Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
204
Melintas Vol. 37, No. 2, 2021
MENILIK MEMETIKA
SEBAGAI KOLEKSI BARU
TEORI KEBUDAYAAN
Olivia Cindy Monica Undergraduate Student
Faculty of Philosophy
Parahyangan Catholic University
Bandung, Indonesia
Abstract:
Evolution process not only occurs in the biological area, but also in the
cultural area. On the one hand, from one of the evolution theories, it
has been known that the unit of replication is gene. On the other hand,
the unit of transmission and replication in the cultural evolution can be
associated with meme. Similar to genes that propagate themselves through
a process called reproduction, memes also propagate themselves from
person to person through a process called imitation. By way of imitation,
memetic theory explains the development and the evolution of a culture.
Imitating others points to the phenomena where ideas, information,
behaviour, things, or style are passed on or spread/repeated by certain
people. The process in which cultural elements (memes) are passed onto
other groups can be considered as a sort of cultural transmission. Memes
propagate for themselves and in this way they survive and exist in the
human culture. Human mind has the ability for imitating information and
ideas, therefore a human being is seen as an agent of meme evolution.
Memes are spread out through human interactions and the various kinds
of media. In this sense, culture will always be in the state of developing
and changing.
Keywords:
evolution culture memetic mimesis meme imitation human mind
37.2.2021 [204-221]
205
Pendahuluan
Bagaimana jadinya jika kebudayaan tidak menitikberatkan manusia,
tetapi sisi elemen kultural sebagai aktor perkembangannya? Teori
kebudayaan yang menganalisis manusia dan kulturnya sering kali bernuansa
antroposentris. Hal tersebut membawa implikasi bahwa teori sering kali
menempatkan telaahnya pada manusia sebagai aktor utama dalam laju
peristiwa budaya. Teori memetika merupakan teori yang menganalisis
perkembangan budaya dilihat dari elemen atau unit kultural. Memetika yang
diperkenalkan oleh Richard Dawkins melihat laju kebudayaan layaknya
evolusi. Dalam teori evolusi kultural sendiri terdapat dua pendekatan
yang berbeda dalam menafsirkan kebudayaan. Ada yang disebut sebagai
organism-centered dan memetic-centered.1 Pembeda diantara keduanya terletak
pada aktor kelangsungan budaya. Perspektif Organic-Centered menganggap
kebudayaan manusia dapat berlangsung karena individu (organisme) yang
lebih berperan aktif dalam memilah dan memilih unsur-unsur budaya.
Sementara, evolusi kebudayaan dalam perspektif teoretikus memetic-centered
berlangsung melalui persebaran unit kultural yang disebut meme.
Meme yang adalah unit atau elemen kultural disebarkan dari akal budi
orang ke orang melalui proses imitasi. Kecenderungan manusia secara
alamiah ialah menjadi imitator dan penyeleksi.2 Tidak jarang seseorang
meniru instruksi, cara bersikap, gaya berbicara, gaya berbusana, cara
bertahan hidup, atau ajaran dari orang lain yang sudah berpengalaman.
Berbagai tindakan itu membantunya beradaptasi dengan dunianya dan
dalam realitasnya. Kecenderungan tersebut juga merupakan bagian dari
aktivitas internalisasi aspek-aspek budaya dan mempelajari keterampilan
yang kompleks. Artinya, akan selalu berlangsung proses transmisi ide atau
gagasan, tindakan, dan berbagai meme unit kultural lainnya.
Dari Gen Biologis Menuju Meme Budaya
Meme adalah semua ide, gagasan, perilaku, istilah, keahlian, senandung,
gaya hidup, dan hal-hal serupa lain yang dapat ditiru dan disebarkan dari
satu orang ke orang yang lain. Dalam pengertian yang lebih luas, meme
O. Cindy Monica: Memetika: Koleksi Teori Kebudayaan
206
Melintas Vol. 37, No. 2, 2021
merupakan berbagai wujud kebudayaan yang dapat direplikasi, ditiru,
atau diwariskan oleh dan antarmanusia. Terminologi ‘meme’ pertama kali
diperkenalkan oleh seorang ahli biologi evolusioner, Richard Dawkins,
dalam The Selsh Gene yang terbit pada 1976. Terminologi meme sendiri
berakar dari mimeme yang adalah Bahasa Yunani dan memiliki arti imitasi.
Oleh Dawkins, diambil kata ‘meme’ karena menurutnya agar berima sama
dengan istilah dalam bidang ilmu biologi yang adalah wilayah kerjanya, gene
(gen).3
Genetika manusia merupakan perangkat internal tubuh manusia yang
ada untuk menggandakan diri dan adalah aktor utama evolusi manusia.
Dalam bukunya, Dawkins menganggap bahwa evolusi lebih baik dipahami
sebagai kompetisi yang berlangsung antargen.4 Gen manusia, menurut
Dawkins selalu saling berkompetisi untuk kepentingan dan keuntungan
gen itu sendiri, yaitu kelangsungan hidup para gen. ‘Keegoisan’ para
gen membuat ‘mereka’ hanya tertarik untuk menggandakan diri dan
diwariskan pada generasi berikutnya. Maksud dari penggunaan kata
‘egois’ tersebut tidak berarti bahwa gen memiliki kehendak maupun
emosi yang membuatnya dapat bergerak dan bekerja, melainkan hanyalah
suatu pengandaian hiperbolis untuk menggambarkan kondisi atau fungsi
alamiah gen, yaitu mereplikasi diri demi kelangsungan hidupnya sendiri.
Pandangan Dawkins dipengaruhi oleh teori Evolusi yang telah terlebih
dahulu dikemukakan oleh Charles Darwin. Teori evolusi Darwin pada
intinya menunjukkan elemen esensial kehidupan, yaitu variasi, seleksi, dan
replikasi. Dawkins menganggap teori evolusi tidak hanya terbatas pada
pembahasan biologis, tetapi evolusi dapat diaplikasikan dalam memahami
bidang lain. Dalam bukunya, Dawkins meyakini dengan sangat bahwa
prinsip dasar yang berlaku secara umum bagi kehidupan ialah bahwa
kehidupan berevolusi melalui prinsip replikasi.5 Ia menemukan bahwa
evolusi tidak berlangsung secara biologis saja, tetapi turut berlangsung
evolusi kebudayaan. Dawkins menganggap bahwa pewarisan budaya
sama halnya dengan pewarisan genetis karena pada dasarnya pewarisan
menimbulkan sebentuk evolusi.6 Dari cara kerja gen, dapat dikatakan
bahwa Dawkins menyadari ada hal lain yang secara analogis memiliki
sifat seturut dengan cara kerja genetika, namun berlangsung di tingkat
kultural. Proses meniru atau mengimitasi yang dilakukan secara kultural
207
oleh manusia, adalah bentuk lain dari mekanisme gen. Perbedaannya ialah
tindakan tersebut bekerja dalam wilayah yang luas, dinamis, kompleks
dan melibatkan keragaman sosial-kultural kehidupan manusia, serta
berlangsung antara manusia ke manusia.
Ontologi meme dalam keberlangsungan budaya pada prinsipnya
sama artinya dengan gen untuk keberlangsungan tubuh biologis. Secara
analogis, meme sama dengan gen dalam hal keduanya adalah aktor
replikasi. Namun, keduanya tidak dapat dikatakan sama di luar pengertian
tersebut. Keduanya berbeda, menurut Susan Blackmore, oleh karena gen
merupakan instruksi pembuat protein yang disimpan dalam sel-sel tubuh
untuk kemudian diturunkan melalui proses reproduksi. Sementara itu,
meme merupakan instruksi yang berisi perilaku untuk kemudian disimpan
dalam otak atau media lain lalu diturunkan melalui imitasi.7 Dibanding
gen yang membutuhkan proses reproduksi untuk dapat tersebar, proses
persebaran meme kultural, meme gagasan, meme perilaku, dan sejenisnya
tidak memiliki batasan cakupan wilayah untuk menyebar. Gerak transmisi
meme lebih eksibel dan dapat terjadi kapan saja oleh karena akan terus
tergantung pada gerak dan aktivitas interaksi manusia.
Teori meme menginspirasi, karena di satu sisi orang disuguhi perspektif
teori baru dalam membaca kebudayaan atau fenomena di sekelilingnya.
Di sisi yang lain orang secara bersamaan membaca situasi tersebut tanpa
lepas dari peringatan bahwa meme-lah yang menyebabkan hal tersebut
terjadi. Ketika orang mencoba menganalisis fenomena suatu meme, secara
bersamaan, menurut teori memetika,8 sebenarnya meme tersebut yang
membuat orang melakukan analisis terhadapnya, semata-mata agar meme
tersebut tetap hidup dan semakin tersebar.
Memetika atau Mimetika?
Diskursus yang mengulas konsep peniruan telah banyak dibahas oleh
pemikir masyhur dunia lsafat, misalnya oleh Plato dan Aristoteles. Alih-
alih memperkenalkan memetika, keduanya memperkenalkan istilah mimesis.
Mimesis merupakan teori yang sifatnya luas, dalam arti dapat digunakan
untuk menjelaskan berbagai hal. Sejak era Yunani dengan kebiasaan
berpikir masyarakatnya, teori mimesis tidak terbatas pada pembicaraan
O. Cindy Monica: Memetika: Koleksi Teori Kebudayaan
208
Melintas Vol. 37, No. 2, 2021
dan hakikat seni saja. Mimesis menghubungkan gagasan-gagasan estetis ke
arah yang lebih general seperti perilaku sosial, relasi sosial maupun dengan
alam. Plato dan Aristoteles memulai diskursus konsep tiruan tersebut dari
ranah estetika dan seni. Plato khususnya tidak secara spesik membatasi
diri membahas mimesis dalam pembicaraan menyangkut estetika saja,
tetapi diskursus mimesis digunakan juga dalam pembahasan yang lebih
dalam, menyangkut pertanyaan-pertanyaan seputar hakikat manusia dan
dunia politik.9
Term mimesis secara orisinal berarti miming atau mimicking (meniru).10
Mimesis dalam pengertian Plato membedakan antara yang real dan yang
tiruan, khususnya dalam hal membicarakan seni. Menurutnya, seni hanyalah
proyeksi daripada sesuatu yang real. Dengan kata lain, seni hanyalah
representasi, proses meniru, atau hasil tiruan dari sesuatu yang sifatnya
sejati, abadi, dan kekal. Apa yang sejati dan yang real hanyalah bertempat
di dunia idea, dunia yang tidak pernah bisa benar-benar diwujudkan di
dunia manusia. Pengrajin hanya membuat kursi, tetapi dia bukan membuat
kursi yang asli dan sejati. Kursi yang asli dan yang real hanya ada dalam
dunia idea dan sang pengrajin hanya membuat tiruan semata. Begitu pula
dengan pelukis. Pelukis hanya melukis representasi dari suatu tiruan. Hal
itu hanya membuatnya semakin jauh dari apa yang benar-benar real. Nuansa
argumentasi Plato cenderung menganggap mimesis sebagai suatu hal yang
menipu. Terlepas dari seni, Plato juga melihat mimesis dapat digunakan
untuk membentuk moralitas anak. Baginya, mimesis adalah bagian dari
edukasi juga karena anak-anak meniru cerita yang mereka dengar, yang
berpengaruh pada pembentukan jiwa mereka.11 Untuk itu, pendidikan
perlu diawasi dengan ketat agar tidak rentan terhadap nilai-nilai bobrok
yang berpotensi untuk ditiru anak. Jika dikaitkan dengan gambaran ideal
pemimpin menurut Plato, baginya anak-anak akan menjadi generasi
penerus pemimpin dan pengelola negara di masa depan.
Berbeda dengan gurunya, Aristoteles tidak menganggap mimesis
sebagai sekadar representasi yang mendistorsi suatu hal yang lebih sejati.
Karya seni adalah suatu hasil karya mimetik. Alih-alih disebut sebagai
imitator biasa, seniman adalah pengrajin yang membuat karya dengan
material yang berbeda.12 Dibandingkan Plato yang mengklaim bahwa
mimesis seni bergantung pada unsur lain yang lebih real (dunia idea),
Aristoteles menganggap mimesis sebagai keterampilan yang memiliki pola
209
dan tujuannya sendiri.13 Oleh karenanya, seni memiliki unsur naturalnya
sendiri.
Berabad-abad setelah Plato dan Aristoteles dan terlepas dari keduanya,
diskursus mengenai tiruan banyak memantik ide/gagasan atau menjadi
temuan inti analisis tematik para pemikir dalam memahami situasi zaman
modern hingga kontemporer. Misalnya, René Girard dengan teori hasrat
mimetiknya untuk menganalisis dinamika psikologis dan fenomena sosial.
Mimetika menurutnya adalah suatu bentuk hasrat manusia meniru. Girard
berargumen bahwa hasrat meniru dalam diri manusia akan muncul ketika
ada peran model yang memicunya.14 Dengan kata lain, aktivitas meniru
dapat berlangsung karena ada model yang lebih dulu menginisiasinya.
sehingga muncul hasrat dalam diri seseorang untuk meniru. Kata-kata
kuncinya di sini ialah hasrat dan model. Mimetika terjadi karena ada model
dan hasrat subjek untuk meniru modelnya.
Jean Baudrillard juga turut memberikan kontribusi mengenai diskursus
tiruan dalam teorinya yang hingga saat ini masih relevan mengenai simulacra
dan simulacrum. Baudrillard mengangkat diskursus tentang tiruan untuk
menganalisis masyarakat posmodern dan fenomena yang diciptakannya.
Baudrillard menganalisis fenomena dan mendalami implikasi serius
diskursus tersebut terhadap persepsi masyarakat dan budaya konsumsi
masyarakat kontemporer. Dalam pandangannya, masyarakat saat ini tidak
lagi hidup dalam realitas yang real tetapi telah bergantung pada model
dan ilusi. Ketergantungan pada model dan ilusi itu seakan telah berubah
menjadi realitas yang nyata itu sendiri. Dari situ, ia melihat masyarakat
saat ini telah dikuasai oleh sistem hegemoni, dan demikian hegemoniknya
sampai-sampai tidak ada ruang bagi perlawanan. Model dan ilusi telah
bergeser menjadi realitas itu sendiri, sehingga problemnya bukan realitas
yang mendahului tiruan, tetapi tiruan yang mendahului realitas. Masyarakat
bergantung pada realitas salinan dan bersandar pada realitas salinan.
Baudrillard menyebut tiruan atas realitas itu sebagai simulacrum. Manusia
pun terus-menerus memproduksi kopian-kopian atas realitas hingga tanpa
disadari manusia terputus dari realitas yang asli. Implikasi dari kehilangan
itu ialah tiruannya bahkan dipersepsi sebagai yang orisinal.
Dari beberapa paparan di atas, perlu diperjelas bahwa ada perbedaan
antara konsep peniruan yang diajukan Dawkins dan teori yang secara
cemerlang digagas oleh para pemikir lain. Dawkins menggunakan istilah
O. Cindy Monica: Memetika: Koleksi Teori Kebudayaan
210
Melintas Vol. 37, No. 2, 2021
‘meme’ dan kajian terhadap evolusi kultur dikenal sebagai ‘memetika’ atau
‘memetic’. Plato dan Aristoteles menggunakan istilah ‘mimesis’ dan Girard
memakai istilah ‘mimetik’. Istilah-istilah tersebut memang terlihat dan
terdengar hampir sama, tetapi konseptualisasi yang digagas oleh Dawkins
memiliki maksud yang berlainan dengan para pemikir lain. Plato dan
Aristoteles menggunakan istilah mimesis yang berarti meniru. Etimologi
mimesis dan mimetic berasal dari bahasa Yunani mimeisthai dan mimos yang
berarti meniru (mime).15 Mime juga berasal dari kata mimos yang berarti
dan erat kaitannya dengan pertunjukan, penggambaran, memerankan,
dan melukiskan.16 Gagasan dari Plato dan Aristoteles lebih dekat dengan
pemikiran tentang seni. Girard membawa peristilahan mimesis untuk
dikembangkan ke arah teori fenomena sosial, sedangkan Dawkins
menjejakkan landasan teorinya dari teori evolusi Darwin seputar seleksi,
variasi, dan replikasi. Intensi Dawkins dalam teori memetika ialah untuk
menjelaskan bahwa evolusi budaya berlangsung melalui proses imitasi.
“We need a name for the new replicator, a noun that conveys the idea of
a unit of cultural transmission, or a unit of imitation. ‘Mimeme’ comes
from a suitable Greek root, but I want a monosyllable that sounds a bit
like ‘gene’. I hope my classicist friends will forgive me if I abbreviate
mimeme to meme.”17
Dawkins menarik kata meme dari kata dalam bahasa Yunani mimeme,
berarti “yang ditiru”; imitasi.18 Terminologi meme digunakan sebagai istilah
yang dibuat Dawkins untuk menggambarkan ide unit transmisi kultural.
Imitasi dalam teori memetika merupakan proses meme membiakkan diri
dari satu otak ke otak lain. Dengan kata lain, Dawkins meyakini bahwa
imitasi merupakan cara meme dapat bereplikasi. Ia memperkenalkan
istilah ‘meme’ sebagai satuan informasi budaya terkecil yang berevolusi
mengikuti pola evolusi genetis, yakni replikasi.19
Imitasi dalam pengertian Dawkins bukan berarti meniru secara akurat
dan persis seperti model sebelumnya. Dalam teori mimetik, peniruan
(hasrat/keinginan) membuat setiap orang berkompetisi untuk mengejar
hal yang sama hingga dapat berakhir pada konik.20 Sementara itu,
aktivitas imitasi unit-unit budaya dalam bentuk apapun tidak akan persis
sama. Contohnya, seseorang tidak akan menyampaikan cerita dengan
menggunakan diksi atau rangkaian kalimat yang sama persis dengan saat ia
memperolehnya. Cara setiap orang bernyanyi pun akan berbeda meskipun
211
lagu yang dinyanyikan sama. Bahkan, dari cara memberi menggunakan
tangan kanan akan dilakukan secara berbeda oleh setiap orang. Seseorang
tidak akan secara akurat mengimitasi tindakan atau kata-kata, tetapi ada
sesuatu (intisari dari sesuatu yang diimitasi) yang telah disebarkan dari orang
lain ke individu lalu ke orang lainnya.21 Artinya, terdapat unsur-unsur yang
berbeda, entah penambahan atau pengurangan, dari suatu meme, setiap
kali disebarkan. Suatu meme yang diimitasi seseorang akan direplikasi
dengan caranya sendiri. tetapi tetap ada esensi dari suatu gagasan (meme)
sebagai landasan ide yang diimitasi.
Dari Mata Meme
Meme dapat mewujud dalam bentuk apapun, ide atau gagasan hasil
budaya yang menyebar, bertransmisi, mereplikasi, dan mengulang diri di
tengah-tengah masyarakat. Meme di sini merupakan aktor budaya yang
diperbincangkan, dipakai, dihayati, atau dipraktikkan, bahkan tidak jarang
menjadi habit yang tidak disadari oleh setiap orang. Untuk dapat menyebar
dan menggandakan diri, meme membutuhkan media yang menjamin
kelangsungannya. Otak manusia merupakan tempat tinggal esensial bagi
kumpulan meme. Gagasan lalu dapat menjadi meme ketika dituangkan
dalam aktivitas percakapan, tulisan, dan tindakan yang menggugah orang
lain untuk kemudian menyebarkannya.
Semua meme disebarkan melalui imitasi, tetapi tidak semua hal adalah
meme. Menurut Blackmore, pengalaman perseptual manusia tidak sama
sekali berkaitan dengan meme. Pengalaman perseptual bukanlah sesuatu
yang melibatkan meme. Saat seseorang diam dan menyadari suara,
pandangan, cahaya, impresi yang diterima dari sekelilingnya, kesan yang
dirasakan hanya dapat dirasakan secara personal oleh orang itu. Menurutnya,
akan menjadi meme ketika seseorang membahasakan apa yang dirasakan
saat mengalami hal tersebut, karena bahasa dan kata-kata yang digunakan
merupakan sesuatu yang diperoleh melalui proses memetik,22 dan artinya
dapat disebarkan kembali.
Imitasi adalah cara meme untuk dapat bereplikasi.23 Dapat dikatakan
bahwa meme menyebar dan menggandakan diri melalui aktivitas manusia
yang paling primitif dan mendasar, yaitu komunikasi. Komunikasi manusia
pada kenyataannya turut mengalami evolusi sejak zaman praaksara hingga
O. Cindy Monica: Memetika: Koleksi Teori Kebudayaan
212
Melintas Vol. 37, No. 2, 2021
yang teraktual dengan ditingkatkan levelnya oleh bantuan teknologi
termutakhir. Dialog, monolog, seminar, webinar, tulisan yang dipublikasi,
diskusi publik, lagu-lagu yang diputar di swalayan, perbincangan di podcast,
khotbah pemuka agama, orasi pemimpin, perilaku yang dipertontonkan
melalui media audio-visual, atau kosakata baru yang ramai diucapkan,
dan masih banyak lagi, merupakan contoh apa saja yang dapat menjadi
kendaraan bagi transmisi meme. Artinya, meme ada karena didasari relasi
sosial yang dibangun manusia. Oleh karenanya, manusia menjadi replikator
sosial dan memiliki kemampuan untuk menciptakan meme baru.
Jika ditelusuri lebih dalam perihal mana di antara meme dan relasi
sosial yang terlebih dahulu ada hingga menyebabkan yang lain, keduanya
sama-sama memiliki relasi kausal. Pada beberapa kesempatan, meme
menyebarkan diri dengan sendirinya tanpa perlu prasyarat relasi sosial,
terutama jika meme disebarkan melalui media satu arah seperti iklan, lm,
dan lagu. Walaupun demikian, jika orang menggunakan sudut pandang
meme, secara kultural manusia hanyalah alat yang menguntungkan bagi
persebaran meme. Tidak lebih. Seperti layaknya gen, meme secara ‘egoistis’
memanfaatkan otak dan kemampuan mendasar manusia berkomunikasi.
Begitu sudah mereplikasi diri, meme menyebar luas dengan sendirinya
tanpa dapat dikendalikan. Seolah-olah, seperti diyakini Blackmore, meme
memiliki ‘nyawanya’ sendiri.
Namun, jika ditilik lebih jauh, pada praktiknya kehadiran manusia
memiliki fungsi penting bagi persebaran meme dalam relasi sosial. Model/
mediator/agen suatu meme (gagasan, perilaku, gaya, dan lain-lain) menjadi
begitu dibutuhkan. Agen meme atau mediator dalam relasi sosial secara
disadari, disengaja atau tidak, menyebarkan meme melalui berbagai cara
yang kemudian akan menginisiasi imitator-imitator meme lain. Para
imitator meme adalah mereka yang terkena cipratan ide/gagasan, perilaku,
ekspresi, gaya berbahasa, gaya berbusana, gaya hidup, dan lain-lain, untuk
ditiru dan bisa saja akan mereka sebarkan pula kepada orang lain. Imitator
dan agen meme memiliki esensi yang sama karena pada dasarnya mereka
akan mengimitasi dan menyebarkan meme yang telah mereka peroleh juga.
Di samping itu, dari perspektif relasi sosial, bagaimana suatu ide/
gagasan/perilaku dapat menjadi meme atau bagaimana meme itu
ditangkap dan akhirnya diyakini hingga diimitasi oleh subjek penerima
juga bergantung kuat pada latar belakang sosial-budaya subjek. Misalnya,
213
suatu meme berupa gagasan untuk meminimalisasi penggunaan plastik
sebagai upaya kesadaran ekologis akan mudah diterima seseorang yang juga
meyakini hal yang sama. Atau contoh lain, orang yang tinggal di kota besar
akan memiliki meme yang boleh jadi berbeda dari mereka yang tinggal di
desa. Orang Indonesia akan memiliki meme yang berbeda dengan mereka
yang tinggal di Prancis.24
Meme dapat dikategorikan ke dalam muatan informasi maupun
format informasinya.25 Muatan informasi berisi hal-hal apa saja yang bisa
disebarkan, misalnya gagasan, jargon, adagium, headline berita, lirik lagu,
dan sejenisnya. Format informasi merupakan cara informasi dikodekan
dalam budaya.26 Akan tetapi, meme tidak selalu sama dengan inangnya
ketika telah disebarkan. Blackmore melihat bahwa di antara banyaknya
meme, hanya sebagian yang dapat dikopi dari otak ke otak, dari otak ke
dalam bentuk cetak, dan dari bentuk cetak ke bentuk suara hingga kaset.
Begitu pula Dawkins menganggap bahwa konten meme yang disebarkan
tidak selalu sama bunyinya ketika sudah tersebar dari orang per orang.27
Saat seseorang mendengar ide dan menceritakannya pada orang lain, akan
terdapat sedikit unsur cerita yang berubah atau berbeda. Artinya, meme
akan mengalami reduksi, mutasi, atau variasi dalam proses transmisi oleh
orang berikutnya. Oleh karena itu, walaupun kemungkinannya tidak sama,
proses menggandakan diri berkali-kali sesuatu untuk dapat tetap disebut
meme ialah jika esensi meme tidak berkurang sekalipun format meme
tidak selalu sama ketika mentransmisikannya.
Perbedaan transmisi meme bukan sesuatu yang jarang terjadi karena
setiap orang memiliki kemampuan berbeda dalam memahami suatu
meme, begitu juga akan berbeda dalam cara menyebarkannya. Dalam
menanggapi hal itu, Daniel Dennett menjelaskan hal tersebut dapat terjadi
karena otak manusia normal tidaklah sama; otak manusia berbeda dalam
hal bentuk, ukuran, dan dalam hal jalinan-jalinan koneksi dalam otak.28
Terlebih lagi, perbedaan yang lebih signikan disebabkan oleh perbedaan
jaringan mikrostruktur dalam otak yang dipengaruhi oleh berbagai macam
meme yang terinternalisasi.29
Richard Brodie berargumen bahwa meme menyebar layaknya
virus yang menjangkiti akal budi. Virus akal budi adalah sesuatu yang
berkembang dan menjangkiti banyak orang dengan meme hingga pada
gilirannya mempengaruhi perlaku orang-orang yang terjangkiti.30 Mereka
O. Cindy Monica: Memetika: Koleksi Teori Kebudayaan
214
Melintas Vol. 37, No. 2, 2021
yang terjangkiti pun akan turut menyebarkan virus tersebut. Brodie
mengatakan bahwa meme dapat menyebar melalui cara-cara yang mudah
dimengerti – seperti yang berlangsung dalam masyarakat tampilan –
atau bisa juga melalui rantai sebab-akibat yang rumit. Kumpulan meme
tersebut tidak selalu adalah meme yang bermanfaat bagi inangnya. Meme
menggaet dan memanfaatkan sisi psikologis manusia karena daya pikatnya
bergantung pula pada seberapa kuat meme mempengaruhi emosi manusia.
Sepintas sepertinya meme tidak memiliki substansi sampai-sampai mudah
menjangkiti pikiran dan membuatnya terngiang-ngiang terus-menerus, atau
sekadar pengulangan tidak berarti yang menyangkut di kepala seseorang.
Tetapi, dari sudut pandang meme sendiri, meme tidak peduli apakah dirinya
penting, berguna, dan bersubstansi hingga dapat memberikan perubahan
signikan pada kehidupan seseorang. Kepentingan meme hanyalah agar
mereka dapat bereplikasi dan diimitasi tanpa henti. Seperti yang ditekankan
oleh Blackmore, “If memes are replicators, as I’m convinced they are,
then they will not act for the benet of the species, for the benet of
the individual, for the benet of the genes, of indeed for the benet of
anything but themselves. That is what it means to be a replicator”.31
Namun, agaknya tidak dapat dinakan bahwa beberapa meme juga
memiliki manfaat oleh karena kembali lagi bahwa meme dapat berupa ide/
gagasan. Tidak semua gagasan tidak berguna. Ide atau gagasan tersebut
bisa berupa rangkaian informasi yang penting untuk ditransmisikan,
disebarkan, dan dikembangkan. Misalnya, meme berisi informasi sintas
bagi seseorang akan memberikan kegunaan praksis bagi aktivitas manusia,
atau bahwa aktivitas yoga dan meditasi dapat meringankan beban
kehidupan seseorang.
Dari kacamata teori memetika, semua meme tidak selalu dapat
tersebar dan dikatakan ‘sukses’ mereplikasi diri di antara orang per orang.
Hal tersebut secara analogis merupakan bagian dari seleksi alam.32 Ada
beberapa meme yang hanya bertahan beberapa waktu tertentu, ada
juga yang dapat bereksistensi lama hingga mempengaruhi atau bahkan
mengubah perilaku manusia. Dengan kata lain, meme saling bersaing
satu sama lain untuk dapat hidup dan terus-menerus direplikasi. Brodie
berpendapat bahwa meme yang mampu membangkitkan naluri seseorang
akan lebih berpeluang menggandakan diri dan menyebar ke seluruh
215
lapisan masyarakat.33 Naluri manusia yang paling mendasar ialah berbagai
hal yang menyangkut dorongan untuk bertahan hidup, yakni dorongan
seksual, makan, bernapas, dan beristirahat. Oleh karena itu, menurut
Brodie, meme yang mencakup hal-hal tersebut akan lebih cepat tersebar
dibanding yang lain.
Otak dan pikiran manusia, oleh meme, dipersepsi hanya sebagai sarang
tempat tinggal meme untuk dapat membiakkan diri seterusnya lewat
komunikasi yang dilangsungkan manusia. Sifat ‘egois’ ini membuat meme
hanya memiliki tujuan untuk mereplikasi diri. Keberadaan meme dalam
otak manusia juga saling bertarung satu-sama lain untuk memperebutkan
tempat dalam pikiran orang agar tidak hilang atau dilupakan. Meme
memerintah otak seseorang untuk terus-menerus mengulang meme dan
dengan begitu meme cenderung selalu menetap di kepala.34 Meme yang
terus terngiang-ngiang, misalnya lantunan suatu potongan lagu atau jargon
iklan, membuat seseorang akan terus-menerus memikirkannya dan akan
cenderung menyebarkannya kepada orang lain. Oleh karena manusia
tidak pernah berhenti berpikir dan tidak pernah terputus dari kegiatan
berkomunikasi, proses imitasi dan replikasi meme tidak akan pernah selesai.
Meme memerlukan kehidupan sosial agar terjadi imitasi dan berkembang
dalam kebudayaan.35 Aktivitas berpikir dan berkomunikasi adalah bagian
esensial pengalaman eksistensial manusia. Menurut Dennett, meme
memiliki peran signikan dalam kehidupan manusia karena dengannya
manusia dimampukan berpikir.
“A brain with memes not only has much more information to store,
but the memes themselves are tools for thinking with (Dennett, 1991).
Far more kinds of thinking are possible when you have learned words,
stories, the structure of arguments, or new ways of thinking about love,
logic or science.”36
Pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa kegiatan berpikir manusia
akan semakin jauh berkembang jika mereka telah mengenal alur berpikir
logis, cerita, pengetahuan baru, atau merasakan pengalaman psikologis
yang baru dalam meme. Dari situ, alam berpikir meme seseorang akan
semakin diperkaya.
O. Cindy Monica: Memetika: Koleksi Teori Kebudayaan
216
Melintas Vol. 37, No. 2, 2021
Meme dan Evolusi Budaya
Manusia adalah makhluk budaya. Bagian-bagian yang membentuk
diri setiap manusia secara langsung diperoleh karena bersinggungan
dengan lingkungan, aturan, kebiasaan, dan masyarakat sekitar. Budaya
dapat dirumuskan sebagai segala hal yang termasuk kebiasaan, pola pikir,
kepercayaan hingga tingkah laku hasil pembelajaran dan/atau pengalaman
manusia. Kebudayaan merupakan sesuatu hal yang kompleks dan luas,
dan tampaknya tidak dapat dirumuskan dalam suatu kalimat sederhana.
Koentjaraningrat membagi kebudayaan menjadi tiga wujud: kebudayaan
sebagai suatu kompleks ide-ide, nilai-nilai, norma, dan bermacam-macam
aturan; kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
manusia yang memiliki pola khas; dan kebudayaan sebagai benda-benda
hasil karya manusia.37 E. B. Tylor menganggap budaya adalah kompleks
yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-
istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.38
Unsur-unsur budaya yang disebut meme, jika diidentikasi berdasarkan
teori kebudayaan Koentjaraningrat dan E. B. Tylor, dapat berupa hal-hal
yang bersifat ideal. Misalnya, nilai, norma, kepercayaan, adat istiadat dan
juga dapat berupa keterampilan yang diwariskan atau diturunkan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya. Meme, karenanya, dapat berupa gagasan
(abstrak) maupun yang mewujud dalam perilaku, gaya hidup, dan kultur.
Ada pula pandangan, secara normatif, kultur dianggap sebagai ideal,
nilai, dan aturan-aturan yang membentuk tata kelola kehidupan manusia.
Secara fungsional, kultur dianggap sebagai cara manusia untuk beradaptasi
dengan lingkungan dan kiat-kiat/upaya dalam mengatasi keterbatasan
manusia. Denisi-denisi kebudayaan tidak dapat dilihat hanya dari satu
sudut pandang. Berbagai denisi harus dipandang secara keseluruhan,
sebagai satu kesatuan. Berbagai gagasan tersebut menandakan bahwa
kebudayaan tidak hanya berarti satu hal, tetapi mengundang semua orang
untuk mengalami dan menafsirnya dari keutuhan aspek kehidupan.
Dalam mengalami dan menafsirkan kebudayaan, ditemukan pula
bahwa budaya mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Budaya
akan berevolusi karena manusia pun mengalami evolusi. Selain itu,
budaya ada dalam ruang dan waktu yang dinamis sehingga turut serta
217
mengalami perubahan dan perkembangan. Berdasarkan teori memetika,
manusia tumbuh dengan dikelilingi oleh bermacam meme kebudayaan.
Dalam memetika yang membicarakan konsep imitasi dan replikasi seturut
pemikiran Darwin, kebudayaan turut berevolusi dengan proses imitasi,
replikasi, seleksi, dan variasi. Kebudayaan berevolusi dalam arti muncul,
berlanjut, dan berkembang karena meme menghasilkan mekanisme untuk
evolusi itu.39 Singkatnya, jika dilihat dari kacamata meme, budaya berevolusi
karena adanya faktor meme sebagai replikator ‘egoistis’. Memetika tidak
terbatas hanya pada ruang lingkup budaya tradisional yang kental dengan
aspek pewarisan, tetapi dapat juga dipakai dalam membaca kebiasaan
dan gaya hidup masyarakat pada umumnya. Teori meme yang digagas
Dawkins pada awalnya tidak dimaksudkan untuk menjadi teori utama dan
menggantikan teori-teori kebudayaan yang telah ada. Namun, memetika
dapat dilihat sebagai tawaran perspektif alternatif lain dalam memahami
kebudayaan melalui perkembangan dan perubahan unit-unit kultural yang
ada di dalamnya.
Blackmore mengacu pada argumen Karl Popper tentang ragam realitas
manusia, dan mencoba menggali keterkaitan gagasan dan kultur. Popper,
walau tidak secara eksplisit menyatakannya, menunjukkan bahwa ide turut
mempengaruhi ontologi dan epistemologi manusia.40 Popper membagi
realitas manusia ke dalam tiga kategori dunia yang mempengaruhi
manusia dalam hal mengetahui atau memperoleh pengetahuan. Dunia
pertama berisi dunia benda-benda sikal, seperti meja, kursi, tubuh,
dan objek-objek sik lain yang dapat diketahui pancaindra. Dunia kedua
berisi pengalaman subjektif. Dunia kedua dapat dianggap sebagai dunia
kesadaran dan termasuk di dalamnya yaitu emosi, perasaan, sensasi.41
Binatang juga mengalami dunia kedua oleh karena memiliki kesadaran
subjektif seperti halnya manusia, hanya saja yang menjadikan manusia
berbeda ialah dunia kedua turut andil dalam pembentukan bahasa yang
selanjutnya berpengaruh pada dunia ketiga.42 Dunia ketiga merupakan
dunia gagasan/ide, dan bahasa berperan besar di dalamnya. Ide atau
gagasan itu mempengaruhi pengalaman manusia akan dunia pertama
dan dunia kedua.43 Atau dengan kata lain, dunia gagasan mempengaruhi
cara seseorang mempersepsi lingkungan dan memahami kesadarannya.
Kaitan antara ketiga dunia tersebut dengan meme ialah gagasan atau ide
menjadi unsur penting karena turut membentuk pola pikir yang kemudian
O. Cindy Monica: Memetika: Koleksi Teori Kebudayaan
218
Melintas Vol. 37, No. 2, 2021
dapat dikembangkan atau diwujudkan menjadi gestur, gambar, kebiasaan,
artefak, gaya hidup, dan lain-lain. Meme merupakan gagasan atau ide yang
memuat informasi dan memiliki andil juga dalam mempengaruhi dunia
sik.
Pengalaman dan pengamalan budaya merupakan gambaran konkret
tentang bagaimana manusia memahami dan merumuskan realitas hingga
menemukan peluang dan keterbatasan dirinya. Berbagai aktivitas manusia
mencakup baik yang sik maupun yang mental. Oleh karena itu, budaya
tidak selalu merupakan hal-hal yang tampak dan material, tetapi juga yang
nonmaterial. Kebudayaan material berupa artefak, teknologi, dan hasil-
hasil karya budaya yang dapat dikenali melalui pancaindra. Kebudayaan
nonmaterial dapat berupa gagasan kolektif, pandangan hidup, moralitas,
konsensus masyarakat, keyakinan hingga pengetahuan. Kebudayaan
juga menyoal cara berpikir, bertutur kata, gaya hidup, bertingkah laku,
berinteraksi dengan sesama, bekerja, mencipta, bercerita, dan lain-lain.
Teori memetika memandang bahwa meme mempengaruhi olah pikir dan
aktivitas kolektif manusia dalam pergumulan dengan budayanya tersebut.
Dari sudut pandang meme, dapat dikatakan bahwa meme membentuk
pandangan hidup, tingkah laku, dan kebiasaan masyarakat, karena meme
pada mulanya ialah berupa gagasan atau ide, yang kemudian diimitasi
setiap orang. Dari sudut pandang antroposentis, kurang lebih akan seperti
apa yang dirumuskan Brodie, bahwa manusia menggunakan meme untuk
menggambarkan realitas. Meme yang digunakan untuk memberi label
sesuatu menjadi cara manusia menggambarkan realitas, yang membuat
kehidupan menjadi sangat berbeda.44 Artinya, meme memberi manusia
kemampuan untuk dapat memahami persoalan yang terjadi dalam
kehidupannya, entah itu persoalan sosial, lingkungan, batin, keadilan,
kesetaraan, moral, ekonomi, atau hukum. Artinya, seperti yang dikatakan
Dennett, manusia mampu memahami realitas di sekitarnya karena
kumpulan meme yang diimitasi memampukannya berpikir.
Simpulan
Jika simpul-simpul ide dari awal dari tulisan ini dikombinasikan, yang
didapat ialah bahwa sebagai unit kebudayaan, meme merupakan istilah
yang mencakup objek yang luas. Meme dapat berupa unit budaya yang
219
konkret, gagasan abstrak/ideal, atau berupa macam-macam keterampilan.
Meme membiakkan diri dengan bertransmisi dari satu akal budi ke akal
budi lain, melalui proses yang disebut imitasi. Dalam pengertian teori
memetika, imitasi merupakan sebentuk peniruan, tetapi tidak persis sama
dengan ‘inang’-nya. Oleh karena Dawkins berpijak pada teori evolusi
Darwin, yaitu seleksi, variasi, dan replikasi, dalam proses persebaran atau
transmisinya, meme akan mengalami perbedaan dengan saat pertama kali
diterima. Dari situ dikatakan bahwa budaya bersifat dinamis karena akan
selalu ada perkembangan dan perubahan, lalu berkembang dan berubah
lagi.
Secara keseluruhan, budaya dilihat selalu tidak terlepas dari tiga macam
pemahaman, yaitu sebagai sistem gagasan atau paradigma berpikir, pola
tingkah laku dan benda/produk sik. Dalam relasinya, manusia sering
kali mengimitasi apa yang diamatinya, orang lain, keterampilan, gaya
hidup, dan lain-lain, dari realitas di sekitarnya. Kecenderungan tersebut
boleh jadi merupakan upaya beradaptasi, bertahan hidup, menjadi
bagian dari kelompok, mendapatkan pengakuan kelompok, atau sebagai
upaya memahami dirinya sebagai pihak yang membangun relasi dengan
kompleksitas kehidupan kultur dan relasi sosial. Teori memetika melihat
kecenderungan imitasi tersebut sebagai bagian dari evolusi budaya. Dengan
begitu, meme yang adalah unit atau elemen budaya, dapat tersebar sebagai
aktor utama dalam evolusi budaya.
References:
Blackmore, Susan. “Possible Confusion between Mimetic and Memetic”.
Susan Hurley & Nick Chater (Eds.). Perspective on Imitation: From
Neuroscience to Social Science Volume 2: Imitation, Human Development,
and Culture. Massachusetts: The MIT Press, 2005.
__________. The Meme Machine. Oxford: Oxford University Press, 1999.
Brodie, Richard. Virus Akal Budi. Terj. T. Hermaya & Christina M. Udiani.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014.
Budiman, Hikmat. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Dawkins, Richard. The Selsh Gene. 40th Anniversary Edition. Oxford:
Oxford University Press, 2016.
O. Cindy Monica: Memetika: Koleksi Teori Kebudayaan
220
Melintas Vol. 37, No. 2, 2021
De Block, Andreas & Ramsey, Grant. “The Organism-Centered Approach
to Cultural Evolution”. Springer Science+Business Media. Dordrecht,
2015.
Dennett, Daniel. Conciousness Explained. New York: Bach Bay Books, 1991.
Girard, René. Evolution and Conversion. New York: Continuum International
Publishing, 2007.
Potolsky, Matthew. Mimesis. New York: Routledge, 2006.
Wijayanto, Eko. “Memetika sebagai Studi Kebudayaan Berbasis Evolusi”.
Melintas International Journal of Philosophy and Religion Vol. 29, No. 1,
April 2013.
(Endnotes)
1 Andreas De Block dan Grant Ramsey, “The Organism-Centered Approach to
Cultural Evolution” dalam Springer Science+Business Media (Dordrecht, 2015).
2 Susan Blackmore, The Meme Machine (UK: Oxford University Press, 1999) 15.
3 Bdk. Richard Dawkins, The Selsh Gene 40th anniversary edition (UK: Oxford
University Press, 2016) 249.
4 Lih. Susan Blackmore, The Meme Machine (Oxford University Press, 1999) 4.
5 Lih. Dawkins, op. cit., 248.
6 Ibid., 245.
7 Lih. Blackmore, op. cit., 17-18.
8 Susan Blackmore dalam bukunya menganggap bahwa meme seperti memiliki
kendali terhadap persebarannya sendiri. Meme dilihat lebih aktif merasuki akal
budi antarorang dan ‘memerintah’-nya untuk menyebarkan meme pada orang lain.
Richard Brodie meyakini bahwa meme dapat mengendalikan hidup manusia bahkan
sampai ke taraf mendasar dari yang dapat disadari manusia.
9 Lih. Matthew Potolsky, Mimesis (New York: Routledge, 2006) 17.
10 Ibid.
11 Ibid., 28.
12 Potolsky, op. cit., 35.
13 Ibid., 34.
14 Lih. René Girard, Evolution and Conversion (New York: Continuum International
Publishing, 2007) 57.
15 https://www.merriam-webster.com/dictionary/mimesis (access 15.07.2021).
16 https://www.etymonline.com/word/mime (access 15.07.2021).
17 Dawkins, op. cit., 249.
18 Susan Blackmore, “Possible Confusion between Mimetic and Memetic” dalam
Susan Hurley & Nick Chater (eds.), Perspective on Imitation: From Neuroscience to Social
Science Volume 2: Imitation, Human Development, and Culture (Massachusetts: The MIT
Press, 2005) 397.
19 Eko Wijayanto, “Memetika Sebagai Studi Kebudayaan Berbasis Evolusi”, dalam
Melintas Vol. 29 No. 1 (April 2013) 51.
221
20 https://mimetictheory.com/articles/memetic-theory-versus-mimetic-theory/
(access 18.07.2021).
21 Susan Blackmore, The Meme Machine (Oxford: Oxford University Press, 1999) 6.
22 Ibid., 43.
23 Dawkins, op. cit., 249, 251.
24 Bdk. Richard Brodie, Virus Akal Budi, terj. T Hermaya & Christina M. Udiani
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014) 40. Brodie memberikan contoh
bahwa seseorang yang terdidik meme bahasa Prancis, ketika di Prancis perilakunya
akan berbeda dengan orang yang tidak mengenal bahasa tersebut.
25 Eko Wijayanto, art. cit., 46.
26 Ibid.
27 Dawkins menjadikan dirinya contoh bahwa gagasan yang dikutipnya dari ilmuwan
lain sering tidak persis seperti yang diucapkan atau dicetak sumber, tetapi disesuaikan
dan dicampur dengan gagasannya sendiri atau orang lain.
28 Daniel Dennett, Conciousness Explained (New York: Bach Bay Books, 1991) 207.
29 Ibid.
30 Lih. Brodie, op. cit., 33.
31 Blackmore, The Meme Machine, op. cit., 31.
32 Dawkins, op. cit., 251.
33 Brodie, op. cit., 37.
34 Blackmore, The Meme Machine, op. cit., 40.
35 Dikutip dari http://lsfcogito.org/memetika-membaca-kebudayaan-membaca-
manusia/ (access 08.04.2021).
36 Blackmore, The Meme Machine, loc. cit.
37 Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2002) 194.
38 Dikutip dari https://www2.palomar.edu/anthro/culture/culture_1.htm (access
15.07.2021).
39 Eko Wijayanto, “Memetika Sebagai Studi Kebudayaan Berbasis Evolusi”, dalam
Jurnal Melintas Vol. 29 no. 1 April 2013, hlm 46
40 Susan Blackmore, The Meme Machine (Oxford University Press, 1999) 28. Menurut
Blackmore, sumbangan Popper mengenai teori falsikasi menunjukan bahwa sains
juga bekerja melalui proses seleksi. Hal tersebut karena melalui teori falsikasi,
sains dapat dilihat sebagai kompetisi antar hipotesis dan hanya beberapa yang dapat
bertahan.
41 Dikutip dari http://www.open-science-repository.com/Karl-Popper-world-three.
html, tanggal 13 April 2021, jam 14.21 WIB
42 Ibid.
43 Susan Blackmore, The Meme Machine (Oxford University Press, 1999) 28-29.
Berdasarkan yang ditulis Blackmore, Popper mengalami kesulitan untuk memberi
penjelasan masuk akal bagaimana ide dapat mempengaruhi dunia sikal. Untuk
menjawab hal tersebut, Popper menggunakan peran imitasi dengan mencontohkan
bahwa karya seorang pemahat akan menggugah pemahat lainnya untuk memproduksi
patung yang sama.
44 Brodie, Virus Akal Budi, op. cit., 30.
O. Cindy Monica: Memetika: Koleksi Teori Kebudayaan