ArticlePDF Available

Pengaruh Indeks Entomologi dan Sebaran Kasus Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Sukoharjo

Authors:

Abstract

Latar belakang: Penyakit DBD di Kabupaten Sukoharjo mengalami peningkatan kasus dan kematian. Tahun 2020 terdapat 185 kasus (IR = 20,38 per 100.000) dan meningkat menjadi 222 kasus (IR = 24.35 per 100.000) pada tahun 2021. Kasus tertinggi terdapat di Kecamatan Grogol dengan jumlah 55 kasus (IR = 43,12 per 100.000) dan nilai ABJ sebesar 94%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh indeks entomologi terhadap kasus DBD dan sebaran kasus DBD.Metode: Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan desain analytic case-control. Penelitian dilakukan pada bulan Maret – April 2022 dengan pemilihan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan jumlah sampel 84 responden. Variabel yang digunakan pada penelitian ini yaitu HI, CI, BI dan ABJ dengan metode analisis univariat, bivariat dan analisis spasial.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa house index (p-value = 0,000), container index (p-value=0,000), breteau index (p-value = 0,000) dan angka bebas jentik (p-value=000) berpengaruh terhadap kasus DBD. Keberadaan jentik yang diketahui melalui indeks entomologi merupakan tanda adanya populasi jentik. Kepadatan jentik yang tinggi menandakan risiko tinggi penularan DBD. Pola spasial kasus DBD Kabupaten Sukoharjo yaitu autokorelasi positif dengan pola berkelompok dan kepadatan kasus tertinggi di Kecamatan Grogol.Simpulan: Indeks entomologi yang mempengaruhi kasus DBD di Kabupaten Sukoharjo adalah house index, container index, breteau index dan angka bebas jentik dengan pola spasial sebaran kasus DBD yaitu berkelompok. ABSTRACT Title: Effect Of Entomological Index And Distribution Of Dengue Hemorrhagic Fever Cases In Sukoharjo RegencyBackground: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in Sukoharjo Regency has increased in cases and deaths. In 2020 there were 185 cases (IR = 20.38 per 100,000) and increased to 222 cases (IR = 24.35 per 100,000) in 2021. CFR in 2020 was 3.78% and increased to 4.95% in 2021. The highest cases were in Grogol District with 55 cases (IR = 43.12 per 100,000) with the larva-free number being 94%. This study aims to determine the effect of the entomological index on cases of DHF and the distribution of dengue cases.Method: The type of research used is observational with case-control analytic design. The study was conducted in March – April 2022 with the selection of samples carried out by purposive sampling with a total sample of 84 respondents. The variables used in this study are HI, CI, BI and larva-free number with univariate, bivariate and spatial analysis methods.Result: The results showed that the house index (p-value = 0.000), container index (p-value = 0.000), breteau index (p-value = 0.000) and larva-free numbers (p-value = 0.000) had an effect on dengue cases. The presence of larvae known through the entomological index was a sign of the presence of a larva population. High larva density indicated a high risk of dengue transmission. The spatial pattern of DHF cases in Sukoharjo Regency is a positive autocorrelation with a group pattern and the highest case density is in Grogol District.Conclusion: The entomological index that affected DHF cases in Sukoharjo Regency are the house index, container index, breteau index and larva-free numbers with a spatial pattern of distribution of DHF cases clustered.
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia
22 (1), 2023, 46 54
DOI : 10.14710/ jkli.22.1.46-54
Pengaruh Indeks Entomologi dan Sebaran Kasus Demam
Berdarah Dengue di Kabupaten Sukoharjo
Maulina Tri Handayani1*, Mursid Raharjo2, Tri Joko2
1 Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Jawa
Tengah 50275, Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro, Jawa Tengah 50275, Indonesia
*Corresponding author: maulinatrih0906@gmail.com
Info Artikel:Diterima 30 Juni 2022 ; Direvisi 18 Desember 2022 ; Disetujui 19 Desember 2022
Tersedia online : 26 Januari 2023 ; Diterbitkan secara teratur : Februari 2023
Cara sitasi (Vancouver): Handayani MT, Raharjo M, Joko T. Pengaruh Indeks Entomologi dan Sebaran Kasus Demam
Berdarah Dengue di Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia [Online]. 2023 Feb;22(1):46-54.
https://doi.org/10.14710/jkli.22.1.46-54.
ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit DBD di Kabupaten Sukoharjo mengalami peningkatan kasus dan kematian. Tahun
2020 terdapat 185 kasus (IR = 20,38 per 100.000) dan meningkat menjadi 222 kasus (IR = 24.35 per 100.000)
pada tahun 2021. Kasus tertinggi terdapat di Kecamatan Grogol dengan jumlah 55 kasus (IR = 43,12 per 100.000)
dan nilai ABJ sebesar 94%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh indeks entomologi terhadap kasus
DBD dan sebaran kasus DBD.
Metode: Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan desain analytic case-control. Penelitian
dilakukan pada bulan Maret April 2022 dengan pemilihan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan
jumlah sampel 84 responden. Variabel yang digunakan pada penelitian ini yaitu HI, CI, BI dan ABJ dengan
metode analisis univariat, bivariat dan analisis spasial.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa house index (p-value = 0,000), container index (p-value=0,000),
breteau index (p-value = 0,000) dan angka bebas jentik (p-value=000) berpengaruh terhadap kasus DBD.
Keberadaan jentik yang diketahui melalui indeks entomologi merupakan tanda adanya populasi jentik. Kepadatan
jentik yang tinggi menandakan risiko tinggi penularan DBD. Pola spasial kasus DBD Kabupaten Sukoharjo yaitu
autokorelasi positif dengan pola berkelompok dan kepadatan kasus tertinggi di Kecamatan Grogol.
Simpulan: Indeks entomologi yang mempengaruhi kasus DBD di Kabupaten Sukoharjo adalah house index,
container index, breteau index dan angka bebas jentik dengan pola spasial sebaran kasus DBD yaitu berkelompok.
Kata kunci: DBD; indeks entomologi; spasial
ABSTRACT
Title: Effect Of Entomological Index And Distribution Of Dengue Hemorrhagic Fever Cases In Sukoharjo
Regency
Background: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in Sukoharjo Regency has increased in cases and deaths. In
2020 there were 185 cases (IR = 20.38 per 100,000) and increased to 222 cases (IR = 24.35 per 100,000) in
2021. CFR in 2020 was 3.78% and increased to 4.95% in 2021. The highest cases were in Grogol District with
55 cases (IR = 43.12 per 100,000) with the larva-free number being 94%. This study aims to determine the effect
of the entomological index on cases of DHF and the distribution of dengue cases.
Method: The type of research used is observational with case-control analytic design. The study was conducted
in March April 2022 with the selection of samples carried out by purposive sampling with a total sample of 84
Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023 47
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
respondents. The variables used in this study are HI, CI, BI and larva-free number with univariate, bivariate and
spatial analysis methods.
Result: The results showed that the house index (p-value = 0.000), container index (p-value = 0.000), breteau
index (p-value = 0.000) and larva-free numbers (p-value = 0.000) had an effect on dengue cases. The presence
of larvae known through the entomological index was a sign of the presence of a larva population. High larva
density indicated a high risk of dengue transmission. The spatial pattern of DHF cases in Sukoharjo Regency is
a positive autocorrelation with a group pattern and the highest case density is in Grogol District.
Conclusion: The entomological index that affected DHF cases in Sukoharjo Regency are the house index,
container index, breteau index and larva-free numbers with a spatial pattern of distribution of DHF cases
clustered.
Keywords: DHF; entomological index; spatial
PENDAHULUAN
Penyakit demam berdarah dengue (DBD)
merupakan suatu penyakit menular yang diakibatkan
oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk yaitu
nyamuk jenis Aedes aegypti dan Aedes albopictus.(1)
Aedes aegypti memiliki persebaran virus dengue yang
luas yakni hampir di seluruh daerah tropis maupun
subtropis di seluruh dunia. Aedes Aegypti berperan
sebagai transmisi penyakit demam berdarah dengan
penularan melalui gigitan nyamuk saat menghisap
darah manusia. Manifestasi klinis pada penyakit DBD
yaitu berupa demam tinggi, perdarahan yang disertai
dengan hepatomegali, gangguan sirkulasi darah, dan
syok hipovolemik yang diakibatkan oleh kebocoran
plasma darah.(2)
Menurut WHO, pada tahun 2004 2010 Asia
Pasifik memiliki 75% beban penyakit dengue di dunia.
Banyaknya kasus DBD di Indonesia menempatkan
Indonesia sebagai negara kedua di antara 30 negara
endemis lain.(3) Di Indonesia, jumlah kasus DBD pada
tahun 2020 tercatat sebanyak 108.303 kasus dengan
Incidence Rate (IR) DBD sebesar 40 per 100.000
penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) DBD sebesar
0,7%. Sementara itu, Provinsi Jawa Tengah memiliki
nilai CFR yang tergolong tinggi yaitu sebesar 1,9%
dengan jumlah kasus sebanyak 5.683.(4)
Kabupaten Sukoharjo adalah salah satu
kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan insiden
DBD yang masih cukup tinggi. Kasus DBD dalam tiga
tahun terakhir cenderung memiliki tren meningkat.
Pada tahun 2019 jumlah kasus sebanyak 317 kasus dan
menurun menjadi 185 kasus pada tahun 2020
kemudian kembali mengalami peningkatan pada tahun
2021 meniadi 222. Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Kabupaten Sukoharjo, kasus DBD pada tahun 2021
memiliki nilai Incidence Rate (IR) DBD 24,35 per
100.000 penduduk dengan Case Fatality Rate (CFR)
DBD 4,9% dengan jumlah kematian sebesar 11. Kasus
tertinggi di Kabupaten Sukoharjo terletak di
Kecamatan Grogol dengan angka kasus yaitu 55 (IR =
43,12 per 100.0000) yang memiliki nilai ABJ yakni
94%. Sedangkan, kasus terendah terdapat di
Kecamatan Tawangsari dengan angka kasus yaitu 3 (IR
= 5,69 per 100.000) yang memiliki nilai ABJ yakni
79,5%. Berdasarkan penelitian terdahulu dijelaskan
bahwa nilai ABJ yang tinggi memiliki kasus DBD yang
rendah begitupun sebaliknya.(5) Sehingga perlu
ditelaah lebih lanjut mengenai pengaruh nilai indeks
entomologi terhadap kasus DBD di Kabupaten
Sukoharjo.
Faktor yang mempengaruhi peningkatan angka
kasus DBD diantaranya yaitu bionomik vektor
nyamuk, kondisi cuaca dan iklim; lingkungan fisik
seperti suhu, kelembaban, curah hujan; lingkungan
biologi seperti keberadaan jentik nyamuk/vektor dan
keberadaan breeding place serta resting place; faktor
perilaku masyarakat, kepadatan penduduk, dan
mobilitas penduduk. Sedangkan, pola persebaran DBD
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya dari
keberadaan vektor nyamuk yang dapat ditinjau melalui
indeks entomologi berupa House Index (HI), Container
Index (CI), Breteau Index (BI), dan Angka Bebas
Jentik (ABJ). Penularan atau persebaran penyakit DBD
yang tinggi didukung oleh adanya kepadatan nyamuk
Aedes aegypti yang tinggi.(6,7)
Oleh karena itu, tujuan penelitin ini ialah untuk
mengetahui pengaruh indeks entomologi terhadap
kasus DBD dan sebaran pola kasus DBD.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini menggunakan jenis observasional
dengan desain case-control. Data diperoleh melalui
observasi, wawancara, dan pengumpulan data
sekunder. Data sekunder pada penelitian yaitu data
kasus DBD dan indeks entomologi (HI, CI, BI, dan
ABJ) Kabupaten Sukoharjo tahun 2021 yang diperoleh
dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo. Penelitian
ini dilakukan dari bulan Maret April 2022. Populasi
yang digunakan yaitu seluruh masyarakat di
Kecamatan Grogol dengan sampel penelitian
berjumlah 84 dengan rincian 42 responden kelompok
kasus dan 42 responden kelompok kontrol. Teknik
pengambilan sampel menggunakan cara purposive
sampling dengan dasar pertimbangan subjektif sesuai
dengan kriteria yang dibutuhkan. Sampel kelompok
kasus memiliki kriteria yaitu penderita DBD di
Kecamatan Grogol pada bulan Februari Maret 2022,
bertempat tinggal di Kecamatan Grogol, dan bersedia
menjadi responden. Sedangkan, kriteria sampel
kelompok kontrol yaitu tidak menderita penyakit DBD,
memiliki jarak rumah ±100 m dari rumah penderita
DBD, bertempat tinggal di Kecamatan Grogol, dan
48 Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
bersedia menjadi responden. Penetapan kasus DBD
diperoleh dari data laporan kasus DBD Puskesmas
Kecamatan Grogol yang memenuhi kriteria diagnosa
penyakit DBD pada bulan Februari Maret 2022.
Variabel terikat dari penelitian ini adalah kasus
DBD, sedangkan variabel bebas yang digunakan yaitu
HI, CI, BI, ABJ dan curah hujan. Indeks entomologi
dikategorikan menjadi 2 yaitu HI berisiko (≥5%) dan
tidak berisiko (<5%), CI berisiko (≥5%) dan tidak
berisiko (<5%), BI berisiko/kepadatan jentik sedang
tinggi (≥5) dan tidak berisiko/kepadatan jentik rendah
(<5), ABJ berisiko (<95%) dan tidak berisiko (≥95%).
Analisis pada penelitian ini menggunakan
analisis univariat, bivariat dan analisis spasial. Analisis
univariat menyajikan data dalam bentuk tabel ataupun
grafik untuk mengetahui proporsi setiap variabel yang
diteliti dengan menggunakan software Mocrosoft Excel
dan Mocrosoft Word. Analisis bivariat berupa uji
statistik chi-square dengan batas kemaknaan yang
ditetapkan yaitu 0,05. Uji bivariat digunakan untuk
mengetahui hubungan antara HI, CI, BI, dan ABJ
terhadap kasus DBD dengan menggunakan software
SPSS Statistics 23.
Analisis spasial menggunakan model overlay
dengan menggabungkan dua kumpulan data atau lebih
untuk menunjukkan hubungan geospasial. Analisis
spasial yang digunakan yaitu Indeks Moran I dan
Nearest Neighbour Analysis untuk mengetahui pola
persebaran kasus DBD serta analisis kernel density
untuk mengetahui kepadatan kasus DBD. Analisis
spasial menggunakan bantuan software ARCGis 10.8.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian 84 responden di Kecamatan
Grogol menggunakan statistik univariat dan bivariat tes
untuk variabel HI, CI, BI, ABJ, dan curah hujan adalah
sebagai berikut.
Tabel 1. Distribusi frekuensi sub variabel indeks entomologi di Kecamatan Grogol tahun 2022
Variabel
Kategori
Frekuensi
Persentase (%)
House Index
Berisiko (≥5%)
31
36,9
Tidak Berisiko (<5%)
53
63,1
Container Index
Berisiko (≥5%)
26
31
Tidak Berisiko (<5%)
58
69
Breteau Index
Berisiko (≥5)
31
36,9
Tidak Berisiko (<5)
53
63,1
Angka Bebas Jentik
Berisiko (<95%)
31
36,9
Tidak Berisiko (≥95%)
53
63,1
Tabel 1 menunjukkan responden dengan rumah
kategori HI berisiko yaitu sebesar 36,9% dan rumah
kategori HI tidak berisiko yaitu sebesar 63,1%. Pada
variabel CI menunjukkan responden dengan kategori
CI berisiko yaitu sebesar 31% dan kategori CI tidak
berisiko yaitu sebesar 69%. Variabel BI menunjukkan
responden dengan kategori BI berisiko yaitu sebesar
36,9% dan kategori BI tidak berisiko yaitu sebesar
63,1%. Variabel ABJ menunjukkan responden dengan
rumah kategori ABJ berisiko yaitu sebesar 36,9% dan
rumah kategori ABJ tidak berisiko yaitu sebesar
63,1%.
Pada tahun 2021 Kecamatan Grogol merupakan
daerah dengan tingkat kasus DBD tertinggi yakni
jumlah kasus sebesar 55 dengan IR = 43,12 per 100.000
penduduk dengan jumlah kematian 5 yang memiliki
nilai CFR yakni 9,09% di Kecamatan Grogol.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan,
kelompok kasus tertinggi terjadi pada Desa Gedangan
dengan jumlah kasus sebesar 8 kasus. Sedangkan,
kelompok kasus terendah terjadi pada Desa Banaran
dengan jumlah kasus sebesar 1. Nilai indeks
entomologi paling berisiko terdapat di Desa
Sanggrahan, sedangkan nilai indeks entomologi tidak
berisiko terdapat di Desa Kwarasan. Berdasarkan
observasi di lapangan, Desa Kwarasan dengan jumlah
kasus sebesar 3 memiliki nilai indeks entomologi
dengan kategori tidak berisiko dalam kelompok kasus
maupun kelompok kontrol. Hal tersebut dapat
diakibatkan salah satunya oleh pengaruh jarak terbang
vektor nyamuk yakni 100meter yang mendukung
adanya persebaran DBD dari wilayah lain. Desa
Kwarasan merupakan wilayah yang berdekatan dengan
Desa Sanggrahan yang memiliki nilai indeks
entomologi paling berisiko diantara wilayah lainnya.
Sehingga hal tersebut dapat menyebabkan persebaran
DBD ke daerah lain, salah satunya Desa Kwarasan.
Nyamuk merupakan vektor penyakit yang mampu
menghisap darah manusia dari satu orang ke orang lain
secara bergantian dalam kurun waktu yang singkat
(multiple biters). Perilaku nyamuk tersebut akan
mudah dalam meningkatkan penularan penyakit DBD
pada suatu wilayah yang berisiko.(8,9)
Tabel 2 pada variabel HI menunjukkan bahwa
kelompok kasus dengan kategori HI berisiko memiliki
persentase lebih tinggi 64,3% dibandingkan dengan
responden pada kategori tidak berisiko, yaitu 35,7%.
Sedangkan kelompok kontrol dengan kategori HI tidak
berisiko. Persentasenya lebih tinggi 90,5%
dibandingkan responden yang masuk kategori risiko,
yaitu 9,5%. Dari hasil uji chi-square nilai p-value =
0,000 (p<0,05), sehingga Ho ditolak, hal ini
menandakan bahwa terdapat hubungan antara kasus HI
dengan DBD di Kabupaten Grogol. Berdasarkan
Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023 49
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
observasi yang telah dilakukan, didapatkan hasil
bahwa banyak masyarakat yang masih memakai
penampungan air berupa bak mandi dari semen dan
keramik. Sehingga masih banyak ditemukan jentik
nyamuk pada kontainer air di dalam rumah. Selain itu,
juga ditemukan jentik nyamuk pada tumpukan barang
bekas seperti ember bekas dan drum bekas.
Tabel 2 Hasil analisis bivariat hubungan sub variabel indeks entomologi dengan kasus DBD di Kecamatan
Grogol tahun 2022
Variabel
Kategori
Kontrol
(n = 42)
p-value
Frek
%
Frek
%
House Index
Berisiko (≥5%)
27
64,3
4
9,5
0,000*
Tidak Berisiko (<5%)
15
35,7
38
90,5
Container Index
Berisiko (≥5%)
24
57,1
2
4,8
0,000*
Tidak Berisiko (<5%)
18
42,9
40
95,2
Breteau Index
Berisiko (≥5)
27
64,3
4
9,5
0,000*
Tidak Berisiko (<5)
15
35,7
38
90,5
Angka Bebas Jentik
Berisiko (<95%)
27
64,3
4
9,5
0,000*
Tidak Berisiko (≥95%)
15
35,7
38
90,5
Ket : * (signifikan)
Keberadaan jentik Aedes aegypti merupakan
tanda adanya populasi jentik nyamuk di suatu daerah.
Kepadatan jentik nyamuk berdasarkan dari nilai HI
merupakan gambaran informasi mengenai banyaknya
jumlah rumah yang terdapat jentik nyamuk. Nilai HI
yang tinggi menandakan banyaknya tempat
perkembangbiakan jentik nyamuk DBD yang berakibat
pada semakin tingginya penularan DBD. Berdasarkan
fakta dilapangan jentik nyamuk banyak ditemukan
pada kontainer dengan minim cahaya. Hal ini sesuai
dengan bionomik vektor nyamuk penyebab DBD yang
menyebutkan bahwa nyamuk Aedes aegypti betina
memiliki perilaku senang bertelur pada tempat dengan
kelembaban yang tinggi dan sedikit sinar matahari.
Nyamuk penyebab DBD merupakan vektor yang
mampu hidup berdampingan dengan manusia karena
perilakunya yang senang bertelur pada kontainer
penampungan air bersih.(912)
Hasil penelitian ini senada dengan penelitian
Hikmawan (2018) yang mengatakan bahwa terdapat
keterkaitan antara indeks rumah dengan prevalensi
DBD di Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
keberadaan jentik nyamuk adalah kurangnya kesadaran
masyarakat dalam kegiatan PSN 3M+. Keberadaan
jentik pada penampungan air merupakan sarana utama
dalam penularan penyakit DBD. Sehingga dibutuhkan
kesadaran masyarakat untuk melakukan kegiatan PSN
3M+ sebagai sarana pemutusan rantai
perkembangbiakan nyamuk.(13)
Pada variabel CI menunjukkan kelompok kasus
dengan kategori CI berisiko memiliki persentase lebih
tinggi 57,1% dibandingkan dengan kategori tidak
berisiko yaitu 42,9%. Sedangkan pada kelompok
kontrol, CI tidak berisiko memiliki persentase lebih
tinggi 95,2% dibandikan dengan responden dalam
kategori berisiko yaitu 4,8%. Dari hasil uji chi-square
nilai p-value = 0,000 (p<0,05), sehingga Ho ditolak,
yang artinya terdapat hubungan antara CI dengan kasus
DBD di Kecamatan Grogol. Perilaku masyarakat yang
kurang dalam kegiatan pengurasan bak mandi yang
mengakibatkan masih banyaknya kontainer positif
jentik nyamuk. Perilaku 3M+ memiliki peran penting
dalam memutus rantai siklus hidup nyamuk penyebab
DBD guna meningkatkan keadaan bebas jentik
nyamuk.(14)
Keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti
memiliki hubungan dalam kecepatan dan kemudahan
transmisi DBD. Kemudahan transmisi penularan DBD
didukung oleh perilaku nyamuk yang mampu
menghisap manusia secara bergantian dalam waktu
yang singkat. Selain itu, perilaku istirahat nyamuk
yang bersifat endofilik yakni suka bertempat tinggal di
dalam rumah akan mendukung adanya jentik nyamuk
khususnya pada area gelap dan teduh yang dekat
dengan tempat perindukan nyamuk yaitu kontainer air.
Kontainer penampungan air yang menunjukkan positif
jentik secara epidemiologi harus diwaspadai sebagai
sarana penularan DBD, baik dalam jumlah kecil
maupun besar.(1517)
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian
Zulmi (2017) di Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara
yang menunjukkan adanya hubungan antara container
index dengan faktor risiko terjadinya DBD. Studi
tersebut menjelaskan bahwa rumah dengan kontainer
indeks berisiko tinggi 5.588 kali lebih berisiko
daripada kontainer indeks risiko rendah.(18)
Pada variabel BI menunjukkan kelompok kasus
dengan kategori BI berisiko memiliki persentase lebih
tinggi 64,3% dibandingkan dengan kategori tidak
berisiko yaitu 35,7%. Pada kelompok kontrol dengan
kategori BI tidak berisiko memiliki persentase lebih
tinggi 90,5% dibandikan dengan responden dalam
kategori berisiko yaitu 9,5%. Dari hasil uji chi-square
nilai p-value = 0,000 (p<0,05), sehingga Ho ditolak,
yang berarti terdapat hubungan antara BI dengan kasus
DBD di Kecamatan Grogol. Ketersediaan air dalam
kebutuhan sehari-hari manusia mempengaruhi
50 Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Semakin
banyak kuantitas tempat penampungan air yang
digunakan maka semakin besar pula sarana yang
digunakan oleh nyamuk Aedes aegypti sebagai tempat
berkembang biaknya. Nyamuk Aedes aegypti
penyebab DBD memiliki perilaku suka bertelur pada
air bersih. Kualitas air pada breeding place akan
berpengaruh terhadap produktivitas habitat
perkembangbiakan nyamuk. Nyamuk betina dapat
bertelur pada dinding kontainer penampungan air
buatan di dalam rumah seperti bak mandi, ember, vas,
dll.(9,12)
Berdasarkan pengamatan di lapangan,
keberadaan jentik nyamuk banyak ditemukan pada
wadah penampungan buatan manusia di dalam dan luar
rumah. Jentik nyamuk sering ditemui pada
penampungan air yang memiliki pencahayaan minim
dan kelembaban tinggi. Selain itu, jentik nyamuk juga
ditemukan pada kontainer air yang berlumut. Nyamuk
mempunyai habitat untuk berkembangbiak pada area
dengan kelembaban tinggi dan minim sinar. Suhu
optimal perkembangbiakan nyamuk yakni antara 240C
280C dengan kelembaban senilai 70 90%.
Keberadaan jentik nyamuk dalam indeks entomologi
menjadi faktor penting yang perlu diwaspadai dalam
penularan penyakit dengue. Selain itu, faktor lain yang
mampu berpengaruh pada kejadian DBD diantaranya
aktor pendidikan, sanitasi, pengetahuan dan persepsi
masyarakat mengenai penyakit DBD. Sehingga
dibutuhkan pencegahan dan pengendalian yang
melibatkan seluruh sektor termasuk partisipasi
masyarakat.(1923)
Penelitian yang dilakukan Novia (2015) di
Kecamatan Tegalsari menjelaskan bahwa nilai BI
dengan risiko tinggi terhadap DBD diperoleh dari
jumlah kontainer positif larva yang lebih tinggi
dibandingkan jumlah rumah positif larva. Pada
penelitian juga dijelaskan bahwa terdapat hubungan
antara Maya Index dengan kejadian DBD. Maya Index
merupakan indeks baru yang digunakan untuk
mengetahui tingkat risiko pada area tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes. Kepadatan vektor
yang tinggi akan meningkatkan populasi nyamuk
sebagai penular DBD. Salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap keberadaan jentik nyamuk
adalah jenis permukaan wadah. Kondisi permukaan
wadah air yang tidak memiliki cahaya menyebabkan
kondisi wadah berlumut sehingga meningkatkan
penetasan nyamuk akibat suhu dan cahaya yang
rendah. Selain itu, kondisi ketersediaan tutup wadah
air, bahan wadah, frekuensi pengurasan wadah air dan
sumber air juga berpengaruh terhadap keberadaan
jentik nyamuk dengan kasus DBD.(16,17,24)(25)
Pada variabel ABJ menunjukkan kelompok
kasus dengan kategori ABJ berisiko memiliki
persentase lebih tinggi 64,3% dibandingkan dengan
kategori tidak berisiko yaitu 35,7%. Pada kelompok
kontrol dengan kategori ABJ tidak berisiko memiliki
persentase lebih tinggi 90,5% dibandikan dengan
responden dalam kategori berisiko yaitu 9,5%. Dari
hasil chi-square nilai p-value = 0,000 (p<0,05), maka
Ho ditolak yang artinya terdapat hubungan antara ABJ
dengan kasus DBD di Kabupaten Grogol. Berdasarkan
hasil observasi di lapangan, rumah dengan hasil negatif
jentik mayoritas merupakan rumah dengan kontainer
penampungan air berupa ember. Sedangkan rumah
dengan hasil positif jentik mayoritas ditemukan pada
rumah dengan kontainer air berupa bak mandi
berbahan semen atau keramik.
Keberadaan jentik nyamuk pada suatu kontainer
berhubungan erat dengan jenis, posisi, dan jumlah
kontainer pada suatu rumah. Larva nyamuk Aedes
aegypti paling sering ditemukan pada jenis kontainer
ember, bak, dan tempayan. Larva nyamuk akan
menetas pada kontainer penampungan air yang dipakai
masyarakat untuk menyimpan air.(26)
Hasil studi ini selaras dengan penelitian Maria
(2018) di Kabupaten Sikka yang menjelaskan bahwa
persentase ABJ yang tinggi menunjukkan kasus DBD
yang rendah, sedangkan persentase ABJ yang rendah
akan menunjukkan kasus DBD yang tinggi. Hal ini
juga didukung oleh penelitian Shinta (2018) di
Kelurahan Kedurus Surabaya yang menjelaskan bahwa
ada hubungan antara keberadaan jentik dan kejadian
DBD. Keberadaan jentik dilakukan dengan
menghitung beberapa indikator seperti ABJ, HI, CI,
dan BI.(5,27)
Gambar 1 menunjukkan sebaran kasus DBD
Kabupaten Sukoharjo tahun 2021. Kasus tertinggi
terletak di Kecamatan Grogol dengan jumlah kasus
sebanyak 55 dan kasus tertinggi terdapat di Desa
Cemani. Sedangkan kasus terendah terdapat di
Kecamatan Tawangsari dengan jumlah kasus sebanyak
3. Berdasarkan hasil analisis spasial menggunakan
Indeks Moran I menggunakan autokorelasi antardesa,
didapatkan hasil pola spasial persebaran penyakit DBD
di Kabupaten Sukoharjo adalah autokorelasi positif
dengan pola berkelompok (clustered) yang memiliki
nilai z-score sebesar 10,31, nilai signifikansi 0,000 dan
indeks Moran sebesar 0,51.
Pendekatan spasial merupakan pendekatan yang
digunakan dalam sistem geografi. Sistem Informasi
Geografi (SIG) diartikan sebagai kombinasi perangkat
keras dan lunak yang dapat mengelola, menganalisa,
dan memetakan informasi spasial. Salah satu informasi
spasial yang digunakan dalam bidang kesehatan adalah
pola penyebaran penyakit. SIG mampu untuk
mengidentifikasi pola sebaran kasus DBD dan
mengidentifikasi kerawanan suatu daerah terhadap
kasus DBD. Selain itu, SIG juga mampu untuk
memperhitungkan suatu jarak antara kasus DBD satu
dengan kasus lainnya melalui kepadatan kasus
DBD.(28,29)
Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023 51
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
Gambar 1. Sebaran kasus DBD Kabupaten Sukoharjo tahun 2021
Gambar 2. Kepadatan kasus DBD Kabupaten Sukoharjo tahun 2021
52 Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
Pada penelitian ini, pola sebaran kasus DBD di
Kabupaten Sukoharjo yaitu berpola clustered atau
berkelompok. Autokorelasi spasial pada kasus DBD di
Kabupaten Sukoharjo tahun 2021 yakni memiliki
autokorelasi spasial positif. Autokorelasi spasial positif
diartikan bahwa lokasi wilayah desa yang memiliki
kasus DBD akan memiliki nilai yang cenderung mirip
dan berkelompok dengan wilayah desa yang
berdekatan. Nilai Indeks Moran yakni 0,51 yakni I > 0
memiliki arti autokorelasi positif sehingga jumlah
kasus DBD dalam satu wilayah desa terdapat banyak
kemiripin dengan kasus pada desa yang berdekatan.
Peningkatan suatu kasus DBD di suatu desa akan
mempengaruhi risiko penularan pada desa di
sekitarnya. Autokorelasi spasial positif menandakan
bahwa pola sebaran kasus DBD di Kabupaten
Sukoharjo merupakan pola sebaran penyakit DBD
yaitu kluster atau berkelompok. Pola persebaran kasus
DBD dapat dijadikan sebagai salah satu cara
pengendalian penyakit DBD berdasarkan wilayah yang
ada di Kabupaten Sukoharjo serta dapat membantu
dalam analisis keterkaitan antara faktor risiko seperti
bionomik vektor dan faktor lingkungan terhadap
kejadian DBD. Pemantauan kejadian DBD
berdasarkan spasial akan membantu instansi terkait
untuk mengetahui wilayah mana yang berisiko untuk
dijadikan prioritas dalam pemantauan dan
pengendalian penyakit DBD. Selain itu, pola spasial
dapat digunakan sebagai media pendukung dalam
memahami persebaran distribusi serta guna
mengidentifikasi area yang paling berisiko terhadap
virus dengue.(3034)
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian
Rika (2017) di Kota Bandung yang menyebutkan pola
sebaran spasial kasus DBD di Kota Bandung adalah
pola sebaran spasial dengan menggunakan Indeks
Moran I adalah berpola cluster atau berkelompok.
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Andri (2017)
di Kota Tasikmalaya yang menjelaskan bahwa sebaran
kasus DBD terjadi secara mengelompok. Sehingga jika
suatu wilayah terjadi kasus DBD, maka wilayah
sekitarnya akan rentan terhadap kasus DBD. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Andhy (2019) di Kabupaten
Bantul menjelaskan bahwa pola persebaran vektor
DBD berdasarkan dari nilai ANN yaitu berkerumun
dan clustered.(32,35,36)
Gambar 2 menunjukkan kepadatan kasus DBD
Kabupaten Sukoharjo tahun 2021. Dari gambar
tersebut, terlihat bahwa Kecamatan Kartasura,
Kecamatan Baki, Kecamatan Grogol, dan Kecamatan
Gatak merupakan wilayah dengan tingkat kepadatan
kasus yang tinggi. Semakin banyak kasus DBD, maka
semakin tinggi angka kepadatan kasus di daerah
tersebut.
Kernel density atau densitas Kernel adalah alat
spasial yang dapat menghitung kepadatan di
lingkungan melalui suatu titik dan garis. Analisis
kernel density menghasilkan suatu gambaran
persebaran kepadatan di sekitar fitur point atau titik
dengan daerah yang memiliki volume tertentu yang
ditransformasikan dalam bentuk point dan raster.
Kepadatan kasus DBD tertinggi di Kabupaten
Sukoharjo tahun 2021 yaitu terdapat pada Kecamatan
Grogol. Daerah dengan tingkat kepadatan kasus yang
tinggi berarti memiliki risiko tinggi terhadap
persebaran penyakit DBD. Sehingga dibutuhkan
pemantauan dan pengendalian terhadap kawasan yang
memiliki risiko tinggi terhadap sebaran kasus
DBD.(37,38)
SIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan antara house index, container index,
breteau index dan angka bebas jentik terhadap kasus
DBD dengan p-value = 0,000. Pola spasial sebaran
kasus DBD Kabupaten Sukoharjo tahun 2021 yaitu
autokorelasi positif dengan pola berkelompok yang
memiliki kepadatan kasus tertinggi di Kecamatan
Grogol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yana Y, Rahayu S. Analisis Spasial Faktor
Lingkungan dan Distribusi Kasus Demam
Berdarah Dengue. HIGEIA (Journal of Public
Health Research and Development) 2017,
1(3):106-116.
2. Wang WH, Urbina AN, Chang MR,
Assavalapsakul W, Lu PL, Chen YH, et al.
Dengue hemorrhagic fever A systemic literature
review of current perspectives on pathogenesis,
prevention and control. Journal of Microbiology,
Immunology, and Infection 2020, 53(6):963-978.
https://doi.org/10.1016/j.jmii.2020.03.007
3. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Penyakit
Demam Berdarah Di Indonesia 2017. Journal of
Vector Ecology 2018, 31:71-78.
4. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2020.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta; 2021.
5. Kuwa MKR, Sulastien H. Gambaran Presentasi
Angka Bebas Jentik terhadap Kejadian Demam
Berdarah di Kabupaten Sikka. Jurnal Ilmiah
Stikes Kendal 2021, 11(4):635640.
6. Maryanti E, Ismawati I, Prissilia U, Puteri AY.
Potensi Transmisi Demam Berdarah Dengue
Berdasarkan Indeks Entomologi dan Maya Indeks
di Tiga Kelurahan Kecamatan Sukajadi Kota
Pekanbaru. Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia 2020, 19(2):111-118.
https://doi.org/10.14710/jkli.19.2.111-118
7. Tansil MG, Rampengan NH, Wilar R. Faktor
Risiko Terjadinya Kejadian Demam Berdarah
Dengue Pada Anak. Jurnal Biomedik:JBM 2021,
13(1):90.
https://doi.org/10.35790/jbm.13.1.2021.31760
8. Ramadhani, Tri, Wahyudi BF. Pengaruh
Penggunaan Lethal Ovitrap terhadap Populasi
Nyamuk Aedes Sp sebagai Vektor Demam
Berdarah Dengue. Jurnal Litbang Pengendalian
Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara
Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023 53
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
2013, 9(1):2126.
9. OECD-Organisation for Economic Co-operation
and Development. Harmonisation of Regulatory
Oversight in Biotechnology. Safety Assessment
of Transgenic Organisms in the Environment.
Vol. 8, OECD Publishing; 2018.
10. Kusumawati N, Sukendra DM. Spasiotemporal
Demam Berdarah Dengue berdasarkan House
Index, Kepadatan Penduduk dan Kepadatan
Rumah. HIGEIA (Journal of Public Health
Research and Development) 2020, 4(2):168-177.
11. Perwitasari D, RES RN, Ariati J. Indeks
Entomologi dan Sebaran Vektor Demam
Berdarah Dengue di Provinsi Maluku Utara
Tahun 2015. Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan 2018, 28(4):279-288.
https://doi.org/10.22435/mpk.v28i4.242
12. Badrah S, Hidayah N. Hubungan antara Tempat
Perindukan Nyamuk Aedes aegypti dengan Kasus
Demam Berdarah Dengue Di Kelurahan Penajam
Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser
Utara. Journal of Tropical Pharmacy and
Chemistry 2011, 1(2):150-157.
https://doi.org/10.25026/jtpc.v1i2.23
13. Suryanto H. Analysis of Behavioral Factors, Use
of Gauze, and House Index with The Incidence of
DHF in District Dringu Probolinggo. Jurnal
Kesehatan Lingkungan 2018, 10(1):36-48.
https://doi.org/10.20473/jkl.v10i1.2018.36-48
14. Gifari MA, Rusmartini T, Astuti RDI. Hubungan
Tingkat Pengetahuan dan Perilaku Gerakan 3M
Plus dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti.
Bandung Meet Global Medical Health 2017,
1(1):84-90.
15. Diallo D, Diallo M. Resting behavior of Aedes
aegypti in southeastern Senegal. Parasites and
Vectors. 2020, 13(1):17.
https://doi.org/10.1186/s13071-020-04223-x
16. Puteri TA, Darundiati YH, Dewanti NA.
Hubungan Breeding Place Dan Resting Place
Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue
(Dbd) Di Kecamatan Semarang Barat. Jurnal
Kesehatatan Masyarakat 2018, 6(6):369377.
17. Hastuti NM, Dharmawan R, Indarto D.
Sanitation-Related Behavior, Container Index,
and Their Associations with Dengue
Hemorrhagic Fever Incidence in Karanganyar,
Central Java. Journal of Epidemiology and Public
Health 2017, 02(02):174185.
https://doi.org/10.26911/jepublichealth.2017.02.
02.08
18. Indriyani Z, Rahardjo M, Setiani Bagian
Kesehatan Lingkungan O, Kesehatan Masyarakat
F. Hubungan Faktor Lingkungan dengan
Persebaran Kejadian Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.
Jurnal Kesehatan Masyarakat 2017, 3(3):842
850.
19. Respati T, Raksanagara A, Djuhaeni H, Sofyan A,
Faridah L, Agustian D, et al. Berbagai Faktor
yang Memengaruhi Kejadian Demam Berdarah
Dengue di Kota Bandung. ASPIRATOR (Jurnal
Penelitian Penyakit Tular Vektor) 2017, 9(2):91
96.
https://doi.org/10.22435/aspirator.v9i2.4509.91-
96
20. Trapsilowati, SKM, M.Kes W, Anggraeni YM,
Prihatin MT, Pujiyanti A, Garjito TA. Indikator
Entomologi dan Risiko Penularan Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Pulau Jawa,
Indonesia. Vektora (Jurnal Vektor dan Reservoir
Penyakit) 2019, 11(2):7986.
https://doi.org/10.22435/vk.v11i2.1829
21. Ariati J, Anwar Musadad DD. Kejadian Demam
Berdarah Dengue (Dbd) Dan Faktor Iklim Di
Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. The
Indonesian Journal of Health Ecology 2012,
11(4):279-286.
22. Lahdji A, Putra BB. Hubungan Curah Hujan,
Suhu, Kelembaban dengan Kasus Demam
Berdarah Dengue di Kota Semarang. Syifa'
Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan 2017,
8(1):46-53.
https://doi.org/10.32502/sm.v8i1.1359
23. Ariati J, Athena Anwar. Model Prediksi Kejadian
Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan
Faktor Iklim di Kota Bogor, Jawa Barat. Buletin
Penelitian Kesehatan 2014, 42(4):249256.
24. Rokhmawanti N, Ginanadjar P, Martini M.
Hubungan Maya Index Dengan Kejadian Demam
Berdarah Dengue Di Kelurahan Tegalsari Kota
Tegal. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2015,
3(1):162170.
25. Nisa C, Saraswati LD, Martini M, Adi MS.
Hubungan Tutup Kontainer, Bahan Kontainer,
dan Sumber Air dengan Tingkat Kejadian DBD
di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten
Boyolali. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2021,
9(6):848851.
https://doi.org/10.14710/jkm.v9i6.31899
26. Prasetyowati H, Astuti EP, Widawati M. Faktor
yang Berhubungan dengan Keberadaan Jentik
Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam
Berdarah Dengue (DBD) Jakarta Barat. Balaba
Jurnal Litbang Pengendali Penyakit Bersumber
Binatang Banjarnegara 2017, 13(2):115124.
https://doi.org/10.22435/blb.v13i2.5804.115-124
27. Anggraini S. The Existance of Larvae and
Dengue Fever Incidence in Kedurus Sub-District
in Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan 2018,
10(3):252.
https://doi.org/10.20473/jkl.v10i3.2018.252-258
28. Bafdal N, Amaru K, Pareira P BM, Teknologi F,
Pertanian I, Padjadjaran U. Buku Ajar Sistem
Informasi Geografis , Edisi 1. 1st ed. Bandung:
Jurusan Teknik Manajemen Industri Pertanian
FTIP UNPAD; 2011.
29. Wijayanti SPM. Karakteristik dan Pola
Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue
di Wilayah Endemis. 2019. 54 p.
54 Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
30. Putri LK, Karnila R, Zahtamal. Analyis of the
Distribution of Dengue Hemorrhegic Fever (Dhf)
With A Spacial Approach in Pekanbaru City.
Jurnal Ilmu Lingkungan 2019, 13(1):5565.
31. Faiz N, Rahmawati R, Safitri D. Analisis Spasial
Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue
dengan Indeks Moran dan Geary’s (Studi Kasus
di Kota Semarang Tahun 2011). Jurnal Gaussian
2013, 2(1):6978.
32. Hernawati R, Ardiansyah MY. Analisis Pola
Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di
Kota Bandung Menggunakan Indeks Moran.
Jurnal Rekayasa Hijau 2018, 1(3):221232.
https://doi.org/10.26760/jrh.v1i3.1774
33. Fuadzy H, Prasetyowati H, Marliyanih ES, etc.
Autokorelasi Spasial Demam Berdarah Dengue di
Kota Tasikmalaya.ASPIRATOR Jurnal
Penelitian Penyakit Tular Vektor 2021,
13(2):113126.
https://doi.org/10.22435/asp.v13i2.5241
34. Syamsir S, Daramusseng A, Rudiman R.
Autokorelasi Spasial Demam Berdarah Dengue di
Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda.
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 2020,
19(2):119126.
https://doi.org/10.14710/jkli.19.2.119-126
35. Ruliansyah A, Yuliasih Y, Ridwan W, Kusnandar
AJ. Analisis Spasial Sebaran Demam Berdarah
Dengue di Kota Tasikmalaya Tahun 2011 2015.
ASPIRATOR Jurnal Penelitian Penyakit Tular
Vektor 2017, 9(2):8590.
https://doi.org/10.22435/aspirator.v9i2.6474.85-
90
36. Sulistyo A. Kombinasi Teknologi Aplikasi GPS
Mobile dan Pemetaan SIG dalam Sistem
Pemantauan Demam Berdarah (DBD). Khazanah
Informatika Jurnal Ilmu Komputer dan
Informatika 2019, 5(1):614.
https://doi.org/10.23917/khif.v5i1.7136
37. Fariz TR. Pemodelan Spasial Kerawanan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Menggunakan Logika Fuzzy Di Kabupaten
Kudus. Jurnal Geografi Media Pengembangan
Ilmu dan Profesi Kegeografian 2017;14(1):90
101.
38. How Kernel Density worksArcGIS Pro |
Documentation [Internet]. [cited 2022 Jun 13].
Available from: https://pro.arcgis.com/en/pro-
app/2.8/tool-reference/spatial-analyst/how-
kernel-density-works.html
©2023. This open-access article is distributed under the terms and conditions of the Creative
Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
... Mosquito densities that have a high HI value have a high risk of dengue fever transmission. Low ABJ plays a major role in the transmission and spread of DHF [38]. ...
... Previous studies have indicated that the distribution pattern of dengue can be affected by various factors, one of which is the existence of mosquito vectors that can be assessed through entomological indexes such as: House Index (HI), Container Index (CI), Breteau Index (BI), and Mosquito larva Free Rate (ABJ). High dengue disease transmission is encouraged by the high density of Ae. aegypti mosquitoes [7,8]. ...
Article
Full-text available
Background. The cause of dengue fevers endemicity is vector larvae density, with Aedes aegypti as the prime vector. Bandung municipality is a high dengue fever endemic area. Hence, studying the habitat characteristics of the Aedes mosquito is essential to controlling the populations of mosquitos. Purpose. This study aimed to identify the aedes larvae breeding sites and the relationship between the breeding risk index, hygiene risk index, maya index, and the existence of larvae with the incidence of dengue fever. Method. The design used in this research was a cross-sectional survey. The sampling technique used simple random sampling. The quantity of the sample was 544 directly observed houses. Results. The entomological parameters obtained were house index (23.89%), container index (7.81%), Breteau index (50.73%), and larva free number (76.10%). The breeding risk index, hygiene risk index, and maya index are in the low category. The chi-square test conveyed that the breeding risk index, maya index, and the existence of larvae were significantly associated with the incidence of dengue fever. Conclusion. The entomological index may influence the high incidence of dengue fever. These findings and results may help the authorities to improve mosquito nest eradication in attempts to prevent dengue transmission.
Article
Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus yang diketahui membawa virus Dengue. Di Bandar Lampung, kecamatan Kemiling menjadi wilayah tertinggi pesebaran kasus DBD dengan jumlah 23,7% kasus pertahun 2022. Salah satu upaya penurunan DBD dengan melakukan identifikasi keberadaan jentik dan Container Index (CI). Tujuan dilakukannya penelitian ini ialah guna mengetahui hubungan antara Keberadaan Jentik dan hubungan antara Container Index (CI) dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Kemiling. Jenis penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan case control. Sampel pada kajian ini memakai perbandingan 1:1, yaitu kelompok kasus atau penderita DBD sebanyak 27 responden dan kelompok kontrol atau non penderita DBD sebanyak 27 responden, dengan total 54 responden. Analisis data univariat dan bivariat dengan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Keberadaan Jentik (p-value = 0,001) dan Container Index (p-value = 0,001) berpengaruh terhadap kasus DBD. Saran kepada masyarakat Kecamatan Kemiling adalah melaksanakan 3M apabila masyarakat menemukan jentik pada container di rumah untuk memutus rantai DBD. Terutama pada container seperti ember bekas, kaleng bekas, dan container yang tidak dipakai kembali
Article
Latar Belakang : Kabupaten Sukoharjo yang terletak di Provinsi Jawa Tengah, menunjukkan tingkat kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) yang masih relatif tinggi. Pelonjakan kasus setiap tahun dipengaruhi oleh perilaku 3M masyarakat yang masih rendah. Salah satu kecamatan di Sukoharjo yang nilai DBD nya masih relative tinggi adalah Kecamatan Polokarto. DBD di wilayah kerja Puskesmas Polokarto selama tahun 2020-2023 kasus DBD mencapai 128 kasus. Wilayah Polokarto yang angka DBD masih tinggi di Kelurahan Kemasan dengan jumlah kasus DBD ada 20. Tujuan : mengetahui hubungan perilaku 3M plus terhadap angka bebas jentik nyamuk di Wilayah Kerja Puskesmas Polokarto. Metode: desain penelitian yang digunakan adalah distribusi korelasi. Populasi pada penelitian ini adalah Masyarakat Desa Kemasan dengan jumlah sampel 93 orang. Hasil : Sebagian besar Masyarakat masih memiliki perilaku 3M plus yang kurang baik 71 responden yang tindakan 3M Plus nya buruk, terdapat 55 kasus keberadaan jentik. Sedangkan 21 responden yang tindakan 3M plus nya baik, terdapat 6 kasus keberadaan jentik.,Kesimpulan: Ada hubungan yang signifikan antara perilaku 3M Plus dengan keberadaan jentik nyamuk diwilayah kerja UPTD Puskesmas Polokarto
Article
Full-text available
Tasikmalaya city is a high endemic dengue area which contributes to the high number ofdengue cases in West Java province. This study aims to analyze the geographic distribution patternof dengue infection at the village level and identify high-risk urban villages in Tasikmalaya City. Thisstudy analyzed the surveillance data of dengue cases in 2016–2020 which was routinely managed bythe Tasikmalaya City Health Office. Variables analyzed included date, patient’s name and address(villages). The map data in the form of a shape file (shp.) were obtained from BPS in 2019. The spatialautocorrelation analysis uses two approaches, (the global Moran Index and LISA). The results showedthat DHF cases in the Tasikmalaya city tend to increase in the last 5 years (2016–2020). The highestnumber of annual and monthly dengue cases occurred in 2020, (1,744 cases and 307 cases) withthe incidence rate peaked at 262.6561 per 100,000 population. The global Moran index test using asignificance level of 5 showed that there is a spatial autocorrelation between adjacent sub-districts ofdengue cases in Tasikmalaya city every year for the last 5 years (2016–2020, and cumulative). Thevalue of the global moran index (I) shows a positive correlation between urban villages to the numberof annual dengue cases for the last 5 years and is cumulative. It can be concluded that there aresimilarities in the characteristics of DHF cases in adjacent villages or the relationship between DHFcases tends to be spatially clustered.
Article
Full-text available
Latar belakang: Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti. Kejadian DBD selalu ada setiap tahun di Pekanbaru dari tahun 2014-2016 terjadi peningkatan kasus, 2017-2018 kasus DBD mulai menurun tetapi diawal tahun 2019 kasus DBD kembali terjadi peningkatan dan sudah ada kematian sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis potensi transmisi DBD berdasarkan indeks entomologi dan maya indeks di tiga kelurahan Kecamatan Sukajadi yang merupakan daerah endemis DBD. Metode: Penelitian survei larva Aedes aegypti dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan pada bulan Juli 2019 di tiga kelurahan yaitu Kelurahan Kampung Tengah, Kampung Melayu, Kedungsari Kecamatan Sukajadi. Identifikasi larva menggunakan metode single larva method. Hasil: Sebanyak 181 rumah yang disurvey, didapatkan 822 kontainer yang terdiri dari 683 controllable sites dan 139 disposable sites. Angka bebas jentik sebesar 89,5%, container index 3,4%, house index 10,5% dan Breteau index 21%. Status Maya indeks (MI) yang diukur berdasarkan breeding risk index dan hygiene risk index didapatkan sebanyak 55,80% rumah termasuk dalam status sedang dan 15,47% termasuk ke dalam status MI tinggi. Sebaran keberadaan larva Aedes aegypti berdasarkan letak geografis cukup merata di Kelurahan Kampung Melayu dan Kampung Tengah.Simpulan: Berdasarkan hasil indeks entomologi tersebut didapatkan density figure dalam kategori sedang yang artinya wilayah ini mempunyai potensi transmisi sedang untuk kejadian penyakit DBD. ABSTRACT Title : Transmission Potential of Dengue hemorrhagic fever based on entomology index and maya index in three sub-districts, Sukajadi District, Pekanbaru CityBackground: Dengue hemorrhagic fever (DHF) is a disease still a health problem in Indonesia caused by the dengue virus that is transmitted through Aedes aegypti. The incidence of DHF is always there every year in Pekanbaru form 2014-2016 there was an increase in cases, from 2017-2018 dengue cases began to decline, but in early 2019 dengue cases increased again and there have been deaths so it requires more serious attention.. The objectives of this study was to analyze the potential transmission of DHF based on the entomology index and maya index in three sub-districts of Sukajadi district.Method: The research was a survey of larva Ae.aegypti in July 2019 from 181 houses in the three village of Sukajadi District. Larvae identification using the single larvae method.Result: A total of 181 houses surveyed obtained 822 containers consisting of 683 controllable sites and 139 disposable sites. The larvae free rates is 89.5%, container index 3.4%, house index 10,5% and Breteau index 21%. Maya index is measures based on breeding risk index and hygiene risk index shows that there are 55.8% of houses in the area are classified as moderate and 15.47% are included in high. The distribution of the existence of Ae.aegypti larvae based on the geographical location is quite evenly distributed in Kampung Melayu and Kampung Tengah.Conclusion: It is found that density figure is in the medium, which means that region has moderate transmission potential for the incidence of DHF
Article
Full-text available
ABSTRAK Latar belakang: Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Indonesia menjadi salah satu negara yang setiap tahunnya ditemukan kasus DBD. Program pengendalian DBD masih kurang maksimal karena puskesmas belum mampu memetakan wilayah rentan DBD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola sebaran DBD di Kecamatan Samarinda Utara dengan menggunakan autokorelasi spasial. Metode: Penelitian ini dilaksanakan di kelurahan yang berada pada wilayah kerja Puskesmas Lempake, Kecamatan Samarinda Utara. Sampel penelitian dipilih berdasarkan metode cluster sampling. Berdasarkan kriteria jumlah kasus tertinggi maka kelurahan di Kecamatan Samarinda Utara yang representatif untuk dijadikan cluster pada penelitian ini yaitu kelurahan yang berada pada wilayah kerja Puskesmas Lempake. Analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu Spatial Autocorrelation Analysis dengan menggunakan metode Moran's I. Spatial Autocorrelation Analysis digunakan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antar titik dan arah hubungannya (postif atau negatif). Hasil: Nilai Z-score atau Z hitung = 3,651181 dengan nilai kritis (Z α/2) sebesar 2,58. Ini menunjukkan bahwa Z-score > Z α/2 (3,6511 > 2,58) sehingga Ho ditolak. Terdapat autokorelasi spasial pada sebaran kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Lempake. Sebaran kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Lempake termasuk kategori clustered atau berkelompok pada lokasi tertentu. Moran's Index (I) = 0,124420 artinya I > 0. Ini menunjukkan bahwa pola sebaran DBD di wilayah kerja Puskesmaas Lempake merupakan autokorelasi positif. Simpulan: Pola sebaran kasus DBD di Kecamatan Samarinda Utara yaitu clustered. Autokorelasi spasial yang dihasilkan yaitu autokorelasi positif.
Book
Full-text available
Buku monograf tentang Karakteristik dan Pola Penyebaran Demam Berdarah Dengue di Wilayah Endemis
Article
Full-text available
Background: Only the sylvatic and zoophilic population of Aedes aegypti was formerly identified in southeastern Senegal. A newly established anthropophilic population was detected in the urban area of the Kedougou city. Because of its new behavior, this species could play a primary role in the transmission of dengue and other arboviruses in this area. Because these arboviruses have no vaccine and specific treatments, vector control remains the only effective way to control their outbreaks. Effective vector control strategies require to understand some aspects of the bioecology of the vector, specially resting behavior. The aims of this study were to investigate the sites and resting behavior of Ae. aegypti in southeastern Senegal. Methods: Mosquitoes were collected in several potential resting places (rooms, tires, bricks and scrap metal) by two technicians using a CDC back-pack aspirator in the Kedougou bus station and other sites within the city and the nearby rural area. Collected mosquitoes were identified and classified. Results: A total of 1291 mosquitoes belonging to 6 genera and 20 species were collected. Aedes aegypti was the dominant species in all the resting places investigated. This species was found resting equally in rooms, bricks, tires and scrap metal. The average number of Ae. aegypti collected in resting places was higher in the bus station (center of the city) compared to the other areas. The rates of unfed and fed females varied significantly in the different resting places while the proportions of gravid females which varied between 7.8% in tires and 1.8% in rooms were comparable. Conclusions: This study showed that Ae. aegypti could be found resting indoors and in several sites, including in used tires outdoors. These data will be helpful in setting better arboviruses surveillance and vector control strategies.
Article
Full-text available
Background Dengue is an arboviral disease caused by dengue virus. Symptomatic dengue infection causes a wide range of clinical manifestations, from mild dengue fever(DF) to potentially fatal disease, such as dengue hemorrhagic fever(DHF) or dengue shock syndrome(DSS). We conducted a literature review to analyze the risks of DHF and current perspectives for DHF prevention and control. Methods According to the PRISMA guidelines, the references were selected from PubMed, Web of Science and Google Scholar database using search strings containing a combination of terms that included dengue hemorrhagic fever, pathogenesis, prevention and control. Quality of references were evaluated by independent reviewers. Results DHF was first reported in the Philippines in 1953 and further transmitted to the countries in the region of South-East Asia and Western Pacific. Plasma leakages is the main pathophysiological hallmark that distinguishes DHF from DF. Severe plasma leakage can result in hypovolemic shock. Various factors are thought to impact disease presentation and severity. Virus virulence, preexisting dengue antibodies, immune dysregulation, lipid change and host genetic susceptibility are factors reported to be correlated with the development of DHF. However, the exact reasons and mechanisms that triggers DHF remains controversial. Currently, no specific drugs and licensed vaccines are available to treat dengue disease in any of its clinical presentations. Conclusion This study concludes that antibody-dependent enhancement, cytokine dysregulation and variation of lipid profiles are correlated with DHF occurrence. Prompt diagnosis, appropriate treatment, active and continuous surveillance of cases and vectors are the essential determinants for dengue prevention and control.
Article
Full-text available
One of dengue hemorrhagic fever (DHF) transmission risk factors is presence of vectors, especially Aedes aegypti. Vector surveillance is carried out to determine vectors distribution, vector density and risk of transmission. The larva survey is a common and easy vector surveillance method. This study aims to describe the cases and deaths due to DHF and entomological indicators in Java. This study was further analysis of Special Research Disease of Vector and Reservoir (Rikhus Vektora). Data collection was conducted in 2016 - 2018. The study locations were five provinces on Java Island i.e. East Jawa, West Jawa, Banten, DI Yogyakarta, DKI Jakarta and three districts were each taken. The data of DHF cases and entomology were analyzed descriptively. The results of the study show that the last two years were 50% districts experienced an increase in DHF cases and 38.9% an increase in deaths. The highest house index was 50% and lowest was 9%, highest larval free rate was 91% and lowest was 50%. The highest container index was 26.48%, lowest was 3.68%, and the highest breteau index was 67, lowest was 11. As many as 73.3% districts have the most water containers were buckets and 26.7% most water containers were bathtubs. Java Island has a medium to high potential region toward DHF transmission occurs. Increased knowledge and skills for eradication mosquito correctly by individually and community needs to be planned and implemented sustainable, to increase community participation as well.
Article
Full-text available
Bandung has the highest case of dengue fever in West Java, which is 3134 cases in 2014. The spread of dengue fever can be analyzed spatially by spatial autocorrelation to find out the correlation relationship pattern between locations. The method of spatial autocorrelation was using the Moran Index method. From these methods can determine the relationship of spatial autocorrelation in the spread of dengue fever and determine spatial distribution pattern of dengue fever in Bandung. The results of spatial autocorrelation analysis shows the spatial autocorrelation in dengue hemorrhagic cases in Bandung, the one-way significance test indicates a positive autocorrelation in Dengue hemorrhagic cases in Bandung and spatial distribution pattern is the spatial distribution pattern of the cluster. Kata kunci: spatial autocorrelation, spatial pattern, Moran Index, dengue fever. ABSTRAK Kota Bandung merupakan kota yang mempunyai kasus penyakit demam berdarah tertinggi di Jawa Barat yang berjumlah 3134 kasus pada tahun 2014. Sebaran penyakit demam berdarah dapat dianalisis secara spasial yaitu dengan autokorelasi spasial untuk mengetahui pola hubungan korelasi antar lokasi. Metode autokorelasi spasial yang digunakan adalah metode Indeks Moran. Dari metode tersebut dapat menentukan hubungan autokorelasi spasial dalam penyebaran penyakit demam berdarah dan menentukan pola sebaran spasial penyakit demam berdarah di Kota Bandung. Dari hasil analisis autokorelasi spasial menunjukan terdapat autokorelasi spasial pada kasus demam berdarah dengue di Kota Bandung, uji signifikansi satu arah menunjukan adanya autokorelasi positif pada kasus demam berdarah Dengue di Kota Bandung dan pola sebaran spasial dihasilkan adalah pola spasial sebaran cluster. Keywords: Autokorelasi Spasial, Pola Spasial, Indeks Moran, demam berdarah.
Article
Dengue hemorrhagic fever (DHF) is an acute infectious disease caused by dengue virus, this disease often occurs and even more dangerous if it’s found in children. Until now, There are no real specifications regarding to handling DHF, so efforts are needed to control risk factors that cause the occurrence of DHF in children to reduce morbidity and mortality. This literature review aims to determine the risk factors of DHF in children. The method that is being used is in the form of a literature study with the method of searching, combining the essence and analyzing facts from several scientific sources that are accurate and valid regarding to the risk factors for the occurrence of DHF in children. The results found that there was an association between nutritional status, age, presence of vector, domicile, environment, breeding place, resting place, habit of hanging clothes, temperature, using mosquito repellent, occupation, knowledge, attitudes, and 3M practice, while there is no relationship with gender, humidity, and sleeping habits in the morning and evening. This study concludes the importance of public knowledge about risk factors that cause the occurrence of DHF so families can avoid and reduce the incidence of DHF.Keywords: Child, Risk Factor, DHF, Dengue Fever,dan Dengue Hemorrhagic Fever Abstrak: Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue, penyakit ini sering terjadi dan bahkan lebih berbahaya manifestasinya jika ditemukan pada anak. Sampai saat ini belum ada spesifikasi yang nyata mengenai penanganan untuk penyakit DBD maka sangat dibutuhkan upaya pengendalian faktor risiko penyebab terjadinya kejadian DBD pada anak untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas. Literature review ini bertujuan untuk mengetahui apa saja faktor risiko terjadinya kejadian DBD pada anak. Metode yang digunakan berupa studi literatur dengan metode mencari, menggabungkan intisari serta menganalisis fakta dari beberapa sumber ilmiah yang akurat dan valid mengenai faktor risiko terjadinya kejadian demam berdarah dengue pada anak. Hasil menemukan bahwa terdapat hubungan antara status gizi, umur, keberadaan vektor, domisili, environment, breeding place, resting place, kebiasaan menggantung pakaian, suhu, penggunaan obat anti nyamuk, pekerjaan, pengetahuan dan sikap, dan praktik 3M, sedangkan tidak terdapat hubungan dengan faktor jenis kelamin, kelembaban dan kebiasaan tidur pagi dan sore. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pentingnya pengetahuan masyarakat mengenai faktor risiko apa saja penyebab terjadinya kejadian DBD agar keluarga dapat terhindar dari penyakit DBD dan mengurangi angka kejadian DBD.Kata Kunci: DBD, Faktor Risiko terjadinya DBD, dan Anak
Article
The vectors that cause dengue fever usually live in habitats close to humans, one of which is a water reservoir (TPA) or commonly called a container. In Glonggong Village, containers and water sources are still a problem that triggers the density of larvae. This study aims to determine the relationship between container lids, container materials, and water sources on the incidence of DHF. The total sample used is 110 houses with a total of 201 containers. Collecting data using visual larval techniques, namely only by observing containers that are positive for larvae. Based on the results of the relationship test, it was found that the proportion of the presence of the lid was p = 0.071, container material was p = 0.163, and water source was p = 0.590. Which means that there is a relationship between container lids, container materials, and water sources with the incidence of DHF. Thus, there is a need for further socialization regarding the 3M Plus program in order to suppress dengue cases in Glonggong Village.