BookPDF Available

SOSIOLOGI AL-QUR`ÂN

Authors:
  • Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

Abstract

Buku ini berisi kajian tafsir dengan pendekatan tematik (mawdhu'i) terhadap konsep masyarakat yang ideal menurut al-Qur`an.
SOSIOLOGI AL-QUR`ÂN
Menuju Masyarakat Ideal Berbasis Spiritualitas, Moderasi, dan
Berperadaban Maju
Copyright© 2020
Penulis
Wardani
Layout Isi
H. Ari Darisman
Desain Cover
Lilin
15,5 x 23 cm, xxxii + 107 hlm
Cetakan ke-1, Juli 2020
ISBN: 978-623-7707-57-8
Diterbitkan oleh:
ZAHIR PUBLISHING
Kadisoka RT. 05 RW. 02, Purwomartani,
Kalasan, Sleman, Yogyakarta 55571
e-mail : zahirpublishing@gmail.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
iii
PEDOMAN TNSLITESI DAN PENGUTIPAN
AYAT
A. Transliterasi Arab-Latin
No. Arab Indonesia No. Arab Indonesia
1. ا` 16. طth,
2. بb 17. ظzh
3. تt 18. ع
4. ثts 19. غgh
5. جj 20. فf
6. حh 21. قq
7. خkh 22. كk
8. دd 23. لl
9. ذdz 24. مm
10. رr 25. نn
11. زz 26. وw
12. سs 27. هh
13. شsy 28 ء`
14. صsh 29. يy
15. ضdh
Vokal panjang ditulis sebagai berikut:
آ = â
ى- = î
--ُو = û
Kata yang diakhiri dengan hurup yâ` ganda (tasydîd) ditulis
dengan î, seperti al-Zuhrî, Makkî al-Qaysî, dan Ibn Hazm al-Andalusî.
Jika hurup ini diakhiri dengan ` marbûthah, penulisannya adalah
îyah, seperti Ibn Qayyim al-Jawzîyah. Jika hurup ini terletak di
iv
tengah kata, penulisannya adalah dengan hurup ganda (yy), seperti
al-mubayyan.
Partikel لا yang mengawali kata ditulis dengan “al”, baik pada
hurup-hurup awal kata shamsîyah maupun qamarîyah, seperti
al-nâsikh, al-mansûkh.
Tâ’ marbûthah (ة) ditulis dengan ketentuan:
1. Kata yang berakhiran tâ` marbûthah yang merupakan suatu
kesatuan dengan kata sesudahnya sebagai kata sifat ditulis
dengan “h”, seperti: sunnah sayyi’ah dan naz’rah ‘âmmah.
2. Jika ` marbûthah tersebut beriringan dengan kata sesudahnya
sehingga membentuk hubungan idhâfah, penulisannya adalah
dengan “t”, seperti: Silisilat al-Ahâdîts al-Shahîhah dan Tuhfat
al-Thulâb.
B. Pengutipan Ayat
Penulisan sumber dari ayat al-Qur`ân menggunakan singkatan
Q. (al-Qur`ân)/ nomor urut surah dalam mushhaf / nomor urut
turun surah berdasarkan kronologi dalam mushhaf Mesir, seperti:
Q. 9/113: 5, Q. 2/87: 193.
v
TA PENGANTAR
SOSIOLOGI AL-QUR`ÂN:
INTEGRASI ILMU TAFSIR DAN ILMU SOSIAL
Bismillâh ar-Rahmân ar-Rahîm
Penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt., Tuhan
yang Maha Kuasa, atas penerbitan buku ini. Karya ini tidak mungkin
terwujud jika tidak dengan petunjuk dan pertolongan-Nya.
Al-Qur`ân Relevan untuk Berbagai Kondisi
Karya ini memang terlihat tidak tebal dari ukuran halaman. Akan
tetapi, semoga dari buku kecil, kajian penulis dengan metode tematik
(at-tafsîr al-mawdhû’î) dan dengan pendekatan sosiologis ini, bisa
memberikan manfaat yang nyata dalam meujudkan masyarakat
yang ideal. Saya yakin bahwa ajaran al-Qur`ân tidak hanya
memuat persoalan-persoalan keyakinan dan ibadah, melainkan
persoalan kemasyarakat, termasuk dasar loso yang harus ada,
seperti prinsip keimanan sebagai dasar spiritualitas, prinsip hidup
sebagai berdampingan (peaceful co-existence) di era kemajemukan
sekarang, dan berdinamika mengikuti perkembangan peradaban
yang meniscayakan perubahan di tengah masyarakat yang semakin
canggih. Relevansi teks al-Qur`ân untuk setiap zaman dan tempat
(shalâhiyyat an-nashsh li kulli zamân wa makân) yang sejak dahulu
dinyatakan oleh lisan seorang Imam asy-Syâ’î dalam al-Risâlah,
bahwa “tidak ada suatu persoalan pun yang dihadapi oleh seorang
penganut agama Allah swt (Islam), melainkan dalam al-Qur`ân
sudah ada petunjuk dalam bentuk petunjuk berkaitan dengannya
(falaysat tanzilu bi ahadin min ahl dîn Allâh nâzilatun illâ wa fî kitâb
vi
Allâh ad-dalîl ‘alâ sabîl al-hudâ fîhâ)”.1 Tentu tidak terbayang bagi
kita bahwa al-Qur`ân akan menjawab semua persoalan secara rinci.
Imam asy-Syâ’î sendiri mengatakan jawaban al-Qur`ân terhadap
permasalahan itu berupa dalil sebagai petunjuk. Dalam perspektif
ushul al-qh, mekanisme mengambil dalil untuk menyikapi kasus-
kasus baru dilakukan dengan metode qiyâs. Al-Qur`ân hanya memuat
prinsip-prinsip dasar yang bisa dikembangkan untuk menjawab
persoalan-persoalan baru.
Meskipun al-Qur`ân diturunkan di masyarakat Arab pada abad
ke-6 M dan dalam konteks spesik, dengan kultur yang berbeda
dengan kultur di tempat lain, namun al-Qur`ân sendiri berdiktum
tentang dirinya bahwa ia adalah “petunjuk bagi manusia” (hudan
li al-nâs), bahkan kitab suci ini berisi “bukti-bukti yang jelas
dari petunjuk itu” (bayyinât min al-hudâ), dan “standar, patokan,
pembeda” (al-furqân) antara yang benar dan yang keliru. Seorang
intelektual asal Pakistan, Fazlur Rahman, juga pernah memformulasi
tujuan al-Qur`ân ini lebih lanjut, “al-Qur`ân adalah dokumen yang
ditujukan kepada manusia”.2 Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa, al-
Qur`ân bukanlah risalah tentang Tuhan dan sifat-Nya saja. Kenapa?
Itu artinya, al-Qur`ân bukan sekadar kitab suci yang berisi uraian
tentang ketuhanan melulu, karena ditinjau dari aspek keyakinan pun,
adanya Tuhan itu fungsional, tegas Fazlur Rahman. Dia adalah zat
Pencipta dan pemelihara alam semesta dan manusia, dan memberi
petunjuk kepada mereka dan memberi keputusan (memberi pahala
dan menghukum. Jadi dua hal ini (memberi petunjuk dan memberi
keputusan) adalah dua hal hal yang terkait. Simpelnya, ini adalah
wujud “keadilan yang disertai kasih sayang” (justice tempered
by mercy) dalam istilah penulis modern. Akan tetapi, konsep al-
Qur`ân bahkan melebihi kedua hal ini, karena ada lima yang saling
1 Al-Syâ’î, al-Risâlah, ed. Ahmad Muhammad Syâkir (Beirut: Dâr al-Fikr,
t.th.), h. 20.
2 Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur`an (Kuala Lumpur: Islamic
Book Trust, 1999), h. 1.
vii
terkait dan menyatu dalam ajaran al-Qur`ân, yaitu (1) kreativitas,
(2) pemeliharaan, (3) memberi petunjuk, (4) keadilan, dan (5) kasih
sayang.3
Petunjuk al-Qur`ân kepada manusia tidak hanya menyangkut
soal teologis dan eskatologi, yaitu soal tentang Tuhan yang berhak
disembah dan soal tentang kehidupan di akherat nanti, melainkan
juga soal tentang bagaimana manusia hidup secara layak di dunia ini.
Tujuan al-Qur`ân, tegas Fazlur Rahman, adalah membentuk tatanan
sosial yang berlandaskan etis dan egaliter.4 Jadi, segmen yang dIbidik
oleh al-Qur`ân bukan hanya manusia sebagai individual, melainkan
manusia secara kolektif. Dari ini, kita bisa menyimpulkan bahwa
ajaran tentang masyarakat juga menjadi concern al-Qur`ân. Bahkan
dikatakan, sebagaimana dikutip dalam buku ini, seseorang dianggap
saleh secara individual adalah jika ia juga saleh secara sosial.
Tidak hanya al-Qur`ân bersifat universal dilihat dari persoalan-
persoalan yang dikandungannya, melainkan juga universal
dilihat dari gerak atau pergeseran kandungannya. Teks al-Qur`ân
memang terbatas, 6.236 ayat, sudah merupakan teks nal, sejauh
yang kita yakini, meski di kalangan Barat, berkembang berbagai
wacana lain. Bagaimana teks yang terbatas itu diproyeksikan
untuk menghadapi berbagai problema yang dihadapi oleh kaum
muslimin dalam berbagai kondisi dan tempat yang berbeda dan
3 Rahman, Major Themes, h. 1. Kelima elemen ini menjadi elemen-elemen
yang saling terkait, misalnya, tampak dalam surat al-Fâtihah, di mana di dalamnya
(ayat: Alhamd li Allâh rabb al-’âlamîn) Allah swt diperkenalkan sebagai Tuhan
dengan kreativitas penciptaan, Dia telah menciptakan seluruh jagat raya ini dengan
ketatanan dan keserasian serta kreativitas yang luar bisa. Konsep rabb, Tuhan sang
Pemelihara dan Pelindung, dilekatkan kepada sosok Allâh sebagai Tuhan. Jika
Dia adalah kreatif menciptakan, Dia juga melindunginya. Tuhan juga memberi
petunjuk dengan adanya keharusan manusia berkomitmen beribadah dan meminta
pertolongan (ayat: iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’înu) serta meminta petunjuk
(ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm), dan membedakan antara “jalan yang lurus” dan
jalan yang menimbulkan murka Tuhan dan jalan yang sesat (ayat terakhir: shirâth
alladzîna an’amta ‘alayhim ghayr al-maghdhûb ‘alayhim wa lâ adh-dhâllîn).
4 Rahman, Major Themes, h. 37-38.
viii
bahkan semakin kompleks, padahal al-Qur`ân diyakini sebagai
petunjuk bagi manusia secara luas? Pertama, ajaran-ajaran al-Qur`ân
harus dipahami prinsip-prinsip dasarnya. Asy-Syâthibî dalam al-
Muwâfaqât sudah lama menyatakan bahwa ajaran-ajaran pokok-
pokok yang tidak mungkin termakan oleh waktu, bahkan tidak
pernah bisa dianggap dibatalkan oleh ajaran lain dari perspektif
teori naskh sekalipun.5 Ajaran pokok tentang keyakinan dan moral,
misalnya, tidak mungkin tergerus oleh waktu dan tempat. Ada
dimensi teologis dan moral yang tidak bisa terlepas dari formulasi-
formulasi ajaran al-Qur`ân. Para ulama telah menyebutkan aspek
terdalam ajaran al-Qur`ân dengan berbagai istilah: asy-Syâthibî dan
beberapa ushuliyyun sehaluan dengan ini, bahkan di era modern
semisal Mahmûd Muhammad Thâhâ menyebutnya dengan kulliyyât
(prinsip-prinsip universal), ushûl (prinsip-prinsip), Fazlur Rahman
menyebutnya dengan ajaran ideal-moral. Kedua, dalam konteks
penafsiran, kita harus menggeser dari ajaran-ajaran al-Qur`ân yang
tampak insidental ke esensial dengan memahami prinsip-prinsip
dasarnya. Itulah sebabnya mengapa seorang penafsir terkenal
asal Tunis, Muhammad ath-Thâhir ibn Âsyûr, dalam mukadimah
tafsirnya, at-Tahrîr wa al-Tanwîr, pernah mengatakan bahwa
tugas penafsiran bukan hanya mengungkap kandungan ajaran dari
ayat, melainkan juga kaidah-kaidah ajaran. Hal ini sejalan dengan
bermunculan karya-karya tentang kaidah tafsir, baik di masa klasik
maupun modern, yang tidak hanya bermanfaat untuk kepentingan
menafsirkan ayat bagi penafsir, seperti kaidah kebahasan, melainkan
juga bermanfaat bagi kita semua, yaitu melalui prinsip-prinsip ajaran
al-Qur`ân tentang diri dan kehidupan. Karya ‘Abd ar-Rahmân bin
Nashir bin ‘Abdullâh as-Sa’dî (1307-1376 H), al-Qawâ’id al-Hisân,
misalnya, membahas juga ajaran al-Qur`ân tentang moderasi dan
keseimbangan (at-tawassuth wa al-i’tidâl).6 Bahkan, di era modern,
5 Abû Ishâq al-Syâthibî, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, ed. ‘Abdullâh
Dirâz (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.th.), vol. 2, h. 77-78.
6 ‘Abd ar-Rahmân bin Nâshir bin ‘Abdullâh as-Sa’dî, al-Qawâ’id al-Hisân
ix
‘Umar bin ‘Abdullâh al-Muqbil, menulis Qawâ’id Qur`âniyyah:
Khamsûn Qâ’idatan Fî an-Nafs Hayâh (Kaidah-Kaidah Qur`ani:
50 kaidah tentang Diri dan Kehidupan).7
Kebanyakan dari kaum muslimin hanya memperlakukan al-
Qur`ân lebih cenderung hanya sebagai kitab suci untuk keyakinan
dan ibadah saja, bukan tentang hidup dan kehidupan, hanya
tentang individu, bukan tentang sosial kemasyarakatan. Mona
Shiddiqui dalam How to Read the Qur`an, sebagaimana dikutip
oleh Ziauddin Sardar, mengatakan bahwa al-Qur`ân adalah “kitab
tertutup yang hanya dapat dibaca, dilafalkan, dan dipatuhi”. Lebih
lanjut, sebagaimana ditulis oleh Ziauddin Sardar, “Namun, kitab
itu menyampaikan berbagai prinsip penting, termasuk pengetahuan
tentang masyarakat yang diidealkan al-Qur`ân, tentang menghargai
perbedaan antara yang universal dan yang partikular, dan tentang cara
suatu masyarakat membentuk dan memelihara pandangan dasarnya
dalam menghadapi perubahan sosial, budaya, dan lingkungan
yang cepat. Kekuatan dan petunjuk al-Qur`ân, sebagaimana ditulis
Shiddiqui, muncul ketika ia dibaca dan ditafsirkan sesuai dengan
situasi aktual yang tengah berubah. Hanya saja, membaca al-Qur`ân
dari sudut pandang perubahan situasi sangat jarang dilakukan. Secara
umum, tafsir-tafsir tradisional al-Qur`ân kurang menaruh perhatian
terhadap perubahan di tengah masyarakat”.8
Integrasi antara Ilmu Tafsir dan Ilmu Sosial
Sosiologi al-Qur`ân, demikian judul buku ini. Filoso yang
mendasarinya adalah keasadaran akan perlu menafsirkan al-
(T.th.: Dâr Ibn al-Jawzî, t.th.), h. 68-70.
7 ’Umar bin ‘Abdullâh al-Muqbil, Qawâ’id Qur`âniyyah: Khamsûn
Qâ’idatan Fî an-Nafs wa al-Hayâh (Riyadh: Markaz Tadabbur li al-Istisyârât
at-Tarbawiyyah wa at-Ta’lîmiyyah, 2012). Karya ini tersedia dalam bentuk pdf,
aplikasi digital, dan video.
8 Ziauddin Sardar, Ngaji Quran di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk
Menjawab Persoalan Mutakhir (Jakarta: Serambi, 2014), h. 61-62.
x
Qur`ân dengan semangat perubahan zaman yang disebutkan oleh
Shiddiqui itu, karena dengan begitu al-Qur`ân tidak menjadi kitab
suci tertutup, melainkan aktual dan merespon isu-isu hangat. Hal
yang perlu dilakukan adalah membuka diri untuk mengintegrasikan
antara ilmu tafsir dan ilmu sosial-humaniora. “Tafsir saintik” (al-
tafsîr al-’ilmî) ini dahulu banyak ditentang oleh para ulama seperti
al-Syâthibî dalam al-Muwâfaqât, tapi “diamini” oleh ulama lain,
seperti al-Ghazâlî dalam Jawâhir al-Qur`ân. Sebagian ulama,
seperti M. Quraish Shihab, memilih sikap yang katanya berhati-
hati, yaitu dengan menggunakan istilah “isyarat ilmiah”, untuk
menghindari “teori ilmiah” atau “teori ilmu pengetahuan”. Namun,
sikap ini adalah sikap yang tidak berani, sikap ragu-ragu, antara
mengklarikasi lebih mendalam dengan mengkaji pandangan-
pandangan al-Qur`ân atau menolaknya sama sekali.
Dalam artikel penulis, “Posisis al-Qur`ân dalam Integrasi
Ilmu”,9 disebutkan bahwa model-model integrasi ilmu antara
ilmu agama (dalam hal ini tafsir al-Qur`ân) dan ilmu pengetahuan
(science) memang bervariasi. Pertama, “ayatisasi”, yaitu sekadar
membubuhkan ayat-ayat dalam penafsiran al-Qur`ân, atau dalam
penelitian eksak, seperti sika dan kimia, ayat sekadar dibubuhkan.
Ayat lalu terkesan hanya menjadi semacam “stempel” pembenar
terhadap temuan yang didapat, atau menjadi sarana justikasi bahwa
temuan ilmu pengetahuan ini sudah ada dalam al-Qur`ân tanpa
melakukan klarikasi penafsiran yang mandiri dan mendalam. Jika
hanya “mengekor” temuan ilmu pengetahuan yang kemudian diberi
“stempel” ayat, maka perilaku ini justru menimbulkan kritik yang
justru menjadi bumerang bagi kaum muslimin sendiri. Mereka dicap
sebagai kalangan apologis. Kalangan Barat paling suka menuduh
para penulis yang mengklaim seenaknya saja bahwa temuan-temuan
ilmu pengetahuan moden telah didahului oleh al-Qur`ân. Ayatisasi
9 Wardani, “Posisi al-Qur`ân dalam Integrasi Ilmu: Telaah terhadap Pemikiran
Kuntowijoyo dan M. Dawam Rahardjo”, dalam Nun, vol. 4, no. 1 (2018), h. 107-
157.
xi
ini bermacam-macam bentuknya; ada yang sekadar menempatkan
ayat al-Qur`ân sebagai inspirasi, seperti dianjurkan oleh Imam
Suprayogo (mantan rektor UIN Malang). Integrasi ilmu di perguruan
tinggi keagamaan Islam ini telah menghasilkan berbagai karya tafsir,
bahkan metode tafsir saintik, yang telah melangkah jauh dari patok
keilmuan rektornya, yaitu tidak sekadar menempatkan ayat sebagai
inspirasi lagi, melainkan lebih jauh, menempatkan ayat sebagai
asumsi/ hipotesis yang harus dibuktikan.10 Noeng Muhajir, seperti
10 Karya-karya tafsir saintik yang diterbitkan di UIN Malang adalah sebagai
berikut: (1) Ekonomi Qur`ani: Doktrin Reformasi Ekonomi dalam al-Qur`ân
karya Mishbahul Munir dan A. Djalaluddin, (2) Filsafat Sains dalam al-Qur`ân
karya M. Hadi Masruri dan Imron Rossidy, (3) Analisis Matematis terhadap
Filsafat al-Qur`ân karya Abdul Aziz dan Abdussakir, (4) Ada Matematika dalam
al-Qur`ân karya Abdussakir, (5) Indahnya Matematika dalam al-Qur`ân karya
Hairur Rahman, (6) Inspirasi al-Qur`ân dalam Algoritma karya Fatchurrochman,
M. Faisal, Amin H., dan Suhartono, (7) Rahasia al-Qur`ân dalam Biometrik
karya Suhartono dan Totok Chamidy, (8) al-Qur`ân dan Semut: Inspirasi al-
Qur`ân dalam Membangun Algoritma Ant karya M. Amin Hariyadi, (9) Lempung:
Menguak Rahasia Keagungan Allah karya Anton Prasetyo dan Novi Avisena, (10)
Besi: Material Istimewa dalam al-Qur`ân karya Diana Candra Dewi, Himmatul
Baroroh, dan Tri Kustono Adi, (11) Embriologi dalam al-Qur`ân: Kajian pada
Proses Penciptaan Manusia karya Kiptiyah, (12) Siapakah Penentu Jenis Kelamin
Bayi? karya Bayyinatul Muchtaromah, (13) Fisika dan al-Qur`ân karya Agus
Mulyono dan Abtokhi, Ayat-ayat Kauniyah karya Abbas Arfan Baraja, (14)
Manajemen Qur`ani: Menerjemahkan Idarah Ilahiyah dalam al-Qur`ân karya
Ahmad Djalaluddin, (15) Konservasi Sumber Daya Alam: Perspektif Islam dan
Sains karya Ulfa Utami, (16) Ekologi Serangga karya Dwi Suheriyanto, (17)
Gizi dan Kesehatan: Perspektif al-Qur`ân dan Sains karya Eko Budi Minarno
dan Lilik Hariani, (18) Matematika 1 (Kajian Integratif) karya Abdussakir,
(19) Tarbiyah Qur`aniyah karya M. Samsul Ulum dan Triyo Supriyatno, (20)
Pendidikan Berparadigma al-Qur`ân karya Imam Suprayogo, (21) Pembelajaran
Bahasa Inggris karya Rina Sari, (22) Filsafat Ilmu karya Mudjia Raharjo et.,
(23) al-Qur`ān wa ad-Dzaka` al-Lughawī karya Ahmad Dini Hidayatullah, (24)
Realitas dan Metode Penelitian dalam Perspektif al-Qur`ân karya M. F. Zenrif,
(25) Psikologi Emansipatoris: Spirit al-Qur`ân dalam Membentuk Masyarakat
yang Sehat karya Muhammad Mahpur dan Zainal Habib, (26) Di Bawah Cahaya
al-Qur`ân: Cetak Biru Ekonomi Keluarga Sakinah karya M. F. Zenrif, (27)
Kemiskinan dalam Perspektif al-Qur`ân karya M. Sa’ad Ibrahim, (28) Membaca
Konsep Arsitektur Vitruvius dalam al-Qur`ân karya Aulia Fikriani Muchlis dan
Yulia Eka Putrie, dan (29) Berkaca pada Kota Alam: Menuju Kota Berkelanjutan
xii
halnya Imam Suprayogo, adalah tokoh yang juga menyarankan hal
yang sama.
Kedua, melakukan kajian klarikatif. Klarikasi dilakukan
dengan melakukan pertama, telaah atas temuan-temuan ilmu
pengetahuan secara independen, kedua, melakukan penafsiran
yang “adil” terhadap teks, yaitu tidak memaksakan pemahaman-
pemahaman (pra-konsepsi), sesuai dengan kaidah tafsir yang
diusulkan oleh Shalâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidî dalam Mafâtîh
li al-Ta’âmul ma’ al-Qur`ân (Kunci-Kunci Berinteraksi dengan
al-Qur`ân), “memasuki dunia al-Qur`ân tanpa pra-konsepsi-pra-
konsepsi” (dukhul ‘âlam al-Qur`ân duna muqarrarât sâbiqah).11
Selanjutnya, dilakukan persandingan antara kedua fakta, yaitu fakta
ilmiah dan fakta dari al-Qur`ân. Dengan cara begini, kesimpulan
yang dihasilkan tidak semata klaim yang bernada apologis yang
tidak beradasar. Kajian seperti ini bukanlah hal yang naive jika
dilakukan secara ilmiah yang didasarkan pada fakta. Sebagai kitab
suci, al-Qur`ân memang bukan seperti buku ilmu pengetahuan
yang dari segi tujuannya menjelaskan teori ilmiah. Al-Qur`ân dari
tujuannya adalah kitab suci yang berisi petunjuk (hidayah). Fungsi
ini (kitab hidâyah) telah diingatkan oleh para penulis, seperti al-
Zarqânî.12 Akan tetapi, meski tujuannya adalah menjadi petunjuk
bagi manusia, ketika menjelaskan fenomena alam semesta sebagai
bukti keberadaan Tuhan, penjelasannya tentu berdasarkan fakta,
bukan ksi, seperti hal ketika menjelaskan peristiwa-peristiwa.
Fakta-fakta itulah yang menjadi titik-tolak dilakukannya kajian
sains untuk membuktikannya dan sekaligus kajian tafsir dengan
menggunakan teori-teori atau temuan-temuan ilmu pengetahuan.
Dalam konteks seperti ini, ayat menjadi titik-tolak kajian ilmiah.
Perspektif al-Qur`ân karya Tarranita Kusumadewi dan Elok Mutiara.
11 Shalâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidî, Mafâtîh li al-Ta’âmul ma’ al-Qur`ân
(Zarqa, Yordania: Maktabat al-Manâr, 1985), h. 89.
12 Muhammad ‘Abd al-’Azhîm al-Zarqânî, Manâhil al-’Irfân (Beirut: Dâr
al-Fikr, t.th.), vol. 1, h. 24.
xiii
Kajian ini memang berpotensi memverikasi kebenaran al-Qur`ân.
Namun, dari beberapa kajian semacam ini, ditemukan aspek-aspek
kemukijizatan al-Qur`ân (al-i’jâz al-’ilmî). Di sisi lain, teori ilmiah
bisa berfungsi sebagai kaca mata atau kerangka (framework) untuk
membingkai data yang dicari dari al-Qur`ân.
Tafsir saintik ini memang meniscayakan penafsiran yang
luas, secara interdisipliner dan multidisipliner. Menurut Ibn ‘Âsyûr,
setidaknya, ada tiga model penafsiran. Pertama, penafsiran literal
dengan hanya berpatokan pada makna awal kebahasaan. Menurutnya,
prinsip ini adalah prinsip awal, yaitu bahwa para ulama menganggap
cukup menafsirkan secara kebahasaan dengan pemaknaan awal,
selama bisa dipahami. Dalam konteks upaya mempertemukan antara
makna ayat dengan temuan ilmu umum, berdasarkan pendirian
ini, dilakukan perluasaan makna, namun dengan anggapan bahwa
makna perluasaan itu tidak dianggap sebagai yang dikehendaki
oleh Allah swt. Kedua, penafsiran yang memperluas dari cakupan
makna ayat dengan menguraikan terapan-terapan yang tercakup
di dalamnya yang dimaksudkan menguraikan tujuan-tujuan pokok
al-Qur`ân (maqâshid al-Qur`ân), seperti yang dilakukan oleh al-
Ghazâlî dalam Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn. Misalnya, ketika menafsirkan
rman Allah swt., wakallama Allâh Mûsâ taklîman” (Qs. 4:
164), dengan menguraikan berbagai pandangan kalangan teolog
untuk menguatkan ide yang terkandung di dalam ayat tentang
al-kalâm an-nafsî. Ketiga, menafsirkan ayat al-Qur`ân dengan
menguraikan kandungan-kandungan ilmiah yang sesuai dengan
maksud ayat. Dalam konteks penunjukan ayat terhadap kandungan
ilmiah itu ada dua jenis. Ada kandungan ilmiah yang dipahami
hanya melalui isyarat pada ayat, seperti penafsiran kata “hikmah
dalam al-Qur`ân (Qs. 2: 269). Meskipun sebutan “hikmah” yang
umumnya digunakan sebagai istilah alternatif untuk lsafat bukan
representasi atau paling mewakili dari makna sesungguhnya yang
dimaksud dalam ayat, makna awalnya sendiri tetap bisa memuat
xiv
pengertian ini. Di sisi lain, penjelasan secara rinci tentang hikmah
seperti yang berkembang bisa menjelaskan makna awal itu. Begitu
juga, ilmu ekonomi bisa ditarik dari penafsiran terhadap ayat “agar
harta kekayaan tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja
di antara kalian (Qs. 59: 7). Di samping melalui isyarat dalam
ayat, Ibn ‘Âsyûr memang mengakui bahwa banyak cabang ilmu
pengetahuan umum yang memiliki kaitan erat dengan penafsiran al-
Qur`ân, seperti dalam argumen-argumen yang dikembangkan dalam
teologi Islam. Misalnya, argumen tamânu’ (mutual hindering, saling
dipertentangkan)13 bisa menjelaskan tentang argumen logika dalam
al-Qur`ân tentang ketidakmungkinan secara logika akan keberadaan
tuhan lebih dari satu yang mengatur tatanan langit dan bumi (Qs.
21: 22). Dalam konteks sikap ketiga ini, para penafsir al-Qur`ân
berupaya mengkompromikan antara ilmu-ilmu umum dengan segala
perangkat keilmuannya dengan makna-makna ayat al-Qur`ân. Sikap
ketiga ini menjadi anutan para ulama, seperti Ibn Rusyd al-Hafîd,
al-Ghazâlî, Fakhr al-Dîn ar-Râzî, dan Abû Bakr ibn al-’Arabî.14
Menurut Ibn ‘Âsyûr, sejauh mana suatu ayat mengandung
kandungan ilmu pengetahuan bisa dibedakan dalam empat kategori.
Pertama, ilmu-ilmu yang terkandung dalam al-Qur`ân sendiri, seperti
ilmu sejarah perjalanan hidup para nabi dan umat-umat terdahulu,
ilmu etika, ilmu qh, ilmu sejarah legislasi hukum Islam (tasyrî’),
ilmu keyakinan dan ajaran-ajaran mendasar lain, ilmu bahasa Arab,
dan balâghah. Kedua, ilmu-ilmu yang bisa membekali pengetahuan
yang lebih mendalam yang bisa mendukung penafsiran, seperti
ilmu hikmah (lsafat) dan ilmu pengetahuan tentang makhluk
ciptaan Tuhan, seperti dunia ora dan fauna. Ketiga, ilmu-ilmu yang
disebutkan dalam al-Qur`ân yang bisa digunakan untuk menopang
13 Metode ini adalah dengan mencari pertentangan atau kontradiksi dalam
sebuah pernyataan atau keyakinan keliru yang dianut, lalu menarik kesimpulan
yang berimplikasi batalnya pernyataan atau keyakinan itu.
14 Ibn ‘Âsyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr (Tunis: Dâr Suhnûn li an-Nasyr wa
at-Tawzî’, t.th.), vol. 1, h. 42-45.
xv
penafsiran, seperti ilmu geologi, kedokteran, dan logika. Keempat,
ilmu-ilmu yang sama sekali tidak terkait dengan penafsiran al-
Qur`ân karena dilarang dalam Islam, seperti mitologi, atau karena
tidak bisa difungsikan untuk penafsiran al-Qur`ân, seperti ilmu
’arûdh dan qawâfî.15
Buku ini tidak berpretensi untuk mengklaim sosiologi, seperti
halnya di Barat, persis sama dengan ide-ide al-Qur`ân. Oleh
karena itu, buku ini tidak dimaksudkan untuk memberi “stempel”
pembenaran dengan ayat atas teori di Barat, seperti pembagian
kerja (division of labour) Emile Durkheim, melainkan teori ini
hanya dijadikan sebagai kerangka untuk membingkai data dari al-
Qur`ân sendiri. Ajaran al-Qur`ân tentang masyarakat bisa melebihi
berbagai penjelasan teori-teori sosial. Oleh karena itu, seluruh
kerja penelitian tentu bertumpu sepenuhnya pada kerja penafsiran,
sehingga tidak terjadi pemaksaan penafsiran yang melampaui makna
yang terkandung dalam ungkapan.
Dalam kenyataannya, al-Qur`ân memang berbicara banyak
tentang masyarakat, baik dari kekayaan kosa-katanya maupun
dari persoalan yang dikembangkannya. Al-Qur`ân menggunakan
kosa-kata ummah, rqah, thâ`ifah, dan sya’b dalam ruang-lingkup
yang lebih luas. Al-Qur`ân berbicara tentang bangun dan runtuhnya
masyarakat, karakteristik sebuah masyarakat yang ideal, tentang
perubahan sosial, kontrol sosial, dan norma sosial. Ayat-ayat al-
Qur`ân yang berbicara tentang hal ini bervariasi dengan penekanan
berlainan, sehingga kajian ini menjadi menarik dan penting di tengah
berbagai wacana yang berkembang tentang masyarakat, seperti
masyarakat sipil (civil society) di Barat dan masyarakat utama (al-
madînah al-fâdhilah) di kalangan losof muslim, khususnya al-
Fârâbî.
Ada beberapa intelektual muslim yang berbicara tentang
sosiologi Islam, antara lain adalah Ali Syariati, On the Sociology
15 Ibid., vol. 1, h. 45.
xvi
of Islam.16 Bertolak dari kritiknya terhadap sosiologi Barat, ia
mencoba menawarkan sosiologi yang dikembangkan dari Islam
sendiri melalui konsep ummah. Sosiologi di tangan Ali Syariati
menjadi alat untuk menggerakkan kesadaran kritis manusia akan
kesenjangan dan penindasan yang terjadi, sehingga ilmu ini
diorientasikan untuk pergerakan. Ia banyak diilhami oleh sosiologi
Perancis, yaitu “sosiologi dialektis”, lalu tergerak membangunnya
dari ajaran Islam.17 Tentu saja, kajian ini, meski meminjam istilah
al-Qur`ân, tidak bekerja dari metode tafsir, karena karya ini tidak
menafsirkan al-Qur`ân. Tentu saja, berbicara tentang konsep Islam,
meski bertolak dari al-Qur`ân sebagai kitab suci umat Islam. Dari
kitab suci ini, dibangun apa yang dimaksud dengan “sosiologi al-
Qur`ân”.
Kita tidak perlu ragu untuk menawarkan konsep dari al-Qur`ân
sendiri di tengah wacana mainstream dari sosiologi Barat. Keyakinan
untuk membangun sosiologi berbasis al-Qur`ân kurang lebih sama
dengan keyakinan sebagian para losof muslim untuk membangun
lsafat Islam. Keyakinan Seyyed Hosein Nasr, ketika menawarkan
“lsafat profetik”, yaitu lsafat Islam yang digali dari sumber-
sumber kenabian, patut diberi apresiasi. Sebagaimana penulis kutip,
sementara para losof muslim mengritik ide tentang lsafat profetik,
para losof Amerika justru bergabung dalam lsafat Kristen. Begitu
juga, ketertarikan terhadap lsafat Yahudi meningkat di Barat.18
Tafsir Tematik dan Variannya
Tafsîr mawdhû’î (tematik) adalah sebuah metode dalam
penafsiran al-Qur`ân yang berupaya untuk merespon permasalahan
yang muncul di fenomena sosial maupun intelektual dengan cara
16 Ali Syariati, On the Sociology of Islam, terj. Hamid Algar (Berkeley:
Mizan Press, 1979).
17 Lihat lebih lanjut Wardani, Filsafat Islam Sebagai Filsafat Humanis-
Profetik (Banjarmasin: Antasari Press, 2014), h. 149-171.
18 Wardani, “Posisi al-Qur`ân..”, h. 157.
xvii
memfokuskan pembahasan pada kesatuan ide (wihdat al-maudhû’)
secara utuh dari al-Qur`ân. Pengertian ini penulis tarik dari empat
model atau corak (laun) dalam pendekatan tafsir ini.
Pertama, tafsîr mawdhû’î sebagai metode penafsiran dengan
mengumpulkan semua, atau beberapa yang ayat, al-Qur`ân yang
berbicara tentang suatu isu atau tema. Buku Saifuddin ini mengambil
model ini, yaitu mengangkat tema “revolusi mental” dengan merujuk
ayat-ayat al-Qur`ân yang relevan dengan tema itu. Model ini telah
banyak diterapkan oleh para pengkaji tafsir dan telah menghasilkan
beberapa kajian konsep al-Qur`ân, seperti Ayât al-Jihâd: Dirâsah
Mawdhû’îyah wa Târîkhîyah wa Bayânîyah (Ayat-ayat Jihad: Telah
tematik, historis, dan stilistikal) karya Kâmil Salâmah al-Diqs.
Seperti tampak dari judul ini, memang, tafsîr mawdhû’î bisa dan
memang sebaiknya dilengkapi dengan pendekatan lain yang relevan,
menopang, dan memperkaya kerja dan arahnya, seperti pendekatan
historis, sosiologis, antropologis, kebahasaan, semantik, semiotik,
dan strukturalis.
Kedua, tafsîr mawdhû’î yang diterapkan dalam menjelaskan
kosa-kata dalam al-Qur`ân, seperti kata jihâd, shabr, amânah, dan
tnah. Kajian tematik model ini telah lama diterapkan dengan level
kesempurnaan berbeda, misalnya, karya ar-Râghib al-Ashafahânî,
Mufaradât Alfâzh al-Qur`ân, meski tidak sesistematis dan seketat
mengikuti lengkah-langkah tafsri tematik seperti, misalnya, diusulkan
oleh Musththafâ Muslim, pada prinsip bertolak dari telaah tematik
kosa-kata al-Qur`ân. Bagaimana tampak sederhana uraian makna
kosa itu, tetap harus bertolak dari penelusuran yang komprehensif
terhadap makna-makna yang berkembang secara kebahasaan dan
yang berkembang secara kontekstual dalam al-Qur`ân.
Ketiga tafsîr mawdhû’î yang diterapkan terhadap isu-isu atau
pembahasan-pembahasan tematik dalam ‘ulûm al-Qur`ân, seperti
ayat-ayat yang terbatalkan keberlakuannya (mansûkh) dan yang
membatalkan keberlakuannya (sikh) dalam al-Qur`ân. Karya-
xviii
karya tentang naskh, seperti karya Abû ‘Ubayd al-Qâsim bin Sallâm,
Abû Ja’far an-Nahhâs, Makkî al-Qaysî, Hibatullâh bin Salâmah, Ibn
al-‘Arabî, dan Ibn al-Jawzî memuat daftar ayat-ayat al-Qur`ân dari
dua kategori ini. Sebagian penulis tafsîr mawdhû’î memasukkan
karya-karya ini sebagai karya yang ditulis dengan penelusuran
tematik.
Keempat, tafsîr mawdhû’î sebagai penafsiran tematik terhadap
surah-surah al-Qur`ân. Model ini tampak sekilas sama dengan tafsir
tahlîlî, di mana penafsiran dimulai secara runtut dari urutan surah-
surah berdasarkan urutan mushafî. Namun, ketika menafsirkan
setiap surah, penafsir menganggap adanya kesatuan topikal (wihdat
al-mawdhû’), yaitu bahwa setiap surah memiliki satu tema—
meski tampak tidak sistematis, sebagaimana tampak dari berbagai
kritik penulis Barat seperti William Montgomery Watt—yang
menghubungkan dari bagian atau kelompok ayat-ayat dalam surah
tersebut. Sebagai langkah awal, penafsir biasanya memahami tema
pokok itu dari nama surah atau dari isu-isu utama yang muncul
dalam surah. Selanjutnya, penafsir menjelaskan tujuan-tujuan
pokok (ahdâf) surah, kemudian menjelaskan makna global, dan
membagi surah tersebut ke dalam kelompok-kelompok ayat untuk
ditafsirkan, lalu menghubungkan (munâsabah) antarkelompok ayat
tersebut, sehingga tampak bahwa kelompok-kelompok ayat itu
saling terhubung secara utuh. Di antara penafsir yang menerapkan
model ini adalah Syaltût dan M. Quraish Shihab.19
Sama halnya dengan model-model yang dikembangkan di atas,
tafsîr mawdhû’î juga dilakukan dengan level kajian yang berbeda.
19 Berbeda dengan uraian di sini, al-Farmâwî dan M. Quraish Shihab menyebut
hanya ada 2 bentuk metode tafsir tematik. Lihat al-Farmâwî, al-Bidâyah fî at-
Tafsîr al-Mawdhû’î (T.tp.: T.p., 1976), 40-41. Quarsih Shihab menjelaskan jenis
pertama tafsir tematik adalah terhadap surah-surah al-Qur`ân yang dijelaskannya
sebagai “menyajikan kotak yang berisi pesan-pesan al-Qur`ân yang terdapat pada
ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja”, sedangkan jenis kedua tafsir
tematik adalah dengan mengumpulkan dan menafsirkan ayat-ayat tentang tema
tertentu. Lihat Wawasan al-Qur`ân (Bandung: Mizan, 1996), h. xii-xiii.
xix
‘Abd al-Sattâr membedakan tiga macam penerapan metode ini.
Pertama, tafsîr mawdhû’î yang ringkas, yaitu ketika penafsir hanya
memilih beberapa ayat untuk ditafsirkan secara tematik, dalam
bentuk uraian ringkas di makalah atau artikel, ceramah atau kuliah,
khutbah, atau talkshow. Karena hanya terbatas pada beberapa ayat
saja, maka pemilihannya harus benar-benar terhadap ayat-ayat yang
representatif yang menggambarkan sikap atau solusi al-Qur`ân
terhadap tema yang ditulis. Kedua, tafsîr mawdhû’î yang sedang,
yaitu ketika penafsir menafsirkan satu surah dengan pendekatan
kesatuan topikal (wihdat al-mawdhû’), seperti “Aqidah dalam sûrat
al-Syûrâ”. Dalam hal ini, penafsir tidak perlu merujuk ke seluruh
ayat yang terkait dengan tema itu. Inilah yang disebut oleh ‘Abd
al-Sattâr sebagai “tafsir tematik yang komprehensif” (at-tafsîr
mawdhû’î al-jâmi’). Dengan metode ini, ia menginginkan agar tema-
tema pokok al-Qur`ân disusun secara sistematis dan secara tematik,
sehingga menjadi rujukan para ulama dan peneliti dalam bentuk
ensiklopedi tafsir yang, menurutnya, masih bisa disebut tahlîlî,
karena didasarkan urutan mushhaf, tapi dikaji dari pendekatan
kesatuan topikal. Ketiga, tafsîr mawdhû’î yang mendalam, yaitu
ketika penafsir mengumpulkan semua ayat yang berkaitan dengan
tema yang sedang dibahas dengan penelusuran yang komprehensif.20
Memang, harus diakui bahwa para penulis, seperti al-Farmâwî,
‘Abd as-Sattâr Fathullâh Sa’îd, Mushthafâ Muslim, Shalâh ‘Abd al-
Fattâh al-Khâlidî, dan Ziyâd Khalîl al-Daghâmîn, berbeda konsepsi
tentang tafsir tematik, seperti dalam hal denisi, langkah-langkahnya,
perlu membahas semua atau ayat-ayat yang representatif saja tentang
tema yang dibahas, dan perlunya urutan kronologis turunnya surah/
ayat al-Qur`ân dalam menyusun kerangka bahasan. Meskipun
demikian, ada hal yang umum yang mereka akui, misalnya, seperti
dicatat oleh Mushthafâ Muslim, adalah pembahasannya yang padu.
20 ‘Abd al-Sattâr Fathullâh Sa’îd, al-Madkhal ilâ at-Tafsîr al-Mawdhû’î
(Cairo: Dâr at-Tawzî’ wa an-Nasyr al-Islâmîyah, 1986), h. 26-27.
xx
Belakangan, metode tafsir ini dikombinasikan sebagai pelengkap
metode historis, sehingga menjadi metode tematik dan historis,
sebagaimana ditawarkan oleh Tauk Adnan Amal dan Syamsu Rizal
Pangabean melalui “konteks kesejarahan” (historis) dan “konteks
susastra” (lebih dekat ke tematik).
Perkembangan Tafsir Tematik di Indonesia
Jika kita lacak ke fase awal Islam, metode tematik sebenarnya
bercikal-bakal dari penafsiran ayat dengan ayat lain,21 karena model
intertekstualitas ini, penafsiran suatu tema atau isu dalam al-Qur`ân
tidak melulu berpusat pada tafsir global (ijmâ) atau deskriptif
(tahlîlî), melainkan dirujuk-silang dengan ayat lain, meskipun
belum dilakukan secara komprehensif dan sistematis. Model
penafsiran ayat dengan ayat lain yang merupakan prinsip dalam
tafsir tematik berpatokan pada kaidah bahwa suatu ayat mungkin
masih bersifat global (mujmal), sehingga dijelaskan dengan ayat
lain yang kandungnya terperinci (mufashshal), sebagaimana ayat
yang mutlaq dengan ayat muqayyad, dan ayat ‘âmm dengan ayat
yang khâshsh.22 Bahkan, Nabi Muhammad pernah mempraktikkan
penafsiran tematik ini ketika beliau menafsirkan ayat al-Qur`ân
yang berkaitan dengan minuman penghuni neraka dengan merujuk
sejumlah ayat, yaitu: Qs. Ibrâhîm: 16, Muhammad: 15, dan al-Kahf:
29.23
Sebagai sebuah metode yang sistematis, menurut M. Quraish
Shihab, metode ini, yaitu sebagai penelaahan suatu tema dengan
merujuk ke beberapa ayat secara komprehensif, mulai berkembang
21 al-Farmâwî, al-Bidâyah, h. 43.
22 Kaidah ini disebutkan oleh Ibn Taymiyyah dalam karyanya, Muqaddimah
fî Ushûl al-Tafsîr, disyarh oleh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaymin (Cairo: Dâr
al-‘Aqîdah, 2008), h. 75.
23 Lihat Muhammad Abdurrahman Muhammad, al-Tafsîr al-Nabawî:
Khashâ`ishuh wa Mashâdiruh, terj. Rosihan Anwar (Bandung: Pustaka Setia,
1999), h. 151-152.
xxi
pada 1960-an. Metode tafsir tematik semula memang dicetuskan
oleh Ahmad Sayyid al-Kûmî,24 ketua jurusan tafsir di Fakultas
Ushuluddin Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir. Di jurusan ini,
dikembangkan mata kuliah tafsîr mawdhû’î (tafsir tematik). Al-
Kûmî bersama Muhammad Ahmad Yûsuf al-Qâsim menulis sebuah
karya tentang hal ini, at-Tafsîr al-Mawdhû’î li al-Qur`ân al-Karîm,
di mana di dalam kedua penulis ini mengemukakan tentang metode
tafsir ini, diikuti dengan uraian tentang tema-tema pokok al-Qur`ân.25
Kelak ide al-Kûmî dikembangkan oleh para penulis belakangan. Di
samping al-Kûmî, Amîn al-Khûlî juga disebut sebagai orang pertama
yang menyerukan pentingnya untuk menerapkan metode ini di al-
mi’ah al-Mishrîyah ketika ia mengatakan, “Maka pendapat yang
benar dibuktikan dengan penelusuran secara tematik, tidak dengan
menafsirkan al-Qur`ân berdasarkan urutan ayat-ayat atau potongan-
potongannya dalam mushhaf al-Qur`ân.”
Setelah al-Kûmî, ‘Abd al-Hayy al-Farmâwî mengikuti
dan mengembangkan upaya rintisan al-Kûmî, dengan menulis
karyanya, al-Bidâyah fî at-Tafsîr al-Mawdhû’î: Dirâsah Manhajîyah
Mawdhû’îyah yang pertama kali diterbitkan pada 1976. Dari al-
Kûmî juga, lahir anaknya, Muhammad Mahmûd Hijâzî (1914-
19720, penulis at-Tafsîr al-Wâdhih (masa penulisan 1951-1955). Ia
24 Al-Kûmî lahir pada 25 Februari 1912 M, bertepatan dengan 6 Rabiul
Awwal 1330 H. di Samaniya, Provinsi al-Bahîrah, Mesir. Ia memperoleh gelar
doktor dari Universitas al-Azhar pada 1945 dengan disertasi tentang penafsiran
Sûrat al-Fath. Setelah tamat dari Fakultas Ushuluddin dan memperoleh gelar
doktor, ia menjadi guru di Ma’had al-Iskandarîyah. Pada 1954, dari sana ia pindah
untuk menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, lalu pada
tahun 1966 ia memperoleh posisi sebagai associate professor (ustâdz musâ’id),
dan professor penuh pada 1971. Setelah itu, ia diangkat sebagai ketua jurusan
tafsir. Di antara karya-karyanya adalah al-Tafsîr al-Wasîth, di mana ia menjadi
salah seorang penulis bersama Syekh Thanthâwî, beberapa karya tentang tafsir
tematik, Fashl al-Khtihâb (1977). Lihat https://vb.tafsir,net/forum2/thread45737-
print.html (15 Juni 2019).
25 Lihat Ahmad al-Sayyid al-Kûmî dan Muhammad Ahmad Yûsuf al-Qâsim,
at-Tafsîr al-Mawdhû’î li al-Qur`ân al-Karîm (T.tp.: t.p., 1982).
xxii
mengembangkan lebih lanjut konsep “kesatuan topikal” (al-wihdah
al-mawdhû’îyah) yang pernah disinggung sebelumnya oleh al-Kûmî.
Di antara perbedaan antara uraian al-Kûmî dan uraian al-Farmâwî
adalah bahwa al-Kûmî di akhir penjelasannya tentang tafsir tematik,
mengemukakan tema-tema pokok al-Qur`ân. Ini yang, menurut
saya, menjadi perhatian ‘Abd al-Sattâr agar disusun semacam
ensiklopedi al-Qur`ân yang memuat tema-tema pokok al-Qur`ân
yang disusun secara tematik. Al-Kûmî juga memberikan contoh
penafsiran, misalnya, terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan
khamr. Berbeda dengan al-Kûmî, al-Farmâwî mengemukakan
contoh-contoh penafsiran ayat-ayat al-Qur`ân dengan mengangkat
tema-tema: pemeliharaan anak yatim, keummiyan bangsa Arab, adab
meminta izin memasuki rumah orang lain, dan menahan pandangan
serta menjaga kemaluan. Setelah al-Kûmî dan al-Farmâwî, beberapa
penulis lain juga ikut andil memberikan warna terhadap konsepsi
tafsir tematik. ‘Abd al-Sattâr Fathullâh Sa’îd, misalnya, menulis
al-Madkhal ilâ at-Tafsîr al-Mawdhû’î yang pertama kali terbit pada
1986. Menurut pengakuannya, kesadaran akan metode tematik ini
sebenarnya sudah ada dalam dirinya ketika ia pernah menyampaikan
beberapa ceramah di kota Suhaj, Mesir, dengan tema “Bersama al-
Qur`ân al-‘Azhîm”, di mana ia menyampaikan ceramah berkaitan
dengan tujuan-tujuan pokok al-Qur`ân selama fase makkîyah
berkaitan dengan keyakinan, baik tentang ketuhanan, kenabian,
dan isu eskatologis. Begitu juga, ia juga pernah mengajarkan tafsir
tematik di pascasarjana di Universitas Imam Muhammad bin Saud
di Riyad pada 1400 H (sekitar 1979). Itu artinya pada 1970-an ini,
tafsir tematik sudah mulai menyebar untuk diajarkan di perguruan
tinggi Islam di Timur Tengah.
Karya-karya tafsir tematik sudah banyak dihasilkan, baik dalam
bentuk karya klasik maupun modern. Dalam bentuk kitab tafsir—
di samping, karya tafsir tematik dalam bentuk pembahasan ‘ulûm
al-Qur`ân seperti nâsikh dan mansûkh—Muqâtil bin Sulaymân
xxiii
(w. 150 H) menulis Tafsîr al-Khamsimi`at Âyah yang memuat
penafsiran secara tematik ayat-ayat yang berkaitan dengan perintah
dan larangan, yang halal dan yang haram dengan sistematika qh.
Karya-karya lain yang serupa adalah karya-karya tentang al-wujûh
wa an-nazhâ`ir, seperti Nuzhat al-A’yun al-Nawâdhir fî ‘Ilm al-
Wujûh wa an-Nazhâ`ir karya Ibn al-Jawzî, Ishlâh al-Wujûh wa an-
Nazhâ`ir karya ad-Dâmighânî, dan al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân
karya al-Râghib al-Ashfahânî.26
Di era modern, telah banyak karya tafsir yang ditulis dengan
menerapkan metode ini, misalnya: publikasi serial melalui apa
yang disebutnya “bahasan tematik”karya Ahmad Hasan Farhât,
al-Ummah fî Dilâlatihâ al-‘Arabiyyah wa al-Qur`âniyyah dan adh-
Dhâllûn Kamâ Shawwarahum al-Qur`ân karya ‘Abd al-Muta’âl
al-Jabrî, al-Qur`ân wa al-Mar`ah karya Mahmûd Syaltût, al-
Insân fî al-Qur`ân karya ‘Abbâs Mahmûd al-‘Aqqâd, al-Wahy
al-Muhammadî karya Muhammad Rasyîd Ridhâ, Dustûr al-Akhlâq
fî al-Qur`ân karya Muhammad ‘Abdullâh Dirâz, at-Tarbiyah fî al-
Qur`ân karya Muhammad Syaddâd, ash-Shabr fî al-Qur`ân karya
Yûsuf al-Qaradhâwî.27
Tidak jelas siapa yang pertama kali memperkenalkan metode
tafsir ini di Indonesia. Namun, tampak bahwa ada peran M. Quraish
Shihab melalui bukunya, “Membumikan” al-Qur`ân (terbit pertama
kali pada 1992), yang best seller di era 1990-an, di mana di
dalamnya dibahasa metode ini, diduga memberikan peran penting
dalam memperkenalkan metode ini. Karya ini sebenarnya tidak
ditulis secara sistematis sebagai sebuah karya yang utuh, melainkan
berasal dari beberapa artikel atau makalah yang hampir seluruhnya
disampaikan di beberapa forum (pengajian, seminar, kuliah umum,
lokakarya). Tulisannya “Metode Tafsir Tematik” (111-120) yang
26 ‘Alî Mahmûd ‘Umar, “at-Tafsîr al-Mawdhû’î li al-Qur`ân al-Karîm bayna
al-Ashâlah wa al-Tajdîd”, dalam Majallat Jâmi’at al-Bahr al-Ahmar, No. 6
(2014), h. 57-58.
27 ‘Umar, “at-Tafsîr al-Mawdhû’î ..”, h. 58.
xxiv
merupakan bagian dari buku sebenarnya hanya makalah yang
disampaikan di Al-Aqsha Study Club, pada 10 Februari 1983, di
Ujung Pandang. Namun, di era ini, baik pada 1980 maupun ketika
karya ini terbit pada 1992, istilah tafsir tematik terdengar baru dan
cukup menarik.
Di samping itu, penulis ini juga dikenal aktif menjadi dosen
di IAIN (sekarang: UIN) Makassar dan Jakarta, dan beberapa
pascasarjana di tanah air. Melalui perkuliahan di pascasarjana,
baik di level magister maupun doktor, dia menyampaikan ide-ide
“baru” dalam metodologi tafsir. Dikatakan “baru”, karena di Timur
Tengah, metode tafsir ini sudah dikenal, khusus di Universitas
al-Azhar, apalagi melalui tulisan ‘Abd al-Hayy al-Farmâwî
yang mengembangkan ide al-Kûmî. Namun, di Indonesia, baru
diperkenalkan belakangan. Quraish Shihab tentu sendiri menerapkan
setidaknya dua model tafsir tematik, yaitu tafsir tematik terhadap
konsep dalam al-Qur`ân melalui penelusuran seluruh atau sebagian
ayat-ayatnya yang representatif, melalui karyanya, Wawasan al-
Qur`ân, dan tafsir tematik terhadap surah-surah al-Qur`ân dengan
mengasumsikan bahwa setiap surah memiliki satu tema sentral yang
menjadi benang merah yang menghubungkan bahasan dalam ayat-
ayatnya, yang ia tuangkan dalam karya monumentalnya, Tafsir al-
Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`ân (2009). Karya
ini memang mencerminkan penguasaan Quraish Shihab terhadap
metode tafsir ini, meski sebagai sebuah tafsir, sebagaimana diakui,
tidak terlepas dari kutipan penafsiran para tokoh terdahulu. Hamdani
Anwar menganggap bahwa metode tafsir tematik ini adalah baru,
padahal sudah pernah diterapkan oleh Syaltût.28
Selama rentang 1989-2011, di UIN Syarif Hidayatullah tercatat
ada 54 disertasi yang menulis penafsiran al-Qur`ân dengan metode
28 Uraian lengkap tentang metode tematik model ini bisa dilihat dalam
Wardani, Trend Perkembangan Pemikiran Kontemporer Metodologi Tafsir al-
Qur`ân di Indonesia (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2017), 29-41; Saifuddin
dan Wardani, Tafsir Nusantara (Yogyakarta: LKIS, 2017), 76-98.
xxv
tafsir tematik, dan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tercatat ada
16 disertasi dengan arah kajian serupa.29 Di antara disertasi dengan
metode ini di UIN Syarif Hidayatullah, misalnya, adalah Harifuddin
Cawidu, “Konsep Kufr dalam al-Qur`ân: Suatu Kajian Teologis
dengan Pendekatan Tafsir Tematik” (edisi terbit, Bulan Bintang,
1991), Abd. Muin Salim, “Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan
Politik dalam al-Qur`ân” (edisi terbit, Raja Grando Persada, 2002),
Darwis Hude, “Emosi Manusia dalam al-Qur`ân: Telaah Melalui
Pendekatan Psikologi” (2004), Ali Nurdin, Quranic Society (2006),
dan Nur Aryah Febriani, “Ekologi Berwawasan Gender dalam
Perspektif al-Qur`ân (2011).
Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, antara lain, adalah Musa
Asyarie, “Konsep Manusia sebagai Pembentuk Kebudayaan dalam
al-Qur`ân (1990), Munzir Hitami, “Rasul dan Sejarah: Tafsir al-
Qur`ân tentang Peran Rasul-rasul sebagai Agen Perubahan” (1998),
Nurul Fuadi, “Konsepsi Etika Sosial dalam al-Qur`ân” (2009),
Ahmad Qonit AD, “Konsep Ketuhanan di dalam al-Qur`ân: Tafsir
Semiotik Tematik terhadap Nama-nama Tuhan” (2010).
Sensitivitas Tafsir Tematik
Dari kelahirannya, tafsir tematik memang diidealisasikan sebagai
metode responsif dan sensitif terhadap isu-isu kekinian yang dihadapi
oleh kaum Muslimin. Mengapa? Dari sifatnya, tidak seperti tafsir
tahlîlî yang menguraikan makna ayat dari berbagai berbagai aspek
dengan uraian yang panjang lebar, metode ini dirancangkan secara
ringkas, padat, terfokus, tidak bertele-tele menjawab persoalan-
persoalan yang sedang dialami oleh kaum Muslimin. Meminjam
analogi yang digunakan oleh M. Quraish Shihab, berbeda dengan
tafsir tahlîlî yang diibaratkan seperti hidangan makanan secara
29 Uun Yusufa, “Kerangka Paradigmatis Metode Tafsir Tematik Akademik:
Kasus Disertasi UIN Yogyakarta dan Jakarta”, dalam Journal of Qur`ân and
Hadith Studies, Vol. 4, No. 2 (2015), 192.
xxvi
prasmanan, di mana banyak makanan dihidangkan secara melimpah
dan setiap orang dipersilakan untuk mengambil dan memilihnya
sesuai dengan keperluan, maka tafsir tematik diibaratkan seperti nasi
kotak, di mana hidang sudah dikemas hanya dengan satu macam
menu. Hal itu karena nasik kotak hanya untuk keperluan tertentu,
seperti halnya tafsir temati hanya menjawab suatu isu, tanpa panjang
lebar, namun terfokus pada upaya menjawab isu tersebut.
“Ajaklah al-Qur`ân berbicara” (istanthiq al-Qur`ân), demikian
ungkapan yang dihubungkan dengan metode ini. Metode tematik
seakan berbicara menjawab isu-isu yang muncul. Mengapa al-
Qur`ân dikatakan “berbicara”? Hal itu karena metode ini memang
sensitif dan responsif terhadap isu yang muncul, dan pembahasannya
dikemas dari intisari jawaban al-Qur`ân yang diambil dari semua
ayat atau ayat-ayat yang representatif secara utuh dan padu dalam
hubungan secara interkstual. Al-Qur`ân tentu saja tidak akan bisa
berbicara dalam pengertian sesungguhnya, seperti halnya manusia
berbicara. Namun, ketika isu yang dimuncul direspon melalui
metode ini, seakan al-Qur`ân berbicara menjawabnya, dan tentu
saja peran penafsir juga menentukan, sehingga muncul lanjutan
pernyataan itu, “dan al-Qur`ân tidak akan berbicara, melainkan
dijadikan berbicara oleh manusia” (wa lan yanthiqa, ma innamâ
yanthiqu ‘anhu al-rijâl).30
Dialog antara al-Qur`ân dengan realitas secara dinamis dalam
tafsir tematik menjadikan metode ini lebih sensitif dan responsif
dengan problematika yang dihadapi. Para penulis menyarankan
agar penafsir membaca realitas dan problematika yang dialami oleh
umat Islam sekarang ini, seperti persoalan ketertinggalan dalam hal
ekonomi dan pendidikan, isu HAM, kesetaraan gender, isu moral
sebagai akibat persentuhan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi,
seperti era digital, hoax, gosip di medsos, dan sebagainya. Penafsir
30 Kedua pernyataan ini, yang sebenarnya satu pernyataan utuh”, dikatakan
berasal dari pernyataan ‘Alî bin Abî Thâlib r. anhu.
xxvii
kemudian mencari jawabannya, baik dengan jawaban langsung dan
jawaban yang hanya memuat prinsip moralnya, terhadap isu-isu itu.
Prof. Ziyâd Khalîl Muhammad al-Daghâmîn, seorang dosen di
Universitas Âl al-Bayt, Provinsi al-Mafraq, Yordania menawarkan
dua model dialog antara teks al-Qur`ân dan realitas.31 Pertama, dari
teks ke realitas (min an-nashsh ilâ al-wâqi’). Model ini disebutnya
“membangun dan mengungkap” dalam pengertian bahwa mencoba
merekonstruksi konsepsi al-Qur`ân tentang suatu masalah, lalu
memproyeksikannya untuk diterapkan ke realitas. Namun, jika
bertolak dari konsepsi teoretis al-Qur`ân, lalu diproyeksikan ke
realitas, problemnya adalah bahwa tidak semua konsep al-Qur`ân
bisa menjawab secara langsung isu-isu baru yang begitu luas. “Teks-
teks terbatas, sedangkan realitas-realitas tak terbatas; sesuatu yang
tak terbatas tidak bisa diberikan patokan rigid dengan sesuatu yang
terbatas” (an-nushûsh idzâ kânat mutanâhiyah, wa al-waqâ`i’
ghaiyru mutanâhiyah, wa mâ lâ yatanâhâ lâ yadhbithuhu mâ
yatanâhâ), demikian meminjam kata-kata al-Syahrstânî dalam al-
Milal wa an-Nihal.
Kedua, dari realitas ke teks. Model ini disebutnya sebagai
bentuk “penyembuhan” dalam pengertian bahwa tafsir tematik
didesain untuk mengatasi atau memberi solusi atas persoalan krusial
yang dihadapi. Di era modern seperti sekarang ini, kaum Muslimin
menghadapi begitu banyak persoalan. Tugas penafsir tematik adalah
bagaimana al-Qur`ân memberikan solusi itu dengan menggali
jawaban al-Qur`ân. Ada dua macam jawaban al-Qur`ân; jawaban
langsung, yaitu ketika persoalan itu bisa dijawab oleh al-Qur`ân,
baik dengan kategori hukum (boleh-tidak boleh), seperti persoalan
bunga bank yang bisa dijawab melalu penuturan al-Qur`ân tentang
ayat-ayat riba dan prinsip-prinsip transakasi ekonomi yang Qur`an
31 Lihat Ziyâd Khalîl Muhammad al-Daghâmîn, Manhajîyat al-Bahts fî
at-Tafsîr al-Mawdhû’î li al-Qur`ân al-Karîm (Amman: Dâr al-Basyîr, 1995),
h. 29-33.
xxviii
(misal: kalian tidak boleh menzalimi dan terzalimi, lâ tazhlimûn, wa
lâ tuzhlamûn),32 dan jawaban tidak langsung, yaitu ketika persoalan
baru ini memang tidak pernah dibicarakan oleh al-Qur`ân yang
memang turun di zaman yang berbeda, namun al-Qur`ân sebagai
kitab suci yang diidealisasikan tidak hanya memberi solusi terhadap
masyarakat Arab, melainkan relevan dalam setiap konteks zaman
dan tempat (shâlihun li kulli zamân wa makân). Jawaban kedua ini
harus diperas pesan moral yang bersifat universal dari beberapa
ayat yang bisa jadi turun secara partikular di lokasi dan tempat
tertentu semasa turunnya al-Qur`ân. Dalam konteks itu, penafsir
tidak boleh terpaku pada jawab yang hanya tersurat dan partikular,
melainkan harus mampu membaca pesan al-Qur`ân yang tersirat
dan ditarik ke tingkat universal. Muhammad Asad dalam tafsirnya,
The Message of the Qur`an, menyarankan agar penafsir mampu
menggeser pesan ayat yang terkesan insidental dan partikular ke
pesannya yang general dan universal.33 Agaknya, dalam pengertian
jawaban kedua inilah maksud pernyataan Imam al-Syâ’î dalam
al-Risâlah, “Tidak ada persoalan yang menimpa salah seorang dari
penganut agama Allah swt (Islam) ini, melainkan sebelumnya dalam
al-Qur`ân sudah terdapat dalil yang menunjukkannya dalam bentuk
petunjuk di dalamnya” (falaysat tanzilu bi ahad min ahl dîn Allâh
nâzilatun, illâ wa fî kitâb Allâh al-dalîl ‘alâ sabîl al-hudâ fîhâ).34
Jawaban al-Qur`ân yang bersifat universal itu adalah dalam bentuk
petunjuk (hudâ) yang berisi prinsip-prinsip ajaran yang tidak akan
lekang oleh pergantian waktu dan tempat. Jika pernyataan al-Syâ’î
ini dipahami dari kerja tafsir tematik, yaitu merespon realitas dengan
merujuk ke al-Qur`ân, maka tidak selalu berarti bahwa solusi umat
Islam hanya bersifat deduktif; tidak cukup hanya dengan jawaban
berupa proyeksi teks atas realitas dengan mengatakan “semua
32 Qs. al-Baqarah: 279.
33 Muhammad Asad, The Message of the Qur`an (Gibraltar: Dar al-Andalus,
1980), h. vii.
34 Al-Syâ’î, al-Risâlah, h. 20.
xxix
hal sudah ada dalam al-Qur`ân”, karena sesungguhnya al-Qur`ân
memuat prinsi-prinsipnya dalam hal ini.
Setidaknya, ada dua kaidah tafsir yang relevan dalam berinteraksi
dengan al-Qur`ân, sebagaimana diadopsi dari Shalâh ‘Abd al-Fattâh
al-Khâlidî dalam Mafâtîh li al-Ta’âmul ma’ al-Qur`ân: Ma’âlim wa
Dhawâbith, dan untuk dikemukakan dalam konteks ini. Pertama,
“relevansi ajaran al-Qur`ân bagi setiap masa dan tempat” (shalâhiyyat
al-nashsh li kulli zamân). Kedua, “membebaskan nash dari ikatan
dari ruang dan waktu” (taharrur an-nashsh ‘an quyûd az-zamân
wa al-makân). Dengan kaidah pertama, al-Qur`ân harus dipahami
memiliki daya relevansinya dengan berbagai kondisi waktu dan
tempat, tidak hanya pada masa Nabi Muhammad dan hanya untuk
masyarakat Arab, melainkan, sebagai “petunjuk bagi manusia” juga
relevan bagi seluruh manusia. Cara menerapkan prinsip ini adalah
dengan membebaskan dari ikatan-ikatan ruang dan waktu, dengan
cara memahami ide sentral dan universalnya, bukan yang spesik
dan partikular.
Akhirnya, penulis berharap agar buku ini bermanfaat bagi
para peminat kajian tafsir al-Qur`ân, khususnya tafsir tematik, dan
juga bagi masyarakat muslim yang memerlukan petunjuk dari al-
Qur`ân, terutama dalam hal ini, tentang bagaimana kita bersama
mewujudkan masyarakat yang ideal.
Banjarmasin, 6 Juli 2020
Wardani
xxxi
DAFTAR ISI
Pedoman Transliterasi dan Pengutipan Ayat .................... iii
Kata Pengantar .................................................................... v
Daftar Isi .............................................................................. xxxi
BAB I
WACANA TENTANG MASYARAKAT IDEAL
DAN URGENSI KONSEP AL-QUR`ÂN ........................... 1
A. Wacana tentang Konsep Masyarakat ............................... 1
B. Fokus Kajian ................................................................... 7
C. Metode Penelitian ............................................................ 8
D. Struktur Buku .................................................................. 11
BAB II
MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
DAN ISLAM ......................................................................... 13
A. Perspektif Sosiologis ....................................................... 13
B. Perspektif Islam ............................................................... 15
BAB III
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL .................... 19
A. Analisis Istilah al-Qur`ân ................................................ 19
B. Sifat Kodrati Manusia ..................................................... 26
BAB IV
MASYARAKAT IDEAL: PERSPEKTIF AL-QUR`ÂN... 37
A. Analisis Istilah al-Qur`ān ................................................ 37
B. Filsafat Sosial al-Qur`ān .................................................. 45
C. Karakteristik Masyarakat Ideal: Dasar Konseptual ......... 59
D. Mewujudkan Masyarakat Utama: Agenda ke Praksis ..... 72
E. Cita-Cita Masyarakat Ideal .............................................. 87
xxxii
BAB V
PENUTUP ............................................................................. 95
A. Kesimpulan ...................................................................... 95
B. Saran-Saran ..................................................................... 98
Daftar Pustaka ..................................................................... 99
Daftar Riwayat Hidup ......................................................... 105
1
BAB I
WACANA TENTANG MASYAT IDEAL
DAN URGENSI KONSEP AL-QUR`ÂN
A. Wacana tentang Konsep Masyarakat
Al-Qur`ân adalah sebuah dokumen untuk umat manusia.1
Sebagai dokumen, al-Qur`ân pada dasarnya memuat dua bagian
pokok. Pertama, bagian konseptual yang terkait dengan pelbagai
ideal-type tentang konsep-konsep yang ditandai dengan istilah-istilah
al-Qur`ân yang merujuk kepada pengertian normatif yang khusus,
doktrin etika, aturan legal, dan ajaran keagamaan secara umum,
seperti konsep tentang Allah, manusia, dan sebagainya. Kedua,
bagian yang berisi kisah-kisah historis dan amtsâl (perumpamaan)
untuk memperkenalkan arche-type tentang kondisi-kondisi universal,
seperti kesabaran Ayûb, kezhaliman Fir’aun, dan sebagainya.2 Di
antara konsep yang terkandung dalam al-Qur`ân yang bertujuan
untuk memberikan gambaran yang utuh tentang doktrin Islam, atau
lebih jauh weltanschauung (pandangan dunia, world-view), adalah
konsepnya tentang masyarakat. Konsep tersebut menjadi sangat
vital, karena konsep amal perbuatan manusia secara individual,
seperti takwa dan pemurah, sebagai elan dasar pembentukan pribadi
hanya memiliki arti di dalam sebuah konteks sosial.3 Bahkan, dalam
pengertian yang sama, tawhîd sebagai fondasi Islam yang dituntut
memiliki implikasi dalam segenap kehidupan dan tindakan moral,
tidak mempunyai arti sesungguhnya tanpa dikontektualisasikan
1 Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca
Islamica, 1989), h. 1.
2 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan,
1994), h. 327-329.
3 Fazlur Rahman, Major, h. 37.
2
dalam sebuah apa yang diistilahkan oleh al-Qur`ân dengan ummah
(masyarakat).4
Al-Qur`ân, tentu saja, tidak diturunkan dalam sebuah masyarakat
yang vakum sejarah. Oleh karena itu, konsep tersebut merupakan
hasil suatu “proses dialogis” yang sangat intensif dan panjang dengan
realitas sosial masyarakat Arab ketika itu. Meskipun ada keterkaitan
dengan ruang dan waktu, sifat universalitas pesan ayat-ayat al-Qur`ân
menjadikan tata nilai (value system) yang dikandungnya tetap aktual
dan inspiratif untuk “berdialog” dan menjawab realitas sosial yang
dihadapi oleh masyarakat modern dewasa ini.5 Masyarakat dewasa
ini memasuki Zaman Teknik (technical age), meminjam istilah
yang digunakan oleh Marshal G. S. Hodgson untuk menggantikan
istilah “zaman modern” yang berkonotasi selalu positif.6 Selain
menjanjikan kemakmuran secara material, Zaman Teknik telah
menyebabkan terjadinya perubahan sosial (social change) secara
global atau mondial (yang meliputi seluruh dunia), baik perubahan
tersebut bersifat progressif maupun regressif.
Perubahan sosial secara besar-besaran juga merambah
masyarakat Indonesia yang menyembulkan pelbagai krisis yang
dampaknya justru lebih mengagetkan (shocking) dibanding dengan
yang terjadi di Barat. Krisis tersebut, antara lain, menyebabkan
timbulnya disorientasi, yaitu perasaan kehilangan pegangan hidup
dan identitas diri.7 Individu yang mengalami hal itu mempengaruhi
kondisi sosial masyarakat sekitarnya, karena antara individu dan
4There is hence no tawhid without the ummah” (h. 84). “Tawhid is, in short,
ummatism” (h. 85). Lihat lebih lanjut Ismail R. al-Faruqi dan Lois Lamya’ al-
Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillan Publishing Company,
1986), h. 84-85.
5 M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur`ân (Bandung: Mizan, 1995),
h. 252.
6 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 32.
7 Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina,
1997), h. 32.
3
masyarakat terjadi interaksi saling mempengaruhi. Di samping itu,
sebagai akibat dari perubahan pola pikir masyarakat dewasa ini
yang menyebabkan adanya pergeseran tata nilai (value system) yang
dianut, berkurangnya daya kontrol sosial (social control, dalam
terminologi al-Qur`ân sering diungkapkan dengan al-amr bi al-
ma’rûf wa an-nahy ‘an al-munkar) terhadap pola tingkah laku
individu dan penyimpangannya dari etika, norma religius, maupun
sosial sudah merupakan fenomena umum yang terdapat di masyarakat
dewasa ini. Dampak nagatif dari era ini juga semakin hari semakin
menumpuk. Akumulasi dampak negatif tersebut memunculkan
patologi sosial yang terkait dengan kehidupan kejiwaan individu
dan masyarakat, antara lain, berupa kelelahan psikis, kejenuhan
hidup, menipisnya solidaritas sosial, dan sebagainya.
Dalam situasi kegalauan sosial seperti itu, masyarakat mesti
tidak hanya kembali kepada nilai-nilai sosial horisontal, yaitu
nilai-nilai sosial yang disusun dengan orientasi manusia sebagai
titik sentralnya, tapi juga nilai-nilai sosial vertikal yang disusun
atas dasar nilai ketuhanan dan religius.8 Dalam Islam, nilai sosial
vertikal tersebut digali dari al-Qur`ân yang memperkenalkan dirinya
sebagai hudan li an-nâs (Qs. al-Baqarah [2/87]: 185) dan litukhrija
an-nâs min azh-zhulumât ilâ an-nûr (Qs. Ibrâhîm [14/72]: 1).
Fungsi tersebut menjadikan al-Qur`ân menempati posisi sentral
dalam setiap kajian tentang suatu aspek dalam Islam. Penelitian
tentang suatu aspek dalam Islam yang tidak melibatkan al-Qur`ân
akan sulit bisa dipertanggungjawabkan validitasnya, kecuali hanya
menyentuh kulit luarnya.9 Penempatan al-Qur`ân pada posisi sentral
dalam kajian Islam tentang sosial kemasyarakatan, sesuai dengan
sifat dialogis nilai-nilai yang dikandungnya dengan realitas sosial,
adalah tepat karena al-Qur`ân memang banyak berbicara tentang
8 Tentang pembagian nilai sosial tersebut, lihat D. Hendropuspito, Sosiologi
Sistematik (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 261.
9 Murtadha Muthahhari, Memahami al-Qur`ân, terj. Tim staf YBT, (Jakarta:
Yayasan Bina Tauhid, 1989), h. 9.
4
masyarakat, seperti dorongnya bagi perubahan-perubahan positif
dalam masyarakat dan hukum sejarah yang berkaitan dengan bangun
dan runtuhnya suatu masyarakat. Bahkan, al-Qur`ân merupakan
kitab suci pertama yang dikenal umat manusia yang berbicara
tentang hukum-hukum kemasyarakatan.10 Wacana al-Qur`ân
tentang masyarakat tersebut tidak lepas dari upaya pembentukan
suatu masyarakat yang idel. Hal itu terlihat dari ungkapan seperti
khayr ummah (Qs. Âli ‘Imrân [3/89]: 110), ummatan wasathan
(Qs. al-Baqarah [2/87]: 143), dan ummatan muslimatan laka (Qs.
al-Baqarah [2/87]: 128).
Pergulatan wacana keilmuan sepanjang sejarah manusia
menunjukkan bahwa ide tentang masyarakat yang ideal merupakan
wacana yang perennial. Kita bisa menarik akar historisnya sejak
Plato (428-348 M) dalam The Republic, Aristoteles (384-322 SM)
dalam Politics. Gelombang Hellenisme ke dunia Islam menjadikan
warisan klasik Yunani tersebut menjadi bagian historis bangunan
pemikiran filsuf Islam, seperti pengaruh yang begitu kentara
Plato atas ide al-Fârâbî tentang masyarakat utama (al-madînat
al-fâdhilah), termasuk justikasinya melalui teori emanasi. Ide
tentang masyarakat secara lebih ekstentif dikemukakan Ibn Khaldûn
dalam Muqaddimahnya. Dalam perkembangan wacana sosial dan
politik di Indonesia, polemik berkepanjangan tentang civil society
yang sesungguhnya muncul dalam konteks sosio-kultural di Barat
diusung untuk diterapkan di Indonesia dengan penuh keyakinan oleh
eksponennya semisal Nurcholish Madjid dan M. Dawam Rahardjo.11
10 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`ân (Bandung: Mizan, 1996), h. 319.
11 Baik Nurcholis Madjid maupun Dawam sama-sama menarik basis
masyarakat madani dari ayat-ayat al-Qur`ân. Dalam al-Qur`ân, masyarakat terbaik,
tegas Dawam, diungkapkan dengan khayr ummah yang disejajarkannya dengan
“masyarakat etis” Hegel (meski berbeda bahwa yang terakhir berada dalam
masyarakat borjuis). Sedangkan, menurut Nurcholish Madjid, masyarakat madani
dasar konseptualnya harus menjawab beberapa persoalan. Pertama, toleransi dan
pluralisme, seperti Qs. 2: 148 dan 5: 48 tentang fastabiqû al-khayrât, Qs. 10: 99
dan 2: 256 tentang larangan pemaksaan agama, dan Qs. 29: 45, 3: 113-115, serta
5
Tidak hanya pemaksaan penerapannya dalam konteks Indonesia
memaksa mereka untuk mensejajarkan antara civil society dengan
masyarakat madani, sebagaimana dianut beberapa cendekiawan
muslim, atau dengan semangat apologia yang tinggi dengan al-
madînat al-fâdhilah. Ide-ide tersebut, tentu saja, lahir dari loso
dan konteks sosio-historis yang berbeda. Ironisnya, pensejajaran
civil society dan masyarakat madani memaksa sebagian cendekiawan
muslim, semisal M. Dawam Rahardjo, untuk menggali justikasi
dari beberapa ayat al-Qur`ân. Jurang sejarah dan dasar pijakan yang
begitu jauh seharusnya meletakkan fungsi universalitas pesan al-
Qur`ân yang tak terikat yang lalu hanya dijadikan justikasi wacana-
wacana yang berkembang kemudian. Atas dasar ini, telaah tematik
tentang konsep masyarakat ideal dalam al-Qur`ân tidak menolak
atau memberikan dasar justikasi terhadap konsep-konsep tersebut.
Tema masyarakat yang ideal tersebut semakin signifikan
untuk dikaji, karena ditinjau dari sejarah perkembangan pemikiran
manusia, terdapat kesinambungan pembicaran para intelektual
tentang konsep tersebut dalam perspektif yang berbada dalam kurun
waktu yang panjang, baik kalangan lsuf, pemikir Islam maupun
Barat. Plato (428-348 SM) dalam karyanya, The Republic, misalnya,
mengembangkan konsep masyarakat yang ideal yang diperintah oleh
para lsuf dan memerintahkan murid-muridnya untuk membentuk
masyarakat tersebut di Syracuse. Pemikiran utopis Yunani tentang
2: 26 tentang status nun-muslim. Dasar al-Qur`ân ini juga ditopang oleh hadis
riwayat Ibn ‘Abbas ketika Rasulullah saw ditanya tentang agama yang paling
dicintai Allah, beliau menjawab “al-haniyyat as-samhah” (kebenaran yang
toleran). Kedua, demokrasi. Patokan-patokan yang perlu ditanamkan, menurutnya,
adalah: (1) kesadaran akan keniscayaan kemajemukan, (2) musyawarah, (3)
menghindari absolutisme dan monolitisme, (4) kesesuaian demokrasi dengan
asas bahwa cara sama bernilainya dengan tujuan, (5) kejujuran dan pertimbangan
akal sehat dalam musyawarah, (6) terpenuhinya keperluan pokok, yaitu sandang,
pangan, dan papan, (7) kerjasama atas dasar itikad baik, (8) pendidikan demokrasi,
(9) proses demokratisasi bahwa demokrasi memerlukan proses waktu untuk
mewujudkannya secara optimal. Lihat pengantar Nurcholish Madjid dalam
tulisan Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani.
6
masyarakat juga dikemukakan oleh Aristoteles (384-322 SM) dalam
Politics.12
Dalam perkembangan selanjutnya, dari kalangan lsuf Islam,
ide tersebut, antara lain, dikembangkan oleh ‘Abd ar-Rahmân ibn
Khaldûn (732-808 H/1332-1406 M) dalam karyanya, Muqaddimah.13
Di kalangan pemikir Islam kontemporer, Ali Syari’ati (1933-
1977) M) sesuai dengan latar belakang pendidikannya, adalah
tokoh yang paling banyak mencurahkan perhatiannya terhadap
konsep masyarakat yang ideal.14 Di kalangan intelektual Barat,
William Montgomery Watt adalah yang paling serius menekuni
persoalan sosiologis ini.15 Pergulatan wacana keilmuan sepanjang
sejarah manusia menunjukkan bahwa ide tentang masyarakat yang
ideal merupakan wacana yang perennial. Kita bisa menarik akar
historisnya sejak Plato (428-348 M) dalam The Republic, Aristoteles
(384-322 SM) dalam Politics. Gelombang Hellenisme ke dunia
Islam menjadikan warisan klasik Yunani tersebut menjadi bagian
historis bangunan pemikiran lsuf Islam, seperti pengaruh yang
begitu kentara Plato atas ide al-Fârâbî tentang masyarakat utama (al-
madînah al-fâdhilah), termasuk justikasinya melalui teori emanasi.
Ide tentang masyarakat secara lebih ekstentif dikemukakan Ibn
Khaldûn dalam Muqaddimahnya.
12 Perlu jelas bahwa sosiologi sebelum menjadi ilmu yang berdiri sendiri
bercikal-bakal berupa lsafat sosial Yunani yang ketika itu belum memisahkan
secara tegas antara negara dan masyarakat, kecuali setelah adanya teori “kontrak
sosial” Thomas Hooker di abad ke-16. Oleh karena itu, karya Plato dan Aristoteles
tersebut juga memuat teori sosiologi, di samping teori politik. Lihat Soerjono
Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat (Jakarta: Dgalia
Indonesia, 1982), h. 29-31.
13 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.).
14 Ali Syari’ati, antara lain, mengemukakannya dalam On the Sociology of
Islam (Berkeley: Mizan Press, 1979), h. 119 dan Al-Ummah wa al-Imâmah, terj.
Muhamad Faishol Hasanuddin, (Bandar Lampung dan Jakarta: Penernit YAPI,
1990).
15 Di antara karyanya dalam hal ini adalah Muhammad, Prophet and
Statesman.
7
Para lsuf dan pemikir tersebut telah mengemukakan wacananya
dalam suatu perspektif yang berbeda-beda, baik losos maupun
sosiologis. Akan tetapi, di tengah masyarakat yang sedang mengalami
kegalauan sosial yang sangat memerlukan nilai-nilai sosial vertikal
belum disuguhkan suatu kajian perspektif al-Qur`ân sebagai sumber
ajaran Islam tentang masyarakat ideal dalam sebuah telaah yang
komprehensif dan utuh, kecuali hanya dalam bentuk penafsiran
ayat-ayat al-Qur`ân yang tersebar dalam kitab-kitab tafsir klasik
dengan metode tahlîlî (analitis) yang dalam banyak keadaan sangat
rawan terhadap pemahaman parsial dan kontradiktif.
Berdasarkan uraian di atas, perlu adanya telaah terhadap konsep
masyarakat yang ideal dalam al-Qur`ân dalam bentuk kajian tematis
ayat-ayatnya.
B. Fokus Kajian
Permasalahan yang akan dijawab melalui dalam buku ini dapat
dirumuskan sebagai berikut: bagaimana konsep masyarakat yang
ideal dalam al-Qur`ân? Untuk memperoleh gambaran yang lebih
rinci, permasalahan pokok ini dibagi menjadi sub-sub masalah
sebagai berikut. Pertama, bagaimana karakteristik masyarakat yang
ideal sebagaimana yang dapat dipahami dari al-Qur`ân? Kedua,
bagaimana mewujudkan suatu masyarakat yang ideal tersebut?
Ketiga, apakah tujuan yang diinginkan dari terwujudnya masyarakat
yang ideal tersebut?
Kajian ini penting terutama terletak pada upaya memperluas
khazanah keilmuan Islam, khususnya tentang idealisasi al-Qur`ân
tentang masyarakat. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi masuk berupa landasan qur’ani bagi transformasi
pemikiran ke arah pembentukan ilmu-ilmu sosial profetik yang
sedang dirintis.16 Kajian ini diharapkan juga berguna bagi upaya
16 Lihat Kuntowijoyo, Paradigma, h. 311-346. Thomas Luckman, tulis
Ahmad Sya’i Ma’arif, menyayangkan bahwa signikansi sentral dari agama
8
menggugah kesadaran intelektual untuk mengurangi keterpisahan
wilayah kajian sosial dengan kajian al-Qur`ân, terutama bagi
ilmuwan muslim. Selama ini masih sangat dirasakan kuatnya
kecenderungan kajian sosial meninggalkan telaah pesan-pesan
sosial al-Qur`ân di satu sisi, dan adanya penelitian al-Qur`ân yang
terlalu terkungkung dengan kajian teologis, eskatologis, dan yang
semisalnya, dengan melupakan kajian sosial kemasyarakatan di
sisi lain. Dengan demikian, penelitian ini berkaitan dengan arah
pengembangan keilmuan antara ilmu sosial dan ilmu al-Qur`ân.
Selanjutnya, sebagai aplikasinya, penelitian ini diharapkan dapat
menggerakkan anggota masyarakat muslim ke arah bagaimana
membentuk masyarakat yang ideal berdasarkan perspektif al-Qur`ân.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini tergolong sebagai penelitian kepustakaan (library
research) dengan menjadikan bahan pustaka sebagai data penelitian.
Konsep masyarakat ideal dicoba untuk ditelusuri melalui ayat-
ayat al-Qur`ân yang berkenaan dengan hal itu. Karena berangkat
dari suatu tema bahasan, dalam kajian ini akan diterapkan metode
tematik (mawdhû’î) yang secara operasional dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Menetapkan masyarakat yang ideal sebagai tema kajian.
2. Menghimpun ayat-ayat al-Qur`ân yang berkaitan dengan
tema tersebut.
bagi teori sosiologi modern telah diabaikan orang. Padahal, katanya, “the
problem of personal existence in society is essentially a question of social form
of religion….” (problema keberadaan seseorang dalam masyarakat pada dasarnya
adalah persoalan bentuk sosial agama…). M. Dawam Rahardjo menyatakan,
“Pertama-tama, kita harus bisa mengembangkan teori-teori kemasyarakatan dan
teori-teori perubahan sosial yang mendasarkan diri dan mengacu kepada ajaran-
ajaran Islam sendiri”. Lihat, lebih lanjut, Ahmad Sya’i Ma’arif, “Posisi Sentral
al-Qur`ân dalam Studi Islam” dan M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Ilmiah
terhadap Fenomena Keagamaan”, Tauq Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.),
Metodologi Penelitian Agama (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h. 26 dan 130.
9
3. Menyusun ayat-ayat tersebut secara kronologis berdasarkan
tertib turunnya surah-surah al-Qur`ân dan secara sistematis
menurut kerangka pembahasan yang telah disusun.
4. Memberikan uraian dan penjelasan dengan menggunakan
teknik-teknik penafsiran yang akan dijelaskan kemudian,
dan
5. Menarik kesimpulan berupa rumusan tentang idealisasi
al-Qur`ân tentang masyarakat sebagai jawaban terhadap
masalah penelitan sebagaimana dikemukakan.
Metode tematik (mawdhû’î) dengan langkah-langkah opera-
sionalnya tersebut didukung dengan pendekatan dan analisis
semantik,17 baik semantik gramatikal, semantik leksikal, maupun
semantik kalimat.18
Dari segi sifatnya, kajian ini bersifat kualitatif dan berupaya
menghimpun data yang bersifat deskriptif berupa pernyataan verbal
al-Qur`ân. Oleh karena itu, untuk kajian ini diterapkan juga teknik
analisis isi (content analysis)19 karena di samping diterapkan pada
pernyataan verbal al-Qur`ân yang bersifat kualitatif, teknik ini bisa
diterapkan dalam kajian-kajian sosial.20
17 Analisis semantik (semantical analysis) telah diterapkan para peminat
kajian al-Qur`ân untuk mengungkapkan aspek dan kandungannya. Toshihiko
Izutsu, misalnya, menerapkannya dalam kajiannya tentang etika-religius al-Qur`ân
dalam karyanya, Ethico-Religious Concept in the Qur’an (Montreal: McGill
University, 1996). Analisis semantik Toshihiko menempuh langkah-langkah:
(a). memilih istilah atau kata kunci dari kosa kata al-Qur`ân yang mempunyai
struktur konseptual, (b). menentukan makna dasar dan makna relasional, dan (c).
menyimpulkan weltanschauung konsep dalam satu kesatuan.
18 Lihat Abd Muin Salim, Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam
al-Qur`ân (Jakarta: Rajawali Pers, 19940, h. 17-18,.
19 Lihat Klaus Krippendorff, Content Analysis, Introduction to Its Theory and
Methodology, terj. Farid Wadjidi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), h. 15.
20 Lihat Dennis P. Forcese dan Stephen Richer, Social Research Methods
(New Jersey: Prentice Hall Inc., 1973), h. 185-186.
10
Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri dari data primer
dan sekunder. Data primer berupa ayat-ayat al-Qur`ân yang relevan
dengan masalah yang dikaji serta keterangan atau tafsiran dari para
sahabat dan tâbi’ûn. Data primer yang berupa ayat-ayat al-Qur`ân
digali dengan bantuan kitab-kitab indeks, seperti al-Mu’jam al-
Mufahras li Alfâzh al-Qur`ân, karya Muhammad Fu`âd ‘Abd al-
Bâqî. Di samping itu, upaya pemaknaan terhadap ayat yang berpusat
pada telaah arti akar kata didukung oleh kamus yang memuat arti
etimologis dan leksikal, seperti Mu’jam Maqâyîs al-Lughah karya
Ibn Fâris dan Lisân al-’Arab karya Ibn Manzhûr. Sedangkan, data
primer yang berupa keterangan atau tafsiran sahabat dan tâbi’ûn
digali dari kitab-kitab tafsir klasik maupun modern, hadits, dan
sejarah. Data sekunder digali dari sumber-sumber yang memiliki
keterkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
Sebagaimana telah dikemukakan, data primer dalam penelitian
ini adalah ayat-ayat al-Qur`ân. Secara struktural, data tersebut terdiri
dari kalimat sedehana dan kalimat luas. Kalimat sederhana dibentuk
unsur berupa frase dan kata, sedangkan kalimat luas terdiri dari
induk dan anak kalimat atau klausa. Dengan demikian, ada empat
unsur yang dapat membentuk suatu ayat, yaitu kalimat, klausa,
frase, dan kata.21
Dalam analisis data, ayat-ayat al-Qur`ân sebagai data primer
disusun secara kronologis berdasarkan tertib turunnya surah-surah
al-Qur`ân. Oleh karena itu, disusun daftar konversi tertib surah-suarh
secara kronologis dengan ketentuan bahwa nomor yang terdapat
sesudah nama surah menunjukkan urutan turunnya, sedangkan
nomor yang mendahuluinya menunjukkan urutan dalam sistematika
mushhaf.22
21 Penulis di sini mengadopsi model pensejajaran komposisi ayat dengan
modell komposisi dalam kalimat bahasa Indonesia ini dari Abd Muin Salim,
Fiqh Siyasah, h. 17-18.
22 Ibid.
11
Dalam penerapan analisis semantik, diterapkan teknik-teknik
tafsir berikut:23 (1) Interpretasi atau tafsir tekstual, yaitu menafsirkan
ayat dengan ayat lain atau dengan hadits Nabi, baik perkataan,
perbuatan, maupun pengakuan, ( 2) Interpretasi linguistik, yaitu
teknik interpretasi dengan menggunakan penegrtian-pengertian
dan kaidah-kaidah bahasa sebagai media analisis, (3) Interpretasi
sistematik dalam pengertian penafsiran ayat dilakukan dengan
melihat kedudukannya dalam surah atau kedudukannya di antara
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya yang dikenal dalam ulûm al-
Qur’ân dengan munâsabat al-âyat (korelasi ayat), (4) Interpretasi
sosio-historis, yaitu dengan menggunakan data sejarah yang
berkenaan dengan kehidupan masyarakat Islam Arab dan sekitarnya
ketika turunnnya al-Qur`ân (sya`n an-nuzûl, occasion of revelation).
Termasuk dalam hal ini, riwayat yang berkenaan dengan latar
belakang turunnya ayat (sabab an-nuzûl). (5) Interpretasi logis,
yaitu menafsirkan ayat dengan prinsip-prinsip logika, baik model
penalaran induktif maupun deduktif, (6) Interpretasi kultural dalam
pengertian menafsirkan ayat dengan menggunakan perspektif ilmu
pengetahuan, dan (7) Interpretasi teleologis, yaitu interpretasi ayat
dengan mencari hubungan dengan kaidah-kaidah qh (al-qawâ’id
al-qhiyyah), karena kaidah-kaidah ini dirumuskan atas dasar
penyimpulan yang mendalam tentang motif-motif mendasar yang
umumnya menjadi tujuan penetapan hukum yang dikenal dengan
maqâshid asy-syarî’ah.
D. Struktur Buku
Pembahasan dalam penelitian ini disusun dengan urutan logis
(logical sequence) bab-bab berikut. Bab I berisi pendahuluan yang
menjelaskan aspek-aspek metodologis dan permasalahan dari latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan signikansi
penelitian, denisi operasional, metode, dan sistematika penelitian.
23 Ibid., h. 23-32 dengan beberapa perbaikan dan modikasi.
12
Pada bab II dikemukan bahasan tentang masyarakat dalam
perspektif sosiologis. Bahasan ini merupakan theoritical frame-work
(kerangka teoritis). Karena objek kajian ini menyangkut persoalan
sosiologis, ayat-ayat yang dibahas didekati dengan kerangka teori
tersebut. Di sini, bahasan diisi dengan tinjauan umum sosiologis
Barat dan beberapa pemikir Islam tentang masyarakat.
Sebagaimana dieksplor dalam latar belakang masalah bahwa
persoalan sosial bukan persoalan yang berdiri sendiri, melainkan
keterkaitan antara manusia secara individual sebagai anggota
masyarakat dengan masyarakat secara luas, seperti “penularan
timbal-balik” antara keduanya dalam tata nilai. Bahasan pada bab
III dikemukakan yang berkaitan dengan perspektif al-Qur`ân tentang
manusia dari hakikat hingga keberadaannya secara kodrati sebagai
makhluk sosial yang tidak bisa memisahkan diri dari masyarakat.
Pada bab IV, perspektif al-Qur`ân dengan menggunakan landasan
bahasan sebelumnya tentang masyarakat yang ideal dikemukakan.
Bahasan berisi tentang analisis terminologis “masyarakat” dalam
al-Qur`ân, “lsafat sosial” al-Qur`ân, karakteristik masyarakat yang
ideal, langkah pembentukannya, dan tujuan yang dicapai.
Pembahasan pada bab-bab sebelumnya dicoba untuk untuk
ditarik kesimpulannya pada bab V, sebagai hasil penelitian. Bab
ini berisi kesimpulan dan rekomendasi.
13
BAB II
MASYAT DALAM PER SPEKTIF SOSIOLOGIS
DAN ISLAM
A. Perspektif Sosiologis
Para sosiolog ternyata masih mengalami pro dan kontra ketika
merumuskan apa yang disebut masyarakat (society) sehingga
Mitchell, sebagaimana dikutip Sorjono Soekanto, menyatakan “The
term society is one of the vaguest and most general in the sociologist’s
vocabulary”.1 Oleh karena itu, sebagai perbandingan, dikemukakan
tiga denisi untuk dapat memahami unsur-unsur esensial yang
terdapat dalam sebuah masyarakat. Menurut Gerhard Lenski dan
Jean Lenski mendenisikan masyarakat dengan “a society is an
autonomous group of individuals belonging to the same species and
organized in a corporative manner”.2 E. Hiller mendenisikannya
dengan “ a society is a people leading an integrated life by means
of the culture”. Menurut R. Thomlinson, “a society is a large,
continuing, organized group of people; it is the fundamental large
scale human group”.3 Denisi-denisi tersebut mengandung unsur-
unsur esensial yang terdapat dalam sebuah masyarakat sebagai
berikut: (1) sekelompok manusia yang hidup bersama, (2) hidup
dan bergaul secara bersama dalam jangka waktu yang cukup lama,
(3) adanya kesadaran bahwa mereka adalah suatu kesatuan sehingga
merupakan kelompok yang dapat bertindak secara otonom, (4) suatu
sistem kehidupan bersama yang menghasilkan kebudayaan, dan (5)
1 Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h. 69.
2 Gerhard Lenski dan Jean Lenski, Human Societies, an Introduction to
Macrosociology (Tokyo: McGraw-Hill Inc., 1978), h. 9.
3 Soerjono Soekanto, Teori, h. 69.
14
adanya seperangkat norma yang mengikat kehidupan bersama.4
Dalam perspektif sosiologis, masyarakat terbentuk karena beberapa
faktor berikut: (1) faktor yang berkaitan dengan naluri biologis
untuk mengembangkan keturunan dari sesama, (2) faktor kelemahan
manusia yang mendesak untuk mencari kekuatan bersama dan
memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari, (3) berdasarkan teori
Aristoteles, manusia adalah zoon politicon, yaitu makhluk sosial
yang secara kodrati mencari kehidupan secara kolektif, (4) faktor
yang, menurut Bergson, terkait dengan perbedaan manusia secara
sik maupun psikis berupa bakat, sifat, kemampuan, kedudukan,
dan sebagainya.5
Sebagaimana telah dikemukakan, kebudayaan (culture)
merupakan unsur esensial dalam masyarakat yang mencakup
seluruh hasil hidup bermasyarakat berupa aksi terhadap dan oleh
sesama manusia sebagai anggota masyarakat.6 Selain kreasi manusia
berupa alat kebutuhan hidup, kebudayaan meliputi pula kebiasaan
masyarakat yang berkaitan dengan norma-norma sosial, baik yang
berupa folkways atau convention, yaitu tradisi-tradisi kehidupan
yang secara moral harus diikuti, maupun berupa mores, yaitu tradisi
yang berisi hukum adat yang lebih berat ketika terjadi pelanggaran.7
Di samping itu, ada norma yang hidup dalam masyarakat yang
berupa hukum (law), baik berupa hukum positif maupun hukum
yang bersumber dari agama,8 tetapi tidak mesti merupakan bagian
dari kebudayaan.9
4 Ibid.,
5 Hassan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia (Jakarta: Rineka
Cipta, 1993), h. 51-58.
6 Ibid., h. 81.
7 Elgint F. Hunt dan David C. Colander, Social Science, an Introduction to
the Study of Society (New York: Macmillan Publishing Company, 1984), h. 117.
8 Ibid., h. 118.
9 Teori sosiologi umumnya, termasuk teori E. B. Taylor dalam Primitive
Culture, menempatkan agama dan hukumnya sebagai bagian dari kebudayaan.
Lihat Hassan Shadily, Sosiologi, h. 51-58. Bertolak belakang dengan ini, Islam
15
Keberadaan norma-norma sosial (social norms) tersebut
mengharuskan masyarakat untuk melakukan kontrol sosial terhadap
setiap perbuatan anggotanya yang bersifat impersonal.
Bertolak dari keterkaitan masyarakat dengan kebudayaan juga,
masyarakat sebenarnya selalu berubah (social change). Setiap
perubahan sosial sebagai realitas membawa tiga aspek, yaitu aspek
manusia, aspek waktu, dan aspek tempat. Dengan ungkapan lain,
setiap perubahan yang berarti digerakkan oleh manusia dalam
unit waktu dan lingkungan tertentu.10 Perubahan sosial tersebut,
menurut teori yang berkembang di Eropa dan Amerika, selalu
bergerak menurut proses evolusi menuju ke arah kemajuan.11 Teori
perubahan sosial lainnya dikemukakan oleh Ibn Khaldûn, Oswald
Spengler, dan Arnold Toynbee yang menyatakan bahwa perubahan
tersebut bergerak secara siklus: pertumbuhan, titik klimaks, dan
deklinasi.12 Meski kedua teori tersebut menunjukkan pandangan
yang berbeda, namun para sosiolog sepakat bahwa perubahan sosial
muncul sebagai akibat dari unsur dinamika manusia dan interaksinya
dengan lingkungan.13
B. Perspektif Islam
Setiap masyarakat berada dalam sebuah sistem sosial yang
masing-masing memiliki hubungan keterkaitan.14 Adanya sistem
yang kompleks dan saling terkait tersebut menyebabkan sulitnya
meletakkan konsep masyarakat yang utama dalam bentuk sebuah
sebenarnya bukan produk murni kebudayaan.
10 D. Hendropuspito, Sosiologi Sistematik (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1989), h. 258.
11 Hassan Shadily, Sosiologi, h. 231.
12 Ibn Khaldûn, Muqaddimah (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 175-176; Elgint
F. Hunt dan David C. Colander, Social Science, h. 124.
13 Elgint F. Hunt dan David C. Colander, Social Science, h. 124.
14 Gerhard Lenski dan Lenski, Human Societies, h. 32; Soerjono Soekanto,
Teori Sosiologi, h. 68-70.
16
rumusan sosiologis yang komprehensif. Perumusan tersebut, tentu
saja, tidak hanya terkait dengan norma sosial yang mengharuskan
individu untuk bertingkah laku menurut pola utama dalam
masyarakat,15 keharusan munculnya perubahan sosial progresif,
berfungsinya kontrol sosial masyarakat, dan sebagainya, tetapi
menyangkut pula, misalnya, infrastruktur dan ekonomi masyarakat.
Dalam sejarah, teori-teori sosiologi yang muncul sejak cikal-
bakalnya berupa lsafat sosial Yunani hingga pemikiran sosiologi
kontemporer yang mengapresiasi konsep masyarakat utama tersebut
menunjukkan kecenderungan perspektif khusus pencetusnya.16
Filsafat sosial Plato, misalnya, menganggap masyarakat utama
sebagai perluasan dari konsep tentang individu manusia17 dan
teori sosiologi Emile Durkheim, antara lain, menegaskan perlunya
pembagian kerja (the division of labour).18 Oleh karena itu, di sini
akan dikemukakan reeksi beberapa intelektual Islam tentang
masyarakat utama.
Ali Syari’ati mendenisikan masyarakat utama (ummah) dalam
konteks sosiologis Islam dengan “a society in which a number of
individuals, possesing a common faith and goal, come together in
harmony with the intention of advancing and moving toward their
common goal” (suatu masyarakat yang di dalamnya ada sejumlah
individu yang memiliki kesamaan iman dan tujuan, datang secara
bersama-sama dalam keharmonisan dengan berupaya meningkatkan
diri dan bergerak menuju tujuan bersama mereka).19 Elemem-elemen
15 Hassan Shadily, Sosiologi, h. 81-82.
16 Subjektivitas karena perspektif keilmuan itu adalah sesuatu yang tidak
bisa dihilangkan. Hal itu mengharuskan kita mengenali dengan baik alasan kutub
subjektivitas-subjektivitas. Tentang perkembangan teori sosiologi, lihat, misalnya,
Hotman M. Siahaan, Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1986), h. 28-32.
17 Ibid., h. 57.
18 Ibid., h. 145.
19 Ali Syari’ati, On the Sociology of Islam (Berkeley: Mizan Press, 1979),
h. 119.
17
penting yang ditunjuk dalam denisi tersebut bahwa masyarakat
utama harus memenuhi kriteria minimal berikut. Pertama, sebagai-
mana dinyatakan juga dalam teori-teori sosiologi umumnya,
masyarakat tersebut bukan merupakan kumpulan sejumlah individu
yang berdiri sendiri (feral man), tapi berinteraksi sosial secara
bersama dalam hubungan saling ketergantungan. Kedua, masyakat
dalam konsepsi Syari’ati adalah masyarakat Islam yang memiliki
keyakinan dan tujuan yang sama. Meski demikian, prasyarat ini
tidaklah mungkin dalam masyarakat yang majemuk, sehingga
prasyarat tersebut “diperluas” dengan adanya pandangan, aturan,
atau norma-norma sosial yang disepakati dan ditaati secara bersama,
serta memiliki kesadaran akan tujuan yang dicapai bersama.20
Kriteria ini menekankan perlunya kesadaran kolektif (collective
consciousness), meminjam istilah Emile Durkheim,21 kekuatan
mental, dan solidaritas sosial sebagai basis masyarakat. Ketiga,
kesadaran akan kesamaan iman dan tujuan tersebut berimplikasi
pada bagaimana menempatkan model keyakinan, pemikiran,
maupun tindakan yang dapat menciptakan harmoni masyarakat,
baik yang menyangkut interaksi antarindividu maupun interaksi
individu dengan masyarakat secara umum. Keempat, sebagai
dasar lsafat sosialnya, masyarakat utama memiliki semangat dan
dinamika untuk maju (progressive spirit) serta komitmen yang kuat
untuk mengadakan perubahan sosial yang progressif untuk mencapai
tujuan bersama.
20 Pandangan-pandangan yang sama dengan pandangan Syari’ati tersebut
juga dikemukakan pemikir-pemikir Islam yang tampak mengarahkan hampir
seluruh bangunan pemikirannya ke arah proyek keilmuan yang disebut sebagai
“islamisasi ilmu-ilmu sosial”. Tentang prasyarat possesing a common faith and
goal, misalnya, juga dikemukakan Abdo A. Elkholy, “The concept of Community
in Islam”, Khursyid Ahmad dan Zafar Ishaq Anshari (ed.), Islamic Perspectives,
Studies on Honour of Sayyid Mawlana Abul `A’la al-Mawdudi” (Arab Saudi:
The Islamic Foundation, 1979), h. 173.
21 Hotman M. Siahaan, Pengantar, h. 144.
18
Di samping itu, Ali Syari’ati juga mengemukakan pentingnya
hal-hal beikut. Pertama, infrastruktur masyarakat, menurutnya,
adalah ekonomi. Ekonomi mapan masyarakat merupakan kondisi
bagi kokohnya spiritualitas masyarakat, sehingga dikatakannya,
“whoever has no worldly life has no spiritual life22 (Siapa pun yang
tidak memiliki kehidupan dunia, berarti tidak memiliki kehidupan
spiritual). Kedua, “sistem sosial”23 yang terkait dengan hubungan
timbal-balik individu dalam pemenuhan kebutuhan, baik sik-
material maupun psikis-spiritual harus berlandaskan sistem yang
disebutnya system of Abel,24 yaitu sistem sosial yang berdasarkan
asas persamaan (equity), keadilan (justice), kepemilikan, atau
persaudaraan agar terwujudnya masyarakat, menurutnya, yang
tanpa kelas. Ketiga, kemimpinan dalam masyarakat harus
didasarkan “kemurnian kepemimpinan” (purity of leadership),
yaitu kepemimpinan yang memiliki komitmen dan semangat untuk
melakukan perubahan dan peningkatan status masyarakat.25
22 Ali Syari’ati, On the Sociology of Islam, h. 119.
23 Lihat kembali catatan kaki no. 18.
24 Pemikiran Ali Syari’ati selalu bercirikan revolusioner dan membebaskan.
Karena keterpengaruhannya dengan tradisi intelektual yang radikal, seperti Kristen-
Kiri, dan sosiologi Perancis, terutama sosiologi dialektis. Oleh karena itu, ia selalu
melihat adanya pertentangan yang abadi (constant warfare) antara penindas dan
tertindas dengan meminjam simbol-simbol pertentangan Allah-syetan, Qabil-
Habil, dan semisalnya. According to the Islamic school of thought, the philosophy
of history is based on a certain kind of historical determinism. History represents
an unbroken ow of events that, like man himselft, is dominated by a dialectical
contradiction, a constant warfare between two hostile and contradictory elements
that began with the creation of humanity and has been waged at all places and
at all times, and the sum total of which constitutes history.” Ali Syari’ati, On the
Sociology of Islam, 97. Cetak miring dari saya (Wrd).
25 Ibid., h. 120.
19
BAB III
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL
A. Analisis Istilah al-Qur`ân1
Ungkapan yang digunakan oleh al-Qur`ân untuk menunjukkan
pengertian “manusia” dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama,
ungkapan yang berakar dari hamzah, nûn, dan sîn, yaitu insân, ins,
nâs, unâs, anâsî, dan insîy. Kedua, basyar. Ketiga, banî Âdam (anak-
anak Âdam) dan dzurriyat Âdam (keturunan Âdam). Ungkapan
lain, namun dalam lingkup yang lebih umum, adalah al-anâm dan
al-’âlamîn.2 Di sini akan dikemukakan telaah akar kata dan makna
kontekstualnya ketika digunakan dalam ayat-ayat al-Qur`ân. Hal ini
menjadi pentingnya untuk tidak hanya perbedaan-perbedaan antara
istilah-istilah tersebut dan tekanan makna yang diberikan al-Qur`ân,
tapi juga dapat mengungkap idealisasi al-Qur`ân tentang manusia.
1. Istilah al-insân. Telaah morfologis kata ini menunjukkan
adanya perbedaan keterangan para ahli bahasa Arab tentang asal
katanya. Sebagian ahli berpendapat bahwa kata tersebut berasal
dari kata insiyân, karena bentuk tashghîr3 dari kata tersebut adalah
unaisiyân. Pendapat ini menganggap bahwa insiyân berpola
if’ilân, sehingga berakar kata dari nasiya-yansâ (lupa). Pendapat
1 Uraian di sini sebagian besar merujuk kepada penelitian Abd Mu’in Salim,
Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`ân (Jakarta: Rajawali
Pers, 1994), h. 83 dst.
2 Lihat Dirk Bakker, Man in the Qur’an (Amsterdam: Drukerrij Holland
NV., 1965), h. 157; Nazwar Syamsu, Al-Qur`ân tentang al-Insan (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983), h. 12-13.
3 Tashghîr (pengecilan) adalah cara pembentukan kata dengan pola fu’ail,
fu’ai’il, dan fu’ai’îl dengan konotasi makna-makna: mengecilkan, merendahkan,
menyedikitkan, dan membesarkan. Lihat Muhammad al-Khudharî, Hâsyiyat al-
Khudharî (Semarang: Toha Putera, t.th.), juz II, h. 163.
20
ini diperkuat dengan perkataan Ibn ‘Abbâs bahwa manusia disebut
sebagai insân, karena ia melupakan janjinya kepada Tuhan untuk
mengabdi. Pendapat kedua menyatakan bahwa kata tersebut berakar
dari ins (tampaknya sesuatu dan jinak), karena kata insiyân dianggap
berpola ’liyân.
Berbeda dengan yang pertama, pendapat kedua menganggap
hamzah sebagai fâ` ’l.4 Al-Fayyûmî menyebut adanya pendapat
ketiga yang mengatakan bahwa kata tersebut berakar dari nâsa-
yanûsu (bergoncang).5
Ketiga pendapat tersebut akan dilihat dari dua sisi:
a. Dari sisi hubungan keterkaitan makna etimologis dan leksikal
ketiga kata tersebut dengan insân, kata nasiya dan ins
mempunyai kemungkinan relevansi makna dengan kondisi
manusia. Nasiya yang secara etimologis bermakna “melalaikan
atau meninggalkan sesuatu”6 dan secara leksikal bermakna
“melupakan, tidak mengingat”7 relevan dengan sifat manusia.
Pada Qs. Yâsîn 936/41: 78-79), ditemukan penggunaan kata
insân dihubungkan dengan sifat manusia yang melupakan
proses kejadiannya dari sperma. Dengan mengemukakan asal
kejadiannya, ayat tersebut mengingatkan akan janji manusia
kepada Tuhan berupa pengakuan tawhîd dalam rahim, seperti
terdapat dalam Qs. al-A’râf (7/396: 172) dan diperkuat dengan
perkataan Ibn ‘Abbâs sebagaimana telah dikemukakan. Di
4 Abû al-Fadhl Jamâl ad-Dîn ibn Mukarram ibn Manzhûr (selanjutnya disebut
Ibn Manzhûr), Lisân al-’Arab (Mesir: Nûr ats-Tsaqâfat al-Islâmiyyah, t.th.), juz
VII, h. 306-314; Husayn Yûsuf Mûsâ dan ‘Abd al-Fattâh as-Sa’dî, al-Ifshâh
Fiqh al-Lughah (Mesir: Dâr al-Fikr al-’Arabî, t.th.), juz II, h. 1337; Kamâl ad-Dîn
ad-Dumayrî, Hayât al-Hayawân al-Kubrâ (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz I, h. 33.
5 Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Alî al-Muqri` al-Fayyûmî (selanjutnya disebut
al-Fayyûmî), al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb asy-Syarh al-Kabîr li ar-Râ’î
(Beirut: Dâr al-Jîl, 1987), juz I, h. 24 dan juz II, h. 1311.
6 Abû al-Husayn Ahmad ibn Fâris (disebut Ibn Fâris), Mu’jam Maqâyîs al-
Lughah (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz V, h. 421.
7 Ibn Manzhûr, Lisân al-’Arab, juz XV, h. 322.
21
samping itu, kata ins yang bermakna “tampaknya sesuatu” dan
“jinak”8 relevan dengan sifat dan sik manusia. Makna pertama
ditemukan penggunaannya dalam al-Qur`ân dihadapkan dengan
kata jin atau jânn (jin/makhluk halus) yang secara etimologis
bermakna “tertutup”.9 Adanya pertentang makna etimologis
dari dua kata itu menunjukkan bahwa kata insân diambil dari
ins. Makna kedua mempunyai relevansi dengan kondisi psikis
manusia, seperti kesenangan, keramahan, dan mempunyai
pengetahuan. Hal ini terlihat dari kata kerja yang berbentuk
anisa-ya`nasu, anusa-ya`nusu, anasa-ya`nisu (ramah, suka) dan
kata ânasa-yu`nisu (menjadi jinak, merasa sesuatu, mendengar,
dan mengetahui).10 Bentuk terakhir ini dipergunakan dalam al-
Qur`ân dalam arti “melihat”. Dengan melihat relevansi makna
etimologis dan leksikal kata dengan kondisi manusia sendiri
dan penggunaan maknanya dalam al-Qur`ân, maka kata ins
dianggap lebih tepat dan relevan dibanding dengan kata nasiya
berdasarkan dua alasan. Pertama, intensitas penggunaan kata
ins dalam al-Qur`ân yang diperhadapkan dengan jin atau jânn
lebih banyak (17 kali).11 Kedua, alasan di atas didukung dengan
ketentuan bahwa penelusuran makna suatu kata bisa ditempuh
dengan pendekatan vertikal/asosiatif yang, antara lain, dengan
menghadapkannya dengan lawan kata (antonim).12
8 Ibn Fâris, Mu’jam, juz I, h. 145.
9 Ibn Manzhûr, Lisân al-’Arab, juz XVI, h. 244, al-Fayyûmî, al-Mishbâh,
h. 111-112; Ibrâhîm Unais et.al., al-Mu’jam al-Wasîth (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.),
jilid I, h. 140-141.
10 Louis Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughah wa al-A’lâm (Beirut: Dâr al-Masyriq,
1986), h. 19.
11 Muhammad Fu`âd ‘Abd al-Bâqî, al-Mujam al-Mufahras li Alfâzh al-
Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 179-180.
12 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Penerbit
Rake Sarasin, 1996), h. 163.
22
b. Dari segi gramatikal, pembentukan kata insân dari nasiya
dan nâsa yang berdasarkan metode isytiqâq akbar13 tidak
diterima sebagai metode pembentukan kata dalam bahasa Arab,
sedangkan kata insân dari ins yang dikenal dengan metode
isytiqâq umum atau tashrîf disepakati oleh para ulama sebagai
kaidah isytiqâq.14
Dengan demikian, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat
yang mengatakan bahawa kata insân berasal dari ins yang berakar
dari hamzah, nûn, dan sîn. Jika melihat bentuknya, kata insân
berpola ’lân, pola tak beraturan (simâ’î) yang semakna dengan
pola fa’lân, pola beraturan (qiyâsî) yang berkonotasi intensitas
(mubâlaghah, penyangatan arti).15 Jika pengertian ini dikaitkan
dengan makna etimologis kata ins, dapat dikatakan bahwa kata
insân mengandung konsep manusia sebagai makhluk yang memiliki
sifat keramahan dan kemampuan mengetahui yang sangat tinggi.
Dengan ungkapan lain, manusia sebagai makhluk sosial dan kultural
(yang berbudaya).16 Konsep manusia sebagai makhluk sosial—
meminjam istilah sosiologi—dalam pengertian keberadaannya yang
tidak bisa melepaskan diri dengan interaksi orang lain ditegaskan
oleh al-Qur`ân, antara lain, dengan pernyataan bahwa kejadian
manusia dalam berbagai suku dan bangsa dimaksudkan agar mereka
membentuk pergaulan hidup bersama (Qs. al-Hujurât [49/106];
13), saling membantu dalam kebaikan (Qs. al-Mâ`idah [5/113]:
2), dan mengingatkan bahwa kebahagiaan manusia terkait dengan
hubungannya dengan sesamanya (Qs. Âli ‘Imrân [3/89]: 112).
13 Isytiqâq akbar adalah pembentukan suatu kata dari kata lain dengan
didasarkan semata atas kesamaan makhraj hurufnya. Lihat Mushthafâ al-
Ghalâyainî, Jâmi’ ad-durûs al-’Arabiyyah (Beirut: al-Maktabat al-’Ashriyyah,
1987), juz I, h. 208.
14 Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politk dalam al-
Qur`ân (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), h. 83.
15 Mushthafâ al-Ghalâyainî, Jâmi’, h. 187.
16 Abd Muin Salim, Fiqh Siyasah, h. 84.
23
Sedangkan, konsep manusia sebagai makhluk kultural tampak
dari pernyataan al-Qur`ân bahwa manusia dilengkapi dengan
sarana pengetahuan berupa pendengaran, penglihatan, dan budi
sehingga dapat memperoleh pengetahuan meskipun dilahirkan tanpa
pengetahuan sedikit pun juga (Qs. an-Nahl [16/70]: 78).17
2. al-Basyar. Kata ini berasal dari bâ`, syîn, dan râ` yang
secara etimologis, menurut keterangan Ibn Fâris, bermakna pokok
“tampaknya sesuatu dengan baik dan indah”.18 Dari makna ini,
terbentuk kata kerja basyara dengan variasi makna (gembira,
menggembirakan, menguliti,19 dan mengurusi atau memperhatikan
sesuatu [basyara/bâsyara al-amr]).20 Dari akar kata itu pula, muncul
kata basyarah (kulit). Manusia disebut dengan basyar, karena
kulitnya tampak lebih jelas dibandingkan dengan kulit binatang
yang tertutup oleh bulu.21
Dalam al-Qur`ân, intensitas penggunaan kata yang berakar bâ,
syîn, dan râ` mencapai 123 kali yang pada umumnya bermakna
“kegembiraan”. Hanya 37 kali (36 dalam bentuk kata tunggal
dan sekali dalam bentuk mutsannâ) bermakna manusia dan dua
kali dalam pengertian hubungan seksual.22 Menurut ar-Râghib,
penggunaan kata basyar dalam arti manusia dalam al-Qur`ân
menunjukkan pengertian khusus, yaitu tubuh dan wujud manusia
secara kongkret.23 Pengertian ini menekankan adanya persamaan
secara lahiriah semua manusia sehingga Rasulullah diperintahkan
oleh Allah swt. untuk menyampaikan:
17 Ibid., h. 84-85.
18 Ibn Fâris, Mu’jam, juz I, h. 251.
19 Ibrâhîm Unais, al-Mu’jam al-Wasîth, juz I, h. 57-58.
20 Ibid.
21 ar-Râghib al-Ashhânî (disebut ar-Râghib), Mufradât Alfâzh al-Qur`ân
(Beirut: Dâr asy-Syâmiyyah dan Damaskus: Dâr al-Qalam, 19920, h. 124; Abd
Muin Salim, Fiqh Siyasah, h. 84-85.
22 Muhammad Fu`âd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam, h. 119-120.
23 Ar-Râgib, Mufradât, h. 124.
24

(Katakanlah: Aku hanyalah seorang manusia [basyar] yang
diberi wahyu)
Beberapa ayat lain yang dijadikan sumber untuk mengidentikasi
kata basyar dalam al-Qur`ân menunjukkan aspek kedewasaan
manusia berupa kemampuannya melakukan reproduksi seksual untuk
meneruskan generasi dan kemampuannya memikul tanggung jawab
yang dibebankan. Kemampuan pertama, antara lain, dinyatakan
dalam Qs, ar-Rûm (30/84): 20:





(Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Ia ciptakan kalian
dari tanah. Kemudian, kalian menjadi manusia [basyar] yang
bertebaran)
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata tantasyirûn
(bertebaran) dalam ayat tersebut. Sebagian ulama menafsirkannya
dengan kemampuan manusia untuk membenahi kehidupan ekonomi
dan membangun peradaban. Di antara yang berpendapat demikian
adalah Ibn Katsîr,24 Ibn ‘Athiyyah,25 al-Alûsî,26 dan Muhammad
Mahmûd Hijâzî.27 Sebagian menafsirkannya dengan kemampuan
mengembangkan keturunan melalui hubungan seksual.28 Pendapat
24 Abû al-Fidâ` Ismâ’îl Ibn Katsîr (disebut Ibn Katsîr), Tafsîr Ibn Katsîr
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), juz III, h. 430.
25 Ibn ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah,
1993), juz IV, h. 333.
26 Syihâb ad-Dîn Sayyid Mahmûd al-Alûsî (disebut al-Alûsî), h al-Ma’ânî
fî Tafsîr al-Qur`ân al-’Azhîm wa as-Sab’ al-Matsânî (Beirut: Dâr al-Kutub al-
’Ilmiyyah, 1994), juz XI, h. 31.
27 Muhammad Mahmûd Hijâzî, at-Tafsîr al-Wâdhih (Beriut: Dâr al-Jîl, 1993),
juz III, h. 21.
28 Lihat, misalnya, az-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâ`iq at-Tanzîl
25
terakhir ini tampak lebih kuat jika ayat tersebut dilihat dengan
pendekatan munâsabat al-âyât dengan mencermati hubungan
sinkronik ayat. Namun, tanpa menakan pendapat pertama, kedua
pendapat tersebut menyatakan bahwa basyar menunjukkan kepada
aspek kedewasaan manusia karena baik kemampuannya membenahi
kehidupan ekonomi dan peradaban maupun meneruskan keturunan
yang hanya mampu dilakukan oleh manusia yang mencapai tingkat
kedewasaan. 29
Di samping kemampuan reproduksi seksual dan kedewasaan
berupa kemampuan memikul tanggung jawab yang termuat dalam
kata basyar diungkapkan, antara lain, dalam Qs. al-Hijr (15/54): 28:

 








Dan [ingatlah], ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang
manusia dari tanah liat kering [yang berasal] dari lumpur
hitam yang diberi bentuk.
Tugas kekhalifahan diungkapkan dalam ayat tersebut dengan
kata basyar. Dari uraian yang telah dikemukakan, dapat diketahui
adanya perbedaan yang mendasar dimensi yang ditunjukkan oleh
kata insân dan basyar. Kata pertama berkenaan dengan dimensi
kemasyarakatan dan keilmuan, atau lebih bermuatan sosiologis
dan kultural sesuai dengan sebutan insân bagi manusia, karena
ketergantungannya secara kodrati dengan interaksi sosial, yang
dalam ungkapan Ibn Khaldûn, al-insân madaniyyun bi ath-thab’
(manusia dari segi naturenya adalah makhluk yang berbudaya).30
wa Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh at-Ta`wîl (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz III, h.
218; Yayasan Penyelengara Penerjemah/Penafsir al-Qur`ân, al-Qur`ân dan
terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI., 1993), h. 644.
29 Abd Muin Salim, Fiqh Siyasah, h. 90.
30 Ar-Râghib, Mufradât, h. 94.
26
Kata yang kedua berkaitan dengan dimesi antropologis manusia
dengan realitas sik dan kedewasaan untuk reproduksi seksual dan
memikul tanggung jawab.
3. Banî Âdam dan Dzurriyat Âdam. Berbeda dengan dua istilah
sebelumnya, dua istilah ini merujuk kepada manusia karena dikaitkan
dengan Âdam, yaitu nama manusia pertama yang diciptakan oleh
Allah dan mendapat penghormatan dari makhluk lain (Qs. al-
Baqarah [2/87]: 34). Kata banû atau banî yang berasal dari bâ`,
nûn, dan wâw bermakna “sesuatu yang lahir dari yang lain”31 dan
kata dzurriyyah yang berasal dari dzâl dan ` ganda bermakna
asal “kehalusan” dan “tersebar”.32 Jika dikaitkan dengan Âdam,
kedua kata ini memberi kesan kesejarahan dalam konsep manusia
dan bahwa manusia berasal dari satu asal. Secara sendiri-sendiri,
banû Âdam memberi dasar kesedarahan bagi semua manusia, dan
dzurriyyat Âdam mengandung adanya: (1) keragaman manusia yang
tersebar dalam berbagai bangsa dan warna kulit,33 dan (2) konsep
manusia sebagai makhluk yang secara psikis memiliki kehalusan
budi dan ketajaman pikiran untuk mencapai tingkat peradaban yang
tinggi sebagai makhluk kultural.
B. Sifat Kodrati Manusia
Al-Qur`ân banyak mengungkapkan sifat-sifat manusia, baik
berupa pernyataan yang memuliakannya maupun menunjukkan
kelemahannya. Namun, sebagiannya lebih tepat disebut sebagai
potensi atau kecenderungan yang bersifat non-kodrati, yang melekat
sebagai karakter permanen, seperti kemungkinan potensi manusia
untuk menjadi orang yang amat aniaya dan mengingkari nikmat
(Qs. Ibrâhîm [14/72]: 34) dan banyak membantah atau mempunyai
kecenderungan kuat untuk berbeda pendapat (Qs. al-Khaf [18/69]:
31 Ibid., h. 147, Ibn Fâris, Mu’jam, juz I, h. 203.
32 Ibn Fâris, Mu’jam, juz II, h. 243; ar-Râghib, Mufradât, h. 326.
33 Abd Muin Salim, Fiqh Siyasah, h. 91-92.
27
54). Oleh karena itu, untuk menelusuri sifat yang kodrati pada
manusia, kita berpatokan pada term-term yang digunakan al-Qur`ân
yang berkaitan dengan penciptaan manusia, yaitu kata kerja yang
berakar dari khâ`, lâm, dan qâf. Untuk kajian sosiologis yang penulis
kemukakan, ayat-ayat yang relevan yang mengungkapkan sifat-sifat
yang kodrati pada manusia adalah:
1. Qs. al-’Alaq (95/1): 2

  


(Dia telah menciptakan manusia sebagai ‘alaq)
2. Qs. at-Tîn (96/28): 4




(Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dengan kualitas
yang terbaik)
3. Qs. an-Nisâ` (4/9): 28



(Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah)
Berdasarkan ayat-ayat yang dikemukakan, sifat-sifat yang
kodrati pada manusia dalam al-Qur`ân dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Sifat Ketergantungan pada Orang Lain
Ayat yang berkenaan dengan hal ini adalah Qs. al-’Alaq (95/1):
2 yang telah dikemukakan. Konteks pembicaraan ayat tersebut
berkenaan dengan penciptaan manusia. Para ulama umumnya
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata ‘alaq dalam ayat
tersebut adalah darah beku atau segumpal darah yang merupakan
salah satu perkembangan janin dalam kandungan.34 Pendapat yang
34 Lihat, misalnya, Ibn Katsîr, Tafsîr ibn Katsîr, juz IV, h. 528-529; ath-
28
dikemukakan oleh sebagian besar penafsir ini bertolak dari model
penjelasan dengan ayat-ayat lain, yaitu Qs. al-Qiyâmah (75/31):
38, al-Mu`min (40/60): 67, al-Mu`minûn (23/74): 14, dan al-Hajj
(2/103): 5 yang menyebutkan kata ‘alaqah, bentuk tunggal dari
‘alaq, serta didasarkan kepada hadits Rasulullah saw.35
Dengan berdasarkan teori embriologi, Maurice Bucaille menolak
penafsiran tersebut dengan mengatakan bahwa apa yang disebut oleh
al-Qur`ân dengan kata ‘alaq sebenarnya berada pada implantasi,
yaitu menempelnya zygote di dinding uterus. Ia mengatakan:
Something which clings is the translation of the word ‘alaq. It is
original meaning of the word. A meaning derived from it, ‘blood
clot’, often gures in translation; it is a mistake against which
one should guard; man has never passed through the stage of
being a ‘a blood clot’.36
Diskusi ini menjadi menarik, karena dalam konteks studi ulûm
al-Qur`ân, penggunaan data atau temuan ilmu pengetahuan adalah
hal yang diperdebatkan untuk dijadikan dasar dalam menafsirkan
ayat. Apalagi, di sini terjadi pertentangan antara tafsîr‘ilmî dan
tafsîr bi ar-riwâyah. Jika bertolak dari otoritas salaf atau penafsir
terdahulu, pendapat bahwa kata ‘alaq adalah segumpal darah adalah
tafsîr yang tak terbantah. Namun, uraian berikut menunjukkan bahwa
pendapat Maurice Bucaille adalah lebih logis atas dasar analisis
kebahasaan,37 yang sebenarnya juga menjadi titik-tolak penafsir
Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl Âyi al-Qur`ân (Mesir: Mushthafâ al-Halabî
wa Awlâdih, 1968), juz XXX, h. 251; Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text,
Translation, and Commentary (Beirut: Dâr al-’Arabiyyah, 1968), h. 1761.
35 Lihat, misalnya, Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ismâ’îl ibn Ibrâhîm ibn
al-Mughîrah ibn Bardizbah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr al-Fikr,
1995), juz II, h. 244.
36 Maurice Bucaille, The Bible, the Qur’an, and Science, terj. Alastair D.
Pannel dan penulisnya sendiri dari bahasa Perancis La Bible, La Coran, et la
Science (Washington: American Trust Publication, 1979), h. 204.
37 M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur`ân (Bandung: Mizan, 1995),
h. 59-60.
29
terdahulu, hanya tidak dilakukan penelaahan yang cermat melalui
penelusuran akar kata. Kata ‘alaq tidak bermakna tunggal. Struktur
akar kata yang terdiri dari ‘ayn, lâm, dan qâf mempunyai makna
pokok “bergantungnya sesuatu pada sesuatu yang lain”.38 Dari akar
kata tersebut, terbentuklah kata kerja ‘alaqa-ya’luqu dan ‘aliqa-
ya’laqu dengan perkembangan makna yang berbeda-beda sesuai
dengan konteks penggunaannya. Adapun ‘alaq sebagai kata benda
memiliki variasi makna, yaitu segala sesuatu yang digantung, tanah
yang melengket di tangan, pohon yang setinggi binatang ternak,
tambahan kain, persimpangan jalan, dan darah beku.39
Analisis kebahasaan di atas sebenarnya menyimpulkan bahwa
kata ‘alaq mempunyai pengertian “bergantung” secara sik. Namun,
ayat tersebut juga menunjukkan ketergantungan manusia kepada
orang lain tidak secara sik, melainkan secara sosial. Kesimpulan
ini dibuktikan dengan argumentasi berikut;
a. Argumentasi tekstual denagn ayat lain yang menggunakan uslûb
kalimat yang sama, yaitu dalam bentuk frase min ‘ajal pada Qs.
al-Anbîyâ` (21/73): 37 dan min dha’f pada pada Qs. ar-Rûm
(30/84): 54. Struktur frase yang terdiri dari min dan mashdar
tersebut menunjukkan intensitas sifat.40 Hal ini terbukti dari
ayat lain sebagai penjelas yang mengungkapkan dengan kata
‘ajûlan (sangat tergesa-gesa) pada Qs. al-Isrâ` (17/50): 11 dan
kata dha’îfan (sangat lemah) pada Qs. an-Nisâ` (4/92): 28 dalam
bentuk shîghat mubâlaghah.41 Jika kaidah bahasa ini diterapkan,
38 Ibn Fâris, Mu’jam, juz IV, h. 125.
39 Ibrâhîm Unais et. al., al-Mu’jam al-Wasîth, juz II, h. 622; ar-Râghib,
Mufradât, h. 579-580; al-Fayyûmî, al-Mishbâh, h. 425-426; Ibn Manzhûr, Lisân
al-’Arab, juz XII, h. 133, Husayn Yûsuf Mûsâ dan ‘Abd al-Fattâh as-Sa’dî, al-
Ifshâh, juz II, h. 861, 1003, 1007, 1126, 1259; Louis Ma’luf, al-Munjid, h. 526.
40 Al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân (T.tp.: tp., t.th.), juz XI, h.
288-289.
41 Shîgat mubâlaghah adalah kata yang menunjukkan intensitas sifat pada
ism fâ’il dengan pola-pola tertentu, seperti fa’’âl, fa’ûl, fa’îl, dan sebagainya.
30
frase min ‘alaq dalam ayat yang sedang dibahas memberikan
pengertian bahwa manusia tidak hanya “tergantung” secara sik
dalam rahim ibunya, tetapi juga secara psikis sangat tergantung
kepada selain dirinya. Dengan ungkapan lain, secara kodrati
manusia memiliki sifat ketergantungan kepada lingkungan dan
masyarakat untuk kelangsungan hidupnya.
b. Argumentasi yang didasari oleh hubungan sinkronik antarayat,
atau disebut di sini sebagai pendekatan sistematis. Dalam hal
ini, ayat sebelumnya (ayat pertama) selain memuat perintah
untuk membaca, juga memperkenalkan Tuhan sebagai pencipta
dengan ungkapan rabbika alladzî khalaqa. Ayat yang sedang
dibahas berkedudukan sebagai penjelasan atau takhshîsh dari
ungkapan tersebut, sehingga dapat disusun pernyataan tentang
siapa rabbika, yaitu alladzî khalaqa al-insân min ‘alaq.42
Kedua, ayat sesudahnya (ayat ketiga) selain berisi perintah
untuk membaca, juga berisi penjelasan baru yang tidak disebut
sebelumnya, yaitu memperkenalkan Tuhan dengan ungkapan
akram. Ungkapan ini merupakan inti yang mendasari surat al-
’Alaq.43 Dengan demikian, kata rabb dalam ayat pertama dan
kata al-akram dalam ayat ketiga dianggap sebagai istilah kunci
(key-term) yang harus ditelusuri.
Kata rabb yang berakar dari râ` dan ` ganda memiliki arti
“memperbaiki dan memelihara sesuatu”, “melazimi dan memelihara
sesuatu”, dan “menghimpun sesuatu untuk sesuatu yang lain”. Dari
makna pertama, kata rabb di atas berarti “pemilik, pencipta, dan
42 Abd Muin Salim, Fiqh Siyasah, h. 97.
43 Hal ini dapat dilihat dari (1) bahwa adanya pembangkangan perintah Allah
oleh manusia (ayat 8-19) disebabkan karena ia merasa cukup dan kehilangan
perasaan ketergantungannya kepada sifat pemurah Tuhan (ayat 6-7), dan (2)
dari segi sejarah rangkaian ayat itu turun berkaitan dengan pelarangan Abû Jahl
terhadap Rasul saw. untuk mengerjakan shalat karena perasaan sombongnya
sebagai elit ekonomi. Lihat Yayasan penerjemah/penafsir al-Qur`ân, Al-Qur`ân
dan Terjemahnya, h. 107-108; Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul (Bandung:
Penerbit Diponegoro, 1990), h. 600.
31
yang memberi kebaikan kepada sesuatu”. Tuhan disebut dengan
rabb, karena Dialah yang memberi kebaikan kepada makhluk-
Nya.44 Dari sini muncul istilah rubûbiyyah Allah yang, menurut
Muhammad Rasyîd Ridhâ`, mencakup dua hal, yaitu dalam bentuk
memberikan kekuatan sik, psikis, dan intelektual dan dalam bentuk
pengajaran dan agama.45 Hal ini berarti bahwa Tuhan memelihara
manusia melalui dua cara, yaitu dengan perantaraan hukum alam
(al-hukm ath-thabî’î) dan hukum agama (al-hukm asy-syar’î).
Berdasarkan adanya hubungan sinkronik dua ayat tersebut, dapat
disimpulkan bahwa secara kodrati manusia berada dan bergantung
kepada rubûbiyyah Tuhan.46 Kata al-akram adalah bentuk ism tafdhîl
(bentuk superlatif) yang berakar kata dari kâf, râ`, dan mîm dan
bermakna “memberikan kemudahan dan bersifat dermawan” dan
“mulia”.47 Menurut ar-Râghib, jika dikaitkan dengan sifat Tuhan,
istilah ini memuat pengertian adanya nikmat dan karunia-Nya yang
sangat jelas dan besar. Jika dikaitkan dengan manusia, istilah tersebut
menunjukkan sifat terpuji manusia yang merupakan bagian dari
karakternya.48 Kedua pengertian ini semakin jelas dengan adanya
beberapa ayat yang menghubungkan istilah tersebut dengan kondisi
ekonomi dan tuntutan untuk bersifat pemurah.49 Sedangkan, jika
dikaitkan dengan bentuk superlatif kata tersebut, pengertian pertama
memunculkan konsep Tuhan sebagai “Yang Maha Pemurah”.
44 Abd Muin Salim, Fiqh Siyasah, h. 97.
45 Muhammad Rasyîd Ridhâ`, Tafsîr al-Qur`ân al-Hakîm (al-Manâr) (Beirut:
Dâr al-Fikr, t.th.), juz I, h. 51. Bandingkan dengan Kenneth Cragg, The Mind of
the Qur’an (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973), h. 84.
46 Abd Muin Salim, Fiqh Siyasah, h. 98.
47 Louis Ma’louf, al-Munjid, h. 98.
48 Ar-Râghib, Mufradât, h. 707.
49 Lihat, misalnya, Qs. an-Naml (27/48): 40 dan al-Fajr (89/10): 15-17. Ayat
terakhir disebut ini berkaitan dengan persepsi manusia tentang kemuliaan dan
tuntutan memuliakan anak yatim.
32
Sifat tersebut, menurut Abdullah Yusuf Ali50 dan Sayyid Quthb,51
seperti terkandung dalam ayat, dimanifestasikan dalam beberapa
bentuk: pertama, penciptaan manusia; kedua, memberikan potensi
intelektual, moral, dan spiritual, serta memberikan alat inderawi
yang secara aktif dapat digunakan untuk menyerap pengetahuan
baru. Dari sini, dapat dipahami bahwa sejak awal kejadian, manusia
memiliki sifat ketergantungan kepada sifat pemurah (al-karam)
Allah sebagai bagian dari perwujudan rubûbiyyah-Nya.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, analisis bahasa
terhadap lafal, argumentasi tekstual yang terfokus pada uslûb
kalimat, dan pendekatan sistematis dengan mencermati kedudukan
ayat telah membuktikan bahwa secara kodrati manusia memiliki sifat
ketergantungan kepada selain dirinya, lingkungan, dan masyarakat.
Di sini, manusia merupakan makhluk sosial yang bergantung kepada
orang lain.52 Kesimpulan tentang sifat ketergantungan sifat manusia
tersebut didukung oleh Qs. an-Nisâ` (4/92): 28, sebagaimana telah
dikemukakan, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam
keadaan lemah, sehingga bergantung dan memerlukan bantuan
dari orang lain. Para ulama pada umumnya mengaitkan kelemahan
manusia dalam ayat tersebut dengan ketidakmampuan menahan
dorongan seksual, 53 menahan dari tarikan lingkungan yang jelek,
jika ayat tersebut dilihat dengan pendekatan sistematis. Namun, ar-
Râghib menafsirkan kelemahan tersebut dengan ketidakmampuan
manusia dalam memenuhi kebutuhan yang beraneka-ragam.54 Hal
ini berimplikasi pada pemahaman bahwa makna kelemahan tersebut
50 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran, catatan kaki nomor 6205.
51 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-’Ilm dan Dâr asy-
Syurûq, t.th.), juz VI, h. 3938-3939.
52 Abd Muin Salim, Fiqh Siyasah, h. 99.
53 Lihat, misalnya, Ibn Katsîr, Tafsîr ibn Katsîr, juz I, h. 480; ath-Thabarî,
Jâmi’ al-Bayân, juz V, h. 29; Ibn ‘Athiyyah, al-Muharrar, juz II, h. 41, az-
Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, juz I, h. 521.
54 Ar-Râghib, Mufradât, h. 508.
33
tidak hanya bersifat psikis, melainkan juga berkaitan dengan hal-
hal yang bersifat sik, yaitu kebutuhan ekonomi yang memerlukan
orang lain.
Argumentasi tekstual dapat pula dikemukakan di sini. Al-
Qurthubî55 menempatkan frase min dha’n dalam Qs. ar-Rûm
(30/84): 54 sebagai penjelasan dari kata dha’îfan dalam ayat yang
dibahas. Ungkapan pertama terdapat dalam ayat yang berbicara
tentang fase-fase perkembangan manusia dan berisi informasi
tentang dua kelemahan manusia, yaitu (1) kelemahan manusia
ketika berada pada fase pre-natal (sebelum lahir) dalam kandungan
dan ketika masih bayi (pasca-natal), (2) kelemahan manusia ketika
berada pada usia lanjut.
Menurut al-Khalîl, istilah dha’f (dengan harakat fathah dhâd)
berkaitan dengan sik manusia, sedangkan istilah dhu’f (dengan
harakat dhammah) menunjukkan kelemahan intelektual.56 Jika
pendapat al-Khalîl yang berkenaan dengan Qs. ar-Rûm: 54
dihubungkan dengan pendapat ar-Râghib yang berkenaan dengan Qs.
an-Nisâ`: 28, dapat dipahami bahwa manusia memiliki kelemahan,
baik dari segi sik dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi
maupun psikis, sehingga bergantung kepada masyarakat sekitarnya.57
Adapun ketergantungan manusia, sebagaimana terkandung dalam
Qs. ar-Rûm: 54, dapat dipahami karena tidak ada manusia yang
mampu berdiri sendiri tanpa orang lain pada kedua fase tersebut.
55 Al-Qurthubî, al-Jâmi’, juz XV, h. 288-289.
56 Ar-Râghib, Mufradât, h. 507.
57 Peranan masyarakat dalam pembentukan pribadi anggotanya dari segi
psikis-mental, antara lain, terwujud dalam bentuk pelaksanaan amr ma’rûf dan
nahy munkar oleh kelompok yang profesional dalam bidangnya. Sedangkan,
pemenuhan masyarakat akan kebutuhan anggotanya dari segi sik-material,
antara lain, teraplikasi dalam bentuk pembagian kerja. Lihat, misalnya, Qs. Âli
‘Imrân (3/89): 104 dan az-Zukhruf (43/62): 32.
34
2. Sifat Keutamaan
Ayat yang relevan dengan hal ini adalah Qs. at-Tîn (96/28):
4 yang telah dikemukakan. Sifat keutamaan manusia dalam ayat
tersebut diungkapkan dengan istilah kunci taqwîm. Para ulama
masih berbeda pendapat tentang maksud istilah tersebut.58 Oleh
karena itu, penelusuran lebih jauh terhadap makna istilah tersebut
sangat penting dilakukan.
Kata taqwîm adalah mashdar (verbal noun) dari kata kerja
qawwama yang bermakna “meluruskan sesuatu, membudayakan,
dan memberi nilai”.59 Ar-Râghib mengartikannya dengan tatsqîf
(membudayakan) yang menunjukkan keistimewaan manusia
dibanding hewan berupa akal, pemahaman, dan postur tubuh yang
tegak lurus, sehingga manusia mampu memanfaatkan segala potensi
alam.60 Bertolak dari keterangan ar-Râghib ini, keutamaan manusia
tidak hanya menyangkut sik yang dianggap lebih menguntungkan
daripada makhluk lainnya, tetapi juga menyangkut kehidupan ilmiah.
Keutamaan manusia dapat ditelusuri melalui Qs. al-Isrâ (17/50):
70 berikut:

 









(Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Âdam,
Kami angkut mereka di darat dan di laut, Kami beri mereka
58 Yayasan penerjemah/penafsir al-Qur`ân (al-Qur`ân dan Terjemahnya, h.
1076) mengartikannya dengan “bentuk” yang terkait dengan sik. Sedangkan, Ibn
Katsîr (juz III, h. 52, juz IV, h. 528) dan Mauhammad Mahmûd Hijâzî (juz XXX,
h. 879) mengaitkannya dengan rupa, postur tubuh yang tegak lurus, keseimbangan
anggota tubuh, serta kemampuan intelektual untuk memanfaatkan potensi alam,
baik tumbuhan maupun hewan.
59 Ibn Fâris, Mu’jam, juz V, h. 43, Ibn Manzhûr, Lisân al-’Arab, juz XV, h.
398, al-Fayyûmî, al-Mishbâh, h. 520, Louis Ma’luf, al-Munjid, h. 664, Ibrâhîm
Unais et.al., al-Mu’jam al-Wasîth, juz II, h. 767.
60 Ar-Râghib, Mufradât, h. 693.
35
rezeki dari yang baik-baik, serta Kami berikan mereka kelebihan
di antara kebanyakan yang Kami ciptakan).
Secara eksplisit, ayat tersebut mengungkapkan keutamaan
manusia berupa kemampuan membuat alat transportasi di darat
dan di laut dan dijadikannya segala yang baik sebagai rezeki.
Keutamaan manusia yang lebih esensial ditemukan jika
kita menelusuri ayat-ayat yang berkaitan dengan cerira Âdam
dan kemuliannya dibanding malaikat dan Iblis, terutama yang
berhubungan dengan persepsi tentang kemuliaan. Persepsi tersebut
muncul ketika adanya perintah Allah kepada malaikat dan Iblis
untuk sujud kepada Âdam. Dalam ayat-ayat sebelumnya, yaitu Qs.
al-Isrâ` (17/50): 61-62 didukung oleh beberapa ayat lain61 dinyatakan
bahwa keengganan Iblis untuk sujud kepada Âdam, karena ia (Iblis)
dijadikan dari api yang dianggapnya lebih mulia dibandingkan tanah
sebagai bahan penciptaan Âdam. Hal ini membuktikan bahwa
persepsi Iblis tentang kemuliaan terletak pada asal kejadian secara
sik, pada ada faktor-faktor esensial yang menentukan kemuliaan
Âdam. Faktor tersebut berkaitan dengan alasan adanya kewajiban
sujud kepada Âdam tersebut yang, antara lain, disebutkan dalam
Qs. Shâd (38/38): 72 dan Qs. al-Hijr (15/54): 29 berikut:




(Maka jika Aku sempurnakan (pencipataan)nya dan Aku tiupkan
kepadanya dari ruh-Ku, sujudlah kepadanya).
Ayat tersebut menyatakan bahwa perintah sujud kepada Âdam
berkaitan dengan penyempurnaan kejadiannya dan peniupan roh ke
dalam dirinya. Dalam Qs. al-Baqarah (2/87): 31-34, perintah sujud
tersebut disampaikan setelah Âdam diberikan keunggulan berupa
pengetahuan tentang hal-hal yang tidak diketahui oleh malaikat.
Dengan demikian, alasan perintah sujud itu berkaitan dengan
61 Qs. Shâd (38/38): 76, al-A’râf (7/39): 12, dan al-Hijr (15/54): 33.
36
penyempurnaan kejadian, peniupan roh, dan pengetahuan yang
dimilikinya. Dengan keutamaan itu, manusia menjadi makhluk yang
berbudaya dan berpikir dengan berkreasi menghasilkan produk-
produk budaya dan mengembangkan pengetahuan.62
Jika ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat kodrati
manusia dicermati dari sudut kronologi turunnya, tampak adanya
perkembangan informasi secara bertahap dan rasional. Penuturan
al-Qur`ân dimulai dengan memperkenalkan manusia sebagai
makhluk yang memiliki sifat ketergantungan kepada Tuhannya.
Pada tahap berikutnya, al-Qur`ân memperkenalkan manusia sebagai
makhluk yang memiliki keutamaan berupa kemampuan intelektual
dan mengembangkan kreasi budaya. Akhirnya, manusia juga
mempunyai sisi kelemahan dalam menghadapi segala godaan yang
mengharuskannya kembali kepada tarikan ketuhanan,63 dan dalam
pemenuhan kebutuhannya yang mengharuskannya berinteraksi
sosial secara positif. []
62 Abd Muin Salim, Fiqh Siyasah, h. 103.
63 Ibid., h. 108.
37
BAB IV
MASYAT IDEAL: PERSPEKTIF AL-QUR`ÂN
A. Analisis Istilah al-Qur`ān1
Ungkapan-ungkapan yang digunakan al-Qur`ân untuk menunjuk
pengertian kelompok manusia adalah ummah, qawm, sya’b, qubîlah,
rqah, dan thâ’ifah.
Kata ummah (plural: umam) yang berasal dari akar kata hamzah
dan mîm ganda secara etimologis bermakna dasar “asal, tempat
kembali, kelompok, agama, postur tubuh, masa dan tujuan”.2
Secara leksikal (kamus), struktur akar kata ini bermakna “menuju,
bertumpu, mendahului, atau meneladani”.3 Dari kata tersebut,
muncul kata umam (ibu) dan imâm (pemimpin) di mana terdapat
hubungan makna yang tampak karena keduanya menjadi teladan
dan tumpuan pandangan masyarakat.4 Kata ummah mengandung
pengertian “kelompok manusia yang berhimpun karena didorong
oleh ikatan-ikatan: (a) persamaan sifat, kepentingan, dan cita-cita, (b)
1 Telaah terhadap istilah-istilah ini telah banyak dilakukan, seperti penjelasan
Ali Syari’ati dalam al-Ummah wa al-Imamah dan Abdullah Karim, “Tanggung-
Jawab Kolektif Manusia dalam al-Qur`ân”, tesis S2 di Program Pascasarjana
IAIN Alauddin, Makasar, tidak diterbitkan. Dengan beberapa penyempurnaan,
uraian yang dikemukakan di sini lebih banyak merujuk ke sumber yang disebut
terakhir ini.
2 Ibn Fâris ibn Zakariyyâ’, Mu’jam Maqâyis al-Lughah (Mesir: Mushthafâ
al-Bâbî al-Halabî wa Syirkah, 1972), juz I, h. 21.
3 Al-Fayyûmî, al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb asy-Syarh al-Kabîr li ar-Râ’i
(Kairo. Mushthafâ al-Bâbî al-Halabî, t.th.), h. 23, Louis Ma’lof, al-Munjid  al-
Lughah wa al-A’lâm (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986), h. 17.
4 Ibid, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`ân (Bandung: Mizan, 1996),
h. 325.
38
agama, (c) wilayah tertentu, dan (d) waktu tertentu”.5 Kata ummah
mengandung pengertian “kelompok manusia yang berhimpun karena
didorong oleh ikatan-ikatan: (1) persamaan sifat, kepentingan, dan
cita-cita, (2) agama, (3) wilayah tertentu, dan (4) waktu tertentu.6
Dalam penggunaan al-Qur`ân, kata ummah bermakna “setiap
kelompok manusia yang berhimpun karena ikatan agama, tempat,
atau waktu dengan terpaksa atau suka rela”.7 Telaah terhadap arti
akar kata, sebagaimana dikemukakan, menunjukkan bahwa dalam
kata tersebut terkandung pula makna “gerak, tujuan, dan ketetapan
kesadaran”, 8 karena kata amma mencakup pula makna taqaddam
(kemajuan) sehingga ada unsur ikhtiar, gerak, kemajuan, dan tujuan.9
Kata ummah memiliki pengertian, seperti seorang yang berjalan ke
suatu arah, mengandung unsur gerak dinamis, arah, waktu, jalan
yang jelas, gaya, dan cara hidup.10
Kata ummah digunakan dalam Al-Qur`ân sebanyak 64 kali;
51 kali dalam bentuk tunggal dan 13 kali dalam bentuk jamak.11
Dari penggunaan tersebut, selain menunjukkan pengertian sebagai
kelompok manusia, ummah juga bermakna: agama,12 masa,13 dan
5 Ibrâhîm Unais et.al., al-Mu’jam al-Wasîth (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), jilid
I, h. 27.
6 Ibrâhîm Unais et.al., al-Mu’jam al-Wasîth (T.tp.: Dâr al-Fikr, t.th.). jilid
I, h. 27.
7 Ar-Râghib al-Ishfahânî, Mufradât Alfâzh al-ur’ân (Beirut: Dâr asy-
Syâmiyyah dan Damaskus Dâr al-Qalam, 1992), h. 86. Lihat juga Abdullah
Karim, “Tanggung-jawab Kolektif Manusia dalam al-Qur`ân”, tesis S2 di Program
Pascasarjana IAIN Alauddin, Makasar, tidak diterbitkan, h. 100.
8 Louis Ma’lof, al-Munjid, h. 17.
9 Ali Syari’ati, al-Ummah wa al-Imâmah, terj. Muhammad Faishol
Hasanuddin, (Bandar Lampung dan Jakarta: Penerbit YAPI, 1990), h. 36.
10 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`ân (Bandung: Mizan, 1996), h. 325.
11 Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-
Qur’ân (Beirut: Dâr L-Fikr, 1986), h. 80.
12 Lihat, misalnya, Qs. az-Zukhruf (43/64): 23.
13 Lihat, misalnya, Qs. Hûd (11/52): 8 dan Yûsuf (12/53): 45.
39
pemimpin atau teladan.14 Dengan melihat konteks pembicaraan ayat
secara rinci, ad-Dâmighânî dalam Qâmûs al-Qur’ân, seperti dikutip
M.Quraish Shihab,15 menyebutkan sembilan arti kata tersebut, yaitu
kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin,
generasi masa lampau, umat Islam, orang-orang kar, dan manusia
seluruhnya. Ketika menjelaskan “The Ideal Society-the Umma”
dalam on the Sociology of Islam, Ali Syari’ati menjelaskan istilah
ini sebagai berikut:
The ideal Society of Islam is called the umma. Taking place of
all the similar concepts which in different languages and cultures
designate a human agglomeration or society, such as “society”.
“nation”, “race”, “people”, “tribe”, “clan” etc., is the single
word umma, a word imbued with progresif spirit and implying
a dynamic, commited and ideological social vision.16
Menurut Ali Syari’ati, dibandingkan dengan istilah-istilah
sejenisnya, semisal qawm, qabîlah, thâ’ifah, atau jamâ’ah, kata
ummah memiliki keunggulan makna, yaitu kemanusiaan yang
dinamis, bukan entitas beku dan statis, karena kata tersebut berasal
amma yang berarti bermaksud (qashada) dan berkemauan keras
(‘azima) yang memuat gerak, tujuan, dan ketetapan hati yang sadar.17
Menurut al-Faraqi, kata ummah menunjukkan suatu masyarakat
yang universal (Qs. 21: 92) yang keanggotaannya mencakup ragam
etnisitas yang paling luas, tapi yang komitmennya terhadap Islam
mengikat mereka dalam suatu tatanan sosial yang spesik (specic
social order).18
14 Lihat, misalnya, Qs. an-Nahl (16/70); 120.
15 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`ân, h. 327.
16 Ali Syari’ati, On the Sociology of Islam, translated by Hamid Algar into
English, (Berkeley: Mizan Press, 1979), h. 119.
17 Ali Syari’ati, al-Ummah wa al-Imâmah, Suatu Tinjauan Sosiologis
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1989), h. 50.
18 Isma’il Raji al-Faruqi, Tawhid, Its Implications for Thought and Life
(Wyncote: The International Institute of Islamic Thought, 1982), h. 124.
40
Al-Qur`ân dan hadits ternyata tidak membatasi pengertian
ummah hanya pada kelompok manusia, melainkan mencakup pula
kelompok hewan. Dalam Qs. al-An’âm (6/55): 38, hal ini dinyatakan
secara eksplisit:







(Dan tidaklah hewan yang ada di bumi dan burung yang
terbang dengan kedua sayapnya melainkan umat-umat juga
seperti kamu).
Rasulullah saw bersabda:

(Semut (juga) merupakan umat di antara umat-umat [Tuhan]).
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ummah
sebagai kelompok terbentuk oleh ikatan persamaan tertentu yang
memungkinkan terjadinya interaksi dalam bentuk kehidupan
bersama. Ikatan-ikatan tersebutlah yang dalam tinjauan sosiologi
dikenal sebagai faktor pendorong timbulnya kesadaran kolektif yang
membentuk masyarakat. Meski demikian, perlu dikemukakan bahwa
kata ummah, sebagaimana diuraikan, sekurangnya menunjukkan
“kelompok” dalam ruang lingkup yang lebih luas.19
Kata qawm yang berakar-kata qâf, waw, dan mîm memiliki dua
makna dasar, yaitu “kelompok manusia” dan “berdiri tegak atau
tekad”.20 Kata qawm secara leksikal digunakan untuk pengertian
“kelompok manusia yang dihimpun oleh suatu hubungan atau ikatan
yang mereka tegakkan”.21 Berdasarkan hubungan makna dasar yang
pertama dengan kedua di atas, istilah qawm berkonotasi sebagai
kelompok manusia yang mengurusi suatu urusan tertentu,22 atau
19 Abdullah Karim, “Tanggung Jawab. . .”, h. 100.
20 Ibn Fâris, Mu’jam, juz V, h. 43.
21 Ibrâhîm Unais et.at. al., al-Mu’jam al-Wasâth, jilid II, h. 768.
22 Abû al-Faraj Jamaâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muhammad
41
lebih kongkret lagi, kata ini menunjukkan kelompok manusia yang
bangkit berperang. Oleh karena itu, kata ini pada awalnya hanya
digunakan untuk kelompok laki-laki23 dengan merujuk kepada
konteks penggunaannya dalam Qs. al-Hujurât (49/106): 11.
Dari 383 kali penggunaannya dala al-Qur`ân, ada beberapa
variasi makna: (1) yang menunjukkan pengertian kelompok secara
umum, tanpa membedakan jenis kelamin,24 (2) yang dikaitkan
dengan sifat tertentu, seperti qawm yang beriman (misalnya, Qs.
al-A’râf [97/39]: 52), yang bertakwa (Qs. Yûnus [10/51]: 6), yang
zhalim (Qs. asy-Su’arâ’ [26/47]: 10), dan yang lain yang berkaitan
dengan tingkat religiusitas, (3) yang dikaitkan dengan kualitas
intelektual, seperti qawm yang berakal (Qs. an-Nahl [27/48]: 52),
yang mengetahui (Qs. Fushshilat [41/61]: 3), dan yang berkir
(Qs. az-Zumar [39/59]: 42, (4) yang menggunakan bahasa yang
sama (Qs. Ibrâhîm [14/72]:4),25 (5) yang dihubungkan dengan elit
kekuasaan politik di kalangan suku-suku Arab masa lampau, seperti
qawm ‘Ad (Qs. Shâd [38/38]:12), qawm Tsamûd (Qs. al-Furqân
[25/42]: 38), dan qawm Tubba’ (Qs. ad-Dukhân [44/64]:37, dan (6)
yang disebutkan sebagai sasaran penyampaian risalah nabi-nabi,
seperti qawm Nûh (Qs. an-Najm [53/23]: 52), Ibrâhîm (Qs. al-Hajj
[22/103]: 43), dan Mûsâ (Qs. al-Baqarah [2/87]: 54.
Dari beberapa pengertian kata qawm di atas, dapat disimpulkan
bahwa kata ini menunjukkan suatu kelompok manusia yang
mempunyai aspek kesamaan tertentu.26
al-Jawazî, Zâd al-Masîr -‘Ilm at-Tafsîr (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1994), juz I, h. 71.
23 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`ân, h. 333; Ibn Fâris, Mu’jam, juz
V, h. 43.
24 ar-Râghib, Mufradât, h. 693.
25 Abdullah Karim, “Tanggung Jawab. . .”, h. 103-104.
26 Ibid.
42
Kata sya’b yang berakar kata syîn, ‘ayn, dan ’ memiliki
dua makna dasar yang berlawanan, yaitu perpisahan (iftirâq)
dan pertemuan (ijtimâ’).27 Dalam kamus, sya’b diartikan sebagai
kelompok besar yang berasal dari suatu keturunan yang lebih luas
dari kabilah, kelompok masyarakat yang tunduk kepada suatu
aturan masyarakat, dan kelompok manusia yang memiliki satu
bahasa.28 Penggunaan kata sya’b dalam al-Qur`ân hanya satu kali
dalam bentuk plural (syu’ûb) pada Qs. al-Hujurâr (49/106): 13.
Untuk menelusuri kata sya’b, ayat tersebut akan dilihat dengan dua
pendekatan, yaitu:
1. Dengan pendekatan sosio-historis, berdasarkan dua riwayat,
ayat tersebut turun berkenaan dengan persepsi masyarakat Arab
tentang kemuliaan status sosial berupa diskriminasi antara budak
dan non-budak dalam kasus Bilâl dan berkenaan dengan tradisi
masyarakat berupa keengganan untuk mengadakan perkawinan
antarsuku pada kasus wanita Banî Bayâdhah.29
2. Dengan pendekatan sistematis, ayat tersebut memiliki kandungan
pokok: (1) penciptaan manusia dari laki-laki dan perempuan,
(2) perkembangan dan penyebaran manusia menjadi syu’ûb dan
qabâ’il, (3) sesuai dengan makna dasar kata sya’b, sebagaimana
dikemukakan, manusia berkumpul (ijtimâ’) pada satu rumpun
keturunan tertentu dan tersebar (iftirâq) dalam berbagai
kelompok sosial dan mereka diharapkan saling mengenal, dan
(4) kemuliaan manusia ditentukan oleh tingkat ketakwaan.
Berdasarkan kedua pendekatan tersebut, kata sya’b adalah
kelompok sosial yang besar yang memiliki tradisi, pandangan, atau
norma sosial yang mengikat warganya dan menggunakan bahasa
27 Ibn Fâris, Mu’jam, juz III, h. 190.
28 Ibrâhîm Unais, Mu’jam, juz III, h. 190.
29 Lihat Qamaruddin Shaleh et.al., Asbabun Nuzul (Bandung: Diponegoro,
1990), h. 475; al-Wâhidî, Asbâb an-Nuzûl (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1991), h. 224-225.
43
tertentu yang membedakannya dari kelompok sosial lainnya.30
Dengan melihat ciri-cirinya ini, kata ini tidak hanya mencakup
kehidupan sosial dan politik yang ruang-lingkupnya luas dalam
bentuk negara (nation), 31 tapi mencakup pula setiap kelompok sosial
yang ruang-lingkupnya lebih sempit atas dasar kesamaan tradisi,
pandangan, dan norma sosial.
Kata qabîlah berakar-kata dari qâf, bâ’ dan lâm yang memiliki
arti dasar “sesuatu terhadap dengan sesuatu yang lain”.32 Kata ini
biasanya diartikan sebagai kelompok manusia yang berasal dari suatu
keturunan.33 Menurut ar-Râghib, kata qabîlah yang digunakan al-
Qur`ân menunjukkan kelompok manusia yang sebagian anggotanya
menerima keberadaan anggota lainnya yang, antara lain, terwujud
dalam bentuk memberikan perhatian dan solidaritas sosial,34 baik
yang dilandasi oleh tuntutan nilai-nilai ketakwaan, sebagaimana
dipahami dari Qs. al-Hujurât (49/106):13, maupun yang dilandasi
oleh ikatan darah. Secara leksikal, kata rqah berarti “kelompok
manusia”.35 Penggunaan kata ini dalam al-Qur`ân hanya satu kali,
yaitu pada Qs. at-Tawbah (9/113): 122 dalam arti “kelompok
tersendiri di antara kelompok-kelompok manusia”.36
Thâ’fah yang akar katanya adalah thâ’, wâw, dan fâ’ memiliki
arti dasar “sesuatu melingkari (mengelilingi) yang lain”.37 Secara
30 Abdullah Karim, “Tanggung Jawab. . .”, h. 103-104.
31 Lihat, misalnya, A. Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Text, Translation, and
Commentary (Beirut: Dâr al-‘Arabiyyah, 1968), h. 1407. Pendapat ini didasarkan
keterangan mufassir bahwa sya’b adalah kelompok non-Arab sehingga mencakup
ruang-lingkup negara (Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm (Beirut: Dâr al-Fikr,
1986), juz IV, h. 218).
32 Ibn Fâris, Mu’jam, juz V, h. 51.
33 Ibrâhîm Unais, Mu’jam, juz II, h. 713.
34 ar-Râghib, Mufradât, h. 654-655.
35 Ibrâhîm Unais, Mu’jam al-Wasâth, jilid, II, h. 685.
36 ar-Râghib, Mufradât, h. 632.
37 Ibn Fâris, Mu’jam, juz III, h. 432.
44
leksikal, kata thâ’ifah berarti “kelompok manusia yang berkumpul
karena suatu aliran atau pendapat tertentu38 yang menjadikan
mereka sebagai kelompok istimewa dibandingkan kelompok
lain”.39 Penggunaan kata ini dalam al-Qur`ân berjumlah 24 kali;
20 kali di antaranya dalam bentuk tunggal dan 4 kali dalam bentuk
mutsnnâ (dua).40 Dengan mencermati makna leksikal di atas
dan penggunaannya dalam Qs. at-Tawbah (9/113): 122 sebagai
kelompok ahli strategi perang dan kelompok cendekiawan, maka
dapat disimpulkan bahwa thâ’ifah adalah “Kelompok khusus” atau
“kelompok profesional” di masyarakat.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, kata ummah
mempunyai ruang-lingkup yang lebih luas dibanding kata qawm,
karena di samping mencakup kelompok manusia dan hewan,41
hubungan persamaan yang mengikat sebuah kelompok yang
ditunjuk oleh kata pertama juga lebih luas, termasuk hubungan yang
berdasarkan naluri berkenaan dengan “cara hidup” pada kelompok
hewan.42 Sebaliknya, kata qawm hanya mencakup manusia dan
keberadaannya yang diikat oleh suatu ikatan persamaan dan sifat
tertentu. Sya’b adalah kelompok sosial yang berasal dari suatu
rumpun keturunan tertentu yang terpisah dari kelompok lain,
sehingga memiliki bahasa dan tradisi yang berbeda. Qabîlah adalah
kelompok yang berasal dari satu keturunan, namun memiliki ikatan
solidaritas sosial yang cukup kuat dengan dilandasi oleh perasaan
kesedarahan dan oleh al-Qur`ân diberikan landasan baru berupa nilai
ketakwaan dan religiusitas. Firqah dan thâ’ifah adalah kelompok
profesional dalam masyarakat.
38 Ibrâhîm Unais et.at. al., al-Mu’jam al-Wasâth, jilid II, h. 571.
39 Louis Ma’luf, al-Munjid, h. 475.
40 Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam, h. 431-432.
41 Abdullah Karim, “Tanggung Jawab. . .”, h. 106.
42 ar-Râghib, Mufradât, h. 86.
45
B. Filsafat Sosial al-Qur`ān
Dalam sosiologi, istilah “filsafat sosial” merujuk kepada
pemikiran-pemikiran dan teori-teori dari para filsuf tentang
masyarakat pada tahap-tahap awal perkembangannya hingga
munculnya istilah “sosiologi” dalam tulisan Auguste Comte.43 Fazlur
Rahman menggunakan istilah ini untuk menunjukkan konsep-konsep
sosial dalam al-Qur`ân.44 Karena sifat dialogis ayat-ayatnya dengan
realitas sosial masyarakat Arab semasa turunnya. Penggunaan istilah
tersebut dalam kajian ini berkenaan dengan konsep al-Qur`ân secara
mendasar tentang masyarakat yang mencakup hukum sejarah, tradisi
masyarakat, dan norma sosial.
1. Hukum Sejarah
Dalam wacana al-Qur`ân, masyarakat bergerak menurut hukum
sejarah yang mengatur proses dan akibat yang muncul dari suatu even
sejarah. Hukum sejarah tersebut bersifat universal, ilahiyyah yang
tetap memberi ruang bagi kaitan kausalitas, serta konsisten dengan
kebebasan manusia.45 Uraian berikut berupaya mengungkapkan
segi-segi penting dari hukum sejarah tersebut. Ayat yang relevan
dengan hal ini adalah Qs. al-A’râf (7/39): 34 dan Qs. al-Isrâ (17/50):
16:
43 Elgint F. Hunt dan David C. Colander, Social Science, an Introduction
to the Study of Society (New York: Macmillan Publishing Company, 1984),
h. 40; Gerhard Lenski dan Jean Lenski, Human Societies, an Introduction to
Macrosociology (Tokyo: McGraw-Hill Inc., 1978), h. 27; Hotman M. Siahaan,
Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi (Jakarta: Penerbit Airlangga,
1986), h. vii, 48, 98 dst.
44 Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca
Islamica, 1989), h. 51.
45 Uraian detail tentang karakteristik . hukum sejarah dalam al-Qur`ân dapat
dilihat pada M. Baqir ash-Shadr, Trends of History in Qur’an, terj. M.S. Nasrullah
(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1990), h. 18-23.
46






(Setiap umat mempunyai ajal. Maka jika ajal mereka tersebut
tiba, mereka tidak dapat menunda dan tidak dapat (pula)
mendahulukan sesaat pun).
 
 

(Dan jika Kami ingin membinasakan (umat) suatu negara,
Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
(supaya menaati Allah), namun mereka melakukan kedurhakaan
di negeri itu. Maka sudah sepantasnyalah berlaku ketentuan
Kami. Lalu, Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya).
Klausa nominal wa likulli ummatin ajal pada Qs. al-A’râf di atas
menyatakan bahwa masyarakat mempunyai ajal yang membatasi
waktu keberadaannya yang diatur oleh hukum-hukum tertentu.
Klausa ini secara jelas menyatakan bahwa sejarah memiliki hukum-
hukum yang berbeda dengan hukum yang berlaku bagi individu.
Dengan ungkapan lain, adanya ajal yang membatasi bangun dan
runtuhnya masyarakat tersebut adalah hukum sejarah yang bersifat
universal terhadap manusia sebagai bagian dari suatu masyarakat
yang integral.46
Al-Qur`ân, menurut Muhammaf Rasyîd Ridhâ’, menampilkan
dua bentuk kehancuran masyarakat. Pertama, kehancuran masyarakat
secara total yang disebabkan oleh pengingkaran terhadap risalah
yang disampaikan kepada mereka, seperti yang terjadi pada kaum
Nûh, Tsamûd, Fir’aun, dan Lûth. Bentuk kehancuran tersebut
terbatas hanya pada masyarakat yang menjadi objek penyampaian
risalah tersebut. Kedua, kehancuran non-fisik yang berkaitan
46 Ibid., h. 79-80.
47
dengan perubahan kondisi, baik politik, ekonomi, ideologi dan
sebagainya, meski masyarakat yang bersangkutan tidak hancur
secara sik.47 Pergantian atau perubahan secara radikal dalam hal
kekuasaan, pandangan (ideologis), dan kebijakan masyarakat, serta
keberadaan masyarakat yang hanya sebagai kumpulan individu
yang tidak memiliki integritas juga merupakan wujud kehancuran
suatu masyarakat.48
Faktor yang menyebabkan kehancuran suatu masyarakat
berdasarkan pendekatan sistematis terhadap ayat adalah
mengharamkan rezeki maupun pakaian yang dihalalkan oleh Allah
(ayat 32).49 Pada Qs. al-Isrâ’ (17/50): 50, faktor penyebab kehancuran
tersebut lebih jelas diungkapkan dalam bentuk klausa kondisional
(bersyarat) dengan menggunakan partikel idzâ (jika)yang tidak
hanya terkonotasi temporal, tetapi juga kondisional (zharyyah
syarthiyyah).50 Faktor penyebab kehancuran masyarakat dalam ayat
ini diungkapkan dengan amarnâ mutrafîhâ fafasaqû fîhâ (Kami
perintahkan orang-orang yang hidup yang hidup mewah di negeri
itu supaya menaati Allah, namun mereka melakukan kedurhakaan
kepada-Nya). Apa yang dimaksud dengan amarnâ dalam klausa
tersebut ternyata diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama
menafsirkan frase tersebut dengan perintah untuk taat kepada
Allah.51 Penafsiran yang bersumber dari Ibn “Abbâs, az-Zuhrî, dan
al-Kisâ’î mengartikannya dengan “memperbanyak” orang-orang
yang hidup mewah yang kemudian melakukan kedurhakaan kepada
47 Muhammad Rsayîd Ridhâ’, Tafsir al-Qur’ân al-Hakim (Beirut: Dâr al-
Fikr, t.th.), juz VIII, h. 402-403.
48 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`ân, h. 324.
49 Lihat Qamaruddin Shaleh et.al., Asbabun Nuzul, h. 215-216. Latar
belakang ayat 32 berkaitan erat dengan persoalan pakaian.
50 Mushthafâ Ghalâyainî, Jâmi’ ad-Durûs al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Maktabat
al-‘Ashriyyah, 1987), juz II, h. 192, juz III, h. 256.
51 Asy-Syaukânî, Fath al-Qadir al-Jâmi’ bayn Fannay ar-Riwâyah wa ad-
Dirâyah min ‘Ilm at-Tafsîr (Beirut: Dâr al-Fikr, 1973), juz III, h. 214.
48
Allah. Penafsiran model ini sangat diwarnai oleh kecenderungan
kuat kepada fatalisme (jabariyyah) yang melihat kerusakan non-sik
tersebut sebagai skenario Tuhan yang “mendramatisirkan” dengan
mengkondisikan orang-orang untuk melakukan pelanggaran hukum.
Berbeda dengan ini, Ibn Katsîr menyebutkan pendapat lain dari para
penafsir yang menafsirkannya dengan amr qadrî ( ),52 yang
oleh Muhammad Rasyîd Ridhâ’ kemudian diinterpretasikan dengan
amr at-takwîn (), yaitu sunnat Allâh yang berhubungan
dengan keseimbangan ciptaan-Nya yang terwujud karena segala
sesuatu diciptakan menurut “ukuran” (qadr).53 Dalam konteks ayat
yang sedang dibahas, pendapat ini berimplikasi pada kesimpulan
bahwa kehancuran masyarakat terjadi karena tidak berpijak
pada sunnat Allâh dalam segala bidang kehidupan. Kehancuran
masyarakat dalam ekonomi, misalnya, terjadi karena prinsip dan
hukum ekonomi yang tidak diterapkan.
Penafsiran Muhammad Rasyîd Ridhâ’ tersebut tampak logis,
namun kurang tepat jika ayat tersebut dilihat dengan pendekatan
sistematis. Penutup ayat sebelumnya (16) menyatakan bahwa
Allah tidak menyiksa sebelum mengutus seorang Rasul. Hal ini
memperkuat pendapat pertama bahwa frase amarnâ menunjukkan
adanya perintah untuk taat kepada Allah yang telah disampaikan
oleh seorang Rasul. Walaupun pendapat pertama dianggap sebagai
pendapat yang paling relevan, namun tidak terdapat perbedaan yang
mendasar dengan pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa
kehancuran sebuah masyarakat terjadi jika penduduknya banyak
yang hidup mewah, tapi berbuat fasik. Dua pendapat ini dianggap
logis karena elit ekonomi dalam masyarakat sering merupakan
elit kekuasaan yang setiap saat secara leluasa dapat melakukan
pelanggaran terhadap ajaran agama yang menyebabkan kehancuran
masyarakat tersebut.
52 Ibn Katsîr, Tafsîr ibn Katsîr, juz III, h. 33-34.
53 Muhammad Rasyîd Ridhâ’, al-Manâr, juz VIII, h. 34.
49
Ditinjau dari uslûb kalimat, ayat tersebut berupa kalimat
bersyarat (kondisional, jumlah syarthiyyah) yang mengandung
pengertian bahwa sesuatu akan terjadi jika pernyataan protoasis
(syarat atau faktor penyebab) terwujud. Uslûb ini menunjukkan
bahwa hukum sejarah tentang masyarakat masih memberikan ruang
gerak bagi kebebasan manusia54 dengan berdasarkan kandungan ayat
tersebut bahwa kehancuran masyarakat baru terjadi jika terdapat
faktor penyebabnya yang sesungguhnya tergantung pada ketaatan
manusia kepada Allah. Dengan ungkapan lain, meskipun eksistensi
sebuah masyarakat ditentukan oleh norma-norma dari Tuhan, namun
keseluruhan aplikasinya berada dalam eksistensi kolektif manusia.55
Hukum sejarah (sunnah târîkhiyyah) tentang masyarakat atau
hukum kemasyarakatan56 merupakan sunnat Allâh yang bersifat
universal, tidak berubah, dan berlaku bagi setiap masyarakat. Dalam
Qs. al-Ahzâb (33/90): 62, hal ini dinyatakan secara jelas:










([sebagai] sunnat Allâh yang berlaku terhadap orang-orang
terdahulu sebelum[mu], dan kamu tidak akan menemukan
adanya perubahan dalam sunnat Allâh tersebut)
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, setiap masyarakat
terikat dengan hukum-hukum kemasyarakatan yang, antara lain,
berupa (1) adanya batas waktu (ajal) kehancuran suatu masyarakat,
(2) faktor penyebab kehancuran tersebut berupa kedurhakaan
manusia kepada Allah, dan (3) hukum tersebut merupakan sunnat
Allâh yang bersifat universal.
54 M. Baqir ash-Shadr, Trends, h. 105 dan 228.
55 Fazlur Rahman, Major, h. 51-52.
56 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`ân, h. 321.
50
2. Tradisi Masyarakat
Ayat al-Qur`ân yang relevan dengan hal ini, antara lain, adalah
Qs. al-A’râf (7/39): 199 dan Âli ‘Imrân (3/89): 104 sebagai berikut:
 



(Jadikan engkau pemaaf, perintahkan orang lain mengerjakan
‘urf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh).
 
 

 


(Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyerukan kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’rûf,
dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang
yang beruntung).
Ayat pertama dan kedua, sebagaimana dikemukakan, secara
tegas dan eksplisit mengandung perintah untuk mengerjakan ‘urf
atau yang ma’ruf. Apa yang dimaksud dengan al-ma’rûf dalam
ayat tersebut? Al-ma’rûf yang berakar kata dari ‘ayn, râ’, dan fâ’
bermakna dasar “barisan” sesuatu yang bagian-bagiannya saling
bersambung” dan “ketenangan dan ketenteraman”. Dari makna
dasar pertama tersebut, muncul ungkapan’urf al-faras (bulu leher
kuda), sedangkan dari makna dasar kedua, muncul kata kerja
‘arafa-ya’rifu (mengenal).57 Kata ‘urf semakna dengan ma’rûf.58
Jika dilihat dari bentuk derivatifnya sebagai ism maf’ûl, kata maf’ûl
bermakna “sesuatu yang dikenal atau sesuatu yang diakui”. Menurut
ar-Râghib, ma’rûf adalah nama bagi setiap perbuatan yang nilai
kebaikannya dapat diketahui dengan rasio dan syara’.59 Berdasarkan
penjelasan ar-Râghib tersebut, tolok-ukur untuk menentukan sesuatu
57 Ibn Fâris, Mu’jam, juz IV, h. 281.
58 Ibrâhîm Unais et.at. al., al-Mu’jam, juz II, h. 595, Louis Ma’lof, al-Munjid,
h.500.
59 ar-Râghib, Mufradât, h. 561.
51
sebagai ma’rûf di samping berdasarkan syara’ (at-tahsîn wa at-
taqbîh asy-syar’î), juga berdasarkan nalar rasional masyarakat
(at-tahsîn wa at-taqbîh al-‘aqlî). Hal ini berarti bahwa ma’rûf
mengandung pengertian adanya tolok-ukur kebaikan masyarakat,
kebiasaan, dan tradisi. Konotasi makna ini menjadi sulit untuk
diterima karena moral judgement akan jatuh ke dalam pertimbangan
moral yang subjektif yang tanpa batas. Akan tetapi, pertimbangan
ini bukan merupakan satu-satunya tolok-ukur kebaikan, melainkan
“penyeimbangan”, bagaimana nilai-nilai dasar agama ditafsirkan
dan “diterjemahkan” ke dalam fenomena-fenomena sosial yang
berbeda dengan konteks masyarakat Arab ketika al-Qur`ân turun.
Di samping itu, subjektivitas-subjektivitas, karena bertolak dari
pertimbangan kolektif, memiliki sisi ”universalitasnya”. Hamka
memiliki kesimpulan yang hampir sama dalam kutipan berikut:
Agama datang menuntun manusia dan memperkenalkan mana
yang makruf itu dan mana yang munkar. Sebab itu, maka makruf
dan munkar itu tidaklah terpisah dari pendapat umum. Kalau
ada orang berbuat makruf, maka seluruh masyarakat umumnya
menyetujui, membenarkan, dan memuji. Kalau ada perbuatan
munkar, seluruh masyarakat menolak, membenci, dan tidak
menyukainya. Sebab itu bertambah tinggi kecerdasan beragama,
bertambah kenal akan yang makruf dan bertambah benci orang
kepada yang munkar.60
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ma’rȗf berkaitan pula
dengan persepsi umum dan tradisi masyarakat atas dasar kepantasan
dan pertimbangan akal sehat (common sense). Hal ini diperkuat
dengan argumen bahwa dari segi sejarah perkembangan bahasa,
ma’rȗf merupakan bagian dari terminologi etika kesukuan, menurut
Toshihiko Izutsu, yang dijadikan oleh al-Qur`ân sebagai bagian
yang integral dari sistem etika barunya. Masyarakat kesukuan
dalam kondisi peradaban yang sejajar dengan suku Arab Jahiliah
60 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Penerbit Pustaka Penjimas, 1982), juz
IV, h. 40.
52
menganggap sesuatu yang dikenal, diketahui, dan diterima secara
sosial sebagai hal yang baik.61 Jika ungkapan ma’rȗf pada Qs. Ali
‘Imrȃn (3/89): 104 dilihat dengan pendekatan munȃsabat al-ȃyȃt,
dapat dikatakan bahwa tradisi yang berakar dari budaya masyarakat
tersebut harus sesuai dengan al-khayr.
Ajaran-ajaran Islam sebagai das sollen ketika bersentuhan
dengan realitas sosial masyarakat sebagai das sein menghendaki
penjabarannya yang lebih aplikatif. Perbedaan realitas menyebabkan
adanya perbedaan penjabaran antara suatu masyarakat dibandingkan
masyarakat lain. Penjabaran berdasarkan tradisi dan pandangan
umum masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran Islam disebut dengan ‘urf atau ma’rȗf. Hal ini diperkuat
dengan kenyataan bahwa Islam mengakui adanya tradisi dan
kebiasaan masyarakat yang perlu dipertimbangkan ketika mengambil
keputusan hukum Islam. Ketentuan tersebut terformulasikan dalam
bentuk kaidah qhiyyah bahwa al-ȃdat muhakkamah (adat dapat
dijadikan dasar pertimbangan hokum).62
Uraian yang telah dikemukakan terfokus pada kata ‘urf dan ma’rȗf
sebagai kata tunggal. Sedangkan, kata ma’rȗf yang penggunaannya
dalam al-Qur`ân terulang sebanyak 39 kali (38 kali dalam bentuk
mudzkkar/ maskulin dan sekali dalam bentuk mu’annats/feminin)63
dengan konteks yang berbeda-beda dan sebagai bagian integral dari
terminologi al-amr bi al-ma’rȗf wa an-nahy ‘an al-munkar yang
akan diuraikan dalam bahasan selanjutnya.
3. Norma Sosial
Sebagaimana telah dikemukakan, setiap masyarakat memiliki
sistem nilai (value system) yang terwujud dalam bentuk norma-
61 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concept, h. 213.
62 Jalȃl ad-Dȋn as-Suyȗthȋ, al-Asybȃh wa an-Nazhȃ’ir  al-Furȗ’. (Beirut:
Dȃr al-Fikr, t.th.), h. 63.
63 Muhammad Fu’ȃd ‘Abd al-Bȃqȋ, al-Mu’jam, h. 458-459.
53
norma sosial yang mengatur interaksi antar individu dalam
masyarakat. Norma sosial tersebut merupakan manifestasi dari pola
pikir masyarakat yang dianggapnya terbaik yang berkaitan dengan
tingkah laku. Oleh karena itu, di samping berlandaskan hukum
agama, norma sosial berkaitan erat dengan tradisi dan pandangan
hidup masyarakat. Ayat yang dianggap relevan dengan hal ini adalah
Qs. al-An’âm (6/55): 108 berikut:















(Dan janganlah kalian mencaci orang-orang yang menyembah
selain Allah, karena mereka juga akan mencaci Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan
indah (di mata) setiap umat perbuatan mereka. Kemudian kepada
Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitahukan
kepada mereka tentang apa yang mereka kerjakan.)
Ayat di atas turun karena latar belakang persoalan teologis,
yaitu sikap kaum muslimin yang mencaci berhala orang kar
sehingga pihak terakhir ini kemudian mencaci Allah.64 Berdasarkan
latar belakang itu, ayat tersebut secara tegas menyatakan larangan
mencaci orang-orang kar. Terjadinya saling mencaci sebagai
konsekuensi logis dari perbuatan terebut adalah alasan larangan
itu, sebagaimana dapat dipahami dari penggunaan fâ’ as-sababiyyah
yang menunjukkan adanya hubungan kausal.65 Mengetahui alasan
tersebut menjadi penting karena klausa kadzâlika zayyannâ likulli
ummatin ‘amalahum yang disebut sesudahnya sebagai keterangan
lanjutan merupakan fokus bahasan ini. Kata kerja zayyannâ berasal
dari zayyana yang berakar dari zây, yâ’, dan nûn. Struktur kata ini
64 Lihat Qmaruddin Shaleh, et.at., Asbabun Nuzul, h. 210 dan al-Wâhidî,
Asbâb an-Nuzûl, h. 127.
65 Mushthaf Ghalâyainî, Jâmi’, juz II, h. 177.
54
bermakna dasar “indah (baiknya) sesuatu dan menjadikan sesuatu
indah (baik)”.66 Penggunaan kata dengan strukturnya seperti ini
adalah al-Qur`ân terulang sebanyak 36 kali; 27 kali di antaranya
dalam bentuk kata kerja dan 19 kali dalam bentuk kata benda.67
Menurut ar-Râghib, apa yang dalam persepsi orang dianggap sebagai
sesuatu yang indah (baik) dalam konteks al-Qur`ân dikaitkan dengan
tiga hal, yaitu (1) yang berkaitan dengan dimensi psikis manusia,
seperti pengetahuan dan keyakinan yang benar, (2) yang berkaitan
dengan dimensi sik, seperti kekuatan dan postur tubuh, dan (3)
yang berkaitan dengan dimensi luar manusia, seperti kekayaan
dan status sosial.68 Ditinjau dari segi subjeknya (yang menjadikan
manusia mempunyai persepsi keindahan atau kebaikan tentang
sesuatu, ayat al-Qur`ân menghubungkannya kepada (1) Allah swt
sebagai subjeknya (misalnya, Qs. ash-Shâffât [37/56];6 dan al-
Hujurât [49/106]: 7), (2) syetan sebagai subjeknya (misalnya, Qs.
al-An’âm [6/55]: 43 dan 137 dan al-Anfâl [8/88]: 48, dan (3) yang
tidak disebut subjeknya (misalnya, Qs. Âli ‘Imrân [3/89]:212).69
Jika penjelasan ar-Râghib ini diterapkan, klausa di atas
memberikan keterangan bahwa penyembahan selain Allah tersebut
berkaitan dengan dimensi psikis manusia berupa pandangan atau
pola pikir yang dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kondisi
psikologis, latar belakang kehidupan, kecenderungan, sejarah, latar
belakang pendidikan, dan lingkungan sosial.70 Bahkan, pola pikir
maupun tindakan masyarakat berakar dari tradisi generasi terdahulu
(Qs. al-Baqarah [2/87]: 170).71 Uraian ini semakin jelas jika ayat
tersebut dilihat dengan pendekatan sistematis. Ayat 109 surat al-
66 Ibn Fâriz, Mu’jam, juz III, h. 41-42; Ibrâhîm Unais et.al., al-Mu’jam al-
Wasîth, jilid I, h. 410.
67 Muhammad Fu’ȃd ‘Abd al-Bȃqȋ, al-Mu’jam, h. 335-336.
68 Ar-Râghib, Mufradât, h. 223.
69 Ibid.
70 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran, h. 321.
71 Lihat Muhammad Rasyîd Ridhâ’, al-Manâr, juz VII, h. 668.
55
An’âm menyatakan bahwa keengganan orang-orang kar untuk
beriman bukan ditentukan oleh bukti kerasulan berupa mukjizat,
tetapi berkaitan dengan kondisi akal-budi (fu’âd) dan penglihatan
mereka (ayat 110). Sedangkan, akal-budi dan penglihatan merupakan
sarana untuk menyerap pengetahuan baru (Qs. an-Nahl [16/78]: 78)
yang kemudian membentuk suatu pola pikir.
Bertolak dari uraian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan
bahwa setiap kelompok sosial atau masyarakat tidak dapat
melepaskan diri dari ikatan norma sosial dan sistem nilai dalam
masyarakat dengan berdasarkan tinjauan sosiologis bahwa adanya
pola pikir masyarakat, sebagaiman diuraikan, mesti berimplikasi
pada terbentuknya seperangkat norma dan sistem nilai.
Norma sosial sebagai bagian integral dari sebuah masyarakat
ditemukan pula dalam Qs. al-Mâ’idah (5/112): 48 berikut:


(Untuk setiap umat, Kami buat aturan dan jalan yang terang)
Secara global, ayat 48 surah al-Mâ’idah menjelaskan kedudukan
al-Qur`ân yang menempati fungsi korektif dan rujukan bagi kitab-
kitab suci lain yang diturunkan kepada umat-umat terdahulu dalam
prosedur putusan hukum. Ada dua pendapat berkenaan dengan
siapa (objek) yang dimaksud dalam klausa ayat yang dikutip di
atas. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dimaksud adalah
umat Rasulullah saw, sedangkan pendapat kedua menyatakan
bahwa yang dimaksud adalah semua umat yang juga mencakup
umat-umat terdahulu.72 Pendapat pertama yang agaknya berpijak
pada teks ayat secara lahiriah berimplikasi makna bahwa Allah
menjadikan al-Qur`ân sebagai pedoman hidup dan aturan yang jelas
bagi setiap umat Rasulullah saw. Pendapat kedua yang, antara lain,
dianggap sebagai pendapat yang terkuat oleh Ibn Katsîr,73 Sayyid
72 Ibn Katsîr, Tafsîr ibn Katsîr, juz II, h. 67.
73 Ibid.
56
Quthb,74 dan mayoritas penafsir lain berimplikasi makna di samping
penegasan kedudukan al-Qur`ân, sebagaimana dikemukakan, juga
pengakuan terhadap adanya perbedaan syari’at yang menyangkut
hukum-hukum spesik, karena perbedaan kondisi masyarakat,
baik umat terdahulu maupun umat Rasulullah saw. Argumen yang
dikemukakan berlandaskan analisis ayat secara sistematis. Ayat
sebelumnya menjelaskan keharusan umat terdahulu untuk merujuk
kepada kitab suci yang diturunkan kepada mereka, baik umat
Yahudi (ayat 42-44) maupun umat Nabi ‘Îsâ (ayat 46-47). Klausa
wa law syâ’ Allâh laja’alakum ummatan wâhidah yang mengiringi
klausa yang dikutip di atas memperkuat argumen dimaksud.
Penggunaan partikel law yang berfungsi sebagai harf al-imtinâ’
(pengandaian sesuatu yang tidak mungkin terjadi)75 menunjukkan
ketidakmungkinan mempersatukan umat manusia dalam satu aturan
tanpa memperhatikan perbedaan antara satu umat dengan umat lain.
Hal ini berarti bahwa klausa yang dikutip menyatakan bahwa setiap
umat (masyarakat) memiliki aturan dan norma yang sesuai dengan
tuntutan kondisinya yang berbeda, namun mengacu kepada satu
prinsip umum agama Islam yang sama.76
Klausa yang dikutip memuat dua istilah kunci yang harus
ditelusuri lebih jauh, yaitu syir’ah dan minhâj. Secara etimologis,
syir’ah yang berakar dari syîn, dan ‘ayn memiliki makna dasar
“sesuatu yang terbuka dengan perluasan”.77 Secara leksikal, syir’ah
bermakna “apa yang disyari’atkan oleh Allah kepada hamba-hamba-
Nya, baik yang berkaitan dengan akidah maupun hukum”.78 Minhâj
74 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-‘Ilm dan Dâr asy-
Syurûq, t.th.) juz IV, h. 749.
75 As-Suyûthî, al-Itqân  Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz I,
h. 174.
76 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`ân, h. 335-336.
77 Ibn Fâriz, Mu’jam, juz III, h. 262.
78 Ibrâhîm Unais et.at. al., al-Mu’jam al-Wasîth, jilid I, h. 479; al-Fayyûmî,
al-Mishbâh, h. 310.
57
yang berakar dari nûn, hâ, dan jîm mempuyai dua makna etimologis
yang berlawanan, yaitu “jalan” dan “terputus”.79 Secara leksikal,
minhâj adalah “jalan yang jelas”.80 Frekuensi penggunaan kata
dengan struktur sy-r-’ dalam al-Qur`ân berjumlah lima kali.81 Dua
tempat penggunaan (Qs. asy-Syûrâ [42/62]: 13 dan 21) di antaranya
mengungkapkan secara eksplisit bahwa syir’ah atau syarî’ah adalah
bagian dari ad-dîn (agama), dan satu kali diungkapkan secara implisit
(Qs. al-Jâtsiyah [45/65]: 18),82 dengan berdasarkan penggunaan
partikel min yang berfungsi di sini sebagai tab’îdh (penunjuk
sebagian).83 Hal ini sesuai dengan analisis Muhammad Rasyîd Ridhâ’
terhadap pernyataan Qatâdah bahwa syarî’ah sebagai bagian dari
agama mencakup hukum-hukum dan aturan-aturan praktis (amaliah)
yang berbeda karena perbedaan kondisi yang dihadapi oleh sebuah
masyarakat (ummat).84 Syari’ah sebagai hukum yang menyangkut
hal-hal yang spesik disebut minhâj. Kesimpulan ini berdasarkan
beberapa riwayat yang sebagian besar berasal dari Ibn ‘Abbâs yang
menafsirkan kata minhâj dengan as-sunnah.85
Menurut ar-Râghib, hukum yang ditetapkan oleh Allah seperti
yang tersirat dalam klausa yang sedang dibahas menyentuh dua
aspek. Pertama, hukum Allah yang berkaitan dengan kemasyarakatan
yang harus ditempuh oleh manusia untuk mencapai kemaslahatan
dan kemakmuran, seperti keharusan melaksanakan interaksi sosial
dalam bentuk kerja sama untuk mencapai kesejahteraan (Qs. az-
Zukhruf [43.63]: 32). Kedua, hukum Allah yang berbentuk agama.86
79 Ibn Fâris, Mu’jam, juz V, h. 361.
80 Ibrâhîm Unais et.at. al., al-Mu’jam al-Wasîth, jilid II, h. 957.
81 Muhammad Fu’ȃd ‘Abd al-Bȃqȋ, al-Mu’jam, h. 378.
82 Lihat Yayasan penyelenggara penerjemah/penafsir al-Qur`ân, al-Qur`ân
dan Terjemahnya, h. 817.
83 Mushthafâ Ghalâyainî, Jami’, juz III, h. 172.
84 Muhammad Rasyîd Ridhâ’, al-Manâr, juz VI, h. 413.
85 Ibn Katsîr, Tafsîr ibn Katsîr, juz II, h. 67.
86 Ar-Râghib, Mufradât, h. 255.
58
Klasikasi Tuhan dalam pandangan ar-Râghib tersebut memperjelas
adanya dimensi sosial dalam syari’ah, di samping sebagai sebuah
ajaran agama yang harus sesuai dengan kondisi masyarakat.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan
bahwa setiap masyarakat memiliki seperangkat norma-norma sosial
(social norms), baik yang lahir dari pola pikir masyarakat maupun
yang merupakan bagian dari hukum Tuhan. Kategori pertama
memunculkan konsep norma sosial sebagai bagian dari kebudayaan
(culture) yang dalam term sosiologi dalam bentuk mores, yaitu
norma sosial berupa hukum adat yang lebih berat sanksinya jika
terjadi pelanggaran maupun dalam bentuk folkways atau convention,
yaitu norma sosial berupa tradisi-tradisi yang secara moral harus
diikuti. Kategori kedua memunculkan konsep norma sosial dalam
bentuk law, baik berupa produk manusia (hukum positif) maupun
produk Tuhan (syarî’ah). Qs. al-Mâ’idah (5/112): 48 yang terakhir
dikutip berkaitan dengan norma sosial dalam bentuk law sebagai
aturan Tuhan.
Uraian yang dikemukakan telah menyentuh beberapa konsep
dasar dalam rumusan al-Qur`ân tentang lsafat sosial. Sebagai
konsep dasar, uraian ini tidak menyuguhkan lsafat sosial al-
Qur`ân dalam bentuk rumusan yang komprehensif dan utuh yang
sebenarnya layak bagi sebuah penelitian baru. Hal ini yang perlu
disadari bahwa meskipun al-Qur`ân memuat konsep-konsep tentang
masyarakat, karena sifat dialogis ayat-ayatnya dengan realitas sosial
masyarakat. Akan tetapi, al-Qur`ân bukanlah buku ilmu pengetahuan
(sosiologi) yang membahas secara rinci tentang masyarakat. Di
samping itu, beberapa konsep dasar al-Qur`ân tentang masyarakat
akan dikemukakan dalam bahasan tentang masyarakat yang
diidealisasikan oleh al-Qur`ân.
59
C. Karakteristik Masyarakat Ideal: Dasar Konseptual
Dalam bab-bab ini, akan diuraikan beberapa karakteristik
masyarakat dalam idealisasi al-Qur`ân. Karakteristik masyarakat
utama yang dibahas di sini, tentu saja, tidak terbatas pada ayat-ayat
yang dikemukakan di sini. Oleh karena itu, ayat-ayat lain yang
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dikemukakan pula
sebagai penjelas. Penelusuran terhadap ayat-ayat berikut berpatokan
kepada terminologi al-Qur`ân yang menunjuk kepada masyarakat
sebagaimana telah dikemukakan.
1. Kepatuhan kepada Allah swt. (Qs. al-Baqarah [2/87]: 128).87








(Hai Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk/
patuh kepadamu dan jadikanlah di antara kami keturunan kami
sekelompok umat yang patuh kepada-Mu, serta perlihatkanlah
kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami,
dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang).
Dasar spritualitas ini menjadi unsur esensial dalam masyarakat
yang diidealilasikan al-Qur`ân. Ayat tersebut merupakan bagian dari
rangkaian do’a Nabi Ibrâhîm dan Ismâ’îl agar negerinya dijadikan
negeri yang aman sentosa yang ditopang dengan ekonomi yang
mapan. Sebuah masyarakat harus didasarkan atas fondasi spritualitas
yang kokoh yang diungkapkan dalam ayat tersebut dengan ummat(an)
muslima(an) laka. Ayat tersebut menggunakan partikel min yang
87 Terjemah ayat, Hai Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk/
patuh kepadamu dan jadikanlah di antara kami keturunan kami sekelompok umat
yang patuh kepada-Mu, serta perlihatkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-
tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
60
berfungsi sebagai tab’îdh (penunjuk sebagian).88 Ini memberikan
pengertian bahwa karakteristik tersebut hanya dimiliki oleh sebagian
dari masyarakat umum.
Kata muslimat(an) yang berakar dari sîn, lâm, dan mîm bermakna
dasar “terbebas dari cacat lahir maupun batin”.89 Dari akar kata
tersebut, muncul kata islâm yang secara leksikal berarti “kepatuhan,
ketundukan, keikhlasan, agama Islam, dan kedamaian”.90 Pola
aslama-yuslimu dan derivasinya dalam al-Qur`ân terulang sebanyak
50 kali91 yang semuanya bermakna “kepatuhan dan ketundukan secara
totalitas kepada Allah”.92 Dalam al-Qur`ân, penggunaannya dalam
Qs. (72/40): 14-15 diperhadapkan dengan qash (penyimpangan dari
kebenaran dan keadilan) dan dengan syirk (misalnya, Qs. [6/55]: 14).
Konteks pemakaian tersebut memberikan penjelasan muatan
makna yang diinginkan al-Qur`ân bahwa dalam sikap kepatuhan
total kepada Allah harus terkandung di dalamnya aspek kebenaran,
keadilan, dan pembebasan dari penuhanan selain Allah. Beberapa
tafsir klasik semisal al-Qurthubî93 dan Ibn ‘Athiyyah menjelaskan
bahwa islâm meliputi makna relasional iman dan amal shaleh. Dalam
pengertian pertama, islâm harus memuat penyangkalan ketuhanan
selain Allah dan pemurnian iman dari syirk. Sedangkan, dalam
makna relasional kedua, kemurnian iman tersebut harus berimplikasi
88 Nizhâm ad-Dîn al-Hasan Muhammad ibn Husayn al-Qummî an-Naysâbûrî,
Gharâ’ib al-Qur’ân wa Raghâ’ib al-Furqân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘IlmiyyH,
1997), juz I, h. 401.
89 ar-Râghib, Mufradât, h. 421, Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab (Mesir: Nûr
ats-Tsaqâfat al-Islâmiyyah, t.th), juz XV, h. 181.
90 Ibrâhîm Unais, Mu’jam, jilid I, h. 446.
91 Muhammad Fu’ȃd ‘Abd al-Bȃqȋ, al-Mu’jam, h. 356-357.
92 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concept in the Qur’an (Montreal:
McGill University, 1996), h. 189-192, D. Z. H. Baneth, “Apakah yang Dimaksud
Muhammad SAW dengan Menamakan Agamanya ‘Islam’?”, H. L. Beek dan
N. I. G. Kapten (ed.), Pandangan Barat terhadap Islam Lama (Jakarta: INIS,
1989), h. 3-10.
93 Al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Akhâm al-Qur’ân (T.Tp.: T.p., t.th.), juz II, h. 126.
61
pada munculnya ketulusan beramal dengan menyingkirkan selain
motivasi dan tarikan ketuhanan. Kesadaran akan islâm dalam beramal
menyebabkan timbulnya sikap-sikap positif dalam kehidupan
sosial. Ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb mengisyaratkan
adanya tuntutan solidaritas sosial (at-tadhâmun) sebagai masyarakat
beriman. Jadi, kata islâm memiliki muatan pesan religius dan sosial
sekaligus.94 Masyarakat dalam idealitas al-Qur`ân harus berdasarkan
fondasi spiritual yang kokoh, yaitu sikap patuh (submission) secara
total yang tidak hanya memenuhi religiusitas yang individual, tapi
juga berimplikasi positif bagi lingkungan sosial. Sikap patuh, tunduk,
dan pasrah kepada Allah swt. tersebut menjadi kekuatan mendasar
bagi sebuah masyarakat untuk bergerak sekaligus menghadapi
tantangan. Huston Smith, sebagaimana dikutip Nurcholish Majid,
pernah mengatakan:
“Submission (in Arabic, islâm) was the very name of the
religion that surfaced through the Koran, yet its entry into
history occasioned the greatest political explotion the world
has known”.95
(Sikap pasrah (dalam bahasa Arab, islâm) adalah nama se-
sungguhnya suatu agama yang muncul dalam al-Qur`ân. Akan
tetapi, keberadaannya dalam sejarah telah menimbulkan ledakan
politik yang pernah disaksikan dunia).
Jika dianalisis dengan pendekatan munâsabat al-âyât
(keterkaitan makna antarayat) dengan ayat sebelumnya, fondasi
masyarakat harus berdiri di atas ekonomi yang kokoh. Sedangkan,
ayat sesudahnya (Qs. 2/87: 129) memuat tugas Rasul yang
menurut William Montgomery Watt dengan melihat melalui “lensa
pembesar” sejarah Nabi terhadap teks yang tidak hanya memegang
94 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-‘Ilm dan Dâr asy-
Syurûq, t.th.) juz I, h. 114.
95 Nurcholish Majid, Islam, Doktrin, dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,
1992), h. 80 dan 91.
62
fungsi penyampai risâlah, tapi juga kepemimpinan bagi sebuah
masyarakat atau negara.96 Fungsi rasul yang disebutkan dalam
ayat sebelum adalah: (a) menyampaikan ayat-ayat al-Qur`ân untuk
memperkokoh dasar keimanan, (b) mengajarkan al-kitâb dan al-
hikmah. Para penafsir al-Qur`ân berbeda pendapat tentang apa yang
dimaksud dengan al-hikmah tersebut. Ibn Katsîr,97 al-Qurthubî,98 dan
al-Khâzin99 menyebutkan beberapa kemungkinan makna: as-sunnah
dengan berdasarkan riwayat Qatâdah, pengetahuan tentang agama
dan hukum-hukumnya, kemampuan membedakan antara kebenaran
dan kepalsuan, pemahaman tentang al-Qur`ân, serta kebenaran
dalam bertutur dan bertindak. Menurut Ibn Katsîr, meski terjadi
perbedaan, penafsiran-penafsiran tersebut tidak memiliki perbedaan
yang prinsipil. (c) membersihkan dan memurnikan kondisi spiritual
dari unsur syirk dan kekufuran maupun dari sifat kikir dengan
mengeluarkan zakat atau cara-cara lain untuk membersihkan jiwa.100
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, masyarakat yang
diidealisasikan oleh al-Qur`ân adalah masyarakat yang didukung
96 William Montgomery Watt, Muhammad: Prophet dan Statesman (New
York: Oxford University, 1969), h. 326-327. Fungsi Muhammad dalam sejarah
kota Madinah, tentu saja, dalam kaca mata pengkaji sejarah masih diperdebatkan.
Tidak hanya mengidentikasi dalam tingkat ushul al-qh pembedaan peran Nabi
Muhammad, sebagaimana dilakukan oleh al-Qarâfî dalam al-Ahkâm fî Tamyîz
al-Fatâwâ ’an al-Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdhî wa al-Imâm, seperti dikutip
M. Quraish Shihab (“Membumikan” al-Qur`ân, h. 96), sebagai peran ganda,
sebagai manusia biasa dan rasul (syâri’), qadhi, atau pemimpin negara atau
masyarakat, tapi juga terjadi debat berkepanjangan dalam qh as-siyâsah tentang
keberadaan konsep politik Islam yang ditarik akar sejarahnya yang kemudian
dinormativasikan dari sejarah kepemimpinan Muhammad pada periode Madinah.
97 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), juz I,
h. 185.
98 Al-Qurthubî, al-Jâmi’, juz II, h. 131.
99 Al-Khâzin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl (Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1995), juz I, h. 148.
100 Abû al-Faraj Jamâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân ibn ‘Ali Muhammad al-
Jawzî, Zâd al-Masîr  ‘Ilm at-Tafsîr (Beirur: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994),
juz I, h. 127.
63
oleh kondisi keamanan dan ekonomi yang mapan, sifat kepatuhan
secara totalitas kepada Allah swt., serta kepemimpinan dalam
masyarakat dengan tiga fungsinya yang telah disebutkan.
2. Moderasi (Qs. al-Baqarah [2/87]: 143):
















 



(Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu umat
yang moderat agar menjadi saksi atas manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu. Dan Kami tidak
menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan
supaya Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa
yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa
amat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk
bagi Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang.)
Menurut nukilan al-Wâhidî101 dan as-Suyûthî102 yang berasal
dari riwayat Ibn ‘Abbâs, ayat ini diturunkan berkenaan dengan
peristiwa pemindahan kiblat dari Baitul Makdis ke Baitullah. Dalam
riwayat tersebut dijelaskan bahwa sebagian kaum muslimin ingin
mengetahui status shalat mereka dibandingkan dengan orang yang
meninggal sebelum pemindahan kiblat tersebut. Ayat tersebut
diturunkan untuk menjelaskan bahwa Allah tidak akan menyia-
nyiakan iman orang yang beribadah menurut ketentuan ketika itu.
Riwayat ini diperjelas dengan nukilan Abû al-Fajar al-Jawzî yang
101 Al-Wâhidî, Asbâb an-Nuzûl, h. 23.
102 Qamaruddin Shaleh et.al., Asbabun Nuzul, h. 47.
64
bersumber dari riwayat Ibn ‘Abbâs, Abû Sa’îd, Mujâhid, dan riwayat
lain Qatâdah yang menyatakan bahwa ayat tersebut diturunkan
berkenaan dengan ucapan orang Yahudi bahwa kiblat mereka adalah
kiblat para Nabi dan mereka adalah orang-orang yang paling adil
di antara mereka.103
Sesuai dengan latar belakang tersebut, secara global ayat
di atas menjelaskan beberapa hal. Pertama, bahwa Allah telah
menjadikan umat Islam sebagai ummatan wasathan agar menjadi
saksi bagi manusia dan Rasul menjadi saksi bagi umat Islam. Kedua,
pemindahan kiblat tersebut merupakan media evaluasi terhadap
konsistensi pengikut Rasul terhadap ajaran-ajarannya. Ketiga, hanya
orang yang mendapat petunjuk dari Allah yang dapat menerima
pemindahan kiblat tersebut dengan hati yang lapang. Keempat,
Allah tidak akan menyia-nyiakan shalat yang dikerjakan sebelum
pemindahan kiblat tersebut.
Ayat tersebut adalah salah satu ayat yang mengungkapkan
keistimewaan umat Islam dibandingkan dengan umat lain. Namun,
ayat tersebut juga relevan dengan konteks masyarakat yang
diidealisasikan oleh al-Qur`ân berkenaan dengan frase nominal
ummatan wasathan. Para penafsir klasik semisal Ibn Katsîr104 dan
al-Qurthubî105 dan modern semisal Ahmad Mushthafâ al-Marâghî106
sepakat menafsirkan ungkapan wasath(an) dalam ayat tersebut
dengan orang-orang yang adil dan baik (al-‘udûl wa al-khiyâr).
Argumen tekstual yang dikemukakan, antara lain, berupa riwayat
al-Bukhârî107 yang menafsirkan ungkapan tersebut dengan adil dan
diperkuat dengan rujukan makna pada beberapa syair Arab klasik.
103 Abû al-Fajar al-Jawzî, Zâd al-Masîr, juz I, h. 134.
104 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I, h. 191.
105 Al-Qurthubî, al-Jâmi’, juz II, h. 153.
106 Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (Beirut: Dâr Ihyâ at-
Turâts al-‘Arabî, 1985), juz II, h. 6.
107 Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), juz II, h. 264,
juz IV, h. 311.
65
Makna ini diperkuat pula dengan telaah makna akar katanya.
Dari morfologi kata, wasath(an) adalah kata yang berpola wâw, sîn,
dan thâ’ yang secara etimologis bermakna “keadilan” dan “berada di
pertengahan”.108 Dalam Lisân al-‘Arab (IX, h. 305, juga al-Fayyûmî,
h. 658), kata ini diartikan dengan “sesuatu yang berada di antara dua
sisi” yang tidak hanya mengandung pengertian sik (tempat atau
posisi), tapi juga berkonotasi non-sik (sikap).109 Kemungkinan
dua makna konotatif tersebut masih diakui oleh para penafsir dan
mewarnai uraian mereka tentang ayat tersebut.
Menurut ar-Râghib, kata wasath(an) dalam ayat tersebut
menunjukkan konotasi non-sik, yaitu sifat keadilan dan kemampuan
untuk menengahi (al-inshâf). Pendapat ar-Râghib tersebut diperkuat
dengan; pertama, kata wasath(an) dalam ayat tersebut dipertentangkan
dengan “orang-orang yang tidak menggunakan akal” (as-sufahâ’)
pada ayat sebelumnya dalam konteks pandangan Yahudi – menurut
satu riwayat – yang tidak memahami dan menyangkal pemindahan
kiblat dari Baitul Maqdis ke Baitullah, dan, kedua, penggunaan kata
tersebut dalam ayat lain (Qs. al-Qalam [68/02]: 28) dengan ungkapan
qâla awsathuhum (orang yang paling adil di antara mereka berkata.
. . ). Dengan demikian, di samping analisis linguistik, penelusuran
makna juga mempunyai argumen tekstual.
Penafsiran wasath dengan “adil dan baik” pada hakikatnya
merupakan perkembangan dari makna pokoknya, “tengah”. Sesuatu
dianggap baik jika berada pada posisi di antara dua kutub ekstrem,
semisal dalam contoh bahwa keberanian adalah posisi tengah antara
sifat ceroboh dan takut, dan kedermawanan adalah posisi tengah
antara sikap kikir dan boros.110 Dengan demikian, kata wasath
mencakup makna moderasi dalam sikap dan pemikiran.
108 Ibn Fâris, Mu’jam, juz VI, h. 108.
109 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, h. 57.
110 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`ân, h. 328.
66
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, masyarakat
yang moderat adalah masyarakat yang tidak hanyut oleh tarikan
materialisme maupun tarikan ruhaniah semata. Moderasi berarti
memadukan antara tuntutan jasmani dan ruhani, material dan
spiritual. Menurut Sayyid Quthb, tuntutan untuk bersikap moderat
tersebut meliputi beberapa aspek: (a) moderasi dalam tataran
teologis (tentu saja, sikap ini tidak menjustikasi posisi Asy’ariyyah
yang dianggap “moderat”, meski tidak seluruhnya konsisten) dan
keharusan memelihara keseimbangan (tawâzun) antara tuntutan
material dan spiritual, (b) keseimbangan antara penggunaan rasa dan
rasio, (c) keseimbangan antara rasa keinginan bebas dan tuntutan
hukum yang mengikatnya, dan (d) keseimbangan dalam interaksi
sosial antara hak individu dan masyarakat.111
Sifat moderat dalam masyarakat yang ideal menuntut
anggota-anggotanya untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka
dalam pluralisme yang ada, baik dalam agama, budaya, maupun
peradaban.112 Tuntutan untuk bersikap moderat dan menghindari
ekstremitas pemikiran ditemukan dalam Qs. an-Nisâ’ (4/92): 171:










(Wahai Ahlul Kitab, janganlah kamu bersikap melampaui batas
dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap
Allah kecuali yang benar).
Hal yang sama juga ditemukan pada Qs. al-Mâ’idah (5/112):
77 dengan redaksi ayat yang hampir sama. Meski diturunkan dalam
konteks ahl al-kitâb, ayat yang dikutip di atas mempunyai implikasi
yang berlaku umum.113 Al-Qur`ân juga menuntut umatnya untuk
111 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, juz I, h. 131.
112 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`ân, h. 329.
113 Ketentuan ini terformulasikan dalam bentuk kaidah tafsir bahwa patokan
dalam memahami ayat adalah keumuman redaksi ayat (al-‘ibrah bi ‘umûm al-
67
bersikap wasathiyyah dalam membelanjakan harta benda (Qs. al-
Furqân [25/42]: 67):




 


(Dan orang-orang yang jika membelanjakan harta tidak boros
dan tidak pula kikir. Dan (pembelanjaan itu) berada di tengah-
tengah antara demikian itu).
“Posisi tengah” berarti adalah kompromi dalam dua hal
yang bertentangan dengan kadar reduksi pada masing-masing
keduanya. Dalam tafsirnya, al-Manâr,114 Muhammad Rasyîd Ridhâ’
menafsirkan posisi tengah tersebut sebagai posisi pertentangan
antara etika Yahudi yang legal-formal sehingga cenderung terlalu
keras dan etika Kristiani yang terlalu spiritualis.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, masyarakat
yang diidealisasikan oleh al-Qur`ân adalah masyarakat yang anggota-
anggotanya bersikap moderat, baik dalam bidang akidah, pemikiran,
penggunaan rasa dan rasio, interaksi sosial, maupun dalam bidang
ekonomi. Moderasi adalah sebuah keharusan bagi masyarakat
yang selalu diwarnai dengan kemajemukan-kemajemukan untuk
menciptakan keharmonisan hubungan dalam masyarakat.
3. Mengadakan Perubahan Sosial Positif (Qs. ar-Ra’d (13/96):
11)






(Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa (keadaan) yang
ada pada suatu kaum, sehingga mereka mengubah dengan diri
mereka sendiri)
lafzh). Lihat as-Suyûthî, al-Itqân  ‘Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.),
juz I, h. 31.
114 Lihat jilid II, h. 4-5.
68
Riwayat ath-Thabarânî yang bersumber dari Ibn ‘Abbâs
menyatakan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan
kasus Arbad ibn Qays dan ‘Amir ibn ath-Thufayl yang menghadap
Rasulullah untuk meminta hak istimewa dan jabatan jika mereka
berdua masuk Islam. Rasulullah menjawab bahwa mereka berdua
akan diberi hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslimin
lainnya. Persekongkolan jahat terjadi di antara mereka berdua untuk
membunuh Rasulullah. Namun, niat jahat tersebut gagal ketika
tangan Arbad yang mengunuskan pedang menjadi tidak berdaya.
Ketika tiba di Raqm, Allah mengirim petir untuk menyambar Arbad
hingga meninggal.
Berdasarkan latar belakang dan konteks ayat sebelum dan
sesudahnya, ayat di atas semula menjelaskan secara eksplisit bahwa
Allah tidak akan mengubah kemuliaan menjadi kehinaan kecuali
jika hukum-hukum Allah dilanggar. Sebaliknya, dengan memahami
secara logis, perubahan dari kondisi yang buruk kepada kondisi
yang lebih baik tidak akan terwujud dalam masyarakat, kecuali
jika didahului dengan perubahan pandangan dan sikap positif
masyarakat sendiri. Penggunaan partikel hattâ yang berfungsi li
al-ghâyah (penunjuk akhir atau tujuan sesuatu)115 menunjukkan
bahwa perubahan tidak akan terjadi sampai masyarakat sendiri yang
mengadakan perubahan tersebut. Pengertian yang hampir sama juga
ditemukan dalam Qs. al-Anfâl (8/88): 53.


 

  

(Demikian itu karena Allah tidak mengubah suatu nikmat yang
Dia anugerahkan kepada suatu kaum, sehingga mereka sendiri
yang mengubahnya. Dan bahwasanya Allah Maha Mendengar
dan Maha Mengetahui)
115 Mushthafâ Ghalâyainî, Jâmi’, juz II, h. 180 dan juz III, h. 175, as-Suyûthî,
al-Itqân, juz I, h. 162.
69
Menurut Muhammad ‘Izzah Darwazah, ayat di atas mengandung
dorongan terhadap munculnya perubahan-perubahan sosial dengan
motivasi yang timbul dari diri mereka sendiri sesuai dengan tuntunan
al-Qur`ân.116 Dengan melihat redaksinya yang umum, Darwazah
menggolongkan ayat tersebut sebagai ayat yang berbicara tentang
hukum Allah yang berkaitan dengan kemasyarakatan (nâmûs ilâhî
ijtimâ’î ),117 atau sunnat Allâh al-ijtimâ’iyyah
 (hukum sosial) dalam istilah Muhammad ‘Alî
ash-Shâbûnî yang berlaku bagi setiap manusia dalam masyarakat,
lingkungan, generasi, keyakinan dan pemikiran, kondisi sosial,
ekonomi, dan politik.118 Perubahan yang dimaksud dalam ayat
tersebut meliputi dua macam perubahan. Pertama, perubahan yang
pelakunya adalah Allah. Kedua, perubahan sosial yang pelakunya
adalah manusia. Penggunaan dhamîr him pada kata anfusihim yang
merujuk kepada qawm yang disebut sebelumnya menunjukkan
bahwa manusia yang dimaksud sebagai agen perubahan tersebut
adalah manusia sebagai totalitas, bukan dalam kedudukannya
sebagai wujud individual, melainkan sebagai wujud yang tidak
terpisahkan dari anggota-anggota masyarakat lain secara integral.119
Hal ini berarti bahwa setiap anggota masyarakat harus mempunyai
kesadaran untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial yang
positif dalam masyarakat.
Ayat tersebut menekankan faktor manusia sebagai pelaku
perubahan yang diungkapkan dengan kata anfus. Gerakan atau
perubahan yang dilakukan manusia dapat terjadi jika muncul dari
unsur dinamika manusia tersebut yang meliputi dua aspek, yaitu
116 Muhammad ‘Izah Darwazah, at-Tafsîr al-Hadîts (Mesir: Dâr Ihyâ’ al-
Kutub al-‘Arabiyyah, 1963), juz VII, h. 50.
117 Ibid.
118 Muhammad ‘Alî ash-Shâbûnî, Shafwat at-Tafâsîr (Beirut: Dâr al-Fikr,
t.th.) juz II, h. 76.
119 M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur`ân (Bandung: Mizan, 1995),
h. 247.
70
nilai-nilai yang dihayati dan motivasi. Dengan demikian, anfus dalam
ayat tersebut berkaitan dengan sikap mental manusia.120 Berdasarkan
uraian yang dikemukakan, sebuah masyarakat yang ideal adalah
masyarakat yang mampu mengadakan perubahan-perubahan sosial
yang positif, kreatif, dinamis, tidak statis atau jumud. Adanya
tuntutan perubahan tersebut karena tuntutan situasi dan kondisi yang
mengitari sebuah masyarakat juga mengalami perubahan. Bertolak
dari sini, upaya untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial di
masyarakat harus dimulai dari pembinaan sikap mental yang positif
pula. Sebuah masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang mampu
mengadakan perubahan-perubahan sosial yang positif, kreatif,
dinamis, tidak statis, dan jumud. Adanya tuntutan perubahan tersebut
karena situasi dan kondisi yang mengitari sebuah masyarakat selalu
mengalami perubahan dan perkembangan. Masyarakat yang ideal
tumbuh dan berkembang semakin mapan ke arah yang positif. Dalam
Qs. al-Fath (48/111): 29, tuntutan perubahan tersebut digambarkan
secara metaforis sebagai berikut:


 




 






















(Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kar dan
kasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka ruku’
dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-
tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.
Demikianlah, sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
120 Ibid., h. 246.
71
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan
tunasnya, kemudian tunas itu menjadikan tanaman itu kuat, lalu
menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kar (dengan kekuatan orang-
orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka
ampunan dan pahala yang besar.)
Perubahan sosial sebagaimana yang disebut dalam ayat di atas
dapat dilihat dengan rincian-rincian perubahan yang dilakukan oleh
Rasulullah saw. di Madinah. Masyarakat Islam yang dibentuk oleh
Rasulullah saw. tersebut dikenal dengan Masyarakat Madani (al-
mujtama’ al-madanî, medinan society). Beberapa tatanan sosial
dan hubungan antar anggota dalam masyarakat yang terwujud di
Madinah dipandang oleh beberapa intelektual Barat sebagai pola
yang ideal di masanya dan masih relevan untuk sekarang bagi
pembentukan masyarakat yang modern.121 Ide sentral pembentukan
masyarakat tersebut sebagian besar tertuang dalam apa yang disebut
dengan shahîfat Madînah yang dicatat dalam karya-karya sejarah
Islam, semisal dalam Sîrah ibn Hisyâm.122
Sejalan dengan hal di atas, Qs. al-Fath (48/111): 29 yang dikutip
di atas dianggap relevan untuk dikemukakan di samping karena
termasuk kategori madaniyyah, juga berisi deskripsi tentang aspek-
aspek tertentu Masyarakat Madani tersebut, terutama berkenaan
dengan sifat dan hubungan Rasulullah dengan sahabat-sahabat
beliau. Adanya kontinuitas perubahan-perubahan sosial yang positif
sebagai karakteristik masyarakat yang ideal tersebut digambarkan
dalam ayat tersebut secara metafor dalam bentuk sebuah tanaman
yang semakin hari semakin tumbuh dan berkembang menjadi
121 Nurcholish Majid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, h. 4 dan 13.
122 Lihat, lebih lanjut, dalam Ibn Hisyâm, as-Sîrat an-Nabawiyyah, tahqîq
Dr. Suhayl Zakâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), juz I, h. 351-354.
72
kokoh dan tegak lurus di atas pangkalnya. Perumpamaan tersebut
diungkapkan berkenaan dengan sifat dan pola hubungan sosial
Rasulullah saw. dengan sahabat sebagai berikut:
a. Hubungan horisontal sesama anggota masyarakat yang meliputi
hubungan-hubungan berikut. Pertama, hubungan ekstern (ke
luar) dengan anggota masyarakat yang berbeda agama. Dalam
hal ini, orang-orang mukmin bersikap tegas (asyiddâh) terhadap
mereka.123 Bagaimana seharusnya pola hubungan antara muslim
dan non-muslim dalam masyarakat yang diatur menurut tuntunan
al-Qur`ân memerlukan penafsiran yang rinci dan telaah sejarah
yang cermat tentang beberapa ayat al-Qur`ân, seperti ayat-ayat
yang berkaitan dengan status non-muslim dan konsep al-Qur`ân
tentang jihad. Persoalan ini memerlukan kajian tersendiri.
Kedua, hubungan intern (ke dalam) sesama anggota masyarakat
Islam yang didasarkan rasa kasih sayang, persaudaraan, dan
solidaritas sosial yang mengikat mereka sebagai satu kesatuan.
b. Hubungan vertikal dengan Tuhan yang menuntut komitmen
spiritual anggota-anggota masyarakat terhadap kemahaluasan
Tuhan yang dimanifestasikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah
untuk mengharapkan keridhaan-Nya.
c. Sifat rendah hati (tawâdhu’) sebagai manifestasi penghayatan
terhadap makna sujud (baca: ibadah).124 baik dalam hubungan
vertikal dengan Tuhan maupun dalam hubungan horisontal
dengan sesama anggota masyarakat.
D. Mewujudkan Masyarakat Utama: Agenda ke Praksis
Pada bab-bab terdahulu telah dikemukakan beberapa karakteristik
masyarakat yang diidealisasikan al-Qur`ân dengan mengemukakan
beberapa ayat al-Qur`ân. Sebagian besar uraian yang dikemukakan
123 Lihat Qs. al-Mâ’idah (5/112): 54.
124 Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran, h. 1400, Ibn Katsîr, Tafsîr
ibn Katsîr, juz IV, h. 205.
73
lebih bertumpu pada ungkapan berupa ism, seperti muslimatan laka
dan ummatan wasathan yang memberikan konotasi “kemantapan”
(tatsabbut).125 Hal ini sesuai dengan kandungan ayat yang ditafsirkan
yang lebih ditekankan pada pembenahan keyakinan, pemikiran,
dan mentalitas masyarakat yang harus mantap. Pada sub-sub ini,
akan dikemukakan beberapa agenda ke praksis untuk mewujudkan
idealisasi tersebut dengan berpatokan pada ungkapan ayat yang
sebagian besar dalam bentuk fi’l yang memberikan konotasi
“gerak” (tajaddud).126 Hal ini sesuai dengan isi pembahasan yang
sesungguhnya menuntut gerak.
Masyarakat yang diidealisasikan oleh al-Qur`ân adalah
masyarakat yang bergerak secara dinamis dengan beberapa langkah
operasional. Berikut dikemukakan hal-hal penting:
1. Ajakan kepada kebaikan (Qs. Ali ‘Imrân (3/89): 104)
 
 

 


(Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyerukan kepada kebaikan (al-khayr), menyuruh kepada
yang ma’rûf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah
orang-orang yang beruntung.)
Secara global, ayat tersebut mengandung beberapa pengertian:
(1) di antara kaum muslimin, hendaknya ada sekelompok masyarakat
yang tugas dan misinya mengajak kepada al-khayr, (2) menyuruh
untuk mengerjakan yang ma’rûf dan mencegah dari yang munkar,
dan (3) orang yang melaksanakan tugas atau misi tersebut termasuk
orang-orang yang beruntung.
125 M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur`ân, h. 116.
126 Ibid.
74
Klausa yang relevan dengan pembahasan di sini adalah
yad’ûna ilâ al-khayr. Para ulama berbeda pendapat tentang apa
yang dimaksud dengan kata al-khayr dalam ayat tersebut. Di antara
penafsiran-penafsiran yang dikemukakan oleh para ulama adalah
nukilan dari Ibn Mardawayh yang bersumber dari Abû ja’far al-
Bâqir menafsirkan istilah tersebut dengan “mengikuti al-Qur`ân dan
sunnah Rasul”,127 dan riwayat dari Ibn Abî Hâtim yang bersumber
dari pendapat Muqâtil ibn Hayyân menafsirkannya dengan “agama
Islam”.128 Pendapat lain menafsirkannya dengan “ketaatan kepada
Allah”,129 dakwah kepada (agama) Allah”,130 dan “dakwah untuk
mentawhidkan Allah”.131
Perbedaan penafsiran-penafsiran tersebut tampak tidak
subtansial dan lebih banyak merupakan penekanan karena
kecenderungan (ittijâh) masing-masing penafsir. Meski demikian,
kita bisa memetakan metode yang mereka terapkan. Dua penafsiran
pertama termasuk dalam kategori tafsîr bi al-ma’tsûr, sedangkan
penafsiran berikutnya tampak merupakan pemahaman terhadap
teks ayat dan penalaran logis dari tafsîr bi al-ma’tsûr. Penafsiran
yang lebih ekstensif dikemukakan oleh al-Khâzin132 dan Nizhâm
ad-Dîn an-Naysâbûrî133 yang menafsirkan term al-khayr dengan
segala kebaikan yang mencakup segala upaya untuk melakukan
kewajiban agama yang dianjurkan melalui – di sini melihat
munâsabat al-âyât bi al-ma’rûf dan menjauhi segala larangan yang
127 Ibn Katsîr, Tafsîr ibn Katsîr, juz I, h. 391.
128 Asy-Syaukânî, Fath al-Qadîr, juz I, h. 370.
129 Abû al-Faraj al-Jawzî, Zâd al-Masîr, juz I, h. 352.
130 Az-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ’an Haqâ’iq at-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl
fî Wujûh at-Ta’wîl (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz I, h. 221.
131 Muhammad an-Nawawî, Marâh Labîd (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz I,
h. 113.
132 Al-Khâzin, Lubâb at-Ta’wil, juz I, h. 515.
133 Nizhâm ad-Dîn an-Naysâbûrî, Gharâ’ib al-Qur’ân wa Raghâ’ib al-
Furqân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), juz II, h. 226.
75
disampaikan melalui an-nahy ‘an al-munkar. Penafsiran terakhir
ini bertolak dari pandangan bahwa al-khayr terjabarkan dalam al-
amr bi al-ma’rûf dan an-nahy ‘an al-munkar, atau dalam bentuk
argumentasi gramatikal al-‘athf al-khâsh ‘alâ al-‘âm. Mungkinnya
terjadi perbedaan tersebut ditopang oleh bidang semantik kata al-
khayr yang luas. Kata al-khayr dari struktur akar kata berpola
khâ’, yâ’, dan yang secara etimologis bermakna “kelembutan
dan kecenderungan”.134 Secara leksikal, kata tersebut diartikan
sebagai “sesuatu yang baik berdasarkan nilai-nilai objektif yang
dikandungnya, nilai-nilai intrinsik (lidzâtihi).135 Dalam al-Qur`ân,
penggunaannya tidak hanya merujuk kepada kebaikan, tapi juga
mencakup makna “harta”.136 Bahkan, kedua pengertian tersebut
terkadang tercakup dalam satu ayat (Qs. al-Baqarah[2/87]: 215).
Dengan memperhatikan pelbagai konteks pemakaiannya dalam al-
Qur`ân, makna-makna konotatif yang terkadang, antara lain, adalah:
(a) karunia Allah yang tidak terbatas (Qs. Ali ‘Imrân [3/89]: 26), (b)
wahyu Allah (Qs. al-Baqarah [2/87]: 105), (c) keimanan yang tulus
(Qs. 8/88: 70), (d) efek keimanan (Qs. 6/55: 158), (e) amal shaleh
(Qs. 2/87: 110), dan (f) orang-orang beriman pilihan (Qs. 38/38:
47). Berdasarkan konteks pemakaiannya yang bervariasi tersebut,
nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam al-khayr tidak hanya
berkaitan dengan sudut pandang tertentu ajaran agama (religius),
tapi berkaitan pula dengan keduniaan (rasional),137 termasuk sosial
kemasyarakatan. Hal ini bisa dibuktikan dengan menalar ayat yang
dikutip di atas (Qs. Ali ‘Imrân [3/89]:104) dengan pendekatan
sistematis munâsabat al-âyât. Ayat sebelumnya (Ali ‘Imrân: 103)
menegaskan adanya perintah untuk berpegang teguh dengan tali
(agama) Allah, larangan berpecah-belah, dan perintah untuk selalu
mengingat nikmat persatuan dan persaudaraan yang telah terjalin
134 Ibn Fâris, Mu’jam, juz II, h. 232.
135 Ibrâhîm Unais et.al., Mu’jam, juz I, h 264.
136 Lihat, misalnya, Qs. al-Baqarah (2/87): 180 dan 272.
137 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religios Concept, h. 217.
76
dibandingkan dengan kondisi sosial masa Jahiliah yang diliputi
oleh semangat permusuhan dan pertentangan. Larangan tersebut
ditegaskan kembali pada ayat sesudahnya. Dengan demikian,
ayat 104 berkaitan dengan ikhtiar memperkokoh persatuan dan
menjaga keutuhan masyarakat yang, antara lain, terwujud dengan
keberadaan suatu kelompok masyarakat yang misinya mengajak
anggota masyarakat kepada al-khayr. Dengan demikian, nilai-nilai
religius yang menjadi dasar al-khayr dalam ayat tersebut diberikan
muatan nilai sosial, dalam konteks ini kebaikan yang menjadi dasar
untuk menjaga keutuhan masyarakat.
Ayat di atas memuat ungkapan minkum yang perlu dijelaskan
lebih lanjut. Berdasarkan penafsiran mayoritas penafsir, penggunaan
partikel min pada ungkapan minkum tersebut berfungsi sebagai
penunjuk (tab’îdh).138 Ini memberikan pengertian bahwa penafsiran
tentang tugas tersebut dibebankan kepada sebagian kelompok
masyarakat adalah lebih logis karena efektivitas tugas tersebut
menuntut profesionalisme, terutama yang terkait dengan kualitas
intelektual dan moral, dan tidak setiap anggota masyarakat mampu
memikul tanggung jawab terebut, tegas Muhammad Rasyîd
Ridhâ’.139
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, upaya ke arah
pembentukan masyarakat yang ideal menuntut adanya sekelompok
tertentu dalam masyarakat yang misinya mengajak kepada kebaikan
dalam ruang-lingkup pengertian yang telah dijelaskan. Dalam
masyarakat, kelompok dimaksud mencakup elit intelektual, tokoh
masyarakat, atau kelompok sosial yang berkompeten lain.
138 Lihat, misalnya, asy-Syawkânî, Fath al-Qadîr, juz I, h. 370, az-
Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, juz I, h. 221; Ibn Katsîr, Tafsîr ibn Katsîr, juz I, h. 391.
139 Lihat dalam Tafsîr al-Qur`ân al-Hakîm (Tafsîr al-Manâr) (Beirut: Dâr
al-Fikr, t.th.), juz IV, h. 27.
77
2. Al-amr bi al-ma’rûf dan an-nahy ‘an al-munkar, serta
memerkokoh dasar keimanan. (Qs. Ali ‘Imrân (3/89): 110)


 






 

(Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’rûf, dan mencegah dari yang
munkar, serta beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka
ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik.)
Ayat tersebut menegaskan kembali kandungan ayat 104 pada
surah yang sama bahwa masyarakat yang diidealisasikan oleh al-
Qur`ân harus mampu melakukan kontrol sosial yang diungkapkan
dalam bahasa ayat, al-amr bi al-ma’rûf dan an-nahy ‘an al-munkar,
serta memperkokoh dasar keimanan. Secara global, ayat tersebut
mengandung dua komponen pengertian pokok sehubungan dengan
tema bahasan. Pertama, bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia. Kedua, tugas mereka adalah tiga
hal penting, yaitu menyuruh kepada yang ma’rûf dan mencegah
dari yang munkar, serta beriman kepada Allah. Ayat tersebut
dipandang oleh Ibn ‘Abbâs, seorang sahabat yang dipandang paling
otoritatif dalam tafsîr bi al-ma’tsûr, hanya relevan dengan konteks
kehidupan yang diidealisasikannya hanya ada pada kehidupan
Rasulullah setelah berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib (Madînah).140
Tentu saja, Ibn ‘Abbâs, karena hanya bertolak dari riwayat dan
melihat sejarah masa lampau dengan pandangan idealist, melihat
hilangnya relevansi ayat dengan konteks sosial umat Islam sekarang
dan, karenanya, pesan universal ayat menjadi tidak “hidup dan
140 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I, h. 392-397.
78
membumi”. Ibn ‘Abbâs tampak melihat keistimewaan umat Islam
tersebut sebagai yang dianugerahkan (given), buka sebagai sesuatu
yang harus diperjuangkan. Jika kita memperhatikan tiga karakteristik
tersebut yang diungkapkan dengan bentuk ’l atau kata kerja (yang
mengandung konotasi “gerak” dan “perubahan”, tajaddud) dalam
bentuk mudhâri’ (ya