Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
Intizar
Vol. 26, No. 1, Juni 2020
Website: http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar
ISSN 1412-1697, e-ISSN 2477-3816
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
Manah Rasmanah
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Indonesia, manahrasmarah_uin@radenfatah.ac.id
DOI: doi.org/10.19109/intizar.v26i1.5106
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gambaran resiliensi mahasiswa yang mengalami kesulitan ekonomi dan faktor
yang mempengaruhi. Jenis penelitian ini kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subjek penelitian adalah seorang
mahasiswa yang mengalami kesulitan ekonomi tetapi berprestasi akademik sebagai sumber primer dan seorang teman
dekat subjek dan saudara kandung subjek sebagai sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara dan observasi. Data dianalisa menggunakan teknik analisis studi kasus menurut Robert K Yin yang
terdiri dari penjodohan pola, eksplanasi dan deret waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki
resiliensi dalam menghadapi kesulitan ekonomi yang ditandai dengan kemampuan regulasi emosi, self efficacy yakni
memiliki inisiatif, mampu menyelesaikan masalah, kreatif dan bertanggung jawab, optimis, mampu menganalisa masalah,
memiliki motivasi berprestasi, mampu mengenali potensi diri, memiliki modal kesuksean dan telah memiliki pencapaian
(prestasi akademik). Faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah faktor internal berupa, keterampilan sosial, empati,
konsep diri positif, self-efficacy dan self esteem, memiliki rasa kebermaknaan yakni optimisme, motivasi, minat, sistem
keyakinan dan karakter yang humoris. Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh dukungan keluarga dan teman, norma
keluarga dan rule model.
Kata Kunci: Resiliensi, Kemiskinan, Mahasiswa
Abstract
This study aims to uncover the picture of resilience of students who experience economic difficulties and influencing
faktors. This type of research is qualitative with a case study approach. The subject of the study was a student who was
experiencing economic difficulties but had academic achievements as a primary source and a close friend of the subject
and siblings of the subject as a source of secondary data. Data collection techniques used were interviews and observation.
Data were analyzed using a case study analysis technique according to Robert K Yin which consisted of pattern matching,
explanation and time series. The results showed that students have resilience in the face of economic difficulties marked
by the ability of emotional regulation, self efficacy that is having initiative, being able to solve problems, being creative
and responsible, optimistic, being able to analyze problems, having achievement motivation, being able to recognize self
potential, having capital success and have had achievements (academic achievements). Faktors that influence resilience
are internal faktors such as sosial skills, empathy, positive self-concept, self-efficacy and self esteem, which have a sense
of meaningfulness namely optimism, motivation, interest, belief systems and humorous character. While external faktors
are influenced by the support of family and friends, family norms and rule models.
Keywords: Resilience, Poverty, Student
Pendahuluan
Bagi masyarakat miskin, kehidupan merupakan
suatu perjuangan yang tidak ada habisnya (Juby &
Rycraft, 2004). Karena keluarga miskin cenderung
memusatkan tenaganya untuk memperbaiki kondisi
keuangan dari pada hubungan dalam keluarga atau
pengasuhan (Orthner, Jones‐Sanpei, & Williamson,
2004). Hidup dalam kemiskinan juga dapat
meningkatkan
sumber stress keluarga, khususnya
orang tua dan dapat berpengaruh pada sensitivitas
keterlibatan pengasuhan yang bisa mengakibatkan
putus asa pada anak (McLoyd, 1990), dan juga stress
keluarga akibat kemiskinan ini secara tidak langsung
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
34 Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020
dapat mempengaruhi ketidakstabilan interaksi dalam
rumah tangga.
Tekanan keluarga miskin terkait keterbatasan
ekonomi secara tidak langsung juga dapat
mempengaruhi persepsi orang tua terkait pendidikan
bagi anaknya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Ronald Buck & Joe Deutsch (2014) menjelaskan
bahwa masyarakat miskin baik di perkotaan maupun
di pedesaan menghadapi banyak masalah, misalnya
hunian yang tidak layak, akses terhadap layanan
profesional sangat rendah termasuk pendidikan.
Pendidikan yang cenderung rendah disebabkan
berbagai alasan, karena kemiskinan merupakan
siklus masalah yang luas dan kompleks yang dapat
mempengaruhi berbagai kehidupan seseorang.
Dalam penelitian Pilih Karini (2018) menjelaskan
bahwa angka partisipasi sekolah ada hubungannya
dengan kemiskinan. Penelitian yang mengambil
lokasi di provinsi Kepulauan Bangka Belitung,
dengan melihat perkembangan dari tahun 2012
hingga 2016, memberi kesimpulkan bahwa semakin
turun angka kemiskinan semakin naik angka
partisipasi sekolah.
Namun tidak dipungkiri akan ada banyak
tantangan yang harus dihadapi baik dari segi
finansial dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
dan kebutuhan mendadak lainnya maupun dari segi
akademik. Hal ini dikarenakan pemenuhan
kebutuhan tersebut dapat mempengaruhi
kemampuan bertahan dan penyesuaian diri di
lingkungan kampus. Apalagi pada kehidupan remaja
akhir menuju dewasa awal, dimana pada masa itu
individu harus siap menghadapi tantangan serta
kemandirian dalam mengatur hidupnya, seperti
contoh individu yang akan memulai kuliah ataupun
mulai masuk di dunia kerja, mereka harus hidup
mandiri atau jauh dari orang tua, atau hidup dengan
pasangannya. Dalam proses tersebut terkadang ada
proses yang mengganggu dalam keseimbangan
lingkungan sosial remaja. Pada dewasa awal ini
diharapkan bisa menjadi pribadi yng lebih mandiri
dan dapat menempatkan diri di posisi mereka di
masyarakat. Dengan begitu, fase remaja akhir ini
meruapakn fase yang tepat untuk mengetahui sejuh
mana resiliensi yang dimilikinya dalam menjalani
kehidupan terutama remaja dalam kondisi-kondisi
beresiko (Milioni et al., 2015). Namun Crosnoe
(2002) menyatakan bahwa terdapat banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak dari
keluarga miskin dan berstatus ekonomi rendah
ternyata mampu mengikuti pendidikan akademik di
sekolah meskipun mereka memiliki keterbatasan
sumber ekonomi dalam keluarganya. Dan seseorang
yang mampu bertahan dalam segala tekanan dalam
hidupnya ini disebut individu yang memiliki resilien
(Setyowati, Hartati, & Sawitri, 2010).
Optimis, keyakinan terhadap pemahaman
kontrol diri akan lebih memiliki dukungan sosial,
atau menjadi lebih efektif dalam pengerahan selama
stress (Taylor, 2000). Optimis, pemahaman akan
kontrol diri, dan self esteem berhubungan dengan
usaha pemecahan masalah secara aktif (Taylor,
2000), yang memungkinkan individu untuk berhati-
hati atau mengimbangi peristiwa yang menekan
sebelum seluruh implikasinya terasa.
Kemampuan itu untuk menanggulangi secara
aktif dan proaktif dengan menghargai waktu dan
kesempatan, akan meminimalkan pengaruh
psikologis yang merugikan dari stress. Mood,
depresi, perilaku yang sehat, dan hal lain yang secara
potensial mendukung faktor psikososial,
menjelaskan hubungan antara proses kognitif,
pencarian makna, dan perkembangan kesulitan
hidup. Banyak fakta yang menyebutkan bahwa
kemampuan untuk mancari makna dalam peristiwa
yang menekan atau traumatis, termasuk penederitaan
akibat kesulitan ekonomi, biasanya memberikan
penyesuaian psikologis (Taylor, 2000).
Banyak fakta mengindikasikan bahwa dampak
positif dari peristiwa yang menekan atau kesulitan
hidup adalah kemampuan seseorang dalam
memaknai hidup, terlatih untuk memecahan masalah
dengan lebih baik, meningkatkan kemampuan sosial,
mampu menentukan skala prioritas dan menghargai
hubungan sosial (Taylor, 2000). Dampak positif ini
dapat terjadi jika respon individu terhadap kesulitan
atau peristiwa yang menekan, tanpa keputusasaan,
depresi, dan kehilangan tujuan atau makna.
Secara umum, pemahaman positif tentang diri,
pemahaman akan kontrol diri, dan optimis melihat
masa depan, merupakan sumber daya yang tidak
hanya membantu seseorang menghadapi kesulitan
dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga di
asumsikan mampu mengatasi keadaan yang sangat
menekan bahkan mengancam jiwa (Taylor, 2000).
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020 35
Pada kasus penderitaan akibat kemiskinan atau
kesulitan ekonomi, sumberdaya tersebut adalah
sebagai penyangga melawan kenyataan kesulitan
memenuhi kebutuhan hidup, di mana individu
menghadapi berbagai pengalaman tidak hanya
dengan sumber psikologis yang berguna, tetapi juga
dengan sumber resiliensi.
Resiliensi mempunyai pengertian sebagai suatu
kemampuan untuk bangkit kembali (to bounce back)
dari pengalaman emosi negatif dan kemampuan
untuk beradaptasi secara fleksibel terhadap tuntutan-
tuntutan yang terus berubah dari pengalaman-
pengalaman stress (Tugade & Fredrickson, 2004).
Seseorang yang memiliki kemampuan resiliensi
memiliki penerimaan diri yang mendalam tentang
diri sendiri maupun situasi personal secara positif
dan mampu memaknai dengan baik peristiwa
hidupnya.
Resiliensi ditandai dengan beberapa hal, yaitu:
kemampuan seorang individu untuk bangkit kembali
dari tekanan hidup, belajar dan mencari elemen
positif dari lingkungannya untuk membantu
kesuksesan proses beradaptasi dengan segala
keadaan dan mengembangkan seluruh
kemampuannya, walau berada dalam kondisi hidup
tertekan, baik secara eksternal atau internal (Niaz,
2006).
Mackay dan Iwasaki menyatakan bahwa
individu yang memiliki kemampuan resilien, sebagai
berikut: (a) Mampu menentukan apa yang
dikehendaki dan tidak terseret dalam lingkaran
ketidakberdayaan; (b) Mampu meregulasi berbagai
perasaan terutama perasaan negatif yang timbul
akibat pengalaman traumatik; dan (c) Mempunyai
pandangan atau kemampuan melihat masa depan
dengan lebih baik (Yu & Zhang, 2007).
Dari beberapa penjelasan tersebut dapat
dikemukakan bahwa individu dengan resiliensi yang
baik mampu menghadapi masalah dengan baik,
mampu mengontrol diri, mampu mengelola stress
dengan baik dengan mengubah cara berpikir ketika
berhadapan dengan stres. Resiliensi memungkinkan
individu untuk tetap fokus pada persoalan yang
sesungguhnya, dan tidak menyimpang ke dalam
perasaan dan pikiran yang negatif, sehingga individu
bisa mengatasi resiko depresi dan banyak tantangan.
Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu
yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu
dapat berubah menjadi lebih baik. Individu
mempunyai harapan terhadap masa depan dan
percaya bahwa individu dapat mengontrol arah
kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih
sehat dan mengurangi kemungkinan menderita
depresi. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon
secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan
kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk
mengelola tekanan hidup sehari-hari (Reivich &
Shatté, 2002).
Dalam kenyataannya, tidak semua individu
memiliki kemampuan resiliensi, tidak sedikit yang
gagal untuk bertahan ditengah kesulitan dan tekanan
hidup, terlebih lagi hidup di zaman teknologi
globalisasi seperti sekarang ini di mana gaya hidup
materialism, hedonism dan konsumerism sangat
kuat. Kemiskinan atau kesulitan ekonomi dapat
menjadi stressor tersendiri karena tidak dapat
memenuhi segala tuntutan lingkungan. Semakin
sedikitnya individu yang mampu menghadapi,
bertahan dan bangkit dari penderitaan akibat
kesulitan ekonomi terlebih sebagai mahasiswa di era
yang serba materialism, mengangkat kasus resilien
mahasiswa dalam konteks di atas menjadi signifikan.
Untuk itu penelitian ini hendak menggali secara
mendalam bagaimana resiliensi mahasiswa yang
mengalami kemiskinan atau kesulitan ekonomi,
sumber daya apa saja yang dimiliki dan faktor yang
mempengaruhi kemampuan untuk resilien.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan
pendekataan studi kasus. Pendekatan ini digunakan
dengan alasan adalah untuk mendapatkan
pemahaman secara utuh dan terintegrasi tentang
suatu fenomena yang terjadi pada individu tertentu.
Terkait dengan fenomena yang ada, penelitian ini
memiliki unit analisis yaitu resiliensi pada mahasiwa
yang mengalami kesulitan ekonomi. Subjek
penelitian ini adalah salah satu mahasiswa program
studi Bimbingan Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah
dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Raden
Fatah Palembang, memiliki prestasi akademik,
berasal dari keluarga miskin dan broken home.
Ditambah dengan sumber data pendukung yaitu
teman dekat dan keluarga. Teknik pengumpulan data
menggunakan wawancara mendalam dan observasi
partisipasi. Data kemudian dianalisa dengan teknik
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
36 Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020
studi kasus yaitu, penjodohan pola, eksplanasi dan
deret waktu.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Hasil Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran mendalam
tentang resiliensi subjek dan faktor yang
mempengaruhinya, peneliti melakukan wawancara
dan observasi partisipatif, di mana peneliti
beraktivitas bersama subjek misalnya ketika subjek
mengajar baik di bimbingan belajar maupun di
rumah. Data hasil wawancara dan observasi
kemudian dianalisa menggunakan teknik studi kasus
yakni penjodohan pola, eksplanasi dan deret waktu.
Tiga tahap analisa tersebut mengasilkan
gambaran resiliensi subjek dengan jelas. Berikut
adalah tiga tahapan dimaksud:
a. Penjodohan Pola
1) Gambaran resiliensi mahasiswa yang
mengalami kesulitan ekonomi
Resiliensi Prediksi Resiliensi Empiris
Gambar 1. Penjodohan Pola Resiliensi
Mahasiswa yang Mengalami Kesulitan
Ekonomi
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat dan
disimpulkan bahwa subjek memiliki
kemampuan resiliensi yang baik dalam
menghadapi kesulitan ekonomi, meskipun ada
beberapa aspek dari resiliensi yang rendah.
Aspek yang di cetak tebal dan tidak ditandai
dengan panah menandakan indikator rendah
atau tidak dimiliki oleh subjek. Dari tujuh aspek
resiliensi yang diungkap, enam di antaranya
dimiliki dengan baik oleh subjek yaitu regulasi
emosi, optimisme, analisis kasus, empati, self
efficacy dan reaching out. Satu indikator dari
self efficacy yakni inovatif tidak dimiliki oleh
subjek.
2) Faktor yang mempengaruhi resiliensi
mahasiswa dalam mengalami kesulitan
ekonomi
Faktor Prediksi Faktor Empiris
Gambar 2. Penjodohan Pola Faktor Yang
Mempengaruhi Resiliensi
Kesimpulan yang dapat diambil dari
perbandingan pola yang diprediksikan dengan
pola yang berasal dari data empiris adalah
bahwa sebagian besar faktor-faktor sebagai
sumber resiliensi baik internal maupun
eksternal dimiliki oleh subjek. Faktor yang
berasal dari internal adalah keterampilan sosial,
empati, konsep diri positif, yakin akan
kemampuan diri, keterampilan memecahkan
masalah, optimis, memiliki motivasi
berprestasi, memiliki hobi, sistem keyakinan
dan temperamen yang supel. Faktor resiliensi
yang berasal dari eksternal adalah memiliki
batasan perilaku, dukungan dari keluarga untuk
mandiri, dukungan dari komunitas untuk
berprestasi dan memiliki role model. Sementara
itu locus of kontrol dan hubungan yang hangat
tidak menjadi faktor yang mempengaruhi
resiliensi subjek.
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020 37
b. Eksplanasi
1) Resiliensi mahasiswa yang mengalami
kesulitan ekonomi
Berikut adalah gambaran aspek resiliensi
yang nampak pada diri subjek penelitian, yang
diperoleh dari hasil wawancara dan observasi.
Dalam aspek regulasi emosi, subjek
menunjukkan ketenangan, kemampuan
mengelola perasaannya dan mampu
mengekspresikan emosi secara positif, subjek
juga memiliki hubungan yang baik dan bisa
diterima oleh orang lain khususnya teman-
temanya. Selain itu subjek juga memiliki
kontrol diri yang baik dengan menunjukkan
sikap kehati-hatian dalam bersikap dan
bertindak. Subjek dapat menempatkan diri
sesuai dengan keadaan dan dengan siapa subjek
berinteraksi.
Dalam aspek pengendalian impuls. Subjek
menunjukkan dorongan perilaku tertentu untuk
mengekspresikan tekanan dan menahan
keinginan yang belum tercapai. Impuls yang
muncul adalah berbicara ceplas ceplos, ekspresi
yang merendahkan orang lain. dan melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan keadaan.
Misalnya, dorongan untuk memiliki barang-
barang berharga, diantaranya pakaian yang
mahal, makan yang enak. Dan dorongan itu
sering subjek lakukan.
Selanjutnya gambaran resiliensi subjek
dalam aspek optimisme adalah ditandai dengan
semangat dalam menjalankan aktifitas baik
dalam belajar maupun bekerja mencari uang
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hari-
harinya disibukkan dengan berbagai aktifitas,
bekerja dan belajar. Optimisme subjek juga
ditandai dengan rasa syukur dengan keadaan
walaupun dengan segala keterbatasan yang ada.
Syukur itu muncul dari interaksinya dengan
masyarakat sekitar tempat kontrakan subjek
yang banyak mengalami kesulitan hidup.
Subjek juga sering menyaksikan tayangan
ditelevisi yang mengisahkan kehidupan orang-
orang yang kurang beruntung. Hal ini
memberikan kelegaan bagi subjek karena
ternyata masih banyak orang lain yang lebih
susah dibanding dirinya. Dalam hal harapan
sebagai indikator optimisme, subjek memiliki
harapan yang sangat kuat bahwa kehidupannya
pasti akan berubah. Subjek banyak terinpirasi
dari kisah-kisah yang ia saksikan di televisi
maupun yang ia baca. Kisah-kisah tersebut
mengubah persepsinya tentang kesuksesan,
bahwa keberhasilan itu dimulai dengan
penderitaan, sehingga penderitaannya yang ia
alami menjadi titik balik yang melahirkan
harapan.
Aspek selanjutnya yang mengindikasikan
resiliensi pada diri subjek adalah
kemampuannya menganalisa masalah, yang
ditandai kengan tiga cara berpikir eksplanatori.
Cara berpikir pertama (saya-bukan saya), secara
personal subjek beranggapan bahwa kesulitan
hidup keluarganya, terutama masalah ekonomi
dikarenakan ayahnya yang tidak
bertanggungjawab, menelantarkan subjek, ibu
dan saudara-saudaranya. Subjek bahkan sering
merasa kesal dengan ulah ayahnya. Dalam tipe
berpikir kedua yakni dimensi permanen (selalu-
tidak selalu), subjek meyakini bahwa
penderitaan tidak akan selamanya, kegagalan,
kesulitan pasti akan berakhir. Cara berpikir
ketiga dalam menganalisa masalah adalah
pervasive (semua-tidak semua). Dalam hal ini
subjek menganggap bahaya semua orang
memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Semua
orang pasti punya masalah. Hanya saja
masalahnya berbeda-beda. Sehingga subjek
merasa bisa menghadapi kesulitan hidupnya
karena tidak hanya dia yang mengalaminya.
Kemampuan resilien pada subjek juga
dapat terlihat pada aspek empati yang ditandai
dengan kepedulian pada sesama dan sikap sosial
yang tinggi. Dalam hal ini subjek memiliki
kepedulian pada sesama dengan ditandai
mudahnya merasa iba pada orang lan yang
kesusahan dan merasa jengkel pada orang yang
tidak memiliki perasaan yakni yang
memperlakukan orang lan tidak semestinya.
Indikator sikap sosial yang tinggi di tunjukkan
dengan tindakannya membantu orang lain
dengan cara menyisihkan uang dari hasil
kerjanya untuk diberikan pada orang yang
kurang beruntung. Selain itu subjek juga
menunjukkan kepeduliannya tidak hanya dalam
bentuk materi tetapi dalam bentuk lain seperti
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
38 Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020
memberikan bimbingan belajar bagi anak-anak
yang orang tuanya kurang mampu.
Aspek lain dari resiliensi adalah self-
efficacy, yakni kemampuannya memecahkan
masalah atau menghadapi kesulitan. Aspek ini
ditandai dengan inisiatif dalam menyelesaikan
masalah, kreatif, inovatif dan bertanggung
jawab. Semua indikator self-efficacy tersebut
dimiliki oleh subjek kecuali indikator inovatif.
Dalam upayanya memenuhi kebutuhan sehari-
hari dan biawa kuliah, subjek sudah pernah
mengalami pekerjaan dalam berbagai macam
mulai dari pejual es keliling, pembantu rumah
tangga, penjual gorengan, pencuci piring
dirumah makan/kantin, karyawan di took ATK,
mengajar di sekolah diniyah Muhammadiyah,
les privat mengaji, subjek juga mencoba bisnis
online, yakni memasarkan salah satu produk
kosmetik.
Aspek terakhir dari resiliensi adalah
kemampuan untuk bangkit dari penderitaan
(reaching out) yang ditandai dengan
kemampuannya memotivasi diri dan orang lain,
tidak mudah menyerah, memiliki potensi dan
modal sukses, memiliki pencapaian dan
kesuksesan. Subjek dengan penuh percaya diri
sering memberi motivasi kepada teman-
temannya yang sedang mengalami masalah.
Subjek juga sering menasehati anak-anak
didiknya di sekolah ataupun anak-anak yang les.
Subjek memiliki mental juang yang tinggi,
mental juang ini diperoleh subjek dari
pengalaman hidupnya sejak kecil yang harus
bekerja sendiri untuk mendapatkan apa saja
yang ia inginkan. Termasuk keinginan yang
bersifat primer misalnya pakaian. Selain itu
subjek terlihat sangat percaya diri, dia menilai
dirinya positif sehingga penampilannya
meyakinkan. Subjek juga mampu mengenali
potensi yang dimiliki, subjek mengaku bahwa ia
dapat berkomunikasi dengan lancar, dapat
menyampaikan gagasan dengan baik, memiliki
sence of humor (rasa humor), lancar dan fasih
membaca Al-Qur’an.
Kemampuan untuk bangkit juga ditandai
dengan pencapaian-pencapaian terhadap apa
yang ia inginkan. Pencapaian yang terpenting
adalah keinginannya untuk kuliah telah
diperoeh. Subjek sekarang adalah mahasiswa
semester 8 program studi Bimbingan
Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Raden Fatah Palembang yang
sedang menyelesaikan tugas akhir. Keinginan
lain yang telah dicapai adalah subjek dapat
membel sepeda sendiri, membeli pakaian yang
bagus dan kebutuhan lainnya.
Sukses dalam kuliah sebagai indikator
kemampuan untuk bangkit juga ditunjukkan
oleh subjek dengan prestasi akademik yang
tinggi. Rata-rata IPK Tia semester di atas 3,5.
Selain itu subjek dapat menyelesaikan semua
tugas perkuliahannya dengan baik sesuai
dengan waktu yang ditentukan.
2) Faktor yang mempengaruhi resiliensi
mahasiswa yang mengalami kesulitan
ekonomi
Secara internal, banyak faktor yang
dimiliki oleh subjek sehingga subjek mampu
menghadapi segala kesulitan hidupnya dan
mampu menyelesaikannya. Faktor internal yang
dimaksud adalah faktor yang berasal dari dalam
diri subjek. yaitu kompetensi sosial di mana
subjek memiliki keterampilan sosial dalam
bentuk keterampilan berkomunikasi dan
berinteraksi. Subjek mampu bergaul dengan
baik dan diterima oleh orang lain. selain itu
subjek juga memiliki sikap empati yang baik.
Sikap empati ini ditandai dengan mudahnya
merasa iba melihat orang lain yang kesusahan,
menyisihkan sebagian uangnya secara rutin
untuk diberian pada orang yang membutuhkan
dan membatu anak-anak dari keluarga yang
tidak mampu dengan memberikan bimbingan
belajar.
Berdasarkan perbandingan antara pola
prediksi dengan pola yang berasal dari data
empiris di atas, dapat terlihat bahwa hanya
beberapa saja faktor yang tidak dimiliki oleh
subjek, yaitu aspek otonomi yang berasal dari
faktor internal berupa faktor pengendalian oleh
individu dan aspek hubungan yang hangat
dengan orang lain yang berasal dari faktor
eksternal.
Tidak dimilikinya faktor pengendalian oleh
individu yang dimaksud adalah subjek
menganggap bahwa semua adalah diluar
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020 39
kemampuannya untuk mengendalikan. Dengan
kata lain semua yangterjadi adalah takdir.
Keyakinan seperti ini tidak mendukung bagi
terbentuknya resiliensi pada seseorang.
Sebaliknya, resiliensi akan dipengaruhi oleh
keyakinan bahwa semua kesulitan dan
hambatan yang menimpanya masih dalam batas
seseorang untuk mengendalikannya.
Faktor lain yang tidak dimiliki oleh subjek
adalah hubungan yang hangat terutama dari
orang-orang terdekatnya. Kehangatan
emosional tidak subjek dapatkan baik dari
ibunya maupun saudara-saudaranya.
Keseharian ibunya sangat sibuk karena harus
banting tulang bekerja mencari nafkah, tidak
ada waktu bagi ibunya untuk bercengkrama
dengan anak-anaknya. Begitupun dengan
saudara-saudaranya, karena sejak SMP, subjek
tidak dirumah, subjek sekolah dipondok
pesantren yang jauh dari tempat tinggalnya.
Demikian juga saudara-saudaranya, sudah
memiliki keluarga masing-masing dan tidak
tinggal serumah lagi dengan subjek. Saudara
subjek rata-rata menikah di usia muda.
c. Deret Waktu
Fakta-fakta dan peristiwa yang dialami oleh
subjek terkait dengan aspek-aspek resiliensi dan
indikator dari masing-masing aspeknya termasuk
faktor yang mempengaruhinya dianalisa menurut
urutan terjadinya peristiwa, perilaku, pengalaman
dan lain-lain. Dengan tujuan dapat menggambarkan
dengan jelas fakta, kejadian atau prilaku dari sisi
kedalamannya, rentangnya, interaksi dengan hal
lainnya. Tabel 1. Deret Waktu Resiliensi dan
Faktornya
No
Keterangan
Tahun
1996-
2002
2002-
2008
2008-
2011
2011-
1014
2014-
Sekar
ang
1.
Gambaran resiliensi
a. Ketenangan
b. Ekspresi emosi
positif
c. Hubungan dengan
orang lain
d. Bersikap hati-hati
e. Tidak Impulsive
f. Semangat
g. Mensyukuri
keadaan
h. Memiliki harapan
i. Mudah merasa iba
j. Peduli sesama
k. Inisiatif
menyelessaikan
masalah
l. Kreatif
m. Inovatif
n. Bertanggung
jawab
o. Memotivasi
p. Tidak mudah
menyerah
q. Potensi
r. Modal sukses
s. Pencapaian
t. Sukses Dalam
Kuliah
2
Faktor Resiliensi
A. Internal
Kompetensi sosial
a. Keterampilan
Sosial
b. Empati
Otonomi
a. Konsep diri
positif
b. Self Efficacy
c. Locus of
kontrol
Keterampilan problem
solving
a. Kritis
b. Kreatif
Rasa kebermaknaan
a. Optimism
b. Motivasi
berprestasi
c. Minat terhadap
pekerjaan
tertentu
d. Sstem
keyakinan
Temperamen Supel
B. Eksternal
a. Hubungan yang
hangat
b. Peraturan/batas
an prilaku
c. Dukungan
untuk mandiri
d. Dukungan
untuk
berprestasi
e. Rule Model
Keterangan :
= Perilaku Muncul/dialami/terjadi
= Perilaku tidak muncul/tidak dialami/tidak terjadi
2. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis, maka ditemukan
subjek memiliki resiliensi dalam menghadapi
kemiskinan atau kesulitan ekonomi yang dialaminya.
Hal ini dapat dilihat misalnya dari aspek regulasi
emosi. Subjek menunjukkan sikap tenang. Subjek
memiliki cara tersendiri untuk menghadapi orang-
orang/teman-temannya, rasa malu, rasa capek dan
lain-lain. Sikap tenang yang subjek miliki membuat
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
40 Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020
subjek dapat melakukan banyak hal, misalnya
melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat
mengalihkan perasaannya. Reivich & Shatte (2002)
juga menjelaskan bahwa sikap tenang yang dimiliki
oleh individu akan memudahkan seseorang
mengendalikan emosinya. Ketenangan juga dapat
menjaga tetap fokus walaupun dalam keadaan
banyak gangguan. Dengan sendirinya dapat
mengurangi stress yang mungkin terjadi
Ketika mengalami kekecewaan, kelelahan, atau
tekanan yang lain, subjek meluapkan emosinya
dengan melakukan hal-hal yang membuat dirinya
senang dan melupakan perasaan negatifnya,
misalnya jalan-jalan, makan-makan, atau belanja
barang. Apa yang dilakukannya hanya untuk
mengekpresikan tekanan yang ia rasakan. Menurut
Miranti (2012), individu yang memiliki kemampuan
meregulasi emosi pada seseorang dapat dilihat dari
kemampuannya mengendalikan diri ketika merasa
kesal, mampu mengatasi rasa sedih, cemas, dan
marah, sehingga mempercepat dalam pemecahan
suatu masalah.
Indikator regulasi emosi lainnya yang dimiliki
oleh subjek adalah hati-hati dalam bersikap dan
bertindak, mampu menempatkan diri sesuai dengan
keadaan sehingga subjek mudah diterima oleh orang
lain. Hal ini menunjukkan bahwa subjek mampu
membangun hubungan baik dengan orang lain.
Kemampuan mengembangkan hubungan yang jujur,
saling mendukung dan berkualitas merupakan
indikasi seseorang memiliki resiliensi (Wolin &
Wolin, 1999). Greef (2005) menjelaskan bahwa
mengekspresikan perasaan secara tepat merupakan
bagian dari resiliensi, bahkan Greef menegaskan
bahwa seseorang yang mampu mengekspresikan
emosi baik yang positif maupun negatif merupakan
hal yang sehat karena tidak semua emosi yang
dirasakan harus dikendalikan.
Dalam hal pengendalian impuls, ketika subjek
tidak dapat mencapai cita-citanya/keinginannya,
misalnya berfoto keluarga terutama dengan ayahnya,
membeli printer untuk menyelesaikan tugas
akhirnya, membeli motor, karena selama ini ke
mana-mana naik sepeda. Tetapi keinginan yang
belum tersampaikan tersebut tidak membuat subjek
merasa tertekan. Hal ini menandakan bahwa subjek
mampu menahan keinginannya. Kemampuan
individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan,
kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri,
menurut Reivich & Shatte (2002) adalah ciri dari
pengendalian impuls.
Namun, subjek menunjukkan beberapa prilaku
impulsif. Subjek suka berbicara ceplas ceplos,
berekspresi seolah meremehkan orang lain. Selain itu
sikap impulsif subjek ditunjukkan dengan tidak
mampu menahan diri untuk membeli barang
terutama pakaian, alat kosmetik dan makanan enak.
Jika subjek memiliki uang, maka yang pertama ia
beli adalah barang-barang tersebut, baru yang
lainnya.
Aspek lain dalam resiliensi adalah optimism,
yaitu kemampuan melihat masa depan cemerlang
(Reivich & Shatté, 2002). Subjek memiliki semangat
dalam menjalani kehidupannya saat ini dan
menerima semua keadaan yang diberikan oleh Tuhan
untuknya. Menurut subjek, kesulitan hidup,
kemiskinan yang dialami sejak kecil merupakan
penyebab dirinya memiliki ketangguhan dan
memilki keberanian untuk mengambil resiko,
kekuatan jiwa ini adalah modal bagi subjek untuk
bertahan dan bangkit mengubah keadaan. Subjek
memandang sebuah hambatan, kesulitan dan
penderitaan yang dialami dengan makna positif.
Subjek sangat yakin bahwa kehidupannya akan
berubah, dapat meraih kesuksesan karena subjek
merasa memiliki kemampuan untuk meraih cita-
citanya.
Peterson dan Chang mengungkapkan bahwa
optimisme sangat terkait dengan karakteristik yang
diinginkan oleh individu, kebahagiaan, ketekunan,
prestasi dan kesehatan. Individu yang optimis
percaya bahwa situasi yang sulit suatu saat akan
berubah menjadi situasi yang lebih baik (Siebert,
2005).
Aspek selanjutnya yang menunjukkan sikap
mental resilien adalah kemampuan menganalisa
masalah, terutama faktor penyebanya. Seligman
(Reivich & Shatté, 2002) mengidentifikasikan tiga
gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya
dengan kemampuan causal analysis. Cara berpikir
pertama (saya-bukan saya), secara personal subjek
beranggapan bahwa kesulitan hidup keluarganya,
terutama masalah ekonomi dikarenakan ayahnya
yang tidak bertanggungjawab, menelantarkan
subjek, ibu dan saudara-saudaranya. Subjek bahkan
sering merasa kesal dengan ulah ayahnya. Dalam tipe
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020 41
berpikir kedua yakni dimensi permanen (selalu-tidak
selalu), subjek meyakini bahwa penderitaan tidak
akan selamanya, kegagalan, kesulitan pasti akan
berakhir. Cara berpikir ketiga dalam menganalisa
masalah adalah pervasive (semua-tidak semua).
Dalam hal ini subjek menganggap bahaya semua
orang memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Semua
orang pasti punya masalah. Hanya saja masalahnya
berbeda-beda. Sehingga subjek merasa bisa
menghadapi kesulitan hidupnya karena tidak hanya
dia yang mengalaminya. Dan tidak selamanya
manusia itu kehidupannya akan menderita. Hidup
ibarat roda yang terus berputar. Subjek yakin bahwa
suatu saat roda kehidupannya akan berputar kearah
kesuksesan.
Kemampuan resilien pada subjek juga dapat
terlihat pada aspek empati yang ditandai dengan
kepedulian pada sesama dan sikap sosial yang tinggi.
Dalam hal ini subjek memiliki kepeduian pada
sesama dengan ditandai mudahnya merasa iba pada
orang lan yang kesusahan dan merasa jengkel pada
orang yang tidak memiliki perasaan yakni yang
memperlakukan orang lan tidak semestinya.
Indikator sikap sosial yang tinggi di tunjukkan
dengan tindakannya membantu orang lain dengan
cara menyisihkan uang dari hasil kerjanya untuk
diberikan pada orang yang kurang beruntung. Selain
itu subjek juga menunjukkan kepeduliannya tidak
hanya dalam bentuk materi tetapi dalam bentuk lain
seperti memberikan bimbingan belajar bagi anak-
anak yang orangtuanya kurang mampu. Perasaan
yang sensitif dan ringan tangan membantu kesusahan
orang lain adalah indikator empati sebagaimana
dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002) bahwa
empati adalah kemampuan untuk merasakan
perasaan orang lain, simpatik, dan mencoba
menyelesaikan masalah.
Aspek resiliensi lainnya adalah Self-efficacy.
Self-efficacy yang tinggi akan sangat mudah dalam
menghadapi tantangan. Individu tersebut tidak
merasa ragu karena memiliki kepercayaan yang
penuh dengan kemampuan dirinya (Bandura, 1994).
Subjek memiliki indikasi memiliki self efficacy yang
baik. Hal ini ditandai dengan inisiatif menyelesaikan
masalahnya sendiri dengan melakukan dan usaha
tanpa mengenal lelah dengan mencoba berbagai
pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Mulai dari
berjualan, bekerja sebagai buruh, sampai pekerjaan
yang membutuhkan keahlian misalnya mengajar.
Selain inisiatif, subjek juga kreatif mencari alternatif
pekerjaan mulai dari buruh kasar sampai pekerjaan
yang memerlukan keahlian. Dikatakan oleh Wolin &
Wolin (1999) bahwa seorang individu yang resilien
mampu secara kreatif menggunakan apa yang
tersedia untuk pemecahan masalah dalam situasi
sumber daya yang terbatas. Selain itu, bentuk-bentuk
kreativitas juga terlihat dalam minat, kegemaran,
kegiatan kreatif dari imajinatif.
Aspek terakhir yang dimiliki subjek adalah
kemampuan untuk mewujudkan impiannya untuk
kuliah dan meraih prestasi akademik dalam
kuliahnya. Kemampuan individu untuk meraih hal-
hal positif dalam kondisi sangat menekan di seebut
reaching out atau pencapaian. Sebagaimana
dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002) bahwa
reaching out merupakan kemampuan individu keluar
dan meraih aspek positif dari kehidupan setelah
musibah yang menimpa. Subjek bahkan mampu
memotivasi orang lain untuk bersungguh-sunggu
dalam belajar, tidak menyia-nyiakan kesempatan dan
kemudahan dalam hidup. Subjek memotivasi agar
tidak selalu berpangku tangan dan menghabiskan
waktu dengan hal-hal yang tidak berguna.
Mengapa subjek memiliki sikap mental yang
resilien dalam menghadapi kemiskinan? berdasarkan
hasil analisis studi kasus terutama hasil analisis deret
waktu dapat terlihat bahwa secara internal subjek
memiliki kepercayaan diri yang tinggi karena konsep
diri yang positif, dan sejak kecil pula subjek
memiliki kepribadian riang dan supel, mudah
bergaul. Hal-hal tersebut adalah modal internal yang
mempengaruhi resiliensi subjek.
Secara eksternal, subjek dari kecil dididik oleh
ibunya dengan aturan dan norma-norma agama
sehingga memiliki batasan dalam bertindak dan
perilakunya terarah. Faktor lainnya yang
mempengaruhi kesuksessan subjek menjadi
mahasiswa berprestasi ditengah kemiskinan adalah
faktor keluarga, yaitu ibunya yang sejak subjek kecil
banting tulang menghidupi ketujuh anaknya. Subjek
merasa kasihan pada ibunya sehingga bertekad untu
dapat mengubah keadaan dengan melanjutkan
pendidikan setinggi mungkin dengan harapan
mendapatkan penghidupan yang layak. Menurut
Everall (2006), keterikatan para anggota keluarga
amat berpengaruh dalam pemberian dukungan
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
42 Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020
terhadap anggota keluarga yang mengalami kesulitan
untuk dapat bertahan dan memperbaiki kehidupan
bersama. Untuk mencapai resiliensi dibutuhkan
individu yang signifikan untuk membantu
pencapaiannya, salah satunya adalah keluarga.
Individu tidak akan mampu mencapai resiliensi
seorang diri (Nasiton, 2011). Individu yang
significan bagi subjek adalah ibunya, dialah yang
selalui memotivasi subjek untuk mandiri. Namun
dalam hal kedekatan secara emosional dengan
ibunya sebenarnya tidak dirasakan oleh subjek,
karena ibunya sibuk bekerja berjualan, jarang
beriteraksi dengan subjek. Selain itu sejak SMP
subjek sudah sekolah dipodok pesantren. Ada sosok
lain yang berpengaruh dalam kehidupannya tapi
bukan keluarga, yaitu kepala sekolah ketika Sekolah
Dasar. Subjek merasa memilki ayah karena kepala
sekolah tersebut memperlakukan subjek seperti
anaknya. Kepala sekolah ini juga menjadi role model
bagi subjek dalam belajar dan bekerja.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
mahasiswa memiliki resiliensi dalam menghadapi
kesulitan ekonomi yang ditandai dengan kemampuan
dalam regulasi emosi, self efficacy yakni memiliki
inisiatif, mampu menyelesaikan masalah, kreatif dan
bertanggung jawab. Subjek juga memiliki sikap
optimisme, mampu berpikir dan menganalisa
masalah, memiliki motivasi berprestasi, mampu
mengenali potensi diri, memiliki modal kesuksean
dan telah memiliki pencapaian dal hidupnya yang
salah satunya adalah prestasi akademik. Faktor yang
mempengaruhi resiliensi mahasiswa yang
mengalami kesulitan ekonomi adalah faktor internal
berupa, keterampilan sosial, empati, konsep diri
positif, self-efficacy dan self esteem, memiliki rasa
kebermaknaan yakni optimis, motivasi, minat,
sistem keyakinan dan karakter yang humoris.
Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh
dukungan keluarga dan teman, norma keluarga dan
rule model
Daftar Pustaka
Buck, R., & Deutsch, J. (2014). Effects of poverty on
education. Journal of Human Sciences, 11(2),
1139–1148.
Crosnoe, R., Mistry, R. S., & Elder Jr, G. H. (2002).
Economic disadvantage, family dynamics, and
adolescent enrollment in higher education.
Journal of marriage and family, 64(3), 690–
702.
Everall, R. D., Altrows, K. J., & Paulson, B. L.
(2006). Creating a future: A study of resilience
in suicidal female adolescents. Journal of
Counseling & Development, 84(4), 461–470.
Greef, A. (2005). Resilience: Personal Skills for
Effective Learning. UK: Crown House
Publishing Ltd.
Juby, C., & Rycraft, J. R. (2004). Family
preservation strategies for families in poverty.
Families in Society, 85(4), 581–587.
Karini, P. (2018). Pengaruh Tingkat Kemiskinan
Terhadap Angka Partisipasi Sekolah Usia 16—
18 Tahun di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. AL-ISHLAH: Jurnal Pendidikan,
10(1), 103–115.
McLoyd, V. C. (1990). The impact of economic
hardship on Black families and children:
Psychological distress, parenting, and
socioemotional development. Child
development, 61(2), 311–346.
Milioni, M., Alessandri, G., Eisenberg, N.,
Castellani, V., Zuffianò, A., Vecchione, M., &
Caprara, G. V. (2015). Reciprocal relations
between emotional self‐efficacy beliefs and
ego‐resiliency across time. Journal of
personality, 83(5), 552–563.
Nasiton, S. (2011). Resiliensi Daya Pegas
Menghadapi Trauma Kehidupan. Medan: USU
Press.
Niaz, U. (2006). Role of faith and resilience in
recovery from psychotrauma. Pakistan journal
of medical sciences, 22(2), 204.
Orthner, D. K., Jones‐Sanpei, H., & Williamson, S.
(2004). The resilience and strengths of low‐
income families. Family relations, 53(2), 159–
167.
Rasyid, M., & Suminar, D. R. (2012). Hubungan
antara peer attachment dengan regulasi emosi
remaja yang menjadi siswa di boarding school
SMA Negeri 10 Samarinda. Jurnal psikologi
pendidikan dan perkembangan, 1(3), 1–7.
Reivich, K., & Shatté, A. (2002). The resilience
faktor: 7 essential skills for overcoming life’s
inevitable obstacles. Broadway books.
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020 43
Setyowati, A., Hartati, S., & Sawitri, D. R. (2010).
Hubungan Antara Kecerdasan Emosional
Dengan Resiliensi Pada Siswa Penghuni
Rumah Damai. Jurnal Psikologi, 7(1), 67–77.
Tugade, M. M., & Fredrickson, B. L. (2004).
Resilient individuals use positive emotions to
bounce back from negative emotional
experiences. Journal of personality and sosial
psychology, 86(2), 320.
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
44 Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020