Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
781
Studi Sosio-Historis Tradisi Keilmuan dan Karakteristik
Pendidikan Islam di Dusun Sekardangan
Arif Muzayin Shofwan
Universitas Nahdlatul Ulama Blitar, Indonesia
Email: arifshofwan2@gmail.com
Abstrak: Proses terbentuknya institusi pendidikan
Islam formal pertama di Dusun Sekardangan,
merupakan sejarah panjang yang dimulai dari rumah
kiai, langgar (mushalla), masjid, pesantren, dan
madrasah diniyah. Tulisan ini bertujuan menggali
sosio-historis berdirinya institusi pendidikan Islam
formal pertama di dusun tersebut beserta
karakteristiknya. Penelitian kualitatif dengan
pendekatan diskriptif-analitis ini menyebutkan
bahwa MI Miftahul Huda 01 dan TK Al-Hidayah 01
merupakan institusi pendidikan Islam formal yang
dahulu berawal dari pendidikan Islam di rumah-
rumah kiai persis sebagaimana pendidikan Islam
awal jaman Nabi Muhammad SAW yang berada di
rumah sahabat Al-Arqam (Dar al-Arqam). Pertama,
karakteristik pengajaran Islam masa awal berdirinya
dusun menggunakan tembang-tembang macapat dan
syair-syair lainnya. Kedua, karakteristik pengajaran
sebelum formal menggunakan sistem pengajaran
tradisional berupa sorogan, bandongan,
musyawarah, dan ceramah/tablig. Ketiga,
karakteristik ketika telah menjadi formal dilakukan melalui sistem pembelajaran modern
dengan beragam metode pengajaran, di antaranya: metode ceramah, diskusi, eksperimen,
demonstrasi, pemberian tugas, sosiodrama, drill, kerja kelompok, tanya jawab, proyek, dan
lainnya.
PENDAHULUAN
Sejak jaman Rasulullah SAW kelembagaan pendidikan Islam itu memang
sudah ada, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat non fisik. Langgulung
(2003: 17-18) dan Shalabi (1954: 41) mejelaskan bahwa pada zaman permulaan
Islam, pelajaran agama Islam disampaikan di rumah-rumah. Rasulullah SAW
menjadikan rumah sahabat Arqam bin Abi al-Arqam sebagai tempat belajar dan
tempat pertemuan dengan para sahabat dan para pengikutnya. Di rumah tersebut
Rasulullah SAW menyampaikan dasar-dasar agama dan pengajian Al-Qur’an.
Selain rumah al-Arqam (Dar al-Arqam), Rasulullah SAW menyampaikan
pelajaran agama Islam dirumahnya sendiri di Mekkah sebagai tempat kaum
muslimin berkumpul mempelajari akidah dan syariah Islam. Nizar (2005: 6)
menyebutkan bahwa pendididan Islam yang berlangsung di rumah tersebut
berlangsung kurang lebih selama tiga belas tahun. Adapun sistem dan materi
pendidikan yang disampaikan diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad
SAW. Penghijrahan Rasulullah SAW ke Madinah pada tahun 623 masehi
membawa perubahan dan pengertian yang besar terhadap penyebaran dan
Tersedia Online di
http://www.jurnal.unublitar.ac.id/
index.php/briliant
Sejarah Artikel
Diterima pada 1 Oktober 2020
Disetuji pada 16 November 2020
Dipublikasikan pada 30
November 2020
Hal. 781-795
Kata Kunci:
Sosio-Historis; Institusi;
Pendidikan Islam; Karakteristik
DOI:
http://dx.doi.org/10.28926/briliant
.v3i4.563
782
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
kestabilan agama Islam. Bagi tujuan tersebut, masjid didirikan pula di Madinah,
seperti Masjid Quba dan Masjid Nabawi. Fungsi masjid dalam tradisi Islam adalah
sebagai markas bagi segala aktifitas agama dan masyarakat, khususnya dalam hal-
hal yang berhubungan dengan ibadah dan pendidikan. Rasulullah SAW menjadikan
Masjid Nabawi sebagai tempat belajar mengenai urusan dunia dan agama di
samping beribadah kepada Allah SWT. Situasi di masjid menjadikannya lebih
bebas dan sesuai sebagai tempat belajar dari pada di rumah, karena di masjid
seseorang tidak perlu meminta kebenaran untuk memasukinya jika dibandingkan
pendidikan dengan di rumah-rumah (Langgulung, 2003: 18; Al-Abrashi, 1969: 65).
Sementara itu, Soebahar (2002: 92) menyatakan bahwa tatkala Rasulullah
SAW hijrah ke Madinah, kegiatan pendidikan Islam tidak lagi berlangsung secara
diam-diam atau perorangan di rumah-rumah, melainkan telah mengambil tempat
strategis di serambi masjid dan di dalam masjid sekaligus. Bilgrami dan Ashraf
(1985: 18-20) menggambarkan bahwa selain masjid, tempat pendidikan Islam
berupa As-Suffah juga didirikan sebagai tempat pemukiman di salah satu ruangan
yang berdekatan dan bergandengan dengan masjid. As-Suffah menjadi tempat yang
dipakai oleh Rasulullah SAW untuk mendidik (Arifin, 2002: 23). Hal tersebut
merupakan suatu pola pendidikan Islam yang pernah dicetuskan oleh Rasulullah
SAW dan dikuti selama berabad-abad oleh umat Islam. Di tempat itulah Rasulullah
SAW mengajar menghafal Al-Qur’an secara benar dan mengangkat Ubaid ibn Al-
Samit sebagai pendidik pada lembaga pendidikan As-Suffah di Madinah.
Berawal dari lembaga pendidikan berupa rumah kiai, masjid, serambi
masjid, langgar (mushalla), As-Suffah, dan semacamnya, kemudian di Indonesia
muncul lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren. Istilah “pesantren”
secara etimologis berasal dari kata pe-santri-an, berari “tempat para santri”
(Ziemek, 1986: 16). Dhofier (1994: 44) mendefinisikan bahwa pesantren adalah
sebuah asrama pendidikan Islam tradisional, di mana para siswanya tinggal bersama
dibawah bimbingan seorang (atau lebih) guru, yang lebih dikenal dengan sebutan
kiai. Sedangkan Qomar (2007: 2) menjelaskan bahwa definisi pondok pesantren
adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui
masyarakat sekitar dengan sistem asrama, di mana santri-santri menerima
pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada
di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa kiai dengan ciri-ciri
khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal. Daulay (2009:
21) menyebutkan bahwa pesantren pertama muncul di Indonesia didirikan oleh
Maulana Malik Ibrahim Gresik, yang selanjutnya disusul berdirinya pesantren-
pesantren lain hingga kini.
Sementara itu, istilah lembaga diartikan sebagai badan atau yayasan yang
bergerak dalam bidang penyelenggaraan pendidikan atau kemasyarakatan (Partanto
dan Al-Barry, 1994: 406). Sedangkan arti kelembagaan pendidikan Islam
sebagaimana pendapat Ramayulis (2002: 216) dapat dijelaskan bahwa arti lembaga
dalam pengertian fisik disebut institute merupakan sarana atau organisasi untuk
mencapai tujuan tertentu, sedangkan pengertian lembaga dalam arti non-fisik atau
abstrak disebut institution merupakan suatu sistem norma untuk memenuhi
kebutuhan. Selain itu, lembaga dalam arti fisik disebut bangunan dan lembaga arti
non-fisik disebut pranata.
Berdasarkan pendapat Ramayulis di atas dapat dipahami bahwa pengertian
lembaga pendidikan Islam tidak bisa dipandang hanya dari segi fisik seperti
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
783
bangunan saja. Akan tetapi lebih dari itu, lembaga pendidikan Islam harus pula
dipandang dari segi non-fisik seperti sistem norma-norma maupun nilai-nilai
(values) yang dikembangkan. Yakni, sebuah sistem norma-norma maupun nilai-
nilai (values) yang telah melembaga dalam tradisi Islam itu sendiri juga dinamakan
lembaga pendidikan dalam arti non-fisik.
Berawal dari uraian di atas, tampak bahwa perspektif sosio-historis
terbentuknya kelembagaan pendidikan Islam formal di Dusun Sekardangan,
Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar yang telah mengalami perubahan dari
waktu ke waktu sangat menarik untuk diteliti. Tampak bahwa lembaga pendidikan
Islam formal di dusun tersebut ternyata pada awalnya berangkat dari beberapa
institusi non-formal sebelumnya, seperti: rumah kiai, langgar (mushalla),
pesantren, masjid, madrasah diniyah hingga menjadi institusi pendidikan Islam
formal pertama berupa MI Miftahul Huda 01 dan TK Al-Hidayah 01. Yakni, sebuah
lembaga pendidikan Islam di Dusun Sekardangan yang dipandang lebih maju
daripada lembaga-lembaga pendidikan Islam non-formal sebelumnya.
Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas tiga hal, yaitu: (1) Sekilas
tentang Dusun Sekardangan dan karakteristik pendidikan Islam masa awal; (2)
Perspektif sosio-historis tentang institusi/lembaga pendidikan Islam di Dusun
Sekardangan dari masa ke masa hingga terbentuknya institusi/lembaga pendidikan
Islam formal pertama berupa MI Miftahul Huda Papungan 01 dan TK. Al-Hidayah
01; (3) Karakteristik sistem pembelajaran pendidikan Islam di Dusun Sekardangan,
baik ketika masa awal berdirinya dusun, masa masih non-formal maupun tatkala
telah menjadi lembaga yang formal seperti saat ini.
METODE
Tulisan tentang studi pendidikan Islam dari masa ke masa di Dusun
Sekardangan Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar ini merupakan penelitian
kualitatif dengan menggunakan pendekatan diskriptif-analitis dalam proses
penelitiannya. Penelitian ini juga dikatakan studi kasus (case study) dengan alasan
karena studi ini dilakukan terhadap suatu sistem, yang berupa program, kegiatan,
peristiwa, atau sekelompok individu yang terikat oleh tempat, waktu dan ikatan
tertentu (Stake, 1994), yakni proses terbentuknya pendidikan Islam formal pertama
beserta karakteristiknya di Dusun Sekardangan.
Selain itu, penelitian ini juga disebut penelitian kualitatif dikarenakan
memiliki lima karakteristik yang menurut Bogdan dan Biklen, yaitu: (1)
naturalistik; (2) deskriptif; (3) perhatian pada proses; (4) induktif; dan (5) perhatian
pada makna. Tentu saja, karena penelitian ini juga berlatar sejarah, digunakan pula
studi kepustakaan (library research) yang menurut Nazir (2011: 27) diartikan
sebagai sebuah pengumpulan data yang dilakukan dengan penelaahan terhadap
buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada
hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.
Muhadjir (1996: 169) menyatakan bahwa studi kepustakaan (library
research) lebih memerlukan olahan filosofis dan teoritis daripada uji empiris di
lapangan. Dengan demikian, oleh karena sifatnya yang filosofis dan teoritis, maka
penelitian kepustakaan sering menggunakan pendekatan filosofis (philosophical
approach) daripada pendekatan yang lainnya. Begitu pula, oleh karena hal yang
demikian itu pula, metode penelitiannya mencakup sumber data, pengumpulan
data, dan analisis data.
784
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara mendalam
(in dept interview), dan dokumentasi. Observasi digunakan untuk melakukan
pengamatan terhadap kondisi sosial yang ada di Dusun Sekardangan demi
menentukan informan utama. Penentuan informan selanjutnya dilakukan dengan
prinsip bola salju (snow-ball). Observasi dilakukan dengan terus terang kepada
sumber data (Sugiyono, 2010). Wawancara mendalam digunakan untuk menggali
sosio-historis tradisi keilmuan dan karakteristik pendidikan di Dusun Sekardangan
dari masa ke masa. Sedangkan dokumentasi digunakan untuk melengkapi kegiatan
observasi dan wawancara mendalam.
Teknik analisis data menggunakan deskriptif-eksploratif yang melibatkan
empat komponen model Spradley (1980) yaitu: analisis domain (domain analysis),
taksonomi (taxonomic analysis), komponensial (componential analysis), dan tema
kultural (discovering cultural theme). Dengan demikian, pertama kali peneliti
memasuki obyek penelitian yaitu Dusun Sekardangan dengan memperhatikan
situasi sosial (place, actor, activity) yang ada, kemudian menetapkan informan
kunci (key informant) dan melakukan wawancara. Setelah itu, peneliti lalu
melakukan serangkaian empat komponen tersebut.
HASIL
Studi ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, pendidikan Islam formal
pertama di Dusun Sekardangan Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar bisa
terbentuk sedemikian rupa di awali dari beragam pendidikan Islam masa awal yang
diselenggarakan di rumah-rumah para kiai sebagaimana pendidikan Islam awal
jaman Nabi Muhammad SAW di rumah sahabat Al-Arqam (Dar al-Arqam),
langgar (mushalla), masjid, pesantren dan madrasah diniyah. Kedua, pendidikan
Islam formal pertama di Dusun Sekardangan Desa Papungan Kecamatan Kanigoro
Kabupaten Blitar adalah berupa MI Miftahul Huda 01 dan TK Al-Hidayah 01
berdiri dan diresmikan pada tanggal 5 Januari 1966.
Bermula dari dua temuan di atas kemudian menghasilkan tiga analisis
terpenting, yaitu: (1) pendidikan Islam di Dusun Sekardangan seputar abad 15-16
M, semasa cikal-bakal mendirikan atau bedol dusun tersebut memiliki karakteristik
sistem pengajaran yang masih sangat sederhana, yakni melalui tembang-tembang
macapat dan syair-syair lainnya; (2) pendidikan Islam di Dusun Sekardangan
sebelum tahun 1966 memiliki karakteristik dan sistem pengajaran tradisional
dengan menggunakan metode sorogan, bandongan, musyawarah, dan
ceramah/tablig; dan (2) pendidikan Islam di Dusun Sekardangan dimulai adanya
MI Miftahul Huda 01 dan TK Al-Hidayah 01 berdiri dan diresmikan pada tanggal
5 Januari 1966 memiliki karakteristik dan sistem pengajaran modern dengan
berbagai metode pengajaran, di antaranya: metode ceramah, diskusi, eksperimen,
demonstrasi, pemberian tugas, sosiodrama, drill, kerja kelompok, tanya jawab,
proyek, dan lainnya.
Terakhir, walau para kiai dan tokoh pendidikan di Dusun Sekardangan Desa
Papungan Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar seiring berjalannya waktu telah
memasukkan dan membuka diri terhadap pendidikan Islam modern, mereka tidak
lantas meninggalkan pendidikan Islam tradisional. Hal itu terbukti ketika metode
pembelajaran Islam tradisional (seperti sorogan, bandongan, musyawarah, dan
ceramah/tablig) ternyata juga tetap digunakan pada lembaga pendidikan Islam
hingga sekarang, seperti: di mushalla, masjid, madrasah diniyah, dan semacamnya.
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
785
Demikian ini karena tokoh pendidikan di dusun tersebut rata-rata kaum Nahdliyin
yang memiliki keteguhan dalam memegang erat idiom “al-muhafadhah alal
qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah” (menjaga tradisi lama yang baik dan
mengambil tradisi baru yang lebih baik) tetap terjaga hingga kini.
PEMBAHASAN
Sekilas Dusun Sekardangan & Pendidikan Islam Awal
Penelitian ini dilakukan di sebuah Dusun Sekardangan, yakni sebuah dusun
yang sejuk dan asri serta berada di pinggiran kota dan kabupaten Blitar. Perlu
diketahui bahwa Sekardangan merupakan sebuah dusun kecil yang berada di Desa
Papungan, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Propinsi Jawa Timur. Menurut
Kiai Zainuddin (4/5/2020) dinyatakan bahwa dusun tersebut didirikan oleh tiga
orang tokoh, yaitu Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Sidik), istrinya Nyai
Sekardinah (Nyi Gadhung Melati), dan putrinya Rara Tenggok (Rara Sekar
Rinonce) pada zaman perpolitikan Kerajaan Islam Demak, Pajang hingga Mataram.
Hasil daari wawancara Bapak Gunawan (14/1/2020) dan Bapak Mayar (15/1/2020)
diperoleh informasi bahwa ketiga tokoh tersebut juga diakui sebagai tokoh pendiri
Kelurahan Kanigoro (di Kecamatan Kanigoro), yakni sebuah kecamatan yang
berada di Kabupaten Blitar. Istilah “Kanigoro” sebagai sebuah kecamatan di Blitar
bagian tengah diambil dari seorang tokoh yang bernama Ki Kebo Kanigoro (Kiai
Purwoto Sidik) pada zaman pergolakan politik kerajaan Islam Demak Bintara dan
Pajang.
Dikisahkan oleh Bapak Mansuri (11/1/2020) bahwa pada masa pergolakan
politik Kerajaan Demak Bintara dan awal berdirinya kerajaan Islam Pajang, Ki
Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Sidik) dan istrinya Nyai Sekardinah (Nyai Gadhung
Melati) bersama putrinya yang bernama Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce) hijrah
sampai di sebuah daerah di Kabupaten Blitar yang nantinya disebut dengan
Kelurahan/Kecamatan Kanigoro. Hal tersebut konon karena Ki Kebo Kanigoro
(Kiai Purwoto Sidik) merupakan otak intelektual pendirian kerajaan Islam Pajang
yang menjadi paman dan guru spiritual dari Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya).
Dalam pergolakan politik tersebut, Jaka Tingkir sendiri dikisahkan juga pernah
singgah di Kanigoro hingga akhirnya hijrah munuju ke Lamongan sampai wafat
dan dimakamkan di sana. Selain itu, dikisahkan bahwa Ki Kebo Kanigoro (Kiai
Purwata Sidik) juga merupakan murid dari Syaikh Siti Jenar (Syaikh Abdul Jalil)
sehingga beliau selalu menjadi buronan rezim perpolitikan Kerajaan Islam Demak
Bintara.
Sesampai ketiga tokoh (Ki Kebo Kanigoro, Nyai Sekardinah, dan Rara
Tenggok) tersebut di sebuah tempat, ketiganya kemudian mendirikan sebuah
rumah yang hingga saat ini dikenal sebagai “Petilasan Jatikurung” yang berada di
Kelurahan Kanigoro, tepatnya berada di tengah-tengah Kecamatan Kanigoro,
Kabupaten Blitar (Shofwan, 2016: 6). Ketika ketiga tokoh tersebut bermukim di
tempat tersebut, hingga saat itu ketiganya banyak meresmikan berdirinya sebuah
dusun maupun desa yang berada di wilayah Kecamatan Kanigoro-Blitar. Maka tak
heran, apabila kebanyakan tempat dan daerah di wilayah Kecamatan Kanigoro
terdapat banyak petilasan ketiga tokoh tersebut yang hingga saat ini diabadikan
sebagai monumen atau istilah Jawa-nya dinamakan sadranan, seperti di Dusun
Sekardangan (Desa Papungan); Dusun Buntu (Desa Tlogo); Dusun Dogong,
Sawentar, Bendelonje, dan lainnya. Sadranan adalah sebuah petilasan para tokoh
786
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
yang akhirnya sepeninggal tokoh tersebut telah tiada, lalu dibuatkan monumen
sebagai tempat untuk mengenang serta mengirimkan doa yang ditujukan pada para
tokoh tersebut.
Dikisahkan oleh Bapak Mansuri (11/1/2020) bahwa ketika pergolakan
politik ketiga kerajaan (yakni; Demak, Pajang, dan awal berdirinya Mataram) agak
mereda, kemudian Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Sidik) tanpa didampingi istri
dan anaknya terlebih dahulu kembali ke Sukoharjo, Solo. Namun sebelum
kepulangan Ki Kebo Kanigoro ke Sukoharjo-Solo, beliau menempatkan istrinya
Nyai Sekardinah (Nyai Gadhung Melati) dan Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce)
di sebuah tempat yang nantinya disebut Dusun Sekardangan, berjarak tiga kilometer
dari “Petilasan Jatikurung” Kanigoro-Blitar. Bapak Jawoko (5/2/2020) menyatakan
bahwa petilasan ketiga tokoh tersebut biasanya ditandai dengan tanaman Pohon Jati
sebagai sandi. Bisa disebutkan beberapa petilasan ketiganya yang ditanami Pohon
Jati, di antaranya: Petilasan Jatibendo berada di Dusun Dogong, Kanigoro, Blitar;
Petilasan Jatikucur berada di Desa Selokajang, Srengat, Blitar; Petilasan Jatigerot
berada di Desa Maliran, Ponggok, Blitar; Petilasan Jatinom berada di Desa Jatinom-
Blitar; Petilasan Jatibedug berada di Dukuh Kaligayam Lor, Rejosari, Samin; dan
lain sebagainya.
Dikisahkan oleh Kiai Zainuddin (6/4/2020) bahwa setelah cukup lama Nyai
Sekardinah (Nyai Gadhung Melati) dan Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce) berada
di tempat yang disebutkan di atas, kemudian keduanya berniat kembali menyusul
Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Sidik) yang telah lama kembali ke Sukoharjo-
Solo. Namun, sebelum Nyai Sekardinah dan Rara Tenggok kembali ke Sukoharjo,
beliau (Nyai Sekardinah) tanpa didampingi Rara Tenggok menjenguk anaknya
yang bernama Ki Ageng Gribig I (Pangeran Kedhanyang) di Malang-Jatim. Setelah
beberapa hari Nyai Sekardinah berada di rumah Ki Ageng Gribig I, beliau lalu
mendengar kabar bahwa Rara Tenggok yang ditinggalkannya di Dusun
Sekardangan mengalami sakit keras. Mendengar kabar tersebut, Nyai Sekardinah
lalu kembali pulang ke Dusun Sekardangan. Sesampai Nyai Sekardinah di
Sekardangan, ternyata Rara Tenggok telah sembuh dari sakit kerasnya. Oleh karena
kejadian tersebut, maka daerah tersebut dinamakan Dusun Sekardangan. Artinya,
ketika Nyai Sekardinah sampai di daerah tersebut, ternyata Rara Tenggok (Rara
Sekar Rinonce) telah sembuh (dangan: Jw) dari sakit kerasnya. Menurut Bapak
Mayar (15/1/2020) bahwa kesembuhan Rara Tenggok tersebut karena diterapi
dengan aroma Bunga Melati yang konon banyak memiliki khasiat. Dengan
demikian, tak heran bila Dusun Sekardangan pada masa lalu banyak ditumbuhi
tanaman Bunga Melati.
Setelah pergolakan politik antara Kerajaan Islam Demak Bintara, Pajang
dan awal berdirinya Mataram semakin membaik, kemudian Nyai Sekardinah dan
Rara Tenggok benar-benar memutuskan kembali menyusul Ki Kebo Kanigoro
suaminya ke Sukoharjo-Solo. Sementara itu, ada beberapa punggawa ketiga tokoh
tersebut yang tetap berada di Dusun Sekardangan dan tidak ingin kembali ke
Sukoharjo-Solo Raya. Para punggawa yang ditinggal ketiga tokoh (Ki Kebo
Kanigoro, Nyai Gadhung Melati, dan Rara Tenggok) pulang ke Sukoharjo-Solo
Raya itulah yang kemudian menurunkan beberapa keturunan di Dusun Sekardangan
hingga menurunkan anak cucu dan cicit hingga sekarang. Selanjutnya, Shofwan
(2016: 17-18) menyebutkan bahwa setelah ketiga tokoh (Ki Kebo Kanigoro, Nyai
Gadhung Melati, dan Rara Tenggok) wafat, maka jasad ketiganya dimakamkan di
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
787
Dusun Sarehan, Desa Jatingarang, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo (Solo
Raya). Sementara, petilasan ketiga tokoh sebagai cikal bakal Dusun Sekardangan
tersebut masih terawat baik oleh warga masyarakat setempat yang biasa digunakan
acara nyadran, mengenang jasa-jasa, tahlil kirim doa arwah cikal-bakal (ketiga
tokoh tersebut), dan Ritual Bersih Dusun setiap malam Selasa Kliwon pada Bulan
Muharram.
Tak dapat ditelusuri jejaknya mengenai bagaimana institusi pendidikan
Islam pada masa ketiga tokoh tersebut ketika awal menjadi cikal-bakal dan bedol
Dusun Sekardangan. Namun dikisahkan oleh Bapak Nuruddin (19/3/2020) bahwa
petilasan ketiga tokoh yang berada di Dusun Sekardangan dan lazim disebut oleh
warga sekitar sebagai “Petilasan Eyang Sekardangan” itu dahulu kala merupakan
sebuah langgar (mushalla) kecil yang biasa dipakai untuk beribadah dan
mengajarkan keagamaan Islam. Ada kemungkinan bahwa karakteristik pengajaran
pendidikan Islam kala itu diajarkan secara sederhana, di antaranya melalui
tembang-tembang macapat. Sebab pengajaran melalui tembang-tembang macapat
inilah yang biasa digunakan para tokoh Islam pada zaman Kerajaan Demak Bintara,
Pajang, dan Mataram. Misalnya, pada masa-masa itu Sunan Kalijaga banyak
mengajarkan nilai-nilai Islam melalui Kidung Rumeksa Ing Wengi dalam bentuk
macapat. Begitu pula wali-wali pada masa Walisanga dan setelahnya (yakni; Masa
Pajang dan Mataram), juga menggunakan media tembang macapat untuk mendidik
masyarakat Jawa. Dengan demikian, ada banyak kemungkinan bahwa pengajaran
pendidikan Islam di langgar (mushalla) yang didirikan ketiga tokoh cikal-bakal
Dusun Sekardangan tersebut disampaikan melalui berbagai macam tembang
macapat atau syair-syair lainnya.
Sosio-Historis Terbentuknya Pendidikan Islam Formal Pertama
Secara garis besar, perspektif sosio-historis terbentuknya institusi
pendidikan Islam formal pertama di Dusun Sekardangan, Desa Papungan,
Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar di awali dari lembaga/institusi pendidikan
Islam yang sangat sederhana berupa rumah kiai, langgar (mushalla), masjid,
pesantren, dan madrasah diniyah. Oleh karena proses terbentuknya inststitusi
pendidikan Islam formal pertama di dusun tersebut tidak bisa lepas dari lembaga-
lembaga sebelumnya, maka lembaga pendidikan Islam dalam studi ini terbagi
menjadi tiga bagian, sebagaimana berikut.
Pertama, zaman institusi pendidikan Islam pasca berdirinya Dusun
Sekardangan sekitar abad ke-154-16 M menggunakan langgar (mushalla) yang
didirikan cikal-bakal dalam mengajarkan pendidikan Islam. Kedua, zaman institusi
pendidikan Islam non-formal tahun 1700-1966, yakni pada masa masyarakat Dusun
Sekardangan masih menggunakan lembaga pendidikan Islam berupa rumah kiai,
langgar (mushalla), masjid, pesantren, dan madrasah diniyah. Ketiga, zaman
institusi pendidikan Islam formal mulai tahun 1966 hingga sekarang, yakni pada
masa Dusun Sekardangan mulai memiliki lembaga pendidikan Islam formal
pertama berupa MI Miftahul Huda 01 dan TK Al-Hidayah 01 hingga sekarang.
Walaupun sudah memiliki lembaga pendidikan Islam formal, namun hingga
kini sebagian masyarakat Dusun Sekardangan masih pula menggunakan lembaga-
lembaga non-formal sebagai sarana belajar-mengajar keilmuan Islam sebagaimana
yang telah disebutkan. Selanjutnya, oleh karena tidak adanya catatan data tertulis
pendukung tentang institusi pendidikan Islam di era berdirinya Dusun Sekardangan
788
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
(abad ke-15-16 M), maka dalam penelitian ini akan langsung dibahas mengenai
penjelasan perspektif sosio-historis dari kedua lembaga pendidikan pasca antara
abad tersebut, sebagai berikut:
1. Zaman Institusi Pendidikan Islam Non-Formal (1700-1966)
Ketika masyarakat Dusun Sekardangan belum memiliki pendidikan Islam
formal, maka institusi pendidikan untuk mengajarkan keislaman yang digunakan
adalah rumah kiai, langgar (mushalla), masjid, pesantren, dan madrasah diniyah.
Rumah-rumah kiai di Dusun Sekardangan merupakan institusi/lembaga pendidikan
Islam pertama sebelum terbentuknya sebuah tempat ibadah berupa langgar
(mushalla). Selanjutnya, institusi pendidikan Islam di Dusun Sekardangan berupa
masjid merupakan tempat pengajaran keilmuan Islam yang lebih besar
dibandingkan langgar (mushalla). Dalam studi ini, setelah berdirinya institusi
pendidikan Islam berupa masjid, kemudian berdiri sebuah pesantren di sampingnya.
Adapun lembaga pendidikan Islam yang disebutkan terakhir (yakni madrasah
diniyah) merupakan lembaga yang cara pengelolaannya lebih tertata dibanding
empat (4) lembaga pendidikan Islam yang tersebut di awal (yakni: rumah-rumah
kiai, mushalla, masjid, dan pesantren). Sementara itu, sebuah pesantren pertama di
Dusun Sekardangan memiliki cara pengelolaan yang lebih sederhana dibanding
madrasah diniyah walau sudah memiliki kemajuan dibanding lembaga/institusi
pendidikan Islam sebelumnya.
Tidak bisa diketahui secara pasti kapan tanggal, bulan, dan tahun berdirinya
institusi pendidikan Islam pertama berupa langgar (mushalla) di Dusun
Sekardangan. Sebab memang tidak ada sedikitpun data-data tertulis yang dapat
dipakai untuk memperkuat sejarah berdirinya institusi pendidikan Islam berupa
langgar (mushalla) pertama di dusun tersebut. Namun, bisa diperkirakan bahwa
terbentuknya institusi pendidikan Islam berupa langgar (mushalla) pertama di
dusun tersebut berkisar abad ke-17-an masehi. Hal tersebut didasarkan patokan
pada generasi berapa keturunan pendiri institusi pendidikan Islam berupa langgar
(mushalla) tersebut pada saat studi ini dilakukan. Yakni, pada saat studi ini
dilakukan, rata-rata generasi keturunan para pendiri institusi pendidikan Islam
berupa langgar (mushalla) pertama di Dusun Sekardangan tersebut menempati
generasi ke-7 sampai ke-9. Adapun para keturunan yang menempati generasi
tersebut di antaranya adalah keturunan dari pendiri institusi pendidikan Islam
berupa langgar yang didirikan oleh Kiai Atmo Setro, Kiai Abu Yamin, Kiai
Barnawi, dan Kiai Kasan Muhtar. Yakni, keempat tokoh inilah yang sekitar abad
17 masehi mendirikan institusi pendidikan Islam berupa langgar (mushalla)
pertama di samping atau depan rumah masing-masing yang biasa dipakai
masyarakat Dusun Sekardangan kala itu untuk belajar ilmu agama Islam.
Selanjutnya, pada abad ke-18 masehi berdiri pula institusi pendidikan Islam
berupa langgar (mushalla) dari para keturunan para kiai yang telah disebutkan di
atas. Bisa disebutkan langgar (mushalla) yang berdiri sekitar abad ke-18 hingga
awal abad ke-19 di antaranya langgar Kiai Abdurrahman; langgar yang didirikan
oleh Kiai Imam Ghozali; dan langgar yang didirikan oleh Kiai Zainuddin. Adapun
fungsi semua langgar (mushalla) kala itu digambarkan oleh Daulay (2009: 20-21)
untuk tempat pendidikan orang dewasa maupun anak-anak. Pengajian bagi orang-
orang dewasa adalah penyampaian-penyampaian ajaran Islam kepada para jamaah
dalam bidang akidah, ibadah dan akhlak. Sedangkan pengajian yang dilaksanakan
bagi anak-anak berpusat kepada pengajian Al-Qur’an menitik beratkan kepada
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
789
kemampuan membaca dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan, selain dari
itu anak-anak juga diberikan pendidikan keimanan, ibadah dan akhlak.
Hingga saat ini, keberadaan fungsi langgar (mushalla) di Dusun
Sekardangan masih terasa signifikan sebagaimana yang digambarkan Daulay di
atas. Selain itu, keberadaan fungsi semua langgar (mushalla) di Dusun Sekardangan
di antaranya adalah setiap satu bulan sekali digunakan oleh masyarakat sebagai
tempat semaan Al-Qur’an secara bergilir, tempat mengajar pengetahuan agama
Islam, diskusi ilmu-ilmu Islam oleh dan dari masyarakat sekitar. Adapun beberapa
mushalla yang masih dipakai untuk kegiatan-kegiatan tersebut, di antaranya:
Mushalla Al-Huda; Mushalla Baitut Tawwabin; Mushalla Al-Munawwir; dan
lainnya. Usai semaan Al-Qur’an biasanya diisi pengajian agama Islam berupa
masalah akidah, akhlak, ibadah dan semacamnya oleh kiai atau ulama setempat.
Dengan demikian, fungsi langgar (mushalla) sebagai tempat pelembagaan nilai-
nilai pendidikan Islam sejak dahulu hingga kini masih tetap berjalan semestinya.
Bermula dari institusi-institusi pendidikan Islam berupa rumah-rumah kiai,
langgar (mushalla) tersebut, kemudian pada tahun 1900 muncul sebuah ide dari
Kiai Imam Fakih, seorang ulama yang berasal dari Bagelenan, Jawa Tengah untuk
menyatukan pengajaran pendidikan Islam ke dalam satu wadah berupa pesantren.
Hasil wawancara dari Kiai Zainuddin (10/4/2020) dinyatakan bahwa ide dari Kiai
Imam Fakih tersebut disambut dengan antusias oleh para kiai, tokoh masyarakat
dan warga Dusun Sekardangan. Untuk mewujudkan ide tersebut, Kiai Imam Fakih
dan para kiai lainnya beserta warga Dusun Sekardangan pada tahun 1900 kemudian
berhasil mendirikan institusi pendidikan Islam berupa pesantren dan madrasah
diniyah. Yakni, sebuah institusi pendidikan Islam yang lebih maju daripada institusi
sebelumnya. Pesantren tersebut diberi nama “Pondok Pesantren Miftahul Huda”
artinya tempat menimba ilmu para santri agar mendapatkan kunci petunjuk dari
Allah SWT.
Adapun tenaga-tenaga pengajar di Pondok Pesantren Miftahul Huda dan
madrasah diniyah pada masa Kiai Imam Fakih berasal dari beragam individu.
Sebagian pengajar berasal dari anak-anak Kiai Imam Fakih sendiri, seperti: Kiai
Imam Syadzali, Kiai Abbas Faqih, Kiai Mahfudz dan sebagian pengajar berasal dari
anak-anak para keturunan pendiri langgar (mushalla) sebelumnya, seperti: Kiai
Muhammad Irjaz, Kiai Hasyim, Kiai Ahmad Dasuqi, dan lain sebagainya. Sebagian
pengajar ada yang berasal dari warga tetangga Dusun Sekardangan yang memang
mempunyai kemampuan untuk mengajar keilmuan Islam. Menurut Kiai Zainuddin
(12/4/2020) bisa digambarkan bahwa pada zaman itu banyak sekali pelajar-pelajar
atau santri dari berbagai daerah luar Dusun Sekardangan (seperti dari Desa Tlogo,
Kuningan, Banggle, dan lain sebagainya) yang menimba ilmu di lembaga
pendidikan Islam berupa pesantren dan madrasah diniyah di dusun tersebut.
Dari berbagai pelajar atau santri di Pondok Pesantren Miftahul Huda
Sekardangan masa itu dapat di kategorikan menjadi dua macam, yaitu: (1) Santri
tetap, yakni pelajar atau santri yang berasal dari daerah lain dan bertempat tinggal
menetap di pesantren. Pada masa Kiai Imam Fakih misalnya ada santri yang
bernama Ahmad Shobiri berasal dari Pikatan, Wonodadi, Blitar yang menjadi santri
tetap, hingga akhirnya diambil menantu oleh Kiai Imam Fakih; dan (2) Santri
kalong, yakni pelajar/santri yang setiap sore hari datang ke pesantren lalu menginap
sampai pagi, dan kemudian setelah itu ia pulang ke rumah masing-masing untuk
membantu pekerjaan orang tua masing-masing. Dan esoknya dia juga melakukan
790
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
hal yang sama. Biasanya, pelajar/santri yang demikian berasal dari dusun setempat
atau rumah mereka berdekatan jaraknya dari pesantren.
Kembali ke pembahasan institusi pendidikan Islam di Dusun Sekardangan.
Setelah Kiai Imam Fakih beserta warga Dusun Sekardangan berhasil mendirikan
pesantren dan madrasah diniyah, kemudian muncul ide kreatif dari Kiai Imam Fakih
untuk mendirikan sebuah masjid sebagai sarana beribadah dan institusi pendidikan
Islam lainnya. Ide Kiai Imam Fakih tersebut juga disambut antusias oleh
masyarakat Dusun Sekardangan. Untuk merealisasaikan ide tersebut, kemudian
pada tahun 1990-an Kiai Imam Fakih menjual tanah miliknya kepada pihak
Handels Vereniging Amsterdam (HVA) untuk dijadikan jalan kereta api
pengangkut tebu milik Belanda, yang jaman itu tempat pengumpulan tebunya
berada di Garum-Blitar. Dari hasil penjualan tanah tersebut dipakai bekal sebagai
pendirian institusi pendidikan Islam berupa masjid. Dan masjid ini merupakan
sebuah masjid pertama dalam sejarah Dusun Sekardangan. Pada mulanya, sejak
tahun 1903 masjid tersebut dinamakan dengan “Masjid Miftahul Huda”. Namun
seiring berjalannya waktu, setelah masjid itu direhab pada tahun 1984, maka
namanya diganti dengan sebutan “Masjid Baitul Makmur” (artinya tempat yang
ramai untuk ibadah) yang tetap abadi hingga sekarang.
Tim Penyusun (1990: 14-15) dan Shofwan (2016: 25) menyatakan bahwa
kepemimpinan institusi pendidikan Islam berupa Masjid Baitul Makmur di Dusun
Sekardangan dari generasi ke generasi dapat dijelaskan sebagaimana berikut, yaitu:
(1) Kiai Imam Fakih, tahun 1900-1923; (2) Kiai Imam Syadzali, tahun 1923-1925;
(3) Kiai Ahmad Shobiri, tahun 1925-1951; (4) Kiai Abbas Fakih, tahun 1951-1960;
(5) Kiai Imam Mahdi, tahun 1960-1997; (6) Kiai Muhammad Hamzah, tahun 1997-
2002, dan pada masa kiai ini Pondok Pesantren Miftahul Huda berganti nama
menjadi “Pesantren Ketrampilan Miftahul Huda” yang kurikulum pesantrennya
memasukkan ketrampilan jahit-menjahit, pertukangan dan ketrampilan-
ketrampilan lainnya; dan (7) Kiai Mashudi, tahun 2002 – sekarang, dibantu oleh
Kiai Muhammad Munif dan Kiai Saiq Saiful Hadi yang diberi amanah untuk
memegang masalah kemasjidan, sedangkan urusan kepesantrenan dipegang oleh
Kiai Muhammad Tasrifin, yakni menantu dari Kiai Muhammad Hamzah.
Selain para kiai di atas, ada beberapa kiai mulai zaman kepemimpinan Kiai
Imam Mahdi ke bawah (yakni seputar tahun 1960-2007) yang mempunyai
kontribusi besar ikut serta dalam membangun peradaban pendidikan Islam dalam
instritusi berupa masjid, pesantren, madrasah diniyah di lingkungan Dusun
Sekardangan, antara lain: (1) Kiai Maulan, yakni seorang ulama yang masyhur
mengajarkan ilmu hisab, ilmu fikih dan yang terkenal mempunyai suara yang sangat
merdu dalam komunitas Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia (ISHARI); (2) Kiai
Muhammad Machrus Yunus, yakni seorang ulama yang juga mengajarkan ilmu
hisab, perintis Jamaah Shalawat Nariyah yang hingga kini masih berlangsung serta
pendiri Sekolah Dasar Islam Plus Sunan Pandanaran yang berada di Dusun
Sekardangan; (3) Kiai Nasruddin, yakni seorang ulama yang ahli dan mengajarkan
ilmu tasawuf dan Tharikah Wahidiyah ajaran dari Syaikh Abdul Madjid Ma’roef
(Kedunglo, Kediri); (4) Kiai Muhtar Fauzi, seorang ulama yang mengajarkan ilmu
tauhid, amalan-amalan Hizib Auliya dan merupakan seorang yang menjadi cikal
bakal berdirinya institusi pendidikan Islam formal pertama di Dusun Sekardangan;
(5) Kiai Zainuddin, seorang ulama yang mengajarkan ilmu tasawuf Al-Ghazali dan
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
791
menjadi cikal bakal berdirinya Jamaah Yasin, Tahlil dan Istigatsah di Dusun
Sekardangan.
Selanjutnya, kurikulum pendidikan Islam yang diajarkan dalam institusi
berupa Masjid Baitul Makmur dan Pondok Pesantren Ketrampilan Miftahul Huda
dari sejak didirikan hingga sekarang dapat dijelaskan sebagai berikut, diantaranya:
(1) Tafsir Al-Qur’an, meliputi: Tafsir al-Jalalain dan Tafsir al-Ibriz; (2) Ilmu
Nahwu, meliputi: Kitab Al-Jurumiyah, Kitab Nadzam Al-Imrity dan semacamnya;
(3) Ilmu Sharaf, meliputi: Kitab Al-Tasrif dan Qowa’idul I’rab; (4) Ilmu Fikih,
meliputi: Kitab Al-Mabadi Al-Fiqhiyyah, Sullam Taufiq dan Fathul Qarib; (6) Ilmu
Tajwid, meliputi: sorogan Al-Qur’an dan saat ini menggunakan Metode Ustmani.
Selain itu, sejak masa Kiai Abbas Fakih dan Kiai Imam Mahdi, tampak institusi
berupa masjid dan pesantren tersebut setiap dua tahun sekali telah mendatangkan
ulama yang bisa mengajarkan dan mengijazahkan Shalawat Dalailul Khairat kepada
masyarakat di dalam dan luar Dusun Sekardangan. Adapun beberapa kiai yang
pernah tercatat pernah mengajarkan Shalawat Dalailul Khairat di masjid dan
pesantren tersebut antara lain: (1) Kiai Dimyati, yakni seorang kiai yang terkenal
sebagian dari wali Allah (min ba’dil Auliya) dari Baran, Selopuro, Blitar; (2) Kiai
Machrus Ali, yakni seorang kiai Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; (3)
Kiai Ali Shoddiq Umman; seorang kiai Pengasuh Pondok Hidayatul Mubtadi’in,
Ngunut, Tulungagung.; (5) Kiai Harun Ismail dari Selopuro-Blitar; (6) Kiai Azizi
Hasbulloh dari Selopuro-Blitar; (7) Kiai Abdul Aziz dari Paculgowang-Jombang;
(8) Kiai Abdul Hannan Maksum dari Pare-Kediri; (8) Habib Abu Bakar dari
Malang-Jatim; dan lain sebagainya.
2. Zaman Institusi Pendidikan Islam Formal (1966 – Sekarang)
Bermula dari berbagai institusi pendidikan Islam konvensional yang ada di
Dusun Sekardangan seperti; rumah-rumah kiai, langgar (mushalla), masjid,
pesantren hingga madrasah diniyah di atas, maka pada tahun 1966 masehi muncul
sebuah ide kreatif dari Kiai Muhtar Fauzi (cucu dari Kiai Imam Fakih) bersama
kawan-kawan perjuangannya (di antaranya: Kiai Muhammad Husnan, Kiai
Muhammad Rubai, Kiai Maulan, Kiai Suroto, Kiai Masykur, dan lainnya) untuk
melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam. Ide kreatif dari Kiai
Muhtar Fauzi dan kawan seperjuangannya tersebut mendapat sambutan yang
hangat dari para tokoh agama Islam, dan masyarakat Dusun Sekardangan. Dari ide
tersebut, maka tepat pada tanggal 05 Januari 1966 bersama segenap Ta’mir Masjid
Baitul Makmur dan para tokoh masyarakat telah keluar izin dari dinas pemerintah
terkait dan berhasil mendirikan institusi pendidikan Islam berupa madrasah formal
pertama di Dusun Sekardangan yang diberi nama MI Miftahul Huda 01 dan TK Al-
Hidayah 01 di dalam areal tanah wakaf dari Kiai Abbas Fakih (putra dari Kiai Imam
Fakih).
Selanjutnya, berkaitan dengan hal ini, maka pencetus ide pertama dalam
pendirian madrasah formal pertama di Dusun Sekardangan yakni Kiai Muhtar Fauzi
kemudian ditunjuk oleh para tokoh dan alim ulama sedusun untuk menjadi kepala
institusi berupa madrasah pertama di lembaga tersebut. Berikut merupakan data
kepala MI Miftahul Huda 01 dari masa ke masa, antara lain: (1) Kiai Muhtar Fauzi,
sejak 1966-1968; (2) Kiai Muhammad Hamzah, sejak 1968– 1975; (3) Kiai
Masjhudi, BA., sejak 1975-1994; (4) Kiai Mustadji, A.Ma., sejak 1994-1997; (5)
H. Marjani, A.Ma., sejak 1997-2007; (6) Lina Zunnuroiin, S.Pd.I., sejak 2007 –
sekarang. Adapun kepala TK Al- Hidayah dari masa ke masa dapat disebutkan
792
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
sebagai berikut, antara lain: (1) Siti Djariah, 1966-1980, sebelum ini tersebut nama
Siti Rubikah sebagai kepala TK, tetapi institusi TK saat itu masih berpindah-pindah
dari rumah ke rumah; (2) Hj. Mastiyah Machrus, A.Ma., yakni istri dari Kiai
Muhammad Machrus Yunus sejak 1980-1986; (3) Siti Windarwati, S.Pd., sejak
1986-2012; (4) Solikah, A.Ma., sejak 2012-2016; dan (5) Baiti Sairurah, S.Pd.I.,
sejak 2016-sekarang.
Karakteristik Pendidikan Islam Dari Masa ke Masa
Pertama, tidak ada data yang menyebutkan tentang bagaimana sistem
pengajaran institusi pendidikan Islam pada masa ketiga tokoh cikal-bakal ketika
awal mendirikan atau bedol Dusun Sekardangan. Namun dalam sebuah wawancara
dengan sesepuh bahwa petilasan ketiga tokoh yang berada di Dusun Sekardangan
dan lazim disebut oleh warga sekitar sebagai “Petilasan Eyang Sekardangan” itu
dahulu kala merupakan sebuah langgar (mushalla) kecil yang biasa dipakai untuk
beribadah dan mengajarkan keagamaan Islam. Ada kemungkinan bahwa
karakteristik pengajaran pendidikan Islam kala itu diajarkan secara sederhana, di
antaranya melalui tembang-tembang macapat. Sebab pengajaran melalui tembang-
tembang macapat inilah yang biasa digunakan para tokoh Islam pada zaman
Kerajaan Demak Bintara, Pajang, dan Mataram. Misalnya, pada masa-masa itu
Sunan Kalijaga banyak mengajarkan nilai-nilai Islam melalui Kidung Rumeksa Ing
Wengi dalam bentuk macapat. Begitu pula wali-wali pada masa Walisanga dan
setelahnya (yakni; Masa Pajang dan Mataram), juga menggunakan media tembang
macapat untuk mendidik masyarakat Jawa. Dengan demikian, ada banyak
kemungkinan bahwa pengajaran pendidikan Islam di langgar (mushalla) yang
didirikan ketiga tokoh cikal-bakal Dusun Sekardangan masa awal disampaikan
melalui berbagai macam tembang macapat atau syair-syair lainnya.
Kedua, pada zaman institusi pendidikan Islam non-formal di Dusun
Sekardangan, kurikulum yang digunakan masih sangat sederhana. Biasanya kitab-
kitab yang diajarkan adalah kitab-kitab klasik abad pertengahan yang berupa kitab
komentar (syarah). Kurikulum yang digunakan masih berdasarkan tamat (khatam)-
nya berbagai kitab yang diajarkan. Bisa digambarkan pula bahwa sistem pengajaran
yang digunakan pada zaman institusi pendidikan Islam non-formal di Dusun
Sekardangan, di antaraanya: (1) Sorogan, yakni para pelajar tingkat dasar maju satu
persatu kepada guru atau kiai yang bersangkutan untuk menguasai ilmu-ilmu dasar,
seperti bacaan Al-Qur’an dan ilmu Nahwu-Sharaf. Sistem sorogan ini lazim
digunakan di Dusun Sekardangan pada institusi pendidikan Islam berupa rumah-
rumah kiai, langgar (mushalla), masjid, pesantren, dan madrasah diniyah; (2)
Bandongan, yakni sistem pengajaran yang digunakan bagi pelajar dewasa. Sistem
ini digunakan di Dusun Sekardangan bagi pelajar dewasa yang mengkaji kitab-kitab
tafsir Al-Qur’an di masjid, langgar dan pesantren. Biasanya para pelajar dewasa
membentuk lingkaran (halaqah) di serambi Masjid Baitul Makmur Sekardangan
dalam mengkaji kitab-kitab tafsir; (3) Musyawarah, yakni sistem pengajaran
dengan cara melakukan diskusi sesama pelajar. Sistem ini biasa digunakan para
pelajar di Dusun Sekardangan ketika mendiskusikan ilmu-ilmu tauhid di rumah-
rumah kiai, langgar, masjid, dan pesantren; (4) Ceramah/tabligh, yakni sistem
pengajaran dengan mendatangkan pembicara/kiai dari luar maupun dalam Dusun
Sekardangan. Biasanya, sistem ini digunakan di Dusun Sekardangan pada
peringatan hari besar-besar Islam, khutbah Jumat, dan pengajaran Shalawat
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
793
Dala’ilul Khairat kepada masyarakat sekitar (Bandingkan dengan Dhofier, 1994:
28-31). Ketiga, sistem pengajaran pada zaman institusi pendidikan Islam formal
(1966-sekarang) banyak menggunakan metode pengajaran modern. Walau tidak
bisa dipungkiri pula bahwa sistem pengajaran lama atau tradisional (seperti;
sorogan, bandongan, musyawarah, dan ceramah/tabligh) tetap digunakan. Hal
tersebut menurut Kiai Muhammad Tasrifin (19/2/2020) didasarkan pada sebuah
prinsip yang berbunyi “al-mukhafadhatu alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil
ashlah”, artinya mempertahankan yang lama dan baik, serta mengambil yang baru
yang lebih baik. Yakni, mempertahankan sistem pengajaran lama yang dianggap
masih baik dan mengambil sistem pembelajaran baru/modern yang lebih baik. Dan
hal itulah merupakan ciri khas yang digunakan para kiai di Dusun Sekardangan
dalam melembagakan pendidikan Islam kepada masyarakat sekitarnya.
Adapun sistem pengajaran yang dipakai pada masa institusi pendidikan
Islam formal berupa MI Miftahul Huda 01 dan TK Al-Hidayah 01 (1966-sekarang)
biasanya menggunakan beberapa metode modern berikut, di antaranya: (1) metode
ceramah, yakni memberikan pengertian dan uraian masalah; (2) metode diskusi,
yakni memecahkan masalah dengan berbagai tanggapan; (3) metode eksperimen,
yakni mencoba mengetahui proses terjadinya suatu masalah; (4) metode
demonstrasi, yakni menggunakan alat peraga untuk memperjelas sebuah masalah;
(5) metode pemberian tugas, yakni pemberian tugas kepada anak didiknya secara
bebas dan tanggungjawab; (6) metode sosiodrama, yakni menunjukkan tingkah
laku kehidupan; (7) metode drill, yakni melatih mengukur daya serap terhadap mata
pelajaran; (8) metode kerja kelompok, yakni memecahkan masalah secara bersama-
sama dalam jumlah tertentu; (9) metode tanya jawab, yakni memecahkan masalah
dengan cara umpan balik; (10) metode proyek, yakni memecahkan masalah dengan
langkah-langkah secara ilmiah, logis, dan sitematis (Kamsinah, 2008: 106-107).
Demikian inilah karakter dan metode pembelajaran yang digunakan pada institusi
pendidikan formal pada umumnya. Metode-metode tersebut digunakan untuk
menyesuaikan diri dengan perkembangan pendidikan yang ada saat ini agar tidak
tergerus arus globalisasi.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut, antara
lain: Pertama, saat awal pendirian Dusun Sekardangan sekitar abad 15-16 M, ada
banyak kemungkinan bahwa pengajaran pendidikan Islam dilakukan secara
sederhana di langgar (mushalla) yang didirikan ketiga tokoh cikal-bakal Dusun
Sekardangan masa awal dan disampaikan melalui berbagai macam tembang
macapat atau syair-syair lainnya. Pengajaran melalui tembang-tembang macapat
inilah yang biasa digunakan para tokoh Islam pada zaman Kerajaan Demak Bintara,
Pajang, dan Mataram. Misalnya, pada masa-masa itu Sunan Kalijaga banyak
mengajarkan nilai-nilai Islam melalui Kidung Rumeksa Ing Wengi dalam bentuk
macapat. Begitu pula wali-wali pada masa Walisanga dan setelahnya.
Kedua, ketika masyarakat Dusun Sekardangan masih memiliki institusi
pendidikan Islam non-formal (1700-1966), maka pengajaran ilmu-ilmu
pengetahuan Islam seperti cara membaca Al-Qur’an, akidah, akhlak, dan ibadah
banyak dilakukan di rumah-rumah kiai, langgar (mushalla), masjid, dan pesantren.
Rumah-rumah kiai merupakan lembaga pendidikan Islam pertama di Dusun
794
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
Sekardangan tampak signifikan dengan rumah sahabat Al-Arqam (Dar Al-Arqam)
yang jaman Nabi Muhammad SAW dipakai mendidik para sahabat masa awal.
Adapun karakteristik pengajaran pada masa ini masih banyak menggunakan sistem
pengajaran tradisional berupa: sorogan, bandongan, musyawarah, dan
ceramah/tablig kiai yang didatangkan dari luar Dusun Sekardangan.
Ketiga, setelah masyarakat Dusun Sekardangan telah memiliki institusi
pendidikan Islam formal berupa MI Miftahul Huda 01 dan TK Al-Hidayah 01
(tahun 1966-sekarang), maka pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan Islam dilakukan
melalui metode pembelajaran yang lebih maju atau modern. Metode-metode
pengajaran modern itu antara lain: metode ceramah; metode diskusi; metode
eksperimen; metode demonstrasi; metode pemberian tugas; metode sosiodrama;
metode sosiodrama; metode drill; metode kerja kelompok; metode tanya jawab; dan
metode proyek.
Keempat, walaupun metode-metode modern yang lebih maju juga
digunakan, namun dalam realitasnya pendidikan Islam di Dusun Sekardangan tidak
serta merta meninggalkan sistem pengajaran tradisional sebelumnya yang dinilai
masih baik. Penggunaan metode-metode baru yang lebih baik serta penjagaan
metode-metode lama yang masih baik didasarkan pada idiom “al-muhafadhah alal
qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah” (menjaga tradisi lama yang baik dan
mengambil tradisi baru yang lebih baik) untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan pendidikan yang ada saat ini agar tidak tergerus arus globalisasi.
SARAN
Tidak dipungkiri bahwa pendidikan tradisional berupa rumah-rumah kiai,
langgar (mushalla), masjid, madrasah diniyah, dan semacamnya merupakan
lembaga pendidikan Islam pertama/awal dalam berbagai studi kasus di Indonesia.
Namun hal ini tampaknya belum banyak perhatian serius dari para peneliti yang
fokus meneliti pada lembaga pendidikan Islam. Oleh karena itu, penelitian
semacam ini sangat menarik apabila dilakukan diberbagai belahan daerah. Tidak
menutup kemungkinan, ada banyak kesamaan apabila penelitian studi kasus
semacam ini diperluas ke berbagai macam daerah di nusantara. Setidaknya,
penelitian semacam ini akan memantik pada para praktisi pendidikan dan peneliti
pendidikan Islam untuk mengadakan penelitian lanjutan.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Abrashi, M. Athiyah (1969). Al-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Falasifatuha.
Qahirah: Isa Al-Baby al-Halaby).
Arifin, M (2002). Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Bilgrami, Hamid Hassan dan Syed Ali Ashraf (1985). The Concept of an Islamic
University. Cambridge: The Islamic Academy.
Bogdan, Robert C. & Sari Knopp Biklen (1998). Qualitative Research for
Education: An Introduction to Theory and Methods. London: Allyn and
Bacon.
Daulay, Haidar Putra (2009). Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Dhofier, Zamakhsyari (1994). Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai. Jakarta: Penerbit LP3ES.
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual
Volume 5 Nomor 4, November 2020
795
Kamsinah (2008). Metode dalam Proses Pembelajaran Studi tentang Ragam dan
Implementasinya. Lentera Pendidikan, Vol. 11, No. 1, Juni 2008: 101-114.
Langgulung, Hasan (2003). Pendidikan Islam dalam Abad ke 21. Jakarta: Pustaka
Al-Husna Baru).
Muhadjir, Noeng (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake
Sarasin.
Nazir, Moh (2011). Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit PT. Ghalia Indonesia.
Nizar, Samsul (2005). Reformasi Pendidikan Islam Menghadapi Pasar Bebas.
Jakarta: The Minagkabau Faoundation.
Partanto, Pius S., dan M. Dahlan Al-Barry (1994). Kamus Ilmiah Populer.
Surabaya: Arkada.
Shofwan, Arif Muzayin (2016). Sekelumit Kisah Bumi Sekardangan dari Masa ke
Masa. Blitar: The Post institute.
Soebahar, Abd. Halim (2002). Wawasan Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Penerbit
Kalam Mulia.
Spradley, J.P., (1997). Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
-----------, (1980). Participant Observation, Rinehart and Winston: Holt.
Stake, Robert E., “Case Studies”, dalam Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln
(ed.), 1994. Handbook of Qualitative Research. London: Sage
Publications.
Sugiyono (2010). Memahami Penelitian Kualitatif: Disertai Contoh Proposal dan
Laporan Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.
Tim Penyusun (1990). Sekilas tentang Masjid Baitul Makmur Sekardangan
Kanigoro Kabupaten Blitar. Blitar: Ta’mir Masjid Baitul Makmur.
Ramayulis (2002). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Shalabi, Ahmad (1954). History of Muslim Education. Beirut: Dar Al-Kasyaf.
Qomar, Mujamil (2007). Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Ziemek, Manfred (1986). Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B.
Soendjojo. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M).