, F = 31,652 (p < 0,01); **p <0,01 level (one-tailed)
Persepsi terhadap dukungan organisasi
memprediksi keterikatan kerja pegawai (B
= 0391, p <0,01) dan resiliensi karyawan
memprediksi keterikatan kerja pegawai (B =
0,660, p <0,01). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa semakin tinggi persepsi terhadap
dukungan organisasi pegawai, pegawai akan
menunjukkan keterikatan kerja yang lebih
tinggi, yang juga ditemukan untuk resiliensi
pegawai yang lebih tinggi.
Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
apakah terdapat pengaruh persepsi terhadap
dukungan organisasi dan resiliensi karyawan
terhadap keterikatan kerja pada pegawai.
Berdasarkan hasil analisis data, hasilnya
menunjukkan bahwa persepsi terhadap
dukungan organisasi dan resiliensi karyawan
menunjukkan variasi dalam kontribusinya dan
secara signifikan memprediksi keterikatan
kerja pada pegawai. Hal ini menunjukkan
bahwa persepsi terhadap dukungan organisasi
dan resiliensi karyawan jika diberikan secara
terpisah berpengaruh signifikan terhadap
keterikatan kerja.
Persepsi terhadap dukungan organisasi
memberikan kontribusi sebesar 22,60%
terhadap keterikatan kerja. Penelitian ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi
terhadap dukungan organisasi yang diterima
atau dirasakan maka akan semakin tinggi pula
keterikatan kerja para pegawainya. Sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Rhoades
dan Eisenberger (2002) bahwa persepsi
terhadap dukungan organisasi menjadi
anteseden keterikatan kerja, dimana individu
yang memiliki persepsi yang baik mengenai
dukungan organisasi akan membalas
dukungan yang diberikan oleh organisasinya
dengan menampilkan kinerja yang baik untuk
mencapai tujuan organisasi. Persepsi terhadap
dukungan organisasi memiliki efek positif
terhadap keterikatan.
Menurut Rhoades dan Eisenberger
(2002) persepsi terhadap dukungan organisasi
merupakan persepsi karyawan yang lahir dari
dukungan organisasi yang dirasakan oleh
karyawan sebagai hubungan timbal balik
positif, dimana karyawan cenderung berkinerja
lebih baik untuk membayar kembali dukungan
organisasi yang dirasakan. Hal tersebut
tentunya berpengaruh pada keterikatan kerja
individu dalam membantu mengurangi tuntutan
pekerjaan, meningkatkan kesempatan untuk
berkembang, dan mencapai tujuan dalam
pekerjaan (Bakker & Demerouti, 2008).
Simpson (2009) menyebutkan bahwa
faktor lingkungan dan organisasi lebih
mendominasi terhadap nilai keterikatan
karyawan. Dukungan organisasi yang
dirasakan karyawan ini dinilai sebagai
kepastian akan tersedianya bantuan dari
organisasi ketika bantuan tersebut dibutuhkan
untuk mendukung pelaksanaan tugas
karyawan agar dapat berjalan secara efektif
serta untuk menghadapi situasi-situasi
yang mengandung tekanan (Rhoades &
Eisenberger, 2002).
7
Kontribusi Persepsi Terhadap Dukungan Organisasi dan Resiliensi Karyawan ..... Frensen Salim
Persepsi terhadap dukungan organisasi
merupakan suatu keyakinan global karyawan
tentang sejauh mana perusahaan peduli
terhadap kesejahteraan dan menghargai
kontribusi karyawan dalam perusahaan (Eder
& Eisenberger, 2008). Dalam teori dukungan
organisasi penekanannya adalah sejauh
mana organisasi menghargai kontribusi
karyawan terhadap kesuksesan organisasi
serta memperhatikan kesejahteraan mereka
terhadap kontribusi yang telah diberikan
pada organisasi. Teori dukungan organisasi
berasal dari teori-teori yang berkaitan dengan
hubungan antara pimpinan perusahaan
dan karyawan, yang didasarkan pada
harapan dan kewajiban. Ketika organisasi
menghargai kerjasama dan upaya karyawan
dan memperhatikan kesejahteraan karyawan,
maka karyawan merasa telah didukung oleh
organisasi (Eder & Eisenberger, 2008).
Persepsi terhadap dukungan organisasi
berperan besar dalam meningkatkan
keterikatan kerja pegawai. Dukungan dari
atasan, perlakuan yang adil, kondisi kerja
yang baik, tersedianya sarana dan prasarana
memadai, dukungan organisasi dalam
menyatakan pendapat membuat pegawai
merasa diperhatikan organisasi. Hal ini dapat
meningkatkan semangat kerja loyalitas, dan
retensi sehingga keterikatan kerja meningkat.
Sejalan dengan pernyataan Eder dan
Eisenberger (2008) bahwa keterikatan akan
meningkat ketika adanya kecocokan antara
harapan karyawan dengan pekerjaan yang
dikerjakan, dan juga kecocokan antara harapan
dengan persepsi karyawan dengan dukungan
yang diberikan organisasi kepadanya.
Organisasi yang memperlakukan para
pekerja secara adil serta memperhatikan
kesejahteraan karyawannya secara merata
dapat meningkatkan keterikatan kerja para
pekerja. Hal ini sesuai dengan pendapat
Rhoades dan Eisenberger (2002) yang
mengemukakan bentuk perlakuan organisasi
yang dipersepsikan oleh karyawan, yaitu
rasa keadilan (perceived fairness). Perlakuan
organisasi ini berimplikasi pada sumber
daya yang memiliki pengaruh yang kuat
terhadap persepsi dukungan organisasional.
Keadilan terhadap distribusi sumber daya
tersebut diindikasikan sebagai perhatian dan
kepedulian organisasi terhadap kesejahteraan
karyawan (Shore & Shore, 1995). Dalam
pelaksanaannya yang berkaitan dengan
keterikatan kerja, ini melibatkan perlakuan
interpersonal dari organisasi atau perusahaan
terhadap karyawan. Menghargai karyawan,
memberikan respek, memberikan informasi
yang dibutuhkan, memberikan kesempatan
untuk berpendapat merupakan contoh
pelaksanaan keadilan terhadap keterikatan
kerja.
Keterikatan kerja menjadi sangat penting
bagi organisasi karena para pegawai yang
memiliki ikatan yang tinggi dengan pekerjaan
dan organisasinya lebih produktif dibandingkan
dengan karyawan dengan ikatan kerja yang
rendah. Hal ini sangat relevan bagi organisasi
karena peningkatan produktivitas karyawan
merupakan hal yang menguntungkan bagi
organisasi. Organisasi dihadapkan dengan
tantangan besar dalam menanamkan
hubungan yang kuat antara ikatan karyawan
dengan organisasi, baik dari visi-misi yang
diemban, nilai-nilai dan etos kerja organisasi.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Dai dan Qin (2016) yang
membuktikan dalam penelitiannya bahwa
dukungan organisasi secara signifikan
mempengaruhi keterikatan karyawan.
Ketika karyawan merasakan dukungan dari
organisasi, rasa memiliki karyawan terhadap
organisasi semakin kuat. Hal ini membuat
karyawan bekerja keras untuk mencapai
tujuan organisasi dan menunjukkan tingkat
keterikatan karyawan semakin tinggi. Begitu
pula dengan penelitian yang dilakukan oleh
Gokul dkk. (2012) yang menyatakan bahwa
keterikatan berkembang seiring dengan prinsip
pertukaran dimana karyawan akan terikat
kepada organisasinya ketika mereka merasa
bahwa organisasi tersebut juga berkomitmen
memberikan hasil yang diinginkan oleh
karyawan.
8
Jurnal Psikologi, Volume 19 Nomor 1, Juni 2023
Persepsi terhadap dukungan organisasi
yang dirasakan diidentikasi sebagai prediktor
keterikatan kerja pegawai. Konsisten dengan
teori dukungan organisasi, bahwa persepsi
terhadap dukungan organisasi yang dirasakan
akan menjadi prediktor signikan keterikatan
kerja pegawai. Hal ini sejalan dengan teori
pertukaran sosial karyawan (social-exchange
theory employees) dengan persepsi terhadap
dukungan organisasi yang dirasakan tinggi
akan terlibat dalam upaya terkait pekerjaan
yang lebih besar. Persepsi tentang dukungan
organisasi sebagai bentuk mata uang sosial
memiliki implikasi penting untuk meningkatkan
kesejahteraan karyawan dan orientasi
yang menguntungkan terhadap organisasi
(Kurtessis dkk., 2015).
Pentingnya keterikatan kerja karyawan
dapat ditinjau dalam manfaat bagi organisasi
dan karyawan. Keterikatan kerja sangat
spesik untuk organisasi (Gupta & Sharma,
2016) dengan manfaatnya yang termasuk
dalam peningkatan perputaran keuangan
(Rothmann & Rothmann Jr, 2010), pertumbuhan
pendapatan, laba kotor, laba operasi, dan
kepuasan dan produktivitas pelanggan yang
lebih besar (Saks & Gruman, 2014). Organisasi
dengan tingkat keterikatan kerja karyawan
yang tinggi menunjukkan pertumbuhan
pendapatan 2,5 kali lebih tinggi daripada
yang memiliki keterikatan kerja karyawan
yang rendah (Permana dkk., 2015). Terlebih
lagi, keterikatan kerja karyawan menjadi
faktor penting selama kondisi ekonomi yang
bergejolak. Keterikatan memastikan bahwa
karyawan melakukan upaya luar biasa dalam
perilaku mereka terhadap organisasi, dan
merupakan faktor penting dalam memberikan
hasil bisnis perusahaan yang diinginkan dan
yang diperlukan selama resesi dan stagnasi
pertumbuhan (Gupta & Sharma, 2016).
Selanjutnya, resiliensi karyawan
memberikan kontribusi sebesar 50,00%
terhadap keterikatan kerja. Hal ini menunjukkan
bahwa resiliensi karyawan jika diberikan
secara terpisah berpengaruh signifikan
terhadap keterikatan kerja. Ekspektasi kinerja
yang meningkat dari lingkungan bisnis saat ini
tidak dapat dipenuhi dengan kinerja rata-rata.
Dengan demikian, organisasi membutuhkan
karyawan yang resilien dan dapat berhasil
dalam kekacauan dan tumbuh dalam
menghadapi kesulitan, ketidakpastian, dan
perubahan konstan (Kotz & Nel, 2013). Jika
organisasi ingin karyawan ikut terlibat dan
produktif, mereka harus menunjukkan bahwa
mereka berkomitmen untuk menciptakan
lingkungan yang mendukung (Shantz, Alfes,
& Latham, 2014). Hal ini sejalan dengan
Bakker dan Leiter (2010) menyatakan bahwa
keterikatan dapat membawa perbedaan besar
pada setiap pekerja dan dapat memberikan
keuntungan besar kepada organisasi untuk
melawan kompetitornya. Oleh karena itu,
penting kiranya untuk memberikan fokus lebih
mengenai masalah keterikatan (engagement)
karyawan terhadap pekerjaan mereka,
sehingga tidak hanya karyawan menghasilkan
kinerja optimal, namun perusahaan juga
diuntungkan dengan mencapai profit yang
direncanakan.
Selain itu, mengingat pentingnya
resiliensi yang dapat berfungsi bagi organisasi,
tim dan individu, telah ada minat studi yang
berkembang dalam memahami konsep
resiliensi dalam bidang ilmu organisasi yang
lebih luas. Penelitian Bandedkk. (2015)
menunjukkan bahwa orang dengan tingkat
resiliensi yang rendah lebih emosional, tidak
stabil ketika menghadapi kesulitan, kurang
fleksibel untuk berubah, dan lebih tahan
terhadap pengalaman baru. Sehubungan
dengan resiliensi, mungkin penjelasan yang
paling masuk akal adalah bahwa karakteristik
pribadi (seperti seberapa resilien Anda) kurang
penting dalam proses tekanan-pekerjaan
(job-stress process), daripada karakteristik
pekerjaan itu sendiri (job characteristics);
seperti sumber daya pekerjaan (van den
Tooren & de Jonge, 2010). Oleh karena itu, ada
kemungkinan bahwa mengandalkan sumber
daya pribadi (seperti resiliensi), tidak terjadi
di sebagian besar situasi selama ada cukup
sumber daya pekerjaan lain untuk mengatasi
tuntutan yang dihadapi oleh karyawan.
9
Kontribusi Persepsi Terhadap Dukungan Organisasi dan Resiliensi Karyawan ..... Frensen Salim
Konsep resiliensi karyawan membahas
resiliensi yang berkaitan dengan karyawan dan
masalah pekerjaan. Karyawan yang resilien
diyakini memiliki sumber daya yang dibutuhkan
secara efektif untuk menyesuaikan diri mereka
dengan perubahan dan tantangan di tempat
kerja. Karyawan diharapkan secara inisiatif
dapat melihat perubahan sebagai peluang
belajar dan berkembang daripada pelanggaran
kontrak psikologis yang ekstrem. Selain itu,
karyawan juga diharapkan memiliki resiliensi
yang tinggi untuk lebih terlibat dalam pekerjaan
mereka daripada karyawan yang kurang
memiliki resiliensi, dikarenakan mereka akan
merasakan dukungan dari atasan yang akan
mendorong mereka untuk berdedikasi pada
pekerjaan (Naswall dkk., 2013). Hal ini sejalan
dengan Luthans (2002) bahwa resiliensi
membantu individu untuk beradaptasi secara
efektif terhadap perubahan yang terjadi dalam
lingkungannya. Pekerja yang terikat memiliki
sumber daya personal (personal resource)
seperti resiliensi yang dapat membantu mereka
mengontrol lingkungan mereka secara efektif
dan membantu mereka mencapai kesuksesan
dalam pekerjaannya.
Bande dkk. (2015) menyatakan bahwa
resiliensi dapat menyebabkan penilaian
yang subjektif dari kesejahteraan, termasuk
keterikatan. King dkk. (2015) mengemukakan
bahwa teori tuntutan sumber daya pekerjaan
(job demands-resources theory) dapat
digunakan untuk menjelaskan bagaimana
resiliensi membantu pekerja dalam menghadapi
tuntutan terkait pekerjaan. Menurut model ini,
tuntutan pekerjaan memulai proses penurunan
kesehatan sedangkan sumber daya pekerjaan
memulai proses motivasi. Selain itu, model
menentukan bagaimana permintaan sumber
daya berinteraksi dan memprediksi hasil
keluaran organisasi yang penting, seperti
komitmen, burnout, dan keterikatan (Bakker
& Demerouti, 2014).
Resiliensi merupakan salah satu dari
empat keadaan psikologis positif (positive
psychological states) dari modal psikologis
(psychological capital) (Luthans, Vogelgesang,
& Lester, 2006) dan telah diidentifikasikan
sebagai kontribusi positif terhadap keterikatan
kerja (Medhurst & Albrecht, 2016). Sejalan
dengan pernyataan Bakker, Albrecht, dan
Leiter (2011) yang menyatakan bahwa
resiliensi adalah prediktor penting dari
keterikatan kerja. Pegawai yang memiliki
resiliensi akan memiliki ketahanan dan
kegigihan bahwa dirinya mampu menghadapi
situasi yang kurang menyenangkan atau situasi
yang menegangkan dalam pekerjaannya dan
meyakini bahwa dengan ketekunan kerjanya
akan berhasil dalam menghadapi situasi
tersebut. Hal ini terkait erat dengan energi
yang tinggi dan ketekunan kerja (vigor), yang
merupakan salah satu dimensi dari keterikatan
kerja (Schaufeli dkk., 2002). Ketahanan kerja
(vigor) ditunjukkan dengan tingkat energi
yang tinggi dan daya tahan mental yang
dikeluarkan saat bekerja, kesediaan untuk
menginvestasikan seluruh energi yang dimiliki
pekerjaan, dan tetap tekun meski menghadapi
berbagai kesulitan (Schaufeli & Bakker, 2004).
Dalam pekerjaannya untuk memperdalam
hubungan dengan organisasi dan mencari
pembelajaran dan pengalaman baru, pegawai
yang resilien dapat terikat dengan makna
psikologis yang dicapainya melalui karakteristik
tugas-tugas yang memberikan tantangan
serta variasi, memungkinkan karyawan
menggunakan berbagai keahlian yang
berbeda, kebijaksanaan dalam pengambilan
keputusan dan kesempatan untuk memberikan
kontribusi yang penting bagi organisasi. Hal ini
terkait dengan karakteristik pekerjaan, yang
merupakan salah satu faktor keterikatan kerja
(Saks & Rotman, 2006).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Mache dkk. (2014) membuktikan
dalam penelitiannya bahwa kondisi kerja dan
resiliensi adalah faktor-faktor penting dalam
menentukan dan meningkatkan keterikatan
kerja. Pegawai yang resilien menunjukkan skor
keterikatan kerja yang lebih tinggi. Pegawai
yang resilien mampu pulih lebih awal dari
kegagalan dan beradaptasi secara cepat untuk
berubah dengan keyakinan dan eksibilitas
(Wilson & Ferch, 2005). Begitu pula dengan
penelitian yang dilakukan oleh Shin, Taylor, dan
10
Jurnal Psikologi, Volume 19 Nomor 1, Juni 2023
Seo (2012) yang menemukan bahwa karyawan
dengan resiliensi yang tinggi cenderung
sangat berkomitmen untuk berubah karena
emosi positif yang dialami selama perubahan
organisasi. Emosi positif merupakan salah
satu alasan mengapa karyawan yang terikat
akan memiliki kinerja lebih baik dibandingkan
dengan karyawan yang tidak terikat, yang
merupakan dampak dari keterikatan kerja
(Bakker & Demerouti, 2008).
Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa terdapat 41,50% faktor lain yang dapat
mempengaruhi keterikatan kerja. Faktor-
faktor lain yang mempengaruhi keterikatan
kerja tersebut antara lain adalah faktor
sumber daya personal yang mengacu pada
keadaan psikologis individu (seperti optimism,
self-efficacy, self-esteem) dan faktor daya
pekerjaan yang terkait dengan aspek-aspek
lingkungan terkait pekerjaan (seperti dukungan
sosial dari kolega dan supervisor, coaching,
feedback kinerja, karakteristik pekerjaan,
penghargaan dan apresiasi, serta keadilan
distributif dan keadilan prosedural) (Bakker &
Demerouti, 2008; Saks & Rotman, 2006).
Kesimpulan
Persepsi terhadap dukungan organisasi
dan resiliensi karyawan menunjukkan variasi
dalam kontribusinya terhadap keterikatan
kerja dengan persepsi terhadap dukungan
organisasi memiliki kontribusi lebih besar tiga
kali dari kontribusi reliensi karyawan terhadap
keterikatan kerja. Studi ini memberikan
kontribusi saran bagi organisasi atau instansi
dengan mengembangkan sikap positif dalam
berkomitmen, berdedikasi, dan terlibat aktif
dalam memberikan dukungan sosial antar
rekan kerja, atasan, dan bawahannya, seperti
coaching, sharing, dan feedback. Selain itu,
organisasi dapat memberikan dukungan
kepada pegawai serta menjalin hubungan
baik dengan pegawai, bersikap lebih terbuka,
fleksibel, dan pendengar yang baik dalam
konteks masalah instansi sehingga pegawai
merasa bahwa mereka telah didukung,
dibantu, dan diperlakukan adil oleh organisasi
agar dapat meningkatkan produktivitas dan
efektivitas instansi.
Bagi para pekerja dalam berkarir
dapat menumbuhkan sikap kerja yang positif
terhadap organisasi serta sistem nilai yang
ada di dalamnya. Memiliki kepedulian dan
dapat bekerja bersama dengan menularkan
keterlibatan aktif dalam bekerja, memberikan
dukungan dan penghargaan antar rekan
kerja. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat
mempertimbangkan untuk menggunakan
instrumen yang lebih tajam dan akurat
untuk mengukur konstruksi yang relevan,
dan mengembangkan variabel penelitian
terkait keterikatan kerja, untuk mendapatkan
hasil yang lebih kompleks. Peneliti juga
menyarankan untuk menambah variabel lain
sehingga dapat memperkaya dan memperkuat
hasil penelitian.
Daftar Pustaka
Albrecht, S., Bakker, A., Gruman, J., Macey,
W., & Saks, A. (2015). Employee
engagement, human resource
management and practices and
competitive advantage: An integrated
approach. Journal of Organizational
Effectiveness: People and Performance,
2(1), 7–35. doi: 10.1108/JOEPP- 08-
2014-0042
Bakker, A. B. (2011). An evidence-based
model of work engagement. Current
Direction in Psychological Gallup
Organization. Science, 20, 265–269. doi:
10.1177/0963721411414534
Bakker, A., Albrecht, S., & Leiter, M. (2011). Key
questions regarding work engagement.
European Journal of Work, 20(1), 4-28.
doi: 10.1080/1359432X.2010.485352.
Bakker, A. B., & Demerouti, E. (2008). Towards
a model of work engagement. Career
Development International, 13(3), 209–
223. doi:10.1108/13620430810870476.
Bakker, A.B., & Demerouti, E. (2014) Job
Demands-Resources Theory. In: Chen,
P.Y. and Cooper, C.L., Eds., Work and
Wellbeing: A Complete Reference Guide,
11
Kontribusi Persepsi Terhadap Dukungan Organisasi dan Resiliensi Karyawan ..... Frensen Salim
John Wiley & Sons, New York, 1-28. doi:
10.1002/9781118539415.wbwell019
Bakker, A. B., & Leiter, M. P. (2010). Work
engagement: A handbook of essential
theory and research. New York:
Psychology Press.
Bande, B., Fernández-Ferrín, P., Varela, J.
A., & Jaramillo, F. (2015). Emotions
and salesperson propensity to leave:
The effects of emotional intelligence
and resilience. Industrial Marketing
Management, 44, 142–153. doi:
10.1016/j.indmarman.2014.10.011.
Coffman, C. (2002). The high cost of
disengaged employees. Diunduh
dari: http://businessjournal.gallup.
com/content/247/the-high-cost-of-
disengaged-employees.aspx
Dai, K. L., & Qin, X. Y. (2016). Perceived
organizational support and employee
engagement: Based on the research
of organizational identification and
organizational justice. Open Journal of
Social Science, 4, 46-57. doi: 10.4236/
jss.2016.412005
Eder, P., & Eisenberger, R. (2008).
Perceived organizational support:
Reducing the negative influence of
coworker withdrawal behavior. Journal
of Management, 34(1), 55-68. doi:
10.1177/0149206307309259
Gokul, A., Sridevi, G., & Srinivasan, P. T.
(2012). The relationship between
perceived organizational support,
work engagement and affective
commitment. AMET International Journal
of Management, 4(2), 29-37. Diunduh
dari: http://ametjournal.com/attachment/
ametjournal-4/Dev-Article-4-Gokul.pdf
Gupta, N., & Sharma, V. (2016). Exploring
employee engagement - A way to
better business performance. Global
Business Review, 17(3S), 1-19. doi:
10.1177/0972150916631082
Haider, I., & Abid, M. (2017). Organizational
support as increment in employee
resilience: A comparative study among
public and private employees. Mental
Health & Human Resilience International
Journal, 1(1), 1-5. Diunduh dari:
http://medwinpublishers.org/MHRIJ/
MHRIJ16000103.pdf
Hobfoll, S.E. (2002). Social and psychological
resources and adaptation. Review of
General Psychology, 6, 307-324. doi:
10.1037/1089-2680.6.4.307
Kahn, W.A. (1990). Psychological conditions
of personal engagement and
disengagement at work. Academy of
Management Journal, 33, 692–724. doi:
10.2307/256287
King, D. D., Newman, A., & Luthans, F. (2015).
Not if, but when we need resilience in
the workplace. Journal of Organizational
Behavior, 37(5), 782-786. doi: 10.1002/
job.2063
Kurtessis, J. N., Eisenberger, R., Ford, M. T.,
Buffardi, L. C., Stewart, K. A., & Adis,
C. S. (2015). Perceived organizational
support a meta-analytic evaluation of
organizational support theory. Journal
of Management, 10(5), 1-31. doi:
10.1177/0149206315575554.
Kotz, M., & Nel, P. (2013). Psychometric
properties of the adult resilience
indicator. SA Journal of Industrial
Psychology, 39(2), 1–11. doi: 10.4102/
sajip.v39i2.1132.
Luthans, F. (2002), Positive organizational
behavior: developing and managing
psychological strengths. Academy of
Management Executive, 16, 57-72. doi:
10.5465/ame.2002.6640181
Luthans, F., Vogelgesang, G. R., & Lester, P.
B. (2006). Developing the psychological
capital of resiliency. Human Resource
Development Review, 5(1), 25-44. doi:
10.1177/1534484305285335
Macey, W.H., Schneider B., Barbera K., Young
S.A. (2009). Employee engagement:
Tools for analysis, practice, and
competitive advantage. London, England:
Blackwell. doi: 10.1002/9781444306538
Mache, S., Vitzthum, K., Wanke, E., David, A.,
Klapp, B., & Danzer, G. (2014). Exploring
the impact of resilience, self-efficacy,
optimism and organizational resources
12
on work engagement. Work, 47(4),
491–500. doi: 10.3233/WOR-131617
Medhurst, A., & Albrecht, S. (2016). Salesperson
work engagement and ow: A qualitative
exploration of their antecedents and
relationship. Qualitative Research in
Organizations and Management: An
International Journal, 11(1), 22-45. doi:
10.1108/QROM-04-2015-128.
Naswall, K., Kuntz, J., Hodliffe, M., & Malinen,
S. (2013). Employee resilience scale
(EmpRes): Technical report. Resilient
Organisations: A Collaboration between
research & Industry. Diunduh dari: http://
www.resorgs.org.nz/images/stories/pdfs/
OrganisationalResilience/employee_
resilience_scale.pdf
Naswall, K., Kuntz, J., & Malinen, S. (2015).
Employee resilience scale (EmpRes)
measurement properties. Resilient
Organisations: A Collaboration between
research & Industry. Diunduh dari: http://
www.resorgs.org.nz/images/stories/pdfs/
EmpRes/Employee_Resilie nce_Scale.
pdf
Permana, I., Tjakraatmadja, J. H., Larso, D., &
Wicaksono, A. (2015). Exploring potential
drivers of employee engagement,
enablement, and empowerment: A quest
toward developing a framework for
building sustainable employee excellence
for manufacturing environment in
Indonesia. Mediterranean Journal of
Social Sciences, 6(2 S1), 577–587. doi:
10.5901/mjss.2015.v6n2s1p577
Rhoades, L., & Eisenberger, R. (2002).
Perceived organizational support:
A review of the literature. Journal of
Applied Psychology, 87(4), 698-714. doi:
10.1037//0021-9010.87.4.698
Rhoades, L., Eisenberger, R., & Armeli,
S. (2001). Affective commitment to
the organization: The contribution of
perceived organizational support. Journal
of Applied Psychology, 86(5), 825-836.
doi: 10.1037/0021-9010.86.5.825
Rich, B. L., Lepine, J. A., & Crawford, E. R.
(2010). Job engagement: Antecedents
and effect on job performance. Academy
of Management Journal, 53(3), 617-635.
doi: 10.5465/AMJ.2010.51468988
Rothmann, S., & Rothmann Jr, S. (2010).
Factors associated with employee
engagement in South Africa. SA Journal
of Industrial Psychology, 36(2), 1– 12.
doi: 10.4102/sajip.v36i2.925.
Saks, A. M. & Rotman, J. L. (2006).
Antecedents and consequences of
employee engagement. Journal of
Managerial Psychology, 21(7), 600-619.
doi: 10.1108/02683940610690169
Saks, A., & Gruman, J. (2014). What do
we really know about employee
engagement? Human Resource
Development Quarterly, 25(2), 155-182.
doi: 10.1002/hrdq.21187
Schaufeli, W. B., Bakker, A. B. (2004).
Job demands, job resources, and
their relationship with burnout and
engagement: A multi-sample study.
Journal of Organization Behavior, 25,
293-437. doi:10.1002/job.248
Schaufeli, W. B., Bakker, A. B., & Salanova,
M. (2006). The measurement of work
engagement with a short questionnaire:
A cross-national study. Educational and
Psychological Measurement, 66(4), 701-
716. doi: 10.1177/0013164405282471
Schaufeli, W. B., Salanova, M., Gonzalez-
Roma, V., & Bakker, A. B. (2002). The
measurement of engagement and
burnout: A two sample confirmatory
factor analytic approach. Journal of
Happiness Studies, 3, 71-92. doi:
10.1023/A:1015630930326
Shantz, A., Alfes, K., & Latham, G. P. (2014).
The buffering effect of perceived
organizational support on the relationship
between work engagement and
behavioral outcomes. Human Resource
Management, 55, 25–38. doi:10.1002/
hrm.21653.
Shin, J., Taylor, M. S., & Seo, M. G. (2012).
Resources for change: The relationships
of organizational inducements and
psychological resilience to employees’
attitudes and behaviors toward
Jurnal Psikologi, Volume 19 Nomor 1, Juni 2023
13
organizational change. Academy of
Management Journal, 55(3), 727-748.
doi: 10.5465/amj.2010.0325
Shore, L. M., & Shore T. H. (1995). Perceived
organizational support and organizational
justice. In Cropanzano R. S., Kacmar K.
M. (Eds.), Organizational politics, justice,
and support: Managing the social climate
of the workplace, 149-164. Westport, CT:
Quorum.
Simpson, M. R. (2009). Engagement at
work: A review of the literature. Journal
of Nursing Studies, 46, 1012–1024.
doi:10.1016/j.ijnurstu.2008.05.003
van den Tooren, M., & de Jonge, J. (2010).
The role of matching job resources in
different demanding situations at work:
A vignette study. Journal of Occupational
and Organizational Psychology, 83, 39-
54. The British Psychological Society.
doi: 10.1348/096317909X462257
Wilson, S. M., & Ferch, S. R. (2005). Enhancing
resilience in the workplace through
the practice of caring relationships.
Organization Development Journal,
23(4), 45-60. Diunduh dari: https://
www.proquest.com/scholarly-journals/
enhancing-resilience-workplace-
through-practice/docview/198003394/
se-2
Ying, H. W., Shin, K. P., Min, M. X., Yen, N.
L., & Siew, N. S. (2013). Employee
engagement in nursing industry: A study
on hospital-based nurses. Diunduh dari:
http://eprints.utar.edu.my/1121/1/BA-
2013-1100331.pdf.
Kontribusi Persepsi Terhadap Dukungan Organisasi dan Resiliensi Karyawan ..... Frensen Salim