ArticlePDF Available

Abstract

Cryptocurrencies have been gaining attention in the financial world in recent years, with the model reportedly being able to digitally transfer, store and record information, and has the potential to transform traditional financial services. Financial digitization is very much needed in today's conditions, where all life uses digital systems to support life. Financial modification is certainly needed in realizing sustainable finance, especially in the field of Islamic finance globally. In this study to explore the potential of cryptocurrencies in the inclusion of sustainable Islamic finance. This research was conducted using a library research model, with data collection in the form of books, journals, websites and other objects that are considered relevant and then carried out an in-depth study through descriptive qualitative analysis methods. The results of the study indicate that cryptocurrency is a financial digitization that has the potential to support and ensure that the Islamic financial transaction process can be accessed by millions of consumers so that the goal of financial inclusion can be achieved and supports the development of the financial industry that has transaction efficiency values so that it can realize sustainable Islamic finance.
Al Maal : Journal of Islamic Economics and Banking
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jieb
DOI: http://dx.doi.org/10.31000/almaal.v4i1.6190
E-ISSN : 2580 - 3816
Vol. 4 (1) 2022
PP. 89 - 105
Potensi Cryptocurrency dalam Inklusi Keuangan Islam Berkelanjutan
Satria Darma1*
1Prodi Perbankan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal
* satriadarmamuhammad@gmail.com
ABSTRACT
Cryptocurrencies have been gaining attention in the financial world in recent years, with the
model reportedly being able to digitally transfer, store and record information, and has the
potential to transform traditional financial services. Financial digitization is very much needed
in today's conditions, where all life uses digital systems to support life. Financial modification
is certainly needed in realizing sustainable finance, especially in the field of Islamic finance
globally. In this study to explore the potential of cryptocurrencies in the inclusion of sustainable
Islamic finance. This research was conducted using a library research model, with data
collection in the form of books, journals, websites and other objects that are considered
relevant and then carried out an in-depth study through descriptive qualitative analysis
methods. The results of the study indicate that cryptocurrency is a financial digitization that has
the potential to support and ensure that the Islamic financial transaction process can be
accessed by millions of consumers so that the goal of financial inclusion can be achieved and
supports the development of the financial industry that has transaction efficiency values so that
it can realize sustainable Islamic finance.
Keywords: Cryptocurrency; Financial Inclusion; Islamic Finance.
ABSTRAK
Cryptocurrency beberapa tahun terakhir ini menjadi perhatian di dunia keuangan, dengan
model tersebut dikabarkan mampu untuk melakukan pemindahan, penyimpanan dan merekam
informasi secara digital, serta mempunyai potensi mengubah layanan keuangan yang biasa.
Digitalisasi keuangan sangat dibutuhkan pada kondisi saat ini, dimana seluruh kehidupan
menggunakan sistem digital dalam menopang kehidupan. Modifikasi keuangan tentunya
diperlukan dalam mewujudkan pembangunan keuangan berkelanjutan, terkhusus pada bidang
keuangan Islam secara global. Pada penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi potensi
cryptocurrency dalam inklusi keuangan islam berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan model penelitian kepustakaan, dengan pengumpulan data berupa buku, jurnal,
website dan objek lainnya yang dianggap relevan lalu dilakukan kajian yang mendalam melaui
metode analisis kualitatif deskriptif. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa cryptocurrency
merupakan digitalisasi keuangan yang mempunyai potensi dalam mendukung serta dapat
memastikan proses transaksi keuangan Islam mampu diakses oleh jutaan konsumen sehingga
tujuan inklusi keuangan dapat dicapai dan mendukung perkembagan industri keuangan yang
memiliki nilai efisiensi transaksi sehingga dapat mewujudkan keuangan islam yang
berkelanjutan.
Kata kunci : Cryptocurrency; Inklusi Keuangan; Keuangan Islam.
.
Satria Darma
90 Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022
PENDAHULUAN
Dunia sejak terjadinya pandemi covid-19, dimulai dari akhir 2019 mengalami
perubahan-perubahan dalam menjalankan sistem kehidupan, terutama dalam bidang
ekonomi. Perry Warjio pada kegiatan diskusi yang membahas tentang Inovasi dan
Inklusi keuangan menyampaikan bahwa ada lima tatangan ekonomi pasca pandemi,
yaitu; tidak meratanya pemulihan ekonomi dan keuangan global, terjadi pememaran
atau scaring effect dalam stabilitas ekonomi, akselerasi sistem yang semakin cepat pada
keuangan digital, semakin dibutuhkannya inklusi keuangan, dan desakan pada
implementasi keuangan hijau. Solusi pada masalah-masalah tersebut salah satunya
adalah integrasi keuangan digital dan mendorong inklusi keuangan untuk sustainabilitas
(pertumbuhan berkelanjutan). (Pratama, 2021).
Digitalisasi sistem keuangan merupakan inovasi teknologi di dalam dunia
keuangan dengan tujuan supaya masyarakat dapat menagkses segala bentuk produk dan
layanan keuangan dengan mudah. Hal tersebut sering juga disebut sebagai Financial
Technology (Teknologi Keuangan) atau juga disingkat fintech. Financial technology
memiliki kekhususan dimana model tersebut merujuk pada sesuatu hal yang baru dalam
layanan keuangan yang inovatif melalui teknologi. Proses fintech telah merubah pola
bisnis dalam tatanan keuangan dengan memunculkan model tersendiri dengan aturan
dan regulasi khusus, sehingga mengharuskan terwujudnya inovasi-inovasi dalam
keuangan. (Ramadhani, A., Febriyanti, A., Choirunnisa, I., Shifa, L., Gani, M.R.A.,
Nurbayanti, 2021). Inovasi di dunia fintech salah satunya adalah cryptocurrency,
dimana cryptocurrency secara sederhana dapat dimaknai sistem mata uang digital yang
secara khusus berasal dari kriptografi dengan model kerahasiaan informasi yang
didasarkan oleh elemen matematika dan ilmu komputer melalui metode enkripsi data
dengan kunci khusus dalam menyediakan akses ke dekripsi data tersebut. (Mikhaylov,
2020).
Kemajuan teknologi dalam sistem keuangan mendorong keuangan islam terus
berinovasi sebagai menjawab tantangan zaman. Kajian dan pembahasan cryptocurrency,
Digital Currency, Blockchain, Bitcoin, dan sebagainya yang kesemuaannya dalam
model fintech dimana memodifikasi dan memadukan inovasi teknologi terus dibahas
dan diteliti oleh para ahli. Hal tersebut dikarenakan terus terjadinya perubahan yang
cepat dan signifikan dalam dunia keuangan islam yang menuntut perubahan-perubahan
Potensi Cryptocurrency dalam Inklusi Keuangan Islam Berkelanjutan
Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022 91
solutif dalam menggunakan teknologi dan merupakan kebutuhan konsumen. Kondisi
keuangan Islam beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan yang signifikan
sekitar 14%, hal itu membuktikan bahwa diperlukannya inovasi dalam progress
keuangan Islam. Meskipun pertumbuhan industri keuangan Islam diprediksi mengalami
perlambatan dikarenakan pandemi Covid-19, namun demikian telah diproyeksikan
bahwa asset industri keangan Islam akan mengalami peningkatan menjadi US$ 3,69
triliun pada 2024 yang akan datang. (Refinitiv, 2020)
Pertumbuhan yang stabil dalam keuangan Islam tercermin dalam pengembangan
inovasi-inovasi yang baru dalam teknologi di bidang jasa keuangan yang menjadi
potensi besar bagi kemajuan industri keuangan Islam. (Arner, D.W. Barberis, J.
Buckley, 2017). Inovasi dan potensi pasar tersebut banyak diakomodir oleh inovasi di
dalam dunia fintech (financial technology), dimana memiliki kesempatan dalam
menumbuhkan minat konsumen pada keuangan Islam dan melahirkan sesuatu yang unik
sehingga menjadi pembeda dengan keuangan konvensional. (Salman, A. & Nawaz,
2018)
Artikel ini mengeksplorasi bagaimana teknologi keuangan yaitu cryptocurrency
memiliki peluang dalam peran pada inklusi keuangan Islam sehingga menjadi bagian
dari pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Cryptocurrency memiliki keunggulan yang
patut diselaraskan dengan keuangan Islam dimana dalam prosesnya menjadi pusat data
yang membantu penyimpanan data dengan metode meningkatkan kepercayaan,
mengurangi penipuan dan mempromosikan kejujuran dalam ekonomi digital.
Meningkatkan kepercayaan, kejujuran dan transparansi merupakan nilai-nilai kebaikan
yang dimiliki Islam dan banyak tradisi agama lainnya juga menjunjung tinggi nilai-nilai
tersebut. Wacana membangun masa depan keuangan Islam dengan dasar-dasar
kemurnian ajarannya sangatlah tepat dan dibutuhkan, sehingga keuangan Islam tidak
hanya menjadi bagian dari inovasi-inovasi teknologi keuangan namun juga secara
langsung menjadi contoh dan pedoman bagi konsumen dan stakeholder dalam
mewujudkan sistem keuangan yang berlandasakan nilai-nilai kebaikan yang dijarakan
oleh agama itu sendiri.
METODE PENELITIAN
Pada artikel ini menggunakan jenis penelitian library research atau penelitian
pusataka, dengan mengumpulkan data pustaka, atau dapat dikatakan model penelitian
Satria Darma
92 Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022
kualitatif yang objek kajiannya bersumber dari data kepustakaan. Menggunakan metode
penelitaian kualitatif yang dilaksanakan dengan pengumpulan data berupa buku, jurnal,
website dan objek lainnya yang dianggap relevan lalu dilakukan kajian yang mendalam
dengan analisis kualitatif deskriptif yaitu peneliti melakukan analisa terhadap data
secara sistematik dan menggunakan analisis deskriptif dari sumber yang telah
dikumpulkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keuangan Islam Global
Secara umum pasar keuangan Islam saat ini bernilai sekitar US$ 2,88 triliun,
yang mencakup beberapa sektor-sektor utama antara lain: Perbankan syariah (senilai
sekitar US$ 1,93 triliun atau 69%), Asuransi syariah (takaful) (senilai sekitar US$ 51
miliar atau 2%), Obligasi syariah/ sukuk (senilai US$ 538 miliar atau 19%), Dana Islam
(senilai US$ 140 miliar atau 5%), Lembaga keuangan Islam lainnya (senilai US$ 153
miliar atau 5%). Saat ini, Malaysia, Indonesia, Bahrain, UEA, dan Arab Saudi memiliki
pasar keuangan Islam yang paling berkembang dengan baik. (Refinitiv, 2020).
Menariknya, dalam beberapa tahun terakhir pasar keuangan non-Islam telah
menyaksikan beberapa pertumbuhan paling cepat dalam produk dan jasa pada keuangan
Islam. (Domat, 2020). Negara-negara Eropa misalnya, Luksemburg, Republik Irlandia
dan Jersey yang menyediakan fasilitas untuk menjadi tuan rumah bagi keuangan Islam,
dan beberapa negara Eropa lainnya berkomitmen melakukan investasi serta
mempromosikan perdagangan bilateral bersama negera timur tengah dan juga wilayah
afrika utara. (Deloitte, 2014).
Prinsip Inti Keuangan Islam
Keuangan Islam mengacu pada model keuangan yang menjunjung tinggi nilai-
nilai syariah (ajaran-ajaran Islam). Dimana keseluruhan model keuangan Islam harus
tunduk pada persyaratan keuangan, layanan dan produk yang sesuai syariah atau
konsisten dengan hukum Islam yang didasarkan pada sumber utama syariah itu sendiri
yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad, Saw. Yang pada intinya di dalam
keuangan Islam dalam beberapa kajian dirumuskan bahwa sistem tersebut harus selalu
terikat pada ekonomi riil dalam beberapa cara dan secara sederhana mewakili semacam
idealisme pada model sosial-ekonomi. (Hegazy, 2007). Konsep keuangan Islam bukan
merupakan tujuan bagi individu-individu, bukan juga menjadikan perusahaan yang
Potensi Cryptocurrency dalam Inklusi Keuangan Islam Berkelanjutan
Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022 93
eksploitatif dengan menghasilkan kekayaan dan memperkaya diri sendiri. Keuangan
Islam pada intinya harus berdasar pada pertumbuhan material, spiritual dan
mempromosikan model harmoni sosial. (Tacy, 2006)
Dapat dirangkup paling tidak ada tiga prinsip inti dan panduan keuangan Islam
yang diterima secara umum, yaitu: (Paldi, 2014)
1. Investasi keuangan, produk, atau transaksi tidak boleh terlalu spekulatif atau
tidak pasti atau mengandung risiko yang membuatnya mirip dengan
perjudian.
2. Investasi keuangan, produk atau transaksi tidak boleh menarik atau
menghasilkan bunga, dikarekan hal itu tidak terhubung dengan ekonomi riil
dan tidak produktif dalam arti ekonomi riil. (Hasani, 2019)
3. Mitra dalam investasi harus berbagi risiko dan upaya serta potensi
keuntungan dalam suatu investasi.
Menjadi tantangan tersendiri bagi keuangan Islam dalam inovasi teknologi
keuangan (fintech) yang mengharuskan segala sesuatunya harus sesuai dengan syariah
yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip inti. Inilah yang harus terus dikaji dan
dianalisa, sehingga keuangan Islam terus dapat berinovasi tanpa harus melanggar dari
nila-nilai syariah tersebut.
Tantangan Keuangan Islam
Sektor keuangan Islam menjadi lebih kompleks dikarenakan ada peningkatan
tekanan pada sektor tersebut untuk mengatasi masalah internal dan modernisasi dimana
inovasi digital dibutuhkan dalam mengubah segala macam layanan keuangan. Inovasi
teknologi pada dasarnya memecahkan masalah, mengatasi tantangan atau memperbaiki
keadaan sistem sebelumnya di bidang tertentu. Pasar keuangan Islam khususnya dalam
perbankan syariah semuanya saat ini mengharapkan suatu pelayanan yang lebih dari
sekedar kepatuhan syariah dari produk dan layanan keuangan Islam, tapi juga harus
selaras dengan teknologi-teknologi keuangan modern yang sebanding dengan platform
keuangan konvensional.
Saat ini sistem keuangan konvensional maupun keuangan Islam menghadapi
masalah dalam inovasi teknologi pada sistem mata uang digital yaitu tentang kepatuhan
lintas yurisdiksi dalam beberapa regulasi. Sehingga pemecahan masalah cryptocurrency
dan kepatuhan syariah memiliki potensi besar untuk kemudian mendapatkan
Satria Darma
94 Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022
keuntungan dari hadirnya teknologi keuangan tersebut dalam menjadi solusi bagi
tuntutan zaman.
Cryptocurrency
Cryptocurrency merupakan mata uang digital yang secara fisik tidak memiliki
bentuk sebagaimana uang kertas pada umumnya, hanya tercatat secara virtual (uang
virtual), atau elektronik (uang elektronik) yang keberadaaannya di dunia maya. (Ausop,
A.Z. & Aulia, 2018). Cryptocurrency saat ini banyak jenis produknya antara lain;
Monero, Litecoin, Zcash, Qtum, Ethereun, Ether, Ripple, dan Bitcoin. Cryptocurrency
dalam konteks keuangan Islam dapat memiliki banyak aplikasi dan memacu keunikan
inovasi. Penggunaan teknologi dalam sistem ini juga dapat mendukung tujuan
kemanusiaan yang diinginkan oleh hukum syariah dalam banyak hal, terutama untuk
menumbuhkan keuangan inklusi pada keuangan Islam. Kondisi zaman teknologi pada
tahun belakangan ini memperlihatkan bahwa penawaran-penawaran seputar
cryptocurrency banyak terpusatkan pada tenarnya produk Bitcoin. Mata uang Bitcoin
sendiri merupakan bagian dari mata uang virtual (digital/elektronik) yang dijadikan
sebagai alternatif dan tidak jarang juga dinamakan dengan alt-coin (alternative coin).
Seluruh negara terutama negara berpenduduk mayoritas muslim memiliki cara yang
berbeda dalam hal menyelaraskan cryptocurrency tersebut.
Pendapat terkemuka mengenai mata uang digital sehubungan dengan keuangan
Islam dapat ditemukan dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Grand Mufti Mesir. (BBC,
2018). Pada awal 2018, dilaporkan bahwa Shawki Ibrahim Allam seorang Grand Mufti
Mesir berusaha untuk menguji hukum Bitcoin dengan hukum syariah dan mendapati
bahwa dalam fatwanya Bitcoin masuk kepada kategori yang tidak memiliki kesesuaian
hukum syariah. Grand Mufti Mesir tersebut menetapkan bahwa Islam melarang Bitcoin
karena kurangnya pengawasan oleh otoritas pusat. Hal ini, menurutnya dapat
menyebabkan kerugian bagi individu, kelompok, dan institusi. (Al-Ahram, 2018).
Dengan menempatkan posisi keuangan Islam sebagai salah satu pihak dalam investasi
seyogyanya tidak mengambil risiko-risiko sepihak yang berlebihan berkaitan dengan
bitcoin yang berkembang saat ini, dan larangan Islam tersebut berpotensi terhadap
perkembangan Bitcoin. Dalam kasus terjadikanya ledakan dan kegagalan harga Bitcoin
dalam beberapa tahun terakhir mungkin memang mungkin dapat dibenarkan dan
mengungkapkan kekhawatiran tersebut.
Potensi Cryptocurrency dalam Inklusi Keuangan Islam Berkelanjutan
Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022 95
Pernyataan Shawki Ibrahim Allam dalam memberikan gambaran bahwa jika
terdapat indikasi yang menyerupai Bitcoin tentunya mata uang digital lainnya secara
lebih luas juga dilarang. Berdasarkan alasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hampir
semua mata uang digital yang tidak memiliki kendali pusat otoritas akan dilarang.
Cryptocurrency memiliki konsep desentralisasi atau otoritas pusat yang merupakan
modal utama dan keunggulan mata uang alternatif ini, tentunya alur pemikiran dalam
pelarangan produk ini akan berpotensi fatal bagi pertumbuhan cryptocurrency itu
sendiri pada ranah Keuangan Islam. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang harus dicari
solusinya agar cryptocurrency dapat memenuhi standar yang persyaratkan agar sesuai
dengan syariah menggunakan regulasi-regulasi yang diatur oleh pemerintah atau
otoritas pusat yang tepercaya lainnya. Dengan demikian kewenangan yang dimiliki oleh
otoritas yang ada itu harus diamanatkan untuk melindungi investor serta masyarakat
luas.
Pada sisi lain beberapa mata uang digital telah mendapat jaminan dari lembaga
sekuritas non-digital. Sebagai contoh mata uang digital Tether, yang diresmikan atas
dasar dijamin dan didukung oleh dolar Amerika Serikat (USD). Prinsipnya adalah akan
ada satu dolar yang disimpan untuk setiap mata uang Tether yang dibuat. Namun proses
berjalannya produk tersebut Jaksa Agung New York melakukan investigasi, dan
kemudian menemukan bahwa mata uang Tether telah membuat klaim palsu dan tidak
memiliki cadangan untuk mendukung Tether yang beredar dengan harga satu dolar
untuk setiap Tether. (New York State Attorney General, 2021). Pada kasus Tether ini
mengisyaratkan bahwa sebenarnya perlunya pengawasan otoritas pusat, apalagi
ditemukan 55% dari semua pembelian Bitcoin dilakukan dengan Tether. (Kharif, 2021).
Pengawasan regulasi di Amerika Serikat semakin ditingkatkan, terutama terhadap
klasifikasi mata uang digital yang dilakukan sekuritas setempat. (De, 2019). Namun
demikian, pada prinsipnya versi mata uang digital yang didukung mata uang kertas ini
mungkin terbukti menjadi sarana yang efektif untuk pembagian risiko yang dianggap
mampu memenuhi syarat yang digariskan dalam fatwa Shawki Ibrahim Allam.
Salah satu contoh mata uang digital yang dianggap sukses dan sesuai dengan
syariah adalah OneGram, Produk OneGram mendapatkan penghargaan sebagai produk
fintech Islami terbaik 2018 oleh Global Islamic Finance Awards.(Onegram.org, 2018).
Mata uang digital khusus tersebut, memiliki keuntungan ganda yang didukung oleh
Satria Darma
96 Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022
emas (satu gram untuk setiap koin yang ditawarkan, memberikan harga dasar terbaik)
dan kemitraan dengan GoldGuard serta dilisensikan oleh Dubai Airport Free Zone.
(goldguard.com, 2022). Pada kasus ini dilakukan pengawasan oleh pemerintah dan
terdapat risiko bersama melalui hubungan mata uang digital dengan harga aset riil emas.
Perlu ditekankan bahwa keberhasilan OneGram dibandingkan dengan mata uang digital
lainnya dapat dijelaskan dengan kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip keuangan Islam.
Karakteristik dari OneGram tersebut yang dianggap paling penting adalah bahwa
transaksi tersebut didukung oleh asset, dan tidak seperti pada transaksi konvensional di
mana uang diakui sebagai subjek perdagangan. Perlu dipahami bahwa uang tidak
memiliki kegunaan intrinsik dalam Islam dan digunakan hanya sebagai alat tukar dan
penyimpan nilai. Padahal emas memiliki nilai intrinsik dan dianggap sebagai aset
penting yang sesuai dengan syariah. Dengan demikian, aturan syariah mensyaratkan
bahwa transaksi mata uang harus selalu didasarkan pada aset yang memiliki nilai
intrinsik yang menciptakan aset nyata dan persediaan yang utuh. (Usmani, 2002)
Pada kenyataannya sistem perusahaan seperti OneGram tetap saja tidak memiliki
otoritas terpusat untuk emas dan harganya juga fluktuatif. Penerapan alasan tersebut,
sebagaimana juga Grand Mufti Mesir tidak menjelaskan mengapa emas dianggap
diperbolehkan lalu kemudian Bitcoin dilarang, Gallarotti menjelaskan bahwa emas
dijadikan dasar mata uang hanya dikarenakan penerimaan sepihak sebagai standar bagi
negara-negara industri. (Gallaroti, 1995). Kemudian pada masa pra-perang ada sedikit
kontrol pemerintah atas uang dalam ekonomi nasional (Skidelsky, 2019) dan terutama
di dunia Islam (Hasan, 2011), artinya persyaratan untuk otoritas terpusat ini dapat
dikatakan hanya sekedar sesuatu yang tidak memiliki dalil yang kuat.
Aspek lainnya dari alasan Grand Mufti Mesir menunjukkan bahwa terdapat
kurangnya pemahaman tentang mata uang digital. Hal tersebut dikarekan satu alasan
yang diberikan adalah bahwa mata uang digital tidak memiliki aturan tetap yang secara
langsung berarti transaksi tidak sah. Tentunya aturan yang dirumuskan oleh kode
komputer yang mendukung mata uang digital dan mirip dengan mata uang kertas
bergantung dari pada penerimaan dan kepercayaan publik. Akan ada kepercayaan dalam
mata uang digital jika aturan baku yang mendukungnya tetap konsisten. Namun, selalu
ada potensi bahwa mata uang digital dapat diubah dengan cara yang sama seperti bank
sentral dapat mendevaluasi mata uang mereka jika lebih banyak mencetak uang.
Potensi Cryptocurrency dalam Inklusi Keuangan Islam Berkelanjutan
Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022 97
Sedangkan terhadap Bitcoin, aturan bakunya tidak mungkin diubah kecuali mayoritas
pengguna memilih untuk mengubah aturan tersebut. Metode algoritmik pada Bitcoin
memberikan tingkat kepastian yang sangat tinggi tentang kelanjutan dan tidak mungkin
terjadi kesalahan dari aturan yang telah dibuat. Alasan yang diberikan oleh Grand Mufti
Mesir tentu mencerminkan bahwa mata uang kertas dianggap tidak valid, jadi ada
terdapat ketidak konsistenan pada dasar-dasar dalam fatwa tersebut atau mungkin terjadi
kesalahpahaman. (Irfan, 2019). Bitcoin memang memiliki daya tarik pada 2020-2021
dengan alasan kuat dikarenakan memiliki aturan yang tetap dan pasokan yang terbatas,
berbeda dengan mata uang kertas yang cenderung dan berpotensi mengalami inflasi
ketika ekonomi utama melakukan pelonggaran kuantitatif melalui program stimulus
fiskal.
Harris Irfan menjelaskan bahwa beberapa ulama melarang mata uang digital dan
gagal mencari kesesuaian hubungan antara emas dan bitcoin, seperti kajian inflasi,
terdesentralisasi, dapat dibagi, langka dan terbatas. Bitcoin memiliki beberapa kualitas
tambahan yang emas tidak memiliki, seperti utilitas sebagai mata uang (meningkat
secara eksponensial setiap saat), anonimitas, kecepatan transfer, tidak dapat dipalsukan
melalui kejeniusan sistem data yang terpusat, lebih tahan terhadap pencurian (jika
disimpan dengan benar), open source dan tahan lama.(Irfan, 2019)
Sebagaimana keberhasilan pada produk OneGram, dimana kurangnya dukungan
dan bimbingan ulama tidak menghentikan inovasi-inovasi pada fintech Islam.
Komunitas keuangan Islam memang telah mengakui dan mendukung pertumbuhan
OneGram dengan juga menghormati prinsip-prinsip syariah dan hal tersebut diakui
menjadi kekuatan untuk terus menggali potensi yang ada. Terlebih terdapat keuntungan
inklusi keuangan dari proses penyediaan akses layanan keuangan halal dan kesesuain
syariah yang didukung teknologi terbaru sesuai dengan tuntutan zaman.
Cryptocurrency dan Regulasi Syariah
Terdapat Institusi penetapan standar keuangan Islam di dunia yang dianggap
terkemuka, antara lain: IFSB-Islamic Finance Services Board;(www.ifsb.org, 2020).
AAOIFI-The Accounting and Auditing Organization for Islamic Finance
Institutions;(aaoifi.com, 2020). TheCityUK-Islamic Finance Sectoral Advisory Group,
Inggris;(www.thecityuk.com, 2022). International Islamic Liquidity Management Corp,
Satria Darma
98 Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022
Malaysia;(iilm.com, 2021). International Islamic Financial Market,
Bahrain;(www.iifm.net, 2021). Australian Centre for Islamic Finance (AUSCIF),
Australia;(www.auscif.com, 2022) dan International Islamic Fiqh Academy, Saudi
Arabia.(www.iifa-aifi.org, 2021). Masing-masing badan ini memiliki standar dan
persyaratannya sendiri untuk sertifikasi produk keuangan. Dengan sumber aturan yang
berbeda, konsistensi dan bukti kepatuhan adalah masalah yang secara substansial
membatasi potensi pertumbuhan keuangan Islam. Ini tentu menjadi masalah dan
menjadi peluang yang dapat diperbaiki oleh sistem pada cryptocurrency.
Sistem cryptocurrency memiliki manfaat besar dari teknologi data otoritas
terpusat yaitu kemampuannya untuk mengelola proses disintermediasi. Artinya, dapat
mengurangi atau menghilangkan peran perantara transaksional sehingga secara
langsung menghubungkan dua pelaku transaksi utama dalam suatu pertukaran.
Informasi yang dimasukkan pada data otoritas terpusat, tergantung pada arsitektur
teknis database (diizinkan atau tanpa izin) dan mengdentifikasi kesalahan. Ini pada
dasarnya berarti sistem tidak dapat berubah atau diubah oleh pihak manapun selain
otoritas pusat. Manfaat besar dari perlindungan ini adalah pihak ketiga dapat
mengandalkan data itu tanpa rasa takut akan tindakan-tindakan kecurangan telah
berpotensi memanipulasi informasi dengan jahat. (Truby, 2018). Bentuk penyimpanan
data ini juga mengurangi kebutuhan untuk kembali ke badan sertifikasi untuk verifikasi
ulang atau otentikasi pada keseuaian terhadap regulasi syariah. Untuk pasar utama,
lembaga sertifikasi pihak ketiga mungkin masih diminta untuk mengonfirmasi status
awal suatu produk investasi. Namun, di pasar sekunder itulah teknologi cryptocurrency
berpotensi melepaskan nilai besar untuk sektor keuangan Islam. Pembeli atau pelanggan
berikutnya untuk produk keuangan dapat mengandalkan, dengan penuh keyakinan, pada
sertifikasi halal yang tercatat dimasukkan dan diberi stempel waktu pada sistem data
otoritas terpusat tanpa harus mencari konfirmasi ulang keabsahan sertifikat berbasis
kertas atau elektronik. Penghematan biaya dan waktu saja dapat secara signifikan
meningkatkan efisiensi keuangan Islam pasar.
Pada cryptocurrency dalam memfasilitasi entri pasar layanan keuangan Islam
dengan menggunakan sistem data otoritas terpusat idealnya berisi semua persyaratan
yang ditetapkan oleh fatwa yang merupakan kesesuaian syariah untuk produk keuangan
(misalnya, mata uang digital seharusnya memiliki otoritas pusat yang memegang
Potensi Cryptocurrency dalam Inklusi Keuangan Islam Berkelanjutan
Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022 99
kendali setiap saat). Setelah standar tersebut dikonfirmasi dan direkam pada data pusat
digital untuk dilihat dan diteliti semua orang, verifikasi produk keuangan dari seorang
Muslim yang bertentangan dengan standar tersebut dapat digunakan sebagai lisensi
pada yurisdiksi lain di mana kepatuhan syariah diperlukan. Cryptocurrency pada
Blockchain telah membuktikan dirinya mampu menerapkan aturan yang diberikan
untuk secara efektif memfasilitasi jenis transaksi lain di luar Islam keuangan.
Otomatisasi, digitalisasi, dan kolaborasi pada sistem cryptocurrency dalam
inovasi teknologi tentu tidak dapat menggantikan peran manusia dalam beberaoa hal.
Sistem yang dilakukan tidak peduli seberapa evolusioner dan canggih, mungkin tidak
akan mencapai kepuasan dari unsur inti Qiyas (pengukuran) yang diperlukan ketika
membandingkan suatu inovasi dengan prinsip-prinsip syariah. (OxfordIslamicStudies,
2022). Sehebat apapun teknologi komputer dan kecerdasan buatan (artificial
intelligence - AI) dalam berusaha mencapai Ijti'had seorang ulama dalam memutuskan
fatwa mungkin pada akhirnya belum menghasilkan sesuatu yang memuaskan. (Truby,
J., Brown, R., Dahdal, 2020). Sehingga kedudukan teknologi dalam keuangan dalam
posisi memfasilitasi tujuan-tujuan mulia dari nilai-nilai syariah itu sendiri.
Seperti disebutkan di atas, proses konfirmasi status kesesuain syariah dari suatu
produk atau inovasi dalam teknologi keuangan saat ini melibatkan verifikasi ulama
tentang bagaimana seorang ulama melakukan kajian dan mengambil keputusan hokum
pada produk dikenal dengan fatwa. Infrastruktur cryptocurrency harus diperkuat dari
sisi transaksional pasar keuangan Islam, tekanan untuk menyelaraskan substantive pada
elemen kesesuaian syariah dapat tumbuh dengan baik dan diharapkan terwujud. Namun
proses tersebut mungkin bisa saja tidak muncul melalui konsensus agama melainkan
melalui dorongan kebutuhan pasar yang terus meningkat dalam tuntutan inovasi
teknologi keuangan Islam.
Inklusi Keuangan
Keuntungan lebih lanjut dari teknologi keuangan yang sesuai dengan syariah
memiliki potensi yang memungkinkan akses dalam memfasilitasi populasi besar
Muslim yang tidak memiliki rekening bank, khususnya pada negara-negara berkembang
di dunia. Penggunaan teknologi seluler yang berkembang pesat di negara berkembang
sudah membantu lebih banyak orang tanpa harus langsung ke bank dengan
mengoperasikan fasilitas Mobile Banking. Penyebaran dan promosi teknologi seluler
Satria Darma
100 Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022
oleh bank syariah bisa mencapai target puluhan juta Muslim di pasar keuangan seperti
Bangladesh dan Pakistan. Infrastruktur digital juga bisa memfasilitasi pinjaman mikro
dan inovasi lain yang dapat membantu banyak orang keluar dari kemiskinan.
Delapan dari tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustanable Development
Goals-SDGs) PBB tahun 2030 berfokus pada keuangan inklusi sebagai alat untuk
mencapai tujuan dari pembangunan berkelanjutan tersebut antara lain; sebagai
pengentasan kemiskinan (SDG1), mewujudkan ketahanan pangan untuk menyudahi
kelaparan dan memfasilitasi model pertanian berkelanjutan (SDG2), tentang keuntungan
kesehatan dan kesejahteraan (SDG3), kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
secara ekonomi (SDG5), mendorong pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja
(SGD8), menghadirkan industri pendukung, inovasi, dan infrastruktur (SDG9), dan
mengakhiri ketimpanagan dan ketidaksetaraan (SDG10). (UNCDF, 2022). Secara
global Muslim di seluruh dunia memiliki tingkat inklusi keuangan yang lebih rendah
dari pada non-Muslim dan diperkirakan di negara-negara mayoritas Muslim 72% orang
tidak menggunakan jenis layanan keuangan apa pun. (Sadiq, R. & Mushtaq, 2015). Ini
menghalangi kemungkinan pencapaian SDGs di negara-negara mayoritas Muslim dan
masalah tersebut juga meningkat di negara berkembang. Salah satu alasannya mungkin
karena umat Islam tinggal di wilayah hukum di mana mereka tidak dapat mengakses
layanan keuangan halal. (Sadiq, R. & Mushtaq, 2015). Sebuah survei menemukan
hambatan utama bagi Muslim untuk masuk ke inklusi keuangan termasuk jarak, biaya,
dan kelengkapan dokumen.(Demirguc-Kunt, A., Klapper, L., Randall, 2013). Teknologi
keuangan dapat membantu mengatasi masalah-masalah keuangan secara umum, dan
dalam hal itu kemudahan untuk dapat mengakses layanan keuangan halal
disederhanakan melalui teknologi digital, sehingga dapat membuka akses dengan
demikian menciptakan inklusi keuangan. Terlebih lagi Muslim di negara berkembang
mungkin tidak dapat melakukan perjalanan ke bank atau memiliki akses ke komputer
untuk melakukan aktivitas perbankan mereka, tetapi teknologi keuangan dapat
membuatnya menjadi sangat sederhana dan hemat biaya dalam mengakses layanan dan
produk keuangan halal melalui ponsel. Jika akses keuangan Islam sendiri tidak
meningkatkan inklusi keuangan, maka dengan kemudahan dan akses ke perbankan
menggunakan teknologi keuangan akan membantu meningkatkan tarif dari inklusi
keuangan. (Demirguc-Kunt, A., Klapper, L., Randall, 2013). McKinsey Global Institute
Potensi Cryptocurrency dalam Inklusi Keuangan Islam Berkelanjutan
Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022 101
memperkirakan bahwa PDB negara berkembang dapat tumbuh sebesar $3,7 triliun
dalam sepuluh tahun melalui keuangan digital. (McKinsey Global Institute, 2016).
Model teknologi keuangan yang disederhanakan dapat diadopsi untuk memanfaatkan
peluang pertumbuhan ini dan membantu mencapai tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustanable Development Goals-SDGs). (Truby, 2019)
Terdapat keinginan besar pada pertumbuhan keuangan Islam, namun para ilmuan
berpendapat bahwa potensi tersebut (Ginena, K. & Truby, 2013) belum memiliki
peluang yang besar dikarenakan inefisiensi pada operasi Bank Syariah dan pada sarana
yang digunakan untuk melakukan transaksi. (El-Gamal, 2008). Kuran berpendapat
bahwa keuangan Islam memiliki nilai efisiensi keuangan yang lebih rendah untuk
membedakannya sebagai sitem yang menjalankan keuangan secara Islami. (Kuran,
2018). Pemeriksaan kepatuhan yang lambat, pengumpulan dokumentasi yang lambat,
memberatkan persyaratan untuk membuktikan validitas syariah dan memastikan risiko
telah dimitigasi, dikombinasikan dengan pendekatan manual yang padat karya untuk
menyelesaikan dokumen, semuanya digabungkan menjadikan banyak konsumen enggan
terlibat dalam transaksi keuangan syariah. Penawaran teknologi keuangan menjadi
sebuah modal untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya dalam keuangan
Islam. Digitalisasi yang lebih tinggi dan kolaborasi teknologi keuangan dapat membantu
memperkuat ketahanan industri dalam lingkungan yang lebih bergejolak dan membuka
jalan baru untuk pertumbuhan. (S & P Global Ratings, 2021)
Regulasi standar dengan harmonisasi pada nilai-nilai syariah dan hukum yang
berlaku, inovasi yang lebih efisien dan mudah diakses melalui platform teknologi
keuangan dapat membuat keuangan syariah lebih mudah dimanfaatkan oleh pasar yang
lebih luas. Standardisasi juga sangat menguntungkan untuk memfasilitasi desain pada
regulasi teknologi keuangan yang secara otomatis dapat memastikan validitas dari suatu
produk atau transaksi. Teknologi pengaturan seperti itu juga dapat digunakan untuk
mendeteksi dan meminimalkan risiko pencucian uang atau transaksi gelap. (S & P
Global Ratings, 2021)
Seperti disebutkan di atas, di mana ada potensi keuntungan besar dari validasi
produk, efisiensi perusahaan dan jenis transaksi melalui pusat otoritas data
cryptocurrency di mana instrumen dan investasi tersebut diperiksa sebelum beredar.
Informasinya pada pusat data cryptocurrency tidak berubah dan konsisten, memiliki
Satria Darma
102 Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022
riwayat jika ada kerusakan dan mudah diakses. Seorang investor atau penyedia produk
keuangan di Malaysia bisa bertransaksi dengan rekanannya di Mesir dengan mekanisme
keuangan Islam yang divalidasi melalui produk dari cryptocurrency tersebut.
Kesemuaan ini mengasumsikan akan bagaimana mewujudkan keseragaman substantive
dalam aturan syariah yang berlaku, sehingga inovasi teknologi keuangan pada
cryptocurrency dapat dimanfaatkan oleh kemaslahatan umat.
KESIMPULAN
Alasan-alasan syariah dari beberapa ulama yang menyoroti inovasi teknologi
yang berbeda-beda dikarenakan banyaknya institusi regulasi pada keuangan Islam
dengan perbedaan dalam melakukan standarisasi akan berpotensi menjadi hambatan
yang signifikan dalam pertumbuhan sektor keuangan Islam. Cryptocurency memiliki
potensi dalam menumbuhkan ukuran pasar keuangan Islam dan dapat memacu banyak
manfaat tambahan termasuk dalam konteks inklusi keuangan serta membangun
kepercayaan dan mendukung kesesuaian syariah dengan membuat standarisasi baku
dalam inovasi yang mendukung kemajuan teknologi keuangan secara global dalam
skala internasional. Dengan banyaknya permintaan dan tuntutan dari konsumen dan
pasar keuangan Islam akan inovasi pada teknologi cryptocurrency tersebut diharapkan
harmonisasi pada hukum dan regulasi yang sesuai dengan syariah mungkin dapat
mengikuti dan fleksibel. Jika memang inovasi fintech terutama pada cryptocurrency
memiliki hasil akhir yang lebih baik dengan kajian dan analisa mumpuni yang
menimbang kemaslahatan yang lebih besar dari pada kemudharatannya, tentu ini akan
menjadi suatu yang unik dari inovasi teknologi keuangan yang mempengaruhi
keyakinan moral dan menjadikan sesuatu yang revolusioner pada keuangan digital
khusunya keuangan Islam.
Keuangan Islam adalah bagian penting dan berkembang dari ekonomi global.
Revolusi teknologi keuangan pada dekade terakhir telah mempengaruhi cara di mana
inovasi dalam Islam keuangan muncul. Meskipun inovasi tersebut terutama
berhubungan dengan bagaimana sistem digital bekerja dengan proses pengiriman
produk dan antar konsumen langsung atau rekaman pengalaman konsumen, sifat
cryptocurrency berpotensi untuk menjadi bagian yang berkontribusi pada keuangan
Islam. Cryptocurrency memungkinkan portabilitas produk dan layanan yang lebih besar
dengan meningkatkan tingkat keaslian data yang tercatat di pusat data sistemnya
Potensi Cryptocurrency dalam Inklusi Keuangan Islam Berkelanjutan
Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022 103
sebagai contoh pada Blockchain. Sehingga jangkauan layanan keuangan Islam akan
sangat berpotensi menjadi meningkat melalui teknologi ini. Oleh karena itu teknologi
digitalisasi pada cryptocurrency seharusnya menjadi pendukung serta kepastian bagi
kesesuaian syariah pada inklusi keuangan Islam karena mampu melayani dan memenuhi
jutaan kebutuhan konsumen pasar keuangan Islam dengan kemudahan akses teknologi.
Inovasi tersebut sangat membantu dalam menumbuhkan industri, peningkatan efisiensi,
dan mewujudkan tingkat inklusi keuangan serta secara langsung menjadi support bagi
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan seirama dengan apa yang menjadi tujuan
Capital Development Fund PBB dalam mewujudkan SDGs.
REFERENSI
aaoifi.com. (2020). About AAOIFI (The Accounting and Auditing Organization
for Islamic Finance Institutions). Diakses pada 22 Februari 2022 dari
https://aaoifi.com/?lang=en
Al-Ahram. (2018, Januari 01). Mufti Al-Jumhuriati: Al-Ta’amul Bi’umla "Al-
Bitkwin" La Yajuz Shar’an. Diperoleh dari http://gate.ahram.org.eg
Arner, D.W., Barberis, J., Buckley, R.P. (2017). Fintech, Regtech, and the
Reconceptualization of Financial Regulation. Northwestern Journal of Int’l Law &
Business, 37(3), 371.
Ausop, A.Z. & Aulia, E.S.N. (2018). Teknologi Cryptocurrency Bitcoin Untuk
Investasi Dan Transaksi Bisnis Menurut Syariah Islam. Jurnal Sosioteknologi, 17(1) 1.
BBC. (2018, Januari 02). Egypt’s Grand Mufti Endorses Bitcoin Tranding Ban.
Diperoleh dari https://www.bbc.com
De, N. (2019, Oktober 23). US lawmaker Introduces Bill Classifying Stablecoins
as Securities. Coindesk.com. Diperoleh dari https://www.coindesk.com
Demirguc-Kunt, A., Klapper, L., Randall, D. (2013). Islamic Finance and
Financial Inclusion: Measuring Use of and Demand for Formal Financial Services
among Muslim Adults. Policy Research Working paper 6642 World Bank. 4.
Domat, C. (2020, November 05). Islamic Finance: Just for Muslim-majority
Nation?. Global Finance. Diperoleh dari https://www.gfmag.com
El-Gamal, M.A. (2008). Incoherence of Contract-Based Islamic Financial
Jurisprudence in the Age of Financial Engineering. Wisconsin International Law
Journal, 25(4), 605.
Gallaroti, G.M. (1995). The Anatomy of an International Monetary Regime: The
Classical Gold Standard, 1880-1914. Oxford: Oxford University Press. 56.
Ginena, K. & Truby, J. (2013). Deutsche Bank and the Use of Promises in
Islamic Finance Contract. Virgina Law & Business Review, 7(4), 620.
Satria Darma
104 Al Maal, Vol. 10, No. 10, Bulan, Tahun
goldguard.com. (2022). Security System Gold Guard. Diakses pada 03 Februari
2022 dari https://goldguard.com/security
Hasan, Z. (2011). Money Creation and Control from Islamic Perspective.
Munich Personal RePEc Archive Paper, 17.
Hasani, M. (2019). Analysis of the Types of Interest in Islamic Law. Journal of
Islamic Banking and Finance, 36(4), 33.
Hegazy, W.S. (2007). Contemporary Islamic Finance: From Socioeconomic
Idealism to Pure Legalism. Chicago Journal of International Law, 7(2), 582.
ICD Refinitiv. (2020). Islamic Finance Development Report 2020. 7.
iilm.com. (2021). About The International Islamic Liquidity Management.
Diakses pada 22 Februari 2022 dari https://iilm.com
Irfan, H. (2019, Maret 29). Cryptocurrency and the Future of the Islamic
Economy. IslamicMarkets.com. Diperoleh dari https://islamicmarkets.com.
Deloitte. (2014). Islamic Finance in Europe: Trends and Prospects. Diperoleh
dari https://www2.delotte.com.
Kharif, O. (2021, Februari 23). Bitfinex Settles New York Probe Into Tether,
Hiding Losses. Bloombergquint.com. Diperoleh dari https://www.bloombergquint.com.
Kuran, T. (2018). Islam and Economic Performance: Historical and
Contemporary Links. Journal of Economic Literature, 56(4), 1292-1359.
McKinsey Global Institute. (2016). Digital Finance for All: Powering Inclusive
Growth In Emerging Economies, 10.
Mikhaylov, A. (2020). Cryptocurrency Market Analysis from the Open
Innovation Perspective. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and
Complexity, 6(4), 197.
New York State Attorney General. (2021, Februari 23). Attorney General James
Ends Virtual Currency Tradig Platform Bitfinex’s Illegal Activities in New York.
Diperoleh dari https://ag.ny.gov
OneGram. (2018, Oktober 08). OneGram Accredited as Best Islamic Fintech
Product/Initiative in 2018. Diperoleh dari https://onegram.org
Oxford Islamic Studies. (2022). Qiyas. Diperoleh dari
http://www.oxfordislamicstudies.com
Paldi, C. (2014). Understanding Riba and Gharar in Islamic Finance. Journal of
Islamic Banking and Finance, 2(1), 249.
Pratama, W.P. (2021, Oktober 30). ISEI: Ini Lima Tantangan Ekonomi Usai
Pandemi Covid-19. Bisnis.com. Diperoleh dari https://ekonomi.bisnis.com
Potensi Cryptocurrency dalam Inklusi Keuangan Islam Berkelanjutan
Al Maal, Vol. 4, No. 1, Juli, 2022 105
Ramadhani, A., Febriyanti, A., Choirunnisa, I., Shifa, L., Gani, M.R.A.,
Nurbayanti, S. (2021). Model Edukasi Keuangan Melalui Literasi Keuangan Digital
Syariah Di Indonesia. Journal of Islamic Banking and Finance, 1(1), 16.
Sadiq, R. & Mushtaq, A. (2015). The Role of Islamic Finance in Sustainable
Development. Journal of Islamic Thought and Civilization, 5(1), 50.
Salman, A. & Nawaz, H. (2018). Islamic Financial System and Conventional
Banking: A Comparison. Arab Business and Business Journal, 13(2), 155.
Skidelsky, R. (2019). Money and Government: A Challenge to Mainstream
Economics. London: Penguin, 60-72.
S & P Global Ratings. (2021). Islamic Finance Outlook 2021 Edition. 12.
Tacy, K.J. (2006). Islamic Finance: A Growth Industry in the US. North
Carolina Banking Institute Journal, 10(1), 355.
Truby, J. (2018). Decarbonizing Bitcoin: law and Policy Choices for Reducing
the Energy Consumption of Blockchain Technologies and Digital Currencies. Energy
Research and Social Science Journal, 44, 399.
Truby, J. (2019). Financing amd Self-financing of SDGs Through Financial
Technology, Legal and Fiscal Tools. Sustainable Development: Harnessing Business to
Achieve the SDGs Through Financing, Technology and Innovation, Cornwall: Wiley,
205.
Truby, J., Brown, R., Dahdal, A., (2020). Banking on AI: Mandating a Proactive
Approach to AI Regulation in the Financial Sector. Law and Financial Markets Review,
14. 110.
UNCDF. (2022). Financial Inclusion and the SDGs. Diperoleh dari
https://www.uncdf.org
Usmani, M.T. (2002). An Introduction to Islamic Finance, London: Hague. 12.
www.auscif.com. (2022). Australian Centre for Islamic Finance (AUSCIF).
Diakses pada 02 Februari 2022 dari https://www.auscif.com
www.ifsb.org. (2020). About Islamic Finance Services Board. Diakses pada 01
Februari 2022 dari https://www.ifsb.org
www.iifa-aifi.org. (2021). The International Islamic Fiqh Academy (IIFA).
Diakses pada 02 Februari 2022 dari https://www.iifa-aifi.org/en
www.iifm.net. (2021). Corporate Profile International Islamic Financial
Market. Diakses pada 02 Februari 2022 dari https://www.iifm.net/
www.thecityuk.com. (2022). Islamic Finance Advisory Group. Diakses pada 02
Februari 2022 dari https://www.thecityuk.com/about-us/our-committees-and-group-
2/islamic-finance/
Article
Full-text available
Digital innovation in the agricultural sector is increasingly becoming an important concern as a solution to increase agricultural efficiency and productivity. This research discusses the comparison between open source technology and commercial technology in the agricultural sector, with the aim of understanding the advantages and challenges of each in the agricultural context in Indonesia. Using a comparative descriptive approach, this research involved 30 farmers who were divided into two groups, namely farmers using open source technology and farmers using commercial technology. Data was collected through interviews, questionnaires and field observations, then analyzed descriptively to describe the use of both types of technology.The research results show that open source technology is more affordable and flexible, but is limited by a lack of technical support and integration with existing agricultural systems. Meanwhile, commercial technology offers more complete technical support and more integrated systems, but high costs are a major obstacle for small farmers. In conclusion, choosing the right technology must take into account local conditions, economic capabilities and existing technical support. This research suggests the importance of policies that support the provision of affordable technology and training accessibility for farmers to maximize the potential of digital transformation in the agricultural sector.
Article
Full-text available
Cryptocurrency has become a transformative element in modern financial systems, presenting significant opportunities and risks to systemic stability. Its rapid adoption, driven by blockchain technology, demonstrates potential for enhancing transparency and efficiency. However, challenges such as price volatility, regulatory gaps, and cybersecurity threats persist as critical concerns. This study addresses the dual role of cryptocurrency in fostering innovation while posing risks to global financial stability. Employing a systematic literature review, it analyzes academic articles from leading databases, including Scopus and Web of Science, focusing on recent studies (2018–2023) examining the security, regulation, and ethical dimensions of cryptocurrency and blockchain technology. Findings highlight cryptocurrency’s potential to improve financial inclusion and operational efficiency but underscore significant risks due to price instability and inadequate regulatory frameworks. Blockchain technology offers improved security and accountability; however, effective integration requires adaptive regulations and international cooperation. This study contributes by synthesizing insights into cryptocurrency’s systemic implications, bridging gaps in understanding the intersection of technology, regulation, and stability. It provides actionable recommendations for policymakers, financial institutions, and academics to develop balanced regulatory frameworks that support innovation while safeguarding consumer interests and financial stability. Holistic regulatory approaches, strengthened cybersecurity, and cross-sector collaboration are imperative for responsible cryptocurrency integration into global financial ecosystems.
Chapter
This study examines the implementation of digital innovation in the practices of Sharia banks in Indonesia and its impact on increasing operational efficiency and the variety of financial services offered to micro, small, and medium enterprises (MSMEs). Using a qualitative approach, this research identifies the strategies and approaches used by Sharia banks in digitizing their products and services to support MSME expansion into international markets. The results show that the adoption of digital technologies such as AI and blockchain by Sharia banks can enhance operational efficiency, expand financial services, and improve the global competitiveness of MSME products. However, MSMEs still face significant challenges, including a lack of financial literacy and access to digital technology. Policy recommendations include improving digital literacy, collaborating with fintech, developing technology-based financing models, and evaluating government policies. This study aims to provide guidance for Sharia banks and the government in formulating effective strategies to advance the Islamic economy and MSMEs in Indonesia through the adoption of digital technology.
Article
Full-text available
This research aims to determine the influence of sustainable financial disclosure, sustainable governance and financing in the category of sustainable business activities on banking share prices listed on the Indonesia Stock Exchange. Based on data processing from 40 banks listed on the Indonesia Stock Exchange, the results showed that sustainable financial disclosure using the GRI FS indicator had a significant positive effect on the share prices of banks listed on the Indonesia Stock Exchange. Meanwhile, sustainability governance does not have a significant effect on the price of banking shares listed on the Indonesia Stock Exchange, and environmental costs do not have a significant effect on the price of banking shares listed on the Indonesia Stock Exchange
Article
Full-text available
This article aims to define riba as a preliminary matter for the types of it and then defines each type of riba separately and explains the differences between these types of riba with their examples. The article elaborates different situation for the excess in contract of exchange of property by property and distinguishes between excess named with riba and excess named with profit and excess named with Ghaban Fahish and explains the Shariah standard of riba and parameter of Ghaban Fahish and mentions the rule of each excess in Islamic law. The article analyzes many questions related to riba and other simultaneous to it such as the definition of riba is not obstructive due to covering to Qard Hassan while Qard Hassan is valid with recommendation in Islamic law and riba is prohibited. The article elaborates the verdicts of classical jurist regarding to the arrangement of {Zaa wa Tajjal} decrease the amount of debt and receive promptly remaining amount. The article analyzes the problem of inflation and provides the solution for this problem in the light of Islamic classical jurisprudence. The article also discusses the doubts created by some contemporary Muslim scholars regarding to the prohibition of riba and answers the objection in the light of sources of Islamic law.
Article
Full-text available
The present study is conducted to find out the difference between the two areas of banking, that is, Islamic and conventional banking with respect to profitability, efficiency and liquidity. The secondary data from banks of each banking sector is taken for assessment. Ratio analysis and one sample t-test is applied to determine the characteristics of study respondents and regression analysis is applied to examine the difference in term of significant factors that influence customer trust of Islamic banks and commercial banks. The results of the study oppose many previous findings as the analysis shows that there is significant difference between the both types of banking for the variables under study. Moreover, influence of return on asset is more on customer trust for the study period (2013–2017) for the Islamic bank as compared to the conventional banking. The study also examines the significant factors that are important for growth of Islamic banking.
Article
Full-text available
The vast transactional, trust and security advantages of Bitcoin are dwarfed by the intentionally resource-intensive design in its transaction verification process which now threatens the climate we depend upon for survival. Indeed Bitcoin mining and transactions are an application of Blockchain technology employing an inefficient use of scarce energy resources for a financial activity at a point in human development where world governments are scrambling to reduce energy consumption through their Paris Agreement climate change commitments and beyond to mitigate future climate change implications. Without encouraging more sustainable development of the potential applications of Blockchain technologies which can have significant social and economic benefits, their resource-intensive design combined now pose a serious threat to the global commitment to mitigate greenhouse gas emissions. The article examines government intervention choices to desocialise negative environmental externalities caused by high-energy consuming Blockchain technology designs. The research question explores how to promote the environmentally sustainable development of applications of Blockchain without damaging this valuable sector. It studies existing regulatory and fiscal policy approaches towards digital currencies in order to provide a basis for further legal and policy tools targeted at mitigating energy consumption of Blockchain technologies. The article concludes by identifying appropriate fiscal policy options for this purpose, as well as further considerations on the potential for Blockchain technology in climate change mitigation.
Article
Full-text available
Regulatory change and technological developments following the 2008 Global Financial Crisis are changing the nature of financial markets, services, and institutions. At the juncture of these phenomena lies regulatory technology or “RegTech”—the use of technology, particularly information technology, in the context of regulatory monitoring, reporting, and compliance. Regulating rapidly transforming financial systems requires increasing the use of and reliance on RegTech. Whilst the principal regulatory objectives (e.g., financial stability, prudential safety and soundness, consumer protection and market integrity, and market competition and development) remain, their means of application are increasingly inadequate. RegTech developments are leading towards a paradigm shift necessitating the reconceptualization of financial regulation. RegTech to date has focused on the digitization of manual reporting and compliance processes. This offers tremendous cost savings to the financial services industry and regulators. However, the potential of RegTech is far greater – it has the potential to enable a nearly real-time and proportionate regulatory regime that identifies and addresses risk while facilitating more efficient regulatory compliance. We argue that the transformative nature of technology will only be captured by a new approach at the nexus of data, digital identity, and regulation. This paper seeks to expose the inadequacy of digitizing analogue processes in a digital financial world, sets the foundation for a practical understanding of RegTech, and proposes sequenced reforms that could benefit regulators, industry, and entrepreneurs in the financial sector and other industries.
Article
Full-text available
Proposal for the Dubai World Islamic Finance Arbitration Tribunal (DWIFAC) and Jurisprudence Office (DWIFACJO) as the Dispute Resolution Mechanism and Center for the Islamic Finance Industry Camille Paldi Abstract The proposal for the Dubai World Islamic Finance Arbitration Center (DWIFAC) and Jurisprudence Office (DWIFACJO) entails a complete system of unique dispute resolution tailored specifically for the Islamic finance industry modeled on the built-in contractual dispute mechanism found in the FIDIC contract, which is widely used in the international construction industry. This system encourages completion of contract and preserves the relationships of the parties. Only in the event that this built-in mechanism fails can the parties send the dispute to the Dubai World Islamic Finance Arbitration Center, which will be staffed with arbitrators and Islamic finance and Shariah experts who may apply commercial business practice as well as Shariáh to the arbitration process. DWIFAC will have a working relationship with all of the other dispute resolution bodies in Dubai and the UAE. The Center will host a centralized Shariáh Board for the UAE and DIFC as well issue an Islamic Banking law for the UAE and DIFC, which can be replicated by countries all over the world to facilitate Islamic finance transactions in their states. Full Text: PDF DOI: 10.15640/jibf.v2n2a2 Proposal for the Dubai World Islamic Finance Arbitration Tribunal (DWIFAC) and Jurisprudence Office (DWIFACJO) as the Dispute Resolution Mechanism and Center for the Islamic Finance Industry Camille Paldi Abstract The proposal for the Dubai World Islamic Finance Arbitration Center (DWIFAC) and Jurisprudence Office (DWIFACJO) entails a complete system of unique dispute resolution tailored specifically for the Islamic finance industry modeled on the built-in contractual dispute mechanism found in the FIDIC contract, which is widely used in the international construction industry. This system encourages completion of contract and preserves the relationships of the parties. Only in the event that this built-in mechanism fails can the parties send the dispute to the Dubai World Islamic Finance Arbitration Center, which will be staffed with arbitrators and Islamic finance and Shariah experts who may apply commercial business practice as well as Shariáh to the arbitration process. DWIFAC will have a working relationship with all of the other dispute resolution bodies in Dubai and the UAE. The Center will host a centralized Shariáh Board for the UAE and DIFC as well issue an Islamic Banking law for the UAE and DIFC, which can be replicated by countries all over the world to facilitate Islamic finance transactions in their states. Full Text: PDF DOI: 10.15640/jibf.v2n2a2
Article
Full-text available
Islamic financial jurisprudence has always had the stated aim of enhancing human welfare, and therefore prohibitions must be seen through the lens of welfare-enhancing regulation of financial practices. In today's age of financial engineering, utilizing many of the legal and financial advances of the past two decades, it is quite easy to synthesize the contracts that classical and contemporary jurists forbade from the ones that they have permitted. This financial engineering approach was always possible to some extent, but recent advances have reduced transaction costs substantially. In premodern societies, when transaction costs of ruses to circumvent prohibitions were substantial, prohibitions could serve their intended regulatory purpose, albeit imperfectly. In today's age of low-cost financial engineering, the regulatory substance of prohibitions, contract conditions, and other contract-based juristic rulings has been diluted to the point of rendering the contract-based jurisprudence incoherent.
Article
This essay critically evaluates the analytic literature concerned with causal connections between Islam and economic performance. It focuses on works since 1997, when this literature was last surveyed comprehensively. Among the findings are the following: Ramadan fasting by pregnant women harms prenatal development; Islamic charities mainly benefit the middle class; Islam affects educational outcomes less through Islamic schooling than through structural factors that handicap learning as a whole; Islamic finance has a negligible effect on Muslim financial behavior; and low generalized trust depresses Muslim trade. The last feature reflects the Muslim world's delay in transitioning from personal to impersonal exchange. The delay resulted from the persistent simplicity of the private enterprises formed under Islamic law. Weak property rights reinforced the private sector's stagnation by driving capital from commerce to rigid waqfs. Waqfs limited economic development through their inflexibility and democratization by keeping civil society embryonic. Parts of the Muslim world conquered by Arab armies are especially undemocratic, which suggests that early Islamic institutions were particularly critical to the persistence of authoritarian patterns of governance. States have contributed to the persistence of authoritarianism by treating Islam as an instrument of governance. As the world started to industrialize, non-Muslim subjects of Muslim-governed states pulled ahead of their Muslim neighbors, partly by exercising the choice of law they enjoyed under Islamic law in favor of a Western legal system. © 2018 American Academy of Pediatric Dentistry. All rights reserved.
Article
In recent years, the Islamic finance industry has attracted the attention of policymakers and international donors as a possible channel through which to expand financial inclusion, particularly among Muslim adults. Yet cross-country, demand-side data on actual usage and preference gaps in financial services between Muslims and non-Muslims have been scarce. This paper uses novel data to explore the use of and demand for formal financial services among self-identified Muslim adults. In a sample of more than 65,000 adults from 64 economies (excluding countries where less than 1% or more than 99% of the sample self-identified as Muslim), the analysis finds that Muslims are significantly less likely than non-Muslims to own a formal account or save at a formal financial institution after controlling for other individual- and country-level characteristics. But the analysis finds no evidence that Muslims are less likely than non-Muslims to report formal or informal borrowing. Finally, in an extended survey of adults in five North African and Middle Eastern countries with relatively nascent Islamic finance industries, the study finds little use of Sharia-compliant banking products, although it does find evidence of a hypothetical preference for Sharia-compliant products among a plurality of respondents despite higher costs.
Egypt's Grand Mufti Endorses Bitcoin Tranding Ban
BBC. (2018, Januari 02). Egypt's Grand Mufti Endorses Bitcoin Tranding Ban. Diperoleh dari https://www.bbc.com