ArticlePDF Available

Abstract

Banyak feminis maupun non-feminis yang bertanya 'apa itu feminisme?'. Isi dari istilah-istilah seperti 'feminisme' dan 'feminis' tampaknya sudah terbukti dengan sendirinya, sesuatu yang bisa diterima begitu saja. Feminisme adalah rangkaian dari gerakan sosial, politik, dan ideologi yang memiliki tujuan untuk membangun serta mencapai kesetaraan gender di segala aspek, mulai dari politik, ekonomi, ranah pribadi, hingga lingkup sosial. Ketertarikan feminisme terhadap perempuan juga merupakan kondisi mudahnya tergelincir dari 'feminis' ke 'perempuan' dan sebaliknya: feminis menjadi representasi dari 'perempuan', sebagaimana 'sejarah feminis' menjadi sama dengan 'sejarah perempuan' dan seterusnya. Kaum feminis berpandangan bahwa sejarah ditulis dari sudut pandang laki-laki dan tidak menyuarakan peran perempuan dalam membuat sejarah dan membentuk struktur masyarakat. Sejarah yang ditulis oleh laki-laki telah menciptakan bias dalam konsep sifat manusia, potensi & kemampuan gender, dan dalam pengaturan masyarakat. Bahasa, logika, dan struktur hukum diciptakan oleh laki-laki dan memperkuat nilai bagi laki-laki. Kaum feminis menentang dan membongkar kepercayaan atau mitos bahwa laki-laki dan perempuan sangat berbeda, sehingga perilaku tertentu dapat dibedakan atas dasar perbedaan gender. Gender menurut kaum feminis diciptakan atau dibentuk secara sosial bukan secara biologis. Jenis kelamin menentukan penampilan fisik, kapasitas reproduksi, tetapi tidak menentukan karakteristik psikologis, moral atau sosial. Perbedaan tanggung jawab antar jenis kelamin ini kemudian berakibat pada "doing gender", yaitu melakukan sesuatu sesuai dengan atribut gender pribadi yang melekat pada dirinya, dan untuk melakukannya diperlukan prasyarat tertentu. Namun seringkali perbedaan tersebut diakomodasi sehingga muncul kondisi ketidaksetaraan gender yang kemudian memicu gerakan penolakan yang ada pada perbedaan gender tersebut.
PERSPEKTIF FEMINISME DALAM KESETARAAN GENDER
DI INDONESIA
Alinna Fara Putri Maharani, Suryo Ediyono
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
alinnafara@student.uns.ac.id, ediyonosuryo@staff.uns.ac.id
ABSTRAK
Banyak feminis maupun non-feminis yang bertanya 'apa itu feminisme?'. Isi dari istilah-
istilah seperti 'feminisme' dan 'feminis' tampaknya sudah terbukti dengan sendirinya,
sesuatu yang bisa diterima begitu saja. Feminisme adalah rangkaian dari gerakan sosial,
politik, dan ideologi yang memiliki tujuan untuk membangun serta mencapai kesetaraan
gender di segala aspek, mulai dari politik, ekonomi, ranah pribadi, hingga lingkup sosial.
Ketertarikan feminisme terhadap perempuan juga merupakan kondisi mudahnya
tergelincir dari 'feminis' ke 'perempuan' dan sebaliknya: feminis menjadi representasi dari
'perempuan', sebagaimana 'sejarah feminis' menjadi sama dengan 'sejarah perempuan' dan
seterusnya. Kaum feminis berpandangan bahwa sejarah ditulis dari sudut pandang laki-
laki dan tidak menyuarakan peran perempuan dalam membuat sejarah dan membentuk
struktur masyarakat. Sejarah yang ditulis oleh laki-laki telah menciptakan bias dalam
konsep sifat manusia, potensi & kemampuan gender, dan dalam pengaturan masyarakat.
Bahasa, logika, dan struktur hukum diciptakan oleh laki-laki dan memperkuat nilai bagi
laki-laki. Kaum feminis menentang dan membongkar kepercayaan atau mitos bahwa
laki-laki dan perempuan sangat berbeda, sehingga perilaku tertentu dapat dibedakan atas
dasar perbedaan gender. Gender menurut kaum feminis diciptakan atau dibentuk secara
sosial bukan secara biologis. Jenis kelamin menentukan penampilan fisik, kapasitas
reproduksi, tetapi tidak menentukan karakteristik psikologis, moral atau sosial.
Perbedaan tanggung jawab antar jenis kelamin ini kemudian berakibat pada “doing
gender”, yaitu melakukan sesuatu sesuai dengan atribut gender pribadi yang melekat pada
dirinya, dan untuk melakukannya diperlukan prasyarat tertentu. Namun seringkali
perbedaan tersebut diakomodasi sehingga muncul kondisi ketidaksetaraan gender yang
kemudian memicu gerakan penolakan yang ada pada perbedaan gender tersebut.
Kata Kunci: Feminisme, kesetaraan gender, feminis, gender
ABSTRACT
Many feminists and non-feminists ask 'what is feminism?'. The content of terms like
'feminism' and 'feminist' seems self-evident, something to be taken for granted. Feminism
is a series of social, political and ideological movements that have the goal of building
and achieving gender equality in all aspects, starting from politics, the economy, the
personal sphere, to the social sphere. Feminism's fascination with women is also the
condition of the easy slippage from 'feminist' to 'woman' and back: the feminist becomes
the representative of 'woman', just as 'feminist history' becomes the same as 'women's
history' and so on. The feminists are of the view that history is written from the point of
view of men and does not voice the role of women in making history and forming the
structure of society. The history written by men has created a bias in the concept of human
nature, gender potential & ability, and in community settings. Language, logic and legal
structure are created by men and strengthen the value to men. Feminists challenge and
dismantle the belief or myth that men and women are so different, that certain behaviors
can be distinguished on the basis of gender differences. Gender according to feminists is
created or socially shaped not biologically. Sex determines physical appearance,
reproductive capacity, but does not determine psychological, moral or social
characteristics. This difference in responsibility between genders then results in" doing
gender", which is doing something in accordance with the personal gender attributes
inherent in him, and to do so requires certain preconditions. But often these differences
are accommodated so that conditions of gender inequality arise which then triggers a
rejection movement that exists in the gender difference
Keywords: Feminism, gender equality, feminis, gender
PENDAHULUAN
Feminisme merupakan sebuah gerakan yang menuntut emansipasi, kesetaraan, dan
keadilan hak-hak perempuan dalam hal politik, sosial, dan ekonomi. Feminisme juga
berarti suatu bentuk gerakan kaum wanita untuk mendapatkan persamaan derajat dengan
laki-laki dan kebebasan dari penindasan dan aturan-aturan yang dibuat oleh laki-laki.
Gerakan feminisme di Indonesia telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Akan tetapi,
gerakan feminisme kerap kali mendapat penolakan. Gerakan feminisme banyak
memberikan kritik terhadap hukum yang selama ini digunakan, sifat manipulatif, dan
ketergantungan hukum terhadap politik, ekonomi, peranan hukum dalam membentuk
pola hubungan sosial, dan pembentukan hierarki oleh ketentuan hukum secara tidak
mendasar. Sebenarnya semua memiliki tujuan yang sama untuk membangun kesetaraan
wanita di semua kehidupan mereka. Namun, masih banyak orang yang keliru
memahaminya karena mereka berpikir bahwa feminis biasanya membenci laki-laki,
padahal tidak demikian.
Feminisme mengusung kesetaraan gender yang telah dirampas secara paksa oleh
maskulinitas bukanlah sekadar khayalan, karena pada dasarnya antara kedudukan laki-
laki dan perempuan haruslah seimbang. Hal ini senada dengan pernyataanya Rumi
(Muhanif, 2002:246) yang menganalogikan hubungan antara laki-laki dan perempuan
sebagai langit dan bumi atau antara yang dan yin yang tidak memandang salah satu pihak
yang paling unggul.
Kesetaraan gender memiliki sebuah arti sebagai kesamaan atau keadilan yang harus
didapatkan antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan peran di kehidupan sosial
maupun budaya. Pada masyarakat umumnya, gender kerap kali menjadi sebuah persoalan
yang menimbulkan berbagai macam penolakan ataupun permasalahan dalam lingkungan
masyarakat. Persoalan ini terjadi karena adanya pemikiran masyarakat terkait perempuan
yang masih memiliki kesempatan yang terbatas dalam menjalankan perannya di
kehidupan sosial, berbeda dengan laki-laki yang memiliki peran aktif dalam menjalankan
berbagai program dan aktivitas lainnya dalam kehidupan masyarakat seperti contohnya
kegiatan ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dan lain sebagainya.
Terjadinya fenomena terkait kesetaraan gender dalam kehidupan sosial maupun budaya
pada masyarakat, sebenarnya menimbulkan adanya berbagai pandangan serta pendapat
yang diungkapkan oleh Amina Wadud yang merupakan salah satu tokoh feminis, Ia
menjelaskan bahwa selama ini dalam sistem relasi laki-laki dan perempuan di masyarakat
sering kali mencerminkan adanya bias patriarki sehingga mereka kurang mendapatkan
adanya ketidakadilan secara proporsional, sehingga amina mencoba melakukan adanya
rekonstruksi metodologi tentang bagaimana cara menafsirkan al- quran agar dapat
mewujudkan keadilan gender.
METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan kualitatif dengan metode
deskriptif. Metode pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif bertujuan untuk
mengeksplorasi dan mengamati fenomena yang akan diteliti secara menyeluruh, luas, dan
mendalam. Penentuan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu teknik
penentuan sampel dengan penentuan pertimbangan tertentu. Penulis juga mendapatkan
bahan kajian dengan cara mengumpulkan data dari berbagai jurnal Internasional maupun
Nasional seperti di Google Scholar, Elsevier, dan Scopus.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Feminisme di Indonesia
Gerakan yang mengusung tentang persamaan hak pertama kali berkembang secara
signifikan di kalangan wanita di dunia Barat pada abad ke-18. Penindasan terhadap
perempuan yang merajalela saat itu menimbulkan kesengsaraan yang mendalam di antara
para korban. Karena itu, muncul gerakan menuntut persamaan hak bagi perempuan dan
laki-laki, menghapus stigma kelemahan dan ketidakberdayaan perempuan serta
melindungi mereka dari kejahatan terhadap perempuan.
Awal munculnya feminisme di Indonesia sekitar masa ketika Belanda meluncurkan
politik etika. Pembukaan sekolah-sekolah Belanda untuk elit pribumi dan bangsawan
menghasilkan generasi muda yang terpelajar. Buku dan ilmu kemudian mulai membuka
wawasan generasi muda. Perkelahian wanita mulai berkembang. Langkah tersebut
dilakukan oleh Cut Meutia, Cuk Nyak Dhien dan Christina Martha Tiahahu, misalnya.
Tokoh RA Kartin adalah sosok perempuan yang sangat disegani karena memperjuangkan
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Kartini adalah salah satu perempuan yang
menghadapi diskriminasi berdasarkan perbedaan gender pada zaman dahulu. Dia hanya
diizinkan untuk diajar sampai usia 12 tahun, setelah itu dia harus tinggal di rumah untuk
menjalani masa isolasi. Kartini melihat kakaknya bisa melanjutkan sekolah dengan hanya
membaca buku di kamar. Namun semangatnya tak pernah surut, sehingga ia banyak
menulis pemikiran tentang hak-hak perempuan yang harus dihargai dan diperjuangkan di
Indonesia.
Feminisme dan Kesetaraan Gender dalam Al-Quran
Banyak ulama yang menjadikan firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 34 yang
mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Ayat ini diartikan perempuan
berada dalam posisi yang dipimpin dan penafsiran klasik ini sering dijadikan argumen
penguatan supremasi laki-laki atas perempuan. Laki-laki memiliki kekuasaan lebih besar
dan status lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga pola kekuasaan dan status ini
berpengaruh secara universal dalam menentukan kebijakan dan aturan yang berlaku di
tengah kehidupan bermasyarakat.
Mawlana Utsmani menanggapi penafsiran ini, berpendapat bahwa seandainya Allah
bermaksud menegaskan superioritas laki-laki atas perempuan, Allah akan menggunakan
ungkapan yang lebih jelas seperti “karena Dia (Allah) telah melebihkan laki-laki atas
mereka perempuan”. Sehingga Surah An-Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan landasan
superioritas laki-laki. Dalam Al-Quran juga dicontohkan bagaimana perempuan
memimpin sebuah negara. Feminisme dalam Islam tidak sepenuhnya setuju dengan
konsep atau pandangan feminis manapun yang berasal dari Barat, terutama yang
menempatkan laki-laki sebagai pihak yang berseberangan dengan perempuan. Di sisi
lain, feminisme Islam masih mempertahankan perjuangannya untuk mencapai persamaan
hak perempuan yang telah dilupakan di kalangan konservatif-tradisionalis, yang
menganggap perempuan sebagai bagian subordinat dari laki-laki (Suryorini, 2012: 4).
Menurut Syafiq Hasyim, patriarki tidak berasal dari Islam, karena dalam Islam ada
keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan Gender di Lingkungan Keluarga
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi peneliti dapat diketahui bahwa sebagian
masyarakat belum atau masih asing dengan istilah “kesetaraan gender” namun pada
kenyataannya praktik “kesetaraan gender” di dalam keluarga sudah banyak diterapkan.
Hal ini menegaskan bahwa secara tidak langsung masyarakat telah lama menerapkan
kesetaraan gender di dalam keluarga mereka, namun mereka tidak menyadari hal tersebut.
Hal ini membantah persepsi peneliti sebelumnya bahwa masyarakat tidak mengetahui
istilah “kesetaraan gender” begitupun dengan penerapannya di dalam keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender dalam
keluarga penting untuk dilakukan sebagai penanaman komitmen tanggungjawab bersama
dalam keluarga antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender berawal dari kondisi
dimana perempuan harus melakukan berbagai peran di dalam maupun di luar keluarga,
sehingga perlunya kebutuhan untuk menyeimbangkan peran dan tuntutan waktu yang
berbeda (Almudena Moreno Minguez & Isabella Crespi, 2017).
Peran perempuan memang terlihat lebih dominan dibandingkan laki-laki dari sisi
pekerjaan domestik. Dimana peran laki-laki dianggap hanya keluar mencari nafkah
sedangkan perempuan mengurus pekerjaan rumah tangga. Hal tersebut memang terlihat
adil dengan membagi tugas masing-masing. Namun, tidak sedikit pula perempuan yang
dituntut untuk turut serta bekerja membantu perekonomian rumah tangga namun juga
diharuskan mampu mengerjakan pekerjaan rumah. Kalau begitu situasinya, solusinya
hanyalah butuh saling menghormati saja sesama pasangan. Suami tahu istrinya lelah
setelah bekerja seharian, disitulah diharuskan saling pengertian, bukannya menuntut istri
tetap mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Perkembangan Feminisme di Indonesia Saat Ini
Perkembangan feminisme di Indonesia sekarang perlahan mulai terlihat. Perempuan-
perempuan di Indonesia sudah dapat mengenyam pendidikan yang sama setara dengan
laki-laki. Tidak ada undang-undang khusus yang melarang perempuan untuk tidak dapat
berpendidikan tinggi. Dalam sektor politik juga sudah mulai banyak perempuan yang
berpartisipasi. Di antaranya adalah Retno Marsudi yang menjabat sebagai Menteri Luar
Negeri Republik Indoneisa Periode 2014-2019, Susi Pudjiastuti yang menjabat sebagai
Menteri dan Perikanan Republik Indonesia Periode 2014-2019, Tri Rismaharini yang
menjabat sebagai Walikota Surabaya Periode 2010-2015, Khofifah Indar Parawansa yang
menjadi juru bicara calon presiden Joko Widodo per 24 Mei 2014, Rutriningsih yang
menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah Periode 2008-2013, dan Megawati
Soekarnoputri yang menjabat sebagai Presiden Periode 2001-2004. Namun, pandangan
masyarakat yang keliru tentang makna sesungguhnya dari feminis dan feminisme belum
hilang seluruhnya. Masih ada anggapan bahwa feminisme adalah sebuah pemberontakan
kaum perempuan terhadap laki-laki. Kesetaraan gender di Indonesia juga belum merata.
Masih banyak ditemukan ketimpangan yang terjadi karena perbedaan gender.
KESIMPULAN
Feminisme adalah sebuah ideologi yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan dalam hal politik, pengambilan keputusan, karir, dll. Secara global perempuan
ditindas, dilecehkan, dipinggirkan, dan dirampas hak-hak hukumnya karena jenis kelamin
mereka. Sejak dahulu kala, feminisme selalu ada tetapi bentuk terorganisirnya telah
terlihat sekitar abad ke-17 di Inggris. Selama feminisme gelombang kedua memunculkan
beberapa ideologi politik, seperti feminisme liberal, feminisme Marxis, feminisme
sosialis, feminisme radikal, dan ekofeminisme yang dimunculkan untuk memprotes cara-
cara seksis laki-laki terhadap kehidupan pribadi perempuan. Feminis Liberal telah
menekankan persamaan hak dan manfaat bagi laki-laki dan perempuan. Feminis Radikal
berpikir bahwa patriarki adalah dasar dari penindasan perempuan. Feminis Marxis
menganggap bahwa kapitalisme dan patriarki adalah akar penyebab penindasan
perempuan, yang dianalisis hanya melalui paradigma kelas, dan pekerjaan rumah tangga
harus dihargai dalam masyarakat. Feminis Sosialis menekankan pada sosialisme, dan
baik faktor kelas maupun gender harus diperhitungkan; patriarki dan kapitalisme harus
diartikulasikan. Ekofeminisme memandang patriarki, dan memfokuskan ekologi dan
feminisme pada satu titik. Feminisme yang terjadi di Indonesia saat ini perlahan mulai
terlihat. Perempuan-perempuan di Indonesia sudah dapat mengenyam pendidikan yang
sama setara dengan laki-laki. Dan juga ada beberapa perempuan yang berpartisipasi
menjadi politikus seperti Retno Marsudi, Susi Pudjiastuti, Megawati Soekarnoputri, Tri
Rismaharini, Khofifah Indar Parawansa, Rutriningsih, dan Megawati Soekarnoputri.
DAFTAR PUSTAKA
Susanto, N. H. (2015). Tantangan mewujudkan kesetaraan gender dalam budaya
patriarki. Muwazah: Jurnal Kajian Gender.
Qomariah, D. N. (2019). Persepsi Masyarakat Mengenai Kesetaraan Gender Dalam
Keluarga. Jendela PLS: Jurnal Cendekiawan Ilmiah Pendidikan Luar Sekolah.
Haradhan, M. (2022). An Overview on the Feminism and Its Categories. Research and
Advances in Education
Karya, D. F., Halim, A. (2021). Indonesian Students' Perception of Gender Equity in
Education. Pegem Journal of Education and Instruction.
Parahita, G. D. (2019). The Rise of Indonesian Feminist Activism on Social Media.
Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia.
... Namun, hal tersebut tidak serta merta menghapus dominasi sudut pandang patriarki yang masih mengontrol perempuan ke dalam sebuah keterbelengguan atas tubuhnya. (Fara et al., 2023) Feminisme adalah rangkaian dari gerakan sosial, politik, dan ideologi yang memiliki tujuan untuk membangun serta mencapai kesetaraan gender di segala aspek, mulai dari politik, ekonomi, ranah pribadi, hingga lingkup sosial. Ketertarikan feminisme terhadap perempuan juga merupakan kondisi mudahnya tergelincir dari 'feminis' ke 'perempuan' dan sebaliknya: feminis menjadi representasi dari 'perempuan', sebagaimana 'sejarah feminis' menjadi sama dengan 'sejarah perempuan' dan seterusnya. ...
Article
Puisi “helen” karya hd mengeksplorasi mitos Helen dari Troya, mengangkat tema tentang kecantikan, kekuasaan, dan penderitaan wanita. Representasi feminisme terlihat dalam cara H.D. mendekonstruksi citra Helen sebagai objek keinginan dan menjadikannya sebagai subjek yang merasakan dampak dari stereotip gender dan patriarki. Tujuan penelitian puisi “helen” karya HD berfokus pada bagaimana puisi ini menantang pandangan tradisional terhadap wanita dalam mitologi yang mana hal tersebut masih relevan sampai saat ini. Puisi “helen” karya hd mengajak kita untuk berpikir dari sudut pandang lain, Dimana Wanita yang biasanya hanya menjadi objek untuk pria dan seringkali dianggap sebagai sebuah beban serta dipersempit ruang dan haknya untuk mengutarakan pendapat menjadi suatu individu yang memiliki hak dan ruang yang sama dengan pria,serta membuka ruang refleksi bahwa wanita merupakan individu yang memiliki emosional dan bukan hanya sebuah objek untuk pria. Metode penelitian yang digunakan untuk meneliti artikel ini adalah metode kualitatif dengan metode pendekatan studi dokumen dan Analisa biografi penulis puisi. Metode kualitatif dipilih karna metode ini mengkaji penelitian representasi feminisme melalui puisi secara fokus dan mendalam, serta dapat menonjolkan perspektif subjek puisi “helen” karya hd. Temuan penelitian tentang representasi feminisme dalam puisi Helen karya H.D. menunjukkan bahwa puisi “helen” menggambarkan sosok Helen sebagai karakter yang terperangkap dalam peran yang diciptakan oleh masyarakat patriarkal, tetapi juga berusaha untuk memberi suara dan kompleksitas lebih pada tokoh ini. Bagaimana sosok Wanita yang kerap kali dianggap sebagai beban, alasan terjadinya suatu perpecahan, dan korban perspektif orang lain terhadap dirinya sendiri. H.D. menantang pandangan konvensional tentang kecantikan dan peran perempuan dalam mitologi, dengan menggambarkan Helen bukan hanya sebagai objek pasif, tetapi sebagai korban dan individu yang berjuang dengan penderitaannya. Dengan demikian, puisi ini dapat dilihat sebagai kritik terhadap narasi patriarkal dan sebuah karya yang membuka jalan bagi analisis feminis terhadap peran perempuan dalam sastra dan mitologi. rekomendasi penelitian yang dapat dilakukan penelitian selanjutnya mengenai representasi feminisme dalam puisi "Helen" karya H.D adalah studi gender, studi tentang puisi helen dengan karya-karya lain baik sastra maupun non sastra yang membahas kecantikan dan feminisme, serta lebih mengeksplorasi konteks yang masih belum tercantum pada pembahasan ini.
... Looking at this number, in general, the issue of protecting domestic workers also concerns the fate of women. Meanwhile, we understand that the position of women in many of our communities is vulnerable because of patriarchal culture and also physical threats from figures who can be said to be far superior (Maharani & Ediyono, 2023). Problems like this require comprehensive legal solutions (Basyir, 2014). ...
Article
Millions of domestic workers in Indonesia are a source of livelihood for those in the lower middle class. Sadly, protection for domestic workers has yet to be adequately implemented. It has sparked debate among human rights activists and other human rights groups who hope a particular law will protect domestic workers. It means that legal transformation is needed. This research was conducted to conduct a juridical analysis of what legal transformation model would be appropriate for domestic workers in Indonesia by conducting a comparative test with the case of domestic workers in Hong Kong. The research results show that from the start, Indonesia must clarify the status of domestic workers as one of the elements of workers in Indonesia and create a Lex Specialist for domestic workers. At the same time, Indonesia also needs to take lessons from Hong Kong regarding the importance of an independent body to supervise law enforcement to protect domestic workers because the formation of a law without a sound law enforcement system means the expected results will not be by the vision and mission when forming the law.
ResearchGate has not been able to resolve any references for this publication.