Content uploaded by Husain Latuconsina
Author content
All content in this area was uploaded by Husain Latuconsina on Feb 17, 2023
Content may be subject to copyright.
(JRPK) JURNAL RISET PERIKANAN DAN KELAUTAN e-ISSN 2686-0813
Volume 4, No 2, Desember 2022 Diterima: 5 Desember 2022
Hal 476 - 486 Disetujui: Desember 2022
476
Kemampuan Tumbuhan Kayu Apu (Pistia stratiotes) dan Eceng Gondok
(Eichhornia crassipes) Dalam Menurunkan Kadar Amoniak pada Limbah
Budidaya Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus Var)
Ability of Water Lettuce (Pistia stratiotes) and Water Hyacinth (Eichhornia
crassipes) to Reduce Ammoniac Levels of North African Catfish
Cultivation Waste (Clarias gariepinus Var)
Oleh:
Evatus Silviana Caesari Putri1*, Ratna Djuniwati Lisminingsih2, Husain Latuconsina3
1,2,3 Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Islam Malang
email correspondency: caesarsilvi@gmail.com
Abstrak
Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus Var) merupakan galur ikan lele baru hasil rekayasa genetika melalui
silang balik yang paling banyak dibudidayakan masyarakat. Apabila kegiatan budidaya tidak dikelola dengan
baik, maka berpotensi mencemari lingkungan perairan melalui masukan limbah budidaya. Air limbah budidaya
memiliki kandungan amoniak yang dapat menyebabkan kualitas air menurun. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kemampuan tanaman kayu apu (Pistia stratiotes) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes) sebagai
agen fitoremediasi pada limbah budidaya Ikan Lele Sangkuriang yang mengandung amoniak. Penelitian ini
menggunakan rancangan penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL). Terdiri dari 5 perlakuan 3 kali ulangan,
sebagai perlakuan P0 (kontrol), P1 (kayu apu bobot basah 45 gram), P2 (Kayu apu bobot basah 135 gram), P3
(eceng gondok bobot basah 45 gram), dan P4 (eceng gondok bobot basah 135 gram). Data dianalisis secara
deskriptif dengan melihat tampakan morfologi dari tanaman kayu apu dan enceng gondok pada semua perlakukan
selama pengamatan berlangusng. Dari Hasil penelitian menunjukkan tanaman kayu apu dan eceng gondok efektif
sebagai agen fitoremediasi karena kemapuannya dalam menurunkan kadar amoniak
Kata kunci: Amoniak, Bobot basah, Eceng Gondok, Kayu Apu, Remediasi
Abstract
North African Catfish (Clarias gariepinus Var) is a new strain of catfish resulting from genetic engineering
through back-crossing which is the most widely cultivated by the community. If aquaculture activities are not
managed properly, it has the potential to pollute the aquatic environment through the input of aquaculture waste.
Aquaculture waste water contains ammonia which can cause a decrease in water quality. This study aims to
determine the ability of Water Lettuce (Pistia stratiotes) and water hyacinth (Eichhornia crassipes) as
phytoremediation agents in the waste of Clarias gariepinus farming which contains ammonia. This study used a
completely randomized design (CRD). It consisted of 5 treatments with 3 replications, as treatment P0 (control),
P1 (45 gram wet weight), P2 (135 gram wet weight), P3 (45 gram wet water hyacinth), and P4 (water hyacinth
wet weight 135 grams). Data were analyzed descriptively by looking at the morphological appearance of water
hyacinth and water hyacinth on all treatments during the observation. The results of the study showed that water
hyacinth and water lily plants were effective as phytoremediation agents because of their ability to reduce
ammonia levels.
Keyword: Ammonia, Wet Weight, Water Hyacinth, Water Lettuce, Remediation
Putri et al., 2022 – Kemampuan Tumbuhan Kayu Apu (Pistia stratiotes) dan Eceng Gondok..
477
PENDAHULUAN
Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus Var) merupakan spesies ikan lele baru hasil
rekayasa genetika melalui silang balik yang paling banyak dibudidayakan masyarakat (Kordi,
2010). Apabila kegiatan budidaya tidak dikelola dengan baik, maka berpotensi mencemari
lingkungan perairan melalui masukan limbah budidaya. Menurut (Wahyuningsih et al., 2015),
sumber limbah budidaya ikan berasal dari sisa pakan dan hasil metabolisme ikan. Ikan hanya
dapat menyerap 20-30% nutrien yang berasal dari pakan sementara sisanya di ekskresikan ke
lingkungan dalam bentuk amonia dan protein organik yang merupakan produk akhir
metabolisme protein. Hasil penelitian (Summerfelt, 2004) mengungkapkan bahwa kelebihan
amonia pada suatu perairan akan berdampak pada penurunan proses reproduksi, laju
pertumbuhan dan kekebalan tubuh biota akuatik.
Kurangnya pengetahuan pembudidaya ikan mengenai pengolahan limbah budidaya
ikan lele yang dibuang ke lingkungan sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran
lingkungan dan penurunan terhadap daya dukung lingkungan, saat ini menjadi perhatian serius
bagi para pembudidaya ikan lele. Menurut (Latuconsina, 2020), prinsip dasar ekologis dalam
pengembangan budidaya perikanan adalah upaya mempertahankan daya dukung lingkungan,
karena dengan daya dukung lingkungan yang baik maka biota budidaya akan tumbuh dan
berkembangan dengan baik dan akan tahan terhadap serangan penyakit, namun sebaliknya jika
kualitas iar menurun pencemaran limbah organik, maka secara umum akan menurunkan daya
dukung lingkungan, dan biota budidaya akan mudah terserang penyakit yang pada akhirnya
menurunkan performa pertumbuhan dan sintasannya.
Salah satu upaya untuk meremediasi amoniak pada limbah budidaya Ikan Lele
Sangkuriang yaitu dapat dilakukan dengan metode fitoremediasi. Menurut (Cunningham et al.,
1995) bahwa fitoremediasi merupakan suatu teknik untuk menghilangkan atau mengurai
senyawa berbahaya yang terakumulasi pada suatu sedimen ataupun perairan dengan bantuan
tumbuhan. Menurut (Asela, 2016; Saputra, 2016), bahwa tumbuhan kayu apu dan eceng
gondok dapat menurunkan kadar amoniak dalam limbah cair. Namun belum ada informasi
terkait dengan efektifitas kayu apu (Pistia stratiotes) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes)
hubungannya dengan perfoma pertumbuna kedua tanaman tersebut pada media air limbah
bididaya ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus Var).
(JRPK) Jurnal Riset Perikanan dan Kelautan 4 (2), Desember 2022
478
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juni sampai Juli 2022, di Usaha Budidaya Ikan
Lele Segar Al-Ghifari, Jl. Kanjuruhan No. 4B, Tlogomas, Lowokwaru, Malang, Jawa Timur.
Untuk Pengujian amoniak dilakukan di Laboratorium Perikanan Universitas Muhammadiyah
Malang.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak plastik, timbangan digital, pH
meter, termometer, ember kecil, spektrofometri uv-vis, pipet tetes, beaker glass, tabung reaksi,
kuvet, computer, tisu, alat tulis, dan kamera. Sedangkan bahan yang digunakan adalah air
limbah budidaya ikan lele, tanaman kayu apu, eceng gondok, larutan test kit ammonia, dan
akuades.
Rancangan penelitan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan acak
Lengkap (RAL). RAL pada penelitian ini menggunakan lima perlakuan dengan masing-masing
tiga kali ulangan.
Gambar 1. Denah tata letak bak penelitian
Keterangan:
A 1, 2, 3 : bak kontrol tanpa perlakuan tanaman
B 1, 2, 3 : perlakuan tanaman kayu apu dengan bobot 45 g
C 1, 2, 3 : perlakuan tanaman kayu apu dengan bobot 135 g
D 1, 2, 3 : perlakuan tanaman eceng gondok dengan bobot 45 g
E 1, 2, 3 : perlakuan tanaman eceng gondok dengan bobot 135 g
Adapun prosedur dan tahapan dalam penelitian ini yaitu: (1) menyiapkan 15 bak
berukuran 15 liter kemudian diisi air sebanyak 12 liter, (2) mengambil limbah dengan ember
kecil/jerigen dari kolam budidaya ikan lele, (3) tanaman diambil dari tempat populasinya,
kemudian dicuci bersih serta dipilih tanaman yang memiliki kondisi fisik yang bagus, (4)
tanaman diaklimatisasi menggunakan air bersih selama 5 hari, (6) setelah aklimatisasi,
dimasukkan ke dalam bak penelitian. Data hasil penelitian dinalaissi secara deskripitif dalam
bentuk gambar.
A2
E1
D3
B1
E3
C2
B3
C1
D2
E2
D1
A3
A1
B2
C3
Putri et al., 2022 – Kemampuan Tumbuhan Kayu Apu (Pistia stratiotes) dan Eceng Gondok..
479
Analisis Data dilakukan secara deskriptif dalam bentuk Tabel dari hasil pengamatan
kondisi fisik tumbuhan kayu apu (Pistia stratiotes) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes)
yang dijadikan perlakuan dengan bobot yang berbeda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Fisik Tanaman
Seiring dengan berjalannya penelitian, mulai terjadi perubahan pada kondisi tanaman
akibat adaptasi terhadap lingkungan baru yaitu air yang terpapar limbah budidaya ikan lele
tersebut. Adaptasi ditunjukkan dengan perubahan fisik tanaman secara bertahap dari hari ke
hari, yang meliputi perubahan warna daun dan akar pada tanaman kayu apu serta perubahan
warna daun dan tangkai pada tanaman eceng gondok, seperti yang terlihat pada Tabel 1, 2, 3
dan 4.
Tabel 1. Kondisi Fisik Tanaman Kayu Apu (Pistia stratiotes) Bobot 45 gram
Waktu
Penelitian (Hari)
Kondisi Fisik
Tumbuhan
Dokumentasi Penelitian
0
Pada hari ke-0, kondisi tanaman kayu apu
terlihat segar, dengan daun berwarna hijau,
dan akar panjang yang mengambang bebas.
5
Pada hari ke-5 terlihat beberapa daun mulai
berubah berwarna kuning. Daun yang
berwarna kuning dominan yang terletak
menempel pada air, bagian ujung daun sedikit
menggulung. Dan mulai tumbuh daun-daun
kecil pada bagian tengah daun. Sedangkan
akar tanaman kayu apu terlihat beberapa
patah.
10
Pada hari ke-10 terlihat beberapa daun yang
terletak menempel pada air berwarna kuning
dan terdapat bintik hitam. Beberapa daun
terlihat turun kebawah, sedangkan akar
tanaman kayu apu banyak yang rontok.
15
Pada hari ke-15, kondisi tanaman kayu apu
terjadi banyak perubahan, daun yang mulanya
hijau menjadi kuning, dan sebagian daun
banyak yang terlepas dari badan tanamannya.
Akar banyak terjadi kerontokan dan
tenggelam pada dasar wadah.
(Sumber; Analisis data primer, 2022)
(JRPK) Jurnal Riset Perikanan dan Kelautan 4 (2), Desember 2022
480
Tabel 2. Kondisi Fisik Tanaman Kayu Apu (Pistia stratiotes) bobot 135 gram
Waktu
Penelitian
(Hari)
Kondisi Fisik Tumbuhan
Dokumentasi Penelitian
0
Pada hari ke-0, kondisi tanaman kayu apu
terlihat segar, dengan daun berwarna
hijau, dan akar panjang yang
mengambang bebas.
5
Pada hari ke-5 terlihat beberapa daun
mulai berubah berwarna kuning. Daun
yang berwarna kuning dominan yang
terletak menempel pada air. Dan mulai
tumbuh daun-daun kecil pada bagian
tengah daun. Sedangkan akar tanaman
kayu apu beberapa patah.
10
Pada hari ke-10 terlihat beberapa daun
yang terletak menempel pada air
berwarna kuning. Sedangkan akar
tanaman kayu apu banyak yang rontok.
15
Pada hari ke-15, kondisi tanaman kayu
apu terjadi banyak perubahan, beberapa
daun yang terletak menempel pada air
berwarna kuning dan terdapat bintik
hitam. Beberapa daun terlihat turun
kebawah, sedangkan akar tanaman kayu
apu banyak yang rontok.
(Sumber; Analisis data primer, 2022)
Tabel 3. Kondisi Fisik Tanaman Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) bobot 45 gram
Waktu
Penelitian
(Hari)
Kondisi Fisik
Tumbuhan
Dokumentasi Penelitian
0
Pada hari ke-0, kondisi tanaman eceng gondok
terlihat segar, dengan daun berwarna hijau, dan
tangkai berwarna hijau segar.
5
Pada hari ke-5 terlihat beberapa daun mulai
berubah berwarna kuning, bagian ujung daun
menggulung dan kering. Tangkai tanaman mulai
menguning.
Putri et al., 2022 – Kemampuan Tumbuhan Kayu Apu (Pistia stratiotes) dan Eceng Gondok..
481
10
Pada hari ke-10 terlihat beberapa daun menjadi
kering dan tangkai tanaman mulai berwarna
coklat.
15
Pada hari ke-15, kondisi tanaman eceng gondok
terjadi banyak perubahan, daun menjadi layu dan
busuk. Tangkai tanaman mengering.
(Sumber; Analisis data primer, 2022)
Tabel 4. Kondisi Fisik Tanaman Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) Bobot 135 gram
Waktu
Penelitian
(Hari)
Kondisi Fisik
Tumbuhan
Dokumentasi Penelitian
0
Pada hari ke-0, kondisi tanaman eceng
gondok terlihat segar, dengan daun berwarna
hijau, dan tangkai berwarna hijau segar.
5
Pada hari ke-5 terlihat beberapa daun mulai
berubah berwarna kuning, terdapat bintik
coklat pada daun, bagian ujung daun
berwarna coklat. Tangkai tanaman masih
terlihat segar.
10
Pada hari ke-10 terlihat beberapa daun dan
tangkai berwarna kuning. Dan posisi tanaman
tidak tegak lagi.
15
Pada hari ke-15, kondisi tanaman eceng
gondok terjadi banyak perubahan, daun
membusuk dan tangkai berubah menjadi
coklat.
(Sumber; Analisis data primer, 2022)
Pada hari ke-5, kedua kelompok variasi tanaman kayu apu dan eceng gondok mulai
mengalami perubahan warna pada daun yang semula hijau menjadi kuning. Perubahan warna
daun pada tanaman kayu apu menunjukkan adanya gejala klorosis. Menurut (Funayaman dan
Terashima, 2006) menjelaskan bahwa klorosis terjadi karena terhambatnya pembentukam
klorofil yang menyebabkan laju pertumbuhan klorofil sama atau lebih kecil dibanding dengan
laju degradasi klorofil. Pada hari ke-15, kedua variasi tanaman kayu apu dan eceng gondok
(JRPK) Jurnal Riset Perikanan dan Kelautan 4 (2), Desember 2022
482
mengalami gejalan nekrosis dengan ditandai daun membusuk, bagian daun terlepas dari bagian
tubuh tanaman, dan semakin banyak akar yang rontok. Menurut (Prince dan Wilson, 2006)
nekrosis merupakan sel-sel yang mempunyai aktivitas yang sangat rendah dan akhirnya
mengalami kematian sel jaringan sehingga menyebabkan hilangnya fungsi pada daerah yang
mengalami nekrosis. Hal ini sejalan dengan (Haslam, 1997; Hermawati et al., 2005), perubahan
warna yang terjadi pada daun dapat disebabkan karena pencemaran bahan organik.
Perubahan fisik pada kayu apu tidak hanya dilihat dari perubahan warna daun, selain
itu akar tanaman mengalami kerontokan. Morfologi akar tanaman kayu apu yang tumbuh pada
media limbah memiliki tekstur yang lunak dan rambut akar sebagian besar terputus karena
bagian organ tanaman yang langsung berinteraksi dengan limbah adalah akar (Roni, 2020).
Akar merupakan bagian yang pertama kali memiliki kontak langsung dengan limbah sehingga
akar yang lebih rusak terlebih dahulu dibanding bagian tubuh tanaman yg lain. Hal tersebut
merupakan respon terhadap zak toksik dari limbah tersebut (Hermawati et al, 2005).
Perubahan fisik pada tanaman kayu apu dapat disebabkan adanya perpindahan bahan
organik toksik dari limbah ke dalam tanaman dengan melalui mekanisme penyerapan dalam
tanaman yaitu proses fitovolatilisasi. Proses fitovolatilisasi terjadi ketika tanaman menyerap
air yang mengandung kontaminan organik melalui akar, kemudian diangkut ke bagian daun,
dan mengeluarkan kontaminan yang sudah di detoksifikasi ke udara melalui daun (Ningrum,
2011). Menurut (Rahmatullah, 2008), penyerapan unsur-unsur hara pada tanaman kayu apu
dilakukan oleh bulu-bulu akar. Akar tersebut menjadi termpat pertumbuhan bagi
mikroorganisme rizhofera yang berperan dalam penguraian bahan-bahan organik. Daun-daun
kayu apu dapat menghalangi sinar matahari yang menembus ke permukaan air, sehingga
pertumbuhan masal alga dapat dicegah. Oleh karena itu, adanya ruang kosong antar sel sebagai
alat transportasi oksigen dari daun ke akar. Kemudian oksigen yang keluar dari daun dan
perakaran akan merangsang kerja mikroorganisme. Sedangkan perubahan fisik yang terjadi
pada tanaman eceng gondok dapat dikarenakan terdapat faktor lain yang mempengaruhi yaitu
menurut (Muhtar, 2008), pengaruh dari wadah tanaman yang terbatas dan tidak ada aliran air
yang membawa bahan organik toksik sehingga tanaman mengalami toksisitas amoniak.
Hasil penelitian ini secara umum mendapatkan hasil bahwa tanaman kayu apu dan
eceng gondok memiliki kemampuan meremediasi dalam menurunkan kadar amoniak limbah
budidaya ikan lele sangkuriang. Akan tetapi, tanaman kayu apu dan eceng gondok mengalami
perubahan pada kondisi fisik bahkan hingga mengalami kematian yang dimungkinkan karena
beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Nikmatusya’ban (2016) bahwa tanaman eceng gondok dan kayu apu
Putri et al., 2022 – Kemampuan Tumbuhan Kayu Apu (Pistia stratiotes) dan Eceng Gondok..
483
mampu menurunkan kadar sianida (CN) tetapi tanaman menunjukkan adanya perubahan
kondisi fisik pada tubuh tanaman yang disebabkan karena pencemaran bahan organik yang
berlebih.
Amoniak
Hasil pengamatan kemampuan tanaman kayu apu dan eceng gondok dalam
menurunkan kadar amoniak pada limbah budidaya ikan lele ditunjukkan pada Tabel sebagai
berikut.
Tabel 5. Rerata kadar amoniak pada awal dan akhir pengamatan
Perlakuan
Awal
Akhir
Rerata Konsentrasi (mg/L)
Rerata Konsentrasi (mg/L)
P0
4,22±0,00
4,17 ± 0,03
P1
4,22±0,00
4,12 ± 0,04
P2
4,22±0,00
4,03 ± 0,04
P3
4,22±0,00
0,51 ± 0,06
P4
4,22±0,00
2,74 ± 0,04
(Sumber; Analisis data primer, 2022). Ket: P0 = control; P1 = perlakuan kayu apu bobot 45 gram; P2
= perlakuan kayu apu bobot 135 gram; P3 = perlakuan eceng gondok 45 gram; P4 = perlakuan eceng
gondok 135 gram.
Tabel 5, memperlihatkan adanya penurunan kadar amoniak pada awal dan akhir
percobaan. Penurunan amoniak tertinggi ditemukan pada perlakuan P3 yaitu eceng gondok
bobot 45 gram sebesar 0,51 mg/L dan terendah pada perlakuan P0 yaitu kontrol tanpa diberi
tanaman sebesar 4,17 mg/L. Kemampuan meremediasi tanaman kayu apu yang lebih rendah
dibandingkan eceng gondok dapat dikarenakan ukuran kayu apu lebih kecil. Hal ini sesuai
dengan pernyataan (Lidiawati, 2009), bahwa kemampuan mengolah kontaminan pada tanaman
yang memiliki ukuran lebih kecil akan kurang baik. Penurunan kadar amoniak dapat
berpengaruh terhadap peranan aktivitas metabolisme bakteri anaerob dan bakteri aerob. Selain
itu, tumbuhan air juga berperan dalam meremediasi kadar amonia yaitu pada bagian akar
tumbuhan. Akar tumbuhan air akan menjadi tempat melekatnya bakteri yang dapat
menguraikan amonia menjadi nitrat ataupun nitrit. Menurut (Novonty dan Olem, 1994),
tumbuhan air juga berperan sebagai penyumbang oksigen yang akan digunakan oleh bakteri
untuk meremediasi kadar amonia.
Penurunan amoniak dikarenakan adanya proses nitrifikasi dimana mikroorganisme
sangat berperan dalam proses penguraian amonia menjadi bentuk yang sederhana untuk
membentuk sel-sek tubuhnya. Mikroorganisme yang berperan dalam proses penguraian
(JRPK) Jurnal Riset Perikanan dan Kelautan 4 (2), Desember 2022
484
amonia yaitu mikroorganisme autotrof dan juga heterotrof (Yusuf, 2012). Penjelasan (Novonty
dan Olem, 1994) bahwa kadar amoniak melalui proses oksidasi menjadi nitrit yang dilakukan
olek bakteri Nitrosomonas, sedangkan proses oksidasi pada nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh
bakteri Nitrobacter. Selanjutnya, menurut (Jenie dan Rahayu, 1993) nitrit akan mengalami
proses asimilasi dan denitrifikasi. Terjadinya proses asimilasi yaitu senyawa nitrat akan
diuraikan menjadi persenyawaan ammonium yang akan bereaksi menjadi molekul organik,
sedangkan pada desimilasi terjadi dimana senyawa nitrat diuraikan oleh bakteri denitrifikan
menjadi molekul nitrogen berupa gas inert sebagai produk akhir yang akan dibuang ke udara.
Perlakuan P3 yaitu tanaman eceng gondok dengan bobot 45 gram penurunan amoniak
lebih besar dibandingkan perlakuan P4 yaitu tanaman eceng gondok dengan bobot 135 gram.
Hal ini disebabkan karena tanaman eceng gondok mulai mengalami kejenuhan dalam
mengakumulasi logam berat. Menurut (Mahayatun et al., 2015), menjelaskan bahwa waktu
pemaparan dapat mempengaruhi tanaman dalam menyerap kontaminan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa tanaman mencapai titik jenuhnya atau batas maksimum yang dapat
ditolerir oleh tanaman dalam menyerap kontaminan. Dapat disimpulkan bahwa tanaman eceng
gondok dengan variasi bobot 135 gram mengalami titik jenuh dalam menyerap kadar amoniak
sehingga efektivitas penurunan kadar amoniak lebih besar dibandingkan dengan eceng gondok
dengan bobot 45 gram.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tanaman kayu apu (Pistia Stratiotes) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes) efektif
mereduksi amoniak pada limbah budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus Var).
Secara keseluruhan fitoremediasi dengan tanaman eceng gondok lebih baik dalam menurunkan
kadar amoniak daripada kayu apu. Tanaman yang paling efektif dalam menurunkan amoniak
adalah eceng gondok dengan bobot 45 gram dengan nilai 0,51 mg/L. Namun, dalam penelitian
ini kedua jenis tanaman mengalami gejala klorosis, nekrosis, dan bahkan kematian..
Saran
Saran dalam penelitian selanjutnya adalah sebaiknya dilakukan pengujian pendahuluan
terhadap parameter amoniak untuk mengetahui kemampuan tanaman dalam menurunkan kadar
amoniak dan pengukuran terhadap jumlah daun, lebar daun, dan tinggi tanaman sebagai
penunjang pertumbuhan tanaman.
Putri et al., 2022 – Kemampuan Tumbuhan Kayu Apu (Pistia stratiotes) dan Eceng Gondok..
485
DAFTAR PUSTAKA
Funayama S. and Terashima I. 2006. Effect of Eupatorium Yellow Vein Virus Infection
on Photosynthetic Rate, Chlorophyll Content and Chloroplast Structure in Leaves of
Euphatorium makinoi During Leaf Development. Functional Plant Biology. P.165-175.
Hermawati, E., Wiryanto., Solichatun. 2005. Fitoremediasi Limbah
Detergen Menggunakan Kayu Apu (Pistia stratiotes L.) dan Genjer
(Limnocharis flava L.). Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret
(UNS) Surakarta. Vol 7 No2: 115-124.
Kordi, K. M. G. H. 2010. Panduan Lengkap Memelihara Ikan Air Tawar di Kolam
Terpal. Yogyakarta: Lily Publisher
Latuconsina, H. 2020. Ekologi Ikan Perairan Tropis: Biodiversitas, Adaptasi, Ancaman,
dan Pengelolaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lidiawati, Tuani. 2009. Penurunan Konsentasi Warna Limbah Tekstil dengan Menggunakan
Tumbuhan Air. Bandung: Prosiding Nasional Tehnik Kimia Indonesia.
Mahyatun, W.O., Lawalena, S., Zubair, A. 2015. Fitoremediasi Logam Cd
Menggunakan Kombinasi Eceng Gondok Dan Kayu Apu Dengan Aliran
Kontinyu [skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Muhtar, A. 2008. Penggunaan Tanaman Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)
sebagai Pre-treatment Pengolahan Air Minum pada Air Selokan Mataram [skripsi].
Yoyakarta: Universitas Islam Indonesia.
Nikmatusya’ban, F. 2016. Fitoremediasi Limbah Cair Industri Tapioka Dengan
Pemanfaatan Tanaman Air Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) Dan Kayu
Apu (Pistia stratiotes) [skripsi]. Malang: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya.
Ningrum, A.N. 2011. Pengaruh Kerapatan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)
yang Berbeda pada Limbah Cair Pabrik Gula Terhadap Kelulushidupan dan
Pertumbuhan Benih Ikab Mas (Cyprinus carpio) [skripsi]. Malang: Universitas
Brawijaya.
Novotny, V & H. Olem. 1994. Water Quality: prevention, Identification, and
Management of Diffuse Pollution. New York: Van Nostrand Reinhold.
Prince, S. A., and Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi. Edisi VI. volume I. EGC. Philadelphia.
Rahmatullah, L. 2008. Penggunaan Tanaman Kiapu (Pistia stratiotes) sebagai
Pengolahan Pendahuluan untuk Air Permukaan dengan Parameter Warna
dan TDS “Studi Kasus Air Selokan Mataram” [skripsi]. Yogyakarta: Universitas Islam
Indonesia.
Roni, K. A. 2020. Pembuatan Biofilter dari Tumbuhan Fitoremediasi Apu Sebagai
Media Penurunan Kadar COD Dan BOD Limbah Cair di Pertamina RU II
PLAJU. Jumal Redoks. 5(2), 78-86.
Summerfelt, S.T., G. Wilton., D. Roberts., T. Rimmer and K. Fonkalsrud. 2004.
Developments in recirculating systems for Arctic char culture in North
America. Aquacultur. Eng. 30. 31-71.
Sussana. 2014. Fitoremediasi Fosfat (PO4) Dan Amonia (NH4) Dengan
Menggunakan Tumbuhan Eceng Gondok (Eichornia Crassipes) Pada Limbah
RSUD I.A Moeis Samarinda. Manajemen Pertanian, Universitas
Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, Samarinda. Hal :28-29.
Yusuf, M. A. 2012. Pra – Perlakuan Air Sungai Sebagai Air Baku Dengan Teknologi
Fixed Bed Reactor [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
(JRPK) Jurnal Riset Perikanan dan Kelautan 4 (2), Desember 2022
486
Youngman, L. 1999. Physiological respon Of Switchgrass (Panicum Virgatum L) to
Organic And Inorganic Amened Heavy-Metal Contaminated Chat Tailings.
Phytoremediation of Soil and Water Contaminants. American Chemical
society Symposium. Washington, D.C.
Wahyuningsih S, Effendi H, Wardiatno Y. 2015. Nitrogen removal of aquaculture
wastewater in aquaponic recirculation system. AACL Bioflux. 8(4): 491-499.