ArticlePDF Available

Kritik Teologis dari Perspektif John Calvin terhadap Pemikiran Walter Lippmann tentang Neoliberalisme

Authors:

Abstract

Neoliberalisme menjadi persoalan dalam realitas sosio-politik di Indonesia karena mengubah peran hukum dan pemerintahan sebagai pelayan pasar. Akibatnya, kebijakan pemerintah kerap kali meletakkan kepentingan bisnis di atas kepentingan publik. Namun, sikap kekristenan terhadap neoliberalisme masih ambigu karena sebagian menilainya selaras dengan kekristenan, sedangkan sisanya berpendapat sebaliknya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis neoliberalisme guna menyelesaikan ambiguitas tersebut. Untuk memenuhi maksud penelitian, penulis mengumpulkan data dengan metode studi kepustakaan. Karya Walter Lippmann menjadi fokus penyelidikan karena gagasannya merupakan pionir perkembangan neoliberalisme. Sementara itu, teologi John Calvin digunakan sebagai lensa untuk mengkritik neoliberalisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tujuan neoliberalisme adalah menata orientasi hukum dan pemerintahan agar menyelaraskan diri dengan kepentingan pasar. Jika keselarasan sudah tercapai, Lippmann meyakini kebebasan individu otomatis terwujud. Setelah membandingkan dengan teologi Calvin, penulis berpendapat neoliberalisme bertentangan dengan kekristenan karena telah mereduksi natur manusia menjadi instrumen ekonomi belaka. Dengan demikian, sikap kekristenan adalah mengawasi neoliberalisme dengan kritik untuk mengantisipasi dampak negatifnya bagi masyarakat.
Kritik Teologis dari Perspektif John Calvin
terhadap Pemikiran Walter Lippmann
tentang Neoliberalisme
Theological Criticism of Walter
Lippmann's Thinking on Neoliberalism
from John Calvin's Perspective
Rinto Pangaribuan
Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta, Indonesia
Korespondensi
ripang206@gmail.com
DOI
https://doi.org/10.33550/sd.v10i1.346
HALAMAN
23-54
© 2023 Reformed Center for Religion and Society
Artikel ini di bawah ketentuan Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License
Vol. 10, No. 1
April 2023
p-ISSN: 2407-0556
e-ISSN: 2599-3267
Riwayat Artikel:
Diserahkan:
11 November 2022
Direvisi:
7 Februari 2023
Diterima:
8 Februari 2023
Abstract
SOCIETAS DEI JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
Neoliberalism becomes a problem in the socio-political reality in Indonesia because it changes the role of law
and government as market servants. As a result, government policies often put business interests above public
interests. However, the attitude of Christianity towards neoliberalism is still ambiguous because some consider it
to be in harmony with Christianity, while the rest argue otherwise. Therefore, this study aims to analyze neoliber-
alism to resolve this ambiguity. To fulll the purpose of the study, the authors collected data using the literature
study method. Walter Lippmann's work became the focus of investigation because his ideas were pioneers of the
development of neoliberalism. Meanwhile, John Calvin's theology is used as a lens to criticize neoliberalism. The
results show that neoliberalism aims to organize the orientation of law and government to align themselves with
market interests. If harmony has been achieved, Lippmann believes individual freedom is automatically realized.
After comparing it with Calvin's theology, the author argues that neoliberalism contradicts Christianity because
it has reduced human nature to a mere economic instrument. Thus, the attitude of Christianity is to monitor
neoliberalism with criticism to anticipate its negative impact on society.
Keywords: Calvin, freedom, government, liberalism, Lippmann, neoliberalism.
Neoliberalisme menjadi persoalan dalam realitas sosio-politik di Indonesia karena mengubah peran hukum dan pemerintahan
sebagai pelayan pasar. Akibatnya, kebijakan pemerintah kerap kali meletakkan kepentingan bisnis di atas kepentingan publik.
Namun, sikap kekristenan terhadap neoliberalisme masih ambigu karena sebagian menilainya selaras dengan kekristenan,
sedan gkan sisanya berpendapat sebaliknya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis neoliberalisme guna
menyelesaikan ambiguitas tersebut. Untuk memenuhi maksud penelitian, penulis mengumpulkan data dengan metode studi
kepustakaan. Karya Walter Lippmann menjadi fokus penyelidikan karena gagasannya merupakan pionir perkembangan
neoliberalisme. Sementara itu, teologi John Calvin digunakan sebagai lensa untuk mengkritik neoliberalisme. Hasil pene-
litian menunjukkan bahwa tujuan neoliberalisme adalah menata orientasi hukum dan pemerintahan agar menyelaraskan
diri dengan kepentingan pasar. Jika keselarasan sudah tercapai, Lippmann meyakini kebebasan individu otomatis terwujud.
Setelah membandingkan dengan teologi Calvin, penulis berpendapat neoliberalisme bertentangan dengan kekristenan karena
telah mereduksi natur manusia menjadi instrumen ekonomi belaka. Dengan demikian, sikap kekristenan adalah mengawasi
neoliberalisme dengan kritik untuk mengantisipasi dampak negatifnya bagi masyarakat.
Kata-kata kunci: Calvin, kebebasan, liberalisme, Lippmann, neoliberalisme, pemerintahan.
24 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
Pendahuluan
Beberapa penelitian menilai haluan pemerintahan Indonesia telah berkiblat pada
agenda neoliberalisme sejak era Orde Baru
1
dan secara khusus setelah krisis ekonomi
1997.2 Walau bentuknya belum murni,3 namun pengaruh neoliberalisme di Indonesia telah
melemahkan fokus kebijakan pemerintah dalam keberpihakannya kepada orang miskin.
4
Pelemahan terjadi karena neoliberalisme mengasumsikan kewiraswastaan sebagai satu-sa-
tunya cara untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
5
Karena mengedepankan aspek
bisnis tersebut, pemerintah Indonesia akhirnya memandang kebijakan publik sebagai
sekadar “proyek” dan ujungnya menciptakan relasi politik patronasi, yaitu distribusi
kekuasaan melalui jaringan klien (clientelism).6 Dalam bahasa sederhana, kita mengenal
jaringan patronasi dengan kolusi. Patronasi kemudian menjadi perekat dalam formasi
politik di Indonesia tanpa basis ideologi, melainkan kepentingan bisnis semata.7 Alhasil,
orientasi kebijakan publik pemerintah yang berorientasi pada agenda neoliberalisme lebih
mengutamakan klien atau kelompok elite tertentu. Selain mengabaikan kesejahteraan
rakyat, mekanisme pemerintahan dengan agenda neoliberalisme turut andil menciptakan
kesenjangan sosial di Indonesia.8
Walau berdampak negatif terhadap kesejahteraan rakyat, topik neoliberalisme masih
duduk di pinggiran dalam diskursus teologi Indonesia. Rendahnya jumlah karya teologis di
Indonesia perihal neoliberalisme membuktikan hal itu. Jika merujuk pada Google Cendekia
per 30 Januari 2023, hanya dua artikel teologi yang mendudukkan neoliberalisme sebagai
topik utamanya, yaitu karya Benediktus Denar dan Keristian Dahurandi. Hasil penelitian
mereka menunjukkan kontras ketika menyikapi neoliberalisme secara teologis. Denar
melihat neoliberalisme berdampak negatif karena menginstrumenkan manusia sebagai
objek ekonomi belaka; mengambrukkan sistem politik sebuah negara; memarginalisasi ma -
syarakat; dan merusak lingkungan.9 Neoliberalisme—menurut Denar—akan berdampak
pertama kali terhadap orang miskin. Oleh karena itu, dia menyerukan agar gereja menya-
takan keberpihakan kepada orang miskin sebagai respons akhir terhadap neoliberalisme.10
Gereja mengartikulasikan keberpihakannya dengan memberdayakan orang-orang miskin
sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraannya. Dahurandi malah bersikap seba-
liknya. Walau menyadari berbagai kritik atas neoliberalisme, dia melihat gereja harus tetap
1 Muhamad Iksan, “From Neoliberalism to Neodevelopmentalism: Indonesian’s Investment Policy on the Foreign Capital Post-new Order,”
JASSP 2, no. 1 (Mei 30, 2022): 54, https://jassp.lppm.unila.ac.id/index.php/jassp/article/view/35.
2 Awalil Rizki dan Nasyith Majidi, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia (E Publishing Company, 2008), 282.
3 Edward Aspinall, A Nation In Fragments,” Critical Asian Studies 45, no. 1 (Maret 2013): 31, http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14672
715.2013.758820.
4 Ashok Das, “Is innovative also effective? A critique of pro-poor shelter in South-East Asia,” International Journal of Housing Policy 18, no. 2 (April
3, 2018): 23, https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14616718.2016.1248606.
5 Aspinall, “A Nation In Fragments,” 28.
6 Aspinall, “A Nation In Fragments,” 29–30.
7 Aspinall, “A Nation In Fragments,” 30.
8 Julianus Mojau, “Analisis Kritis Konstruktif Praksis Teologi Publik Gereja Masehi Injili Halmahera di Era Otonomi Daerah,” Kurios 7, no. 2
(Oktober 31, 2021): 323, hps://www.spb.ac.id/e-journal/index.php/kurios/article/view/364.
9 Benediktus Denar, “Melacak Daya Jalar Neoliberalisme Global, Penderitaan Sebagai Basis Etis Pembangunan dan Opsi Pengembangan Mas-
yarakat Versi Gereja Katolik,” Jurnal Alternatif-Wacana Ilmiah Interkultural 9, no. 1 (2020): 108–9.
10 Denar, “Melacak Daya Jalar Neoliberalisme Global, Penderitaan Sebagai Basis Etis Pembangunan dan Opsi Pengembangan Masyarakat Versi
Gereja Katolik,” 116.
RINTO PANGARIBUAN
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 25
bersikap inklusif.11 Sikap inklusif ditunjukkan dengan menyarankan agar anggota gereja
memiliki “nilai tambah” sehingga mampu berperan kompetitif, ekonomis, adaptif, dan
partisipatif di tengah eksistensi neoliberalisme.
12
Kedua penelitian tersebut menunjukkan
dua hal dalam diskursus teologis tentang neoliberalisme di Indonesia. Pertama, wacana
neoliberalisme masih sepi dari pergulatan teologis di Indonesia. Kedua, sikap teologis
terhadap neoliberalisme di Indonesia masih ambigu karena salah satu pihak menolak,
sedangkan pihak lain berusaha adaptif terhadapnya.
Sikap ambiguitas juga terlihat jika menelaah penelitian teologi terkait neoliberal-
isme dari luar Indonesia. Peters menilai neoliberalisme sudah menjadi agama sekuler
pada skala global. Neoliberalisme bercorak religius karena ia menaruh iman pada gerak
pasar untuk mengatur model masyarakat.13 Twomey memperkuat pendapat tersebut. Dia
menyebutkan eksistensi neoliberalisme sudah mengakar kuat pada sistem politik Amerika
Serikat sejak 1970-an. Penguatan terjadi karena teologi Kristen tentang Tuhan—dari teologi
Paulus berdasarkan kajian Caldwell—dinilai selaras dengan agenda neoliberalisme, yaitu
menjunjung kebebasan individu dan pasar bebas.14 Oleh karena itulah, Kirkland menyim-
pulkan neoliberalisme sebagai sebuah model teologi-politik yang berusaha melihat relasi
antara kekuatan ekonomi dan kedaulatan negara.15 Namun, walau penelitian-penelitian itu
seolah mengakui keselarasan antara neoliberalisme dengan teologi, Holden menyerukan
agar gereja menolak kehadirannya. Posisi ini muncul dari pengamatannya perihal kon-
sekuensi neoliberalisme. Dia mengamati eskalasi industri (pertambangan) telah terjadi
sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan, bahkan perampasan tanah rakyat melalui
kekerasan militer.
16
Eskalasi industri dimungkinkan karena pemerintah—melalui agenda
neoliberalisme—menetapkan standar kemajuan pada pertumbuhan ekonomi. Ramey
me lontarkan pendapat serupa juga. Dia menilai neoliberalisme berperan sebagai pemantik
kemunculan katastrofe sosial sehingga agendanya—pemosisian pasar sebagai orientasi
politik—perlu dibongkar.17 Selain memoles paras sosial, neoliberalisme juga turut andil
mengubah pola perilaku individu. Winslow melihat neoliberalisme memengaruhi cara
hidup personal—secara khusus mahasiswa di lingkungan universitas. Kampus mengubah
mereka menjadi individualis dan egois. Kondisi tersebut terjadi karena universitas telah
menetapkan paradigma pasar sebagai orientasi pendidikan sehingga kompetisi menjadi
kelaziman dalam dunia akademik.
18
Jadi, uraian ini menunjukkan ambiguitas teologis
11 Keristian Dahurandi, “Sikap Gereja Terhadap Bahaya Neoliberalisme Kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean Dalam Konteks Negara Kesatuan
Republik Indonesia,” Jurnal Alternatif-Wacana Ilmiah Interkultural 1, no. 2 (2017): 77.
12 Dahurandi, “Sikap Gereja Terhadap Bahaya Neoliberalisme Kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean Dalam Konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia,” 90–91.
13 Timothy D. Peters, “Corporations, Sovereignty and the Religion of Neoliberalism,” Law and Critique 29, no. 3 (November 4, 2018): 271–292, hp://
link.springer.com/10.1007/s10978-018-9231-1.
14 Jay Twomey, “Apostle to Nixonland: Taylor Caldwell’s Paul and the Unknown God of Neoliberalism,” Political Theology 22, no. 8 (November 17,
2021): 665–79, hps://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/1462317X.2020.1855844.
15 Sco A. Kirkland, “Hayekian Neoliberalism as Negative Political Theology,” Political Theology 21, no. 7 (Oktober 2, 2020): 623–33, hps://www.
tandfonline.com/doi/full/10.1080/1462317X.2020.1800197.
16 William Norman Holden, “Ecclesial Opposition to Large-Scale Mining on Samar: Neoliberalism Meets the Church of the Poor in a Wounded
Land,” Religions 3, no. 3 (September 7, 2012): 833–61, hp://www.mdpi.com/2077-1444/3/3/833.
17 Joshua Ramey, “Neoliberalism As A Political Theology of Chance: The Politics of Divination,” Palgrave Communications 1, no. 1 (Desember 8,
2015): 4, hp://www.nature.com/articles/palcomms201539.
18 Luke Winslow, “Rich, Blessed, and Tenured: A Homological Exploration of Grant Writing, Prosperity Theology, and Neoliberalism,” Western
Journal of Communication 79, no. 3 (Mei 27, 2015): 257–82, hp://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10570314.2015.1035748.
26 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
terhadap neoliberalisme yang juga muncul dari penelitian teologi di luar Indonesia.
Lalu, bagaimana dengan perspektif teologi Reformed? Sepanjang penelusuran penu-
lis, teologi Reformed belum pernah mengangkat neoliberalisme sebagai topik kajian utama
dalam kurun sepuluh tahun terakhir.19 Artinya, terjadi kekosongan pengetahuan tentang
neoliberalisme dari teologi Reformed. Jika terdapat ambiguitas sikap dan kekosongan
pengetahuan secara teologis, lalu bagaimana sebaiknya kekristenan menyikapi neolibe-
ralisme? Apakah kekristenan harus menerima neoliberalisme sebagai sebuah kenyataan
terberi, lalu kemudian menyesuaikan diri terhadapnya? Apakah kekristenan harus meno-
laknya karena tendensi neoliberalisme menimbulkan dampak negatif kepada masyarakat?
Atau, adakah jalan tengah selain dua oposisi di atas? Teologi perlu menjawab pertanyaan
ini. Alasannya karena natur teologi adalah bersifat publik, yaitu iman berkorelasi dengan
pengalaman umat manusia pada tataran sosial.20 Korelasi tersebut berangkat dari pema-
haman kekristenan tentang Allah sebagai pencipta dan pemelihara dunia. Allah hadir
dalam semua pengalaman manusia secara universal. Oleh karena itu, teologi berperan
untuk mengaktualisasikan kehadiran Allah sebagai bukti pemeliharaan-Nya.21 Ini juga-
lah alasannya Jürgen Moltmann menyebutkan watak teologi adalah publik.22 Jika teologi
gagal menyatakan sikap terhadap sebuah kenyataan sosial (neoliberalisme), kekristenan
berpotensi kehilangan fungsinya sebagai mandataris Allah di bumi.
Agar kekristenan mampu mengamanatkan peran sebagai mandataris Allah dalam
konteks neoliberalisme, teologi perlu menyatakan sikap. Untuk menjawab tantangan
tersebut, kita membutuhkan sebuah perspektif teologis. Tulisan ini akan berangkat dari
pemikiran John Calvin sebagai kacamata untuk merespons neoliberalisme. Selain dikare-
nakan Calvinisme merupakan “rumah” berteologi penulis, setidaknya terdapat dua alasan
lain memilih pemikiran Calvin sebagai lensa. Pertama, pemikiran Calvin ikut mengem-
bangkan ide-ide pokok liberalisme.
23
Dalam hal ini, liberalisme adalah sebuah paham
yang meletakkan kebebasan individu di episentrum pemikirannya. Konteks ini perlu
diperhatikan karena, seperti yang akan ditunjukkan nanti, neoliberalisme merupakan hasil
restorasi dari liberalisme. Kedua, pemikiran Calvin dipilih karena kerangka pemikiran
etikanya disebut-sebut sebagai dasar dari model ekonomi modern.24 Sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya, orientasi neoliberalisme terletak pada ekonomi. Karena pemikiran
-
nya berkaitan dengan perkembangan liberalisme dan model ekonomi modern, teologi
Calvin menemukan signikansinya sebagai teropong dalam menyikapi neoliberalisme.
Sementara itu, tulisan ini akan berangkat dari pemikiran Walter Lippmann guna meng-
uraikan seluk-beluk neoliberalisme karena dua alasan. Pertama, istilah “neoliberalisme”
19 Penulis melakukan pencarian artikel di Google Cendekia dan dengan bantuan perangkat lunak Publish or Perish pada 23/12/202, 17.13 WIB.
20 Eneida Jacobsen, “Models of Public Theology,” International Journal of Public Theology 6, no. 1 (2012): 11–13. hps://doi.org/10.1163/156973212X617154.
21 Chul Ho Youn, “The Points and Tasks of Public Theology,” International Journal of Public Theology 11, no. 1 (2017): 68, hps://brill.com/view/
journals/ijpt/11/1/article-p64_5.xml.
22 Jürgen Moltmann, God for a Secular Society: The Public Relevance of Theology (London: SCM Press, 1999), 5.
23 Carol Frances Johnston, “A Protestant Rethinking of Economics for a Healthier World,” American Journal of Economics and Sociology 78, no. 2
(Maret 2019): 363, hps://doi.org/10.1111/ajes.12268.
24 Stephen Count of Bethlen, “The Role of Calvinism in the Development of Modern Economy,” Polgári szemle 14, no. Special Issue (2018): 362,
hps://eng.polgariszemle.hu/current-publication/148-religious-policy-history-and-ideologies/927-the-role-of-calvinism-in-the-development-of-mod-
ern-economy.
RINTO PANGARIBUAN
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 27
pertama kali muncul pada sebuah kolokium mengenai bukunya pada 1938, yaitu The Good
Society (1936).25 Sejak pertemuan ilmiah tersebutlah, konsep dan mekanisme neoliberal-
isme mengalami perkembangan hingga hari ini. Kedua, penulis menimbang perspektif
Lippmann karena alasan historis. Penulis menilai alasan ini penting. Neoliberalisme
merupakan sebuah paham yang “cair” karena memiliki ragam interpretasi.26 Misalnya,
neoliberalisme dipahami sebagai proyek politik, pendukung laissez faire, paham individu-
alisme radikal, hingga disebut-sebut sebagai bentuk termutakhir dari kapitalisme. Karena
kesimpangsiuran denisi, penulis memutuskan untuk menyelidiki denisi neoliberalisme
secara genealogis, yaitu berangkat dari pemikiran Lippmann sebagai pencetus awal term
ini.
Neoliberalisme versi Lippmann menjadikan ekonomi serta kepentingan pasar sebagai
orientasi untuk mengatur kebebasan individu dan menata masyarakat. Akibatnya, neoli-
beralisme memandang manusia sebagai instrumen ekonomi belaka dan mengubah paras
hukum dan pemerintah menjadi pelayan pasar. Paradigma ini bertentangan dengan
kekristenan dari perspektif Calvin yang memandang pemerintahan secara spiritual dengan
orientasi mewujudkan kedamaian, keadilan, dan ketertiban dalam masyarakat. Oleh karena
itulah, kekristenan senantiasa harus mengawasi dan mengkritik neoliberalisme untuk
mengantisipasi dampak negatifnya bagi masyarakat. Namun, walau menolak orientasi
neoliberalisme, bukan berarti Calvin apatis terhadap ekonomi. Alih-alih merancang sebuah
sistem raksasa, Calvin lebih mengedepankan etos solidaritas untuk mengatasi berbagai
permasalahan ekonomi.
Garis besar penelitian ini terdiri dari tiga tahap agar tiba pada argumen tersebut.
Pertama, penulis menguraikan anatomi neoliberalisme untuk mendapatkan pemahaman
tentangnya. Tulisan ini memfokuskan pengamatan pada pemikiran Walter Lippmann,
yakni mulai dari konteks historis pemikirannya dan konsepnya perihal neoliberalisme.
Kedua, tulisan ini memaparkan pemikiran John Calvin, secara khusus idenya tentang peran
negara dan/atau pemerintahan. Penelitian ini memilih untuk menitikberatkan analisis
pada negara/pemerintahan karena mekanisme neoliberalisme berkaitan langsung dengan
cara kelola pemerintahan terhadap masyarakat. Ketiga, sebagai tahap akhir, penulis akan
mendiskusikan konsep Lippmann tentang neoliberalisme dengan pemikiran teologi Calvin
perihal pemerintahan. Hasil diskusi dari kedua pemikiran tersebut akan menjadi jawaban
atas pertanyaan penelitian, yaitu mengenai sikap kekristenan terhadap neoliberalisme.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah
suatu prosedur untuk menghasilkan data dari kajian bahan-bahan pustaka. Hasil peroleh-
an data akan dianalisis secara holistik berdasarkan kerangka berpikir, teori tertentu, atau
25 David Cayla, Populism and Neoliberalism (London & New York: Routledge, 2021), 84.
26 Aeron Davis dan Catherine Walsh, “Distinguishing Financialization from Neoliberalism,” Theory, Culture & Society 34, no. 5–6 (September 3,
2017): 3, hp://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0263276417715511.
28 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
paradigma losos yang melandasinya untuk mencapai tujuan penelitian.27 Dalam hal
ini, bahan-bahan pustaka meliputi buku dan publikasi jurnal ilmiah pada rentang waktu
sepuluh tahun terakhir. Bahan-bahan pustaka tersebut adalah berbagai teks atau tulisan
mengenai neoliberalisme—secara khusus tulisan Walter Lippmann, pemikiran Calvin, dan
topik-topik lain jika dinilai mampu menjawab maksud penelitian. Hasil perolehan data
kemudian akan diorganisasi secara sistematis dan dianalisis untuk menemukan jawaban
atas pertanyaan penelitian.
Sementara itu, teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data
model perbandingan tetap. Jenis analisis ini bertujuan untuk membandingkan antara
kategori data secara tetap agar menarik sebuah kesimpulan sehingga dapat menjawab
pertanyaan penelitian.
28
Tahap pertama adalah mereduksi data, yaitu meringkas pemikiran
Lippmann tentang neoliberalisme dan teologi Calvin tentang pemerintahan. Data tersebut
dikategorikan berdasarkan latar belakang pemikiran, konteks sosial, gagasan pokok, dan
tantangan yang dihadapi. Berbagai kategori data tersebut kemudian akan dibandingkan
untuk menemukan sintesis dan kontras dari kedua pemikiran. Hasil dari perbandingan
akan menjadi bahan utama untuk menarik kesimpulan penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Neoliberalisme Menurut Walter Lippmann
Pengertian tentang neoliberalisme tampil beragam dalam diskursus teologi di
Indonesia. Hal ini tercermin dari berbagai makalah yang memasukkan neoliberalisme
sebagai salah satu konteks penelitian. Sementara mendenisikannya, mereka memak-
nai neoliberalisme sebagai mekanisme pasar bebas, yaitu membiarkan pasar mendikte
harga dan peredaran komoditas;29 dampak globalisasi yang dipicu oleh perkembangan
teknologi; kepercayaan pada kebebasan ekonomi dan perdagangan; serta tumbangnya
ideologi sosialisme;30 dan perkembangan kapitalisme terkini dengan daya ekonomi sebagai
dasar kekuatan sebagai akibat dari kecepatan gerak kultural.31 Walau tidak sepenuhnya
keliru, tetapi berbagai perumusan tersebut merupakan simplikasi terhadap pengertian
neoliberalisme.
Bagian ini akan menunjukkan neoliberalisme merupakan koreksi dari penerapan
liberalisme tradisional. Walter Lippmann adalah pelancar kritik pertama terhadap ide-
ide pokok liberal. Dia menganggap liberalisme telah gagal mengusahakan kesejahteraan
bagi masyarakat—khususnya di Amerika Serikat (AS). Lippmann menyasar korelasi
antara liberalisme dengan kegiatan ekonomi dalam mewujudkan kemapanan, kesejahter-
aan, dan kebebasan individu. Dia mempertanyakan pilihan liberalisme tradisional pada
27 Amir Hamzah, Metode Penelitian Kepustakaan (Batu: Literasi Nusantara, 2019), 25.
28 Ujang Suparman, “Bagaimana Menganalisis Data Kualitatif” (Bandarlampung: Pusaka Media, 2020), 92.
29 Viktor Christanto, “Menuju Teologi Anti-Korupsi: Reeksi Terhadap Narasi Kejadian 3: 1-8,” Rhema: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika 2, no. 2
(2016): 104.
30 Fredrik U Wowor, “Kepemimpinan dalam Keberagaman Indonesia Memahami Globalisasi dengan Analaogi The Lexus and Olive Tree,”
LOGON ZOES: Jurnal Teologi, Sosial dan Budaya 1, no. 1 (2017): 96-97, 100.
31 I Made Suardana, “Mengurai Landasan Konseptual PAK Berbasis Multikultural dalam konteks Indonesia,” Kurios 6, no. 2 (November 2, 2020):
361, hps://www.spb.ac.id/e-journal/index.php/kurios/article/view/150.
RINTO PANGARIBUAN
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 29
doktrin laissez faire ketika ingin mengusahakan kebaikan bagi masyarakat. Inti gagasan
Lippmann terletak pada relasi antara kebebasan individu dengan mekanisme pemerin-
tahan. Dalam rangka memperbaiki struktur sosial, Lippmann menilai pemerintah mesti
menyelaraskan diri dengan orientasi pasar. Sekalipun demikian, kekuasaan pemerintah
perlu dibatasi melalui hukum dan undang-undang. Limitasi otoritas pemerintah bertu-
juan untuk mensterilkan kebebasan individu dari segala bentuk intervensi. Pasar menjadi
kunci karena Lippmann meyakini fondasi dari kebebasan setiap individu terletak pada
kebebasan ekonomi. Dunia kelak akan mengenal konsep dan mekanisme liberalisme sejati
dari Lippmann sebagai neoliberalisme.
Agar tiba pada pemaknaan tentang neoliberalisme seperti uraian di atas, bagian ini
akan menjabarkan pemikiran Lippmann. Karya Lippmann, yaitu The Good Society, akan
menjadi rujukan utama untuk menelaah konsepnya tentang neoliberalisme. Namun,
pemaparan mengenai konteks sosiopolitik pada eranya perlu mendapat perhatian terlebih
dahulu. Tujuannya agar kita memahami maksud pemikiran Lippmann dengan spesik.
Setelah itu, bagian ini akan membicarakan sebuah momen sentral dalam perkembangan
neoliberalisme, yaitu kolokium yang dilatarbelakangi oleh buku tersebut. Momen ini
menjadi penting karena dalam percakapan itulah term “neoliberalisme” pertama kali
disebutkan.
Walter Lippmann adalah sosok penting di balik kebangkitan neoliberalisme. Dia
lahir di New York, 23 September 1889. Poros pemikiran ekonomi-politiknya berangkat
dari latar belakang profesinya, yaitu jurnalistik. Dia meyakini signikansi peran media
massa dalam realitas politik. Menurutnya, wartawan bertugas sebagai penyedia informasi
akurat terkait suatu isu penting dalam dinamika dunia politik.
32
Informasi dari media
akan membantu masyarakat dalam memahami dinamika politik serta menolong pejabat
publik dalam mengambil keputusan. Idealismenya tentang dunia pers mengindikasikan
masyarakat dan pemerintah adalah elemen penting dalam dunia politik.
Latar belakang pandangannya itu berasal dari sikap skeptisnya terhadap demokra-
si.
33
Lippmann menilai demokrasi memiliki kelemahan. Pertama, sistem demokrasi
bergantung kepada warga sipil dengan rata-rata tingkat pengetahuan politiknya rendah.
Lippmann menilai kondisi tersebut berpengaruh langsung terhadap mutu produk politik
dari demokrasi. Kedua, Lippmann keberatan dengan cara-cara demokrasi (liberal) ketika
mengambil sebuah keputusan karena hanya ditentukan oleh segelintir elite tertentu.
Akhirnya, Lippmann menyimpulkan bahwa demokrasi adalah “korup, sewenang-wenang,
sulit, tidak esien, parasit, tidak tegas, dan tidak peka.”34 Artinya, kualitas intelektual
masyarakat sipil dan mekanisme pemerintahan menjadi penentu perkembangan dunia
politik dan demokrasi.
32 Timo Harjuniemi, “Post-truth, fake news and the liberal ‘regime of truth’ – The double movement between Lippmann and Hayek,” European
Journal of Communication 37, no. 3 (Juni 20, 2022): 274, hp://journals.sagepub.com/doi/10.1177/02673231211046784.
33 Ben Jackson, “Freedom, the Common Good, and the Rule of Law: Lippmann and Hayek on Economic Planning,” Journal of the History of Ideas
73, no. 1 (2012): 50, hp://muse.jhu.edu/content/crossref/journals/journal_of_the_history_of_ideas/v073/73.1.jackson.html.
34 Eric Schliesser, “Walter Lippmann: The Prophet of Liberalism and the Road not Taken,” Journal of Contextual Economics – Schmollers Jahrbuch 139,
no. 2–4 (April 1, 2019): 357, hps://elibrary.duncker-humblot.com/doi:10.3790/schm.139.2-4.349.
30 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
Peran masyarakat sipil dan pemerintah juga menjadi sasaran kritik Lippmann atas
kemunculan krisis ekonomi global pada 1930-an awal. Krisis ekonomi, yang dikenal dengan
The Great Depression, merupakan konteks pemikiran Lippmann. Salah satu penyebab krisis
adalah kesalahan kebijakan moneter, khususnya pada aspek hipotek perbankan dan perso-
alan likuiditas bank. Penelitian Postel-Vinay menunjukkan longgarnya regulasi moneter di
AS sejak 1920-an menyebabkan terjadi tumpukan kredit macet sehingga memicu terjadinya
krisis.
35
Karena pemerintah abai mengatur regulasi perbankan, setiap individu (masyarakat)
menjadi bebas meminjam pada bank walau tanpa kemampuan untuk mengembalikan.
Kombinasi antara lemahnya peran pemerintah dan liarnya kebebasan masyarakat menjepit
kondisi keuangan di AS sehingga berujung pada krisis selama satu dekade.
Lippmann kemudian menelusuri induk masalah penyebab rendahnya mutu regulasi
moneter dan penyalahgunaan kebebasan oleh masyarakat sipil. Analisisnya menunjukkan
liberalisme menjadi pangkal semua kekacauan ketika itu. Namun untuk menghindari
salah kaprah, kita perlu memahami terlebih dahulu liberalisme yang sedang diserang oleh
Lippmann. Walau liberalisme berorientasi untuk mewujudkan kebebasan individu, namun
ekspresinya bervariasi di sepanjang sejarah perkembangannya. Lippmann menyerang
liberalisme tradisional yang berakar pada gagasan ekonom Inggris pada abad ke-19, mi sal-
nya, David Ricardo.
36
Liberalisme tradisional mengasumsikan teori laissez faire sebagai
prinsip untuk mengatur kehidupan publik37 sekaligus fondasi kegiatan ekonomi.38 Kaum
Physiocrats, yaitu sebuah mazhab ekonomi kuno di Prancis, merupakan pencetus konsep
laissez faire. Mereka meyakini mekanisme ekonomi harus berjalan secara alamiah dengan
intervensi sesedikit mungkin.39 Mereka mengidealkan kegiatan ekonomi bergerak bebas—
kalau bisa—tanpa aturan. Pengamatan Lippmann menunjukkan asumsi teoretis liberalisme
tradisional yang mengacu pada laissez faire merupakan kambing hitam dari situasi krisis
yang sedang terjadi. Liberalisme tradisional mengizinkan kelonggaran regulasi moneter
sehingga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menyalahgunakan hak dan kebe
-
basannya. Padahal menurut Lippmann, kebebasan “absolut” versi laissez faire mustahil
terjadi karena dia meyakini ide tentang kebebasan, hak, dan kepemilikan dalam sebuah
komunitas masyarakat harus terikat oleh hukum.40 Hukum dan peranan otoritas men-
jadi sentral guna mengatur kegiatan ekonomi dan aktivitas masyarakat di ruang publik.
Namun, liberalisme tradisional (laissez faire) mengabaikan prinsip ini. Akibatnya, mereka
teledor dan menciptakan celah dalam regulasi moneter sehingga memantik terjadinya
krisis. Oleh karena itulah, Lippmann mengatakan bencana yang dialami oleh AS bukan
karena kecelakaan sejarah, melainkan kesalahan intelektual.41
35 Natacha Postel-Vinay, “What Caused Chicago Bank Failures in the Great Depression? A Look at the 1920s,” The Journal of Economic History 76,
no. 2 (Juni 18, 2016): 480–1, 502, hps://www.cambridge.org/core/product/identier/S002205071600053X/type/journal_article.
36 Walter Lippmann, The Good Society (Boston: Lile, Brown and Company, 1938), 202.
37 Lippmann, The Good Society, 185.
38 Lippmann, The Good Society, 203.
39 Cayla, Populism and Neoliberalism, 78.
40 Lippmann, The Good Society, 186.
41 Lippmann, The Good Society, 207.
RINTO PANGARIBUAN
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 31
Jika liberalisme tradisional adalah penyebab kegentingan ekonomi, lantas apa usul
Lippmann untuk mengentaskan krisis ketika itu? Pada konteks Lippmann, sikap para
intelektual terbelah dua. Sebagian dari mereka berniat untuk membuang liberalisme,
sedangkan sisanya berusaha mempertahankannya. Ketika itu, pilihan untuk mengelimi-
nasi liberalisme menjadi populer. Alasannya mudah ditebak, yaitu karena produk akhir
liberalisme tradisional adalah krisis belaka. Sebagai gantinya, mereka berniat untuk beralih
pada kolektivisme. Kolektivisme merujuk pada ideologi komunis yang menempatkan
otoritas negara sebagai sentral bagi kehidupan masyarakat. Negara bertanggung jawab
penuh dalam menata struktur sosial masyarakat. Namun, Lippmann menolak opsi ini.
Dia melihat kolektivisme hanya akan berujung pada kediktatoran atau pemerintahan
otoriter karena kolektivisme telah mengkhianati prinsip dasar kemanusiaan, yaitu kebe-
basan.
42
Kolektivisme mengasumsikan komando menjadi dasar keputusan individu.
Supaya memastikan maksudnya, dia merujuk pada rezim Mussolini sebagai model ideal
dari kolektivisme.
43
Lippmann kemudian menarik kesimpulan bahwa berlabuh pada
kolektivisme merupakan sebuah blunder.
44
Karena bersifat sentralistis, kolektivisme mem-
biarkan negara mengintervensi pilihan ekonomi-politik masyarakat dalam kehidupan
sehari-harinya.45 Sikapnya terhadap kolektivisme menempatkan Lippmann pada sebuah
tegangan. Pada satu sisi, dia mustahil bertahan pada liberalisme tradisional karena ter-
bukti telah gagal. Sementara itu, opsi pada kolektivisme juga problematik karena dampak
negatifnya terhadap kebebasan individu. Situasi ini membawa Lippmann pada dilema.
Sementara dilema antara liberalisme tradisional dan kolektivisme, Lippmann meno-
lak untuk memilih salah satunya. Dia bahkan menandaskan kalau kedua pilihan tersebut
mustahil ada jika manusia ingin meningkatkan standar kehidupannya.
46
Alih-alih berfokus
pada dua pilihan tersebut, dia mengusulkan agar kembali pada liberalisme “orisinal.”
Menurutnya, liberalisme adalah paham terbaik untuk mengatur masyarakat dalam sejarah
umat manusia. Lippmann mengatakan, “Liberalism is the normal philosophy of men who live
in a Great Society.”47 Biarpun begitu, liberalisme tradisional belum sempurna. Lippmann
menilai liberalisme tradisional masih berada dalam tahap evolusi untuk mencapai tujuan-
nya.
48
Oleh karena itu, antara pilihan laissez faire dan kolektivisme, Lippmann menjatuhkan
pilihan untuk mengembalikan atau merekonstruksi liberalisme.49
Dalam usaha rekonstruksinya, Lippmann masih berpijak pada asumsi liberalisme.
Dia lugas mengatakan, Freedom was the polestar of the human mind.”50 Kebebasan merupa-
kan elemen penting untuk memajukan kondisi masyarakat
51
sekaligus sebagai energi
42 Lippmann, The Good Society, 53.
43 Lippmann, The Good Society, 51.
44 Lippmann, The Good Society, 184.
45 Lippmann, The Good Society, 307–8.
46 Lippmann, The Good Society, 206.
47 Lippmann, The Good Society, 238.
48 Lippmann, The Good Society, 311.
49 Lippmann, The Good Society, 159–325
50 Lippmann, The Good Society, 45.
51 Lippmann, The Good Society, 20.
32 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
pencipta kebaikan.52 Lippmann memang bersitegang dengan teori laissez faire. Namun,
dia mengakui semangat awal laissez faire adalah revolusioner karena bertujuan untuk
menjamin kebebasan.53 Hanya saja, Lippmann menilai laissez faire relevan hanya pada era
kebangkitan Revolusi Industri, bukan pada saat kondisi krisis.
54
Artinya, Lippmann hanya
menentang praktik liberalisme tradisional, bukan asumsinya.
Langkah pertama rekonstruksi adalah mendenisikan kebebasan. Lippmann
me nyadari usaha untuk memaknai kebebasan merupakan pekerjaan sulit. Dia mengatakan,
There is no commonly accepted denition of liberty.55 Rumusan kebebasan begitu abstrak.
Lippmann menilai ragam denisi losos tentang kebebasan selalu terasa “longgar” jika
direalisasikan secara konkret. Misalnya, Lippmann mengutip pendapat John Stuart Mill,
yaitu kebebasan harus memiliki batas.
56
Namun, pertanyaan problematiknya, adakah
batas universal dari kebebasan? Berdasarkan pengamatan kritisnya terhadap pengertian
kebebasan, Lippmann akhirnya tiba pada kesimpulan:
You achieve nothing but confusion if you begin by announcing that politics must achieve
“justice” or “liberty” or “happiness.” Even though you are perfectly sure that you know
exactly what these words mean translated into concrete experiences, it is very doubtful
whether you can really convey your meaning to anyone else.57
Walau peran kebebasan sentral bagi liberalisme, namun Lippmann menyadari denisinya
adalah sebuah enigma.
Lantas, apa rumusan Lippmann perihal kebebasan? Jika berkaca pada kenyataan,
Lippmann meyakini kebebasan bukanlah kondisi alamiah manusia. Realitas menunjukkan
lembaga-lembaga masyarakat, seperti keluarga, gereja, dan negara dapat melakukan sensor
sehingga membatasi kebebasan individu.
58
Oleh karena itulah, Lippmann meyakini kebe-
basan tidak turun dari langit. Dia mengatakan, “But the reality of freedom was not achieved
by proclamation. For that the revolution had to go on....”59 Artinya, kebebasan merupakan
hasil dari sebuah usaha. Manusia harus mengondisikan keadaannya agar memperoleh
kebebasannya.
Untuk mengusahakan kebebasannya, setiap individu harus memenuhi sebuah pra-
syarat utama, yaitu kepemilikan properti. Lippmann mengatakan, “...the only dependable
foundation of personal liberty is the personal economic security of private property.60 Mengapa
kepemilikan properti menjadi sebuah keharusan untuk mengusahakan kebebasan?
Kepemilikan properti menjamin seseorang berdikari secara ekonomi sehingga mencukupi
kebutuhannya sendiri. Akibatnya, kehidupan seseorang menjadi independen atau tidak
memiliki ketergantungan kepada orang lain. Jika seseorang berdaulat secara ekonomi, dia
52 Lippmann, The Good Society, 357.
53 Lippmann, The Good Society, 185.
54 Lippmann, The Good Society, 373.
55 Walter Lippmann, Men of Destiny (New Jersey: Transaction Publishers, 2003), 103.
56 Lippmann, Men of Destiny, 95.
57 Walter Lippmann, A Preface to Politics (New York, NY: Mitchell Kennerley, 1913), 199.
58 Lippmann, Men of Destiny, 99.
59 Lippmann, A Preface to Politics, 156.
60 Lippmann, The Method of Freedom, 101.
RINTO PANGARIBUAN
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 33
bebas berpikir, bersikap, menyatakan pendapat, bahkan memberontak dengan leluasa jika
diperlukan.61 Pengamatan Lippmann terhadap sejarah menunjukkan absolutisme, tirani,
dan pengekangan kebebasan terjadi karena kondisi mayoritas masyarakat sebuah negara
adalah miskin.62 Sebaliknya, jika masyarakat berkecukupan secara ekonomi, mereka bebas
mengekspresikan diri karena tidak khawatir dengan kemelaratan. Oleh karena itulah,
Lippmann menyatakan fondasi kebebasan adalah kepemilikan properti (private property).
Akan tetapi, andaikan prasyarat private property terpenuhi, apakah kebebasan akan
otomatis terwujud secara ideal? Jawaban pertanyaan ini kompleks karena kebebasan
memiliki, setidaknya, dua sisi gelap. Pertama, kebebasan selalu berada dalam wilayah konf-
lik.63 Kebebasan seseorang dapat bertentangan dengan kebebasan orang lain dan sistem
norma yang berlaku di masyarakat. Kebebasan juga bisa menjadi dalih sehingga se seo-
rang dapat bertindak sewenang-wenang. Alih-alih menciptakan kesejahteraan, kondisi
demikian malah menimbulkan kekacauan. Oleh karena itulah, kedua, kebebasan—secara
inheren—mempunyai potensi destruktif pada dirinya. Jika disalahgunakan, kebebasan
dapat menghancurkan otoritas dan tatanan moral yang telah lama dibangun oleh ma -
syarakat.
64
Artinya, andaikan prasyarat private property terpenuhi, perwujudan kebebasan
masih memerlukan syarat tambahan agar meredam potensi konik dan sisi destruktif
dari kebebasan .
Potensi konik dan sisi destruktif dari kebebasan mengindikasikan kebebasan abso-
lut mustahil terjadi. Dengan kata lain, karakter kebebasan adalah relatif sehingga perlu
pembatasan. Lippmann menemukan solusi pembatasan kebebasan dengan mengadopsi
prinsip dari kolektivisme. Kolektivisme bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat
secara resmi oleh negara.
65
Mekanismenya bersifat hierarki sehingga mirip dengan sistem
komando militer. Aparatus negara dan seperangkat hukum menjadi perpanjangan tangan
pemerintah guna menertibkan kehidupan sosial. Lippmann menyetujui urgensi perang-
kat hukum untuk membatasi kebebasan individu sehingga kebebasan menjadi relatif di
hadapan pemerintah dan hukum.66 Artinya, liberalisme ala Lippmann mengedepankan
logika hukum, bukan naluri atau kebiasaan.67 Walau meminjam pemikiran kolektivisme,
Lippmann tidak serta-merta menerimanya sepenuhnya. Dia menyadari bahaya fasisme
sedang mengintip di balik kolektivisme.
68
Pasalnya, alih-alih membatasi kebebasan, kolek-
tivisme berpotensi untuk merampasnya. Lalu, bagaimana mengantisipasi persoalan ini?
Jawaban Lippmann sederhana, yaitu pembatasan peran pemerintah69 melalui hukum.70
Dengan demikian, Lippmann juga menampik gagasan absolutisme negara. Kebebasan
individu dan otoritas negara selalu bersifat relatif dan tidak pernah absolut.
61 Lippmann, The Method of Freedom, 101.
62 Walter Lippmann, The Method of Freedom (New York, NY: The Macmillan Company, 1934), 100–10.
63 Lippmann, Men of Destiny, 106.
64 Lippmann, Men of Destiny, 67.
65 Lippmann, The Method of Freedom, 62.
66 Lippmann, The Good Society, 355–6.
67 Lippmann, The Good Society, 342.
68 Lippmann, The Method of Freedom, 40.
69 Lippmann, The Good Society, 24.
70 Lippmann, The Good Society, 284, 307.
34 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
Posisi Lippmann merupakan sintesis antara liberalisme dan kolektivisme. Dia mene-
rima sekaligus menolak keduanya. Liberalisme mengasumsikan kebebasan merupakan
elemen asasi manusia. Namun, Lippmann meyakini kebebasan tidak bersifat absolut, tetapi
relatif. Di sisi lain, Lippmann juga percaya pada ide kolektivisme bahwa pemerintah perlu
membatasi kebebasan warganya. Namun, otoritas pemerintah juga perlu dipagari agar
terhindar dari bahaya fasisme. Inilah inti gagasan Lippmann dalam merestorasi liberal-
isme. Dia menyebutnya sebagai free collectivism karena kebebasan individu dibatasi oleh
otoritas pemerintah yang terbatas.71
Lalu, apa saja batasan dari tugas pemerintah? Telah disebutkan sebelumnya, sumber
kebebasan individu bertumpu pada kemajuan ekonomi. Oleh karena itu, Lippmann me ne-
gaskan fungsi utama pemerintah adalah menjamin kesejahteraan ekonomi masyarakat.72
Pemerintah, melalui perangkat hukumnya, mesti memastikan kebebasan setiap orang
untuk melakukan aktivitas ekonomi73 dan segala kegiatan di pasar berlangsung secara
adil.74 Segmen lainnya tentang pembatasan pemerintahan adalah mengenai strukturnya.
Lippmann meyakini desentralisasi merupakan bentuk terbaik agar tugas pemerintah
efektif dan esien.
75
Jika struktur hierarkinya dipecah, pemerintah akan mampu melayani
masyarakat secara luas. Jika masyarakat puas dengan kinerja pemerintah, mereka tidak
akan melakukan pemberontakan. Dengan kata lain, Lippmann percaya pembatasan struk-
tur (desentralisasi) dan tugas (berfokus pada ekonomi) akan menjamin kebebasan setiap
individu.
Ide Lippmann untuk memperbaharui liberalisme dengan membatasi peran dan
struktur pemerintah menarik perhatian publik ketika itu. Para ekonom, pemikir politik,
pebisnis, dan dosen dari Eropa, Australia, dan Amerika Serikat sepakat untuk membuat
sebuah kolokium untuk membahas pemikirannya pada Agustus 1938. Kolokium bertujuan
untuk menemukan the new tasks of a true liberalism.”
76
Para peserta sama-sama meresahkan
pengaruh liberalisme tradisional yang dinilai telah gagal karena menciptakan kesengsaraan
di tengah masyarakat.
77
Pada kolokium inilah, istilah neoliberalisme pertama kali muncul
secara formal.78
Mayoritas peserta kolokium tampaknya sependapat dengan ide-ide pokok dan
kritik Lippmann terhadap liberalisme. Mereka setuju liberalisme telah korup79 sehingga
perlu dijaga agar terhindar menjadi anarkisme.
80
Oleh karena itulah, sistem moral ter-
tentu harus mengawal kebebasan.81 Peserta kolokium juga mengakui signikansi peran
71 Lippmann, The Method of Freedom, 111.
72 Lippmann, The Method of Freedom, 36.
73 Lippmann, The Good Society, 238.
74 Ibid., 295, 296.
75 Lippmann, The Good Society, 313–4.
76 Jurgen Reinhoudt dan Serge Audier, “Foreword and Opening Lectures of the Walter Lippmann Colloquium,” dalam The Walter Lippmann Collo-
quium (Cham: Springer International Publishing, 2018), 93, hp://link.springer.com/10.1007/978-3-319-65885-8_3.
77 Jurgen Reinhoudt dan Serge Audier, “Introduction,” dalam The Walter Lippmann Colloquium (Cham: Springer International Publishing, 2018), 22,
hp://link.springer.com/10.1007/978-3-319-65885-8_1.
78 Reinhoudt dan Audier, “Introduction,” 6.
79 Reinhoudt dan Audier, “Foreword and Opening Lectures of the Walter Lippmann Colloquium,” 109.
80 Reinhoudt dan Audier, “Foreword and Opening Lectures of the Walter Lippmann Colloquium,” 111.
81 Jurgen Reinhoudt dan Serge Audier, “Psychological and Sociological Causes, Political and Ideological Causes, of the Decline of Liberalism,”
dalam The Walter Lippmann Colloquium (Cham: Springer International Publishing, 2018), 175, hp://link.springer.com/10.1007/978-3-319-65885-8_8.
RINTO PANGARIBUAN
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 35
ekonomi sebagai esensi liberalisme,82 bahkan meradikalkannya dengan cita-cita mencip-
takan sebuah sistem ekonomi global.83 Untuk memastikan kesehatan pasar, mereka juga
meyakini pe ranan supremasi hukum. Oleh karena itulah pada kolokium itu, Lippmann
mengatakan basis liberalisme adalah pengorganisasian modus produksi oleh sebuah
sistem legal.
84
Mereka juga percaya pada pembatasan peran pemerintah agar tidak terjebak
menjadi kolektivisme.
85
Jika terpaksa harus campur tangan, pemerintah wajib memastikan
intervensinya selaras dengan kepentingan pasar.
86
Inilah sistem liberalisme sejati menurut
mereka.
Lippmann dan peserta kolokium kemudian menyadari kalau pemahaman mereka
mengenai liberalisme sudah berbeda dengan pemahaman umum. Mereka setuju dengan
mimpi idealnya, namun menolak mekanismenya. Diskontinuitas pemaknaan atas libe-
ralisme menjadi alasan untuk mencari nama baru pada liberalisme. Kolokium tersebut
memunculkan beberapa usulan, yaitu constructor liberalism, positive liberalism, left liberalism,
social liberalism, dan neo-liberalism. Nama terakhir, yaitu neoliberalisme, akhirnya dipilih.
Alasan untuk membubuhkan “neo” pada “liberalisme” karena kolokium diselenggara-
kan untuk merestorasi gagasan liberalisme, bukan untuk membuangnya.
87
Perbedaan
mendasar antara liberalisme tradisional dengan neoliberalisme hanya pada mekanisme
dalam mewujudkan kebebasan individu. Cara baru inilah (peran pemerintah dan hukum)
menjadi sumbangan baru terhadap liberalisme tradisional menjadi neoliberalisme.
Sebagai penutup bagian ini, setidaknya terdapat empat pokok pikiran penting untuk
memahami neoliberalisme. Pertama, konteks kelahiran neoliberalisme adalah krisis, yaitu
Depresi Besar pada 1930-an. Kedua, neoliberalisme lahir di tengah pertempuran ideolo-
gis antara liberalisme tradisional dengan kolektivisme (komunisme). Ketiga, pembacaan
terhadap neoliberalisme terkait erat dengan kritik terhadap liberalisme tradisional dan
usaha merestorasinya. Keempat, usulan neoliberalisme untuk memperbaiki liberalisme
tradisional adalah memasukkan peran pemerintah (yang terbatas) dan hukum untuk
mengatur kebebasan individu.
Teologi Pemerintahan Calvin
Berdasarkan keempat pokok yang sudah disebutkan, inti sari neoliberalisme adalah
campuran antara kepentingan ekonomi-politik dan lembaga pemerintahan untuk mewu-
judkan kebebasan individu. Asal-usul pemikiran tersebut berasal dari pengamatan
Lippmann mengenai kebebasan. Dia meyakini kebebasan selalu bersifat relatif sehingga
ia perlu dibatasi. Otoritas pemerintah melalui perangkat hukumnya berperan untuk
82 Reinhoudt dan Audier, “Foreword and Opening Lectures of the Walter Lippmann Colloquium,” 115.
83 Jurgen Reinhoudt dan Serge Audier, “Liberalism and Economic Nationalism,” dalam The Walter Lippmann Colloquium (Cham: Springer Interna-
tional Publishing, 2018), 144, hp://link.springer.com/10.1007/978-3-319-65885-8_6.
84 Jurgen Reinhoudt dan Serge Audier, “The Agenda of Liberalism,” dalam The Walter Lippmann Colloquium (Cham: Springer International Publish-
ing, 2018), 177–179, hp://link.springer.com/10.1007/978-3-319-65885-8_9.
85 Arnaud Diemer, “The Colloque Walter Lippmann: How to Rebuild the Foundations of Liberalism?,” Journal of Contextual Economics – Schmollers
Jahrbuch 139, no. 2–4 (April 1, 2019): 228, hps://elibrary.duncker-humblot.com/doi:10.3790/schm.139.2-4.225.
86 Jurgen Reinhoudt dan Serge Audier, “The Theoretical and Practical Problems of a Return to Liberalism,” dalam The Walter Lippmann Colloquium
(Cham: Springer International Publishing, 2018), 187, hp://link.springer.com/10.1007/978-3-319-65885-8_10.
87 Reinhoudt dan Audier, “Foreword and Opening Lectures of the Walter Lippmann Colloquium,” 114.
36 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
menata kebebasan agar menciptakan keadilan dan ketertiban dalam masyarakat. Karena
episentrum neoliberalisme adalah pemerintahan, bagian ini akan memfokuskan uraian
tentang teologi John Calvin mengenai pemerintahan.
Sebagai gambaran besar, bagian ini akan menunjukkan pandangan Calvin tentang
pemerintahan sebagai sebuah lembaga untuk mengatur, memelihara, dan menyelaraskan
cara hidup masyarakat agar sesuai dengan kehendak Allah. Karena berkaitan dengan
penataan cara hidup, eksistensi aturan dan supremasi hukum menjadi niscaya. Oleh karena
itu, bagian ini akan menunjukkan dasar pemerintahan versi Calvin adalah seperangkat
hukum yang berasal dari Tuhan, yakni Alkitab. Untuk memastikan penerapan hukum,
Calvin membentuk magistrat atau konsistori dengan integritas dan kesadaran akan pang-
gilan sebagai dasar kinerjanya.
John Calvin lahir di Noyon, Perancis pada 1509 dan berasal dari keluarga kaya. Pada
mulanya, ayahnya menginginkan dia untuk menjadi pendeta sehingga memasukkannya
ke universitas untuk belajar teologi. Setelah Calvin belajar teologi beberapa saat, ayahnya
kemudian berubah pikiran. Dia mengganti studi anaknya menjadi hukum karena merasa
karier seorang sarjana hukum lebih menjanjikan. Namun, setelah ayahnya meninggal pada
tahun 1531, Calvin memutuskan untuk kembali belajar teologi.88 Setelah merampungkan
studi teologinya, lewat tuntunan tangan Ilahi, Calvin menetap di Jenewa dan menjadi
pendeta dan professor of divinity di sana.89 Jenewa menjadi semacam laboratorium teologi
bagi Calvin. Permasalahan sosial kota itu banyak membidani kelahiran pemikiran teolo-
gisnya, secara khusus tentang politik dan pemerintahan.
Walau memiliki jabatan terhormat, masyarakat Jenewa pernah memutuskan untuk
membuang Calvin. Latar belakangnya adalah kondisi multikrisis di Jenewa yang padat
penduduk (akibat menampung pengungsi Protestan dari Prancis yang berkonik dengan
Katolik90) dan permasalahan ekonomi91 sehingga meningkatkan angka kriminalitas dalam
masyarakat, bahkan pejabat.
92
Calvin pun menganggap masyarakat jahat dan korup
secara moral sehingga menolak untuk melayani di dalam Perjamuan Kudus.93 Karena
menurut Calvin, syarat seseorang layak mengikuti Perjamuan Kudus bukan sekadar
percaya kepada Yesus Kristus, tetapi harus berpartisipasi dalam kemanusiaan Kristus,
yakni cinta kasih, pengampunan, dan solidaritas terhadap sesama anggota tubuh Kristus.
94
Padahal, Perjamuan Kudus menjadi episentrum dan “kartu” identitas kekristenan pada
bangunan teologi abad ke-16.95 Dengan kata lain, penolakan Calvin melayani di dalam
Perjamuan Kudus adalah bentuk penyangkalan terhadap identitas kekristenan jemaat
88 G. Sujin Pak, “John Calvin’s Life,” dalam John Calvin in Context, ed. R. Ward Holder (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 10, hps://
www.cambridge.org/core/product/identier/9781108687447%23CN-bp-1/type/book_part.
89 Theodore Beza, The Life of John Calvin (Philadelphia: J. Whetham, 1836), 12–13.
90 Jesse Spohnholz, “Refugees,” dalam John Calvin in Context, ed. R. Ward Holder (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 147, hps://
www.cambridge.org/core/product/identier/9781108687447%23CN-bp-17/type/book_part.
91 Spohnholz, “Refugees,” 152–3.
92 Beza, The Life of John Calvin, 17–18.
93 Beza, The Life of John Calvin, 18.
94 John Calvin, “A Short Treatise on the Lord’s Supper,” dalam The Collected Works of John Calvin (East Sussex: Delphi Classics, 2020), bab 13.
95 Wim Janse, “Calvin’s Doctrine of the Lord’s Supper,” Perichoresis 10, no. 2 (Juni 2012): 139, hps://www.sciendo.com/article/10.2478/v10297-012-
0007-3.
RINTO PANGARIBUAN
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 37
di Jenewa. Hal ini menyebabkan kemarahan jemaat yang berbuntut pada pembuangan
Calvin.96 Peristiwa pembuangan ini kelak akan menjadi cikal bakal pemikiran Calvin ten-
tang politik dan pemerintahan.
97
Calvin membayangkan hubungan antara otoritas sekuler
dan gereja demi menghasilkan perdamaian dan keadilan sambil mempertahankan batasan
antara pemerintah sipil dan masyarakat.98
Kondisi Jenewa kian bertambah buruk. Senat kota akhirnya memutuskan untuk
memanggil Calvin pulang agar menduduki jabatannya semula demi menertibkan Jenewa
kembali. Calvin menerima tawaran tersebut, dengan peringatan keras kepada para pejabat
kota, “If you desire to have me for your pastor, correct the disorder of your lives. If you have with
sincerity recalled me from my exile, banish the crimes and debaucheries which prevail among you.”
99
Calvin menuntut pertobatan dan perombakan cara hidup masyarakat. Sebelum menerima
jabatannya kembali, Calvin serta-merta menegaskan proyek pertamanya, yaitu memba-
ngun kembali disiplin gereja yang murni berdasarkan ajaran Alkitab. Peran pejabat dan
disiplin akan menjiwai pemikiran Calvin ketika berusaha untuk memperbaiki kota Jenewa.
Usaha Calvin membenahi Jenewa melahirkan pemikiran teologinya tentang peme-
rintahan sipil. Calvin mencatat dua tugas utama pemerintahan sipil.100 Pertama, pemerintah
bertugas untuk menjamin kebebasan masyarakat untuk menyembah Tuhan berdasarkan
ajaran gereja yang sehat. Kedua, pemerintah berkewajiban untuk membentuk perilaku
sosial yang mempromosikan kedamaian dan ketenangan. Kedua tujuan itu membagi
orientasi pemerintahan sipil menjadi dua, yaitu spiritual dan politis. Dikotomi tersebut
berangkat dari pemikiran Calvin tentang dua kerajaan, yaitu Kerajaan Allah dan kerajaan
dunia. Sifat Kerajaan Allah adalah spiritual; berisi tentang pengetahuan tentang Allah
dan natur kebenaran sejati. Sementara itu, kerajaan dunia bersifat temporal dengan tugas
teknis mengenai tata cara mengurus masyarakat.101 Kedua kerajaan berkorelasi untuk
membentuk pemerintahan sipil. Eksistensi Kerajaan Allah mendahului semua jenis ke ra-
jaan di dunia. Oleh karena itu, Kerajaan Allah menjadi bentuk ideal dari kerajaan di dunia.
Artinya, kerajaan dunia (pemerintahan sipil) memproyeksikan diri pada tujuan Kerajaan
Allah.102 Dengan kata lain, fungsi pemerintahan sipil adalah mengejawantahkan cita-cita
Kerajaan Allah di bumi, yaitu penyembahan terhadap Allah dan kedamaian di antara
sesama manusia.
Perhatian pada manusia menjadi sentral pemikiran Calvin, termasuk dalam pan-
dangannya mengenai pemerintahan sipil. Pada bab awal Institutes, Calvin meletakkan arti
penting manusia untuk mendapatkan pengetahuan tentang Allah. Pengetahuan tentang
diri manusia berkorelasi dengan pengetahuan tentang Allah. Calvin mengatakan, “Without
96 Beza, The Life of John Calvin, 19.
97 William Stacy Johnson, John Calvin, Reformer for the 21st Century (Kentucky: Westminster John Knox Press, 2009), 109.
98 Diane C. Margolf, “The French Wars of Religion,” dalam John Calvin in Context, ed. R. Ward Holder (Cambridge: Cambridge University Press,
2019), 52, hps://www.cambridge.org/core/product/identier/9781108687447%23CN-bp-6/type/book_part.
99 Beza, The Life of John Calvin, 25–26.
100 John Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume Two, ed. John T. McNeill (Kentucky: Westminster John Knox Press, 2006), 1487.
101 John Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume One, ed. John T. McNeill (Kentucky: Westminster John Knox Press, 2006), 272, 847.
102 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume Two, 1487.
38 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
knowledge of self-there is no knowledge of God.”103 Sebaliknya, Calvin melanjutkan Without
knowledge of God there is no knowledge of self.”104 Namun, Calvin melihat satu persoalan serius,
yaitu dosa yang merusak natur manusia sehingga kesombongan, kepalsuan, kemunakan,
dan kejahatan memenuhi hati manusia.
105
Karakter jahat ini kemudian memengaruhi kontur
masyarakat di ruang publik, yaitu terciptanya perilaku kekerasan dan berbagai pelanggar-
an.
106
Calvin bahkan menilai kejahatan sudah menjadi prevalensi dalam masyarakat.
107
Walau kejahatan menjadi karakteristik masyarakat, tetapi Calvin melihat manusia memiliki
dorongan natural sebagai makhluk sosial untuk menata dan memelihara struktur ma -
syarakatnya. Naturnya sebagai makhluk sosial kemudian memunculkan kesan universal
bagi semua orang untuk menciptakan ketertiban.108 Kesan universal ini menjadi embrio
dari kebutuhan manusia untuk membentuk pemerintahan sipil.
Calvin menurunkan mekanisme pemerintahan sipilnya dari dua elemen penting.
Pertama adalah supremasi hukum. Urgensi hukum bagi pemerintahan sipil berangkat dari
pandangan Calvin tentang pemeliharaan Allah dan kebebasan manusia. Allah memelihara
ciptaan-Nya karena Dia adalah penciptanya sehingga segala peristiwa dan realitas terjadi
berdasarkan regulasi-Nya.
109
Dalam hal ini, kebebasan manusia juga termasuk dalam
pengawasan dan pemeliharaan Allah. Berdasarkan pembacaannya terhadap Amsal 16:1,
walaupun tampak bebas menentukan pilihan, Calvin meyakini titik pangkal kebebasan
manusia berada pada tangan Allah.
110
Namun, Calvin menyadari kompleksitas dari kebe-
basan. Pada satu sisi, Calvin menerima asumsi umum, yaitu manusia diberkahi dengan
kebebasan.
111
Namun, sejak memiliki status berdosa, Calvin melihat pilihan bebas manusia
akan selalu berujung pada kejahatan. Oleh karena itu, satu-satunya cara memperbaiki ori-
entasi kebebasan yang telah melenceng adalah lewat pertolongan anugerah (secara khusus
Alkitab).112 Calvin menyimpulkan salah satu inti dari Alkitab adalah ajaran atau hukum
mengenai cara hidup manusia agar selaras dengan kehendak Allah.
113
Oleh karena itulah,
Calvin mengikhtisarkan, The law itself points our way to grace.Dengan kata lain, Allah
menggunakan hukum—yang tertulis dalam Alkitab—sebagai perpanjangan tangan-Nya
untuk memelihara ciptaan dan mereorientasi kebebasan manusia. Jadi, pemerintahan
sipil merupakan bagian dari pemeliharaan Allah dengan menggunakan hukum sebagai
instrumen untuk mengatur masyarakat dan kebebasan individu.114
Elemen penting kedua dalam mekanisme pemerintahan sipil adalah integritas peja-
bat pemerintahan (magistrate). Calvin memandang perlu pejabat pemerintahan untuk
me negakkan hukum dalam masyarakat. Namun, Calvin mengingatkan para magistrate
103 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume One, 35.
104 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume One, 37.
105 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume One, 554.
106 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume One, 23.
107 John Calvin, “The Necessity of Reforming the Church (1543),” dalam The Collected Works of John Calvin (East Sussex: Delphi Classics, 2020).
108 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume One, 272.
109 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume One, 198, 200.
110 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume One, 205.
111 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume One, 260.
112 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume One, 262.
113 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume One, 324.
114 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume Two, 1494.
RINTO PANGARIBUAN
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 39
agar mengingat identitas mereka. Jabatan tersebut berasal dari Allah sehingga mereka
berperan sebagai mandataris-Nya di bumi agar hukum-Nya dapat terealisasi dalam ma -
syarakat.115 Karena berperan sebagai wakil Allah, mereka harus menunjukkan perhatian,
keseriusan, dan ketekunan sehingga menjadi gambaran tentang pemeliharaan, perlindu-
ngan, kebaikan, kebajikan, dan keadilan ilahi.
116
Para pejabat harus berpihak kepada orang
miskin, menempatkan Alkitab sebagai sumber hukum utama, tidak menerima suap, dan
membela kelompok masyarakat yang tertindas.
117
Dengan kata lain, Calvin menginginkan
hukum yang sempurna dari Alkitab juga harus digenapi melalui integritas yang bertang-
gung jawab dari para pemangkunya.
Akan tetapi, ide Calvin untuk membentuk sebuah pemerintahan sipil berdasarkan
supremasi hukum dan integritas pejabatnya tampaknya mendapat penolakan. Muncul
anggapan dari sebuah kelompok masyarakat, yaitu hanya Kristus yang berhak memimpin
sebuah masyarakat, bukan magistrate. Mereka mengedepankan peranan kerajaan spiritual
daripada kerajaan politis.118 Mereka berpikir sistem masyarakat dan dunia akan hancur
dengan atau tanpa sebuah sistem pemerintahan karena dosa. Oleh karena itulah, mereka
meyakini membentuk kerajaan duniawi, magistrate, dan berbagai sistem pemerintahan
lainnya adalah sia-sia belaka.
Calvin menolak pandangan di atas dengan dua alasan. Pertama, seperti yang sudah
disebutkan sebelumnya, Calvin meyakini dua kerajaan memiliki relasi positif, bukan anti-
tesis. Kerajaan Allah adalah orientasi kerajaan politis sehingga kerajaan politis bertugas
untuk menerapkan nilai-nilai Kerajaan Allah di bumi. Kedua, Calvin menilai alasan para
penolak sistem pemerintahan sipil sebagai sebentuk kenaifan. Menurut Calvin, mereka
melupakan kenyataan bahwa kejahatan mengintip di berbagai sudut struktur sosial manu-
sia. Artinya, kondisi masyarakat mustahil berada pada kondisi sempurna. Karena realitas
kejahatan adalah niscaya, struktur sosial membutuhkan perangkat hukum guna membatasi
kejahatan tersebut sehingga kelompok masyarakat yang lemah terlindungi.119 Dengan kata
lain, Calvin meletakkan hukum dengan peran ganda. Selain untuk membatasi kejahatan,
hukum juga berperan untuk memberi kerangka kepada masyarakat agar hidup dengan
cara yang benar.120 Walau mengimani eksistensi Kerajaan Allah sebagai satu-satunya
sistem paling sempurna, namun Calvin tetap realistis. Dia meyakini masyarakat sipil
masih membutuhkan sistem untuk menata kehidupannya agar menciptakan kedamaian
dan keselarasan cara hidup dengan hukum Allah.
Peran magistrate bagi masyarakat sipil pada abad ke-16 menunjukkan hasil positif.
Calvin sukses menciptakan simbiosis antara pemerintahan sekuler dengan gereja sehingga
menciptakan keadilan, kedamaian, dan keteraturan di tengah masyarakat sipil. Calvin ber-
hasil menegakkan hukum dari pemerintahan politik sambil menjaga batasannya dengan
115 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume Two, 1488–9.
116 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume Two, 1491.
117 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume Two, 1496.
118 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume Two, 1486.
119 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume Two, 1487–8.
120 Johnston, “A Protestant Rethinking of Economics for a Healthier World,” 375.
40 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
hukum Allah.
121
Setiap gereja lokal memiliki magistrate dan dikenal dengan isitlah konsistori
ketika itu. Tugas konsistori bukan lagi sekadar mengurus perkara gerejawi, melainkan
mereka melibatkan diri untuk menegakkan disiplin dalam masyarakat sipil. Walau tidak
berhak menjatuhkan sanksi berdasarkan hukum sekuler, mereka dapat melakukan bebe-
rapa tindakan. Misalnya, mereka bisa melakukan investigasi terhadap kejahatan kriminal;
memberi sanksi penjara sementara; menuntut denda; dan terlibat dalam kasus-kasus
serius di ruang publik. Alhasil, konsistori berpartisipasi aktif untuk menegakkan disiplin
dalam masyarakat.
122
Dalam hal ini, Calvin berhasil menjaga keseimbangan antara kekua-
tan politik dan agama. Kedua entitas berjalan secara pararel sambil menjaga batasan
masing-masing.
Jemaat dalam konsistori berperan aktif secara signikan dalam meningkatkan kedi-
siplinan di masyarakat. Mayoritas komposisi keanggotaan konsistori diisi oleh jemaat
awam dibandingkan pendeta. Desain keanggotaan ini mengakibatkan karakteristik konsis-
tori menjadi bernuansa lokal.
123
Dengan kata lain, lokalitas mengubah corak pemerintahan
gereja menjadi desentralisasi. Akibatnya, mereka memiliki yurisdiksi otonom terhadap
komunitas masing-masing. Ketika masing-masing komunitas berhasil memaksimalkan
peran konsistori, cara hidup jemaat lokal berubah mengikuti standar hukum Tuhan.
Perubahan hidup jemaat lokal kemudian akan memengaruhi masyarakat sipil.
124
Artinya,
perubahan pada masyarakat sipil terjadi dengan dua cara, yaitu melalui jalur transformasi
struktural (konsistori) dan keteladanan hidup individual jemaat lokal.
Berdasarkan uraian ini, setidaknya terdapat lima pokok penting untuk memahami
teologi Calvin tentang pemerintahan. Pertama, latar belakang kondisi sosial di Jenewa dan
pendidikan Calvin dalam bidang hukum memengaruhi pemikirannya tentang tata laksana
pemerintahan sipil. Kedua, kondisi masyarakat di Jenewa sedang mengalami degradasi
moral karena dampak negatif dari dinamika sosial, politik, ekonomi, dan religius ketika
itu. Situasi ini memantik Calvin untuk mempertanyakan ulang peranan gereja dalam
dinamika perkembangan masyarakat di ruang publik. Ketiga, Calvin berusaha untuk mem-
perbaiki keadaan dengan memperbaharui peranan gereja. Dia membentuk magistrat atau
konsistori dengan dasar hukum Allah yang diadopsi dari Alkitab. Keempat, hukum akan
memastikan kebebasan setiap individu sesuai dengan kehendak Allah demi mewujudkan
kedamaian, ketertiban, dan keadilan. Kelima, karakteristik pemerintahan adalah spiritual
karena menjangkarkan persoalan duniawi dengan prinsip-prinsip surgawi.
Dampak Antropologi dan Sosiologi dari Neoliberalisme Berdasarkan Perspektif
Calvin
Bagian ini akan mendiskusikan pemikiran Lippmann dan Calvin tentang pemerintahan.
121 Margolf, “The French Wars of Religion,” 52.
122 Jerey R. Wa, “Consistories and Discipline,” dalam John Calvin in Context (Cambridge University Press, 2019), 103, hps://www.cambridge.
org/core/product/identier/9781108687447%23CN-bp-12/type/book_part.
123 Wa, “Consistories and Discipline,” 104.
124 Otniel Murza, “A Comparison of the Church-State Relationship as seen by Catholics, Luther, Zwingli and Calvin, and the Anabaptists during
the Reformation,” dalam RAIS Conference Proceedings 2021 (Research Association for Interdisciplinary Studies, 2021), 95.
RINTO PANGARIBUAN
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 41
Bagian ini akan membandingkan antara pemikiran kedua tokoh dengan melihat persa-
maan, perbedaan, dan implikasi dari masing-masing gagasan. Dengan mendiskusikan
pemikiran kedua tokoh, bagian ini akan memperlihatkan kedua gagasan memang kerap
beririsan pada term yang sama. Namun, pemaknaan mereka terhadap term tersebut ber-
beda karena berangkat dari konteks, latar belakang, dan wawasan dunia yang berlainan.
Jika meninjau latar belakang Walter Lippmann dan John Calvin, kita akan me nemukan
perbedaan dan persamaan dari kedua tokoh tersebut. Salah satu kontras di antara mereka
yang mudah terlihat adalah latar belakang pendidikan dan profesinya. Lippmann me rupa-
kan seorang wartawan pada 1930-an di AS. Sementara itu, Calvin berlatar pendidikan
teologi dan hukum dengan profesi sebagai pejabat gerejawi pada abad ke-16 di Jenewa.
Namun, walau riwayat pendidikan dan profesinya tidak memiliki relasi formal dengan
politik, mereka justru memberi perhatian besar terhadapnya. Informasi ini diperlukan agar
kita dapat memahami asumsi dari keduanya mengenai pemerintahan. Kesamaan kedua
adalah posisi mereka terhadap demokrasi. Lippmann, sejak awal, telah menyatakan sikap
pesimis terhadap demokrasi. Di sisi lain, Calvin tidak sepenuhnya meragukan demokrasi.
Dia bahkan mengatakan aristokrasi dan demokrasi merupakan dua sistem pemerintahan
terbaik.
125
Hanya saja, pilihan mekanisme pemerintahan sipilnya mengindikasikan Calvin
bertendensi pada aristokrasi. Pasalnya, magistrat merupakan sekelompok orang yang
bertugas mengambil keputusan untuk mengatasi suatu problem di ruang publik. Jadi,
walau latar belakang mereka berbeda, Lippmann dan Calvin sama-sama mengekspresikan
keengganan terhadap demokrasi.
Akan tetapi, kesamaan sikap terhadap demokrasi dari kedua tokoh berangkat dari
asumsi ontologis yang berbeda. Dari perspektif Lippmann, asumsi ontologi politik adalah
hukum. Masyarakat harus menundukkan segala hak dan kewajibannya di hadapan eksis-
tensi hukum semata. Hukum akan membentuk kebiasaan masyarakat, secara khusus
dalam perilaku ekonomi. Dalam hal ini, Lippmann meyakini supremasi hukum lebih tinggi
dari segala bentuk kekuasaan.126 Sementara itu, Calvin juga meyakini signikansi hukum
untuk menata masyarakat. Hanya saja, Calvin melihat hukum bukanlah sebuah ontologi.
Hukum adalah ekspresi kehendak Allah tentang kebaikan.
127
Allah mengeluarkan hukum
sebagai cara untuk memelihara ciptaan-Nya. Artinya, hukum adalah produk dari Allah
sehingga basis ontologis hukum adalah Allah. Jadi, jika Lippmann meletakkan hukum,
yang bersifat imanen, sebagai poros struktur sosial, Calvin justru berusaha menariknya
pada ranah transendental, yaitu pada Allah. Oleh karena itu, wawasan dunia kedua tokoh
berbeda, walau memiliki kemiripan sikap terhadap demokrasi.
Perbedaan wawasan dunia juga akan memengaruhi cara Lippmann dan Calvin ketika
menyikapi konik sosial yang sedang dihadapi. Kedua tokoh sama-sama menghadapi
permasalahan sosial di masanya. Lippmann menghadapi krisis ekonomi, sedangkan Calvin
berhadapan dengan degradasi moral masyarakat. Lippmann melihat krisis ekonomi terjadi
125 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume Two, 1493.
126 Kirkland, “Hayekian Neoliberalism as Negative Political Theology,” 5.
127 John Calvin, “The Secret Providence of God (1558),” dalam The Collected Works of John Calvin (East Sussex: Delphi Classics, 2020), bab 7.
42 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
akibat penyalahgunaan kebebasan. Liberalisme, sebagai paradigma umum ketika itu,
mengizinkan setiap individu mempraktikkan kebebasannya secara mutlak, secara khusus
dalam aktivitas ekonomi. Karena mengedepankan teori laissez faire, liberalisme melalaikan
urgensi regulasi untuk mengatur sistem perbankan. Akibat minimnya peraturan, setiap
orang menjadi bebas meminta kredit pada bank, walau tanpa jaminan kemampuan untuk
mengembalikannya. Perilaku negatif masyarakat dalam dinamika moneter mengakibatkan
krisis ekonomi melanda AS. Lippmann meletakkan liberalisme sebagai kambing hitam-
nya dan berusaha untuk merenovasinya untuk menyelesaikan permasalahan. Sementara
itu, Calvin menghadapi persoalan yang mirip dengan konteks Lippmann. Degradasi
moral terjadi di Jenewa karena faktor ekonomi juga. Kedatangan para imigran ke Jenewa
menimbulkan kekhawatiran kepada penduduk lokal. Pikiran mereka memunculkan
syak wasangka kalau para pendatang akan menyerobot lapangan pekerjaan. Akibatnya
adalah angka kriminalitas di Jenewa meningkat karena setiap orang memikirkan diri
sendiri. Tindakan Calvin untuk mengatasi masalah ini adalah membaharui gereja. Calvin
menawarkan agar gereja berpartisipasi untuk membantu tugas pemerintahan sipil dalam
menertibkan moral kehidupan masyarakat. Usulan ini muncul karena Calvin meyakini
gereja juga harus bertanggung jawab untuk menata realitas sosial sebagai artikulasi perpan-
jangan tangan Tuhan dalam memelihara ciptaan-Nya. Jadi, walau Lippmann dan Calvin
sama-sama menghadapi persoalan sosial akibat kondisi ekonomi, namun tawaran solusi
mereka berbeda. Lippmann menawarkan opsi untuk memperbaharui paradigma liberal-
isme, sedangkan Calvin mereformasi institusi gereja demi menjaga moralitas masyarakat.
Akan tetapi, walau tawaran Lippmann dan Calvin berbeda, keduanya berjumpa
pada satu titik, yaitu sistem pemerintahan. Hanya saja, perbedaan asumsi teoretis akan
menciptakan ketegangan tentang haluan dari pemerintahan yang mereka idamkan. Sejak
awal, Lippmann berusaha untuk mengembalikan identitas liberalisme ke bentuk aslinya.
Tindakan ini berangkat dari kepercayaannya pada kebebasan individu sebagai jantung
sistem kemasyarakatan. Lippmann menyadari kebebasan absolut adalah sebuah utopia.
Untuk menetapkan batasan dari kebebasan itulah, Lippmann membutuhkan otoritas, yaitu
pemerintahan. Jadi, Lippmann menetapkan tugas pemerintahan adalah untuk menjamin
kebebasan individu. Namun, peran pemerintah memiliki batasan tertentu. Oleh karena
itulah, pada dasarnya, neoliberalisme sedang berusaha untuk meradikalkan individualisme
dengan cara membatasi peran pemerintah.
128
Sedangkan, orientasi pemerintahan ala Calvin
kontras dengan Lippmann. Calvin memerlukan pemerintahan sipil untuk memastikan
moralitas masyarakat berjalan sesuai koridor Alkitab. Fondasi Kerajaan Allah—sebagai
basis kerajaan politik—adalah kasih.129 Karena kasih menjadi dasar sistem pemerintahan,
Calvin memandang masyarakat bukan dari perspektif individualisme, melainkan sebagai
covenantal community.130 Eksistensi hukum dan pemerintahan menjadi urgen bagi Calvin
128 Rubén O Martinez, “The impact of neoliberalism on Latinos,” Latino Studies 14, no. 1 (Maret 11, 2016): 14, hp://link.springer.com/10.1057/
lst.2015.48.
129 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume One, 613.
130 Alexander Chow, “Calvinist Public Theology in Urban China Today,” International Journal of Public Theology 8, no. 2 (Mei 8, 2014): 166, hps://
brill.com/view/journals/ijpt/8/2/article-p158_3.xml.
RINTO PANGARIBUAN
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 43
karena kehadirannya berguna untuk memastikan keadilan dalam struktur masyarakat.131
Calvin menginginkan segala peraturan, hukum, dan pemerintahan bergerak untuk mema-
jukan kesejahteraan seluruh anggota komunitas masyarakat sebagai satu-kesatuan, bukan
parsial dalam individu. Dengan demikian, prinsip pemerintahan menurut kedua tokoh
saling bertolak belakang. Lippmann mengedepankan individualisme, sedangkan Calvin
menitikberatkan fungsi pemerintahan dalam dimensi komunal.
Jika memandang masyarakat sebagai komunal, bukan individual, pertanyaannya
adalah apakah Calvin juga menaruh perhatian pada kebebasan individu, seperti Lippmann?
Tentu saja! Jika Lippmann masih menganggap denisi kebebasan sebagai enigma, Calvin
justru sebaliknya. Calvin mengatakan secara lugas bahwa kebebasan manusia akan selalu
bertendensi pada kejahatan sejak kejatuhannya pada dosa. Ketika kebebasan telah melen-
ceng, produk akhirnya adalah ketidakadilan dan degradasi moral menjadi prevalensi dalam
masyarakat. Justru untuk mengarahkan kebebasan pada kebaikanlah, Calvin menggagas
ide mengenai pemerintahan sipil. Hanya saja, Calvin menekankan agar setiap individu
menggunakan kebebasannya secara bijaksana. Alasannya karena selain sebagai makhluk
individual, Calvin juga memahami identitas manusia sebagai makhluk sosial. Identitas
sebagai makhluk sosial mengharuskan setiap individu menjaga ketertiban dan kehar-
monisan sehingga tercipta kedamaian sosial. Dengan kata lain, Calvin menilai kebebasan
individu harus seimbang dengan tarikan keadilan sosial.
132
Oleh karena itulah, setiap
bentuk pemaksaan atau perampasan kebebasan akan selalu bertentangan dengan ide
Calvin. Karena pemikirannya tentang kebebasan, Calvinisme disebut-sebut sebagai pionir
yang memajukan ide tentang kebebasan dalam sejarah perkembangan budaya Barat.133
Jika Lippmann meletakkan kebebasan individu sebagai pusat gravitasi masyarakat, Calvin
melampaui posisi tersebut. Bagi Calvin, kebebasan individu dan struktur masyarakat
selalu berelasi dialektis, yaitu kedua entitas harus berjalan seimbang.
Calvin merekam pemikirannya perihal keseimbangan antara kebebasan individu
dan kondisi sosial dalam Institutes.134 Pertama, Calvin menegaskan agar kebebasan tidak
disalahgunakan untuk kerakusan dan kemewahan. Karena jati diri manusia berakar dalam
Allah, sifat kebebasan adalah spiritual. Oleh karena itu, setiap individu yang bebas harus
berusaha untuk mengekang hasrat liarnya. Kedua, Calvin mengambil sikap agar setiap
individu menggunakan kebebasannya untuk menolong orang yang lemah imannya. Setiap
orang perlu menjalankan kebebasannya dengan penuh kewaspadaan agar tidak menjadi
batu sandungan bagi orang lain. Ketiga, kebebasan bukan untuk melakukan pelanggaran.
Sebaliknya, kebebasan justru menuntut setiap individu agar rendah hati sehingga dapat
menjadi teladan bagi orang lain. Bahkan, Calvin mengingatkan jika gagal menjadikan
seseorang menjadi teladan, lebih baik kebebasan tersebut dilepaskan. Terakhir, Calvin
menyampaikan kebebasan harus tunduk pada hukum cinta kasih. Berdasarkan empat
131 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume One, 358.
132 Johnston, “A Protestant Rethinking of Economics for a Healthier World,” 395.
133 Willem J. van Asselt, “Calvinism as A Problematic Concept in Historiography,” International Journal of Philosophy and Theology 74, no. 2 (Mei
2013): 145, hp://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/21692327.2013.809873.
134 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume One, 840–846.
44 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
pandangan Calvin di atas, kebebasan selalu bersifat relasional dengan orang lain. Dengan
kata lain, Calvin menilai kebebasan tidak murni bersifat individual, melainkan sosial atau
komunal.
Selain perbedaan pemaknaan, pemahaman Lippmann dan Calvin juga berseberang an
mengenai natur kebebasan. Lippmann menilai natur kebebasan adalah artisial. Manusia
harus mengusahakan secara mandiri kebebasannya dengan cara memastikan dan men-
jamin hak kepemilikan properti setiap individu. Alasannya karena Lippmann meyakini
syarat kebebasan individu adalah terpenuhinya kemandirian ekonomi setiap orang.
Dengan kata lain, langkah pertama untuk menciptakan kebebasan adalah mengusa-
hakan kesejahteraan ekonomi. Sebaliknya, Calvin berbeda pandangan dengan Lippmann.
Calvin meyakini Tuhan menciptakan manusia dengan kebebasan. Hanya saja, dosa telah
mencemari kebebasan tersebut sehingga ia akan selalu mengarah pada kejahatan. Untuk
mengoreksi kejahatan tersebutlah, manusia harus menyelaraskan kebebasannya dengan
hukum Tuhan—yang diadopsi dari Alkitab. Pendeknya, Lippmann melihat natur kebebasan
adalah buatan, sementara Calvin berpendapat natur kebebasan adalah alamiah—hanya
saja dosa sudah merusaknya.
Pertanyaannya kemudian, apa konsekuensi dari kedua pandangan itu?
Jika kebebasan ditautkan dengan ekonomi, seperti pandangan Lippmann, artinya,
pertama, kebebasan bukan lagi entitas otonom,135 melainkan sebuah ekses dari aktivitas
ekonomi. Secara tidak langsung, Lippmann sudah mengandaikan kebebasan sebagai
“komoditas” yang harus dibeli. Kedua, kebebasan akan kehilangan aspek universalitasnya
ketika harus disyaratkan pada ekonomi.
136
Dengan kata lain, natur kebebasan menjadi parti-
kular karena kebebasan kontingen terhadap ekonomi. Ketiga, pemikiran Lippmann tentang
kebebasan kian rentan karena mengaitkan antara kebebasan dengan hak kepemilikan
properti. Jika kita menerima asumsi ini, bukankah Lippmann seharusnya menganjurkan
penghapusan hak kepemilikan properti agar memastikan setiap orang mendapatkan
kebebasannya?137 Ketiga konsekuensi logis dari pandangan Lippmann perihal kebebasan
membuat posisinya menjadi problematik.
Bagaimana dengan Calvin? Apakah pandangannya tentang kebebasan juga akan
berujung problematik? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memetakan pan-
dangan Calvin mengenai masyarakat terlebih dahulu. Calvin memandang masyarakat
sebagai sebuah komunitas kovenan. Komunitas kovenan terbentuk karena suatu perjan-
jian mengikat (mengatur) eksistensi seluruh anggotanya. Sementara itu, Calvin meyakini
dasar perjanjian tersebut berasal dari sebuah prinsip universal, yakni rman Allah. Oleh
karena itulah, ketika perjanjian mengartikulasikan diri dalam bentuk hukum, sifat hukum
tersebut menjadi universal juga. John Locke akan mengadopsi konsep komunitas kovenan
dari Calvin sebagai dasar pemikiran politiknya dan kelak akan memengaruhi peradaban
135 Daniele Lorenzini, “Governmentality, subjectivity, and the neoliberal form of life,” Journal for Cultural Research 22, no. 2 (April 3, 2018): 5, hps://
www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14797585.2018.1461357.
136 Lorenzini, “Governmentality, subjectivity, and the neoliberal form of life,” 6.
137 Rinto Pangaribuan, “Dialektika Teologi dari Perspektif Herman Bavinck dengan Pemikiran Ekonomi Marxisme,” Indonesian Journal of Theology
10, no. 1 (Juli 15, 2022): 127, hps://www.indotheologyjournal.org/index.php/home/article/view/240.
RINTO PANGARIBUAN
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 45
Barat.138 Kita mengenal pemikiran politik Locke dengan istilah kontrak sosial. Basis kon-
trak sosial versi Locke adalah pengakuannya terhadap hak adikodrati setiap individu
yang mustahil dicabut.139 Dengan kata lain, Calvin menetapkan pandangannya perihal
kebebasan dengan meletakkannya pada prinsip universalitas. Hal itu dilakukan dengan
mengubah konsep-konsep transendental menjadi imanen dalam bentuk hukum yang
kemudian berperan untuk mengatur kebebasan setiap individu.
Akan tetapi, bukankah gagasan Lippmann tentang kebebasan juga dijangkarkan pada
eksistensi hukum? Lalu, apa perbedaannya degan gagasan Calvin? Jawaban pertanyaan
ini adalah orientasi. Lippmann mengorientasikan hukum pada kepentingan ekonomi
sehingga pemerintah berperan sebagai pelayan pasar, sedangkan Calvin berbeda. Calvin
meletakkan moralitas, kebenaran, dan keadilan sebagai episentrum sebuah pemerintahan.
Oleh karena itulah, integritas pejabat pemerintah untuk mendaratkan nilai-nilai Kerajaan
Allah menjadi signikan dalam praktik pemerintahan ala Calvin. Pemerintah memastikan
masyarakat harus hidup dengan cara yang benar dan selaras dengan rman Allah. Jika
Lippmann berfokus pada aktivitas ekonomi, Calvin justru meletakkan cara hidup mas-
yarakat secara holistik sebagai tujuan utama sistem pemerintahannya.
Neoliberalisme telah mereduksi natur manusia sebagai makhluk ekonomi belaka
karena meletakkan pasar sebagai episentrum pemerintahan. Ketika neoliberalisme meng-
ucapkan kebebasan, maksud term tersebut adalah kebebasan ekonomi. Setiap orang bebas
untuk mengejar prot dalam persaingan pasar dan regulasi pemerintah berperan sebagai
penjamin kebebasan tersebut.140 Akibatnya adalah pasar menjadi determinan untuk meng-
atur interaksi antarmanusia.141 Neoliberalisme akan membentuk perilaku manusia hanya
sebagai perilaku ekonomi.142 Namun, seperti komentar Michel Foucault, neoliberalisme
memahami makhluk ekonomi secara berbeda dengan pemahaman ilmu ekonomi klasik.
Ekonomi klasik mengartikan makhluk ekonomi sebagai partner pertukaran sehingga
setiap individu diasumsikan sebagai produsen.143 Namun, neoliberalisme justru sebalik-
nya. Pemerintah, dengan mengacu pada logika pasar, akan memandang manusia sebagai
klien, konsumen, atau investor—bukan produsen—untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Oleh karena itulah, orientasi neoliberalisme hanya akan menempatkan manusia
sebagai instrumen ekonomi.
Manusia sebagai instrumen ekonomi akan menjadi faktor yang membuat cita-cita
Lippmann tentang neoliberalisme menjadi kontraproduktif. Salah satu alasan Lippmann
merenovasi liberalisme di zamannya karena dia menilai paham tersebut hanya sukses
menghadirkan krisis semata. Namun, gagasan neoliberalisme Lippmann ternyata berakhir
setali tiga uang dengan liberalisme yang dikritiknya. Ketika neoliberalisme mengasumsikan
manusia sebagai homo economicus, segala kebijakannya serta-merta menjadi bernuansa
138 Anthony B. Bradley, The Political Economy of Liberation (New York: Peter Lang Publishing, Inc., 2012), 80–81.
139 Cayla, Populism and Neoliberalism, 66.
140 Martinez, “The impact of neoliberalism on Latinos,” 14.
141 Ramey, “Neoliberalism As A Political Theology of Chance: The Politics of Divination,” 4.
142 Wendy Brown, Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution (New York, NY: Zone Books, 2015), 10.
143 Michel Foucault, The Birth of Biopolitics (New York: Palgrave Macmillan, 2008), 225–6.
46 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
bisnis. Logika pasar bebas akan memengaruhi produk kebijakan neoliberalisme dalam
mengelola kepentingan publik yang dituangkan dalam bentuk regulasi. Akibatnya adalah
pemerintahan ala neoliberalisme memandang pelayanan publik sebagai komoditas semata
(privatisasi).
144
Neoliberalisme akan mengomersialisasi pelayanan publik (misalnya, akses
terhadap kesehatan, pendidikan, gizi, dan sebagainya) sehingga hak untuk hidup bukan
lagi sebagai syarat untuk mendapatkannya, melainkan tergantung pada daya beli.
145
Dengan kata lain, hanya orang kaya yang dapat menikmati pelayanan publik karena
mereka mampu membelinya. Ujung dari keterbatasan akses terhadap pelayanan publik
adalah kemiskinan dan menurunnya kualitas kehidupan masyarakat. Jadi, alih-alih meny
-
ingkirkan kesusahan masyarakat, struktur neoliberalisme (regulasi, hukum, dan kebijakan
pemerintah) malah menimbulkan kesenjangan sosial.
146
Asal mula keadaan tersebut berang-
kat dari pandangan Lippmann tentang ekonomi sebagai pusat orientasi.
Neoliberalisme juga akan meradikalkan karakter individualisme karena mesin peme-
rintahan berorientasi pada ekonomi pasar bebas semata. Alasannya karena mekanisme
pasar bebas bersandar pada kompetisi. Sudah menjadi pengetahuan umum, tanpa kompe-
tisi, pasar bebas akan mengalami kemandekan. Jika sebuah pemerintah sudah menyerap
agenda neoliberalisme, ia sudah mengasumsikan kompetisi sebagai cara hidup ma -
syarakat.
147
Karena neoliberalisme merupakan sebuah orientasi pemerintahan dengan
peran mengatur perilaku masyarakat, ia harus menginstal kompetisi dalam setiap sendi
kehidupan masyarakat.
148
Akibatnya, setiap individu akan menganggap individu lain
sebagai saingannya.
Namun pertanyaannya, apakah kompetisi jahat pada dirinya sendiri? Pada dasarnya,
karakter dari kompetisi adalah ambivalen. Kompetisi mempunyai sisi positif. Misalnya,
kompetisi dapat mendorong seseorang untuk menemukan kemampuan terbaiknya,
me rangsang inovasi dan peningkatan mutu kualitas kerja, bahkan kompetisi mampu
menjadi wadah untuk mendemonstrasikan keadilan dan kebaikan kepada orang lain,
termasuk terhadap kompetitor.149 Oleh karena itulah, Grudem mengatakan dengan lugas
bahwa kompetisi membuka peluang kepada setiap orang agar menggunakan talentanya
secara maksimal untuk kemuliaan-Nya.150 Namun, Grudem juga menyadari bahwa kom-
petisi memiliki sisi negatif. Kompetisi membawa banyak godaan untuk berbuat dosa,
misalnya, menyabotase kompetitor, menimbulkan kesombongan, dan menciptakan ke si-
bukan sehingga melupakan waktu bersama keluarga dan Tuhan.151 Artinya, kompetisi
memiliki karakter konstruktif sekaligus destruktif.
144 S. L. Mudge, “What Is Neo-liberalism?,” Socio-Economic Review 6, no. 4 (Mei 21, 2008): 704, hps://academic.oup.com/ser/article-lookup/
doi/10.1093/ser/mwn016.
145 Denar, “Melacak Daya Jalar Neoliberalisme Global, Penderitaan Sebagai Basis Etis Pembangunan dan Opsi Pengembangan Masyarakat Versi
Gereja Katolik,” 103–4.
146 Beth Min, “Neoliberalism and the Crisis in Higher Education: The Cost of Ideology,” American Journal of Economics and Sociology 80, no. 1
(Januari 31, 2021): 84, hps://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/ajes.12370.
147 Nurdiana Gaus, Sultan Sultan, dan Muhammad Basri, “State Bureaucracy in Indonesia and its Reforms: An Overview,” International Journal of
Public Administration 40, no. 8 (Juli 3, 2017): 5, hps://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01900692.2016.1186179.
148 Brown, Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution, 138.
149 Wayne Grudem, Business for the Glory of God: The Bible’s Teaching on the Moral Goodness of Business (Wheaton: Crossway Books, 2003), 62–65.
150 Grudem, Business for the Glory of God, 65.
151 Grudem, Business for the Glory of God, 65–66.
RINTO PANGARIBUAN
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 47
Ketika mengamati watak ambivalensi dari kompetisi, pertanyaannya kemudian
adalah mengapa seseorang berperilaku positif, sedangkan sebagian lagi terjebak pada
sisi negatifnya? Jawaban Grudem sederhana, yaitu tergantung pada motivasi atau sikap
hatinya. Sejak awal, Grudem menekankan bahwa tujuan dari setiap kegiatan ekonomi
(bisnis—termasuk kompetisi) adalah untuk memuliakan Tuhan dengan mengimitasi
atribut-atribut-Nya.152 Beberapa atribut tersebut adalah berbagi, produktif, dan mencip-
takan kebaikan untuk masyarakat.153 Artinya, fokus dari bisnis bukanlah untuk mencapai
kebanggaan diri, tetapi untuk mengekspresikan cinta kasih dan kerendahan hati terhadap
sesama dan kepada Tuhan.154 Dengan demikian, seseorang terjebak pada sisi destruktif
dari kompetisi karena ia ingin melayani kemuliaan dirinya, bukan kemuliaan Tuhan.
Dengan kata lain, kompetisi menjadi buruk ketika kepentingan individu menjadi prioritas
dibandingkan dengan kemuliaan Tuhan dan kebaikan bersama.
Aspek individualisme inilah yang membedakan corak pemerintahan ala Calvin
dari neoliberalisme ketika berurusan dengan ekonomi. Bagi Calvin, seturut pembacaan
Bethlen, subjek utama ekonomi adalah manusia. Oleh karena itulah, Calvin berusaha untuk
mengimplementasikan teologinya secara praktis dalam bidang ekonomi untuk menolong
orang-orang miskin atau yang membutuhkan. Agar memenuhi maksudnya, Calvin beru-
saha untuk merelevansikan ajaran Alkitab (secara khusus dari Perjanjian Lama) mengenai
sistem pinjam-meminjam.
155
Calvin berharap sesama jemaat dapat saling menolong dengan
sistem tersebut. Pemahaman Bethlen di atas juga diperkuat oleh pandangan Calvin me -
ngenai korelasi antara gereja dengan kekayaan. Institutes mencatat Calvin meng ajarkan
agar gereja menggunakan kekayaannya untuk menolong orang miskin, bukan untuk mem-
perkaya para pejabat gereja.
156
Artinya, berbeda dengan neoliberalisme, Calvin mendorong
jemaat dan gereja agar menghindari sikap individualisme ketika mengelola uang. Walau
tidak mengurusi sistem ekonomi secara global, tetapi Calvin menciptakan sebuah etos
untuk mengatasi kesenjangan sosial. Calvin berusaha untuk membangkitkan semangat
solidaritas terhadap orang miskin, bukan meradikalkan individualisme.
Usulan mengenai praktik ekonomi ini menunjukkan analisis Calvin tentang perso-
alan ekonomi belum merambah pada ketegangan antara pasar dan pemerintahan seperti
isu yang dihadapi oleh neoliberalisme. Hal ini menjadi wajar. Pasalnya, tarikan kepen-
tingan pasar dengan kebijakan negara baru muncul setelah kelahiran kapitalisme pada
akhir abad ke-18 lewat proses akumulasi primitif.157 Dengan kata lain, kapitalisme belum
menjadi konteks pemikiran Calvin. Oleh karena itulah, tuduhan bahwa teologi Calvin
sebagai penanggung jawab berdirinya kapitalisme
158
menjadi keliru.
159
Namun walau
152 Grudem, Business for the Glory of God, 12.
153 Grudem, Business for the Glory of God, 21, 27, 31, 44.
154 Grudem, Business for the Glory of God, 75–76.
155 Bethlen, “The Role of Calvinism in the Development of Modern Economy,” 356–61.
156 Calvin, Institutes of the Christian Religion Volume Two, 1075–1076.
157 Karl Marx, Kapital Buku I: Sebuah Kritik Ekonomi (Jakarta: Hasta Mitra, 2007), 807.
158 Michelle E Martin, “Philosophical and Religious Inuences on Social Welfare Policy in the United States: The Ongoing Eect of Reformed Theol-
ogy and Social Darwinism on Aitudes toward the Poor and Social Welfare Policy and Practice,” Journal of Social Work 12, no. 1 (2012): 53, hp://journals.
sagepub.com/doi/10.1177/1468017310380088.
159 Kerap kali teologi Calvin dikait-kaitkan dengan kebangkitan kapitalisme berdasarkan pembacaan terhadap tulisan Max Weber dalam Etika
48 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
demikian, Calvin tetap menyediakan prinsip penting bagi pemerintahan dalam mengu-
rai ketegangan dengan pasar, yaitu mengutamakan hak dan kebebasan individu. Prinsip
ini berangkat dari keyakinan Calvin bahwa pusat gravitasi dari realitas ekonomi-politik
adalah eksistensi individu.
160
Artinya, penghargaan atas manusia menjadi dasar dari segala
kebijakan pemerintah ketika berhadapan dengan aktivitas pasar. Prinsip ini kemudian
menjadi embrio dari demokrasi liberal yang berlaku pada banyak negara modern seka-
rang.161 Demokrasi liberal meletakkan penghargaan terhadap prinsip-prinsip hak individu
dan pembatasan pelaksanaan kekuasaan.162 Prinsip ini berbeda dari neoliberalisme yang
meletakkan kepentingan ekonomi sebagai pusat kebijakan politik.
Ringkasnya, terdapat beberapa hal yang dapat disarikan dari diskusi ini. Pertama,
kedua tokoh sama-sama menghadapi persoalan sosial sebagai dampak dari dinamika
ekonomi. Namun, keduanya berbeda dalam tawaran losos. Lippmann memilih untuk
merenovasi liberalisme tradisional, sedangkan Calvin memutuskan untuk mereformasi
tugas gereja agar menjaga moralitas publik. Kedua, mereka memiliki kemiripan dalam
mengusulkan solusi konkret untuk mengatasi permasalahan, yaitu membentuk sebuah
lembaga pemerintahan terdesentralisasi. Hanya saja, mereka berbeda asas perihal meman-
dang masyarakat. Lippmann menekankan aspek kebebasan individualisme, sedangkan
Calvin memandang masyarakat sebagai komunitas komunal. Ketiga, pandangan kedua
tokoh tentang kebebasan juga memiliki persamaan dan perbedaan. Mereka sama-sama
meyakini kebebasan memiliki batas. Pembatasnya adalah hukum. Dalam hal ini, pemerin-
tah mengambil peran sebagai otoritas untuk memastikan supremasi hukum berlaku dalam
masyarakat. Namun, pemahaman mereka tentang prinsip dan orientasi kebebasan berto-
lak belakang sehingga berdampak pada implementasinya. Lippmann meyakini ekonomi
sebagai titik pijak dari kebebasan. Oleh karena itu, fungsi hukum dan pemerintah adalah
memastikan penyelenggaraan keberlangsungan kegiatan ekonomi di pasar. Sementara
itu, Calvin justru menekankan relasi dialektis antara kebebasan dengan keadilan sosial se -
hingga pemerintah bertugas untuk memastikan keduanya berjalan seimbang. Konsekuensi
pandangan Lippmann adalah natur kebebasan menjadi partikular dan bukan lagi otonom,
tetapi relatif terhadap kepemilikan properti. Calvin justru melihat kebebasan dengan cara
sebaliknya. Kebebasan merupakan hak adikodrati manusia sehingga bersifat universal
dan asasi. Hanya saja, Calvin melihat dosa telah merusak natur kebebasan. Oleh karena
itulah, hukum dari rman Allah, yang dijalankan oleh pemerintah, diperlukan untuk
memulihkan trah dari kebebasan. Keempat, kebebasan ekonomi sebagai asumsi pemerin-
tahan menjadi titik tengkar antara Lippmann dan Calvin. Karena memprioritaskan pasar,
neoliberalisme akan menginstrumenkan manusia sebagai alat ekonomi belaka. Artinya,
Protestan dan Semangat Kapitalisme. Klaim ini problematik. Pasalnya, Weber merujuk penelitiannya pada kaum Puritan di Inggris yang dipengaruhi
oleh alvinisme, bukan teologi Calvin. Pembacaan yang menyamakan teologi Calvin dan Calvinisme akan menimbulkan masalah karena terdapat
kontras antara konteks sosial, politik, dan ekonomi yang melatari pemikiran dari keduanya.
160 John Calvin, “Psychopannychia (1534),” dalam The Collected Works of John Calvin (East Sussex: Delphi Classics, 2020), bab Psychopannychia.
161 Johnston, “A Protestant Rethinking of Economics for a Healthier World,” 363.
162 Diego Fossati and Ferran Martinez i Comma, “Bagaimana Konsepsi Publik terhadap Demokrasi Membentuk Dukungan Demokratis di Indo-
nesia,” dalam Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi? (Jakarta: PT Gramedia, 2021), 236. Catatan: demokrasi liberal adalah salah satu dari varian
demokrasi dari empat varian lainnya, yaitu elektoral, deliberatif/musyawarah, partisipatoris, dan egaliter, lih. 234.
RINTO PANGARIBUAN
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 49
neoliberalisme akan mereduksi manusia hanya sebatas homo economicus. Alhasil, neolibe-
ralisme meradikalkan individualisme sehingga mirip dengan egoisme. Pandangan Calvin
berseberangan dengan Lippmann. Calvin justru membangkitkan solidaritas agar sesama
anggota masyarakat saling tolong-menolong karena dia memandang masyarakat sebagai
entitas komunal, bukan individual. Jadi, sintesis antara pemikiran Lippmann dan Calvin
terdapat pada peran hukum dan pemerintahan dalam mengendalikan kebebasan. Namun,
neoliberalisme berimplikasi untuk merendahkan derajat manusia sebagai alat ekonomi
semata dan meradikalkan individualisme yang berujung pada sikap mementingkan diri
sendiri. Sebaliknya, Calvin meletakkan manusia secara komunal sebagai subjek pemerin-
tahan sehingga solidaritas menjadi cara untuk meningkatkan keadilan sosial.
Kesimpulan
Kekristenan dari perspektif Calvin bertentangan terhadap neoliberalisme berdasar-
kan implikasinya terhadap manusia dan masyarakat. Jika kekristenan meletakkan hukum
dan pemerintah sebagai pelayan manusia (Mrk. 2: 27), neoliberalisme justru sebaliknya.
Neoliberalisme versi Lippmann menempatkan manusia sebagai alat ekonomi karena
pemerintah berorientasi pada kepentingan pasar. Selain konsekuensi negatif dari perspektif
antropologi, neoliberalisme juga berdampak buruk dari segi sosiologis. Ketika neolibe-
ralisme meradikalkan individualisme, kompetisi memang menjadi satu-satunya cara
hidup masyarakat. Akibatnya adalah setiap orang akan memandang sesamanya sebagai
kompetitor sehingga mengeksploitasi manusia menjadi “natural” dalam kenyataan sosial.
Gotong royong dan semangat solidaritas menjadi ganjil dalam paradigma neoliberalisme.
Padahal, tugas utama pemerintah adalah memastikan kebaikan terhadap semua anggota
masyarakat (Rm. 13: 4). Artinya, implikasi antropologi dan sosiologis dari neoliberalisme
berseberangan dengan teologi Calvin, bahkan Alkitab.
Berbagai latar belakang dan data tentang neoliberalisme—seperti yang telah dijabar-
kan—menunjukkan neoliberalisme bukanlah sebuah kenyataan terberi. Neoliberalisme
hadir sebagai respons atas krisis (Depresi Besar) yang sedang terjadi pada 1930-an di
Amerika Serikat. Karena bersifat artisial (tidak alamiah), kekristenan tidak berkewajiban
untuk menyesuaikan diri terhadap neoliberalisme. Bahkan, karena implikasi negatifnya,
kekristenan harus melancarkan kritik atau suara kenabian terhadap eksistensi neolibe-
ralisme. Pembahasan dalam penelitian ini menunjukkan kebijakan neoliberalisme telah
mengakibatkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan menurunnya kualitas kehidupan
masyarakat karena menilai manusia sekadar dari daya belinya. Seperti Calvin menghardik
masyarakat Jenewa pada abad ke-16 karena kerusakan moralnya, kekristenan juga harus
mengambil sikap serupa terhadap neoliberalisme. Jadi, alih-alih beradaptasi terhadap
neoliberalisme, kekristenan justru harus mengkritik dan mengawasi sepak terjang neo-
liberalisme karena dampak destruktifnya.
Dalam hal ini, kekristenan tidak menawarkan jalan tengah terhadap sebuah sistem
pemerintahan yang mengkhianati kemanusiaan. Alkitab mencatatkan para nabi (Am. 5:
50 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
RINTO PANGARIBUAN
7–13; 8: 4–10), para rasul (Ef. 6: 12), dan Yesus Kristus (Luk. 19: 45–46) selalu mengambil
sikap diametral terhadap semua sistem yang memperalat dan mengisap manusia. Calvin
juga demikian, dia menyatakan sikap dan melancarkan kritik pada pemerintahan karena
menganggapnya sebagai salah satu dalang atas kerusakan moral masyarakat Jenewa.
Artinya, kekristenan selalu mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan sebagai prinsip mutlak.
Jika orientasi pemerintahan (neoliberalisme), bahkan agama, melanggar prinsip kemanu-
siaan karena membela kepentingan ekonomi, kekristenan harus berdiri di garda terdepan
untuk melawannya.
Referensi
Aspinall, Edward. A Nation in Fragments.” Critical Asian Studies 45, no. 1 (Maret 2013):
27–54. hp://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14672715.2013.758820.
van Asselt, Willem J. “Calvinism a s A Problematic Concept in Historiography.” International
Journal of Philosophy and Theology 74, no. 2 (Mei 2013): 144–50. hp://www.tandfonline.
com/doi/abs/10.1080/21692327.2013.809873.
Bethlen, Stephen Count of. “The Role of Calvinism in the Development of Modern Economy.”
Polgári szemle 14, no. Special Issue (2018): 352–366. hps://eng.polgariszemle.hu/
current-publication/148-religious-policy-history-and-ideologies/927-the-role-of-cal-
vinism-in-the-development-of-modern-economy.
Beza, Theodore. The Life of John Calvin. Philadelphia: J. Whetham, 1836.
Bradley, Anthony B. The Political Economy of Liberation. New York: Peter Lang Publishing,
Inc., 2012.
Brown, Wendy. Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution. New York, NY: Zone
Books, 2015.
Calvin, John. “A Short Treatise on the Lord’s Supper.” Dalam The Collected Works of John
Calvin. East Sussex: Delphi Classics, 2020.
———. Institutes of the Christian Religion Volume One. Disunting oleh John T. McNeill.
Kentucky: Westminster John Knox Press, 2006.
———. Institutes of the Christian Religion Volume Two. Disunting oleh John T. McNeill.
Kentucky: Westminster John Knox Press, 2006.
———. “Psychopannychia (1534).” Dalam The Collected Works of John Calvin. East Sussex:
Delphi Classics, 2020.
———. “The Necessity of Reforming the Church (1543).” Dalam The Collected Works of John
Calvin. East Sussex: Delphi Classics, 2020.
———. “The Secret Providence of God (1558).” Dalam The Collected Works of John Calvin.
East Sussex: Delphi Classics, 2020.
Cayla, David. Populism and Neoliberalism. London & New York: Routledge, 2021.
Chow, Alexander. “Calvinist Public Theology in Urban China Today.” International Journal
of Public Theology 8, no. 2 (Mei 8, 2014): 158–75. hps://brill.com/view/journals/ijpt/8/2/
article-p158_3.xml.
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 51
Christanto, Viktor. “Menuju Teologi Anti-Korupsi: Reeksi Terhadap Narasi Kejadian 3:
1-8.” Rhema: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika 2, no. 2 (2016).
Dahurandi, Keristian. “Sikap Gereja terhadap Bahaya Neoliberalisme Kebijakan Masyarakat
Ekonomi Asean dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Jurnal
Alternatif-Wacana Ilmiah Interkultural 1, no. 2 (2017): 61–92.
Das, Ashok. “Is innovative also eective? A critique of pro-poor shelter in South-East
Asia.” International Journal of Housing Policy 18, no. 2 (April 3, 2018): 233–65. hps://
www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14616718.2016.1248606.
Davis, Aeron, dan Catherine Walsh. “Distinguishing Financialization from Neoliberalism.”
Theory, Culture & Society 34, no. 5–6 (September 3, 2017): 27–51. hp://journals.sage-
pub.com/doi/10.1177/0263276417715511.
Denar, Benediktus. “Melacak Daya Jalar Neoliberalisme Global, Penderitaan Sebagai Basis
Etis Pembangunan dan Opsi Pengembangan Masyarakat Versi Gereja Katolik.” Jurnal
Alternatif-Wacana Ilmiah Interkultural 9, no. 1 (2020): 99–122.
Diemer, Arnaud. “The Colloque Walter Lippmann: How to Rebuild the Foundations of
Liberalism?” Journal of Contextual Economics – Schmollers Jahrbuch 139, no. 2–4 (April
1, 2019): 225–42. hps://elibrary.duncker-humblot.com/doi:10.3790/schm.139.2-4.225.
Fossati, Diego, and Ferran Martinez i Comma. “Bagaimana Konsepsi Publik terhadap
Demokrasi Membentuk Dukungan Demokratis di Indonesia.” Dalam Demokrasi Di
Indonesia: Dari Stagnasi Ke Regresi? Jakarta: PT Gramedia, 2021.
Foucault, Michel. The Birth of Biopolitics. New York: Palgrave Macmillan, 2008.
Gaus, Nurdiana, Sultan Sultan, dan Muhammad Basri. “State Bureaucracy in Indonesia
and its Reforms: An Overview.” International Journal of Public Administration 40, no.
8 (Juli 3, 2017): 658–69. hps://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01900692.201
6.1186179.
Grudem, Wayne. Business for the Glory of God: The Bible’s Teaching on the Moral Goodness of
Business. Wheaton: Crossway Books, 2003.
Hamzah, Amir. Metode Penelitian Kepustakaan. Batu: Literasi Nusantara, 2019.
Harjuniemi, Timo. “Post-truth, fake news and the liberal ‘regime of truth’ – The double
movement between Lippmann and Hayek.” European Journal of Communication 37, no.
3 (Juni 20, 2022): 269–83. hp://journals.sagepub.com/doi/10.1177/02673231211046784.
Holden, William Norman. “Ecclesial Opposition to Large-Scale Mining on Samar:
Neoliberalism Meets the Church of the Poor in a Wounded Land.” Religions 3, no. 3
(September 7, 2012): 833–61. hp://www.mdpi.com/2077-1444/3/3/833.
Iksan, Muhamad. “From Neoliberalism to Neodevelopmentalism: Indonesian’s Investment
Policy on the Foreign Capital Post-new Order.” JASSP 2, no. 1 (Mei 30, 2022): 45–56.
hps://jassp.lppm.unila.ac.id/index.php/jassp/article/view/35.
Jackson, Ben. “Freedom, the Common Good, and the Rule of Law: Lippmann and Hayek on
Economic Planning.” Journal of the History of Ideas 73, no. 1 (2012): 47–68. hp://muse.
jhu.edu/content/crossref/journals/journal_of_the_history_of_ideas/v073/73.1.jackson.
52 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
html.
Jacobsen, Eneida. “Models of Public Theology.” International Journal of Public Theology 6,
no. 1 (2012): 7–22.
Janse, Wim. “Calvin’s Doctrine of the Lord’s Supper.” Perichoresis 10, no. 2 (Juni 2012):
137–63. hps://www.sciendo.com/article/10.2478/v10297-012-0007-3.
Johnson, William Stacy. John Calvin, Reformer for the 21st Century. Kentucky: Westminster
John Knox Press, 2009.
Johnston, Carol Frances. A Protestant Rethinking of Economics for a Healthier World.”
American Journal of Economics and Sociology 78, no. 2 (Maret 20, 2019): 363–408. hps://
onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/ajes.12268.
Kirkland, Sco A. “Hayekian Neoliberalism as Negative Political Theology.” Political
Theology 21, no. 7 (Oktober 2, 2020): 623–33. hps://www.tandfonline.com/doi/full/
10.1080/1462317X.2020.1800197.
Lippmann, Walter. A Preface to Politics. New York, NY: Mitchell Kennerley, 1913.
———. Men of Destiny. New Jersey: Transaction Publishers, 2003.
———. The Good Society. Boston: Lile, Brown and Company, 1938.
———. The Method of Freedom. New York, NY: The Macmillan Company, 1934.
Lorenzini, Daniele. “Governmentality, subjectivity, and the neoliberal form of life.” Journal
for Cultural Research 22, no. 2 (April 3, 2018): 154–66. hps://www.tandfonline.com/
doi/full/10.1080/14797585.2018.1461357.
Margolf, Diane C. “The French Wars of Religion.” Dalam John Calvin in Context, Disunting
oleh R. Ward Holder, 50–58. Cambridge: Cambridge University Press, 2019. hps://
www.cambridge.org/core/product/identier/9781108687447%23CN-bp-6/type/
book_part.
Martin, Michelle E. “Philosophical and Religious Inuences on Social Welfare Policy in the
United States: The Ongoing Eect of Reformed Theology and Social Darwinism on
Aitudes toward the Poor and Social Welfare Policy and Practice.” Journal of Social Work
12, no. 1 (2012): 51–64. hp://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1468017310380088.
Martinez, Rubén O. “The impact of neoliberalism on Latinos.” Latino Studies 14, no. 1
(Maret 11, 2016): 11–32. hp://link.springer.com/10.1057/lst.2015.48.
Marx, Karl. Kapital Buku I: Sebuah Kritik Ekonomi. Jakarta: Hasta Mitra, 2007.
Min, Beth. “Neoliberalism and the Crisis in Higher Education: The Cost of Ideology.”
American Journal of Economics and Sociology 80, no. 1 (Januari 31, 2021): 79–112. hps://
onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/ajes.12370.
Mojau, Julianus. Analisis Kritis Konstruktif Praksis Teologi Publik Gereja Masehi Injili
Halmahera di Era Otonomi Daerah.” Kurios 7, no. 2 (Oktober 31, 2021): 315. hps://
www.spb.ac.id/e-journal/index.php/kurios/article/view/364.
Moltmann, Jürgen. God for a Secular Society: The Public Relevance of Theology. London: SCM
Press, 1999.
Mudge, S. L. “What Is Neo-liberalism?” Socio-Economic Review 6, no. 4 (Mei 21, 2008):
NEOLIBERALISME DARI PERSPEKTIF JOHN CALVIN
Vol. 10, No. 1, April 2023 53
703–31. hps://academic.oup.com/ser/article-lookup/doi/10.1093/ser/mwn016.
Murza, Otniel. A Comparison of the Church-State Relationship as seen by Catholics,
Luther, Zwingli and Calvin, and the Anabaptists during the Reformation.” Dalam
RAIS Conference Proceedings 2021. Research Association for Interdisciplinary Studies,
2021.
Pak, G. Sujin. “John Calvin’s Life.” Dalam John Calvin in Context, Disunting oleh R. Ward
Holder, 9–16. Cambridge: Cambridge University Press, 2019. hps://www.cambridge.
org/core/product/identier/9781108687447%23CN-bp-1/type/book_part.
Pangaribuan, Rinto. “Dialektika Teologi dari Perspektif Herman Bavinck dengan Pemikiran
Ekonomi Marxisme.” Indonesian Journal of Theology 10, no. 1 (Juli 15, 2022): 108–135.
hps://www.indotheologyjournal.org/index.php/home/article/view/240.
Peters, Timothy D. “Corporations, Sovereignty and the Religion of Neoliberalism.” Law
and Critique 29, no. 3 (November 4, 2018): 271–292. hp://link.springer.com/10.1007/
s10978-018-9231-1.
Postel-Vinay, Natacha. “What Caused Chicago Bank Failures in the Great Depression?
A Look at the 1920s.” The Journal of Economic History 76, no. 2 (Juni 18, 2016): 478–
519. hps://www.cambridge.org/core/product/identier/S002205071600053X/type/
journal_article.
Ramey, Joshua. “Neoliberalism As A Political Theology of Chance: The Politics of
Divination.” Palgrave Communications 1, no. 1 (Desember 8, 2015): 15039. hp://www.
nature.com/articles/palcomms201539.
Reinhoudt, Jurgen, dan Serge Audier. “Foreword and Opening Lectures of the Walter
Lippmann Colloquium.” Dalam The Walter Lippmann Colloquium, 93–117. Cham: Springer
International Publishing, 2018. hp://link.springer.com/10.1007/978-3-319-65885-8_3.
———. “Introduction.” Dalam The Walter Lippmann Colloquium, 3–52. Cham: Springer
International Publishing, 2018. hp://link.springer.com/10.1007/978-3-319-65885-8_1.
———. “Liberalism and Economic Nationalism.” Dalam The Walter Lippmann Colloquium,
139–47. Cham: Springer International Publishing, 2018. hp://link.springer.
com/10.1007/978-3-319-65885-8_6.
———. “Psychological and Sociological Causes, Political and Ideological Causes, of the
Decline of Liberalism.” Dalam The Walter Lippmann Colloquium, 157–76. Cham: Springer
International Publishing, 2018. hp://link.springer.com/10.1007/978-3-319-65885-8_8.
———. “The Agenda of Liberalism.” Dalam The Walter Lippmann Colloquium, 177–
184. Cham: Springer International Publishing, 2018. http://link.springer.
com/10.1007/978-3-319-65885-8_9.
———. “The Theoretical and Practical Problems of a Return to Liberalism.” Dalam The
Walter Lippmann Colloquium, 185–188. Cham: Springer International Publishing, 2018.
hp://link.springer.com/10.1007/978-3-319-65885-8_10.
Rizki, Awalil, dan Nasyith Majidi. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. E Publishing
Company, 2008.
54 SOCIETAS DEI: JURNAL AGAMA DAN MASYARAKAT
Schliesser, Eric. “Walter Lippmann: The Prophet of Liberalism and the Road not Taken.”
Journal of Contextual Economics – Schmollers Jahrbuch 139, no. 2–4 (April 1, 2019):
349–364. hps://elibrary.duncker-humblot.com/doi:10.3790/schm.139.2-4.349.
Spohnholz, Jesse. “Refugees.” Dalam John Calvin in Context, Disunting oleh R. Ward Holder,
147–154. Cambridge: Cambridge University Press, 2019. hps://www.cambridge.org/
core/product/identier/9781108687447%23CN-bp-17/type/book_part.
Suardana, I Made. “Mengurai Landasan Konseptual PAK Berbasis Multikultural dalam
konteks Indonesia.” Kurios 6, no. 2 (November 2, 2020): 346. hps://www.spb.
ac.id/e-journal/index.php/kurios/article/view/150.
Suparman, Ujang. “Bagaimana Menganalisis Data Kualitatif.” Bandarlampung: Pusaka
Media, 2020.
Twomey, Jay. Apostle to Nixonland: Taylor Caldwell’s Paul and the Unknown God of
Neoliberalism.” Political Theology 22, no. 8 (November 17, 2021): 665–679. hps://
www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/1462317X.2020.1855844.
Wa, Jerey R. “Consistories and Discipline.” Dalam John Calvin in Context, 103–110.
Cambridge University Press, 2019. hps://www.cambridge.org/core/product/
identier/9781108687447%23CN-bp-12/type/book_part.
Winslow, Luke. “Rich, Blessed, and Tenured: A Homological Exploration of Grant Writing,
Prosperity Theology, and Neoliberalism.” Western Journal of Communication 79, no.
3 (Mei 27, 2015): 257–282. hp://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10570314.2
015.1035748.
Wowor, Fredrik U. “Kepemimpinan dalam Keberagaman Indonesia Memahami Globalisasi
dengan Analaogi The Lexus and Olive Tree.” Logon Zoes: Jurnal Teologi, Sosial dan
Budaya 1, no. 1 (2017): 91–107.
Youn, Chul Ho. “The Points and Tasks of Public Theology.” International Journal of Public
Theology 11, no. 1 (2017): 64–87. hps://brill.com/view/journals/ijpt/11/1/article-p64_5.
xml.
Article
Full-text available
Neoliberalism strongly endorses private property rights, free markets, and free trade. In the neoliberal economic system, the role of the state is to create and protect the existence of the market. This article aims to discuss Zizek’s critique of neoliberalism and his account of the radical subject. In this article we try to show that neoliberalism has negative impacts on developing countries, among which are the ecological crisis, economic crisis, and the privatization of national assets. We further elaborate on Zizek’s conviction that the presence of radical subjects can solve this problem by breaking through neoliberalism as The Big Other. The post-liberal ideology that he sees as an alternative for creating people’s welfare is “new communism,” which is different from the old communism proposed by Lenin. This communism emphasizes global solidarity in dealing with global problems and reinvigorates the role of the state as a facilitator to support the national economy.
Article
Full-text available
Cultural engagement is not an option but a duty. This article discusses the cultural mandate used to criticize the separation between sacred and secular. The cultural mandate will be explained through definitions and theological reviews found in various literature. Then, the author will show their critique of the separation between sacred and secular based on their understanding of the cultural mandate within the Christian worldview. This research article uses the library research method. This method will examine previous findings on the dualistic worldview and the cultural mandate from various literary sources such as books, academic journals, and online news with a narrative review approach. The result highlights the importance of understanding the cultural mandate within the cosmic context of the Bible's metanarrative (Creation-Fall-Redemption) as a strong foundation to reject this sacred and secular dualism. Every Christian needs to understand that they no longer need to live in a world that is separated between sacred and secular, but they can dedicate their entire life to Christ for the glory of God.
Article
Full-text available
Posisi dari teori sosial Weberian menunjukkan korelasi kuat antara kapitalisme dengan Calvinisme. Oleh karena itu, ada pandangan bahwa teologi Reformed (Calvinis) secara prinsip berseberangan dengan ideologi Marxisme. Menggunakan metode perbandingan kepustakaan, penelitian ini meninjau ulang tesis Weberian yang demikian dengan meletakkan Calvinisme dan Marxisme dalam gerak dialektika. Pemikiran Herman Bavinck akan mewakili teologi dari perspektif Calvinisme karena pemikiran dan kehidupan politiknya mencerminkan penolakan terhadap Marxisme. Sementara itu, tulisan ini menyorot pemikiran Karl Marx tentang ekonomi karena kegiatan produksi merupakan sentral pemikirannya dalam berfilsafat atau membaca sejarah manusia. Hasil dari penelitian ini adalah secara teoretis, pemikiran Bavinck dan Marx merupakan kontras. Bavinck menitikberatkan metode berteologinya pada wahyu, sedangkan Marx bertumpu pada kondisi material kegiatan ekonomi dalam membangun pemikiran filsafatnya. Namun, walau memiliki perbedaan metodologis dan epistemologis, pemikiran Bavinck dan teori Marx memiliki titik sintesis dalam ranah praksis. Teologi Bavinck menyumbang orientasi bagi tindakan praksis Marx, sedangkan pemikiran Marx dapat menyumbang saran konkret bagi praktik teologi Bavinck. Oleh karena itu, resolusi atas kontradiksi kedua pemikiran ini bersifat kolaboratif-komplementer dalam ranah praksis.
Article
Full-text available
This paper aims to describe two problems of investment policy during the New Order regime which leaned towards neoliberal elements or the Washington Consensus; However, after the New Order regime, it was more inclined to a neo-developmental strategy, and saw development strategies related to investment policies change due to internal factors including the presidential election, executive-legislative relations and competing technocrats vis vis nationalist economists and external factors such as the global commodity boom. of China's high demand. The argument of this article is deliberately trying to provide new understanding and insight on investment policies under the administration of President Joko Widodo.
Article
Full-text available
This paper highlights the praxis of public theology that resulted from the decisions of the Synod of the Evangelical Christian Church in Halmahera (GMIH Synod) in the context of the era of regional autonomy during the 2002-2017 ministry period. By using qualitative research methods through library research, this analysis examines theological discourse and living church praxis as stated in the decisions of the GMIH Synod. Starting from the analysis of the social function of the Church emphasized by Ricardo F. Nanuru and the praxis of inter-religious advocate public theology by Felix Wilfred, this study found that: (a) GMIH ecclesiastical documents have seeded the praxis of interreligious public theology in the form of a series of pastoral recommendations and information on the Church's social services; (b this interreligious public theology advocacy practice needs to have an adequate theological basis and a measurable translation into the practice of living in the GMIH church. This theologically measured programmatic integration helps GMIH demonstrate its ecclesiastical identity as a social-humanist-ecological body of Christ that has an impact on Halmahera's public sphere in the era of regional autonomy which is being overshadowed by the neo-liberal economy and the extractive and exploitive mining economy. AbstrakTulisan ini menyoroti praxis teologi publik hasil keputusan-keputusan persidangan Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera (Sinode GMIH) dalam konteks otonomi daerah selama periode pelayanan 2002-2017. Dengan meng-gunakan metode penelitian kualitatif melalui jenis penelitian kepustakaan, analisis ini mengkaji wacana teologis dan praxis hidup seperti tertuang dalam keputusan-keputusan Sidang Sinode GMIH. Bertolak dari analisis fungsi sosial Gereja yang ditekankan oleh Ricardo F. Nanuru dan praxis teologi publik advo-katif intereligius Felix Wilfred kajian ini menghasilkan: (a) dokumen-dokumen gerejawi GMIH telah membenihkan praxis teologi publik intereligius dalam bentuk serangkaian anjuran pastoral dan informasi pelayanan sosial Gereja; (b) praxis advokasi teologi publik interreligious ini perlu mendapat pendasaran teo-logis yang memadai dan penerjemahannya yang terukur dalam praktik hidup menggereja GMIH. Pengintegrasian programatis terukur secara teologis ini membantu GMIH meragakan identitas eklesialnya sebagai tubuh sosial-huma-nis-ekologis Kristus yang berdampak dalam ruang publik Halmahera di era otonomi daerah yang sedang dibayang-bayangi oleh ekonomi neo-liberal dan ekonomi pertambangan ekstraktif dan eksploitatif.
Article
Full-text available
This study examines the implementation of Christian Religious Edu-cation in a multicultural society in the Indonesian context. The fundamental thing of concern is the weak adaptability of the multicultural context in PAK which is able to answer the demands of togetherness and equality amidst the various differences that exist as uniqueness and identity of self and group. A qualitative approach with descriptive research through analysis of descriptive-argumentative data used in this study is intended to bring researchers closer to the problems that exist in the field so that it fulfills the principles of adequacy and fulfillment of the required data. The results obtained are that PAK places its characteristics that are always dealing with multicultural contexts so that the context is not to be avoided but to be lived. Efforts to live up to the multicultural context in the realization of PAK place PAK attached to the foundation of Jesus' concern who loves everyone. Based on the research findings, it is highly recommended that the Indonesian context is always the answer to the achievement of the goals of PAK, an Indonesian culture that accepts, respects, and upholds the principle of living together. Abstrak Penelitian ini mengkaji implementasi Pendidikan Agama Kristen da-lam masyarakat multikultural konteks Indonesia. Hal mendasar yang menjadi keprihatinan adalah lemahnya kemampuan adaptasi konteks multikultural dalam PAK yang mampu menjawab tuntutan kebersamaan dan kesederajatan di tengah pelbagai perbedaan yang ada sebagai keunikan dan identitas diri dan kelompok. Pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif melalui analisis data deskriptif-argumentatif yang digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendekatkan peneliti dengan masalah yang ada dilapangan sehingga memenuhi prinsip kecukupan dan kepenuhan data yang dibutuhkan. Hasil yang didapatkan, bahwa PAK menempatkan karakteristiknya yang senantiasa berhadapan dengan konteks multikultural, sehingga konteks tersebut bukan untuk dihindari melain-kan dihidupi. Upaya menghidupi konteks multikultural dalam realisasi PAK menempatkan PAK melekat pada dasar kepedulian Yesus yang mengasihi se-tiap orang. Berdasarkan temuan penelitian tersebut, maka sangat disarankan agar senantiasa menempatkan konteks Indonesia menjadi jawaban bagi penca-paian tujuan PAK, budaya Indonesia yang saling menerima, menghormati dan meninggikan prinsip kehidupan bersama.
Article
Full-text available
This article shows how in The Good Society Walter Lippmann argues that the very idea of a liberalism worth having is a spiritual project: it involves a spiritual transformation over extended historical time even if the true destination is unknown or uncertain. Along the way, I argue that Lippmann is also acutely aware of the dangers of theorizing that merely affirms an imperfect (or worse) status quo. He is, thus, attractive for those who wish to revive liberalism. In addition, Lippmann’s sensitivity to the role of power and technological change generates a potentially important philosophy of law. This article sketches his understanding of a liberalism that embraces a “spirit of adaptation” without too much deference to a status quo. The second part shows that despite his sensitivity to the risks of demagogues in politics, Lippmann did not turn away from democratic politics. In particular, he has an attractive conception of the vital nature of a pluralist politics inherent to liberalism. Along the way the key limitation of Lippmann’s political philosophy is diagnosed: his depoliticized, juridical conception of political representation and legislation.
Article
Full-text available
While the re-foundation of liberalism is generally attributed to the Colloque Walter Lipp-mann, it should be recalled that the supporters of this renewed liberalism intended to stand together in the face of the advance of planism, the problem of industrial concentration, and the rise of the limited liability company. This paper focuses on the groups known today under the captions of French neoliberalism and German ordoliberalism who, at the Colloque and in the following decades, sought to bring together ideas and people with the objective of defining the foundations of a liberal society and state interventions compatible with the market.
Article
This paper aims to show controversy surrounding development. Therefore, there are two basic ideas that will be used by the author in this paper. First, the author rejects the theoretical framework and dominant paradigm in the study of development, power and poverty which places neoliberal capitalism as the main weapon used by the power to carry out development in order to reduce poverty. Second, the author will demonstrate an alternative development model which essentially places suffering as the main proposition of development. Here development is seen as a way of liberating people from suffering. Thus, the concept of liberating people from suffering is an inspiration used by the author to show Christian vision of development
Article
The ASEAN Economic Community (MEA) is an ASEAN regional policy to establish market integration. To make this happen the government must minimize the market mechanism for the market to run freely and naturally. Consequently, in the MEA policy of the State institution which in this case the government is represented is tested because this policy may pose a danger to neoliberalism. Nevertheless, this policy is the only last resort to face global market expansion. The Church as a part of people’s life also retains the main attitude of rejecting all forms of colonialization or defamation of human dignity. A member of the Church is required to have an “added” value as a form of the ability to read the “signs of the times” in evangelization and the development of the life of faith. In the context of the MEA’s policy, members of the Church must be competitive- covenant, economical-subsidiary, adaptive-prophetic, and participatory- eschatological.
Article
Penelitian ini merupakan kajian pustaka untuk mengkaji dampak globalisasi. Kebenaran fundamental mengenai globalisasi adalah bahwa globalisasi itu timbul dari bawah, dari tingkat jalanan, dari dasar jiwa setiap orang, dan dari aspirasi terdalam mereka. Globalisasi adalah produk dari demokratisasi di bidang keuangan, teknologi, dan informasi, tetapi yang mendorong ketiganya adalah keinginan dasar setiap manusia yaitu kehidupan yang lebih baik, kehidupan dengan pilihan yang lebih banyak mengenai apa yang dimakan, apa yang dipakai, dimana bertempat tinggal, kemana bepergian, bagaimana bekerja, apa yang dibaca, apa yang ditulis, dan apa yang dipelajari.