ArticlePDF Available

Perspektif Time Geography terhadap Upaya Pemenuhan Kebutuhan Air Perempuan Kepala Keluarga Dusun Gunung Butak, Gunungkidul

Authors:

Abstract

Abstrak Pemenuhan kebutuhan air masyarakat Dusun Gunung Butak yang termasuk dalam kawasan Karst Gunungsewu merupakan tantangan, terlebih untuk Perempuan Kepala Keluarga (Pekka). Tujuan penelitian : 1) mengidentifikasi sumber air bersih di Dusun Gunung Butak untuk memenuhi kebutuhan selama setahun, 2) menganalisa upaya pemenuhan kebutuhan air oleh Pekka menggunakan perspektif Time Geography. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Indepth interview dengan Pekka dan key persons dengan alat penelitian kalender musim dan panduan/protokol wawancara dilakukan untuk menggali informasi. Pemetaan juga dilakukan dengan menggunakan software GIS. Data divalidasi dengan strategi validasi dalam penelitian kualitatif dan dianalisa menggunakan metode analisa fenomenologis terstruktur. Pada tujuan 2 digunakan analisa dari perspektif Time Geography dan analisa spasial. Hasil penelitian menunjukkan terjadi perubahan sumber air yang digunakan di dusun ini. Berdasarkan analisa Time Geography, adanya pipa PDAM di dusun ini menghemat waktu, memperpendek jalur individu, dan mengurangi kendala mobilitas Pekka dalam memenuhi kebutuhan air terutama saat kemarau. Abstract Meeting the water needs of the community in Gunung Butak Hamlet which is located in the Gunungsewu Karst area is a challenge, especially for Women Headed Household (WHH). The aims of the study are : 1) to identify sources of clean water in Gunung Butak Hamlet to meet one year's needs, and 2) to analyze the fulfillment efforts of water needs by WHH using Time Geography perspective. This research is a qualitative research with a phenomenological approach. Indepth interviews with WHH and key persons using seasonal calendar research tools and interview guidelines/protocols were conducted to gather information. Mapping was also done using GIS software. The data was validated using a validation strategy in qualitative research and analyzed using a structured phenomenological analysis method. Analysis from the perspective of Time Geography and spatial analysis was implemented in the second aim of this research. The results showed that there was a change in the source of water used in this hamlet. Based on Time Geography analysis, the presence of PDAM pipes in this hamlet saves time, shortens Pekka's individual paths and reducing their mobility constraint in fulfilling water needs, especially during the dry season.
Pemetaan mobilitas penduduk di kawasan pinggiran Kota Bandung
Lili Somantri 1*)
1)Program Studi Sains Informasi Geogra, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia
*Koresponden Email: lilisomantri@upi.edu
Abstrak. Tingginya mobilitas penduduk dari kawasan pinggiran ke pusat kota menimbukan beberapa dampak negaf yakni kepadatan
penduduk, kemacetan lalu lintas, polusi udara, dan lain-lain Upaya penanggulangan mobilitas dapat dilakukan dengan perencanaan dan
pembangunan kawasan pinggiran. Sebagai langkah awal perencanaan, pemetaan ngkat dan pola mobilitas penduduk perlu dilakukan agar
penanganan yang diberikan menjadi tepat sasaran . Penelian ini menggunakan pendekatan deskripf kuantaf dengan teknik
pengumpulan data observasi dan wawancara.. Analisis spasial untuk memetakan data dilakukan dengan bantuan analisis SIG menggunakan
teknik overlay. Hasil penelian pada 7 k pengamatan pada periodik waktu 06.00 18.00 menunjukan bahwa arus masuk ke Kota Bandung
jauh lebih 13% besar dibanding arus keluar terutama pada hari kerja dengan total 35.896 kendaraan. Hal tersebut menunjukan bahwa ada
ketergantungan wilayah pinggiran terhadap kota Bandung terutama yang berkaitan dengan pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Dengan demikian pola penanggulangan mobilitas ialah membangun sarana dan prasarana sosial, ekonomi, dan pendidikan serta kesehatan
pada wilayah pinggiran.
Kata kunci: mobilitas penduduk; kendaraan; kawasan pinggiran; pemetaan; sig
Abstract. The high mobility of the populaon from the suburbs to the city center causes several negave impacts, namely populaon density,
trac congeson, air polluon, etc. Eorts to overcome mobility can be carried out by planning and developing suburban areas. As a rst
step in planning, mapping the level and paern of populaon mobility needs to be done so that the treatment provided is right on target. This
research uses a quantave descripve approach with observaon and interview data collecon techniques. Spaal analysis to map the data
is carried out with the help of GIS analysis using overlay techniques. The results of the study at 7 observaon points at a periodic me of 06.00
- 18.00 showed that the inow to the city of Bandung was 13% larger than the oulow, especially on weekdays with a total of 35,896
vehicles. This shows that there is a dependence of suburban areas on the city of Bandung, especially those related to work, educaon, and so
on. Thus, the paern of overcoming mobility is to build social, economic, educaonal and health facilies and infrastructure in the periphery.
Keywords: mapping; mobility; suburb
PENDAHULUAN
Mobilitas penduduk yang relave nggi menjadi salah
satu penyebab ngginya jumlah penduduk di Kota Bandung
selain dari faktor pertumbuhan alami (Widiawaty dkk.,
2019). Mobilitas tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah perubahan iklim, lingkungan yang
kurang mendukung, konik dan kelangkaan pangan,
kempangan sosial ekonomi serta globalisasi (Barbosa dkk.,
2018). Di Kota Bandung sendiri banyaknya penduduk
komuter yang bekerja di wilayah Kota Bandung menjadi
salah satu penyebab ngginya mobilitas (Somantri, 2013).
Selain bekerja, akvitas lain yang dilakukan penduduk ialah
akses pendidikan, rekreasi, belanja, pelayanan umum dan
akses layanan kesehatan di pusat Kota Bandung (Anisa,
2012). Mobilitas penduduk akan semakin meningkat seiring
berkembangnya suatu wilayah perkotaan dan interaksinya
dengan wilayah pinggiran. Sebagaimana dalam kajian
mobilitas di pinggiran Kota Yogyakarta, bahwa dengan
adanya keberadaan pusat perkembangan baru kawasan
industri Piyungan telah mendorong terjadinya mobilitas
penduduk (Sadali, 2016). Pada kajian di wilayah periurban
Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya, mobilitas
penduduk didasari oleh alasan pekerjaan dan pendidikan
karena pada Kota Tasikmalaya lengkap dengan sarana dan
prasarana penunjang kehidupan (Singkawijaya, 2017).
Begitu pula yang terjadi pada pinggiran Kota Denpasar
mobilitas penduduk dari desa ke kota didasari karena faktor
perkembangan pariwisata dan menjadi pusat kegiatan
ekonomi, sehingga banyak penduduk yang memilih bekerja
pada sektor jasa (Suamba dan Nurdiantoro, 2014).
Mobilitas penduduk di Kota Bandung cenderung
dilakukan oleh penduduk dari kawasan pinggiran. Pada
umumnya kawasan pinggiran kota bukanlah sebuah
kawasan yang mandiri dengan keterbatasan fasilitas serta
ngkat kebutuhan penduduknya yang nggi. Hal ini,
membuat wilayah pinggiran Kota Bandung memiliki
ketergantungan yang cukup besar terhadap kawasan
lainnya, khususnya kawasan pusat kota yang memiliki
kelengkapan fasilitas yang jauh lebih memadai. Faktor
ketergantungan ini mendorong terjadinya mobilitas
penduduk dari kawasan pinggiran ke daerah pusat kota
dalam rangka menemukan dan memenuhi segala kebutuhan
hidup (Barbosa dkk., 2018). Tingkat mobilitas penduduk di
ISSN 0125 - 1790 (print), ISSN 2540-945X (online)
Majalah Geografi Indonesia Vol. 36, No 2 (2022) 95-102
DOI: 10.22146/mgi.70636
©2022 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI)
Direvisi: 2022-06-05 Diterima: 2022-06-13
©2022 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI)
Perspektif Time Geography terhadap Upaya Pemenuhan Kebutuhan Air
Perempuan Kepala Keluarga Dusun Gunung Butak, Gunungkidul
Alia Fajarwati1*, Sukamdi2, Dyah Rahmawati Hizbaron3, Umi Listyaningsih4, Pinta Rachmadani5
1,5 Departemen Geogra Pembangunan, Fakultas Geogra, UGM, Yogyakarta, Indonesia
2,3,4Departemen Geogra Lingkungan, Fakultas Geogra, UGM, Yogyakarta, Indonesia
*Email Koresponden: aliafajar@ugm.ac.id
Submit: 2022-11-11 Direvisi: 2022-11-18 Accepted: 2023-03-24
©2023 Fakultas Geogra UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI)
Abstrak Pemenuhan kebutuhan air masyarakat Dusun Gunung Butak yang termasuk dalam kawasan Karst Gunungsewu merupakan tantangan,
terlebih untuk Perempuan Kepala Keluarga (Pekka). Tujuan penelitian : 1) mengidentikasi sumber air bersih di Dusun Gunung Butak untuk
memenuhi kebutuhan selama setahun, 2) menganalisa upaya pemenuhan kebutuhan air oleh Pekka menggunakan perspektif Time Geography.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Indepth interview dengan Pekka dan key persons dengan
alat penelitian kalender musim dan panduan/protokol wawancara dilakukan untuk menggali informasi. Pemetaan juga dilakukan dengan
menggunakan soware GIS. Data divalidasi dengan strategi validasi dalam penelitian kualitatif dan dianalisa menggunakan metode analisa
fenomenologis terstruktur. Pada tujuan 2 digunakan analisa dari perspektif Time Geography dan analisa spasial. Hasil penelitian menunjukkan
terjadi perubahan sumber air yang digunakan di dusun ini. Berdasarkan analisa Time Geography, adanya pipa PDAM di dusun ini menghemat
waktu, memperpendek jalur individu, dan mengurangi kendala mobilitas Pekka dalam memenuhi kebutuhan air terutama saat kemarau.
Kata kunci : Air, Kekeringan, Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), Time Geography
Abst ract Meeting the water needs of the community in Gunung Butak Hamlet which is located in the Gunungsewu Karst area is a challenge, especially
for Women Headed Household (WHH). e aims of the study are : 1) to identify sources of clean water in Gunung Butak Hamlet to meet one year’s
needs, and 2) to analyze the fulllment eorts of water needs by WHH using Time Geography perspective. is research is a qualitative research with a
phenomenological approach. Indepth interviews with WHH and key persons using seasonal calendar research tools and interview guidelines/protocols
were conducted to gather information. Mapping was also done using GIS soware. e data was validated using a validation strategy in qualitative
research and analyzed using a structured phenomenological analysis method. Analysis from the perspective of Time Geography and spatial analysis
was implemented in the second aim of this research. e results showed that there was a change in the source of water used in this hamlet. Based
on Time Geography analysis, the presence of PDAM pipes in this hamlet saves time, shortens Pekka’s individual paths and reducing their mobility
constraint in fullling water needs, especially during the dry season.
Keywords : Water, Drought, Women Headed Household (WHH), Time Geography
ISSN 0125-1790 (print), ISSN 2540-945X (online)
Majalah Geografi Indonesia Vol 37, No 2 (2023) 147-157
DOI: 10.22146/mgi.79090
©2023 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI)
PENDAHULUAN
Air merupakan kebutuhan primer manusia. Manusia
akan melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan air
mereka sehari-hari. Upaya penyediaan air di berbagai wilayah
dilakukan melalui berbagai cara dengan mempertimbangkan
berbagai aspek. Di perkotaan India dengan populasi
penduduk yang tinggi dan ketersediaan air permukaan
yang tidak memadai, penyedian air dilakukan oleh lembaga
pemerintah setempat dengan mengambil air dari daerah lain
yang berjarak cukup jauh (Bandari & Sadhukhan, 2021).
Demikian pula di pedesaan Karzhantan, pemerintah setempat
juga mengupayakan peningkatan penyediaan air dengan
menyediakan pasokan air terpusat yang disalurkan melalui
keran dan standpipe (Omarova et al., 2019). Sementara di
Kawasan Karst Gunungsewu penyediaan air saat ini sangat
bergantung pada pemompaan air yang bersumber dari mata
air karst dan sungai bawah tanah. Hal tersebut dikarenakan
kondisi hidrologi karst yang tidak memiliki sistem air
permukaan namun memiliki sumber air tanah berupa sungai
bawah tanah yang mengalir ke laut di bawah tebing pantai
setinggi 100 m yang sulit untuk diakses (Jiang et al., 2021).
Di berbagai belahan dunia, perempuan memiliki peran
yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan air
terutama dalam upaya pengumpulan air seperti di Rwanda
(Swanson et al., 2021), di Kavre dan Sindhupalanchowk,
Nepal (Tomberge et al., 2021), dan di wilayah perdesaan
Uganda (Asaba et al., 2013). Tidak hanya dalam pengumpulan
air, perempuan Bengal memainkan peran yang sangat penting
dalam pengelolaan air terutama saat musim kemarau. Mereka
menghabiskan banyak waktu untuk kegiatan pengelolaan air
(Sengupta & Ghosh, 2022). Perempuan di wilayah semi arid
Brazil juga memiliki peran dan tanggung-jawab dalam salah
satu program penyediaan fasilitas air “satu juta penampungan
air” dengan menjadi anggota komisi air setempat (Moraes
& Rocha, 2013). Tidak jauh berbeda di Indonesia, tugas
memenuhi kebutuhan air sehari-hari adalah tugas perempuan,
terutama di perdesaan (Irianti & Prasetyoputra, 2019).
Pemetaan mobilitas penduduk di kawasan pinggiran Kota Bandung
Lili Somantri 1*)
1)Program Studi Sains Informasi Geogra, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia
*Koresponden Email: lilisomantri@upi.edu
Abstrak. Tingginya mobilitas penduduk dari kawasan pinggiran ke pusat kota menimbukan beberapa dampak negaf yakni kepadatan
penduduk, kemacetan lalu lintas, polusi udara, dan lain-lain Upaya penanggulangan mobilitas dapat dilakukan dengan perencanaan dan
pembangunan kawasan pinggiran. Sebagai langkah awal perencanaan, pemetaan ngkat dan pola mobilitas penduduk perlu dilakukan agar
penanganan yang diberikan menjadi tepat sasaran . Penelian ini menggunakan pendekatan deskripf kuantaf dengan teknik
pengumpulan data observasi dan wawancara.. Analisis spasial untuk memetakan data dilakukan dengan bantuan analisis SIG menggunakan
teknik overlay. Hasil penelian pada 7 k pengamatan pada periodik waktu 06.00 18.00 menunjukan bahwa arus masuk ke Kota Bandung
jauh lebih 13% besar dibanding arus keluar terutama pada hari kerja dengan total 35.896 kendaraan. Hal tersebut menunjukan bahwa ada
ketergantungan wilayah pinggiran terhadap kota Bandung terutama yang berkaitan dengan pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Dengan demikian pola penanggulangan mobilitas ialah membangun sarana dan prasarana sosial, ekonomi, dan pendidikan serta kesehatan
pada wilayah pinggiran.
Kata kunci: mobilitas penduduk; kendaraan; kawasan pinggiran; pemetaan; sig
Abstract. The high mobility of the populaon from the suburbs to the city center causes several negave impacts, namely populaon density,
trac congeson, air polluon, etc. Eorts to overcome mobility can be carried out by planning and developing suburban areas. As a rst
step in planning, mapping the level and paern of populaon mobility needs to be done so that the treatment provided is right on target. This
research uses a quantave descripve approach with observaon and interview data collecon techniques. Spaal analysis to map the data
is carried out with the help of GIS analysis using overlay techniques. The results of the study at 7 observaon points at a periodic me of 06.00
- 18.00 showed that the inow to the city of Bandung was 13% larger than the oulow, especially on weekdays with a total of 35,896
vehicles. This shows that there is a dependence of suburban areas on the city of Bandung, especially those related to work, educaon, and so
on. Thus, the paern of overcoming mobility is to build social, economic, educaonal and health facilies and infrastructure in the periphery.
Keywords: mapping; mobility; suburb
PENDAHULUAN
Mobilitas penduduk yang relave nggi menjadi salah
satu penyebab ngginya jumlah penduduk di Kota Bandung
selain dari faktor pertumbuhan alami (Widiawaty dkk.,
2019). Mobilitas tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah perubahan iklim, lingkungan yang
kurang mendukung, konik dan kelangkaan pangan,
kempangan sosial ekonomi serta globalisasi (Barbosa dkk.,
2018). Di Kota Bandung sendiri banyaknya penduduk
komuter yang bekerja di wilayah Kota Bandung menjadi
salah satu penyebab ngginya mobilitas (Somantri, 2013).
Selain bekerja, akvitas lain yang dilakukan penduduk ialah
akses pendidikan, rekreasi, belanja, pelayanan umum dan
akses layanan kesehatan di pusat Kota Bandung (Anisa,
2012). Mobilitas penduduk akan semakin meningkat seiring
berkembangnya suatu wilayah perkotaan dan interaksinya
dengan wilayah pinggiran. Sebagaimana dalam kajian
mobilitas di pinggiran Kota Yogyakarta, bahwa dengan
adanya keberadaan pusat perkembangan baru kawasan
industri Piyungan telah mendorong terjadinya mobilitas
penduduk (Sadali, 2016). Pada kajian di wilayah periurban
Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya, mobilitas
penduduk didasari oleh alasan pekerjaan dan pendidikan
karena pada Kota Tasikmalaya lengkap dengan sarana dan
prasarana penunjang kehidupan (Singkawijaya, 2017).
Begitu pula yang terjadi pada pinggiran Kota Denpasar
mobilitas penduduk dari desa ke kota didasari karena faktor
perkembangan pariwisata dan menjadi pusat kegiatan
ekonomi, sehingga banyak penduduk yang memilih bekerja
pada sektor jasa (Suamba dan Nurdiantoro, 2014).
Mobilitas penduduk di Kota Bandung cenderung
dilakukan oleh penduduk dari kawasan pinggiran. Pada
umumnya kawasan pinggiran kota bukanlah sebuah
kawasan yang mandiri dengan keterbatasan fasilitas serta
ngkat kebutuhan penduduknya yang nggi. Hal ini,
membuat wilayah pinggiran Kota Bandung memiliki
ketergantungan yang cukup besar terhadap kawasan
lainnya, khususnya kawasan pusat kota yang memiliki
kelengkapan fasilitas yang jauh lebih memadai. Faktor
ketergantungan ini mendorong terjadinya mobilitas
penduduk dari kawasan pinggiran ke daerah pusat kota
dalam rangka menemukan dan memenuhi segala kebutuhan
hidup (Barbosa dkk., 2018). Tingkat mobilitas penduduk di
ISSN 0125 - 1790 (print), ISSN 2540-945X (online)
Majalah Geografi Indonesia Vol. 36, No 2 (2022) 95-102
DOI: 10.22146/mgi.70636
©2022 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI)
Direvisi: 2022-06-05 Diterima: 2022-06-13
©2022 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI)
148 http://jurnal.ugm.ac.id/mg
PERSPEKTIF TIME GEOGRAPHY Alia Fajarwati, et al.
Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Gunung Butak
yang terletak di Kawasan Karst Gunungsewu. Pemenuhan
kebutuhan air pada setiap rumah tangga di dusun ini menarik
untuk diteliti, terutama pada rumah tangga dengan kepala
keluarga perempuan. Pemenuhan kebutuhan air di wilayah
karst dengan topogra terjal dan kering bukanlah hal mudah
bagi perempuan. Secara khusus, perspektif Time Geography
dalam konteks pengalaman Perempuan Kepala Keluarga
(Pekka) dalam upaya memenuhi kebutuhan air mereka sebagai
bentuk adaptasi hidup di wilayah yang selalu mengalami
kekeringan setiap tahunnya digunakan dalam penelitian ini.
Perspektif Time Geography cocok digunakan untuk
menganalisa pemenuhan kebutuhan air oleh Pekka karena
Time Geography berorientasi pada batasan untuk memahami
aktivitas manusia (individu) dengan menyelidiki bagaimana
mereka terlibat dalam hubungan sosial dan melakukan
aktivitas di lingkungan sik mereka dengan menggunakan
pengetahuan dan sumberdaya mereka (Ellegard, 1999).
Kendala, aktivitas dominan, dan jangkauan individu dengan
menciptakan gambar perjuangan sehari-hari antara aktivitas,
pengambilan keputusan, rintangan, dan kebijakan intervensi
dari perspektif individu dan pada geogras tingkat lokal dapat
divisualisasikan oleh Time Geography (Šveda & Madajová,
2012).
Time Geography belum pernah diimplementasikan dalam
kajian ‘Gender dan Bencana. Time Geography dalam kajian
gender umumnya digunakan untuk menganalisa aktivitas,
pembagian ruang, mobilitas pekerja dengan meng-highlight
peran relasi gender yang mempengaruhi (Scholten et al.,
2012; Stuyck et al., 2008; Kwan, 2000; Jensen, 2014; Estrada,
2002). Di sisi lain, penelitian yang mengangkat pengalaman
Pekka dalam studi ‘Gender dan Bencana’ juga belum banyak
dilakukan. Dari hasil penelusuran literatur, dalam 10 tahun
terakhir terdapat penelitian tentang depresi, penyesuaian
keluarga dan kesehatan Pekka dalam situasi perang dan
bencana di Sri Lanka (Witting et al., 2016); kerentanan Pekka
di Afrika Selatan akibat perubahan iklim, namun fokusnya
pada dampaknya terhadap income Pekka (Flatø et al., 2017);
kerentanan dan kemampuan adaptasi Pekka Pesisir Lagonoy,
Camarines Sur, Philippines terhadap perubahan iklim
(Delno et al., 2019); serta ketangguhan dan strategi untuk
mengatasi banjir oleh Pekka di Bangladesh (Pulla & Das,
2015). Sebagian besar penelitian tentang Pekka terkait dengan
kajian kemiskinan/kesejahteraan atau ekonomi (Klasen et al.,
2015; Oginni et al., 2013; Solhi et al., 2016; Pratiwi et al., 2017).
Tujuan penelitian ini adalah 1) mengidentikasi sumber
air bersih di Dusun Gunung Butak untuk memenuhi kebutuhan
selama setahun dan 2) menganalisa upaya pemenuhan
kebutuhan air oleh Pekka menggunakan perspektif Time
Geography. Manfaat penelitian ini adalah untuk mendukung
kebijakan Pengurangan Resiko Bencana terutama bagi kaum
rentan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi. Studi fenomenologi
mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu
terhadap berbagai pengalaman hidup mereka terkait dengan
konsep atau fenomena (Creswell, 2015). Penelitian ini
dilakukan di Dusun Gunung Butak, Desa Giripanggung,
Kapanewon Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta (Gambar 1). Secara geogras daerah penelitian ini
berada pada ketinggian 261-296 meter di atas permukaan laut.
Lokasi penelitian ini termasuk dalam zona selatan Kabupaten
Gunungkidul yang merupakan kawasan Karst Gunungsewu.
Tanah karst merupakan tanah yang sulit menyimpan air
sehingga di wilayah ini sumber air sangat terbatas. Di sisi
lain, pemanfaatan sumber air yang ada masih belum optimal
yang disebabkan oleh adanya keterbatasan biaya operasional
PDAM dibanding dengan kebutuhan masyarakat setempat
(Wardhana et al., 2013).
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Sumber : Hasil Olah Data, 2021
http://jurnal.ugm.ac.id/mgi 149
Alia Fajarwati/Majalah Geogra Indonesia, Vol. 37, No. 2 (2023) 147-157
Informan dalam penelitian ini adalah seluruh Pekka yang
ada di dusun ini, yaitu 13 Pekka ditambah dengan beberapa
informan kunci, yaitu perangkat desa (Carik dan Pangripta/
Kaur Perencana Desa Giripanggung) dan Kepala Dusun
Gunung Butak. Penelitian dilakukan dalam kurun waktu 2
tahun dengan periode pengambilan data primer dilakukan
dalam 3 tahap karena masih dalam situasi pandemi, sehingga
menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah. Tahap pertama
pada bulan pada bulan Mei–Juni 2021, tahap kedua pada bulan
November 2021 dan tahap ketiga pada bulan Juli-Agustus
2022.
Untuk menjawab tujuan pertama yaitu untuk
mengidentikasi sumber air bersih di Dusun Gunung Butak
untuk memenuhi kebutuhan selama setahun, dilakukan
wawancara mendalam terhadap informan (Pekka) dengan
menggunakan alat penelitian berupa kalender musim untuk
menggali informasi mengenai pola penggunaan air tiap
rumah tangga selama setahun beserta sumbernya yang di
dusun ini sangat dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim
penghujan dan untuk menggali info detail mengenai strategi
beserta biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan
air selama setahun. Selain kalender musim, juga digunakan
alat berupa panduan/protokol wawancara untuk menggali
data yang lebih lengkap tentang berbagai informasi penting
seperti pola penggunaan dan sumber air masyarakat Dusun
Gung Butak dalam berbagai masa.
Untuk menjawab tujuan kedua, yaitu menganalisa
upaya pemenuhan kebutuhan air oleh Pekka menggunakan
perspektif Time Geography juga dilakukan wawancara
mendalam terhadap informan (Pekka) menggunakan
panduan/protokol wawancara untuk menggali data mengenai
penggunaan waktu dan ruang beserta kendala yang dihadapi
Pekka dalam upaya memenuhi kebutuhan air. Pemetaan juga
dilakukan untuk mengetahui letak/jarak rumah-rumah Pekka
dengan sumber-sumber air saat ini (Sambungan Rumah-
SR) dan dengan telaga utama (Telaga Waliklar) di Dusun
Gunung Butak. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan
soware GIS. Data spasial berupa lokasi rumah, SR, dan telaga
diperoleh dengan mengambil data koordinat menggunakan
aplikasi mobile topographer. Data rute perjalanan diperoleh
dengan mendigitalkan rute jalan sesuai dengan informasi
yang diperoleh dari informan. Sebaran geogras obyek-obyek
tersebut digunakan sebagai dasar untuk memahami jarak
tempuh dan alokasi waktu untuk memenuhi kebutuhan air.
Selain dengan Pekka, wawancara mendalam juga dilakukan
dengan key persons untuk melengkapi data.
Untuk validasi data, digunakan strategi validasi oleh
Creswell & Miller (2000) yang menggunakan 8 strategi. Creswell
(2015) merekomendasikan untuk menggunakan minimal dua
strategi validasi dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian
ini digunakan 4 strategi, yaitu: 1). Keterlibatan jangka panjang
dan pengamatan yang terus-menerus di lapangan untuk
membangun kepercayaan dengan para partisipan, mempelajari
kebudayaan, dan memeriksa kesalahan informasi yang
disebabkan oleh distorsi yang diakibatkan oleh peneliti atau
informan. 2) Tr iangulasi data dengan observasi dan wawancara
mendalam dengan key persons (Carik dan Pangripta/Kaur
Perencana Desa Giripanggung dan Kepala Dusun Gunung
Butak) juga digunakan untuk validasi data/informasi yang
diperoleh dari informan. 3) Pemeriksaan eksternal terhadap
proses riset melalui ulasan dan tanya jawab dengan sejawat;
4) Mengumpulkan pandangan dari para partisipan tentang
Gambar 2. Flowchart Metode Penelitian
Sumber: Rekonstruksi Penulis, 2023
150 http://jurnal.ugm.ac.id/mg
PERSPEKTIF TIME GEOGRAPHY Alia Fajarwati, et al.
kredibilitas dari temuan dan penafsirannya dengan cara cross
check ulang hasil analisa data dengan informan maupun
dengan key persons. Tujuan 1 dianalisa menggunakan metode
analisa fenomenologis terstruktur yang dikembangkan oleh
Moustakas (Creswell, 2015). Untuk tujuan 2 dianalisa dengan
analisa Time Geography dan analisa spasial (Gambar 2).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Terdapat 13 Pekka dari total 114 Kepala Keluarga di
Dusun Gunungbutak. Seluruh Pekka di dusun ini adalah
lansia, dengan tingkat pendidikan: tidak sekolah (usia > 60
tahun) dan lulus SD (usia 50-60 tahun). Hanya ada 1 Pekka
yang berusia > 60 tahun yang berpendidikan hingga SMK.
Seperti masyarakat Dusun Gunung Butak pada umumnya,
hampir seluruh Pekka di dusun ini menggantungkan hidupnya
dari bertani tadah hujan. Lahan pertanian umumnya sempit
dan bentuknya berundak-undak mengikuti topogra Dusun
Gunung Butak. Dari hasil observasi pada bulan Mei 2021
terlihat bahwa komoditas utama pertanian umumnya adalah
tanaman-tanaman yang dapat bertahan dengan sedikit air
seperti singkong, kacang, jagung, dan padi gogo. Setengah
Pekka di dusun ini tinggal seorang diri dan tidak memiliki
tanggungan. Mereka bekerja untuk menghidupi diri sendiri
dan beberapa juga mendapatkan bantuan nansial dari anak
atau saudaranya. Empat Pekka masih memiliki tanggungan,
namun dua diantaranya juga mendapatkan bantuan dari
anaknya (Tabel 1).
Identikasi Sumber Air Bersih di Dusun Gunung
Butak untuk Memenuhi Kebutuhan Setahun
Kawasan Karst Gunungsewu merupakan wilayah dengan
kondisi air permukaan yang sangat terbatas. Telaga dan mata
air merupakan sumber air permukaan yang ada di kawasan
ini. Dahulu, ketergantungan masyarakat setempat sebesar
80% terhadap sumber air telaga untuk memenuhi kebutuhan
domestik (Cahyadi, 2013).
Menurut sejarahnya, ada 3 periode pola dalam
pemenuhan kebutuhan air di dusun ini. Periode pertama,
kebutuhan air di dusun ini dicukupi oleh air hujan dan air
Telaga Waliklar serta beberapa telaga yang terletak di sekitar
dusun ini. Pada periode ini, penduduk menggunakan air
telaga untuk minum, memasak, mandi, mencuci bahkan
sekaligus untuk memandikan ternak. Berdasarkan wawancara
mendalam dengan Carik Desa Giripanggung pada bulan
November 2021 diperoleh informasi terdapat 5 telaga yang ada
di Desa Giripanggung, yaitu : Kenangan di Dusun Gupakan,
Waliklar di Dusun Gunung Butak, Gesik di Dusun Banjar,
Jlembrak di Dusun Klapalara, dan Towati di Dusun Regedeg.
Telaga Waliklar berada sekitar 1 kilometer dari permukiman
masyarakat Dusun Gunung Butak. Telaga Waliklar dahulu
menjadi sumber air primer masyarakat Dusun Gunung Butak
yang digunakan untuk berbagai kebutuhan. Namun, Telaga
Waliklar tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan masyarakat
sepanjang tahun. Pada musim kemarau air di telaga ini
berkurang. Menurut penelitian Darmanto & Cahyadi (2013),
waktu ketersediaan air telaga setiap tahunnya berbeda-
beda tergantung pada kondisi meteorologis. Selanjutnya,
dalam wawancara mendalam pada bulan Juli 2022, Carik
Desa Giripanggung menyatakan sekitar tahun 1983 Telaga
Waliklar mulai mengering dan sekitar 15 tahun yang lalu
telah mengering secara permanen sehingga tidak dapat lagi
digunakan masyarakat.
Menurut Haryono et al. (2009), telaga di Karst
Gunungsewu Gunungkidul saat ini sebagian besar telah
mengering dan hanya tersisa kurang dari 10%. Terdapat
tiga masalah lingkungan utama yang terdapat di telaga karst
Gunungsewu. Pertama, kapasitas simpan air yang berkurang
akibat sedimentasi. Masalah kedua yaitu kehilangan air
yang cepat akibat semakin menipisnya tanah pada daerah
tangkapan, berkurangnya vegetasi di sekitar telaga, dan
pengerukan bagian bawah telaga. Ketiga, penurunan kualitas
air akibat pencemaran dari aktivitas manusia di telaga dan
kegiatan pertanian di daerah tangkapan air telaga. Kondisi
Telaga Waliklar saat ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Periode kedua ditandai dengan mulai mengeringnya
telaga. Kebutuhan air penduduk kemudian ditambah dengan
air tangki disamping sisa air hujan dan air telaga yang makin
sedikit pada saat musim kemarau. Pada periode ini, selain
mengambil air telaga, informan I-10 (sewaktu kecil) juga harus
membeli air dari tetangga yang membeli air tangki. Harga 1
pikul (sekitar 40-50 liter) : Rp. 2.000,-. Sehari membutuhkan
3 pikul yang berarti Rp. 6.000,- untuk memenuhi kebutuhan
1 hari.
Tabel 1. Karakteristik Pekka di Dusun Gunung Butak Tahun 2021
Informan Umur Pendidikan Pekerjaan Tinggal dengan
1 55 Tidak sekolah Petani Sendiri
2 76 Tidak sekolah Petani Sendiri, rumah anak dekat
3 61 SD Berjualan di warung Sendiri
4 50 SD Petani Sendiri, keluarga tante tinggal berdampingan
5 68 Tidak sekolah Petani Sendiri
6 80 Tidak sekolah Petani Dengan mantu perempuan dan cucu
7 50 SD Petani Dengan anak laki-laki dan cucu
8 70 Tidak sekolah Petani Sendiri
9 62 SMK Petani; Pengrajin keripik ketela Dengan anak dan ibu
10 66 Tidak sekolah Petani; ART Sendiri
11 65 Tidak sekolah Tidak bekerja Dengan anak dan cucu
12 52 SD Petani Dengan anak
13 62 Tidak sekolah Petani Dengan mantu perempuan dan cucu
Sumber: Data Primer, 2021
http://jurnal.ugm.ac.id/mgi 151
Alia Fajarwati/Majalah Geogra Indonesia, Vol. 37, No. 2 (2023) 147-157
Periode tiga ditandai dengan dipasangnya pipa PDAM di
dusun ini pada tahun 2013. Dampak adanya pipa ini perlahan
namun pasti mengubah pola pemenuhan air masyarakat Dusun
Gunung Butak. Perlahan karena pada awalnya belum ada
Sambungan Rumah (SR). Jadi air dari pipa PDAM ditampung
di Hidran Umum (HU) dan kemudian masyarakat mengantri
untuk membeli air di HU ini. Selanjutnya SR mulai dipasang
pada beberapa rumah, sehingga tetangga di sekitarnya bisa
menyelang (membeli air) dari pememiliki SR. Para Pekka yang
menjadi informan dalam penelitian ini menyampaikan bahwa
mereka mulai memanfaatkan SR sejak tahun 2018. Sejak ada
pipa PDAM, kehidupan penduduk Dusun Gunung Butak
secara umum berubah, baik dari segi ekonomi maupun dalam
penggunaan waktu sehari-hari mereka.
Saat ini, masyarakat Dusun Gunung Butak menggunakan
air hujan yang ditampung di PAH, air PDAM dan terkadang
(sudah jarang dilakukan) air tangki untuk memenuhi
kebutuhan air sehari-hari. Pemanenan air hujan adalah cara
yang digunakan untuk memasok air agar dapat dimanfaatkan
pada saat krisis air terjadi dengan menggunakan pengetahuan,
keterampilan, dan bahan tradisional (Rahman et al., 2014).
Pemanenan air hujan oleh masyarakat Dusun Gunung Butak
dilakukan menggunakan bak penampungan air hujan (PAH)
(Gambar 4). Pemanenan air hujan menggunakan PAH
menjadi sumber daya air utama masyarakat Dusun Gunung
Butak sejak air Telaga Walikklar mengering.
Tempat penampungan untuk pemanenan air hujan
masyarakat di Desa Gunung Butak awalnya merupakan
bantuan dari pemerintah pada tahun 1998 berbentuk tabung
dengan volume 9.800 liter. Awalnya satu PAH digunakan
secara komunal untuk beberapa keluarga sekaligus.
Selanjutnya dalam wawancara mendalam pada bulan Juli
2022, Kepala Dusun Gunung Butak menambahkan, seiring
dengan berjalannya waktu masyarakat mulai membangun
penampungan air sendiri di lingkungan rumahnya berbentuk
balok. Dari hasil observasi pada bulan Juni 2021 terlihat
bahwa ukuran PAH yang dibangun oleh masyarakat cukup
seragam dan lebih kecil daripada PAH bantuan Pemerintah
yaitu dengan volume sebesar 7.500 liter.
Seluruh Pekka di Dusun Gunung Butak juga telah memiliki
PAH sendiri. Jumlah air yang dapat terkumpul dalam PAH
sangat tergantung dari curah hujan. Berdasarkan beberapa
penelitian, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
kinerja pemanenan air hujan antara lain yaitu pola curah
hujan, prol konsumsi air, ukuran atap, dan ukuran tempat
penyimpanan air hujan (Mazur et al., 2022).
Dari 13 Pekka, 3 diantaranya kebutuhan air dalam setahun
dapat dicukupi hanya menggunakan PAH saja karena mereka
hanya tinggal sendiri. Sedangkan, 10 Pekka lainnya menambah
air dari sumber air lainnya saat air dalam PAH sudah tidak
dapat mencukupi kebutuhan (Tabel 2). Selain PAH, saat ini
terdapat dua sumber air lain yang dapat digunakan oleh Pekka
yaitu air tangki dan air PDAM. Namun demikian, menurut
informasi Pekka sudah sekitar 2 tahun yang lalu tidak membeli
air tangki karena kebutuhan air mereka sudah tercukupi dari
air hujan (PAH) dan atau air PDAM.
Kepala Dusun Gunung Butak menyampaikan, dalam
wawancara mendalam pada bulan Mei 2021, pipa PDAM
mulai masuk ke Dusun Gunung Butak pada tahun 2013.
Dusun Gunung Butak termasuk dalam wilayah pelayanan
NASKAH UNTUK REVIEW MAJALAH GEOGRAFI INDONESIA
https://jurnal.ugm.ac.id/mgi
Halaman 7 dari 16
menyatakan sekitar tahun 1983 Telaga Waliklar mulai mengering dan sekitar 15 tahun yang lalu telah
177
mengering secara permanen sehingga tidak dapat lagi digunakan masyarakat.
178
Menurut Haryono et al. (2009), telaga di Karst Gunungsewu Gunungkidul saat ini sebagian besar telah
179
mengering dan hanya tersisa kurang dari 10%. Terdapat tiga masalah lingkungan utama yang terdapat di telaga
180
karst Gunungsewu. Pertama, kapasitas simpan air yang berkurang akibat sedimentasi. Masalah kedua yaitu
181
kehilangan air yang cepat akibat semakin menipisnya tanah pada daerah tangkapan, berkurangnya vegetasi di
182
sekitar telaga, dan pengerukan bagian bawah telaga. Ketiga, penurunan kualitas air akibat pencemaran dari
183
aktivitas manusia di telaga dan kegiatan pertanian di daerah tangkapan air telaga. Kondisi Telaga Waliklar saat
184
ini dapat dilihat pada Gambar 3.
185
186
187
188
189
190
191
192
193
Gambar 3. Kondisi Telaga Waliklar Saat Ini
194
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2021
195
Periode kedua ditandai dengan mulai mengeringnya telaga. Kebutuhan air penduduk kemudian ditambah dengan
196
air tangki disamping sisa air hujan dan air telaga yang makin sedikit pada saat musim kemarau. Pada periode ini,
197
selain mengambil air telaga, informan I-10 (sewaktu kecil) juga harus membeli air dari tetangga yang membeli
198
air tangki. Harga 1 pikul (sekitar 40-50 liter) : Rp. 2.000,-. Sehari membutuhkan 3 pikul yang berarti Rp. 6.000,-
199
untuk memenuhi kebutuhan 1 hari.
200
Periode tiga ditandai dengan dipasangnya pipa PDAM di dusun ini pada tahun 2013. Dampak adanya pipa ini
201
perlahan namun pasti mengubah pola pemenuhan air masyarakat Dusun Gunung Butak. Perlahan karena pada
202
awalnya belum ada Sambungan Rumah (SR). Jadi air dari pipa PDAM ditampung di Hidran Umum (HU) dan
203
kemudian masyarakat mengantri untuk membeli air di HU ini. Selanjutnya SR mulai dipasang pada beberapa
204
rumah, sehingga tetangga di sekitarnya bisa menyelang (membeli air) dari pememiliki SR. Para Pekka yang
205
menjadi informan dalam penelitian ini menyampaikan bahwa mereka mulai memanfaatkan SR sejak tahun
206
2018. Sejak ada pipa PDAM, kehidupan penduduk Dusun Gunung Butak secara umum berubah, baik dari segi
207
ekonomi maupun dalam penggunaan waktu sehari-hari mereka.
208
Saat ini, masyarakat Dusun Gunung Butak menggunakan air hujan yang ditampung di PAH, air PDAM dan
209
terkadang (sudah jarang dilakukan) air tangki untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Pemanenan air hujan
210
adalah cara yang digunakan untuk memasok air agar dapat dimanfaatkan pada saat krisis air terjadi dengan
211
menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan bahan tradisional (Rahman et al., 2014). Pemanenan air hujan
212
oleh masyarakat Dusun Gunung Butak dilakukan menggunakan bak penampungan air hujan (PAH) (Gambar 4).
213
Pemanenan air hujan menggunakan PAH menjadi sumber daya air utama masyarakat Dusun Gunung Butak
214
sejak air Telaga Walikklar mengering.
215
Gambar 3. Kondisi Telaga Waliklar Saat Ini
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2021
(a) (b)
Gambar 4. Penampungan Air Hujan (a) Bantuan Pemerintah dan (b) Buatan Masyarakat
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2021
152 http://jurnal.ugm.ac.id/mg
PERSPEKTIF TIME GEOGRAPHY Alia Fajarwati, et al.
PDAM Sub Sistem Bribin. Air Baku PDAM Sub Sistem
Bribin berasal dari Sungai bawah tanah Bribin. Berdasarkan
penelitian sebelumnya pada tahun 1982 menunjukkan Sungai
Bawah Tanah Bribin menjadi sumber aliran utama di Karst
Gunungsewu yang dapat menghasilkan air 1.500 liter/detik
(MacDonals and Patterns dalam Widyastuti et al., 2020). Pada
awalnya masyarakat Dusun Gunung Butak memanfaatkan
air PDAM melalui HU. Kemudian, beberapa masyarakat
mulai memasang SR. Namun, tidak semua masyarakat dapat
memasang SR dikarenakan faktor ketinggian lokasi rumah
dan biaya pemasangan.
Seluruh Pekka di dusun ini tidak memiliki SR. Mereka
mendapatkan air PDAM dengan cara membeli pada tetangga
yang telah memiliki SR. Pekka akan mulai membeli air PDAM
saat air dalam PAH dirasa sudah tidak dapat mencukupi
kebutuhan atau air di PAH sudah berkurang banyak. Hal ini
merupakan strategi para pekka agar mereka tidak sampai
kehabisan persediaan air. Rata-rata dalam satu tahun Pekka
membeli air PDAM untuk mencukupi kebutuhan selama
5 bulan pada musim kemarau. Saat membeli air PDAM,
air akan disalurkan dari rumah tetangga yang memiliki SR
menggunakan selang ke dalam tempat penampungan air
hujan.
Dapat disimpulkan telah terjadi perubahan sumber air
yang digunakan oleh Pekka di Dusun Gunung Butak untuk
memenuhi kebutuhan air mereka dalam satu tahun. Sebelum
ada air PDAM, dahulu sumber daya air yang digunakan dalam
satu tahun untuk memenuhi kebutuhan adalah air hujan
(yang belum ditampung di PAH), air Telaga Waliklar dan air
tangki. Air hujan dan air Telaga Waliklar menjadi sumber air
utama, kemudian air tangki sebagai sumber air saat terjadi
kekeringan. Sedikit berbeda dengan masyarakat Kapanewon
Semanu yang juga merupakan kawasan karst di Kabupaten
Gunungkidul. Di kapanewon ini, telaga masih memberikan
kontribusi dalam pemenuhan air masyarakat setempat
sebelum dan sesudah adanya PDAM meskipun, perannya jauh
lebih besar sebelum adanya PDAM. Selain itu, pemanenan
air hujan juga dilakukan oleh masyarakat setempat dengan
mengalirkan air hujan ke PAH (Cahyadi, 2016). Selanjutnya,
dari hasil observasi pada bulan Juni 2021 diperoleh fakta bahwa
meskipun sudah 2 tahun Pekka di Dusun Gunung Butak tidak
membeli air tangki, namun dusun ini masih diberikan bantuan
air tangki saat musim kemarau dari Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kabupaten Gunungkidul. Sebagai informasi,
pembelian air tangki dari Kapanewon Wonosari masih
dilakukan oleh masyarakat yang berada di wilayah pelayanan
PDAM sub sistem Bribin diantaranya Kapanewon Semanu,
Tepus, Rongkop, Tanjungsari, dan Girisubo terutama yang
belum mendapatkan pelayanan PDAM (Wardhana et al.,
2013). Selain itu, pembelian tangki juga menjadi alternatif
dalam pemenuhan air di musim kemarau oleh masyarakat di
Kapanewon Panggang. Air tangki berasal dari lokasi lain yang
dijual dengan harga berkisar Rp 80.000,- hingga Rp 120.000,-
dengan kapasitas 5000-6000 liter (Fatchurohman et al., 2013).
Saat ini sumber daya air utama Pekka Dusun Gung Butak
adalah air hujan dan air PDAM yang ditampung di PAH. Air
hujan yang ditampung di PAH menjadi sumber air utama dan
air PDAM menjadi sumber air saat air hujan dirasa sudah
tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Secara ekonomi, kehadiran air PDAM sangat mengurangi
pengeluaran rumah tangga untuk membeli air dari tangki.
Sudah 2 tahun ini Pekka di dusun ini tidak membeli air tangki
karena sudah tercukupi dari air PDAM sebagai tambahan air
hujan. Sejak ada air PDAM, terjadi penurunan pengeluaran
rumah tangga yang cukup signikan. Sebagai ilustrasi, harga
air tangki adalah Rp. 200.000,-/6000 liter. Dalam setahun
biasanya tiap rumah tangga membeli air 2 tangki. Oleh sebab
itu dapat disimpulkan pengeluaran tiap rumah tangga untuk
membeli air tangki adalah Rp. 400.000,- per tahun. Tabel 2
memberi ilustrasi penurunan pengeluaran untuk memenuhi
kebutuhan air per tahun atau dana yang bisa dihemat setiap
tahunnya pada setiap rumah tangga Pekka di Dusun Gunung
Butak. Besarnya dana yang bisa dihemat setiap rumah tangga
Pekka di dusun ini antara Rp. 160.000,00 – Rp. 352.000,00
setiap tahunnya.
Tabel 2. Hasil Perhitungan Penggunaan Air PDAM Oleh Pekka Dalam Setahun Tahun 2021
Kode
informan
∑ anggota
keluarga
Jumlah penggunaan
air PDAM per tahun
(kubik)
Pengeluaran untuk
PDAM per tahun*
(rupiah)
Pengeluaran untuk
Tangki per tahun
(rupiah)
Uang yang dihemat (dana
beli air tanki-air PDAM)
per tahun
I-1 3 15 180.000 400.000 220.000
I-2 1 Full PAH** 0 0 400.000
I-3 1 13,5 135.000 400.000 265.000
I-4 1 30 (bersama keluarga
tantenya)
360.000 tidak bisa diestimasi
secara individu
tidak bisa diestimasi
secara individu
I-5 3 Full PAH** 0 0 400.000
I-6 3 17,5 - 20 210.000 – 240.000 400.000 190.000 – 160.000
I-7 3 15 180.000 400.000 220.000
I-8 1 10 120.000 400.000 280.000
I-9 3 15 150.000 400,000 250.000
I-10 1 Full PAH** 0 0 400.000
I-11 3 13 156.000 400.000 244.000
I-12 1 8 - 16 96.000 – 192.000 400.000 304.000 – 208.000
I-13 1 20 240.000 400.000 160.000
*harga air PDAM 1 kubik = Rp. 10.000, 00 – Rp. 12.000,00 per kubik (1000 lt)
** Pekka hidup sendiri dan tidak menggunakan PDAM
(Sumber : Pengolahan Data, 2021)
http://jurnal.ugm.ac.id/mgi 153
Alia Fajarwati/Majalah Geogra Indonesia, Vol. 37, No. 2 (2023) 147-157
Penurunan pengeluaran untuk membeli air tersebut
meskipun cukup signikan bagi penduduk Dusun Gunung
Butak, namun ternyata harga tersebut masih di atas harga rata-
rata air PDAM di Indonesia, yaitu sekitar Rp 3.000,- per kubik,
dan bahkan juga lebih mahal daripada harga air perpipaan di
Singapura, yaitu Rp. 5.225,- per kubik (Soebagyo et al., 2013).
Analisa Upaya Pemenuhan Kebutuhan Air oleh Pekka
Dengan Perspektif Time Geography
Tiga periode pola pemenuhan kebutuhan air di Dusun
Gunung Butak menunjukkan berbagai upaya agar dapat
beradaptasi dengan lingkungannya yang rawan akan
kekeringan karena tinggal di Kawasan Karst. Pekka, seperti
halnya masyarakat Dusun Gunung Butak pada umumnya,
melakukan strategi adaptasi dengan mengatur sumber daya air
yang mereka gunakan dalam satu tahun dari berbagai sumber
air.
Selain lebih ekonomis, dari perspektif Time Geography,
adanya air PDAM menghemat penggunaan waktu untuk
memenuhi kebutuhan air karena tidak lagi harus berjalan
setiap harinya bolak-balik untuk mengambil air di telaga.
Dari informan I-10 dan I-12 diperoleh informasi jika dulu
ibu-ibu/anak perempuan harus berjalan Pulang-Pergi (PP) ke
Telaga Waliklar (+ 1 jam) dengan membawa 2 klenting (5-10
liter). Kalau laki-laki dewasa/anak-anak memikul 2 gembes/
blek (kaleng). Dalam sehari bisa 3 kali PP ke telaga untuk
mengambil air. Perjalanan mengambil air di telaga ini cukup
berat karena medan menuju telaga yang cukup terjal.
Tabel 3 menunjukkan berapa waktu yang dapat dihemat
saat ini (setelah memakai air PDAM) dibandingkan saat masih
harus mengambil air dari telaga seperti saat Pekka masih
kecil atau muda. Dari tabel 3 dapat disimpulkan waktu yang
dibutuhkan untuk perjalanan PP ke Telaga Waliklar memakan
waktu rata-rata sekitar 40 menit. Jadi waktu yang dibutuhkan
untuk sekali mengambil air di telaga adalah sekitar 1 jam,
dengan perhitungan 40 menit PP dan 20 menit mengambil
air di telaga sekaligus istirahat sejenak. Perjuangan memenuhi
kebutuhan air sehari-hari dengan berjalan menempuh jarak
yang cukup jauh sampai saat ini masih dirasakan kaum
perempuan di Rwanda yang harus berjalan jaun untuk
mengakses keran gratis (Swanson et al., 2021). Perempuan
sekaligus anak-anak di Uganda setiap hari harus berjalan
kaki sejauh setengah sampai dua kilometer (bahkan lebih)
melewati jalan yang berbatu dan berbukit dengan membawa
air di kepala atau tangan mereka. Hal tersebut menghabiskan
waktu yang cukup banyak dan memberi beban besar terhadap
kesehatan mereka. Belum lagi mereka juga mendapatkan
ancaman kekerasan sik maupun verbal saat berada di sumber
air (Asaba et al., 2013). Bahkan beban sik perempuan di
Kavre dan Sindhupalanchowk, Nepal dalam membawa air
berpengaruh pada kondisi psikologis mereka (Tomberge et al.,
2021).
Dari segi penggunaan ruang, Time Geography memahami
orang dalam hal ‘jalur’ mereka yang tidak terputus melalui
waktu dan melintasi ruang. Berasal dari publikasi penting
Hägerstrand tahun 1970, pendekatan ini memahami setiap
hal di dunia sebagai ‘gerakan’ bahkan ketika secara sik diam
karena berlalunya waktu (McQuoid & Dijst, 2012). Jalur
individu berarti perubahan alokasi atau mobilitas sik dalam
ruang dan waktu (Ira, 2001 dalam Šveda & Madajová, 2012).
Hasil penelitian menunjukkan, adanya pipa PDAM sangat
mengurangi penggunaan ruang Pekka. Hal ini karena Pekka
tidak perlu lagi berjalan ke telaga, mengantri di HU, tetapi
tinggal menyelang ke SR terdekat. Oleh sebab itu, jalur Pekka
(individual path) semakin pendek. Terlebih, jika dahulu
penduduk Dusun Waliklar harus berkali-kali ke telaga untuk
mengambil air dalam sehari. Namun sejak ada air PDAM
mereka hanya perlu 2-3 kali dalam setahun menyelang air dari
SR terdekat untuk memenuhi kebutuhan air mereka selama 1
tahun (Tabel 4).
Dapat disimpulkan, aktivitas seseorang sangat
mempengaruhi penggunaan ruangnya. Seperti halnya
perempuan pekerja pabrik tekstil di Ghent yang
menggabungkan jalur produktif dan reproduktif mereka
sehari-hari, yaitu antara rumah, tempat penitipan anak, tempat
bekerja, dan grocery store. Sementara jalur individu ibu rumah
tangga istri penambang batubara di Limburg sehari-hari lebih
sederhana pada jalur reproduktif mereka, yaitu hanya seputar
rumah, tempat belanja dan tempat bermain anak (Stuyck et al.,
2008). Perubahan atau pemendekan jalur Pekka sehari-hari
dapat dibandingkan pada Gambar 5 (jalur Pekka ke telaga)
dan Gambar 6 (jalur Pekka ke SR).
Tabel 3. Hasil Perhitungan Estimasi Waktu Perjalanan Menuju Telaga Waliklar
Informan Jarak Rumah menuju Telaga
(Km)
Jarak Satu Kali Perjalanan Pergi-
Pulang (km)
Estimasi Waktu Satu Kali Perjalanan
(Menit)
1 1,17 2,34 46,8
2 1,11 2,22 44,4
3 1,13 2,26 45,2
4 0,93 1,86 37,2
5 1,04 2,08 41,6
6 0,88 1,76 35,2
7 1,01 2,02 40,4
8 0,76 1,52 30,4
9 0,76 1,52 30,4
10 0,96 1,92 38,4
11 0,72 1,44 28,8
12 0,96 1,92 38,4
13 0,89 1,78 35,6
(Sumber :Pengolahan Data, 2021)
154 http://jurnal.ugm.ac.id/mg
PERSPEKTIF TIME GEOGRAPHY Alia Fajarwati, et al.
Lebih jauh, dalam Time Geography, Hägerstrand
mengidentikasi bahwa jalur yang ditempuh seseorang
melalui ruang dan waktu dibentuk oleh tiga kendala: kendala
kapabilitas (capability constraints), kendala berpasangan
(coupling constraints) dan kendala otoritas (authority
constraints) (Miller, 2017; Šveda & Madajová, 2012; Scholten
et al., 2012) dan (Ellegard, 1999) menambahkan kendala
pergerakan (movement constraints).
Keempat kendala dalam Time Geography tersebut
dijumpai Pekka Dusun Gunung Butak dalam upaya mereka
memenuhi kebutuan air mereka sehari-hari. Kendala
kemampuan (capability constraints) Pekka disebabkan karena
seluruh Pekka di dusun ini tidak memiliki SR dan Pekka
tidak memiliki kapasitas memperbaiki kerusakan PAH atau
talang PAH. Tidak adanya Pekka yang memiliki SR kemudian
mengakibatkan kendala berpasangan (coupling constraints),
dimana Pekka harus bergantian dengan tetangga lain untuk
menyelang air dari SR yang sama dan juga menyebabkan
kendala otoritas (authority constraints) yaitu ketergantungan
mereka pada SR tetangga dalam memenuhi kebutuhan
air mereka. Namun demikian, kendala mobilitas (mobility
constraints) dalam Pekka memenuhi kebutuhan air setiap
harinya sangat jauh berkurang sejak masuknya pipa PDAM
ke dusun ini. Jika dulunya hal tersebut merupakan masalah
besar karena harus berjalan ke Telaga Waliklar yang berjarak
+ 2 km PP dengan medan yang cukup terjal dan terkadang
harus 3 kali bolak-balik rumah-telaga, sekarang hanya perlu
menyelang air dari SR tetangga yang jaraknya jauh lebih dekat
(Fajarwati et al., 2022).
Tabel 4. Hasil Perhitungan Jarak Rumah Pekka ke SR dan ke Telaga
Informan Kode SR Jarak Rumah-SR Terdekat
(Km)
Jarak Satu Kali Perjalanan Pergi-Pulang
ke Telaga (Km)
1SR 1 0.18 2,34
2 - - 2,22
3SR 1 0.16
2,26SR 2 0.18
4SR 2 0.01
5 - - 1,86
6SR 3 0.01 2,08
SR 4 0.005 1,76
7SR 1 0.03 2,02
8SR 5 0.07 1,52
9SR 6 0.04 1,52
10 - - 1,92
11 SR 5 0.04 1,44
12 SR 7 0.01 1,92
13 SR 8 0.02 1,78
(Sumber :Pengolahan Data, 2021)
Gambar 5. Peta Rute Perjalanan dari Rumah Pekka Menuju Telaga Waliklar
Sumber : Hasil Olah Data, 2021
http://jurnal.ugm.ac.id/mgi 155
Alia Fajarwati/Majalah Geogra Indonesia, Vol. 37, No. 2 (2023) 147-157
Gambar 6. Peta Jalur Penyaluran Air PDAM dari SR Tetangga Menuju Rumah Pekka
Sumber : Hasil Olah Data, 2021
Sebagai penutup, dari perspektif Time Geography,
hasil penelitian menunjukkan kontribusi air PDAM sangat
besar bagi Pekka di dusun ini yang seluruhnya lansia yaitu
menghemat waktu dan memperpendek jalur individu
dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari dan juga sangat
mengurangi kendala mobilitas Pekka dalam memenuhi
kebutuhan air mereka sehari-hari. Oleh sebab itu, pemenuhan
kebutuhan air Pekka akan jauh lebih mudah apabila mereka
memiliki SR sendiri.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi
perubahan sumber air yang digunakan oleh Pekka di Dusun
Gunung Butak. Dahulu sumber daya air yang digunakan
dalam satu tahun untuk memenuhi kebutuhan adalah air
hujan (yang belum ditampung di PAH), air Telaga Waliklar dan
air tangki (saat terjadi kekeringan). Namun, saat ini sumber
daya air yang digunakan Pekka untuk memenuhi kebutuhan
air dalam satu tahun adalah air hujan dan air PDAM yang
ditampung di PAH. Air hujan yang ditampung di PAH
menjadi sumber air utama dan air PDAM menjadi sumber
air utama saat musim kemarau. Dari analisa Time Geography,
hasil penelitian menunjukkan bahwa masuknya pipa PDAM
di dusun ini menghemat waktu dan memperpendek jalur
individu Pekka dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari,
terutama saat mengalami kekeringan (musim kemarau). Hasil
penelitian menunjukkan perspektif Time Geography sangat
membantu dalam mengeksplorasi fenomena pemenuhan
kebutuhan air oleh Pekka beserta kendala yang dihadapi
sehingga pada masa yang akan datang dapat digunakan
untuk mendukung kebijakan Pengurangan Resiko Bencana
khususnya bagi kelompok rentan yang memiliki keterbatasan
lebih dibandingkan masyarakat pada umumnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Fakultas
Geogra UGM yang telah memberikan support dana melalui
Dana Masyarakat Tahun Anggaran 2022 sehingga penelitian
ini dapat terlaksana. Ucapan terimakasih juga penulis haturkan
kepada Kepala Desa Giripanggung beserta staf, Kepala Dusun
Gunung Butak beserta istri dan seluruh Pekka Dusun Gunung
Butak yang telah bermurah hati membantu dan memberikan
informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Terakhir,
penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Zara Hadijah,
Novi Ghitha Khairina dan Adelia Intan Septi M yang telah
membantu pengumpulan data lapangan.
KONTRIBUSI PENULIS
Penulis Pertama mendisain metode penelitian, melakukan
pengambilan data lapangan, analisis data, interpretasi hasil
dan menyusun naskah publikasi.
Penulis Kedua, Ketiga dan Keempat melakukan supervisi
pada penulis pertama dalam penelitian maupun dalam
penulisan publikasi.
Penulis Kelima melaksanakan pengambilan data lapangan,
mengolah dan analisis data, dan bersama penulis pertama
menyusun naskah publikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Asaba, R. B., Fagan, G. H., Kabonesa, C., & Mugumya, F. (2013).
Beyond Distance and Time: Gender and the Burden of Water
Collection in Rural Uganda. e Journal of Gender and Water,
2(1), 31–38. Retrieved from https://mural.maynoothuniversity.
ie/6626/1/HF-Distance-Time.pdf
Bandari, A., & Sadhukhan, S. (2021). Determinants of per capita
water supply in Indian cities with low surface water availability.
Cleaner Environmental Systems, 3(April), 100062. https://doi.
org/10.1016/j.cesys.2021.100062
Banford Witting, A., Lambert, J., Wickrama, T., anigaseelan, S., &
Merten, M. (2016). War and disaster in Sri Lanka: Depression,
family adjustment and health among women heading
households. International Journal of Social Psychiatry, 62(5),
425–433. https://doi.org/10.1177/0020764016650213
Cahyadi, A. (2013). Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap
Keberadaan dan Penyebab Kerusakan Sumberdaya Air Sungai
Bawah Tanah di Kawasan Karst Gunungsewu. Geomedia,
11(November), 253–260. https://doi.org/https://doi.
org/10.21831/gm.v11i2.3455
156 http://jurnal.ugm.ac.id/mg
PERSPEKTIF TIME GEOGRAPHY Alia Fajarwati, et al.
Cahyadi, A. (2016). Peran Telaga Dalam Pemenuhan Kebutuhan Air
Kawasan Karst Gunungsewu Pasca Pembangunan Jaringan Air
Bersih. Geomedia: Majalah Ilmiah Dan Informasi Kegeograan,
14(2), 23–33. https://doi.org/10.21831/gm.v14i2.13813
Creswell, J.W., & Miller, D. L. (2000). In Qualitative Inquiry.
eory Into Practice, 39(3), 124–130. https://doi.org/10.1207/
s15430421tip3903
Creswell, J. W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih
di antara Lima Pendekatan (Edisi Ke-3). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Darmanto, D., & Cahyadi, A. (2013). Pengaruh Kondisi Meteorologis
terhadap Ketersediaan Air Telaga di Sebagian Kawasan Karst
Kabupaten Gunungkidul (Studi Analisis Neraca Air Meteorologis
untuk Mitigasi Kekeringan). Forum Geogra, 1(2013), 93–98.
Retrieved from http://hdl.handle.net/11617/3440
De Moraes, A. F. J., & Rocha, C. (2013). Gendered waters: e
participation of women in the “One Million Cisterns” rainwater
harvesting program in the Brazilian Semi-Arid region. Journal
of Cleaner Production, 60, 163–169. https://doi.org/10.1016/j.
jclepro.2013.03.015
Delno, A. N., Dizon, J. T., Quimbo, M. A., & Depositario, D.
P. T. (2019). Social Vulnerability and Adaptive Capacity to
Climate Change Impacts of Women-headed Households in the
Philippines: a Comparative Analysis. Journal of Environmental
Science and Management, 54(December), 36–54. https://doi.org/
https://doi.org/10.47125/jesam/2019_2/05
Ellegard, K. (1999). A time-geographical approach to the study
of everyday life of individuals - a challenge of complexity.
GeoJurnal, 48(3), 167–175. https://doi.org/https://doi.
org/10.1023/A:1007071407502
Estrada, S. L. (2002). WORK, GENDER, AND SPACE : WOMEN’S
HOME-BASED WORK IN TIJUANA, MEXICO. Journal of
Developing Societies, 18(2–3), 169–195. Retrieved from https://
doi.org/10.1177/0169796X0201800208
Fajarwati, A., Sukamdi, S., Hizbaron, D. R., Listyaningsih, U., Hadijah,
Z., & Rachmadani, P. (2022). Exercising Time Geography
in gender and disaster. Discourse through Women Headed
Household experience during drought. Human Geographies,
16(1), 53–70. https://doi.org/10.5719/hgeo.2022.161.4
Fatchurohman, H., Cahyadi, A., Nugraha, H., & Wacano, D.
(2013). Strategi Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana
Kekeringan di Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul.
In Sudarmadji, E. Haryono, T. N. Adji, M. Widyastuti, R.
Harini, E. Nurjani, … H. Nugraha (Eds.), Ekologi Lingkungan
Kawasan Karst Indonesia: Menjaga Asa Kelestarian
Kawasan Karst Indonesia (p. 81). Yogyakarta: Deepublish.
Retrieved from https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=
&id=vOKACAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA73&dq=%22tangki
+air%22+di+Gunungkidul&ots=mAJjCLdbcb&sig=B7RT4
XISF0_RILcyAzxsE5VK1AI&redir_esc=y#v=onepage&q=
%22tangkiair%22di Gunungkidul&f=false
Flatø, M., Muttarak, R., & Pelser, A. (2017). Women, Weather, and
Woes: e Triangular Dynamics of Female-Headed Households,
Economic Vulnerability, and Climate Variability in South
Africa. World Development, 90(179552), 41–62. https://doi.
org/10.1016/j.worlddev.2016.08.015
Haryono, E., Adji, T. N., & Widyastuti, M. (2009). Enviromental
Problems of Telaga ( Doline Pond ) in GunungSewu Karst , Java
Indonesia. Proceeding 15th International Congress of Speleology,
II, 1112–1116. Retrieved from ttps://www.researchgate.net/
publication/283494703_ENVIRONMENTAL_PROBLEMS_
OF_TELAGA_DOLINE_POND_IN_GUNUNSEWU_
KARST_JAVA_INDONESIA
Irianti, S., & Prasetyoputra, P. (2019). e struggle for water in
indonesia: e role of women and children as household water
fetcher. Journal of Water Sanitation and Hygiene for Development,
9(3), 540–548. https://doi.org/10.2166/washdev.2019.005
Jensen, K. B. (2014). Space-time geography of female live-in child
domestic workers in Dhaka , Bangladesh. Children’s Geographies,
12(2), 154–169. https://doi.org/10.1080/14733285.2013.783986
Jiang, G., Chen, Z., Siripornpibul, C., Haryono, E., Nguyen, N. X., Oo,
T., … Guo, F. (2021). e karst water environment in Southeast
Asia: characteristics, challenges, and approaches. Hydrogeology
Journal, 29(1), 123–135. https://doi.org/10.1007/s10040-020-
02267-y
Klasen, S., Lechtenfeld, T., & Povel, F. (2015). A Feminization of
Vulnerability? Female Headship, Poverty, and Vulnerability in
ailand and Vietnam. World Development, 71, 36–53. https://
doi.org/10.1016/j.worlddev.2013.11.003
Kwan, M. P. (2000). Gender dierences in space-time constraints.
Area, 32(2), 145–156. Retrieved from https://www.jstor.org/
stable/20004053
Mazur, Gwoździej, J., Jadwiszczak, P., Kaźmierczak, B., Kozka, K.,
Sokołowska, Joanna-Struk Wartalska, K., & Wdowikowski, M.
(2022). e impact of climate change on rainwater harvesting
in households in Poland. Applied Water Science, 12(2), 1–15.
https://doi.org/10.1007/s13201-021-01491-5
McQuoid, J., & Dijst, M. (2012). Bringing emotions to time geography:
e case of mobilities of poverty. Journal of Transport Geography,
23, 26–34. https://doi.org/10.1016/j.jtrangeo.2012.03.019
Miller, H. J. (2017). Time Geography and Space-Time Prism.
International Encyclopedia of Geography, 1–19. https://doi.
org/10.1002/9781118786352.wbieg0431
Oginni, A., Ahonsi, B., & Ukwuije, F. (2013). Are female-headed
households typically poorer than male-headed households in
Nigeria? Journal of Socio-Economics, 45(2013), 132–137. https://
doi.org/10.1016/j.socec.2013.04.010
Omarova, A., Tussupova, K., Hjorth, P., Kalishev, M., &
Dosmagambetova, R. (2019). Water supply challenges in rural
areas: A case study from central Kazakhstan. International
Journal of Environmental Research and Public Health, 16(5).
https://doi.org/10.3390/ijerph16050688
Pratiwi, N. S., Rahmawati, Y. D., & Setiono, I. (2017). Gender Equality
in Climate Change Adaptation : A Case of Cirebon , Indonesia.
e Indonesian Journal of Planning and Development, (October).
https://doi.org/10.14710/ijpd.2.2.74-86
Pulla, V., & Das, T. K. (2015). Coping and Resilience: Women Headed
Households in Bangladesh Floods. International Journal of
Social Work and Human Services Practice, 3(5), 169–175. https://
doi.org/10.13189/ijrh.2015.030502
Rahman, S., Khan, M. T. R., Akib, S., Din, N. B. C., Biswas, S. K.,
& Shirazi, S. M. (2014). Sustainability of rainwater harvesting
system in terms of water quality. e Scientic World Journal,
2014. https://doi.org/10.1155/2014/721357
Scholten, C., Friberg, T., & Sanden, A. (2012). Re-Reading Time-
Geography from a Gender Perspective: Examples from
Gendered mobility. Tijdschri Voor Economische En Sociale
Geograe, 103(5), 584–600. https://doi.org/10.1111/j.1467-
9663.2012.00717.x
Sengupta, N., & Ghosh, K. (2022). Women’s role in water resource
management: a case study on upper catchment area of
Kangsabati river basin under Purulia district, West Bengal.
Sustainable Water Resources Management, 8(4), 1–14. https://
doi.org/10.1007/s40899-022-00685-2
Soebagyo, Rachmaningtyas, L., Kusumawardani, D., & Utami, R. B.
(2013). Akses Terhadap Air Perpipaan di Indonesia: Kajian Sosio-
Ekonomi. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 23(1), 38–46. Retrieved
from https://media.neliti.com/media/publications/3980-ID-
akses-terhadap-air-perpipaan-di-indonesia-kajian-sosio-
ekonomi.pdf
Solhi, M., Hamedan, M. S., & Salehi, M. (2016). A PRECEDE-
PROCEED based educational intervention in quality of life
of women-headed households in Iran. Medical Journal of the
Islamic Republic of Iran, 30(1).
http://jurnal.ugm.ac.id/mgi 157
Alia Fajarwati/Majalah Geogra Indonesia, Vol. 37, No. 2 (2023) 147-157
Stuyck, K., Luyten, S., Kesteloot, C., Meert, H., & Peleman, K. (2008).
A Geography of Gender Relations: Role Patterns in the Context
of Dierent Regional Industrial Development. Regional Studies,
42(1), 69–82. https://doi.org/10.1080/00343400701291492
Šveda, M., & Madajová, M. (2012). Changing Concepts of Time
Geography in the Era of Information and Communication
Technologies. Acta Universitatis Palackianae …, 43(1), 15–30.
https://doi.org/202600429
Swanson, M., Alvarez, H., Sample, A., & Bruyere, B. (2021).
Understanding Barriers and Challenges for Women ’ s Access to
Water in Northern Rwanda. e Journal of Gender and Water, 8.
Retrieved from https://repository.upenn.edu/cgi/viewcontent.
cgi?article=1080&context=wh2ojournal
Tomberge, V. M. J., Bischof, J. S., Meierhofer, R., Shrestha, A., &
Inauen, J. (2021). e physical burden of water carrying and
womens psychosocial well-being: Evidence from rural nepal.
International Journal of Environmental Research and Public
Health, 18(15). https://doi.org/10.3390/ijerph18157908
Wardhana, I. W., Budihardjo, M. A., & P, S. A. (2013). Kajian
Sistem Penyediaam Air Bersih Sub Sistem Bribin Kabupaten
Gunungkidul. Jurnal Presipitasi : Media Komunikasi Dan
Pengembangan Teknik Lingkungan, 10(1 Maret), 18–29. https://
doi.org/https://doi.org/10.14710/presipitasi.v10i1.18-29
Widyastuti, M., Irshabdillah, M. R., & Firizqi, F. (2020). Water
quality analysis of bribin underground river as the source of
raw water for a government-owned water company (pdam) in
the bribin management unit, Gunungkidul regency-Indonesia.
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 451(1).
https://doi.org/10.1088/1755-1315/451/1/012065
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Worldwide uncountable distressed people are agonizing dreadfully due to the acute problem of water scarcity. Women hold a very momentous position in the scenario of water resource management. The present study is focused to assess women’s participation and its effectiveness in water resource management at Arsha, Barabazar and Manbazar II blocks situated in the upper catchment area of Kangsabati river basin under Purulia district, West Bengal. In this aspect, 260 households from different villages located in the said three blocks have been surveyed. Target group analysis, focus group discussion, household survey with questionnaire have been applied to acquire first-hand data. Different statistical techniques such as ANOVA, hierarchical cluster analysis and principal component analysis have been used to examine the effectiveness of women’s participation regarding water management. The study portrays that local people are not satisfied about the existing water service. The result shows that 60%, 58.95% and 54.12% women in surveyed villages under Arsha, Barabazar and Manbazar II blocks have participated in water collection, respectively. The study reveals that the high percentage of women, i.e., 60%, 58.96% and 54.12% women are vigorously involved in decision-making process of water utilization in Arsha, Barabazar and Manbazar II blocks, respectively. The statistical analysis establishes that women’s participation in water resource management is highly effective in the study region during dry season. But the women’s understating of issues connected with water management does not have an impact outside of the household activities due to their lack of technical skills. Therefore, women’s participation in water management should be prioritized in an organized way for promoting sustainable water resource management in the water-deficit region in Purulia district.
Article
Full-text available
Time Geography is a boundary-oriented approach to understanding human activity in space and time. In this study, this concept is implemented to identify the daily activities of Women Headed Household (WHH) and their survival strategies in drought disasters and to understand their root causes through analysing capability, coupling, and authority constraints. This research starts to fill the gap in knowledge of the Time Geography in "Gender and Disaster". The combination of Time Geography's daily diary technique with in-depth interviews is used to understand the constraining and enabling conditions in local contexts. The results show that the socioeconomic characteristics of WHH in Gunung Butak Hamlet, Java, Indonesia, tended to be homogeneous and formed a pattern of daily activity with low variation. Likewise, their strategy in dealing with drought. The three geographical constraints faced by WHH in this hamlet are interrelated and do not stand alone.
Article
Full-text available
In water management, climate changes require adaptation, protection of existing resources and the search for alternative water sources. Rainwater harvesting (RWH) is increasingly becoming an alternative water source, applicable for many directions of its use. The aim of the research was to analyse the influence of long-term climate change on the potential for rainwater harvesting in households in Central Europe in Poland. The analysis of long-term climate changes impact on the household rainwater harvesting potential was conducted for the 50-year period for 19 cities in Poland. The water balance model was operated in a day-step mode, and the research was carried out in four “time scales approach”. For the purpose of all analyses, a standard weekly water demand profile was developed. It includes the daily sub-profiles for every working day and weekend, covering the washing and toilet flushing needs for a 4-person household. In order to evaluate the long-term changes in residential harvesting in Poland, a hypothetical residential RWH was investigated in 19 locations and rainfall conditions. To illustrate the time-spatial variation of annual rainfall amounts in the analyzed period, the heat map was prepared as the pre-simulation stage. Results show that the design of RWH systems should be based on archival data and take into account the many years of rainfall changes. This will improve performance and secure benefits for the users of this system.
Article
Full-text available
Many women in low-income countries carry heavy loads of drinking water for their families in difficult terrain. This can adversely affect their health and well-being. The present study is the first to investigate the physical burden of water carrying and women’s psychosocial well-being, and how this relationship is moderated by environmental and health conditions. Trained local interviewers conducted interviews with 1001 women across five rural communities in Nepal. In addition, objective measurement was used to assess the weight carried and distance from the water source. The physical burden of water carrying was calculated from weight, distance, and frequency of trips. Its association with psychosocial well-being was modeled using generalized estimating equations. Two additional models included the terrain and uterine prolapse as moderators. The physical burden of water carrying is directly related to higher emotional distress and reduced daily functioning. This correlation was exacerbated for women carrying in hilly versus flat terrain, and for those who had uterine prolapse. Our results underline the importance of adequate water access for women’s psychosocial well-being, especially for vulnerable populations such as women with impaired health (e.g., uterine prolapse) or those living in hilly terrain. The results further highlight the interconnectedness of the Sustainable Development Goal (SDG) 6: water access, SDG 3: health and well-being, and SDG 5: gender equality.
Article
Full-text available
The carbonate areas of Southeast Asia are part of the global set of well-developed tropical-subtropical karst regions and form water-rich aquifers. Due to the strong development of karst features, groundwater in karst conduits flows rapidly and is susceptible to various environmental problems, including rocky desertification and socioeconomic impacts leading to poverty. Karst-related data for the region are scarce and scattered. Based on information contributed by training workshops of the International Research Center on Karst (IRCK) under the auspices of UNESCO, as well as published literature, this study summarizes karst hydrogeological data and water-related environmental issues in Southeast Asia, in an attempt to find commonality, and to form both generally valid and region-specific concepts that can be extended to data-deficient areas, where these concepts may serve as a guide for governments when managing the karst environment. Based on topographic differences, karst terrains in Southeast Asia were classified into four types: karst on plateaux, karst in mountains, karst in plains, and karst on islands. This approach was utilized to compile and classify the surveyed karsts. The examples shared by participants in the IRCK training workshops included karst information from their own countries, most of which have not been published in English. The case studies demonstrate that karst areas in Southeast Asia are widely and repeatedly exposed to droughts and floods, resulting in environmental constraints and development obstacles. These studies also show that environmental problems can be resolved and sustainable development can be achieved if appropriate management measures are taken.
Conference Paper
Full-text available
PAPER • OPEN ACCESS Water quality analysis of bribin underground river as the source of raw water for a government-owned water company (pdam) in the bribin management unit, Gunungkidul regency-Indonesia Abstract. Bribin Underground River supplies raw water for a government-owned water company, PDAM, and has more potential than the other three of its sources, namely Baron, Seropan, and Ngobaran. In addition to sufficient quantity, raw water has to meet a set of water quality standards. This research was intended to describe the quality of raw water from the source to the service areas spatially. The water quality was measured directly in the field and then in the laboratory using the water samples collected by the purposive sampling technique. The test analyzed physical, biological, and chemical parameters. According to Governor Regulation No. 20 of 2008, some water quality parameters of Bribin Underground River exceed the standards for Class I raw water i.e. TSS, pH and NO3. Besides, according to the Decree of Health Minister No 492/MENKES/PER/IV/2010, pH and total coliform number exceed the standard. A spatial variation in water quality was detected from Bribin Underground River to customer taps, especially in parameters that have significant changes, such as pH, EC, TDS, TSS, nitrate, and total coliform. Spatially, the content of TDS and EC that correlates each other show a fluctuating result according to water flow treatment in water treatment plant (WTP) and the reservoir. pH and total coliform show increasing trends of number from the source to customer taps, whereas TSS and nitrate show decline trends.
Article
Full-text available
This study analyzed the social vulnerability and adaptive capacity to climate change impacts of women-headed households in two remote coastal communities in Lagonoy, Camarines Sur. Quantitative method following descriptive-correlational research design was employed. Out of 281 WHHs, 162 were randomly selected as the respondents of this study. Descriptive statistics, principal component analysis (PCA), t-test for independent samples, and multiple linear regression analysis were used to analyze the data. Women-headed households in the two remote coastal communities have moderate to high vulnerability in terms of demographic, economic, and social factors. No significant difference was found in their level of social vulnerability; however, a substantial difference was found in the adaptive capacity of the respondents from the East and North coastal communities. Multiple linear regression analysis revealed that the number of household members with disabilities, affiliation with social groups, time travel of the respondents, and household size were significant factors influencing social vulnerability in the two remote coastal communities. The study recommends formulating effective climate change policies and responsive strategies that enhance the rights and welfare of these households for equal distribution and access to resources, especially in socio-political structures in the community.
Article
Full-text available
Rural water supplies have traditionally been overshadowed by urban ones. That must now change, as the Sustainable Development Goals calls for water for all. The objective of the paper is to assess the current access to and the perceived water quality in villages with various types of water supply. The survey was carried out during July–December 2017 in four villages in central Kazakhstan. Overall, 1369 randomly selected households were interviewed. The results revealed that even though villagers were provided with tap water, significant numbers used alternative sources. There were three reasons for this situation: residents’ doubts regarding the tap water quality; use of other sources out of habit; and availability of cheaper or free sources. Another problem concerned the volume of water consumption, which dropped sharply with decreased quality or inconvenience of sources used by households. Moreover, people gave a poor estimate to the quality and reliability of water from wells, open sources and tankered water. The paper suggests that as well decentralization of water management as monitoring of both water supply and water use are essential measures. There must be a tailor-made approach to each village for achieving the Sustainable Development Goal of providing rural Kazakhstan with safe water.
Article
Rapid urbanization is putting stress on urban water resources. Cities with inadequate surface water resources import water to meet the needs of a rapidly growing population. Water supply in urban areas is frequently held accountable by local administrative bodies across the world. In India, several Urban Local Bodies (ULBs) import water from long distances. Ministry of Urban Development, Government of India, has devised nine Service Level Benchmarks (SLB) indicators to evaluate the performance of ULBs in water supply management. The present study considered 30 million-plus Indian cities with low surface water availability. The data pertaining to the population, surface water availability, and SLB performance were collected for the selected cities. The data were then used to find the effect of eight SLB performance indicators on the per capita water supply (PCS) indicator using correlation matrices and multiple regression, where PCS is considered as the only dependent variable. The findings indicate that coverage of water supply connections (COV), extent of metering of connections (MTR), extent of non-revenue water (NRW), and continuity of water supply (CNT) are found to have considerable effects on the PCS. The study is helpful for the ULBs and Policymakers to understand the association between PCS and other indicators and make the intervention for an effective urban water supply management.
Article
Globally, billions of people are still without access to safe water. Every day they need to travel far to fetch water, and most of them are women. Thegender and water fetching issue in Indonesia is under-researched. Hence, this article addresses the spatial, environmental, and socio-demographic correlates of women or children as the household water fetcher in Indonesia. Using data from the 2013 Baseline Health Research (Riskesdas) from the Ministry of Health, we fitted a multivariable multinomial logit regression model (MNLM) to examine the relationship between women and children as water fetcher and spatial, environmental, and socio-demographic characteristics of households. We found that two in five households delegate women household members to carry water. Moreover, women and children are more likely to take the role of water fetcher in rural and less affluent households. Furthermore, the time required to collect water is significantly associated with women as water fetcher in the household. The longer the duration it takes to collect the water, the less likely women, as opposed to men, are the primary water collector in the household. These findings can be used to inform policymaking in Indonesia.