Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
241
Jurnal Informasi, Perpajakan, Akuntansi, dan Keuangan Publik
Vol 17 No. 2 Juli 2022 : 241 - 262 ISSN : 2685-6441 (Online)
Doi : http://dx.doi.org/10.25105/jipak.v17i2.13301 ISSN : 1907-7769 (Print)
EVALUASI JOINT PROGRAM DI UNIT VERTIKAL TERKECIL
OTORITAS PAJAK DAN OTORITAS PABEAN
1Alan Afriyanto
2Nisrina Widayuni
1Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada
2Direktorat Jenderal Pajak
alanafriyanto91@mail.ugm.ac.id
Abstract
The regulation about joint program in Ministry of Finance is only providing
guidelines in The Head Office and Regional Office levels. The absence of guidelines for
the smallest vertical unit has resulted in many Primary Tax Offices (PTO) and Customs
and Excise Offices (CEO) Type C that have not carried out joint programs and loss a lot
of potential revenue. This article is intended to examine the implementation of the joint
program in the smallest vertical units. To examine, this articles uses a qualitative method
with a case study approach. In-depth interviews, observations, and requests for various
documents were conducted to collect data. The object of this research is Magelang PTO
and Magelang CEO Type C. Based on data processing, the following conclusions are
obtained. Magelang PTO and Magelang CEO Type C have not implemented a
collaboration program. There are three challenges that have prevented the two offices
from implementing the joint program, namely: the absence of guidelines for
implementing joint programs in the smallest vertical units; there are cost and benefit
considerations; there are different working areas. Beside that, based on the results from
comparing data between excise payments and income tax payments, there is new
potential revenue. Based on the research findings, policy makers in both agencies need
to immediately formulate rules related to joint program for the smallest vertical units.
Keywords : Joint Program; Smallest Vertical Units; Tax Revenue.
JEL Classification : F23, H20, H71
Submission date : February 19, 2022 Accepted date : July 27, 2022
242 | J I P A K 2 0 2 2
1. PENDAHULUAN
Negara Indonesia membutuhkan sumber penerimaan untuk dapat menjalankan
roda pemerintahan dan melaksanakan pembangunan. Salah satu sumber utama
penerimaan negara Indonesia adalah pajak (Rachdianti, 2016; As’qri, 2018; Fama, 2021;
dan Suranta et al., 2021). Penerimaan negara berupa pajak di Indonesia, dipungut oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Hampir
setiap tahunnya, lebih dari 70% penerimaan negara berasal dari pajak (Harahap et al.,
2018; dan Setiawan et al., 2018). Sejak tahun 1984, sistem pemungutan pajak
menggunakan sistem self assessment (A., 2018; dan Diamastuti, 2018). Sistem ini
memberikan kewenangan bagi wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan
melaporkan pajaknya secara mandiri (Prasetyarini et al., 2019).
Sistem self assessment mengakibatkan penerimaan negara sangat tergantung
dengan tingkat kepatuhan wajib pajak (Remali et al., 2018). Wajib pajak cenderung
melakukan penghindaran pajak atau bahkan melakukan penggelapan pajak, karena
menganggap pajak adalah beban yang dapat mengurangi laba bersih perusahaan
(Chiarini & Marzano, 2019). Penghindaran pajak dan penggelapan pajak saat ini terjadi
semakin masif dan semakin canggih, mulai dari skema negara tax haven (mentransfer
pendapatan dari suatu negara ke negara tax haven agar memperoleh tarif pajak yang lebih
rendah), dan bahkan skema memanfaatkan lemahnya pengawasan dari otoritas pajak dan
otoritas pabean (Christensen et al., 2015; Saputra et al., 2015; Kubick et al., 2016;
Granda, 2021; dan Tambunan, 2021)
Rasio pajak negara Indonesia tergolong masih sangat rendah (Hajawiyah et al.,
2021; dan Ramalan, 2021). Menurut data dari Organisation for Economic Co-operation
and Development/OECD (2021), rasio pajak Indonesia pada tahun 2019 hanya 11,6%.
Rasio pajak tersebut masih berada di bawah rata-rata rasio pajak negara ASEAN yang
berada diangka 14%. Rasio pajak yang masih rendah salah satunya terjadi karena
rendahnya tingkat pencapaian target penerimaan pajak tahunan (Wildan, 2020). Sejak
tahun 2009 hingga tahun 2020 target pajak tidak pernah tercapai (Sembiring, 2021).
Rendahnya tingkat rasio pajak karena sering tidak tercapainya target penerimaan pajak
merupakan salah satu bukti bahwa masih terdapat banyak potensi pajak yang belum dapat
tergali secara optimal dan masih banyak skema penghindaran pajak yang belum dapat
terdeteksi.
Berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah untuk dapat mengoptimalkan
penerimaan pajak (Apriliawati & Muhammad, 2021). Salah satunya dengan upaya
penguatan kerja sama antara otoritas pajak dengan otoritas pabean. Seperti yang
dijelaskan oleh World Customs Organization (2016) bahwa otoritas pajak dan otoritas
pabean perlu untuk melakukan kerja sama dalam rangka mengurangi risiko terjadinya
pelanggaran kepabeanan dan mengurangi risiko penghindaran pajak agar penerimaan
negara dapat lebih dioptimalkan. Sejak tahun 2017, Pemerintah melakukan upaya berupa
penguatan kerja sama antara otoritas pajak (DJP) dengan otoritas pabean (DJBC) yang
disebut dengan joint program. Program kerja sama antar kedua otoritas, mampu
J I P A K 2 0 2 2 | 243
meningkatkan penerimaan pajak, cukai, dan bea masuk secara nasional pada bulan Juni
2019 sebesar Rp. 6,5 triliun (Prima, 2019).
Besarnya potensi penerimaan negara yang diperoleh dengan adanya program kerja
sama antara DJP dan DJBC membuat pemerintah semakin fokus dalam merumuskan
aturan tentang arahan joint program. Pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor KMK-210/KMK.01/2021 tentang Program Sinergi Reformasi dalam
Rangka Optimalisasi Penerimaan Negara yang mengatur dan memberikan panduan
terkait dengan kerja sama. Aturan ini memberikan arahan dan panduan yang mendetail
tentang bagaimana berbagai kerja sama dapat dilakukan antar otoritas, namun panduan
tersebut hanya sebatas memberikan arahan di tingkat Kantor Pusat dan tingkat Kantor
Wilayah. Aturan tersebut belum memberikan panduan pelaksanaan kerja sama hingga di
unit vertikal paling kecil yaitu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama untuk DJP dan
Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe C untuk DJBC.
Belum adanya panduan tentang joint program di level unit vertikal terkecil
berakibat pada masih banyaknya KPP Pratama dan KPPBC Tipe C yang belum
melakukan joint program. Menurut informasi dari Direktorat Jenderal Pajak (2021)
terdapat 301 KPP Pratama dan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor
183/PMK.01/2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai terdapat 64 KPPBC Tipe C, sehingga total ada 365 unit vertikal
terkecil yang membutuhkan panduan joint program. Ditambah lagi, menurut
Kementerian Keuangan (2021) rata-rata setiap KPP Pratama memiliki target penerimaan
sebesar 600 miliar rupiah dan setiap KPPBC Tipe C memiliki target penerimaan sebesar
200 miliar rupiah. Secara total terdapat target dan potensi pajak ratusan triliun rupiah dari
seluruh KPP Pratama dan KPPBC Tipe C di Indonesia, yang perlu untuk mendapatkan
panduan kerja sama unit vertikal terkecil agar mampu untuk mengoptimalkan
penerimaan pajak dan cukai. Salah satu kota di Indonesia yang memiliki unit vertikal
terkecil dari DJP dan DJBC adalah Kota Magelang, Jawa Tengah. Kota ini terdapat KPP
Pratama Magelang sebagai unit vertikal terkecil dari DJP dan KPPBC Tipe C Magelang
sebagai unit vertikal terkecil dari DJBC.
Sudah terdapat beberapa penelitian terdahulu tentang upaya mengoptimalkan
penerimaan negara melalui kerja sama antara otoritas pajak dengan otoritas pabean. Ping
& Silberztein (2007) menyatakan bahwa salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk
mengurangi penghindaran pajak melalui penyalahgunaan transfer pricing adalah dengan
cara joint transfer pricing audit antara otoritas pajak dengan otoritas kepabeanan.
Penelitian dari Wujira (2016) menjelaskan bahwa strategi joint audit antara otoritas pajak
dan otoritas pabean diperlukan untuk dapat mendeteksi serta menghindari adanya potensi
pelanggaran pembayar pajak. Wibowo (2018) meneliti tentang faktor-faktor pemampu
kerja sama dan pertukaran informasi dari joint audit DJP dengan DJBC. Penelitian dari
(Nugrahanto & Muchtar, 2019) menjelaskan bahwa skema joint audit antara DJP dengan
DJBC dapat meningkatkan kualitas audit, sehingga audit bersama antara DJP dan DJBC
menjadi lebih komprehensif dan lebih mampu untuk mengoptimalkan penerimaan
negara.
244 | J I P A K 2 0 2 2
Berdasarkan uraian di atas peneliti berpendapat bahwa penelitian tentang joint
program antara otoritas pajak dan otoritas pabean di tingkat unit vertikal terkecil, yaitu
KPP Pratama dan KPPBC Tipe C sangat penting untuk dilakukan karena jumlah KPP
Pratama dan KPPBC Tipe C di Indonesia sangatlah banyak yaitu 365 unit dengan potensi
penerimaan negara yang sangat besar yaitu ratusan triliun rupiah (Kementerian
Keuangan, 2021). Unit-unit vertikal terkecil memerlukan panduan program kerja sama
agar dapat meminimalisir kegagalan dalam melakukan kerja sama dan dapat lebih
mengoptimalkan penerimaan negara. Selain itu, meski penelitian-penelitian terdahulu
telah memberikan sejumlah temuan yang menarik namun penelitian terdahulu belum
secara spesifik memberikan pengetahuan yang cukup tentang seperti apa penerapan
strategi kerja sama antara otoritas pajak dan otoritas pabean di tingkat terkecil dan
tantangan-tantangan apa saja yang mereka hadapi dalam pengimplementasiannya.
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menguji sejauh mana joint program telah
dilaksanakan dan apa saja kendala dalam pengimplementasian joint program di unit
vertikal terkecil; bagaimana joint program dapat dijalankan di unit vertikal terkecil
sesuai dengan kaidah collaborative governance; dan bagaimana solusi agar joint
program dapat terus berjalan untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Penelitian ini
hanya terbatas pada program kerja sama antara DJP dengan DJBC dan hanya terbatas
pada pajak pusat (Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai) serta cukai.
Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan celah perbaikan, saran, dan
rekomendasi untuk DJP dan DJBC dalam memperkuat program kerja sama khususnya
di unit vertikal terkecil. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah literatur tentang
strategi optimalisasi penerimaan negara melalui joint program.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Collaborative Governance Theory
Ansell & Gash, (2008) mendefinisikan collaborative governance sebagai
pengaturan pemerintahan di mana terdapat satu atau lebih lembaga publik secara
langsung melibatkan pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan
kolektif yang formal, berorientasi konsensus, dan deliberatif dan yang bertujuan untuk
membuat atau menerapkan kebijakan publik atau mengelola program atau aset publik.
Ansell (2008) dalam buku The Oxford Handbook of Governance menjelaskan bahwa
collaborative governance dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: collaborative planning,
collaborative watershed, and regulatory negotiation.
Collaborative planning merupakan proses kerja sama yang menitikberatkan pada
penyatuan rencana dari agensi dengan para pemangku kepentingan. Collaborative
watershed merupakan proses kerja sama bertujuan untuk meningkatkan apresiasi akan
kebutuhan untuk mengelola kegiatan yang saling bergantung. Regulatory negotiation
merupakan proses kerja sama yang tujuannya untuk menegosiasikan peraturan-peraturan
yang ada. Masing-masing dari ketiga jenis collaborative governance ini menggunakan
J I P A K 2 0 2 2 | 245
kerja sama sebagai teknik untuk mengatasi masalah yang muncul dengan pendekatan
tradisional atau konvensional untuk mengatur. Collaborative planning dan regulatory
negotiation keduanya muncul sebagai tanggapan terhadap konflik, penundaan, dan
kegagalan perencanaan komprehensif dan regulasi secara komando dan terkontrol.
Collaborative watershed muncul sebagai tanggapan atas masalah koordinasi yang
berasal dari fragmentasi kelembagaan. Artikel ini menggunakan collaborative watershed
untuk menanggapi masalah koordinasi antara DJP dengan DJBC, khususnya yang terjadi
di level unit vertikal terkecil.
Penghindaran Pajak
OECD (2021) menjelaskan tentang penghindaran pajak (tax avoidance) dengan
sangat sederhana yaitu suatu usaha untuk menghindari pajak. A (2018) menjelaskan lebih
rinci tentang maksud penghindaran yang terdapat dalam glosarium OECD, yaitu suatu
langkah untuk mengatur urusan wajib pajak dan bertujuan untuk mengurangi kewajiban
pajaknya. Meskipun langkah pengaturan yang dilakukan itu dapat benar-benar sah,
namun biasanya bertentangan dengan maksud undang-undang yang dimaksud (bukan
pihak yang secara nyata-nyata memiliki hak untuk memperoleh fasilitas tersebut).
Contoh tindakan penghindaran pajak adalah dengan skema transfer pricing.
Arnold (2016) dalam bukunya International Tax Primer menjelaskan bahwa transfer
pricing dilakukan dengan cara membuat harga kesepakatan antar perusahaan afiliasi baik
di atas harga pasar maupun di bawah harga pasar. Usaha penetapan harga yang dilakukan
tersebut bertujuan untuk mengurangi biaya pajak yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan.
Joint Program
Kegiatan joint program di lingkungan Kementerian Keuangan diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-210/KMK.01/2021 tentang Program
Sinergi Reformasi dalam Rangka Optimalisasi Penerimaan Negara. Aturan ini
memberikan arahan tentang kerja sama yang dapat dilakukan oleh DJP, DJBC, dan
Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) untuk mengoptimalkan penerimaan negara.
Berdasarkan aturan tersebut, kerja sama antara DJP dengan DJBC dilakukan untuk
mengoptimalkan penerimaan dari sektor pajak, sedangkan kerja sama antara DJP dengan
DJA atau DJBC dengan DJA dilakukan untuk mengoptimalkan penerimaan negara
bukan pajak (PNBP).
KMK-210/KMK.01/2021 telah memberikan arahan dan panduan yang mendetail
tentang bagaimana berbagai kerja sama dapat dilakukan antar unit eselon 1 Kementerian
Keuangan, namun panduan tersebut hanya sebatas memberikan arahan di tingkat Kantor
Pusat dan tingkat Kantor Wilayah. Program kerja sama ini terdiri dari joint analysis, joint
audit, joint investigation, joint intelligence, joint collection, joint business process and
information technology, secondment, dan program kerja sama lainnya.
246 | J I P A K 2 0 2 2
Model Penelitian
Berdasarkan permasalahan penelitian dan penelitian terdahulu, penelitian ini akan
mengikuti model dari Ansell & Gash, (2008). Modelnya adalah sebagai berikut.
Gambar 1.
Model Penelitian
(Sumber: Ansell & Gash, 2008)
Model penelitian di atas menjelaskan bahwa terdapat tiga tahap terbentuknya kerja
sama yang baik. Pertama adalah kondisi awal (starting condition). Suatu kerja sama
dapat dilakukan dengan cara mengetahui terlebih dahulu masing-masing kondisi awal
dari setiap otoritas, karena setiap otoritas memiliki keahlian, pengetahuan, kemampuan,
dan informasi yang berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebutlah yang harus disatukan agar
dapat mencapai tujuan bersama. Tahap starting condition dalam model ini digunakan
untuk membantu dalam menjelaskan tujuan penelitian terkait dengan sejauh mana joint
program telah dilaksanakan dan apa saja tantangan dalam pengimplementasian joint
program di unit vertikal terkecil.
Kedua adalah proses kerja sama (collaborative process). Proses kerja sama tersebut
meliputi membangun kepercayaan, melakukan dialog tatap muka, membuat suatu
komitmen bersama, membuat rencana serta tujuan bersama, dan kerja sama harus
memperoleh dukungan dari pimpinan masing-masing otoritas. Tahap collaborative
process digunakan untuk membantu dalam menjelaskan tujuan penelitian terkait dengan
bagaimana joint program dapat dijalankan di unit vertikal terkecil. Ketiga adalah
J I P A K 2 0 2 2 | 247
keluaran (outcomes). Keluaran meliputi hasil dari kerja sama yang bersifat kontinu.
Tahap outcomes digunakan untuk membantu menjelaskan tujuan penelitian terkait
dengan solusi agar joint program dapat terus berjalan untuk mengoptimalkan penerimaan
negara.
3. METODOLOGI
Penelitian dalam artikel ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Moleong
(2007, 5), penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian. Fenomena tersebut semisal terkait dengan perilaku,
persepsi, motivasi, dan tindakan secara holistik. Metode ini diharapkan dapat
menjelaskan lebih mendalam masalah penelitian tentang penerapan strategi kerja sama
di unit vertikal terkecil DJP dan DJBC.
Pendekatan yang digunakan adalah studi kasus. Berdasarkan Creswell (2014, 202),
pendekatan studi kasus dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk memperoleh data dari
berbagai sumber data yang diinvestigasi. Data yang diperoleh dari investigasi itu berasal
dari dokumen, arsip, wawancara mendalam, observasi langsung, dan sumber-sumber lain
yang dilakukan secara sistematik kepada individu, kelompok atau grup, organisasi atau
bahkan terhadap kegiatan (event). Studi kasus digunakan untuk mendapat pengertian atau
mendapat pemahaman dan mendapat penjelasan dari suatu fenomena secara lebih
mendalam. Metode ini diharapkan dapat menjelaskan lebih mendalam tentang sejauh
mana pengimplementasian kerja sama antara KPP Pratama Magelang dengan KPPBC
Tipe C Magelang dapat dilakukan dan menjelaskan tentang tantangan serta hambatan
dalam pengimplementasian kerja sama.
Objek penelitian ini adalah KPP Pratama Magelang dan KPPBC Tipe C Magelang.
KPP Pratama Magelang dan KPPBC Tipe C Magelang dipilih sebagai objek penelitian
karena merupakan salah satu unit vertikal terkecil di DJP dan DJBC, yang seharusnya
melakukan kegiatan joint program. KPP Pratama Magelang dan KPPBC Tipe C
Magelang juga memiliki lokasi kantor yang sama di Kota Magelang, Jawa Tengah.
Ditambah lagi, KPP Pratama Magelang dengan KPPBC Tipe C Magelang memiliki
sebagian wilayah kerja yang sama yaitu Kota Magelang dan Kabupaten Magelang.
Berdasarkan alasan-alasan yang telah dijelaskan di atas, KPP Pratama Magelang dan
KPPBC Tipe C Magelang sangat layak menjadi objek penelitian untuk artikel ini, terkait
dengan strategi kerja sama pada unit vertikal terkecil DJP dan DJBC.
Penelitian ini juga menetapkan informan untuk mendapatkan informasi dan data
terkait dengan program kerja sama yang sudah atau mungkin dapat diterapkan antara
KPP Pratama Magelang dengan KPPBC Tipe C Magelang. Peneliti menetapkan 6
informan dalam penelitian, berikut daftar informannya.
248 | J I P A K 2 0 2 2
a. Informan 1 adalah Kepala KPPBC Tipe C Magelang. Kepala KPPBC Tipe C
diberikan kode Kakap 1.
b. Informan 2 adalah Kepala KPP Pratama Magelang. Kepala KPP Pratama Magelang
diberikan kode Kakap 2.
c. Informan 3 adalah Kepala Subbagian Umum KPPBC Tipe C Magelang. Kepala
Subbagian Umum KPPBC Tipe C Magelang diberikan kode KS 1.
d. Informan 4 adalah Kepala Subbagian Umum dan Kepatuhan Internal KPP Pratama
Magelang. Kepala Subbagian Umum dan Kepatuhan Internal KPP Pratama
Magelang diberikan kode KS 2.
e. Informan 5 adalah Pelaksana Bagian Penindakan dan Penyidikan KPPBC Tipe C
Magelang. Pelaksana Bagian Penindakan dan Penyidikan KPPBC Tipe C
Magelang diberikan kode PL 1.
f. Informan 6 adalah Pelaksana Seksi Penjamin Kualitas Data KPP Pratama
Magelang. Pelaksana Seksi Penjamin Kualitas Data KPP Pratama Magelang
diberikan kode PL 2.
Peneliti menetapkan keenam informan tersebut didasarkan pada pertanyaan
penelitian yang ingin dijawab. Kepala Kantor KPPBC Tipe C Magelang dan Kepala
KPP Pratama Magelang merupakan pimpinan tertinggi di masing-masing kantor.
Mereka merupakan pihak yang memiliki wewenang untuk menetapkan kebijakan terkait
dengan program kerja sama. Oleh karena itu, peneliti berkeyakinan bahwa Kepala
Kantor KPPBC Tipe C Magelang dan Kepala KPP Pratama Magelang adalah pihak yang
paling penting dan paling mengetahui tentang program kerja sama. Kepala Subbagian
Umum KPPBC Tipe C Magelang dan Kepala Subbagian Umum dan Kepatuhan Internal
KPP Pratama Magelang merupakan pihak yang sering ditugaskan untuk berkoordinasi
dengan pihak eksternal. Oleh karena itu, peneliti berkeyakinan bahwa Kepala Subbagian
Umum KPPBC Tipe C Magelang dan Kepala Subbagian Umum dan Kepatuhan Internal
KPP Pratama Magelang merupakan pihak yang paling memahami praktik dari program
kerja sama. Pelaksana Bagian Penindakan dan Penyidikan KPPBC Tipe C Magelang
dan Pelaksana Seksi Penjamin Kualitas Data KPP Pratama Magelang merupakan
petugas yang menjalankan proses bisnis di masing-masing instansi untuk mendapatkan
penerimaan negara. Oleh karena itu, peneliti berkeyakinan bahwa Pelaksana Bagian
Penindakan dan Penyidikan KPPBC Tipe C Magelang dan Pelaksana Seksi Penjamin
Kualitas Data KPP Pratama Magelang adalah pihak yang dapat memberikan informasi
tentang proses bisnis yang dapat menjadi irisan untuk kedua kantor.
Menurut Creswell (2014, 310), pengumpulan data dapat diperoleh dengan cara
melakukan observasi langsung, wawancara, dokumentasi, dan triangulasi/gabungan.
Peneliti menggunakan teknik triangulasi yaitu dengan cara melakukan observasi
langsung, wawancara mendalam, dan pengumpulan dokumen. Observasi langsung
dilakukan dari pertengahan bulan September 2021 hingga akhir November 2021.
Wawancara mendalam dilakukan kepada para informan, baik secara tatap muka maupun
J I P A K 2 0 2 2 | 249
melalui media daring. Dokumen diperoleh langsung dari KPP Pratama Magelang dan
KPPBC Tipe C Magelang.
Analisis dalam penelitian ini didasarkan pada analisis yang telah dilakukan oleh
Miles & Huberman (1992), yaitu model analisis interaktif. Model analisis interaktif
merupakan suatu teknik analisis yang dilakukan dengan cara mereduksi data dan
menyajikan data yang dilakukan secara bersama-sama dengan proses pengumpulan data.
Setelah data berhasil terkumpul, maka tiga komponen dari analisis yaitu mereduksi data,
menyajikan data, menarik kesimpulan akan saling berinteraksi. Metode analisis ini
adalah metode yang paling tepat untuk menjawab masalah yang ada dalam penelitian ini.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Observasi langsung dilakukan oleh peneliti dari tanggal 10 September 2021 hingga
29 November 2021. Wawancara langsung dilakukan dari tanggal 28 September 2021
hingga 29 November 2021 melalui mekanisme tatap muka dan daring, peneliti
memperoleh dan mengumpulkan data untuk diolah serta untuk dianalisis. Selain itu,
peneliti juga meminta dokumen terkait dengan informasi wajib pajak beserta
pembayarannya untuk tahun pajak dan tahun kejadian 2020 serta 2021. Peneliti dalam
melakukan observasi, wawancara, dan permintaan dokumen berlandaskan pada beberapa
surat izin penelitian yaitu surat pengantar dari Magister Akuntansi Universitas Gadjah
Mada dengan nomor 6768/UN1/FEB.2/AKM/PT/2021, surat pengantar dari Magister
Akuntansi Universitas Gadjah Mada dengan nomor 6769/UN1/FEB.2/AKM/PT/2021,
Nota Dinas dari Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
dengan nomor ND-1874/PP.2/2021, Nota Dinas dari Bea dan Cukai dengan nomor ND-
3752/BC.01/2021, dan Nota Dinas dari Direktorat Jenderal Pajak dengan nomor ND-
1722/PJ.091/2021.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, secara singkat dapat dijelaskan
dengan gambar berikut ini.
250 | J I P A K 2 0 2 2
Gambar 2.
Model Hasil Penelitian
(Sumber : Diolah Penulis, 2022)
Selanjutkan subbagian-subbagian di bawah ini akan menjelaskan hasil penelitian secara
mendetail, sesuai dengan model penelitian dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan.
Joint Program yang Telah Dilaksanakan serta Kendala yang Dihadapi dalam
Mengimplementasikan Joint Program di Unit Vertikal Terkecil Otoritas Pajak dan
Otoritas Pabean di Magelang
Sesuai dengan Collaborative Governance Theory untuk memulai sebuah kerja
sama yang baik diperlukan pemahaman mengenai kondisi awal masing-masing instansi.
Menurut informasi awal yang digali dari website resmi DJP dan website resmi DJBC,
belum terdapat informasi tentang joint program yang telah dilakukan oleh unit vertikal
terkecil otoritas pajak di Magelang (KPP Pratama Magelang) dengan otoritas pabean di
Magelang (KPPBC Tipe C Magelang). Berdasarkan informasi tersebut, peneliti
melakukan konfirmasi terkait dengan joint program kepada para informan yang ada di
kedua kantor. Seluruh informan menjelaskan bahwa joint program antara KPPBC Tipe
C Magelang dengan KPP Pratama Magelang belum dilaksanakan, bahkan ditahap
koordinasi juga belum pernah dilakukan. KS 1 menjelaskan sebagai berikut.
“Untuk joint program, kita belum ada. Setau saya untuk koordinasi antara kami
dengan KPP Pratama Magelang juga belum pernah dilakukan. (Informan 3,
Kepala Subbagian Umum KPPBC Tipe C Magelang)
Kakap 1 menjelaskan sebagai berikut.
“Kami, belum melakukan kolaborasi dengan KPP Pratama Magelang. (Informan
1, Kepala KPPBC Tipe C Magelang)
J I P A K 2 0 2 2 | 251
Kakap 2 juga menjelaskan hal yang sama, yaitu sebagai berikut.
“Iya belum pernah melakukan joint program. (Informan 2, Kepala KPP Pratama
Magelang)
Setidaknya terdapat tiga tantangan yang mengakibatkan joint program antara KPP
Pratama Magelang dengan KPPBC Tipe C Magelang belum berjalan. Pertama adalah
belum adanya panduan resmi tentang pelaksanaan joint program di tingkat unit vertikal
terkecil. Belum adanya panduan tentang pelaksanaan joint program untuk unit vertikal
terkecil menjadi kendala bagi para pimpinan di kedua kantor dalam menerapkan joint
program. Aturan saat ini baru mengatur tentang panduan joint program di tataran level
Kantor Pusat dan level Kantor Wilayah. Kakap 1 menjelaskan sebagai berikut.
“Iya sebenarnya kami ingin melakukan joint program dengan KPP Pratama
Magelang, namun saya masih bingung proses bisnis apa yang dapat dijadikan
sebagai kegiatan joint program. (Informan 1, Kepala KPPBC Tipe C Magelang)
Kakap 2 juga menjelaskan hal yang sama tentang alasan mengapa joint program belum
dapat diimplementasikan, berikut penejelasannya.
“Iya, kami belum menerapkan joint program. Kami belum menemukan potensi apa
yang dapat dijadikan sebagai bahan joint program. (Informan 2, Kepala KPP
Pratama Magelang)
Kedua adalah pertimbangan cost and benefit dari kegiatan joint program. Asas
pemungutan pajak mempertimbangan cost and benefit. Biaya pemungutan pajak harus
lebih kecil daripada hasil yang nantinya akan didapatkan. Para informan menjelaskan
bahwa mereka belum mendapatkan proses bisnis dan data yang dapat menjadi objek joint
program. Oleh karena itu, para informan masih melihat bahwa kemungkinan biaya untuk
melakukan joint program akan lebih besar dibandingkan manfaat yang diperoleh. Ketiga
adalah perbedaan wilayah kerja. KPP Pratama Magelang hanya memiliki wilayah kerja
di Kota Magelang dan Kabupaten Magelang. KPPBC Tipe C Magelang memiliki
wilayah kerja meliputi Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Kabupaten Purworejo,
Kabupaten Temanggung, dan Kabupaten Wonosobo. Perbedaan wilayah kerja dengan
potensi penerimaan negara yang berbeda berakibat kedua kantor belum melakukan
program kerja sama. Semisal, Kota Magelang dan Kabupaten Magelang potensi
pendapatan dari sektor produsen rokok masih belum terlalu banyak, padahal potensi
penerimaan terbesar KPPBC Tipe C Magelang berasal dari Cukai yang sebagian besar
potensinya ada di wilayah Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo.
Joint Program yang Dapat Dijalankan oleh Unit Vertikal Terkecil Otoritas Pajak
dan Otoritas Pabean di Magelang Berdasarkan Kaidah Collaborative Governance
Keadaan saat ini yaitu hingga akhir November 2021 belum terdapat joint program
antara KPP Pratama Magelang dengan KPPBC Tipe C Magelang, bahkan belum terdapat
koordinasi awal sebagai langkah penjajakan antara kedua kantor. Padahal menurut
Collaborative Governance Theory, proses kerja sama dimulai dengan adanya dialog
tatap muka. Pada dasarnya, kedua pimpinan kantor mendukung adanya kerja sama untuk
mengoptimalkan penerimaan negara, namun dengan berbagai tantangan seperti telah
252 | J I P A K 2 0 2 2
dijelaskan di atas yang mengakibatkan program kerja sama belum dapat dilaksanakan.
Oleh karena itu, untuk memulai implementasi kerja sama antara KPP Pratama Magelang
dan KPPBC Tipe C Magelang, peneliti berlandaskan pada kaidah Collaborative
Governance Theory dengan pendekatan Collaborative Watershed (untuk menanggapi
masalah koordinasi antara KPPBC Tipe C Magelang dan KPP Pratama Magelang).
Collaborative Governance Theory memiliki tiga langkah utama dalam melakukan kerja
sama. Berikut langkah-langkahnya.
1. Starting Condition
Starting condition dilakukan melalui langkah pencarian irisan potensi dan mencari
pemahaman yang mendalam tentang profil serta proses bisnis masing-masing instansi.
Berdasarkan informasi dari para informan di KPPBC Tipe C Magelang, wilayah kerja
KPPBC Tipe C Magelang adalah Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Kabupaten
Temanggung, Kabupaten Purworejo, dan Kabupaten Wonosobo. Berbeda dengan
KPPBC Tipe C Magelang yang memiliki wilayah kerja yang cukup luas, KPP Pratama
Magelang cenderung memiliki wilayah kerja yang lebih sempit yaitu hanya Kota
Magelang dan Kabupaten Magelang. Para informan juga menjelaskan bahwa KPPBC
Tipe C Magelang pada tahun 2021 memiliki target penerimaan dari Bea Masuk sebesar
Rp. 400.000.000 dan target penerimaan dari Cukai sebesar Rp. 173.128.622.000. Hampir
setiap tahunnya target dan realisasi terbesar KPPBC Tipe C Magelang adalah berasal dari
penerimaan cukai. Selain itu, berdasarkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang
diserahkan saat membayar cukai, terdapat beberapa pembayar rutin cukai dengan kode
NPWP milik KPP Pratama Magelang.
Langkah selanjutnya, peneliti melakukan konfirmasi terkait dengan beberapa
informasi awal yang diperoleh dari KPPBC Tipe C Magelang. Menurut informan dari
KPP Pratama Magelang, dua kawasan berikat berupa industri garmen yang terdapat pada
data yang diberikan oleh KPPBC Tipe C Magelang, sudah pindah pegadministrasiannya
ke KPP Madya Surakarta sejak awal tahun 2021. KS 2 menjelaskan sebagai berikut.
“Dua kawasan berikat tersebut berdasarkan master file sudah pindah ke KPP
Madya Surakarta sejak awal tahun 2021. Pemindahan dua wajib pajak tersebut
akibat adanya reorganisasi instansi vertikal di DJP. (Informan 4, Kepala
Subbagian Umum dan Kepatuhan Internal KPP Pratama Magelang)
Terkait dengan kedua kawasan berikat yang sudah pindah pengadministrasiannya
maka para informan KPP Pratama Magelang menyarankan agar kedepan, KPPBC Tipe
C Magelang dapat melakukan joint program dengan KPP Madya Surakarta. Selain itu,
karena luas wilayah kerja KPPBC Tipe C Magelang hingga ke Kabupaten Temanggung
dan Kabupaten Wonosobo (penghasil rokok dan tembakau yang cukup potensial di
daerah tersebut), maka kedepan KPPBC Tipe C Magelang juga disarankan untuk dapat
melakukan joint program dengan KPP Pratama Temanggung. Para informan juga
menjelaskan bahwa target penerimaan KPP Pratama Magelang di tahun 2021 adalah
sebesar Rp. 586.413.749.000. Penerimaan pajak terbesar adalah dari PPh setelah itu
diikuti dengan PPN. Oleh karena itu, data pembayar cukai yang memiliki NPWP kode
J I P A K 2 0 2 2 | 253
KPP Pratama Magelang dapat dilakukan penyandingan data dengan pembayaran PPh
atau PPN agar dapat dilihat selisih atau agregat yang dapat menjadi potensi penerimaan
baru. Berdasarkan informasi tersebut, peneliti memiliki kesimpulan bahwa terdapat
target cukai yang besar dan adanya pembayaran PPh serta PPN dapat menjadi starting
condition program kerja sama antara KPPBC Tipe C Magelang dengan KPP Pratama
Magelang.
2. Collaborative Process
Collaborative Process atau proses kerja sama terdiri lima proses yaitu Face to Face
Dialogue, Trust-Building, Commitment to Process, Shared Understanding, dan
Intermediate Outcomes. Pertama adalah Face to Face Dialogue, proses kerja sama dapat
terjadi apabila kedua instansi melakukan dialog tatap muka dengan niat yang baik.
Hingga saat ini, KPPBC Tipe C Magelang dan KPP Pratama Magelang belum pernah
melakukan dialog tatap muka. Kerja sama dapat dilakukan apabila pimpinan kedua
instansi bersedia memfasilitasi dilakukannya dialog tatap muka. Sarana dialog tatap
muka di KPP Pratama Magelang dapat dilakukan melalui media in house training (IHT)
yang rutin dilakukan seminggu sekali. KPPBC Tipe C Magelang juga sudah rutin
melakukan Program Peningkatan Kompetensi Pegawai (mirip dengan IHT), sebagai
tempat untuk bertukar ilmu dan informasi. Pada dasarnya kedua pimpinan instansi juga
bersedia untuk memfasilitasi adanya dialog tatap muka antara pegawai KPPBC
Magelang dan pegawai KPPBC Tipe C Magelang. Kakap 2 menjelaskan sebagai berikut.
“Iya bisa juga nanti kedepannya kita mengundang pihak KPPBC Tipe C Magelang
untuk saling sharing proses bisnis antar dua kantor. Dari situ nanti kita dapat
melihat potensi yang dapat menjadi objek kolaborasi. (Informan 2, Kepala KPP
Pratama Magelang)
Melalui dialog tatap muka akan terjadi pertukaran informasi terkait dengan proses bisnis,
pertukaran data, pertukaran informasi, dan bahkan dengan adanya dialog tatap muka
akan terjadi proses kerja sama yang kedua yaitu trust-building. Kakap 1 menjelaskan
sebagai berikut.
“Dialog tatap muka ini sangat baik ya, dapat menjadi wadah bagi kedua instansi
untuk bertukar informasi. Selain itu, dialog tatap muka juga dapat menjadi titik
awal terjadinya proses saling percaya antar pegawai atau istilahnya dapat
menghilangkan mental block antar pegawai di kedua instansi. (Informan 1, Kepala
KPPBC Tipe C Magelang)
Peneliti dalam artikel ini juga menjadi pihak penghubung (mediator) antara KPP
Pratama Magelang dengan KPPBC Tipe C Magelang. Setelah terjadi dialog antara
peneliti dengan para informan di kedua instansi menimbulkan kepercayaan dari kedua
instansi terhadap peneliti. Tahap kedua yaitu kepercayaan yang timbul dari kedua
instansi kepada peneliti terlihat dari kesediaan dari kedua instansi untuk menyediakan
berbagai data kepada peneliti. Berdasarkan hal tersebut, peneliti berkeyakinan apabila
kedepannya telah terjadi dialog tatap muka antar instansi (KPP Pratama Magelang dan
KPPBC Tipe C Magelang secara langsung tanpa menggunakan pihak ketiga) maka akan
254 | J I P A K 2 0 2 2
semakin tercipta rasa percaya antar instansi, yang berakibat akan semakin banyak data
yang terungkap. Berikut beberapa data yang diperoleh dari proses dialog yang dilakukan
oleh peneliti kepada para informan di kedua instansi. Pertama adalah terkait data
penindakan atas distributor rokok di daerah Magelang yang mendistribusikan rokok
tanpa pita cukai.
Tabel 1
Data Penindakan Rokok Ilegal Tahun 2021
Pelaku
Nilai Barang
Potensi Kerugian
Tahun
AZX
Rp 37.454.400,00
Rp 21.786.710,40
2021
BZX
Rp 31.995.000,00
Rp 18.193.053,00
2021
CZX
Rp 379.032.000,00
Rp 220.477.712,00
2021
DZX
Rp 73.440.000,00
Rp 42.719.040,00
2021
EZX
Rp 148.104.000,00
Rp 97.330.464,00
2021
Sumber : KPPBC Tipe C Magelang yang Telah Diolah (2022)
Penindakan dilakukan dengan cara menyita dan memusnahkan barang sitaan serta
melihat potensi kerugiaan penerimaan cukai. Namun sesuai dengan standar operating
procedure yang ada, tidak terdapat kewajiban untuk meminta data pribadi distributor
yang ditindak, seperti data nomor induk kependudukan (NIK), Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP), detail nama perusahaan serta alamat perusahaan yang sebenarnya data
ini dapat dimanfaatkan oleh KPP Pratama Magelang, untuk menelusuri kepemilikan
NPWP. Kedepan, disarankan apabila setiap tindakan penangkapan selalu diikuti dengan
permintaan data pribadi seperti NPWP dan NIK agar hasil tangkapan tetap dapat menjadi
sumber penggalian potensi.
Kedua adalah data terkait dengan tujuh pembayar cukai terbesar di KPPBC Tipe C
Magelang yang terdaftar di KPP Pratama Magelang untuk tahun 2020 dan 2021.
Tabel 2
Data Tujuh Pembayaran Cukai Terbesar Ber-NPWP KPP Pratama Magelang
Tahun 2020 dan 2021
Nama Perusahaan
NPWP Perusahaan
Pembayaran Cukai 2020
Pembayaran Cukai 2021
AABX
000.000.000-524.000
Rp. 41.860.000
Rp. 72.044.000
BBBX
000.000.000-524.000
Rp. 41.250.000
Rp. 57.204.000
CCBX
000.000.000-524.000
Rp. 16.660.000
Rp. 6.076.000
DDBX
000.000.000-524.000
Rp. 15.960.000
Rp. 10.276.000
EEBX
000.000.000-524.000
Rp. 10.233.000
Rp. 5.850.000
FFBX
000.000.000-524.000
Rp. 9.240.000
Rp. 4.830.000
GGBX
000.000.000-524.000
Rp. 8.740.000
Rp. 3.869.000
Sumber : KPPBC Tipe C Magelang yang Telah Diolah (2022)
Ketiga adalah data terkait dengan pembayaran pajak yang dilakukan oleh pembayar
cukai ber-NPWP KPP Pratama Magelang tahun 2020 dan tahun 2021.
J I P A K 2 0 2 2 | 255
Tabel 3
Data Pembayaran Pajak Tahun 2020 dan 2021 atas Trigger Data
dari KPPBC Tipe C Magelang
Wajib
Pajak
PKP
PPh
Pasal 25
PPN
PP 23
Total
Pajak
2020
PPh
Pasal 25
PPN
PP 23
Total
Pajak
2021
Keterangan
AABX
Tidak
0
0
0
-
0
0
0
-
NPWP dan
Nama Tidak
Cocok
BBBX
Tidak
0
0
0
-
0
0
0
-
-
CCBX
Tidak
0
0
0
-
0
0
0
-
DDBX
Tidak
0
0
0
-
0
0
0
-
NPWP dan
Nama Tidak
Cocok
EEBX
Ya
364.813
14.592.500
0
14.957.313
58.356
0
0
58.356
NPWP dan
Nama Tidak
Cocok
FFBX
Tidak
0
0
0
-
0
0
0
-
NPWP dan
Nama Tidak
Cocok
GGBX
Tidak
0
0
0
-
0
0
0
-
-
Catatan : Pajak dalam Rupiah
Sumber: KPP Patama Magelang yang Telah Diolah (2022)
Berdasarkan validasi data yang dilakukan oleh KPP Pratama Magelang terhadap data
dari KPPBC Tipe C Magelang terdapat beberapa NPWP yang tidak sesuai dengan nama
pemilik. Para informan KPP Pratama Magelang menyarankan bahwa kedepannya data
NPWP ini dapat dilakukan validasi kepada KPP Pratama Magelang.
Keempat terkait dengan data klasifikasi lapangan usaha (KLU) pengusaha rokok.
Tabel 4
Data Klasifikasi Lapangan Usaha Pengusaha Rokok
Uraian
Jumlah
Wajib
Pajak
Penerimaan
2020
(dalam Rupiah)
2021 (S.D 30 April)
(dalam Rupiah)
Industri Rokok Kretek (12011)
13
1.354.945.357
856.791.438
Industri Rokok Putih (12012)
0
0
0
Industri Rokok dan Cerutu lainnya (12019)
9
214.500
167.500
Industri Pengeringan dan Pengolahan
Tembakau (12091)
6
20.000
0
Industri Bumbu Rokok serta Kelengkapan
Rokok Lainnya (12099)
10
612.389.944
810.044.274
Sumber : KPP Patama Magelang yang Telah Diolah (2022)
Berdasarkan analisis awal di tabel 4, terdapat 13 perusahaan KLU Industri Rokok Kretek
(12011) yang terdaftar di KPP Pratama Magelang dengan total pembayaran pajak di
tahun 2020 sebesar Rp. 1.354.945.357 dan total pembayaran pajak hingga akhir April
2021 sebesar Rp. 856.791.438. Kemungkinan besar belum seluruh perusahaan KLU
Industri Rokok Kretek (12011) terdaftar dan rutin membayar cukai di KPPBC Tipe C
256 | J I P A K 2 0 2 2
Magelang. Hal tersebut dapat menjadi bahan penggalian potensi penerimaan tambahan
KPPBC Tipe C Magelang.
Setelah terbangun rasa percaya maka selanjutnya akan masuk ke proses kerja sama
ketiga yaitu Commitment to Process. Setelah data-data terungkap dan disampaikan
kepada para pimpinan di kedua instansi. Para informan menyebutkan bahwa kedepannya
dimungkinkan untuk dilakukan joint program berupa joint data dan joint analysis atau
bahkan joint visit. Kakap 1 menjelaskan sebagai berikut.
“Ya mungkin ya kedepannya kita dapat melakukan joint data dan joint analysis
dengan KPP Pratama Magelang. Joint visit juga bisa juga dilakukan. (Informan
1, Kepala KPPBC Tipe C Magelang)
Kakap 2 juga menjelaskan hal yang sama:
“Ya bisa saja kedepannya dilakukan joint data dan juga joint analysis dengan
KPPBC Tipe C Magelang. Tapi kalau secondment belum dimungkinkan ya,
soalnya itu juga butuh izin dari Kantor Pusat dan sepertinya di Magelang ini
belum diperlukan. (Informan 2, Kepala KPP Pratama Magelang)
Setelah terbangun komitmen terhadap proses maka langkah selanjutnya adalah
proses kerja sama shared understanding dan terakhir akan masuk ke dalam proses kerja
sama terakhir yaitu intermediate outcomes. Salah satu contoh intermediate outcomes dari
hasil penggalian potensi dari penyandingan data dari KPPBC Tipe C Magelang dan KPP
Pratama Magelang adalah perusahaan rokok dengan singkatan AABX. Berdasarkan data
dari KPPBC Tipe C Magelang, perusahaan AABX melakukan pembayaran cukai pada
tahun 2020 sebesar Rp. 41.860.000 sedangkan menurut data pembayaran pajak di KPP
Pratama Magelang belum terdapat pembayaran pajak sama sekali. Hingga akhir April
tahun 2021, perusahaan AABX membayar cukai sebesar Rp. 4.312.000 sedangkan
menurut data pembayaran pajak di KPP Pratama Magelang belum terdapat pembayaran
pajak sama sekali. Atas perbedaan agregat pembayaran cukai dengan pajak, berikut
dihitung detail potensi pajak penghasilan kurang bayar perusahaan AABX.
Tabel 5
Penghitungan PPh Kurang Bayar Perusahaan AABX Untuk 2020
Informasi Data
Jumlah
(Rp)
Keterangan
Pembayaran Cukai 2020
41.860.000
Berdasarkan data pembayaran cukai
KPPBC Tipe C Magelang
Asumsi TIS dengan harga per batang
400
Berdasarkan PMK 198/PMK.010/2020
Tarif Cukai per batang
30
Berdasarkan PMK 198/PMK.010/2020
Jumlah batang dijual tahun 2020
1.395.333
Hasil pembagian jumlah pembayaran
cukai dengan tarif cukai per batang
Omset 2020
558.133.333
Jumlah pengkalian dari jumlah batang
dijual tahun 2020 dengan harga TIS per
batang
Asumsi penghasilan neto (10%)
55.813.333
Menggunakan asumsi rata-rata
penghasilan bersih perusahaan industri
rokok
PPh Kurang dibayar tahun 2020 (25%)
13.953.333
Masih menggunakan tarif 25%
Sumber : KPP Patama Magelang yang Telah Diolah (2022)
J I P A K 2 0 2 2 | 257
Tabel 6
Penghitungan PPh Kurang Bayar Perusahaan AABX hingga Akhir April 2021
Informasi Data
Jumlah
(Rp)
Keterangan
Pembayaran Cukai 2021
4.312.000
Berdasarkan data pembayaran cukai
KPPBC Tipe C Magelang
Asumsi TIS dengan harga per batang
400
Berdasarkan PMK 198/PMK.010/2020
Tarif Cukai per batang
30
Berdasarkan PMK 198/PMK.010/2020
Jumlah batang dijual tahun 2020
143.733
Hasil pembagian jumlah pembayaran
cukai dengan tarif cukai per batang
Omset 2021
57.493.333
Jumlah pengalian dari jumlah batang
dijual tahun 2021 dengan harga TIS
per batang
Asumsi penghasilan neto (10%)
5.749.333
Menggunakan asumsi rata-rata
penghasilan bersih perusahaan industri
rokok
PPh Kurang dibayar tahun 2021 (22%)
1.264.853
Menggunakan tarif 22%
Sumber : KPP Patama Magelang yang Telah Diolah (2022)
Berdasarkan penghitungan di tabel 5 terdapat potensi PPh Kurang Bayar untuk tahun
pajak 2020 dari perusahaan AABX sebesar Rp. 13.953.333, sedangkan menurut
penghitungan di tabel 6 potensi PPh Kurang Bayar hingga akhir April 2021 adalah
sebesar Rp. 1.264.853. Jadi total PPh kurang bayar keseluruhan adalah Rp.
15.218.186. Ini merupakan salah satu contoh potensi penerimaan pajak baru, yang
diperoleh dari adanya agregat pembayaran pajak dengan pembayaran cukai. Masih
terdapat wajib pajak lain yang dapat digali potensinya berdasarkan perbedaan
pembayaran cukai dan pajak, yang kedepannya dapat terus dilakukan dan dikembangkan.
3. Outcomes
Berdasarkan analisis awal yang telah dilakukan, setidaknya untuk saat ini terdapat
intermediate outcome berupa temuan potensi penerimaan negara atas penyandingan data
pembayaran cukai dengan data pembayaran PPh atas perusahaan AABX sebesar Rp.
15.218.186. Selain itu, terdapat data 13 perusahaan dengan KLU Industri Rokok Kretek
(12011) yang terdaftar di KPP Pratama Magelang dengan total pembayaran pajak di
tahun 2020 sebesar Rp. 1.354.945.357 dan total pembayaran pajak hingga akhir April
2021 sebesar Rp. 856.791.438. Kemungkinan besar belum seluruh perusahaan KLU
Industri Rokok Kretek (12011) terdaftar dan rutin membayar cukai di KPPBC Tipe C
Magelang. Dua hal ini merupakan contoh intermediate outcome yang diperoleh dari
kegiatan kerja sama antara KPPBC Tipe C Magelang dengan KPP Pratama Magelang.
Masih terdapat wajib pajak lain yang dapat digali potensinya berdasarkan perbedaan
pembayaran cukai dan pajak, yang kedepannya dapat terus dilakukan dan dikembangkan.
Ditambah masih terdapat potensi penerimaan cukai yang masih dapat terus digali dari
data KLU pengusaha rokok yang ternyata masih banyak yang belum terdaftar di KPPBC
Tipe C Magelang.
Setiap intermediate outcome berupa potensi penerimaan negara yang dapat
direalisasikan yang diperoleh dari proses kerja sama bukan merupakan titik akhir dari
258 | J I P A K 2 0 2 2
proses kolaboratif, namun diperlukan tindak lanjut. Tindak lanjut tersebut dapat berupa
wajib pajak yang belum membayar pajak akan ditagih untuk membayar pajak.
Selanjutnya wajib pajak tersebut terus dibimbing agar mendapatkan outcome berupa
voluntary compliance (pembayaran pajak dan pelaporan pajak secara berkelanjutan).
Pengguna jasa yang belum mendaftarkan diri dan belum membayar cukai akan diminta
untuk mendaftarkan diri dan melakukan pembayaran cukai serta dibimbing terus
menerus agar mendapatkan outcome berupa voluntary compliance (pembayaran cukai
dan pelaporan cukai secara berkelanjutan).
Solusi agar Joint Program Dapat Terus Berjalan untuk Mengoptimalkan
Penerimaan Negara
Berdasarkan hasil wawancara dari para informan, minimal terdapat tiga jenis joint
program yang dapat diimplementasikan bagi unit vertikal terkecil DJP dan DJBC. Tiga
program tersebut adalah joint data (bertukar data cukai dengan data PPh dan PPN antar
dua instansi), joint analysis (melakukan analisis laporan keuangan secara bersama atau
data-data lainnya), dan joint visit (melakukan kunjungan ke tempat wajib pajak secara
bersama-sama antar dua instansi). Selain itu, terdapat berbagai kendala dan potensi
penerimaan baru dari program kerja sama yang ditemukan dalam penelitian. Temuan
dalam penelitian ini perlu dieskalasi ke tingkat yang lebih tinggi yaitu ke Kantor Wilayah
masing-masing instansi agar dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan untuk
menyusun panduan tentang pengimplementasian joint program di tingkat KPP Pratama
dan KPPBC Tipe C. Harapannya masukan dari penelitian ini juga dapat dieskalasi
kembali oleh pihak Kantor Wilayah ke level yang lebih tinggi yaitu Kantor Pusat atau
bahkan ke level Kementerian. Kerja sama antara instansi kepabeanan dan instansi
perpajakan di semua tingkatan dari level pusat hingga level terkecil itu sangat penting
dan perlu didukung keberlanjutannya dalam menghadapi tantangan yang ada maupun
yang akan berkembang di masa depan. Salah satunya adalah dengan menyusun aturan
dan panduan joint program untuk level terkecil. Kakap 1 menjelaskan sebagai berikut.
“Iya ada panduan untuk unit vertikal terkecil akan lebih baik ya. Jadi, kita ada
gambaran untuk menjalankan kerja sama dengan KPP Pratama Magelang.
(Informan 1, Kepala KPPBC Tipe C Magelang)
Selain di dukung dengan aturan, temuan dalam penelitian ini juga menunjukkan,
perlunya penyusunan proses bisnis bersama dan pengintegrasian teknologi informasi
antara dua instansi. Panduan proses bisnis bersama dan pengintegrasian teknologi
informasi antar kedua instansi akan semakin mengembangkan program kerja sama dan
tentunya akan semakin mendorong optimalisasi penerimaan negara (memudahkan joint
data dan joint analysis). Penyusunan aturan tentang panduan pengimplementasian
program kerja sama di unit vertikal terkecil, penyusunan proses bisnis bersama, dan
pengintegrasian teknologi informasi di kedua instansi memperoleh dukungan dari Kepala
KPPBC Tipe C Magelang dan Kepala KPPBC Tipe C Magelang.
J I P A K 2 0 2 2 | 259
5. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa belum
terdapat joint program antara KPP Pratama Magelang dengan KPPBC Tipe C Magelang.
Setidaknya terdapat tiga tantangan yang menyebabkan kedua instansi belum
menjalankan joint program, yaitu: belum adanya panduan pengimplementasian joint
program bagi unit vertikal terkecil DJP dan DJBC; adanya pertimbangan cost and
benefit; dan terdapat perbedaan wilayah kerja.
Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah terjadi proses kerja sama
seperti yang dijelaskan dalam Collaborative Governance Theory yaitu dialog tatap muka
dan membangun kepercayaan yang pelaksanaannya dimediasi oleh peneliti, setidaknya
terdapat tiga kerja sama yang dapat dilakukan oleh KPP Pratama Magelang dan KPPBC
Tipe C Magelang. Tiga kerja sama tersebut adalah joint data, joint analysis, dan joint
visit. Ketiga kerja sama tersebut terbukti dapat menemukan potensi penerimaan pajak
dan cukai baru, yang diperoleh dari hasil penghitungan selisih pembayaran antara
pembayaran PPh dan PPN dengan pembayaran cukai.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa setiap penerimaan negara baru yang
dapat direalisasikan dari proses kerja sama bukan merupakan titik akhir dari proses
kolaboratif, namun diperlukan tindak lanjut. Tindak lanjut tersebut dapat berupa
memberikan bimbingan kepada wajib pajak agar mendapatkan outcome berupa voluntary
compliance (pembayaran pajak dan cukai secara berkelanjutan).
Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian, artikel ini memberikan beberapa implikasi. Pertama,
perumus kebijakan di kedua instansi perlu segera merumuskan aturan terkait dengan
panduan pelaksanaan joint program bagi unit vertikal terkecil. Mengingat jumlah unit
vertikal DJP dan DJBC (KPP Pratama dan KPPBC Tipe C) sangat banyak yaitu 365 unit
yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Temuan penelitian menunjukkan bahwa
setidaknya terdapat tiga jenis joint program yang dapat dilakukan oleh unit vertikal
terkecil yaitu: joint data, joint analysis, dan joint visit. Perumus kebijakan dapat
mempertimbangkan temuan untuk menyempurnakan KMK-210/KMK.01/2021 tentang
Program Sinergi Reformasi dalam Rangka Optimalisasi Penerimaan Negara atau bahkan
dapat dipertimbangkan untuk membuat aturan baru terkait dengan panduan joint
program khusus untuk unit vertikal terkecil.
Kedua, keberlanjutan joint program harus terus dilakukan. Selain di dukung
dengan aturan, temuan penelitian menunjukkan bahwa joint program dapat terus
ditingkatkan dengan cara melakukan pengintegrasian proses bisnis, pengintegrasian data,
dan pengintegrasian teknologi informasi. Berbagai pengintegrasian tersebut akan dapat
membuat program kerja sama semakin kuat dan berkembang.
260 | J I P A K 2 0 2 2
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat saran-saran yang dapat digunakan untuk
penelitian selanjutnya. Penelitian ini, hanya terbatas pengambilan narasumber dari KPP
Pratama Magelang dan KPPBC Tipe C Magelang. Penelitian selanjutnya dapat
menambah narasumber dari Kantor Wilayah Pajak serta Kantor Wilayah Bea dan Cukai
yang menjadi penanggung jawab joint program. Penambahan narasumber akan
menambah informasi terkait dengan program kerja sama, sehingga penelitian yang
didapatkan akan lebih lengkap.
Kedua, penelitian ini baru meneliti serta mengevaluasi pengimplementasian joint
program di level terkecil. Kedepannya dapat menambah objek penelitian di level
menengah yaitu tingkat KPP Madya dan KPPBC Tipe B. Hingga saat ini juga belum
terdapat panduan resmi tentang pengimplementasian joint program di level menengah.
Ketiga, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian kualitatif belum
terlalu umum. Peneliti selanjutnya dapat menggunakan analisis kuantitatif, agar dapat
memperoleh hasil penelitian yang lebih umum.
DAFTAR PUSTAKA
A., I. R. (2018). Self assesment system sebagai dasar pungutan pajak di Indonesia. Jurnal
Al-‘Adl, 11(2), 81–88.
A, B. (2018). The efficiency of transfer pricing rules as a corrective mechanism of
income tax avoidance. Journal of Civil & Legal Sciences, 07(01).
https://doi.org/10.4172/2169-0170.1000237
Ansell, C. (2008). The Oxford Handbook of Governance.
Ansell, C., & Gash, A. (2008). Collaborative governance in theory and practice. Journal
of Public Administration Research and Theory, 18(4), 543–571.
https://doi.org/10.1093/jopart/mum032
Apriliawati, Y., & Muhammad, R. N. (2021). Analisis perubahan tarif PPh final terhadap
kepatuhan wajib pajak penghasilan. Jurnal Informasi, Perpajakan, Akuntansi, dan
Keuangan Publik, 16(1), 119–132. https://doi.org/10.25105/jipak.v16i1.8034
Arnold, B. J. (2016). International Tax Primer (3rd ed.). Kluwer Law International B.V.
As’qri, N. G. (2018). Pengaruh pemahaman peraturan perpajakan, kualitas pelayanan,
kesadaran wajib pajak dan sanksi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak orang
pribadi (Studi empiris pada wajib pajak orang pribadi kecamatan Rongkop). Jurnal
Ekobis Dewantara, 1(6), 64–76.
Chiarini, B., & Marzano, E. (2019). A strategic approach for the crime of tax evasion.
Journal of Financial Crime, 26(2), 477–487. https://doi.org/10.1108/JFC-02-2018-
0026
Christensen, D. M., Dhaliwal, D. S., Boivie, S., & Graffin, S. D. (2015). Top
management conservatism and corporate risk strategies: Evidence from managers’
personal political orientation and corporate tax avoidance. Strategic Management
Journal, 36(12), 1918–1938. https://doi.org/10.1002/smj.2313
Creswell, J. W. (2014). Research Design Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan
Campuran. Diterjemahkan oleh Achmad Fawaid dan Rianayati Kusmini Pancasari
(4th ed.). Penerbit Pustaka Pelajar.
J I P A K 2 0 2 2 | 261
Diamastuti, E. (2018). Ke (tidak) patuhan wajib pajak: Potret self assessment system.
EKUITAS (Jurnal Ekonomi Dan Keuangan), 20(3), 280–304.
https://doi.org/10.24034/j25485024.y2016.v20.i3.52
Direktorat Jenderal Pajak. (2021). Struktur Organisasi. Direktorat Jenderal Pajak.
https://www.pajak.go.id/id/struktur-organisasi
Fama, E. F. (2021). Taxes. European Financial Management, 27(1), 3–11.
https://doi.org/10.1111/eufm.12300
Granda, M. L. (2021). Tax haven ownership and business groups: Tax avoidance
incentives in Ecuadorian firms. Journal of Business Research, 130(July 2020), 698–
708. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2020.07.012
Hajawiyah, A., Suryarini, T., Kiswanto, & Tarmudji, T. (2021). Analysis of a tax
amnesty’s effectiveness in Indonesia. Journal of International Accounting, Auditing
and Taxation, 44. https://doi.org/10.1016/j.intaccaudtax.2021.100415
Harahap, M., Sinaga, B. M., Manurung, A. H., Nur, T., & Maulana, A. (2018). Impact
of policies and macroeconomic variables on tax revenue and effective tax rate of
infrastructure, utility, and transportation sector companies listed in Indonesia Stock
Exchange. International Journal of Economics and Financial Issues, 8(3), 95–104.
http:www.econjournals.com
Kementerian Keuangan. (2020). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.01/2020
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.01/2016
tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
Kementerian Keuangan. (2021). APBN Kita Kinerja dan Fakta 2021.
https://www.kemenkeu.go.id/media/17049/apbn-kita-januari-2021.pdf
Kementerian Keuangan. (2021). KMK-210/KMK.01/2021tentang Program Sinergi
Reformasi dalam Rangka Optimalisasi Penerimaan Negara.
Kubick, T. R., Lynch, D. P., Mayberry, M. A., & Omer, T. C. (2016). The effects of
regulatory scrutiny on tax avoidance: An examination of SEC comment letters.
Accounting Review, 91(6), 1751–1780. https://doi.org/10.2308/accr-51433
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1992). Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of
New Method. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Universitas Indonesia (UI-
PRESS).
Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya.
Nugrahanto, A., & Muchtar, M. (2019). Sinergi otoritas pajak dan kepabeanan melalui
pemeriksaan joint audit. Jurnal Perspektif Bea Dan Cukai Vol.3 No.2 2019 Sinergi,
3(2).
Organisation for Economic Co-operation and Development. (2021). Glossary of Tax
Term. OECD.Org. https://www.oecd.org/ctp/glossaryoftaxterms.htm
Ping, L., & Silberztein, C. (2007). Transfer pricing, customs duties and VAT Rules: Can
we bridge the gap? World Commerce Review Volume 1, Issue 1.
Prasetyarini, A. N., Rusmana, O., & Putri, N. K. (2019). The effectiveness of self-
assessment system on tax revenue. Acta Universitatis Danubius, 15(4), 293–305.
Prima, B. (2019). Joint program Ditjen Pajak, Bea Cukai dan Anggaran bisa tambah
penerimaan Rp 50 T. Nasional.Kontan.Co.Id.
https://nasional.kontan.co.id/news/joint-program-ditjen-pajak-bea-cukai-dan-
anggaran-bisa-tambah-penerimaan-rp-50-t
262 | J I P A K 2 0 2 2
Rachdianti, F. T. (2016). Pengaruh penggunaan e-tax terhadap kepatuhan wajib pajak
(Studi pada wajib pajak terdaftar di Dinas Pendapatan Daerah Kota Malang). Jurnal
Perpajakan (JEJAK), 11(1), 1–7.
Ramalan, S. (2021). Tax Ratio Indonesia Masih Tertinggal oleh Malaysia, Thailand,
hingga Filipina. Idxchannel.Com. https://www.idxchannel.com/economics/tax-
ratio-indonesia-masih-tertinggal-oleh-malaysia-thailand-hingga-filipina
Remali, A. M., Satar, A. N. S. A., Mamad, F. N. A., Abidin, N. F. Z., & Zainuddin, S. Z.
(2018). Tax knowledge , tax penalty and tax rate on tax compliance among small
medium enterprise in Selangor. Global Business and Management Research, 10(3),
12–24. www.smecorp.gov.my
Saputra, M. F., Rifa, D., & Rahmawati, N. (2015). Pengaruh corporate governance,
profitabilitas dan karakter eksekutif terhadap tax avoidance pada perusahaan yang
terdaftar di BEI. Jurnal Akuntansi & Auditing Indonesia, 19(1), 1–12.
https://doi.org/10.20885/jaai.vol19.iss1.art1
Sembiring, L. J. (2021). Ya Tuhan ! 12 Tahun RI Tak Pernah Capai Target Pajak.
Cnbcindonesia.Com. https://www.cnbcindonesia.com/news/20210128154652-4-
219466/ya-tuhan-12-tahun-ri-tak-pernah-capai-target-pajak
Setiawan, D., Kurniawan, B., & Payamta, P. (2018). Dampak penggunaan e-filling
terhadap kepatuhan wajib pajak: Peran perilaku wajib pajak sebagai variabel
mediasi. Jurnal Akuntansi & Auditing Indonesia, 22(1), 12–24.
https://doi.org/10.20885/jaai.vol22.iss1.art2
Suranta, E., Midiastuty, P. P., Fitranita, V., & Dianty, A. T. (2021). Siklus hidup
perusahaan dan penghindaran pajak. Jurnal Informasi, Perpajakan, Akuntansi, Dan
Keuangan Publik, 16(1), 1–20. https://doi.org/10.25105/jipak.v16i1.6162
Tambunan, M. R. U. D. (2021). Adopting BEPS Inclusive Framework in Indonesia:
Taxation issues and challenges in a digital era. BISNIS & BIROKRASI: Jurnal Ilmu
Administrasi dan Organisasi, 27(3). https://doi.org/10.20476/jbb.v27i3.11829
Wibowo, W. (2018). Joint Audit Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai: Analisis
Faktor-Faktor Pemampu Kerja Sama dan Pertukaran Informasi. Magister
Akuntansi Universitas Gadjah Mada.
Wildan, M. (2020). Kemenkeu Ramu Ulang Pengawasan Wajib Pajak.
Ekonomi.Bisnis.Com.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20200228/259/1207153/kemenkeu-ramu-ulang-
pengawasan-wajib-pajak-
World Customs Organization. (2016). Guidelines for Strengthening Cooperation and the
Exchanging of Information between Customs and Tax Authorities at the National
Level. Wcoomd.Org.
http://www.wcoomd.org/~/media/wco/public/global/pdf/topics/facilitation/instrum
ents-and-tools/tools/customs-tax-
cooperation/customs_tax_guidelines_en_final2.pdf?la=en
Wujira, M. (2016). The Challenges of Post Clearance Audit (PCA) in Ethiopian
Revenues and Customs Authority: The Case of Addis Ababa Kality and Mojo Dry
Port Customs Branch Offices. St. Mary’s University.