Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
181
Vol. 17 No. 2 December 2022
Nurul Muriyanti, Luluk Asmawati, Laily Rosidah
Hermeneutika adil gender menurut ulama
kontemporer dalam studi al-Qur’an
Muh. Hanif1*, Laila Nadzifatus Syarifah2
1*,2 UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Banyumas – Indonesia
1*muh.hanif@uinsaizu.ac.id; 2 lailanadzifa1901@gmail.com
INFO ARTIKEL
Riwayat Arkel:
Dikirim September 8, 2022
Direvisi October 26, 2022
Terbit December 1, 2022
Keywords: Hermeneucs;
Gender Jusce; Qur’anic
Studies
Abstract
This arcle discusses the hermeneucal approach to gender
in terms of comparisons from contemporary scholars. Islam
is a religion that teaches jusce or gender equality. However,
the dominance of patriarchal ideology in the interpretaon of
the Qur’an results in a misogynisc interpretaon that is not
gender-just. Gender construcon places the dominant male in
the private sector, namely the family sphere, and the public
sector, namely the community and work environment. Allah
SWT judges His servants in terms of piety and faith, not from
gender, ethnicity, naon, even descent. Contemporary scholars
are trying so that the Qur’an can be understood its implied
messages correctly and comprehensively, without taking sides
with one group, class, more specically on gender dierences.
The interpretaon of Allah’s messages from the Qur’an is sought
to develop to be more gender-just. If the Qur’an is understood
and interpreted textually only, it will result in a misogynisc
interpretaon of gender inequality that cannot solve the
problems that develop. The implicaon is that the Qur’an is
impressed as an outmoded product, a foreign product, perhaps
even abandoned by its loyal followers. This view of gender as
seen from hermeneucs has dierent perspecves but both
uphold gender equality. The data sources used in this arcle are
taken from various philosophical literature studies. The result is
an equal posion between women and men.
Kata Kunci: Hermeneuka,
Adil Gender, Studi Al-
Qur’an.
Arkel ini membahas pendekatan hermeneuka tentang
gender dilihat dari perbandingan para ulama kontemporer.
Islam adalah agama yang mengajarkan keadilan atau
kesetaraan gender. Namun, dominasi ideologi patriarkhi
pada penafsiran Al-Qur’an menghasilkan tafsir misoginis yang
dak adil gender. Konstruksi gender menempatkan laki-laki
dominan pada sektor privat yaitu lingkup keluarga dan sektor
[e-ISSN: 2548-5385] [p-ISSN: 1907-2791]
DOI: 10.24090/yinyang.v17i2.6870
Creave Commons Aribuon-ShareAlike 4.0 Internaonal License.
Published by LPPM of State Islamic University of Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto
182 Vol. 17 No. 2 December 2022
Hermeneutika adil gender menurut ulama kontemporer ...
publik yaitu lingkungan masyarakat dan lingkungan kerja.
Allah SWT menilai hambanya dilihat dari segi ketaqwaan dan
keimanannya, bukan dari jenis kelamin, suku, bangsa, bahkan
keturunan. Para ulama kontemporer berusaha agar Al-Qur’an
dapat dipahami pesan-pesan tersiratnya dengan benar dan
komprehensif, tanpa memihak salah satu kelompok, golongan,
lebih khususnya pada perbedaan jenis kelamin. Penafsiran
pesan-pesan Allah SWT dari Al-Qur’an tersebut diusahakan
berkembang menjadi lebih adil gender. Al-Qur’an jika dipahami
dan ditafsirkan secara tekstual saja, maka akan menghasilkan
penafsiran yang misoginis dak adil gender yang dak dapat
memecahkan persoalan yang berkembang. Implikasinya Al-
Qur’an terkesan sebagai suatu produk yang kenggalan zaman,
suatu produk yang asing, bahkan mungkin akan dinggalkan
para penganut seanya. Pandangan tentang gender dilihat dari
hermeneuka ini memiliki perspekf berbeda-beda namun
sama-sama menjunjung kesetaraan gender. Sumber data yang
digunakan pada arkel ini diambil dari berbagai studi pustaka
secara losos. Hasilnya adalah adanya kesamaan kedudukan
antara perempuan dan laki-laki.
Pendahuluan
Agama Islam adalah agama bagi alam semesta dan menyempurnakan ajaran
terdahulu, pastinya harus sanggup memberikan pemecahan sebuah masalah yang
ada dan berkembang. Di dalam agama Islam sendiri, terdapat cerminan sebuah
keadilan, dimana keadilan itu menjadi sesuatu yang penting bagi sebuah penelitian
Al-Qur’an. Berbincang mengenai keadilan sendiri, memunculkan perhatian
mengenai bagaimana kedudukan seorang laki-laki dan perempuan di dalam agama
Islam yang menjadi momok yang menarik dalam sebuah penelitian. Keberadaan
kaum perempuan menjadi sorotan dari berbagai aspek yang ada. Mengenai
kedudukan seorang perempuan tetap saja mengalami hambatan-hambatan sampai
saat ini (Duderija, 2020).
Al-Qur’an merupakan teks suci yang paling utama (Syaripudin, 2016), dan
Hadits sebagai teks suci kedua yang digunakan oleh umat muslim. Dalam kehidupan
sehari-hari, umat muslim berinteraksi dengan Al-Qur’an dalam bentuk membaca,
menghafalkan, dan menafsirkannya. Penaran Al-Qur’an ini dilakukan dengan
tujuan agar keduanya dapat mudah dipahami dan digunakan sebagai sumber
rujukan untuk memecahkan persoalan kehidupan seperti ibadah, kepemimpinan,
perkawinan, pembagian waris, persaksian, perdagangan, tata cara berpakaian (Jaya,
2020). Cara penafsiran Al-Qur’an yang berbeda, cenderung akan menghasilkan
183
Vol. 17 No. 2 December 2022
Muh. Hanif, Laila Nadzifatus Syarifah
konstruksi gender yang berbeda baik yang adil maupun yang tidak adil gender.
Hermeneutika hadir untuk mengembalikan pesan adil gender dari Al-Qur’an.
Asma Barlas (2019) mengungkapkan bahwa ajaran Al-Qur’an itu sangat
egalitir. Sebagai contoh dalam kaitannya bagaimana mengetahui ciri-ciri dari
Tuhan itu sendiri, seperti dalam mengetahui hak setiap hamba muslim untuk
mempelajari Al-Qur’an dengan tujuan sebagai jalan untuk memahami Tuhannya.
Namun ideologi patriarki menjadi perspektif untuk melestarikan tafsir Al-Qur’an
yang tidak adil gender. Ideologi patriarki menjustikasi struktur sosial yang tidak
adil bagi perempuan dalam penafsiran Al-Qur’an tersebut sehingga penafsiran Al-
Qur’an yang egaliter menjadi hilang.
Hermeneutika tidak tiba-tiba muncul sebagai bidang ilmu lsafat, tetapi
subbidang teologi dimana sejarah peradaban manusia termasuk dalam penelitian
sistematis mengenai pengenalan teks dan interpretasi namun pada periode setelah
memperluas cakupan hermeneutika ini digunakan untuk menyelesaikan masalah
interpretasi secara keseluruhan. Hermeneutika pada saat itu bukanlah sebagai
sesuatu yang penting dalam kemajuan berkir dalam bahasa, wacana, lsafat,
dan ilmu lainnya. Hermeneutika ini pertama digunakan untuk menafsirkan
kehendak dalam kitab suci yaitu kitab injil yang di dalamnya membahas tentang
cara mengetahui model interpretasi dan menulis. Seiring berjalannya waktu, hal ini
terus berkembang dalam berbagai disiplin ilmu. Hermeneutika semacam ini juga
dilakukan pada teks klasik Yunani dan Romawi yang terjadi kisaran abad 17 hingga
18 sehingga bentuk hermeneutika dalam kajian di atas mulai berkembang (Gilhus,
2021).
Ada kecenderungan penafsiran terhadap Al-Qur’an tidak adil gender. Penaran
terhadap Al-Qur’an lebih cederung melanggengkan ketidakadilan gender. Perlu
diupayakan penafsiran yang netral yang menyiratkan kesetaraan gender antara
laki-laki dan perempuan dari teks suci Al-Qur’an. Pendekatan hermeneutika untuk
mereduksi tendensi dan interpreter keegoisan dalam memaknai teks, khususnya
isu gender. Hermeneutika berdiri di atas studi tentang bahasa, sejarah, dan
kontekstualisasi (Izzah, 2021).
Hermeneutika sendiri merupakan sebuah cara untuk melakukan penafsiran
terhadap sistematis kalam Allah belakangan ini mulai menjadi momok masyarakat
baru. Dengan mengakui adanya realitas modern dan mengikuti standar ilmiah,
para pemimpin Islam modern telah melakukan hal tersebut. Namun kenyataan ini
mendapatkan kontroversial di kalangan pemikir Islam modern. Mereka memiliki
184 Vol. 17 No. 2 December 2022
Hermeneutika adil gender menurut ulama kontemporer ...
kekuatan dan kelemahan. Hermeneutika diharapkan dapat memberikan solusi
atas penafsiran yang dapat diimplementasikan pada roda kehidupan sehari-hari
tanpa mendominasi subjektivitas, kepribadian dan juga gender. Fakta sejarah telah
memberikan penjelasan yang benar tentang penghapusan Islam terhadap seksisme
dalam 15 abad ini. Sekalipun ada yang membedakan antara fungsi dan peran seorang
laki-laki dan seorang wanita, perbedaan tersebut tidaklah harus menjadi sesuatu
yang harus ditonjolkan satu sama lain. Tetapi kita harus menyadari bahwa adat dan
budaya masyarakat datang sebelum Islam. Zaman dahulu perempuan diposisikan
menjadi sesuatu yang tidak berharga, bahkan menjadi aib yang membawa kehinaan
bagi keluarganya. Fakta ini sangat tidak disukai oleh umat Islam. Dinamika ini
menjadi bukti bahwa Islam berpihak pada perempuan dan tidak mendiskriminasi
mereka, Islam memiliki prinsip salah satunya adalah prinsip kesetaraan antara
kemanusiaan dan keadilan baik seorang laki-laki maupun seorang perempuan,
yang memberi sebuah keseimbangan sejati diantara dua hal tersebut (Bahri dan
Fiqria, 2022).
Periode tersebut mengembangkan perspektif yang menciptakan pandangan
stereotype negatif terhadap wanita. Dari sudut pandang ini, formulasi sepihak
tentang hasil yang diperoleh yaitu hakikat menjadi wanita sejati. Pada tahap ini,
dia membentuk perilaku dan sikap seorang wanita, yang didenisikan sebagai sifat
wanita yang tidak berubah. Pandangan ini diperkuat dengan adanya ajaran agama
yang masih kuat di masyarakat hingga saat ini. Pandangan ini sering kali didukung
dengan pemahaman tentang ajaran agama yang baik yang bersumber dari Al-Qur’an
dan juga hadits. Zaman dahulu kala ajaran di doktrin oleh raja sebagai contoh Firaun
yang memandaang bahwa seorang perempuan adalah hamba yang rendah. Dari hal
semacam ini sangat berpengaruh terhadap lingkungan sekitar apabila memiliki
seorang anak perempuan yang menjadi aib bagi dirinya dan keluarganya. Anak
itu harus dibunuh dengan tragis, hal ini dipengaruhi oleh paham yang berpihak
kepada laki-laki daripada perempuan, dimana laki-laki memiliki peran dominan
dalam berbagai sektor, terlebih dari sektor publik. Dalam hal ini, kedatangan Islam
menyampaikan pesan moral umat manusia yaitu menunjukkan rahmat kepada
seluruh alam. Agama ini merujuk kepada hamba Allah untuk dibebaskan oleh
keterbelengguan kezaliman manusia, tetapi juga untuk membebaskan mereka
terhadap keterbelengguan insan yang musyrik kepada hal yang membawa kemajuan
terhadap manusia itu sendiri. Namun tujuan ini tidak sepenuhnya sesuai dengan
realita yang ada (Mohammed, 2019).
185
Vol. 17 No. 2 December 2022
Muh. Hanif, Laila Nadzifatus Syarifah
Anggapan bahwa Islam merupakan agama yang tidak memberikan
ketidaksamaan antara seorang laki-laki dan seorang wanita mulai kita hilangkan
dari benak pikiran kita. Dan anggapan seperti itu harus senantiasa diluruskan
(Marhumah, 2011: 131—132). Jika anggapan seperti itu masih kita jaga, maka
konsep kesetaraan gender tidak akan pernah terwujud sampai akhir kehidupan.
Dan yang akan terjadi hanyalah sikap selalu menomorduakan perempuan atas
laki-laki sebagaimana sikap selalu menganggap bahwa perempuan adalah sosok
perempuan penggoda seperti yang digambarkan pada kitab-kitab klasik dalam
kejadian turunnya nabi Adam dan Hawa, dan kisah Yusuf dan Zulaikha. Menurut
Ema Marhumah (2011) bahwa anggapan yang seperti itu harus senantiasa
diwaspadai bersama. Karena itu penulis merasa tertarik untuk mengadopsi tema
ini kedalam bentuk tulisan.
Terdapat beberapa tulisan yang membahas tentang hermeneutika dalam studi
Al Quran. Ismatul Izzah (2021) dalam penelitiannya menjelaskan bahwasanya
jenis kelamin ini merupakan realitas peran antara seorang lelaki dan seorang
wanita. Tinjauan terkait isu gender menempatkan perempuan kembali ke posisi
yang tersubordinasi atau sebaliknya. Dari pandangan hermeneutika karya Amina
Wadud, interpretasi dari Al-Qur’an yang membahas mengenai masalah gender
menjadi tujuan dari penelitian ini. Dia menekankan pemikirannya tentang masalah
gender mengukur dari segi latar belakang pribadi, keluarga, intelektual, dan budaya
setempat.
Rohatun Nihayah (2021) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa dengan
menggunakan teori penafsiran Gadamer mengenai dzauqal-hasan (prasangka baik
karena mempunyai hati yang bersih), artikel ini mengungkapkan bahwa surat Al-
Hujurat ayat 13 menunjukkan semangat kesetaraan gender. Penafsiran Al-Qur’anul
Karim surat Al-Hujurat ayat 13 menjelaskan bahwa Allah memberikan kesamaan
antara seorang laki-laki dan wanita yang membedakan manusia di hadapan Allah
adalah kualitas iman dan ketaqwaannya serta amal sholeh. Orang yang baik bukan
atas dasar jenis kelamin tetapi yang membedakan disisi Allah ada 3 hal, yaitu orang
yang panjang umur dan mengerjakan amal sholeh, orang yang mengajak amal sholeh
dan mencegah hal yang mungkar, dan orang yang mempersatukan silaturahmi dan
bertaqwa kepada Allah SWT.
Andik Wahyun Muqoyyidin (2013) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
hampir semua opini tentang gender muncul melalui proses sejarah yang panjang,
antara lain ketidaksamaan gender, ketimpangan jenis kelamin antara seorang
186 Vol. 17 No. 2 December 2022
Hermeneutika adil gender menurut ulama kontemporer ...
perempuan dan seorang laki-laki, dan tradisi sosial (termasuk tradisi keagamaan),
hal ini menjadi hal yang harus disosialisasikan, diperkuat, dan dikonstruksi. Feminis
muslim fokus pada dua isu yang sangat mendesak di dalam mempertahankan posisi
seorang laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat dilihat pertama kali dari kesejajaran
laki-laki terhadap perempuan dari perspektif struktur warga yang beragama Islam
dimana tidak hanya terfokus pada titik tertentu, tetapi lebih jauh mengkristal dan
bias oleh laki-laki, yang dianggap sebagai standar keyakinan Islam, bersumber
pada pemahaman. Dengan terwujudnya kesamaan, perihal ini bisa ditinjau lagi
sebagai pedoman umat muslim terkait relasi gender, dimulai dengan prinsip dasar
pendidikan: keadilan dan kesetaraan. Feminis Islam Amina Wadud menekankan
semangat egalitalianisme. Dia tidak melihat patriarki sebagai alternative dari
partiarki, yang diduga menyebabkan ketidaksamaan terhadap seorang perempuan.
Dia mengharapkan adanya relasi terhadap laki-laki dan perempuan yang terjadi
tidak hanya ditingkat makro (bangsa, masyarakat) tetapi di tingkat mikro (keluarga).
Fatima Melnissi, disisi lain, berusaha memberikan kerangka teoritis untuk politik
Islam dan disertasi Islam, terutama menggunakan pendekatan hermeneutika
sosiologis terhadap Al-Qur’an dan hadis. Bias gender menurutnya tidak lebih dari
konstruksi sosial masyarakat Islam yang patriarki, yang berusaha diberantas dengan
menuntut “pembacaan baru” teks-teks agama melalui hermeneutika.
Muhammad Fauzinuddin Faiz (2015) dalam penelitiannya mengungkap
bahwa setelah memahami pandangan dari Nasrh Hamid Abu Zaid yang memberi
variasi dan penginspirasian kepada pengembangan pemilikirannya, terlebih dalam
perteorian hermeneutikanya yang diimplementasikannya kepada hukum islam
yang berkembang dimasa sekarang.
Beberapa penelitian tersebut telah membahas penggunaan hermenetika untuk
penafsiran Al-Qur’an. Ismatul Izzah dan Andik Wahyun Muqoyyidin telah meneliti
pemikiran Amina Wadud, Rohatun Nihayah penggunaan hermeneutika gadamer
dalam tafsir Al Quran. Muhammad Fauzinuddin Faiz telah meneliti pemikiran
Nasrh Hamid Abu Zaid. Namun penelitian tersebut belum menjelaskan penggunaan
hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an oleh para feminis kontemporer yang
lebih luas yaitu meliputi pemikiran Amina Wadud Muhsin, Muhammad Syahrur,
Fazlur Rahman, Quraisy Syihab, Wahidur Rohim, Nashr Hamid Abu Zayd dan
Fatima Mernissi.
187
Vol. 17 No. 2 December 2022
Muh. Hanif, Laila Nadzifatus Syarifah
Hermeneutika
Hermeneutika hadir tidak lepas dari masalah dasar mengenai keautentikasi
Bibel dan makna yang terdapat di dalam teks itu (Muzayyin, 2015). Dari temuan
penelitian yang pernah dilakukan, diperoleh informasi bahwa hermeneutika
datang dari bahasa Yunani hermeneuein memiliki sebuah pengartian menafsirkan,
hermeneia memiliki arti interprestasi dan penafsiran menurut kata bendanya,
dan kata hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir). Berkaitan dengan hal ini
hermeneutika berarti nama dewa-dewa Yunani yaitu Hermes yang diutus sebagai
penjelmaan untuk para perempuan. Hermes adalah utusan yang diberikan kepada
para dewa yang ada di atas dan berpesan kepada para manusia semuanya (Faiz,
2015).
Metode interpretasi hermeneutika bukan lagi metode yang asing dalam
menafsirkan teks Al-Qur’an, tetapi wacananya mengenai interpretasi tradisional
kalam Allah sudah familiar dengan istilah Alta Tafsir dan Alta Kwill. Hermeneutika
dari negara Barat memiliki arti hermeneuine serta hermenia memiliki arti
“menafsirkan” serta “tata letak”, masing-masing “penafsiran”. Berbagai bentuk istilah
dapat dibaca dengan cara yang berbeda. Dalam sastra Yunani seperti organan karya
Aristoteles seperti dalam makalah yang terkenal yaitu Perihermeneias (tentang
interpretasi). Dia juga menggunakan beberapa kali dalam bentuk nominal di
Oedipus of Colonus yang megah dalam penulisan yang dilakukan oleh Plato. Kedua
istilah itu terkait dengan utusan dewa mitos Hermeios bertanggung jawab untuk
mengirim dan menerjemahkan pesan terbaik dalam bahasa Yunani kuno para dewa
ambigu dalam bahasa kono yang mudah dipahami oleh manusia (Saenong, 2002).
Kata Hermeneutika berasal Hermeneuein dari bahasa Yunani memiliki arti
menafsirkan, hermeneai dalam kata benda memiliki arti interpretasi penafsiran dan
hermeneutes memiliki arti penafsiran (interpreter). Hal tersebut berkaitan dengan
salah satu dewa yang bernama Hermes yang diberi utusan untuk warga pribumi.
Aristol juga menggunakan istilah ini dalam bab usulan logika yang berjudul
“Hermeneutika” (Hermeneutika yang berfokus terhadap pemahaman baik teks
kalam ilahi dan teks berasal dari nabinya). Ada tren utama dalam metode dan
teori dugaan. Pertama, autor centered theory, merupakan penyampaian tujuan yang
dilakukan penulis kepada pembaca. Kedua adalah sebuah teori yang bertitik pada
sebuah bacaan, yaitu yang terdapat dalam teks yang ada pada sendirinya. Disini
orang yang menulis tidak mengerti arti apa yang ditulis. Otomatis sikap yang
muncul yaitu sikap berdiri sendiri, yang menunjukkan otoritas dan juga sesuai
188 Vol. 17 No. 2 December 2022
Hermeneutika adil gender menurut ulama kontemporer ...
keadaan sehingga memunculkan sebuah metode yang bertumpu pada kondisi dan
orang yang terlibat saja. Isi dari kondisi tersebut bergantung pada penerimaan dan
pembuatan oleh penafsirannya sehingga hal ini bisa ditafsirkan oleh orang yang
menjadi objeknya (Mustaqim & Syamsuddin, 2002: 149).
Teori Diltley mendenikan hermeneutika sebagai pelengkap dari teori
interpretasi universal. Sehingga kualitas cerita tidak terkontaminasi oleh
pandangan misterius. Dia juga menegaskan bahwa prinsip-prinsip hermeneutika
dapat menjelaskan bagaimana mereka memberikan dasar teoritis untuk sebuah
pemahaman. Hal ini merupakan hal yang sangat penting untuk mengekstraksi
struktur kehidupan berdasarkan karya dan interpretasi karya yang memiliki struktur
kehidupan yang lengkap (Palmer, 2005: 128—129). Hermeneutika adalah cara yang
nyaman untuk mempelajari dan menafsirkan ucapan dan asumsi orang lain dan teks
dalam sejarah (Verhaak & Imam, 1989). Hermeneutika menurut Recour diartikan
sebagai teori tentang bagaimana pemahaman bekerja. Selanjutnya dia menjelaskan
bahwa kajian hermeneutika memiliki dua titik utama. Yang pertama adalah cara
pemahaman teks. Yang kedua mengenai masalah dalam pemahaman . Perihal ini
secara tersirat memberikan penjelasan bahwa hal yang utama dalam hermeneutika
ialah memahami bacaan (Rosyadi, 2019).
Secara umum, teori hermeneutika yang dilakukan oleh Zaid dapat ditarik
kesimpulan yaitu: Nashr Hamid Abu Zayd dalam teori hermeneutika memiliki
percorakan humanis-kritis kepada studi quran masa kini didalam kontribusinya
dalam hukum keluarga islam kontemporer. Karena memiliki peran dalam
interpretasi, hermeneutik membahas tentang sisi keadilan yang ada kaitannya denga
pendeskripsian kepada perempuan, dari segi sikap adil, demostrasi, serta Hak Asasi
Manusia. Abu Zayd membahas masalah jenis kelamin, sebagai interpretasi Al-Qur’an
dan sunnah dan memiliki peran kepada pemikiran hukum islam kontemporer.
Khaled el Abouf al fadl lebih fokus pada sisi moral dan menafsirkan teks.
Dengan membuat interpretasi konseptual teks-teks keagamaan yang akurat dan
otentik, dengan kalam Allah hermeeutika ini sebagai alat ukur analitis, didalam
menanggapi sosial budaya yang ada dan gambaran sebuah bacaan yang lembut dan
ideologis dalam ideologi hermeneutika modern.
Hamis Abzide menurutnya manusia memberikan bukti empiris yang lebih
bermakna daripada hermeneutika. Membantu menyelesaikan masalah ini.
Rohmatul Izzad (2018) kajian tentang Hermeneotic ought karya Muhammad
Charule yang berjudul “Konsep Gender dan Kualitas dalam Islam”. Menemukan
189
Vol. 17 No. 2 December 2022
Muh. Hanif, Laila Nadzifatus Syarifah
bahwa hubungan lelaki dan seorang perempuan islam rentan gambar yang baik
berada pada kisaran. Terkonsentrasi lelaki unggul daripada perempuan terdap
kondisi berada di bawahnya. Tujuan utama hermeneutika adalah teks klasik atau
teks yang heterogen, yang dimiliki oleh orang yang hidup dan bertempat tinggal
yang berbeda suasana budaya. Hal ini menurut Mitaugabent yang menganggap
bahwa perbedaannya terletak pada bahasa. Untuk memahami hal tersebut maka
tidak dapat terlepas dari teks tersebut (hermeneutika).
Di sisi lain, menurut Komaludin, hermeneutika ingin dinilai sebagai seni
itu sendiri, dan sebagai cara untuk menafsirkan “realitas lain” karena waktu telah
berlalu atau jarak yang jauh realitas yang ada saat ini digantikan oleh teks. Dalam
hal ini, terdapat masalah dalam memahami sebuah teks, sehingga kita perlu
memahami konteks psikologis dan historis yang terfokus pada teks dari penulis atau
karya seorang ahli. Hal ini memunculkan dua pemikiran yaitu aliran hermeneutika
transendental dan historis-psikologis. Sebagai contoh yang pertama yaitu
menemukan sebuah kebenaran dapat berdiri sendiri ketika muncul dalam teks.
Yang kedua adalah saat mengklaim bahwa teks tersebut diekspos secara eksternal
hanya sementara.
Sejarah hermeneutika sendiri telah mengalami perkembangan atau pengkajian
ulang secara teoritis dari awal kemunculan hingga saat ini, yang menyebabkan
munculnya varietas-varietas baru yang tentunya membawa perubahan yang telah
ada. Hermeneutika menurut pemikiran para ahli sebagaimana dijelaskan berikut
ini.
Pertama adalah hermeneutika gaya romantis. Penulisnya adalah Friedrich
Ernest Daniel Schaleiermacher (1768-1834), pemikiran hermeneutika
Schaleiermacher dimulai dengan pertanyaan universal (menyeluruh, umum).
Apa pengertian manusia dan bagaimana itu bisa terjadi? pertanyaan-pertanyaan
dari hal ini memunculkan dua pendekatan. Yang pertama yaitu pemahaman
dari tata bahasa dan semua ekspresi, yang kedua pemahaman psikologi penulis.
Berdasarkan dua pandangan ini, Schaleirmacher mengembangkan apa yang sudah
dikenal sebagai pemahaman intuitif, bentuk pemahaman tersebut adalah tugas
rekonstruksi. Secara gari besar, mode Schaleirmacher disebut romantisme historis.
Bagi Schaleirmacher selain faktor gramatikal, faktor lainnya seperti situasi serta
corak penulis pada saat melakukan penulisan menjadi hal yang mendesak untuk
memahami dan menafsirkan teks (Putrawan & Noya, 2020). Tradisi Islam juga
menjelaskan mengenai hermeneutika menurut seorang tokoh yang bernama Ibn
190 Vol. 17 No. 2 December 2022
Hermeneutika adil gender menurut ulama kontemporer ...
Aradie, teks Al-Qur’an mengandung banyak arti sehingga dalam menafsirkan
satu ayat Al-Qur’an itu dapat memunculkan pemaknaan atau pemberian terjemah
yang heterogen. Ketika seseorang memahami arti Al-Qur’an itu sendiri maka nilai
religius akan diterimanya.
Kedua adalah hermeneutika sistematika. Wilhelm Dilthey (1833-1911).
Menurut Dia makhluk seperti manusia adalah makhluk linguistic. Namun
menurut Shcaleirmacher manusia adalah makhluk eksis. Artinya warga bumi
tidak dapat mengartikan bahwa hidupnya hanya dengan menulis dan membaca.
Oleh karenanya, untuk mengerti dan memahami serta menginterprestasikan suatu
kejadian, orang menerapkan hermeneutika harus sangat mirip dengan penulisnya.
Jika Scheiermacher hanya berfokus pada pemikir penulis, Dilthey berfokus pada
pemikiran manusia harus dipertimbangkan. Dilthey berpendapat, berkembangnya
pengetahuan seseorang sebagai dampak dari kejadian berasal dari pengalaman yang
pernah terjadi. Lanjutnya lagi, Dilthey menekankan hermeneutika sebagai bidang
ilmu alam dan sosial, tolak ukur yang digunakan adalah efektitas serta objektivitas
semua pengetahuan. Karena terjadi pada masa lampau, model hermeneutika
Dilthey disebut juga hermeneutika sejarah (Dilthey, W., & Rickman, 2020).
Ketiga studi hermeneutika fenomenologis oleh (1889-1938) Edmund Huserl.
Model hermeneutik Husserl mengandalkan bahwa pengetahuan objektif bersifat
ambigu dan sebagai jalan fenomenologi, tiap-tiap orang diwajibkan berani
bertindak dan mampu merespon secara tepat semua fenomenologi yang terjadi. Dia
menampilkan dirinya lebih dari yang lebih ditafsirkan, jadi dia harus menjelaskan
dengan jujur. Hermeneutika Husserl yang didasarkan pada fenomenologi tidak
menjadikan proses interpretasi sebagai bahan pemikiran, sehingga perlu kembali
ke data. Dengan kata lain, kita perlu kembali ke kasus itu sendiri, dimana kita harus
menunjukkan eksistensi diri sendiri. Oleh karena itu, penafsir perlu terbebas dari
konsep, keyakinan pribadi, dan hal-hal yang berkaitan dengan subjektivitas dan
empatinya dan mencoba melihat objek yang mengarah kepadanya. Oleh karena
itu, heremeneutika Hussesl lebih menekankan keberadaan data dalam kesadaran
mental, daripada kekhawatiran rekayasa yang menciptakan wacana (Sokolowski,
2018).
Keempat, hermeneutik dialektika tentang konsep berkir oleh Martin
Heidegger (1889-1976). Dia tidak setuju dengan gurunya Husserl bahwa intrepetasi
sama sekali bukan keadaan manusia mandiri, tetapi sebelum itu seseorang
harus merasakan terlebih dahulu. Secara khusus, pelaku perlu memproyeksikan
191
Vol. 17 No. 2 December 2022
Muh. Hanif, Laila Nadzifatus Syarifah
prasangka dan asumsi ke dalam teks sebelumnya untuk memperkenalkan kembali
untuk memproyeksikan lagi, serta sebaliknya. Proses tersebut kemudian berlanjut,
mencapai makna esensialnya dalam teks cerita (Barash, 2022).
Kelima, hermeneutika interaktif yang lain dikatakan tidak stabil. Ini adalah
premis dekonstruksi dasar, yaitu ketika bahasa tidak dapat distabilkan oleh keadaan
semantik serta ketidakterbatasan. Ketidakterbatasan daan ketidakstabilan ini
menunjukkan bahwa tidak ada metode analitis yang dapat diklaim menguasai
penafsiran segala macam makna. Artinya, konsekuensi, ketidakstabilan dan
ketidakterbatasan tersebut membuat interpretasi teks menjadi aktivitas tanpa
akhir yang lebih dekat untuk diperankan daripada teknik interpretasi yang biasa
dikenal. Oleh karena itu, model hermeneutika Derrida secara tidak langsung
menunjukkan bahwa teks dan simbol tidak memiliki makna tunggal, karena teks
selalu berubah menurut sudut pandang pembaca. Oleh karena itu, yang ditekankan
oleh dekonstruktisme adalah penafsiran tentang masa kini dan juga makna masa
yang akan datang (Reeder, 2020).
Dari variasi hermeneutika yang ada mempunyai kekuatan serta kelemahannnya
sendiri. Di dalam loso, salah satu tokohnya yaitu Jacques Derrida. Variasi ini
tidak hanya dipicu dalam makna satu ataupun perspektif yang sudah ada, namun
mengandung pemaknaan yang berbeda tergantung orang yang menerima teks dan
sesuai dengan kondisi yang sedang dialaminya. Selain itu, variasi ini tidak terbatas
oleh waktu dan ruang, hermeneutika varian ini memperoleh nilai atau pandangan
baru, sehingga memunculkan pandangan yang bertentangan dengan pandangan
lsafat sejarah atau ahli lainnya (Derrida, 2020).
Pengertian Gender
Istilah gender berasal dari bahasa Inggris “gender” yang memiliki arti “seks”.
Websters New Word Dictionary mengartikan gender sebagai ketidaksamaan yang
terlihat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dilihat dari segi nilai
dan tingkah laku (Umar, 2006: 29). Dalam Websters Studies Ensoclepedia gender
diartikan konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Umar, 2006: 30). Gender
merupakan perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat
dari nilai dan tingkah laku. Gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk
192 Vol. 17 No. 2 December 2022
Hermeneutika adil gender menurut ulama kontemporer ...
menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender
adalah kelompok atribut dan perilaku secara kultural yang ada pada laki-laki dan
perempuan (Narwoko & Suyanto, 2004: 334).
Gender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan (memilahkan atau
memisahkan) fungsi dan peran antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan fungsi
dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya
terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan,
fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan dan pembangunan
(Narwoko & Suyanto, 2004: 335). Menurut Eniwati gender merupakan konsep yang
digunakan untuk mengidentikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan yang
dilihat dari sisi sosial budaya. Gender dalam arti ini mengidentikasi laki-laki dan
perempuan dari sudut non biologis (Khaidir, 2014: 14).
Hermeneutika Adil Gender Ulama Kontemper
Hermeneutika secara terminologi, yaitu salah satu pembahasan yang
didalamnya mengenai pengimplementasian penafsiran, cara-cara, prinsip-prinsip,
serta lsafat sebuah penafsiran. Hermeneutika merupakan sebuah bidang ilmu yang
saat ini cukup perkembangan yang cukup berpengaruh pada dunia Barat. Bidang
ilmu ini jika dikoneksikan dengan kajian keislaman, secara logis memiliki kaitan
erat dengan ilmu tafsir yang berasal dari Allah dan dari nabi. Oleh sebab itu, kedua
cabang ilmu keislaman yang ada ini dapat dikembangkan melalui pendekatan
hermenutika. Al-Qur’an ini berhadapan langsung dengan kondisi realitas persoalaan
sosial dan kemanusian yang melampaui penafsiran zaman dahulu dari Al-Qur’an
maupun sunnah (M. Amin Abdullah, 2009: viii).
Hermeneutika mempunyai keunggulan jika dibandingkan dengan metode
yang lain yaitu menghasilkan sebuah gambaran sejarah lebih gampang dimengerti
serta semua komponen-komponen yang ada di sana, menggunakan metode
mencermati dengan seksama dan dipelajari artinya yang ada di dalam teks maupun
melalui teks literal menurut pandangan penulis ini mengenai sesuatu yang ditelitinya
(Attamimi, 2012). Dalam studi gender ini, hampir semua pembahasan dimulai
dengan satu asumsi, ketidaksamaan yang ada. Ketimpangan gender ini dibentuk,
disosialisasikan, diperkuat dan dibangun melalui proses sejarah yang sulit, tradisi
sosial budaya dan agama.
193
Vol. 17 No. 2 December 2022
Muh. Hanif, Laila Nadzifatus Syarifah
Hermeneutika di dalam agama Islam telah ada sejak kalam Allah berupa
Al-Qur’an diturunkan. Hal ini biasa disebut dengan ilmu tafsir dimana menjadi
ilmu yang dipercaya sepanjang masa. Ilmu tafsir melakukan kajian kritis terhadap
kandungan Al-Qur’an dan hadis. Hermeneutika yang dikembangkan dan dipahami
dalam tradisi losos terlihat jelas menjadi sebuah langkah sistematis untuk
memahami arti dari Al-Qur’an dan juga hadis tersebut. Tumbuh dan berkembang
di dalam studi ajaran agama islam, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa
terdapat banyak hermeneutika yang memiliki kedudukan lebih tinggi bahkan lebih
berkembang dari imu tafsir ini. Karenanya menjadi sebuah permasalahan dalam
metode yang digunakan dalam tradisi berbagai loso, cerita, serta sikap intelektual
(Bashir, 2021).
Urgensi hermeneutika di dalam Al-Qur’an masih menjadi perdebatan. Masih
tidak konsisten antara ilmu pengetahuan dengan tafsir Al-Qur’an, sehingga sampai
saat ini ilmu tafsir menjadi sebuah ilmu yang menggunakan pendekatan studi
islam. Sebagai contoh di negara Indonesia, menurut Adian Husaini, salah satu
tokoh Hermeneutika adalah M. Quraisy Shihab, dan metode heremeneutikanya
dapat digunakan untuk mengetahui pesan dari Allah melalui kalamnya. Integrasi
hermeneutika (praktek interpretasi) yaitu ilmu tentang metode interpretasi lsafat.
Hermeneutika menurut Hasan Hana, bukan hanya sekedar teori penafsiran
dan pemahaman, namun ia adalah ilmu yang menerangkan proses penerimaan
wahyu sejak perkataan sampai pada tingkat kenyataan, serta menggambarkan
pemikiran Tuhan kepada manusia. Untuk bisa memahami teks sangat diperlukan
kritik kesejarahan, untuk menjamin keaslian sebuah teks atau kitab suci. Hasan
Hana bahwa menilai, belum tentu semua teks bebas dari ketidakaslian dan tidak
mengalami distorsi kepentingan ideologis maupun politis. Mengetahui keaslian
teks akan mempermudah proses penafsiran dan menghasilkan pemahaman yang
tepat (Mustaqim & Syamsuddin, 2002: 54-55).
Menurut Nasr Hamid, hermeneutika sebenarnya memahami istilah-istilah
klasik yang pertama kali digunakan dalam bidang studi teologi yang menunjukkan
seperangkat keyakinan dan standar yang seharusnya dilanjutkan. Pendapat Mufacil
dalam memahami teks-teks agama (kitab suci) pada tahun 1654, istilah hermeneutika
telah diperluas melalui berbagai aplikasi modern dan disiplin teologis. Bidang yang
jauh lebih luas mencakup humaniora secara umum misalnya sejarah, sosiologi,
antropologi, estetika, kritik, sastra, dan cerita rakyat (Hasan & Robikah, 2020).
194 Vol. 17 No. 2 December 2022
Hermeneutika adil gender menurut ulama kontemporer ...
Quraisy Shihab (2020) berpendapat bahwa semua gagasan yang diajukan
kepada madzhab yang tidak jelas asal-usulnya dan ahli yang sesat adalah gagasan
yang salah atau negatif. Tentu hal ini terjadi karena digunakan sebagai upaya untuk
menambah wawasan dan lebih menyempurnakan tafsir Al-Qur’an. Dari hal di atas
maka sebuah tabayun diperlukan untuk mencari sebuah kebenaran. Di sisi lain,
perspektif ahlipun terkadang terdapat kontradiksi. Hal ini dikarenakan adanya latar
belakang, bidang ilmu, dan tren yang berbeda, sehingga menyebabkan lahirnya
hermeneutika Barat.
Fazlur Rahman (2017) dalam pemikirannya tentang hermeneutika ini, yang
dikembangkan di Barat telah dimodikasi menjadi terminologi ilmu Islam klasik.
Tujuan mengadopsi pemikiran hermeneutika yang berkembang di Barat ini adalah
untuk memperkaya pemikiran hermeneutika Al-Qur’an yang disusun oleh Rahman
sendiri dengan mempertimbangkan urusan pribadinya. Selain Fazlur Rahman,
tokoh lain yaitu Hasan Hana yang mengusung sebuah tema mengenai pendekatan
hermeneutika untuk studi Islam (Sulaeman, 2020). Pendekatan hermeneutika
tersebut digunakannnya dalam sebuah disertasinya yang berjudul “Metode Esai:
Esai Ilmu Dasar Pemahaman Ilmu Ush Fiqih” (Umar, 2006: 50) .
Fase selanjutnya terdapat pembahasan tersendiri mengenai pendekatan
hermeneutika ini juga dilakukan dimasa modern oleh Abduh dan dilanjutkan oleh
Wahidur Rohim (Umar, 2006: 53). Fakta bahwa hermenutika berkaitan dengan
interpretasi dan menegaskan bahwa tekslah yang ditafsirkan yang diketahui dari
era klasik, modern, dan sekarang. Dalam siklus tertua sejarah klasik, pada saat itu
seseorang dalam menilai hermeneutika selalu membuat interpretasi berinteraksinya
dengan orang lain bersifat objektif dan subjektif tetapi hermeneutika pada masa
klasik itu dikenal sesuatu yang progresif, tidak ada peraturan, prosedural, kerangka
konseptual, dan konseptual teoritis. Pada abad 19 ke atas hermeneutika dirumuskan
secara sistematis dan teoritis. Hermeneutika tidak dianggap sebagai pemahaman
yang bebas, tetapi dipakai sebagai cara untuk membaca, memahami, dan menafsirkan
sehingga metode ini disebut metode logis dimana dalam hal ini menafsirkan teks
yang lebar wilayahnya serta teks yang disorot dalam bentuk fenomena kultural.
Konsep kesetaraan antara gender lelaki dan juga gender perempuan sebenarnya
didasarkan pada pesan-pesan yang ada dalam teks Al-Qur’an. Jika terjadi proses
pengasingan peran perempuan dalam kehidupan public dan domestikasi
perempuan, menjadikan hasil dari kondisi sosial. Hal inilah yang menjadikan
kompleks priotitas terhadap kaum perempuan. Dalam memperjuangkan
195
Vol. 17 No. 2 December 2022
Muh. Hanif, Laila Nadzifatus Syarifah
gagasannya terhadap konsep gender, Fatima Mernissi melakukan kritik terhadap
hadis-hadis misogini dan beberapa ayat yang ada di dalam Al-Qur’an, dimana
menurut pandangan di dalam tafsirnya yang menyimpang. Fatima lahir dan
dibesarkan di lingkungan yang menganggap perempuan sebagai makhluk the
second class dimana terdapat sebuah ketimpangan posisi, peran serta hak, akibar
adanya perbedaan gender secraa biologis. Fatima telah mencoba memanifestasikan
bangunan penafsiran pada ulama klasik, dimana hal ini menguak mengenai
dominasi patriarki. Kesetaraan gender didasarkan pada nash Al-Qur’an, ketika
terdapat suatu proses marginalisasi peran seorang perempuan baik pada kehidupan
publik maupun domestik perempua, hal ini merupakan sebuah konstruksi sosial.
Menurutnya dalam islam sendiri memberikan freedom penuh terhadap perempuan
untuk memiliki andil dalam ranah politik dan berhak memiliki kemampuan dan
prestasi yang baik seperti halnya laki-laki (Krisdiana, 2021).
Dalam Al-Qur’an surat an-nisa ayat 7-11 menetapkan bahwa proporsi
warisan laki-laki sama dengan perempuan sehingga memunculkan prinsip
kesetaraan (al-musawa). Dalam berbagai kegiatan penafsirannya, Abu Zyed banyak
memperhatikan aspek sejarah, konteks, asal usul, serta aspek kebahasan serta makna
dan kepentingannya. Menurut Nashr dalam penelusurannya mengenai ayat-ayat
Al-Qur’an tentang perempuan bahwa persamaan gender adalah salah satu tujuan
dari khitab Al-Qur’an. Namun turunnya Al-Qur’an yang menimbulkan perbedaan
tersebut telah menjadi bagian dari budaya dan sistem sosial mereka, maka hal inipun
tidak dapat dihindari. Tetapi sebuah kesalahan besar jika ungkapan-ungkapan
dialogis tersebut diperlakukan sebagai tasyri (pembuatan hukum) yang dibawa
oleh Islam (Abu Zayd, 208). Nashr menggunakan manhaj al-qiraah al-siyaqiyah
(metode pembacaan konstektual) dalam pembacaan kritis terhadap teks agama
tentang bias gender khususnya yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Pembacaan ini
adalah pendekatan histories, di mana dalam hal ini menggabungkan semua aspek
hukum yang ada di Al-Qur’an dengan kondisi adat atau kultural yang ada pada
masyarakat Arab abad 7 M. Karena hal ini, dia mengatakan bahwa semua hukum
yang ada di dalan Al-Qur’an termasuk pembahasan mengenai perempuan tidak
bersifat nal dan sesuai dengan kondisi sejarah, waktu dan juga tempat. Metode
seperti ini menjadikan pemahaman terhadap gender bersifat relative, sebagai contoh
pembahasan mengenai aurat seorang perempuan, pembagian warisan, dan konsep
qawamah yang bersifat relative, tergantung pada kondisi masyarakat pada masa itu
(Alan, 2018).
196 Vol. 17 No. 2 December 2022
Hermeneutika adil gender menurut ulama kontemporer ...
Contoh persoalan hukum yang sering dibahas dalam wacana islam adalah
hak-hak Islam. Untuk memahami hukum di dalam agama islam seperti yang ada
hubungannya dengan perempuan, syariat menyamakannya dengan hukum islam
yang berkaitan dengan perbudakan. Oleh karena itu, menurut Syahrur, perjuangan
pembebasan perempuan harus terus dilakukan agar tidak ada lagi penindasan
terhadap perempuan baik secara terbuka ataupun secara tertutup. Menurut Syahrur,
hanya ada dua pekerjaan yang tidak diperbolehkan bagi perempuan, yaitu prostitusi
dan ketelanjangan. Relasi gender menurut Muhammad Syahrur dalam agama Islam
dibagi dalam empat kategori, diantaranya; pertama, hubungan antara laki-laki dan
perempuan dalam sebuah keluarga tidak hanya didasarkan oleh sifat komplementer
atau saling melengkapi satu sama lain, namun perempuan juga memiliki hak meniti
karir. Kedua, perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam ruang publik di
semua bidang tanpa ada investasi atau dihalangi oleh laki-laki. Ketiga, perempuan
memiliki peran yang sama dengan laki-laki dalam ranah politik, baik menjadi hakim
atau perumus undang-undang. Keempat, hubungan antara perempuan dan laki-
laki secara umum, hal ini sesuai dengan konteks dan waktu tertentu. Setiap wilayah
memiliki aturan yang berbeda sehingga diserahkan kepada otoritas masing-masing
(Fathony et al., 2020).
Amina Wadud Muhsin sebagai seorang feminis, ide-idenya dapat dikatakan
sebagai pemberontakan terhadap hilangnya identitas perempuan yang disebabkan
oleh prasangka pemahaman laki-laki. Komponen identitas perempuan dianggap
penting oleh Amina Wadud karena secara simbolis mencerminkan keadilan islam
dalam konteks keberagaman islam. Kontribusi besar dalam hubungan antara
Amina Wadud dengan perpustakaan penafsiran kitab Allah merupakan upaya
menunjukkan hubungan metode dan teorinya, terutama perbandingan interpretasi
kalam Allah dan masalah sedang dihadapi (orang lain). Amina Wadud mengajukan
gagasan mengenai kerangka kerja dan metode yang lebih egaliter (menghormati
persamaan hak). Setidaknya ini bisa dijadikan sebagai kekuatan untuk menolak
wacana islam patriarki yang berwawasan konservatif dan tradisional. Sebagai
bukti intelektual literal, banyak penafsiran yang memposisikan perempuan lebih
rendah daripada laki-laki, inilah penyebab keterasingan posisi perempuan. Hal
ini merangsang “alasan” feminis, Amina Wadud untuk membangun metodologi,
pendekatan dan intrepetasi yang lebih sejalan dengan kesetaraan laki-laki dan
perempuan (Zuhri, 2021).
197
Vol. 17 No. 2 December 2022
Muh. Hanif, Laila Nadzifatus Syarifah
Relevansi Hermeneutika Studi Gender Ulama Kontemporer
Mengenai otoritas teks, menurut Paul Ricoeur menegaskan kembali metode
analisis yang digunakan dalam proses menafsirkan teks mengingat keyakinan bahwa
setiap teks memiliki ciri khas sendiri-sendiri, keterampilan dan ketertarikan dibalik
prosedur interpretasi perlu diteliti. Hal ini menjadi hal yang urgen mengingat tafsir
memiliki dampak secara langsung terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu,
interpretasi yang dilakukan harus se-zeitgeist mungkin, tanpa mengabaikan prinsip-
prinsip utama itu sendiri. Jika ide feminis Islam hanya dipahami dari satu sisi, hal
ini tidak menutup kemungkinan dianggap radikal atau merusak tatanan yang sudah
ada. Dalam hal ini, memunculkan tantangan besar di dunia islam untuk mampu
beradaptasi dengan modernitas. Oleh karenanya, trasformasi selalu ada di setiap
waktu dalam kehidupan ini, karena hal ini selalu akan memunculkan perbandingan
yang statis antara satu sama lain, pada hakikatnya hal ini dapat dipahami. Sebagai
upaya untuk memahami modernitas ini belum terdapat budaya yang terfokus pada
hal ini, dan belum ada proses dialektika yang terjamin di dalamnya. Kritik membaca
teks agama sama dengan membaca tradisi, jadi dapat ditarik kesimpulan teks adalah
versi wacana atau pidato yang tetap atau padat. Disini anda dapat memposisikan
bacaan yang ada sehingga kedua hal ini digunakan untuk dipelajari, dipahami dan
dimaknai hingga maknanya digali dalam konteks yang berbeda. Oleh karena itu,
klaim universalitas tentang islam tidak hanya bertolak ukur pada kesempurnaan
fakta yang diberikan oleh islam dalam konteks tertentu, tetapi juga prinsip-prinsip
dasar yang diwarisi dalam Islam yang berpedoman pada nilai moral.
Pendekatan hermenutika dalam studi Islam merupakan cara seseorang untuk
membaca, memahami, menjelaskan suatu fakta, teks pedoman aturan ajaran agama
terutama dari Al Quran. Prinsip-prinsip pendekatan hermenutika dalam studi
Islam antara lain adalah analisa bahasa, analisa stigmatis, dan hubungan antara
bagian-bagian dan keseluruhan, serta kondisi psikologis pengarang. Adapun
pendekatan yang digunakan sebagai pendukung adalah pendekatan gramatika
bahasa, pendekatan historis, pendekatan sosiologis dan antropologis, serta
pendekatan falsa. Pendekatan hermenutika dalam studi Islam khususnya dalam
menginterpretasi terjemahan Al-Qur’an sebaiknya dipahami sebagai cara agar
memunculkan makna yang lebih mendalam dari ayat-ayat tersebut, bukan sebagai
alat untuk membuktikan keoutentikan Al-Qur’an atau mempermasalahkan hakikat
Al-Qur’an. Dewasa ini telah banyak pemerhati Al-Qur’an. Mereka melakukan kritik
historis dan linguistik yang menjadi ciri khas hermeneutika. Tulisan-tulisan yang
198 Vol. 17 No. 2 December 2022
Hermeneutika adil gender menurut ulama kontemporer ...
berhubungan dengan hal ini banyak bermunculan, baik dari kalangan orientalis
maupun dari umat Islam sendiri. Dari hal tersebut kesadaran hermeneutika
diharapkan dapat memunculkan sikap inklusif dan toleran dalam menghadapi
keberagaman yang ada.
Simpulan
Dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah studi tentang penafsiran,
cara-cara, prinsip-prinsip, serta lsafat sebuah penafsiran. Hermeneutika
merupakan sebuah bidang ilmu yang saat ini cukup perkembangan yang cukup
berpengaruh pada dunia Barat. Para ulama kontemporer menggunakan pendekatan
hermeneutika untuk studi Al-Qur’an dalam upaya untuk menafsirkannya secara
adil gender. Perbedaan corak hermeneutika para ulama kontemporer dipengaruhi
oleh khasanah intelektual dalam studi mereka, dan realitas sosial yang mereka
hadapi. Tulisan ini terbatas hanya didasarkan pada studi kepustakaan terhadap
buku dan artikel yang mengkaji pemikiran ulama kontemporer yang mengkaji teks
Al-Qur’an dengan perspektif adil gender. Perlu dilanjutkan dengan penelitian yang
lebih komprehensif yang mengkaji pemikiran para ulama, latar belakang sosiol
kulturalnya, dan tanggapan para pembaca terhadap pemikiran mereka.
Daar pustaka
Alan, M. (2018). Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd. Islamika : Jurnal Ilmu-
Ilmu Keislaman, 18(01). https://doi.org/10.32939/islamika.v18i1.268
Bahri, S., & Fiqria, N. (2022). Pengarusutamaan Gender dalam Penafsiran Al-
Qur’an Menurut Amina Wadud Muhsin. Jurnal Ilmiah Al-Muashirah, 19(2).
https://doi.org/10.22373/jim.v19i2.13522
Barash, J. A. (2022). Martin Heidegger and e Problem of Historical Meaning. New
York 10020: Fordham University Press.
Barlas, A. (2019). Believing women in Islam: Unreading patriarchal interpretations of
the Quran. Texas: University of Texas Press.
Bashir, K. (2021). e Quran in South Asia: Hermeneutics, Quran Projects, And
Imaginings of Islamic Tradition in British India. London: Routledge.
Derrida, J. (2020). Deconstruction in A Nutshell: A Conversation with Jacques
Derrida, with A New Introduction. New York: Fordham University Press.
199
Vol. 17 No. 2 December 2022
Muh. Hanif, Laila Nadzifatus Syarifah
Dilthey, W., & Rickman, H. P. (2020). Pattern & Meaning In History: oughts on
History & Society. London: Routledge.
Duderija, A. (2020). Contemporary Muslim Male Reformist ought and Gender
Equality Armative Interpretations of Islam. Feminist eology, 28(2).
https://doi.org/10.1177/0966735019886076
Faiz, M. F. (2015). Teori Hermeneutika Al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd
dan Aplikasinya Terhadap Wacana Gender dalam Studi Hukum Islam
Kontemporer. Jurnal al-Ahwal, 7(1).
Fathony, A., Nor, R., & Hamid, A. (2020). Rekonstruksi Penafsiran Tentang Ayat-
Ayat Aurat Perempuan Di Nusantara Perspektif Muhammad Syahrur. Jurnal
Islam Nusantara, 04(02). https://doi.org/10.33852/jurnalin.v4i2.222
Gilhus, I. S. (2021). Hermeneutics: e Routledge handbook of research methods in
the study of religion. Routledge.
Hasan, F., & Robikah, S. (2020). Model Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu
Zayd Terhadap Teks Suci Keagamaan (Al-Qur’an). Jurnal Ilmiah Citra Ilmu,
16(31).
Izzah, I. (2021). Pendekatan Hermeneutika untuk Gerakan Gender. Al-Fikru: Jurnal
Pendidikan dan Sains, 2(1).
Jaya, S. A. F. (2020). Al-Qur’an Dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. Jurnal
Indo-Islamika, 9(2). https://doi.org/10.15408/idi.v9i2.17542
Khaidir, E. (2014). Pendidikan Islam untuk Wanita. Pekanbaru: LPPM.
Krisdiana, P. (2021). Argumentasi Dan Posisi Fatima Mernissi Dalam Menjelaskan
Hadis Misogini. Maqosid: Jurnal Studi Keislaman dan Hukum Ekonomi
Syariah, 9(02).
Marhumah, E. (2011). Konstruksi sosial gender di pesantren; Studi kuasa kiai atas
wacana perempuan. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara.
Mohammed, Y. I. (2019). Gender biased interpretation of the Quran: contextualizing
4: 5 and the meaning of the term” sufahā”. Texas University.
Muqoyyidin, A. W. (2013). Wacana Kesetaraan Gender : Pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Gerakan Feminisme Islam. Al-Ulum, 13(2).
Mustaqim, A., & Syamsuddin, S. (2002). Studi Al-Qurᾱn Kontemporer. Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana.
200 Vol. 17 No. 2 December 2022
Hermeneutika adil gender menurut ulama kontemporer ...
Muzayyin. (2015). Resepsi Hermeneutika dalam Penafsiran Alquran oleh M.
Quraish Shihab. Nun, 1(1).
Narwoko, D., & Suyanto, B. (2004). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta:
Kencana Media Group.
Nihayah, R. (2021). Kesetaraan Gender Melalui Pendekatan Hermeneutika Gadamer
dalam Kajian QS Al-Hujurat Ayat 13. Syariati: Jurnal Studi Al-Qur’an dan
Hukum, 7(1).
Palmer, R. E. (2005). Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Putrawan, B. K., & Noya, L. B. J. (2020). Piety in oughts of John Wesley And
Friedrich Schleiermacher. Jurnal Jaray, 18(1). https://doi.org/10.25278/
jj.v18i1.426
Rahman, F. (2017). Tema-tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka.
Reeder, J. C. (2020). Beyond Story: Ricoeurian Hermeneutics and Interactive
Documentary. Monash University.
Rosyadi, S. (2019). Dialektika Dasein Dan Semesta Bahasa. Dialektika, 10(1).
Saenong, I. B. (2002). Hermeneutika Pembebasan. Jakarta.
Shihab, M. Q. (2020). Al-Qur’an dan Maknanya. Tangerang: Lentera Hati.
Sokolowski, R. (2018). Edmund Husserl and e Phenomenological Tradition.
Washington, DC: CUA Press.
Sulaeman, M. (2020). Pemikiran Hermeneutika Al-Qur’an Hasan Hana dalam
Studi Al-Qur’an di Indonesia. Salimiya: Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam,
1.
Syaripudin, A. (2016). Al-Qur’an sebagai Sumber Agama Islam. Nukhbatul Ulum,
2(1). https://doi.org/10.36701/nukhbah.v2i1.9
Umar, N. (2006). Menimbang Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir. Jurnal Studi
Al-Qur’an, 1(1).
Verhaak, C., & Imam, R. H. (1989). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia.
Zuhri, A. (2021). Hermeneutika Al-Qur`an Amina Wadud Muhsin. REVELATIA:
Jurnal Ilmu al-Qur`an dan Tafsir, 2(2). https://doi.org/10.19105/revelatia.
v2i2.5305