ArticlePDF Available

KESESUAIAN PRINSIP RETALIASI DALAM KASUS PERANG PERDAGANGAN ANTARA AMERIKA SERIKAT DAN TIONGKOK

Authors:

Abstract

div>Penelitian ini menggambarkan dan meneliti masalah tentang apakah tindakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap China atau sebaliknya sesuai dengan aturan pembalasan dalam perdagangan internasional. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif preskriptif. Data sekunder yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, instrumen penelitian dalam bentuk Pemahaman Penyelesaian Sengketa, Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan, Perjanjian tentang Safeguards, AS-China Relation Act, kemudian analisis teknis yang digunakan adalah metode deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh AS disebut solusi perdagangan dalam bentuk proteksionisme yang mengacu pada tindakan pengamanan dalam kerangka hukum WTO. Solusi perdagangan bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif impor pada produk dalam negeri. Selanjutnya, tindakan yang diambil oleh Tiongkok adalah salah satu contoh tindakan perbaikan dalam bentuk pembalasan. </div
97
Kesesuaian Prinsip Retaliasi dalam Kasus Perang Perdagangan Antara...
Belli Ac Pacis. Vol. 8 No. 2, Desember 2022
KESESUAIAN PRINSIP RETALIASI DALAM KASUS PERANG PERDAGANGAN
ANTARA AMERIKA SERIKAT DAN TIONGKOK
Gina Nafsah Savira
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
E-mail: ginasavira@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini menggambarkan dan meneliti masalah tentang apakah tindakan yang dilakukan oleh
Amerika Serikat terhadap China atau sebaliknya sesuai dengan aturan pembalasan dalam perdagangan
internasional. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif preskriptif. Data sekunder yang digunakan
adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
penelitian kepustakaan, instrumen penelitian dalam bentuk Pemahaman Penyelesaian Sengketa,
Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan, Perjanjian tentang Safeguards, AS-China Relation Act,
kemudian analisis teknis yang digunakan adalah metode deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh AS disebut solusi perdagangan dalam bentuk proteksionisme
yang mengacu pada tindakan pengamanan dalam kerangka hukum WTO. Solusi perdagangan
bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif impor pada produk dalam negeri. Selanjutnya, tindakan
yang diambil oleh Tiongkok adalah salah satu contoh tindakan perbaikan dalam bentuk pembalasan.
Kata Kunci: Prinsip Pembalasan, Perang Dagang, Amerika Serikat-Tiongkok, Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO).
Abstract
This research describes and examines the problem about whether the action taken by the United
States against China or vice versa is in accordance with retaliation rules in international trade. This
research is prescriptive normative legal research. Secondary data used are primary, secondary and
tertiary legal materials. Data collection techniques used are library research, research instruments in
the form of the Dispute Settlement Understanding, General Agreement on Tariffs and Trade, Agreement
on Safeguards, U.S. - China Relation Act, then the technical analysis used is deductive method. The
results showed that the economic policies carried out by the US are called trade remedies in the form of
protectionism which refers to safeguard actions within the legal framework of WTO. The trade remedies
aimed to minimize the negative impact of imports on domestic products. Furthermore, actions taken by
China are one example of the remedial actions in the form of retaliation.
Keywords: Retaliation Principle, Trade War, United States of America-China, World Trade Organization
(WTO).
pukul 14.00 WIB). Selanjutnya pada tahun 1979,
perdagangan Amerika Serikat dan Tiongkok
meningkat pesat setelah kedua negara tersebut
menjalin hubungan diplomatik yang ditandai
dengan penandatanganan perjanjain bilateral
mengenai normalisasi hubungan antara Amerika
Serikat dan Tiongkok, isi perjanjian tersebut
mengemukakan bahwa kedua negara tersebut
sepakat untuk saling mengakui satu sama lain
serta saling membina hubungan diplomatik
antara keduanya (Taniputera, 2008: 594-595).
Perkembangan hubungan ekonomi antara
Amerika Serikat dan Tiongkok kemudian semakin
berkembang pada bulan Oktober 2000 ditandai
A. PENDAHULUAN
Hubungan diplomatik antara Amerika
Serikat dan Tiongkok pertama kali mulai
terlihat jelas pada tahun 1972, pada saat itu
Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon
mengunjungi Tiongkok dan bertemu dengan
Presiden Tiongkok, Mao Zedong. Pertemuan
tersebut berakhir dengan penandatanganan
Shanghai Communique yang bertujuan untuk
meningkatkan hubungan Amerika Serikat dan
Tiongkok dengan memungkinkan kedua negara
tersebut untuk membahas masalah-masalah
sulit, khususnya Taiwan (www.cfr.org/timeline/
us-relations-china diakses pada 20 April 2020
98
Kesesuaian Prinsip Retaliasi dalam Kasus Perang Perdagangan Antara...
Belli Ac Pacis. Vol. 8 No. 2, Desember 2022
dengan penandatagangan U.S.-China Relation
Act oleh Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton.
Peraturan tersebut merupakan Undang-Undang
Kongres Amerika yang berisi pemberian status
kepada Tiongkok sebagai permanent normal
trade relation (PNTR) (www.cfr.org/timeline/
us-relations-china diakses pada 20 April 2020
pukul 14.00 WIB). Selain itu, undang-undang ini
juga mencakup apa saja yang disebut sebagai
tindakan “anti-dumping” yang dirancang untuk
mencegah masuknya barang-barang sejenis atau
produk yang kompetitif dari Tiongkok dengan
harga yang murah yang dapat merugikan industri/
pasar domestik Amerika serikat. Dengan adanya
undang-undang tersebut juga memudahkan jalan
bagi Tiongkok untuk bergabung dalam WTO.
Hal tersebut terbukti pada tahun 2001 Tiongkok
resmi menjadi anggota WTO.
Hasil dari pengadaan normalisasi per-
dagangan permanen tersebut terlihat pada
peningkatan perdagangan barang antara Amerika
Serikat dan Tiongkok, yakni yang sebelumnya
pada tahun 1978 (sebelum perjanjian diadakan),
total perdagangan barang Amerika Serikat dan
Tiongkok (ekspor ditambah impor) adalah $1
miliar, Tiongkok menempati peringkat 32 (tiga
puluh dua) pasar ekspor dan peringkat 57 (lima
puluh tujuh) sumber impor Amerika Serikat (Kim,
et.al., 2014: 65-66), kemudian setelah perjanjian
diadakan, perdagangan antara kedua negara
tersebut mengalami peningkatan antara tahun
1980 dan 2004 dari $5 miliar menjadi $231 miliar
(Batubara, 2019: 1). Selanjutnya pada tahun
2017 total perdagangan barang antara Amerika
Serikat dan Tiongkok mencapai $635 milliar,
hal tersebut menjadikan Tiongkok sebagai mitra
dagang terbesar kedua, pasar ekspor terbesar
ketiga, dan sumber impor terbesar bagi Amerika
Serikat (Morrison, 2018: 2). Dalam periode yang
sama, ekonomi Tiongkok telah naik empat kali
lipat dari tahun 2001 yang semula merupakan
negara dengan ekonomi terbesar keempat
menjadi terbesar kedua di dunia saat ini (Meltzer
dan Shenai, 2019: 7).
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang
sangat pesat dalam waktu yang tergolong
singkat membuat pandangan Amerikat Serikat
yang semula menganggap Tiongkok sebagai
mitra telah berubah menjadi pesaing, puncaknya
terjadi pada saat pemerintahan Presiden Amerika
saat ini, Donald Trump. Pada 22 Maret 2018,
Presiden Trump menandatangani “Memorandum
on Actions by the United States Related to the
Section 301 Investigation” (Morrison, 2019:
1). Section 301 hingga 310 dari Trade Act of
1974 (Undang-Undang Perdagangan Amerika
Serikat), secara umum disebut sebagai “Section
301” adalah salah satu dari undang-undang
utama yang digunakan oleh Amerika Serikat
untuk menegakkan hak negaranya di bawah
perjanjian perdagangan dan mencegah tindakan
perdagangan negara asing yang “tidak adil”
terhadap barang ekspor Amerika Serikat.
Selanjutnya pada November 2018 diadakan
laporan lanjutan mengenai penilaian hasil
penyelidikan tindak lanjut terhadap praktik dagang
Tiongkok guna menilai apakah Tiongkok telah
mengubah praktik dagangnya yang dianggap
“tidak adil” oleh Amerika Serikat, namun USTR
meyimpulkan bahwa Tiongkok tetap melakukan
praktik untuk mengakses dan memperoleh
teknologi dari Amerika Serikat (https://ustr.gov/
sites/default/files/enforcement/301Investigatio
ns/301%20Report%20Update.pdf diakses pada
21 April 2020 pukul 10.00 WIB).
Dengan indikasi-indikasi tersebut, maka
menjadi salah satu dasar bagi Amerika Serikat
untuk membenarkan tindakan yang paling
signikan yang telah dilakukan saat ini yaitu
“proteksi” terhadap perekonomian negaranya
dari Tiongkok. Dasar hukum lainnya yang
dijadikan alasan pembenaran oleh Amerika
Serikat adalah The Trade Expansion Act of
1962 (Undang-Undang Perluasan Perdagangan
Amerika Serikat) Section 232 yang berlandaskan
justikasi “keamanan nasional”. Undang-Undang
tersebut menyatakan bahwa dalam keadaan
tertentu, Presiden memungkinkan untuk
mengenakan tarif berdasarkan rekomendasi
dari Menteri Perdagangan Amerika Serikat
jika perdagangan internasional “mengancam
atau mengganggu keamanan nasional”. Dalam
sejarah perdagangan Amerika Serikat, peraturan
ini pernah digunakan dua kali yakni pada tahun
1979 dan 1982 dan setelahnya tidak pernah
digunakan sejak pembentukan WTO pada tahun
1995, sampai akhirnya digunakan lagi saat ini
oleh Presiden Trump.
Tindakan proteksi yang dilakukan Amerika
Serikat pertama kali dimulai pada bulan Januari
2018 yaitu menaikan tarif atas panel surya serta
mesin cuci dari Tiongkok. Tindakan proteksi ini
juga menimbulkan balasan dari pihak Tiongkok.
Berikut rangkuman peristiwa yang terjadi setelah
Trump menaikan tarif, antara lain: (https://www.
piie.com/sites/default/files/documents/trump-
trade-war-timeline.pdf diakses pada 27 April
2020 pukul 22.00 WIB):
a. 8 Maret 2018, Trump mengumumkan bahwa
Amerika Serikat akan mengenakan tarif
99
Kesesuaian Prinsip Retaliasi dalam Kasus Perang Perdagangan Antara...
Belli Ac Pacis. Vol. 8 No. 2, Desember 2022
impor tambahan untuk baja (sebesar 25%)
dan aluminium (10%) dari Tiongkok.
b. 22 Maret 2018, sesuai investigasi Section
301, Amerika Serikat mengumumkan
rencana untuk menerapkan tarif tambahan
serta pembatasan investasi di Tiongkok.
c. 2 April 2018, Tiongkok menaikkan bea
(15% hingga 25%) pada impor dari Amerika
Serikat senilai sekitar $3 miliar, sebagian
besar menargetkan produk pertanian.
d. 6 Juli 2018, Trump menaikkan tarif sebesar
25% pada impor senilai $ 34 miliar dari
Tiongkok.
e. 10 Juli 2018, Perwakilan Dagang Amerika
Serikat (USTR) mengancam akan
menaikkan tarif sebesar 10% dari produk-
produk Tiongkok yang senilai dengan $ 200
miliar.
f. 23 Agustus 2018, Amerika Serikat
mengenakan tarif pada $ 16 miliar barang
impor dari Tiongkok sebesar 25%.
g. Pada tanggal yang sama, Tiongkok
segera merespons hal yang sama dengan
mengenakan tarif sebesar 25% pada $16
miliar barang impor dari Amerika Serikat.
h. 24 September 2018, Amerika Serikat
mengenakan tarif sebesar 10% pada barang
impor dari Tiongkok yang bernilai $200
miliar.
i. Pada tanggal yang sama, Tiongkok
mengenakan tarif sebesar 5%-10% pada
barang impor Amerika Seikat yang bernilai
$60 miliar.
j. 10 Mei 2019, Amerika Serikat menaikkan
tarif yang semula 10% menjadi 25% pada
barang impor Tiongkok yang bernilai $200
miliar.
k. 1 Juni 2019, Tiongkok membalas tindakan
Amerika Serikat dengan menaikkan tarif
sebesar 5%-10% terhadap $36 miliar dari
nilai barang $60 miliar pada bulan September
2018.
l. 15 Januari 2020, penandatanganan
Economic and Trade Agreement Between
the Government of the United States and
the Government of the People’s Republic
of China” oleh pemerintah Amerika Serikat
dan Tiongkok untuk menetapkan tarif baru
Amerika Serikat atas impor dari Tiongkok
untuk masa mendatang.
m. 14 Februari 2020, implementasi “Phase One
Agreement” yang merupakan bagian dari
perjanjian.
n. 3 Maret 2020, Perang dagang menyebabkan
pembeli Amerika Serikat terhadap
produk Tiongkok berkurang, mengancam
kekurangan produk medis yang digunakan
untuk mengobati coronavirus (COVID-19).
Analisis menunjukkan bahwa pembelian
produk medis AS dari Tiongkok yang semula
dikenakan tarif 25% turun menjadi 16%
antara 2017 dan 2019.
Secara umum, perdagangan internasional
diatur melalui perjanjian internasional yang
terkandung dalam World Trade Organization
(WTO). Salah satu hasil dari dibentuknya
WTO adalah diadopsinya Dispute Settlement
Mechanism. Dispute Settlement Mechanism
tidak lagi mengandalkan proses negosiasi
tetapi lebih kepada pembentukan panel dalam
menegakkan aturan (Puspita, 2017:54). Salah
satu mekanisme dalam menyelesaikan sengketa
perdagangan adalah dengan menggunakan
tindakan retaliasi. Pada prinsipnya, tindakan
retaliasi adalah tindakan balasan sebagai akibat
dari adanya kebijakan perdagangan dari negara
lain yang merugikan kepentingan perdagangan
suatu negara (Puspita, 2017: 58). Selanjutnya,
peraturan terkait tindakan retaliasi tercantum
pada Pasal 22 Dispute Settlement Understanding
(DSU)-WTO.
Meskipun terdapat prinsip retaliasi, perlu
diingat bahwa Penerapan tindakan retaliasi
sendiri, secara langsung maupun tidak langsung,
memiliki dampak merusak perdagangan (trade
destructive), serta akan berdampak tidak hanya
bagi negara-negara yang terlibat, tetapi juga pada
mitra dagang negara-negara tersebut. Maka dari
itu dalam hal penerapannya diharuskan sesuai
dengan aturan-aturan yang berlaku. Berdasarkan
latar belakang di atas, tulisan ini akan membahas
mengenai kesesuaian prinisip retaliasi dalam
kasus perang dagang antara Amerika Serikat
dan Tiongkok.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum
normatif. Data yang digunakan adalah data
sekunder yang terdiri atas bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier. Bahan hukum primer terdiri dari
perjanjian-perjanjian internasional yang terkait
dengan retaliasi serta peraturan perundang-
undangan nasional negara Amerika Serikat dan
100
Kesesuaian Prinsip Retaliasi dalam Kasus Perang Perdagangan Antara...
Belli Ac Pacis. Vol. 8 No. 2, Desember 2022
Tiongkok. Bahan hukum sekunder terdiri dari
bahan-bahan pustaka berupa artikel jurnal, buku
teks, laporan-laporan, artikel prosiding serta
bahan dari internet. Sementara bahan hukum
tersier terdiri dari kamus. Teknik pengumpulan
data menggunakan studi pustaka, dan teknik
validasi data menggunakan kritik sumber. Semua
data kemudian dianalisis menggunakan metode
penafsiran hukum.
C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Kedudukan Prinsip Retaliasi pada
Perang Dagang antara Amerika
Serikat dan Tiongkok
Ketentuan terkait retaliasi diatur
dalam DSU tentang retaliasi pada Pasal
22 ayat (1) dan (2) yang menyatakan
bahwa Retaliasi atau tindakan
pembalasan dalam perdagangan antar
negara atau perdagangan internasional
tercantum dalam kerangka WTO adalah
sebuah tindakan yang dilakukan oleh
negara anggota sebagai akibat dari
tidak tercapainya suatu kesepakatan
pada proses resolusi suatu konik atau
sengketa perdagangan internasional.
Tindakan tersebut dilakukan sebagai
upaya terakhir dalam penyelesaian
suatu proses resolusi konik
perdagangan, atau tercapainya upaya
pemenuhan konsesi dalam waktu yang
telah ditentukan (Pelawi, 2007: 1).
Secara prinsip, menurut Pasal
22 ayat 3 Dispute Settlement Under-
standing (DSU), retaliasi terdapat 3
jenis yakni:
a. Parallel retaliation yaitu retaliasi
yang dilakukan terhadap sektor
perdagangan yang sama di mana
pelanggaran itu dilakukan.
b. Crosssector retaliation yaitu
retaliasi yang dilakukan terhadap
sektor perdagangan yang berbeda
tetapi masih dalam perjanjian
perdagangan yang sama. Retaliasi
ini dilakukan jika Parallel retaliation
dianggap tidak praktis atau efektif
untuk menangguhkan konsesi.
c. Crossagreement retaliation, yaitu
retaliasi yang dilakukan terhadap
sektor dan perjanjian yang
berbeda. Hal ini dilakukan jika baik
Parellel Retaliation dan Cross
sector retaliation tidak berhasil.
Sementara dalam kerangka
General Agreement on Tariff and Trade
(GATT), kerangka hukum perdagangan
sebelum WTO terbentuk pada tahun
1995, instrumen retaliasi sudah lebih
dahulu dikenal dalam Pasal XXIII GATT.
Dalam GATT, retaliasi berarti adalah
suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu
negara di mana ekspor dari negaranya
dikenakan kenaikan tarif masuk dan
hambatan perdagangan lainnya yang
diberlakukan oleh pemerintah suatu
negara yang lain. Dalam hal ini, berarti
GATT mengizinkan suatu negara
yang merasa dirugikan oleh tindakan
negara lain untuk melakukan tindakan
pembalasan secara terbatas kepada
negara yang menjadi penyebab
kerugian perdagangan negaranya
tersebut. Namun, hal ini baru bisa
dilakukan setelah melakukan konsultasi
dengan negara-negara anggota atau
negara yang sama-sama terkena imbas
dari tindakan yang dilakukan oleh suatu
negara tersebut (Pelawi, 2007: 2).
Retaliasi yang dilakukan baik
oleh Tiongkok terhadap Amerika
Serikat maupun sebaliknya hingga
menimbulkan perang perdagangan
antara kedua negara tersebut, jika
dilihat dari jenisnya, cenderung merujuk
pada retaliasi silang/cross retaliation.
Hal tersebut terbukti dari penerapan
retaliasi masing-masing negara yang
ditujukan pada sektor perdagangan
yang berbeda, baik dalam perjanjian
yang sama maupun berbeda. Kedua
negara tersebut cenderung menyerang
sektor-sektor perdagangan yang
menjadi keunggulan komparatif/
dikuasai oleh masing-masing negara.
Hal tersebut dikarenakan tujuan utama
dari retaliasi adalah untuk “mendorong”
suatu negara pelanggar agar mematuhi
peraturan WTO sebagaimana tersirat
pada Pasal 22 ayat 1 DSU (Siyu, 2013:
11). Dengan kata lain, retaliasi dilakukan
untuk menimbulkan efek jera bagi
pelanggarnya, maka dari itu retaliasi
terhadap sektor yang merupakan
keunggulan komparatif suatu negara
adalah yang paling efektif.
Retaliasi yang pertama kali
dilakukan oleh Tiongkok terhadap
Amerika Serikat sebenarnya me-
101
Kesesuaian Prinsip Retaliasi dalam Kasus Perang Perdagangan Antara...
Belli Ac Pacis. Vol. 8 No. 2, Desember 2022
rupakan respon terhadap keputusan
Amerika Serikat untuk mengkalibrasi
penggunaan tarifnya secara sepihak
(unilateral) berupa penerapan kebijakan
proteksionsime dengan menaikan
tarif pada barang-barang impor
mitra dagangnya, terutama barang
impor dari Tiongkok. Hal tersebut
merusak kesepakatan Amerika Serikat
dalam WTO. Meskipun demikian,
tindakan retaliasi yang dilakukan
Tiongkok terhadap Amerika Serikat
menunjukkan jumlah tarif yang lebih
rendah dibandingkan dengan tarif
yang dikenakan Amerika Serikat
terhadap negaranya. Pemerintah
Tiongkok menyatakan tidak akan
terburu-buru untuk menyaingi nilai tarif
yang diberlakukan Amerika Serikat
serta akan melakukan langkah-
langkah balasan yang rasional
(https://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20180804133135-532-319473/
china-kenakan-tarif-balasan-untuk-produk-
amerika diakses pada 7 Juni 2020, Pukul
10.00 WIB).
Re spon Tiongkok tersebut mem-
buktikan bahwa sebenarnya negaranya
tidak menginginkan terjadinya perang
da gang yang berpotensi menghambat
perekonomian negaranya. Tindakan
retaliasi yang dilakukan Tiongkok
merupakan langkah yang dianggap
paling rasional dalam upaya men jaga
kestabilan ekonomi negara. Serangan
balasan yang dilakukan oleh Tiongkok
ini harus dilakukan demi kepentingan
nasional negaranya. Apabila tindakan
ini tidak dilakukan, maka Tiongkok akan
dirugikan dengan membiarkan Amerika
Serikat mengambil seluruh potensi
ekonomi yang bisa dikembangkan
Tiongkok (Damayanti, et.al., 2018: 151).
Para peneliti berpendapat bahwa
pada saat Presiden Trump berusaha
mewujudkan slogannya “make
America Great Again” sebenarnya, ia
justru menyebabkan Amerika Serikat
melakukan pelanggaran terhadap
hukum perdagangan internasional
dan perjanjian multilateral, untuk
kepentingan nasionalnya sendiri
(Kapustina, et.al., 2020: 2). Hal tersebut
membuat kepentingan ekonomi mitra
negara Amerika Serikat menjadi
terlantar. Kebijakan perdagangan pro-
teksionis Amerika Serikat dapat disebut
sebagai kebijakan egoisme nasional
yang dibungkus menjadi kerangka
ekonomi berkonsep patriotisme, bahkan
Tiongkok menyebut Amerika Serikat
melakukan praktik dagang “terorisme
ekonomi”.
2. Pengaturan Tindakan Proteksi dalam
Perjanjian WTO
Di dalam perjanjian WTO tidak
diatur secara gamblang mengenai
kebijakan proteksionisme. Namun,
terdapat istilah yang merujuk pada
proteksionisme yang disebut sebagai
remedi perdagangan (trade remedies).
Secara umum remedi perdagangan
adalah tindakan pemerintahan suatu
negara untuk meminimalkan dampak
negatif dari impor terhadap produksi
dalam negerinya, wujud dari remedi
perdagangan dapat berupa antisipasi
terhadap produk dumping dan produk
bersubsidi yang berupa pengenaan bea
masuk/tarif tambahan terhadap produk
impor serta dalam bentuk pengendalian
barang impor yang melonjak atau
disebut sebagai tindakan pengamanan
(safeguard) (Sutrisno, 2007: 231-232).
Secara sederhana, remedi perdagangan
terbagi menjadi tiga tindakan, yaitu
tindakan anti-dumping, tindakan anti-
subsidi dan tindakan safeguard.
Dari penjelasan di atas
dapat dikatakan bahwa kebijakan
proteksionisme yang diterapkan Amerika
Serikat sebenarnya merupakan salah
satu tindakan remedi perdagangan
sebagai upaya untuk melindungi produk
dalam negerinya. Praktik yang dilakukan
Amerika Serikat lebih merujuk pada
tindakan pengamanan (safeguard).
Hal tersebut sesuai dengan aturan
penerapan tindakan pengamanan
dalam Pasal 2 ayat 1 Agreement on
Safeguards, yang menyatakan:
A Member may apply a safeguard
measure to a product only if that
Member has determined, pursuant to
the provisions set out below, that such
product is being imported into its territory
in such increased quantities, absolute
or relative to domestic production, and
under such conditions as to cause or
102
Kesesuaian Prinsip Retaliasi dalam Kasus Perang Perdagangan Antara...
Belli Ac Pacis. Vol. 8 No. 2, Desember 2022
threaten to cause serious injury to the
domestic industry that produces like or
directly competitive products.”
Ketentuan pada Pasal tersebut
memperbolehkan negara untuk me-
nerapkan tindakan safeguard terhadap
suatu produk apabila produk tersebut
diimpor ke wilayahnya dalam jumlah
yang meningkat secara absolut atau
relatif terhadap produksi dalam negeri,
dan menyebabkan atau mengancam
akan menyebabkan kerugian serius
pada industri dalam negeri yang
menghasilkan produk sejenis atau
yang secara langsung bersaing dengan
produk tersebut. Adapun syarat-syarat
lainnya dalam menerapkan safeguard,
antara lain (Agreement on Safeguards):
a. Penerapan terhadap produk
impor tersebut akan diterapkan
tanpa melihat dari mana negara
eksportirnya (Pasal 2 ayat 2).
b. Penerapan safeguard dapat
dilakukan melalui pembatasan
kuantitatif (Pasal 5 ayat 1) dan
alokasi kuota terhadap produk
impor (Pasal 5 ayat 2 (a)) serta
pengenaan/peningkatan tarif
perdagangan (Pasal 6).
c. Tindakan safeguard sementara,
hanya dapat berupa pengenaan/
peningkatan tarif yang berlaku
paling lama 200 (dua ratus) hari
sejak diterapkan dan tidak dapat
diperpanjang. Jika dalam hasil
penyelidikan terbukti bahwa
peningkatan impor menyebabkan
kerugian serius atau ancaman
kerugian serius bagi negara
eksportir tersebut, maka tindakan
safeguard tetap, dapat diterapkan.
Jika tidak, maka tindakan safeguard
sementara, dihentikan dan tarif
impor yang telah dipungut harus
dikembalikan (refunded) (Pasal 6)
d. Penerapan tindakan safeguard
berlaku paling lama 4 (empat)
tahun, kecuali jika diperpanjang
sesuai dengan ketentuan dalam
Perjanjian (Pasal 7 ayat 3).
e. Periode awal penerapan safeguard
serta perpanjangan penerapannya
tidak boleh melebihi 8 (delapan)
tahun (Pasal 7 ayat 3). Kecuali
negara berkembang memiliki hak
untuk memperpanjang periode
penerapan safeguard hingga
jangka waktu 2 (dua) tahun di luar
periode maksimum normal.
f. Negara yang menerapkan
safeguard wajib melakukan
kompensasi kepada negara yang
dirugikan melalui konsultasi dan
negosiasi konsensi antar pihak-
pihak yang berkepentingan dengan
syarat:
1) Kompensasi tersebut
dilakukan setelah 3 (tiga)
tahun pertama sejak tindakan
tersebut diberlakukan (Pasal 8
ayat 3).
2) Jika pada tahap konsultasi
tidak ada kesepakatan
mengenai kompensasi dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari, maka
dalam jangka waktu selambat-
lambatnya 90 (sembilan puluh)
hari, negara anggota yang
dirugikan diperbolehkan untuk
melakukan balasan/retaliasi
yang sebanding dengan
tindakan tersebut (Pasal 8 ayat
2).
g. Tindakan safeguard tidak boleh
diterapkan terhadap suatu produk
yang berasal dari suatu negara
berkembang selama pangsa
impor produk yang bersangkutan
dari negara berkembang tersebut
tidak melebihi 3% dari total impor
negara importir, dengan syarat
impor produk yang bersangkutan
dari negara berkembang dengan
pangsa impor kurang dari 3%
tersebut tidak melebihi 9% dari total
impor produk yang bersangkutan di
negara importir (Pasal 9 ayat 1).
h. Negara anggota harus segera
melaporkan kepada komite WTO
tentang hukum, peraturan, dan
prosedur administrasi mereka
yang berkaitan dengan tindakan
safeguard serta setiap modikasi
yang dilakukan (Pasal 12 ayat
6). Prosedur tersebut mencakup
(Pasal 12 ayat 1):
103
Kesesuaian Prinsip Retaliasi dalam Kasus Perang Perdagangan Antara...
Belli Ac Pacis. Vol. 8 No. 2, Desember 2022
1) Memulai proses investigasi
yang berkaitan dengan ke-
rugian serius atau ancamannya
pada ekonomi dalam negeri
beserta alasannya
2) Menemukan kerugian serius
pada ekonomi dalam negeri-
nya akibat peningkatan produk
impor
3) Mengambil keputusan untuk
menerapkan atau memper-
panjang tindakan safeguard
tersebut.
3. Analisis Kesesuaian Tindakan
Retaliasi antara Amerika Serikat dan
Tiongkok
Tindakan yang diterapkan baik oleh
pihak Amerika Serikat maupun Tiongkok
merupakan tindakan yang sama-sama
dilarang dalam aturan WTO tetapi juga
diperbolehkan pada kondisi serta syarat-
syarat tertentu. Yang harus diperhatikan
adalah sejauh mana tindakan-tindakan
tersebut dapat diterapakan oleh masing-
masing negaranya agar sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Jika dianalisis
satu per satu dimulai dengan kebijakan
proteksionisme Amerika Serikat yang
merujuk pada tindakan safeguard,
terdapat aturan yang dilanggar dalam
Agreement on Safeguards oleh Amerika
Serikat antara lain ketentuan pada
Pasal 2 ayat 1 yang sudah tercantum
di atas serta Pasal 2 ayat 2 AOS yang
menyatakan “Safeguard measures shall
be applied to a product being imported
irrespective of its source”
Ketentuan pada Pasal tersebut
mengatur mengenai penerapan ter-
hadap tindakan safeguard tidak dilihat
berdasarkan sumber barang impor
tersebut melainkan terhadap barang
impor yang melonjak dan dapat
menyebabkan atau mengancam industri
dalam negeri yang menghasilkan produk
sejenis atau yang secara langsung
bersaing dengan produk tersebut.
Amerika Serikat terbukti melanggar
ketentuan tersebut dengan berpendapat
bahwa Tiongkok melakukan pencurian
terhadap kekayaan intelektual Amerika
Serikat setelah hasil laporan Section 301
terbit pada 22 Maret 2018, kemudian
Amerika Serikat “menghukum” Tiongkok
dengan menerapkan tarif impor terhadap
produk dari Tiongkok serta pembatasan
terhadap investasi Tiongkok. Ketentuan
lainnya yang dilanggar oleh Amerika
Serikat adalah ketentuan Pasal 12 ayat
1 AOS yang menyatakan:
“A Member shall immediately notify
the Committee on Safeguards upon:
(a) initiating an investigatory process
relating to serious injury or threat thereof
and the reasons for it; (b) making a
nding of serious injury or threat thereof
caused by increased imports; and (c)
taking a decision to apply or extend a
safeguard measure.”
Pasal tersebut mengatur mengenai
kewajiban untuk melapor kepada
komite safeguard dalam WTO saat
memulai proses investigasi terkait
adanya kerugian serius atau ancaman
pada ekonomi dalam negerinya,
menemukan bukti hasil investagasi
serta pengambilan keputusan untuk
menerapkan atau memperpanjang
tindakan safeguard tersebut. Ketentuan
dalam Pasal tersebut kemudian kembali
ditegaskan dalam Pasal 12 ayat 6 AOS
yang menyatakan:
“Members shall notify promptly the
Committee on Safeguards of their
laws, regulations and administrative
procedures relating to safeguard
measures as well as any modications
made to them.”
Dalam Pasal tersebut dijelaskan
bahwa anggota harus melapor kepada
panitia safeguard tentang prosedur
hukum, pengaturan serta administratif
serta modikasi apapun yang berkaitan
dengan safeguard. Berdasarkan
ketentuan tersebut, Amerika Serikat
juga terbukti melalukan pelanggaran
terhadap ketentuan ini dikarenakan
Amerika Serikat tidak melapor
kepada komite safeguard pada saat
akan memulai proses investigasi,
penemuan bukti, penerapan, serta
perpanjangan penerapan terhadap
safeguard. Dengan kata lain, tindakan
safeguard yang dilakukan Amerika
Serikat merupakan tindakan sepihak
(unilateral action) tanpa konsultasi
ataupun negosiasi dengan pihak-pihak
104
Kesesuaian Prinsip Retaliasi dalam Kasus Perang Perdagangan Antara...
Belli Ac Pacis. Vol. 8 No. 2, Desember 2022
yang berkepentingan. Hal tersebut juga
dikritik oleh para ahli yang berpendapat
bahwa kenaikan tarif di atas batas
maksimum apapun yang diizinkan
harus mendapatkan persetujuan dari
WTO (https://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20190903090124-92-427001/
perang-dagang-china-mengadu-ke-
wto-soal-tarif-impor-as diakses pada 30
April 2020 pukul 10.00 WIB).
Namun, tindakan balasan/retaliasi
yang dilakukan Tiongkok juga tidak bisa
dianggap benar sepenuhnya karena
tindakan tersebut telah melanggar
ketentuan mengenai retaliasi dalam
Pasal 1, Pasal 2, serta Pasal 22 ayat
(1) dan (2) DSU Agreement. Menurut
ketentuan pasal tersebut, retaliasi
boleh dilakukan setelah melalui proses/
mekanisme penyelesaian sengketa
perdagangan dalam kerangka WTO
yang terdiri dari beberapa tahapan.
Untuk menjalankan mekanisme
tersebut, WTO telah membentuk suatu
badan yang disebut sebagai Dispute
Settlement Body (DSB) yang berwenang
membentuk panel ahli untuk memeriksa
sengketa perdagangan antar negara
serta memiliki kewenangan untuk
menerima atau menolak temuan
panel atau hasil dari putusan banding
(Hata, 2016: 147), serta tata cara
penyelesaian sengketa sebagaimana
tercantum dalam Dispute Settlement
Understanding (DSU) Agreement.
Tahapan-tahapan dalam
mekanisme tersebut dimulai dengan
konsultasi antara para pihak yang
bersengketa untuk mencapai
penyelesaian yang disetujui oleh para
pihak. Selanjutnya, jika konsultasi tidak
tercapai maka diadakan sidang panel,
tinjauan banding, serta pelaksanaan
rekomendasi dan ketentuan yang
disahkan oleh Dispute Settlement
Body (DSB) (Bossche, 2010: 103).
Jika setelah terdapat rekomendasi
dan ketentuan yang telah disahkan
oleh DSB negara pelanggar/tergugat
tetap tidak memenuhi ketentuan yang
berlaku dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, maka negara penggugat
berhak mengajukan permintaan
kompensasi, jika tetap tidak tercapai
kesepakatan maka negara penggugat
memiliki hak untuk meminta otorisas
dari DSB untuk melaksanakan retaliasi
(Kurniawan, 2017: 3-4). Ketentuan
terkait tercantum dalam Pasal 3 ayat 7
DSU yang menyatakan:
“…………The provision of
compensation should be resorted to
only if the immediate withdrawal of
the measure is impracticable and as
a temporary measure pending the
withdrawal of the measure which is
inconsistent with a covered agreement.
The last resort which this Understanding
provides to the Member invoking the
dispute settlement procedures is the
possibility of suspending the application
of concessions or other obligations
under the covered agreements on a
discriminatory basis vis-à-vis the other
Member, subject to authorization by the
DSB of such measures.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa
kompensasi hanya boleh dilakukan
apabila penarikan terhadap tindakan
yang dianggap bertentangan dengan
peraturan tidak efektif atau berfungsi
hanya sebagai langkah sementara
sampai tindakan tersebut ditarik
kembali oleh suatu negara. Adapun
jika tidak tercapai maka penangguhan
konsesi/retaliasi hanya digunakan untuk
upaya terakhir (last resort). Ketentuan
tersebut kemudian ditegaskan kembali
dalam pasal 23 ayat 2 (c) DSU yang
menyatakan sebagai berikut:
“follow the procedures set forth in Article
22 to determine the level of suspension
of concessions or other obligations
and obtain DSB authorization in
accordance with those procedures
before suspending concessions or
other obligations under the covered
agreements in response to the failure
of the Member concerned to implement
the recommendations and rulings within
that reasonable period of time.”
Aturan yang terkandung dalam
Pasal tersebut menegaskan bahwa
negara anggota harus mengikuti
prosedur yang tercantum dalam Pasal
22 DSU untuk menentukan tingkat
penangguhan konsesi atau tanggung
jawab lainnya berdasarkan perjanjian
105
Kesesuaian Prinsip Retaliasi dalam Kasus Perang Perdagangan Antara...
Belli Ac Pacis. Vol. 8 No. 2, Desember 2022
yang tercakup (covered agreements),
negara anggota harus mendapatkan
otoritas dari DSB sesuai dengan
prosedur dan aturan yang berlaku
sebagai respon atas tidak tercapainya
implementasi hasil rekomendasi dan
keputusan oleh negara tergugat dalam
periode waktu yang telah ditentukan.
Dengan kata lain, penangguhan konsesi
atau penerapan terhadap retaliasi
tidak boleh dilakukan secara sepihak
(unilateral) oleh suatu negara dan harus
mendapatkan otoritas dari DSB terlebih
dahulu.
Sesuai dengan ketentuan tersebut
maka Tiongkok terbukti melakukan
pelanggaran karena negaranya
melakukan tindakan retaliasi sebelum
melalui proses penyelesaian sengketa
dalam WTO. Retaliasi yang dilakukan
oleh Tiongkok juga melanggar
ketentuan dalam pasal XXIII GATT
1994 yang menyatakan bahwa retaliasi
dapat dilakukan setelah adanya
konsultasi oleh negara-negara anggota
lainnya. Para ahli juga menyayangkan
tindakan yang dilakukan oleh Tiongkok
untuk memerangi “api” dengan “api”
juga serta tanpa persetujuan dari
WTO (https://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20190903090124-92-427001/
perang-dagang-china-mengadu-ke-
wto-soal-tarif-impor-as diakses pada 30
April 2020 pukul 10.00 WIB). Tindakan
terkait retaliasi juga diatur dalam yakni
dalam Pasal 8 ayat 2 dan 3 AOS yang
menyatakan:
“If no agreement is reached within
30 days in the consultations under
paragraph 3 of Article 12, then the
affected exporting Members shall be
free, not later than 90 days after the
measure is applied, to suspend, upon
the expiration of 30 days from the
day on which written notice of such
suspension is received by the Council
for Trade in Goods, the application of
substantially equivalent concessions or
other obligations under GATT 1994, to
the trade of the Member applying the
safeguard measure, the suspension of
which the Council for Trade in Goods
does not disapprove.”
“The right of suspension referred to in
paragraph 2 shall not be exercised for
the rst three years that a safeguard
measure is in effect, provided that the
safeguard measure has been taken as a
result of an absolute increase in imports
and that such a measure conforms to
the provisions of this Agreement”
Berdasarkan ketentuan tersebut,
retaliasi boleh diterapkan oleh negara
yang dirugikan oleh kebijakan safeguard
apabila permintaan kompensasi
pada tahap konsultasi atau negosiasi
tidak tercapai. Namun, permintaan
kompensasi sendiri baru dapat
dilakukan setelah 3 (tiga) tahun pertama
sejak tindakan tersebut diberlakukan.
Dengan demikian, Tiongkok juga
terbukti melakukan pelanggaran pada
perjanjian safeguard dikarenakan
pertama, proteksi yang diterapkan
Amerika Serikat terhadap ekonomi
negaranya hingga saat ini belum
mencapai tiga tahun sejak pertama kali
tindakan tersebut diberlakukan. Kedua,
retaliasi yang dilakukan Tiongkok tidak
melalui tahapan proses yang telah
disebutkan.
D. PENUTUP
1. Simpulan
Retaliasi yang dilakukan Tiongkok
terhadap Amerika Serikat Pertama
kali merupakan reaksi atas kebijakan
proteksionisme yang diterapkan
Amerika Serikat terhadap ekonominya
dengan menerapkan kebijakan tarif
/ bea masuk pada beberapa produk
impor dari Tiongkok. Tindakan tersebut
dianggap sebagai langkah yang paling
rasional untuk menjaga kestabilan
ekonomi negaranya. Selanjutnya, aksi
“saling balas” antara kedua negara
tersebut dilihat dari jenis retaliasinya
termasuk ke dalam jenis retaliasi silang
(cross retaliation) serta cenderung
menyerang sektor-sektor yang menjadi
keunggulan komparatif/dikuasi oleh
negara masing-masing. Pengertian
retaliasi tercantum dalam Pasal 22
DSU-WTO dan Pasal XXIII GATT
1994. Berdasarkan peraturan tersebut,
retaliasi adalah suatu ultimatum
106
Kesesuaian Prinsip Retaliasi dalam Kasus Perang Perdagangan Antara...
Belli Ac Pacis. Vol. 8 No. 2, Desember 2022
remedium atau upaya terakhir dalam
menyelesaikan sengketa perdagangan.
Retaliasi hanya dapat dilakukan setelah
melalui tahapan dalam penyelesaian
sengketa oleh DSB-WTO. Kebijakan
proteksionisme yang dilakukan Amerika
Serikat pertama kali dimulai setalah
terdapat laporan penemuan hasil
penyelidikan oleh United States Trade
Representative (USTR) terkait praktik
dagang Tiongkok yang “tidak adil” yang
dituangkan pada laporan Section 301.
Dalam kerangka WTO, proteksionisme
merujuk pada tindakan safeguard.
Safeguard diatur dalam Pasal XIX
GATT 1994 dan lebih lanjut diatur
dalam The Agreement on Safeguards
(AOS). Penerapan terhadap safeguard
harus memenuhi syarat-syarat yang
terkandung dalam peraturan yang
berlaku. Pada Praktiknya, tindakan
safeguard yang dilakukan Amerika
Serikat melanggar beberapa ketentuan
dalam kerangka hukum WTO, yakni
Pasal 2 ayat 2 serta Pasal 12 ayat (1)
dan (6) Perjanjian Safeguard (AOS).
Di sisi lain, dalam praktik terhadap
retaliasi, Tiongkok juga melanggar
beberapa ketentuan yang terkandung
dalam kerangka hukum WTO, yakni
Pasal 1, Pasal 2, Pasal 22 ayat (1) dan
(2), serta Pasal 23 ayat 2 (c) DSU-WTO
Agreement. Tiongkok juga melanggar
ketentuan-ketentuan pada Pasal 8
ayat (2) dan (3)F Perjanjian Safeguard
(AOS).
2. Saran
Untuk mendapatkan hasil yang
saling menguntungkan, perlu diadakan
pendekatan komprehensif terhadap
kedua negara yang bersangkutan
melalui negosiasi dengan mengguna-
kan kombinasi tindakan yang bisa
dilakukan baik oleh Amerika Serikat
maupun Tiongkok. Hal tersebut dapat
pula dilakukan melalui mekanisme
penyelesaian sengketa pada WTO
sesuai dengan tujuan pembentukan DSM
itu sendiri yang tercantum dalam Pasal
3 ayat 7 DSU yakni untuk solusi yang
positif serta sesuai dengan aturan yang
berlaku dan dapat diterima oleh pihak-
pihak yang bersengketa. Meskipun
penyelesaian sengketa perdagangan
melalui DSB-WTO bersifat sukarela,
tetapi WTO, sebagai satu-satunya
organisasi yang mengatur perdagangan
internasional diharapkan dapat me-
naungi semua kepentingan negara
anggotanya serta mempertahankan
stabilitas perdagangan global. WTO
diharapkan melakukan penyelidikan
terhadap perekonomian Amerika
Serikat dan Tiongkok atas tuduhan-
tuduhan yang saling dilontarkan kedua
negara tersebut. Dalam hal ini, WTO
harus bersikap netral dan bertugas
sebagai penengah.
Negara-negara anggota WTO,
khususnya Amerika Serikat dan
Tiongkok diharapkan dapat menyesuai-
kan kebijakan perdagangannya sesuai
dengan aturan WTO. Bagi negara
pelanggar, seharusnya segera melaku-
kan koreksi kesalahannya dengan me-
nyelaraskan aturannya dengan aturan
WTO. Selain itu, Amerika Serikat
dan Tiongkok sebenarnya memiliki
ketergantungan dan membutuhkan satu
sama lain dalam bidang ekonomi melihat
fakta bahwa Tiongkok merupakan mitra
dagang utama Amerika Serikat. Apabila
perang dagang ini terus berlanjut maka
lama kelamaan ekonomi kedua negara
tersebut akan mengalami keruntuhan.
Oleh karena itu, kedua negara tersebut
harus sama-sama menyadari perlunya
negosiasi untuk menemukan solusi
yang menguntungkan bagi kedua belah
pihak. Dalam hal hubungan perdagang-
an antar negara, penulis menyarankan
untuk mengutamakan persaingan se-
cara sehat dan lebih mengutamakan
terciptanya hubungan baik antar negara
agar kasus-kasus serupa tidak terjadi
di kemudian hari. Sehingga diharapkan
prinsip-prinsip utama perdagangan
internasional dalam WTO benar-benar
dapat tercapai, yakni memastikan
agar perdagangan antar negara dapat
berjalan dengan semulus mungkin,
dapat diprediksi dan sebebas mungkin
(trade liberalization).
107
Kesesuaian Prinsip Retaliasi dalam Kasus Perang Perdagangan Antara...
Belli Ac Pacis. Vol. 8 No. 2, Desember 2022
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. 2009. Teori-Teori Hubungan Internasional. Bandung: Nusa Media.
Hata. (2016). Hukum Ekonomi Internasional: IMF, World Bank, WTO. Malang: Setara Press, hlm. 147.
Ivan Taniputera. (2008). History of China. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Van de Bossche, Peter. (2010). Pengantar Hukum WTO, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm.103.
Jurnal
Acep Rohendi. (2014). “Prinsip Liberalisasi Perdagangan World Trade Organization (WTO) dalam
Pembaharuan Hukum Investasi di Indonesia (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007)”.
Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum, 1(2): 395-396.
Bakhouya Driss. (2017). “GATS and International Trade in Health Services: Impact and Regulation”.
Hasanuddin Law Review, 3(2): 106.
Dewi Nurul Musjtari. (2014). “ Dampak Liberalisasi Perdagangan dalam WTO Agreement terhadap
Ketahanan Pangan”. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, 16(2): 222.
Emmy Latifah. (2015). “Eksistensi Prinsip-Prinsip Keadilan dalam Sistem Hukum Perdagangan
Internasional”. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, 2(1): 75.
Ernawati Batubara. (2019). “Kebijakan Proteksionisme Amerika Serikat Terhadap Republik Rakyat
Cina”. JOM FISIP, 6(2): 1
Febrina Damayanti, Noviar Indira M.P., Retno Sri Wahyuni, M. Rahadi an Prayoga, dan Giovani Kevin
N.W. (2018). “ASEAN di Tengah Rivalitas AS dan Cina: Kerja sama ASEAN dengan RCEP dalam
Men gurangi Dampak Perang Dagang”. Indonesian Perspective, 3(2): 151.
Freddy Josep Pelawi. (2007) ”Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa WTO. Bulletin KPI
Edisi 46/KPI/2007: 2.
FX. Joko Priyono. (2013). “Prinsip Most Favoured Nations dan Pengecualiannya dalam World Trade
Organization (WTO)”. Masalah-Masalah Hukum, 42(4): 598.
Kapustina, Larisa., Lipková, Ľudmila., Silin, Yakov., and Drevalev, Andrei. (2020). US-China Trade
War: Causes and Outcomes”. SHS Web of Conferences 73, 01012.
Kim, Suk Hi., et.al. (2014) “The U.S.-China Trade Friction: Causes and Proposed Solutions”. Journal of
Applied Business and Economics, 16(5).
Lona Puspita. (2017). “Upaya Penerapan Retaliasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan
Internasional Melalui World Trade Organization (WTO)”. Jurnal Normative, 5(2): 54.
Nandang Sutrisno. (2007). “Memperkuat Sistem Hukum RemediPerdagangan, Melindungi Industri
Dalam Negeri”. Ius Quia Iustum Law Journal, 14(2): 231-232
Ye Siyu. 2013. The Legal Analysis of the Cross-Retaliation Under the WTO Framework. LLM Paper.
Paper
Bown, Chad. P. US-China Trade War Tariffs: An Up-to-Date Chart.2020. Diakses dari https://www.piie.
com/sites/default/les/documents/trump-trade-war-timeline.pdf pada 27 April 2020 pukul 11.00
WIB.
Joshua P. Meltzer, Neena Shenai. 2019. The US-China economic relationship: A comprehensive
approach. Global economy and development at Brookings.
Ofce of the United States Trade Representative. Update Concerning China’s Acts, Policies And
Practices Related To Technology Transfer, Intellectual Property, And Innovation. Washington,
108
Kesesuaian Prinsip Retaliasi dalam Kasus Perang Perdagangan Antara...
Belli Ac Pacis. Vol. 8 No. 2, Desember 2022
DC: Ofce of the United States Trade Representative, 2018. https://ustr.gov/sites/default/les/
enforcement/301Investigations/301%20Report%20Update.pdf diakses pada 21 April 2020 pukul
10.00 WIB.
Wayne M. Morrison. 2018. China-U.S. Trade Issues. CRS Report. Hlm 2.
Wayne M. Morrison. 2019. Enforcing U.S. Trade Laws: Section 301 and China. CRS In Focus IF10708.
Hlm 2.
Skripsi/Tesis
Alek Karci Kurniawan. (2017). Skripsi: “Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Di World
Trade Organization: Studi Kasus Korea—Anti Dumping Duties On Imports Of Certain Paper From
Indonesia (Ds312)” (Padang: Universitas Andalas),
Web/Internet
CNN, China Kenakan Tarif Balasan Untuk Produk Amerika. https://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20180804133135-532-319473/china-kenakan-tarif-balasan-untuk-produk-amerika.
Diakses pada 7 Juni 2020, Pukul 10.00 WIB
Perang Dagang, China Mengadu ke WTO soal Tarif Impor AS. https://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20190903090124-92-427001/perang-dagang-china-mengadu-ke-wto-soal-tarif-impor-
as diakses pada 30 April 2020 pukul 10.00 WIB.
US-China Trade War Tariffs: An Up-to-Date Chart.https://www.piie.com/research/piie-charts/us-china-
trade-war-tariffs-date-chart diakses pada 28 April 2020 pukul 21.00 WIB.
U.S. Relations with China www.cfr.org/timeline/us-relations-china diakses pada 20 April 2020 pukul
14.00 WIB.
(https://www.bphn.go.id/data/documents/pkj_2012_-_8.pdf diakses pada 6 Juni 2020 Pukul 17.00 WIB)
Konvensi Internasional
Dispute Settlement Undestanding (DSU) Agreement
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)
Agreement on Safeguards (AOS)
U.S. - China Relation Act
The Trade Expansion Act of 1962
... On the other hand, these US actions are based on various legal grounds, one of which is The Trade Expansion Act of 1962 Section 232 which authorizes the US President to impose tariffs if international trade is deemed to threaten or impair national security. Another basis is Section 301 of the Trade Act of 1974 which allows action against unfair foreign trade practices (Savira, 2022). However, the US action has been criticized by many as violating WTO provisions, particularly with regard to the obligation to report to the WTO safeguard committee when initiating an investigation into serious economic harm. ...
... Although China also imposed retaliatory tariffs, the amount of tariffs imposed was lower than those imposed by the US. China emphasized that it did not want to rush in responding to the US tariffs and would take rational countermeasures to maintain the country's economic stability (Savira, 2022). ...
... The DSM no longer relies on the negotiation process, but rather the establishment of panels to enforce the rules. Unilateral actions taken by the US without consultation or negotiation with interested parties are considered a violation of WTO provisions, particularly Article 12 of the AOS which stipulates the obligation to report to the safeguard committee (Savira, 2022). ...
Article
The ongoing dispute over import tariffs between the United States and China has emergedas a significant concern within the global economy since 2018. Chinese retaliation, triggeredby the United States’ imposition of import taxes on Chinese imports as a response to unfairtrade practices including intellectual property theft and detrimental subsidies, furtherintensified global trade tensions. Both nations ultimately sought resolution of the importtariff dispute by appealing to the World Trade Organisation (W.T.O.). This study employs adescriptive qualitative approach, combining International Relations theory and caseanalysis to interpret the diplomatic strategy and conduct in settling this trade conflict.Analysis was conducted on data obtained from papers, official websites, and books toinvestigate the resolution of disputes through the World Trade Organisation (WTO) and theeconomic consequences of trade retaliation. The findings underscore the intricacy ofinternational economic relations, and the conduct exhibited by participants in managingconflicts. This study highlights the crucial significance of international organizations inpreserving trade stability and offers valuable understanding of the mechanisms involved inresolving disputes related to intricate import tariff conflicts.
Article
Full-text available
Penelitian Ini Bertujuan Untuk Menganalisis Dinamika Diplomasi Antara Amerika Serikat Dan Tiongkok Dalam Meredakan Ketegangan Perang Dagang Yang Terjadi Pada Periode 2018–2019. Konflik Ini Menjadi Salah Satu Fenomena Paling Mencolok Dalam Hubungan Ekonomi Internasional Modern, Ditandai Oleh Pertarungan Tarif, Persaingan Teknologi, Serta Klaim Pelanggaran Prinsip Perdagangan Bebas. Menggunakan Pendekatan Kualitatif-Deskriptif Dan Teori Hubungan Internasional Seperti Realisme, Merkantilisme, Liberalisme, Dan Diplomasi, Penelitian Ini Mengkaji Strategi Dan Hasil Diplomatik Kedua Negara, Baik Dalam Forum Bilateral Maupun Multilateral. Temuan Menunjukkan Bahwa Meskipun Perang Dagang Bermula Dari Konflik Kepentingan Yang Tajam, Diplomasi Berhasil Menjadi Instrumen Strategis Dalam Menahan Eskalasi Lebih Lanjut Dan Mencapai Kesepakatan Awal Dalam Bentuk "Fase Satu". Studi Ini Menegaskan Pentingnya Diplomasi Sebagai Jembatan Dalam Konflik Ekonomi Di Tengah Rivalitas Kekuatan Besar Dunia.
Article
Within the context of the escape clause concept in international trade law, this articleanalyses the trade safeguard measures that the United States of America has enacted onimports of crystalline silicon photovoltaic (CSPV) cells and modules. An examination of thereasoning behind the United States’ decision to adopt these controls by Section 201 of theTrade Act of 1974 is presented in this article. The study highlights the detrimental effects ofincreased imports and trade on the domestic solar industry. The purpose of this study is todetermine whether or not these measures are by the conditions that are described in theescape clauses of the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) and the Agreementon Safeguards.
Article
Full-text available
This article is interested in studying the impact of trade agreements on the quality of health services, and the statement of the role of the Ministry of Health to protect the quality of these services. The problems that arise in this study; how the application of GATT on trade in health, and services? This article also includes the impact of international trade agreements on the issue of attracting foreign investments in the field of health, and to clarify the government's ability to maintain the health and political, and the capacity of national health products to compete with foreign products. As pointed out repeatedly in this paper, it is too early to make definitive conclusions regarding the impact of GATS, or the liberalization of trade, in the health sector. Nevertheless, we conclude that although so far only a few countries where trade in health services has a major role, trading as it does-which is not based on the GATS or GATS commitments-and appears to be increasing, GATS agreement provides a framework for international trade in services, including health services, but the actual content and obligations are determined in large part by the national government.
Article
Full-text available
Rivalry among the US and Cina about trade war gives enormous effects towards many states around the world, including ASEAN. ASEAN region is the central market on Pacific. Because of this rivalry, every Cina’s export to US will decrease about 10%, and also reduce 1.1% economy growth in ASEAN. This phenomenon emerges the big question concerning the role of ASEAN. This research paper will answer the role of ASEAN as the multilateral organization on balancing their interests in the middle of trade war. Afterwards, this paper focuses on the topics of rivalry between US and Cina related to economics. The discussion is divided into two main points, first is about the trade war, and second is the role of RCEP to establish the balance of ASEAN’s economy. International cooperation on liberal perspective is used to analyze these case problems. This paper argues that ASEAN is trying to impetus cooperation between its member for facing the challenge of the US and Cina’s trade war. Cooperation is the best way for ASEAN seeing this phenomenon.Keywords: US, Cina, trade war, economy, liberalism
Article
Full-text available
Ide mengenai keadilan telah berkembang seiring perkembangan kehidupan manusia, paradigma, dan nilai-nilai yang dianutnya. Dengan demikian, keadilan dapat diartikan berbeda-beda tergantung pada siapa, kapan, dimana, dan dalam konteks apa keadilan dimaknai. Demikian pula halnya yang terjadi pada sistem hukum perdagangan internasional, prinsip keadilan pada sistem perdagangan internasional yang dilakukan di bawah aturan dan prosedur WTO telah memainkan peran yang penting, terutama dalam kaitannya dengan pendistribusian hak dan kewajiban yang bersifat fundamental dan cara menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial yang ada didalamnya. Dalam hal ini prinsip keadilan diperlukan dalam rangka menanyakan apakah keputusan sosial yang dihasilkan oleh WTO benar dan konsisten dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip keadilan yang terdapat dalam aturan WTO mengandung dua makna yaitu makna “the equality of opportunity” dan “keadilan distributif”. Equality of opportunity dapat diwujudkan apabila prinsip reciprocity (timbal balik) ditegakkan baik dalam hal pengurangan hambatan perdagangan, akses pasar, maupun penyelesaian sengketa. Keadilan distributif berarti bahwa perdagangan internasional merupakan sarana untuk mewujudkan hubungan dagang yang saling menguntungkan diantara negara anggota. Abstract The notion of justice has evolved along with the development of human being, paradigms, and their values. Therefore, justice can be interpreted differently, depends on who, when, where, and in what context people define it. It is also the case for the international trade law system. The principle of justice in the international trading system, conducted under the rules and procedures of the WTO, has played an important role; especially in relation to the distribution of obligations and fundamental rights, and the distribution of benefit from social cooperation within. In this case, the principle of justice is needed in order to inquire whether WTO’s social decisions are proper and consistent with the values that exist within The results show that the principle of justice in the WTO rules contains two meanings: “the equality of opportunity” and “the distributive of justice”. The Equality of opportunity can be realized if the reciprocity principle in the context of the reduction of trade barriers, market access, and dispute settlement are enforced. Distributive justice means that international trade is a tool to achieve a mutually beneficial trade among members.
Article
Full-text available
Abstrak Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) merupakan peraturan mengenai investasi di Indonesia yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Investasi Asing dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Investasi Domestik. Undang-undang ini tidak lagi membedakan antara investasi asing dan domestik. Pembentukan undang-undang ini merupakan komitmen Indonesia atas diratifikasinya Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement) Pasal XVI, Ayat 4 dari Agreement tersebut mewajibkan negara anggota untuk menyesuaikan aturan-aturan atau hukum perdagangan mereka dengan aturan-aturan yang terdapat dalam Annex di WTO Agreement. Prinsip-prinsip WTO yang telah diimplementasikan pada UUPM, yaitu: 1) Prinsip (Most-Favoured-Nation) dalam Pasal 1 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), dan Pasal 6 ayat (1); 2) Prinsip National Treatment dalam Pasal 6 ayat (1); 3) Prinsip Larangan Restriksi (pembatasan) Kuantitatif dapat ditemukan dalam Pasal 8; 4) Prinsip Perlindungan melalui Tarif yang ditemukan secara tersirat pada asas efisiensi berkeadilan dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 14; 5) Prinsip Resiprositas dapat ditemukan dalam Pasal 7 dan Pasal 32; 6) Prinsip Perlakuan Khusus bagi Negara Berkembang diatur dalam Pasal 13. Indonesia telah mengimplementasi prinsip-prinsip tersebut sebagaimana diwajibkan bagi negara-negara anggota WTO. Abstract Law Number 25 Year 2007 is the investment law of Indonesia which replaces Law Number 1 year 1967 on Foreign Investment and Law Number 5 year 1968 on Domestic Investment. This new law no longer distinguishes foreign and domestic investment. The formation of law Number 25 Year 2007 is the commitment of Indonesia upon ratification of the (WTO Agreement). Article XVI paragraph 4 of the Agreement Establishing the WTO requires state parties to adjust their rules or which law of trade with the rules contained in the WTO Agreement Annex. WTO principles which have been implemented in the Investment Law of 2007 are: 1) Principle of Most-Favored Nation clause in Article 1 paragraph (1), and Article 3 Paragraph (1), Article 4 paragraph (2) and Article 6 paragraph (1); 2) Principle of National Treatment in Article 6 paragraph (1); 3) Principle of Quantitative Restrictions in Article 8; 4) Principle of Protection through tariff found implicitly in Principle of Efficiency Fair in Article 3 paragraph (1) and Article 14; 5) Principle of Reciprocity found in Article 7 and Article 32; 6) Principle of Special Treatment for Developing Countries, provided in Article 13. Indonesia has been implementing these principles as required by WTO.
Article
Full-text available
Trade remedies, i.e. Anti Dumping, Anti Subsidy and Safeguard Action, are instruments of international trade prolicy that are the most frequently used by importing Member Countries of the World Trade Organization (WTO) to ptotect their domestic industries. However, Indonesia has been categorized as a Member Country which is the least frequently in the use of the instrument. This article recomemends that Indonesia employ the instrument more proactively in order to protect domestic industries. Parallel to this, dtrengthening the legal system of trade remedis is also urgent, since a strong lehal system either its substances, structures, and cultures, will play a crucial role on the effectiveness of the protection of domestic industries.
Hukum Ekonomi Internasional: IMF
  • Hata
Hata. (2016). Hukum Ekonomi Internasional: IMF, World Bank, WTO. Malang: Setara Press, hlm. 147.
History of China. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group
  • Ivan Taniputera
Ivan Taniputera. (2008). History of China. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Dampak Liberalisasi Perdagangan dalam WTO Agreement terhadap Ketahanan Pangan
  • Musjtari Dewi Nurul
Dewi Nurul Musjtari. (2014). " Dampak Liberalisasi Perdagangan dalam WTO Agreement terhadap Ketahanan Pangan". Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, 16(2): 222.
Kebijakan Proteksionisme Amerika Serikat Terhadap Republik Rakyat Cina
  • Ernawati Batubara
Ernawati Batubara. (2019). "Kebijakan Proteksionisme Amerika Serikat Terhadap Republik Rakyat Cina". JOM FISIP, 6(2): 1