ChapterPDF Available

Mandine Pangucap: Mantra Using sebagai Pranata Kultural

Authors:

Abstract

Eksistensi mantra (dan ngelmu) dari waktu ke waktu dirasa cukup berperan dalam kehidupan orang Using, karena mantra merupakan bagian dari sistem kepercayaan yang telah merasuk ke dalam benak dan kesadaran masyarakat dari generasi ke generasi. Mantra menjadi pranata kultural dalam pergaulan sosial orang Using. Pengetahuan lokal tersebut terinternalisasi dalam proses interaksi sosial yang panjang, dan kemudian diejawantahkan manakala situasi dan kondisi memang menuntutnya. Ketika ada problem dalam kehidupan, baik menyangkut ranah individu, keluarga, maupun sosial kemasyarakatan, bukan serta-merta seseorang menggunakan mantra sebagai solusi. Biasanya penyelesaian dengan mekanisme kultural tersebut dilakukan sebagai solusi alternatif, manakala solusi konvensional mengalami jalan buntu. Meskipun demikian, tak menutup kemungkinan juga bahwa sebagian yang lain tidak memiliki cukup kesabaran untuk menggunakan mekanisme konvensional, dan langsung saja menuju mekanisme kultural tersebut. Penghayatan terhadap mantra menjadi kesadaran kognitif yang masih memiliki fungsi bagi orang Using, baik dalam konteks harmoni –atau pseudo-harmoni– sosial, maupun struktur sosial. Kesadaran masyarakat akan fungsi sosial mantra sebagai pranata kultural hingga merasa terhindar dari peristiwa yang dapat memunculkan keluhan –yang biasanya terekspresi dalam ungkapan kari ruwed– berakibat tumbuhnya subjektivitas, dan kelonggaran nilai-nilai menjadi dipermainkannya. Konteks yang demikian menjadi faktor pendorong bagi orang-orang yang dihimpit masalah untuk sesegera mungkin mengambil jalan pintas. Mantra yang positif (konstruktif) cenderung meneguhkan struktur sosial, sedangkan yang negatif (destruktif) cenderung mengoyak – atau menjadikan terkoyak– struktur sosial.
www.penerbitombak.com
2016
Editor:
Novi Anoegrajekti
Sudartomo Macaryus
Hery Prasetyo
KEBUDAYAAN USING
KONSTRUKSI, IDENTITAS, DAN PENGEMBANGANNYA
KEBUDAYAAN USING: KONSTRUKSI, IDENTITAS, DAN PENGEMBANGANNYA
Copyright©Pusat Penelian Budaya Etnik dan Komunitas,
Lembaga Penelian Universitas Jember, 2016
Diterbitkan oleh Pusat Penelian Budaya Etnik dan Komunitas,
Lembaga Penelian Universitas Jember
bekerja sama dengan Penerbit Ombak (Anggota IKAPI), Juni 2016
Perumahan Nogorto III, Jl. Progo B-15, Yogyakarta 55292
Tlp. 085105019945; Fax. (0274) 620606
e-mail: redaksiombak@yahoo.co.id
facebook: Penerbit Ombak Dua
www.penerbitombak.com
PO.691.07.’16
Editor:
Novi Anoegrajek
Sudartomo Macaryus
Hery Prasetyo
Tata letak: Ridwan
Sampul: Dian Qamajaya
Gambar Sampul:
Google image search barong using (montase)
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
KEBUDAYAAN USING: KONSTRUKSI, IDENTITAS, DAN PENGEMBANGANNYA
Yogyakarta: Penerbit Ombak, Juni 2016
xxiii + 404 hlm.; 16 x 24 cm
ISBN: 978-602-258-382-0
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Editor
Using yang Tak Asing ~vii
Kata Pengantar Bisri Eendy
Melongok Hari Depan Using~ x
Kata Pengantar Direktur Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
Using dan Ketahanan Budaya ~ xvii
Kata Pengantar Rektor Universitas Jember
Gerak Waktu Gerak Budaya ~ xx
Bagian Satu: Identas dan Kebijakan Kebudayaan
1. “Keka Poni dan Supinah Berbicara”: Identas Budaya dan Ruang
Negosiasi Penari Gandrung
Novi Anoegrajek ~ 1
2. Seni Tradisi, Industri Kreaf, dan Lekuk-Liku Perjuangannya
Sudartomo Macaryus dan Novi Anoegrajek ~ 29
3. Mulbahasa: Strategi Bertahan Seni Pertunjukan Janger Banyuwangi
Mochamad Ilham ~ 51
4. Bukan Sekedar Mencampur Budaya: Hibriditas sebagai Polik Kultural
Masyarakat Using dan Tik-Baliknya di Masa Kini
Ikwan Seawan dan Andang Subaharianto ~ 76
5. Konstruksi Kebijakan Kebudayaan di Banyuwangi: Wacana, Relasi, dan
Model Kebijakan Berbasis Identas
Muhammad Hadi Makmur dan Akhmad Tauq ~ 102
Bagian Dua: Kebudayaan Verbal dan Nonverbal
1. Mandine Pangucap: Mantra Using sebagai Pranata Kultural
Heru S.P. Saputra ~ 123
2. Hukum Lingkungan dalam Pikiran Masyarakat Using
Dominikus Rato ~ 164
3. Kopi Tiga Dimensi: Prakk Tubuh, Ritual/Fesval, dan Inovasi Kopi Using
Dien Vidia Rosa ~ 185
vi Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
4. Image Hegemonik: Membentuk dan Menciptakan Ruang Reproduksi Kultural
Hery Prasetyo ~ 226
5. Budaya Ekonomi Perempuan Using dalam Perspekf Kesetaraan Gender
Mutron, Retno Winarni, dan Heru S. Puji Saputra ~ 261
Bagian Tiga: Pola Pikir dan Implementasinya
1. Relasi Bentuk-Bentuk Leksikal Emof-Ekspresif dan Elafus dengan Pola
Pikir dalam Tuturan Masyarakat Using
Asrumi ~ 277
2. Re-Invenng The Government: Peran Teknologi dalam Proses Pengambilan
Keputusan Birokrasi di Pemerintah Banyuwangi
Antariksawan Jusuf ~ 302
3. Blambangan: Rekonstruksi Identas Kebangsaan dan Pengembangan
Industri Wisata
Sukatman ~ 322
4. Rumah Adat Using: Pembacaan dari Sudut Pandang Rumah Sehat
Isa Ma’ru ~ 340
5. Konsumsi Makanan, Kuliner, dan Obat-Obatan Masyarakat Using
Banyuwangi
Ninna Rohmawa ~ 359
6. Strategi Kebijakan Pengembangan Kawasan Wisata Using: Studi di Desa
Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi
Anastasia Murdyastu, Suji, dan Hermanto Rohman ~ 381
INDEKS ~ 394
INDEKS NAMA ~ 400
123
MANDINE PANGUCAP: MANTRA USING SEBAGAI
PRANATA KULTURAL
Heru S.P. Saputra
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember
heruespe@gmail.com
A. Pendahuluan
Pembunuhan dukun di Banyuwangi tahun 1998, yang juga dikenal sebagai
Geger Santet Banyuwangi (Manan, dkk., 2001), menjadi semacam “tonggak”
atau “puncak” periswa yang meneguhkan image bahwa Banyuwangi
khususnya orang Using– lekat dengan kehidupan supranatural (magic).1
Periswa tersebut menimbulkan kegaduhan sosial, bukan saja pada ngkat lokal
atau nasional, melainkan hingga ngkat internasional. Terbuk, hal itu mengusik
kegelisahan peneli asing –di antaranya Jason Brown, Douglas Kammen, dan
Nicholas Herriman– untuk menelisik misteri sosial di balik kasus tersebut.
Dalam analisisnya, Brown (2000) menyinyalir bahwa pembantaian
dukun tersebut merupakan konspirasi elite polik lokal, sedangkan Kammen
(2001) lebih memahaminya sebagai akibat dari serangkaian konik tuan
tanah dengan buruh tani. Sementara itu, Herriman (2009) menilai bahwa
sebenarnya kasus tersebut lebih sebagai persoalan in-group yang cakupannya
hanya terbatas pada tetangga, kerabat, dan kenalan. Namun, kemudian
menjadi meluas lantaran lemahnya kendali negara terhadap masyarakat lokal
akibat berlangsungya arus reformasi (Herriman, 2013a). Di sisi lain, Herriman
(2013b) juga mempertanyakan “lonjakan” pembunuhan tersebut dalam
konteks pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
1 kontemporer –dan bersumber dari bahasa Indonesia– sehingga menyamakannya
dengan ndakan sadis menggunakan sarana magic. Padahal, pemahaman yang terakhir
tersebut –dalam perspekf budaya lokal– telah
124 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
Sementara itu, kajian lain dilakukan oleh Sunarlan dan Sukidin. Dalam
konteks gerakan reformasi polik, Sunarlan (2002) menilai bahwa kasus
pembunuhan dukun di Banyuwangi merupakan konspirasi polik yang
melibatkan elit informal dan militer. Hal itu tampak berseberangan dengan
temuan Herriman (2013a) yang menyatakan bahwa negara –dalam hal ini
militer– menjadi lemah dalam perannya sebagai kendali sosial. Sementara
itu, dengan perspekf konstrukvisme Bergerian, Sukidin (2006) memandang
bahwa masyarakat memiliki konstruksi sosial, yakni dukun santet merupakan
musuh bersama yang harus segera disingkirkan. Jika demikian, konstruksi
sosial yang didorong oleh beragam kepenngan polis dengan membangun
situasi yang anomali menjadi determinan beringasnya massa.
Kajian-kajian tersebut lebih memahami pembunuhan dukun di
Banyuwangi sebagai bagian dari periswa kekerasan, konspirasi, kempangan
ekonomi, lemahnya kontrol negara, dan persoalan HAM. Sementara itu, jika
dicerma dan ditarik benang merah ke rentang historis, akar persoalan yang
menjadi pemicu kejadian tersebut dak terlepas dari konteks budaya lokal,
yakni tradisi ngelmu. Tampaknya tradisi ngelmu yang telah mengakar pada
kehidupan masyarakat lokal ini yang dieksploitasi dalam kotak pandora yang
kemudian menjelma dalam pola relasi kuasa.
Sebagaimana diketahui, jauh sebelum pecahnya kasus Geger Santet
Banyuwangi, orang negara –dalam hal ini militer– menjadi cukup dikenal
dalam hal tradisi bermantra dan ngelmu-nya. Mereka memiliki sikap yang
cukup akomodaf terhadap kekuatan supranatural, sehingga kemudian
dikenal sebagai wong digdaya.2 Tradisi matek aji yang dilakukan orang Using
merupakan pranata kultural yang sebenarnya juga dilakukan oleh kelompok
etnik lain di Nusantara, misalnya orang Banten dan Lombok. Namun, karena
orang Using cenderung lebih terbuka dan lebih sensif untuk menggunakan
mekanisme tersebut, yakni hal yang sepele pun telah cukup untuk menjadi
alasan dalam matek aji. Oleh karena itu, orang Using dikenal lebih “heboh”
dalam memanfaatkan ngelmu.
2 Dalam catatan Margana (2012:25), kedigdayaan (kesakan) orang Using “terekam”
dalam novel Digdaja (1935) karya Tan Boen Swie. Dalam novel tersebut dikisahkan
bahwa pada masa Mataram, laki-laki dari Blambangan dimanfaatkan sebagai guinea-pig
(percobaan) untuk senjata yang lazim mereka gunakan dalam peperangan. Jika terbunuh,
senjatanya akan dianggap sak dan layak digunakan dalam peperangan. Sementara itu, para
perempuan Blambangan dijadikan abdi untuk menyusui anak-anak raja dan bangsawan.
Ada kepercayaan bahwa para perempuan tersebut memiliki kebiasaan minum jamu yang
terbuat dari daun rajegwesi, sehingga air susunya menjadi berwarna setengah wulung
(indigo), dan bayi yang mengonsumsinya akan tumbuh menjadi wong digdaya.
125
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
Jika persoalan yang menjadi pemicu pembunuhan adalah murni persoalan
yang terkait dengan prakk dukun (santet/sihir),3 solusinya seharusnya bukan
pembunuhan, apalagi pembantaian. Salah satu solusi yang paling sering
ditempuh oleh warga adalah dengan cara mengusir tukang sihir dari tempat
nggalnya untuk berpindah ke desa atau kecamatan lain di wilayah Banyuwangi.
Sebagai contoh, Bik Ls4 yang dituduh sebagai tukang sihir akhirnya diusir dari
tempat nggalnya di Giri dan kemudian pindah ke Kalibaru. Hal serupa juga
terjadi pada Bik Ju. Bik Ju yang dituduh sebagai tukang sihir akhirnya diusir dari
tempat nggalnya di Singojuruh dan berpindah ke Giri. Suhalik (wawancara,
12 September 2014), sejarawan lokal, sebenarnya mengetahui bahwa Bik Ju
yang kini kebetulan menjadi tetangganya tersebut adalah tukang sihir. Namun,
Suhalik sengaja dak memberitahukannya kepada warga lain, karena dirinya
merasa kasihan, lantaran jika warga lain mengetahui, Bik Ju kemungkinan akan
diusir juga dari wilayah tersebut.
Selain mekanisme pengusiran, cara lain yang juga digunakan untuk
“mengadili” orang yang dituduh sebagai tukang sihir adalah dengan kearifan
lokal, yakni mekanisme sumpah pocong. Sebagaimana dicontohkan Suhalik
(2009:39–40), pada tahun 1980 ada tujuh orang di Bakungan yang dituduh
sebagai tukang sihir. Meskipun harus tarik-ulur, akhirnya berhasil dilaksanakan
sumpah pocong. Setelah dilakukan sumpah pocong, setahun kemudian dua
orang meninggal dunia. Apakah meninggalnya dua orang tersebut akibat dari
laknat sumpah pocong, atau meninggal secara alami karena takdir? Bagi warga,
hal itu bukan lagi menjadi persoalan yang amat penng. Dengan keberanian
orang-orang yang tertuduh untuk mengiku tuntutan penuduh dan kemudian
bersedia menjalani prosesi sumpah pocong, saat itu pula disharmoni sosial
terhapuskan. Meskipun demikian, mekanisme sumpah pocong ini kurang
populer di wilayah Banyuwangi, masih kalah populer dibanding wilayah
masyarakat Madura –baik yang nggal di Pulau Madura maupun di wilayah
Tapal Kuda– di antaranya di Jember (Saputra, dkk., 2009).
3 Perbedaan leksikon santet dan sihir dalam konteks budaya Using (konteks lokal) cukup
signikan. Santet diambil dari bahasa lokal yang dipahami sebagai ngelmu pengasihan,
dikenal sebagai akronim dari mesisan kanthet dan mesisan benthet, dan dikategorikan
sebagai magi kuning dan merah, sehingga bersifat konstrukf. Sihir dipahami sebagai
ngelmu untuk menyaki atau membunuh, dan dikategorikan sebagai magi hitam, sehingga
bersifat destrukf. Santet dalam bahasa Using berbeda makna dari santet dalam bahasa
Indonesia. Santet dalam bahasa Indonesia dipahami sama pengerannya dengan sihir.
4 Nama-nama yang terkait dengan profesi sebagai dukun, orang pinter, atau tukang
sihir, tukang lintrik, dan semacamnya, sengaja disembunyikan dan hanya digan dengan
inisial, dengan tujuan untuk menghindarkan dari dampak negaf publikasi.
126 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
Mekanisme terakhir untuk “mengadili” tukang sihir adalah dengan
cara “mengembalikan” atau membalasnya dengan menggunakan sihir
juga. Meskipun mekanisme ini mengandung unsur kekerasan, bukanlah
dalam bentuk kekerasan yang terbuka, melainkan atas dasar kedigdayaan
ngelmu yang dimiliki. Hal seper ini pernah dialami oleh Sp di Olehsari pada
awal tahun 2015. Meskipun usianya belum mencapai kepala ga, yakni 24
tahun, Sp memiliki kemampuan linuwih. Namun, karena tukang sihir yang
“menyerang”-nya lebih ampuh, Sp merasa kuwalahan, sehingga dia baru
berhasil menahan dan membuang “kiriman” tersebut setelah meminta
bantuan kepada Tr dari Olehsari, Gd dari Porong (Giri), Kc dari Pakel, dan
Hd dari Macan Puh. Keempat wong pinter tersebut kemudian “memagari”
rumah Sp dari gangguan tukang sihir.5
Mekanisme kultural berupa pengusiran, sumpah pocong, dan pembalasan
dengan ngelmu yang serupa mengisyaratkan bahwa ritual matek aji
merupakan pranata kultural yang tak perlu direcoki oleh persoalan-persoalan
polik dan kekuasaan. Ia merupakan produk budaya yang otonom. Meskipun
telah marak sejak peradaban lisan (niraksara) dan khirograk (tulisan), mantra
dan ngelmu dak akan raib begitu saja hingga peradaban pograk (cetakan)
dan elektronik (teknologi). Kini telah berlangsung peradaban elektronik, tetapi
produk budaya pada masa peradaban lisan yang berupa mantra dan ngelmu
nyatanya tetap saja hidup di tengah-tengah masyarakat lokal, termasuk dalam
relung kehidupan keseharian orang Using.
Atas dasar rentetan narasi tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul
adalah begitu berperankah mantra dan ngelmu bagi kehidupan keseharian
orang Using? Jika memang demikian, mengapa hal itu bisa terjadi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dua ranah yang merupakan satu
kesatuan –yakni mantra dan ngelmu– perlu dicarikan dasar konseptualnya,
sehingga dapat digunakan untuk membantu menganalisisnya. Unsur verbal
mantra dapat dikaji secara literer, khususnya aspek kelisanan dan pola
formulanya. Sementara itu, ngelmu atau daya magis dikaji secara kultural
(etnografis-emik) dengan mengarahkan pada paradigma fungsionalisme-
struktural.
5 Wong pinter berbeda dari wong penter. Wong pinter dimaksudkan sebagai orang
yang memiliki kemampuan supranatural linuwih dan biasanya menger yang benar dan
salah, sedangkan wong penter adalah orang yang hanya mengiku kehendaknya atau
seenaknya sendiri (sak karepe dhewe).
127
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
Dalam kajian kelisanan, konsep lisan (oral), sebagaimana dijelaskan
Sweeney (1987:9–10; 2011:65), dapat dipahami pada dua konteks yang
berbeda; yakni berantonim dengan kata tertulis, dan berantonim dengan kata
beraksara. Konsep lisan yang pertama memiliki makna sebagai penyampaian
secara lisan, dengan perspekf sistem beraksara, sedangkan konsep lisan
yang kedua memiliki makna masyarakat lisan primer yang niraksara. Kajian
kelisanan dak hanya terbatas pada ucapan lisan, tetapi juga residu lisan (oral
residue) (Ong, 1989) dan orientasi lisan (Sweeney, 1987; Teeuw, 1994; Sunar,
2013). Konsep penng lain dalam kajian kelisanan adalah konsep formula
dan ekspresi formulaik (Lord, 1981). Penggunaan ekspresi formulaik dapat
membantu terbentuknya wacana ritmis (Ong, 1989). Lord (1981) menegaskan
bahwa dak ada puisi lisan yang dak formulaik.6
Sementara itu, paradigma fungsionalisme-struktural Radclie-Brown
(Marzali, 1997) dimanfaatkan untuk memahami fungsi ngelmu sebagai produk
kearifan lokal dalam konteks relasi sosial. Dalam hal ini, fungsi dipahami
dengan perspekf etnogra-emik (Spradley, 1997:3), sehingga tujuannya
adalah untuk memahami ngelmu dari sudut pandang masyarakat lokal.
B. Metode
Penelian tentang mantra (dan ngelmu) ini merupakan penelian
lapangan yang tergolong dalam kategori penelian kualitaf dengan
menggunakan metode etnogra, khususnya perspekf emik. Penelian
semacam ini lebih menekankan pandangan terhadap fenomena sosial
budaya atas dasar perspekf masyarakat yang diteli (Ahimsa-Putra, 1997).
Sebagaimana dijelaskan oleh Spradley (1997:3–4), tujuan utama etnogra
adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk
asli. Akvitas tersebut dak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu,
etnogra berar belajar dari masyarakat. Penemuan pandangan yang dimiliki
oleh penduduk yang bersangkutan (insider) merupakan jenis pengetahuan
yang berbeda dari jenis pengetahuan yang utamanya ada dalam pandangan
orang luar.
6 Konsepsi semacam itu, menurut Finkelberg (2004:236‒252), akan menimbulkan
keseragaman pandangan bahwa semua kelisanan adalah sama, yakni memiliki pola
formulaik. Bagi Finkelberg, hal tersebut akan menjadi masalah. Untuk itu, ada dua
kemungkinan yang ditawarkannya, yakni meninggalkan ide tentang 100% formularitas
dalam Homer, atau melonggarkan kriteria dalam mengidenkasi kelisanan Homer. Dalam
konteks ini, Finkelberg mengarah ke poin kedua, yakni dengan cara menggan formula
dengan unit lain yang lebih eksibel, yakni komposisi.
128 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
Untuk mengeksplorasi unsur verbal mantra dan fungsi ngelmu dalam
konteks relasi sosial, dilakukan serangkaian wawancara, baik kepada pewaris
akf (dukun, wong pinter, pawang, “tukang”), maupun kepada pewaris non-
akf (pengguna jasa wong pinter, keluarga, budayawan, masyarakat sekitar).
Selain untuk mendapatkan data tekstual mantra, rangkaian wawancara
tersebut juga untuk mengeksplorasi data kontekstual, yakni persoalan
“ideologi”, pandangan, sekaligus prosesi ritual secara empiris di lapangan.
Untuk itu, kegiatan observasi parsipasi dak bisa dihindarkan.
Meskipun demikian, kegiatan observasi parsipasi memiliki keterbatasan,
karena hanya sebagian ritual matek aji dan ritual adat (dalam keadaan sedang
berlangsung) yang bisa/boleh/berhasil diiku, di antaranya matek aji yang
dilakukan oleh tukang lintrik dan wong pinter (untuk pengasihan atau santet).7
Untuk prosesi matek aji, karena bersifat rahasia, ada tahapan tertentu yang
dak boleh diiku, di antaranya keka “wiridan”8 tengah malam hingga pagi
hari. Sementara itu, ritual adat lebih “longgar”, karena merupakan hajat
kolekf yang menjadi kepenngan bersama.
Selain wawancara dan observasi parsipasi, kajian pustaka juga
diperlukan dalam rangka untuk mendapatkan data dan informasi pendukung.
Kajian pustaka diutamakan pada pustaka yang telah terpublikasi dalam bentuk
jurnal dan buku. Data tekstual dilakukan analisis formula untuk memahami
karakterisk kelisanan dan pola formula mantra. Sementara itu, data yang
terkait dengan ritual dan konteksnya dilakukan analisis fungsionalisme-
struktural, guna memahami ar penngnya dalam relasi sosial. Spirit dari
analisis fungsionalisme-struktural dak terlepas dari frame etnogra-emik.
C. Hasil dan Pembahasan
Hasil penelian dan pembahasan terhadap mantra dan ngelmu diarahkan
untuk menjelaskan aspek kelisanan dan pola formula, serta ar-penng
ngelmu bagi kehidupan orang Using, terutama dalam konteks relasi sosial.
Meskipun demikian, pembahasan terlebih dahulu diawali dengan paparan
7 Untuk menemukan dan mengiku prosesi matek aji yang dilakukan oleh tukang
sihir, berdasarkan pengetahuan/pengalaman yang peneli rasakan di lapangan, tampaknya
“nyaris” mustahil –karena sikapnya sangat tertutup dan dak pernah mengakui bahwa
dirinya tukang sihir– kecuali benar-benar berkepenngan untuk menggunakan jasanya.
8 Leksikon wiridan yang lazim digunakan dalam tradisi Islam –untuk membaca/
mengucapkan doa-doa atau zikir yang diamalkan setelah selesai shalat– ini, oleh wong pinter
dan tukang lintrik dipahami dan diimplementasikan untuk mengucapkan mantra-mantra.
129
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
tentang leksikon yang terkait dengan ngelmu guna menjernihkan kandungan
ar leksikon tersebut sesuai dengan perspekf masyarakat lokal. Selain itu,
pembahasan juga dilengkapi dengan paparan ringan yang mengungkapkan
“suasana dak sewajarnya” yang dialami peneli selama berada di tengah-
tengah masyarakat Using.
1. Leksikon: Menjernihkan Bias Pandangan
Mengeksplorasi lokalitas akan menemukan kedalamannya jika
memanfaatkan keragaman khazanah leksikon atau kosakatanya. Leksikon lokal
memiliki pengeran atau makna, bahkan konsep, yang khas karena lahir dari
konteks yang terbatas dan dipahami dalam perspekf lokal, bukan universal.
Leksikon lokal juga tumbuh dan diimplementasikan dalam akvitas keseharian
berdasarkan pandangan masyarakat setempat, sehingga ia menjadi pintu
masuk untuk memahami secara jernih persoalan yang berakar dari leksikon
yang bersangkutan. Carut-marut pemahaman terhadap leksikon akan muncul
manakala terjadi campur-aduk antara pandangan-luar dan pandangan-dalam
terhadap leksikon yang bersangkutan.
Dalam perspekf linguisk-antropologis, munculnya beragam leksikon
sebagai pemerian atas fenomena budaya tertentu mengindikasikan bahwa
hal tersebut merupakan fenomena yang determinan. Arnya, semakin
banyak leksikon yang dimiliki –terkait dengan jenis produk budaya tertentu
mengindikasikan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang cukup penng
bagi masyarakat lokal yang bersangkutan. Demikian halnya dengan mantra dan
ngelmu bagi orang Using; cukup banyak leksikon yang memerikan hal tersebut.
Leksikon dukun dalam kasus pembantaian dukun di Banyuwangi tahun
1998 “nyaris” selalu diembel-embeli dengan leksikon santet, sehingga
menjadi “dukun santet”. Leksikon santet perlu dijernihkan kandungan
arnya, karena islah yang sebenarnya bermula dari leksikon lokal tersebut
terlanjur dicampur-adukkan atau bahkan diambil-alih oleh leksikon yang
lebih universal (dari bahasa Indonesia). Leksikon santet berasal dari bahasa
Using yang berar pengasihan (sebagaimana pelet dalam tradisi Jawa) yang
sering diakronimkan dengan mesisan kanthet (‘biar terikut/menyatu’) dan
mesisan benthet (‘biar terpisah/retak’).
Informan-informan di lapangan yang masih memiliki pemahaman jernih –
dengan indikasi mengaitkannya dengan aspek historis budaya lokal– terhadap
130 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
leksikon santet,9 dan tulisan-tulisan lokal yang membahas kasus “santet”
(Armaya, 2001; Sugihartoyo, 2001; Bahri, 2001; Hariyanto, 2001; Siswanto
S., 2009; Suhalik, 2009; Juanda, 2009), memahami leksikon santet sebagai
produk budaya lokal yang berupa mekanisme miss untuk memengaruhi
kesadaran orang lain dalam konteks pengasihan, baik dalam ranah relasi
lelaki-perempuan maupun relasi sosial yang lebih luas. Bagi mereka, santet
dak dipahami sebagai kejahatan sadis sebagaimana yang marak dalam kasus
pembantaian dukun, melainkan lebih sebagai siasat untuk memengaruhi
kesadaran dan memunculkan rasa welas asih, sehingga orang yang semula
benci berbalik menjadi kasihan, orang yang semula menolak berbalik menjadi
tertarik, orang yang semula ketus berubah menjadi lembut, dan orang yang
semula dihina berubah menjadi berwibawa.
Sementara itu, generasi yang lebih muda dan pemberitaan di berbagai
media massa cenderung menggunakan dan memahami leksikon santet dalam
konteks kontemporer –dan bersumber dari bahasa Indonesia– sehingga
menyamakannya dengan ndakan sadis menggunakan sarana magic. Padahal,
pemahaman yang terakhir tersebut –dalam perspekf budaya lokal– telah
direpresentasikan oleh leksikon lokal lainnya, yakni sihir.
Santet dan sihir merupakan dua ngelmu yang sangat berbeda, bahkan
terdapat sisi yang bertolak-belakang. Sihir dalam pandangan orang Using
semata-mata sebagai ngelmu yang destrukf, sehingga diidenkkan dengan
kejahatan, karena bertujuan untuk menyaki atau menghilangkan nyawa.
Sementara itu, santet bukanlah ditujukan untuk menyaki. Kalaupun ada yang
merasa tersaki, itu pun sebatas pada ranah perasaan, bukan sik, apalagi
hingga pembunuhan.
Ngelmu destrukf serupa sihir tetapi berbeda varian adalah suwuk
dan cekek. Suwuk10 menggunakan bantuan media berupa benda-benda
seper telur, paku, jarum, sedangkan cekek menggunakan media makanan.
Sementara itu, racun11 adalah jenis ngelmu destrukf yang juga menggunakan
9 Di antaranya wawancara dengan budayawan (Hasnan Singodimayan, Fatrah Abal,
Armaya, Aekanu Haryono, Hasan Basri, Dariharto, Fauzi, Serat, Timbul, Purwadi, Sri Hidaya),
sejarawan (Suhalik, Waris Leluhur), dan wong pinter/dukun (Rs, Ak, Bhr, Spt, Tr, Sp, Gd, Kc,
Sgy, Bbg, Nwy, Jn, Wn), dalam rentang waktu pertengahan hingga akhir tahun 2014.
10 Dalam konteks budaya Jawa, suwuk bertujuan menyembuhkan penyakit atau
menghenkan ketergantungan anak menyusu kepada ibunya.
11 Bukan racun dalam pengeran bahasa Indonesia yang berar zat kimia atau gas
yang dapat mengakibatkan seseorang meninggal.
131
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
media makanan yang mengakibatkan luka membusuk pada bagian mulut
dan sekitarnya.
Dalam kehidupan keseharian orang Using, varian untuk sebutan
dukun sedaknya ada ga versi yang masing-masing telah melekat secara
konvensional dengan kata yang menjadi pasangannya. Kega varian tersebut
adalah dukun, tukang, dan pawang. Leksikon dukun dalam penggunaan
ujaran keseharian melekat dengan islah jaranan dan pengasihan, sehingga
muncul frasa dukun jaranan dan dukun pengasihan. Jaranan merupakan seni
pertunjukan yang menggunakan sarana topeng dan kuda kepang, sebagian
pemain mengalami trance. Sementara itu, pengasihan dimaksudkan sebagai
santet. Akan tetapi, penyebutan yang lazim di lingkungan masyarakat adalah
dukun pengasihan, bukan dukun santet. Hal ini, bisa jadi, akvitas untuk
nyantet (‘pengasihan’) bukan hanya otoritas seorang dukun, melainkan juga
bisa dilakukan oleh orang kebanyakan. Bahkan, banyak remaja Using yang
bisa nyantet.
Sementara itu, islah tukang digunakan lebih variaf, baik yang
mengandung konotasi negaf (tukang sihir/tukang suwuk dan tukang lintrik),
maupun konotasi netral (tukang sarang, tukang pijet, tukang nambani, tukang
ngetung, tukang muter barang). Leksikon tukang dapat dimaknai sebagai
pihak yang bisa dipesan jasanya dengan imbalan tertentu. Frasa tukang sihir
dan tukang lintrik, atau tukang sarang dan tukang pijet, cukup populer dalam
tangkapan pendengaran masyarakat, sehingga eksistensi tukang-tukang
tersebut tetap lestari hingga kini, dan mereka melakukan pekerjaannya atas
dasar pesanan. Adapun leksikon pawang digunakan lebih fokus pada ritual
adat (pawang Seblang, pawang Kebo-keboan).
Dalam khazanah kultural Using, ngelmu pengasihan dak hanya terbatas
pada santet, tetapi juga ada lintrik, sensren, seret, susuk, pengirut, dan pelaris.
Sementara itu, untuk tolak bala’ (balak) dan “kontra-pengasihan” melipu
sikep, sarat, pathek, dan rapuh.
Lintrik (lentrek) merupakan pengasihan dengan menggunakan media
kartu (disebut kartu lintrik yang berjumlah sewidak atau enam puluh). Lintrik
sangat populer di kalangan perempuan, sehingga ada kesan bahwa lintrik
merupakan magic khusus perempuan. Dalam penelusuran di lapangan, dari
berpuluh tukang lintrik yang berhasil “ditemui”, hanya satu orang yang laki-
laki. Selain mayoritas perempuan, ada beberapa orang yang banci/bencong.
Menurut para perempuan lintrik tersebut, laki-laki sing omes (‘dak telaten’)
132 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
untuk mendalami lintrik, di samping karena merasa kurang memiliki presse.
Selain sebagai pengasihan, lintrik juga dapat digunakan untuk melakukan
ramalan. Para pekerja seks komersial (PSK) Padang Bulan, menurut beberapa
informan, banyak yang menggunakan jasa lintrik untuk memikat para
pelanggannya hingga senanasa kembali ke tempat tersebut, sekaligus untuk
melakukan ramalan (mendeteksi) apakah lelaki yang akan mendatanginya di
lokalisasi tersebut berkantong tebal ataukah dak.
Sensren (sensreng/pesensren) merupakan pengasihan dengan
menggunakan media bedak, parfum, atau semacamnya. Para pekerja seni
(laki-laki dan perempuan) atau orang-orang yang terbiasa untuk pentas juga
sering menggunakan sensren untuk menambah daya tarik bagi penonton.
Kepopuleran sensren ini memunculkan basanan, yakni kembang jarak
kembang waru/mbengi barak raino biru (‘bunga jarak bunga waru/malam
cerah siang kusam’). Malam cerah karena menggunakan sensren (pada saat
pentas seni), sedangkan keka dak menggunakan (siang), kelihatan kusam
sesuai dengan raut-muka “asli”-nya.
Seret merupakan pengasihan atau guna-guna antara laki-laki dan
perempuan. Orang yang terkena seret seringkali dak menyadari bahwa
dirinya tertarik kepada lawan jenis karena guna-guna. Justru orang lain
yang biasanya mendeteksi kedakwajaran perilaku welas asih seseorang,
dan kemudian memberitahukannya dengan ucapan sira kena seret (‘kamu
kena guna-guna’). Sementara itu, susuk merupakan pengasihan dengan
menggunakan media berupa benda tertentu yang dimasukkan di bagian
tubuh tertentu sehingga menambah daya tarik. Susuk dapat dimasukkan di
sekitar bibir, mata, atau tempat lain yang dikehendaki. Pada umumnya sarana
material yang digunakan sebagai susuk terbuat dari emas (pengasihan), atau
bisa juga baja (peteguhan/kekuatan).
Pengirut juga merupakan jenis pengasihan, tetapi cenderung digunakan
untuk daya tarik dalam hubungannya dengan binatang, misalnya untuk
membuat binatang menjadi penurut, atau untuk memancing ikan. Agar ikan
terpikat dan mudah untuk dipancing, digunakan sarana malam klanceng
puh. Klanceng puh merupakan sejenis tawon kecil, sedangkan malam
merupakan tempat berlindung atau semacam rumah klanceng puh. Ikan
sangat menggemari umpan yang dipole oleh malam klanceng puh, sehingga
sangat mudah untuk mendapatkan ikan sebanyak-banyaknya. Meskipun
demikian, ada kepercayaan bahwa hal tersebut dak boleh digunakan sebagai
profesi untuk “mencari uang”.
133
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
Pelaris dapat dikategorikan sebagai pengasihan dalam konteks
transaksi perdagangan, meskipun sebenarnya dak dapat dipisahkan dari
keterkaitannya dengan dina dan pasaran. Hari baik untuk berdagang,
menurut orang Using, adalah Kamis Kliwon dan Jumat Legi, sedangkan hari
pantangan adalah Selasa dan Sabtu. Juga, beberapa wong pinter berpesan,
jangan bepergian atau menemui orang pada hari Selasa atau Sabtu, karena
seringkali dak membuahkan hasil yang maksimal. Jika terpaksa harus hari
Selasa atau Sabtu, usahakan siang setelah tengah hari, karena setelah tengah
hari –menurut hitungan Using– sudah termasuk hari berikutnya. Pemahaman
dan penerapan terhadap kepercayaan semacam itu tentu saja perlu dimaknai
secara kontekstual.
Sikep (singkep/ladhang) merupakan tolak balak yang berguna untuk
“memagari’ atau “melindungi”. Sebagai contoh, keka seorang anak akan
bepergian atau merantau ke luar Banyuwangi, si anak diberi sikep. Sikep
dapat berupa barang tertentu, misalnya berupa sabuk (yang biasanya berisi
rajah, untuk sabukan), garam, atau air yang telah dimantrai (untuk diminum).
Ada juga yang wujud sikep berupa air, seper minyak jelantah, yang keruh.
Sarat (tamba) digunakan untuk penyembuhan. Meskipun tujuan utama
untuk penyembuhan, penggunaan sarat bisa juga digunakan untuk tujuan
kewibawaan, mencari pekerjaan, atau naik pangkat.
Pathek adalah ngelmu untuk menutup/menghambat jalan hidup/rezeki/
jodoh seseorang. Keka sepasang kekasih mengalami putus cinta, misalnya,
kemudian si perempuan dipathek oleh si laki-laki, hal itu diyakini menyebabkan
si perempuan dak akan laku, karena jalan untuk mendapatkan jodohnya
telah “ditutup”. Demikian juga dengan rezeki. Jika jalan rezeki seseorang telah
dipathek oleh orang yang menjadi pesaingnya, misalnya, diyakini pula bahwa
rezeki orang yang kena pathek tersebut akan hilang/buntu.
Rapuh digunakan untuk membuat seseorang atau suatu benda menjadi
dak berdaya (dalam olahraga), dak merdu (dalam kesenian), atau dak
sedap (dalam kuliner). Dalam konteks kompesi kesenian, misalnya, agar
musik (kendang) pihak yang bersaing (musuh) dak bisa berbunyi, atau
berbunyi tetapi dak normal (hanya begh-begh-begh), digunakan ngelmu
rapuh. Untuk melakukan tolak balak terhadap ngelmu tersebut, tangan
pengendang perlu di-rajah, dan dengan syarat tangan tersebut dak boleh
untuk njawil perempuan, karena bisa apes. Hal senada juga berlaku untuk
konteks olahraga dan kuliner. Dalam konteks olahraga, atlet yang terkena
134 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
rapuh akan menjadi lesuh (‘loyo/lumpuh’). Untuk mengansipasi hal tersebut,
misalnya dalam lomba lari, jangan mendahului dari sebelah kanan. Dalam
konteks kuliner (makanan), baik makanan yang dijual (di warung/di restoran)
maupun makanan di tempat orang punya hajat, bisa dibuat basi sekeka,
dengan cara di-rapuh.
Selain sihir, pengasihan, “kontra-pengasihan”, dan tolak balak,
sebagaimana yang telah dipaparkan, ada pula ngelmu yang disebut
kadigdayan (aji), yang mengandalkan kesakan atau keampuhan. Aji dapat
digunakan dalam berbagai keperluan, di antaranya untuk panglimunan
(‘menghilang’), pambungkem (‘membungkam’), dan kateguhan (‘kekuatan’).
Mandine pangucap atau mandine ing pangucap (‘manjurnya ucapan’) juga
merupakan bagian dari aji, yang bukan hanya untuk keperluan kanuragan,
melainkan juga dapat dipergunakan untuk penyembuhan. Mandine pangucap,
menurut Sgy (wawancara, 12 September 2014), termasuk ngelmu dasar yang
menjadi pondasi ngelmu-ngelmu lain, sekaligus dapat dikembangkan dengan
berbagai varian ngelmu kanuragan. Sementara itu, dalam berbagai ritual adat,
baik menyangkut siklus lingkaran hidup manusia, prosesi pengolahan lahan
pertanian, hingga ritual bersih desa, dak dapat dilepaskan dari seremoni
slametan yang dipimpin oleh ketua masyarakat adat/pawang/sesepuh dengan
menggunakan mantra dan uborampe (‘sesaji’).
Penelusuran terhadap leksikon-leksikon yang terkait dengan ngelmu atau
kemampuan supranatural dalam perspekf lokal (emik) tersebut memberi
gambaran betapa kaya khazanah kultural Using dalam mendeskripsikan
perilaku magisnya. Leksikon lokal tersebut dak menutup kemungkinan
berhomonim dengan leksikon lain –baik lokal/bahasa daerah di wilayah lain
maupun nasional/bahasa Indonesia– sehingga berpotensi menimbulkan
pengeran yang rancu jika dak dipahami secara kontekstual. Terkait dengan
kasus pembunuhan dukun di Banyuwangi tahun 1998, jika yang dimaksud
adalah orang-orang yang sebelumnya pernah membuat orang lain menjadi
sakit secara dak wajar atau bahkan meninggal, leksikon lokal untuk menyebut
orang-orang seper itu adalah sihir. Leksikon lokal tersebut selama ini banyak
diidenkkan dengan leksikon dalam bahasa Indonesia yang dipersepsi memiliki
makna yang sama, yakni santet.
Di sisi lain, leksikon santet dalam bahasa Indonesia berbeda makna
dari leksikon santet dalam bahasa lokal Using. Dalam bahasa Using, santet
adalah pengasihan. Upaya untuk menjernihkan leksikon dari bias pandangan
135
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
semacam ini menjadi penng guna menjelaskan akar persoalan yang
sebenarnya. Ia sekaligus menjadi reeksi apakah kegaduhan sosial yang terjadi
murni disebabkan oleh ulah supranatural si dukun atau telah terhegemoni
oleh kepenngan polik-kekuasaan. Selain itu, dengan khazanah leksikon
terkait ngelmu yang beragam menjadi indikasi bahwa bagi orang Using
ngelmu cukup penng dalam proses kehidupan dan interaksi sosial, sehingga
ia memiliki peranan yang menyatu dengan kebutuhan dan keperluan dalam
relung keseharian mereka.
2. Sekul Arum: Mengendus Aroma Mistis
Kasus pembunuhan dukun tahun 1998 menjadi puncak sekaligus k
kulminasi dalam dunia kehidupan supranatural di Banyuwangi. Meskipun
kasus pembunuhan terhadap dukun bukan yang pertama dan satu-satunya,
kasus 1998 merupakan kasus yang terheboh karena ratusan nyawa melayang
sia-sia. Akibat dari kasus tersebut, masyarakat menjadi sensif dan bersikap
tertutup terkait persoalan mantra, ngelmu, atau hal-hal semacamnya. Dalam
pergaulan sosial di “permukaan”, suasana menjadi sunyi, karena masyarakat
memendam rasa traumak, terutama bagi keluarga yang terlibat kasus
tersebut. Namun, apakah kehidupan per-ngelmu-an di Banyuwangi benar-
benar berhen? Jawabannya adalah dak!
Jika dicerma, sebenarnya dak semua orang Using menyukai ngelmu,
terutama yang destrukf seper sihir, sedangkan yang “ringan-ringan saja”
seper jenis pengasihan keseharian, tampaknya telah menjadi hal yang
lumrah. Sebagaimana tradisi berdoa dalam agama yang notabene dilakukan
dalam segala akvitas sejak bangun dur hingga beranjak untuk dur lagi,
dalam ngelmu yang diverbalkan dengan mantra– pun demikian. Arnya,
bagi sebagian masyarakat yang telah menyatu dengan tradisi ber-ngelmu
(bermantra), mulai dari bangun dur, mandi, bersolek, bersisir, menyapu,
memasak, hingga nyambel pun dilakukan dengan sarana mantra.
Sistem kepercayaan mereka meyakini bahwa mantra yang digunakan
dalam berbagai kegiatan keseharian semacam itu didasari oleh spirit
pengasihan, yakni agar proses hidup dalam keseharian selalu mendapat rasa
welas asih, baik dalam relasi secara verkal maupun horizontal. Ia berorientasi
pada satu muara berupa terciptanya kehidupan yang harmoni, yakni kondisi
slamet, baik dalam tataran jagad cilik (mikrokosmos) maupun jagad gedhe
(makrokosmos). Sebagai sebuah sistem kepercayaan, tradisi bermantra dalam
kehidupan sehari-hari orang Using dak serta-merta hilang begitu saja lantaran
136 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
munculnya kasus pembunuhan dukun, meskipun bisa saja intensitasnya
menurun dan dengan sikap sosial warga yang lebih tertutup.
Sikap kris masyarakat terhadap ngelmu destrukf –di antaranya
terhadap sihir– tampak dari parsipasi mereka dalam menentukan arah
perkembangan masyarakat di lingkungannya, di antaranya terjadi di Kenjo.
Dalam prosesi pemilihan kepala desa, salah satu tuntutan warga adalah
“memberantas” tukang sihir dari wilayah Kenjo, dan spirit tersebut mendapat
respons dari salah satu kandidat yang memang memiliki bekal ngelmu
linuwih, dan kemudian mengusungnya menjadi salah satu prioritas program
kerja ke depan. Sementara itu, calon petahana yang dak memiliki bekal
ngelmu linuwih cenderung mengabaikannya. Desa Kenjo selama ini memang
dikenal sebagai salah satu “gudang” tukang sihir, meskipun dak sedikit di
antara mereka telah menunaikan rukun Islam kelima. Realitas sosial tersebut
bagaikan sebuah paradoks –banyak tukang sihir yang telah menjadi haji tetapi
tetap melakukan prakk sihir– yang mengindikasikan kedakberesan dalam
menghaya agama.
Sikap kris warga Kenjo dalam pilkades membuahkan hasil, yakni
terpilihnya kandidat yang sepaham dengan warga untuk “memberantas”
tukang sihir. Kades terpilih segera menggalakkan program pemberantasan
tukang sihir di segala lini tanpa terkecuali. Meskipun demikian, “memberantas”
dan “mengubah” sistem kepercayaan daklah semudah membalikkan telapak
tangan. Kondisi sosial “di permukaan” memang tampak harmoni, tetapi
ternyata sesekali tetap muncul gejolak secara laten, yang berakar dari sihir.
Kondisi sosial di Kenjo secara umum dak jauh berbeda dari kondisi di
desa atau wilayah lain, seper di Pakis, Sobo, Tukang Kayu, dan Kertosari,
yang secara laten bisa saja muncul gejolak yang bersumber dari dunia
per-ngelmu-an, meskipun bisa dalam koridor mekanisme kultural. Hal ini
mengindikasikan bahwa atmosfer per-ngelmu-an masih terus berlangsung
dalam relung dinamika kehidupan orang Using. Jika kita selami ke dalam
ceruk kehidupan mereka dan kemudian menghayanya secara emik, akan
terasa betapa kuatnya aroma miss yang menyatu dalam arus kehidupan
keseharian mereka. Aroma miss tersebut bukan hanya menyangkut
persoalan ngelmu, melainkan juga ritual.
Pelaksanaan ritual Seblang Olehsari tahun 2014, misalnya, sempat dak
ndadi sejak prosesi dimulai hingga hari kedua, sehingga hari kega dak
dilaksanakan. Hal tersebut menimbulkan kegelisahan, bahkan disharmoni,
137
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
bukan hanya di benak para pemangku adat dan pelaku Seblang, melainkan
juga di benak masyarakat lokal secara umum. Persepsi dan spekulasi tentang
penyebab kejadian tersebut pun bermunculan. Bahkan berseliweran
kecurigaan sosial. Namun, beberapa hari kemudian terjadi periswa kejiman,
dan yang mengalami adalah Mbah Ni.
Periswa kejiman dipercaya oleh masyarakat Olehsari sebagai bagian
integral dari ritual Seblang guna menunjuk aktor yang menjadi pelaku Seblang
dan sekaligus menentukan hari pelaksanaannya. Penunjukan secara miss
tersebut disampaikan oleh roh leluhur –yang telah masuk ke dalam tubuh
Mbah Ni– keka diajak berbincang oleh pemangku adat Seblang, Mbah
Syahwan. Prosesi dialog antara Mbah Syahwan dan roh leluhur yang ada di
dalam tubuh Mbah Ni tersebut menjadi penentu diketahuinya aktor dan hari
pelaksanaan ritual Seblang, sekaligus diyakini oleh masyarakat sebagai kunci
suksesnya rangkaian pelaksanaan ritual Seblang.
Sistem kepercayaan semacam itu meneguhkan persepsi bahwa gagalnya
Seblang 2014 dikarenakan penunjukan pelaku Seblang dilaksanakan atas
dasar musyawarah para pemangku adat, bukan didasarkan pada penunjukan
secara miss berupa kejiman. Penentuan secara miss (alam alus) semacam
itu berbeda dari penentuan yang terjadi pada ritual Seblang Bakungan dan
ritual Kebo-keboan Aliyan, yang hanya melibatkan manusia (alam kasar).
Aura miss juga terjadi di luar rangkaian ritual adat. Keka peneli
menelisik berbagai informasi yang dibutuhkan, secara dak diduga mengalami
dan mengetahui beberapa periswa empiris yang dak sewajarnya atau dak
lazim (barangkali bisa dikatakan sebagai periswa miss), antara lain periswa
merebaknya aroma sekul arum (‘kemenyan’), ditampar roh leluhur, insng/
rasat kecelakaan, dan rajah seharga isi dompet.
Aroma sekul arum lazimnya bersumber dari dibakarnya kemenyan
dalam acara ritual, sebagai media untuk membantu mendatangkan roh
leluhur. Namun, yang ini dak lazim. Aroma sekul arum yang anter (‘keras/
kencang’) tetapi bukan bersumber dari kemenyan yang dibakar merupakan
pengalaman dalam dua periswa pada beberapa hari setelah rangkaian
prosesi ritual Seblang Olehsari berakhir, yakni keka peneli melakukan
wawancara di rumah orang tua Miah atau Mita (pelaku Seblang 2014
yang “gagal”), Jambesari, dan keka melakukan diskusi terbatas atau focus
group discussion (FGD) di rumah Sri Hidaya, Olehsari. Di rumah Miah,
selain dirinya dan orang tua serta adik, juga ada beberapa tetangga yang
138 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
datang untuk turut mendengarkan dan sesekali menimpali perkataan yang
diucapkan oleh Miah dan orang tuanya –Lasiyani dan Rohadi– sebagai
jawaban atas pertanyaan peneli tentang misteri dak ndadi-nya Miah
keka menjalani prosesi ritual Seblang.
Setelah berlangsung sekitar dua jam dan telah banyak informasi yang
berhasil digali, ba-ba seper ada angin lembut dari arah luar yang masuk
ke rumah Miah melalui pintu depan. Sekeka itu aroma bunga kanthil (sekar
wangsa) merebak di ruang tamu, disusul aroma sekul arum. Kami hanya
bertanya dalam ha, barangkali memang ada tetangga yang sedang slametan
sehingga harus membakar kemenyan. Namun, ternyata dak. Edy Hariyadi
yang mengecek hasil jepretannya keka kami berga hendak beranjak
pulang, sempat terhenyak. Ada siluet puh keabuan dalam foto itu. Saya dan
Sri Hidaya turut terhenyak. Dengan mengaitkan aroma sekul arum, kami
menyimpulkan bahwa periswa itu bukanlah periswa yang sewajarnya. Tiba-
ba terasa merinding.
Periswa serupa –tetapi lebih serem terjadi di rumah Sri Hidaya.
Keka sedang seru-serunya melaksanakan FGD dengan tema mantra dan
ritual Seblang bersama para remaja dan ibu-ibu, ba-ba aroma bunga
kanthil merebak. Kemudian disusul aroma sekul arum yang menyengat lubang
hidung. Kali ini lebih anter dibanding aroma di rumah Miah, sehingga kami
bagaikan orang yang plepeken (‘sesak nafas’) lantaran mengendus aroma
miss. Aroma menyengat itu bertambah, bertambah, dan terus bertambah.
Sesaat kami celingukan, saling memandang penuh kecurigaan, dan terpancar
beragam raut kebingungan karena mendapa periswa yang dak lazim.
Sekeka merinding bulu kuduk. Saat itu pula, Sri Hidaya yang ada di antara
kami langsung berdiri, sedangkan Supri tergopoh-gopoh berlarian dari arah
ruang belakang. Keduanya hampir bersamaan meneriakkan kata ngepos:
Ngepos! Ngepooos! Ngeposa, Mas! Ngeposaaa!Saya dak memahami apa
yang diinginkan dari teriakan itu, karena pada saat itu saya dak menger
ar kata ngepos (‘berhen’; ngeposa ‘berhenlah’). Setelah Sri Hidaya
menggan dengan kata yang lain karena tanggap atas kebingungan saya, saya
baru menger, dan kemudian langsung menghenkan perbincangan tentang
mantra dan Seblang.
Setelah suasana reda, Supri menjelaskan bahwa aroma sekul arum
yang baru saja datang menandakan kehadiran roh leluhur, mungkin roh Aji
Anggring, Mas Broto, Sayu Sarinah, atau yang lain. Jika pembicaraan tentang
139
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
mantra dan Seblang sing ngepos (‘dak berhen’), roh tersebut akan masuk
ke salah satu perempuan yang ada di situ dan akan ndadi. Memang, tempat
yang kami gunakan untuk FGD hanya beberapa puluh meter dari arena pentas
Seblang dan makam Buyut Ketut (dipercaya sebagai leluhur dan “tuan rumah”
dalam pelaksanaan ritual Seblang), serta baru beberapa hari dari berakhirnya
pelaksaaan ritual Seblang Olehsari.
Bukan hanya itu. Kami juga mengetahui periswa lain yang dak lazim,
gara-gara kami ingkar janji kepada informan. Keka saya dan asisten peneli
(Sri Hidaya) berkunjung ke rumah Spt di Loji (Boyolangu), kami disambut akrab
dengan cerita-cerita dan mantra-mantra, karena Sri Hidaya telah berteman
lama dengan putri Spt, yakni Ss. Meskipun demikian, Spt telah wan-wan
(‘berpesan’) sebelumnya bahwa pembicaraan dak boleh direkam dan ditulis.
Karena dak mungkin mengingat seluruh pembicaraan, apalagi teks-teks
mantra yang diucapkannya, saya secara diam-diam menyelipkan digital voice
recorder kecil ke dalam genggaman tangan Sri Hidaya yang posisi duduknya
lebih dekat dengan Spt dibandingkan saya. Pembicaraan pun berlangsung
berjam-jam hingga usai tanpa ada syak wasangka.
Keesokan harinya, tak dinyana, Ss mendatangi rumah Sri Hidaya
dan marah-marah dengan mengatakan bahwa kami telah ingkar janji.
Dijelaskannya bahwa melalui mimpi Spt tadi malam “didatangi” dan ditaboki
(’ditampar’) oleh roh leluhur –yakni neneknya– lantaran telah melanggar
weluri dengan memberikan mantra kepada orang yang bukan seharusnya.
Arnya, Spt menyimpulkan bahwa kami telah melanggar janji dengan cara
merekam mantra. Sri Hidaya –juga sekaligus mewakili saya– pun minta maaf
kepada Spt dan Ss.
Kisah lain –tentang insng kecelakaan– kami alami keka berbincang
dengan Mak Juni. Perempuan yang dari segi umur telah sewajarnya untuk
disebut adon (‘nenek’) tersebut adalah pemangku adat yang terbiasa membuat
kembang dirma sebagai kelengkapan ritual Seblang, yang juga buyut dari Suidah
(pelaku Seblang selama dua periode). Perempuan yang berprofesi sebagai
penjual pecel semanggi dan memiliki kebiasaan latah –dengan meneriakkan
nama alat kelamin laki-laki atau perempuan keka mendapat efek-kejut–
tersebut senanasa riang dan penuh canda keka diajak berbincang tentang
Seblang. Di rumahnya yang mungil, sembari melihat-lihat kembang dirma
melingkar di atas meja yang telah selesai dironcenya, kami berbincang akrab.
Bahkan, di antara kami kerap menggodanya dengan memberi efek-kejut
berupa hentakan suara atau jawilan (‘colekan’) nakal, sehingga kata-kata saru
140 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
akibat latah-nya berlontaran dari mulut yang disesaki oleh susur (‘tembakau
untuk menginang’) itu. Kami pun bersama-sama tertawa terpingkal-pingkal.
Mak Juni memang seper dak pernah serius keka diajak berbincang.
Oleh karena itu, kami sempat terhenyak keka di tengah-tengah guyonan
tersebut ba-ba dengan mata terbelalak Mak Juni menjeritkan secara
terbata-bata kata Pat!... Pap!... Papat!... Papapat!....”. Kemudian diam
membisu. Mata tetap terbelalak bagaikan melihat sesuatu yang dak lazim.
Sikap Mak Juni seper dak sewajarnya. Tampaknya hanya Sri Hidaya yang
dapat memahami konteks situasi sekaligus menger makna kata-kata tersebut,
sedangkan saya dan Sur dak “nyambung. Kemudian Sri menelisik dengan
beberapa pertanyaan interogaf. Saya dan Sur tetap gagal paham. Dengan
permbangan tertentu, perbincangan diakhiri sebelum waktunya.
Keka pulang dari rumah Mak Juni menuju rumah Sri Hidaya dengan
berjalan kaki melalui lorong jalan setapak, Sri menjelaskan bahwa kata yang
dijeritkan Mak Juni adalah kata papat yang berar empat. Hal itu terkait
dengan jumlah korban kecelakaan. Periswa kecelakaan itu sendiri, lanjut Sri,
terjadi bersamaan dengan keka Mak Juni menjeritkan kata papat tersebut.
Beberapa jam kemudian tersiar kabar bahwa di Petaunan –lokasi yang dikenal
tenget (‘angker’) atau werit (‘keramat’) di perbatasan antara Olehsari dan
Banjarsari– terjadi kecelakaan kendaraan bermotor dengan empat korban
luka berat. Saya terhenyak.
Firasat tentang musibah juga pernah dirasakan oleh para sinden Seblang
terkait sikap Mbah Syahwan pada hari kega pelaksanaan ritual Seblang 2013
yang marah-marah tak sewajarnya. Pada hari itu Mbah Syahwan seper dak
bisa mengendalikan diri. Ketua pemangku adat Seblang tersebut tampak
sensif dan mudah tersinggung, sehingga ke sana marah, ke sini juga marah.
Personil yang banyak kena marah adalah para sinden. Padahal, sebagaimana
diyakini oleh masyarakat lokal, para crew Seblang pantang untuk marah di
arena Seblang, dan jika hal itu dilanggar, dipercaya akan muncul musibah bagi
yang melanggar tersebut.
Sistem kepercayaan semacam itulah yang memunculkan rasat dak baik
di benak para sinden atas sikap marah-marah Mbah Syahwan yang dak lazim.
Singkat cerita, keka pentas hari kega usai, Mbah Syahwan pulang dengan
berjalan kaki melalui jalan utama desa. Tak diduga tak dinyana, ba-ba
Mbah Syahwan terserempet motor tepat di depan Balai Desa Olehsari, hingga
kakinya patah. Firasat yang dirasakan para sinden seper terkonrmasi.
141
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
Periswa lain yang terasa seper dak sewajarnya adalah harga
rajah yang persis dengan nominal isi dompet. Periswa ini terjadi sebagai
rangkaian atas wawancara dengan wong pinter Rs di Bakungan yang telah
terlaksana beberapa kali. Selain menuturkan tentang ngelmu yang dimiliki
dan memberikan mantra-mantra yang telah ditulisnya dalam beberapa
lembar kertas HVS, Rs juga siap membantu jika ada yang membutuhkan rajah
(alihrupa dari mantra), terutama untuk pengasihan. Movasi utama Rs sejak
awal mempelajari ngelmu adalah untuk pengasihan, karena keka masih
remaja Rs sering ditolak para gadis lantaran jelek dan miskin. Namun, keka
telah menguasai ngelmu pengasihan, Rs berhasil memperistri ga wanita
cank dan kaya.
Rs menjelaskan bahwa dirinya dak menjual rajah. Hanya saja, jika
ada yang membutuhkan, cukup menggannya dengan “uang lelah” atas
proses pembuatannya. Rs juga menjelaskan bahwa untuk membuat rajah
yang berfungsi sebagai pengasihan, dirinya harus nglakoni ritual sat-tus12
dengan cara berpuasa dan lek-lekan minimal ga hari. Dengan tujuan untuk
kelengkapan data, saya memesan rajah pengasihan. Tiga hari kemudian saya
kembali ke Rs untuk mengambil rajah tersebut. Rs dak bersedia menyebutkan
nominal yang harus saya berikan sebagai “uang lelah” dalam berpuasa dan
lek-lekan selama ga hari. Saya juga ngotot dak bersedia memberikan uang
sebelum Rs menyebutkan nominalnya. Beberapa kali saya mendesaknya
untuk menyebutkan nominal uang. Setelah buntu, akhirnya Rs menyerah, dan
kemudian menyebut nominal tertentu. Saya langsung mencabut dompet dari
saku belakang, dan menghitung sesuai permintaan Rs. Saya sedikit terhenyak.
Ternyata nominal yang disebutkan Rs sama persis dengan isi dompet saya,
yakni satu lembar limapuluhan dan beberapa lembar ratusan. “Kok bisa persis
ya?” celetuk saya. Rs hanya tersenyum dikulum.
Rangkaian narasi yang terkait dengan kejiman, sekul arum, roh leluhur,
kecelakaan, dan rajah tersebut memberi gambaran betapa masih kuatnya
atmosfer kegaiban yang menyertai periswa-periswa keseharian orang
Using. Kejadian-kejadian empiris tersebut merupakan periswa yang dak
sewajarnya. Ia bukan suatu kelaziman. Barangkali periswa-periswa
tersebut bagi orang luar Using bisa saja dianggap sebagai periswa biasa
12 Islah sat-tus berasal dari frasa disat dan ditus, yakni wetenge disat matane ditus
(‘perut dan mata dikuras’). Perut dikuras dengan cara berpuasa, sedangkan mata dikuras
dengan cara selalu berjaga (lek-lekan).
142 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
dan terjadi hanya karena kebetulan belaka, tetapi dak demikian menurut
pandangan orang Using. Rangkaian periswa semacam itu merupakan potret
kecil betapa kehidupan merupakan bagian integral dari dunia gaib yang
miss, yang dak bisa lepas relasinya dengan roh leluhur, dan senanasa
atas izin keesaan Gus Allah.
3. Kelisanan: Mempresentasikan Masa Silam
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, mantra sebagai rangkaian
ngelmu merupakan produk budaya dari peradaban lisan. Pada masa
peradaban lisan sebagian besar masyarakat bersifat niraksara, sehingga
mantra “diproduksi” dan ditransmisikan secara lisan dengan mengandalkan
ingatan. Sistem kepercayaan tersebut ternyata dak lekang dalam lintas
peradaban –hingga peradaban elektronik sekarang ini– lantaran bersifat
fungsional, yakni sebagai pranata kultural. Eksistensi mantra pada
peradaban elektronik menjadi presentasi masa silam dalam masa kini, yang
sekaligus menjadi potret bahwa tradisi dak akan ma keka masih memiliki
fungsi. Dalam rentang perjalanan panjang, aspek fungsional ini mengalami
adaptasi secara kontekstual, sehingga produk budaya masa silam tersebut
tetap menelusup ke dalam relung kehidupan keseharian masyarakat lokal,
termasuk orang Using.
Sebagai produk kelisanan, mantra dimanfaatkan (matek aji) dengan
menggunakan mekanisme kelisanan, yakni dengan cara diucapkan. Mantra
yang sudah dalam bentuk tulisan pun, pemanfaatannya tetap dilakukan
dengan mekanisme lisan. Sebagaimana diketahui, karena mantra pada
hakikatnya bersifat rahasia, pengucapan mantra pada umumnya dilakukan
secara pelan, lunak, lembut, seper bergumam, berbisik, atau bahkan
hingga dak terdengar sama sekali oleh orang lain karena diucapkan dalam
ha (diban).
Barangkali dalam konteks seper ini dapat diusulkan penggunaan islah
lenisi.13 Kata lenisi dalam konteks ini diarkan sebagai pelemahan –lunak/
lembut– bunyi pada suku kata atau kata tertentu untuk tujuan tertentu.
Dalam konteks pengucapan mantra, lenisi dapat diarkan sebagai pengucapan
dengan cara melemahkan bunyi untuk tujuan tertentu, dari tataran bunyi
lemah yang bisa didengar, bunyi lemah yang dak jelas didengar, bunyi lemah
13 Kata lenisi diambil dari kata lenes dalam bahasa Lan yang berar lunak atau lembut.
Kata tersebut berantonim dengan kata fortes yang barar kuat, keras, kencang, tangguh.
143
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
yang nyaris dak bisa didengar, hingga bunyi lemah yang sama sekali dak bisa
didengar oleh orang lain. Tataran lenisi semacam ini dapat ditemukan secara
variaf dalam prakk pengucapan mantra.
Variasi mantra-mantra yang dipersepsi sebagai mantra yang “ringan”
dan yang “berat”, secara dak langsung dan dak disadari, akan berimplikasi
pada ngkatan atau tataran lenisi. Mantra yang “ringan” dimaksudkan sebagai
mantra keseharian yang kerahasiaan dan dampaknya juga ringan/sederhana,
sedangkan mantra yang “berat” dimaksudkan sebagai mantra yang digunakan
dalam keperluan khusus dengan ngkat kerahasiaan yang nggi dan
berdampak berat atau bahkan fatal. Mantra yang “ringan” akan diucapkan
oleh dukun (atau seseorang) secara gampang, enteng, dan tanpa beban
psikologis (atau “beban magis”), sehingga terkesan seper ngomong biasa.
Dalam konteks seper itu, dalam tulisan ini, digunakan sebutan lenisi-luar.
Sebaliknya, mantra yang “berat” akan diucapkan oleh dukun dengan “beban
magis” yang juga berat, sehingga berimplikasi pada ucapan yang cenderung
“nyaris tak terdengar” atau bahkan sama sekali dak dapat didengar, yang
dalam konteks tulisan ini disebut lenisi-dalam.
Terkait dengan lenisi-luar dan lenisi-dalam tersebut, dapat dicontohkan
pengalaman Rs dari Bakungan (wawancara, 22–24 Oktober 2013).14 Keka
melewa tempat yang werit (‘keramat’) atau tenget (‘angker’), Rs dengan
enteng mengucapkan rapalan untuk menghindari makhluk halus yang
bisa mengganggu keselamatannya. Dengan enteng, lelaki kurus tersebut
mengucapkan mantra Mlebu Papan Angker,15 yang ucapannya bisa didengar
oleh orang lain yang sedang bersamanya. Hal serupa tetapi dengan nuansa
berbeda, juga dilakukan Rs keka berangkat bekerja. Dengan lenisi-luar, Rs
mengucapkan mantra Golek Bandha,16 agar dalam melangkah untuk bekerja
bisa mendapatkan banyak rezeki.
14 Lelaki miskin yang pada awalnya berniat mencari dan belajar ngelmu gara-gara
diolok-olok dan ditolak oleh para perempuan cank ini, akhirnya berhasil memiliki ga istri
cank-cank, yang menurut pengakuannya, dak mungkin bisa dilakukannya dengan “cara
yang biasa”.
15 Ucapan lengkapnya sebagai berikut. Bismillāhir rahmānir rahīm/Kun kanukun/Isun kun/
Sira kuma salah/Aja ngganggu gawe/Isun ratune kun/Lā ilāha illallāh Muhammadur rasūlullāh..
16 Ucapan lengkapnya sebagai berikut. Bismillāhir rahmānir rahīm/Marcana masidem/
Sapi gumarang kanggo nyaur utang/Kebo dhungkul hang kanggo macul/Nini hang
ngudhari/Kaki hang mejini/Mek sandhang pangane Sri Sadana/Hang sunduk kembang
mulya/Sri Sadana hang ana tegal kepanasan/Ana gedhong pangayoman/Aja obah aja
polah/Yen ora isun hang ngobahaken/Lā ilāha illallāh Muhammadur rasūlullāh.
144 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
Fenomena pengucapan dua mantra tersebut berbeda dari pengucapan
mantra lain yang “berat”. Keka mengucapkan mantra Aji Sep’e Angin,17
ucapan yang keluar dari mulut Rs dapat dikategorikan sebagai lenisi-dalam,
karena ucapannya sama sekali dak dapat didengarkan oleh orang lain.
Hal tersebut paralel dengan ngkat kerahasiaan mantranya. Mantra Aji
Sep’e Angin adalah mantra kesakan yang digunakan untuk mempercepat
perjalanan seseorang secara magis, sehingga kecepatannya untuk sampai
di suatu tempat yang dituju bagaikan kecepatan angin. Dengan demikian,
mantra tersebut sangat rahasia.
Pengalaman yang dak jauh berbeda juga dialami oleh Nw dari Bakungan
(wawancara, 21 Oktober 2013). Menurutnya, mantra-mantra keseharian
yang “ringan” biasanya dianggap sudah bukan hal yang rahasia lagi, sehingga
seringkali diucapkan secara spontan manakala seseorang menghadapi
sesuatu. Keka di pekarangannya, ba-ba mendapa seekor ular besar,
dengan spontan Nw merapal mantra Ngusir Ula, dengan ucapan yang bisa
didengar oleh orang lain yang ada di dekatnya.
Keka tetangganya sakit perut karena kembung, Nw kemudian
mengelus-elus atau mengusap-usap perut tetangganya tersebut, sembari
membacakan mantra Ngentut untuk menyembuhkan kembung. Seper
mantra sebelumnya, ucapan mantra yang difungsikan untuk memudahkan
keluarnya kentut tersebut diucapkan dengan lenisi-luar sehingga terdengar
oleh orang-orang yang ada di rumah tetangganya tersebut. Keka menyapu
lantai pada malam hari, yang tujuannya bukan sekadar untuk membersihkan
lantai dari sampah atau debu, melainkan juga untuk membersihkan
gangguan dari pencuri, Nw merapalkan mantra Nyapu Mbengi. Karena
mantra tersebut dianggap “ringan”, ucapan yang keluar dari mulut Nw pun
menggunakan lenisi-luar.
Sebaliknya, keka mengucapkan mantra Lentrek (Lintrik), Nw
mengucapkannya dengan lenisi-dalam, karena mantra tersebut sangat rahasia.
Dalam konteks seper itu, ekspresi dalam pengucapan mantra tersebut dak
seleluasa pada ekspresi pegucapan mantra-mantra “ringan”. Implikasinya,
ucapan tersebut dak bisa didengar oleh orang lain.
17 Teks lengkap mantra Aji Sep’e Angin dan beberapa mantra lainnya, dengan
permbangan tertentu, sengaja untuk dak dicantumkan dalam tulisan ini.
145
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
Fenomena yang ditunjukkan oleh Rs dan Nw18 memberi gambaran
bahwa secara dak sengaja atau dak disadari terdapat pola tertentu dalam
pelisanan mantra. Jika mantra yang diucapkan dianggap “ringan” dan dak
sangat rahasia, dengan ringan dan bahkan spontan, ucapan mantra itu akan
keluar dan dapat didengar oleh orang lain. Ucapan itu sebagai tanda lenisi-
luar. Sementara itu, jika mantra yang diucapkan merupakan mantra “berat”,
ucapan itu dak dilakukan sembarangan dan bahkan dak bisa didengar oleh
orang lain. Ucapan itu masuk kategori lenisi-dalam. Dengan demikian, dapat
ditarik benang merah bahwa terdapat dua kutub dalam pola pengucapan
mantra, yakni kutub lenisi-luar dan kutub lenisi-dalam.
Dalam pengucapan mantra yang dilakukan oleh Rs dan Nw, terutama
mantra yang “berat”, dak dilakukan secara sembarangan, karena berimplikasi
pada tanggung jawab yang berat. Mereka mengucapkan dengan konsentrasi,
serius, khidmat, dan sakral. Hal tersebut kadang-kadang juga dilakukan dengan
mata terpejam, sehingga menambah kekhidmatan dan kesakralannya. Selain
itu, ada kondisi tertentu yang mereka ciptakan, sehingga mampu mendukung
kelancaran proses ritual matek aji terhadap mantra yang bersangkutan.
Keduanya melakukan nges dan nuwun, yakni menyatukan semua kekuatan
yang dimiliki, baik yang terkait dengan tubuh/sik, kehendak, jiwa, maupun
perasaan (indra dan emosi) dan kemudian mengarahkannya secara penuh
kepada tujuan tunggal, sembari meminta izin kepada Sang Maha Pencipta
(kersane Gus Allah). Pada saat yang bersamaan, keduanya juga menjaga
sikap untuk aja ndhaku dan aja kongas, yakni sikap untuk mengendalikan
pamrih pribadi dan rasa sombong.
Selain lenisi-luar hingga lenisi-dalam, dalam pengucapan atau pelisanan
mantra-mantra Using –sebagaimana yang terjadi dan didapatkan di
lapangan– dak ditemukan adanya teknik khusus, misalnya terkait dengan
panjang-pendeknya suara atau nggi-rendahnya nada. Pelisanan mantra
Using juga dak dilagukan. Arnya, pengucapan atau pelisanan mantra yang
dilakukan oleh dukun (pengguna) cenderung menggunakan cara konvensional
sebagaimana orang bicara.
Meskipun demikian, terdapat mantra yang memiliki sedikit perbedaan
pengucapan dibandingkan dengan mantra-mantra lainnya, di antaranya
18 Pengalaman dukun lain, di antaranya Sk di Aliyan, Jn di Dukuh, Ak di Olehsari, Jn di
Tembakon, Spt di Loji, dan Nwy di Licin, lebih banyak menggunakan lenisi-dalam, sehingga
keka mengucapkan mantra jarang bisa diketahui atau didengar oleh orang lain.
146 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
mantra Asmara Wulan. Perbedaan pengucapan tersebut terletak pada ucapan
sebelum penutup mantra. Sebagaimana diketahui, sebagian besar atau
bahkan hampir semua mantra Using menggunakan unsur penutup berupa
ucapan Lā ilāha illallāh Muhammadur rasūlullāh. Pada mantra Asmara Wulan,
sebelum masuk ke ucapan tersebut, terdapat ucapan lain yang seakan-akan
hendak mengucapkan Muhammadur rasūlullāh, tetapi ternyata dak, karena
kemudian “dibelokkan” menjadi Muhammaaaaaaanjinga marang badan isun.
Hal tersebut dapat ditafsirkan, bahwa arah yang semula berusaha menggiring
si objek ke “penguasaan” Muhammad, tetapi sebelum sampai tujuan tersebut,
ba-ba dibelokkan untuk masuk ke “perangkap” pengguna mantra (badan
isun). Dengan demikian, hal tersebut merupakan jebakan untuk memanipulasi
si objek, hingga masuk ke “penguasaan” pengguna mantra.
Ucapan pada kata Muhammaaaaaaanjinga inilah yang membedakan
dari mantra lain. Keka dukun (atau seseorang) mengucapkan kata
Muhammaaaaaaanjinga, pada saat ucapan tersebut masih pada posisi
maaaaaaa, dukun (atau seseorang) harus “menghadirkan” –dengan cara
membayangkan hingga seper berhadapan secara nyata– “ke-diri-an”
(semacam sosok yang utuh) orang yang hendak dituju (si objek).19 Arnya,
pada posisi ucapan maaaaaaa (tanpa jeda/putus), dukun membayangkan si
objek hingga mengenali betul dan seakan sedang berhadapan, baru kemudian
menyambung ke ucapan njinga, dan selanjutnya dilengkapi dengan ucapan
marang badan isun. Dengan demikian, panjang-pendeknya ucapan kata
maaaaaaa bergantung pada cepat-lambatnya dukun (seseorang) dalam
“menghadirkan” sosok yang menjadi objek mantra.20
Pembicaraan tentang ucapan lisan yang dilakukan oleh para dukun
atas mantra yang digunakan dalam matek aji, jika ditarik ke tataran konsep
19 Barangkali dalam konteks seper inilah masyarakat beraksara memprakkkan
konsep Ong (1989) yang menekankan bahwa ucapan bukan sekadar menyuguhkan kata,
melainkan menghadirkan periswa. Jadi, seorang pemantra bukan sekadar menyebut
identas orang yang dituju (si objek), melainkan “menghadirkan” totalitas (“ke-diri-an”) si
objek “di hadapan” dirinya.
20 Ada kepercayaan bahwa dari rangkaian pengalaman atau pergaulan yang terjalin
antara pengguna mantra (dibaca sendiri atau melalui bantuan dukun) dengan si objek, efek
yang lebih cepat dirasakan adalah momen yang “dihadirkan” keka sosok si objek sedang
berkonik dengan pengguna mantra. Arnya, keka pengguna mantra membayangkan
si objek, kemudian yang terlintas ada beberapa momen, misalnya keka si objek sedang
tersenyum, sedang riang-bahagia, sedang melotot-marah, yang harus “dihadirkan” adalah
momen yang sedang melotot-marah. Dengan suasana relasional yang kontradikf semacam
itu, dipercayai bahwa efek dari mantra akan lebih cepat masuk di benak si objek tersebut.
147
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
lisan yang disampaikan Sweeney (1987), mengarah ke konsep lisan sebagai
mekanisme penyampaian, bukan sebagai cerminan masyarakat niraksara.
Sebab, para dukun Using, khususnya yang telah berhasil diwawancarai,
semuanya memiliki kemampuan baca-tulis dan sejak lahir mereka hidup
dalam lingkup budaya beraksara. Bahkan, kemampuan baca-tulis mereka dak
hanya terbatas pada bahasa yang berbasis huruf Lan, tetapi sebagian juga
berbasis huruf Arab. Kemampuan baca-tulis tersebut tercermin dari perlakuan
mereka terhadap mantra, yakni beberapa dukun dak segan-segan untuk
memberi mantra –kepada orang yang meminta bantuan kepadanya– dalam
wujud tulisan. Meskipun menjadi pewaris akf dan tetap bergelut dengan
“dunia mantra”, mereka bukan bagian dari masyarakat tribal, melainkan telah
menjadi masyarakat modern.
Dalam relasinya dengan masyarakat beraksara, pembahasan tentang
kelisanan mantra dak hanya terbatas pada mekanisme ucapan lisan,
melainkan juga terkait dengan residu lisan atau orientasi lisan. Orientasi lisan
merupakan karakterisk atau ciri-ciri kelisanan yang bukan hanya terdapat
pada produk kultural dengan format lisan, melainkan sekaligus tercermin
dalam produk keberaksaraan yang berwujud tulisan. Mantra sebagai produk
kelisanan dak dapat dilepaskan dari konstruksi keberaksaraan masyarakat
pemiliknya. Oleh karena itu, di dalam mantra, terdapat interaksi yang saling
berkelindan antara kelisanan dan keberaksaraan. Hal tersebut tampak
dalam penggunaan bahasa pada mantra yang mencerminkan karakterisk
kelisanan dengan pola-pola tertentu dan bermuara pada ungkapan atau
ekspresi yang formulaik.
Orientasi lisan yang dominan dalam mantra Using di antaranya adalah
ekspresi kebahasaan yang bersifat adif dan agregaf, selain juga empak dan
konservaf. Meskipun demikian, beberapa mantra juga menggunakan bahasa
yang bersifat agonisk, homeostas, redundansi, situasional, dan dekat
dengan kehidupan manusia (Saputra, 2013:247–250).
Dalam konteks orientasi lisan, bahasa yang bersifat adif menekankan
pada penambahan dengan mengutamakan kesejajaran pernyataan, sehingga
hubungan antarpernyataan dak besifat subordinaf. Dalam hal ini, menurut
Lord (1987), adif dapat berupa parataksis, aposif, dan paralelisme. Sebagai
contoh, pernyataan (kalimat) pada mantra Kejiman yang berbunyi Kaki
dhanyang nini dhanyang, dan Kaki wenang nini wenang, serta Kaki kumala
nini kumala, menunjukkan pernyataan yang bersifat menambahkan (adif),
tanpa menggunakan kata penghubung (parataksis), dan menjaga kesepadanan
148 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
(paraleliss). Pernyataan tersebut memunculkan dua sosok, yakni kaki dan nini,
tetapi keduanya dijajarkan begitu saja, tanpa memanfaatkan kata penghubung.
Pernyataan pada mantra Sabuk Mangir (versi 3)21 yang berbunyi Raganira
raganisun/Sukmanira sukmanisun/Cahyanira cahyanisun/Wahyunira
wahyunisun/Welas asih ira welas asih isun, juga menceminkan bahasa yang
adif. Pernyataan yang berpola semacam itu sangat dominan dalam mantra
Using, terutama mantra-mantra yang bersifat individual, seper jenis santet
dan sihir. Karakterisk kebahasaan semacam itu memberi impresi pada
kekuatan kata-kata in dalam membentuk wacana ritmis dan membangun
suges, sehingga diharapkan mampu membantu memunculkan daya magis.
Bahasa yang bersifat agregaf, yakni pola mengumpulkan komponen
yang berpasangan, paralel, atau bahkan bertolak belakang, tetapi dak
bersifat analis. Kupan pada contoh bahasa adif di atas sebenarnya juga
sekaligus mencerminkan bahasa yang agregaf. Di sisi lain, agregaf juga
menggambarkan julukan atau leksikon yang bersifat relasional. Frasa asale
bapak ira dan asale emak ira pada mantra Sabuk Mangir (3) yang berbunyi
Kuma poteh asale bapak ira/Kuma abang asale emak ira, merupakan bentuk
agregaf yang relasional. Hal sejenis juga tercermin pada kata gugur, bangka,
asat, dan sirep dalam mantra Jaran Goyang (1) yang berbunyi Sun sabetaken
gunung gugur/Sun sabetaken lemah bangka/Sun sabetaken segara asat/Sun
sabetaken ombak sirep. Frasa agregaf tersebut mengukuhkan bahwa dalam
produk kelisanan terdapat konvensi kebahasaan yang dibentuk atas dasar
gabungan komponen yang relasional.
4. Formula: Menguntai Kata Bertuah
Produk kelisanan telah memiliki ciri pembeda dari produk keberaksaraan,
di antaranya karakteritsik yang berupa perulangan-perulangan yang metris
atau ritmis. Terbentuknya pola metris dalam kelisanan berimplikasi dengan
ingatan (memori), sehingga agar lebih mudah diingat diciptakanlah pola yang
metris. Kata (leksikon) atau frasa yang diuntai dalam matra yang sama akan
membentuk formula.
Meskipun demikian, pola formula atau perulangan ritmis bukanlah
sumber utama terciptanya kekuatan magis. Pola formula lebih sebagai
21 Tradisi lisan berpotensi untuk menghasilkan versi atau varian, sehingga mantra
dengan judul yang sama memungkinkan untuk muncul dalam beberapa versi. Untuk data-
data selanjutnya, informasi tentang versi dituliskan dalam tanda kurung. Sebagai contoh,
mantra Sabuk Mangir (3) dimaksudkan sebagai Sabuk Mangir versi 3.
149
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
upaya untuk membantu ingatan dan sekaligus menciptakan nuansa ritmis
sehingga mensuges atmosfer yang sakral. Mantra sebagai media verbal
yang menyampaikan ujub, diuntai dari kata-kata yang secara semios diyakini
memiliki makna dan suges yang berorientasi pada kekuatan, kharisma, welas
asih, atau bahkan azab. Bertolak dari konteks yang demikian, seringkali mantra
dimaknai sebagai untaian kata bertuah.
Sebagai produk lokalitas, mantra juga diuntai dari kata atau leksikon
lokal. Mantra Using diuntai dari leksikon berbahasa Using. Jika dicerma,
penggunaan bahasa Using dalam mantra cenderung memiliki nuansa yang
berbeda dari penggunaan bahasa Using dalam pergaulan sosial keseharian.
Bahasa Using dalam mantra terasa lebih dekat kemiripannya dengan bahasa
Jawa.22 Meskipun menggunakan bahasa Using, bukan berar dak ada kata-
kata yang diserap dari bahasa lain.
Jika dicerma, tampak bahwa sebagian besar –atau, bahkan hampir
seluruhnya– mantra Using menggunakan unsur pembuka dan penutup yang
diambil dari tradisi Islam, yakni leksikon berbahasa Arab. Unsur pembuka
yang dimaksud adalah ucapan Bismillāhir rahmānir rahīm, sedangkan unsur
penutupnya adalah ilāha illallāh Muhammadur rasūlullāh, dengan versi
ucapan sesuai lidah orang Using. Selain pada bagian pembuka dan penutup,
ada juga –sebagian kecil– pada bagian isi mantra Using yang menggunakan
leksikon dari bahasa Arab. Fenomena semacam itu dak dapat dilepaskan
dari pengaruh missisme Islam yang sejak abad ke-16 telah merangsek ke
wilayah Blambangan.
Dalam struktur tekstual, pada unsur suges banyak termuat leksikon
kultural dan “segala sesuatu” yang dipercaya bisa menjadi sumber kekuatan
tertentu. Leksikon-leksikon lokal yang termuat dalam mantra Using
merupakan konsep penng yang mencerminkan wawasan pengetahuan
sekaligus mereeksikan identas kultural orang Using. Sementara itu,
penyebutan terhadap sumber-sumber kekuatan gaib, di antaranya Sang Khalik
(dengan berbagai varian islah), nama-nama nabi, orang-orang suci, para
buyut/dhanyang (nenek-moyang) leluhur yang mbaureksa, dan penyebutan
terhadap berbagai roh halus lain yang menyangkut kearifan lokal, baik dalam
22 Hal tersebut sering ditafsirkan bahwa bahasa mantra merupakan bahasa “lama”,
yang notabene bersumber dari akar bahasa yang sama dengan bahasa Jawa, yakni bahasa
Sanskerta. Karena bahasa “lama”, bahasa yang digunakan dalam mantra Using belum
mengalami perkembangan sebagaimana bahasa Using yang digunakan dalam pergaulan
sosial keseharian.
150 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
konteks relasi verkal maupun horizontal, merupakan cerminan dari angan-
angan kolekf sekaligus khazanah pengetahuan lokal (etnosains) mereka.
Dengan serapan dari tradisi Islam, untaian kata Nabi Adam, Nabi
Muhammad, Nabi Yusuf, Nabi Dawud muncul dalam berbagai mantra Using.
Sementara itu, nama-nama leluhur seper Buyut Ketut, Buyut Cili, Buyut
Congking, Aji Anggring, Sayu Sarinah, Mas Broto sering disebut-sebut dalam
ujub dan ritual di wilayah Olehsari, Kemiren, atau di Bakungan.
Untaian kata bertuah dalam budaya Using, terutama mantra-mantra
pengasihan, menunjukkan pola formula –atau penggunaan kelompok kata
yang berulang pada posisi matra yang sama– yang cukup dominan. Hal tersebut
berbeda dari mantra-mantra dalam ritual adat, seper dalam Seblang, Kebo-
keboan, dan Barong Ider Bumi, yang cenderung denotaf, datar, to the point,
dan dak banyak memanfaatkan pola formula. Mantra dalam ritual adat
merupakan ujub guna menyampaikan pesan dan keinginan warga kepada
leluhur mereka.
Dalam kajian formula diperoleh gambaran bahwa mantra Using cenderung
memiliki formula yang paralelisk dan formula yang repef. Formula
paralelisk merupakan perulangan pada matra yang sama yang menekankan
kesejajaran, yang dak dapat dipisahkan dari karakterisk kelisanan bahasa
adif, sedangkan formula repef merupakan perulangan pada matra yang
sama yang menekankan pada kata/frasa/kalimat yang sama atau bervariasi.
Formula repef, misalnya, tercermin pada mantra Sapu Jagad dengan
pengulangan kata mandheg pada matra yang sama, yakni Angin mandheg/
Banyu mandheg/Bumi mandheg/Geni mandheg. Jika dicerma lebih lanjut,
formula paralelisk dapat dipilah lagi menjadi formula paralelisme sintaks,
formula paralelisme sinonim, dan formula paralelisme yang membentuk larik.
Sementara itu, formula repef melipu formula repesi yang bervariasi,
formula repesi tautotes, dan formula repesi anafora.
Sementara itu, di dalam mantra Using juga terdapat pola formula oposisi
biner, yakni pola yang sifatnya mempertentangkan atau berpasangan, misalnya
pada mantra Jaran Goyang (3), Kaki dhanyang nini dhanyang/Bapa dhanyang
ibu dhanyang, atau pada mantra Kejiman, yakni Bapa Adam ibu Kawa. Dalam
kupan tersebut, kaki-nini, bapa-ibu, Adam-Kawa (Hawa) merupakan oposisi
biner, yakni berpasangan sekaligus bertentangan antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu, dalam mantra Using juga terdapat formula yang
menggambarkan dinamika atau tahapan suatu periswa, yakni berupa
151
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
perulangan pada matra yang sama tetapi isinya menunjukkan periswa
yang berkelanjutan. Hal itu tampak pada mantra Puter Giling, yakni Wurung
gendheng sida leng-leng/Wurung leng-leng sida edan/Wurung edan sida
nangis, atau pada mantra Jaran Goyang (2), yakni Kecaruk turu sun tangekna/
Kecaruk tangi sun lungguhna/Kecaruk lungguh sun degna/Kecaruk ngadeg
sun lakokna/Kecaruk mlaku sun playokna.
Pola formula pada mantra Using dak hanya mencerminkan kelompok kata
yang disusun secara metonimik (horizontal), melainkan juga memperlihatkan
kelompok kata yang disusun secara metaforik (verkal). Pembahasan tentang
orientasi lisan dan formula (paralelisk dan repef), sebagaimana yang telah
diuraikan, menunjukkan pola perulangan yang sifatnya metonimik. Arnya,
pembahasaan tersebut, sebagaimana konvensi dalam kalimat atau frasa,
menekankan pada susunan kelompok kata secara horizontal.
Namun, yang diperlihatkan dalam mantra Using dak hanya yang
demikian, melainkan juga susunan perulangan kelompok kata yang metaforik.
Hal ini, misalnya, dapat dilihat pada mantra Sukma Ilang, yang penggalannya
adalah: Sukma ilang, ilang-ilangan/Sukma ilang, layang-layangan/Sukma
ilang, ayang-ayangan. Perulangan kelompok kata sukma ilang yang bersifat
verkal tersebut menunjukkan pola metaforik. Hal senada juga tampak pada
mantra Jaran Goyang (1), yakni: Sun sabetake gunung gugur/Sun sabetake
lemah bangka/Sun sabetake segara asat/Sun sabetake ombak sirep/Sun
sabetake ane jebeng beyine …. Perulangan kelompok kata Sun sabetake yang
disusun secara verkal mencerminkan pola metaforik.
Selain pola metonimik dan metaforik, juga terdapat pola perulangan yang
bersifat lintas mantra. Arnya, terdapat kelompok kata tertentu berulang-
ulang pada mantra yang berbeda. Kelompok kata tersebut pada umumnya
merupakan ungkapan yang berisi metafora, yang diharapkan mampu
membantu mensuges munculnya kekuatan gaib. Ungkapan yang memiliki
pola sama atau mirip tersebut terdapat pada mantra Jaran Goyang (2), Jaran
Goyang (5), Jaran Goyang (6), Sabuk Mangir (2), dan Sensren (2). Berikut
kupannya. Jaran Goyang (2): Kecaruk turu sun tangekna/Kecaruk tangi
sun lungguhna/Kecaruk lungguh sun degna/Kecaruk ngadeg sun lakokna/
Kecaruk mlaku sun playokna. Jaran Goyang (5): Katon turu sun tangekaken/
Katon lungguh sun degaken/Katon ngadeg sun lakokaken. Jaran Goyang (6):
Sira turu, sun tangekna/Sira tangi, sun edegna/Sira ngadeg, sun lakokna/
Sira mlaku, sun playokna. Sabuk Mangir (2): Ketok turu sira tangekna/Ketok
tangi sira lungguhna/Ketok lungguh sira degna/Ketok ngadeg sira lakokna/
152 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
Ketok mlaku sira playokna. Sensren (2): Ketemu turu tangekna/Ketemu tangi
lungguhna/Ketemu lungguh degna/Ketemu ngadeg lakokna.
Kupan tersebut menunjukkan bahwa meskipun dak sama persis,
kelompok kata dan pola perulangan tersebut tampak mengungkapkan metafora
yang sama. Padahal metafora tersebut terdapat dalam mantra yang berbeda,
yakni Jaran Goyang, Sabuk Mangir, dan Sensren. Hal ini mengindikasikan
bahwa ungkapan semacam itu menjadi ungkapan yang formulaik, yang dapat
muncul dalam konteks yang beragam.
Pola-pola formula yang terdapat dalam mantra, baik yang menunjukkan
perulangan yang paralelisk, repef, metonimik, metaforik, maupun pola
lintas mantra, menunjukkan dominannya perulangan kelompok kata yang
terdapat dalam mantra. Formula-formula tersebut dimanfaatkan untuk
mengungkapkan satu ide hakiki sesuai dengan in atau kata kunci masing-
masing bentuk formula. Perulangan-perulangan yang metris itu menunjukkan
bahwa produk kelisanan tersebut merupakan ungkapan yang formulaik.
Semua larik yang membentuk struktur mantra merupakan ekspresi formulaik.
Selain karakterisk kelisanan dan pola formula, bahasa mantra juga dapat
diidenkasi dari modus-modus ekspresi yang digunakan. Berdasarkan data
yang dihimpun, modus ekspresi dalam mantra Using secara umum melipu
ekspresi permintaan (permohonan) dan pernyataan. Ekspresi permintaan
itu sendiri melipu perintah, larangan, dan harapan, sedangkan ekspresi
pernyataan melipu idenkasi dan deklarasi.
Modus ekspresi perintah dalam mantra Using di antaranya tampak
pada contoh berikut: Sira metua (mantra Kejiman), Balekna ngetan/…./
Balekna ngidul/…./Balekna ngulon/…./Balekna ngalor (mantra Gawe Tarub),
Ayo padha tekoa mrene (mantra Nekakaken Roh (1)), Mlebua ring sukmane
si Gandrung/Mlebua ring ragane si Gandrung (mantra Nekakaken Roh (3)),
Asiha jabang bayine (mantra Pengasihan, Semar Kuning, Jaran Goyang (1),
Sabuk Mangir (2), dan Sensren (1)), Ayo padha dipageri wilayah kene (mantra
Ider Bumi). Modus ekspresi pada data tersebut menunjukkan adanya perintah
kepada makhluk gaib atau roh halus untuk melakukan suatu kegiatan, yakni
keluar, mengembalikan, datang, masuk, mengasihi, dan memagari. (Data
yang diidenkasi tersebut belum mencakup keseluruhan data yang telah
dihimpun, dan memang sengaja untuk dibatasi karena permbangan ruang).
Modus ekspresi larangan dalam mantra Using di antaranya tampak pada
contoh berikut: Aja ngganggu anak Adam (mantra Ngusir Ula), Aja njejeg
153
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
(mantra Tukar), Aja turu-turu …/Aja tangi-tangi …/Aja mari-mari… (mantra
Sensren (2)), Aja tapi mandheg (mantra Sabuk Mangir (2)), Aja mari-mari
(mantra Jaran Goyang (1)/(2)/(3)), Aja obah aja polah (mantra Golek Bandha),
Aja nyethut aja njawil (mantra Liwat Panggonan Angker), Aja nguthik aja njawil
(mantra Mlebu Kuburan). Modus ekspresi larangan tersebut bermaksud untuk
membatasi roh halus agar dak melakukan sesuai yang diperintahkan. Modus
ekspresi larangan selalu menggunakan kata aja (jangan).
Modus ekspresi harapan dalam mantra Using di antaranya tampak pada
contoh berikut: Isun duwe pamundhutan/…./Tumuruna marang isun (mantra
Kejiman), Isun njaluk keslametan (mantra Sesajen Ring Sumber), Isun njaluk
tulung (mantra Aji Majang Sito), Isun njaluk klambi watu (mantra Kateguhan).
Modus ekspresi harapan tersebut biasanya mencerminkan tujuan atau
orientasi yang hendak dicapai oleh pemantra, baik dalam konteks tujuan
haraah maupun simbolis. Modus ekspresi harapan pada data tersebut
dominan menggunakan kata njaluk (minta).
Sementara itu, sebagaimana telah disinggung, modus-modus dalam
ekspresi pernyataan melipu modus idenkasi dan modus deklarasi.
Modus idenkasi dimaksudkan sebagai pernyataan untuk mengindenkkan
diri dengan sesuatu yang dipersepsi atau disimbolkan memiliki kekuatan
supranatural, sedangkan modus deklarasi dimaksudkan sebagai pernyataan
singkat yang bersifat informaf.
Modus ekspresi idenkasi dalam mantra Using di antaranya tampak
pada contoh berikut. Ya isun ane bumi (mantra Aji Bala Sewu), Ilatku pamor/
Suwaraku gelap ngampar/Mripatku kaca menggala/Wuluku dom/Drijiku
wesi pulosane/Dlamaanku rajegwesi/Cangkringanku angin/Pengiringku
jagad (mantra Aji Pengabaran), Cahyaku kadya gilap nyampar/Dadaku kadya
semar kuning/Alisku kadya tanggal sepisan (mantra Pentas Kesenian). Data
pada kupan tersebut menunjukkan adanya upaya untuk menyamakan atau
mengidenkkan antara diri seseorang (representasi dari pemantra) dengan
simbol kekuatan supranatural tertentu. Bagian-bagian dari tubuh yang berupa
ha, lidah, suara, telapak, muka, dada, dan alis disimbolkan sebagai sesuatu
yang ideal, mengagumkan, dan memesona. Hal tersebut bertujuan untuk
membangkitkan suges atas kekuatan gaib tertentu sehingga menimbulkan
rasa belas kasih dari orang yang dituju.
Modus ekspresi deklarasi dalam mantra Using di antaranya tampak pada
contoh berikut: Cawisane para leluhur/Cawisane para dhanyang (mantra
154 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
Gawe Sajen), Kaki dhanyang nini dhanyang/Dhanyang hang ana ring Dusun
Ulih-ulihan/Dhanyang hang ana ring Antogan/Dhanyang hang ana ring
Petaunan/Dhanyang hang ana ring Pacemengan/Dhanyang hang ana ring
Watudodol/Dhanyang hang ana ring Bali (mantra Nekakaken Roh (1)), Kaki
dhanyang nini dhanyang/Dhanyang-dhanyang/Hang mbahureksa makam/
Dhanyang-dhanyang/Hang mbahureksa prapatan/Dhanyang-dhanyang/
Hang mbahureksa sumber/Dhanyang-dhanyang/Hang mbahureksa Dusun
Ulih-ulihan (mantra Ider Bumi). Beberapa data tersebut menunjukkan
informasi yang terkait dengan dhanyang yang mbaureksa beberapa wilayah di
Banyuwangi, bahkan juga di Bali, yang notabene diyakini oleh masyarakat Using
sebagai leluhur mereka. Oleh karena itu, keka masyarakat Using ngangkatke
(merayakan) ritual Seblang, dhanyang-dhanyang tersebut dipanggil untuk
menghadiri pagelaran agung tersebut.
Dari paparan tentang modus ekspresi dalam mantra tersebut, secara garis
besar dapat dipilah bahwa ekspresi permintaan dengan modus harapan dan
ekspresi pernyataan dengan modus deklarasi banyak digunakan dalam mantra-
mantra yang bersifat kolekf, yang pada umumnya digunakan dalam ritual
adat (mantra-mantra ajat). Sementara itu, ekspresi permintaan dengan modus
perintah dan larangan serta ekspresi pernyataan dengan modus idenkasi
banyak digunakan dalam mantra-mantra yang bersifat individual, yakni mantra-
mantra pengasihan (terutama mantra-mantra santet dan sensren).
5. Mandine Pangucap: Menghayati Pranata Kultural
Sebagaimana telah disinggung bahwa orang Using memiliki perhaan
dan menganggap penng terhadap ngelmu dan mantra, terbuk dengan
banyaknya khazanah leksikon kultural yang terkait dengan jenis-jenis ngelmu,
di antaranya adalah santet, sihir, suwuk, cekek, racun, lintrik, sensren, seret,
susuk, pengirut, pelaris, sikep/ladhang, sarat, pathek, rapuh, panglimunan,
pambungkem, dan kateguhan. Sebagai sebuah sistem kepercayaan, ngelmu-
ngelmu tersebut bukan hanya produk warisan dari para pendahulunya,
melainkan juga hasil proses pembelajaran. Proses transmisi dari generasi
sebelumnya ke generasi berikutnya, baik melalui pewarisan maupun
pembelajaran, berlangsung hingga kini (peradaban elektronik) lantaran
masyarakat Using masih merasakan fungsi sistem kepercayaan tersebut dalam
pergaulan sosial keseharian.
Pondasi yang menjadi salah satu penopang ngelmu adalah laku mandine
pangucap. Laku tersebut merupakan prosesi tahapan dasar yang harus
155
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
dihaya oleh seseorang agar memiliki landasan atau tumpuan, sehingga
tubuh terkondisikan dan menjadi siap untuk “terisi” oleh ngelmu. Keka
seorang dukun mengajarkan ngelmu kepada muridnya, atau keka orang tua
menurunkan ngelmu kepada anaknya, idealnya awal mula yang harus “digarap”
dan kemudian dihaya oleh yang bersangkutan adalah kemampuan untuk
menguasai laku mandine pangucap. Laku tersebut merupakan bekal, bukan
eksekusi. Bekal merupakan modal yang harus dimiliki agar seseorang ber-
ngelmu, sedangkan eksekusi merupakan pelaksanaan untuk menyelesaikan
persoalan tertentu, yakni dengan mantra atau ucapan tertentu, dan sekaligus
dengan modal ngelmu yang telah dimiliki sebelumnya.
Sebagai contoh, transmisi yang dilakukan dari nenek, ke orang tua, hingga ke
Sgy di Boyolangu, juga diawali dengan pengkondisian, baik terkait dengan tubuh
maupun wawasan pengetahuan. Keka menurunkan ngelmu kepada Sgy, ayahnda
Sgy –yakni Sky– dak melakukannya secara ba-ba, melainkan melalui proses
yang panjang, dengan diawali pengkondisian sik dan psikis melalui serangkaian
ritual guna membangun kemantapan ha, hingga kemudian Sgy mencapai
tahapan siap untuk “diisingelmu. Proses panjang tersebut didasari oleh loso
bahwa ngelmu dapat dipelajari oleh semua orang, tetapi dak semua ngelmu
dapat singgah pada seap orang. Ngelmu juga harus dirawat dengan cara rakat
atau laku ma sak jeroning urip, yakni “memakan” segala kebutuhan duniawi.
Pengondisian pengetahuan juga menyangkut pengenalan diri secara
mendalam, bukan saja dalam konteks kognif, melainkan juga –dan terutama–
dalam konteks rohani. Pemahaman dan penghayatan terhadap ngelmu
paralel dengan pemahaman dan penghayatan terhadap diri sendiri, sehingga
mengkaji ngelmu disimbolkan sebagai mengkaji kitab teles yang berupa “diri”,
yakni ngaji awake dhewe. Di dalam diri juga terdapat “saudara spiritual”, yakni
sedulur papat –nafsu aluamah (lauwwamah/egocentros), amarah (polemos),
suah (eros), dan muthmainnah (religious)– dan lima badan (lima pancer).
Esensi penghayatan semacam itu tentu bukan lagi pada ranah pengetahuan
yang qouli (empiris), melainkan sudah termasuk qolbi (ha) atau gaibi (gaib).
Jika dikontraskan dengan tradisi Islam, sebagaimana dikatakan oleh sejarawan
lokal dan tokoh NU, Suhalik (wawancara, 16 September 2014) bahwa ilmu
(dan juga ngelmu) itu terkait dengan ha. Dijelaskannya bahwa untuk belajar
ilmu perlu terlebih dahulu menyiapkan ha, al-ilmu i sudur laa i sutur, yang
berar bahwa ilmu yang haq itu ada di dalam ha.
Menurut Sgy (wawancara, 27 September 2014), ngelmu memiliki beberapa
unsur, yakni tenaga, raga, roh, dan insng. Insng ini yang mengakibatkan
156 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
seseorang menjadi nger sakdurunge winarah, mengetahui sebelum ada
kejadian. Hal ini dapat dilakukan melalui tanda-tanda atau simbol-simbol dari
berbagai periswa, atau bisikan, atau adanya gerak ruang ban. Ngelmu juga
dak lepas dari naluri dan nurani. Keka naluri dak diiringi dengan nurani,
ngelmu akan mudah ditumpulkan, atau bahkan dibelokkan untuk tujuan yang
dak semesnya. Dalam menghaya pranata kultural berupa laku mandine
pangucap, diupayakan mencapai tahap keyakinan yang akmalul yakin,
bukan sekadar ainul yakin atau haqul yakin, apalagi habbar yakin. Akmalul
yakin merupakan ngkatan keyakinan yang ternggi, yakni ngkatan yang
telah menyatu dengan yang diyakini (sering disebut sebagai benarnya benar,
nyatanya nyata, kumpulnya kumpul, dan menyatunya menyatu).
Ritual yang harus dijalani dalam laku mandine pangucap adalah dak
makan makhluk yang bernyawa, puasa 40 hari (dengan cara neptu 41) dimulai
hari Selasa Kliwon –diyakini sebagai penggan puasa yang mustajabnya
setara dengan satu tahun–,23 ngebleng seap ga hari sekali, mengosongkan
ruang ban, mengosongkan diri dari kebutuhan dan beban duniawi. Ritual
tersebut mengondisikan pencapaian gnosis. Menurut Surahardjo (1983) dan
Zoetmulder (1990), gnosis merupakan bentuk pengenalan atau pengetahuan
yang melampaui pengenalan inderawi dan rasional. Ritual tersebut dilakoni
dengan penghayatan yang akmalul yakin. Ritual tersebut disertai dengan
beberapa ungkapan verbal berupa bacaan atau ucapan yang memadukan
tradisi lokal dengan tradisi Islam, yakni dengan berzikir semalam suntuh
sembari mengosongkan diri. Selain itu, juga dilengkapi dengan ucapan sahadat,
isgfar, dan shalawat, yang masing-masing dilakukan ga kali. Kemudian
disusul dengan ucapan ujub dalam bahasa lokal, yakni Allah isun urip/Mlebu
Allah metu Allah/Anekadaken urip/Dunungna kodrate Allah.
23 Bbg di Aliyan menjelaskan bahwa yang dimaksud puasa 40 hari dak harus
dilaksanakan sejumlah 40 hari, tetapi bisa dipersingkat dengan cara mencari neptu 41,
yakni hitungan hari dan pasaran yang keka dijumlah akan menghasilkan penjumlahan
sebesar 41. Puasa semacam ini biasanya dilaksanakan mulai hari Selasa Kliwon, kemudian
dilanjutkan pada Rabu Legi dan Kamis Pahing. Setelah puasa ga hari, kemudian dak puasa
lima hari, dan selanjutnya akan bertemu dengan hari Jumat Pon, Sabtu Wage, dan Minggu
Kliwon, yang keka dijumlah menghasilkan hitungan 41. Demikian seterusnya. Jumlah
puasa yang akan dijalani, akan sampai kapan, disesuaikan dengan tujuan dan keinginan
yang bersangkutan, karena puasa semacam ini ibaratnya mengasah ngelmu, sehingga
keka dirasa sudah cukup “tajam” ngelmu tersebut, seseorang bisa saja menghenkannya.
Namun, jika sudah berlangsung semacam itu, seseorang akan merasa eman atau
sayang untuk mengehenkannya. Jadi, rasanya seper ingin puasa terus-menerus saja
(wawancara,13 September 2014).
157
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
Dalam menghaya laku-misk mandine pangucap, menurut Sgy
(wawancara, 20 September 2014), dak bisa dipaskan langsung berhasil. Jika
sekali dak berhasil, diulangi lagi, atau ditambah jumlah puasanya, diulang
lagi, dan seterusnya. Seap orang berbeda-beda ngkat keberhasilannya,
bergantung pada seberapa intens penghayatannya terhadap ritual yang
sedang dilakoni: fokus, lepas, kosong, menyatu, temen, dan tekun. Sgy juga
menjelaskan bahwa kalau ngelmu sudah menyatu dengan tubuh, untuk
melakukan eksekusi terhadap suatu persoalan dak harus merapal mantra,
kadang cukup diban tujuan yang diinginkan, atau diucapkan kata-kata
keseharian sesuai tujuan yang dimaksud, atau mengucap huuu Allah sembari
membayangkan penyatuan diri dengan Sang Khalik sehingga kekuatan-Nya
menyatu dengan diri atau manunggaling pangucape hang kuwasa.
Dalam konteks itu, Sgy mencontohkan keka mendapa orang kesurupan,
dirinya dak merapal mantra, tetapi secara spontan melontarkan ucapan
ancaman dengan nada nggi, yakni Sira menyang tah sing?! Kadhung sing
menyang, awas! (‘Kamu pergi atau dak?! Jika dak pergi, awas!’). Pada
momen serupa tetapi berbeda lokasi, Sgy mengucapkan Iki ana paran, iki?!
Ayo warasa! Menyang menyang menyang!” (‘Ini ada apa, ini?! Ayo sadarlah!
Pergi pergi pergi!’). Melalui cara tersebut, yang diinginkan oleh Sgy terlaksana,
yakni roh yang “mengganggu” akhirnya lunga atau ngalih, dan orang yang
“diganggu” akhirnya waras. Sgy sendiri beberapa kali dituduh oleh warga
sebagai dukun sihir dan dikait-kaitkan dengan kasus pembunuhan dukun
tahun 1998. Dirinya merasa dipulasara (‘didholimi’). Terkait hal tersebut,
dirinya beberapa kali dipanggil oleh Polsek Giri, tetapi berhasil meyakinkan
berbagai pihak bahwa dirinya dak terlibat prakk ngelmu destrukf. Sejak
remaja Sgy juga dikenal lihai dalam atraksi bola api (termasuk merendam
tangan dan membasuh muka dengan minyak panas, diiris dan ditusuk dengan
pisau tajam, berjalan-jalan di atas beling dan jajaran paku). Atraksi bola api
yang paling heboh dilakukan oleh Sgy dan anak buahnya adalah atraksi di
Kodim dan di Berlian, Banyuwangi.
Pada masa neneknda Sgy masih hidup, ngelmu sangat dibutuhkan karena
berlaku prinsip bahwa “yang digdaya berkuasa, yang lemah diperintah”.
Sebagaimana dikatakan oleh Sgy bahwa pada masa itu ngelmu lebih mahal
daripada sawah. Orang yang berkharisma dan dihorma adalah orang
yang digdaya. Orang yang mampu mengatasi berbagai persoalan dengan
menggunakan kadigdayan akan mendapatkan sanjungan. Sgy menyatakan
158 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
bahwa neneknya adalah agul-agul-nya (‘sanjungan’) orang Boyolangu.
Beberapa periswa miss nenek yang masih diingat oleh Sgy, di antaranya
menciptakan makanan –di antaranya nasi, kentang, ciput, dan orok-orok–
dengan menggunakan bahan tanah untuk disuguhkan kepada para tetangga
yang gotong-royong membantu memanen padi, dan mengubah kedokan
(‘sawah’) menjadi laut yang dimanfaatkan untuk memancing ikan. Ayo, padha
mancing, marek ngene segarane teka, kata Sgy seakan menirukan ucapan
neneknya yang sedang berada di kedokan, dan sekeka kedokan tersebut
berubah menjadi laut yang siap untuk dipancing ikan-ikannya.
Sementara itu, Bbg (wawancara, 13 September 2014) di Aliyan
menyatakan bahwa selain melakoni berbagai ritual, dirinya juga
memanfaatkan leksikon yang berasal dari tradisi Islam, dan kemudian dipadu
dengan leksikon lokal. Sebagai gambaran, keka hendak “memagari” diri dan
rumahnya dari “gangguan” orang lain, Bbg sering mengucapkan rapal berikut.
Bismillāhir rahmānir rahīm/ Sirrollah/ Sipatollah/ Daollah/ Rohmatollah.
Potongan leksikon dari tradisi Islam juga dimanfaatkan keka Bbg bermaksud
untuk memudahkan datangnya rezeki, dengan mengucap BIS hasil rezeki
slamet/ MIL hasil rezeki slamet/ LAH hasil rezeki slamet, sedangkan untuk
memperlancar perjalanan, Bbg merapal BIS slamet/ MIL slamet/ LAH slamet/
Slamet slamet slamet/ Kersane Allah. Sementara itu, Bhr (wawancara, 13
September 2014), untuk tujuan tertentu, membaca Al Fahah dengan cara
megeng napas (‘menahan nafas’) keka sampai pada ucapan iyyaaka na’ budu
wa iyyaaka nasta’iin, sembari membayangkan tujuan yang diinginkan. Dalam
membayangkan tersebut, diupayakan sampai sejelas-jelasnya atau sedetail-
detailnya, dan jika merasa hampir dak kuat dalam menahan nafas, baru
kemudian melanjutkan bacaan berikutnya (ihdinash shiraathal mustaqiim
...) hingga sampai pada kata aamiin. Setelah mengucapkan kata aamiin,
baru nafas dilepas kembali. Jadi, dalam menahan nafas diawali sejak kalimat
iyyaaka na’ budu hingga kata aamiin, setelah itu baru boleh bernafas. Bacaan
tersebut biasanya dimanfaatkan untuk tujuan pengasihan atau keselamatan.
Pesan moral yang seharusnya dipatuhi oleh orang yang ber-ngelmu
adalah menggunakan ngelmu sesuai fungsi sosialnya, dan hanya digunakan
keka dalam kondisi dak ada alternaf lain. Arnya, sebagai pranata kultural,
ngelmu hanya akan digunakan dalam kondisi yang mendukung, yakni keka
pranata formal dak mampu lagi menyelesaikan persoalan, sehingga kemudian
persoalan diselesaikan secara kultural (sering disebut sebagai penyelesaian
159
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
alternaf, memunculkan juga islah pengobatan alternaf). Sebagaimana
dijelaskan oleh Sgy bahwa dalam situasi normal orang sak dak boleh
melawan orang yang berulah, tetapi keka situasi sudah terdesak atau dak
ada jalan lain, ngelmu baru boleh digunakan. Dengan cara seper ini, orang
yang ber-ngelmu dak akan sombong. Keka dalam kondisi terdesak/terjepit,
tetapi masih ada alternaf lain, seseorang harus menempuh alternaf lain
tersebut, dan belum boleh menggunakan ngelmu, tetapi keka sudah dak
ada jalan lain, baru boleh menggunakannya.
Jika ngelmu dimiliki oleh orang yang berakhlak kulkarimah, akan menjadi
amalan yang luhur, baik bagi dirinya maupun orang lain. Namun, jika ngelmu
dimiliki oleh orang yang berakhlak syaitoniyah, sabuk’iyah, atau baimiyah,
kemungkinan akan digunakan sewenang-wenang, bahkan bisa mencelakakan
orang lain. Akhlak syaitoniyah cenderung seper setan, sedangkan akhlak
sabuk’iyah cenderung seper binatang buas. Sementara itu, akhlak baimiyah
merupakan insng dasar manusia, yang melipu kegiatan nggolek (‘mencari
makanan’), nyekek (‘makan’), nelek (‘buang hajat’), dan nemplek (‘hubungan
seks’). Meskipun demikian, sebagaimana dijelaskan oleh Suhalik (wawancara,
12 September 2014), bahwa Tuhan telah memberi pilihan kepada manusia
untuk berbuat baik atau berbuat jahat. Kalau berbuat baik, ya akan memek
hasil yang baik (surga), kalau berbuat jahat, ya akan memek hasil yang jahat
(dosa). Tetapi pada prinsipnya keduanya akan dituru oleh Tuhan, nakhnu
‘inda dzanni ‘abdi bi, sepanjang upaya yang dilakukannya sungguh-sungguh.
Jika ditarik benang merah dalam rentang historis, sejak peradaban lisan
hingga peradaban elektronik, sejak bernama Blambangan hingga menjadi
Banyuwangi, orang Using tetap melakoni mantra (dan ngelmu) dalam frame
sistem kepercayaan. Sebagai bagian integral dari sistem kepercayaan, mantra
dihaya oleh orang Using sebagai pranata kultural untuk menyelesaikan
secara alternaf persoalan pergaulan sosial keseharian manakala pranata
formal mengalami kebuntuan solusi. Eksistensi mantra dari waktu ke waktu
dirasa cukup berperan dalam kehidupan orang Using. Keka ada problem
dalam kehidupan, baik menyangkut ranah individu, keluarga, maupun sosial
kemasyarakatan, bukan serta-merta seseorang menggunakan mantra sebagai
solusi. Biasanya penyelesaian dengan mekanisme kultural tersebut dilakukan
sebagai solusi alternaf, manakala solusi konvensional mengalami jalan buntu.
Penghayatan terhadap mantra menjadi kesadaran kognif yang masih
memiliki fungsi bagi orang Using, baik dalam konteks harmoni sosial, maupun
160 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
struktur sosial. Mantra yang posif (konstrukf) cenderung menyuburkan
harmoni sosial dan meneguhkan struktur sosial, sedangkan yang negaf
(destrukf) cenderung mengoyak –atau menjadikan terkoyak– harmoni dan
struktur sosial. Beberapa kasus Seblang Olehsari yang berakibat disharmoni
sosial –di antaranya kasus tahun 1980-an, yakni pementasan Seblang yang
difungsikan sebagai suguhan bagi wisatawan, dan kasus tahun 2008, yakni
pementasan Seblang yang terkooptasi oleh partai polik (Saputra, 2014), serta
kasus tahun 2014, yakni Seblang dak ndadi karena dak ada proses kejiman
berimplikasi pada kohesi sosial, sekaligus merenggangkan relasi sosial. Meskipun
dak secara terbuka, kasus-kasus tersebut mengoyak struktur sosial. Hal serupa
juga terjadi pada Seblang Bakungan. Kasus tahun 2011 yang menggan momen
adu jago menjadi pik-pik’an berakibat terjadinya musibah sehingga suasana
sosial menjadi disharmoni dan struktur sosial menjadi terkoyak. Sementara itu,
mantra-mantra yang konstrukf (pengasihan) mampu menyuburkan harmoni
sosial, baik pada tataran keluarga –pengasihan dalam relasi lelaki-perempuan
dalam rumah tangga– maupun pada masyarakat –integrasi sosial antarwarga–
sehingga berimplikasi pada peneguhan struktur sosial.
D. Simpulan
Eksistensi mantra (dan ngelmu) dari waktu ke waktu dirasa cukup berperan
dalam kehidupan orang Using, karena mantra merupakan bagian dari sistem
kepercayaan yang telah merasuk ke dalam benak dan kesadaran masyarakat
dari generasi ke generasi. Mantra menjadi pranata kultural dalam pergaulan
sosial orang Using. Pengetahuan lokal tersebut terinternalisasi dalam proses
interaksi sosial yang panjang, dan kemudian diejawantahkan manakala situasi
dan kondisi memang menuntutnya. Keka ada problem dalam kehidupan,
baik menyangkut ranah individu, keluarga, maupun sosial kemasyarakatan,
bukan serta-merta seseorang menggunakan mantra sebagai solusi. Biasanya
penyelesaian dengan mekanisme kultural tersebut dilakukan sebagai solusi
alternaf, manakala solusi konvensional mengalami jalan buntu. Meskipun
demikian, tak menutup kemungkinan juga bahwa sebagian yang lain dak
memiliki cukup kesabaran untuk menggunakan mekanisme konvensional, dan
langsung saja menuju mekanisme kultural tersebut.
Penghayatan terhadap mantra menjadi kesadaran kognif yang masih
memiliki fungsi bagi orang Using, baik dalam konteks harmoni –atau pseudo-
harmoni– sosial, maupun struktur sosial. Kesadaran masyarakat akan fungsi
sosial mantra sebagai pranata kultural hingga merasa terhindar dari periswa
161
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
yang dapat memunculkan keluhan –yang biasanya terekspresi dalam ungkapan
kari ruwed berakibat tumbuhnya subjekvitas, dan kelonggaran nilai-nilai
menjadi dipermainkannya. Konteks yang demikian menjadi faktor pendorong
bagi orang-orang yang dihimpit masalah untuk sesegera mungkin mengambil
jalan pintas. Mantra yang posif (konstrukf) cenderung meneguhkan
struktur sosial, sedangkan yang negaf (destrukf) cenderung mengoyak
atau menjadikan terkoyak– struktur sosial.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil. dan
Prof. Dr. Ayu Sutarto, M.A. yang telah berkenan berbagi tentang berbagai ilmu
kebudayaan sehingga menjadi bekal yang tak ternilai bagi saya. Juga kepada
Dr. Ikwan Seawan, M.A. atas diskusi-diskusi kecilnya yang cukup memperluas
wawasan, dan kepada Edy Hariadi, S.S., M.Si., yang senanasa sea menemani
dalam mengeksplorasi informasi di tanah kelahirannya, tlatah Blambangan,
dan senlan-senlan krisnya yang inspiraf.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, H.S. 1997. “Etnogra sebagai Krik Budaya: Mungkinkah di
Indonesia?” Jerat Budaya, 1(1), 16–40.
Armaya. 2001. “Islah Santet Perlu Dipertanyakan.” Dalam Radar Banyuwangi,
Banyuwangi, 28 September.
Bahri, S. 2001. “Perlu Adanya Tindakan Prevenf.” Dalam Radar Banyuwangi,
Banyuwangi, 27 September.
Brown, J. 2000. The Banyuwangi Murders: Why Did Over A Hundred Black
Magic Praconers Die in East Java Late in 1998?” Inside Indonesia,
62: April–June, 14–16.
Finkelberg, M. 2004. “Oral Theory and the Limits of Formulaic Dicon.” Oral
Tradion, 19(2):236–252.
Hariyanto, T. 2001. “Hanya Jadi Alat Permainan Polik. Dalam Radar
Banyuwangi, Banyuwangi, 25 September.
Herriman, N. 2009. “A Din of Whispers: the In-Group Manifestaon of Sorcery
in Rural Banyuwangi.Anthropological Forum, 19(2):119–141.
Herriman, N. 2013a. Negara Vs. Santet: Keka Rakyat Berkuasa. Jakarta: YOI.
Herriman, N. 2013b. “Human Rights and Sorcery in East Java.” Anthropology
Today, 29(3):22–25.
162 Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember
Juanda, I. 2009. “Kejarlah Daku maka Kau Kena Santet.Dalam Hidayat, T.W.
(ed.). Santet. Banyuwangi: Pusat Studi Budaya Banyuwangi, 44–48.
Kammen, D. 2001. Pembantaian: Land, Kyai, and Collecve Murder in Java.
Surabaya: Instute for Social Change Studies.
Lord, A.B. 1981. The Singers of Tales. Cambridge: Harvard University Press.
Lord, A.B. 1987. “Characteriscs of Orality.” Oral Tradion, 2(1):54–72.
Manan, A., Sumaatmadja, I. & Wardhana, V.Sp. 2001. Geger Santet
Banyuwangi. Jakarta: ISAI.
Margana, S. 2012. Ujung Timur Jawa, 17631813: Perebutan Hegemoni
Blambangan. Yogyakarta: Pustaka Ifada.
Marzali, A. 1997. “Struktural-Fungsionalisme.” Antropologi Indonesia, 52:33–
43.
Ong, W.J. 1989. Orality and Literacy: the Technologizing of the Word. London:
Methuen.
Saputra, H.S.P. 2013. “Bahasa Mantra: Karakterisk Kelisanan, Identas
Kultural, dan Angan-angan Kolekf Orang Using. dalam Prosiding
Seminar Internasional: Studi Bahasa dari Berbagai Perpekf.
Yogyakarta: FIB UGM, 245–259.
Saputra, H.S.P. 2014. “Wasiat Leluhur: Respons Orang Using terhadap Sakralitas
dan Fungsi Sosial Ritual Seblang.” Makara: Hubs-Asia, 18(1):53–65.
Saputra, H.S.P., Marwoto, Subaharianto, A. 2009. “Pranata Peradilan
Tradisional sebagai Media Integrasi Sosial.Kultur, 3(1):54–70.
Siswanto S., I.A. 2001. Santet dan Rasa Cinta Keras Kepala.” dalam Radar
Banyuwangi, Banyuwangi, 25 September.
Spradley, J.P. 1997. Metode Etnogra. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Sugihartoyo. 2001. “Hanya Transformasi Konik Elit.” Dalam Radar Banyuwangi,
Banyuwangi, 24 September.
Suhalik. 2009. “Santet dalam Perspekf Antropologi Budaya.” Dalam Hidayat,
T.W. (ed.). Santet. Banyuwangi: Pusat Studi Budaya Banyuwangi:34–43.
Sukidin. 2006. “Pembunuhan Dukun Santet di Banyuwangi: Studi Kekerasan
Kolekf dalam Perspekf Bergerian.” Jurnal Ikalingga, 1(1):48–63.
Sunarlan. 2002. “Kekerasan Negara dan Konik Elite: Studi Kasus di Banyuwangi
1998–1999.Jurnal Demokrasi & HAM, 2(1):110–136.
163
Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya
Sunar, S. 2013. Kajian Lintas Media: Kelisanan dan Keberaksaraan dalam
Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859–1940-an). Jakarta:
KPG, EFEO, KITLV, & Fadly Zon Library.
Sweeney, A. 2011. Pucuk Gunung Es: Kelisanan dan Keberaksaraan dalam
Kebudayaan Melayu-Indonesia. Jakarta: KPG & Horison.
Sweeney, A. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World.
Berkeley: University of California Press.
Teeuw, A. 1994. Indonesia: antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta:
Pustaka Jaya.
... Penelitian tentang mantra sebagai salah satu jenis sastra lisan telah dilakukan Saputra (2007Saputra ( , 2016. Menurutnya, mantra masih dihidupi oleh masyarakat Banyuwangi, terlebih di kalangan pelaku seni tradisi (gandrung, kuntulan, janger, angklung, dan barong) dan ritual (seblang bakungan, seblang olehsari, petik laut, dan kebo-keboan). ...
Article
Full-text available
p>This paper aims to explain the development of creative oral literature based on creative industries in Banyuwangi that develop autonomously along with traditional and modern art, such as janger, fashion, dance, and song. With the ethnographic method, the research begins with an inventory of library data and is equipped with field data collected through interviews, observation, and participation. The story of Sri Tanjung Sidopekso becomes the janger play and theme of Banyuwangi Ethno Carnival. The mantra of jaran goyang is transformed into dance and song. Various creative industries have the potential as a source of reconstructing oral literature. In coastal societies, there has developed oral literature related to maritime culture. In Muncar Banyuwangi, the rituals of petik laut use spells and maritime cultural symbols, such as mantras, pilgrimages to the tombs of the founders of the Muncar fishing village. While in Payangan Jember, the story of the founders of the fishing village is respected by singing macapat Babad Marsodo. All of those are meaningful when they become action, knowledge, experience, and appreciation of the supporting community. The results show that oral literature has the potential to inspire the creative industries. Re-versely, creative industries have the potential as a source for reconstructing oral literature that enriches their forms and versions.</p
Conference Paper
Full-text available
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi makna ritual dalam konteks relasi sosial orang Using, Banyuwangi. Metode penelitian menggunakan etnografi perspektif emik, dengan analisis tafsir kebudayaan ala Geertz. Hasil kajian menunjukkan bahwa ritual Using (Barong Ider Bumi, Seblang Olehsari, Seblang Bakungan, Keboan Aliyan, Kebo-keboan Alasmalang), merupakan weluri leluhur dari Kerajaan Blambangan yang diuri-uri (‘dilestarikan’) dan diangkataken (‘dirayakan’) secara rutin oleh masyarakat Using hingga kini. Perayaan ritual dimaknai sebagai media perjumpaan alam kasar (wong adat, pawang) dan alam alus (cikal bakal, dhanyang, leluhur). Makna perjumpaan berimplikasi pada upaya membangun kondisi slamet, pada ranah individual (mikrokosmos) dan sosial (makrokosmos). Ritual juga dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur kepada leluhur sekaligus kepada kersane Gusti atas kehidupan dan kemakmuran yang diterima oleh warga dan wong adat. Prosesi ritual menjadi wujud kepercayaan warga dan wong adat atas kersane Gusti. Orientasi hilir dari ritual Using dimaknai sebagai pranata untuk menuju guyub (rukun, kompak, integratif) sebagai wujud terciptanya harmoni sosial.
Article
Full-text available
This article discusses the implication of sumpah pocong (an oath of innocence by one who wrapped in a shroud) as a traditional court to develop social integration. The result of the study shows that many people in East Java, particularly Madurese ethnic, still believe this institution as a media for social integration and for recurring harmony of social relation, especially for some individuals or social groups that behaved something disharmonic. This traditional court is not only for them who committed to the disharmonic behaviors related to ngelmu gaib (having magical power), but also for the disharmonic behaviors related to politics/power, economic, and social ethics. Some factors supports the effectiveness of sumpah pocong are (a) the belief of local communities toward cultural mechanism as survival strategy, (b) the cultural bound of local communities toward sumpah pocong, and (c) the relation of the cultural bound in emerging the belief that relates a horizontal relation (human relation) with a vertical relation (relation between human and god). The other factor is the negative perception towards formal legal system that tends to be corrupt, not neutral, and not showing legal fixity. Many media and tools support the conduction of sumpah pocong in order to suggest the two conflicting factions, such as under Al-Qur‟an oath in a mosque guided by a charismatic kiai (Islamic teacher), witnessing by the public, prayed by kiai with sacred words that give implications to curse and dead. They contribute to the belief of local communities toward the effectiveness of sumpah pocong as a transitional institution.
Article
Full-text available
Human rights acquires different meanings in different contexts. In this article, I demonstrate how a local interpretation of human rights was linked to an outbreak of ‘sorcerer’ killings.
Article
Full-text available
In rural Banyuwangi, East Java, Indonesia, sorcery and the reprisals for it occur amongst neighbours, kin and acquaintances. When illness occurs following a dispute between these people, sorcery may be suspected. The people who identify and take action against the suspected sorcerer are usually the suspected sorcerer's own family members, neighbours or acquaintances. By describing an instance where malevolent magic occurs within rather than between social groups, I contribute to the documentation of instances of such in-group manifestations. I also analyse the implications of the fact that violence and suspicion, as much as solidarity and trust, may characterise relations among the people who are closest.
Etnografi sebagai Kritik Budaya: Mungkinkah di Indonesia?
  • H S Ahimsa-Putra
Ahimsa-Putra, H.S. 1997. "Etnografi sebagai Kritik Budaya: Mungkinkah di Indonesia?" Jerat Budaya, 1(1), 16-40.
Istilah Santet Perlu Dipertanyakan
  • Armaya
Armaya. 2001. "Istilah Santet Perlu Dipertanyakan." Dalam Radar Banyuwangi, Banyuwangi, 28 September.