ArticlePDF Available

Analisis Program Penanggulangan TBC di Indonesia dalam Upaya Pencapaian Target Eliminasi TBC Tahun 2030

Authors:

Abstract

Tuberkulosis atau TBC hingga saat ini masih menjadi ancaman kesehatan yang besar di dunia maupun di Indonesia. Untuk itu, ditetapkan target eliminasi TBC tahun 2030 untuk mengakhirinya. Namun hingga saat ini, masih terdapat banyak indikator program penanggulangan TBC yang belum tercapai bahkan jauh dari target, misalnya pada 2022 Case Detection Rate (CDR) sebesar 52% dari target 90%, Treatment Success Rate (TSR) 82% dari target 90%, Treatment Coverage (TC) 57% dari target 90%, Investigasi Kasus (IK) 89% dari target 100%, Enrollment Rate (ER) TBC RO 57% dari target 93% dan TSR TBC RO 50% dari target 80%. Untuk mencapai eliminasi TBC tahun 2030, target yang ditetapkan bahkan lebih tinggi daripada target saat ini. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan RI merancang kerangka akselerasi program TBC dalam rangka pencapaian berbagai indikator yang diharapkan membawa Indonesia mencapai target eliminasi TBC tahun 2030. Manuskrip ini bertujuan untuk menganalisis program penanggulangan TBC di Indonesia dalam upaya pencapaian target eliminasi TBC tahun 2030. Analisis dilakukan terhadap aspek input, output, dan kerangka akselerasi program TBC. Hasilnya adalah aspek kebijakan dan sarana prasarana telah mencapai target dan pelaksanaannya sudah cukup baik, namun tetap memerlukan peningkatan. Beberapa aspek lain seperti pendanaan, SDM penemuan kasus secara aktif, pemberian TPT, dan surveilans masih memerlukan peningkatan masif untuk pencapaian target eliminasi TBC di tahun 2030. Sisa tujuh tahun menuju 2030 ini perlu dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah dan segenap komponen bangsa melalui berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah yang ada serta meningkatkan ketersediaan dan kualitas aspek program penanggulangan TBC.
1
Analisis Program Penanggulangan TBC di Indonesia dalam Upaya Pencapaian Target
Eliminasi TBC Tahun 2030
Faradisa Mulya
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
E-mail: faradisa.mulya@ui.ac.id
Abstrak:
Tuberkulosis atau TBC hingga saat ini masih menjadi ancaman kesehatan yang besar di dunia maupun di
Indonesia. Untuk itu, ditetapkan target eliminasi TBC tahun 2030 untuk mengakhirinya. Namun hingga saat ini,
masih terdapat banyak indikator program penanggulangan TBC yang belum tercapai bahkan jauh dari target,
misalnya pada 2022 Case Detection Rate (CDR) sebesar 52% dari target 90%, Treatment Success Rate (TSR)
82% dari target 90%, Treatment Coverage (TC) 57% dari target 90%, Investigasi Kasus (IK) 89% dari target
100%, Enrollment Rate (ER) TBC RO 57% dari target 93% dan TSR TBC RO 50% dari target 80%. Untuk
mencapai eliminasi TBC tahun 2030, target yang ditetapkan bahkan lebih tinggi daripada target saat ini. Oleh
karena itu, Kementerian Kesehatan RI merancang kerangka akselerasi program TBC dalam rangka pencapaian
berbagai indikator yang diharapkan membawa Indonesia mencapai target eliminasi TBC tahun 2030. Manuskrip
ini bertujuan untuk menganalisis program penanggulangan TBC di Indonesia dalam upaya pencapaian target
eliminasi TBC tahun 2030. Analisis dilakukan terhadap aspek input, output, dan kerangka akselerasi program
TBC. Hasilnya adalah aspek kebijakan dan sarana prasarana telah mencapai target dan pelaksanaannya sudah
cukup baik, namun tetap memerlukan peningkatan. Beberapa aspek lain seperti pendanaan, SDM penemuan kasus
secara aktif, pemberian TPT, dan surveilans masih memerlukan peningkatan masif untuk pencapaian target
eliminasi TBC di tahun 2030. Sisa tujuh tahun menuju 2030 ini perlu dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah
dan segenap komponen bangsa melalui berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah yang ada serta
meningkatkan ketersediaan dan kualitas aspek program penanggulangan TBC.
Kata kunci: input, output, kerangka akselerasi, program TBC, eliminasi TBC 2030
Abstract:
Tuberculosis or TB remains an important health problem globally and also in Indonesia. Therefore, a TB
elimination target has been set in 2030 to end it. However, until now, there are still many TB control program
indicators that have not been achieved and are even far from the target, for example in 2022 the Case Detection
Rate (CDR) is 52% of the 90% target, the Treatment Success Rate (TSR) is 82% of the 90% target, Treatment
Coverage (TC) 57% of target 90%, Case Investigation (IK) 89% of target 100%, Enrollment Rate (ER) TB RO
57% of target 93% and TSR TB RO 50% of target 80%. To achieve TB elimination by 2030, the target set is even
higher than the current target. Therefore, the Ministry of Health of the Republic of Indonesia designed a
framework for accelerating the TB program in order to achieve various indicators that are expected to bring
Indonesia to achieve the TB elimination target by 2030. This manuscript aims to analyze TB control programs in
Indonesia in an effort to achieve the TB elimination target by 2030. The analysis was carried out on aspects of
input, output, and the TBC program acceleration framework. The result is that aspects of policy and infrastructure
have reached the target and the implementation is quite good, but still requires improvement. Several other
aspects, such as funding, human resources for active case finding, provision of TPT, and surveillance, still require
massive increases to achieve the TB elimination target in 2030. The remaining seven years to 2030 need to be
utilized optimally by the government and all components of the nation through various strategies to solving
existing problems and increasing the availability and quality of aspects of tuberculosis control programs.
Keywords: input, output, acceleration framework, TB program, TB elimination by 2030
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tuberkulosis atau TBC hingga saat ini masih menjadi ancaman kesehatan besar di dunia
maupun di Indonesia. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa TBC berada di
urutan kedua untuk penyakit infeksius yang paling banyak menyebabkan kematian setelah
COVID-19 (WHO, 2022). Berdasarkan data Global TB Report tahun 2022, secara global
terdapat kenaikan jumlah orang yang terinfeksi TBC sebesar 4,5% yaitu dari 10,1 juta orang
pada 2020 menjadi 10,6 juta orang pada 2021 diikuti dengan 1,6 juta kematian (WHO, Global
TB Report 2022). Besarnya masalah TBC di dunia juga ditunjukkan dengan adanya target
eliminasi TBC dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Target ini juga merupakan
bagian dari strategi yang lebih besar yaitu End TB Strategy yang bertujuan untuk mengakhiri
epidemi TB global pada tahun 2035. Indikator dalam strategi ini pada 2035 adalah reduksi 95%
angka kematian TBC dibanding 2015, reduksi 90% insiden TBC dibanding 2015, dan dan 0%
keluarga terdampak biaya katastropik akibat TBC.
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
Tuberculosis yang umumnya menyerang paru-paru. Bakteri TBC bertransmisi melalui droplet
yang dihasilkan manusia. TBC utamanya menyerang orang yang imunitasnya rendah seperti
penderita HIV-AIDS atau diabetes mellitus, kontak dengan penderita TBC, tinggal di area yang
padat penduduk serta kumuh, dan merokok (WHO, 2022). Sekitar seperempat dari seluruh
populasi di dunia memiliki infeksi TBC, artinya sejumlah orang tersebut telah terinfeksi oleh
bakteri penyebab TBC tetapi belum atau tidak mengalami gejala TBC dan tidak dapat
menularkannya (WHO, 2022). Hal ini disebut dengan infeksi TBC laten. Sementara itu, infeksi
TBC aktif berarti seseorang terinfeksi bakteri TBC aktif yang dapat menular dan menyebabkan
gejala. Gejala ini umumnya adalah batuk disertai dahak dan darah selama tiga minggu atau
lebih, nyeri dada, lesu, penurunan berat badan, demam, dan berkeringat di malam hari.
Di Indonesia, TBC termasuk masalah kesehatan dengan angka kasus dan kematian yang
tinggi. Pada 2021, Indonesia menempati posisi ke-2 di dunia setelah India dengan estimasi
sebanyak 969.000 kasus (WHO, Global Tuberculosis Report, 2022). Estimasi kasus pada 2022
juga sebanyak 969.000 kasus, terdiri dari TBC Sensitif Obat (SO) dan TBC Resisten Obat
(RO). Nyatanya, capaian penemuan kasus TBC per 1 November 2022 hanya 52% atau 503.712
kasus dari target sebesar 90% (Kementerian Kesehatan RI, 2022). Kesenjangan yang besar ini
menunjukkan bahwa Indonesia belum mencapai target penemuan kasus sehingga berpengaruh
terhadap jumlah penderita TBC yang belum mendapat pengobatan dan akan menyebabkan
tingginya penularan. Untuk mencapai eliminasi TBC di Indonesia pada 2030 ditetapkan target
3
insiden sebesar 65 per 100.000 penduduk, sementara insiden pada 2021 masih mencapai 358
per 100.000 penduduk. Sisa waktu 7 tahun menuju 2030 ini harus dimanfaatkan untuk
akselerasi program TBC demi mencapai eliminasi TBC.
Selain meningkatkan risiko kesehatan, masalah TBC berdampak pada meningkatnya
beban ekonomi negara maupun penderitanya. Dokumen Rencana Global untuk Mengakhiri
TBC 2023-2030 juga menjelaskan bahwa dalam rentang 2023-2030, untuk menyelamatkan
jutaan nyawa dari TBC dibutuhkan investasi dunia sebesar US$250 juta (Stop TB Partnership,
2022). Hal ini tentu berat bagi negara berkembang seperti Indonesia yang masih berjuang
dalam banyak hal lain selain TBC.
Banyak faktor yang menyebabkan cakupan penanganan TBC belum optimal,
diantaranya adalah underreporting, tenaga kesehatan belum banyak terlatih, implementasi
kebijakan belum optimal, sarana prasarana terbatas, dan pandemi COVID-19 juga banyak
membawa pengaruh. Dalam mendukung upaya menuju eliminasi tuberkulosis di Indonesia
pada tahun 2030 seperti yang telah diamanatkan dalam RPJMN 2020-2024, maka dibuatlah
STRANAS Tuberkulosis 2020-2024 sebagai pedoman pelaksanaan strategi dan intervensi
untuk percepatan eliminasi TBC pada 2030. Selain itu, dirancang kerangka akselerasi program
TBC oleh Kementerian Kesehatan RI yang terdiri dari active case finding, penguatan
surveilans, dan ekspansi pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) (Kementerian
Kesehatan RI, 2022).
Mengapa dalam situasi penanggulangan TBC terdapat kesenjangan antara target dan
realita? Bagaimana ketersediaan dan kualitas aspek input pada program penanggulangan TBC?
Bagaimana implementasi upaya akselerasi program TBC dalam percepatan eliminasi TBC?
Apa tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam pengendalian TBC di Indonesia?. Penelitian
ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut melalui analisis program penanggulangan
TBC di Indonesia dalam upaya pencapaian target eliminasi TBC tahun 2030.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis program penanggulangan TBC di Indonesia
dalam upaya pencapaian target eliminasi TBC tahun 2030. Analisis dilakukan terhadap aspek
input, output, dan kerangka akselerasi program TBC. Aspek input meliputi ketersediaan sarana
prasarana, pendanaan, kebijakan, dan Sumber Daya Manusia (SDM). Aspek output meliputi
Case Detection Rate (CDR), Treatment Coverage (TC), Treatment Success Rate (TSR) TBC
dan TBC Resisten Obat (RO), Enrollment Rate TBC RO, serta Investigasi Kontak (IK). Selain
itu, juga dilakukan analisis implementasi kerangka akselerasi program TBC yaitu active case
finding, ekspansi pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT), dan penguatan surveilans.
4
METODOLOGI
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif menggunakan data primer dan
sekunder. Metode yang digunakan dalam penulisan ini yaitu:
1.
Observasi Partisipatif Terstruktur
Pengikutsertaan dalam pelaksanaan sekaligus mengobservasi proses kerja Sub Tim
Kerja TBC, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kementerian
Kesehatan RI.
2.
Studi Pustaka
Pengumpulan data dan penelaahan literatur yang didapatkan dari internet maupun
Kementerian Kesehatan RI untuk menambah pengetahuan mengenai program penanggulangan
TBC dan implementasinya.
3.
Metode Wawancara
Konsultasi dengan pembimbing lapangan dan diskusi dengan pegawai di Sub Tim Kerja
TBC, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan RI.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Input
Sarana Prasarana
Aspek sarana dan prasarana merupakan salah satu aspek yang memegang kendali dalam
keberhasilan program TBC. Sarana dan prasarana dalam program TBC merupakan bahan dan
alat untuk menunjang kegiatan program TBC. Pasal 19 Permenkes RI No. 67 tahun 2016
menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan sarana dan
prasarana laboratorium kesehatan untuk penegakan diagnosis, pemantauan keberhasilan
pengobatan, dan sebagainya. Beberapa sarana dan prasarana yang dibutuhkan diantaranya Obat
Anti Tuberkulosis (OAT), mesin Tes Cepat Molekuler (TCM), sistem informasi, dan lainnya.
Perkembangan diagnosis TBC semakin mumpuni dengan mesin TCM yang dapat mendeteksi
hanya dalam waktu 2 jam dan memiliki sensitivitas tinggi yaitu 94% dan nilai spesifisitas
lebih dari 98% berdasarkan studi yang dilakukan di Afrika, Eropa, dan Asia
Tenggara
(Penn-Nicholson A, Georghiou SB, Ciobanu N, et al., 2022). Hingga akhir tahun 2022,
sebanyak 1.809 mesin TCM telah terdistribusi ke 500 Kabupaten/Kota dari 514
Kabupaten/Kota (97%) (Dashboard TB, Kementerian Kesehatan RI, 2022). Kondisi ini sudah
cukup baik, namun bagi kab/kota yang belum memiliki TCM akan lebih sulit menangani TBC.
Akses untuk diagnosis TCM pada beberapa wilayah sulit, bahkan di Kabupaten Timor Tengah
Selatan hanya ada 3 mesin TCM dari 36 Puskesmas sehingga kader dan staf program TBC
5
harus menempuh total 200 km untuk mengantar spesimen dahak (Stop TB Partnership
Indonesia, 2022). Kondisi ini menjadi tanda bagi pemerintah untuk meningkatkan ketersediaan
sarana prasarana untuk mendukung percepatan eliminasi TBC, hal ini dapat dilakukan dengan
meningkatkan pendanaan dari public-private mix, dana APBN/APBD, maupun hibah.
Selain alat dan bahan untuk penanggulangan TBC, Sistem Informasi TB (SITB) juga
merupakan sarana yang dibutuhkan demi mencapai eliminasi TBC. Sistem Informasi TB
(SITB) adalah aplikasi yang digunakan oleh semua pemangku kepentingan mulai dari fasilitas
kesehatan (puskesmas, rumah sakit, dokter praktek mandiri, klinik, laboratorium, instalasi
farmasi), dinas kesehatan kabupaten/kota/provinsi dan Kementrian Kesehatan RI, untuk
melakukan pencatatan dan pelaporan kasus TB Sensitif Obat (SO), TB Resisten Obat (RO),
dan logistik dalam satu wadah yang terintegrasi. Bahkan SITB adalah salah satu keluaran yang
diharapkan dari target peningkatan sarana prasarana dalam Peraturan Presiden No. 67 Tahun
2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, yang menyatakan targetnya adalah 100% fasilitas
kesehatan dilengkapi komputer untuk Sistem Informasi TBC. Berdasarkan laporan nasional
Riset Fasilitas Kesehatan tahun 2019, terdapat 95.668 komputer untuk 9.831 puskesmas di
Indonesia, dengan jumlah komputer yang berfungsi 84.019. Semua provinsi memiliki jumlah
komputer yang lebih banyak dibanding jumlah puskesmas, dan rata-rata jumlah komputer per
puskesmas adalah 10 (Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI, 2019). Dilihat dari segi
ketersediaan jumlah komputer puskesmas sebagai sarana untuk mendukung program
penanggulangan TBC, situasi nya sudah baik. Meski jumlah komputer memadai,
pengoperasian SITB membutuhkan internet karena berbasis web sehingga beberapa daerah
mengalami kesulitan.
Berdasarkan paparan salah satu pegawai di Sub Tim Kerja TBC, Kementerian
Kesehatan RI, didapatkan pernyataan yaitu:
Meskipun ketersediaan sarpras sudah cukup baik, namun akses internet di beberapa
tempat sulit, terutama di wilayah timur sehingga perlu diperhatikan akses internetnya.”
(Informan 1)
Pernyataan ini terbukti oleh suatu penelitian di Kabupaten Oku Timur yang
menyebutkan bahwa seringnya terjadi kendala sinyal di beberapa puskesmas menyebabkan
keterlambatan pembaruan data di SITB (Hutami SP, Mahendradata Y, Puspandari DA., 2021).
Untuk itu, pemerintah dan segenap komponen bangsa melalui strategi pentahelix perlu
berkolaborasi untuk menjamin ketersediaan dan mutu sarana prasarana, contohnya akses
internet. Strategi pentahelix adalah kolaborasi antar akademisi, media, masyarakat, pelaku
6
usaha, dan pemerintah agar saling berbagi pengetahuan, pengalaman, dan dukungan demi
memberantas TBC di Indonesia.
Pendanaan
Penanganan TBC berpengaruh besar terhadap ekonomi, bahkan total kerugian ekonomi
akibat TB SO dan TB RO adalah sekitar 136,7 milyar per tahun, hal ini dipengaruhi oleh situasi
Indonesia yang masih mengalami triple burden TBC, yaitu insiden TB, TB RO, dan TB HIV.
(Redaksi Sehat Negeriku, 2019). Sebuah penelitian oleh Wulan, S (2020) menyebutkan bahwa
TBC berpengaruh pada penurunan rata-rata pendapatan bulanan pasien, serta pasien dengan
golongan penghasilan rendah menghabiskan 14% dari pendapatan rumah tangga untuk
pengobatan TBC. TBC bahkan menyebabkan biaya katastropik pada rumah tangga. Biaya
katastropik adalah total biaya yang terkait dengan pengelolaan TB yang melebihi 20% dari
pendapatan rumah tangga pra-TB tahunan (Ghazy RM, El Saeh HM, Abdulaziz S., et al., 2022).
Berdasarkan penelitian oleh Fuady A, Houweling TAJ, Mansyur M, dan Richardus JH. (2018),
jumlah kepala atau insidens dari biaya total katastropik adalah 36% untuk TB dan 83% untuk
TB RO. Untuk itu, salah satu target eliminasi TBC WHO adalah tidak ada rumah tangga yang
mengalami biaya katastropik akibat TBC.
Oleh karena TBC memerlukan dana yang tidak sedikit, The Global Fund (GF) hingga
saat ini telah menyumbang sebesar Rp 20,89 triliun yang disalurkan kepada Kementerian
Kesehatan RI dan komunitas yang aktif dalam pencegahan, pengobatan, dan perawatan
penyakit AIDS, tuberkulosis, dan malaria. GF bahkan menyediakan 76% dari seluruh
pendanaan internasional untuk TBC. Hal ini terbukti mengurangi angka kematian akibat TBC
sebesar 21% (The Global Fund, 2022). Meski begitu, program TBC tidak dapat sepenuhnya
bergantung pada dana dari GF karena situasi kesehatan masyarakat dinamis, contohnya
terdapat penurunan pembiayaan program TBC sebesar 8,7% antara 2019 dan 2020 akibat
pergeseran prioritas ke COVID-19. Beruntungnya, pertemuan G20 Side Event on TB di
Yogyakarta pada Maret 2022 membuahkan kesepakatan peningkatan pendanaan untuk
pencegahan dan pengendalian TBC hingga empat kali lipat dari sebelumnya dalam rangka
pencapaian eliminasi TBC pada 2030. (Kementerian Kesehatan RI, 2022).
Untuk melakukan percepatan eliminasi TBC tentu membutuhkan akselerasi kualitas
dan kuantitas implementasi keenam strategi penanggulangan TBC, dalam hal ini dibutuhkan
sokongan dana yang kuat. Keenam strategi nasional tersebut membutuhkan pendanaan sebesar
47,3 triliun rupiah. Pada tahun 2021, kebutuhan pendanaan program TBC mencapai 8 triliun
rupiah, masalahnya dalam APBN hanya tersedia 2,1 triliun rupiah (Stop TB Partnership
Indonesia, 2021). Hal ini berpengaruh pada output program TBC yang belum optimal.
7
Kesenjangan ini tidak hanya terjadi pada APBN, pendanaan daerah dengan APBD pun
memiliki kesenjangan yang tinggi. Penelitian oleh Setiawan E, Sucahya P, Thabrany H, dan
Komaryani K., (2016) menyajikan kesenjangan pendanaan TBC di Garut. Total anggaran yang
dibutuhkan sekitar 2,5 milyar rupiah, sedangkan yang telah dialokasikan adalah 2 milyar
rupiah. Lalu, pembiayaan program TBC di Garut masih didominasi oleh GF sebesar 65%.
Padahal penambahan biaya provider terutama tenaga pelaksana khusus di puskesmas dan RS
DOTS berpengaruh pada peningkatan angka treatment success rate (Ulya, F dan Thabrany H.,
2019)
Peraturan Presiden No. 67 tahun 2021 pasal 20 menyatakan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan anggaran penanggulangan TBC. Adanya
peraturan presiden ini seharusnya mendorong setiap daerah untuk lebih optimal dalam
mendukung program TBC nasional, meskipun setiap daerah memiliki prioritas penyakit yang
berbeda, namun pemerintah daerah dapat mengusahakannya melalui hibah ataupun kerjasama
dengan berbagai pihak. Konsep National Health Account dan District Health Account dapat
diperkuat karena sangat bermanfaat untuk pemerintah memantau efektifitas dan efisiensi
penggunaan dana dalam program TBC (Adibrata INU., 2020).
Berdasarkan paparan salah satu pegawai di Sub Tim Kerja TBC, Kementerian
Kesehatan RI, didapatkan pernyataan yaitu:
Pendanaan sudah dibantu Global Fund tapi bantuan tidak selamanya ada.
Diharapkan komitmen pemda untuk keberlanjutan pendanaan, sekarang yang sudah
dibantu GF, anggaran APBD malah dikurangi atau dicabut. Padahal Global Fund
membantu tapi ada sharing budget. Perlu sosialisasi dan advokasi ke pemda agar
jangan bergantung ke dana hibah.” (Informan 2)
Dana pemerintah dalam program penanggulangan TBC digunakan utamanya untuk
pelayanan, infrastruktur, sistem surveilans, dan pelaksanaan program penanggulangan TBC.
Sementara itu, dana swasta dan donor diutamakan untuk memberikan dukungan inovasi, dan
bantuan teknis lainnya yang melibatkan kemitraan. Nyatanya, dana donor masih mendominasi
pembiayaan program TBC. Sehingga diharapkan adanya peningkatan pendanaan APBD
provinsi, kabupaten/kota, hingga desa atau kemitraan dengan swasta yang menunjukkan daerah
dan masyarakat berdaya dalam penanggulangan TBC.
Kebijakan
Salah satu aspek input adalah ketersediaan kebijakan sebagai komitmen pemerintah
dalam percepatan eliminasi TBC. Beberapa kebijakan terkait penanggulangan TBC di
Indonesia adalah Permenkes No. 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan TBC, Permenkes
8
No. 4 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimal, STRANAS 2020-2024 tentang
Penanggulangan TBC, SE Dirjen P2P No. 936 Tahun 2021 tentang Perubahan Alur &
Pengobatan Tuberkulosis, hingga Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang
Penanggulangan TBC. Terbitnya Peraturan Presiden ini menjadi dasar untuk kementerian,
lembaga, dan pemerintah daerah untuk meningkatkan pengerahan mobilisasi sumber daya
dalam penanganan TBC di Indonesia, baik dari segi kebijakan maupun pendanaan.
Berbagai regulasi atau kebijakan di atas merupakan wujud dari strategi dalam
STRANAS 2020-2024 yaitu penguatan komitmen dan kepemimpinan pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota untuk mendukung percepatan eliminasi tuberkulosis 2030.
Kebijakan publik diartikan sebagai tindakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah
yang berdampak pada seluruh lapisan masyarakat (Taufiqurokhman, 2014). Kebijakan publik
ini merupakan unsur yang sangat penting untuk menjamin ketepatan dan keselarasan
pelaksanaan program TBC di level atas hingga ke bawah. Tuberkulosis juga menjadi indikator
dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) kesehatan daerah kabupaten/kota. Hal ini menjadi
dasar penguatan dukungan pembiayaan dan kebijakan TBC oleh pemerintah daerah.
Kebijakan yang ada belum seluruhnya dilaksanakan secara optimal, salah satunya
mengenai kewajiban pencatatan dan pelaporan kasus TBC oleh fasyankes ke SITB. Hal ini
menyebabkan under-reporting menjadi masalah dalam pengendalian TBC di Indonesia.
Persentase RS swasta yang melaporkan kasus TBC belum 100%, puskesmas 93%, RS swasta
60%, RS pemerintah 69%, klinik pemerintah 16%, dan klinik swasta 4% (Kementerian
Kesehatan, 2022). Padahal, TBC adalah penyakit menular yang wajib dilaporkan. Peraturan
Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC Pasal 12 menyatakan bahwa
setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menemukan pasien TBC wajib melaporkan kepada
dinas kesehatan kabupaten/kota. Jika kewajiban ini tidak dilakukan, fasyankes dapat terkena
sanksi administratif hingga pencabutan izin operasional.
Berdasarkan paparan salah satu pegawai di Sub Tim Kerja TBC, Kementerian
Kesehatan RI, didapatkan pernyataan yaitu:
Kebijakan yang ada saat ini dirasa sudah cukup, tinggal perkuat action nya saja.
Harus ada kolaborasi dan dukungan dari kementerian lain yang mendukung program
kesehatan. Ini Perpres sudah ada loh, seharusnya pelaksanaannya lebih ditingkatkan
lagi.” (Informan 2)
Kementerian Kesehatan RI dalam hal ini terus berupaya mendorong implementasi
kebijakan yang lebih tegas dan membuat kebijakan baru demi adanya perbaikan program
penanggulangan TBC contohnya adalah adanya pertemuan terkait update Permenkes tentang
9
penanggulangan TBC pada 23-25 November 2022 (Pembahasan Permenkes ke-empat) dengan
bahasan inovasi, surveilans, dan penguatan manajemen program TBC.
Sumber Daya Manusia
Ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) sangat berperan besar dalam keberhasilan
eliminasi TBC. Dalam Permenkes No. 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis,
dijelaskan mengenai kewajiban dinas kesehatan dan setiap fasyankes untuk menyediakan SDM
bagi pelaksanaan program TBC.
Tabel 1. Jenis Sumber Daya Manusia dalam Program TBC
Pihak Penyedia SDM
Jenis SDM
Dinas Kesehatan
Provinsi
Unit kerja pengelola program Penanggulangan TB:
Wasor (1 untuk setiap 10-20 Kabupaten/Kota), Staff
Logistik, Tim Promkes, Tim Pelatih Provinsi (TPP) (7)
Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota
Unit kerja pengelola program Penanggulangan TB:
Wasor (1 untuk setiap 10-20 Fasilitas Pelayanan
Kesehatan), Staff Logistik, Staff Laboran (apabila ada
labkesda), Tim Promkes
Puskesmas
Tim DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse):
Dokter (1), Perawat (1), Laboran (1)
Rumah Sakit Kelas A
Tim DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse):
Dokter (6), Perawat (3), Laboran (3), Farmasi (2)
Rumah Sakit Kelas B
Tim DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse):
Dokter (6), Perawat (3), Laboran (3), Farmasi (2)
Rumah Sakit Kelas C
Tim DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse):
Dokter (4), Perawat (2), Laboran (1), Farmasi (1)
Rumah Sakit Kelas D
Tim DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse):
Dokter (2), Perawat (2), Laboran (1), Farmasi (1)
RS Swasta
Menyesuaikan
Berdasarkan Tabel 1. di atas, setiap RS maupun puskesmas wajib menyiapkan Tim
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sebagai bagian dari kewajiban fasyankes
menerapkan strategi DOTS untuk penanganan pasien TBC.
10
Grafik 1. Perbandingan Jumlah Wasor Kabupaten/Kota dengan Jumlah Wasor Ideal
Kabupaten/Kota
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Berdasarkan Grafik 1. di atas, secara nasional masih terdapat kesenjangan besar antara
jumlah wasor kabupaten/kota (551) dengan jumlah wasor ideal kabupaten/kota (1.712.95).
Begitupun kesenjangan pada setiap provinsi.
Grafik 2. Perbandingan Jumlah Nakes Terlatih dengan Jumlah Faskes
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Tidak hanya ketersediaan, kompetensi tenaga kesehatan juga berpengaruh pada
keberhasilan program TBC. Untuk itu, jumlah nakes yang terlatih perlu diperhatikan.
Berdasarkan Grafik 2. di atas, Indonesia masih mengalami kesenjangan besar antara jumlah
nakes terlatih (4.981) dengan jumlah faskes (27.829). Begitu juga angka provinsi yang
mengalami kesenjangan besar meskipun sudah difasilitasi dengan kurikulum dan modul yang
11
dapat digunakan oleh provinsi atau kab/kota untuk melaksanakan pelatihan FKTP dan FKRTL
untuk nakes.
Ketersediaan dan keterampilan tenaga kesehatan sangat berperan penting dalam
Program TBC. Penelitian oleh Netty, Kasman, dan Selly (2018) menemukan ada hubungan
antara peran petugas kesehatan dengan tingkat kepatuhan minum obat TB paru BTA positif di
Puskesmas Martapura. Tingkat kepatuhan obat yang tinggi akan mendukung tingkat
keberhasilan pengobatan dan mencegah transmisi yang lebih luas.
Untuk meningkatkan jumlah nakes terlatih, pelatihan berbasis internet (E-Learning)
dapat menjadi solusi yang mempermudah proses pelatihan. Dalam acara ‘Pertemuan
Pembahasan Metode Pelatihan yang Inovatif dan Efektif dengan Mengembangkan Pelatihan
Berbasis Internet (E-Learning)’ yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan RI pada 14
November 2022, dibahas mengenai inovasi E-Learning oleh Direktorat Peningkatan Mutu dan
Direktorat P2P, pengembangan ponsel pintar E-Learning dari BBPK Jakarta, dan paparan best
practice dari Ruang Guru dan Codemi yang sudah berpengalaman dalam E-Learning. Dari
pertemuan ini, diharapkan terdapat inovasi E-Learning yang memudahkan SDM untuk
meningkatkan kompetensinya dalam penanganan TBC. Hal ini menjadi operasionalisasi
strategi dalam STRANAS 2020-2024 yaitu meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan dan
pengelolaan SDM untuk melaksanakan tatalaksana kasus serta pengelolaan program TBC
melalui lokakarya, pelatihan, pendampingan teknis, dan revisi modul atau kurikulum.
Meskipun masih terdapat kesenjangan jumlah ketersediaan nakes dan kualitasnya,
pencapaian eliminasi TBC 2030 dapat dilakukan melalui peningkatan peran masyarakat.
Dalam Permenkes No. 67 Tahun 2016 dijelaskan bahwa bila tidak ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, masyarakat dapat menjadi Pengawas Menelan Obat (PMO). Dalam Peraturan
Presiden No. 67 Tahun 2021, juga diatur mengenai peningkatan penjaringan terduga TB
dengan melibatkan kader kesehatan dan tokoh masyarakat.
Sebagai wujud kolaborasi pentahelix, terdapat jejaring riset TB dari universitas di
seluruh Indonesia untuk menghasilkan inovasi hasil penelitian terkait TB. Selain itu, berbagai
perusahaan juga telah membantu program penanggulangan TB. Hal ini sudah baik, namun
kolaborasi pentahelix ini perlu lebih berfokus mendukung masalah kekurangan SDM di faskes
dan peningkatan kualitasnya. Pemerintah perlu meningkatkan dana BOK ataupun DAK untuk
rekrutmen nakes, memperkuat tim Nusantara Sehat, dan memperkuat regulasi tentang
kewajiban faskes menyediakan SDM penanggulangan TBC. Selain itu, peran media juga
sangat besar untuk menyebarkan informasi terkait situasi penyakit TBC.
12
Analisis Output
Aspek output program penanggulangan TBC yang akan dianalisis dalam manuskrip ini
adalah Case Detection Rate (CDR), Treatment Coverage (TC), Treatment Success Rate (TSR)
TBC dan TBC Resisten Obat (RO), Enrollment Rate TBC RO, serta Investigasi Kontak (IK).
Aspek output ini salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan dan kualitas aspek input yang
telah dianalisis di atas.
Grafik 3. Capaian Estimasi Kasus TB dan Kasus TB Ditemukan Tahun 2020-2022
(CDR)
Dari Grafik 3. di atas, dapat diketahui dari estimasi kasus 2022 sebesar 969.000, kasus
yang ditemukan per 1 November adalah 503.172 (52%), berarti masih terdapat kesenjangan
CDR sebesar 48%. Kesenjangan besar ini terjadi untuk tiga tahun berturut turut. Tandanya
masih banyak kasus undetected yang belum ditangani.
Grafik 4. Capaian Treatment Coverage TBC di Indonesia Tahun 2022
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Pada Grafik 4. di atas juga diketahui bahwa Treatment Coverage (TC) nasional tahun
2022 sebesar 57% masih di bawah target yaitu 90%, begitu juga setiap provinsi yang belum
mencapai target nasional, hanya Jawa Barat yang sudah mendekati yaitu 88%. Target TC pada
eliminasi TBC 2030 adalah ≥90%.
13
Grafik 5. Capaian Treatment Success Rate TBC di Indonesia Tahun 2022
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Berdasarkan Grafik 5. di atas, TSR di Indonesia sebesar 82% dari target 90%. Provinsi
Lampung, Riau, Sumsel, dan Sumut sudah mencapai target.
Grafik 6. Capaian Treatment Success Rate TBC RO di Indonesia Tahun 2022
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Berdasarkan Grafik 7. di atas, treatment success rate TBC RO di Indonesia sebesar
50% dari target 80%. Provinsi yang sudah melampaui target adalah Gorontalo.
Grafik 7. Capaian Enrollment Rate TBC RO di Indonesia Tahun 2022
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Berdasarkan Grafik 6. di atas, enrollment rate TBC RO di Indonesia sebesar 57% dari
target 93%. Belum ada provinsi yang mencapai target.
14
Peta 1. Sebaran Investigasi Kontak di Indonesia Tahun 2022
Pada Peta 1. di atas diketahui masih terdapat 54 kab/kota yang belum melaporkan IK.
Padahal indikator upaya akselerasi eliminasi TBC 2030 adalah seluruh kab/kota melakukan
dan melaporkan IK. Tersedianya 1.809 mesin TCM pada 500 Kabupaten/Kota dari 514
Kabupaten/Kota (97%) seharusnya dapat mendukung pencapaian target penemuan kasus
tersebut, bahkan jika dibandingkan dengan COVID-19, dalam waktu 1 tahun 6 bulan sebanyak
6,5 juta kasus terdeteksi by name by address. Selain itu, untuk mendukung peningkatan ACF,
pemerintah meluncurkan obat daily dose buatan Indonesia agar akses obat lebih mudah
terjangkau (Dit. P2P, Kementerian Kesehatan RI, 2022). Selain sarana prasarana, diperlukan
sokongan dana, kebijakan, dan SDM yang memadai.
Analisis Kerangka Akselerasi Program TBC
Gambar 1. Kerangka Akselerasi Program TBC
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
15
Active Case Finding
Untuk percepatan eliminasi TBC tahun 2030, penemuan kasus secara aktif perlu
digencarkan untuk menemukan kasus undetected. Active Case Finding (ACF) berarti aktif
mencari orang yang berisiko, bergejala, dan melakukan deteksi. ACF sangat penting
digencarkan karena berdasarkan kajian analisis perjalanan pasien TBC, hanya 24% orang yang
mengenali gejala TBC dan mendatangi fasyankes. Selebihnya yang tidak mendatangi
fasyankes berkaitan dengan pengetahuan kurang ataupun akses sulit (Luqman, Sudaryo M, dan
Suprayogi A., 2022). ACF perlu dilakukan di pintu masuk terduga TBC baik di faskes, sekolah,
rutan, pesantren, dan sebagainya.
Seperti yang telah ditargetkan oleh Menteri Kesehatan Budi G. Sadikin dalam High
Level Meeting Tuberkulosis 2022, mulai Januari 2023, total angka penemuan kasus TBC per
bulan di Indonesia adalah 60.000 kasus by name by address. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan target program TBC seperti angka Case Detection Rate (CDR), Treatment
Coverage (TC), dan Investigasi Kontak (IK) sehingga berpengaruh juga terhadap indikator
lainnya seperti Insiden, Treatment Success Rate (TSR), dan cakupan pemberian Terapi
Pencegahan Tuberkulosis (TPT) dan pada akhirnya mencapai kondisi Indonesia bebas TBC.
Ekspansi Pemberian TPT
Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) adalah upaya untuk mencegah orang dengan
Infeksi Laten TB (ILTB) berkembang menjadi sakit TBC positif. Sasaran dari pemberian TPT
ini adalah kontak serumah dengan berbagai rentang usia, ODHA, dan kelompok risiko lainnya.
Ekspansi pemberian TPT dilakukan untuk mencegah terjadinya kasus baru dan mendukung
Indonesia dalam pencapaian eliminasi TBC 2030 dengan target insiden 65 per 100.000
penduduk dan angka kematian 6 per 100.000 penduduk.
Hal yang perlu diperhatikan dalam ekspansi pemberian TPT adalah peningkatan
penyediaan tes tuberkulin, obat TPT, lokakarya tatalaksana pemberian TPT, dan integrasi
pemberian TPT dalam kegiatan skrining kontak serumah. Pemberian TPT menjadi salah satu
indikator global dan nasional dalam program TBC. Meski begitu, angkanya masih rendah. Pada
2021, capaian pemberian TPT pada ODHIV hanya 5% dari target 40% dan pemberian TPT
pada kontak serumah adalah 0,2% dari target 29% (WHO, Global TB Report, 2022). Lebih
jauh lagi pada 2030 targetnya adalah sebesar ≥80%. Lalu, pada pertengahan 2022, capaian TPT
di Indonesia baru mencapai 3.420 orang dari target komitmen pemberian TPT pada 2022
kepada 1,5 juta orang (Kementerian Kesehatan RI, 2020).
Dibutuhkan komitmen kuat untuk mencapai target pemberian TPT, salah satunya
mengatasi tantangan dalam pemberian TPT yang banyak terjadi di masyarakat seperti keraguan
16
masyarakat dalam menerima TPT, pemahaman tenaga kesehatan yang belum memahami
pentingnya pemberian TPT dan belum menguasai metode pemberiannya, serta tantangan
lainnya. Keraguan masyarakat ini wajar terjadi karena TPT diberikan untuk orang dengan
infeksi laten TB yang tidak menimbulkan gejala sehingga terkesan memberi obat pada orang
yang sehat. Hal ini perlu diatasi dengan sosialisasi ke masyarakat lebih gencar lagi. Untuk
mengatasi masalah pemberian TPT oleh nakes, dalam ‘Pertemuan Pembahasan Metode
Pelatihan yang Inovatif dan Efektif dengan Mengembangkan Pelatihan Berbasis Internet (E-
Learning)’ yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan RI pada 14 November 2022,
disampaikan upaya pembuatan kurikulum dan modul pelatihan pemberian TPT untuk
digunakan oleh para nakes.
Penguatan Surveilans
Surveilans merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi keberhasilan program
penanggulangan TBC. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baik disertai dengan supervisi ke
fasyankes akan berdampak pada keberhasilan program karena fasyankes merupakan ujung
tombak dari penanganan TBC.
Wujud dari penguatan surveilans adalah peningkatan kapasitas fasyankes dalam
pencatatan data TBC di sistem informasi, simplifikasi SITB, Integrasi SITB-SIMRS, validasi
data TBC di seluruh puskesmas dan RS, serta penyisiran kasus di RS pemerintah dan swasta
(Mopping Up). Upaya integrasi SITB-SIMRS (Pemerintah dan Swasta) telah dilaksanakan oleh
empat jaringan RS swasta besar (Big Chain Hospitals) yang telah menandatangani perjanjian
kerjasama dalam program penanggulangan TBC pada Juni 2022. Hal ini merupakan kemajuan
pesat dalam situasi penanggulangan TBC. Diharapkan kerjasama Public-Private Mix ini akan
lebih banyak dilakukan oleh RS swasta lain maupun industri swasta sehingga dapat
mempercepat eliminasi TBC di Indonesia. Upaya simplifikasi SITB juga telah dilakukan yaitu
dengan pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Hal ini juga mendukung validasi
data puskesmas dan RS yang semakin mudah.
Berdasarkan paparan salah satu pegawai di Sub Tim Kerja TBC, Kementerian
Kesehatan RI, didapatkan pernyataan yaitu:
Masih banyak faskes yang belum di mopping up, perlu peningkatan peran dinas
kesehatan provinsi atau kab/kota untuk melakukan penyisiran kasus di masing-masing
wilayahnya.” (Informan 1)
Berdasarkan paparan di atas, upaya penyisiran kasus sudah dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan RI namun perlu peningkatan peran dinas kesehatan untuk membantu penyisiran
kasus di masing-masing wilayahnya karena tidak mungkin jika semua faskes dilakukan
17
penyisiran kasus oleh Kementerian Kesehatan. Penyisiran kasus ini sebagai salah satu upaya
untuk mengejar capaian under-reporting yang angkanya masih tinggi di Indonesia. Dalam
acara Debriefing Meeting Tuberculosis Epidemiological Review Indonesia 2022’,
disampaikan bahwa berdasarkan hasil studi inventori tuberkulosis di Indonesia tahun 2016-
2017, estimasi under-reporting pelaporan TBC di Indonesia adalah 41%.
Grafik 8. Proporsi Fasyankes Melaporkan Terduga dan Kasus TBC Tahun 2022
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Berdasarkan Grafik 5. di atas, hanya 60% RS swasta dan 69% RS pemerintah yang
melaporkan kasus TBC, masih jauh dibanding persentase puskesmas yaitu 93%. Padahal,
kajian analisis perjalanan pasien TBC melaporkan bahwa sebesar 59% orang dengan gejala
TBC mencari pengobatan di RS.
Berdasarkan paparan salah satu pegawai di Sub Tim Kerja TBC, Kementerian
Kesehatan RI, didapatkan pernyataan yaitu:
Sebenarnya mungkin dilakukan pencatatan namun tidak ternotifikasi di SITB, dan
salah satu faktornya adalah yang SDM RS yang mencatat dan melaporkan melakukan
rangkap tugas dengan tugas lainnya sehingga pencatatan dan pelaporan tidak
kepegang.” (Informan 1)
Hal ini menunjukkan bahwa perlunya sosialisasi SITB yang lebih masif agar faskes
menjalankan kewajibannya untuk menghasilkan data yang terintegrasi secara nasional dan real
time. Selain itu, dari sisi SDM diperlukan pengadaan SDM khusus yang mengoperasikan SITB
sehingga tidak terjadi double job yang mengganggu pelaksanaan pencatatan dan pelaporan
TBC.
Selain itu, paparan dari pegawai lainnya di Sub Tim Kerja TBC, Kementerian
Kesehatan RI, yaitu:
18
Banyak RS yang melapor hanya saat mendekati masa akreditasi. Kalau RS swasta
melapor berdasarkan profit apa yang mereka dapat, misalnya kalau melaporkan dapat
obat dan dokumen yang dibutuhkan lebih mudah.” (Informan 2)
Untuk mengatasi masalah pelaporan fasyankes, pemerintah pusat perlu segera
menyusun kebijakan mengenai kewajiban pelaporan atau notifikasi TBC ke SITB yang
disesuaikan dengan kondisi lokal dan disertai dengan sanksi dan apresiasi. Sanksi dapat berupa
pencabutan izin beroperasi, apresiasi dapat berupa penghargaan atau lainnya. Pelaporan TBC
juga dapat dijadikan sebagai syarat pengajuan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau klaim BPJS.
Hal ini akan membuat fasyankes memiliki kesadaran untuk melapor.
KESIMPULAN
Penyakit TBC menjadi masalah kesehatan besar di dunia maupun di Indonesia. Hingga
saat ini, masih banyak indikator program penanggulangan TBC yang belum tercapai. Dari hasil
analisis, beberapa aspek telah mencapai target dan pelaksanaannya sudah baik, yaitu
ketersediaan kebijakan dan sarana prasarana. Namun beberapa aspek lain seperti pendanaan,
SDM, ACF, pemberian TPT, dan surveilans masih memerlukan peningkatan masif demi
meningkatkan kesiapan pencapaian target eliminasi TBC di tahun 2030.
Dari aspek input pendanaan, program TBC menyebabkan total kerugian ekonomi yang
besar sehingga membutuhkan pendanaan yang besar pula. Pendanaan program TBC masih
didominasi oleh bantuan hibah dari The Global Fund. Bahkan terjadi kekurangan pendanaan
APBN dan APBD dengan realita kebutuhan. Dilihat dari aspek kebijakan, banyak kebijakan
yang telah dibuat menunjukkan komitmen kuat dari pemerintah daerah, provinsi, hingga
pemerintah pusat dalam program penanggulangan TBC. Namun implementasi kebijakan belum
optimal, salah satunya terkait kewajiban faskes melaporkan kasus TBC. Kebijakan yang ada
sudah cukup banyak dari berbagai tingkatan, hal terpenting adalah implementasi kebijakan
harus ditegakkan dan apabila dibutuhkan penambahan atau pembaharuan kebijakan dapat
dilakukan update. Aspek SDM dalam program TBC masih memerlukan peningkatan dalam
jumlah wasor, jumlah nakes khusus menangani SITB di faskes, dan keterampilan nakes. Untuk
mengatasinya, Kementerian Kesehatan RI berupaya membuat sarana pelatihan e-learning yang
memudahkan nakes untuk meningkatkan kompetensinya dalam penanganan TBC. Selain itu,
sudah terdapat upaya kolaborasi dengan pelaku usaha dan akademisi. Dilihat dari aspek sarana
prasarana penanggulangan TBC, Indonesia sudah cukup baik dalam hal ketersediaan mesin
TCM dan komputer di setiap fasyankes. Namun perlu peningkatan akses internet di seluruh
daerah untuk dapat mengakses SITB dengan optimal.
19
Active Case Finding (ACF) menjadi salah satu aspek dalam kerangka akselerasi
program TBC percepatan eliminasi TBC. Hal ini didukung oleh Menteri Kesehatan Budi G.
Sadikin yang menargetkan mulai Januari 2023, total angka penemuan kasus TBC per bulan di
Indonesia adalah 60.000 kasus by name by address. Hal ini sangat baik dalam meningkatkan
ACF untuk mencegah kasus undetected dan mengatasi kesenjangan besar pada CDR, TC, TSR,
dan IK. Aspek selanjutnya dalam akselerasi program TBC adalah ekspansi TPT. Angka
pemberian TPT masih rendah sangat rendah. Hal ini dikarenakan terdapat hambatan yaitu
keraguan masyarakat dalam menerima TPT dan nakes dalam memberi TPT. Salah satu upaya
yang sedang dilakukan Kementerian Kesehatan RI saat ini adalah pembuatan kurikulum dan
modul pelatihan ILTB dan pemberian TPT untuk para nakes agar lebih memahami pentingnya
TPT. Dari aspek penguatan surveilans, pelaporan oleh faskes masih belum optimal, terutama
RS swasta, berbanding terbalik dengan angka kunjungan berobat TBC ke RS swasta yang
tinggi. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi SITB ke faskes lebih gencar lagi. Faskes perlu
meningkatkan SDM yang khusus mengoperasikan SITB. Upaya yang telah dilakukan
Kementerian Kesehatan RI adalah melakukan simplifikasi SITB dengan NIK untuk
memudahkan faskes, penyisiran kasus ke faskes yang juga dilakukan dinkes, serta kolaborasi
Big Chain Hospitals. Penguatan surveilans perlu digencarkan dengan kebijakan yang tegas.
SARAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, saran yang dapat penulis berikan adalah:
-
Pemerintah dapat membuat regulasi terkait pelaporan TBC yang menjadi syarat
akreditasi RS, pengajuan Dana Alokasi Khusus (DAK), atau klaim BPJS. Hal ini akan
membuat faskes memiliki kesadaran untuk melapor.
-
Pemerintah perlu memperkuat dan mengintegrasikan peran masyarakat, akademisi,
media massa, dan pelaku usaha (Strategi Pentahelix) dalam meningkatkan ketersediaan
sarana prasarana, dana, SDM, dan berbagai inovasi serta dukungan dalam percepatan
eliminasi TBC tahun 2030.
-
Faskes perlu menyediakan petugas khusus untuk SITB dan meningkatkan
keterampilannya melalui implementasi e-learning yang sudah dibuat pemerintah.
-
Diperlukan peningkatan pendanaan APBN, APBD provinsi, kabupaten/kota, hingga
desa atau kemitraan dengan swasta dari CSR yang menunjukkan keberdayaan
Indonesia dalam menangani masalah kesehatan di negaranya.
-
Pemerintah pusat dan daerah perlu memasifkan sosialisasi penggunaan SITB ke faskes
untuk menghasilkan data yang terintegrasi secara nasional dan real time.
20
-
Puskesmas bersama dengan kader melakukan sosialisasi dan edukasi kepada
masyarakat terkait pentingnya TPT dan PHBS dalam mencegah TBC dengan membuat
acara yang menarik.
-
Dinas kesehatan dan puskesmas bekerjasama dengan kader dalam melakukan
peningkatan active case finding di pintu masuk yang banyak menghasilkan kasus TBC
baik di faskes, sekolah, rutan, pesantren, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Adibrata INU., 2020. Analisis Pembiayaan Program TOSS Penyakit TBC di Indonesia.
Universitas Bhakti Kencana. Available at:
http://repository.bku.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/4339/Intan%20Nurlita_
31171047_KTI%20tahap%203%20-%20Intan%20Nurlita%20Utami%20Adibrata-1-
22.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI. 2020. Laporan Riset Fasilitas Kesehatan
(Rifaskes) 2019. Available at: https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset-
fasilitas-kesehatan-rifaskes/
Fuady A, Houweling TAJ, Mansyur M, dan Richardus JH. 2018.Catastrophic total costs in
tuberculosis-affected households and their determinants since Indonesia’s
implementation of universal health coverage. Infect Dis Poverty. 7(1). Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5765643/
Ghazy RM, El Saeh HM, Abdulaziz S., et al. 2022. A systematic review and meta-analysis of
the catastrophic costs incurred by tuberculosis patients. Scientific Reports. 12(1).
Available at: https://europepmc.org/article/med/35017604
Hutami SP, Mahendradata Y, Puspandari DA. 2021. Supervisi Virtual Program Pengendalian
Tuberkulosis Paru Era Pandemi COVID-19 di Kabupaten Oku Timur. Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan. 24(3). Available at:
https://journal.ugm.ac.id/v3/JMPK/article/view/4132
Kementerian Kesehatan RI. 2020. Petunjuk Teknis Penanganan ILTB. Available at:
https://tbindonesia.or.id/wp-content/uploads/2021/01/Isi-Juknis-ILTB-FINAL-
ok_published.pdf
Kementerian Kesehatan RI. 2020. Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia Tahun 2020-2024. Available at: https://tbindonesia.or.id/wp-
content/uploads/2021/06/NSP-TB-2020-2024-Ind_Final_-BAHASA.pdf
Kementerian Kesehatan RI. 2022. Dashboard TB. Available at:
https://tbindonesia.or.id/pustaka-tbc/dashboard-tb/
21
Kementerian Kesehatan RI. 2022. G20 Side Event on TB: Pendanaan Eliminasi TB Tahun
2030 Meningkat Jadi 20 Milyar Dolar Pertahun. Available at:
https://www.kemkes.go.id/article/view/22040100002/g20-side-event-on-tb-
pendanaan-eliminasi-tb-tahun-2030-meningkat-jadi-20-milyar-dolar-pertahun.html
Kementerian Kesehatan RI. 2022. Pada High Level Meeting Tuberkulosis 2022, Menkes
Minta Penemuan Kasus TBC Ditargetkan 60 Ribu Per Bulan Mulai Januari 2023.
Available at: http://p2p.kemkes.go.id/pada-high-level-meeting-tuberkulosis-2022-
menkes-minta-penemuan-kasus-tbc-ditargetkan-60-ribu-per-bulan-mulai-januari-
2023/
Luqman, Sudaryo M, dan Suprayogi A. 2022. Analisis Situasi Masalah Kesehatan Penyakit
Menular di Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas.
7(1). Available at: https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jekk/article/view/13269
Netty, Kasman, dan Selly. 2018. Hubungan Peran Petugas Kesehatan dan Dukungan
Keluarga dengan Tingkat Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB Paru di Wilayah
Kerja UPT Puskesmas Martapura. An-nada. Available at: https://ojs.uniska-
bjm.ac.id/index.php/ANN/article/download/1728/1473
Penelitian Kebijakan, Perencanaan dan Penganggaran Penanggulangan Tuberkulosis (TBC)
di Daerah. Available at: https://www.stoptbindonesia.org/single-post/penelitian-
kebijakan-perencanaan-dan-penganggaranpenanggulangan-tuberkulosis-tbc-di-
daerah#:~:text=Berdasarkan%20data%20Global%20TB%20Report,5%20triliun%20r
upiah%20belum%20terdanai
Penn-Nicholson A, Georghiou SB, Ciobanu N, et al.. 2022. Detection of isoniazid,
fluoroquinolone, ethionamide, amikacin, kanamycin, and capreomycin resistance by
the Xpert MTB/XDR assay: a cross-sectional multicentre diagnostic accuracy study.
Lancet Infect Disease. 22(2). Available at:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34627496/
Redaksi Sehat Negeriku. 2019. TBC Akibatkan Banyak Kerugian Ekonomi. Available at:
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20190319/4629770/tbc-akibatkan-
banyak-kerugian-ekonomi/
Setiawan E, Sucahya P, Thabrany H, dan Komaryani K. 2016. A Comparative Budget
Requirements for TB program based on Minimum standard of Services (SPM) and
Budget Realization: an Exit Strategy Before Termination of GF ATM. Jurnal
Ekonomi Kesehatan Indonesia. 1(1). Available at: https://journal.fkm.ui.ac.id/jurnal-
eki/article/view/1761
Stop TB Partnership Indonesia. 2022. 100 KM untuk Tes Cepat Molekuler. Available at:
https://tbckomunitas.id/2022/03/100-km-untuk-tes-cepat-molekuler-tcm/
22
Stop TB Partnership. 2022. The Global Plan to End TB 2023-2030. Available at:
https://omnibook.com/embedview/dc664b3a-14b4-4cc0-8042-ea8f27e902a6/en?no-ui
Taufiqurokhman. 2014. Kebijakan Publik. Available at: https://fitk.iainambon.ac.id/mpi/wp-
content/uploads/sites/7/2019/09/Kebijakan-Publik-Oleh-Dr.-Taufiqurokhman.-
M.Si_.pdf
The Global Fund. 2022. Tuberculosis. Available at:
https://www.theglobalfund.org/en/tuberculosis/#:~:text=Our%20Response-
,The%20Global%20Fund%20provides%2076%25%20of%20all%20international%20
financing%20for,programs%20as%20of%20June%202022
Ulya, F dan Thabrany H.. 2019. Efektivitas Biaya Strategi DOTS Program Tuberkulosis
antara Puskesmas dan Rumah Sakit Swasta Kota Depok. Jurnal Ekonomi Kesehatan
Indonesia. 3(1). Available at: https://journal.fkm.ui.ac.id/jurnal-eki/article/view/2321
WHO. 2022. Global Tuberculosis Report. Available at: https://www.who.int/teams/global-
tuberculosis-programme/tb-reports/global-tuberculosis-report-2022
WHO. 2022. Tuberculosis. Available at: https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/tuberculosis
Wulan, S. 2020. Analisis Beban Ekonomi dan Dampak Karena Tuberkulosis Terhadap
Kesejahteraan di Kota Bengkulu. CHMK Health Journal. 4(1). Available at:
https://media.neliti.com/media/publications/316344-analisis-beban-ekonomi-dan-
... ACF is an accelerated program to increase the discovery of undetected TB cases through active efforts to look for people who are at risk, have symptoms, and carry out detection (Mulya, 2023). Active TB case finding can be done through contact tracing (contact investigation) to identify people with a history of close contact with TB patients and examine them to determine whether they may have been infected with TB germs. ...
Article
Full-text available
Pendahuluan: Indonesia menjadi salah satu negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia. Menuju elminasi TBC 2030, pemerintah menyusun kerangka akselerasi program TBC diantaranya berupa active case finding (ACF), sebagai upaya aktif mencari orang berisiko dan bergejala TBC dengan kegiatan pelacakan kontak dan skrining. Skrining menggunakan Chest x-ray (CXR) dinilai lebih sensitif daripada dengan pendekatan gejala, mengingat sebagian besar pasien TBC tidak memiliki gejala khas TBC. Pada tahun 2023 kegiatan ACF di Kota Yogyakarta dikembangkan dengan model adaptasi. Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, menggambarkan hasil kegiatan ACF terdiri dari karakteristik peserta, jenis kelompok sasaran, skrining CXR, pemeriksaan TCM serta kontribusi ACF dalam program penanggulangan TBC. Hasil: Pada ACF dengan model adaptasi, peran Puskesmas dan lintas sektor lebih diutamakan. Kegiatan ACF di lakukan 88 kali dengan total peserta 7.423 orang, terduga TBC yang terjaring 1.403 orang (18.90%) dan 83 kasus TBC baru ditemukan. Peserta terbanyak adalah perempuan (54.41%), berusia 55 - ≤ 65 tahun (23.19%), dan berasal dari masyarakat sekitar lokasi ACF diselenggarakan (56.31%). Prosentase penemuan terduga dan kasus TBC terbanyak dari Puskesmas Pakualaman. Simpulan: ACF dengan model adaptasi di Kota Yogyakarta berkontribusi menemukan 22.92% terduga TBC dan 5.28% kasus TBC dari target yang harus ditemukan. Perlu dilakukan upaya kolaboratif antar sektor untuk memobilisasi kelompok sasaran yang tepat ke lokasi ACF seperti ODHIV, kontak serumah, pasien DM, balita dengan masalah gizi, kelompok laki-laki perokok dan pengguna alkohol. Introduction: Indonesia is one of the countries with the second highest TB burden globally. Towards TB elimination by 2030, the government prepared a framework for accelerating the TB program, including active case finding (ACF), as an active effort to find people at risk and with symptoms of TB through contact tracing and screening activities. Screening using chest X-rays (CXR) is considered more sensitive than the symptom approach, considering that most TB patients do not have typical TB symptoms. In 2023, ACF activities in the City of Yogyakarta will be developed using an adaptation model. Method: Quantitative descriptive research describing the results of ACF activities consists of the characteristics of ACF participants, types of target groups, CXR screening, TCM examination, and ACF's contribution to the TB control program. Results: With the adaptation model, the role of Puskesmas and cross-sectors was prioritized in ACF. ACF was carried out 88 times with 7,423 participants; 1,403 people were suspected of having TB (18.90%), and 83 new TB cases were found. Most participants were women (54.41%), age group 55 - ≤65 years (23.19%), and came from the general public (56.31%). The highest percentage of suspected discoveries and TB cases came from the Pakualaman Health Center. Conclusion: With the adaptation model in Yogyakarta City, ACF contributed to finding 22.92% of suspected TB and 5.28% of TB cases of the target that had to be found. Collaborative efforts between sectors need to be made to mobilize the right target groups for ACF locations, such as PLHIV, household contacts, DM patients, toddlers with nutritional problems, groups of male smokers, and alcohol users.
... Meskipun demikian, CDR Tuberkulosis Paru di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2022 sampai dengan bulan September mencapai 39% dan yang masih belum mencapai target nasional sebanyak 70% (Mulya, 2023 ...
Article
Full-text available
Latar Belakang: Nusa Tenggara Timur (NTT) termasuk provinsi prioritas dengan target penemuan kasus yang belum tercapai. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan insidensi Tuberculosis (TBC) melalui berbagai upaya, termasuk dalam RPJMN 2020-2024 dan Strategi Nasional Eliminasi TBC.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis autokorelasi spasial kasus TBC paru di Provinsi NTT, Indonesia, selama periode 2020-2022 beserta faktor risiko TBC di wilayah tersebut.Metode: Penelitian ini menggunakan analisis Global Moran's I dan Local Moran's I (LISA) untuk mengidentifikasi pola spasial dan hubungan antara kasus TB dan faktor risiko.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian TB bervariasi secara signifikan di berbagai kabupaten di Provinsi NTT dan faktor risiko seperti status kehamilan, status HIV, jenis kelamin, penggunaan BPJS, hasil pengobatan, suhu, kelembaban, dan durasi paparan sinar matahari secara spasial berhubungan dengan kejadian TB. Adapun Kabupaten Sumba Tengah di Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki insiden TB Paru yang tinggi.Kesimpulan: Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya memahami pola spasial dan faktor risiko terkait dengan tuberkulosis di Indonesia, khususnya di Provinsi NTT. Teridentifikasinya daerah dengan beban TB yang tinggi menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia perlu memperkuat komitmen untuk eliminasi TB, meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan, mengembangkan dan menerapkan teknologi dan penelitian terbaru tentang TB, serta mendorong kolaborasi antar sektor kesehatan, pemerintah, dan masyarakat lokal dalam memerangi penyakit ini.
Article
Full-text available
Article
Full-text available
Tuberkulosis (TB) penyakit menular kronis yang menjadi perhatian utama dunia, indonesia menduduki peringakat kedua tertinggi didunia, di Kabupaten Lampung Barat kasus tuberkulosis pada tahun 2023 mengalami kenaikan. Analisis spasial bermanfaat untuk memahami pola peneyebaran kasus TB serta keterkaitan spasial antara TB dan determinan pada daerah beresiko. Penelitian ini merupakan studi ekologi dengan analisis spasial menggunakan Aplikasi QGIS dan metode overlay) dengan populasi pada kasus Tuberkulosis di 15 kecamatan Kabupaten Lampung Barat dan menggunakan data sekunder dari Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) di Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Barat serta BPS Kabupaten Lampung Barat tahun 2023. Hasil penelitian ini mengidentifikasi Balik Bukit dengan kasus tertinggi (214 kasus), sementara kasus TB baru lebih banyak ditemukan pada laki-laki (289 kasus) dibandingkan perempuan (199 kasus). Kecamatan Kebun Tebu memiliki kepadatan penduduk terpadat (347,52 jiwa/km²) dengan 36 kasus TB, meskipun Balik Bukit memiliki jumlah kasus tertinggi dan kepadatan yang lebih rendah (285,57 jiwa/km²). Di sisi lain, daerah dengan ketinggian 667 mdpl, seperti Balik Bukit, mencatat 214 kasus TB, sementara Kecamatan Pagar Dewa, dengan ketinggian 457 mdpl, hanya mencatat 6 kasus. Selain itu, total riwayat kontak mencapai 1.521, dengan Balik Bukit memiliki jumlah tertinggi (600 riwayat), sedangkan Lombok Semuning mencatat 100% pengobatan lengkap di antara 10 kasus, sementara Sekincau memiliki pengobatan lengkap terendah (14,6%) dari 37 kasus. Kecamatan dengan populasi laki-laki tinggi, seperti Balik Bukit, memiliki angka tuberkulosis (TB) yang lebih tinggi akibat kepadatan penduduk, ketinggian, dan riwayat kontak, penelitian selanjutnya harus menggali faktor risiko dan meningkatkan edukasi serta layanan kesehatan TB.Kata Kunci: Tuberkulosis (TB); Analisis Spasial; Lampung Barat; Riwayar Kontak;Pengobatan Lengkap
Article
Full-text available
Tuberculosis is one of the infectious diseases that is fatal if not cured immediately. In 2022, the success rate of tuberculosis treatment in DKI Jakarta Province is 81%, while the national target is 90%. In the field, the number of cadres to carry out contact investigations is still insufficient, so that in 2022 the coverage of contact investigations in DKI Jakarta Province will only reach 25%, while the national target is 90%. To increase the scope of successful treatment, the government should try to overcome tuberculosis, which is needed. Proper program management is required to run effectively and efficiently for tuberculosis control efforts. Therefore, this study aims to determine the management picture of tuberculosis control programs at the DKI Jakarta Provincial Health Office. This qualitative research type uses in-depth interview methods, observation, and document review. Determination of informants using purposive sampling techniques. Data validation using source triangulation by and method triangulation. The results showed that in the management of the tuberculosis control program, there are problems, including limited cadres to conduct contact investigations, limited recording and reporting personnel at health facilities, there are still health facilities carrying out TB diagnoses not according to standards, not yet integrated SITB with SITK, and still limited services for MDR-TB (multidrug-resistant tuberculosis). Suggestions that can be given are optimizing the role of cadres to conduct contact investigations, providing recording and reporting personnel in addition to nurses and personnel on duty in TB services at health facilities, disseminating the latest information to health facilities through socialization, immediately integrating SITB with SITK and coordinating with private health service facilities to open MDR-TB services.
Article
Full-text available
Background: Health problems in West Kalimantan are dominated by infectious diseases based on health data showing that the list of the top 10 diseases is dominated by infectious diseases, the CFR rate is still quite high and outbreaks routinely occur due to infectious diseases. The purpose of the situation analysis is to determine priorities for infectious disease problems in West Kalimantan in 2019.Methods: This research was conducted from December 2020 to February 2021 in West Kalimantan Province. The research method used is an assessment method whose results will be presented descriptively with quantitative and qualitative approaches. Determining the priority of the problem using the PAHO-Adapted Hanlon method with assessment criteria based on the size of the problem, seriousness of the problem, intervention effectiveness, inequity and institutional factors by means of interviews with related parties within the West Kalimantan Provincial Health Office.Result: The results of the analysis of infectious disease problems in West Kalimantan Province show that the top 10 diseases are still dominated by infectious diseases such as diarrhea, TB and DHF. The CFR figure which is still quite high is contributed by TB, HIV/AIDS, diphtheria and DHF. In this study, TB was selected as a priority health problem because it obtained the highest PAHO score of 25.16. TB is still a major problem because case finding has not reached the national target of 80%, there is still transmission in the community and cases of TB in children are still quite high.Conclusion: Tuberculosis is a priority infectious disease problem in West Kalimantan. TB is the first priority problem in this study because case finding is not optimal, there is transmission in the community and there are still cases of TB in children. It is hoped that with monitoring and evaluation of training for cadres and health workers, screening of TB patients can be more massive and sensitive for providing complete TB treatment.
Article
Full-text available
One of the strategies of the World Health Organization End Tuberculosis (TB) was to reduce the catastrophic costs incurred by TB-affected families to 0% by 2020.Catastrophic cost is defined by the total cost related to TB management exceeding 20% of the annual pre-TB household income. This study aimed to estimate the pooled proportion of TB affected households who incurred catastrophic costs. We searched PubMed, SciELO, Scopus, Embase, Google Scholar, ProQuest, SAGE, and Web of Science databases according to Preferred Reporting Items of the Systematic Reviews and Meta-Analysis (PRISMA) guidelines till November 20, 2020. Eligible studies were identified and data on catastrophic costs due to TB were extracted. We performed a meta-analysis to generate the pooled proportion of patients with TB facing catastrophic costs. From 5114 studies identified, 29 articles were included in the final analysis. The pooled proportion of patients faced catastrophic costs was (43%, 95% CI [34–51]). Meta-regression revealed that country, drug sensitivity, and Human immune-deficiency Virus (HIV) co-infection were the main predictors of such costs. Catastrophic costs incurred by drug sensitive, drug resistant, and HIV co-infection were 32%, 81%, and 81%, respectively. The catastrophic costs incurred were lower among active than passive case findings (12% vs. 30%). Half (50%) of TB-affected households faced catastrophic health expenditure at 10% cut-off point. The financial burden of patients seeking TB diagnosis and treatment continues to be a worldwide impediment. Therefore, the End TB approach should rely on socioeconomic support and cost-cutting initiatives. PROSPERO registration: CRD42020221283.
Article
Full-text available
Salah satu upaya penyembuhan TB paru sangat tergantung dengan kepatuhan penderita untuk minum obat dan berobat secara teratur, karena kepatuhan pengobatan TB merupakan hal yang sangat penting dalam mengurangi penularan TB dan mengurangi angka kasus TB paru di masyarakat. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan peran petugas kesehatan dan dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat pada penderita tuberkulosis (TB) paru BTA positif di wilayah kerja UPT. Puskesmas Martapura 1. Analisis data menggunakan analisis univariat dan uji Chi Square pada analisis bivariat. Hasil penelitian persentase responden yaitu patuh (65,9%) , tidak patuh (34,1 %), peran petugas kesehatan kategori baik (81,8%), peran petugas kesehatan kategori kurang (18,2 %), dukungan keluarga kategori dukungan baik (70,5%) dan dukungan kurang (29,5 %). Hasil penelitian terdapat hubungan antara peran petugas kesehatan (P value = 0,001) dan dukungan keluarga (P value = 0,019) dengan tingkat kepatuhan minum obat pada penderita tuberkulosis (TB) paru BTA positif di UPT. Puskesmas Martapura 1. Disarankan melibatkan keluarga selama pengobatan TB dan petugas kesehatan survei jika penderita tidak datang berobat agar penyebaran penyakit TB dapat dicegah..
Article
Full-text available
Background: As well as imposing an economic burden on affected households, the high costs related to tuberculosis (TB) can create access and adherence barriers. This highlights the particular urgency of achieving one of the End TB Strategy's targets: that no TB-affected households have to face catastrophic costs by 2020. In Indonesia, as elsewhere, there is also an emerging need to provide social protection by implementing universal health coverage (UHC). We therefore assessed the incidence of catastrophic total costs due to TB, and their determinants since the implementation of UHC. Methods: We interviewed adult TB and multidrug-resistant TB (MDR-TB) patients in urban, suburban and rural areas of Indonesia who had been treated for at least one month or had finished treatment no more than one month earlier. Following the WHO recommendation, we assessed the incidence of catastrophic total costs due to TB. We also analyzed the sensitivity of incidence relative to several thresholds, and measured differences between poor and non-poor households in the incidence of catastrophic costs. Generalized linear mixed-model analysis was used to identify determinants of the catastrophic total costs. Results: We analyzed 282 TB and 64 MDR-TB patients. For TB-related services, the median (interquartile range) of total costs incurred by households was 133 USD (55-576); for MDR-TB-related services, it was 2804 USD (1008-4325). The incidence of catastrophic total costs in all TB-affected households was 36% (43% in poor households and 25% in non-poor households). For MDR-TB-affected households, the incidence was 83% (83% and 83%). In TB-affected households, the determinants of catastrophic total costs were poor households (adjusted odds ratio [aOR] = 3.7, 95% confidence interval [CI]: 1.7-7.8); being a breadwinner (aOR = 2.9, 95% CI: 1.3-6.6); job loss (aOR = 21.2; 95% CI: 8.3-53.9); and previous TB treatment (aOR = 2.9; 95% CI: 1.4-6.1). In MDR-TB-affected households, having an income-earning job before diagnosis was the only determinant of catastrophic total costs (aOR = 8.7; 95% CI: 1.8-41.7). Conclusions: Despite the implementation of UHC, TB-affected households still risk catastrophic total costs and further impoverishment. As well as ensuring access to healthcare, a cost-mitigation policy and additional financial protection should be provided to protect the poor and relieve income losses.
Article
Background: The WHO End TB Strategy requires drug susceptibility testing and treatment of all people with tuberculosis, but second-line diagnostic testing with line-probe assays needs to be done in experienced laboratories with advanced infrastructure. Fewer than half of people with drug-resistant tuberculosis receive appropriate treatment. We assessed the diagnostic accuracy of the rapid Xpert MTB/XDR automated molecular assay (Cepheid, Sunnyvale, CA, USA) to overcome these limitations. Methods: We did a prospective study involving individuals presenting with pulmonary tuberculosis symptoms and at least one risk factor for drug resistance in four sites in India (New Delhi and Mumbai), Moldova, and South Africa between July 31, 2019, and March 21, 2020. The Xpert MTB/XDR assay was used as a reflex test to detect resistance to isoniazid, fluoroquinolones, ethionamide, amikacin, kanamycin, and capreomycin in adults with positive results for Mycobacterium tuberculosis complex on Xpert MTB/RIF or Ultra (Cepheid). Diagnostic performance was assessed against a composite reference standard of phenotypic drug-susceptibility testing and whole-genome sequencing. This study is registered with ClinicalTrials.gov, number NCT03728725. Findings: Of 710 participants, 611 (86%) had results from both Xpert MTB/XDR and the reference standard for any drug and were included in analysis. Sensitivity for Xpert MTB/XDR detection of resistance was 94% (460 of 488, 95% CI 92-96) for isoniazid, 94% (222 of 235, 90-96%) for fluoroquinolones, 54% (178 of 328, 50-61) for ethionamide, 73% (60 of 82, 62-81) for amikacin, 86% (181 of 210, 81-91) for kanamycin, and 61% (53 of 87, 49-70) for capreomycin. Specificity was 98-100% for all drugs. Performance was equivalent to that of line-probe assays. The non-determinate rate of Xpert MTB/XDR (ie, invalid M tuberculosis complex detection) was 2·96%. Interpretation: The Xpert MTB/XDR assay showed high diagnostic accuracy and met WHO's minimum target product profile criteria for a next-generation drug susceptibility test. The assay has the potential to diagnose drug-resistant tuberculosis rapidly and accurately and enable optimum treatment. Funding: German Federal Ministry of Education and Research through KfW, Dutch Ministry of Foreign Affairs, and Australian Department of Foreign Affairs and Trade.
Article
Angka penemuan Tuberkulosis (TB) tahun 2016 adalah sebesar 77% di dunia, sebesar 46,5% di Asia Tenggara dan sekitar 32 - 33% di Indonesia. Di Kota Depok angka penemuan TB mencapai 58%. Sektor swasta menjangkau 18,7% kasus TB di Kota Depok meskipun baru 40% RS swasta yang terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan strategi DOTS di Rumah Sakit swasta Kota Depok lebih menghemat biaya dibandingkan di Puskesmas. Penelitian dilakukan selama 6 bulan dengan kohort retrospektif di Puskesmas DOTS, RS DOTS dan RS Non DOTS menggunakan 36 sampel per kelompok. Penghitungan dari perspektif societal dengan microcosting berdasarkan tarif, harga pasar, serta nilai anggaran. Outputnya angka pengobatan lengkap (Success Rate). Hasil penelitian menunjukkan Success Rate di puskesmas paling tinggi yaitu 86,1%, RS DOTS sebesar 77.78 % dan Non DOTS 63.89 %. Penambahan biaya provider terutama tenaga pelaksana khusus di puskesmas dan RS DOTS meningkatkan success rate. Biaya societal di puskesmas 42% dari biaya di RS swasta. ACER (Average Cost Effectiveness Ratio) menunjukkan RS yang melaksanakan strategi DOTS lebih cost effective. Untuk menaikkan 1% angka kesuksesan pengobatan membutuhkan biaya Rp 10.084.572 dengan melakukan intervensi program DOTS ke RS Swasta. Uji t independen menyatakan bahwa terdapat perbedaan bermakna biaya societal pengobatan tuberkulosis antara puskesmas, RS DOTS, dan RS Non DOTS.
Article
It has become a common issue that the Global Fund (GF) as one of the largest international donors to AIDS, Tuberculosis, and Malaria Program will immediately stop the funding. Data shows that in 2009 GF ATM support reached 88,8% while APBN funding just cover 11,2% of the total budget needed. Howev­er, APBN budget for ATM programs was significantly increased in 2012 which covered almost 30% of the total budget. Eventhough the increasing trend of ATM budget seemed at the central government level, how­ever the local governments will hold the key to the sustainability of the post- termination GF ATM FundingObjectives This study aimed to get a picture of the local government’s commitment as an implementing insti­tution to respond the financing needs specifically for TB programs.Methods This economic evaluation compared the amount of the existing budget of local governments and the amount needed based on the Minimum Standards of Services (MSS) of TB Programs. We sampled two district in west java that were Cirebon and Garut. The cost component calculated in these evaluation were: medicines, medical supplies, case findings, and administrative cost.Results and DiscussionTotal budget needed in Garut according to MSS amounted 2,5 Billion Rupiahs, whereas the total budget which has been alocated approximately 2 Billion Rupiahs. For those budget allocated in Garut, 90% of the total was supported by the Government then the rest of that was supported by GF. A similar trend showed in Cirebon, which was found a budget shortage amounted 700 Million Rupiahs from approximate­ly 1,6 Billion Rupiahs budget needed and 80% of those was sourced by The Government. The particular finding showed that prevention and case detection program in Garut still dominated by GF support which slightly above 65%. Otherwise, budget allocated for those Activity in Cirebon has been dominated by the government approximately 80%.Conclusion In general, both Garut and Cirebon faced two common challenges in terms of financing the TB program. First, the high shortage between needs and budget alocated of the program becomes an important concern for addressing TB cases reduction in related district. The second is program’s sustainibility after termination of Global Fund, particularly for prevention and case detection programs. Therefore, it might be need a support from NGO or other related institution to advocate the local government and DPRD to allocate more budget for reducing TB cases.
Analisis Pembiayaan Program TOSS Penyakit TBC di Indonesia
  • Inu Adibrata
Adibrata INU., 2020. Analisis Pembiayaan Program TOSS Penyakit TBC di Indonesia. Universitas Bhakti Kencana. Available at: http://repository.bku.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/4339/Intan%20Nurlita_ 31171047_KTI%20tahap%203%20-%20Intan%20Nurlita%20Utami%20Adibrata-1-22.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Supervisi Virtual Program Pengendalian Tuberkulosis Paru Era Pandemi COVID-19 di Kabupaten Oku Timur
  • S P Hutami
  • Y Mahendradata
  • D A Puspandari
Hutami SP, Mahendradata Y, Puspandari DA. 2021. Supervisi Virtual Program Pengendalian Tuberkulosis Paru Era Pandemi COVID-19 di Kabupaten Oku Timur. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 24(3). Available at: https://journal.ugm.ac.id/v3/JMPK/article/view/4132
Petunjuk Teknis Penanganan ILTB
  • Kementerian Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. 2020. Petunjuk Teknis Penanganan ILTB. Available at: https://tbindonesia.or.id/wp-content/uploads/2021/01/Isi-Juknis-ILTB-FINAL-ok_published.pdf