Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
Pemetaan mobilitas penduduk di kawasan pinggiran Kota Bandung
Lili Somantri 1*)
1)Program Studi Sains Informasi Geogra, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia
*Koresponden Email: lilisomantri@upi.edu
Abstrak. Tingginya mobilitas penduduk dari kawasan pinggiran ke pusat kota menimbukan beberapa dampak negaf yakni kepadatan
penduduk, kemacetan lalu lintas, polusi udara, dan lain-lain Upaya penanggulangan mobilitas dapat dilakukan dengan perencanaan dan
pembangunan kawasan pinggiran. Sebagai langkah awal perencanaan, pemetaan ngkat dan pola mobilitas penduduk perlu dilakukan agar
penanganan yang diberikan menjadi tepat sasaran . Penelian ini menggunakan pendekatan deskripf kuantaf dengan teknik
pengumpulan data observasi dan wawancara.. Analisis spasial untuk memetakan data dilakukan dengan bantuan analisis SIG menggunakan
teknik overlay. Hasil penelian pada 7 k pengamatan pada periodik waktu 06.00 – 18.00 menunjukan bahwa arus masuk ke Kota Bandung
jauh lebih 13% besar dibanding arus keluar terutama pada hari kerja dengan total 35.896 kendaraan. Hal tersebut menunjukan bahwa ada
ketergantungan wilayah pinggiran terhadap kota Bandung terutama yang berkaitan dengan pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Dengan demikian pola penanggulangan mobilitas ialah membangun sarana dan prasarana sosial, ekonomi, dan pendidikan serta kesehatan
pada wilayah pinggiran.
Kata kunci: mobilitas penduduk; kendaraan; kawasan pinggiran; pemetaan; sig
Abstract. The high mobility of the populaon from the suburbs to the city center causes several negave impacts, namely populaon density,
trac congeson, air polluon, etc. Eorts to overcome mobility can be carried out by planning and developing suburban areas. As a rst
step in planning, mapping the level and paern of populaon mobility needs to be done so that the treatment provided is right on target. This
research uses a quantave descripve approach with observaon and interview data collecon techniques. Spaal analysis to map the data
is carried out with the help of GIS analysis using overlay techniques. The results of the study at 7 observaon points at a periodic me of 06.00
- 18.00 showed that the inow to the city of Bandung was 13% larger than the oulow, especially on weekdays with a total of 35,896
vehicles. This shows that there is a dependence of suburban areas on the city of Bandung, especially those related to work, educaon, and so
on. Thus, the paern of overcoming mobility is to build social, economic, educaonal and health facilies and infrastructure in the periphery.
Keywords: mapping; mobility; suburb
PENDAHULUAN
Mobilitas penduduk yang relave nggi menjadi salah
satu penyebab ngginya jumlah penduduk di Kota Bandung
selain dari faktor pertumbuhan alami (Widiawaty dkk.,
2019). Mobilitas tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah perubahan iklim, lingkungan yang
kurang mendukung, konik dan kelangkaan pangan,
kempangan sosial ekonomi serta globalisasi (Barbosa dkk.,
2018). Di Kota Bandung sendiri banyaknya penduduk
komuter yang bekerja di wilayah Kota Bandung menjadi
salah satu penyebab ngginya mobilitas (Somantri, 2013).
Selain bekerja, akvitas lain yang dilakukan penduduk ialah
akses pendidikan, rekreasi, belanja, pelayanan umum dan
akses layanan kesehatan di pusat Kota Bandung (Anisa,
2012). Mobilitas penduduk akan semakin meningkat seiring
berkembangnya suatu wilayah perkotaan dan interaksinya
dengan wilayah pinggiran. Sebagaimana dalam kajian
mobilitas di pinggiran Kota Yogyakarta, bahwa dengan
adanya keberadaan pusat perkembangan baru kawasan
industri Piyungan telah mendorong terjadinya mobilitas
penduduk (Sadali, 2016). Pada kajian di wilayah periurban
Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya, mobilitas
penduduk didasari oleh alasan pekerjaan dan pendidikan
karena pada Kota Tasikmalaya lengkap dengan sarana dan
prasarana penunjang kehidupan (Singkawijaya, 2017).
Begitu pula yang terjadi pada pinggiran Kota Denpasar
mobilitas penduduk dari desa ke kota didasari karena faktor
perkembangan pariwisata dan menjadi pusat kegiatan
ekonomi, sehingga banyak penduduk yang memilih bekerja
pada sektor jasa (Suamba dan Nurdiantoro, 2014).
Mobilitas penduduk di Kota Bandung cenderung
dilakukan oleh penduduk dari kawasan pinggiran. Pada
umumnya kawasan pinggiran kota bukanlah sebuah
kawasan yang mandiri dengan keterbatasan fasilitas serta
ngkat kebutuhan penduduknya yang nggi. Hal ini,
membuat wilayah pinggiran Kota Bandung memiliki
ketergantungan yang cukup besar terhadap kawasan
lainnya, khususnya kawasan pusat kota yang memiliki
kelengkapan fasilitas yang jauh lebih memadai. Faktor
ketergantungan ini mendorong terjadinya mobilitas
penduduk dari kawasan pinggiran ke daerah pusat kota
dalam rangka menemukan dan memenuhi segala kebutuhan
hidup (Barbosa dkk., 2018). Tingkat mobilitas penduduk di
ISSN 0125 - 1790 (print), ISSN 2540-945X (online)
Majalah Geografi Indonesia Vol. 36, No 2 (2022) 95-102
DOI: 10.22146/mgi.70636
©2022 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI)
Direvisi: 2022-06-05 Diterima: 2022-06-13
©2022 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI)
Perspektif Time Geography terhadap Upaya Pemenuhan Kebutuhan Air
Perempuan Kepala Keluarga Dusun Gunung Butak, Gunungkidul
Alia Fajarwati1*, Sukamdi2, Dyah Rahmawati Hizbaron3, Umi Listyaningsih4, Pinta Rachmadani5
1,5 Departemen Geogra Pembangunan, Fakultas Geogra, UGM, Yogyakarta, Indonesia
2,3,4Departemen Geogra Lingkungan, Fakultas Geogra, UGM, Yogyakarta, Indonesia
*Email Koresponden: aliafajar@ugm.ac.id
Submit: 2022-11-11 Direvisi: 2022-11-18 Accepted: 2023-03-24
©2023 Fakultas Geogra UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI)
Abstrak Pemenuhan kebutuhan air masyarakat Dusun Gunung Butak yang termasuk dalam kawasan Karst Gunungsewu merupakan tantangan,
terlebih untuk Perempuan Kepala Keluarga (Pekka). Tujuan penelitian : 1) mengidentikasi sumber air bersih di Dusun Gunung Butak untuk
memenuhi kebutuhan selama setahun, 2) menganalisa upaya pemenuhan kebutuhan air oleh Pekka menggunakan perspektif Time Geography.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Indepth interview dengan Pekka dan key persons dengan
alat penelitian kalender musim dan panduan/protokol wawancara dilakukan untuk menggali informasi. Pemetaan juga dilakukan dengan
menggunakan soware GIS. Data divalidasi dengan strategi validasi dalam penelitian kualitatif dan dianalisa menggunakan metode analisa
fenomenologis terstruktur. Pada tujuan 2 digunakan analisa dari perspektif Time Geography dan analisa spasial. Hasil penelitian menunjukkan
terjadi perubahan sumber air yang digunakan di dusun ini. Berdasarkan analisa Time Geography, adanya pipa PDAM di dusun ini menghemat
waktu, memperpendek jalur individu, dan mengurangi kendala mobilitas Pekka dalam memenuhi kebutuhan air terutama saat kemarau.
Kata kunci : Air, Kekeringan, Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), Time Geography
Abst ract Meeting the water needs of the community in Gunung Butak Hamlet which is located in the Gunungsewu Karst area is a challenge, especially
for Women Headed Household (WHH). e aims of the study are : 1) to identify sources of clean water in Gunung Butak Hamlet to meet one year’s
needs, and 2) to analyze the fulllment eorts of water needs by WHH using Time Geography perspective. is research is a qualitative research with a
phenomenological approach. Indepth interviews with WHH and key persons using seasonal calendar research tools and interview guidelines/protocols
were conducted to gather information. Mapping was also done using GIS soware. e data was validated using a validation strategy in qualitative
research and analyzed using a structured phenomenological analysis method. Analysis from the perspective of Time Geography and spatial analysis
was implemented in the second aim of this research. e results showed that there was a change in the source of water used in this hamlet. Based
on Time Geography analysis, the presence of PDAM pipes in this hamlet saves time, shortens Pekka’s individual paths and reducing their mobility
constraint in fullling water needs, especially during the dry season.
Keywords : Water, Drought, Women Headed Household (WHH), Time Geography
ISSN 0125-1790 (print), ISSN 2540-945X (online)
Majalah Geografi Indonesia Vol 37, No 2 (2023) 147-157
DOI: 10.22146/mgi.79090
©2023 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI)
PENDAHULUAN
Air merupakan kebutuhan primer manusia. Manusia
akan melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan air
mereka sehari-hari. Upaya penyediaan air di berbagai wilayah
dilakukan melalui berbagai cara dengan mempertimbangkan
berbagai aspek. Di perkotaan India dengan populasi
penduduk yang tinggi dan ketersediaan air permukaan
yang tidak memadai, penyedian air dilakukan oleh lembaga
pemerintah setempat dengan mengambil air dari daerah lain
yang berjarak cukup jauh (Bandari & Sadhukhan, 2021).
Demikian pula di pedesaan Karzhantan, pemerintah setempat
juga mengupayakan peningkatan penyediaan air dengan
menyediakan pasokan air terpusat yang disalurkan melalui
keran dan standpipe (Omarova et al., 2019). Sementara di
Kawasan Karst Gunungsewu penyediaan air saat ini sangat
bergantung pada pemompaan air yang bersumber dari mata
air karst dan sungai bawah tanah. Hal tersebut dikarenakan
kondisi hidrologi karst yang tidak memiliki sistem air
permukaan namun memiliki sumber air tanah berupa sungai
bawah tanah yang mengalir ke laut di bawah tebing pantai
setinggi 100 m yang sulit untuk diakses (Jiang et al., 2021).
Di berbagai belahan dunia, perempuan memiliki peran
yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan air
terutama dalam upaya pengumpulan air seperti di Rwanda
(Swanson et al., 2021), di Kavre dan Sindhupalanchowk,
Nepal (Tomberge et al., 2021), dan di wilayah perdesaan
Uganda (Asaba et al., 2013). Tidak hanya dalam pengumpulan
air, perempuan Bengal memainkan peran yang sangat penting
dalam pengelolaan air terutama saat musim kemarau. Mereka
menghabiskan banyak waktu untuk kegiatan pengelolaan air
(Sengupta & Ghosh, 2022). Perempuan di wilayah semi arid
Brazil juga memiliki peran dan tanggung-jawab dalam salah
satu program penyediaan fasilitas air “satu juta penampungan
air” dengan menjadi anggota komisi air setempat (Moraes
& Rocha, 2013). Tidak jauh berbeda di Indonesia, tugas
memenuhi kebutuhan air sehari-hari adalah tugas perempuan,
terutama di perdesaan (Irianti & Prasetyoputra, 2019).
Pemetaan mobilitas penduduk di kawasan pinggiran Kota Bandung
Lili Somantri 1*)
1)Program Studi Sains Informasi Geogra, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia
*Koresponden Email: lilisomantri@upi.edu
Abstrak. Tingginya mobilitas penduduk dari kawasan pinggiran ke pusat kota menimbukan beberapa dampak negaf yakni kepadatan
penduduk, kemacetan lalu lintas, polusi udara, dan lain-lain Upaya penanggulangan mobilitas dapat dilakukan dengan perencanaan dan
pembangunan kawasan pinggiran. Sebagai langkah awal perencanaan, pemetaan ngkat dan pola mobilitas penduduk perlu dilakukan agar
penanganan yang diberikan menjadi tepat sasaran . Penelian ini menggunakan pendekatan deskripf kuantaf dengan teknik
pengumpulan data observasi dan wawancara.. Analisis spasial untuk memetakan data dilakukan dengan bantuan analisis SIG menggunakan
teknik overlay. Hasil penelian pada 7 k pengamatan pada periodik waktu 06.00 – 18.00 menunjukan bahwa arus masuk ke Kota Bandung
jauh lebih 13% besar dibanding arus keluar terutama pada hari kerja dengan total 35.896 kendaraan. Hal tersebut menunjukan bahwa ada
ketergantungan wilayah pinggiran terhadap kota Bandung terutama yang berkaitan dengan pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Dengan demikian pola penanggulangan mobilitas ialah membangun sarana dan prasarana sosial, ekonomi, dan pendidikan serta kesehatan
pada wilayah pinggiran.
Kata kunci: mobilitas penduduk; kendaraan; kawasan pinggiran; pemetaan; sig
Abstract. The high mobility of the populaon from the suburbs to the city center causes several negave impacts, namely populaon density,
trac congeson, air polluon, etc. Eorts to overcome mobility can be carried out by planning and developing suburban areas. As a rst
step in planning, mapping the level and paern of populaon mobility needs to be done so that the treatment provided is right on target. This
research uses a quantave descripve approach with observaon and interview data collecon techniques. Spaal analysis to map the data
is carried out with the help of GIS analysis using overlay techniques. The results of the study at 7 observaon points at a periodic me of 06.00
- 18.00 showed that the inow to the city of Bandung was 13% larger than the oulow, especially on weekdays with a total of 35,896
vehicles. This shows that there is a dependence of suburban areas on the city of Bandung, especially those related to work, educaon, and so
on. Thus, the paern of overcoming mobility is to build social, economic, educaonal and health facilies and infrastructure in the periphery.
Keywords: mapping; mobility; suburb
PENDAHULUAN
Mobilitas penduduk yang relave nggi menjadi salah
satu penyebab ngginya jumlah penduduk di Kota Bandung
selain dari faktor pertumbuhan alami (Widiawaty dkk.,
2019). Mobilitas tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah perubahan iklim, lingkungan yang
kurang mendukung, konik dan kelangkaan pangan,
kempangan sosial ekonomi serta globalisasi (Barbosa dkk.,
2018). Di Kota Bandung sendiri banyaknya penduduk
komuter yang bekerja di wilayah Kota Bandung menjadi
salah satu penyebab ngginya mobilitas (Somantri, 2013).
Selain bekerja, akvitas lain yang dilakukan penduduk ialah
akses pendidikan, rekreasi, belanja, pelayanan umum dan
akses layanan kesehatan di pusat Kota Bandung (Anisa,
2012). Mobilitas penduduk akan semakin meningkat seiring
berkembangnya suatu wilayah perkotaan dan interaksinya
dengan wilayah pinggiran. Sebagaimana dalam kajian
mobilitas di pinggiran Kota Yogyakarta, bahwa dengan
adanya keberadaan pusat perkembangan baru kawasan
industri Piyungan telah mendorong terjadinya mobilitas
penduduk (Sadali, 2016). Pada kajian di wilayah periurban
Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya, mobilitas
penduduk didasari oleh alasan pekerjaan dan pendidikan
karena pada Kota Tasikmalaya lengkap dengan sarana dan
prasarana penunjang kehidupan (Singkawijaya, 2017).
Begitu pula yang terjadi pada pinggiran Kota Denpasar
mobilitas penduduk dari desa ke kota didasari karena faktor
perkembangan pariwisata dan menjadi pusat kegiatan
ekonomi, sehingga banyak penduduk yang memilih bekerja
pada sektor jasa (Suamba dan Nurdiantoro, 2014).
Mobilitas penduduk di Kota Bandung cenderung
dilakukan oleh penduduk dari kawasan pinggiran. Pada
umumnya kawasan pinggiran kota bukanlah sebuah
kawasan yang mandiri dengan keterbatasan fasilitas serta
ngkat kebutuhan penduduknya yang nggi. Hal ini,
membuat wilayah pinggiran Kota Bandung memiliki
ketergantungan yang cukup besar terhadap kawasan
lainnya, khususnya kawasan pusat kota yang memiliki
kelengkapan fasilitas yang jauh lebih memadai. Faktor
ketergantungan ini mendorong terjadinya mobilitas
penduduk dari kawasan pinggiran ke daerah pusat kota
dalam rangka menemukan dan memenuhi segala kebutuhan
hidup (Barbosa dkk., 2018). Tingkat mobilitas penduduk di
ISSN 0125 - 1790 (print), ISSN 2540-945X (online)
Majalah Geografi Indonesia Vol. 36, No 2 (2022) 95-102
DOI: 10.22146/mgi.70636
©2022 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI)
Direvisi: 2022-06-05 Diterima: 2022-06-13
©2022 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI)
148 http://jurnal.ugm.ac.id/mg
PERSPEKTIF TIME GEOGRAPHY Alia Fajarwati, et al.
Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Gunung Butak
yang terletak di Kawasan Karst Gunungsewu. Pemenuhan
kebutuhan air pada setiap rumah tangga di dusun ini menarik
untuk diteliti, terutama pada rumah tangga dengan kepala
keluarga perempuan. Pemenuhan kebutuhan air di wilayah
karst dengan topogra terjal dan kering bukanlah hal mudah
bagi perempuan. Secara khusus, perspektif Time Geography
dalam konteks pengalaman Perempuan Kepala Keluarga
(Pekka) dalam upaya memenuhi kebutuhan air mereka sebagai
bentuk adaptasi hidup di wilayah yang selalu mengalami
kekeringan setiap tahunnya digunakan dalam penelitian ini.
Perspektif Time Geography cocok digunakan untuk
menganalisa pemenuhan kebutuhan air oleh Pekka karena
Time Geography berorientasi pada batasan untuk memahami
aktivitas manusia (individu) dengan menyelidiki bagaimana
mereka terlibat dalam hubungan sosial dan melakukan
aktivitas di lingkungan sik mereka dengan menggunakan
pengetahuan dan sumberdaya mereka (Ellegard, 1999).
Kendala, aktivitas dominan, dan jangkauan individu dengan
menciptakan gambar perjuangan sehari-hari antara aktivitas,
pengambilan keputusan, rintangan, dan kebijakan intervensi
dari perspektif individu dan pada geogras tingkat lokal dapat
divisualisasikan oleh Time Geography (Šveda & Madajová,
2012).
Time Geography belum pernah diimplementasikan dalam
kajian ‘Gender dan Bencana’. Time Geography dalam kajian
gender umumnya digunakan untuk menganalisa aktivitas,
pembagian ruang, mobilitas pekerja dengan meng-highlight
peran relasi gender yang mempengaruhi (Scholten et al.,
2012; Stuyck et al., 2008; Kwan, 2000; Jensen, 2014; Estrada,
2002). Di sisi lain, penelitian yang mengangkat pengalaman
Pekka dalam studi ‘Gender dan Bencana’ juga belum banyak
dilakukan. Dari hasil penelusuran literatur, dalam 10 tahun
terakhir terdapat penelitian tentang depresi, penyesuaian
keluarga dan kesehatan Pekka dalam situasi perang dan
bencana di Sri Lanka (Witting et al., 2016); kerentanan Pekka
di Afrika Selatan akibat perubahan iklim, namun fokusnya
pada dampaknya terhadap income Pekka (Flatø et al., 2017);
kerentanan dan kemampuan adaptasi Pekka Pesisir Lagonoy,
Camarines Sur, Philippines terhadap perubahan iklim
(Delno et al., 2019); serta ketangguhan dan strategi untuk
mengatasi banjir oleh Pekka di Bangladesh (Pulla & Das,
2015). Sebagian besar penelitian tentang Pekka terkait dengan
kajian kemiskinan/kesejahteraan atau ekonomi (Klasen et al.,
2015; Oginni et al., 2013; Solhi et al., 2016; Pratiwi et al., 2017).
Tujuan penelitian ini adalah 1) mengidentikasi sumber
air bersih di Dusun Gunung Butak untuk memenuhi kebutuhan
selama setahun dan 2) menganalisa upaya pemenuhan
kebutuhan air oleh Pekka menggunakan perspektif Time
Geography. Manfaat penelitian ini adalah untuk mendukung
kebijakan Pengurangan Resiko Bencana terutama bagi kaum
rentan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi. Studi fenomenologi
mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu
terhadap berbagai pengalaman hidup mereka terkait dengan
konsep atau fenomena (Creswell, 2015). Penelitian ini
dilakukan di Dusun Gunung Butak, Desa Giripanggung,
Kapanewon Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta (Gambar 1). Secara geogras daerah penelitian ini
berada pada ketinggian 261-296 meter di atas permukaan laut.
Lokasi penelitian ini termasuk dalam zona selatan Kabupaten
Gunungkidul yang merupakan kawasan Karst Gunungsewu.
Tanah karst merupakan tanah yang sulit menyimpan air
sehingga di wilayah ini sumber air sangat terbatas. Di sisi
lain, pemanfaatan sumber air yang ada masih belum optimal
yang disebabkan oleh adanya keterbatasan biaya operasional
PDAM dibanding dengan kebutuhan masyarakat setempat
(Wardhana et al., 2013).
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Sumber : Hasil Olah Data, 2021
http://jurnal.ugm.ac.id/mgi 149
Alia Fajarwati/Majalah Geogra Indonesia, Vol. 37, No. 2 (2023) 147-157
Informan dalam penelitian ini adalah seluruh Pekka yang
ada di dusun ini, yaitu 13 Pekka ditambah dengan beberapa
informan kunci, yaitu perangkat desa (Carik dan Pangripta/
Kaur Perencana Desa Giripanggung) dan Kepala Dusun
Gunung Butak. Penelitian dilakukan dalam kurun waktu 2
tahun dengan periode pengambilan data primer dilakukan
dalam 3 tahap karena masih dalam situasi pandemi, sehingga
menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah. Tahap pertama
pada bulan pada bulan Mei–Juni 2021, tahap kedua pada bulan
November 2021 dan tahap ketiga pada bulan Juli-Agustus
2022.
Untuk menjawab tujuan pertama yaitu untuk
mengidentikasi sumber air bersih di Dusun Gunung Butak
untuk memenuhi kebutuhan selama setahun, dilakukan
wawancara mendalam terhadap informan (Pekka) dengan
menggunakan alat penelitian berupa kalender musim untuk
menggali informasi mengenai pola penggunaan air tiap
rumah tangga selama setahun beserta sumbernya yang di
dusun ini sangat dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim
penghujan dan untuk menggali info detail mengenai strategi
beserta biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan
air selama setahun. Selain kalender musim, juga digunakan
alat berupa panduan/protokol wawancara untuk menggali
data yang lebih lengkap tentang berbagai informasi penting
seperti pola penggunaan dan sumber air masyarakat Dusun
Gung Butak dalam berbagai masa.
Untuk menjawab tujuan kedua, yaitu menganalisa
upaya pemenuhan kebutuhan air oleh Pekka menggunakan
perspektif Time Geography juga dilakukan wawancara
mendalam terhadap informan (Pekka) menggunakan
panduan/protokol wawancara untuk menggali data mengenai
penggunaan waktu dan ruang beserta kendala yang dihadapi
Pekka dalam upaya memenuhi kebutuhan air. Pemetaan juga
dilakukan untuk mengetahui letak/jarak rumah-rumah Pekka
dengan sumber-sumber air saat ini (Sambungan Rumah-
SR) dan dengan telaga utama (Telaga Waliklar) di Dusun
Gunung Butak. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan
soware GIS. Data spasial berupa lokasi rumah, SR, dan telaga
diperoleh dengan mengambil data koordinat menggunakan
aplikasi mobile topographer. Data rute perjalanan diperoleh
dengan mendigitalkan rute jalan sesuai dengan informasi
yang diperoleh dari informan. Sebaran geogras obyek-obyek
tersebut digunakan sebagai dasar untuk memahami jarak
tempuh dan alokasi waktu untuk memenuhi kebutuhan air.
Selain dengan Pekka, wawancara mendalam juga dilakukan
dengan key persons untuk melengkapi data.
Untuk validasi data, digunakan strategi validasi oleh
Creswell & Miller (2000) yang menggunakan 8 strategi. Creswell
(2015) merekomendasikan untuk menggunakan minimal dua
strategi validasi dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian
ini digunakan 4 strategi, yaitu: 1). Keterlibatan jangka panjang
dan pengamatan yang terus-menerus di lapangan untuk
membangun kepercayaan dengan para partisipan, mempelajari
kebudayaan, dan memeriksa kesalahan informasi yang
disebabkan oleh distorsi yang diakibatkan oleh peneliti atau
informan. 2) Tr iangulasi data dengan observasi dan wawancara
mendalam dengan key persons (Carik dan Pangripta/Kaur
Perencana Desa Giripanggung dan Kepala Dusun Gunung
Butak) juga digunakan untuk validasi data/informasi yang
diperoleh dari informan. 3) Pemeriksaan eksternal terhadap
proses riset melalui ulasan dan tanya jawab dengan sejawat;
4) Mengumpulkan pandangan dari para partisipan tentang
Gambar 2. Flowchart Metode Penelitian
Sumber: Rekonstruksi Penulis, 2023
150 http://jurnal.ugm.ac.id/mg
PERSPEKTIF TIME GEOGRAPHY Alia Fajarwati, et al.
kredibilitas dari temuan dan penafsirannya dengan cara cross
check ulang hasil analisa data dengan informan maupun
dengan key persons. Tujuan 1 dianalisa menggunakan metode
analisa fenomenologis terstruktur yang dikembangkan oleh
Moustakas (Creswell, 2015). Untuk tujuan 2 dianalisa dengan
analisa Time Geography dan analisa spasial (Gambar 2).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Terdapat 13 Pekka dari total 114 Kepala Keluarga di
Dusun Gunungbutak. Seluruh Pekka di dusun ini adalah
lansia, dengan tingkat pendidikan: tidak sekolah (usia > 60
tahun) dan lulus SD (usia 50-60 tahun). Hanya ada 1 Pekka
yang berusia > 60 tahun yang berpendidikan hingga SMK.
Seperti masyarakat Dusun Gunung Butak pada umumnya,
hampir seluruh Pekka di dusun ini menggantungkan hidupnya
dari bertani tadah hujan. Lahan pertanian umumnya sempit
dan bentuknya berundak-undak mengikuti topogra Dusun
Gunung Butak. Dari hasil observasi pada bulan Mei 2021
terlihat bahwa komoditas utama pertanian umumnya adalah
tanaman-tanaman yang dapat bertahan dengan sedikit air
seperti singkong, kacang, jagung, dan padi gogo. Setengah
Pekka di dusun ini tinggal seorang diri dan tidak memiliki
tanggungan. Mereka bekerja untuk menghidupi diri sendiri
dan beberapa juga mendapatkan bantuan nansial dari anak
atau saudaranya. Empat Pekka masih memiliki tanggungan,
namun dua diantaranya juga mendapatkan bantuan dari
anaknya (Tabel 1).
Identikasi Sumber Air Bersih di Dusun Gunung
Butak untuk Memenuhi Kebutuhan Setahun
Kawasan Karst Gunungsewu merupakan wilayah dengan
kondisi air permukaan yang sangat terbatas. Telaga dan mata
air merupakan sumber air permukaan yang ada di kawasan
ini. Dahulu, ketergantungan masyarakat setempat sebesar
80% terhadap sumber air telaga untuk memenuhi kebutuhan
domestik (Cahyadi, 2013).
Menurut sejarahnya, ada 3 periode pola dalam
pemenuhan kebutuhan air di dusun ini. Periode pertama,
kebutuhan air di dusun ini dicukupi oleh air hujan dan air
Telaga Waliklar serta beberapa telaga yang terletak di sekitar
dusun ini. Pada periode ini, penduduk menggunakan air
telaga untuk minum, memasak, mandi, mencuci bahkan
sekaligus untuk memandikan ternak. Berdasarkan wawancara
mendalam dengan Carik Desa Giripanggung pada bulan
November 2021 diperoleh informasi terdapat 5 telaga yang ada
di Desa Giripanggung, yaitu : Kenangan di Dusun Gupakan,
Waliklar di Dusun Gunung Butak, Gesik di Dusun Banjar,
Jlembrak di Dusun Klapalara, dan Towati di Dusun Regedeg.
Telaga Waliklar berada sekitar 1 kilometer dari permukiman
masyarakat Dusun Gunung Butak. Telaga Waliklar dahulu
menjadi sumber air primer masyarakat Dusun Gunung Butak
yang digunakan untuk berbagai kebutuhan. Namun, Telaga
Waliklar tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan masyarakat
sepanjang tahun. Pada musim kemarau air di telaga ini
berkurang. Menurut penelitian Darmanto & Cahyadi (2013),
waktu ketersediaan air telaga setiap tahunnya berbeda-
beda tergantung pada kondisi meteorologis. Selanjutnya,
dalam wawancara mendalam pada bulan Juli 2022, Carik
Desa Giripanggung menyatakan sekitar tahun 1983 Telaga
Waliklar mulai mengering dan sekitar 15 tahun yang lalu
telah mengering secara permanen sehingga tidak dapat lagi
digunakan masyarakat.
Menurut Haryono et al. (2009), telaga di Karst
Gunungsewu Gunungkidul saat ini sebagian besar telah
mengering dan hanya tersisa kurang dari 10%. Terdapat
tiga masalah lingkungan utama yang terdapat di telaga karst
Gunungsewu. Pertama, kapasitas simpan air yang berkurang
akibat sedimentasi. Masalah kedua yaitu kehilangan air
yang cepat akibat semakin menipisnya tanah pada daerah
tangkapan, berkurangnya vegetasi di sekitar telaga, dan
pengerukan bagian bawah telaga. Ketiga, penurunan kualitas
air akibat pencemaran dari aktivitas manusia di telaga dan
kegiatan pertanian di daerah tangkapan air telaga. Kondisi
Telaga Waliklar saat ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Periode kedua ditandai dengan mulai mengeringnya
telaga. Kebutuhan air penduduk kemudian ditambah dengan
air tangki disamping sisa air hujan dan air telaga yang makin
sedikit pada saat musim kemarau. Pada periode ini, selain
mengambil air telaga, informan I-10 (sewaktu kecil) juga harus
membeli air dari tetangga yang membeli air tangki. Harga 1
pikul (sekitar 40-50 liter) : Rp. 2.000,-. Sehari membutuhkan
3 pikul yang berarti Rp. 6.000,- untuk memenuhi kebutuhan
1 hari.
Tabel 1. Karakteristik Pekka di Dusun Gunung Butak Tahun 2021
Informan Umur Pendidikan Pekerjaan Tinggal dengan
1 55 Tidak sekolah Petani Sendiri
2 76 Tidak sekolah Petani Sendiri, rumah anak dekat
3 61 SD Berjualan di warung Sendiri
4 50 SD Petani Sendiri, keluarga tante tinggal berdampingan
5 68 Tidak sekolah Petani Sendiri
6 80 Tidak sekolah Petani Dengan mantu perempuan dan cucu
7 50 SD Petani Dengan anak laki-laki dan cucu
8 70 Tidak sekolah Petani Sendiri
9 62 SMK Petani; Pengrajin keripik ketela Dengan anak dan ibu
10 66 Tidak sekolah Petani; ART Sendiri
11 65 Tidak sekolah Tidak bekerja Dengan anak dan cucu
12 52 SD Petani Dengan anak
13 62 Tidak sekolah Petani Dengan mantu perempuan dan cucu
Sumber: Data Primer, 2021
http://jurnal.ugm.ac.id/mgi 151
Alia Fajarwati/Majalah Geogra Indonesia, Vol. 37, No. 2 (2023) 147-157
Periode tiga ditandai dengan dipasangnya pipa PDAM di
dusun ini pada tahun 2013. Dampak adanya pipa ini perlahan
namun pasti mengubah pola pemenuhan air masyarakat Dusun
Gunung Butak. Perlahan karena pada awalnya belum ada
Sambungan Rumah (SR). Jadi air dari pipa PDAM ditampung
di Hidran Umum (HU) dan kemudian masyarakat mengantri
untuk membeli air di HU ini. Selanjutnya SR mulai dipasang
pada beberapa rumah, sehingga tetangga di sekitarnya bisa
menyelang (membeli air) dari pememiliki SR. Para Pekka yang
menjadi informan dalam penelitian ini menyampaikan bahwa
mereka mulai memanfaatkan SR sejak tahun 2018. Sejak ada
pipa PDAM, kehidupan penduduk Dusun Gunung Butak
secara umum berubah, baik dari segi ekonomi maupun dalam
penggunaan waktu sehari-hari mereka.
Saat ini, masyarakat Dusun Gunung Butak menggunakan
air hujan yang ditampung di PAH, air PDAM dan terkadang
(sudah jarang dilakukan) air tangki untuk memenuhi
kebutuhan air sehari-hari. Pemanenan air hujan adalah cara
yang digunakan untuk memasok air agar dapat dimanfaatkan
pada saat krisis air terjadi dengan menggunakan pengetahuan,
keterampilan, dan bahan tradisional (Rahman et al., 2014).
Pemanenan air hujan oleh masyarakat Dusun Gunung Butak
dilakukan menggunakan bak penampungan air hujan (PAH)
(Gambar 4). Pemanenan air hujan menggunakan PAH
menjadi sumber daya air utama masyarakat Dusun Gunung
Butak sejak air Telaga Walikklar mengering.
Tempat penampungan untuk pemanenan air hujan
masyarakat di Desa Gunung Butak awalnya merupakan
bantuan dari pemerintah pada tahun 1998 berbentuk tabung
dengan volume 9.800 liter. Awalnya satu PAH digunakan
secara komunal untuk beberapa keluarga sekaligus.
Selanjutnya dalam wawancara mendalam pada bulan Juli
2022, Kepala Dusun Gunung Butak menambahkan, seiring
dengan berjalannya waktu masyarakat mulai membangun
penampungan air sendiri di lingkungan rumahnya berbentuk
balok. Dari hasil observasi pada bulan Juni 2021 terlihat
bahwa ukuran PAH yang dibangun oleh masyarakat cukup
seragam dan lebih kecil daripada PAH bantuan Pemerintah
yaitu dengan volume sebesar 7.500 liter.
Seluruh Pekka di Dusun Gunung Butak juga telah memiliki
PAH sendiri. Jumlah air yang dapat terkumpul dalam PAH
sangat tergantung dari curah hujan. Berdasarkan beberapa
penelitian, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
kinerja pemanenan air hujan antara lain yaitu pola curah
hujan, prol konsumsi air, ukuran atap, dan ukuran tempat
penyimpanan air hujan (Mazur et al., 2022).
Dari 13 Pekka, 3 diantaranya kebutuhan air dalam setahun
dapat dicukupi hanya menggunakan PAH saja karena mereka
hanya tinggal sendiri. Sedangkan, 10 Pekka lainnya menambah
air dari sumber air lainnya saat air dalam PAH sudah tidak
dapat mencukupi kebutuhan (Tabel 2). Selain PAH, saat ini
terdapat dua sumber air lain yang dapat digunakan oleh Pekka
yaitu air tangki dan air PDAM. Namun demikian, menurut
informasi Pekka sudah sekitar 2 tahun yang lalu tidak membeli
air tangki karena kebutuhan air mereka sudah tercukupi dari
air hujan (PAH) dan atau air PDAM.
Kepala Dusun Gunung Butak menyampaikan, dalam
wawancara mendalam pada bulan Mei 2021, pipa PDAM
mulai masuk ke Dusun Gunung Butak pada tahun 2013.
Dusun Gunung Butak termasuk dalam wilayah pelayanan
NASKAH UNTUK REVIEW MAJALAH GEOGRAFI INDONESIA
https://jurnal.ugm.ac.id/mgi
Halaman 7 dari 16
menyatakan sekitar tahun 1983 Telaga Waliklar mulai mengering dan sekitar 15 tahun yang lalu telah
177
mengering secara permanen sehingga tidak dapat lagi digunakan masyarakat.
178
Menurut Haryono et al. (2009), telaga di Karst Gunungsewu Gunungkidul saat ini sebagian besar telah
179
mengering dan hanya tersisa kurang dari 10%. Terdapat tiga masalah lingkungan utama yang terdapat di telaga
180
karst Gunungsewu. Pertama, kapasitas simpan air yang berkurang akibat sedimentasi. Masalah kedua yaitu
181
kehilangan air yang cepat akibat semakin menipisnya tanah pada daerah tangkapan, berkurangnya vegetasi di
182
sekitar telaga, dan pengerukan bagian bawah telaga. Ketiga, penurunan kualitas air akibat pencemaran dari
183
aktivitas manusia di telaga dan kegiatan pertanian di daerah tangkapan air telaga. Kondisi Telaga Waliklar saat
184
ini dapat dilihat pada Gambar 3.
185
186
187
188
189
190
191
192
193
Gambar 3. Kondisi Telaga Waliklar Saat Ini
194
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2021
195
Periode kedua ditandai dengan mulai mengeringnya telaga. Kebutuhan air penduduk kemudian ditambah dengan
196
air tangki disamping sisa air hujan dan air telaga yang makin sedikit pada saat musim kemarau. Pada periode ini,
197
selain mengambil air telaga, informan I-10 (sewaktu kecil) juga harus membeli air dari tetangga yang membeli
198
air tangki. Harga 1 pikul (sekitar 40-50 liter) : Rp. 2.000,-. Sehari membutuhkan 3 pikul yang berarti Rp. 6.000,-
199
untuk memenuhi kebutuhan 1 hari.
200
Periode tiga ditandai dengan dipasangnya pipa PDAM di dusun ini pada tahun 2013. Dampak adanya pipa ini
201
perlahan namun pasti mengubah pola pemenuhan air masyarakat Dusun Gunung Butak. Perlahan karena pada
202
awalnya belum ada Sambungan Rumah (SR). Jadi air dari pipa PDAM ditampung di Hidran Umum (HU) dan
203
kemudian masyarakat mengantri untuk membeli air di HU ini. Selanjutnya SR mulai dipasang pada beberapa
204
rumah, sehingga tetangga di sekitarnya bisa menyelang (membeli air) dari pememiliki SR. Para Pekka yang
205
menjadi informan dalam penelitian ini menyampaikan bahwa mereka mulai memanfaatkan SR sejak tahun
206
2018. Sejak ada pipa PDAM, kehidupan penduduk Dusun Gunung Butak secara umum berubah, baik dari segi
207
ekonomi maupun dalam penggunaan waktu sehari-hari mereka.
208
Saat ini, masyarakat Dusun Gunung Butak menggunakan air hujan yang ditampung di PAH, air PDAM dan
209
terkadang (sudah jarang dilakukan) air tangki untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Pemanenan air hujan
210
adalah cara yang digunakan untuk memasok air agar dapat dimanfaatkan pada saat krisis air terjadi dengan
211
menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan bahan tradisional (Rahman et al., 2014). Pemanenan air hujan
212
oleh masyarakat Dusun Gunung Butak dilakukan menggunakan bak penampungan air hujan (PAH) (Gambar 4).
213
Pemanenan air hujan menggunakan PAH menjadi sumber daya air utama masyarakat Dusun Gunung Butak
214
sejak air Telaga Walikklar mengering.
215
Gambar 3. Kondisi Telaga Waliklar Saat Ini
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2021
(a) (b)
Gambar 4. Penampungan Air Hujan (a) Bantuan Pemerintah dan (b) Buatan Masyarakat
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2021
152 http://jurnal.ugm.ac.id/mg
PERSPEKTIF TIME GEOGRAPHY Alia Fajarwati, et al.
PDAM Sub Sistem Bribin. Air Baku PDAM Sub Sistem
Bribin berasal dari Sungai bawah tanah Bribin. Berdasarkan
penelitian sebelumnya pada tahun 1982 menunjukkan Sungai
Bawah Tanah Bribin menjadi sumber aliran utama di Karst
Gunungsewu yang dapat menghasilkan air 1.500 liter/detik
(MacDonals and Patterns dalam Widyastuti et al., 2020). Pada
awalnya masyarakat Dusun Gunung Butak memanfaatkan
air PDAM melalui HU. Kemudian, beberapa masyarakat
mulai memasang SR. Namun, tidak semua masyarakat dapat
memasang SR dikarenakan faktor ketinggian lokasi rumah
dan biaya pemasangan.
Seluruh Pekka di dusun ini tidak memiliki SR. Mereka
mendapatkan air PDAM dengan cara membeli pada tetangga
yang telah memiliki SR. Pekka akan mulai membeli air PDAM
saat air dalam PAH dirasa sudah tidak dapat mencukupi
kebutuhan atau air di PAH sudah berkurang banyak. Hal ini
merupakan strategi para pekka agar mereka tidak sampai
kehabisan persediaan air. Rata-rata dalam satu tahun Pekka
membeli air PDAM untuk mencukupi kebutuhan selama
5 bulan pada musim kemarau. Saat membeli air PDAM,
air akan disalurkan dari rumah tetangga yang memiliki SR
menggunakan selang ke dalam tempat penampungan air
hujan.
Dapat disimpulkan telah terjadi perubahan sumber air
yang digunakan oleh Pekka di Dusun Gunung Butak untuk
memenuhi kebutuhan air mereka dalam satu tahun. Sebelum
ada air PDAM, dahulu sumber daya air yang digunakan dalam
satu tahun untuk memenuhi kebutuhan adalah air hujan
(yang belum ditampung di PAH), air Telaga Waliklar dan air
tangki. Air hujan dan air Telaga Waliklar menjadi sumber air
utama, kemudian air tangki sebagai sumber air saat terjadi
kekeringan. Sedikit berbeda dengan masyarakat Kapanewon
Semanu yang juga merupakan kawasan karst di Kabupaten
Gunungkidul. Di kapanewon ini, telaga masih memberikan
kontribusi dalam pemenuhan air masyarakat setempat
sebelum dan sesudah adanya PDAM meskipun, perannya jauh
lebih besar sebelum adanya PDAM. Selain itu, pemanenan
air hujan juga dilakukan oleh masyarakat setempat dengan
mengalirkan air hujan ke PAH (Cahyadi, 2016). Selanjutnya,
dari hasil observasi pada bulan Juni 2021 diperoleh fakta bahwa
meskipun sudah 2 tahun Pekka di Dusun Gunung Butak tidak
membeli air tangki, namun dusun ini masih diberikan bantuan
air tangki saat musim kemarau dari Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kabupaten Gunungkidul. Sebagai informasi,
pembelian air tangki dari Kapanewon Wonosari masih
dilakukan oleh masyarakat yang berada di wilayah pelayanan
PDAM sub sistem Bribin diantaranya Kapanewon Semanu,
Tepus, Rongkop, Tanjungsari, dan Girisubo terutama yang
belum mendapatkan pelayanan PDAM (Wardhana et al.,
2013). Selain itu, pembelian tangki juga menjadi alternatif
dalam pemenuhan air di musim kemarau oleh masyarakat di
Kapanewon Panggang. Air tangki berasal dari lokasi lain yang
dijual dengan harga berkisar Rp 80.000,- hingga Rp 120.000,-
dengan kapasitas 5000-6000 liter (Fatchurohman et al., 2013).
Saat ini sumber daya air utama Pekka Dusun Gung Butak
adalah air hujan dan air PDAM yang ditampung di PAH. Air
hujan yang ditampung di PAH menjadi sumber air utama dan
air PDAM menjadi sumber air saat air hujan dirasa sudah
tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Secara ekonomi, kehadiran air PDAM sangat mengurangi
pengeluaran rumah tangga untuk membeli air dari tangki.
Sudah 2 tahun ini Pekka di dusun ini tidak membeli air tangki
karena sudah tercukupi dari air PDAM sebagai tambahan air
hujan. Sejak ada air PDAM, terjadi penurunan pengeluaran
rumah tangga yang cukup signikan. Sebagai ilustrasi, harga
air tangki adalah Rp. 200.000,-/6000 liter. Dalam setahun
biasanya tiap rumah tangga membeli air 2 tangki. Oleh sebab
itu dapat disimpulkan pengeluaran tiap rumah tangga untuk
membeli air tangki adalah Rp. 400.000,- per tahun. Tabel 2
memberi ilustrasi penurunan pengeluaran untuk memenuhi
kebutuhan air per tahun atau dana yang bisa dihemat setiap
tahunnya pada setiap rumah tangga Pekka di Dusun Gunung
Butak. Besarnya dana yang bisa dihemat setiap rumah tangga
Pekka di dusun ini antara Rp. 160.000,00 – Rp. 352.000,00
setiap tahunnya.
Tabel 2. Hasil Perhitungan Penggunaan Air PDAM Oleh Pekka Dalam Setahun Tahun 2021
Kode
informan
∑ anggota
keluarga
Jumlah penggunaan
air PDAM per tahun
(kubik)
Pengeluaran untuk
PDAM per tahun*
(rupiah)
Pengeluaran untuk
Tangki per tahun
(rupiah)
Uang yang dihemat (dana
beli air tanki-air PDAM)
per tahun
I-1 3 15 180.000 400.000 220.000
I-2 1 Full PAH** 0 0 400.000
I-3 1 13,5 135.000 400.000 265.000
I-4 1 30 (bersama keluarga
tantenya)
360.000 tidak bisa diestimasi
secara individu
tidak bisa diestimasi
secara individu
I-5 3 Full PAH** 0 0 400.000
I-6 3 17,5 - 20 210.000 – 240.000 400.000 190.000 – 160.000
I-7 3 15 180.000 400.000 220.000
I-8 1 10 120.000 400.000 280.000
I-9 3 15 150.000 400,000 250.000
I-10 1 Full PAH** 0 0 400.000
I-11 3 13 156.000 400.000 244.000
I-12 1 8 - 16 96.000 – 192.000 400.000 304.000 – 208.000
I-13 1 20 240.000 400.000 160.000
*harga air PDAM 1 kubik = Rp. 10.000, 00 – Rp. 12.000,00 per kubik (1000 lt)
** Pekka hidup sendiri dan tidak menggunakan PDAM
(Sumber : Pengolahan Data, 2021)
http://jurnal.ugm.ac.id/mgi 153
Alia Fajarwati/Majalah Geogra Indonesia, Vol. 37, No. 2 (2023) 147-157
Penurunan pengeluaran untuk membeli air tersebut
meskipun cukup signikan bagi penduduk Dusun Gunung
Butak, namun ternyata harga tersebut masih di atas harga rata-
rata air PDAM di Indonesia, yaitu sekitar Rp 3.000,- per kubik,
dan bahkan juga lebih mahal daripada harga air perpipaan di
Singapura, yaitu Rp. 5.225,- per kubik (Soebagyo et al., 2013).
Analisa Upaya Pemenuhan Kebutuhan Air oleh Pekka
Dengan Perspektif Time Geography
Tiga periode pola pemenuhan kebutuhan air di Dusun
Gunung Butak menunjukkan berbagai upaya agar dapat
beradaptasi dengan lingkungannya yang rawan akan
kekeringan karena tinggal di Kawasan Karst. Pekka, seperti
halnya masyarakat Dusun Gunung Butak pada umumnya,
melakukan strategi adaptasi dengan mengatur sumber daya air
yang mereka gunakan dalam satu tahun dari berbagai sumber
air.
Selain lebih ekonomis, dari perspektif Time Geography,
adanya air PDAM menghemat penggunaan waktu untuk
memenuhi kebutuhan air karena tidak lagi harus berjalan
setiap harinya bolak-balik untuk mengambil air di telaga.
Dari informan I-10 dan I-12 diperoleh informasi jika dulu
ibu-ibu/anak perempuan harus berjalan Pulang-Pergi (PP) ke
Telaga Waliklar (+ 1 jam) dengan membawa 2 klenting (5-10
liter). Kalau laki-laki dewasa/anak-anak memikul 2 gembes/
blek (kaleng). Dalam sehari bisa 3 kali PP ke telaga untuk
mengambil air. Perjalanan mengambil air di telaga ini cukup
berat karena medan menuju telaga yang cukup terjal.
Tabel 3 menunjukkan berapa waktu yang dapat dihemat
saat ini (setelah memakai air PDAM) dibandingkan saat masih
harus mengambil air dari telaga seperti saat Pekka masih
kecil atau muda. Dari tabel 3 dapat disimpulkan waktu yang
dibutuhkan untuk perjalanan PP ke Telaga Waliklar memakan
waktu rata-rata sekitar 40 menit. Jadi waktu yang dibutuhkan
untuk sekali mengambil air di telaga adalah sekitar 1 jam,
dengan perhitungan 40 menit PP dan 20 menit mengambil
air di telaga sekaligus istirahat sejenak. Perjuangan memenuhi
kebutuhan air sehari-hari dengan berjalan menempuh jarak
yang cukup jauh sampai saat ini masih dirasakan kaum
perempuan di Rwanda yang harus berjalan jaun untuk
mengakses keran gratis (Swanson et al., 2021). Perempuan
sekaligus anak-anak di Uganda setiap hari harus berjalan
kaki sejauh setengah sampai dua kilometer (bahkan lebih)
melewati jalan yang berbatu dan berbukit dengan membawa
air di kepala atau tangan mereka. Hal tersebut menghabiskan
waktu yang cukup banyak dan memberi beban besar terhadap
kesehatan mereka. Belum lagi mereka juga mendapatkan
ancaman kekerasan sik maupun verbal saat berada di sumber
air (Asaba et al., 2013). Bahkan beban sik perempuan di
Kavre dan Sindhupalanchowk, Nepal dalam membawa air
berpengaruh pada kondisi psikologis mereka (Tomberge et al.,
2021).
Dari segi penggunaan ruang, Time Geography memahami
orang dalam hal ‘jalur’ mereka yang tidak terputus melalui
waktu dan melintasi ruang. Berasal dari publikasi penting
Hägerstrand tahun 1970, pendekatan ini memahami setiap
hal di dunia sebagai ‘gerakan’ bahkan ketika secara sik diam
karena berlalunya waktu (McQuoid & Dijst, 2012). Jalur
individu berarti perubahan alokasi atau mobilitas sik dalam
ruang dan waktu (Ira, 2001 dalam Šveda & Madajová, 2012).
Hasil penelitian menunjukkan, adanya pipa PDAM sangat
mengurangi penggunaan ruang Pekka. Hal ini karena Pekka
tidak perlu lagi berjalan ke telaga, mengantri di HU, tetapi
tinggal menyelang ke SR terdekat. Oleh sebab itu, jalur Pekka
(individual path) semakin pendek. Terlebih, jika dahulu
penduduk Dusun Waliklar harus berkali-kali ke telaga untuk
mengambil air dalam sehari. Namun sejak ada air PDAM
mereka hanya perlu 2-3 kali dalam setahun menyelang air dari
SR terdekat untuk memenuhi kebutuhan air mereka selama 1
tahun (Tabel 4).
Dapat disimpulkan, aktivitas seseorang sangat
mempengaruhi penggunaan ruangnya. Seperti halnya
perempuan pekerja pabrik tekstil di Ghent yang
menggabungkan jalur produktif dan reproduktif mereka
sehari-hari, yaitu antara rumah, tempat penitipan anak, tempat
bekerja, dan grocery store. Sementara jalur individu ibu rumah
tangga istri penambang batubara di Limburg sehari-hari lebih
sederhana pada jalur reproduktif mereka, yaitu hanya seputar
rumah, tempat belanja dan tempat bermain anak (Stuyck et al.,
2008). Perubahan atau pemendekan jalur Pekka sehari-hari
dapat dibandingkan pada Gambar 5 (jalur Pekka ke telaga)
dan Gambar 6 (jalur Pekka ke SR).
Tabel 3. Hasil Perhitungan Estimasi Waktu Perjalanan Menuju Telaga Waliklar
Informan Jarak Rumah menuju Telaga
(Km)
Jarak Satu Kali Perjalanan Pergi-
Pulang (km)
Estimasi Waktu Satu Kali Perjalanan
(Menit)
1 1,17 2,34 46,8
2 1,11 2,22 44,4
3 1,13 2,26 45,2
4 0,93 1,86 37,2
5 1,04 2,08 41,6
6 0,88 1,76 35,2
7 1,01 2,02 40,4
8 0,76 1,52 30,4
9 0,76 1,52 30,4
10 0,96 1,92 38,4
11 0,72 1,44 28,8
12 0,96 1,92 38,4
13 0,89 1,78 35,6
(Sumber :Pengolahan Data, 2021)
154 http://jurnal.ugm.ac.id/mg
PERSPEKTIF TIME GEOGRAPHY Alia Fajarwati, et al.
Lebih jauh, dalam Time Geography, Hägerstrand
mengidentikasi bahwa jalur yang ditempuh seseorang
melalui ruang dan waktu dibentuk oleh tiga kendala: kendala
kapabilitas (capability constraints), kendala berpasangan
(coupling constraints) dan kendala otoritas (authority
constraints) (Miller, 2017; Šveda & Madajová, 2012; Scholten
et al., 2012) dan (Ellegard, 1999) menambahkan kendala
pergerakan (movement constraints).
Keempat kendala dalam Time Geography tersebut
dijumpai Pekka Dusun Gunung Butak dalam upaya mereka
memenuhi kebutuan air mereka sehari-hari. Kendala
kemampuan (capability constraints) Pekka disebabkan karena
seluruh Pekka di dusun ini tidak memiliki SR dan Pekka
tidak memiliki kapasitas memperbaiki kerusakan PAH atau
talang PAH. Tidak adanya Pekka yang memiliki SR kemudian
mengakibatkan kendala berpasangan (coupling constraints),
dimana Pekka harus bergantian dengan tetangga lain untuk
menyelang air dari SR yang sama dan juga menyebabkan
kendala otoritas (authority constraints) yaitu ketergantungan
mereka pada SR tetangga dalam memenuhi kebutuhan
air mereka. Namun demikian, kendala mobilitas (mobility
constraints) dalam Pekka memenuhi kebutuhan air setiap
harinya sangat jauh berkurang sejak masuknya pipa PDAM
ke dusun ini. Jika dulunya hal tersebut merupakan masalah
besar karena harus berjalan ke Telaga Waliklar yang berjarak
+ 2 km PP dengan medan yang cukup terjal dan terkadang
harus 3 kali bolak-balik rumah-telaga, sekarang hanya perlu
menyelang air dari SR tetangga yang jaraknya jauh lebih dekat
(Fajarwati et al., 2022).
Tabel 4. Hasil Perhitungan Jarak Rumah Pekka ke SR dan ke Telaga
Informan Kode SR Jarak Rumah-SR Terdekat
(Km)
Jarak Satu Kali Perjalanan Pergi-Pulang
ke Telaga (Km)
1SR 1 0.18 2,34
2 - - 2,22
3SR 1 0.16
2,26SR 2 0.18
4SR 2 0.01
5 - - 1,86
6SR 3 0.01 2,08
SR 4 0.005 1,76
7SR 1 0.03 2,02
8SR 5 0.07 1,52
9SR 6 0.04 1,52
10 - - 1,92
11 SR 5 0.04 1,44
12 SR 7 0.01 1,92
13 SR 8 0.02 1,78
(Sumber :Pengolahan Data, 2021)
Gambar 5. Peta Rute Perjalanan dari Rumah Pekka Menuju Telaga Waliklar
Sumber : Hasil Olah Data, 2021
http://jurnal.ugm.ac.id/mgi 155
Alia Fajarwati/Majalah Geogra Indonesia, Vol. 37, No. 2 (2023) 147-157
Gambar 6. Peta Jalur Penyaluran Air PDAM dari SR Tetangga Menuju Rumah Pekka
Sumber : Hasil Olah Data, 2021
Sebagai penutup, dari perspektif Time Geography,
hasil penelitian menunjukkan kontribusi air PDAM sangat
besar bagi Pekka di dusun ini yang seluruhnya lansia yaitu
menghemat waktu dan memperpendek jalur individu
dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari dan juga sangat
mengurangi kendala mobilitas Pekka dalam memenuhi
kebutuhan air mereka sehari-hari. Oleh sebab itu, pemenuhan
kebutuhan air Pekka akan jauh lebih mudah apabila mereka
memiliki SR sendiri.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi
perubahan sumber air yang digunakan oleh Pekka di Dusun
Gunung Butak. Dahulu sumber daya air yang digunakan
dalam satu tahun untuk memenuhi kebutuhan adalah air
hujan (yang belum ditampung di PAH), air Telaga Waliklar dan
air tangki (saat terjadi kekeringan). Namun, saat ini sumber
daya air yang digunakan Pekka untuk memenuhi kebutuhan
air dalam satu tahun adalah air hujan dan air PDAM yang
ditampung di PAH. Air hujan yang ditampung di PAH
menjadi sumber air utama dan air PDAM menjadi sumber
air utama saat musim kemarau. Dari analisa Time Geography,
hasil penelitian menunjukkan bahwa masuknya pipa PDAM
di dusun ini menghemat waktu dan memperpendek jalur
individu Pekka dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari,
terutama saat mengalami kekeringan (musim kemarau). Hasil
penelitian menunjukkan perspektif Time Geography sangat
membantu dalam mengeksplorasi fenomena pemenuhan
kebutuhan air oleh Pekka beserta kendala yang dihadapi
sehingga pada masa yang akan datang dapat digunakan
untuk mendukung kebijakan Pengurangan Resiko Bencana
khususnya bagi kelompok rentan yang memiliki keterbatasan
lebih dibandingkan masyarakat pada umumnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Fakultas
Geogra UGM yang telah memberikan support dana melalui
Dana Masyarakat Tahun Anggaran 2022 sehingga penelitian
ini dapat terlaksana. Ucapan terimakasih juga penulis haturkan
kepada Kepala Desa Giripanggung beserta staf, Kepala Dusun
Gunung Butak beserta istri dan seluruh Pekka Dusun Gunung
Butak yang telah bermurah hati membantu dan memberikan
informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Terakhir,
penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Zara Hadijah,
Novi Ghitha Khairina dan Adelia Intan Septi M yang telah
membantu pengumpulan data lapangan.
KONTRIBUSI PENULIS
Penulis Pertama mendisain metode penelitian, melakukan
pengambilan data lapangan, analisis data, interpretasi hasil
dan menyusun naskah publikasi.
Penulis Kedua, Ketiga dan Keempat melakukan supervisi
pada penulis pertama dalam penelitian maupun dalam
penulisan publikasi.
Penulis Kelima melaksanakan pengambilan data lapangan,
mengolah dan analisis data, dan bersama penulis pertama
menyusun naskah publikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Asaba, R. B., Fagan, G. H., Kabonesa, C., & Mugumya, F. (2013).
Beyond Distance and Time: Gender and the Burden of Water
Collection in Rural Uganda. e Journal of Gender and Water,
2(1), 31–38. Retrieved from https://mural.maynoothuniversity.
ie/6626/1/HF-Distance-Time.pdf
Bandari, A., & Sadhukhan, S. (2021). Determinants of per capita
water supply in Indian cities with low surface water availability.
Cleaner Environmental Systems, 3(April), 100062. https://doi.
org/10.1016/j.cesys.2021.100062
Banford Witting, A., Lambert, J., Wickrama, T., anigaseelan, S., &
Merten, M. (2016). War and disaster in Sri Lanka: Depression,
family adjustment and health among women heading
households. International Journal of Social Psychiatry, 62(5),
425–433. https://doi.org/10.1177/0020764016650213
Cahyadi, A. (2013). Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap
Keberadaan dan Penyebab Kerusakan Sumberdaya Air Sungai
Bawah Tanah di Kawasan Karst Gunungsewu. Geomedia,
11(November), 253–260. https://doi.org/https://doi.
org/10.21831/gm.v11i2.3455
156 http://jurnal.ugm.ac.id/mg
PERSPEKTIF TIME GEOGRAPHY Alia Fajarwati, et al.
Cahyadi, A. (2016). Peran Telaga Dalam Pemenuhan Kebutuhan Air
Kawasan Karst Gunungsewu Pasca Pembangunan Jaringan Air
Bersih. Geomedia: Majalah Ilmiah Dan Informasi Kegeograan,
14(2), 23–33. https://doi.org/10.21831/gm.v14i2.13813
Creswell, J.W., & Miller, D. L. (2000). In Qualitative Inquiry.
eory Into Practice, 39(3), 124–130. https://doi.org/10.1207/
s15430421tip3903
Creswell, J. W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih
di antara Lima Pendekatan (Edisi Ke-3). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Darmanto, D., & Cahyadi, A. (2013). Pengaruh Kondisi Meteorologis
terhadap Ketersediaan Air Telaga di Sebagian Kawasan Karst
Kabupaten Gunungkidul (Studi Analisis Neraca Air Meteorologis
untuk Mitigasi Kekeringan). Forum Geogra, 1(2013), 93–98.
Retrieved from http://hdl.handle.net/11617/3440
De Moraes, A. F. J., & Rocha, C. (2013). Gendered waters: e
participation of women in the “One Million Cisterns” rainwater
harvesting program in the Brazilian Semi-Arid region. Journal
of Cleaner Production, 60, 163–169. https://doi.org/10.1016/j.
jclepro.2013.03.015
Delno, A. N., Dizon, J. T., Quimbo, M. A., & Depositario, D.
P. T. (2019). Social Vulnerability and Adaptive Capacity to
Climate Change Impacts of Women-headed Households in the
Philippines: a Comparative Analysis. Journal of Environmental
Science and Management, 54(December), 36–54. https://doi.org/
https://doi.org/10.47125/jesam/2019_2/05
Ellegard, K. (1999). A time-geographical approach to the study
of everyday life of individuals - a challenge of complexity.
GeoJurnal, 48(3), 167–175. https://doi.org/https://doi.
org/10.1023/A:1007071407502
Estrada, S. L. (2002). WORK, GENDER, AND SPACE : WOMEN’S
HOME-BASED WORK IN TIJUANA, MEXICO. Journal of
Developing Societies, 18(2–3), 169–195. Retrieved from https://
doi.org/10.1177/0169796X0201800208
Fajarwati, A., Sukamdi, S., Hizbaron, D. R., Listyaningsih, U., Hadijah,
Z., & Rachmadani, P. (2022). Exercising Time Geography
in gender and disaster. Discourse through Women Headed
Household experience during drought. Human Geographies,
16(1), 53–70. https://doi.org/10.5719/hgeo.2022.161.4
Fatchurohman, H., Cahyadi, A., Nugraha, H., & Wacano, D.
(2013). Strategi Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana
Kekeringan di Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul.
In Sudarmadji, E. Haryono, T. N. Adji, M. Widyastuti, R.
Harini, E. Nurjani, … H. Nugraha (Eds.), Ekologi Lingkungan
Kawasan Karst Indonesia: Menjaga Asa Kelestarian
Kawasan Karst Indonesia (p. 81). Yogyakarta: Deepublish.
Retrieved from https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=
&id=vOKACAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA73&dq=%22tangki
+air%22+di+Gunungkidul&ots=mAJjCLdbcb&sig=B7RT4
XISF0_RILcyAzxsE5VK1AI&redir_esc=y#v=onepage&q=
%22tangkiair%22di Gunungkidul&f=false
Flatø, M., Muttarak, R., & Pelser, A. (2017). Women, Weather, and
Woes: e Triangular Dynamics of Female-Headed Households,
Economic Vulnerability, and Climate Variability in South
Africa. World Development, 90(179552), 41–62. https://doi.
org/10.1016/j.worlddev.2016.08.015
Haryono, E., Adji, T. N., & Widyastuti, M. (2009). Enviromental
Problems of Telaga ( Doline Pond ) in GunungSewu Karst , Java
Indonesia. Proceeding 15th International Congress of Speleology,
II, 1112–1116. Retrieved from ttps://www.researchgate.net/
publication/283494703_ENVIRONMENTAL_PROBLEMS_
OF_TELAGA_DOLINE_POND_IN_GUNUNSEWU_
KARST_JAVA_INDONESIA
Irianti, S., & Prasetyoputra, P. (2019). e struggle for water in
indonesia: e role of women and children as household water
fetcher. Journal of Water Sanitation and Hygiene for Development,
9(3), 540–548. https://doi.org/10.2166/washdev.2019.005
Jensen, K. B. (2014). Space-time geography of female live-in child
domestic workers in Dhaka , Bangladesh. Children’s Geographies,
12(2), 154–169. https://doi.org/10.1080/14733285.2013.783986
Jiang, G., Chen, Z., Siripornpibul, C., Haryono, E., Nguyen, N. X., Oo,
T., … Guo, F. (2021). e karst water environment in Southeast
Asia: characteristics, challenges, and approaches. Hydrogeology
Journal, 29(1), 123–135. https://doi.org/10.1007/s10040-020-
02267-y
Klasen, S., Lechtenfeld, T., & Povel, F. (2015). A Feminization of
Vulnerability? Female Headship, Poverty, and Vulnerability in
ailand and Vietnam. World Development, 71, 36–53. https://
doi.org/10.1016/j.worlddev.2013.11.003
Kwan, M. P. (2000). Gender dierences in space-time constraints.
Area, 32(2), 145–156. Retrieved from https://www.jstor.org/
stable/20004053
Mazur, Gwoździej, J., Jadwiszczak, P., Kaźmierczak, B., Kozka, K.,
Sokołowska, Joanna-Struk Wartalska, K., & Wdowikowski, M.
(2022). e impact of climate change on rainwater harvesting
in households in Poland. Applied Water Science, 12(2), 1–15.
https://doi.org/10.1007/s13201-021-01491-5
McQuoid, J., & Dijst, M. (2012). Bringing emotions to time geography:
e case of mobilities of poverty. Journal of Transport Geography,
23, 26–34. https://doi.org/10.1016/j.jtrangeo.2012.03.019
Miller, H. J. (2017). Time Geography and Space-Time Prism.
International Encyclopedia of Geography, 1–19. https://doi.
org/10.1002/9781118786352.wbieg0431
Oginni, A., Ahonsi, B., & Ukwuije, F. (2013). Are female-headed
households typically poorer than male-headed households in
Nigeria? Journal of Socio-Economics, 45(2013), 132–137. https://
doi.org/10.1016/j.socec.2013.04.010
Omarova, A., Tussupova, K., Hjorth, P., Kalishev, M., &
Dosmagambetova, R. (2019). Water supply challenges in rural
areas: A case study from central Kazakhstan. International
Journal of Environmental Research and Public Health, 16(5).
https://doi.org/10.3390/ijerph16050688
Pratiwi, N. S., Rahmawati, Y. D., & Setiono, I. (2017). Gender Equality
in Climate Change Adaptation : A Case of Cirebon , Indonesia.
e Indonesian Journal of Planning and Development, (October).
https://doi.org/10.14710/ijpd.2.2.74-86
Pulla, V., & Das, T. K. (2015). Coping and Resilience: Women Headed
Households in Bangladesh Floods. International Journal of
Social Work and Human Services Practice, 3(5), 169–175. https://
doi.org/10.13189/ijrh.2015.030502
Rahman, S., Khan, M. T. R., Akib, S., Din, N. B. C., Biswas, S. K.,
& Shirazi, S. M. (2014). Sustainability of rainwater harvesting
system in terms of water quality. e Scientic World Journal,
2014. https://doi.org/10.1155/2014/721357
Scholten, C., Friberg, T., & Sanden, A. (2012). Re-Reading Time-
Geography from a Gender Perspective: Examples from
Gendered mobility. Tijdschri Voor Economische En Sociale
Geograe, 103(5), 584–600. https://doi.org/10.1111/j.1467-
9663.2012.00717.x
Sengupta, N., & Ghosh, K. (2022). Women’s role in water resource
management: a case study on upper catchment area of
Kangsabati river basin under Purulia district, West Bengal.
Sustainable Water Resources Management, 8(4), 1–14. https://
doi.org/10.1007/s40899-022-00685-2
Soebagyo, Rachmaningtyas, L., Kusumawardani, D., & Utami, R. B.
(2013). Akses Terhadap Air Perpipaan di Indonesia: Kajian Sosio-
Ekonomi. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 23(1), 38–46. Retrieved
from https://media.neliti.com/media/publications/3980-ID-
akses-terhadap-air-perpipaan-di-indonesia-kajian-sosio-
ekonomi.pdf
Solhi, M., Hamedan, M. S., & Salehi, M. (2016). A PRECEDE-
PROCEED based educational intervention in quality of life
of women-headed households in Iran. Medical Journal of the
Islamic Republic of Iran, 30(1).
http://jurnal.ugm.ac.id/mgi 157
Alia Fajarwati/Majalah Geogra Indonesia, Vol. 37, No. 2 (2023) 147-157
Stuyck, K., Luyten, S., Kesteloot, C., Meert, H., & Peleman, K. (2008).
A Geography of Gender Relations: Role Patterns in the Context
of Dierent Regional Industrial Development. Regional Studies,
42(1), 69–82. https://doi.org/10.1080/00343400701291492
Šveda, M., & Madajová, M. (2012). Changing Concepts of Time
Geography in the Era of Information and Communication
Technologies. Acta Universitatis Palackianae …, 43(1), 15–30.
https://doi.org/202600429
Swanson, M., Alvarez, H., Sample, A., & Bruyere, B. (2021).
Understanding Barriers and Challenges for Women ’ s Access to
Water in Northern Rwanda. e Journal of Gender and Water, 8.
Retrieved from https://repository.upenn.edu/cgi/viewcontent.
cgi?article=1080&context=wh2ojournal
Tomberge, V. M. J., Bischof, J. S., Meierhofer, R., Shrestha, A., &
Inauen, J. (2021). e physical burden of water carrying and
women’s psychosocial well-being: Evidence from rural nepal.
International Journal of Environmental Research and Public
Health, 18(15). https://doi.org/10.3390/ijerph18157908
Wardhana, I. W., Budihardjo, M. A., & P, S. A. (2013). Kajian
Sistem Penyediaam Air Bersih Sub Sistem Bribin Kabupaten
Gunungkidul. Jurnal Presipitasi : Media Komunikasi Dan
Pengembangan Teknik Lingkungan, 10(1 Maret), 18–29. https://
doi.org/https://doi.org/10.14710/presipitasi.v10i1.18-29
Widyastuti, M., Irshabdillah, M. R., & Firizqi, F. (2020). Water
quality analysis of bribin underground river as the source of
raw water for a government-owned water company (pdam) in
the bribin management unit, Gunungkidul regency-Indonesia.
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 451(1).
https://doi.org/10.1088/1755-1315/451/1/012065