Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
338
AFoSJ-LAS, Vol.2, No.2, 15 Juni 2022 (hal:338-346) e-ISSN.2776-2408 ; p-ISSN 2798-9267
All Fields of Science J-LAS
Jurnal Penelitian
Availabel Online: https://j-las.lemkomindo.org/index.php/AFoSJ-LAS/index
Pengaruh Oligarki Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
The Effect of Oligarchy on Indonesia's Economic Growth
Nirwana Br. Bangun1, Teja Rinanda2*
1Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia
2STIE Graha Kirana
Corresponding author*: trinanda88@gmail.com
Abstrak
Oligarki ekonomi, atau penguasaan aset-aset kekayaan negara kepada segelintir orang
atau kalangan yang dekat dengan pihak kekuasaan, sangat berbahaya karena
berpotensi menghambat pertumbuhan perekonomian nasional. Adapun hasil dari
pembahasan karya ilmiah ini yaitu pengaruh oligarki terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia berupa terjadinya ketimpangan perekonomian masyarakat. Hasil bahasan
pengamat ekonomi indonesia rasionya yaitu per September 2021 sebesar 0,381, rasio
ketimpangan ini menurun dari Maret 2021 yang sebesar 0,384 dan juga lebih rendah
dibandingkan rasio pada September 2020 yang sebesar 0,385. Indeks ketimpangan ini
makin mendekati nol makin menunjukkan tingkat kesenjangan yang makin menyempit.
Kalau mendekati satu, kesenjangan tinggi. Namun, Koefisien ketimpangan ini pun
belum tentu mencerminkan tingkat ketimpangan di Indonesia yang sebenarnya.
Ketimpangan terkait erat dengan kemiskinan karena secara mendasar adalah indikator
kemiskinan relatif, yaitu kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Rendahnya
ketimpangan, atau semakin meratanya distribusi pendapatan, tentunya merupakan
salah satu agenda penting pembangunan ekonomi.
Kata Kunci: Pengaruh; Oligarki; Pertumbuhan Ekonomi; Indonesia.
Abstract
Economic oligarchy, or the control of state assets to a handful of people or those who are
close to those in power, is very dangerous because it has the potential to hamper national
economic growth. The results of the discussion of this scientific work are the influence of
oligarchy on Indonesia's economic growth in the form of economic inequality in society.
The results of the discussion by Indonesian economic observers are that as of September
2021 it is 0.381, this inequality ratio has decreased from March 2021 which was 0.384 and
is also lower than the ratio in September 2020 which was 0.385. This inequality index is
getting closer to zero, the more it shows the level of inequality is getting narrower. If it is
close to one, the gap is high. However, this inequality coefficient does not necessarily
reflect the actual level of inequality in Indonesia. Inequality is closely related to poverty
because it is basically an indicator of relative poverty, namely the gap between the rich
and the poor. The low inequality, or the more even distribution of income, is certainly one
of the important agendas of economic development.
Keywords: Influence; Oligarchy; Economic growth; Indonesia.
339
PENDAHULUAN
Arti oligarki menurut Winters yang merupakan professor dari Northwestern
University menjelaskan mengenai oligarki yang dibagi dalam dua dimensi.
Pertama oligarki berdasarkan kekusaan serta kekayaan material yang disebut sulit untuk
dipecah ataupun seimbangkan.
Kedua, oligarki jangkauan kekuasaan yang cukup luas dan sistemik, walaupun memiliki
status minoritas dalam suatu kelompok ataupun komunitas. Karena itulah arti oligarki
menurut Winters menjelaskan bahwa kekuasaan tersebut sulit dipecah dan jangkauannya
harus sistemik.
ciri-ciri oligarki yaitu:
1) Suatu kelompok kecil di masyarakat mengendalikan dan memegang kekuasaan
berdasarkan beberapa faktor yakni seperti kekayaan material, keluarga atau yang
setara lainnya.
2) Terjadi kesenjangan di masyarakat yang tidak merata dalam hal kekayaan material.
Karena itulah penguasa akan semakin kaya dan kemiskinan bisa meningkat.
3) Lekat dengan uang dan kekuasaan. Dengan kata lain ada uang apapun bisa
dilakukan termasuk mendapatkan kekuasaan.
4) Hanya mempertahankan kekayaan dengan kekuasaan yang sudah diperoleh.
Kelebihan dan Kekurangan Oligarki
Seperti halnya bentuk pemerintahan suatu negara lainnya, ada sejumlah kelebihan
dan kekurangan oligarki. Sebab itulah perlu tahu juga apa saja arti oligarki beserta
kelebihan dan kekurangannya. berikut ini alasan mengapa oligarki masih tetap ada hingga
beberapa negara memilih untuk tidak menerapkannya.
Kelebihan Oligarki yaitu:
1) Mendorong masyarakat untuk diberi kebebasan melakukan inovasi dan bekerja.
2) Kekuasaan yang terpusat sehingga memudahkan pemerintah dalam mengambil suatu
keputusan.
Kekurangan Oligarki yaitu:
1) Memicu konflik dan pemberontakan dari masyarakat akibat sistem oligarki yang
tidak seimbang.
2) Kekuasaan akan terus dikuasai oleh kelompok elit tanpa ada pergantian. Karena
segala cara dilakukan agar bisa mempertahankan kekuasaan atau jabatan mereka di
pemerintahan.
3) Penguasa akan semakin kaya.
Terkait adanya pengaruh oligarki terhadap perekonomian di indonesia penulis
melakukan penelitian melalui mencari sumber data valid tentang hal tersebut.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu Metode penelitian
Survey. menurut Sugiyono penelitian survey berarti penelitian terhadap populasi besar
atau kecil dengan mempelajari sampel data yang berasal dari populasi. Tujuannya adalah
untuk menghadirkan kejadian yang relatif, distribusi, dan berkaitan erat antar variabel
psikologis dan juga sosiologis.
340
HASIL DAN PEMBAHASAN
Oligarki ekonomi di Indonesia berkorelasi positif dengan ketimpangan dan
disinyalir menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan ekonomi, kata Direktur Eksekutif
Megawati Institute, Arif Budimanta dalam diskusi "Bahaya Oligarki Ekonomi" yang digelar
Megawati Institute di Jakarta, Rabu (27/12/2017).
Oligarki ekonomi, atau penguasaan aset-aset kekayaan negara kepada segelintir
orang atau kalangan yang dekat dengan pihak kekuasaan, sangat berbahaya karena
berpotensi menghambat pertumbuhan perekonomian nasional.
Menurut Arif, oligarki ekonomi dapat menerangkan mengapa sejak reformasi yang
diharapkan dapat menegakkan demokratisasi serta keadilan ekonomi, namun yang terjadi
antara lain adalah fenomena meningkatnya ketimpangan, terindikasi dari meningkatnya
Ketimpangan dalam berbagai bidang, termasuk penguasaan lahan atau tanah hingga aset
keuangan.
Hasilnya, ujar dia, pada saat ini kekayaan terkonsentrasi pada segelintir penduduk,
bahkan sejumlah kajian juga menunjukkan bahwa 1% rumah tangga terkaya di Indonesia
menguasai 45,4% dari total kekayaan negara.
Ia juga mengingatkan bahwa oligarki terjadi karena tingkat pengembalian kapital
pelaku ekonomi lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi nasional, dan ada unsur
patrionalisme kapitalisme, yaitu penguasaan modal yang berbasis kepada kekuatan aset
yang dimiliki sekelompok atau jaringan keluarga, dan diwarisi dari waktu ke waktu.
"Oligarki juga berasosiasi dengan pemerintah yang lebih birokratis dan lebih
intervensionis, juga dengan perkembangan pasar finansial yang kurang berkembang.
Penguasaan di tangan oligarki dapat merusak perkembangan institusi yang penting bagi
pertumbuhan ekonomi," ucapnya.
Untuk itu, Arif merekomendasikan agar pemerintah mempercepat redistribusi aset
dan akses untuk meningkatkan penguasaan aset masyarakat bawah, mempercepat
pelaksanaan kebijakan dana desa, menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian
nasional, dan perlunya fokus menjadikan UKM sebagai tulang punggung perekonomian
seperti yang terjadi di Taiwan, Jerman, dan negara-negara di kawasan Skandinavia.
Sementara itu, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf
menuturkan, oligarki cenderung membuat pasar terkonsentrasi yang mengakibatkan
praktik monopoli dan kartel atau persekongkolan antarusaha dalam mengatur harga
sehingga konsumen membayar dalam tingkat harga yang tidak wajar.
Sebelumnya, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Bambang Brodjonegoro menegaskan penurunan kemiskinan dan ketimpangan masih akan
menjadi prioritas pada 2018.
"Pemerintah akan melaksanakan strategi kebijakan yang menyasar 40% penduduk
termiskin, dengan perhatian khusus pada penyediaan jaminan dan bantuan sosial tepat
sasaran, pemenuhan kebutuhan dasar, dan perluasan akses usaha mikro, kecil, dan
menengah," katanya pada Dialog Akhir Tahun dan Temu Media "Outlook Pembangunan
2018: Tantangan pada Tahun Politik" di Gedung Bappenas, Jakarta.
setiap tanggal 1 Oktober, Indonesia biasanya berkabung untuk memperingati Hari
Kesaktian Pancasila. Sebuah ideologi “tengah” yang telah memosisikan Indonesia sebagai
entitas berbeda dan independen dari tangan-tangan kolonialis-imperialis, komunis
agresionis, maupun dari tangan-tangan separatis invasionis yang ingin menyetir arah
341
bangsa sesuai keyakinan komunal yang di-fait accompli sebagai keyakinan yang layak
secara nasional. Setiap kali bertemu dengan tanggal tersebut, Pancasila diposisikan kembali
sebagai “simbol yang terselamatkan” karena “konon” ketika itu ada sebuah simbol baru
yang “konon pula katanya” super agresif secara domestik dan ekstra ekspansionis secara
internasional, yang ingin menurunkan gambar burung Garuda dari dinding Istana Negara.
Sehingga spirit ideologis plus nostalgis tertempel kuat pada hari itu dan hampir pasti akan
hilang begitu saja sehari setelahnya karena “sindrom memori pendek” yang sudah biasa
mendarah daging di dalam diri anak bangsa pascamerdeka. Dan memang begitulah
sentimen ideologis bekerja, butuh patok-patok waktu dan lempengan-lempengan ingatan
untuk menggelorakannya.
Terlepas dari malapetaka yang kemudian berhasil mengeramatkan tanggal 1
Oktober tersebut, nampaknya saat ini agak jarang kita berbicara tentang Pancasila sebagai
sebuah cita-cita demokrasi ekonomi yang sangat diidam-idamkan oleh para pendiri negara
sedari dulu, sebut saja, misalnya, yang paling dominan adalah Bung Hatta. Karena itu, ada
baiknya kebiasaan bernostalgia secara ideologis tersebut kita alihkan kepada ingatan nilai-
nilai demokrasi ekonomi yang tersirat komprehensif di dalam ajaran Pancasila, agar bisa
menjadi “patok ideologis” bagi penguasa-penguasa baru yang bermunculan, saat ini
maupun yang akan datang, di daerah maupun di level nasional.
Secara umum, sudah menjadi imperatif ideologis bagi bangsa Indonesia untuk
berjuang tanpa lelah menjaga irama demokratisasi sampai ke titik konsolidasi sebagaimana
diamanatkan sila keempat Pancasila. Kemudian, jika irama demokrasi sudah relatif stabil,
baik secara institusional maupun prosedural, maka sila kelima Pancasila akan
menyempurnakannya (keadilan sosial). Dengan sederhana bisa diartikan bahwa
dibutuhkan komitmen demokrasi yang tinggi, konsisten, dan berkelanjutan, untuk
memperjuangkan berdiri tegaknya keadilan sosial dan bertumbuhkembangnya
kesejahteraan masyarakat. Dengan lain perkataan, segala daya upaya untuk meningkatkan
kualitas demokrasi sejatinya harus pula berbanding lurus dengan konsistensi dan
sustainabilitas peningkatan kualitas keadilan sosial untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Idealitas ideologis semacam ini tentu sekadar netral di atas kertas, namun
cenderung distortif dan reduktif pada tataran teknis operasionalnya. Kita semua memahami
bahwa demokratisasi pastinya bukanlah sekadar urusan penyelenggaraan pemilihan umum
yang jujur dan adil semata (procedural democracy) alias "schumpeterian democracy".
Namun juga soal persamaan kesempatan beserta segala usaha untuk mendukung kesamaan
kapasitas semua warga negara di segala bidang persaingan
(pemberdayaan/empowerment). Artinya, persamaan kesempatan tidak hanya soal aturan
main yang fair (fairplay), tapi juga harus diiringi dengan upaya-upaya untuk
menyeimbangkan kapasitas persaingan (playing level capacity), harus ada proteksi untuk
yang tak berdaya dan measurable support untuk yang lemah. Apalagi jika demokratisasi
tersebut berjalan di bawah agenda setting liberalisasi ekonomi dengan panji-panji
globalisasi. Maka pertaruhannya adalah amanat konstitusi yang mengharuskan negara
untuk melindungi segenap tumpah darah dan seluruh rakyat Indonesia.
Liberalisasi ekonomi akan mereduksi kekuasaan negara atas eksistensi pasar (self
regulating market) dan membiarkan dinamika ekonomi bergerak dalam peta buta "invisible
hand" ala Adam Smith. Nah, darwinisme ekonomi semacam ini pada gilirannya akan
memperbesar ketimpangan ekonomi, kerusakan alam, dan mendorong terjadinya alienasi
342
sosial terhadap lapisan masyarakat yang tak berdaya, masyarakat yang terpinggirkan oleh
ganasnya persaingan kehidupan sosial ekonomi. Arti lanjutannya, agenda kesejahteraan
sosial juga akan tersubordinasi ke bawah bayang-bayang kepentingan pihak-pihak yang
kuat atau pemilik modal, bahkan oligarki. Walhasil, Pasal 33 UUD 1945 yang berfungsi
sebagai roh dari demokrasi ekonomi Pancasila akan terus digiring menjauh dari idealitas
konstitusionalnya.
Padahal Bung Hatta sudah berjibaku hampir setengah mati untuk memperjuangkan
Pasal 33 tersebut masuk ke dalam batang tubuh UUD 1945 di tengah-tengah sengitnya
percaturan ideologi antara sayap kiri dan sayap kanan di masa lalu itu. Dan pada akhirnya
beliau bisa mendamaikan keduanya cuma dengan satu pasal plus tiga ayat tersebut. Tentu
spirit yang terkandung di dalamnya tidak hanya berkat andil besar dari moralitas dan
intelektualitas ekonomi seorang Mohammad Hatta saja. Bahkan substansi dalam pasal
tersebut beliau serap dengan sangat brilian dari Tan Malaka sekira dua puluh tahunan
sebelum UUD 1945 ada. Ketika Hatta masih menjadi seorang mahasiswa baru di Belanda,
pada Juli 1922, Ia pernah bertemu dengan Tan Malaka di Berlin, Jerman.
Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Darsono tersebut Hatta mendapatkan
pemahaman awal mengenai interpretasi Tan Malaka terkait “komunisme”, yang notabene
berbeda jauh dengan interpretasi versi Lenin-Stalin. Dalam penjelasan Tan Malaka
mengenai “diktatur proletariat” di pertemuan itu, yang juga sekaligus merupakan kritik Tan
Malaka terhadap interpretasi Lenin- Stalin dan Uni Soviet, Hatta memperoleh kata-kata
yang belakangan menjadi “keramat”, yakni: “Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua
di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”. Ya, kata-kata yang
belakangan menjadi Penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945 itu diserap oleh Hatta dari Tan
Malaka, meski secara redaksional ditampilkan dalam bahasa yang kontekstual dan tidak
tendensius.
Liberalisasi ekonomi yang ingin dipagari oleh pasal Bung Hatta tadi akan membuat
kekuasaan pemerintah (penguasa) menjadi tumpul pada sisi-sisi tertentu dan dialihkan
pada mekanisme dan dinamika pelaku pasar, baik domestik maupun global. Namun
celakanya, di sisi lain, penguasa (atau calon penguasa) kian membutuhkan sumber-sumber
dana alternatif untuk memenangkan kontestasi demokrasi yang semakin mahal. Sehingga
situasi dilematisnya adalah bahwa di satu sisi kekuasaan politik terhadap dinamika
ekonomi relatif konstan, bahkan tak jarang malah berkurang, namun disisi lain aktor-aktor
ekonomi (pengusaha, konglomerasi, oligar) terjun ke arena politik untuk menawarkan
sumber-sumber dana alternatif demi membiayai kontestasi demokrasi (political financing)
yang kian mahal tersebut.
Dalam relasi mutualisme simbiosis semacam itulah barter dan konsesi-konsesi
ekonomi politik dilahirkan (Stein Ringen, Journal Democratization, vol.11, April 2004).
Selanjutnya, di bawah agenda setting seperti itu pula, akhirnya aglomerasi modal hanya
akan berpusat di lingkaran segelintir elite ekonomi (konglomerasi/oligarki) yang mampu
menjamin ketersediaan dana untuk menutupi ongkos kontestasi demokrasi yang super
mahal. Sudah bisa dipastikan, relasi ekonomi politik koruptif seperti itu akan menjadi biang
perlambatan pembangunan dan meningkatkan disparitas antara kalangan berada (the
have) dengan kalangan papa (the have not) alias minimnya pemerataan.
Disparitas pendapatan yang menyakitkan tersebut tentu bukan isapan jempol
belaka. Kian hari, daftar 50 orang terkaya Indonesia berlomba menambah hartanya untuk
343
mengejar peringkat tertinggi versi majalah Forbes, misalnya. Kecepatan penambahan harta
mereka berlipat dibanding peningkatan gaji pekerja atau standar hidup rakyat kebanyakan.
Mereka seolah-olah berlomba mengokupasi kavling demi kavling kekayaan nasional
Indonesia atas nama prestise dan kebanggaan diri, bersamaan dengan pemerintahan yang
kian cenderung berposisi sebagai penjaga pertumbuhan harta kekayaan para oligar demi
lancarnya pembiayaan politik di satu sisi dan konstribusi pada pendapatan negara di sisi
lain. Bahkan pemerintah cenderung berwatak "sosialis" di saat para pembesar bisnis mulai
mengalami "gagal pasar," tapi sangat "liberal kapitalis" kepada rakyat di saat yang sama,
dengan melepas kran-kran proteksi pada bidang dan produk yang semestinya diproteksi
atas nama kepentingan publik.
Skandal BLBI adalah salah satu contoh betapa "sosialis"-nya pemerintah kepada
para pembesar bisnis, atau penanaman modal negara pada BUMN dari tahun ke tahun yang
nominalnya hampir selalu lebih besar ketimbang kontribusi langsung BUMN pada
pendapatan negara. Atau alokasi dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) yang angkanya
jauh lebih besar untuk para pengusaha ketimbang untuk rakyat, plus perundangan-
perundangan baru yang cenderung menaikkan rasa percaya diri para pembesar bisnis
ketimbang kepercayaan diri rakyat kebanyakan. Dalam kacamata ekonomi neoklasik, apa
yang dilakukan pemerintah tentu masih bisa ditoleransi, terutama terkait dengan intervensi
di saat kegagalan pasar (market failure) terjadi. Tapi dalam kacamata pembangunan
(developmentalism), intervensi pemerintah semestinya menghasilkan penguatan
fundamental ekonomi nasional, bukan malah memperbesar pembatas antara rakyat
kebanyakan dengan kelompok oligarki yang kian hari kian leluasa mengokupasi berbagai
lini pengambilan kebijakan publik. Walhasil, fundamental ekonomi Indonesia tetap rapuh,
meskipun disembunyikan secara apik di balik angka-angka makro ekonomi yang moderat.
Pemerintah sangat terobsesi menginjeksikan "virus pemerintah kuat" ke dalam
tubuhnya di satu sisi, tapi gagal membangun pilar Pasal 33 UUD 1945 yang kuat alias gagal
menginjeksikan vitalitas dan keperkasaan bisnis ke dalam BUMN-BUMN yang terkait
dengan hajat hidup orang banyak dan nyaris gagal total menjadikan koperasi sebagai salah
satu tulang punggung perekonomian nasional. Secara politik, meminjam istilah dari John
West dalam bukunya "Asia on the knife edge (2018), demokrasi Indonesia kini hanya tersisa
sebagai “demokrasi dari beberapa, untuk beberapa, dan oleh beberapa.” Sementara secara
ekonomi, meminjam istilah Jeffrey Winters dalam bukunya "Oligarch (2011)," para oligar
yang sebelumnya berpusat di bawah satu tangan Soeharto (Winters menyebutnya Sultanic
Oligarch) kini berkeliaran di dalam sistem ekonomi dan politik yang berpotensi menggeser
demokrasi Pancasila menjadi "criminal democracy." Walhasil, sampai hari ini, demokrasi
Indonesia masih tentang para elite, belum tentang ekonomi Pancasila dan kepentingan
rakyat banyak.
Di tengah Pandemi Covid-19 telah berdampak kepada kondisi sosial ekonomi
masyarakat Indonesia, termasuk kepada ketimpangan di tanah air. Ketimpangan per
September 2021 sebesar 0,381, Ketimpangan ini menurun dari Maret 2021 yang sebesar
0,384 dan juga lebih rendah dibandingkan Ketimpangan pada September 2020 yang
sebesar 0,385. Indeks gini ini makin mendekati nol makin menunjukkan tingkat
kesenjangan yang makin menyempit. Kalau mendekati satu, kesenjangan tinggi. Namun,
Koefisien Gini ini pun belum tentu mencerminkan tingkat ketimpangan di Indonesia yang
sebenarnya.
344
Ketimpangan terkait erat dengan kemiskinan karena secara mendasar adalah
indikator kemiskinan relatif, yaitu kesenjangan antara golongan kaya dan miskin.
Rendahnya ketimpangan, atau semakin meratanya distribusi pendapatan, tentunya
merupakan salah satu agenda penting pembangunan ekonomi.
Bisakah angka koefisien ketimpangan tidak tepat dalam merepresentasikan tingkat
ketimpangan di Indonesia yang sebenarnya? Tentu saja.
Penyebab pertama, angka ketimpangan di Indonesia diukur dari angka pengeluaran
rumah tangga, bukan angka pendapatan. Karena tingkat tabungannya lebih tinggi, tingkat
kekayaan kelompok pendapatan tinggi akan tercatat lebih rendah jika yang dicatat adalah
pengeluarannya. Otomatis, ketimpangan akan terkalkulasi lebih rendah.
Penyebab yang kedua adalah jika data yang digunakan untuk menghitung
ketimpangan tidak akurat dalam merepresentasikan golongan kaya yang melaporkan
pengeluaran lebih kecil dari yang sebenarnya. Under-reporting seperti ini, sangat logis,
akan lebih besar di golongan kaya. Penyebab yang lain adalah jika sampel data survei rumah
tangga (Susenas) kurang mewakili golongan pendapatan tinggi.
Oligarki Akar Ketimpangan
Akar ketimpangan di Indonesia adalah oligarki ekonomi politik, itu fakta, saat politik
yang dirancang oleh para borjuis untuk menopang jalannya ekonomi kapitalistik sebagai
sistem ekonomi yang efektif untuk mengakumulasi kapital orang-orang yang diuntungkan
oleh politik ekonomi. Pola seperti ini tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan banyak
negara-negara demokrasi di dunia.
Para oligark adalah segelintir orang yang punya kekuasaan karena memiliki uang
yang lentur dan serbaguna. Uang berguna membeli barang dan jasa, dan punya status
khusus dalam sumber daya kekuasaan. Formulanya sederhana, orang yang punya banyak
uang, sekaligus punya banyak kekuasaan politik karena barang dan jasa politik juga ada
harganya.
Merunut sejarah, politik ekonomi kita awal kemerdekaan telah menguntungkan
segelintir orang-orang kaya pemilik modal. Program Banteng yang digagas Soekarno
faktanya telah menyiapkan borjuasi nasional. Para borjuasi ini lantas memanfaatkan
momentum ketika ekonomi kita tersambung dengan ekonomi global dan pasar global, lalu
muncul perusahaan-perusahaan multinasional yang menjalankan skema ekonomi
kapitalistik.
Praktek ini membuat kaum elit semakin diuntungkan. Kekayaan material mereka
terakumulasi sedemikian rupa sehingga muncul lah oligarki-oligarki pribumi yang
tersambung dengan bisnis oligarki di negara-negara lain, yang semakin memperparah
konsentrasi kekayaan.
Kondisi ini oleh Winters, terjadi karena adanya ketimpangan dan konsentrasi
kekayaan. Karena seseorang sangat kaya raya sementara orang lain sangat miskin, maka
orang-orang yang sangat kayalah yang diuntungkan secara politik. Ia memiliki sumber daya
material untuk membeli massa, untuk berkampanye memenangkan posisi yang dipilih
dalam pemilu yang bebas dan adil, atau untuk membeli figur penentu di kekuasaan untuk
melancarkan bisnis-bisnis yang membuatnya berlimpah kekayaan material.
345
Omnibus Law Monster Oligarki
Undang - Undang Cipta Kerja bagai Monster oligarki, wajah kekuasaan pemerintah
saat ini yang mencengkram dan menguasai berbagai sendi kehidupan masyarakat, seperti
energi, pertanian, kebebasan berpendapat, hingga kehidupan masyarakat adat.
Satu tahun pasca-UU Ciptaker disahkan, beberapa konflik lahan yang melibatkan
masyarakat melawan perusahaan telah muncul ke permukaan. Sejumlah konflik lahan
antara warga dengan masyarakat. Misalnya, kasus gugatan tiga perusahaan sawit dengan
Bupati Sorong, Papua; tambang emas di Pulau Sangihe; perebutan lahan yang berbuntut
bentrok antara warga dengan aparat, di Wadas, Jawa Tengah.
Sejumlah konflik tersebut merupakan dampak dari pengesahan UU Ciptaker yang
telah memberikan peran ganda kepada para elite politik; sebagai pejabat publik sekaligus
pebisnis.
Hari ini, Omnibus law telah merubah total wajah Indonesia melalui satu ketukan
pengesahan yang menyederhanakan 80 undang-undang dalam 1.244 pasal. Wajah negeri
investasi yang dicita-citakan oleh Oligarki akan terwujud melalui aturan ini.
Ironis memang saat kepentingan investasi menjadi sebuah urgensi bagi pemerintah,
mengalahkan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia, perwujudan kesejahteraan
buruh, masyarakat marjinal, miskin kota, petani dan nelayan. Saat ini, kita sekali lagi melihat
bagaimana oligarki politik menumbuhkan dengan cepat kaum borjuis, memperlebar
kemiskinan di Indonesia.
KESIMPULAN
Dari bahasan di atas diketahui pengaruh oligarki terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia berupa terjadinya ketimpangan perekonomian masyarakat. Hasil bahasan
pengamat ekonomi indonesia rasionya yaitu per September 2021 sebesar 0,381, rasio
ketimpangan ini menurun dari Maret 2021 yang sebesar 0,384 dan juga lebih rendah
dibandingkan rasio pada September 2020 yang sebesar 0,385. Indeks ketimpangan ini
makin mendekati nol makin menunjukkan tingkat kesenjangan yang makin menyempit.
Kalau mendekati satu, kesenjangan tinggi. Namun, Koefisien ketimpangan ini pun belum
tentu mencerminkan tingkat ketimpangan di Indonesia yang sebenarnya. Ketimpangan
terkait erat dengan kemiskinan karena secara mendasar adalah indikator kemiskinan
relatif, yaitu kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Rendahnya ketimpangan, atau
semakin meratanya distribusi pendapatan, tentunya merupakan salah satu agenda penting
pembangunan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Jun Surjanti, Musdholifah, Budiono (2018), Edisi belajar teori ekonomi : (pendekatan
mikro) berbasis karakter, Penerbit: Yogyakarta : Deepublish.
Arwin (2020), Pengantar Ekonomi Mikro, penerbit: Cendekia Publisher.
Sugiyono. (2013: 11). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.CV
Sugiyono. Statistik untuk Penelitian, (Bandung: Alfabeta, 2005), hal.27 dan hal.29.
Elazhari, 2019. Policy In the development of social development in society: Study of
implementation of regional regulation number 4 of 2008 concerning handling of
homeless and beggar in the …
Muhammad Rajali, Elazhari, Khairuddin Tampubolon, (2021). Pencocokan Kurva Dengan
346
Metode Kuadrat Terkecil dan Metode Gauss. AFoSJ-LAS: Journal All Field of Science J-
LAS, 1(1), 14-22.
From: https://j-las.lemkomindo.org/index.php/AFOSJ-LAS/article/view/9
Khairruddin Tampubolon, & Koto, F. R. (2019). Analisis Perbandingan Efisiensi Kerja Mesin
Bensin Pada Mobil Tahun 2000 Sampai Tahun 2005 Dan Mobil Tahun 2018 Serta
Pengaruh Terhadap Konsumsi Bahan Bakar Dan Cara Perawatannya Sebagai
Rekomendasi Bagi Konsumen. Jmemme: Journal Of Mechanical Engineering,
Manufactures, Materials And Energy, 3(2), 76-83.
From Http://Ojs.Uma.Ac.Id/Index.Php/Jmemme/Article/View/2773
Wispi Elbar, Khairuddin Tampubolon, (2020), Pengaruh Campuran Silikon Pada Aluminium
Terhadap Kekerasan Dan Tingkat Keausannya, Jmemme: Journal Of Mechanical
Engineering, Manufactures, Materials And Energy, 4(2), 183-196.
From: http://ojs.uma.ac.id/index.php/jmemme/article/view/4070
Khairuddin Tampubolon, Fider Lumbanbatu (2020), Analisis Penggunaan Knalpot
Berbahan Komposit Untuk Mengurangi Tingkat Kebisingan Pada Motor Suzuki Satria,
Jmemme: Journal Of Mechanical Engineering, Manufactures, Materials And Energy,
4(2), 174-182.
From: http://www.ojs.uma.ac.id/index.php/jmemme/article/view/4065
Roswirman Roswirman, ELAZHARI(2021) Pengaruh Implementasi Manajemen Mutu
Terpadu dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Guru pada Era New Normal di SMK
Swasta PAB 2 Helvetia; AFoSJ-LAS (All Fields of Science J-LAS),V.1,no.4,2021 (hal.316-
333).
Elazhari, 2021. Pengaruh Motivasi Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru Di SMP Negeri 2
Tanjung Balai, AFoSJ-LAS: Journal All Field of Science J-LAS, 1(1), 44-53. From:
https://j-las.lemkomindo.org/index.php/AFOSJ-LAS/article/view/7
https://economy.okezone.com/read/2017/12/27/320/1836439/oligarki-picu-
ketimpangan-dan-hambat-pertumbuhan-ekonomi-nasional
Jannus TH Siahaan (2022); Ketika Oligarki Mengakali Ekonomi Pancasila; URL:
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/08/08100051/ketika-oligarki-
mengakali-ekonomi-pancasila?page=all.
Dr. Noviardi Ferzi (2022), Oligarki Ekonomi Politik Kaum Borjuis, URL:
https://jamberita.com/read/2022/02/09/5972110/gini-ratio-dalam-oligarki-
ekonomi-politik-kaum-borjuis/