Content uploaded by Muhammad Rizkita
Author content
All content in this area was uploaded by Muhammad Rizkita on Mar 11, 2023
Content may be subject to copyright.
NUANSA
Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 20 No. 1 January-June (2023)
EDITOR IN CHIEF
Ainurrahman Hidayat
MANAGING EDITOR
Moch. Cholid Wardi
EDITORS
Taufikkurrahman Upik
Agwin Degaf
Fitriyatul Qomariyah
Khaerul Umam
Sri Rizqi Wahyuningrum
Fajrian Yazdajir Iwanebel
Faraniena Yunaeni Risdiana
Fikri Mahzumi
Aria Indah Susanti
Benny Afwadzi
REVIEWERS
Choirul Mahfud
Mohammad Muchlis Solichin
Muh. Nashiruddin
Fadllan
Achmad Muhlis
Ade Sofyan Mulazid
Siti Musawwamah
Mohammad Subhan Zamzami
Siswanto
Syukron Affani
Ulfa Muhayani
Iskandar Ritonga
Mohammad Kosim
Eko Ariwidodo
Sri Handayani
Slamet
Farahdilla Kutsiyah
Erie Hariyanto
Wahyudin Darmalaksana
Khairunnisa Musari
Moh Mufid
Ahmad Chairul Rofiq
Jonaedi Efendi
Sutan Emir Hidayat
Mukhammad Zamzami
Baharuddin
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam is a journal that
publishes scientific articles which have been derivated from research on social
sciences and islamic studies. This journal is published biannually on June and
December and published articles reviewed by experts on the related issues.
Jurnal Nuansa's scope includes: education, culture, politics, law, economy,
theology, philosophy, communication, and history.
All published articles will be added with a DOI CrossRef Unique Number
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam has been accredited
by The Ministry of Research, Technology and Higher Education of the Republic
of Indonesia as an academic journal in Sinta 3 (SK No.36/E/KPT/2019) valid for
5 years from Volume 16 No. 2 2019.
P-ISSN: 1907-7211
E-ISSN: 2442-8078
Editorial Office:
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan keagamaan Islam,
Research Institute and Community Engagement
of IAIN MADURA
Jl. Raya Panglegur KM. 4 Tlanakan Pamekasan, Jawa Timur,
Indonesia, 69371
Email: jurnalnuansa@gmail.com
Website: http://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/nuansa
TABLE OF CONTENTS
Muhammad Nasikin, Umar Fauzan, Noor Malihah
Penguatan Kompetensi Professional Guru PAI Dalam
Menghadapi Era Society 5.0 (Studi Deskriptif Strategi
Peningkatan Mutu Guru PAI di SMP Negeri 16
Samarinda)
1-18
Beny Abukhaer Tatara, Bisma Abdurachman, Desta Lesmana
Mustofa, David Yacobus
The Potential of Cyber Attacks in Indonesia's Digital
Economy Transformation
19-37
Yenny Eta Widyanti
Perlindungan Hukum Keris Aeng Tong-Tong Sumenep
Dalam Hukum Nasional dan Konvensi Internasional
38-56
Muhammad Rizkita, Arfi Hidayat
Love for All Hatred for None: Ajaran Teologis dan
Respon Ahmadi terhadap Perusakan Masjid Miftahul
Huda di Media Sosial
57-74
nuansa
Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Kegamaan Islam
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
http://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/nuansa
DOI: 10.19105/nuansa.v20i1.7378
Page: 57-74
Muhammad Rizkita
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Email: muhammadrizkita25@gmail.com
Arfi Hidayat
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Email: arfihidayat115@gmail.com
Article History
Submitted: November 23, 2022
Revised: February 4, 2023
Accepted: March 1, 2023
How to Cite:
Rizkita, Muhammad, Arfi Hidayat. “Love for All Hatred for None: Ajaran
Teologis dan Respon Ahmadi terhadap Perusakan Masjid Miftahul Huda di
Media Sosial.” NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial Dan Keagamaan Islam 20,
no. 1 (2023): 57–74.
Love for All Hatred for None:
Ajaran Teologis dan Respon Ahmadi
terhadap Perusakan Masjid Miftahul
Huda di Media Sosial
Muhammad Rizkita, Arfi Hidayat
58 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
Abstrak:
As a result of their religious understanding that is considered different by the dominant group
(mainstream), Ahmadiyah - especially those of the Qadian faith - are often the object of persecution
in Indonesia with hatecrime nuances. Persecution involves collaboration between community
organizations as civil society and the state, forming the phenomenon of godless nationalism. One
form of persecution became the public spotlight due to the destruction of the Miftahul Huda
mosque in Sintang Regency, West Kalimantan. Although the mosque attack ended on September 3,
2021, in fact, violence against the Indonesian Ahmadiyah Congregation (JAI) continued to occur
afterwards. JAI was attacked through social media. This research method is qualitative with a virtual
ethnography approach, which is further analyzed using social construction of technology (SCOT).
This research tries to see how Ahmadiyah's religious doctrine responds to the violence they
experience. And to what extent the teachings of Ahmadiyya's love of peace are realized in Ahmadi
when responding to attacks after the destruction of the Miftahul Huda mosque, especially attacks
that target JAI's official Instagram account, @ahmadiyah.id. The findings in this article show that
the Ahmadiyya teachings have experienced persecution since their birth in India, and throughout
the world. Facing this, Ahmadiyya responded with a religious doctrine of love and peace
represented by the phrase love for all, hatred for none which is a form of interpretative flexibility in
the review of social construction of technology. The response given by the Ahmadis looks passive
and tends to be defensive, it is in accordance with their religious doctrine not to reply to anyone
who hurts them.
(Akibat pemahaman keagamaannya yang dianggap berbeda oleh kelompok dominan (mainstream),
Ahmadiyah – khususnya yang beraliran Qadian – sering menjadi objek persekusi di Indonesia yang
bernuansa kebencian (hatecrime). Persekusi melibatkan kolaborasi antara organisasi masyarakat
sebagai civil society dengan negara membentuk fenomena nasionalisme bertuhan. Salah satu bentuk
persekusi menjadi sorotan publik akibat peristiwa perusakan masjid Miftahul Huda di Kabupaten
Sintang, Kalimantan Barat. Meski penyerangan masjid telah usai pada 3 September 2021, nyatanya
kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) terus terjadi setelahnya. JAI mendapat
serangan lewat media sosial. Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan etnografi
virtual, yang lebih lanjut dianalisis menggunakan social construction of technology (SCOT).
Penelitian ini mencoba untuk melihat bagaimana doktrin keagamaan Ahmadiyah merespon
kekerasan yang mereka alami. Dan sejauh apa ajaran cinta damai Ahmadiyah terealisasi dalam diri
Ahmadi ketika merespon serangan pasca perusakan masjid Miftahul Huda khususnya serangan yang
menyasar akun instagram resmi JAI yakni @ahmadiyah.id. Temuan dalam artikel ini
memperlihatkan ajaran Ahmadiyah yang telah mengalami persekusi sejak awal kelahirannya di India,
dan seluruh dunia. Menghadapi itu, Ahmadiyah membalasnya dengan doktrin keagamaan cinta
damai yang diwakili dengan kalimat love for all, hatred for none yang merupakan bentuk dari
interpretative flexibility dalam tinjauan social construction of technology. Respon yang diberikan
oleh para Ahmadi terlihat pasif dan cenderung defensif, hal itu sesuai dengan doktrin keagamaan
mereka untuk tidak membalas siapa saja yang menyakiti mereka.)
Kata Kunci:
Masjid Miftahul Huda, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, love for all hatred for none, Persekusi
Pendahuluan
Kekerasan terhadap kelompok minoritas di internal Islam sudah berkali-kali terjadi
di Indonesia. Salah satu kelompok beragama yang rutin menjadi korban kekerasan adalah
Ahmadiyah. Kekerasan terhadap Ahmadiyah ditenggarai bersumber dari perbedaan
Love for All Hatred for None: Ajaran Teologis dan Respon Ahmadi
terhadap Perusakan Masjid Miftahul Huda di Media Sosial
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 59
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
prinsipal dalam lingkup ideologi keagamaan yang berbeda dari Islam mainstream di Indonesia
yakni masalah kenabian, wahyu, kematian Nabi Isa, keyakinan tentang Al-Masih dan Al-
Mahdi
1
.
Apabila kita merujuk pada kategori kekerasan yang dibuat oleh McLaughlin dan
Muncie (2001) maka kekerasan yang menimpa Ahmadiyah termasuk sebagai hate-crime.
Perilaku kekerasan bentuk ini didasari oleh kebencian terhadap identitas korban. Kekerasan
ini seringkali dilakukan atas nama kebenaran dan membela agama, padahal kenyataannya
lahir dari watak tidak mengenal toleransi dan dilakukan lewat perilaku yang beringas bahkan
tidak manusiawi.
Kontur bangsa Indonesia yang majemuk memang menjadi lahan subur bagi praktik
hate-crime seperti yang dialami Ahmadiyah. Sebagai kelompok yang berjumlah hanya sekitar
200,000 sampai 400,000 orang
2
, Ahmadiyah termasuk kelompok marginal. Akibatnya,
perbedaan dalam hal prinsipal membuat mereka dianggap menyimpang oleh kelompok
dominan.
Kekerasan terhadap Ahmadiyah selain dapat dipandang sebagai hate-crime juga
merupakan potret keterlibatan negara dalam pusaran konflik keagamaan. Terlepas dari
beragama dan berkeyakinan merupakan hak dari semua orang, dan negara melegitimasi
pemenuhan masyarakat atas hak tersebut. Namun terdapat pembacaan menarik bahwa
justru negara mengambil peran dalam terjadinya kekerasan terhadap Ahmadiah. Hal ini
dijelaskan oleh Jeremy Menchik dalam tulisannya berjudul Productive Intolerance: Godly
Nationalism in Indonesia. Menchik memandang kekerasan terhadap Ahmadiyah sebagai
bentuk nyata dari nasionalisme bertuhan (godly nationalism). Menchik menggambarkan
nasionalisme bertuhan sebagai keterlibatan organisasi masyarakat bersama-sama dengan
negara memobilisasi komunitas imajiner (imagined community) – yakni, sekelompok individu
mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari sebuah negara
3
– merasa membela identitas
keagamaan tertentu sebagai bentuk nasionalisme. Lewat konsep nasionalisme bertuhan,
Menchik menganggap bahwa kekerasan yang dialami Ahmadiyah adalah bentuk
konsekuensi atas perbedaan penafsiran identitas keagamaan yang mendominasi dan melekat
di Indonesia. Bahwa Islam di Indonesia adalah Islam Sunni. Islam selain Sunni – seperti
Ahmadiyah – tidak sesuai dengan identitas Islam Indonesia, maka adalah sesat.
Duet antara organisasi masyarakat dengan negara dalam melakukan identifikasi
identitas sesat Ahmadiyah tercermin dalam beberapa kesempatan. Misalnya lewat fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI), yakni keputusan Musyawarah Nasional (MUNAS) ke-2
1
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LKis, 2005), 251.
2
Office of International Religious Freedom, “International Religious Freedom Report for 2019” (United
States Departement of State, 2019), 3.
3
Benedict R. O’G Anderson, Imagined communities: reflections on the origin and spread of nationalism, Rev. ed
(London ; New York: Verso, 2006).
Muhammad Rizkita, Arfi Hidayat
60 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
tahun 1980, keputusan Rapat Kerja Nasional tahun 1984, dan Munas ke-7 tahun 2005. Tak
berhenti pada MUI, fatwa yang mempersesatkan Ahmadiyah bahkan melibatkan lintas
kementrian yakni lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) Mentri Agama, Jaksa Agung, dan
Menteri Dalam Negeri. Usai SKB tiga menteri dirilis, prevelensi kekerasan terhadap
Ahmadiyah pun cenderung meningkat (Mariani, 2013). Selain itu, konstruksi sosial yang
melahirkan sikap negatif terhadap Ahmadiah juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
pertimbangan kebijakan dari beberapa negara lain yang mayoritas masyarakatnya muslim,
lemahnya kebijakan penegakan hukum, dan pernyataan dari tokoh-tokoh yang memiliki
pengaruh.
Berdasarkan cara pandang di atas, maka kekerasan terhadap Ahmadiyah di
Indonesia lagaknya merupakan suatu keniscayaan. Sebab, perbedaan identitas keagamaan
dan posisi Ahmadiyah sebagai kelompok minoritas saja berpotensi mengakibatkan hate
crime, apalagi bila perilaku kekerasan terlegitimasi atas nama nasionalisme.
Di Indonesia, Ahmadiyah berhadapan dengan berbagai bentuk kekerasan.
Keyakinan Islam ini pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1920-an
4
dan secara
keorganisasiaan banyak dikenal sebagai Jemaat Islam Indonesia (JAI) ini pernah mengalami
tindakan
5
, persekusi (Tempo.co, 2011), larangan melakukan kegiatan peribadatan
6
dan
yang paling anyar terjadi adalah perusakan fasilitas ibadah mereka berupa Masjid Miftahul
Huda yang terletak di Kabupaten Sintang, Sumatera Barat.
Peristiwa perusakan masjid yang terjadi pada 2 September 2021 ini mengundang
perhatian nasional. Sebab, kejadian ini turut menyeret Pemerintah Daerah Kabupaten
Sintang. Diketahui, sebelum peristiwa perusakan yakni pada tanggal 29 Juli 2021, Plt. Bupati
Sintang, bersama dengan Forkopimda dan perwakilan masyarakat yang mengatasnamakan
Aliansi Umat Islam sempat mengadakan pertemuan. Pertemuan itu menghasilkan ultimatim
yang ditujukan kepada aparat Kabupaten Sintang untuk segera menindak tegas Ahmadiyah.
Tak hanya itu, MUI Kabupaten Sintang pun menyatakan dukungan atas sikap Aliansi Umat
Islam. Kondisi ini semakin menyudutkan jemaah Ahmadiyah sampai puncaknya pada
tanggal 03 September 2021 peristiwa perusakan disertai pembakaran itu pun terjadi
7
.
Meski serangan terhadap Ahmadiyah secara fisik terjadi pada Jumat 03 September
pukul 12.30 yakni ketika masa merusak masjid Miftahul Huda, sejatinya serangan non fisik
4
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, 169.
5
Tsarina Maharani, “Jemaah Ahmadiyah Lapor Kasus Intimidasi, Komnas HAM Negara Lemah Melindungi
Hak Warga,” kompas.com, 3 Februari 2020,
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/02/17155651/jemaah-ahmadiyah-lapor-kasus-intimidasi-
komnas-ham-negara-lemah-melindungi?page=all.
6
Nina Mariani, “Ahmadiyah, conflicts, and violence in contemporary Indonesia,” Indonesian Journal of Islam and
Muslim Societies 3, no. 1 (1 Juni 2013): 1, https://doi.org/10.18326/ijims.v3i1.1-30.
7
Tim CNN Indonesia, “Kronologi sebelum Perusakan Masjid Ahmadiyah di Sintang,” CNN Indonesia, 9 April
2021, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210904110136-20-689644/kronologi-sebelum-perusakan-
masjid-ahmadiyah-di-sintang.
Love for All Hatred for None: Ajaran Teologis dan Respon Ahmadi
terhadap Perusakan Masjid Miftahul Huda di Media Sosial
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 61
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
terhadap Ahmadiyah tetap terjadi. Serangan itu berupa opini bernada serangan oleh
masyarakat di media sosial pasca serangan terjadi.
Berdasarkan identifikasi diatas, penelitian ini akan mengkaji soal bagaimana para
Ahmadi (sebutan untuk anggota Ahmadiyah) merespon berbagai serangan yang mereka
alami di media sosial. Lebih jauh, penelitian ini ingin melihat bagaimana Ahmadiyah,
sebagai komunitas Islam marginal mengamalkan doktrin keagamaan mereka di dalam
realitas virtual. Lokus penelitian ini adalah akun media sosial resmi JAI yaitu akun
instagram @Ahmadiyahid.
Artikel ini cukup penting untuk dikaji dalam rangka menambah kognisi akademik
mengenai perlakuan yang didapati oleh Ahmadiah. Kebanyakan diantara kajian mengenai
Ahmadiah berkutat pada fenomena konstruksi sosial keberadaan Ahmadiah,
8
yang
kemudian melahirkan berbagai bentuk diskriminasi,
9
yang pada akhirnya berujung
kekerasaan,
10
bahkan pengerusakan
11
. Artikel ini mengambil starting position yang belum
pernah dibahas oleh peneliti lainnya, yaitu mengkaji bentuk respon yang dalam temuan
artikel ini digambarkan melalui campaign atau semboyan, kemudian melihat sejauh mana
Ahmadi menjalankan doktrin tersebut di dalam realitas maya.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian singkat (short research) dengan data berbasis lapangan
(fieldwork) sebagai data primer dan data pustaka (library reseach) sebagai data sekunder. Data
lapangan berupa aktivitas Ahmadi di media sosial yakni komentar mereka pada unggahan
akun media sosial @ahmadiyah.id yang berkaitan dengan perusakan masjid Miftahul Huda.
Data kepustakaan berupa berupa berbagai artikel jurnal, buku, dan pemberitaan media
masa, baik dalam atau pun luar negeri yang menyangkut Ahmadiyah dan yang dianggap
paling relevan dengan permasalahan yang diangkat. Data primer dalam artikel ini adalah
melihat aktivitas Ahmadi di media sosial yakni komentar mereka pada unggahan akun
media sosial @ahmadiyah.id yang berkaitan dengan perusakan masjid Miftahul Huda.
8
Eva Indriani, “Konstruksi Sosial Keberadaan Jemaat Ahmadiyah Di Kota Medan,” Islam & Contemporary
Issues 2, no. 1 (22 Maret 2022): 1–8, https://doi.org/10.57251/ici.v2i1.238.
9
Apriadi Richi Simamora, Abdul Hamid, dan M. Dian Hikmawan, “Diskriminasi Terhadap Kelompok
Minoritas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Di Tangerang Selatan,” Ijd-Demos 1, no. 1 (2019),
https://doi.org/10.37950/ijd.v1i1.4.
10
Lukman Nul Hakim, “TINDAK KEKERASAN TERHADAP JAMAAH AHMADIYAH INDONESIA:
SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI SOSIAL,” Aspirasi: Jurnal Masalah-masalah Sosial 2, no. 1 (30 Juni 2011):
17–30, https://doi.org/10.46807/aspirasi.v2i1.435.
11
Nadia Imanda Siregar, “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENGRUSAKAN RUMAH IBADAH
JEMAAH AHMADIYAH ( STUDI KASUS PENGRUSAKAN MASJID JEMAAH AHMADIYAH
KALBAR )” (Thesis, 2022), http://repository.umsu.ac.id/handle/123456789/18763.
Muhammad Rizkita, Arfi Hidayat
62 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
Sementara data skunder diperoleh dari berbagai artikel jurnal, buku, dan pemberitaan media
masa, baik dalam atau pun luar negeri yang menyangkut Ahmadiyah dan yang dianggap
paling relevan dengan permasalahan yang diangkat. Oleh sebab itu, pendekatan dalam
artikel ini yaitu kualitatif yang lebih lanjut dianalisis melalui metode etnografi virtual yang
berfungsi melakukan investigasi fenomena atas penggunaan internet yang memiliki makna
untuk kehidupan sosial masyarakat. Selain itu, dalam rangka melihat bagaimana konsensus
fenomena sosial bertransmisi kepada dimensi media massa (technology), penulis
menggunakan metode Social Construction of Technology (SCOT), yang secara kontekstual
menganalisis bagaimana konstruksi sosial dapat membentuk teknologi itu sendiri.
12
.
Hasil dan Pembahasan
Persekusi terhadap Ahmadiyah
Lahir di Qadian, Punjab, India pada tahun 1888 lewat gagasan Mirza Ghulam
Ahmad (1835-1908), Ahmadiyah telah menjadi gerakan keagamaan yang kontroversial,
termasuk di tempat berdirinya, India
13
, dan berbagai dunia lain seperti Afghanistan,
Algeria, Bangladesh, Belgia, Mesir, Gambia, Saudi Arabia, Singapura, Inggris, Palestina,
termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, Ahmadiyah sudah ada sejak tahun 1925 dan
dikenal sebagai dua aliran berbeda yakni Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian.
Perbedaan menonjol pada keduanya adalah terkait posisi Mirza Ghulam Ahmad.
Ahmadiyah Qadian menganggap dan mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi Zilli
Ghayr al-Tasyri’ – yakni nabi yang mendapat anugerah Allah untuk menjadi nabi semata-
mata karena kepatuhan menegakkan syariat nabi sebelumnya dan juga mengikuti syariatnya.
Nabi ini juga disebut sebagai nabi buruzi, atau nabi bayangan
14
. Sedangkan, bagi Ahmadiyah
Lahore, Mirza Ghulam Ahmad tidaklah lebih dari seorang Mujadid atau pembaharu Islam.
Sehingga berdasarkan perbedaan prinsipal itu, Ahmadiyah Lahore cenderung lebih dekat
dengan paham Islam Suni
15
. Lalu, secara keorganisasian, Ahmadiyah di Indonesia juga
terpecah menjadi dua, Ahmadiyah Lahore dikenal sebagai Gerakan Ahmadiyah Indonesia
(GAI), sedangkan Ahmadiyah Qadian dikenal sebagai Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
12
Hans K. Klein dan Daniel Lee Kleinman, “The Social Construction of Technology: Structural
Considerations,” Science, Technology, & Human Values 27, no. 1 (Januari 2002): 28–52,
https://doi.org/10.1177/016224390202700102.
13
Abid Khan, “Religious Fanatics Attack Ahmadis’ houses in Sharanpur, Uttar Pradesh, India; six persons
injured,” International Press and Media Desk Ahmadiyya Muslim Community, 27 Agustus 2008,
http://www.thepersecution.org/world/india/08/08/pr27.html.
14
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, 83–102.
15
Iskandar Zulkarnain, “Materi Pemikiran Kalam Ahmadiyah” (Mata Kuliah Kalam dan Modernitas,
Yogyakarta, 8 Januari 2021).
Love for All Hatred for None: Ajaran Teologis dan Respon Ahmadi
terhadap Perusakan Masjid Miftahul Huda di Media Sosial
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 63
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
Di Indonesia, secara hukum, negara menjamin kebebasan beragama. Hal itu
tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat 2 yang berbunyi “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Kendati demikian, kekerasan
terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, khususnya JAI tetap acap kali terjadi.
Kekerasan itu terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, pelarangan ibadah dan
perusakan tempat ibadah, pelecehan seksual terhadap perempuan
16
, ,sampai kepada
peristiwa pengusiran dan pembunuhan
17
. Bahkan anak-anak anggota JAI pun tidak luput
menjadi target diskriminasi di sekolah
18
. Menurut Komisioner Nasional Perempuan
(Komnas Perempuan), kekerasan terhadap Ahmadiyah bahkan cenderung meningkat pasca
SKB tiga Menteri tahun 2008 dikeluarkan. Menurut laporan yang dirilis oleh Lembaga
Pengamat Kebebasan Beragama Amerika Serikat (International Religious Freedom),
sepanjang 2020 saja terjadi setidaknya 8 peristiwa intimidasi, pengucilan, bahkan kekerasan
terhadap JAI
19
.
Persekusi Ahmadiyah dan Ajaran Cinta Damai:
Love for all hatred for none
Konferensi Internasional Jemaat Ahmadiyah digelar di London Inggris pada 1978.
Di sela-sela diskusi, seorang wartawan bertanya kepada Mirza Nasir Ahmad selaku
pimpinan ke-3 Jemaat Ahmadiyah. Pertanyaan itu terkait konteks Perang Dingin antara
Blok Barat versus Blok Timur pada masa itu, pada saat itulah Mirza Nasir Ahmad
menjawab “Untuk menaklukkan dunia, Amerika dan Rusia punya senjata, Ahmadiyah punya apa?”
“Love for all, hatred for none”
20
. Pernyataan Mirza Nasir Ahmad inilah yang menjadi awal mula
mendunianya narasi damai ala Ahmadiyah ini.
Bila kita amati lebih jauh penggalan pidato oleh Mirza Ghulam Ahmad, semboyan
itu seakan-akan mewakili realitas yang harus dihadapi oleh Jemaat Ahmadiyah di seluruh
dunia. Jemaat Ahmadiyah telah mengalami banyak pertentangan sejak awal kelahirannya.
Bahkan di negeri asalnya sendiri, India. Selain itu, ajakan untuk saling mencintai dan tidak
menyimpan kebencian terhadap sesama manusia ini telah menjadi bagian integral dalam
16
Tri Wahyuni, “Perempuan Ahmadiyah Belum Bisa Hidup Layak,” CNN Indonesia, 12 Agustus 2014,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20141208154024-20-16690/perempuan-ahmadiyah-belum-bisa-
hidup-layak/.
17
Tempo.co, “Enam Jamaah Ahmadiyah Tewas Diserang Warga Cikeusik,” 6 Februari 2011,
https://nasional.tempo.co/read/311404/enam-jamaah-ahmadiyah-tewas-diserang-warga-cikeusik.
18
Rendi Ferdiansyah, “Anak-Anak Warga Ahmadiyah tidak Aman di Sekolah,” Media Indonesia, 2 Juli 2016,
https://mediaindonesia.com/nusantara/27697/anak-anak-warga-ahmadiyah-tidak-aman-di-sekolah.html.
19
Office of International Religious Freedom, “INDONESIA 2020 INTERNATIONAL RELIGIOUS
FREEDOM REPORT” (United States Departement of State, 2020).
20
Mardian Sulistyati, “Love For All, Hatred For None: Narasi Kemanusiaan dan Primasi Perlawanan Stigma
Jemaat Ahmadiyah Indonesia,” JURNAL INDO-ISLAMIKA 5, no. 1 (25 Februari 2020): 147–68,
https://doi.org/10.15408/idi.v5i1.14790.
Muhammad Rizkita, Arfi Hidayat
64 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
doktrin keagamaan Ahmadiyah. Nilai-nilai perdamaian, cinta, dan penolakan terhadap
kebencian tercermin di dalam syarat baiat Ahmadiyah yang disusun oleh Mirza Ghulam
Ahmad selaku pendiri Ahmadiyah. Orang yang bai’at berjanji dengan hati yang jujur bahwa
(1) Menjauhi perilaku syirik hingga akhir hayat, (2) Menjauhi segala tidakan bohong, zina,
pandangan birahi kepada yang bukan mahram, perbuatan fasik, jahat, aniaya, khianat, huru-
hara, dan memberontakan serta berupaya tidak kalah oleh hawa nafsu sekuat apa pun
dorongan itu, (3) Senantiasa mendirikan sholat lima waktu, (4) Tidak menyakiti sesama
mahkluk Allah, (5) Tetap setia kepada Allah Ta’ala baik dalam keadaan susah-senang, duka
atau suka, nikmat atau pun musibah, (6) Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari
menuruti hawa nafsu, (7) Meninggalkan takabur dan sombong; akan hidup dengan
merendahkan diri, beradat lemah-lembut, berbudi pekerti yang luhur dan penuh sopan
santun, (8) Akan menghargai agama dan kehormatan Islam lebih dari jiwanya, hartanya,
anak-anaknya, dan dari segala yang dicintainya, (9) Akan menaruh simpati dan memberi
manfaat kepada setiap mahkluk. (10) Bahwa akan menjalin persaudaraan dengan saya (yakni
Mirza Ghulam Ahmad) semata-mata karena Allah Ta’ala. Menaati saya dalam hal kebaikan
dan memegang teguh baiat ini sampai akhir hayatnya.
Kesepuluh poin baiat ini mewakiliki pembangunan karakter Ahmadiyah yang sarat
dengan nilai kemanusiaan yakni penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak setiap
mahkluk hidup. Secara eksplisit nilai-nilai itu tercermin misalnya pada poin 2, 4, 7, 9. Pun
sejak masa kepemimpinan Mirza Ghulam Ahmad sampai kepada penerus-penerusnya,
antara lain: Mirza Hakim Nuruddin, Mirza Bashiruddin Ahmad, Mirza Nasir Ahmad, Mirza
Tahir Ahmad, dan Mirza Nasroor Ahmad, pesan-pesan perdamaian selalu dilontarkan
Ahmadiyah kepada dunia sekaligus sebagai doktrin keagamaan mereka.
Dalam buku yang berjudul World Crisis and Pathway to Peace
21
, terekam pidato-pidato
oleh Mirza Masroor Ahmad tentang Islam dan perdamaian di berbagai forum internasional.
Isu-isu yang sempat ia bawakan misalnya terkait dampak buruk penggunaan senjata nuklir,
hubungan antar bangsa, kesatuan global, dan sebagainya. Bahkan, ia juga menulis surat
kepada para pemimpin dunia yang berisi ajakan untuk segera mengakhiri krisis dunia dan
hidup dengan damai. Di beberapa kesempatan menyurati pemimpin dunia, Mirza Masroor
Ahmad mencoba melepascan stigma negatif bahwa Islam dekat dengan perang dan
kekerasan.
Demikianlah berarti bahwa penggunaan semboyan love for all hatred for none yang
menggema di berbagai penjuru dunia dapat kita pandang sebagai bentuh pengukuhan
identitas keagamaan. Ketimbang larut dalam perdebatan doktrinal yang saling menyesatkan
dan syarat perpecahan, Ahmadiyah memilih untuk menampakkan sisi lain keagamaan
21
Mirza Masroor Ahmad, World Crisis and Pathway to Peace, Juli 2017 (Tilford-Surrey: Islam International
Publications Ltd, 2013).
Love for All Hatred for None: Ajaran Teologis dan Respon Ahmadi
terhadap Perusakan Masjid Miftahul Huda di Media Sosial
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 65
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
mereka, yakni bahwa setiap individu maupun kelompok haruslah berjalan dengan harmoni
dan bahwa seorang Ahmadi dituntut untuk menyebar cinta kasih
22
. praktiknya, ajaran cinta
damai dan saling mengasihi Ahmadiyah tercermin di dalam beberapa kegiatan, misalnya,
program donor mata
23
, donor darah
24
, serta tercatat beberapa kali membantu penanganan
bencana alam
25
.
Penyerangan Masjid Miftahul Huda
Masjid Miftahul Huda terletak di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak,
Kabupaten Sintang. Masjid ini diserang oleh sekitar 200 orang pada hari Jum’at, 3
September 2021. Dampaknya, bangunan masjid porak-poranda dan bangunan gudang yang
berdiri di belakangnya ikut terbakar. Kejadian ini terjadi pada siang hari pasca sholat Jum’at.
Peristiwa ini terjadi setelah sebelumnya diawali oleh peristiwa penyegelan masjid dan surat
penghentian kegiatan beribadah bagi Jemaat Ahmadiyah oleh Kabupaten Sintang
26
.
Berdasarkan siaran pers JAI yang berjudul Fakta Lengkap Kronologi Perusakan Masjid
Miftahul Huda adalah sebagai berikut
27
:
Runtutan penyerangan Ahmadiyah dimulai dari tanggal 29 Juli 2021 yakni agenda
pertemuan Plt. Bupati Sintang dengan Forkopimda untuk membahas solusi dan perwakilan
masyarakat bertempat di Desa Balai Harapan, tetapi Ahmadiyah tidak diundang. Pasca
pertemuan ini, Plt Bupati beseta rombongan datang ke Masjid Miftahul Huda dan bertanya
seputar kepemilikkan tanah, luas masjid, dan jumlah anggota. Pada tangggal 4 Agustus, Plt,
Bupati kembali mengadakan rapat untuk membahas tindak lanjut kunjungan Plt. Bupati ke
Desa Balai Harapan dan Masjid Miftahul Huda pada tanggal 29 Juli. Pada tanggal 13-14
Agustus 2021, aliansi yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam (AUI) memberi ultimatim
kepada aparat Kabupaten Sintang untuk menindak tegas Ahmadiyah dalam 3x24 jam.
Menyikapi ultimatum ini, Pengurus Daerah JAI Kabupaten Sintang menyurati Kapolres
Sintang untuk memohon perlindungan hukum. Surat ini ditembuskan pula kepada ketua
Komnas HAM RI.
22
Ahmad, 150–59.
23
Parwito, “Aksi Donor Kornea Mata 3 Ribu Jemaah Ahmadiyah Pecahkan Rekor,” Merdeka.com, 23 Juli
2017, https://www.merdeka.com/peristiwa/aksi-donor-kornea-mata-3-ribu-jemaah-ahmadiyah-pecahkan-
rekor.html.
24
Faizal Fanani, “Ribuan Muslim Ahmadiyah Jadi Relawan Siaga Donor Darah Nasional,” Liputan6.com, 3 Mei
2020, https://www.liputan6.com/regional/read/4243997/ribuan-muslim-ahmadiyah-menjadi-relawan-siaga-
donor-darah-nasional.
25
Mulyana Ade, “Fakta Lengkap Kronologi Perusakan Masjid Ahmadiyah Sintang,” Akurat.co, 9 Mei 2021,
https://akurat.co/fakta-lengkap-kronologi-perusakan-masjid-ahmadiyah-sintang.
26
Mulyana Ade.
27
Yendra Budiana, “Siaran Pers: Fakta Lengkap Kronolgoi Perusakan Masjid Miftahul Huda di Desa Balai
Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat” (Sekretaris Pers & Juru
Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 9 Maret 2021).
Muhammad Rizkita, Arfi Hidayat
66 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
Masih di hari yang sama, Plt Bupati Sintang menyampaikan surat kepada Pimpinan
JAI di Kabupaten Sintang untuk menindaklanjuti pernyataan sikap AUI Kabupaten Sintang
yakni tentang perintah kepada Kesbangpol untuk menutup paksa Masjid Miftahul Huda. Di
lahin pihak, MUI Kabupaten Sintang juga mengirimkan surat kepada Plt Bupati Sintang
menyampaikan dukungan kepada AUI. Akhirnya penutupan masjid dilaksanakan pada
tanggal 14 Agustus 2021 dipimpin oleh Zulfadli sehingga masjid tidak lagi digunakan. Di
lain pihak, Menurut penuturan juru bicara JAI, Yendra Budiana, eskalasi dimulai sejak 14
Agustus 2021. Saat itu, pemerintah Kabupaten Sintang mengeluarkan surat Bupati yang
berisi perintah penutupan sementara masjid. Pada tanggal 30 Agustus 2021, Pengurus JAI
Kabupaten Sintang menerima surat undangan dari Pemerintah Kabupaten Sintang. Surat
itu meminta maksimal empat orang pengurus JAI untuk hadir mendengar penyampaian
Surat Bupati Sintang pada keesokan harinya yakni tanggal 31 di Balai Praja kantor Bupati
Sintang. Karena Plt Bupati dan wakil Bupati Sintang tidak hadir akibat sakit, penyerahan
surat dilakukan oleh Asisten Daerah (ASDA) lalu dibacakan oleh kepala Kominfo
Kabupaten Sintang. Pasca pembacaan surat, Pengurus JAI meminta izin berbicara tetapi
ASDA menyampaikan bahwa JAI tidak diizinkan berbicara. Setelah penyerahan surat
Bupati, ASDA dan aparat segera keluar ruangan dan mengadakan konferensi pers. Pada
tanggal 2 September, pengurus JAI menerima informasi bahwa Gubernur Kalimantan Barat
mengadakan pertemuan tertutup yang dihadiri oleh pemerintah kabupaten Sintang dan
Aliansi Umat Islam. Aliansi Umat Islam menolak menghentikan aksi perobohan masjid
Mifathul Huda.
Pasca kejadian tersebut, pada tanggal 3 September 2021, tepatnya pukul 10.56 WIB
masa yang dipimpin Hedi dan Qomar mendatangi masjid Al-Mujahidin lalu menerikkan
takbir di depan Masjid. Sebelum mengumandang adzan, mereka menggunakan pelantang
suara untuk mengajak warga muslim datang sholat Jumat lalu ikut merobohkan masjid
Ahmadiyah. Pukul 12.30, masa mengadakan apel di depan Masjid Al-Mujahidin sembari
meneriakkan takbir. Masa yang berjumlah 130 orang mulai bergerak merengsek masuk
hadangan 300 aparat kepolisian yang berjaga di depan masjid Miftahul Huda. Di hadapan
masa, Hedi menyampaikan fitnah kepada Ahmadiyah bahwa Ahmadiyah radikal,
pembuatan masjid Ahmadiyah dananya dari luar negeri dan sebagainya. Begitu pun dengan
ketua Aliansi, Zainuddin, sembari mengancam aparat kepolisian apabila berani menangkap
masa.
Hedi dan Zainudin kemudian memaksa masuk ke dalam masjid. Aparat yang
berjaga tidak melakukan pencegahan. Pada pukul 13.17 masa berhasil masuk sampai ke
depan masjid Miftahul Huda yang kosong karena tidak dipakai aktivitas peribadatan sholat
Jumat sejak 14 Agustus 2021. Masa kemudian berhasil membakar bangunan di samping
Masjid. Masa mengambil botol plastik berisi bersin yang dibawa sebelumnya. Masa juga
Love for All Hatred for None: Ajaran Teologis dan Respon Ahmadi
terhadap Perusakan Masjid Miftahul Huda di Media Sosial
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 67
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
berupaya membakar masjid Miftahul Huda tetapi tidak berhasil. Selain itu, masa juga
menghancurkan masjid Miftahul Huda dengan palu yang dibawa masa. Selain dinding,
mereka juga memecahkan jendela masjid, dan memecahkan toren air. Masa juga
menyampaikan ancaman bahwa jika dalam 30 hari masjid tidak diratakan oleh pemerintah,
maka mereka akan kembali lagi untuk meratakan bangunan masjid. Lalu pada pukul 14.35
masa membubarkan diri.
Pemberitaan Perusakan Masjid dan Serangan terhadap Ahmadiyah di Media Sosial
Pasca peristiwa penyerangan masjid Miftahul Huda, kejadian ini langsung menjadi
viral di internet. Dalam rangka menganalisis pemberitaan mengenai kerusakan terhadap
Masjid Ahmadiah ini, penulis menggunakan metode etnografi virtual yang berfungsi
melakukan investigasi fenomena atas penggunaan internet yang memiliki makna untuk
kehidupan sosial masyarakat.
28
. Beberapa portal berita besar di Indonesia terpantau ikut
memberitakan kejadian yang menimpa Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kabupaten Sintang
pada tanggal kejadian yakni tanggal 03 September 2021 Misalnya tribunnews.com,
detik.com, kompas.com, liputan6.com, merdeka.com, okezone.com, tempo.co, viva.co.id,
suara.com, JPPN.com, sindonews.com, serta Jawapos.com
Portal Berita
Judul Berita
Tribunnews.com
Pasca Perusakan Rumah Ibadah di Sintang, Jemaah
Ahmadiyah Bertahan di Rumah sementara Polisi Berjaga
Detik.com
Masa rusak Masjid Ahmadiyah-bakar bangunan di
Sintang Kalbar
Kompas.com
Menag Kecam Perusakan Tempat Ibadah Ahmadiyah di
Kalimantan
Nasional.tempo.co
Pasca Perusakan, Masjid Ahmadiyah di Sintang dikawal
TNI-Polri
Viva.com
TNI-Polri Jaga Rumah Ibadah Ahmadiyah Sintang Usai
Dirusak Masa
Suara.com
Masjid Ahmadiyah di Sintang Dirusak dan Diancam
Dibakar
Jpnn.com
Masjid Ahmadiyah Dirusak, Mahfud MD Telepon
Kapolda dan Gubernur
Sindonews.com
Mahfud Minta Kapolda dan Gubernur Kalbar Segera
28
C Hine, Virtual Ethnography (Londok, UK: SAGE Publication, 2000).
Muhammad Rizkita, Arfi Hidayat
68 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
Tangani Kasus Perusakan Masjid Ahmadiyah
Jawapos.com
Usai Salat Jumat, Masjid Ahmadiyah Digeruduk 200
Orang, Lalu dibakar
Pemberitaan tentang perusakan masjid Miftahul Huda yang dirilis oleh berbagai
media masa besar di atas apabila kita amati berupa tayangan dukungan terhadap Ahmadiyah
atau setidaknya mengandung informasi aktual yang cenderung netral. Tiga portal berita
yakni kompas.com, jpnn.com, dan sindonews menayangkan berita yang memuat kecaman
terhadap peristiwa yang menimpa JAI. Dua portal berita yakni nasional.tempo.co dan
viva.co menayangkan berita soal keterlibatan pihak aparat dalam mengamankan masjid
pasca peristiwa perusakan.
Tak hanya dalam hal pemberitaan media masa, peristiwa yang menimpa JAI juga
menarik warganet (warga internet) dalam berkomentar yakni lewat platform media sosial.
Komentar bernada dukungan maupun celaan terhadap Ahmadiyah menjadi semacam
peristiwa persekusi lanjutan terhadap JAI setelah perusakan masjid Miftahul Huda yakni
berupa komentar mengintimidasi JAI sebagai korban. Hal ini dapat kita amati dalam kolom
komentar pada unggahan akun instagram resmi JAI yakni @ahmadiyah.id. Terdapat empat
unggahan akun @ahmadiyah.id berbentuk berkenaan dengan peristiwa pembakaran masjid
Miftahul Huda milik JAI yaitu pertama, Unggahan pertama merupakan tangkapan layar
pernyataan Menteri Agama di laman Kementrian Agama Republik Indonesia yang berjudul
“Kecam Perusakan Rumah Ibadah di Sintang, Menag Minta Aparat Tindak Tegas”
diunggah pada 3 September 2021. Kedua, Unggahan kedua berupa penggalan dari
pernyataan Menag mengecam perusakan masjid Miftahul Huda yang diambil dari laman
Kementrian Agama Republik Indonesia, penggalan itu berbunyi “Tindakan main hakim
sendiri tidak bisa dibenarkan dan merupakan pelanggaran hukum.” Diunggah pada 3
September 2021. Ketiga, Unggahan ketiga berupa rilis pers Komisi Nasional Republik
Indonesia (Komnas HAM RI) yang berisi kecaman terhadap perusakan masjid Miftahul
Huda. Unggahan ini berjudul “Komnas HAM RI Mengecam Pengrusakan Tempat Ibadah
Milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kabupaten Sintang. Diunggah pada 4 September
2021. Keempat, Unggahan keempat berupa rangkuman rilis pers Jemaat Ahmadiyah
Indonesia terkait perusakan masjid Miftahul Huda berjudul “Kronologi Perusakan Masjid
Miftahul Huda Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Provinsi
Kalimantan Barat.” Diunggah pada 4 September 2021.
Berdasarkan pengamatan terhadap komentar warganet pada berbagai unggahan di
atas, serangan terhadap JAI sebagai korban tetap terjadi meski demikian jumlahnya tidak
banyak. Dari tiga-puluh-dua akun instagram yang ikut berkomentar, terdapat enam akun
Love for All Hatred for None: Ajaran Teologis dan Respon Ahmadi
terhadap Perusakan Masjid Miftahul Huda di Media Sosial
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 69
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
yang membenarkan penyerangan terhadap masjid Miftahul Huda dengan berbagai bentuk
argumentasi.
Serangan
Narasi
Ahmadiyah sesat
“Ahmadiyah bukan Islam, no debat!!”
“…..fatwa MUI jelas bahwa Ahmadiyah keluar dari Islam dan
bukan Islam”
“Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Mereka bukan Islam”
“emang Ahmadiyah Islam?”
“Kesesatannya udah jelas?”
Merusak masjid karena bela
agama
“kita membela [kk] agama Islam. Karena sudah jelas Al-
Qur’an Ahmadiyah itu sesat dan menyesatkan. Fakta MUI
[juga sudah di jelaskan] pada tahun 2005”
“Kami menjaga marwah Islam dari golongan perusak Islam.
[Jangan] bawa2 nama Islam jika kalian menganut keyakinan
menyimpang dari Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Silakan
minggat ke inggris sono”
Sebutan kata ‘binatang’ kepada
JAI
“taat karena sedikit anjing… banyak se[dikit] kita dibantai
sama kalian”
Narasi yang berkembang dimedia sosial sebagaimana temuan diatas, telah
melahirkan kontruksi sosial yang kemudian dinarasikan dalam media sosial, hal ini
dijelaskan melalui teori interpretative flexibility (fleksibelitas interpretasi) dimana narasi yang
terkonstruksi diambil dari temuan-temuan empiris relativisme, masyarakat yang
mengarahkan narasi kepada Ahmadiah dilihat sebagai artefak yang merupakan hasil dari
negosiasi dan persentuhan interpretasi yang terjadi antar kelompok.
29
. Artefak dalam hal
ini, penulis identifikasi sebagai fenomena yang terjadi ditengah masyarakat. Ada proses
interpretasi yang berkembang ditengah masyarakat yang didasari kejadian atau fenomena,
dalam hal ini adalah pengerusakan dan penyerangan terhadap Masjid Ahmadiah.
Adapun kontruksi narasi yang terbangun, jika diamati lebih jauh, bentuk serangan
warganet sangat relevan dengan kekerasan hatecrime yang telah saya singgung diawal.
Intimidasi dilakukan dengan mengeluarkan identitas keagamaan Ahmadiyah dengan definisi
Islam mayoritas dengan melontarkan pernyataan “Ahmadiyah sesat” dan “Ahmadiyah
bukan Islam. Serangan terhadap Ahmadiyah berteriak atas nama jihad juga pernah ditulis
29
Klein dan Kleinman, “The Social Construction of Technology.”
Muhammad Rizkita, Arfi Hidayat
70 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
dengan lengkap oleh Ahmad Najib Burhani
30
di dalam tulisannya berjudul “It’s Jihad”:
Justifying Violence towards the Ahmadiyya in Indonesia”. Najib menemukan bahwa serangan
terhadap Ahmadiyah dipandang sebagai pelanggaran hukum demi kemanusiaan (human law).
Kekerasan dianggap sebagai “kebajikan” atau upaya menyelamatkan seseorang dari
kesesatan, bukan kejahatan kriminal. Alih-alih merasa menyesal, Najib menemukan bahwa
pelaku kekerasan berbasis agama biasanya percaya bahwa mereka baru saja menunaikan
kewajiban agamanya.
Selain itu, apa yang disebutkan oleh Menchik sebagai godly nationalism (nasionalisme
bertuhan) juga terlihat dengan jelas pada serangan warganet dalam unggahan
@Ahmadiyahid ini. Hal itu terlihat pada dua hal. Pertama peristiwa penyerangan dianggap
benar atas nama membela agama dari kerusakan dan kesesatan. Kedua, penggunaan fatwa
MUI yakni organisasi masyarakat yang mewakili kelompok dominan dalam melegitimasi
kesesatan Ahmadiyah. Selain identitas keagamaan, sentimen kebangsaan juga terlibat yakni
lewat narasi “minggat ke Inggris sono.” Hal ini merepresentasikan anggapan bahwa Ahmadiyah
tidaklah sesuai dengan identifikasi Islam di Indonesia.
Ahmadiyah Merespon Serangan di Media Sosial Pasca Perusakan Masjid Miftahul
Huda
Salah satu komentar yang menarik perhatian peneliti diutarakan oleh seorang
Ahmadi,
“dimana hukum negara ini, [kami] salah apa? Ya Allah secara pribadi saya sebenarnya gak
terima, cuman kita diajarkan untuk tetap menyayangi orang-orang yang membenci kita.”
Kalimat ini begitu selaras dengan semboyan yang diucapkan oleh Mirza Masnoor
Ahmad, love for all hatred for none yakni mencintai setiap manusia tanpa terkecuali meskipun
membenci kita. Sebagaimana pidato Mirza Masroor Ahmad,
“Jangan pernah meninggalkan keadilan bahkan kepada musuh Anda sekalipun. Sejarah awal
Islam memperlihatkan kepada kami bahwa ajaran ini telah diikuti dan seluruh syarat bertindak
adil telah dipenuhi….. Nabi Suci (Muhammad) tidak melakukan balas dendam kepada
mereka yang telah menyiksa beliau melainkan mengampuni mereka
31
.”
30
Ahmad Najib Burhani, “‘It’s a Jihad’: Justifying Violence towards the Ahmadiyya in Indonesia,” TRaNS:
Trans -Regional and -National Studies of Southeast Asia 9, no. 1 (Mei 2021): 99–112,
https://doi.org/10.1017/trn.2020.8.
31
Mirza Masroor Ahmad, Dan Jalan Menuju Perdamaian (Bandung: Neratja Press, 2014), 16.
Love for All Hatred for None: Ajaran Teologis dan Respon Ahmadi
terhadap Perusakan Masjid Miftahul Huda di Media Sosial
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 71
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
“Jema’at Muslim Ahmadiyah mengikuti dan hidup dengan ajaran ini. Ajaran pengertian,
toleransi dan kasih sayang inilah yang kami promosikan dan sebarkan ke seluruh penjuru dunia
32
”
Doktrin cinta damai Ahmadiyah juga terlihat dalam bentuk lain yaitu ajakan
berdiskusi.
“Abang minta [nomor] WA [lewat] DM yaa… insyaAllah nanti teman saya silahturahmi ke
rumah abang. Jazakallah.. ditunggu.”
“Hanyalah Tuhan yang bisa menyebut sekelompok disebut sesat, camkan iirgiirwn, mending
diskusi yuuk daripada anda ikut-ikutan memfitnah”
“….Coba Anda datangi masjid Ahmadiyah berdialog, bertanya, dimana letak kesesatannya
orang-orang Ahmadiyah. [Ahmadiyah] orangnya penuh damai, taat terhadap pemimpinnya,
berani berkorban untuk kemajuan Islam, mengajarkan cinta kasih, tidak pernah berbuat onar,
apakah itu yang disebut sesat?”
Sikap yang ditampilkan oleh Ahmadi ketika menghadapi intimidasi relevan dengan
pemahaman mereka tentang konsep jihad. Bagi Ahmadiyah, jihad berarti berjuang dalam
mempelejari ajaran Islam, kemudian berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-
hari, dan berdakwah di jalan Allah. Menurut pendiri Ahmadiyah, Ghulam Ahmad, ada tiga
konsep jihad yakni jihad kecil, jihad besar, dan jihad terbesar
33
. Jihad kecil tidaklah lagi
relevan di era sekarang karena dilakukan dengan angkat senjata melalui medan peperangan
34
. Jihad yang bisa dilakukan oleh seorang muslim menurut pemahaman Ahmadiyah adalah
jihad besar dengan mempelajari dan menyebarkan ajaran Al-Qur’an dan Islam. Lalu jihad
yang paling besar adalah bersadar ketika melawan hawa nafsu yakni dengan sedapat
mungkin menerapkan ajaran Islam.
Lewat kacamata lain, respon Ahmadi yang cenderung pasif, defensif dan tak
melakukan perlawanan juga merupakan keniscayaan. Sebab, Ahmadiyah memang kelompok
minoritas yang mengalami praktik minoritisasi sehingga tidak memiliki begitu banyak
sumber daya untuk melawan balik. Apabila kelompok mayoritas yang cenderung dapat
melakukan resistensi apabila berada dalam kondisi tertekan, kelompok minoritas seperti
32
Ahmad, 159.
33
Muhammad Gufron Makruf, “The Concept of Jihad in the Perspective of Jemaat Ahmadiyah Indonesia,”
Millati Journal of Islamic Studies 6, no. 1 (2021).
34
Ahmad, Dan Jalan Menuju Perdamaian, 152.
Muhammad Rizkita, Arfi Hidayat
72 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
Ahmadiyah sebaliknya. Kelompok dominan cenderung melakukan ‘truth claim’ untuk
menyatakan kebenaran tafsir keagamaan mereka. Dan dominasi penafsiran semacam ini
berkolaborasi dengan kekuasaan sebagai bentuk sebagaimana yang disebut oleh Menchick
sebagai nasionalisme bertuhan, maka penafsiran oleh kelompok dominan akan semakin
mapan (dalam bentuk nyata berupa institusionalisasi/legalisasi atas lembaga atau pengakuan
dari penguasa). Alhasil, kelompok dominan tak hanya lagi sebatas dominasi ritualitas tetapi
telah menjadi kiblat (preference) berbagai hal lainnya, termasuk produk hukum, maupun
politik yang selalu mencantolkan diri pada entitas arus dominan
35
.
Sehingga menghadapi realitas sebagai kelompok minoritas melawan kelompok
dominan memang bukan hal mudah dan mesti dilakukan lewat taktik tertentu. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Dewi Nurul Maliki
36
berjudul ‘Resistensi Kelompok
Minoritas Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia’, Maliki menemukan bahwa
Ahmadiyah cenderung menggunakan pendekatan dialektis. Ahmadiyah menggunakan
kelompok intelektual karena ruang (sphere) ini cenderung bebas dari hegemoni kelompok
dominan.
Penutup
Persekusi terhadap kelompok Ahmadiyah, khususnya aliran Qadian yang diwakili
oleh JAI terus terjadi. Bahkan serangan terhadap JAI telah melintasi realitas fisik kepada
realitas digital. Pada kasus perusakan masjid Miftahul Huda di Kabupaten Sintang, peristiwa
penyerangan terhadap masjid memang terjadi pada tanggal 03 September 2021 pasca shalat
Jum’at, tetapi intimidasi non fisik lewat media sosial masih terus terjadi setelah itu.
Menyikapi ini, Ahmadi konsisten pada doktrin keagamaan mereka yakni ajaran cinta damai
dan tak saling membenci seperti yang diwakilkan pada kalimat love for all, hatred for none yang
merupakan bentuk dari interpretative flexibility dalam tinjauan social construction of technology.
Respon yang diberikan oleh para Ahmadi terlihat pasif dan cenderung defensif, hal itu
sesuai dengan doktrin keagamaan mereka untuk tidak membalas siapa saja yang menyakiti
mereka.
REFERENCES
Ahmad, Mirza Masroor. Dan Jalan Menuju Perdamaian. Bandung: Neratja Press, 2014.
———. World Crisis and Pathway to Peace. Juli 2017. Tilford-Surrey: Islam International Publications
Ltd, 2013.
35
Azyumardi Azra, “Indonesia Islam, Mainstream Muslims and Politics,” dalam Taiwanese and Indonesia Islamic
Leaders Exchance Project (Taipei: The Asia Foundation in Taiwan, 2006).
36
Dewi Nurrul Maliki, “Resistensi Kelompok Minortias Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia,” Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 14, no. 1 (2010).
Love for All Hatred for None: Ajaran Teologis dan Respon Ahmadi
terhadap Perusakan Masjid Miftahul Huda di Media Sosial
Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 73
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
Anderson, Benedict R. O’G. Imagined communities: reflections on the origin and spread of nationalism. Rev.
ed. London ; New York: Verso, 2006.
Azra, Azyumardi. “Indonesia Islam, Mainstream Muslims and Politics.” Dalam Taiwanese and
Indonesia Islamic Leaders Exchance Project. Taipei: The Asia Foundation in Taiwan, 2006.
Budiana, Yendra. “Siaran Pers: Fakta Lengkap Kronolgoi Perusakan Masjid Miftahul Huda di Desa
Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat.”
Sekretaris Pers & Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 9 Maret 2021.
Burhani, Ahmad Najib. “‘It’s a Jihad’: Justifying Violence towards the Ahmadiyya in Indonesia.”
TRaNS: Trans -Regional and -National Studies of Southeast Asia 9, no. 1 (Mei 2021): 99–112.
https://doi.org/10.1017/trn.2020.8.
Fanani, Faizal. “Ribuan Muslim Ahmadiyah Jadi Relawan Siaga Donor Darah Nasional.”
Liputan6.com. 3 Mei 2020. https://www.liputan6.com/regional/read/4243997/ribuan-
muslim-ahmadiyah-menjadi-relawan-siaga-donor-darah-nasional.
Ferdiansyah, Rendi. “Anak-Anak Warga Ahmadiyah tidak Aman di Sekolah.” Media Indonesia, 2 Juli
2016. https://mediaindonesia.com/nusantara/27697/anak-anak-warga-ahmadiyah-tidak-
aman-di-sekolah.html.
Hakim, Lukman Nul. “TINDAK KEKERASAN TERHADAP JAMAAH AHMADIYAH
INDONESIA: SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI SOSIAL.” Aspirasi: Jurnal Masalah-
masalah Sosial 2, no. 1 (30 Juni 2011): 17–30. https://doi.org/10.46807/aspirasi.v2i1.435.
Hine, C. Virtual Ethnography. Londok, UK: SAGE Publication, 2000.
Indriani, Eva. “Konstruksi Sosial Keberadaan Jemaat Ahmadiyah Di Kota Medan.” Islam &
Contemporary Issues 2, no. 1 (22 Maret 2022): 1–8. https://doi.org/10.57251/ici.v2i1.238.
Khan, Abid. “Religious Fanatics Attack Ahmadis’ houses in Sharanpur, Uttar Pradesh, India; six
persons injured.” International Press and Media Desk Ahmadiyya Muslim Community. 27 Agustus
2008. http://www.thepersecution.org/world/india/08/08/pr27.html.
Klein, Hans K., dan Daniel Lee Kleinman. “The Social Construction of Technology: Structural
Considerations.” Science, Technology, & Human Values 27, no. 1 (Januari 2002): 28–52.
https://doi.org/10.1177/016224390202700102.
Maharani, Tsarina. “Jemaah Ahmadiyah Lapor Kasus Intimidasi, Komnas HAM Negara Lemah
Melindungi Hak Warga.” kompas.com, 3 Februari 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/02/17155651/jemaah-ahmadiyah-lapor-
kasus-intimidasi-komnas-ham-negara-lemah-melindungi?page=all.
Makruf, Muhammad Gufron. “The Concept of Jihad in the Perspective of Jemaat Ahmadiyah
Indonesia.” Millati Journal of Islamic Studies 6, no. 1 (2021).
Maliki, Dewi Nurrul. “Resistensi Kelompok Minortias Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia.”
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 14, no. 1 (2010).
Mariani, Nina. “Ahmadiyah, conflicts, and violence in contemporary Indonesia.” Indonesian Journal of
Islam and Muslim Societies 3, no. 1 (1 Juni 2013): 1. https://doi.org/10.18326/ijims.v3i1.1-30.
McLaughlin, Eugene, dan John Muncie, ed. The Sage dictionary of criminology. London Thousand Oaks,
Calif: SAGE, 2001.
Mulyana Ade. “Fakta Lengkap Kronologi Perusakan Masjid Ahmadiyah Sintang.” Akurat.co. 9 Mei
2021. https://akurat.co/fakta-lengkap-kronologi-perusakan-masjid-ahmadiyah-sintang.
Office of International Religious Freedom. “INDONESIA 2020 INTERNATIONAL
RELIGIOUS FREEDOM REPORT.” United States Departement of State, 2020.
———. “International Religious Freedom Report for 2019.” United States Departement of State,
2019.
Muhammad Rizkita, Arfi Hidayat
74 Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam
Vol. 20 No. 1 January – June 2023
Parwito. “Aksi Donor Kornea Mata 3 Ribu Jemaah Ahmadiyah Pecahkan Rekor.” Merdeka.com, 23
Juli 2017. https://www.merdeka.com/peristiwa/aksi-donor-kornea-mata-3-ribu-jemaah-
ahmadiyah-pecahkan-rekor.html.
Simamora, Apriadi Richi, Abdul Hamid, dan M. Dian Hikmawan. “Diskriminasi Terhadap
Kelompok Minoritas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Di Tangerang Selatan.” Ijd-Demos
1, no. 1 (2019). https://doi.org/10.37950/ijd.v1i1.4.
Siregar, Nadia Imanda. “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENGRUSAKAN RUMAH
IBADAH JEMAAH AHMADIYAH ( STUDI KASUS PENGRUSAKAN MASJID
JEMAAH AHMADIYAH KALBAR ),” 2022.
http://repository.umsu.ac.id/handle/123456789/18763.
Sulistyati, Mardian. “Love For All, Hatred For None: Narasi Kemanusiaan dan Primasi Perlawanan
Stigma Jemaat Ahmadiyah Indonesia.” JURNAL INDO-ISLAMIKA 5, no. 1 (25 Februari
2020): 147–68. https://doi.org/10.15408/idi.v5i1.14790.
Tempo.co. “Enam Jamaah Ahmadiyah Tewas Diserang Warga Cikeusik,” 6 Februari 2011.
https://nasional.tempo.co/read/311404/enam-jamaah-ahmadiyah-tewas-diserang-warga-
cikeusik.
Tim CNN Indonesia. “Kronologi sebelum Perusakan Masjid Ahmadiyah di Sintang.” CNN
Indonesia, 9 April 2021. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210904110136-20-
689644/kronologi-sebelum-perusakan-masjid-ahmadiyah-di-sintang.
Wahyuni, Tri. “Perempuan Ahmadiyah Belum Bisa Hidup Layak.” CNN Indonesia, 12 Agustus 2014.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20141208154024-20-16690/perempuan-
ahmadiyah-belum-bisa-hidup-layak/.
Zulkarnain, Iskandar. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LKis, 2005.
———. “Materi Pemikiran Kalam Ahmadiyah.” Dipresentasikan pada Mata Kuliah Kalam dan
Modernitas, Yogyakarta, 8 Januari 2021.
———. “Membedah Teologi Ahmadiyah yang Digugat.” Ahmadiyah.org (blog), 15 Desember 2013.
https://ahmadiyah.org/membedah-teologi-ahmadiyah-yang-digugat/.