Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 – e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia
22 (1), 2023, 46 – 54
DOI : 10.14710/ jkli.22.1.46-54
Pengaruh Indeks Entomologi dan Sebaran Kasus Demam
Berdarah Dengue di Kabupaten Sukoharjo
Maulina Tri Handayani1*, Mursid Raharjo2, Tri Joko2
1 Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Jawa
Tengah 50275, Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro, Jawa Tengah 50275, Indonesia
*Corresponding author: maulinatrih0906@gmail.com
Info Artikel:Diterima 30 Juni 2022 ; Direvisi 18 Desember 2022 ; Disetujui 19 Desember 2022
Tersedia online : 26 Januari 2023 ; Diterbitkan secara teratur : Februari 2023
Cara sitasi (Vancouver): Handayani MT, Raharjo M, Joko T. Pengaruh Indeks Entomologi dan Sebaran Kasus Demam
Berdarah Dengue di Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia [Online]. 2023 Feb;22(1):46-54.
https://doi.org/10.14710/jkli.22.1.46-54.
ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit DBD di Kabupaten Sukoharjo mengalami peningkatan kasus dan kematian. Tahun
2020 terdapat 185 kasus (IR = 20,38 per 100.000) dan meningkat menjadi 222 kasus (IR = 24.35 per 100.000)
pada tahun 2021. Kasus tertinggi terdapat di Kecamatan Grogol dengan jumlah 55 kasus (IR = 43,12 per 100.000)
dan nilai ABJ sebesar 94%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh indeks entomologi terhadap kasus
DBD dan sebaran kasus DBD.
Metode: Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan desain analytic case-control. Penelitian
dilakukan pada bulan Maret – April 2022 dengan pemilihan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan
jumlah sampel 84 responden. Variabel yang digunakan pada penelitian ini yaitu HI, CI, BI dan ABJ dengan
metode analisis univariat, bivariat dan analisis spasial.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa house index (p-value = 0,000), container index (p-value=0,000),
breteau index (p-value = 0,000) dan angka bebas jentik (p-value=000) berpengaruh terhadap kasus DBD.
Keberadaan jentik yang diketahui melalui indeks entomologi merupakan tanda adanya populasi jentik. Kepadatan
jentik yang tinggi menandakan risiko tinggi penularan DBD. Pola spasial kasus DBD Kabupaten Sukoharjo yaitu
autokorelasi positif dengan pola berkelompok dan kepadatan kasus tertinggi di Kecamatan Grogol.
Simpulan: Indeks entomologi yang mempengaruhi kasus DBD di Kabupaten Sukoharjo adalah house index,
container index, breteau index dan angka bebas jentik dengan pola spasial sebaran kasus DBD yaitu berkelompok.
Kata kunci: DBD; indeks entomologi; spasial
ABSTRACT
Title: Effect Of Entomological Index And Distribution Of Dengue Hemorrhagic Fever Cases In Sukoharjo
Regency
Background: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in Sukoharjo Regency has increased in cases and deaths. In
2020 there were 185 cases (IR = 20.38 per 100,000) and increased to 222 cases (IR = 24.35 per 100,000) in
2021. CFR in 2020 was 3.78% and increased to 4.95% in 2021. The highest cases were in Grogol District with
55 cases (IR = 43.12 per 100,000) with the larva-free number being 94%. This study aims to determine the effect
of the entomological index on cases of DHF and the distribution of dengue cases.
Method: The type of research used is observational with case-control analytic design. The study was conducted
in March – April 2022 with the selection of samples carried out by purposive sampling with a total sample of 84
Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023 47
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 – e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
respondents. The variables used in this study are HI, CI, BI and larva-free number with univariate, bivariate and
spatial analysis methods.
Result: The results showed that the house index (p-value = 0.000), container index (p-value = 0.000), breteau
index (p-value = 0.000) and larva-free numbers (p-value = 0.000) had an effect on dengue cases. The presence
of larvae known through the entomological index was a sign of the presence of a larva population. High larva
density indicated a high risk of dengue transmission. The spatial pattern of DHF cases in Sukoharjo Regency is
a positive autocorrelation with a group pattern and the highest case density is in Grogol District.
Conclusion: The entomological index that affected DHF cases in Sukoharjo Regency are the house index,
container index, breteau index and larva-free numbers with a spatial pattern of distribution of DHF cases
clustered.
Keywords: DHF; entomological index; spatial
PENDAHULUAN
Penyakit demam berdarah dengue (DBD)
merupakan suatu penyakit menular yang diakibatkan
oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk yaitu
nyamuk jenis Aedes aegypti dan Aedes albopictus.(1)
Aedes aegypti memiliki persebaran virus dengue yang
luas yakni hampir di seluruh daerah tropis maupun
subtropis di seluruh dunia. Aedes Aegypti berperan
sebagai transmisi penyakit demam berdarah dengan
penularan melalui gigitan nyamuk saat menghisap
darah manusia. Manifestasi klinis pada penyakit DBD
yaitu berupa demam tinggi, perdarahan yang disertai
dengan hepatomegali, gangguan sirkulasi darah, dan
syok hipovolemik yang diakibatkan oleh kebocoran
plasma darah.(2)
Menurut WHO, pada tahun 2004 – 2010 Asia
Pasifik memiliki 75% beban penyakit dengue di dunia.
Banyaknya kasus DBD di Indonesia menempatkan
Indonesia sebagai negara kedua di antara 30 negara
endemis lain.(3) Di Indonesia, jumlah kasus DBD pada
tahun 2020 tercatat sebanyak 108.303 kasus dengan
Incidence Rate (IR) DBD sebesar 40 per 100.000
penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) DBD sebesar
0,7%. Sementara itu, Provinsi Jawa Tengah memiliki
nilai CFR yang tergolong tinggi yaitu sebesar 1,9%
dengan jumlah kasus sebanyak 5.683.(4)
Kabupaten Sukoharjo adalah salah satu
kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan insiden
DBD yang masih cukup tinggi. Kasus DBD dalam tiga
tahun terakhir cenderung memiliki tren meningkat.
Pada tahun 2019 jumlah kasus sebanyak 317 kasus dan
menurun menjadi 185 kasus pada tahun 2020
kemudian kembali mengalami peningkatan pada tahun
2021 meniadi 222. Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Kabupaten Sukoharjo, kasus DBD pada tahun 2021
memiliki nilai Incidence Rate (IR) DBD 24,35 per
100.000 penduduk dengan Case Fatality Rate (CFR)
DBD 4,9% dengan jumlah kematian sebesar 11. Kasus
tertinggi di Kabupaten Sukoharjo terletak di
Kecamatan Grogol dengan angka kasus yaitu 55 (IR =
43,12 per 100.0000) yang memiliki nilai ABJ yakni
94%. Sedangkan, kasus terendah terdapat di
Kecamatan Tawangsari dengan angka kasus yaitu 3 (IR
= 5,69 per 100.000) yang memiliki nilai ABJ yakni
79,5%. Berdasarkan penelitian terdahulu dijelaskan
bahwa nilai ABJ yang tinggi memiliki kasus DBD yang
rendah begitupun sebaliknya.(5) Sehingga perlu
ditelaah lebih lanjut mengenai pengaruh nilai indeks
entomologi terhadap kasus DBD di Kabupaten
Sukoharjo.
Faktor yang mempengaruhi peningkatan angka
kasus DBD diantaranya yaitu bionomik vektor
nyamuk, kondisi cuaca dan iklim; lingkungan fisik
seperti suhu, kelembaban, curah hujan; lingkungan
biologi seperti keberadaan jentik nyamuk/vektor dan
keberadaan breeding place serta resting place; faktor
perilaku masyarakat, kepadatan penduduk, dan
mobilitas penduduk. Sedangkan, pola persebaran DBD
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya dari
keberadaan vektor nyamuk yang dapat ditinjau melalui
indeks entomologi berupa House Index (HI), Container
Index (CI), Breteau Index (BI), dan Angka Bebas
Jentik (ABJ). Penularan atau persebaran penyakit DBD
yang tinggi didukung oleh adanya kepadatan nyamuk
Aedes aegypti yang tinggi.(6,7)
Oleh karena itu, tujuan penelitin ini ialah untuk
mengetahui pengaruh indeks entomologi terhadap
kasus DBD dan sebaran pola kasus DBD.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini menggunakan jenis observasional
dengan desain case-control. Data diperoleh melalui
observasi, wawancara, dan pengumpulan data
sekunder. Data sekunder pada penelitian yaitu data
kasus DBD dan indeks entomologi (HI, CI, BI, dan
ABJ) Kabupaten Sukoharjo tahun 2021 yang diperoleh
dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo. Penelitian
ini dilakukan dari bulan Maret – April 2022. Populasi
yang digunakan yaitu seluruh masyarakat di
Kecamatan Grogol dengan sampel penelitian
berjumlah 84 dengan rincian 42 responden kelompok
kasus dan 42 responden kelompok kontrol. Teknik
pengambilan sampel menggunakan cara purposive
sampling dengan dasar pertimbangan subjektif sesuai
dengan kriteria yang dibutuhkan. Sampel kelompok
kasus memiliki kriteria yaitu penderita DBD di
Kecamatan Grogol pada bulan Februari – Maret 2022,
bertempat tinggal di Kecamatan Grogol, dan bersedia
menjadi responden. Sedangkan, kriteria sampel
kelompok kontrol yaitu tidak menderita penyakit DBD,
memiliki jarak rumah ±100 m dari rumah penderita
DBD, bertempat tinggal di Kecamatan Grogol, dan
48 Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 – e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
bersedia menjadi responden. Penetapan kasus DBD
diperoleh dari data laporan kasus DBD Puskesmas
Kecamatan Grogol yang memenuhi kriteria diagnosa
penyakit DBD pada bulan Februari – Maret 2022.
Variabel terikat dari penelitian ini adalah kasus
DBD, sedangkan variabel bebas yang digunakan yaitu
HI, CI, BI, ABJ dan curah hujan. Indeks entomologi
dikategorikan menjadi 2 yaitu HI berisiko (≥5%) dan
tidak berisiko (<5%), CI berisiko (≥5%) dan tidak
berisiko (<5%), BI berisiko/kepadatan jentik sedang –
tinggi (≥5) dan tidak berisiko/kepadatan jentik rendah
(<5), ABJ berisiko (<95%) dan tidak berisiko (≥95%).
Analisis pada penelitian ini menggunakan
analisis univariat, bivariat dan analisis spasial. Analisis
univariat menyajikan data dalam bentuk tabel ataupun
grafik untuk mengetahui proporsi setiap variabel yang
diteliti dengan menggunakan software Mocrosoft Excel
dan Mocrosoft Word. Analisis bivariat berupa uji
statistik chi-square dengan batas kemaknaan yang
ditetapkan yaitu 0,05. Uji bivariat digunakan untuk
mengetahui hubungan antara HI, CI, BI, dan ABJ
terhadap kasus DBD dengan menggunakan software
SPSS Statistics 23.
Analisis spasial menggunakan model overlay
dengan menggabungkan dua kumpulan data atau lebih
untuk menunjukkan hubungan geospasial. Analisis
spasial yang digunakan yaitu Indeks Moran I dan
Nearest Neighbour Analysis untuk mengetahui pola
persebaran kasus DBD serta analisis kernel density
untuk mengetahui kepadatan kasus DBD. Analisis
spasial menggunakan bantuan software ARCGis 10.8.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian 84 responden di Kecamatan
Grogol menggunakan statistik univariat dan bivariat tes
untuk variabel HI, CI, BI, ABJ, dan curah hujan adalah
sebagai berikut.
Tabel 1. Distribusi frekuensi sub variabel indeks entomologi di Kecamatan Grogol tahun 2022
Variabel
Kategori
Frekuensi
Persentase (%)
House Index
Berisiko (≥5%)
31
36,9
Tidak Berisiko (<5%)
53
63,1
Container Index
Berisiko (≥5%)
26
31
Tidak Berisiko (<5%)
58
69
Breteau Index
Berisiko (≥5)
31
36,9
Tidak Berisiko (<5)
53
63,1
Angka Bebas Jentik
Berisiko (<95%)
31
36,9
Tidak Berisiko (≥95%)
53
63,1
Tabel 1 menunjukkan responden dengan rumah
kategori HI berisiko yaitu sebesar 36,9% dan rumah
kategori HI tidak berisiko yaitu sebesar 63,1%. Pada
variabel CI menunjukkan responden dengan kategori
CI berisiko yaitu sebesar 31% dan kategori CI tidak
berisiko yaitu sebesar 69%. Variabel BI menunjukkan
responden dengan kategori BI berisiko yaitu sebesar
36,9% dan kategori BI tidak berisiko yaitu sebesar
63,1%. Variabel ABJ menunjukkan responden dengan
rumah kategori ABJ berisiko yaitu sebesar 36,9% dan
rumah kategori ABJ tidak berisiko yaitu sebesar
63,1%.
Pada tahun 2021 Kecamatan Grogol merupakan
daerah dengan tingkat kasus DBD tertinggi yakni
jumlah kasus sebesar 55 dengan IR = 43,12 per 100.000
penduduk dengan jumlah kematian 5 yang memiliki
nilai CFR yakni 9,09% di Kecamatan Grogol.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan,
kelompok kasus tertinggi terjadi pada Desa Gedangan
dengan jumlah kasus sebesar 8 kasus. Sedangkan,
kelompok kasus terendah terjadi pada Desa Banaran
dengan jumlah kasus sebesar 1. Nilai indeks
entomologi paling berisiko terdapat di Desa
Sanggrahan, sedangkan nilai indeks entomologi tidak
berisiko terdapat di Desa Kwarasan. Berdasarkan
observasi di lapangan, Desa Kwarasan dengan jumlah
kasus sebesar 3 memiliki nilai indeks entomologi
dengan kategori tidak berisiko dalam kelompok kasus
maupun kelompok kontrol. Hal tersebut dapat
diakibatkan salah satunya oleh pengaruh jarak terbang
vektor nyamuk yakni 100meter yang mendukung
adanya persebaran DBD dari wilayah lain. Desa
Kwarasan merupakan wilayah yang berdekatan dengan
Desa Sanggrahan yang memiliki nilai indeks
entomologi paling berisiko diantara wilayah lainnya.
Sehingga hal tersebut dapat menyebabkan persebaran
DBD ke daerah lain, salah satunya Desa Kwarasan.
Nyamuk merupakan vektor penyakit yang mampu
menghisap darah manusia dari satu orang ke orang lain
secara bergantian dalam kurun waktu yang singkat
(multiple biters). Perilaku nyamuk tersebut akan
mudah dalam meningkatkan penularan penyakit DBD
pada suatu wilayah yang berisiko.(8,9)
Tabel 2 pada variabel HI menunjukkan bahwa
kelompok kasus dengan kategori HI berisiko memiliki
persentase lebih tinggi 64,3% dibandingkan dengan
responden pada kategori tidak berisiko, yaitu 35,7%.
Sedangkan kelompok kontrol dengan kategori HI tidak
berisiko. Persentasenya lebih tinggi 90,5%
dibandingkan responden yang masuk kategori risiko,
yaitu 9,5%. Dari hasil uji chi-square nilai p-value =
0,000 (p<0,05), sehingga Ho ditolak, hal ini
menandakan bahwa terdapat hubungan antara kasus HI
dengan DBD di Kabupaten Grogol. Berdasarkan
Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023 49
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 – e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
observasi yang telah dilakukan, didapatkan hasil
bahwa banyak masyarakat yang masih memakai
penampungan air berupa bak mandi dari semen dan
keramik. Sehingga masih banyak ditemukan jentik
nyamuk pada kontainer air di dalam rumah. Selain itu,
juga ditemukan jentik nyamuk pada tumpukan barang
bekas seperti ember bekas dan drum bekas.
Tabel 2 Hasil analisis bivariat hubungan sub variabel indeks entomologi dengan kasus DBD di Kecamatan
Grogol tahun 2022
Variabel
Kategori
Kasus
(n = 42)
Kontrol
(n = 42)
p-value
Frek
%
Frek
%
House Index
Berisiko (≥5%)
27
64,3
4
9,5
0,000*
Tidak Berisiko (<5%)
15
35,7
38
90,5
Container Index
Berisiko (≥5%)
24
57,1
2
4,8
0,000*
Tidak Berisiko (<5%)
18
42,9
40
95,2
Breteau Index
Berisiko (≥5)
27
64,3
4
9,5
0,000*
Tidak Berisiko (<5)
15
35,7
38
90,5
Angka Bebas Jentik
Berisiko (<95%)
27
64,3
4
9,5
0,000*
Tidak Berisiko (≥95%)
15
35,7
38
90,5
Ket : * (signifikan)
Keberadaan jentik Aedes aegypti merupakan
tanda adanya populasi jentik nyamuk di suatu daerah.
Kepadatan jentik nyamuk berdasarkan dari nilai HI
merupakan gambaran informasi mengenai banyaknya
jumlah rumah yang terdapat jentik nyamuk. Nilai HI
yang tinggi menandakan banyaknya tempat
perkembangbiakan jentik nyamuk DBD yang berakibat
pada semakin tingginya penularan DBD. Berdasarkan
fakta dilapangan jentik nyamuk banyak ditemukan
pada kontainer dengan minim cahaya. Hal ini sesuai
dengan bionomik vektor nyamuk penyebab DBD yang
menyebutkan bahwa nyamuk Aedes aegypti betina
memiliki perilaku senang bertelur pada tempat dengan
kelembaban yang tinggi dan sedikit sinar matahari.
Nyamuk penyebab DBD merupakan vektor yang
mampu hidup berdampingan dengan manusia karena
perilakunya yang senang bertelur pada kontainer
penampungan air bersih.(9–12)
Hasil penelitian ini senada dengan penelitian
Hikmawan (2018) yang mengatakan bahwa terdapat
keterkaitan antara indeks rumah dengan prevalensi
DBD di Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
keberadaan jentik nyamuk adalah kurangnya kesadaran
masyarakat dalam kegiatan PSN 3M+. Keberadaan
jentik pada penampungan air merupakan sarana utama
dalam penularan penyakit DBD. Sehingga dibutuhkan
kesadaran masyarakat untuk melakukan kegiatan PSN
3M+ sebagai sarana pemutusan rantai
perkembangbiakan nyamuk.(13)
Pada variabel CI menunjukkan kelompok kasus
dengan kategori CI berisiko memiliki persentase lebih
tinggi 57,1% dibandingkan dengan kategori tidak
berisiko yaitu 42,9%. Sedangkan pada kelompok
kontrol, CI tidak berisiko memiliki persentase lebih
tinggi 95,2% dibandikan dengan responden dalam
kategori berisiko yaitu 4,8%. Dari hasil uji chi-square
nilai p-value = 0,000 (p<0,05), sehingga Ho ditolak,
yang artinya terdapat hubungan antara CI dengan kasus
DBD di Kecamatan Grogol. Perilaku masyarakat yang
kurang dalam kegiatan pengurasan bak mandi yang
mengakibatkan masih banyaknya kontainer positif
jentik nyamuk. Perilaku 3M+ memiliki peran penting
dalam memutus rantai siklus hidup nyamuk penyebab
DBD guna meningkatkan keadaan bebas jentik
nyamuk.(14)
Keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti
memiliki hubungan dalam kecepatan dan kemudahan
transmisi DBD. Kemudahan transmisi penularan DBD
didukung oleh perilaku nyamuk yang mampu
menghisap manusia secara bergantian dalam waktu
yang singkat. Selain itu, perilaku istirahat nyamuk
yang bersifat endofilik yakni suka bertempat tinggal di
dalam rumah akan mendukung adanya jentik nyamuk
khususnya pada area gelap dan teduh yang dekat
dengan tempat perindukan nyamuk yaitu kontainer air.
Kontainer penampungan air yang menunjukkan positif
jentik secara epidemiologi harus diwaspadai sebagai
sarana penularan DBD, baik dalam jumlah kecil
maupun besar.(15–17)
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian
Zulmi (2017) di Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara
yang menunjukkan adanya hubungan antara container
index dengan faktor risiko terjadinya DBD. Studi
tersebut menjelaskan bahwa rumah dengan kontainer
indeks berisiko tinggi 5.588 kali lebih berisiko
daripada kontainer indeks risiko rendah.(18)
Pada variabel BI menunjukkan kelompok kasus
dengan kategori BI berisiko memiliki persentase lebih
tinggi 64,3% dibandingkan dengan kategori tidak
berisiko yaitu 35,7%. Pada kelompok kontrol dengan
kategori BI tidak berisiko memiliki persentase lebih
tinggi 90,5% dibandikan dengan responden dalam
kategori berisiko yaitu 9,5%. Dari hasil uji chi-square
nilai p-value = 0,000 (p<0,05), sehingga Ho ditolak,
yang berarti terdapat hubungan antara BI dengan kasus
DBD di Kecamatan Grogol. Ketersediaan air dalam
kebutuhan sehari-hari manusia mempengaruhi
50 Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 – e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Semakin
banyak kuantitas tempat penampungan air yang
digunakan maka semakin besar pula sarana yang
digunakan oleh nyamuk Aedes aegypti sebagai tempat
berkembang biaknya. Nyamuk Aedes aegypti
penyebab DBD memiliki perilaku suka bertelur pada
air bersih. Kualitas air pada breeding place akan
berpengaruh terhadap produktivitas habitat
perkembangbiakan nyamuk. Nyamuk betina dapat
bertelur pada dinding kontainer penampungan air
buatan di dalam rumah seperti bak mandi, ember, vas,
dll.(9,12)
Berdasarkan pengamatan di lapangan,
keberadaan jentik nyamuk banyak ditemukan pada
wadah penampungan buatan manusia di dalam dan luar
rumah. Jentik nyamuk sering ditemui pada
penampungan air yang memiliki pencahayaan minim
dan kelembaban tinggi. Selain itu, jentik nyamuk juga
ditemukan pada kontainer air yang berlumut. Nyamuk
mempunyai habitat untuk berkembangbiak pada area
dengan kelembaban tinggi dan minim sinar. Suhu
optimal perkembangbiakan nyamuk yakni antara 240C
– 280C dengan kelembaban senilai 70 – 90%.
Keberadaan jentik nyamuk dalam indeks entomologi
menjadi faktor penting yang perlu diwaspadai dalam
penularan penyakit dengue. Selain itu, faktor lain yang
mampu berpengaruh pada kejadian DBD diantaranya
aktor pendidikan, sanitasi, pengetahuan dan persepsi
masyarakat mengenai penyakit DBD. Sehingga
dibutuhkan pencegahan dan pengendalian yang
melibatkan seluruh sektor termasuk partisipasi
masyarakat.(19–23)
Penelitian yang dilakukan Novia (2015) di
Kecamatan Tegalsari menjelaskan bahwa nilai BI
dengan risiko tinggi terhadap DBD diperoleh dari
jumlah kontainer positif larva yang lebih tinggi
dibandingkan jumlah rumah positif larva. Pada
penelitian juga dijelaskan bahwa terdapat hubungan
antara Maya Index dengan kejadian DBD. Maya Index
merupakan indeks baru yang digunakan untuk
mengetahui tingkat risiko pada area tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes. Kepadatan vektor
yang tinggi akan meningkatkan populasi nyamuk
sebagai penular DBD. Salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap keberadaan jentik nyamuk
adalah jenis permukaan wadah. Kondisi permukaan
wadah air yang tidak memiliki cahaya menyebabkan
kondisi wadah berlumut sehingga meningkatkan
penetasan nyamuk akibat suhu dan cahaya yang
rendah. Selain itu, kondisi ketersediaan tutup wadah
air, bahan wadah, frekuensi pengurasan wadah air dan
sumber air juga berpengaruh terhadap keberadaan
jentik nyamuk dengan kasus DBD.(16,17,24)(25)
Pada variabel ABJ menunjukkan kelompok
kasus dengan kategori ABJ berisiko memiliki
persentase lebih tinggi 64,3% dibandingkan dengan
kategori tidak berisiko yaitu 35,7%. Pada kelompok
kontrol dengan kategori ABJ tidak berisiko memiliki
persentase lebih tinggi 90,5% dibandikan dengan
responden dalam kategori berisiko yaitu 9,5%. Dari
hasil chi-square nilai p-value = 0,000 (p<0,05), maka
Ho ditolak yang artinya terdapat hubungan antara ABJ
dengan kasus DBD di Kabupaten Grogol. Berdasarkan
hasil observasi di lapangan, rumah dengan hasil negatif
jentik mayoritas merupakan rumah dengan kontainer
penampungan air berupa ember. Sedangkan rumah
dengan hasil positif jentik mayoritas ditemukan pada
rumah dengan kontainer air berupa bak mandi
berbahan semen atau keramik.
Keberadaan jentik nyamuk pada suatu kontainer
berhubungan erat dengan jenis, posisi, dan jumlah
kontainer pada suatu rumah. Larva nyamuk Aedes
aegypti paling sering ditemukan pada jenis kontainer
ember, bak, dan tempayan. Larva nyamuk akan
menetas pada kontainer penampungan air yang dipakai
masyarakat untuk menyimpan air.(26)
Hasil studi ini selaras dengan penelitian Maria
(2018) di Kabupaten Sikka yang menjelaskan bahwa
persentase ABJ yang tinggi menunjukkan kasus DBD
yang rendah, sedangkan persentase ABJ yang rendah
akan menunjukkan kasus DBD yang tinggi. Hal ini
juga didukung oleh penelitian Shinta (2018) di
Kelurahan Kedurus Surabaya yang menjelaskan bahwa
ada hubungan antara keberadaan jentik dan kejadian
DBD. Keberadaan jentik dilakukan dengan
menghitung beberapa indikator seperti ABJ, HI, CI,
dan BI.(5,27)
Gambar 1 menunjukkan sebaran kasus DBD
Kabupaten Sukoharjo tahun 2021. Kasus tertinggi
terletak di Kecamatan Grogol dengan jumlah kasus
sebanyak 55 dan kasus tertinggi terdapat di Desa
Cemani. Sedangkan kasus terendah terdapat di
Kecamatan Tawangsari dengan jumlah kasus sebanyak
3. Berdasarkan hasil analisis spasial menggunakan
Indeks Moran I menggunakan autokorelasi antardesa,
didapatkan hasil pola spasial persebaran penyakit DBD
di Kabupaten Sukoharjo adalah autokorelasi positif
dengan pola berkelompok (clustered) yang memiliki
nilai z-score sebesar 10,31, nilai signifikansi 0,000 dan
indeks Moran sebesar 0,51.
Pendekatan spasial merupakan pendekatan yang
digunakan dalam sistem geografi. Sistem Informasi
Geografi (SIG) diartikan sebagai kombinasi perangkat
keras dan lunak yang dapat mengelola, menganalisa,
dan memetakan informasi spasial. Salah satu informasi
spasial yang digunakan dalam bidang kesehatan adalah
pola penyebaran penyakit. SIG mampu untuk
mengidentifikasi pola sebaran kasus DBD dan
mengidentifikasi kerawanan suatu daerah terhadap
kasus DBD. Selain itu, SIG juga mampu untuk
memperhitungkan suatu jarak antara kasus DBD satu
dengan kasus lainnya melalui kepadatan kasus
DBD.(28,29)
Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023 51
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 – e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
Gambar 1. Sebaran kasus DBD Kabupaten Sukoharjo tahun 2021
Gambar 2. Kepadatan kasus DBD Kabupaten Sukoharjo tahun 2021
52 Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 – e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
Pada penelitian ini, pola sebaran kasus DBD di
Kabupaten Sukoharjo yaitu berpola clustered atau
berkelompok. Autokorelasi spasial pada kasus DBD di
Kabupaten Sukoharjo tahun 2021 yakni memiliki
autokorelasi spasial positif. Autokorelasi spasial positif
diartikan bahwa lokasi wilayah desa yang memiliki
kasus DBD akan memiliki nilai yang cenderung mirip
dan berkelompok dengan wilayah desa yang
berdekatan. Nilai Indeks Moran yakni 0,51 yakni I > 0
memiliki arti autokorelasi positif sehingga jumlah
kasus DBD dalam satu wilayah desa terdapat banyak
kemiripin dengan kasus pada desa yang berdekatan.
Peningkatan suatu kasus DBD di suatu desa akan
mempengaruhi risiko penularan pada desa di
sekitarnya. Autokorelasi spasial positif menandakan
bahwa pola sebaran kasus DBD di Kabupaten
Sukoharjo merupakan pola sebaran penyakit DBD
yaitu kluster atau berkelompok. Pola persebaran kasus
DBD dapat dijadikan sebagai salah satu cara
pengendalian penyakit DBD berdasarkan wilayah yang
ada di Kabupaten Sukoharjo serta dapat membantu
dalam analisis keterkaitan antara faktor risiko seperti
bionomik vektor dan faktor lingkungan terhadap
kejadian DBD. Pemantauan kejadian DBD
berdasarkan spasial akan membantu instansi terkait
untuk mengetahui wilayah mana yang berisiko untuk
dijadikan prioritas dalam pemantauan dan
pengendalian penyakit DBD. Selain itu, pola spasial
dapat digunakan sebagai media pendukung dalam
memahami persebaran distribusi serta guna
mengidentifikasi area yang paling berisiko terhadap
virus dengue.(30–34)
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian
Rika (2017) di Kota Bandung yang menyebutkan pola
sebaran spasial kasus DBD di Kota Bandung adalah
pola sebaran spasial dengan menggunakan Indeks
Moran I adalah berpola cluster atau berkelompok.
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Andri (2017)
di Kota Tasikmalaya yang menjelaskan bahwa sebaran
kasus DBD terjadi secara mengelompok. Sehingga jika
suatu wilayah terjadi kasus DBD, maka wilayah
sekitarnya akan rentan terhadap kasus DBD. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Andhy (2019) di Kabupaten
Bantul menjelaskan bahwa pola persebaran vektor
DBD berdasarkan dari nilai ANN yaitu berkerumun
dan clustered.(32,35,36)
Gambar 2 menunjukkan kepadatan kasus DBD
Kabupaten Sukoharjo tahun 2021. Dari gambar
tersebut, terlihat bahwa Kecamatan Kartasura,
Kecamatan Baki, Kecamatan Grogol, dan Kecamatan
Gatak merupakan wilayah dengan tingkat kepadatan
kasus yang tinggi. Semakin banyak kasus DBD, maka
semakin tinggi angka kepadatan kasus di daerah
tersebut.
Kernel density atau densitas Kernel adalah alat
spasial yang dapat menghitung kepadatan di
lingkungan melalui suatu titik dan garis. Analisis
kernel density menghasilkan suatu gambaran
persebaran kepadatan di sekitar fitur point atau titik
dengan daerah yang memiliki volume tertentu yang
ditransformasikan dalam bentuk point dan raster.
Kepadatan kasus DBD tertinggi di Kabupaten
Sukoharjo tahun 2021 yaitu terdapat pada Kecamatan
Grogol. Daerah dengan tingkat kepadatan kasus yang
tinggi berarti memiliki risiko tinggi terhadap
persebaran penyakit DBD. Sehingga dibutuhkan
pemantauan dan pengendalian terhadap kawasan yang
memiliki risiko tinggi terhadap sebaran kasus
DBD.(37,38)
SIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan antara house index, container index,
breteau index dan angka bebas jentik terhadap kasus
DBD dengan p-value = 0,000. Pola spasial sebaran
kasus DBD Kabupaten Sukoharjo tahun 2021 yaitu
autokorelasi positif dengan pola berkelompok yang
memiliki kepadatan kasus tertinggi di Kecamatan
Grogol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yana Y, Rahayu S. Analisis Spasial Faktor
Lingkungan dan Distribusi Kasus Demam
Berdarah Dengue. HIGEIA (Journal of Public
Health Research and Development) 2017,
1(3):106-116.
2. Wang WH, Urbina AN, Chang MR,
Assavalapsakul W, Lu PL, Chen YH, et al.
Dengue hemorrhagic fever – A systemic literature
review of current perspectives on pathogenesis,
prevention and control. Journal of Microbiology,
Immunology, and Infection 2020, 53(6):963-978.
https://doi.org/10.1016/j.jmii.2020.03.007
3. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Penyakit
Demam Berdarah Di Indonesia 2017. Journal of
Vector Ecology 2018, 31:71-78.
4. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2020.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta; 2021.
5. Kuwa MKR, Sulastien H. Gambaran Presentasi
Angka Bebas Jentik terhadap Kejadian Demam
Berdarah di Kabupaten Sikka. Jurnal Ilmiah
Stikes Kendal 2021, 11(4):635–640.
6. Maryanti E, Ismawati I, Prissilia U, Puteri AY.
Potensi Transmisi Demam Berdarah Dengue
Berdasarkan Indeks Entomologi dan Maya Indeks
di Tiga Kelurahan Kecamatan Sukajadi Kota
Pekanbaru. Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia 2020, 19(2):111-118.
https://doi.org/10.14710/jkli.19.2.111-118
7. Tansil MG, Rampengan NH, Wilar R. Faktor
Risiko Terjadinya Kejadian Demam Berdarah
Dengue Pada Anak. Jurnal Biomedik:JBM 2021,
13(1):90.
https://doi.org/10.35790/jbm.13.1.2021.31760
8. Ramadhani, Tri, Wahyudi BF. Pengaruh
Penggunaan Lethal Ovitrap terhadap Populasi
Nyamuk Aedes Sp sebagai Vektor Demam
Berdarah Dengue. Jurnal Litbang Pengendalian
Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara
Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023 53
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 – e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
2013, 9(1):21–26.
9. OECD-Organisation for Economic Co-operation
and Development. Harmonisation of Regulatory
Oversight in Biotechnology. Safety Assessment
of Transgenic Organisms in the Environment.
Vol. 8, OECD Publishing; 2018.
10. Kusumawati N, Sukendra DM. Spasiotemporal
Demam Berdarah Dengue berdasarkan House
Index, Kepadatan Penduduk dan Kepadatan
Rumah. HIGEIA (Journal of Public Health
Research and Development) 2020, 4(2):168-177.
11. Perwitasari D, RES RN, Ariati J. Indeks
Entomologi dan Sebaran Vektor Demam
Berdarah Dengue di Provinsi Maluku Utara
Tahun 2015. Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan 2018, 28(4):279-288.
https://doi.org/10.22435/mpk.v28i4.242
12. Badrah S, Hidayah N. Hubungan antara Tempat
Perindukan Nyamuk Aedes aegypti dengan Kasus
Demam Berdarah Dengue Di Kelurahan Penajam
Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser
Utara. Journal of Tropical Pharmacy and
Chemistry 2011, 1(2):150-157.
https://doi.org/10.25026/jtpc.v1i2.23
13. Suryanto H. Analysis of Behavioral Factors, Use
of Gauze, and House Index with The Incidence of
DHF in District Dringu Probolinggo. Jurnal
Kesehatan Lingkungan 2018, 10(1):36-48.
https://doi.org/10.20473/jkl.v10i1.2018.36-48
14. Gifari MA, Rusmartini T, Astuti RDI. Hubungan
Tingkat Pengetahuan dan Perilaku Gerakan 3M
Plus dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti.
Bandung Meet Global Medical Health 2017,
1(1):84-90.
15. Diallo D, Diallo M. Resting behavior of Aedes
aegypti in southeastern Senegal. Parasites and
Vectors. 2020, 13(1):1–7.
https://doi.org/10.1186/s13071-020-04223-x
16. Puteri TA, Darundiati YH, Dewanti NA.
Hubungan Breeding Place Dan Resting Place
Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue
(Dbd) Di Kecamatan Semarang Barat. Jurnal
Kesehatatan Masyarakat 2018, 6(6):369–377.
17. Hastuti NM, Dharmawan R, Indarto D.
Sanitation-Related Behavior, Container Index,
and Their Associations with Dengue
Hemorrhagic Fever Incidence in Karanganyar,
Central Java. Journal of Epidemiology and Public
Health 2017, 02(02):174–185.
https://doi.org/10.26911/jepublichealth.2017.02.
02.08
18. Indriyani Z, Rahardjo M, Setiani Bagian
Kesehatan Lingkungan O, Kesehatan Masyarakat
F. Hubungan Faktor Lingkungan dengan
Persebaran Kejadian Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.
Jurnal Kesehatan Masyarakat 2017, 3(3):842–
850.
19. Respati T, Raksanagara A, Djuhaeni H, Sofyan A,
Faridah L, Agustian D, et al. Berbagai Faktor
yang Memengaruhi Kejadian Demam Berdarah
Dengue di Kota Bandung. ASPIRATOR (Jurnal
Penelitian Penyakit Tular Vektor) 2017, 9(2):91–
96.
https://doi.org/10.22435/aspirator.v9i2.4509.91-
96
20. Trapsilowati, SKM, M.Kes W, Anggraeni YM,
Prihatin MT, Pujiyanti A, Garjito TA. Indikator
Entomologi dan Risiko Penularan Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Pulau Jawa,
Indonesia. Vektora (Jurnal Vektor dan Reservoir
Penyakit) 2019, 11(2):79–86.
https://doi.org/10.22435/vk.v11i2.1829
21. Ariati J, Anwar Musadad DD. Kejadian Demam
Berdarah Dengue (Dbd) Dan Faktor Iklim Di
Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. The
Indonesian Journal of Health Ecology 2012,
11(4):279-286.
22. Lahdji A, Putra BB. Hubungan Curah Hujan,
Suhu, Kelembaban dengan Kasus Demam
Berdarah Dengue di Kota Semarang. Syifa'
Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan 2017,
8(1):46-53.
https://doi.org/10.32502/sm.v8i1.1359
23. Ariati J, Athena Anwar. Model Prediksi Kejadian
Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan
Faktor Iklim di Kota Bogor, Jawa Barat. Buletin
Penelitian Kesehatan 2014, 42(4):249–256.
24. Rokhmawanti N, Ginanadjar P, Martini M.
Hubungan Maya Index Dengan Kejadian Demam
Berdarah Dengue Di Kelurahan Tegalsari Kota
Tegal. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2015,
3(1):162–170.
25. Nisa C, Saraswati LD, Martini M, Adi MS.
Hubungan Tutup Kontainer, Bahan Kontainer,
dan Sumber Air dengan Tingkat Kejadian DBD
di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten
Boyolali. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2021,
9(6):848–851.
https://doi.org/10.14710/jkm.v9i6.31899
26. Prasetyowati H, Astuti EP, Widawati M. Faktor
yang Berhubungan dengan Keberadaan Jentik
Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam
Berdarah Dengue (DBD) Jakarta Barat. Balaba
Jurnal Litbang Pengendali Penyakit Bersumber
Binatang Banjarnegara 2017, 13(2):115–124.
https://doi.org/10.22435/blb.v13i2.5804.115-124
27. Anggraini S. The Existance of Larvae and
Dengue Fever Incidence in Kedurus Sub-District
in Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan 2018,
10(3):252.
https://doi.org/10.20473/jkl.v10i3.2018.252-258
28. Bafdal N, Amaru K, Pareira P BM, Teknologi F,
Pertanian I, Padjadjaran U. Buku Ajar Sistem
Informasi Geografis , Edisi 1. 1st ed. Bandung:
Jurusan Teknik Manajemen Industri Pertanian
FTIP UNPAD; 2011.
29. Wijayanti SPM. Karakteristik dan Pola
Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue
di Wilayah Endemis. 2019. 54 p.
54 Maulina T.H., Mursid R., Tri J. /Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 22(1), 2023
© 2023, JKLI, ISSN: 1412-4939 – e-ISSN: 2502-7085. All rights reserved.
30. Putri LK, Karnila R, Zahtamal. Analyis of the
Distribution of Dengue Hemorrhegic Fever (Dhf)
With A Spacial Approach in Pekanbaru City.
Jurnal Ilmu Lingkungan 2019, 13(1):55–65.
31. Faiz N, Rahmawati R, Safitri D. Analisis Spasial
Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue
dengan Indeks Moran dan Geary’s (Studi Kasus
di Kota Semarang Tahun 2011). Jurnal Gaussian
2013, 2(1):69–78.
32. Hernawati R, Ardiansyah MY. Analisis Pola
Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di
Kota Bandung Menggunakan Indeks Moran.
Jurnal Rekayasa Hijau 2018, 1(3):221–232.
https://doi.org/10.26760/jrh.v1i3.1774
33. Fuadzy H, Prasetyowati H, Marliyanih ES, etc.
Autokorelasi Spasial Demam Berdarah Dengue di
Kota Tasikmalaya.ASPIRATOR Jurnal
Penelitian Penyakit Tular Vektor 2021,
13(2):113–126.
https://doi.org/10.22435/asp.v13i2.5241
34. Syamsir S, Daramusseng A, Rudiman R.
Autokorelasi Spasial Demam Berdarah Dengue di
Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda.
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 2020,
19(2):119–126.
https://doi.org/10.14710/jkli.19.2.119-126
35. Ruliansyah A, Yuliasih Y, Ridwan W, Kusnandar
AJ. Analisis Spasial Sebaran Demam Berdarah
Dengue di Kota Tasikmalaya Tahun 2011 – 2015.
ASPIRATOR Jurnal Penelitian Penyakit Tular
Vektor 2017, 9(2):85–90.
https://doi.org/10.22435/aspirator.v9i2.6474.85-
90
36. Sulistyo A. Kombinasi Teknologi Aplikasi GPS
Mobile dan Pemetaan SIG dalam Sistem
Pemantauan Demam Berdarah (DBD). Khazanah
Informatika Jurnal Ilmu Komputer dan
Informatika 2019, 5(1):6–14.
https://doi.org/10.23917/khif.v5i1.7136
37. Fariz TR. Pemodelan Spasial Kerawanan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Menggunakan Logika Fuzzy Di Kabupaten
Kudus. Jurnal Geografi Media Pengembangan
Ilmu dan Profesi Kegeografian 2017;14(1):90–
101.
38. How Kernel Density works—ArcGIS Pro |
Documentation [Internet]. [cited 2022 Jun 13].
Available from: https://pro.arcgis.com/en/pro-
app/2.8/tool-reference/spatial-analyst/how-
kernel-density-works.html
©2023. This open-access article is distributed under the terms and conditions of the Creative
Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.