Content uploaded by Sri Walny Rahayu
Author content
All content in this area was uploaded by Sri Walny Rahayu on Oct 02, 2022
Content may be subject to copyright.
c},-,f
PEREMPUAN
1"
0
'
DALAM
MASYARAKAT
ACEH:
I
Mema.hami Beberapa Persoalan Kekinian
\ S 8
LOGICA
Diterbitkan
Atas
Kerja
Sama:
.}
Aceh
..
R'earch
M
hlstrallan
Government
,
AusAID
lnltlatlw
iWJRR§e
Edit
or
: Eka
Srimulyani,
Ph.D
In
a
yatillab,
M.Ag
10
PEREMPUAN
DALAM
MASYARAKAT
ACEH
Perempuan
dala1n
Masyarakat Acch: Memahami Bcbcrapa
Pcrsoalan
K
ki
.
CLOGICA-ARTI 2009 e
tUan
cetakan pertama, September
2009
xxiv
+
247
hlm.;
15
cm
x
21
cm
ISBN:
978-602-95119-3-2
hak
cipta dilindungi undang-undang
dilarang mereproduksi sebagian atau seluruh
isi
buku
ini
.dalam bentuk dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penerbit
penerbitan
ini
terlaksana
atas
kerjasama:
LOGICA
ARTI
PUSLIT
IAIN
AR-RANIRY
PSW
IAIN
AR-RANIRY
PSG
UNSYIAH
dicetak oleh:
bandar publishing
Jl.
Utama Rukoh
Lr.
T Daud
Silang
No.5
Desa
Rukoh
Darussalam,
Banda
Aceh
Mobile: +62 8126999020,
E-mail:
bandar.publishin
g@gm
ail
.
com
editor:
Eka
Srimulyani,
Ph.D dan
Inayatillah,
M.
Ag
editor
bahasa:
Sehat Ihsan Shadiqin,
M.Ag
LukmanEmha
Husaini Nurdin
desain sampul:
Jabbar
Sabil
tata letak:
Kojax
foto sampul:
Fakhruddin
\
~"OJIUM~~T
kB\.
Mowwl
8EBE1un
~
K£l<INlAN
PfflmPSSD
du
Pmealaa
Kekttasu
Bib
~ :
~
cl-en..._~
dwm
Rumah
Tangga
di
Banda
Acch
clan
A
· l _
_c_
_ _ :
v.
,
~ .
-L
ceh
Bc:su:
Strattgt
nu
:u~
1'.0IDUnttJ.S
JCDagai
U
pa
ya
Penc~
lntmSiu.s
dan
Esktla
si
-
101
04:
Jlf'i
Ir~
R.:hoJX
Bib\ 1
~
cbn
Proses
Perdamaian
di
Aceh:
Realitas
Korban
~Scksual-123
OJrk
Z11
l
rida
h
Djel,IIT
dkk..
PH-empuan
du
Pffsoalan
Hakum
&h
\
11
Perempw.n
dan
Penegak:an
Hul'1J.[I};
Studi
Mengenai
Perspektif
-\plrmir
Pt:neg.lk
Hukum
di
Kabupaten
Aceh
U
tara
-
147
OJdr
X
tZllda
,
4-aio
&h
Y
III
~lbh
Sim:
Falmr
clan
Dampaknya
terhadap
Perempuan
-
177
Oldr
EnriJa
Da
i
Pe.rempuan
du
Kepemimpinan
dalam
Institusi (
Pendidikan
]
Bah
IX
~perniropinan Perempuan
dalam
Lembaga
Pendidikan
Tmggi
di Banda
Ac.eh:
Pduang
clan
T
antangan
(Studi
Analisis
di
IAIN
Ar-R2Iliry
)
-193
BahX
Olth
:
I~
~[eogaoalisa
Kepemimpinan Perempuan
dalam
Pesantren
clan
Dayah-211
0
/dJ:
Ek.a
S
riMtt!Ja,,i
DafbrPastak•
-22
7
ladeks-241
'D
qft
ar
Istilali
dan
Singfutan
Achieved
Advokasi
AIDS
AKI
A5EAN
Behan domestik
BRR
Burong
: Status seseorang akan berubah sesuai dengan
usaha yang dia lakukan.
: U paya pendekatan terhadap orang lain yang
dianggap mempunyai pengaruh terhadap
keberhasilan suatu program atau kegiatan yang
dilaksanakan.Oleh karena itu yang menjadi
sasaran advokasi adalah para pemimpin atau
pengambil kebijakan
(policy
makers)
atau pembuat
keputusan
(decision
makers)
baik di institusi
pemerintah maupun
swa~ta
.
:
Acquired
Immune
Deficiency
Syndrome.
: Angka Kematian lbu, sering dijadikan
df!
.sar
untuk mengukur tingkat kesehatan masyarakat.
:
Association
of
S
outheastAsian
Nation,
a tau persatuan
negera-negara di kawasan Asia Tenggara.
: Behan kerja yang berkaitan dengan urusan rumah
tangga.
: Badan Rehabilitasi
clan
Rekonstruksi.
: Makhluk ghaib yang dalam kepercayaan
masyarakat Aceh dianggap dapat mengganggu
atau mencelakai orang yang hidup karena berbuat
salah kepadanya.
~ii
101
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA BANDA ACEH DAN KABUPATEN
ACEH BESAR :
STRATEGI INTERFENSI KOMUNITAS SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN INTENSITAS DAN
ESKALASI
Sri Walny Rahayu
1
Pendahuluan
Telah banyak instrumen hukum nasional bahkan internasional yang melarang terjadinya praktik
kekerasan
terhadap perempuan (selanjutnya KTP), namun seolah-olah tidak ada korelasi antara hadirnya
hukum yang mengaturnya
dengan maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang masih terus
berlangsung di Indonesia. Pemerintah
Indonesia pada tanggal 29 Juli 1980 telah membuat komitmen di PBB,
untuk menandatangani Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau
The Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against
Women
- CEDAW. Tindak lanjutnya adalah meratifikasi CEDAW melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984
(selanjutnya disebut UU No. 7
Tahun 1984), pada tanggal 24 Juli 1984.
Konvensi tersebut berkaitan dengan prinsip
adanya kewajiban negara untuk menghapus berbagai bentuk diskriminasi baik secara hukum
(de jure)
maupun secara
kenyataan
(de facto)
.
Berdasarkan latar
belakang ini terjadi kemajuan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan
terhadap perempuan baik yang dilakukan oleh pemerintah, maupun masyarakat sipil di berbagai negara
termasuk
Indonesia. Pembatasan dari apa yang dimaksud dengan diskriminasi adalah:
“Setiap pembedaan, pengucilan, pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan
untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya, sipil
atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari
status perkawinan mereka, atas dasar persamaan
antara laki-laki dan perempuan”
4
1
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan Kepala Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Syiah Kuala
Darussalam – Banda Aceh
102
Landasan generik yang menjadi acuan kajian ini adalah pada Pasal 16 dan Pasal 5 UU No. 7 tahun 1984
seperti yang
dijelaskan oleh Rita Serena Kalibonso
5
adalah :
“KDRT adalah bentuk kekerasan yang paling berbahaya. Sebab KDRT telah lama dianggap lazim bagi
masyarakat di banyak Negara. Dalam hubungan kekeluargaan di segala umur perempuan menderita segala
macam penderitaan termasuk pemukulan, perkosaan dan bentuk-bentuk lain dari penyerangan seksual serta
mental yang dilakukan oleh sikap-sikap tradisional. Ketergantungan ekonomi dalam hal ini memaksa
perempuan untuk bertahan pada hubungan yang dijalankan berdasarkan tindakan kekerasan. Pencabutan atau
pengambil-alihan tangungjawab oleh laki-laki dapat juga disebut sebagai bentuk kekerasan dan paksaan. Selain
itu bentuk-bentuk dari kekerasan juga menempatkan perempuan pada risiko kesehatan dan menghalangi
kesempatan untuk
berpartisipasi dalam kehidupan keluarga dan kehidupan umum atas dasar suatu kesamaan.
Perempuan dan anak, rentan terhadap perlakuan diskriminatif dan kekerasan. Jika berbicara tentang KDRT,
perempuan bahkan mengalami tindak kekerasan di dalam rumahnya sendiri yang seharusnya
memberikan suasana nyaman
dan melindunginya. Hampir tidak dapat dipercaya pelaku kekerasan justru orang
yang dicintai, disayangi untuk menjaganya,
seperti ayah, suami, paman, kerabat dan orang-orang di dalam rumah sendiri. Laporan yang datang dari berbagai penjuru
dunia mencatat bahwa KDRT terjadi di segala lapisan masyarakatat. Pelaku dan korban berasal dari berbagai suku
bangsa, ras, agama, kelas sosial dan tanpa memandang tingkat pendidikan manapun.
6
Untuk konteks Indonesia,
dimilikinya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) Nomor 23 Tahun 2004 dapat
diharapkan
sebagai babak permulaan yang baik sebagai upaya menghapus KDRT.
Profil data menunjukkan tingginya angka KTP selama tahun 2005 angka kekerasan naik menjadi 6.731 kasus dari
tahun sebelumnya. Sementara itu, dalam tahun 2004 KTP mengalami kenaikan hampir 100 % dari
7.787 di tahun 2003
menjadi 14.020 pada tahun 2004. Menurut catatan Komnas Perempuan dari tahun ke tahun angka KTP bergerak naik.
Tahun 2001 tercatat 3.160 kasus mengalami peningkatan pada tahun berikutnya yaitu tahun 2002, sebanyak 5. 163 kasus
KTP. Dari sejumlah 14.020 kasus KTP sebanyak 4.310 adalah kasus KDRT, 2.470 kasus terjadi dalam komunitas, 6.634
terjadi dalam rumah atau komunitas, 562 kasus traficking dan 302 merupakan kasus yang pelakunya adalah oknum
aparat negara.
7
Agar lebih memahami hubungan (relasi) antara pelaku dengan korban KTP berikut ini disajikan data
dalam Tabel I
sebagai berikut:
5 Rita Serena Kolibonso, Optional Protokol Terhadap Konvensi penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan, Mitra Perempuan, Jakarta, 2001
6 Sulistyowati Irianto, dalam Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif
Kesetaraan dan
Keadilan, NZAID bekerjamasa dengan CW UI dan Yayasan Obor, Jakarta, 2006, hlm. 311-
312.
7 Jurnal Perempuan. Com. tahun 2005.
103
TABEL I
RELASI PELAKU DENGAN KORBAN KDRT DAN KEKERASAN THADAP PEREMPUAN
No
Pelaku
Korban KDRT
Perempuan Korban Kekerasan
1
Suami
77,36 %
-
2
Mantan Suami
3,08 %
-
3
Orang Tua/saudara/anak
6,15 %
-
14
Majikan
0,22 %
-
5
Pacar/teman dekat
-
9,01 %
6
Tetangga
-
1,54 %
7
Lainnya
-
2,64 %
86,81 %
13,19%
Sumber data: Mitra Perempuan 2002 – 2005
Berdasarkan kasus tersebut pun diketahui beban kekerasan terhadap perempuan lebih banyak menunjukkan
kekerasan yang berlapis atau dalam berbagai bentuk seperti psikis, fisik, penelataran ekonomi
atau rumah tangga.
8
Atau
berdasarkan data tersebut dapat diinventarisir:
9
1.
Angka KTP selalu meningkat bahkan yang terakhir terjadi kenaikan hampir 10 %
2.
80 % atau 8 (delapan) dari 10 (sepuluh) tindak KTP terjadi dalam KDRT
3.
1 (satu) dari 4 (empat) perempuan pernah mengalami tindak kekerasan selam hidupnya.
UU PKDRT yang hampir 4 (empat) tahun diundangkan sebenarnya dapat dijadikan sebagai alat untuk
menguji
apakah kasus-kasus KDRT dapat diminimalisir atau bahkan tidak terjadi lagi lagi korban kekerasan
dalam rumah tangga.
Namun demikian disadari sepenuhnya suatu kajian yang bertujuan untuk memajukan hak
asasi perempuan dan keadilan
gender ketika disosialisasikan haruslah sangat hati-hati. Hal ini karena ketika masuknya instrumen hukum publik ke
dalam lingkup privat/domestik dan masuk ke dalam arena sosial kehidupan masyarakat yang tadinya dianggap sangat
tabu dan arena tersebut telah dipenuhi terlebih dahulu
dengan berbagai aturan yang telah ada sebelumnya yang juga memiliki
aturan tersendiri yang bahkan memiliki
memiliki sanksi, maka biasanya terjadi penokan-penolakan dari masyarakat
tersebut. Aturan dan sanksi tersebut dapat bersumber dari interpretasi agama, adat, kebiasaan-kebiasaan atau pengaruh
dari perkembangan global. Artinya persepsi masyarakat terhadap penerapan, pelaksananaan, penegakan atau penerimaan
terhadap UU PKDRT ini, tidak bekerja di ruang kosong dan hampa, dia akan berbenturan, berpengaruh dan
mengadopsi antara berbagai aturan-aturan yang telah lebih dulu muncul dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia.
8
Mitra Perempuan, Informasi Tahun 2005 Statistik Kekerasan Dalam Rumah Tangga .
9 Flyer yang diterbitkan secara kerjasama antara Komnas Perempuan dan Body Shop dalam Sulistyowati Irianto,
Loc. Cit.
104
Khususnya di Provinsi Aceh, aturan yang hidup dalam masyarakat terkait erat dengan budayanya. Di
Aceh
digambarkan bahwa budayanya seperti ”
Adat ngon agama lagee zat ngon sifeut”.
Artinya cerminan agama Islam
tergambar dalam budaya orang Aceh dalam kehidupan sosialnya. Tentu saja kata-kata bijak tersebut perlu diuji
kebenarannya secara empiris dan faktual dalam kondisi real, karena ternyata data-data
tentang korban KDRT
bertambah dari tahun ke tahun di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.
Di Banda Aceh sendiri angka perceraian dari tahun ke tahun terjadi peningkatan terhadap perkara yang
masuk
dan yang diputuskan sebagaian besar adalah cerai gugat. Karena terjadi peningkatan intensitas dan
eskalasi terjadinya
KDRT dan sebagaian besar korbannya adalah perempuan di Banda Aceh dan Aceh Besar,
oleh karena itu penelitian ini
penting untuk dilakukan di kedua wilayah tersebut. Sekaligus ingin mengetahui strategi dan intervensi upaya
pencegahan KDRT dan ketersediaaan fasilitas layanan pendukung KDRT yang
disediakan oleh pihak pemerintah dan
segenap komunitas setelah hadirnya UU PKDRT No. 23 Tahun 2004.
Berdasarkan data yang telah diuraikan maka penelitian ini memfokuskan pada masalah bagaimanakah pemahaman
masyarakat Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ?
Bagaimanakah strategi-strategi intervensi komunitas untuk mencegah intensitas dan eskalasi KDRT yang berbasis pada
sumberdaya lokal dan kekuatan masyarakat ? Sejauhmana telah terjadi ekskalasi dan intensitas KDRT di Kabupaten Aceh
Besar dan Kota Banda
Aceh ?
Bagaimana sistem pendukung dan layanan yang dibutuhkan untuk menangani kasus
KDRT dan apakah sistem tersebut telah bekerja dengan baik?
Adapun regulasi dan kentuan lainnya yang menjadi dasar pijakan kerangka hukum dan konsep dalam
melakukan analsis dari penelitian ini antara lain :
Regulasi Nasional dan Internasional Yang Berhubungan Dengan PKDRT. UU PKDRT Berkaitan Erat Dengan Regulasi
Lainnya Yang Sudah Ada Sebelumnya, antara Lain :
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita – CEDAW;
5. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
6. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
105
Peraturan Yang Mengatur Tentang Perempuan Dan Anak Pada Tingkat Daerah (
Qanun)
Berkaitan dengan isu perempuan dan masalah KDRT, Pemerintah daerah Provinsi Aceh (melalui inisiator Biro
Pemberdayaan
10
Perempuan dan Biro Hukum) membentuk Rancangan Qanun Provinisi antara lain:
a.
Rancangan Qanun Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan;
b.
Rancangan Qanun tentang Perlindungan Anak
c.
Rancangan Qanun tentang Anggaran Responsif Gender
Tentu saja ke-tiga produk rancangan qanun tersebut diharapkan dapat cepat disahkan menjadi qanun,
dan
secara legal representatif dan sensitif bagi perempuan dan anak dalam memberi persamaan hak dan
keadilan.
Pendekatan Analisis Gender
Analisis gender adalah serangkaian kriteria untuk mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek
hubungan antar jenis kelamin. Dalam melakukan identifikasi terhadap ketidakadilan ini analisis gender mula-
mula
membuat pembedaan antara apa yang disebut "seks" dan "gender". Seks, demikian didefinisikan, adalah
pembedaan laki-laki
dan perempuan yang didasarkan atas ciri-ciri biologis. Sedangkan gender adalah
pembedaan laki-laki dan
perempuan secara sosial.
Pada prinsipnya analisis gender tidak mempermasalahkan pembedaan-pembedaan itu selama tidak
melahirkan ketidakadilan. Akan tetapi, analisis ini melihat pembedaan secara gender (
gender differences
) sangat
potensial melahirkan ketidakadilan gender (
gender inequalities
). Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang dilakukan
analisis gender adalah menggugat pembedaan gender, khususnya yang melahirkan ketidakadilan.
11
Berdasarkan
analisis gender, ketidakadilan gender bisa diidentifikasi melalui berbagai manifestasi ketidakadilan, yakni:
marjinalisasi (proses pemiskinan ekonomi), s
ubordinasi
(anggapan tidak
penting), pelabelan negatif (
stereotype
), kekerasan
(
violence
), dan beban kerja ganda (
double burden
). Hal ini
merupakan suatu kriteria untuk melihat setiap aturan sosial
tentang relasi laki-laki dengan perempuan,
termasuk yang lahir dari doktrin agama.
10 Biro PP telah berubah namanya menjadi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Badan
PP dan PA Provinsi Aceh) .
11 Acep Sugiri dalam Harian Kompas, Mencari Teori Kesetaraan: (Analisis Gender VS Teori
Hukum Hukum
Islam, Senin, 23 Agustus 2004.
106
Adapun tujuan dari penelitian merupakan penelitian lanjutan untuk mencari kemutakhiran data dengan
objek
penelitian yang yang lebih fokus kepada strategi dan intervensi pencegahan intensitas dan eskalsi
kekerasan dalam rumah
tanga ini akan meliputi beberapa area, yaitu untuk mengetahui dan menginventarisir persepsi komunitas yang menjadi
partisipan mengenai KDRT meliputi fisik, psikis (non-fisik), seksual, dan penelantaran rumah tangga,
Untuk menjelaskan
strategi-strategi intervensi pencegahan dan
treatment
berbasis pada sumberdaya
lokal dan kekuatan masyarakat yang
didalamnya akan menjelaskan kekuatan, peluang dan sumberdaya individual, komunitas dan kewenangan lokal dalam
menanggulangi KDRT,
Untuk mengetahui dan menjelaskan eskalasi dan intensitas dari berbagai bentuk KDRT (fisik,
psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga), yang sedang terjadi atau telah terjadi dalam komunitas di
desa dan level
kecamatan di kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh, Untuk mengetahui dan menjelaskan sistem pendukung dan
layanan yang dibutuhkan ketika menangani
kasus kekerasan KDRT.
Hasil dari penelitian ini merupakan penyajian informasi serta rekomendasi
tindakan yang
harus
dilakukan oleh
pemerintah, Badan PP dan PA di Provinsi Aceh dan Bagian PP di Kabupaten/kota, Legislatif, yudikatif,
dan pihak-pihak lain
yang terkait, beserta seluruh komunitas dalam upaya memberikan perlindungan
terhadap perempuan dan anak di Aceh
terhadap KDRT.
Penelitian ini termasuk katagori penelitian penilaian secara cepat (
rapid assessment)
, merupakan penelitian yang
dilaksanakan dengan mengikuti rangkaian proses pengumpulan data dengan menggunakan berbagai metode seperti,
pengkajian laporan atau data sekunder yang telah ada.
Selanjutnya mengumpulkan dan mengkaji data primer dengan
menggunakan berbagai metode pengkajian
laporan-laporan yang telah ada.
Data primer adalah data yang langsung
dikumpulkan atau diperoleh oleh peneliti dari partisipan dikelompokkan ke dalam partisipan anak dan orang dewasa.
Partisipan dewasa, partisipan anak, unsur
profesional dan penentu kebijakan.
Data sekunder terdiri dari berbagai
informasi baik berupa data tertulis maupun rekaman film, video dan lain- lain, yang berkaitan dengan fenomena KDRT.
Penggunaan data sekunder adalah untuk informasi awal dan
pelengkap informasi yang telah dikumpulkan oleh peneliti
dengan tujuan untuk memperkuat penemuan atau informasi yang telah dikaji oleh peneliti. Sumber data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen, instrumen hukum dalam bentuk undang-undang, Instruksi Presiden,
peraturan
daerah/qanun, jurnal ilmiah, publikasi dari berbagai organisasi, laporan tahunan lembaga pemerintah.
Penentuan lokasi dan Jangka Waktu Penelitian
.
ditemukan data tingginya angka perceraian di Kabupaten Aceh
Besar dan Kota Banda Aceh yang didominasi kasus KDRT, sehingga lokasi tersebut menjadi alasan dipilih ke 2 (dua)
lokasi ini sebagai daerah penelitian. Dengan mempertimbangkan keluasan permasalahan kekerasan, maka hanya akan
difokuskan kepada isu Strategi dan intervensi pencegahan terhadap intensitas dan eskalasi KDRT saja. Jangka waktu
dilakukan penelitian terhadap data, pertama sekali dilakukan tahun 2004 – 2006, Dengan mengambil lokasi sampel yang
sama, selanjutnya data penelitian diperbarui untuk kemutakhiran, data diambil Tahun 2007 sampai dengan Bulan
September 2008.
107
Teknik penentuan partisipan.
Teknik penentuan partisipan berdasarkan
purposive sampling
. Artinya penetapan
seseorang/individu untuk menjadi partisipan disebabkan karena alasan-alasan yang telah ditetapkan sesuai dengan
kebutuhan penelitian.
Jenis data yang digunakan
adalah data sekunder yang diperoleh melalui
library research
dan data
primer
yang didapat melalui
field research
. Data sekunder dilakukan dengan studi kepustakaan dari literatur, laporan dan
penelitian yang telah ada sebelumnya. Data primer untuk partisipan dewasa digunakan instrumen
Focus Group
Discussion-
Fokus Grup Diskusi (FGD), Wawancara Semi Terstruktur (WST. Selanjutnya observasi dilakukan untuk
melihat gambaran umum lokasi penelitian dan aktivitas
masyarakat, serta fasilitas yang tersedia di instansi terkait dalam
rangka pelayanan kepada korban KDRT. Teknik Penentuan Lokasi Penelitian
dilaksanakan di Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh besar. Dari 9 (sembilan) kecamatan
yang ada di Banda Aceh dan 22 kecamatan yang ada di Kabupaten
Aceh Besar, ditarik sampel lokasi penelitian sebesar 25%. Selanjutnya secara
purposive
dipilih 5 (lima) kecamatan di
Kabupaten Aceh Besar, yaitu Kecamatan Darusalam, Jantho, Indarapuri, Darul Imarah, dan Lhoknga. Adapun di Kota
Banda Aceh penelitian dilakukan pada Kecamatan Meuraxa, Syiah Kuala, Baiturrahman. Berdasarkan tiap kecamatan
dipilih 2 (dua) desa secara
purposive.
Nama-nama desa yang menjadi lokasi penelitian
seperti diuraikan dalam Tabel II
sebagai berikut:
Tabel II
Nama-Nama Desa Lokasi Penelitian
Nama Kabupaten/Kota
Kecamatan
Desa
Aceh Besar
1.
Kecamatan Indrapuri
Desa Pasar Indrapuri
Sinye
2.
Kecamatan Jantho
Barueh
Jantho Makmur
3.
Kecamatan Darul Imarah
Kuta Lamreung
Guegajah
4.
Kecamatan Lhoknga
Lamkruet
Lampaya
5.
Kecamatan Darussalam
Lambada Peukan
Lampeudaya
Kota Banda Aceh
1.
Kecamatan Meuraxa
Deah Baro
Deah Glumpang
2.
Kecamatan Syiah Kuala
3.
Kecamatan Baiturrahman
Rukoh
Gampong Pineung
Desa Ateuk Jawo
Kelurahan Sukaramai
Sumber : Data Primer yang diolah, berdasark an hasil penelitian pendahuluan, 2 Pebruari 2007
108
Di samping itu dengan mempertimbangkan keluasan permasalahan kekerasan maka penelitian ini hanya
difokuskan kepada isu strategi dan interfensi pencegahan terhadap intensitas dan eskalasi KDRT saja. Jangka waktu
penelitian terhadap data dilakukan pertama sekali tahun 2004 - 2006, dengan mengambil lokasi sampel yang sama,
selanjutnya data penelitian diperbarui untuk kemutakhiran, data diambil Tahun 2007 sampai dengan Bulan September
2008.
Pemahaman Masyarakat terhadap KDRT
Umumnya masyarakat mengatakan KDRT adalah melakukan pemukulan terhadap salah satu
anggota keluarga
sampai melukai fisiknya atau mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas yang dapat menyebabkan korban sakit
hati. Sementara sebagian masyarakat lain seperi Keuchik Lambada Peukan dan masyarakat Lhoknga umumnya
mengatakan jika hanya terjadi perang mulut biasa tidak sampai melukai fisik, hal itu tidak dianggap kekerasan
seperti yang terjadi antara suami isteri, atau orang tua terhadap anak. Menurut partisipas, “perang mulut” antara
suami dengan isteri diibaratkan bagai
aweuk
ngon beulangong
atau ibarat wajan dengan centong, meskipun sama-sama
membutuhkan mesti ada saja
masalah yang dihadapi.
Keuchik, imuem
, serta masyarakat awam lainnya yang menjadi partisipan dalam penelitian ini belum
mengetahui
bahkan ada yang tidak mengetahui sama sekali tentang Undang-undang PKDRT. Fakta ini
terungkap ketika pada
awalnya “
keuchik
Desa Deah Baro” mengatakan bahwa tidak pernah ada KDRT di
desanya. Akan tetapi ketika
dijelaskan lebih lanjut ternyata dia mengatakan bahwa ada bentuk-bentuk
KDRT yang dialami oleh warganya.
Karena ketidakpahaman
keuchik
maka masalah-masalah
KDRT
tidak
diangap sebagai suatu perbuatan kekerasan dalam
rumah tangga. Padahal seharusnya ada kewajiban bagi negara dan komunitas untuk mencegah dan melindungi
korban dari tindakan kekerasan yang
dimunculkan oleh pelaku KDRT.
Banyak juga warga masyarakat yang tidak pernah melaporkan jika terjadi KDRT. Umumnya
masyarakat belum
manerima sosialisasi UU PKDRT, kondisi seperti ini dirasakan oleh semua masyarakat di lokasi desa sampel, bahkan
Ketua KUA Kecamatan Darussalam juga mengatakan dirinya bersama staf yang bekerja di KUA tersebut belum pernah
mendapat sosialisasi mengenai UU PKDRT, dan juga Undang-
Undang Perlindungan anak. Sebahagian dari partisipan
lainnya pernah mendengar dan melihat sepintas sosialisasi yang dilakukan di TV, ditulis di koran. Hanya satu
partisipan yaitu keuchik di Desa Deah
Glumpang pernah mengikuti pelatihan PKDRT.
Selanjutnya ada pandangan terhadap tidak perlunya cuti haid bagi perempuan yang bekerja pada perusahaan-
perusahaan. Hal tersebut karena “haid” merupakan kodrat perempuan. Kecuali jika
perempuan tersebut mengalami
sakit ketika haid, maka baru dia diperkenankan untuk diberikan “izin sakit”.
109
Bentuk-Bentuk KDRT yang Terjadi di Lingkungan Masyarakat
Menurut masyarakat bentuk-bentuk KDRT yang pernah terjadi pada di lingkungan mereka, seperti perang
mulut suami isteri hingga suami memukul isteri, memukul anak anak, suami tidak memberi nafkah,
suami kawin lagi.
Adapun kekerasan yang dilakukan terhadap anak, menurut partisipan, hampir semua orang
pernah memukul anaknya tapi
bukan memukul sampai melukai atau menyiksa, seperti kasus-kasus yang sering dilihat di televisi. Bentuk-bentuk
pemukulan menggunakan tangan dengan mencubit atau memukul di pantat, karena anaknya bandel (nakal), atau tidak
mau mendengar kata orang tuanya. Anak-anak juga suka dpukul ketika tidak mau disuruh mandi, tidak mau belajar.
Hal ini juga diperkuat oleh partisipan anak. Semua anak yang dijadikan partisipan dalam penelitian ini
pernah
mengalami KDRT dari orang tua mereka. Menurut anak, pelaku utama KDRT terhadap anak-anak adalah ibunya. Hasil
observasi di Desa Kuta Lamreung Kecamatan Darul Imarah, saat sedang melakukan
wawancara dengan seorang responden,
peneliti melihat seorang ibu/tetangga dari responden yang menghardik dan memukul anaknya dengan keras karena anak
tersebut menjatuhkan pot bunga kepunyaan ibunya, karena
tanpa sengaja terkena lemparan bola dari anak tersebut.
Intensitas dan Eskalasi Terjadinya KDRT
Pada dasarnya kasus KDRT dapat saja dialami oleh banyak orang, namun karena masalah tersebut masih
dianggap masyarakat sangat tabu untuk di laporkan, maka-kasus-kasus KDRT tidak banyak yang
muncul ke permukaan.
Hal tersebut dikatakan oleh hampir semua partisipan dewasa yang menjadi responden
dalam penelitian ini, seperti dikatakan
oleh Kapolsek, dokter puskesmas, keuchik,
Imuem
dan sebahagian
besar masyarakat lainnya.
Berikut intensitas dan
eskalasi KDRT yang dapat diidentifikasi oleh masyarakat baik yang terjadi di Kota Banda Aceh, maupun Kabupaten
Aceh Besar yaitu:
1.
Pertengkaran suami isteri sangat sering terjadi dan hampir di semua keluarga;
2.
Pemukulan (mencubit) anak oleh ibunya sangat sering terjadi ditemukan hampir di semua keluarga yang
dijadikan
partisipan;
3.
Pemukulan (menampar) yang dilakukan oleh suami terhadap isteri sering tapi pada keluarga-keluarga tertentu kusus
di Desa Deyah Baro Kecamatan Meraxa tergolong sering dan banyak ibu-ibu yang
mengalaminya;
4.
Pemukulan yang dilakukan oleh ayah terhadap anaknya sering dilakukan namun pada keluarga-keluarga
tertentu.
5.
Nafkah yang dirasakan tidak cukup, banyak dialami oleh hampir di semua keluarga di semua desa objek
teliti
6.
Suami berpoligami di desa-desa tidak banyak, bisa dihitung dengan sebelah jari.
7.
Suami berselingkuh hanya orang tertentu
fenomena kusus di desa Lamreung dan Guegajah;
8.
Isteri berselingkuh 2 (dua) kasus fenomena kusus di Desa Lamreung dan Guegajah.
110
Berdasarkan data primer diketahui memang terjadi peningkatan setelah
tsunami.
Hal ini dapat dilihat
berdasarkan data yang ada pada Mahkamah Syar’iyah. Kenaikan frekuensi angka perceraian terjadi baik di
Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh, maupun Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar. Angka perceraian
dapat menjadi salah satu tolok ukur adanya kekerasan dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan banyak
pasangan melakukan cerai talak (pihak suami) maupun cerai gugat (pihak isteri). Selain KDRT, alasan suami
melakukan ”poligami” paling dominan terjadinya perceraian secara ”cerai gugat”
berdasarkan perkara yang masuk atau
yang diputuskan di Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota yang dijadikan
lokasi penelitian. Adapun angka perceraian
yang terjadi di dua kabupaten/kota yaitu Banda Aceh dan Aceh
Besar dapat dilihat dalam Tabel III dan Tabel IV
sebagai berikut:
Tabel III
Angka Perceraian Pada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
Tahun
Perkara Masuk
Perkara yang Diputuskan
Cerai Talak
Cerai Gugat
Cerai
Talak
Cerai Gugat
2005
27
106
25
83
2006
45
120
56
105
2007
54
150
49
157
2008
(sampai bulan
September )
63
103
46
36
Sumber data : Data primer diolah pada Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh, hasil penelitian dilakukan
September 2008.
Data angka perceraian Kota Banda Aceh dimulai tahun 2005 sampai September 2008. Hal ini karena data
sebelum tahun 2005 tidak dapat ditemukan lagi, karena kantor Mahkamah Syar’iyahnya terkena dampak
tsunam
i, yang
mengakibatkan hancur dan musnahnya semua data dan dokumen yang ada. Jika dianalisis data
Tabel III diketahui,
terjadi peningkatan yang tajam angka perceraian pada tahun 2005 -2006, justru paling
banyak dilakukan oleh pihak
perempuan yang melakukan cerai gugat, dari 106 menjadi 120 kasus. Begitupun
dengan jumlah kasus-kasus yang
diputus dari 83 kasus menjadi 105 kasus. Peningkatan kasus perceraian masih terjadi, baik kasus cerai talak
maupun cerai gugat. Meskipun secara angka perkara yang masuk dari kasus cerai gugat masih signifikan terjadi
peningkatan jumlah pada tahun 2007 dari 120 kasus menjadi 150 kasus dibandingkan cerai talak dari 45 menjadi
54 kasus. Perkara yang diputuskan berdasarkan cerai gugat juga lebih banyak yaitu 105 kasus menjadi 157.
Sedangkan kasus yang diputuskan berdasarkan cerai talak mengalami penurunan dari 56 kasus menjadi 49. Kondisi
ini menajdi terbalik ketika tahun 2008 kasus yang diputuskan berdarkan cerai gugat turun drastis dari 157 kasus
menjadi 36. Begitupun kasus yang diputus berdasarkan cerai talak dari 49 kasus menjadi 46 kasus.
111
Latar belakang penyebab suami melakukan melakukan “cerai talak” terhadap isterinya Kota Banda
Aceh
adalah :
a.
Karena tidak harmonis
b.
Perselisihan (cekcok terus menerus)
Alasan isteri melakukan cerai gugat terhadap suaminya adalah sebagai berikut:
a.
Suami tidak bertanggung jawab/meninggalkan kewajiban
b.
Suami berpoligami
c.
Suami berselingkuh
d.
Suami suka memukul isteri dan anak.
Angka perceraian pada Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar seperti pada Tabel IV di bawah
ini:
Tabel
IV
Angka Perceraian Pada Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar
Tahun
Perkara Masuk
Perkara yang Diputuskan
Cerai Talak
Cerai Gugat
Cerai Talak
Cerai Gugat
2004
63
21
43
15
2005
57
17
56
15
2006
85
24
74
21
2007
49
102
35
90
2008
30
92
36
71
Sumber data : Mahkamah Sya r’iyah Kabupaten Aceh Besar, data primer diolah, Nopember 2006
s/d Januari
2007.
Berdasarkan perkara yang masuk, sejak tahun 2004 sampai dengan September 2008 terjadi intensitas dan
eskalasi yang cukup tajam dari kasus cerai gugat. Tahun 2007 dari 24 kasus sebelumnya
menjadi 102 kasus dan yang
diputus berdasarkan cerai gugat juga terjadi peningkatan yang cukup serius. Dari 21 menjadi 90 buah kasus. Sampai
September 2008 sudah 92 kasus cerai gugat yang masuk dan yang diputus berdasarkan cerai gugat 71 kasus. Hal ini dapat saja
bertambah sampai akhir tahun 2008.
Alasan-alasan yang menjadi penyebab terjadinya cerai talak dari pihak suami lebih disebabkan tidak
adanya
keharmonisan dalam rumah tangga, sedangkan alasan isteri menggugat cerai suaminya sangat
bervariasi yaitu
suami
tidak bertanggung jawab/meninggalkan kewajiban,
poligami
,
kawin paksa
,
adanya gangguan pihak ke-tiga.
Dari alasan-alasan gugat talak dan gugat cerai baik yang terjadi di Kota Banda Aceh, maupun Kabupaten Aceh Besar
dapat diketahui bahwa pihak perempuan (isteri) mengalami KDRT yang variatif berlapis bentuknya. Berikut dapat diperlihatkan
kasus-kasus KDRT yang terjadi di berbagai instansi terkait :
112
Tabel V
Intensitas Dan Eskalasi Kdrt
Sumber data
Tahun 2004 –
Sept’08
Jumlah K\as us KDRT
Bentuk KDRT
Pelaku Korban
Thn
2004
Thn
2005
Thn
2006
Thn
2007
Thn
2008
Rumah Sakit
Umum Jantho
1
Dipukul di muka sampai
bernanah
Suami
Istri
Pengadilan
Negeri
Jantho
1
Dimarahi, dihina, disentil, kepala
dipukul deng an centong, muka
dipukul
dengan botol, ditampar di hidung
dan mulut
Suami
Istri
4
Kekerasan Fisik
Suami,
kakak/saudara
istri,adik
3
Kekerasan Fisisk
suami
Istri
Rumkit Kesdam
1
Puting payudara digigit
Suami
Istri
1
Masuk Kelereng dalam
Hidung anak
anak
Ibu
1
Vagina pecah
Suami
Istri
1
Tersiram air panas, minyak
goreng akibat kelalaian ibu
Ibu
anak
1
Memar karena kena pukul
istri
Suami
KUA Kecamatan
Baiturrahman
1
1
5
Cekcok, suami tidak
bertanggung jawab pada anak,
istri, mencurigai suami/istri,
tidak memberi
nafkah lahir batin.
Suami
Istri
Polsek
Baiturrahman
1
Pemukulan
suami
Isteri
Ruang
Pelayanan
Khusus (RPK)
Polres Banda
Aceh
14
Penganiayaan fisik (pemukulan),
kekerasan
seksual, Penelantaran ekonomi
dan poligami
suami
Istri
18
Pemukulan, Penelantaran
Suami
Istri
24
Pemukulan, pengancaman
Suami, istri
Istri, suami
Pusat Pelayanan
Terpadu (PPT)
Rumkit
Bhayangkara
6
Penganiayaan fisik (pipi
ditampar, dipukul dikepala
sampai berdarah dengan botol,
ditendang, dicekik,
punggung ditinju, kepala
dipukul)
suami
Istri
1
Kekerasan psikis dimaki-
maki dan dikatai dengan
kasar sampai menyebut
orangtua korban tidak
punya otak, dihina)
suami
Istri
17
Kekerasan Fisik
Suami
Istri
17
Kekerasan fisik dan
ancaman
Suami
Istri
113
KUA Kecamatan
Darul Imarah
3
8
Suami tidak memberi nafkah
selama setahun, suami
poligami, tidak ada
kecocokan
Suami poligami, istri menghina
suami, suami impotent, suami
tidak bertanggungjawab dan
tidak memberi nafkah, suami
selingkuh, suami sering marah
dan mengucapkan kata talak,
suami memaksa
berhubungan
saat istri sedang haids.
suami
7 kasus
pelakunya suami
dan
1 kasus
pelakunya istri
Istri
7
kasus
korbannya
istri dan
1
kasus
korbannya
suami
16
Selingkuh, penelantaran
RT, memukul, memaki dan
menghina
Suami
Istri
29
Tidak emberi nafkah
terhadap istri, istri mengatur
suami dan terlalu dominan
Dominan suami
dibandingkan istri
Suami/ istri
18
Memberi cabai
pada pakaian
dlam istri, memukul
di tulang
rusuk, tidak
percaya pada istri
Suami
Istri
Puskesmas
Lampeuneurut
2
1
Penyiksaan fisik (gigi
goyang
akibat ditampar, bibir pecah,
pipi bengkak, kepala
bengkak, tangan
memar)
Penyiksaan fisik
(pendarahan pada mata, luka
memar pada daerah
wajah)
Suami
Suami
Istri
Istri
Puskesmas
Lhoknga
2
Kekerasan fisik (dipukul di daerah
kepala, kepa la
bengkak, wajah lebam)
Suami, anak tiri
laki-laki,
mantan
suami
Istri
Puskesmas
Kecamatan
Darussalam
1
Kasus Luka memar di
bagian muka akibat di
tampar suami,
suami
Isteri
1
Kasus memar di bagian
dagu
akibat kena
tendangan
suami
Isteri
1
Stres
akibat
tekanan mental,
suami selalu marah-
marah.
suami
Isteri
Polsek
Darussalam
1
Kasus memar di bagian
dagu akibat kena
tendangan
suami
isteri
Sumber : Data Primer yang diolah Agustus – September 2008.
114
Berdasarkan Tabel V di atas diketahui bahwa, sebagaian besar perempuan dan anak merupakan korban dan
mengalami kekerasan yang berlapis dalam rumah tangga. Seorang perempuan/istri dapat mengalami kekerasan fisik, non
fisik, seksual bahkan ekses dari suami yang melakukan poligami
menelantarkan rumah tangganya.
Data KDRT yang masuk
ke Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Banda Aceh tahun 2006 terjadi peningkatan lebih dari 4 (empat) kali jumlah kasus yang
masuk pada tahun 2005, yaitu dari 4 (empat) kasus menjadi 26 kasus yang 100 persen korbannya adalah perempuan.
Strategi Intervensi Pencegahan Intensitas Dan Eskalasi Terhadap KDRT Serta
Fasilitas Layanan
Pendukung
Pada dasarnya semua adat istiadat di Aceh bersendikan Islam yang diibaratkan seperti,
adat ngon agama ibarat zat
ngon sifeut.
Jika terjadi KDRT di Provinsi ACEH lebih disebabkan karena penyimpangan perilaku yang dapat terjadi di
negara mana saja dan di daerah mana saja bukan karena adat Aceh-nya yang
keras. Dengan demikian penyimpangan perilaku dengan timbulnya KDRT sebenarnya juga penyimpangan dari
adat istiadat
Aceh.
Di tengah masih kuatnya nilai-nilai patriarkhal yang dianggap sebagai nilai satu-satunya di masyarakat,
terdapat
peluang untuk mengubah situasi yang tidak demokratis itu. Peluang tersebut ada pada masyarakat sendiri. Tetapi, untuk
memanfaatkan peluang tersebut, masyarakat, lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, mesti diubah perspektifnya lebih
dulu. Artinya peran semua elemen masyarakat sangat besar dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan.
Penyelesaian kasus KDRT menurut hukum adat, bersendikan
simbol
mukim
adalah mesjid, simbol
gampong
adalah meunasah.
Hal ini berarti, semua persoalan-persoalan masyarakat termasuk KDRT diselesaikan oleh tokoh-tokoh
gampong
seperti
tuha peut
atau
tuha lapan
namun
penyelesaiannya dilakukan di
meunasah
atau di mesjid.
Meunasah
/mesjid punya nuansa tersendiri
untuk menyelesaikan setiap persoalan
gampong
dibandingkan dengan penyelesaiannya yang dilakukan di luar
tersebut.
Sampai saat ini juga telah ada LSM nasional/lokal/Internasional yang telah membuat layanan-layanan
untuk
perempuan korban kekerasan seperti
women crisis center,
lembaga bantuan hukum, rumah lindung
(shelter
), atau
pendampingan korban, jumlahnya masih jauh dari memadai dari kebutuhan. Apalagi jumlah
perempuan korban
kekerasan tidak selalu berada di kota-kota besar. Pekerja sosial menjadi penting dalam hal ini menjadi penting, yang dibantu
oleh segenap elemen komunitas dan pemerintah gampong yang ada. Dapat
dicontohkan bagaimana upaya yang dilakukan
komunitas tersebut, dalam mencegah dan menangulangi
perempuan dan anak-anak korban kekerasan yang berada jauh dari
lokasi dari pusat informasi, komunikasi dan
transportasi yang sulit. Dapat dibayangkan bagaimana jika perempuan dan anak
di daerah tersebut menjadi
korban KDRT.
Selain hal tersebut, korban kekerasan membutuhkan bukan hanya pengobatan secara fisik, tetapi juga
penanganan
masalah psikososial dan hukum dengan pendampingan untuk mengatasi trauma. Dengan kata
lain, penanganan korban
kekerasan memerlukan layanan terpadu multidisiplin.
115
Ba. dan PP dan PA, bagian Pemberdayaan Perempuan Kabupaten/kota
Badan PP dan Perlindungan anak, atau bagian PP di kabupaten/kota telah melakukan sejumlah kegiatan dalam
rangka mencegah segala bentuk KTP termasuk KDRT dan kekerasan terhadap anak. Diantaranya adalah sosialisasi
Undang-Undang PKDRT, dan Undang-Undang Perlindungan Anak ke berbagai kabupaten kota, ke barak-barak
pengungsi korban tsunami, sosialisasi ke dinas-dinas terkait di kabupaten kota. Sosialisasi juga dilakukan diberbagai
media cetak dan elektronik, seperti radio, televisi,
buklet-buklet dan juga dalam bentuk buku yang telah disebar-luaskan ke
berbagai daerah di Provinsi ACEH.
Di Kota Banda Aceh dan Jantho Kabupaten Aceh Besar juga telah dibangun Pusat
Pelayanan Terpadu Perberdayaan Perempuan (P2TP2). Konsep P2TP2 adalah salah satu bentuk layanan dalam
upaya
pemenuhan kebutuhan peningkatan pendidikan, kesehatan, ekonomi, penanggulangan tindak kekerasan
terhadap
perempuan dan perlindungan anak serta peningkatan posisi dan kondisi peremuan dalam masyarakat. Selain itu P2TP2
berperan sebagai wadah pelayanan pemberdayaan perempuan dan anak
berbasis masyarakat.
Poltabes Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar
Telah melakukan sosialisasi kepada segenap jajarannya terutama Kapolsek-Kapolsek yang ada di kecamatan,
mengenai UU PKDRT dan juga Undang-Undang Perlindungan Anak. Poltabes juga telah menyediakan Ruang
Pelayanan Kusus (RPK) berikut peningkatan kualitas sumber daya Polisi Wanita (Polwan) yang akan menangani kasus-
kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk didalamnya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Adapun di
Kabupaten Aceh Besar, pelayanan yang diberikan terhadap KTP khususnya fungsi RPK belum semaksimal di Kota
Banda Aceh. Sumber daya
Polwan yang memahami masalah kekerasan masih sangat terbatas.
Polsek – Polsek yang ada Di Kecamatan
Pihak kepolisian sendiri cenderung mendamaikan kembali jika terjadi KDRT pada tingkat gampong
yang
dilaporkan kepada mereka. Seperi kasus yang terjadi di Polsek Darussalam yaitu suami yang menendang
isterinya hingga
memar di bagian dagunya, oleh karena banyak hal yang dipertimbangkan disamping faktor isteri yang sedang hamil,
suami tersebut nampaknya tidak dengan sengaja menendang isterinya, namun kepada suami yang bersangkutan
dikenakan sanksi wajib lapor. Pihak polsek sendiri sudah pernah juga melakukan sosialisasi PKDRT ke beberapa tempat
tapi diakui masih sangat kurang. Jika terjadi kasus KDRT sebaiknya masyarakat yang ingin melapor ke pihak kepolisian,
polsek Darussalam menganjurkan untuk melapor ke Poltabes saja yang ada di Jambo Tape. Hal ini disebabkan di Polsek
sendiri tidak ada fasilitas
seperti RPK dan SDM (polwan) yang sebaiknya menangani kasus KDRT karena biasanya korban
utama KDRT
adalah perempuan.
116
Potensi puskesmas di Kecamatan
Petugas kesehatan memegang posisi strategis, tetapi ada hambatan, yaitu petugas kurang responsif dan belum
memahami perannya. Selain itu, petugas kesehatan memang kurang terampil seperti luput dalam pendokumentasian kasus
kekerasan secara baik. Selain itu bagaimana mereka dapat memberi tin dak lanjut sepertyi konseling, perawatan dan
melakukan rujukan. Sikap yang masih dipengaruhi budaya dan sikap sosial yang memandang negatif terhadap perempuan
korban, alokasi dana yang terbatas bagi penanganan KDRT, karena puskesmas tersebut juga punya skala prioritas seperti
penurunan angka kematian ibu dan balita,
demam berdarah.
Peran Kantor Urusan Agama di Kecamatan
Hampir semua Kantor urusan agama kecamatan (Kuakec) pernah menasehati/membimbing sejumlah
pasangan suami
isteri yang berselisih atas permintaan
keuchik gampong
. Jumlah secara otentik tidak
terdokumentasi dengan baik, kecuali
Kuakec Baiturrahman dan Darul Imarah yang memiliki data sekunder.Jika suami-isteri betul-betul ingin berpisah, mereka
langsung ke Mahkamah Syar’iyah. Penyebab dari perselisihan
suami isteri sering tidak terungkap di Kuakec. karena pada
prinsipnya mereka datang karena mau berdamai
dan tidak mau memberitahukan aib pasangannya masing-masing.
Upaya Penyelesaian Kasus KDRT Pada Tingkat Gampong
Menurut
keuchik,
dan masyarakat di semua desa yang dijadikan sampel dalam penelitian ini serta diperkuat lagi
oleh hasil wawancara dengan Ketua Majelis adat Aceh (MAA), seharusnya jika terjadi pertengkaran hebat antara suami
isteri sampai menjurus kepada pemukulan penyelesaian yang harus ditempuh pada tingkat gampong adalah mengadu ke
keuchik
, yang akan menyelesaikan bersama-sama
anggota
tuha peut
.
Membangun jaringan
Membangun jaringan multi sektor untuk sosialisasi dan advokasi mencegah dan menanggulangi KDRT
berikut
legislasinya perlu dilakukan secara berkelanjutan. Inti dari membangun jaringan di antara organisasi
non pemerintah dan
ormas perempuan dengan mengajak kelompok akademisi, penyintas, tokoh agama, adat,
segenap elemen masyarakat, birokrat,
aparat penegak hukum, legislatif serta media massa adalah membagi
tugas masing-masing ”siapa melakukan apa”. ” Dalam
hal ini termasuk berjaringan dan memiliki akses terhadap
produk perundang-undangang setingkat daerah (
qanun)
atau
legislasi nasional bahkan juga memiliki akses dalam sistem perencanaan dan penganggaran pemerintah, sehingga dapat
melihat celah di mana bisa
melakukan advokasi kebijakan yang sensitif gender.
117
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
Strategi atau
treatment
yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota selama ini belum cukup
maksimal, bagi
penanganan KDRT, meskipun telah melibatkan berbagai komponen masyarakat, LSM,
tokoh ulama dan adat.
Intensitas
dan eskalasi KDRT dalam masyarakat yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan
frekuensi yang meningkat pasca
tsunami.
Bentuk-bentuk KDRT yang diterima oleh perempuan secara
berlapis (kekerasan fisik, psikis, seksual dan
penelantaran ekonomi) bahkan bentuk tersebutberbarengan terjadinya. Salah satu alasan dominan dalam masalah gugat
cerai yang dilakukan oleh perempuan/istri kepada suaminya, karena suami melakukan poligami. Sehingga ditemukan
fakta
bahwa, poligami memiliki relasi kuat dengan masalah KDRT, di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh
Besar.
Relasi
antara korban dengan pelaku baik kekerasan terhadap perempuan maupun anak-anak, adalah orang-orang yang dikenal baik
oleh korban, bahkan memiliki hubungan darah.
Masalah KDRT masih dianggap wilayah tertutup/privacy sifatnya.
Hampir semua partisipan
menyatakan bahwa komunitas baru bertindak jika diminta oleh korban. Inisiatif untuk
mencegah KDRT
di tingkat gampong dilakukan oleh
keuchik, tuha peut, tuha lapan
. Hal ini karena belum ada inisiatif
penanganan
masalah KDRT oleh pemerintahan gampong.
Untuk dapat mengurangi intensitas dan eskalasi KDRT dalam masyarakat maka
program sosialisasi
KDRT berikut legislasi yang mengaturnya juga memperhatikan komunitas gampong, mukim, berikut pemerintahannya.
Program KDRT termasuk bagaimana mencegah dan
mengatasi korban KDRT sampai pendampingan korabn dan
pelaku
di
bidang agama
yang dilakukan
oleh tokoh agama/adat di gampong, atau mukim.
Puskesmas merupakan garda terdepan
dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk KDRT. Diperlukan sejumlah sarana dan prasarana
yang memadai berikut kemampuan
tenaga medis yang baik untuk menangani masalah kekerasan terhadap perempuan dan
anak. Adanya sejumlah pelatihan, workshop atau pendidikan lainnya bagi meningkatkan keterampilan tenaga medis untuk hal
tersebut. Hal ini tentu saja disertai dengan adanya anggaran yang cukup bagi puskesmas- puskesmas dalam menangani masalah
kekerasan.
Perlu adanya koordinasi dan konsolidasi terhadap jaringan yang bekerja untuk menangani masalah
kekerasan
terhadap perempuan, dimana KDRT termasuk salah satu dari kekerasan tersebut.
Diperlukan perluasan wilayah jaringan
program penanganan kekerasan terhadap perempuan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat, LSM, Ormas, dan
lain-lain, sehingga tidak hanya terfokus di wilayah yang mudah dijangkau oleh sarana komunikasi, transportasi dan teknologi,
tetapi menyebar ke
lokasi-lokasi yang sulit dijangkau oleh hal-hal tersebut.
118
DAFTAR PUSTAKA
A.
BUKU-BUKU
Aceh Dalam Angka, 2004. BAPPEDA
Propinsi NAD, 2005.
Gadis Arivia, (2003) Filsafat Perspektif Feminis, YJP, Jakarta.
Hasyim, MK, CS, (1997), Peri Bahasa Aceh , Penerbit Dinas P&K Daerah Istimewa Aceh.
Mansour Faqih (1996), Mengeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Nursyahbani Katjasungkana dan Mumtahanah, (2002), Kasus-kasus Hukum Kekerasan Terhadap
Perempuan,
LBH Apik, Jakarta.
Rita Serena Kolibonso (2001), Optional Protokol Terhadap Konvensi penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan, Mitra Perempuan, Jakarta.
Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, (2004),
Budaya Masyarakat Aceh, Badan Perpustakaan Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Aceh.
Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi (ed), (1989), Metode Penelitian Survei
.
Edisi ke-2, Yogyayakarta, Pusat Penelitian
dan Studi Kependudukan, Universitas Gajah Mada. Seri Metodologi No. 6.
Sulistyowati Irianto, (2006), dalam Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif
Kesetaraan
dan Keadilan, NZAID bekerjamasa dengan CW UI dan Yayasan Obor, Jakarta.
Sulistyowati Irianto dan L.I. Nurtjahyo (2006), Perempuan di Persidangan: Pemantauan Peradilan
Berperspektif
Perempuan, Obor, Jakarta.
Tapi Omas Ihromi,
et. al
(ed), Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (2000), Alumni, Bandung.
B.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
119
Republik Indonesia, UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi
Terhadap Perempuan atau
The Convention on The
Elimination
of All Forms
of Discrimination against
Women
- CEDAW.
Republik Indonesia UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Republik Indonesia, UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana
(KUHP).
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana
(KUHAP).
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita – CEDAW
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
D.
HASIL PENELITIAN
Unicef (2006),
Assesment of Child Abuse, Exploitation and Trafficking in NAD Province and Nias
After
Tsunami
, dilaksanakan oleh Tim Peneliti
PSG
Unsyiah dibantu sepenuhnya oleh Emmy
LS, Retno dan
Rino Antarini.
Satker BRR NAD-NIAS (2006), Kondisi Riil Perempuan di 16 Kabupaten/Kota Provinsi NAD,
Dilaksanakan oleh
Tim Peneliti Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Syiah Kuala.
C. MAKALAH/JURNAL/HARIAN
Acep Sugiri dalam Harian Kompas, Mencari Teori Kesetaraan: (Analisis Gender VS Teori Hukum
Hukum
Islam, Senin, 23 Agustus 2004.
Flyer yang diterbitkan secara kerjasama antara Komnas Perempuan dan Body Shop dalam Sulistyowati
Irianto.
Harian Kompas, 10 Mei 2004.
Husein Muhammad, (2006), Perempuan dalam Pandangan Agama, Makalah disampaikan dalam
Pelatihan Penyadaran Gender di KPMM, tanggal 20-23 Juli.
Mitra Perempuan, Informasi Tahun 2005 Statistik Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Ratna Batara Munti dalam Jurnal Perempuan No. 45, (2006), Sejauh mana Nagara Memperhatikan Masalah
Perempuan? (Cedaw dan pertanyaan Tentang kebijakan-kebijakan Negara), YJP,
Jakarta.
120
, dalam Jurnal Perempuan No. 45, (2006), Diskriminasi itu Bernama Kekerasan
Terhadap
Perempuan, YJP, Jakarta.
E.
SUMBER INTERNET
Jurnal Perempuan. Com. tahun 2005.