Kabupaten Pekalongan merupakan daerah produsen batik yang terkemuka terutama dari aspek bisnis, pada tahun 1999 omset batik Pekalongan Rp. 400 juta per hari (Kompas, Edisi Jumat 25 September 2009). Hal tersebut tidak luput dari perkembangan dan transformsi budaya dalam suatu daerah, dari hasil trasformasi budaya melalui proses akulturasi (Kuntjaraningrat, 1990), struktur masyarakat pekalongan
... [Show full abstract] pesisir memiliki ciri yang berbeda dari masyrakat pedalaman (Soekamto,1983), sehingga masyrakat Pekalongan mampu berfikir tentang multietnis dan mewarisi kerajinan batik peranakan karya Oey Soe Tjoen. Pada tahun 1925 Oey Soe Tjoen memulai usaha sebagai pengrajin batik tulis, kemudian berkembang menjadi salah satu kerajinan batik tulis yang banyak diminati oleh masyarakat pada tahun 1935. Pada proses analisa dengan metode kualitatif dan eksplorasi lapangan penulis menyimpulkan hal tersebut dikarenakan proses pengerjaan batik yang cukup unik, motif batik digambar dari generasi ke generasi berbeda - beda esensinya dan dilakukan dengan proses tulis. Pada tahun 2002 batik pesisir Oey Soe Tjoen mengalami masa kemerosotan penjualan, salah satu penyebabnya adalah tidak ada metode pembaharuan dalam mempertahankan dan mengembangkan batik tulis tersebut, proses pengerjaan yang lama dan harga yang terlampau mahal sehingga batik tulis generasi pertama tidak dapat dipertahankan. Metode pengembangannya adalah dengan teknik digitalisasi melalui pembuatan vector untuk diterapkan pada platfoam alat Batik Cap agar dapat mempertahankan motif tersebut, sehingga batik tetap terjaga turun temurun dan dikembangkan untuk produktifitas dalam jumlah besar. Terkait dengan produsen functional clothing pada Make Indonesia 4.0 pengembangan produksi akan lebih mudah dengan digitalisasi menggunakan teknik vector yang di terapkan dibeberapa proses mencetak batik dalam jumlah besar dan harga terjangkau