ArticlePDF Available

FENOMENA MATINYA HEWAN KURBAN SEBELUM HARI PENYEMBELIHAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM: Potret Kasus Di Luhak Nan Tigo, Sumatera Barat

Authors:

Abstract

This study departs from the phenomenon of dying the sacrificial animals before the day of slaughtering at Luhak Nan Tigo, a communal in West Sumatra, Luhak Tanah Datar, Luhak Limo Puluah and Luhak Agam. The death of the sacrificial animals before the day of slaughter certainly makes a problem between the Shohibul Kurbaan and the organizing committee to determine the status of ownership and legal an animal itself. The main issues of this paper at least talk about the regulation of the sacrificial animals at Luhak Nan Tigo and the form of settlement by related parties to the phenomenon. This study was analyzed with a qualitative descriptive model that began describing a phenomenon and then drew a concrete conclusion from various basic sharia laws regarding the status of animal ownership and the value of the sacrificial animals itself. The results of the study found that the process of collecting funds and purchasing the sacrificial animals in Luhak Nan Tigo which became one of the regulations in the view of Islamic law didn’t experience debate, ranging from age, ownership status, to the health of the sacrificial animals. However, the phenomenon of the death of this the sacrificial animals has various forms of settlement which are not regulated exclusively by Islamic law, so the solution found is one cow for more than seven people, replace together, two cows for three groups, and replacing one cow with two goats. The settlement is analyzed with Islamic legal sources and some forms of settlement can be said to be less relevant if viewed in terms of the value and essence of the sacrificial animal itself.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 1 ]
The Phenomenon of the Death of Sacrificial Animals Before
the Day of Slaughter in the Islamic Law Perspective:
A Portrait of the Case in Luhak Nan Tigo, West Sumatra
Fenomena Matinya Hewan Kurban sebelum Hari
Penyembelihan dalam Perspektif Hukum Islam: Potret Kasus
di Luhak Nan Tigo, Sumatera Barat
Rian Hidayat*
Institut Agama Islam Negeri Batusangkar, Indonesia
rianhidayat1441@gmail.com
Yulmitra Handayani
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia
yulmitrahandayani14@gmail.com
DOI: 10.24260/jil.v1i1.3
Received: January 2, 2020
Revised: February 11, 2020
Approved: February 24, 2020
* Corresponding Author
Abstract: This study departs from the phenomenon of dying the sacrificial
animals before the day of slaughtering at Luhak Nan Tigo, a communal in West
Sumatra, Luhak Tanah Datar, Luhak Limo Puluah and Luhak Agam. The death
of the sacrificial animals before the day of slaughter certainly makes a problem
between the Shohibul Kurbaan and the organizing committee to determine the
status of ownership and legal an animal itself. The main issues of this paper at
least talk about the regulation of the sacrificial animals at Luhak Nan Tigo and
the form of settlement by related parties to the phenomenon. This study was
analyzed with a qualitative descriptive model that began describing a
phenomenon and then drew a concrete conclusion from various basic sharia
laws regarding the status of animal ownership and the value of the sacrificial
animals itself. The results of the study found that the process of collecting
funds and purchasing the sacrificial animals in Luhak Nan Tigo which became
one of the regulations in the view of Islamic law didn’t experience debate,
ranging from age, ownership status, to the health of the sacrificial animals.
However, the phenomenon of the death of this the sacrificial animals has
various forms of settlement which are not regulated exclusively by Islamic law,
so the solution found is one cow for more than seven people, replace together,
two cows for three groups, and replacing one cow with two goats. The
settlement is analyzed with Islamic legal sources and some forms of settlement
can be said to be less relevant if viewed in terms of the value and essence of
the sacrificial animal itself.
Keywords: Dead, Sacrificial Animals, Slaughter, Luhak Nan Tigo, Islamic Law.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 2 ]
Abstrak: Kajian ini berangkat dari fenomena matinya hewan kurban sebelum
hari penyembelihan di Luhak Nan Tigo, sebuah komunal di Sumatera Barat,
Luhak Tanah Datar, Luhak Limo Puluah dan Luhak Agam. Matinya hewan
kurban sebelum hari penyembelihan tentu saja melahirkan dinamika
pertentangan antara shohibul kurban dan panitia penyelenggara guna
menentukan status kepemilikan dan hukum kurban bagi shohibul kurban itu
sendiri. Pokok permasalahan dari tulisan ini setidaknya berbicara mengenai
regulasi penyembelihan hewan kurban di Luhak Nan Tigo dan bentuk
penyelesaian yang dilakukan pihak terkait terhadap fenomena tersebut.
Penelitian ini dianalisis dengan model deskriptif kualitatif yang dimulai
mendeskrpsikan suatu gejala lalu menarik sebuah konklusi konkret dari
berbagai dasar hukum syarak mengenai status kepemilikan hewan dan nilai
dari ibadah kurban itu sendiri. Adapun hasil penelitian yang ditemukan bahwa
proses pengumpulan dana dan pembelian hewan kurban di Luhak Nan Tigo
yang menjadi salah satu regulasi dalam pandangan hukum Islam tidak
mengalami perdebatan, mulai dari usia, status kepemilikan, hingga kesehatan
hewan kurban. Namun, fenomena matinya hewan kurban ini memiliki
berbagai bentuk penyelesaian yang tidak diatur secara ekspilisit oleh hukum
Islam, sehingga penyelesain yang ditemukan adalah satu ekor sapi untuk lebih
dari tujuh orang, mengganti secara bersama, dua ekor sapi untuk tiga
kelompok, dan mengganti satu ekor sapi dengan dua ekor kambing.
Penyelesaian tersebut dianalisa dengan sumber-sumber hukum Islam dan
sebahagian bentuk penyelesaian dapat dikatakan kurang relevan jika
dipandang dari segi nilai dan esensi hewan kurban itu sendiri.
Kata Kunci: Hewan Kurban, Penyembelihan, Luhak Nan Tigo, Hukum Islam.
A. Pendahuluan
Ibadah kurban yang dilakukan pada bulan Dzulhijjah tidak luput dari nilai-
nilai spiritualitas dengan dasar tuntunan syariat Islam.
1
Pensyariatan kurban
(udhiyyah) merupakan binatang pemeliharaan yang disembelih atau dijadikan
sebagai hewan kurban yang disembelih pada hari raya kurban dan hari-hari tasyrik,
hewan kurban yang biasa dijadikan sembelihan adalah seekor sapi untuk tujuh
orang atau kambing untuk satu orang. Pelaksanaan ibadah kurban ini menjadi
sebuah anjuran yang mendekati perintah wajib bagi mereka yang memiliki
kemampuan ekonomi (sunnah muakad).
2
Tidak dapat dinafikan sebahagian orang
1
B. Hariyanto, “Dinamika Ibadah Kurban dalam Perkembangan Hukum Islam Modern,”
Mizani: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan 5, no. 2 (2018): 151.
2
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qosim Asy-Syaf’i, Fathul Qorib, 2 ed. (Kudus:
Menara Kudus, 1983), 349.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 3 ]
berusaha mengetahui dan membangun identitas serta posisi dirinya dalam sosial
masyarakat dengan berkurban.
3
Hewan yang diperuntukkan pun telah ditentukan, sehingga tidak boleh
berkurban dengan hewan sesukanya. Ibnu Katsir dalam tafsirannya terhadap Surah
Al-Hajj ayat 28 menyatakan bahwa hewan kurban hanya; unta, sapi, kambing, dan
biri-biri.
4
Jumlah peruntukkannya pun hanya cukup memadai satu ekor kambing
untuk satu orang, sepertujuh unta dan sepertujuh sapi. Karena seekor unta atau
seekor sapi, cukup untuk tujuh orang. Para ulama fikih sepakat bahwa seekor biri-
biri atau kambing hanya untuk berkurban satu orang.
5
Sehubungan dengan hal itu, maka jelas bahwa segala ketentuan dalam ibadah
kurban dan pelaksanaanya telah diatur secara jelas dalam Syariat Islam, akan
menjadi sebuah persoalan ketika salah satu ketentuan kurban itu sendiri tidak
terpenuhi, matinya hewan kurban sebelum hari penyembelihan salah satunya. Hal
krusial ini barang tentu akan melahirkan berbagai dampak, seperti tidak adanya
hewan kurban untuk dikurbankan dan penggantian hewan kurban ini ditanggung
oleh pihak siapa serta bagaimana keabsahan kurban itu sendiri ketika hewan
kurban tidak ada dan atau diganti dengan hewan lainnya yang apakah itu sepadan
atau tidak. Selain dari pada itu, persoalan krusial lainnya yang menyoal status
kepemilikan serupa yakni penelitian terhadap pelaksanaan kurban kolektif
6
yang
dilakukan tanpa menentukan batasan jumlah hewan untuk per-personal. Hanya
berstandar siapa yang membayar iuran (semampunya), termasuk ke dalam bagian
dari shohibul kurban. Sehingga memang perlu untuk ditegaskan bagaimana
ketentuan dari status dan hak kepemilikan atas hewan yang dikurbankan oleh
shahibul qurban terhadap kasuistik serupa.
Berdasarkan temuan lapangan penulis di beberapa daerah Luhak Nan Tigo
seperti; Nagari Sarilamak Kecamatan Harau Kabupaten Lima Puluh Kota, Nagari
Ladang Laweh Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam, Nagari Rao-Rao
3
Mukh. Imron Ali Mahmudi & Hartati Sulistyo Rini, “Pergeseran Makna Ibadah Kurban
Sebagai Konstruksi Identitas Sosial Masyarakat,” Solidarity 4, no. 2 (2015): 83.
4
Ali Ghufron, Tuntunan Berkurban dan Menyembelih (Jakarta: Amzah, 2013), 53.
5
Wahbah Zuhaili, Fikih Islam Wa Adilatuhu, II (Jakarta: Gema Insani, 2011), 616.
6
Hafizah Muchtia, “‘Pandangan Hukum Islam Terhadapa Pelaksanaan Kurban Bersama di
Pondok Pesantren Moderen Nurul Ikhlas’.” (IAIN Batusangkar, 2015).
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 4 ]
Kecamatan Sungai Tarab Kabupaten Tanah Datar, dan Nagari Tanjung Bonai
Kecamatan Lintau Buo Utara Kabupaten Tanah Datar. Temuan dalam tulisan ini
menampilkan bentuk prosedural berkurban yang diawali dengan pengumpulan
dana oleh peserta kurban kepada panitia penyelenggaraan kurban. Setelah dana
tersebut terkumpul, barulah hewan kurban dibeli dan diserahkan kepada
pemelihara hewan kurban yang telah disepakati sebelumnya oleh panitia dan
peserta kurban. Waktu pemeliharaan hewan kurban di Luhak Nan Tigo berbeda-
beda sesuai dengan waktu pembelian yaitu mulai dari tujuh hingga lima belas hari
pemeliharaan. Pemelihara hewan kurban diserahkan oleh panitia kepada yang telah
biasa memelihara hewan ternak dan juga memiliki kandang ternak sendiri yang
layak digunakan. Pemelihara bertugas menyediakan sandang-pangan-papan hewan
kurban serta menyampaikan perkembangan mengenai keadaan dan kondisi hewan
kurban tersebut.
Sebagaimana temuan di lapangan, terkadang dalam proses pemeliharaan,
hewan kurban mati sebelum hari penyembelihan disebabkan beberapa hal mulai
dari tidak nafsu makan, sakit demam hingga mati mendadak tanpa diketahui
penyebabnya. Dalam kasus ini, masing-masing daerah memiliki solusi yang
berbeda-beda dalam menyelesaikannya di antaranya ialah meleburkan status
kepemilikan sapi yang tersisa kepada kelompok yang ada, sehingga kepemilikan
sapi melebihi tujuh orang. Ada pula yang beriuran kembali guna membeli sapi yang
mati oleh seluruh kelompok peserta kurban sehingga dalam iuran tersebut
pembelian sapi melebihi dari tujuh orang. Kemudian ada juga yang membagikan
setengah daging dari satu sapi yang tersisa kepada kelompok yang dianggap mati
hewan kurbanya tanpa menyebutkan nama kelompok tersebut pada saat
penyembelihan. Penyelesaian lainnya pemilik sapi yang berjumlah tujuh orang
bersepakat untuk mengganti sapinya yang mati dengan beriuran kembali sesuai
dengan kesanggupan mereka dan hanya dapat membeli dua ekor kambing guna
mengganti sapi yang mati tersebut.
Fenomena matinya hewan kurban dengan berbagai metode penyelesaian
telah dilakukan oleh panitia kurban berdasarkan hasil musyawarah yang telah
disepakati pada masing-masing daerah. Dari berbagai metode penyelesaian yang
dilakukan oleh panitia kurban di atas dipandang penting untuk ditinjau dalam
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 5 ]
hukum Islam mengenai keabsahan hewan kurban tersebut menjadi salah satu
hewan kurban dari yang berkurban karena para Ulama fikih telah sepakat bahwa
seekor biri-biri atau kambing hanya untuk berkurban satu orang, dan seekor unta
atau sapi boleh untuk berkurban tujuh orang.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, dengan
menggunakan pendekatan studi kasus (case study). Studi ini dirasa relevan
digunakan terkait menelisik proses pelaksanaan dan berbagai penyelesaian
matinya hewan kurban sebelum hari penyembelihan. Selanjutnya penelitian ini juga
menguak berbagai sumber informasi primer dan sekunder, sebagai data primer
penulis mendapatkan informasi dari pengurus Masjid, panitia kurban, dan shohibul
qurban itu sendiri. Data sekunder yang didapatkan dari literatur relevan yang
mendukung seperti laporan pertanggungjawaban panitia kurban, notulen rapat,
dan sumber lain yang beraitan.
B. Ibadah Kurban dan Ruang Lingkupnya
1. Pengertian Kurban
Kurban atau al-udhiyyah (ةيحضا), secara bahasa artinya mendekatkan
diri kepada Allah, sedangkan secara istilah kurban adalah menyembelih binatang
(Unta, sapi, kerbau dan domba) pada hari Raya Idul Adha.
7
Menurut Ulama Fiqih,
al-udhiyyah adalah menyembelih hewan tertentu,
8
pada waktu tertentu, dengan
niat mendekatkan diri kepada Allah. Penyembelihan hewan kurban dilaksanakan
pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) hingga hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13
Dzulhijjah).
9
Menurut para ulama, di antaranya Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al-
Fiqh al-Islami wa Adillatuh menyatakan kurban adalah menyembelih hewan
tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah pada waktu yang telah
ditentukan, atau binatang ternak yang disembelih guna mendekatkan diri kepada
Allah pada hari-hari Idul Adha.
10
Menurut Abdurrahman al-Jaziri di dalam
7
Ahmad Tazwin, Kurban dan Akikah (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2007), 34.
8
Imam Nawawi, Minhaj Ath-Tahlibin, Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2016), 325.
9
Abdul Somad, 30 Tanya Jawab Seputar Kurban (Pekanbaru: Tafaqquh Press, 2009), 9.
10
Zuhaili, Fikih Islam Wa Adilatuhu, 265.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 6 ]
kitabnya al-Fiqh ‘ala al-Madzhib al-Arba’ah mengatakan kurban ialah untuk
menyebutkan sesuatu hewan dari jenis hewan ternak yang disembelih atau
dijadikan kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata‘ala di
hari raya Idul Adha, baik dia sedang melaksanakan ibadah haji ataupun tidak
mengerjakan.
11
Pernyataan Al-Jaziri diperjelas Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari
dalam kitabnya bahwa kurban adalah hewan kurban yang disembelih setelah
sholat Idul Adha, sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.
12
Dari
pengertian-pengertian yang telah penulis sebutkan diatas dapat dipahami bahwa
ibadah kurban adalah menyembelih hewan ternak tertentu yang memenuhi
syarat tertentu yang dilaksanakan pada hari nahar (tanggal 10 Zulhijjah) dan
hari-hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) dengan niat kurban.
2. Historitas Ibadah Kurban
Ritual kurban sudah dikenal oleh umat manusia sebelum agama Islam
datang. Bahkan, sejak zaman Nabi Adam ritual kurban sudah dilakukan, yaitu
ketika Qabil dan Habil, dua putra Nabi Adam, sama-sama melakukan kurban.
13
Kekayaan yang dimiliki oleh habil mewakili kelompok peternak dan Qabil
mewakili kelompok petani. Sejak saat itu sudah mulai ada perintah siapa yang
mempunyai harta yang banyak maka sebagian harta dikeluarkan untuk
berkurban. Sebagai petani si Qabil mengeluarkan kurbannya dari hasil panennya,
dan sebagai peternak si Habil mengeluarkan kurbannya dari hasil ternaknya.
14
Setelah pensyariatan pada masa Nabi Adam AS, pesnyariatan yang terjadi
pada masa Nabi Ibrahim AS ini yang sering dijadikan rujukan atas perintah
berkuban. Adalah ianya seorang Rasul yang tergolong Ulul Azmi yang diberi gelar
Khaliullah (kawan karib Allah Subhanahu Wata‘ala) yang terkenal sangat
11
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzhib al-Arba’ah (Cairo: Darul Hadist, 2004), 550.
12
Syeikh ‘Ali Bin Hasan Al-Halabi Al-Atsri, Meneladani Rosulullah Dalam Berhari Raya
(Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005), 83.
13
Firman Allah SWT yang artinya, Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam
(Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka
diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia
berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima
(korban) dari orang-orang yang bertakwa". (QS. Al-Maidah [5]: 27)
14
Ghufron, Tuntunan Berkurban……, 5.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 7 ]
cintanya kepada Allah dan Allah juga mencintainya. Ketika dikarunia anak,
sebagaimana sejarah,
15
maka cinta Ibrahim kepada anaknya juga luar biasa.
Sebab itu, Allah menguji dan menyampaikan melalui mimpi, agar Ibrahim
bersedia mengurbankan anaknya yang paling dicintainya itu untuk membuktikan
bahwa cintanya kepada Allah melebihi cintanya kepada anaknya dan manusia
seluruhnya.
16
Risalah kurban dalam Islam sebagai ajaran yang penuh makna. Nabi
Ibrahim yang hendak mengurbankan anaknya, kemudian oleh Allah Subhanahu
Wata‘ala diganti dengan hewan berkaki empat, pada hakikatnya merupakan
sindiran pada waktu itu, agar pelaksanaan kurban tidak membawa derita bagi
manusia.
17
Jelaslah bahwa umat Islam berdiri paling depan dalam hal melarang
dan mencegah pengurbanan manusia.
18
3. Ketentuan Hewan Kurban Mati dan hilang
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa jika unta (udhiya) hampir mati dalam
perjalanan dan hadyu tersebut tathawu’, dia boleh langsung menyembelihnya
kemudian mencelupkan sandal yang dikalungkan di leher onta itu ke darahnya
lalu memukulkan kalungnya yang telah dicelup dengan darahnya tapi ke salah
satu sisi tubuh unta itu tidak boleh memakan daging unta itu sedikit pun begitu
pula orang yang lain yang kaya agar orang yang tahu bahwa unta tersebut adalah
hadyu sehingga hanya orang-orang miskin yang boleh memakannya. jika unta
tersebut adalah hadyu, wajib dia harus menggantinya dengan unta lain.
15
Sejarah ini terkisah dalam surat As-Shafat [37] ayat 102-107, Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku
Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah
kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan
Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami
panggillah dia: "Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya
demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-
benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
16
E Abdurrahman, Hukum Kurban Aqiqah dan Sembelihan (Batusangkar: STAIN
Batusangkar, 2011), 3.
17
Nurh Hadi, “Istinbath Hukum Kurban Uang Perspektif Ekonomi Islam,” Ijtihad 34, no. 2
(2018): 127.
18
Choirul Mahfud, “Tafsir Sosial Kontekstual Ibadah Kurban Dalam Islam,” Humanika, 2014.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 8 ]
Sedangkan unta yang hampir mati tadi, boleh diperuntukkan sesuka hatinya
sebab itu adalah miliknya -sama seperti benda-benda lain miliknya.
19
Madzhab Maliki berpendapat, bahwa jika hadyu tathawwu’ hampir mati
sebelum tiba di tempat penyembelihan, ia boleh langsung disembelih lalu
dibiarkan untuk diambil oleh orang-orang, sedangkan si pemilik tidak boleh
memakannya sedikit pun. Jika dia memakanya, dia wajib menggantinya.
Demikian pula pendapat Madzhab Syafi’i, jika hadyu sakit dan dikhawatirkan
akan mati, si pemilik boleh menyembelihnya dan mencelupkan sendal yang
dikalungkan di lehernya ke dalam darahnya, kemudian memukulkan sandal
tersebut ke salah satu sisi tubuh hadyu tersebut dan meninggalkanya di
tempatnya, agar orang lewat di tempat itu tahu bahwa itu adalah hadyu sehingga
dia memakannya. Dalilnya adalah riwayat Abu Qabishah:



Artinya: Rasulullah pernah menitipkan hadyu kepadanya agar dibawa ke Mekkah,
lalu dia bersabda, jika ada salah satu hewan ini yang sakit sehingga kamu khawatir
ia akan mati, sembelihlah ian kemudian celupkan sandalnya tersebut ke sisi
tubuhnya, dan janganlah engkau maupun teman-teman serombongan
memakanya. (HR. Muslim No. 1328)
Menurut pendapat paling shohih dalam madzhab Syafi’i orang-orang
miskin dalam rombongan si pemilik hadyu tidak boleh memakan sedikit pun. Jika
si pemilik hadyu membuat hadyu-nya mati, dia harus menggantinya dengan yang
tertinggi dari dua hal, yaitu harganya atau hewan lain yang setara dengannya.
Adapun pendapat Imam Syafi'i terhadap persoalan hewan kurban yang
hilang ialah seseorang tersebut harus membeli hewan lain yang seharga dengan
hewan itu. Apabila ternyata hewan tersebut harganya sangat mahal, yaitu
mencapai dua kali lipat dari hewan lain, maka dalam keadaan seperti ini ia harus
berkurban dengan dua ekor hewan yang harganya sama dengan satu ekor hewan
yang ia niatkan untuk berkurban. Apabila harganya mencapai satu setengah dari
19
Zuhaili, Fikih Islam Wa Adilatuhu, 627.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 9 ]
hewan lain, maka dia harus menyembelih satu ekor hewan lain, kemudian sisa
harganya ia gunakan untuk membeli hewan lain atau disedekahkan (apabila
tidak cukup untuk membeli satu ekor hewan kurban).
20
Imam Syafi'i juga berpendapat bahwa barangsiapa membeli seekor hewan
kemudian ia mewajibkanya (meniatkan dan menentukan) hewan tersebut
sebagai hewan kurban atau hewan tersebut semula merupakan hewan kurban
lalu ia wajibkan (ia niatkan sebagai hewan kurban) dan hewan tersebut tidak ada
cacat, lalu di kemudian hari hewan tersebut menjadi cacat sementara telah
sampai di tempat pembelian, maka hewan tersebut sah untuk dijadikan hewan
kurban.
21
Sama halnya dengan mazhab Hanafi berpendapat apabila orang yang
kaya raya hartanya melimpah kemudian membeli binatang kurban, lalu mati atau
hilang atau dicuri, maka ia mengganti dengan yang lain pendapat ini berdasarkan
pendapat mereka bahwa udhiya itu wajib.
22
Imam Malik ketika ditanya jika binatang yang dikurbankan dicuri atau
mati sebelum dikurbankan Apakah diganti maka dia menjawab apabila barang
tersebut hilang mati atau dicuri maka hendaklah ia membeli udhiyah atau
binatang kurban yang lain. Ibnu Qudamah mengatakan apabila binatang kurban
binasa, dicuri atau hilang bukan karena disengaja atau kelalaian atau keteledoran
maka tidak apa-apa. Karena itu adalah amanah di sisi-nya, maka ia tidak perlu
menggantinya apabila tidak disengaja, atau bukan karena kelalaian atau
sembrono, sebagaimana barang titipan, jika rusaknya oleh yang berkurban atau
yang lain karena disengaja dan kelalaian maka yang merusak menanggung ganti
ruginya.
23
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa keinginan yang pasti, apabila
seseorang melakukannya yang ia mampu, maka menurut syara’ seperti orang
yang mengerjakannya secara sempurna, baginya pahala seperti orang yang
mengerjakannya secara sempurna, artinya pahala orang yang telah membeli dan
memiliki binatang kurban namun binatangnya mati atau hilang atau dicuri, maka
pahalanya sama dengan yang berkurban.
20
Syeikh ‘Ali Bin Hasan Al-Halabi Al-Atsri, Meneladani Rosulullah Dalam Berhari Raya, 740.
21
Syeikh ‘Ali Bin Hasan Al-Halabi Al-Atsri, 741.
22
Zuhaili, Fikih Islam Wa Adilatuhu, 627.
23
Ibnu Qadamah, Al-Mughni, Jilid 9 (Dar Alamiyyah, t.t.), 12.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 10 ]
C. Fenomena Matinya Hewan Kurban di Luhak Nan Tuo
Pelaksanaan pengumpulan dan pemeliharaan hewan kurban menjadi proses
awal yang cukup penting untuk diperhatikan guna meminimalisir kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi sebelum hari penyembelihan seperti matinya
hewan kurban. Untuk itu, dipandang penting penulis mengemukakan proses
pengumpulan dana juga pemeliharaan hewan kurban, yang apabila tidak
diperhatikan akan berakibat buruk pada hak kepemilikan hewan kurban bagi orang
yang berkurban. Berikut regulasi prosesi awal pembelian dan pemeliharaan hewan
kurban di Luhak Nan Tigo:
1. Luhak Agam
Ada empat daya yang penulis jelaskan pada pembahasan ini, yaitu
pengumpulan biaya peserta kurban, pemeliharaan hewan kurban, penentuan
kepemilikan hewan kurban, dan sebab kematian hewan kurban. Pertama ialah
pengumpulan biaya peserta kurban. Berdasarkan keterangan yang Penulis
peroleh dari Hj. Asneli dan Mimi sebagai peserta kurban, bahwa biaya peserta
kurban dikumpulkan dengan iuran perbulan. Pengumpulan biaya tersebut
dikumpulkan oleh panitia kurban dengan mengutus satu orang perwakilan dari
tiap-tiap suku yang terdiri dari 4 (empat) suku yaitu Suku Sikumbang, Suku
Pisang, Suku Jambek dan Suku Guci. Perwakilan itulah yang tiap bulannya
bertugas mengumpulkan biaya kurban dari anggota sukunya masing-masing dan
bertanggung jawab atas hal tersebut. (Wawancara tanggal 18 Mei 2019) Peserta
kurban yang ada di Masjid Al-Ihsan (salah satu masjid di Luhak Agam) ini
berjumlah empat puluh sembilan orang. Dari proses pengumpulan biaya tersebut
di atas terdapat tujuh kelompok peserta kurban.
Kedua adalah pemeliharaan hewan kurban. Berdasarkan keterangan dari
Hj. Asneli sebagai peserta kurban, setelah hewan kurban dibeli oleh Niniak
Mamak disaksikan oleh perwakilan masing-masing suku, beberapa peserta
kurban dan juga panitia kurban, maka hewan kurban diserahkan kepada Sutan
Jumaris dan Menan yang dikenal telah biasa memelihara hewan ternak dan dia
juga memiliki kandang ternak sendiri. Kemudian Yurniati Munir sebagai ketua
panitia kurban menyatakan, bahwa pemelihara hewan kurban bertugas
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 11 ]
menyediakan kandang, memberi makan dan minum hewan kurban serta
menginformasikan perkembangan keadaan dan kondisi hewan kurban tersebut.
Mereka diberi upah masing-masing sebesar Rp. 15.000,00 per hewan kurban,
setelah dijumlahkan maka mereka mendapat upah sebesar Rp. 105.000,00 untuk
satu hari. Apabila ditotalkan seluruhnya, panitia memberikan upah sebesar Rp.
2.100.000,00 untuk sepuluh hari pemeliharaan. Sutan Jumaris sebagai
pemelihara hewan kurban juga menambahkan, selama pemeliharaan tersebut
panitia maupun peserta sesekali melihat hewan kurban tersebut.
24
Ketiga adalah penentuan kepemilikan hewan kurban. Menurut penjelasan
dari Yuniarti Munir sebagai ketua Panitia, setelah pembelian hewan kurban
panitia hanya memberikan nomor pada tiap ekor sapi tanpa menentukan
kepemilikan hewan kurban tersebut karena panitia dan peserta sepakat untuk
menentukan kepemilikan pada saat hari penyembelihan. Mimi sebagai peserta
kurban ikut menjelaskan, pada saat satu ekor sapi mati, peserta maupun panitia
tidak mengetahui hewan kurban tersebut milik kelompok mana karena
sebelumnya belum ditentukan kepemilikan sapi tersebut.
25
Keempat adalah sebab kematian hewan kurban. Berdasarkan penuturan
dari Qadar Usman sebagai peserta kurban pada awalnya hewan kurban tersebut
di atas adalah hewan kurban yang sehat dan tidak mengalami masalah dengan
nafsu makannya. Namun, dua hari sebelum penyembelihan hewan kurban
tersebut sakit dan tidak nafsu makan. Menan selaku pemelihara hewan kurban
langsung memberitahukan kepada Ketua Panitia mengenai keadaan satu ekor
sapi tersebut.
Yuniarti Munir sebagai ketua panitia menegaskan, bahwa dia meminta
salah satu panitia untuk segera meminta dokter hewan guna memeriksa kondisi
sapi itu. Setelah diperiksa, dokter mengatakan bahwa sapi tersebut mengalami
demam dan harus disuntik. satu hari setelah penyuntikan, sapi tersebut tidak
kunjung mengalami perubahan. Kemudian, dia juga menyatakan bahwa
24
Hasil wawancara dengan Hj. Asneli selaku peserta kurban dan Sutan Jumaris selaku
panitia kurban pada 18 Mei 2019.
25
Hasil wawancara dengan Yuniarti Munir selaku ketua panitia pada 18 Mei 2019.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 12 ]
menerima berita kematian sapi tersebut dari Sutan Jumaris pada pukul 03.00
subuh.
26
2. Luhak Limo Puluah Kota
Pertama adalah pengumpulan biaya peserta kurban. Berdasarkan
keterangan yang penulis peroleh dari Nina Hertati sebagai panitia kurban dan
Rosniati sebagai peserta kurban bahwa biaya peserta kurban mulai dari
pembelian hewan kurban sampai pembagian daging kurban dikumpulkan
berdasarkan kesepakatan kelompok yasinan di Musholla Nurul Yaqin.
Pengumpulan biaya tersebut mulai dari yang menyicil dari tahun ke tahun hingga
membayar kes disesuaikan dengan kesanggupan masing-masing pribadi peserta
kurban dan dikumpulkan kepada Nina Hertati selaku panitia kurban. Di antara
peserta kurban yang masih belum bisa melunasi pembayaran tersebut, maka
panitia berinisiatif menutupi kekurangan biaya untuk sementara waktu dengan
biaya yang telah dikumpulkan oleh peserta lain yang belum bisa berkurban pada
tahun itu. Kemudian para peserta yang belum melunasi pembayaran tersebut di
atas diharuskan melunasinya paling lama satu hari sebelum hari
penyembelihan.
27
Dari proses pengumpulan biaya tersebut terdapat tujuh
kelompok peserta kurban yang masing-masing kelompok terdiri dari tujuh
peserta kurban dengan jumlah keseluruhan empat puluh sembilan orang.
Kedua adalah pemeliharaan hewan kurban. Berdasarkan penuturan dari
Irsal sebagai peserta kurban, setelah hewan kurban itu dibeli oleh Ismail,
diperlihatkan kepada para peserta dan panitia kurban lainnya lalu barulah
hewan kurban tersebut diserahkan kepada Joni untuk dipelihara sampai hari
penyembelihan. Dia dipilih sebagai pemelihara karena dipercaya telah biasa
memelihara hewan ternak dan memiliki kandang ternak sendiri.
Wirna Tati sebagai ketua panitia menjelaskan bahwa pemelihara bertugas
menyediakan kandang, memberi makan dan minum hewan kurban serta
memberikan informasi mengenai keadaan dan kondisi hewan kurban tersebut.
Joni selaku pemelihara diberi upah sebesar Rp. 10.000,00 per hewan kurban, jika
26
Hasil wawancara dengan Yuniarti Munir selaku ketua panitia pada 18 Mei 2019.
27
Hasil wawancara dengan Nina Hertati selaku panitia kurban dan Rosniati sebagai peserta
kurban pada 27 Mei 2019.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 13 ]
dijumlahkan maka dia mendapat upah sebesar Rp. 70.000,00 untuk satu hari. Joni
sebagai pemelihara hewan kurban juga menuturkan bahwa selama pemeliharaan
yang dia lakukan, panitia maupun peserta sesekali melihat hewan kurban
tersebut sehingga mereka mengetahui bagaimana kondisi hewan kurban,
kandang maupun pakan hewan kurban tersebut.
28
Ketiga adalah penentuan kepemilikan hewan kurban. Berdasarkan
penjelasan dari Wirna Tati sebagai ketua panitia, bahwa kepemilikan hewan
kurban ditentukan oleh panitia kurban pada saat hari penyembelihan lantaran
peserta kurban ada yang belum melunasi biaya berkurban baik biaya pembelian
hewan kurban maupun biaya-biaya lain yang berkaitan dengan pemeliharaan
sampai pembagian daging kurban nantinya. Rosniati sebagai peserta kurban juga
menuturkan, bahwa dikarenakan kepemilikan sapi kurban tersebut belum
ditentukan kemudian pada saat hewan kurban tersebut mati satu ekor maka
peserta dan panitia tidak mengetahui sapi tersebut milik kelompok mana.
29
Keempat adalah sebab kematian hewan kurban. Menurut keterangan yang
Penulis peroleh dari Joni sebagai pemelihara hewan kurban, pada mulanya
hewan kurban yang mati tersebut adalah sapi yang paling sehat dan gemuk
diantara enam ekor sapi lainnya. Dia menuturkan bahwa tidak ada masalah
dengan makan maupun kondisi tubuh si sapi. Tiga hari sebelum penyembelihan
sapi tersebut tiba-tiba tidak nafsu makan sehingga dia memberikan informasi ini
kepada Ketua panitia.
Wirya Tati sebagai ketua panitia menjelaskan, bahwa setelah dia
mendengar kabar dari Joni dia langsung meminta dokter hewan yang tidak jauh
dari lokasi pemeliharaan hewan kurban untuk memeriksa kondisi sapi tersebut.
Setelah diperiksa, dokter mengatakan bahwa sapi tersebut mengalami demam
sehingga dokter menyarankan untuk memberikan obat alami yaitu air gula aren.
Irsal sebagai peserta kurban menambahkan, bahwa beberapa jam setelah
pemberian obat, sapi itu mulai kembali makan. Namun, pada malam harinya
28
Hasil wawancara dengan Nina Hertati selaku panitia kurban pada 27 Mei 2019.
29
Hasil wawancara dengan Wirna Tati selaku Ketua Panitia dan Rosniati sebagai peserta
kurban pada 28 Mei 2019.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 14 ]
sebelum hari penyembelihan tanpa sepengetahuan Joni selaku pemelihara sapi
tersebut mati.
30
3. Luhak Tanah Datar
Adapun di Luhak Tanah Datar ada dua, yaitu Nagari Rao-Rao dan Nagari
Lintau Buo Utara. Untuk lebih jelasnya dapat penulis jabarkan sebagai berikut ini:
a. Nagari Rao-Rao
Pertama adalah pengumpulan biaya peserta kurban. Berdasarkan
keterangan yang penulis peroleh dari Emi dan Bahar sebagai peserta kurban,
bahwa biaya peserta kurban untuk peserta dari Musholla Subarang
dikumpulkan kepada Aulia selaku sekretaris di Musholla Subarang dan
peserta dari Musholla Baruh kepada Hj. Nino Gati selaku pengurus di Musholla
Baruh. Biaya tersebut dikumpulkan satu kali dalam sebulan sesuai dengan
kesanggupan masing-masing pribadi peserta kurban.
31
Dari proses
pengumpulan biaya tersebut terdapat satu kelompok peserta kurban dari
Musholla Subarang dan dua kelompok dari Musholla Baruh dengan masing-
masing kelompok terdiri dari tujuh peserta kurban dengan jumlah
keseluruhan dua puluh satu orang.
Kedua adalah pemeliharaan hewan kurban. Berdasarkan keterangan
dari Bahar sebagai peserta kurban, setelah hewan kurban itu dibeli oleh
Utsman dan beberapa orang peserta kurban, diperlihatkan kepada para
peserta dan panitia kurban lainnya lalu hewan kurban tersebut diserahkan
kepada dia untuk dipelihara sampai hari penyembelihan. Utsman dipercaya
memelihara hewan kurban tersebut karena telah biasa memelihara hewan
ternak dan dia juga memiliki kandang ternak sendiri.
32
Hj. Nino Gati sebagai panitia kurban menuturkan, bahwa Utsman
sendiri bertugas menyediakan kandang, memberi makan dan minum hewan
kurban serta memberikan informasi mengenai keadaan dan kondisi hewan
kurban tersebut. Dia diberi upah sebesar Rp. 10.000,00 per ekor hewan
30
Hasil wawancara dengan Joni selaku pemelihara hewan kurban pada 28 Mei 2019.
31
Hasil wawancara dengan Emi dan Bahar selaku peserta kurban pada 28 April 2019.
32
Hasil wawancara dengan Bahar selaku peserta kurban dan Ustman sebagai ketua panitia
pada 28 April 2019.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 15 ]
kurban, jika dijumlahkan maka dia mendapat upah sebesar Rp. 450.000,00
untuk dua minggu pemeliharaan. Dalam proses pemeliharaan tersebut, panitia
maupun peserta kurban sesekali melihat hewan kurban tersebut.
33
Ketiga adalah penentuan kepemilikan hewan kurban. Berdasarkan
keterangan dari Utsman sebagai ketua panitia, bahwa kepemilikan hewan
kurban ditentukan oleh panitia kurban pada hari penyembelihan. Hal ini
dilakukan karena telah menjadi kebiasaan didaerah tersebut. Emi sebagai
peserta kurban menyatakan, bahwa karena status kepemilikan hewan
tersebut belum ditentukan untuk masing-masing kelompok maka pada saat
hewan kurban tersebut mati satu ekor, panitia maupun peserta kurban tidak
mengetahui sapi tersebut milik kelompok siapa.
34
Keempat adalah sebab kematian hewan kurban. Menurut penuturan
dari H. Herman sebagai peserta kurban, pada mulanya hewan kurban yang
mati tersebut adalah sapi yang sehat. Dia menuturkan bahwa tidak ada yang
salah dengan pakan, kondisi kandang maupun kondisi tubuh si sapi. Tiga hari
sebelum penyembelihan sapi tersebut tiba-tiba mati mendadak dan tidak ada
siapapun yang mengetahui baik si pemelihara yaitu Utsman sendiri.
Utsman sebagai ketua panitia menambahkan, bahwa pada hari-hari
sebelumnya tidak ada tanda-tanda bahwa sapi tersebut mengalami sakit dan
sebagainya. Dia langsung memberitahukan hal tersebut kepada panitia
lainnya dan peserta kurban sehingga malam harinya dilakukanlah
musyawarah bersama-sama di Musholla Subarang.
35
b. Nagari Lintau Buo Utara
Pertama adalah pengumpulan biaya peserta kurban. Berdasarkan
keterangan yang penulis peroleh dari Erawati sebagai panitia kurban dan Anih
sebagai peserta kurban, bahwa biaya peserta kurban dikumpulkan kepada Hj.
Mis Elidar selaku bendahara di Musholla Bun-bun Air sekaligus panitia
kurban. Biaya tersebut dikumpulkan oleh dia satu kali dalam sebulan sesuai
dengan kesanggupan masing-masing pribadi peserta kurban. Selama proses
33
Hasil wawancara dengan Hj. Nino Gati sebagai panitia kurban pada 25 April 2019.
34
Hasil wawancara dengan Ustman selaku ketua panitia pada 25 April 2019.
35
Hasil wawancara dengan Ustman selaku ketua panitia pada 25 April 2019.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 16 ]
pengumpulan biaya tersebut terdapat lima kelompok peserta kurban yang
masing-masing kelompok terdiri dari tujuh peserta kurban dengan jumlah
keseluruhan tiga puluh lima orang.
36
Kedua adalah pemeliharaan hewan kurban. Berdasarkan keterangan
dari Hendriko seabagai peserta kurban, setelah pemberian nomor hewan
kurban sesuai kelompok masing-masing peserta kurban, barulah hewan
kurban tersebut diserahkan kepada Nursamsi untuk dipelihara sampai hari
penyembelihan. Dia dipercaya memelihara hewan kurban tersebut karena
telah biasa memelihara hewan ternak dan memiliki kandang ternak sendiri.
Erawati sebagai panitia kurban menuturkan, bahwa pemelihara
bertugas menyediakan kandang, memberi makan dan minum hewan kurban
serta memberikan informasi mengenai keadaan dan kondisi hewan kurban
tersebut. Nursamsi diberi upah sebesar Rp. 10.000,00 per hewan kurban, jika
dijumlahkan maka dia mendapat upah sebesar Rp. 750.000,00 untuk lima
belas hari pemeliharaan. H. Helmi sebagai peserta dan pembeli hewan kurban
menambahkan bahwa dalam proses pemeliharaan, peserta maupun panitia
sesekali melihat hewan kurban tersebut dan menanyakan kepada pemelihara
bagaimana kondisi makan dan fisik si sapi.
37
Ketiga adalah penentuan kepemilikan hewan kurban. Berdasarkan
keterangan dari Endafri Maizon sebagai ketua panitia, bahwa kepemilikan
hewan kurban ditentukan oleh panitia kurban setelah pembelian hewan
kurban tersebut. Dengan cara pemberian nomor pada masing-masing hewan
kurban sesuai dengan pembagian kelompok peserta kurban. Anih sebagai
peserta kurban menuturkan bahwa dikarenakan hewan kurban telah
ditentukan kepemilikannya maka ketika hewan kurban tersebut mati satu
ekor maka peserta maupun panitian kurban telah mengetahui sapi tersebut
milik kelompok siapa.
38
36
Hasil wawancara dengan Erawati selaku panitia kurban, dan Anih Anih sebagai peserta
kurban pada 07 Mei 2019.
37
Hasil wawancara Erawati selaku panitia kurban dan H. Helmi sebagai peserta kurban pada
08 Mei 2019.
38
Hasil wawancara dengan Endafri Maizon selaku ketua panitia pada 08 Mei 2019.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 17 ]
Keempat adalah sebab kematian hewan kurban. Menurut keterangan
yang Penulis peroleh dari Nursamsi sebagai pemelihara hewan kurban, pada
mulanya hewan kurban yang mati tersebut adalah sapi yang sehat. Dia
menuturkan bahwa tidak ada masalah dengan makan maupun kondisi tubuh
si sapi. Lima hari sebelum penyembelihan sapi tersebut tiba-tiba tidak nafsu
makan sehingga dia memberitahukan hal tersebut kepada Ketua Panitia.
Endafri Maizon sebagai ketua panitia menjelaskan bahwa setelah dia
mendengar kabar dari pemelihara, dia memerintahkan Nursamsi untuk
memanggil dan meminta dokter hewan datang ke lokasi pemeliharaan hewan
kurban guna memeriksa kondisi sapi tersebut. Setelah diperiksa, dokter
mengatakan bahwa sapi tersebut mengalami demam sehingga dokter
menyarankan untuk memberikan obat berupa air gula aren.
Hj. Mis Elidar sebagai panitia kurban menambahkan bahwa beberapa
jam setelah pemberian obat, sapi tersebut mulai nafsu makan kembali namun
tidak banyak seperti sebelumnya, dua hari sebelum hari penyembelihan sapi
tersebut tidak nafsu makan kembali sehingga dokter memberikan suntikan.
Namun, satu hari sebelum hari penyembelihan sapi tersebut mati. Kematian
sapi itu diperkirakan malam hari karena si pemelihara baru mengetahuinya
pada waktu shubuh sekitar jam 04.30 WIB.
39
D. Penyelesaian Matinya Hewan Kurban sebelum Hari Penyembelihan
Perspektif Hukum Islam
Islam telah mengatur sedemikian rupa tentang kewajiban berkurban, tata
cara pelaksanaan kurban dan aturan-aturan dalam pelaksanaan kurban. Dalam
konteks ini, kasus matinya hewan kurban sebelum hari penyembelihan di Luhak
Nan Tigo, di antaranya Luhak Agam di Nagari Ladang Laweh, Luhak Limo Puluah
Kota di Nagari Sarilamak, dan Luhak Tanah Datar di Nagari Rao-Rao dan Lintau Buo
Utara dalam penyelesaian kasus matinya hewan kurban sebelum hari
penyembelihan sangat beragam. Untuk mengatasi kasus matinya hewan kurban
tentulah mengedepankan kemaslahatan dengan tidak melanggar atau menyimpang
39
Hasil wawancara dengan Hj. Mis Elidar selaku panitia kurban pada 08 Mei 2019.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 18 ]
dari ketentuan syariat yang telah ada, serupa dengan ketentuan kurban bahwa satu
ekor sapi untuk tujuh orang dan satu ekor kambing untuk satu orang.
1. Satu Ekor Sapi untuk Lebih dari Tujuh Orang
Penyelesaian matinya hewan kurban sebelum hari penyembelihan yang
terjadi di Musholla Nurul Yaqin Nagari Sarilamak Kecamatan Harau Kabupaten
Lima Puluh Kota, dengan cara menyebutkan seluruh nama-nama peserta yang
terdiri dari tujuh kelompok terlebih dahulu. Setelah nama-nama peserta kurban
disebutkan barulah dilaksanakan pemotongan enam ekor sapi yang tersisa tanpa
menyebut nama peserta kembali. Artinya, enam ekor sapi untuk tujuh kelompok
yang terdiri dari empat puluh sembilan orang, sehingga satu ekor sapi untuk
delapan orang.
Dalam penyelesain di atas adalah solusi yang menimbang akan
kemaslahatan agar adil dan tidak terjadi simpang baur diantara peserta kurban,
namun dalam rukun kurban disyariatkan untuk menyebutkan nama-nama
peserta kurban per-hewan kurban, sebagaimana Rasulullah bersabda “dengan
menyebut asma Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah ini (kurban) dariku”. Adapun
apabila kurban diniatkan untuk diri sendiri beserta keluarga. Maka hendaknya ia
membaca “dengan menyebut nama Allah, Allah maha besar, ya Allah, ini (kurban)
dariku dan keluargaku”.
40
Dengan demikian, menggabungkan satu ekor sapi kepada delapan orang
tanpa menyertakan nama shohibul kurban merupakan penyelesaian yang kurang
tepat menurut penulis, karena batas sekurang-kurangnya yang cukup memadai
untuk satu orang, ialah seekor kambing, atau sepertujuh unta dan sepertujuh
sapi. Para ulama fikih sepakat dalam hal ini.
2. Mengganti Secara Bersama
Berbeda kasus pada penyelesaian matinya hewan kurban sebelum hari
penyembelihan yang terjadi di Masjid Al-Ihsan Karatau yang berlokasi di Jorong
Parabek Nagari Ladang Laweh Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam.
Penyelesaian matinya satu sapi dari tujuh ekor sapi dengan cara mengganti satu
ekor sapi yang mati dengan beriuran oleh empat puluh sembilan orang yang
40
Ghufron, Tuntunan Berkurban……, 6667.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 19 ]
terdiri dari tujuh kelompok. Merujuk pada status kepemilikan hewan kurban
yang belum ditentukan, penggantian yang dilakukan oleh empat puluh sembilan
peserta kurban sudah tepat sebagaimana Hadits dari Jabir Radhiyallahu‘anhu:












































Artinya: Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku ikut
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Idul Adha di Mushalla
(lapangan tempat shalat). Setelah selesai khutbah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam turun dari mimbar, lalu dibawakan kepadanya seekor kambing kibasy,
lalu Rasulullah menyembelihnya dengan kedua tangannya seraya berkata,”
Dengan menyebut nama Allah, Allahu akbar, ini adalah kurbanku dan kurban siapa
saja dari umatku yang belum berkurban.” (Ahmad bin Hambal 1421 H: 364)
Selanjutnya ialah Hadits dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah
Radhiyallahu‘anhuma:




































Artinya: Diriwayatkan dari ‘Aisyah dan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak menyembelih kurban, Dia membeli
dua ekor kambing kibasy yang besar dan gemuk, bertanduk, berwarna putih dan
terputus pelirnya. Dia menyembelih seekor untuk umatnya yang bertauhid dan
membenarkan risalah, kemudian menyembelih seekor lagi untuk diri Dia dan untuk
keluarga dia Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Ibnu Majah Abu Abdullah
Muhammad, 1568: 113)
Dari hadits di atas, Rasulullah berkurban atau membeli dua ekor kambing
satu disembelih untuk kelurganya dan satunya lagi untuk umatnya. Menurut
hemat penulis, merujuk dari hadis di atas penulis membenarkan solusi terhadap
penggantian hewan kurban yang terjadi di masjid Al-Ihsan tersebut karena
pengumpulan dana dan penggantian yang dilakukan oleh empat puluh sembilan
peserta kurban di atas ditunjukan atau di atas namakan untuk satu kelompok
berjumlah tujuh orang yang dianggap mati hewan kurbanya.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 20 ]
3. Dua Ekor Sapi untuk Tiga Kelompok
Penyelesaian matinya hewan kurban sebelum hari penyembelihan yang
terjadi di Musholla Subarang Jorong Koto Kociak Nagari Rao-rao Kecamatan
Sungai Tarab Kabupaten Tanah Datar ini menyelesaikan dengan cara
membagikan setengah daging kurban dari satu ekor sapi, yang mana tersisa dua
ekor sapi kepada kelompok peserta kurban yang dianggap mati hewan kurban
yaitu satu kelompok di Musholla Subarang. Dengan dasar bahwa salah satu
ketentuan orang-orang yang berhak menerima daging kurban antara lain,
pertama, orang yang berkurban dan keluarganya. Kedua, karib kerabat, tetangga
dan ketiga ialah fakir miskin. Landasan tersebutlah yang menjadi jawaban
kebolehan dari penyelesaian matinya hewan kurban dengan cara membaginya
dua ekor sapi untuk tiga kelompok. Juga dilandasi oleh hadist Nabi berikut:


Artinya: “Orang yang berkurban tidak boleh memakan sedikit pun dari ibadah
kurban yang dinazarkan (wajib) tetapi ia wajib menyedekahkan seluruh bagian
hewan kurbannya. (Ia memakan) maksudnya orang yang berkurban dianjurkan
memakan (daging kurban sunnah) sepertiga bahkan lebih sedikit dari itu, Al-
Maktabah Al-Asadiyya.”(Afifuddin Muhajir, 2014: 207).
Terhadap ketidakikutsertaan kelompok yang mati hewan kurbannya pada
hari penyembelihan bukanlah suatu persoalan yang diperdebatkan oleh
kelompok tersebut, dengan keyakinan bahwa pahala berkurban tetap berada
pada ketetapan Allah Subhanahu Wata’ala meski hewan tersebut mati. Menurut
Kaidah Fikih yaitu:

Artinya: “Keinginan untuk melakukan suatu ibadah tidak dapat terlaksana karena
ada halangan (uzur) padahal niat sudah ada, maka tetap mendapatkan pahala
niat, walaupun ibadah tersebut tidak terlaksana.
41
Berdasarkan kaidah di atas, seseorang yang berkurban mendapatkan
pahala niat kurban walaupun ibadah kurban tidak jadi terlaksana karena adanya
halangan atau uzur berupa matinya hewan kurban sebelum hari penyembelihan.
41
Kasmidin, Al-Qawaid Al-Fikhiyah (Batusangkar: STAIN Batusangkar, 2011). 65.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 21 ]
Hal ini juga diperkuat oleh pendapat imam Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa keinginan yang pasti, apabila seseorang melakukannya yang ia mampu,
maka menurut syara seperti orang yang mengerjakannya secara sempurna,
baginya pahala seperti orang yang mengerjakannya secara sempurna, ini artinya
bahwa pahala orang yang telah membeli dan memiliki binatang kurban namun
binatangnya mati atau hilang atau dicuri maka pahalanya sama dengan yang
berkurban.
4. Mengganti Satu Ekor Sapi dengan Dua Ekor Kambing
Penyelesaian yang berbeda terhadap matinya hewan kurban sebelum hari
penyembelihan yang terjadi di Musholla Bun-bun Air Jorong Bun-bun Air Nagari
Tanjung Bonai Kecamatan Lintau Buo Utara Kabupaten Tanah Datar, dengan cara
mengganti satu ekor sapi yang mati dengan dua ekor kambing. Ketentuan
penyelesaian ini menurut penulis kurang tepat, dengan berpijak pada pendapat
Imam Syafi’i
42
mengatakan, apabila hewan tersebut hilang atau mati, maka ia
harus membeli hewan lain yang seharga dengan hewan itu. Apabila ternyata
hewan tersebut harganya sangat mahal, yaitu mencapai dua kali lipat dari hewan
lain, maka dalam keadaan seperti ini ia harus berkurban dengan dua ekor hewan
yang harganya sama dengan satu ekor hewan yang ia niatkan untuk berkurban.
Apabila harganya mencapai satu setengah dari hewan lain, maka dia harus
menyembelih satu ekor hewan lain, kemudian sisa harganya ia gunakan untuk
membeli hewan lain atau disedekahkan (apabila tidak cukup untuk membeli satu
ekor hewan kurban).
Imam Syafi’i di atas mensyaratkan penggantian hewan kurban harus
berkurban dengan dua ekor hewan dengan ketentuan harga hewan kurban yang
diganti bernilai sama. Sedangkan, pada penyelesaian kali ini musholla mengambil
sikap untuk mengganti satu ekor sapi dengan dua ekor kambing yang tidak sama
nilai harganya.
Hemat penulis terhadap hukum mengganti hewan kurban yang mati
sebelum hari penyembelihan pada hari raya Idhul Adha terdapat dua pendapat
diantaranya: pertama, Peserta kurban dianjurkan mengganti jika ia mampu atau
42
Syeikh ‘Ali Bin Hasan Al-Halabi Al-Atsri, Meneladani Rosulullah Dalam Berhari Raya.740.
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 22 ]
memiliki harta yang berlebih, hal ini sesuai dengan pendapat Imam Malik dan
yang menganggap hukum berkurban adalah wajib yakni Madzhan Imam Abu
Hanifah. Karena imam Abu Hanifah mengatakan: apabila orang yang kaya raya
hartanya melimpah apabila ia membeli binatang kurban, lalu mati atau hilang
atau dicuri, maka ia mengganti dengan yang lain pendapat ini berdasarkan
pendapat mereka bahwa udhiya (hewan kurban) itu wajib. Kedua, apabila
seorang membeli seekor hewan kemudian ia mengganggap berkurban di hari
raya Idhul Adha itu Sunnah, kemudian hewan tersebut mati, hilang atau dicuri
orang, maka ia tidak wajib mengganti hewan tersebut, pendapat ini berdasarkan
pendapat imam As-Syafii yang diwajibkan hanya pada hewan kurban yang
hukumnya wajib begitu juaga bunyi hadits dari imam Baihaqi dari Tamim Bin
Husein al-Mishary bahwa ia berkata:

Artinya: Saya membeli hewan kambing di Mina untuk dijadikan kurban, lalu
kambing tersebut hilang. Kemudian saya bertanya kepada Ibn ‘Abbas, maka dia
menjawab: Hal tersebut tidak memudaratkanmu.
Begitu juga pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan: bahwa keinginan
yang pasti, apabila seseorang melakukannya yang ia mampu, maka menurut
syara’ seperti orang yang mengerjakannya secara sempurna, baginya pahala
seperti orang yang mengerjakannya secara sempurna, ini artinya pahala orang
yang telah membeli dan memiliki binatang kurban namun binatangnya mati atau
hilang atau dicuri maka pahalanya sama dengan yang berkurban.
E. Penutup
Berdasarkan hasil penelitian terhadap penyelesaian matinya hewan kurban
di Luhak Nan Tigo dapat disimpulkan dalam proses pemeliharaan, hewan kurban
mati sebelum hari penyembelihan disebabkan beberapa hal mulai dari tidak nafsu
makan, sakit demam hingga mati mendadak tanpa diketahui penyebabnya. Dalam
kasus ini masing-masing daerah memiliki solusi yang berbeda-beda dalam
menyelesaikannya di antaranya:
Pertama meleburkan status kepemilikan sapi yang tersisa kepada kelompok
yang ada sehingga kepemilikan sapi melebihi tujuh orang. Kedua, beriuran kembali
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 23 ]
guna membeli sapi yang mati oleh seluruh kelompok peserta kurban yang
berjumlah empat puluh sembilan orang sehingga dalam iuran tersebut pembelian
sapi melebihi dari tujuh orang. Namun pembelian sapi tersebut diberikan kepada
kelompok yang dianggap mati hewan kurbanya. Ketiga, Membagikan setengah
daging dari satu sapi yang tersisa kepada kelompok yang dianggap mati hewan
kurbanya tanpa menyebutkan nama kelompok tersebut pada saat penyembelihan.
Keempat, pemilik sapi yang berjumlah tujuh orang bersepakat untuk mengganti
sapinya yang mati dengan beriuran kembali sesuai dengan kesanggupan mereka
dan hanya dapat membeli dua ekor kambing guna mengganti sapi yang mati
tersebut. Hukum Islam memandang fenomena berbagai penyelesaian matinya
hewan kurban tersebut, terdapat satu penyelesaian yang dirasa tidak relevan
dengan esensi ibadah kurban itu sendiri, yakni mengganti satu ekor sapi yang
kisaran pasaran harga 17-19 juta dengan nilai kambing yang memiliki harga
pasaran 2-2.5 juta. Secara kuantitas, nilai perbandingan ini menjadi suatu yang tidak
relevan untuk disandingkan dan dijadikan sebagai pengganti hewan kurban yang
telah mati.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, E. Hukum Kurban Aqiqah dan Sembelihan. Batusangkar: STAIN
Batusangkar, 2011.
Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Al-Madzhib al-Arba’ah. Cairo: Darul Hadist,
2004.
Asy-Syaf’i, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qosim. Fathul Qorib. 2 ed.
Kudus: Menara Kudus, 1983.
Ghufron, Ali. Tuntunan Berkurban dan Menyembelih. Jakarta: Amzah, 2013.
Hadi, Nurh. “Istinbath Hukum Kurban Uang Perspektif Ekonomi Islam.” Ijtihad 34,
no. 2 (2018).
Hariyanto, B. “Dinamika Ibadah Kurban dalam Perkembangan Hukum Islam
Modern.” Mizani: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan 5, no. 2 (2018).
JIL: Journal of Islamic Law, Vol. 1, No. 1, 2020.
[ 24 ]
Ibnu Qadamah. Al-Mughni. Jilid 9. Dar Alamiyyah, t.t.
Kasmidin. Al-Qawaid Al-Fikhiyah. Batusangkar: STAIN Batusangkar, 2011.
Mahfud, Choirul. “Tafsir Sosial Kontekstual Ibadah Kurban Dalam Islam.” Humanika,
2014.
Muchtia, Hafizah. “‘Pandangan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Kurban
Bersama di Pondok Pesantren Moderen Nurul Ikhlas’.” IAIN Batusangkar,
2015.
Nawawi, Imam. Minhaj Ath-Tahlibin. Jilid 2. Jakarta: Pustaka Azzam, 2016.
RIni, Mukh. Imron Ali Mahmudi & Hartati Sulistyo. “Pergeseran Makna Ibadah
Kurban sebagai Konstruksi Identitas Sosial Masyarakat.” Solidarity 4, no. 2
(2015).
Somad, Abdul. 30 Tanya Jawab Seputar Kurban. Pekanbaru: Tafaqquh Press, 2009.
Syeikh ‘Ali Bin Hasan Al-Halabi Al-Atsri. Meneladani Rosulullah dalam Berhari Raya.
Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005.
Tazwin, Ahmad. Kurban dan Akikah. Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2007.
Zuhaili, Wahbah. Fikih Islam Wa Adilatuhu. II. Jakarta: Gema Insani, 2011.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Abstrak: Dalam studi Islam, kurban merupakan salah satu ajaran mulia. Kurban secara bahasadimaknai mendekatkan diri. Secara istilah, kurban diartikan segala upaya mendekatkan dirikepada Allah dengan cara menjalankan apa saja yang diperintahkan sekaligus menjauhi yangdilarang. Ibadah kurban termasuk ajaran ideal. Namun begitu, dalam praktiknya masih adapersoalan yang dijumpai kenapa ada orang yang belum mengamalkan ajaran ibadah kurbansecara maksimal dalam kehidupannya. Hal itu disinyalir, diantaranya, karena adanya pemahamanyang cenderung tekstual ketimbang kontekstual sosial sepanjang hayatnya. Oleh karena itu,tulisan ini lebih memfokuskan pada pembahasan apa yang dimaksud ibadah kurban dalam Islam?Bagaimana tafsir sosial ibadah kurban dalam Islam tersebut? Apa saja manfaat menjalankanibadah kurban? Lalu, bagaimana implementasi dan implikasi kurban dalam Islam bagi kehidupansetiap manusia di dunia dan akhirat. Kata Kunci: Kurban, Tafsir Sosial Kontekstual, Islam
Article
Full-text available
Sacrifice is a necessity in the activities of Muslims every year. In addition to having a vertical dimension in the form of obedience to the commands of Allah SWT, sacrificial worship also has a horizontal dimension that is urgent for ukhuwah Islamiyah, namely concern for others and justice in realizing Muslim unity. The progress of the times achieved by modern civilization can actually be solutions that facilitate all forms of Islamic worship practices. Collective goat sacrifices, online sacrificial worship, sacrificial slaughter with mechanical devices, and sacrificial canning are some of the dynamics that occur in Muslim communities in the world. These dynamics must be addressed wisely in accordance with the objectives of the Shari'a. The progress of the era with all its derivatives requires every Muslim to continue to strive to understand and explore the philosophical and axiological meanings of all the worship carried out, including in the implementation of sacrificial worship.
Article
Indeed the money distributed with the sacrificial intention becomes charity, because the money is included in the provision of Allah. While the sacrifice is also essentially the charity of money (property) bought by animals, then slaughtered, then given to the neighbors and the most important to the poor. The amount of reward for charity reward is doubled as explained in the paragraph above. Then if the sacrifice as a form of annual worship (10-13 zulhijjah) that was carried out was not accepted as a sacrifice just because of carrying out it in the form of the distribution of money, not sacrificial meat? Istinbath of sacrificial law with money, namely the Qur'an (Surah Al-Hajj: 28 and 36), hadith (HR. Abu Musa), atsar (Ayesha and Bilal), qias (diaciaskan with zakat), istihsan (better), istishab (al-Ashlu fi syai al-Ibahah), istislah (maslahat), maqashid sharia (the purpose of the Shari'a is the benefit of the afterlife) and legal contextualism (filasfat, the nature and meaning of the Shari'a) and the principle of benefit and benefit (jalbu al-Mashalih wa dar'u al-Mafasid), whereas in muamalah the basic Islamic economy of every thing is permissible unless there is a argument which prohibits it. In the context of sacrifice with money in the perspective of Islamic economics in terms of the law of sacrifice there is no text on the prohibition of sacrifice with money, from an economic standpoint, more money is needed than sacrificial meat, it can be understood that sacrifice with money due to the condition of the situation and the presence of the victim receives more money rather than sacrificial meat, the law may (conditionally) namely al-Ibahah and the sacrifice is valid.
Al-Fiqh 'ala Al-Madzhib al-Arba'ah
  • Abdurrahman Al-Jaziri
Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh 'ala Al-Madzhib al-Arba'ah. Cairo: Darul Hadist, 2004.
  • Ali Ghufron
  • Tuntunan Berkurban Dan Menyembelih
Ghufron, Ali. Tuntunan Berkurban dan Menyembelih. Jakarta: Amzah, 2013.
Pandangan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Kurban Bersama di Pondok Pesantren Moderen Nurul Ikhlas
  • Hafizah Muchtia
Muchtia, Hafizah. "'Pandangan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Kurban Bersama di Pondok Pesantren Moderen Nurul Ikhlas'." IAIN Batusangkar, 2015.