Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
Open Access: www.jpdunud.org 1
ARTIKEL ASLI
Print ISSN: 2580-2925
Online ISSN: 2580-2933
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine
Volume 4, No 1: 2020 ; 1-4
Siswi Oktariani1, Adeodatus Yuda Handaya2, Ibnu Purwanto3*
Tanggal diterima : 12 Februari 2020
Tanggal Disetujui : 12 Maret 2020
Tanggal Diterbitkan : 20 Juni 2020
1Trainee, Divisi Hematologi dan
Onkologi Medis, Departemen
Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran, Kesehatan Masyarakat
dan Keperawatan, Universitas Gadjah
Mada/ Rumah Sakit Dr.Sardjito,
Yogyakarta, Indonesia.
2Divisi Bedah Digestif, Bagian
Ilmu Penyakit Bedah, Fakultas
Kedokteran, Kesehatan Masyarakat
dan Keperawatan, Universitas Gadjah
Mada/ Rumah Sakit Dr.Sardjito,
Yogyakarta, Indonesia.
3Divisi Hematologi dan Onkologi Medik,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran, Kesehatan Masyarakat
dan Keperawatan, Universitas Gadjah
Mada/ Rumah Sakit Dr.Sardjito,
Yogyakarta, Indonesia.
*Korespondensi:
Ibnu Purwanto; Divisi Hematologi dan
Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran, Kesehatan
Masyarakat dan Keperawatan,
Universitas Gadjah Mada/ Rumah Sakit
Dr.Sardjito, Yogyakarta, Indonesia;
ibnu.purwanto.md@gmail.com
Myelodysplasia syndrome (MDS) is a hematologic disorder manifested by cytopenia and rarely with splenomegaly.
Clinical complaints that often accompany is symptoms of anemia and when experiencing splenomegaly, the patient
feels a full stomach or sometimes pain in the upper left abdomen. We report a case of a 55 year old woman with a
full stomach complaint with a history of thrombocytopenia. From the peripheral blood examination, observation of
thrombocytopenia was obtained with suspicion of the inammatory process and physical examination of splenomegaly.
Bone marrow aspiration studies revealed a multi-line cytopenic refractory MDS. Patients receive immunosuppressant
therapy without blood transfusions. After 1 year of treatment the patient complained of fatigue and upper left
abdominal pain. The results showed pancytopenia and splenomegaly. The doctor and patient discussion agreed to the
splenectomy. The patient had no complications after splenectomy and for 11 months the patient felt complaint free
and normal hematological parameters with a good quality of life. This case report suggests that splenectomy can be an
alternative therapy for MDS that is refractor y to previous therapy and is complaining of splenomegaly. Splenectomy can
improve the clinical complaints and hematologic prole of MDS patients with splenomegaly.
Keyword: myelodysplasia syndrome-splenomegali-splenektomi
Myelodysplasia syndrome (MDS) merupakan kelainan hematologi dengan manifestasi sitopenia dan jarang disertai
splenomegali. Keluhan klinis yang sering menyertai adalah simtom anemia dan bila mengalami splenomegali pasien
merasa perut terasa penuh atau kadang nyeri di perut kiri atas. Kami melaporkan kasus wanita 55 tahun dengan
keluhan perut terasa penuh disertai riwayat trombositopenia. Dari pemeriksaan darah tepi didapatkan observasi
trombositopenia dengan curiga proses inamasi dan pemeriksaan sik splenomegali. Pemeriksaan aspirasi sumsum
tulang mendapatkan suatu MDS refrakter sitopenia multi lini. Pasien mendapatkan terapi imunosupresan tanpa
transfusi darah. Setelah 1 tahun menjalani pengobatan pasien mengeluh mudah lelah dan nyeri perut kiri atas.
Hasil pemeriksaan mendapatkan pansitopenia dan splenomegali. Diskusi dokter dan pasien menyetujui tindakan
splenektomi. Pasien tidak mengalami komplikasi paska splenektomi dan selama 11 bulan pasien merasa bebas keluhan
serta parameter hematologi yang normal dengan kualitas hidup yang baik. Laporan kasus ini menunjukkan bahwa
splenektomi dapat menjadi alternatif terapi bagi MDS yang refrakter terhadap terapi sebelumnya dan mengalami
keluhan akibat splenomegali. Splenektomi dapat memperbaiki keluhan klinis dan prol hematologi pasien MDS
dengan splenomegali.
Kata kunci: myelodysplasia syndrome-splenomegali-splenektomi
DOI : 10.36216/jpd.v4i1.133
PENDAHULUAN
Sindrom mielodispasia (MDS) adalah neoplasma grup
mieloid yang ditandai oleh sitopenia karena hematopoiesis
yang tidak efektif, morfologi darah sumsum tulang yang
abnormal dan berisiko untuk berkembang menjadi leukemia
mieloblastik aku.1 Manifestasi klinis MDS sangat bervariasi
tergantung pada lini seluler yang terlibat. Meskipun proses
klonal pada MDS memberikan gambaran hiperseluler pada
sumsum tulang, namun biasanya pasien mengalami sitopenia
perifer karena apoptosis intramedular terhadap sel klonal
yang mengalami displasia.2
Infeksi, perdarahan dan anemia adalah gambaran
umum pada MDS, sedangkan temuan yang tidak biasa adalah
hepatomegali, splenomegali dan limfadenopati. Patofisiologi
splenomegali pada MDS belum dapat dijelaskan.2 Kraus
melaporkan hasil pemeriksaan histologi dan imunofenotipik
dari lien paska splenomegali dan post-mortem yang
menyimpulkan bahwa splenomegali dalam MDS terjadi akibat
sekuel/gejala sisa dari dispoiesis dan bukan menggambarkan
proliferasi.3 Menurut Shimomura splenomegali berhubungan
dengan kesintasan hidup yang buruk setelah transplantasi
Peningkatan prol klinik-hematologi pada pasien sindrom
mielodisplasia multilini paska splenektomi total
2 Open Access: www.jpdunud.org
ARTIKEL ASLI
Print ISSN: 2580-2925
Online ISSN: 2580-2933
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine
Volume 4, No 1: 2020 ; 1-4
alogenik pada pasien MDS.4 Bourgeois menyatakan bahwa
pada beberapa kasus MDS risiko rendah dengan splenomegali,
terjadi trombositopenia yang disebabkan oleh kerusakan
perifer. Pada kondisi ini, disarankan dilakukan splenektomi
untuk meningkatkan prognosisnya.5 Tulisan ini melaporkan
pasien MDS multi lini dengan splenomegali, suatu kondisi
yang jarang terjadi, dan mengalami perbaikan keluhan maupun
parameter hematologi dengan tindakan splenektomi total,
suatu tindakan yang jarang dilakukan terutama di Indonesia.
ILUSTRASI KASUS
Pada tahun 2015, seorang wanita berusia 55 tahun
datang ke klinik hematologi untuk kontrol karena diketahui
mengalami trombositopenia 90/mm3 saat menjalani operasi
hemoroidektomi 1 tahun sebelumnya. Saat datang pasien
dalam kondisi umum yang baik, tanpa manifestasi perdarahan
dan tanpa organomegali. Pemeriksaan darah menunjukkan
hemoglobin 11,3 gr/dl, leukosit 3,7/ μL, trombosit 71/ μL.
Pemeriksaan morfologi darah tepi didapatkan hasil eritrosit
normositik normokromik, lekosit dan trombosit menurun
disertai gambaran infeksi/inflamasi. Pasien dilakukan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang untuk melacak penyebab
bisitopenia dengan hasil didapatkan jumlah sel ketiga lini
mencukupi dimana ditemukan gambaran megakariosit dan
disgranulasi trombosit pada lini trombopoeitik, pada lini
eritropoeitik didapatkan sel eritrosit berinti (NRBC, nucleated
red blood cell) dan lini granulopoeitik ditemukan mieloblast
3%, promielosit 11%, mielosit 2%, metamielosit 12%, stab
15%, segmen 22%, monoblast 1%, promonosit 1%, monosit
4%, eosinofil 6%. Gambaran lainnya didapatkan displasia
promielosit, sel pseudopelger heuet, limfoblast 1%, dan sel
plasma 2%. Kesimpulan hasil BMP adalah MDS dengan
sitopenia refrakter multi lini. Pasien tidak mengalami keluhan
dan direncanakan monitor berkala. Pasien juga menderita
diabetes mellitus (DM) dengan pemantauan glukosa darah
terkontrol dengan terapi metformin dan sulfoniluria.
Pada 3 tahun setelah terdiagnosis MDS pasien
memeriksakan diri karena merasa mudah lelah dan perut kiri
atas membesar. Pasien menyangkal keluhan demam, gangguan
buang air kecil dan besar, perdarahan dan badan kuning.
Pasien mengalami penurunan berat badan yang ringan yaitu
1 kg dalam 1 bulan terakhir. Pemeriksaan fisik mendapatkan
splenomegali. Pemeriksaan laboratorium mendapatkan Hb
9 gr/dl, angka leukosit 3 x103/mm3 dan trombosit 65 x103/
mm3. Hitung jenis leukosit mendapatkan jumlah segmen 60%,
stab 26%, monosit 8.6%, eosinophil 4.3% dan basophil 0.7%.
Pemeriksaan USG abdomen mendapatkan splenomegali dan
mencurigai gambaran sirosis hati namun setelah dikonfirmasi
dengan pemeriksaan MRI abdomen didapatkan hasil
splenomegali dengan kondisi hati tak ada kelainan.
Pasien mendapatkan terapi siklosporin-A dengan
dosis 2x50 mg selama 1 tahun. Pemantauan hasil pemeriksaan
hematologi berkesan bisitopenia dengan Hb berkisar 8-9,5
gr/dl dan trombosit 60-90 x 103/mm3. Pasien tidak pernah
mengalami perdarahan spontan namun merasa mudah lelah
dan terganggu karena perut terasa penuh dan nyeri di perut
kiri atas. Diskusi antara dokter dengan pasien membicarakan
kemungkinan tindakan splenektomi untuk mengatasi
keluhan anemia dan perut nyeri akibat splenomegali. Pasien
menyetujui tindakan splenektomi dan dilakukan splenektomi
total.
Pasien mendapatkan transfusi darah merah sebelum
operasi dengan hasil pemeriksaan laboratorium pre operatif
adalah Hb 9.8 gr/dl, leukosit 2.7x103 /mm3 dan trombosit 54
x 103/ mm3. Pemeriksaan glukosa darah 220 gr/dl, fungsi hati
dan ginjal menunjukkan hasil normal serta serologi untuk
virus hepatitis B negatif. Profil koagulasi mendapatkan PT
19,2 detik (kontrol 13,5), INR 1,46, APTT 32,9 detik (kontrol
29,7). Pasien tidak mengalami komplikasi perdarahan dan
infeksi paska splenektomi total selama masa rawat di rumah
sakit selama 9 hari.
Pemantauan paska operasi mendapatkan selama 10
bulan paska splenektomi pasien dalam kondisi fisik baik dan
parameter hematologi normal dengan rerata Hb 11.2 gr/
dl, leukosit 5.9-6.5 x 103/ mm3, trombosit 320-398 x103/
mm3. Pasien dapat menjalankan aktifitas sehari-hari dengan
kualitas hidup yang baik. Namun pada bulan ke-11 paska
splenektomi pasien kembali mengeluhkan mudah lelah dan
hasil pemeriksaan darah menunjukkan Hb 8 gr/dl dengan
leukosit dan trombosit tetap normal.
DISKUSI
Splenektomi adalah prosedur yang umum dilakukan
pada pasien dengan berbagai gangguan hematologis. Namun
tindakan splenektomi pada MDS jarang dilakukan meskipun
terjadi sitopenia berat.3 Penelitian Bickenbach melaporkan 381
pasien yang dilakukan splenektomi, terdapat 9,7% diantaranya
dengan diagnosis MDS sedangkan diagnosis lainnya adalah
limfoma non Hodgkin (49,3%), limfoma Hodgkin (2,4%),
leukemia limfositik kronik (13,1%), leukemia mielositik
kronik (3,9%), leukemia mieloblastik akut (2,4%), leukemia
limfoblastik akut (0,5%), ITP (4,5%), anemia hemolitik (2,6%),
sferositosis herediter (0,8%) dan lain-lain (9,4%).6 Sedangkan
penelitian Rialon melaporkan 89 pasien dengan kelainan
hematologi yang menjalani splenektomi terdiri atas 8%
dengan MDS, 10% leukemia akut mieloblastik, 69% penyakit
mieloproliferatif, dan 13% dengan penyakit mielodisplastik–
mieloproliferatif.7
Lien berperan penting dalam sistem hematologi dan
imunologi. Lien sebagai bagian dari sistem retikulo-endotel
dan berperan utama dalam respons imunologis segera terhadap
antigen dalam darah. Lien bertanggung jawab untuk membuat
antibodi dan menghilangkan bakteri, sel tua, sel darah yang
dilapisi antibodi dan yang rusak. Lien terlibat dalam gangguan
hematologi melalui penghancuran eritrosit dimana secara
intrinsik eritrosit abnormal atau yang dilapisi antibodi, secara
dini akan dihancurkan oleh makrofag lien. Lien juga berfungsi
sebagai tempat berkumpulnya 30-40% trombosit dari sirkulasi
dan memainkan peran dalam regulasi volume plasma.8
Open Access: www.jpdunud.org 3
ARTIKEL ASLI
Print ISSN: 2580-2925
Online ISSN: 2580-2933
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine
Volume 4, No 1: 2020 ; 1-4
Lien yang abnormal menimbulkan dua sindrom
utama yaitu hipersplenisme dan splenomegali simtomatik.
Hipersplenisme mengacu pada anemia, neutropenia dan atau
trombositopenia yang timbul secara tunggal atau kombinasi
sebagai akibat secara langsung dari pembesaran lien apa
pun penyebabnya. Suatu penelitian retrospektif menyatakan
bahwa trombositopenia karena hipersplenisme terjadi karena
sebagian besar trombosit terisolasi dalam lien sehingga
sitopenia akan terkoreksi paska splenektomi. Penjelasan lain
menyatakan trombosit yang terperangkap dalam lien dapat
mencapai 98% dari angka total. Lien juga dapat mempersingkat
kelangsungan hidup trombosit. Sedangkan neutropenia
pada hipersplenisme sangat mungkin sebagai akibat dari
marginalisasi granulosit ke dalam pembuluh darah besar lien.8
Splenomegali simtomatik paling sering terjadi
pada gangguan limfoproliferatif dan mieloproliferatif.
Peningkatan metabolisme akibat gangguan hematologi
ini dapat menyebabkan penurunan berat badan, demam,
hiperhidrosis dan nyeri kuadran kiri atas yang mungkin
berhubungan dengan penurunan aliran darah di lien dan
menyebabkan infark.8 Suatu laporan memaparkan 94% pasien
memiliki simtom akibat splenomegali yaitu nyeri perut (63%),
perut terasa penuh (45%), rasa lemah (65%) dan berat badan
menurun (38%). Paska splenektomi sebanyak 52% pasien pada
polulasi tersebut mengalami perbaikan gejala.7
Bickenbach melaporkan bahwa indikasi melakukan
splenektomi pada kelainan hematologi adalah adanya
trombositopenia persisten, anemia refrakter, keluhan akibat
splenomegali, tujuan diagnostik, sebagai terapi primer
maupun terapi antara sehingga memungkinkan pemberian
terapi lanjutan.6 Splenektomi pada pasien dengan MDS
merupakan pilihan terapi yang sangat jarang dilakukan.
Dalam kebanyakan kasus, splenektomi diindikasikan untuk
pasien MDS dengan trombositopenia terkait imun. Analisis
data penelitian selama beberapa tahun menyimpulkan
bahwa splenektomi masih merupakan pilihan yang memadai
untuk bentuk-bentuk MDS yang berbeda, terutama bentuk
hipoplastik sumsum tulang dengan sel blas kurang dari 10%,
refrakter terhadap pengobatan imunosupresif awal, refrakter
terhadap transfusi.9 Indikasi splenektomi pada pasien ini
adalah keluhan mudah lelah akibat anemia refrakter dan rasa
penuh di perut karena splenomegali.
Penelitian di Rusia melaporkan hasil tindakan
splenektomi pada 33 pasien dengan MDS. Keluaran paska
splenektomi adalah peningkatan sitopenia yang menetap
sebesar 48%, penurunan ketergantungan transfusi 42% dan
bebas transfusi 6%.9 Pasien ini mengalami bebas keluhan
dengan kualitas hidup yang baik dan parameter hematologi
yang normal paska splenektomi selama 11 bulan. Setelahnya
pasien mengalami anemia kembali.
Persiapan pre operatif untuk splenektomi disesuaikan
dengan protokol di tiap pemberi layanan. Laporan
menyebutkan pasien mendapatkan secara rutin vaksin
Pneumococcus polivalen, Meningococcus dan Haemophilus
influenzae minimal 3 minggu sebelum splenektomi. Semua
pasien mendapatkan antibiotik profilaksis dengan penisilin
oral setelah splenektomi.7 Pasien ini tidak mendapatkan
vaksin pra operatif karena belum ada kebijakan di rumah sakit
tempat perawatan dan masalah ketersediaan vaksin. Pasien
mendapatkan antibiotik berspektrum luas selama perioperatif.
Komplikasi jangka pendek paska splenektomi
diantaranya perdarahan, tromboemboli, abses subfrenik
dan infeksi (overwhelming post splenectomy infection, OPSI).8
Laporan penelitian Rialon menyebutkan komplikasi 30 hari
paska splenektomi berdasar skor Clavien–Dindo pada 89
pasien dengan kelainan hematologi sebanyak 38%, dimana 2%
pasien mengalami infeksi luka operasi, 1% emboli pulmo, 10%
trombosis vena porta, 11% pneumonia atau infeksi saluran
kemih, 6% abses intra abdomen, 6% kebocoran drainase dan
13% mengalami perdarahan yang mengharuskan operasi
perbaikan.7 Pasien ini menjalani rawat inap di rumah sakit
saat tindakan operasi dengan masa cukup pendek dan tidak
mengalami komplikasi paska operasi.
Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan
peningkatan risiko untuk terjadi kanker spesifik pada
pasien yang menjalani splenektomi karena non-trauma,
meskipun belum bisa mengesampingkan faktor lain seperti
penyakit yang mendasari dan kebiasaan gaya hidup seperti
merokok.8 Sebuah laporan kasus mendapatkan seorang pasien
MDS dengan anemia refrakter yang kemudian mengalami
lekositosis dan trombositosis reaktif paska splenektomi
sehingga mendapatkan hidroksi urea. Penulis ini berpendapat
bahwa splenektomi akan memberikan keluaran yang buruk
bila dilakukan pada pasien MDS dengan splenomegali tanpa
trombositopenia.10
Penelitian Rialon melaporkan kematian paska
splenektomi 30 hari mencapai 18%. Sebagian besar pasien
meninggal karena kegagalan kardiorespirasi (38%), kegagalan
organ multi sistem (31%), infeksi/sepsis (13%), sindrom
distres pernafasan akut (6%), hematom subdural (6%), dan
sebab yang tak diketahui (6%). Faktor risiko yang berkaitan
dengan kematian 30 hari meliputi anemia, trombositopenia,
albumin <3 g/dl dan komorbid kardiovaskuler. Variabel
yang menurunkan kesintasan dari analisis multivariat adalah
diagnosis MDS/MPN, anemia, angka leukosit abnormal dan
hipoalbuminemia <3 g/dl. Kesintasan hidup pasien paska
splenektomi 1 tahun, 5 tahun dan 10 tahun sebesar 44%,
21%, dan 4%. Angka median kesintasan pasien adalah 278
hari paska splenektomi.7 Penelitian Taner menyebutkan
bahwa faktor risiko penurunan kesintasan umum pasien
dengan berbagai kelainan hematologi termasuk MDS adalah
anemia dengan ketergantungan transfusi sebelum operasi dan
trombositopenia.11 Sedang penelitian Bickenbach mendapatkan
status performa yang buruk dan trombositopenia merupakan
faktor risiko yang meningkatkan mortalitas.6
RINGKASAN
Pasien MDS merupakan salah satu penyakit kelainan
hematologi yang cukup banyak. Keluhan tersering pasien
adalah terkait sitopenia dan splenomegali. Telah dilaporkan
4 Open Access: www.jpdunud.org
ARTIKEL ASLI
Print ISSN: 2580-2925
Online ISSN: 2580-2933
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine
Volume 4, No 1: 2020 ; 1-4
This work is licensed under a
Creative Commons Attribution 4.0
International License.
kasus seorang pasien MDS yang disertai dengan splenomegaly
dan trombositopenia. Pasien mendapat tindakan splenektomi.
Setelah splenektomi, pasien mengalami perbaikan keluhan
dan kondisi. Splenektomi merupakan salah satu pilihan terapi
yang dapat dipertimbangkan pada kondisi pasien refrakter
terhadap terapi sebelumnya atau karena keterbatasan pilihan
terapi medikamentosa yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
1. Steensma DP. Myelodysplastic syndromes current treatment algorithm
2018. Blood Cancer Journal. 2018;8(47).
2. Nalluru SS., Jindal V, Piranavan P. et al. Splenic infarction secondary to
myelodysplastic syndrome: unravelling more etiologies. AME Case Rep.
2019;3:31.
3. Kraus MD. Splenic histology and histopathology: an update. Semin
Diagn Pathol. 2003;20(2):84-93.
4. Shimomura Y, Hara M, Katoh D, dkk. Enlarged spleen is associated
with low neutrophil and platelet engraftment rates and poor survival
after allogeneic stem cell transplantation in patients with acute myeloid
leukemia and myelodysplastic syndrome. Ann Hematol. 2018;97(6):1049-
1056.
5. Bourgeois E, Caulier MT, Rose C, dkk. Role of splenectomy in
the treatment of myelodysplastic syndromes with peripheral
thrombocytopenia: a report on six cases. Leukemia. 2001;15(6):950-953.
6. Bickenbach KA, Gonen M, Labow DM, dkk. Indications for and efficacy
of splenectomy for haematological disorders. Br J Surg. 2013;100:794–
800.
7. Rialon KL, Speicher PJ, Ceppa EP, dkk. Outcomes following
splenectomy in patients with myeloid neoplasms. J Surg Oncol. 2015 Mar
15;111(4):389-95
8. Weledji P. Benefits and risks of splenectomy. Int J Surg . 2014;12(2):113-
119
9. Kokhno AV, Mikhailova EA, Parovichnikova EN, dkk. Splenectomy in
Patients with MDS. Blood. 2010;116(21):1879.
10. Uchida R, Nakano S, Namura K, dkk. Is splenectomy a contraindication
for patients with myelodysplastic syndromes complicated by
splenomegaly?. Ann Hematol. 2006;85(3):198-199.