ArticlePDF Available

Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus

Authors:

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gambaran resiliensi mahasiswa yang mengalami kesulitan ekonomi dan faktor yang mempengaruhi. Jenis penelitian ini kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subjek penelitian adalah seorang mahasiswa yang mengalami kesulitan ekonomi tetapi berprestasi akademik sebagai sumber primer dan seorang teman dekat subjek dan saudara kandung subjek sebagai sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Data dianalisa menggunakan teknik analisis studi kasus menurut Robert K Yin yang terdiri dari penjodohan pola, eksplanasi dan deret waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki resiliensi dalam menghadapi kesulitan ekonomi yang ditandai dengan kemampuan regulasi emosi, self efficacy yakni memiliki inisiatif, mampu menyelesaikan masalah, kreatif dan bertanggung jawab, optimis, mampu menganalisa masalah, memiliki motivasi berprestasi, mampu mengenali potensi diri, memiliki modal kesuksean dan telah memiliki pencapaian (prestasi akademik). Faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah faktor internal berupa, keterampilan sosial, empati, konsep diri positif, self-efficacy dan self esteem, memiliki rasa kebermaknaan yakni optimism, motivasi, minat, sistem keyakinan dan karakter yang humoris. Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh dukungan keluarga dan teman, norma keluarga dan rule model.resiliensi, kemiskinan, mahasiswa
Intizar
Vol. 26, No. 1, Juni 2020
Website: http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar
ISSN 1412-1697, e-ISSN 2477-3816
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
Manah Rasmanah
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Indonesia, manahrasmarah_uin@radenfatah.ac.id
DOI: doi.org/10.19109/intizar.v26i1.5106
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gambaran resiliensi mahasiswa yang mengalami kesulitan ekonomi dan faktor
yang mempengaruhi. Jenis penelitian ini kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subjek penelitian adalah seorang
mahasiswa yang mengalami kesulitan ekonomi tetapi berprestasi akademik sebagai sumber primer dan seorang teman
dekat subjek dan saudara kandung subjek sebagai sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara dan observasi. Data dianalisa menggunakan teknik analisis studi kasus menurut Robert K Yin yang
terdiri dari penjodohan pola, eksplanasi dan deret waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki
resiliensi dalam menghadapi kesulitan ekonomi yang ditandai dengan kemampuan regulasi emosi, self efficacy yakni
memiliki inisiatif, mampu menyelesaikan masalah, kreatif dan bertanggung jawab, optimis, mampu menganalisa masalah,
memiliki motivasi berprestasi, mampu mengenali potensi diri, memiliki modal kesuksean dan telah memiliki pencapaian
(prestasi akademik). Faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah faktor internal berupa, keterampilan sosial, empati,
konsep diri positif, self-efficacy dan self esteem, memiliki rasa kebermaknaan yakni optimisme, motivasi, minat, sistem
keyakinan dan karakter yang humoris. Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh dukungan keluarga dan teman, norma
keluarga dan rule model.
Kata Kunci: Resiliensi, Kemiskinan, Mahasiswa
Abstract
This study aims to uncover the picture of resilience of students who experience economic difficulties and influencing
faktors. This type of research is qualitative with a case study approach. The subject of the study was a student who was
experiencing economic difficulties but had academic achievements as a primary source and a close friend of the subject
and siblings of the subject as a source of secondary data. Data collection techniques used were interviews and observation.
Data were analyzed using a case study analysis technique according to Robert K Yin which consisted of pattern matching,
explanation and time series. The results showed that students have resilience in the face of economic difficulties marked
by the ability of emotional regulation, self efficacy that is having initiative, being able to solve problems, being creative
and responsible, optimistic, being able to analyze problems, having achievement motivation, being able to recognize self
potential, having capital success and have had achievements (academic achievements). Faktors that influence resilience
are internal faktors such as sosial skills, empathy, positive self-concept, self-efficacy and self esteem, which have a sense
of meaningfulness namely optimism, motivation, interest, belief systems and humorous character. While external faktors
are influenced by the support of family and friends, family norms and rule models.
Keywords: Resilience, Poverty, Student
Pendahuluan
Bagi masyarakat miskin, kehidupan merupakan
suatu perjuangan yang tidak ada habisnya (Juby &
Rycraft, 2004). Karena keluarga miskin cenderung
memusatkan tenaganya untuk memperbaiki kondisi
keuangan dari pada hubungan dalam keluarga atau
pengasuhan (Orthner, Jones‐Sanpei, & Williamson,
2004). Hidup dalam kemiskinan juga dapat
meningkatkan
sumber stress keluarga, khususnya
orang tua dan dapat berpengaruh pada sensitivitas
keterlibatan pengasuhan yang bisa mengakibatkan
putus asa pada anak (McLoyd, 1990), dan juga stress
keluarga akibat kemiskinan ini secara tidak langsung
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
34 Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020
dapat mempengaruhi ketidakstabilan interaksi dalam
rumah tangga.
Tekanan keluarga miskin terkait keterbatasan
ekonomi secara tidak langsung juga dapat
mempengaruhi persepsi orang tua terkait pendidikan
bagi anaknya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Ronald Buck & Joe Deutsch (2014) menjelaskan
bahwa masyarakat miskin baik di perkotaan maupun
di pedesaan menghadapi banyak masalah, misalnya
hunian yang tidak layak, akses terhadap layanan
profesional sangat rendah termasuk pendidikan.
Pendidikan yang cenderung rendah disebabkan
berbagai alasan, karena kemiskinan merupakan
siklus masalah yang luas dan kompleks yang dapat
mempengaruhi berbagai kehidupan seseorang.
Dalam penelitian Pilih Karini (2018) menjelaskan
bahwa angka partisipasi sekolah ada hubungannya
dengan kemiskinan. Penelitian yang mengambil
lokasi di provinsi Kepulauan Bangka Belitung,
dengan melihat perkembangan dari tahun 2012
hingga 2016, memberi kesimpulkan bahwa semakin
turun angka kemiskinan semakin naik angka
partisipasi sekolah.
Namun tidak dipungkiri akan ada banyak
tantangan yang harus dihadapi baik dari segi
finansial dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
dan kebutuhan mendadak lainnya maupun dari segi
akademik. Hal ini dikarenakan pemenuhan
kebutuhan tersebut dapat mempengaruhi
kemampuan bertahan dan penyesuaian diri di
lingkungan kampus. Apalagi pada kehidupan remaja
akhir menuju dewasa awal, dimana pada masa itu
individu harus siap menghadapi tantangan serta
kemandirian dalam mengatur hidupnya, seperti
contoh individu yang akan memulai kuliah ataupun
mulai masuk di dunia kerja, mereka harus hidup
mandiri atau jauh dari orang tua, atau hidup dengan
pasangannya. Dalam proses tersebut terkadang ada
proses yang mengganggu dalam keseimbangan
lingkungan sosial remaja. Pada dewasa awal ini
diharapkan bisa menjadi pribadi yng lebih mandiri
dan dapat menempatkan diri di posisi mereka di
masyarakat. Dengan begitu, fase remaja akhir ini
meruapakn fase yang tepat untuk mengetahui sejuh
mana resiliensi yang dimilikinya dalam menjalani
kehidupan terutama remaja dalam kondisi-kondisi
beresiko (Milioni et al., 2015). Namun Crosnoe
(2002) menyatakan bahwa terdapat banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak dari
keluarga miskin dan berstatus ekonomi rendah
ternyata mampu mengikuti pendidikan akademik di
sekolah meskipun mereka memiliki keterbatasan
sumber ekonomi dalam keluarganya. Dan seseorang
yang mampu bertahan dalam segala tekanan dalam
hidupnya ini disebut individu yang memiliki resilien
(Setyowati, Hartati, & Sawitri, 2010).
Optimis, keyakinan terhadap pemahaman
kontrol diri akan lebih memiliki dukungan sosial,
atau menjadi lebih efektif dalam pengerahan selama
stress (Taylor, 2000). Optimis, pemahaman akan
kontrol diri, dan self esteem berhubungan dengan
usaha pemecahan masalah secara aktif (Taylor,
2000), yang memungkinkan individu untuk berhati-
hati atau mengimbangi peristiwa yang menekan
sebelum seluruh implikasinya terasa.
Kemampuan itu untuk menanggulangi secara
aktif dan proaktif dengan menghargai waktu dan
kesempatan, akan meminimalkan pengaruh
psikologis yang merugikan dari stress. Mood,
depresi, perilaku yang sehat, dan hal lain yang secara
potensial mendukung faktor psikososial,
menjelaskan hubungan antara proses kognitif,
pencarian makna, dan perkembangan kesulitan
hidup. Banyak fakta yang menyebutkan bahwa
kemampuan untuk mancari makna dalam peristiwa
yang menekan atau traumatis, termasuk penederitaan
akibat kesulitan ekonomi, biasanya memberikan
penyesuaian psikologis (Taylor, 2000).
Banyak fakta mengindikasikan bahwa dampak
positif dari peristiwa yang menekan atau kesulitan
hidup adalah kemampuan seseorang dalam
memaknai hidup, terlatih untuk memecahan masalah
dengan lebih baik, meningkatkan kemampuan sosial,
mampu menentukan skala prioritas dan menghargai
hubungan sosial (Taylor, 2000). Dampak positif ini
dapat terjadi jika respon individu terhadap kesulitan
atau peristiwa yang menekan, tanpa keputusasaan,
depresi, dan kehilangan tujuan atau makna.
Secara umum, pemahaman positif tentang diri,
pemahaman akan kontrol diri, dan optimis melihat
masa depan, merupakan sumber daya yang tidak
hanya membantu seseorang menghadapi kesulitan
dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga di
asumsikan mampu mengatasi keadaan yang sangat
menekan bahkan mengancam jiwa (Taylor, 2000).
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020 35
Pada kasus penderitaan akibat kemiskinan atau
kesulitan ekonomi, sumberdaya tersebut adalah
sebagai penyangga melawan kenyataan kesulitan
memenuhi kebutuhan hidup, di mana individu
menghadapi berbagai pengalaman tidak hanya
dengan sumber psikologis yang berguna, tetapi juga
dengan sumber resiliensi.
Resiliensi mempunyai pengertian sebagai suatu
kemampuan untuk bangkit kembali (to bounce back)
dari pengalaman emosi negatif dan kemampuan
untuk beradaptasi secara fleksibel terhadap tuntutan-
tuntutan yang terus berubah dari pengalaman-
pengalaman stress (Tugade & Fredrickson, 2004).
Seseorang yang memiliki kemampuan resiliensi
memiliki penerimaan diri yang mendalam tentang
diri sendiri maupun situasi personal secara positif
dan mampu memaknai dengan baik peristiwa
hidupnya.
Resiliensi ditandai dengan beberapa hal, yaitu:
kemampuan seorang individu untuk bangkit kembali
dari tekanan hidup, belajar dan mencari elemen
positif dari lingkungannya untuk membantu
kesuksesan proses beradaptasi dengan segala
keadaan dan mengembangkan seluruh
kemampuannya, walau berada dalam kondisi hidup
tertekan, baik secara eksternal atau internal (Niaz,
2006).
Mackay dan Iwasaki menyatakan bahwa
individu yang memiliki kemampuan resilien, sebagai
berikut: (a) Mampu menentukan apa yang
dikehendaki dan tidak terseret dalam lingkaran
ketidakberdayaan; (b) Mampu meregulasi berbagai
perasaan terutama perasaan negatif yang timbul
akibat pengalaman traumatik; dan (c) Mempunyai
pandangan atau kemampuan melihat masa depan
dengan lebih baik (Yu & Zhang, 2007).
Dari beberapa penjelasan tersebut dapat
dikemukakan bahwa individu dengan resiliensi yang
baik mampu menghadapi masalah dengan baik,
mampu mengontrol diri, mampu mengelola stress
dengan baik dengan mengubah cara berpikir ketika
berhadapan dengan stres. Resiliensi memungkinkan
individu untuk tetap fokus pada persoalan yang
sesungguhnya, dan tidak menyimpang ke dalam
perasaan dan pikiran yang negatif, sehingga individu
bisa mengatasi resiko depresi dan banyak tantangan.
Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu
yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu
dapat berubah menjadi lebih baik. Individu
mempunyai harapan terhadap masa depan dan
percaya bahwa individu dapat mengontrol arah
kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih
sehat dan mengurangi kemungkinan menderita
depresi. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon
secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan
kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk
mengelola tekanan hidup sehari-hari (Reivich &
Shatté, 2002).
Dalam kenyataannya, tidak semua individu
memiliki kemampuan resiliensi, tidak sedikit yang
gagal untuk bertahan ditengah kesulitan dan tekanan
hidup, terlebih lagi hidup di zaman teknologi
globalisasi seperti sekarang ini di mana gaya hidup
materialism, hedonism dan konsumerism sangat
kuat. Kemiskinan atau kesulitan ekonomi dapat
menjadi stressor tersendiri karena tidak dapat
memenuhi segala tuntutan lingkungan. Semakin
sedikitnya individu yang mampu menghadapi,
bertahan dan bangkit dari penderitaan akibat
kesulitan ekonomi terlebih sebagai mahasiswa di era
yang serba materialism, mengangkat kasus resilien
mahasiswa dalam konteks di atas menjadi signifikan.
Untuk itu penelitian ini hendak menggali secara
mendalam bagaimana resiliensi mahasiswa yang
mengalami kemiskinan atau kesulitan ekonomi,
sumber daya apa saja yang dimiliki dan faktor yang
mempengaruhi kemampuan untuk resilien.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan
pendekataan studi kasus. Pendekatan ini digunakan
dengan alasan adalah untuk mendapatkan
pemahaman secara utuh dan terintegrasi tentang
suatu fenomena yang terjadi pada individu tertentu.
Terkait dengan fenomena yang ada, penelitian ini
memiliki unit analisis yaitu resiliensi pada mahasiwa
yang mengalami kesulitan ekonomi. Subjek
penelitian ini adalah salah satu mahasiswa program
studi Bimbingan Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah
dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Raden
Fatah Palembang, memiliki prestasi akademik,
berasal dari keluarga miskin dan broken home.
Ditambah dengan sumber data pendukung yaitu
teman dekat dan keluarga. Teknik pengumpulan data
menggunakan wawancara mendalam dan observasi
partisipasi. Data kemudian dianalisa dengan teknik
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
36 Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020
studi kasus yaitu, penjodohan pola, eksplanasi dan
deret waktu.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Hasil Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran mendalam
tentang resiliensi subjek dan faktor yang
mempengaruhinya, peneliti melakukan wawancara
dan observasi partisipatif, di mana peneliti
beraktivitas bersama subjek misalnya ketika subjek
mengajar baik di bimbingan belajar maupun di
rumah. Data hasil wawancara dan observasi
kemudian dianalisa menggunakan teknik studi kasus
yakni penjodohan pola, eksplanasi dan deret waktu.
Tiga tahap analisa tersebut mengasilkan
gambaran resiliensi subjek dengan jelas. Berikut
adalah tiga tahapan dimaksud:
a. Penjodohan Pola
1) Gambaran resiliensi mahasiswa yang
mengalami kesulitan ekonomi
Resiliensi Prediksi Resiliensi Empiris
Gambar 1. Penjodohan Pola Resiliensi
Mahasiswa yang Mengalami Kesulitan
Ekonomi
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat dan
disimpulkan bahwa subjek memiliki
kemampuan resiliensi yang baik dalam
menghadapi kesulitan ekonomi, meskipun ada
beberapa aspek dari resiliensi yang rendah.
Aspek yang di cetak tebal dan tidak ditandai
dengan panah menandakan indikator rendah
atau tidak dimiliki oleh subjek. Dari tujuh aspek
resiliensi yang diungkap, enam di antaranya
dimiliki dengan baik oleh subjek yaitu regulasi
emosi, optimisme, analisis kasus, empati, self
efficacy dan reaching out. Satu indikator dari
self efficacy yakni inovatif tidak dimiliki oleh
subjek.
2) Faktor yang mempengaruhi resiliensi
mahasiswa dalam mengalami kesulitan
ekonomi
Faktor Prediksi Faktor Empiris
Gambar 2. Penjodohan Pola Faktor Yang
Mempengaruhi Resiliensi
Kesimpulan yang dapat diambil dari
perbandingan pola yang diprediksikan dengan
pola yang berasal dari data empiris adalah
bahwa sebagian besar faktor-faktor sebagai
sumber resiliensi baik internal maupun
eksternal dimiliki oleh subjek. Faktor yang
berasal dari internal adalah keterampilan sosial,
empati, konsep diri positif, yakin akan
kemampuan diri, keterampilan memecahkan
masalah, optimis, memiliki motivasi
berprestasi, memiliki hobi, sistem keyakinan
dan temperamen yang supel. Faktor resiliensi
yang berasal dari eksternal adalah memiliki
batasan perilaku, dukungan dari keluarga untuk
mandiri, dukungan dari komunitas untuk
berprestasi dan memiliki role model. Sementara
itu locus of kontrol dan hubungan yang hangat
tidak menjadi faktor yang mempengaruhi
resiliensi subjek.
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020 37
b. Eksplanasi
1) Resiliensi mahasiswa yang mengalami
kesulitan ekonomi
Berikut adalah gambaran aspek resiliensi
yang nampak pada diri subjek penelitian, yang
diperoleh dari hasil wawancara dan observasi.
Dalam aspek regulasi emosi, subjek
menunjukkan ketenangan, kemampuan
mengelola perasaannya dan mampu
mengekspresikan emosi secara positif, subjek
juga memiliki hubungan yang baik dan bisa
diterima oleh orang lain khususnya teman-
temanya. Selain itu subjek juga memiliki
kontrol diri yang baik dengan menunjukkan
sikap kehati-hatian dalam bersikap dan
bertindak. Subjek dapat menempatkan diri
sesuai dengan keadaan dan dengan siapa subjek
berinteraksi.
Dalam aspek pengendalian impuls. Subjek
menunjukkan dorongan perilaku tertentu untuk
mengekspresikan tekanan dan menahan
keinginan yang belum tercapai. Impuls yang
muncul adalah berbicara ceplas ceplos, ekspresi
yang merendahkan orang lain. dan melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan keadaan.
Misalnya, dorongan untuk memiliki barang-
barang berharga, diantaranya pakaian yang
mahal, makan yang enak. Dan dorongan itu
sering subjek lakukan.
Selanjutnya gambaran resiliensi subjek
dalam aspek optimisme adalah ditandai dengan
semangat dalam menjalankan aktifitas baik
dalam belajar maupun bekerja mencari uang
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hari-
harinya disibukkan dengan berbagai aktifitas,
bekerja dan belajar. Optimisme subjek juga
ditandai dengan rasa syukur dengan keadaan
walaupun dengan segala keterbatasan yang ada.
Syukur itu muncul dari interaksinya dengan
masyarakat sekitar tempat kontrakan subjek
yang banyak mengalami kesulitan hidup.
Subjek juga sering menyaksikan tayangan
ditelevisi yang mengisahkan kehidupan orang-
orang yang kurang beruntung. Hal ini
memberikan kelegaan bagi subjek karena
ternyata masih banyak orang lain yang lebih
susah dibanding dirinya. Dalam hal harapan
sebagai indikator optimisme, subjek memiliki
harapan yang sangat kuat bahwa kehidupannya
pasti akan berubah. Subjek banyak terinpirasi
dari kisah-kisah yang ia saksikan di televisi
maupun yang ia baca. Kisah-kisah tersebut
mengubah persepsinya tentang kesuksesan,
bahwa keberhasilan itu dimulai dengan
penderitaan, sehingga penderitaannya yang ia
alami menjadi titik balik yang melahirkan
harapan.
Aspek selanjutnya yang mengindikasikan
resiliensi pada diri subjek adalah
kemampuannya menganalisa masalah, yang
ditandai kengan tiga cara berpikir eksplanatori.
Cara berpikir pertama (saya-bukan saya), secara
personal subjek beranggapan bahwa kesulitan
hidup keluarganya, terutama masalah ekonomi
dikarenakan ayahnya yang tidak
bertanggungjawab, menelantarkan subjek, ibu
dan saudara-saudaranya. Subjek bahkan sering
merasa kesal dengan ulah ayahnya. Dalam tipe
berpikir kedua yakni dimensi permanen (selalu-
tidak selalu), subjek meyakini bahwa
penderitaan tidak akan selamanya, kegagalan,
kesulitan pasti akan berakhir. Cara berpikir
ketiga dalam menganalisa masalah adalah
pervasive (semua-tidak semua). Dalam hal ini
subjek menganggap bahaya semua orang
memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Semua
orang pasti punya masalah. Hanya saja
masalahnya berbeda-beda. Sehingga subjek
merasa bisa menghadapi kesulitan hidupnya
karena tidak hanya dia yang mengalaminya.
Kemampuan resilien pada subjek juga
dapat terlihat pada aspek empati yang ditandai
dengan kepedulian pada sesama dan sikap sosial
yang tinggi. Dalam hal ini subjek memiliki
kepedulian pada sesama dengan ditandai
mudahnya merasa iba pada orang lan yang
kesusahan dan merasa jengkel pada orang yang
tidak memiliki perasaan yakni yang
memperlakukan orang lan tidak semestinya.
Indikator sikap sosial yang tinggi di tunjukkan
dengan tindakannya membantu orang lain
dengan cara menyisihkan uang dari hasil
kerjanya untuk diberikan pada orang yang
kurang beruntung. Selain itu subjek juga
menunjukkan kepeduliannya tidak hanya dalam
bentuk materi tetapi dalam bentuk lain seperti
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
38 Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020
memberikan bimbingan belajar bagi anak-anak
yang orang tuanya kurang mampu.
Aspek lain dari resiliensi adalah self-
efficacy, yakni kemampuannya memecahkan
masalah atau menghadapi kesulitan. Aspek ini
ditandai dengan inisiatif dalam menyelesaikan
masalah, kreatif, inovatif dan bertanggung
jawab. Semua indikator self-efficacy tersebut
dimiliki oleh subjek kecuali indikator inovatif.
Dalam upayanya memenuhi kebutuhan sehari-
hari dan biawa kuliah, subjek sudah pernah
mengalami pekerjaan dalam berbagai macam
mulai dari pejual es keliling, pembantu rumah
tangga, penjual gorengan, pencuci piring
dirumah makan/kantin, karyawan di took ATK,
mengajar di sekolah diniyah Muhammadiyah,
les privat mengaji, subjek juga mencoba bisnis
online, yakni memasarkan salah satu produk
kosmetik.
Aspek terakhir dari resiliensi adalah
kemampuan untuk bangkit dari penderitaan
(reaching out) yang ditandai dengan
kemampuannya memotivasi diri dan orang lain,
tidak mudah menyerah, memiliki potensi dan
modal sukses, memiliki pencapaian dan
kesuksesan. Subjek dengan penuh percaya diri
sering memberi motivasi kepada teman-
temannya yang sedang mengalami masalah.
Subjek juga sering menasehati anak-anak
didiknya di sekolah ataupun anak-anak yang les.
Subjek memiliki mental juang yang tinggi,
mental juang ini diperoleh subjek dari
pengalaman hidupnya sejak kecil yang harus
bekerja sendiri untuk mendapatkan apa saja
yang ia inginkan. Termasuk keinginan yang
bersifat primer misalnya pakaian. Selain itu
subjek terlihat sangat percaya diri, dia menilai
dirinya positif sehingga penampilannya
meyakinkan. Subjek juga mampu mengenali
potensi yang dimiliki, subjek mengaku bahwa ia
dapat berkomunikasi dengan lancar, dapat
menyampaikan gagasan dengan baik, memiliki
sence of humor (rasa humor), lancar dan fasih
membaca Al-Qur’an.
Kemampuan untuk bangkit juga ditandai
dengan pencapaian-pencapaian terhadap apa
yang ia inginkan. Pencapaian yang terpenting
adalah keinginannya untuk kuliah telah
diperoeh. Subjek sekarang adalah mahasiswa
semester 8 program studi Bimbingan
Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Raden Fatah Palembang yang
sedang menyelesaikan tugas akhir. Keinginan
lain yang telah dicapai adalah subjek dapat
membel sepeda sendiri, membeli pakaian yang
bagus dan kebutuhan lainnya.
Sukses dalam kuliah sebagai indikator
kemampuan untuk bangkit juga ditunjukkan
oleh subjek dengan prestasi akademik yang
tinggi. Rata-rata IPK Tia semester di atas 3,5.
Selain itu subjek dapat menyelesaikan semua
tugas perkuliahannya dengan baik sesuai
dengan waktu yang ditentukan.
2) Faktor yang mempengaruhi resiliensi
mahasiswa yang mengalami kesulitan
ekonomi
Secara internal, banyak faktor yang
dimiliki oleh subjek sehingga subjek mampu
menghadapi segala kesulitan hidupnya dan
mampu menyelesaikannya. Faktor internal yang
dimaksud adalah faktor yang berasal dari dalam
diri subjek. yaitu kompetensi sosial di mana
subjek memiliki keterampilan sosial dalam
bentuk keterampilan berkomunikasi dan
berinteraksi. Subjek mampu bergaul dengan
baik dan diterima oleh orang lain. selain itu
subjek juga memiliki sikap empati yang baik.
Sikap empati ini ditandai dengan mudahnya
merasa iba melihat orang lain yang kesusahan,
menyisihkan sebagian uangnya secara rutin
untuk diberian pada orang yang membutuhkan
dan membatu anak-anak dari keluarga yang
tidak mampu dengan memberikan bimbingan
belajar.
Berdasarkan perbandingan antara pola
prediksi dengan pola yang berasal dari data
empiris di atas, dapat terlihat bahwa hanya
beberapa saja faktor yang tidak dimiliki oleh
subjek, yaitu aspek otonomi yang berasal dari
faktor internal berupa faktor pengendalian oleh
individu dan aspek hubungan yang hangat
dengan orang lain yang berasal dari faktor
eksternal.
Tidak dimilikinya faktor pengendalian oleh
individu yang dimaksud adalah subjek
menganggap bahwa semua adalah diluar
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020 39
kemampuannya untuk mengendalikan. Dengan
kata lain semua yangterjadi adalah takdir.
Keyakinan seperti ini tidak mendukung bagi
terbentuknya resiliensi pada seseorang.
Sebaliknya, resiliensi akan dipengaruhi oleh
keyakinan bahwa semua kesulitan dan
hambatan yang menimpanya masih dalam batas
seseorang untuk mengendalikannya.
Faktor lain yang tidak dimiliki oleh subjek
adalah hubungan yang hangat terutama dari
orang-orang terdekatnya. Kehangatan
emosional tidak subjek dapatkan baik dari
ibunya maupun saudara-saudaranya.
Keseharian ibunya sangat sibuk karena harus
banting tulang bekerja mencari nafkah, tidak
ada waktu bagi ibunya untuk bercengkrama
dengan anak-anaknya. Begitupun dengan
saudara-saudaranya, karena sejak SMP, subjek
tidak dirumah, subjek sekolah dipondok
pesantren yang jauh dari tempat tinggalnya.
Demikian juga saudara-saudaranya, sudah
memiliki keluarga masing-masing dan tidak
tinggal serumah lagi dengan subjek. Saudara
subjek rata-rata menikah di usia muda.
c. Deret Waktu
Fakta-fakta dan peristiwa yang dialami oleh
subjek terkait dengan aspek-aspek resiliensi dan
indikator dari masing-masing aspeknya termasuk
faktor yang mempengaruhinya dianalisa menurut
urutan terjadinya peristiwa, perilaku, pengalaman
dan lain-lain. Dengan tujuan dapat menggambarkan
dengan jelas fakta, kejadian atau prilaku dari sisi
kedalamannya, rentangnya, interaksi dengan hal
lainnya. Tabel 1. Deret Waktu Resiliensi dan
Faktornya
No
Keterangan
Tahun
1996-
2002
2002-
2008
2008-
2011
2011-
1014
2014-
Sekar
ang
1.
Gambaran resiliensi
a. Ketenangan
b. Ekspresi emosi
positif
c. Hubungan dengan
orang lain
d. Bersikap hati-hati
e. Tidak Impulsive
f. Semangat
g. Mensyukuri
keadaan
h. Memiliki harapan
i. Mudah merasa iba
j. Peduli sesama
2
Keterangan :
= Perilaku Muncul/dialami/terjadi
= Perilaku tidak muncul/tidak dialami/tidak terjadi
2. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis, maka ditemukan
subjek memiliki resiliensi dalam menghadapi
kemiskinan atau kesulitan ekonomi yang dialaminya.
Hal ini dapat dilihat misalnya dari aspek regulasi
emosi. Subjek menunjukkan sikap tenang. Subjek
memiliki cara tersendiri untuk menghadapi orang-
orang/teman-temannya, rasa malu, rasa capek dan
lain-lain. Sikap tenang yang subjek miliki membuat
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
40 Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020
subjek dapat melakukan banyak hal, misalnya
melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat
mengalihkan perasaannya. Reivich & Shatte (2002)
juga menjelaskan bahwa sikap tenang yang dimiliki
oleh individu akan memudahkan seseorang
mengendalikan emosinya. Ketenangan juga dapat
menjaga tetap fokus walaupun dalam keadaan
banyak gangguan. Dengan sendirinya dapat
mengurangi stress yang mungkin terjadi
Ketika mengalami kekecewaan, kelelahan, atau
tekanan yang lain, subjek meluapkan emosinya
dengan melakukan hal-hal yang membuat dirinya
senang dan melupakan perasaan negatifnya,
misalnya jalan-jalan, makan-makan, atau belanja
barang. Apa yang dilakukannya hanya untuk
mengekpresikan tekanan yang ia rasakan. Menurut
Miranti (2012), individu yang memiliki kemampuan
meregulasi emosi pada seseorang dapat dilihat dari
kemampuannya mengendalikan diri ketika merasa
kesal, mampu mengatasi rasa sedih, cemas, dan
marah, sehingga mempercepat dalam pemecahan
suatu masalah.
Indikator regulasi emosi lainnya yang dimiliki
oleh subjek adalah hati-hati dalam bersikap dan
bertindak, mampu menempatkan diri sesuai dengan
keadaan sehingga subjek mudah diterima oleh orang
lain. Hal ini menunjukkan bahwa subjek mampu
membangun hubungan baik dengan orang lain.
Kemampuan mengembangkan hubungan yang jujur,
saling mendukung dan berkualitas merupakan
indikasi seseorang memiliki resiliensi (Wolin &
Wolin, 1999). Greef (2005) menjelaskan bahwa
mengekspresikan perasaan secara tepat merupakan
bagian dari resiliensi, bahkan Greef menegaskan
bahwa seseorang yang mampu mengekspresikan
emosi baik yang positif maupun negatif merupakan
hal yang sehat karena tidak semua emosi yang
dirasakan harus dikendalikan.
Dalam hal pengendalian impuls, ketika subjek
tidak dapat mencapai cita-citanya/keinginannya,
misalnya berfoto keluarga terutama dengan ayahnya,
membeli printer untuk menyelesaikan tugas
akhirnya, membeli motor, karena selama ini ke
mana-mana naik sepeda. Tetapi keinginan yang
belum tersampaikan tersebut tidak membuat subjek
merasa tertekan. Hal ini menandakan bahwa subjek
mampu menahan keinginannya. Kemampuan
individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan,
kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri,
menurut Reivich & Shatte (2002) adalah ciri dari
pengendalian impuls.
Namun, subjek menunjukkan beberapa prilaku
impulsif. Subjek suka berbicara ceplas ceplos,
berekspresi seolah meremehkan orang lain. Selain itu
sikap impulsif subjek ditunjukkan dengan tidak
mampu menahan diri untuk membeli barang
terutama pakaian, alat kosmetik dan makanan enak.
Jika subjek memiliki uang, maka yang pertama ia
beli adalah barang-barang tersebut, baru yang
lainnya.
Aspek lain dalam resiliensi adalah optimism,
yaitu kemampuan melihat masa depan cemerlang
(Reivich & Shatté, 2002). Subjek memiliki semangat
dalam menjalani kehidupannya saat ini dan
menerima semua keadaan yang diberikan oleh Tuhan
untuknya. Menurut subjek, kesulitan hidup,
kemiskinan yang dialami sejak kecil merupakan
penyebab dirinya memiliki ketangguhan dan
memilki keberanian untuk mengambil resiko,
kekuatan jiwa ini adalah modal bagi subjek untuk
bertahan dan bangkit mengubah keadaan. Subjek
memandang sebuah hambatan, kesulitan dan
penderitaan yang dialami dengan makna positif.
Subjek sangat yakin bahwa kehidupannya akan
berubah, dapat meraih kesuksesan karena subjek
merasa memiliki kemampuan untuk meraih cita-
citanya.
Peterson dan Chang mengungkapkan bahwa
optimisme sangat terkait dengan karakteristik yang
diinginkan oleh individu, kebahagiaan, ketekunan,
prestasi dan kesehatan. Individu yang optimis
percaya bahwa situasi yang sulit suatu saat akan
berubah menjadi situasi yang lebih baik (Siebert,
2005).
Aspek selanjutnya yang menunjukkan sikap
mental resilien adalah kemampuan menganalisa
masalah, terutama faktor penyebanya. Seligman
(Reivich & Shatté, 2002) mengidentifikasikan tiga
gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya
dengan kemampuan causal analysis. Cara berpikir
pertama (saya-bukan saya), secara personal subjek
beranggapan bahwa kesulitan hidup keluarganya,
terutama masalah ekonomi dikarenakan ayahnya
yang tidak bertanggungjawab, menelantarkan
subjek, ibu dan saudara-saudaranya. Subjek bahkan
sering merasa kesal dengan ulah ayahnya. Dalam tipe
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020 41
berpikir kedua yakni dimensi permanen (selalu-tidak
selalu), subjek meyakini bahwa penderitaan tidak
akan selamanya, kegagalan, kesulitan pasti akan
berakhir. Cara berpikir ketiga dalam menganalisa
masalah adalah pervasive (semua-tidak semua).
Dalam hal ini subjek menganggap bahaya semua
orang memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Semua
orang pasti punya masalah. Hanya saja masalahnya
berbeda-beda. Sehingga subjek merasa bisa
menghadapi kesulitan hidupnya karena tidak hanya
dia yang mengalaminya. Dan tidak selamanya
manusia itu kehidupannya akan menderita. Hidup
ibarat roda yang terus berputar. Subjek yakin bahwa
suatu saat roda kehidupannya akan berputar kearah
kesuksesan.
Kemampuan resilien pada subjek juga dapat
terlihat pada aspek empati yang ditandai dengan
kepedulian pada sesama dan sikap sosial yang tinggi.
Dalam hal ini subjek memiliki kepeduian pada
sesama dengan ditandai mudahnya merasa iba pada
orang lan yang kesusahan dan merasa jengkel pada
orang yang tidak memiliki perasaan yakni yang
memperlakukan orang lan tidak semestinya.
Indikator sikap sosial yang tinggi di tunjukkan
dengan tindakannya membantu orang lain dengan
cara menyisihkan uang dari hasil kerjanya untuk
diberikan pada orang yang kurang beruntung. Selain
itu subjek juga menunjukkan kepeduliannya tidak
hanya dalam bentuk materi tetapi dalam bentuk lain
seperti memberikan bimbingan belajar bagi anak-
anak yang orangtuanya kurang mampu. Perasaan
yang sensitif dan ringan tangan membantu kesusahan
orang lain adalah indikator empati sebagaimana
dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002) bahwa
empati adalah kemampuan untuk merasakan
perasaan orang lain, simpatik, dan mencoba
menyelesaikan masalah.
Aspek resiliensi lainnya adalah Self-efficacy.
Self-efficacy yang tinggi akan sangat mudah dalam
menghadapi tantangan. Individu tersebut tidak
merasa ragu karena memiliki kepercayaan yang
penuh dengan kemampuan dirinya (Bandura, 1994).
Subjek memiliki indikasi memiliki self efficacy yang
baik. Hal ini ditandai dengan inisiatif menyelesaikan
masalahnya sendiri dengan melakukan dan usaha
tanpa mengenal lelah dengan mencoba berbagai
pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Mulai dari
berjualan, bekerja sebagai buruh, sampai pekerjaan
yang membutuhkan keahlian misalnya mengajar.
Selain inisiatif, subjek juga kreatif mencari alternatif
pekerjaan mulai dari buruh kasar sampai pekerjaan
yang memerlukan keahlian. Dikatakan oleh Wolin &
Wolin (1999) bahwa seorang individu yang resilien
mampu secara kreatif menggunakan apa yang
tersedia untuk pemecahan masalah dalam situasi
sumber daya yang terbatas. Selain itu, bentuk-bentuk
kreativitas juga terlihat dalam minat, kegemaran,
kegiatan kreatif dari imajinatif.
Aspek terakhir yang dimiliki subjek adalah
kemampuan untuk mewujudkan impiannya untuk
kuliah dan meraih prestasi akademik dalam
kuliahnya. Kemampuan individu untuk meraih hal-
hal positif dalam kondisi sangat menekan di seebut
reaching out atau pencapaian. Sebagaimana
dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002) bahwa
reaching out merupakan kemampuan individu keluar
dan meraih aspek positif dari kehidupan setelah
musibah yang menimpa. Subjek bahkan mampu
memotivasi orang lain untuk bersungguh-sunggu
dalam belajar, tidak menyia-nyiakan kesempatan dan
kemudahan dalam hidup. Subjek memotivasi agar
tidak selalu berpangku tangan dan menghabiskan
waktu dengan hal-hal yang tidak berguna.
Mengapa subjek memiliki sikap mental yang
resilien dalam menghadapi kemiskinan? berdasarkan
hasil analisis studi kasus terutama hasil analisis deret
waktu dapat terlihat bahwa secara internal subjek
memiliki kepercayaan diri yang tinggi karena konsep
diri yang positif, dan sejak kecil pula subjek
memiliki kepribadian riang dan supel, mudah
bergaul. Hal-hal tersebut adalah modal internal yang
mempengaruhi resiliensi subjek.
Secara eksternal, subjek dari kecil dididik oleh
ibunya dengan aturan dan norma-norma agama
sehingga memiliki batasan dalam bertindak dan
perilakunya terarah. Faktor lainnya yang
mempengaruhi kesuksessan subjek menjadi
mahasiswa berprestasi ditengah kemiskinan adalah
faktor keluarga, yaitu ibunya yang sejak subjek kecil
banting tulang menghidupi ketujuh anaknya. Subjek
merasa kasihan pada ibunya sehingga bertekad untu
dapat mengubah keadaan dengan melanjutkan
pendidikan setinggi mungkin dengan harapan
mendapatkan penghidupan yang layak. Menurut
Everall (2006), keterikatan para anggota keluarga
amat berpengaruh dalam pemberian dukungan
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
42 Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020
terhadap anggota keluarga yang mengalami kesulitan
untuk dapat bertahan dan memperbaiki kehidupan
bersama. Untuk mencapai resiliensi dibutuhkan
individu yang signifikan untuk membantu
pencapaiannya, salah satunya adalah keluarga.
Individu tidak akan mampu mencapai resiliensi
seorang diri (Nasiton, 2011). Individu yang
significan bagi subjek adalah ibunya, dialah yang
selalui memotivasi subjek untuk mandiri. Namun
dalam hal kedekatan secara emosional dengan
ibunya sebenarnya tidak dirasakan oleh subjek,
karena ibunya sibuk bekerja berjualan, jarang
beriteraksi dengan subjek. Selain itu sejak SMP
subjek sudah sekolah dipodok pesantren. Ada sosok
lain yang berpengaruh dalam kehidupannya tapi
bukan keluarga, yaitu kepala sekolah ketika Sekolah
Dasar. Subjek merasa memilki ayah karena kepala
sekolah tersebut memperlakukan subjek seperti
anaknya. Kepala sekolah ini juga menjadi role model
bagi subjek dalam belajar dan bekerja.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
mahasiswa memiliki resiliensi dalam menghadapi
kesulitan ekonomi yang ditandai dengan kemampuan
dalam regulasi emosi, self efficacy yakni memiliki
inisiatif, mampu menyelesaikan masalah, kreatif dan
bertanggung jawab. Subjek juga memiliki sikap
optimisme, mampu berpikir dan menganalisa
masalah, memiliki motivasi berprestasi, mampu
mengenali potensi diri, memiliki modal kesuksean
dan telah memiliki pencapaian dal hidupnya yang
salah satunya adalah prestasi akademik. Faktor yang
mempengaruhi resiliensi mahasiswa yang
mengalami kesulitan ekonomi adalah faktor internal
berupa, keterampilan sosial, empati, konsep diri
positif, self-efficacy dan self esteem, memiliki rasa
kebermaknaan yakni optimis, motivasi, minat,
sistem keyakinan dan karakter yang humoris.
Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh
dukungan keluarga dan teman, norma keluarga dan
rule model
Daftar Pustaka
Buck, R., & Deutsch, J. (2014). Effects of poverty on
education. Journal of Human Sciences, 11(2),
11391148.
Crosnoe, R., Mistry, R. S., & Elder Jr, G. H. (2002).
Economic disadvantage, family dynamics, and
adolescent enrollment in higher education.
Journal of marriage and family, 64(3), 690
702.
Everall, R. D., Altrows, K. J., & Paulson, B. L.
(2006). Creating a future: A study of resilience
in suicidal female adolescents. Journal of
Counseling & Development, 84(4), 461470.
Greef, A. (2005). Resilience: Personal Skills for
Effective Learning. UK: Crown House
Publishing Ltd.
Juby, C., & Rycraft, J. R. (2004). Family
preservation strategies for families in poverty.
Families in Society, 85(4), 581587.
Karini, P. (2018). Pengaruh Tingkat Kemiskinan
Terhadap Angka Partisipasi Sekolah Usia 16
18 Tahun di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. AL-ISHLAH: Jurnal Pendidikan,
10(1), 103115.
McLoyd, V. C. (1990). The impact of economic
hardship on Black families and children:
Psychological distress, parenting, and
socioemotional development. Child
development, 61(2), 311346.
Milioni, M., Alessandri, G., Eisenberg, N.,
Castellani, V., Zuffianò, A., Vecchione, M., &
Caprara, G. V. (2015). Reciprocal relations
between emotional self‐efficacy beliefs and
ego‐resiliency across time. Journal of
personality, 83(5), 552563.
Nasiton, S. (2011). Resiliensi Daya Pegas
Menghadapi Trauma Kehidupan. Medan: USU
Press.
Niaz, U. (2006). Role of faith and resilience in
recovery from psychotrauma. Pakistan journal
of medical sciences, 22(2), 204.
Orthner, D. K., Jones‐Sanpei, H., & Williamson, S.
(2004). The resilience and strengths of low‐
income families. Family relations, 53(2), 159
167.
Rasyid, M., & Suminar, D. R. (2012). Hubungan
antara peer attachment dengan regulasi emosi
remaja yang menjadi siswa di boarding school
SMA Negeri 10 Samarinda. Jurnal psikologi
pendidikan dan perkembangan, 1(3), 17.
Reivich, K., & Shatté, A. (2002). The resilience
faktor: 7 essential skills for overcoming life’s
inevitable obstacles. Broadway books.
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020 43
Setyowati, A., Hartati, S., & Sawitri, D. R. (2010).
Hubungan Antara Kecerdasan Emosional
Dengan Resiliensi Pada Siswa Penghuni
Rumah Damai. Jurnal Psikologi, 7(1), 6777.
Tugade, M. M., & Fredrickson, B. L. (2004).
Resilient individuals use positive emotions to
bounce back from negative emotional
experiences. Journal of personality and sosial
psychology, 86(2), 320.
Manah Rasmanah
Resiliensi dan Kemiskinan: Studi Kasus
44 Intizar, Vol. 26, No. 1, Juni 2020
... Penelitian mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 juga memberikan dampak yang membuat sulit dalam berbagai aspek kehidupan pada mahasiswa tahun pertama seperti sulitnya mempertahankan rutinitas, stress terhadap penyesuaian cara belajar, ketidakpahaman teknologi sebagai media belajar dan tidak bisa mengikuti pembelajaran secara baik karena tidak memiliki fasilitas serta permasalahan finansial (Sarah dalam Batbaatar & Amin, 2021;Noviyanti, 2021;Menurut Asbari,. dkk, 2020;Morgan, 2020;Rasmanah, 2020). ...
Article
Full-text available
First-year university students experience transition periods from high school to college level. Despite academic needs, first-year students in the COVID-19 pandemic also face new challenges, such as different peer networks, financial changes, and adaptation. Since resilience is defined as the ability to adapt successfully to pressure and challenges, it is essential to determine what psychological factors contribute to enhancing it. One of the factors related to life adaptation is optimism. Hence, this study aims to observe the relationship between optimism and resilience among university students. The sample comprised 420 first-year students from the UIN Suska Riau (Pekanbaru). Participants completed the CD-RISC Scale and Life Orientation Test (LOT-R). This study performed a linear regression analysis and captured that optimism explained 14.6% of resilience (R²= .146, β=48.163). Thus, identifying the factor influencing students’ adjustment to college life can develop an intervention to help students face this life transition.
... Gambar 2. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya resiliensi Hasil temuan penelitian hampir sejalan dengan penelitian sebelumnya mengenai resiliensi dan kemiskinan juga menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi berupa faktor keterampilan sosial, empati, efikasi diri, rasa kebermaknaan yakni optimisme, serta faktor dukungan keluarga dan teman (Rasmanah, 2020). Yang membedakan adalah dalam penelitian ini adanya temuan terbaru yang tidak disebutkan dalam penelitian sebelumnya yaitu faktor kebersyukuran, Significant others, coping transformasi, pantang menyerah dan berpikir positif. ...
Article
This study aims to examine the picture of resilience which includes the factors and processes of building resilience in the poor in North Aceh Regency in the face of the COVID-19 pandemic. The research method used is a phenomenological qualitative research type involving five subjects taken by purposive sampling method. The data collection process was carried out using the interview method as the main data collection method and observation as the supporting data collection method. Based on the research that has been done, it is found that the factors that shape the achievement of resilience of the subjects include gratitude, self-efficacy, never give up, optimistic and critical thinking, significant others, empathy, and coping transformation. While the process of forming resilience in the poor in facing poverty goes through stages, namely a) feeling bored and feeling sad, b) survival (surviving), c) Adjustment (Recovery) and d) Thriving (able to get through difficulties and take positive things from the difficulties faced by the poor). occur). So it can be concluded that the poor people of North Aceh have good resilience or resilience in dealing with poverty during the COVID-19 pandemic. This can be seen from the way people don't lament too much about the difficulties they face, stay calm and stay productive during the pandemic.
... The research subjects comprise primary data, which were students with academic achievement but experience poverty, while secondary data were close friends and siblings. The results showed that students with the resilience to face economic difficulties can be characterized by those who can regulate emotions, can solve problems, are creative and responsible, optimistic, selfefficacy, that is, having initiative, being able to analyze problems, having achievement motivation, being able to recognize one's potential, having the capital of success and academic achievements (Rasmanah 2020). ...
Article
Full-text available
p class="07AbstrakInggris">Online learning for some Indonesian people experiences many problems. Various problems, such as unsupported regional signals, not being able to use technology, and so on. Here, online learning requires knowledge capabilities and supporting facilities. Lecturers and students are required to have learning tools that support being able to go online, and students must have a minimum connecting device for mobile phones and quotas to study online at home. In addition, areas in remote areas do not yet have an internet signal, to the inability of parents to buy cellphones and quotas because of poverty. For poor families, have a burden and become a problem for online learning activities. In this case, the research further explains the power and efforts of students both socially and economically in supporting online learning activities during the pandemic. Research will be conducted using a descriptive quantitative research method approach. Selection of respondents was carried out by purposive sampling. The Amount of the respondents are 30 people. The resilience of students from poor families is showed by looking for work to help the family’s economy and looking for a UKT (Single Tuition Fee) deduction facility. the GPA (Gradual Achievement Index) of students during the pandemic did not change significantly or remained at 45 percent. However, the most unfortunate thing is that the students who experienced the least increase in their GPA scores were only 16 percent. This shows that there is no significant increase in student GPA scores during the pandemic.</p
Article
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh resiliensi dan spiritualitas terhadap kontrol diri pada mahasiswa di Universitas Binawan Jakarta, khususnya pada mahasiswa yang bekerja sambil berkuliah. Kontrol diri berfungsi sebagai kemampuan individu dalam mengontrol keputusan dalam perilaku atau tindakan diri yang difaktori oleh usia, keluarga, dan budaya. Kontrol diri dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni; resiliensi dan spiritualitas. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan subjek penelitian sebanyak 100 mahasiswa aktif yang bekerja di Universitas Binawan Jakarta. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan skala kontrol diri, skala resiliensi, dan skala spiritualitas. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data regresi linear berganda untuk mengetahui pengaruh dari ketiga variabel dan diolah dengan SPSS versi 25. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.000 (p<0.05) dan disimpulkan bahwa variabel resiliensi dan spiritualitas secara signifikan berpengaruh terhadap variabel kontrol diri pada mahasiswa aktif yang bekerja. Koefisien determinasi sebesar 0.363 menunjukkan secara simultan variabel resiliensi dan spiritualitas dapat memengaruhi kontrol diri sebesar 36.3%.
Article
Full-text available
This study aims to analyze the effect of gratitude journaling in increasing students' academic resilience. This quasi-experimental study used a non-randomized pretest-posttest with a control group design. The subjects were 16 students divided into two groups, 8 students in the experimental group and 8 students in the control group. The data collection instrument was questionnaires containing an academic resilience scale and a gratitude questionnaire. Then the data were analyzed using non-parametric statistical analysis with the Mann Whitney U Test and the Wilcoxon Signed Rank Test. The results of this study indicate that there is a significant difference between the experimental group that received the gratitude journaling treatment and the control group without receiving the gratitude journaling treatment (p = 0.035). Then, there is a significant difference in the level of academic resilience of the experimental group between before and after the treatment in the form of gratitude journaling (p = 0.017). Besides, the effect size score is 52.5%. This shows that gratitude journaling increases the student's academic resilience with a moderate category. This research can fill in the gap in the study of gratitude and academic resilience based on experiments in Indonesia that have never existed before.
Article
Full-text available
This article examines the effects of poverty on education. Many different aspects contribute to a community becoming impoverished such as deindustrialization, high unemployment rates, untreated mental health, and violent crimes. Impoverished communities rural and urban face many issues. These issues include dilapidated housing, lack of access to professional services, and most importantly inferior education. The education is inferior for a number of reasons; students are showing up to school with numerous problems that the teachers are unable to account for through instruction. The school facilities face structural inadequacies which have been proven to have an effect on the quality of instruction. The teachers in the schools, while qualified, are often times not supported by school administration. School administrators are busy with their own issues in determining what areas to allocate their limited budget. Poverty is a vast and complex issue that plagues communities in a seemingly endless cycle. However, working together to find effective ways of solving issues caused by poverty, the future can become a brighter for American youth growing up in poor communities.
Article
Full-text available
Theory indicates that resilient individuals "bounce back" from stressful experiences quickly and effectively. Few studies, however, have provided empirical evidence for this theory. The broaden-and-build theory of positive emotions (B. L. Fredrickson, 1998, 2001) is used as a framework for understanding psychological resilience. The authors used a multimethod approach in 3 studies to predict that resilient people use positive emotions to rebound from, and find positive meaning in, stressful encounters. Mediational analyses revealed that the experience of positive emotions contributed, in part, to participants' abilities to achieve efficient emotion regulation, demonstrated by accelerated cardiovascular recovery from negative emotional arousal (Studies 1 and 2) and by finding positive meaning in negative circumstances (Study 3). Implications for research on resilience and positive emotions are discussed.
Article
Poverty adversely affects many individuals and their families. Previous research has shown that certain attributes and situations serve to moderate the negative effects of poverty. The purpose of this article is to focus on the variables associated with resiliency in poverty, mainly in relation to family preservation. Empirical studies suggest resilient families have adequate support systems, possess an inner locus of control, believe in a higher power, and practice downward comparison. By understanding the attributes and situations that increase resiliency in families, social workers can develop more effective programs and provide supportive assistance to families in poverty. Building resilient and productive families leads to a greater likelihood for family stability and preservation.
Article
Role of faith & resilience in recovery from traumatic events is a common observation. Recent experience with the earthquake victims in NWFP & AJK clearly demonstrated the positive effects of faith & resilience. Faith in God Almighty was a major factor in strengthening resilience and promoting recovery from traumatic stress disorders. Author suggests partnering media in resilience promotion and capacity building of the disaster affected population and developing psychotherapeutic techniques to enhance the natural resilience and strength in victims of psycho-trauma.
Article
Drug abuse in Indonesia is increasingly. Drug users not only adults, but adolescent and children. Many drug users who try to express the reasons as the cause of her fall on the drug early. Place of rehabilitation does not guarantee the student to complete recovery if they are not having their own intentions that he would work well. When he got out of rehabilitation, relapse risk can occur when students return along with fellow drug users. To solve problems and maintain health in a risk situation is the need for resilience. Resilience is the ability of individuals in overcoming life's challenges and maintain good health and energy so it can continue to live healthily. Students need emotional intelligence to develop resilience to survive in the face of challenges during the healing process so that they can return to normal life, and not experiencing relapse. The purpose this research is to know correlation emotional intelligence to resilience residents in House of Peace. This research was conducted on 16 resident in the House of Peace. The data collector used are two scales, that emotional intelligence scale (50 items, α = 0,946) and resilience scale (70 items, α = 0,964). Data analysis was performed using simple regression analysis. Results of data analysis showed positive correlation and significant between emotional intelligence to resilience (= 0,801, p <0,05). The hypothesis of this research is received. The results showed that the effective contribution of emotional intelligence to resilience in this research equal to 64.1%.
Article
Objective The present study examined the longitudinal relations of adolescents’ self-reported ego-resiliency to their emotional self-efficacy beliefs in expressing positive emotions and in managing negative emotions as they moved into early adulthood.Method Participants were 239 females and 211 males with a mean age of 17 years (SD = .80) at T1, 19 years (SD = .80) at T2, 21 years (SD = .82) at T3, and 25 years (SD = .80) at T4. A four-wave cross-lagged regression model and mediational analyses were used.ResultsIn a panel structural equation model controlling for the stability of the constructs, reciprocal relationships across time were found between ego-resiliency and emotional self-efficacy beliefs related to the expression of positive emotions and to the management of negative emotions. Moreover, the relation between ego-resiliency assessed at T1 and T3, and ego-resiliency assessed at T2 and T4 was mediated through emotional self-efficacy beliefs (at T2 and T3, respectively), and vice versa.Conclusions The posited conceptual model accounted for a significant portion of variance in ego-resiliency and has implications for understanding the development of ego-resiliency.
Article
The authors designed this study to understand how adolescents overcome suicidality from the subjective perspective of 13 previously suicidal female participants. A resilience framework was used to conceptualize the process. Data analysis using basic interpretive qualitative inquiry revealed 4 domains of resilience: social processes, emotional processes, cognitive processes, and purposeful action. The domains were inextricably linked; improvements in 1 domain produced changes across others, adding momentum to the resilience process. Implications for practice are discussed.
Article
Family processes affecting the socioemotional functioning of children living in poor families and families experiencing economic decline are reviewed. Black children are of primary interest in the article because they experience disproportionate shares of the burden of poverty and economic loss and are at substantially higher risk than white children of experiencing attendant socioemotional problems. It is argued that (a) poverty and economic loss diminish the capacity for supportive, consistent, and involved parenting and render parents more vulnerable to the debilitating effects of negative life events, (b) a major mediator of the link between economic hardship and parenting behavior is psychological distress deriving from an excess of negative life events, undesirable chronic conditions, and the absence and disruption of marital bonds, (c) economic hardship adversely affects children's socioemotional functioning in part through its impact on the parent's behavior toward the child, and (d) father-child relations under conditions of economic hardship depend on the quality of relations between the mother and father. The extent to which psychological distress is a source of race differences in parenting behavior is considered. Finally, attention is given to the mechanisms by which parents' social networks reduce emotional strain, lessen the tendency toward punitive, coercive, and inconsistent parenting behavior, and, in turn, foster positive socioemotional development in economically deprived children.
Article
This study applies a family process model to the linkage between early economic disadvantage and later enrollment in higher education. Using two waves of data on low-income youth, the authors found that the attitudes and behaviors of their parents, mostly mothers, mediate the impact of disadvantage on enrollment. Economically disadvantaged parents are less optimistic about their adolescents' educational chances and, in turn, engage less in the proactive parenting that promotes enrollment. The authors also found that parents' perceived efficacy buffers against the more negative consequences of disadvantage that can influence their adolescents' educational trajectories. Group comparisons reveal few differences by gender or ethnicity.
Article
This study examines indicators of family strength among a random sample of low-income households with children. The Family Strength Index assesses strength according to economic, problem-solving, communication, family cohesion, and social support assets. Variations in family strength are explained according to parental status and level of employment. Logistic regression is used to examine the contribution of assets to family outcomes. Findings indicate that relationship assets such as communication, problem solving, and social support predict positive outcomes for low-income families.