Content uploaded by Wardani Wardani
Author content
All content in this area was uploaded by Wardani Wardani on Aug 14, 2022
Content may be subject to copyright.
Tafsir Ilmiah (Al-Tafsīr Al-'Ilmī)
Al-Qur`An Sebagai Integrasi Ilmu
Konseptualisasi Metode Penafsiran dan Penerapannya
di Universitas Islam Negeri di Indonesia
Wardani
TAFSIR ILMIAH (AL-TAFSĪR AL-’ILMĪ)
AL-QUR`AN SEBAGAI INTEGRASI ILMU
Konseptualisasi Metode Penafsiran dan Penerapannya
di Universitas Islam Negeri di Indonesia
WARDANI
TAFSIR ILMIAH (AL-TAFSĪR AL-’ILMĪ) AL-QUR`AN SEBAGAI
INTEGRASI ILMU
Konseptualisasi Metode Penafsiran dan Penerapannya
di Universitas Islam Negeri di Indonesia
Penulis
Wardani
Tata Letak
Aziziy
Desain Sampul
Zulkarizki
15.5 x 23 cm, x + 206 hlm.
Cetakan pertama, Desember 2021
ISBN: 978-623-5705-44-6
Diterbitkan oleh:
ZAHIR PUBLISHING
Kadisoka RT. 05 RW. 02, Purwomartani,
Kalasan, Sleman, Yogyakarta 55571
e-mail : zahirpublishing@gmail.com
Anggota IKAPI D.I. Yogyakarta
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
iii
KATA PENGANTAR
Al-ḥamd lillāh, penelitian ini bisa dilaksanakan dan disampaikan
laporannya tepat pada waktunya. Penelitian ini merupakan peneliti
kolaborasi antarperguruan tinggi, yaitu UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang Jawa Timur, UIN Syarif Hidayatullah Ciputat Tangerang,
dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tema yang diangkat adalah
tafsir ilmiah (al-tafsīr al-‘ilmī) dilihat dari perspektif integrasi ilmu.
Dalam kesempatan ini, saya menyampaikan terima kasih dan
apresiasi kepada semua pihak yang telah membantu proses penelitian
dan pelaporan penelitian ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan
terutama kepada rektor UIN Antasari, Prof. Dr. H. Mujiburrahman,
M.A. atas kebijakannya dalam penelitian yang memungkinkan
penelitian ini dari aspek pendanaan bisa dilakukan. Di samping
itu, kebijakan terkait dengan visi dan misi, khususnya terkait
dengan integrasi ilmu, sebagai arah kebijakan dalam pengembangan
keilmuan.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada pihak
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M),
khususnya Pusat Penelitian dan Publikasi Ilmiah, di UIN Antasari
Banjarmasin. Melalui program penelitian yang terintegrasi dalam
Litapdimas, penelitian ini bisa dilaksanakan secara maksimal.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada anggota tim
penelitian yang turut andil dalam penelitian dan pelaporannya, yaitu
Dr. Muh. Tasrif, M.Ag., dosen pada Fakultas Ushuluddin, Adab,
dan Dakwah (FUAD) IAIN Ponorogo Jawa Timur dan mahasiswa
prodi IAT Fakultas Ushuluddin UIN Antasari, Rania Salwa Kurniati.
Terakhir, semoga penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan
keilmuan, khususnya tafsir ilmiah dan integrasi ilmu di PTKIN.
Kajian yang bersifat evaluatif ini dimaksudkan untuk memberikan
iv
catatan yang harus ditindaklanjuti dalam pengembangan integrasi
ilmu.
Banjarmasin, 25 November 2021
Ketua Tim,
Dr. H. Wardani, M.Ag.
v
KATA SAMBUTAN
Kepala Pusat Penelitian dan Publikasi Ilmiah
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Islam Negeri Antasari
Al-ḥamd lillāh, kita panjatkan rasa syukur kepada Allah swt. atas
segala kenikmatan yang diberikan-Nya kepada kita, baik kenikmatan
iman, maupun kenikmatan dalam berpikir dan kenikmatan dalam
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat.
Dengan rampungnya proses penelitian, publikasi ilmiah,
khususnya publikasi buku ajar, dan pengabdian kepada masyarakat
tahun anggaran 2021, kami dari Pusat Penelitian dan Publikasi Ilmiah
LP2M UIN Antasari menyampaikan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada semua peneliti, penulis, dan insan
pengabdian atas komitmen dan kinerja mereka. Semua proses, baik
dari proses seleksi, pelaksanaan, dan pelaporan berjalan dengan
baik.
Pada tahun 2021, UIN Antasari Banjarmasin mendapatkan
kucuran dana dari BOPTN pusat sebanyak 2.313.000.000. Dana ini
terserap oleh 76 judul penelitian, publikasi, dan pengabdian kepada
masyarakat. Dana ini sebenarnya dialokasikan untuk membiayai tiga
jenis klaster ini, tidak hanya penelitian, sesuai dengan kebijakan
nasional tentang penggunaan dana BOPTN, sehingga sektor
publikasi ilmiah dan pengabdian kepada masyarakat juga mendapat
kucuran dana.
Khusus pada klaster publikasi, memang sesuai dengan kebijakan
Kementerian Agama RI diarahkan untuk publikasi buku ajar. Hal
ini mengingat memang kebutuhan akan penulisan dan publikasi
buku ajar adalah kebutuhan yang sangat mendesak, karena
salah satu tuntutan terhadap dosen dalam pelaksanaan tridharma
vi
perguruan tinggi, khususnya dalam pengajaran, adalah tertulisnya
dan terpublikasikannya buku ajar. Idealnya, dalam pembelajaran,
dosen mengajar dengan menggunakan buku ajar yang ditulisnya,
bahkan yang berasal dari hasil penelitian yang dilakukan, di samping
buku-buku referensi lain yang standar. Seiring dengan kebijakan
dalam publikasi ini, pada tahun sebelumnya, Pusat Penelitian dan
Publikasi Ilmiah juga telah menginisiasi penerjemahan buku-buku
teks (textbook) berbahasa Inggris dan berbahasa Arab yang menjadi
rujukan pembelajaran. Di samping itu, klaster pengabdian kepada
masyarakat juga ditawarkan pada tahun 2021, karena memang
penelitian, publikasi, dan pengabdian adalah tiga hal yang tidak
terpisahkan.
Salah satu hal yang berbeda dalam penyelenggaran penelitian,
publikasi, dan pengabdian pada tahun 2021 ini adalah diseminasi
secara mandiri (swa-diseminasi). Pertama, hal ini menjadi
kebijakan LP2M karena dana anggaran BOPTN untuk kegiatan ini
tidak memungkinkan menyelenggarakan lagi diseminasi dengan
biaya kampus, apalagi dengan level lokal, ragional, nasional, dan
internasional, sebagaimana telah pernah dilakukan sebelumnya.
Kedua, di samping alasan ini, tentu saja model diseminasi ini
memberikan peluang untuk variasi dalam diseminasi, baik dengan
kerja sama dengan fakultas atau instansi lain, atau secara mandiri
dengan bentuk-bentuk yang telah ditawarkan.
Sehubungan dengan selesainya pelaksanaan penelitian,
publikasi, dan pengabdian, maka para peneliti, penulis, dan
insan pengabdian harus memperhatikan beberapa hal. Pertama,
kewajiban tagihan berupa outcome harus dilaksanakan, misalnya
penelitian yang outcome-nya adalah publikasi artikel, baik di
jurnal nasional maupun jurnal internasional. Kedua, kewajiban
mengembangkan hasil penelitian, publikasi, dan hasil pengabdian
lebih jauh, karena semua kegiatan ini tidak semata berorientasi
pada hasilnya yang bermanfaat pada tataran kognitif, melainkan
vii
secara nyata berkontribusi lebih lanjut dalam perbaikan masyarakat,
baik masyarakat akademik perguruan tinggi, kalangan profesional,
maupun instansi-instansi pemerintah dan LSM pemanfaat hasil
penelitian, publikasi, dan pengabdian. Pengembangan menjadi
mata rantai yang harus dihubungkan dari semua aktivitas atau
program itu. Sebagai contoh, publikasi buku ajar diharapkan
dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk referensi bagi mata kuliah
yang diajarkan. Begitu juga, pengabdian masyarakat diharapkan
bisa menyentuh inti persoalan masalah yang dialami oleh subjek
dampingan dan berorientasi berkelanjutan dengan memanfaatkan
stakeholder yang terlibat.
Baik penelitian, publikasi, dan pengabdian kepada masyarakat
adalah kegiatan-kegiatan yang terus dan akan terus dilaksanakan oleh
LP2M sebagai lembaga yang diamanahi untuk melaksanakannya.
Tentu saja, semua hal itu adalah bagian dari upaya untuk menjaga
tradisi akademik di UIN Antasari sebagai perguruan tinggi yang dari
visi dan misinya ingin mewujudkan perguruan tinggi yang unggul,
berakhlak, berbasis lokal, berwawasan global, serta berpikiran yang
integratif antara paham keislaman dan kebangsaan. Ini adalah cita-
cita mulia yang ingin diwujudkan. Oleh karena itu, semangat atau
spirit ini seharusnya dipahami, dihayati, dan diimplementasikan
dalam semua kegiatan ini.
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah swt, karena UIN
Antasari sebagai salah satu PTKIN di Indonesia dalam beberapa
tahun di masa pandemi Covid-19 ini bisa menyelenggarakan
penelitian, publikasi, dan pengabdian di tengah gagalnya beberapa
PTKIN lain dalam merebut peluang ini dengan berbagai kendala,
seperti refocusing anggaran ke penanganan pandemi ini, yang
mereka hadapi. Pada beberapa kasus di PTKIN lain, penelitian,
publikasi, dan pengabdian tidak bisa dilaksanakan sama sekali, dan
sebagian lagi hanya bisa dibayar sebagian dana saja dan dibebankan
pembayarannya pada tahun berikutnya. Carut-marutnya hal ini di
viii
beberapa PTKIN, tentu saja, disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain ketidaksiapan melaksanakan seleksi proposal dan melakukan
pencairan tepat waktu sebelum refocusing, dan sebagian karena
memang seluruh dana hanya digunakan untuk alokasi keperluan
lain. Al-ḥamd lillāh, LP2M UIN Antasari termasuk di antara PTKIN
yang telah berhasil menyelenggarakan seleksi ini dan memprosesnya
secara tepat waktu. Oleh karena itu, ini adalah sesuatu yang harus
disyukuri. Rasa syukur tersebut, tentu saja, diwujudkan dalam
bentuk komitmen dalam menjaga kualitas penelitian, publikasi,
dan pengabdian.
Akhirnya, kita semua berharap agar segala upaya kita ini
memberikan manfaat bagi pengembangan academic performance
para dosen dan fungsional lain dalam menjalankan fungsi dua dari
tridharma perguruan tinggi. Bahkan, lebih dari itu, semoga hasil
kegiatan semua ini bermanfaat bagi masyarakat akademik dan
masyarakat luas. Āmīn yā rabb al-‘ālamīn.
Banjarmasin, 2 November 2021
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................... iii
KATA SAMBUTAN ................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................ ix
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Kajian-Kajian Terdahulu ................................................... 3
C. Kerangka Teori .................................................................. 9
D. Metode ............................................................................... 12
E. Sistematika ........................................................................ 14
BAB II
TRADISI KEILMUAN DALAM KAJIAN AL-QUR`AN
DAN TAFSIR DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH,
UIN SUNAN KALIJAGA, DAN UIN MAULANA
MALIK IBRAHIM: LATAR HISTORIS DAN KILAS
PERKEMBANGANNYA ........................................................ 15
A. UIN Syarif Hidayatullah .................................................. 15
B. UIN Sunan Kalijaga .......................................................... 19
C. UIN Maulana Malik Ibrahim ............................................. 23
BAB III
PERKEMBANGAN TAFSIR ILMIAH (AL-TAFSĪR
AL-‘ILMĪ) DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG: DARI
METODE HINGGA PRODUK TAFSIR ................................. 33
A. Pemikiran Metode Tafsir .................................................. 33
B. Produk-Produk Tafsir Ilmiah (al-Tafsīr al-‘Ilmī) .............. 55
x
BAB IV
PERKEMBANGAN TAFSIR ILMIAH (AL-TAFSĪR
AL-‘ILMĪ) DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA: DARI METODE HINGGA
PRODUK TAFSIR ................................................................... 83
A. Tafsir Ilmiah al-Qur`an sebagai Bagian dari Filosofi
Integrasi Ilmu: Jejak Sang Rektor “Arsitek”, M. Amin
Abdullah ............................................................................ 83
B. Pemikiran tentang Metode Tafsir ...................................... 96
C. Produk-Produk Tafsir Ilmiah (al-Tafsīr al-‘Ilmī) .............. 123
BAB V
PERKEMBANGAN TAFSIR ILMIAH (AL-TAFSĪR AL-
‘ILMĪ) DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH: DARI METODE HINGGA PRODUK
TAFSIR .................................................................................... 135
A. Tafsir Ilmiah al-Qur`an sebagai Bagian dari Filosofi
Integrasi Ilmu: Jejak Sang Rektor “Arsitek”,
Harun Nasution ................................................................ 135
B. Pemikiran tentang Metode Tafsir ...................................... 143
C. Produk-Produk Tafsir Ilmiah (al-Tafsīr al-‘Ilmī) .............. 163
BAB VI
POLA INTEGRASI ILMU YANG DIKEMBANGKAN ........ 173
A. UIN Maliki Malang ........................................................... 173
B. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ....................................... 181
C. UIN Syarif Hidayatullah .................................................. 186
BAB VII
PENUTUP ................................................................................ 191
A. Simpulan ............................................................................ 191
B. Rekomendasi ..................................................................... 194
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 195
BIODATA PENULIS ............................................................... 205
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangan kelembagaan perguruan tinggi keagamaan
Islam Negeri, sebanyak 17 PTKIN yang semula berstatus Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN),
UIN Syarif Hidayatullah, UIN Sunan Kalijaga, UIN Sunan Ampel,
UIN Walisongo, UIN Maulana Malik Ibrahim, dan UIN Antasari.
Bahkan, dalam Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJM)
Kementerian Agama, direncanakan peralihan IAIN menjadi 30 UIN
sejak 2020.1 Peralihan status menyisakan problem epistemologi
keilmuan, karena peralihan itu mengandaikan adanya integrasi
antara ilmu Islam dan ilmu pengetahuan umum. Meski masing-
masing UIN, sebelum peralihan status, telah merumuskan filosofi
integrasi ilmunya, seiring dengan berjalannya waktu, persoalan yang
kini ditunggu adalah bagaimana penerapannya dalam kajian-kajian
keislaman.
Tafsir al-Qur`an adalah ilmu Islam yang utama dibandingkan
ilmu-ilmu Islam lain, seperti teologi, fiqh, dan tashawuf, karena
melalui tafsirlah, ajaran-ajaran al-Qur`an sebagai sumber utama
ajaran Islam dipahami secara benar. Dalam konteks integrasi ilmu,
tafsir ilmiah (al-tafsīr al-’ilmī), yaitu penafsiran yang menggunakan
sumber-sumber temuan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu alam
(natural sciences) maupun ilmu-ilmu sosial dan humaniora
(social sciences and humanities), seperti biologi, fisika, sosiologi,
antropologi, sejarah, dan filsafat. Tantangan untuk mengintegrasikan
ilmu-ilmu Islam dengan ilmu-ilmu umum dalam bentuk tafsir ilmiah
1Nashih Nashrullah dan Novita Intan, “Kemenag Wacanakan Alih Status
30 IAIN Menjadi UIN”, dalam https://m.republika.co.id (diakses 2 Maret 2021)
2
itu tersebut perlu perlu dikaji dari dua aspek; pertama, konseptualisasi
metode penafsirannya (manhaj); kedua, penerapannya dalam bentuk
penafsiran (tafsīr).
Fokus riset ini adalah penerapan integrasi ilmu dalam bentuk
tafsir ilmiah di tiga UIN, yaitu UIN Syarif Hidayatullah Tangerang,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang. Dua UIN pertama telah lama beralih status dan telah lama
melakukan kajian-kajian tafsir yang intensif, baik di jenjang S1,
maupun S2 dan S3. UIN terakhir adalah PTKIN yang paling gencar
menerapkan jenis tafsir ini.
Banyak karya-karya yang berisi penerapan tafsir jenis ini,
misalnya, di UIN Malang: Ekonomi Qur`ani: Doktrin Reformasi
Ekonomi dalam al-Qur`an karya Mishbahul Munir dan A.
Djalaluddin, Filsafat Sains dalam al-Qur`an karya M. Hadi
Masruti dan Imron Rossidy, Analisis Matematis terhadap Filsafat
al-Qur`an karya Abdussakir, Ada Matematika dalam al-Qur`an
karya Abdussakir, dan Indahnya Matematika dalam al-Qur`an karya
Hairurrahman.2
Buku ini bertujuan untuk mengkaji tiga hal. Pertama, bagaimana
integrasi ilmu yang tercermin dalam bentuk konseptualisasi metode
tafsir ilmiah yang dikemukakan oleh para akademisi di tiga UIN
tersebut? Kedua, bagaimana integrasi ilmu dalam bentuk produk
penafsiran secara saintifik tersebut? Ketiga, apa pola integrasi ilmu
yang dikembangkan?
Kajian ini signifikan untuk dilakukan dilihat dari beberapa hal.
Pertama, kajian ini bisa menjelaskan penerapan dan perkembangan
integrasi ilmu di tiga UIN ini dari perspektif tantangannya
2Penulis mencatat setidaknya ada 29 judul buku yang berisi tafsir ilmiah
seperti ini. Lihat lebih lanjut dalam Wardani, “Sosiologi al-Qur`an: Integrasi Ilmu
Tafsir dan Ilmu Sosial”, dalam Wardani, Sosiologi al-Qur`an: Menuju Masyarakat
Ideal Berbasis Spiritualitas, Moderasi, dan Berperadaban Maju (Yogyakarta:
Zahir Publishing, 2020), xi.
3
apa yang yang ingin direspon. Kedua, kajian ini menjelaskan
tentang perkembangan pemikiran metode tafsir (manhaj tafsir)
ilmiah terhadap ayat-ayat al-Qur`an sebagai bagian dari bentuk
integrasi ilmu yang dikembangkan di tiga UIN ini. Ketiga, kajian
ini menjelaskan tentang penerapan integrasi ilmu dalam bentuk
penafsiran (tafsīr) secara ilmiah terhadap ayat-ayat al-Qur`an.
Keempat, kajian ini bisa menjelaskan pola integrasi ilmu yang
dikembangkan, dari kategorisasi Ian Barbour, baik model teologi
natural (natural theology), teologi alam (theology of nature), atau
model filsafat proses Whitehead, yang dikembangkan di tiga UIN
ini.
B. Kajian-Kajian Terdahulu
Kajian tentang tafsir ilmiah di Indonesia tidak menyentuh
perkembangan yang kontinyu dan berlangsung secara sistematis
dan mendalam yang dilakukan oleh PTKIN. Kajian-kajian yang
dilakukan, misalnya, oleh Sulaiman (2019),3 Hasyim Haddade
(2017),4 Sujiat Zubaidi Saleh (2016),5 dan Sulthan Syahril (2009)6
mengkaji tafsir jenis hanya dari perspektif yang sangat teoretis, dari
kajian penafsiran ayat-ayat al-Qur`an yang menopangnya, searah
perkembangannya, perdebatan di kalangan mufassir, hingga kajian
isu tertentu. Sayangnya, kajian ini terpaku pada uraian normatif,
tidak melihat penerapannya secara faktual. Kajian-kajian di
3Sulaiman, “Tafsir Ilmi dalam Perspektif al-Qur`an”, dalam al-Bayan: Jurnal
Ilmu al-Qur`an dan Hadits, vol. 2, no. 2 (2019), 164-175.
4Hasyim Haddade, “Air Perspektif al-Qur`an dan Sains”, dalam Jurnal
Tafsere, vol. 4, no. 2 (2016), 17-30.
5Sujiat Zubaidi Saleh, “Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur`an”, dalam
Tsaqafah, vol. 7, no. 1 (2011), 109-132.
6Sulthan Syahril, “Kontroversi Para Mufasir di Seputar Tafsir bi al-Ilmi”,
dalam Millah, vol. 8, no. 2 (2009), 225-239.
4
Indonesia tentang hal ini dari aspek teori bahkan diwarnai dengan
7
Kajian atas fakta faktual tentang penerapan tafsir ilmiah
di Indonesia lebih banyak hanya dilakukan terhadap penafsiran
individual, baik pada fase awal perkembangan tafsir di Indonesia,
seperti tafsir an-Nur karya T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy,8 al-Qur`an,
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi karya Achmad Baiquni9 maupun
tafsir-tafsir modern, seperti Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish
Shihab,10 Tafsir Salman karya ilmuwan ITB,11 dan Ayat-ayat Semesta:
Menjadikan al-Qur`an sebagai Basis Konstruksi Ilmu Pengetahuan
karya Agus Purwanto.12 Di samping berisi kajian atas pandangan
teoretis dan penerapan tafsir ilmiah, kajian atas karya individual juga
diwarnai oleh kajian tentang kepentingan atau ideologi tafsir, seperti
tampak dalam kajian Ulya Fikriyati.13 Kajian-kajian atas penafsiran
saintifik secara individual tentu saja hanya memiliki pengaruh yang
7
terhadap Ayat Eskatologis mengenai Kematian”, skripsi (Jambi: UIN Sulthan
2019).
8
dari Tafsir An-Nur Hingga Tafsir Salman”, dalam Millati: Journal of Islamic
Studies and Humanities, vol. 2, no. 2 (2017), 239-257.
9Lihat Nur Hamiyatun, “Pemikiran Tafsir Ilmi Karya Ahmad Baiquni”, dalam
At-Tuhfah: Jurnal Keislaman, vol. 7, no. 2 (2018): 69-80; idem, dalam al-Ibrah:
Jurnal Pendidikan dan Keilmuan Islam, vol. 3, no. 1 (2018), 29-41.
10Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, “Tafsir ‘Ilmi: Kajian Metodologis
atas Ayat-ayat Kauniyah dalam Tafsir al-Mishbah Karya Muhammad Quraish
Shihab”, dalam Sosio-Religia, vol. 9, edisi khusus (2010), 33-45.
11Lihat Hamiyatun, “Pemikiran Tafsir Ilmi…”; Annas Rolli Muchlisin dan
12Muhammad Anwar Rudin, “Studi Tafsir Ilmi; Kritik Metodologis Ayat-ayat
Semesta Karya Agus Purwanto”, skripsi (Tulungagung: IAIN Tulungagung, 2019).
13
dan Kebutuhan Pragmatis (Menimbang Tafsir Karya Ahmad Baiquni)”, dalam
al-Burhan, vol. 13, no. 1 (2013): 51-68.
5
terbatas, karena penafsirannya bersifat individual, bukan penafsiran
saintifik yang berakar dari perspektif keilmuan perguruan tinggi
keagamaan Islam dalam bentuk rumusan kebijakan visi dan misi
integrasi ilmu yang mendasarinya, basis metodologi penafsiran
yang terancang dengan baik dan sistematis. Filosofi integrasi ilmu
dan metodologi tafsir menghasilkan penafsiran saintifik yang lebih
massif dan mendalam, seperti yang dilakukan oleh para akademisi
di berbagai PTKIN di Indonesia.
Artikel, Thematic Scientific Interpretation of the Qur`an in
Indonesia, sama halnya dengan kajian-kajian di atas yang menyoroti
kajian-kajian tafsir ilmiah secara individual, sebenarnya juga lebih
cenderung kepada pemetaan karya-karya tafsir individual. Artikel
ini berkesimpulan bahwa ada 3 kategori tafsir ilmiah tematik di
Indonesia, yaitu karya barupa buku dan conpendium yang berisi
kajian tema-tema umum, karya berupa buku dan risalah yang
menghadirkan berbagai tema dilihat dari sudut pandangan tafsir
ilmiah, dan karya dalam bentuk antologi yang berisi uraian ilmiah
kemukjizatan al-Qur`an.14
Di Indonesia, selain PTKIN, lembaga yang concern terhadap
kajian tafsir ilmiah adalah Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an
(LPMQ) yang telah menghasilkan rangkaian tafsīr ‘ilmī. Faizin
(2020) telah mengkajinya dalam konteks penafsiran ayat-ayat
yang berkaitan dengan kisah-kisah al-Qur`an,15 Ali Hamdan dan
Miski (2019) tentang lebah,16 dan Fitri Purwati (2018) tentang
14M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, “Thematic Scientific Interpretation
of the Qur`an in Indonesia”, dalam Advances in Social Sciences, Education and
Humanities Research (ASSEHR), vol. 137 (2017): 43-50.
15Faizin. “Kisah al-Qur`an dalam Tinjauan Sains (Studi atas Serial Tafsir
Ilmi Kementerian Agama RI), dalam al-Quds: Jurnal Studi Alquran dan Hadis,
vol. 4, no. 1 (2020): 77-96.
16Ali Hamdan dan Miski, “Studi atas Tafsir Ilmi Lebah Menurut al-Qur`an
dan Sains Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur`an Kemenag RI di Youtube,” dalam
Religia: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, vol. 22, no. 2 (2019): 248-266.
6
astronomi dalam al-Qur`an.17 Ahmad Muttaqin (2016) mengkajinya
dari perspektif kepentingan pemerintah di dalamnya, meski tidak
diuraikan secara argumentatif dan memadai.18
PTKIN yang berbentuk UIN memiliki posisi yang strategis
dalam upaya untuk mengintegrasikan ilmu Islam dengan sains.
Melalui perguruan tinggi inilah, tafsir ilmiah ditata di atas
landasan filosofisnya tentang integrasi ilmu dan diberikan landasan
metodologisnya sebelum diterapkan dalam bentuk penafsiran. Kajian-
kajian selama ini tentang tafsir ilmiah sebagai bentuk integrasi ilmu
dilakukan oleh Ach. Maimun (2019) terbatas pada pandangan tokoh-
Golsyani.19 Akibatnya, seperti pada kajian-kajian di atas, uraiannya
bersifat teoretis, bahkan tidak dalam konteks konteks keindonesiaan.
Kajian tafsir ilmiah sebagai integrasi ilmu dilakukan oleh Faizin
(2017). Namun, yang ia maksud dengan integrasi ilmu di sini adalah
pertama, bentuk integrasi ilmu, yaitu deduktif-konfirmatif, di mana
teori ilmu pengetahuan dijadikan sebagai penjelas ayat-ayat al-
Qur`an yang relevan; kedua, paradigma, yaitu paradigma teologi
sebagai basis integrasi dan paradigma integrasi sebagai instrumen
pengembangan nilai.20
Sejauh pelacak penulis, kajian-kajian integrasi ilmu dalam
bentuk tafsir ilmiah selama ini di Indonesia tidak menyentuh
17Fitri Purwati, “Metode Tafsir Ilmi Kementerian Agama (Studi Penafsiran
Ayat-ayat Astronomi), skripsi (Banten: Universitas Islam negeri Sultan Muhamad
Hasanuddin, 2018).
18Ahmad Muttaqin, “Konstruksi Tafsir Ilmi Kemenag RI-LIPI: Melacak
Unsur Kepentingan Pemerintah dalam Tafsir”, dalam Religia, vol. 19, no. 2
(2016), 74-88.
19
(Mempertimbangan Signifikansi dan Kritiknya”, dalam ’Anil Islam, vol. 12, no
(2019), 36-62.
20Faizin, “Integrasi Agama dan Sains dalam Tafsir Ilmi Kementerian Agama
RI”, dalam Jurnal Ushuluddin, vol. 25, no. 1 (2017), 19-33.
7
perkembangan yang sangat marak di PTKIN, khususnya ketika
IAIN beralih status ke UIN. Kajian-kajian yang selama ini dilakukan
lebih banyak berkutat pada filosofi atau paradigma integrasi ilmu
dan trend perkembangannya.21 Kajian tentang penerapan integrasi
ilmu di PTKIN yang dilakukan oleh Mujiburrahman et. al., meski
fokus pada aspek pembelajaran dan penelitian, tidak menyentuh
persoalan penerapannya dalam penelitian khususnya dalam bentuk
tafsir ilmiah.22
Kajian-kajian hubungan agma dan sains di sekolah dan
perguruan tinggi di Barat, seperti dilakukan oleh Joseph W. Shane
et. al. (2016),23 Lluis Aviedo dan Alvaro Garre (2015),24 Christopher
21Abu Darda, “Integrasi Ilmu dan Agama: Perkembangan Konseptual di
Indonesia”, dalam At-Ta`dib, Vol. 10, No. 1 (Juni 2015), 33-46; Abdul Aziz,
“Paradigma Integrasi Sains dan Agama: Upaya Transformasi IAIN Lampung
ke Arah UIN”, dalam al-Adyan, Vol. VIII, No. 2 (Juli-Desmber 2013), 67-90;
Muhammad Nur, “Paradigma Keilmuan UIN Raden Intan Lampung”, dalam
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No. 1 (Juni 2018), 1-20; Anshori
dan Zaenal Abidin, “Format Baru Hubungan Sains Modern dan Islam (Studi
Integrasi Keilmuan atas UIN Yogyakarta dan Tiga Universitas Islam Swasta
Sebagai Upaya Membangun Sains Islam Seutuhnya Tahun 2007-2013”, dalam
Profetika: Jurnal Studi Islam, Vol. 15, No. 1 (Juni 2014), 90-108; Muhammad
Muslih, “Tren Pengembangan Ilmu di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta”, dalam
Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, Vol. 12, No. 1 (2017), 104-
139; Toto Suharto, “The Paradigm of Theo-Antropo-Cosmocentrism: Reposition
of the Cluster of Non-Islamic Studies in Indonesian State Islamic Universities”,
dalam Walisongo, Vol. 23, No. 2 (November 2015), 252-282.
22Lihat Mujiburrahman, M. Rusydi, dan Musyarrafah, Integrasi Ilmu:
Kebijakan dan Penerapannya dalam Pembelajaran dan Penelitian di Beberapa
UIN (Banjarmasin: Antasari Press, 2018).
23Joseph W. Shane et. al., ”Beyond Evolution: Addressing Broad Interactions
between Science and Religion in Science Teacher Education”, dalam Journal of
Science Teacher Education, vol. 27, no. 2 (2016), 165-181.
24Lluis Aviedo dan Alvaro Garre, “The Interaction between Religion and
Science in Catholic Southern Europe (Italy, Spain, Portugal)”, dalam Zygon, vol.
50, no. 1 (2015), 172-191.
8
P. Scheitle (2011),25 Michael J. Ries (2010),26 Lisa Michelle Martin-
Hanse (2008),27 Harry L. Shipman et.al (2002),28 hanya menyentuh
problematika pengajaran sains dihubungkan dengan agama serta
respon para mahasiswa/siswanya atas konflik antara keduanya.
Persoalan hubungan antara agama dan sains ini memang menjadi
isu serius, karena dominasi sains dalam menjelaskan berbagai fakta
alam yang kemudian dikontraskan dengan penjelasan agama yang
dianut.
Tafsir ilmiah memang khas merupakan problem yang dihadapi
oleh perguruan tinggi Islam, di mana tafsir diajarkan. Namun,
sayangnya, perguruan-perguruan tinggi di negara-negara Islam,
seperti al-Azhar, isu ini bergulir begitu saja tanpa dikaji secara
serius. Kajian tentang hubungan agama dan sains yang perlu disebut
di sini adalah kajian Nasser Mansour, yaitu bahwa konflik antara
sains dan agama di benak para guru/ dosen di Mesir adalah karena
sains dipersepsikan berasal dari Barat (anti-Eurocentrisme) dan
pengaruh kuat ide penciptaan (creationism), karena basis ajaran
yang dianut kuat, dibandingkan pandangan bahwa alam adalah hasil
dari proses evolusi (evolutionism). Faktor lain adalah karena efek
negatif penggunaan sains.29
25Christopher P. Scheitle, “U.S. College Students’ Perception of Religion
and Science: Conflict, Collaboration or Independence? A Research Note”, dalam
Journal for the Scientific Study of Religion, vol. 50, no. 1 (2011), 175-186.
26J. Ries, “Science and Religion: Implications for Science Educator”, Cultural
Studies of Science Education 5 (2010), 91-101.
27Lisa Michelle Martin-Hanse, “First-Year Students’ Conflict with Religion
and Science, dalam Science and Education 17 (2008), 317-357.
28Harry L. Shipman et.al., “Changes in Student View of Religion and Science
in a College Astronomy Course”, dalam Science Education, vol. 86, no. 4 (2002),
526-547.
29Nasser Mansour, “Science Teacher’s View of Science and Religion vs the
Islamic Perspective: Conflicting or Compatible?”, dalam Science Education 95,
no. 2 (2011), 296-297.
9
Berbeda dengan kajian-kajian terdahulu, kajian yang akan
dilakukan ini terfokus pada perkembangan pemikiran metode tafsir
ilmiah dan penerapannya dalam karya-karya tafsir yang dilihat
secara komprehensif sebagai bagian penerapan integrasi ilmu yang
filosofinya telah dicanangkan oleh masing-masing UIN ketika
peralihan statusnya dari IAIN. Dengan demikian, penelitian ini
meneliti isu dari perspektif yang lebih luas, karena sebagai integrasi
ilmu secara kelembagaan, bukan individual.
C. Kerangka Teori
Penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan interdisipliner
(interdisciplinary approach) dengan dua tingkat. Pertama, kajian
normatif dari perspektif ilmu tafsir, yaitu tentang bagaimana tafsir
ilmiah dirumuskan secara metodologi. Kedua, penafsiran saintifik
dalam bentuk penerapannya.
Dalam konteks pertama, akan dikaji tentang bagaimana ilmu
tafsir secara metodologis diintegrasikan dengan sains, baik ilmu-
ilmu alam (natural sciences) maupun ilmu sosial dan humaniora
(social sciences and humanities). Teori yang diterapkan untuk
menganalisis integrasi pada level metodologi tafsir ini adalah
perspektif filsafat ilmu, dalam ranah ontologi, epistemologi, dan
aksiologi tentang bagaimana al-Qur`an difungsionalisasikan dalam
proses keilmuan. Dalam perspektif ini, fungsionalisasi al-Qur`an
dalam konteks integrasi ilmu bisa diklasifikasikan: (1) fungsi al-
Qur`an dalam perumusan hakikat ilmu, (2) fungsi al-Qur`an dalam
perumusan teori (theory building), metode dan sumber ilmu, dan
(3) fungsi al-Qur`an sebagai rujukan nilai.30
30Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007); idem, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2017. Tentang contoh penerapan perspektif
ini dalam kajian integrasi ilmu, lihat, Wardani, “Posisi al-Qur`an dalam Integrasi
Ilmu: Telaah terhadap Pemikiran Kuntowijoyo dan M. Dawam Rahardjo, dalam
Nun, vol. 4, no. 1 (2018), 107-157.
10
Dalam konteks kedua, akan dikaji bagaimana pola atau model
integrasi ilmu yang dikembangkan. Secara teoretik, pandangan
tentang hubungan antara agama dan sains bisa diklasifikasikan
menjadi empat model. Pertama, pandangan instrumentalis, yaitu
bahwa ilmu adalah sesuatu yang netral, karena ilmu hanyalah alat
(instrumen) yang baik-buruknya tergantung pada penggunanya.
Kedua, islamisasi ilmu, yaitu bahwa ilmu dianggap tidak netral, karena
ia lahir dan tumbuh dari pandangan-dunia perumusnya, sehingga
ilmu yang berkembang di Barat harus dikritisi, atau disesuaikan
dengan ajaran Islam (diislamisasikan). Ketiga, saintifikasi Islam,
yaitu bahwa ilmu harus dibangun dari khazanah Islam sendiri,
bukan dengan islamisasi ilmu, apalagi dengan menerima ilmu Barat
begitu saja. Keempat, integralisme, yaitu bahwa Islam dan ilmu
pengetahuan modern harus diintegrasikan secara bersamaan, baik
pada ranah ontologi, epistemologi, maupun aksiologi.31
Tipologi model hubungan agama dan sains yang juga searah
adalah: (1) bahwa keduanya masing-masing berdiri sendiri (target-
dependent thinking), (1) keduanya bisa disintesiskan dalam wujud
lain (synthetic thinking), dan (3) keduanya bisa diintegrasikan
(integrated thinking).32 Tipologi yang umum dipakai dikemukakan
oleh Ian Barbour, yaitu konflik, independen, dialog, dan integrasi.
Perspektif untuk melihat integrasi dalam penelitian ini diadopsi dari
Barbour yang dikemukakan melalui tiga model, yaitu: (1) model
teologi natural (natural theology), yaitu bahwa sains dimanfaatkan
untuk menopang keyakinan dalam agama, seperti argumen
kosmologis modern yang digunakan untuk membukti adanya Tuhan;
(2) teologi alam (theology of nature), yaitu bahwa, bertolak dari
31M. Zainal Abidin, Paradigma Islam dalam Pembangunan Ilmu Integralistik:
Membaca Pemikiran Kuntowijoyo (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2016),
18-19.
32Christine H. Legare dan Aku Visala, “Between Religion and Science:
Integrating Psychological and Philosophical Accounts of Explanatory
Coexistence”, dalam Human Development, vol. 54, no. 3 (2011): 171-172.
11
agama, bukan dari sains, sebagai kerangka untuk memperkaya,
bahkan mengkritik, temuan-temuan sains, seperti McGrath (2016)
mengembangkan teologi Kristen tentang alam, di mana penjelasan
sains ditinjau dari perspektif Kristen; (3) melalui filsafat proses
Whitehead.33 Menurut filsafat proses, segala sesuatu selalu dalam
proses menjadi, tidak mandeg atau statis, melainkan secara dinamis
berkembang. Perkembangan itu seiring dengan berjalannya waktu
dan kegiatan yang saling terkait dalam suatu proses. Oleh karena
itu, perkembangan itu berproses secara kontinyu.34 Dalam konteks
ini, sains dan agama, merupakan dua entitas yang dianggap tetap
berproses dalam pengertian bahwa meski dalam agama, ada inti
(core) ajaran yang bersifat universal dan langgeng, namun sebagian
dari agama adalah pemahaman terhadap wahyu yang menyejarah
dan tidak tertutup untuk ditinjau. Begitu juga, sains meskipun berisi
teori dan hukum, temuannya bersifat nisbi, dan tetap berproses
secara berkelanjutan.
Hubungan sains-agama dan sikap/ pandangan terhadap keduanya
bisa digabungkan sebagai berikut:
Hubungan
Sains-agama
Konflik Independen Dialog Integrasi
Sikap/
pandangan
Islami-
sasi
ilmu
Sainti-
fikasi
Islam
Instrumentalis Terbuka Integralisme
33Ian Barbour, “Four Ways of Relating Religion and Science: Conflict,
Independence, Dialogue and Integration” (chapter one of Religion in an Age
of Science (https://www.openhorizons.org/four-ways-of-relating-religion-and-
science-8203conflict-independence-dialogue-and-integration.html, 25 Maret
2021), dalam ”Religion and Science”, dalam Stanford Encyclopaedia of Philosophy
(https://plato.stanford.edu/entries/religion-science/#ModelInteBetwScienReli (25
Maret 2021).
34https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_proses#:~:text=nilai%2Dnilai%20
kemanusiaan.-,Sistem%20Filsafat%20Proses,pengamatan%20ini%2C%20
filsafat%20organisme%20lahir.&text=Satuan%20terkecil%20dan%20
mendasar%20dalam%20proses%2C%20Whitehead%20sebut%20sebagai%20
entitas%20aktual. (28 Maret 2021).
12
Saling
bertentangan
-Berdiri
sendiri,
tidak saling
“menyapa”
-Sains hanya
sebagai alat
Berdiri
sendiri,
membuka
diri
Teologi natural
(sains
menjelaskan
agama)
Teologi alam
(agama
menjelaskan
sains)
Filsafat proses
(Sains dan
agama sama-
sama bisa saling
menjelaskan)
Dalam penelitian ini, unsur-unsur yang akan dicermati adalah
bagaimana integrasi ilmu dalam bentuk tafsir ilmiah dari perspektif
teori hubungan agama dan sains, seperti apakah hanya instrumentalis
dan konflik, serta bagaimana hubungan antara kedua dari perspektif
Ian Barbour dan beberapa teori di atas yang terkait.
D. Metode
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan
metode studi kepustakaan (library research). Sumber utama
penelitian ini adalah tentang dua hal. Pertama, teoretisasi metodologi
penafsiran saintifik dan penerapan dari perspektif integrasi ilmu
yang digali dari karya-karya dosen tentang keduanya, baik dalam
bentuk artikel maupun buku. Penelusuran dilakukan terhadap karya-
karya individual. Kedua, teoretisasi metodologi penafsiran yang
berakar dari kebijakan secara institusional, seperti visi-misi lembaga,
pertemuan-pertemuan ilmiah atas inisiasi lembaga yang mencermin
arah kebijakan, dan pembentukan lembaga kajian tafsir, yang dari
segi kebijakan (policy) mengarahkan pengembangan tafsir ilmiah.
Penelitian ini menerapkan pendekatan ilmiah-cum-doktriner35
atau pendekatan interdisipliner, di mana pendekatan sains (sosial
35Istilah ini diperkenalkan oleh A. Mukti Ali dalam berbagai tulisannya.
13
dan humaniora) dan ajaran agama (doktriner) diterapkan secara
bersamaan. Pendekatan doktriner dimaksud adalah pendekatan
dalam ilmu tafsir yang sumbernya dari literatur ilmu-ilmu tentang
al-Qur`an (‘ulūm al-Qur`ān). Pendekatan ilmiah yang dimaksud
di sini adalah pendekatan historis-filosofis. Pendekatan historis
bertujuan untuk menjelaskan perkembangan pemikiran yang
berkembang di tiga UIN tersebut dari aspek teoretisasi metodologi
tafsir ilmiah dan penerapannya, serta memetakan trend tema (isu)
yang dibahas dan model pendekatan tafsir ilmiah yang digunakan.
Perkembangan (development) dimaksud dilihat (1) secara historis
dari situasi awal (continuity) perkembangan tafsir di perguruan
tinggi hingga perubahan (change) yang terjadi; (2) secara historis
dari responsnya (response) terhadap tantangan (challenge) atau
konteks yang sedang terjadi.
Pendekatan filosofis diterapkan untuk menelusuri model
integrasi ilmu pada tataran ontologis, epistemologis, maupun
aksiologis dari kerangka teori Ian Barbour tentang 3 model integrasi
sains dan agama.
Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Melacak pemikiran-pemikiran tentang teoretisasi metodologi
tafsir ilmiah yang ditulis oleh dosen-dosen di tiga UIN tersebut
dan pemikiran-pemikiran yang berkembang, baik tingkat
kebijakan secara institusional di bawah payung visi integrasi
ilmu yang diembankan maupun pada tingkat pemikiran yang
berkembang di forum-forum ilmiah.
2. Melacak produk-produk penafsiran saintifik dalam bentuk
karya-karya terpublikasi, baik dalam bentuk buku maupun
artikel.
3. Menganalisis secara normatif model metodologi tafsir yang
ditawarkan tersebut dari perspektif ilmu tafsir.
4. Menganalisis secara historis produk-produk penafsiran tersebut
dari trend perkembangan dari isu-isu yang dikembangkan dan
14
konteks atau tantangan yang mungkin ingin direspon.
5. Menganalisis secara filosofis model integrasi yang
dikembangkan, baik berkaitan dengan metodologi yang
ditawarkan maupun produk penafsiran yang dikemukakan,
pada level ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu, dari
kategorisasi model integrasi ilmu Ian Barbour.
6. Menarik kesimpulan berkaitan integrasi ilmu dalam konteks
tafsir ilmiah tersebut dari perspektif ilmu tafsir, historis, dan
filosofis.
E. Sistematika
Penelitian ini ditulis dengan sistematik sebagai berikut. Bab
1 merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan
masalah, signifikansi, survei kajian-kajian terdahulu, teori, metode,
dan sistematika.
Setting sejarah tentang tiga UIN, yaitu UIN Syarif Hidayatullah,
UIN Sunan Kalijaga, dan UIN Malang diperlukan untuk melihat
konteks sejarah berdirinya dan perkembangannya secara sekilas.
Deskripsi tentang hal ditulis pada bab 2.
Pada bab 3, dikemukakan integrasi antara ilmu agama dan sains
yang terrepresentasikan dalam bentuk tafsir ilmiah yang berkembang
di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dari aspek teoretisasi metode
penafsiran dan dari aspek produk penafsiran.
Bab 4 memuat integrasi sama hal sama di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, dan bab 5 memuat uraian yang sama tentang integrasi
ilmu dalam bentuk tafsir ilmiah di UIN Syarif Hidayatullah
Tangerang.
Pada bab 6 dikemukakan analisis pola integrasi ilmu yang
dikembangkan.
Bab 7 berisi simpulan dan rekomendasi.
15
BAB II
TRADISI KEILMUAN DALAM KAJIAN AL-
QUR`AN DAN TAFSIR DI UIN SYARIF
HIDAYATULLAH, UIN SUNAN KALIJAGA, DAN
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM:
LATAR HISTORIS DAN KILAS PERKEMBANGANNYA
A. UIN Syarif Hidayatullah
1. Sejarah Singkat
UIN Syarif Hidayatullah sekarang sebenarnya bercikal-bakal
dari Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini adalah
akademi dinas yang dimiliki oleh Departemen Agama yang dibentuk
pada 1 Juni 1957 berdasarkan ketetapan Menteri Agama no. 1
tahun 1957. Tujuan pendiriannya adalah untuk mencetak pegawai
negeri agar bisa menjadi guru pada Sekolah Menengah Umum,
Sekolah Kejuruan, dan Sekolah Agama. Kampus pendidikan ini
semula bertempat di Universitas Islam Jakarta (UIJ) di Jl. Madura,
kemudian pada tahun berikutnya bertempat di kampus UHAMKA di
Jl. Limau. Pada tahun ketiga, pendidikan ini kemudian menempati
kampusnya di Ciputat yang ketika itu disebut dengan Kultur Sentrum
(KS). Pada saat itu, hanya ada Jurusan Syariat (Pendidikan Agama),
Jurusan Lugat al-‘Arabiyyah (Bahasa Arab), dan Jurusan khusus
untuk menghasilkan imam tentara. ADIA pertama kali dipimpin
oleh Prof. Dr. H. Mahmud Yunus sebagai dekan, sedangkan Prof.
H. Bustami A.Gani sebagai wakil dekan. Hari jadi ADIA, yaitu 1
Juni 1957, kemudian ditetapkan sebagai Dies Natalis UIN Syarif
Hidayatullah.1
Pada tahun-tahun berikutnya, ADIA mengalami perkembangan
yang pesat. Pada tahun 1962, dibuka Fakultas Ushuluddin yang
1https://www.uinjkt.ac.id/id/tentang-uin/ (11 September 2021).
16
semula merupakan Jurusan Da’wah wal Irsyad (Jurusan Imam
Tentara). Dengan kelengkapan fakultasnya, dalam perkembangnnya,
fakultas ini (cabang Jakarta) berdiri sendiri menjadi IAIN al-Jami’ah
al-Hukumiyah Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam perkembangan
keilmuan, perguruan tinggi ini mengalami beberapa orientasi.
Pada masa kepemimpinan Prof. Drs. H. Sunardjo sebagai rektor,
pada 1963, IAIN Jakarta menjadi kordinator fakultas di seluruh
Jakarta, di Jawa Barat dan Sumatera. Sekarang, cabang-cabang
ini kemudian berdiri sendiri sebagai STAIN, IAIN, bahkan UIN.
Pada masa kepemimpinan Prof. Dr. H. Mahmud Yunus dan Prof.
Drs. H. Sunardjo, perkembangan keilmuan lebih merepresentasikan
model pendidikan Timur Tengah, khususnya Mesir, terlihat dari
fakultas-fakultasnya dan orientasi keilmuan normatif. Akan tetapi,
pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Harun Nasution (1973-1984),
dilakukan pembaruan pemikiran ke arah pemikiran yang rasional.
Ia merestrukturisasi kurikulum dengan, misalnya, memasukkan
mata kuliah filsafat dan mengirim dosen-dosen untuk melanjutkan
studi ke Barat.2
IAIN ini kemudian bertransformasi menjadi UIN di masa
kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. Pada 1988, kampus
ini menjadi IAIN dengan kewenangan atau mandat lebih luas (with
wider mandate). Dengan transformasi ini, dibukalah fakultas-
fakultas umum dan pembukaan prodi-prodi baru sebagai upaya
mengintegrasikan antara Islam dan ilmu pengetahuan umum,
misalnya jurusan Psikologi dan Matematika pada Fakultas Tarbiyah
serta jurusan Ekonomi dan Perbankan Islam pada Fakultas Syariah.3
Pada 2002, IAIN Syarif Hidayatullah resmi menjadi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan terbitnya Keputusan Presiden RI No. 031
Tanggal 20 Mei 2002. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada saat itu terdiri dari 9 fakultas yaitu: Fakultas Ilmu
2https://www.uinjkt.ac.id/id/tentang-uin/ (11 September 2021).
3https://www.uinjkt.ac.id/id/tentang-uin/ (11 September 2021).
17
Tarbiyah dan Keguruan, Fakultas Adab dan Humaniora, Fakultas
Ushuludin dan Filsafat, Fakultas Syariah dan Hukum, Fakultas
Dakwah dam Komunikasi, Fakultas Dirasat Islamiyah, Fakultas
Psikologi, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, Fakultas Sains dan
Teknologi, dengan jumlah jurusan/prodi sebanyak 41 dengan bidang
studi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. 4
2. Perkembangan Kajian al-Qur`an dan Tafsir
UIN Syarif Hidayatullah memiliki jejak sejarah yang panjang
dalam kajian al-Qur`an dan tafsir, baik pada level sarjana maupun
pascasarjana. Di level sarjana, kajian al-Qur`an dan tafsir dilakukan
secara formal melalui Jurusan Tafsir-Hadis (TH). Jurusan ini dibuka
di Fakultas Ushuluddin pada tahun ajaran 1989/1990 sebagai ganti
dari jurusan dakwah. Dalam perkembangan selanjutnya, jurusan
dakwah ini kemudian berkembang menjadi Fakultas Dakwah.
Jurusan ini kemudian mengalami perubahan nama. Berdasarkan
peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Tahun 2016, nama
Jurusan TH kemudian berubah menjadi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
(IAT), dan kajian Hadis menjadi Program studi tersendiri dengan
nama Ilmu Hadis (IH). Secara spesifik wilayah kajian IAT dan
IH adalah ilmu-ilmu al-Qur’an, tafsir dan hadis. Kajian-kajian
al-Qur`an dan tafsir di sini diintegrasikan dengan kajian-kajian
core (inti)
keilmuan diajarakan seperti ‘Ulūm al-Qur`ān, ‘Ulūm al-Ḥadīts,
I’jāz al-Qur`ān, Qawā’id Tafsīr, Takhrīj Ḥadīts, Ilmu Matan Hadis,
dan Ilmu Rijāl al-Ḥadīts. Tidak hanya tentang aspek metodologi,
kajian di jurusan ini juga dilengkapi dengan kajian materi tafsir
seperti Tafsir Aqidah, Hadis Aqidah, Tafsir Aḥkāms Ibadah
dan Aḥkām, Metode Istinbāṭ Hukum dalam al-Qur’an dan Hadis,
studi Naskah Tafsir dan Hadis, dan Tafsir Ijmā’i.
4https://www.uinjkt.ac.id/id/tentang-uin/ (11 September 2021).
18
Dalam konteks integrasi ilmu, beberapa disiplin ilmu sosial dan
humaniora serta pengetahuan tentang metode penelitan al-Qur`an dan
Kajian al-Qur’an, Kajian Barat terhadap al-Qur’an, Literatur Tafsir
Indonesia, dan Hermeneutik dan Semiotik.5 Yang tampak menarik
dalam konteks integrasi ilmu dalam bentuk kurikulum ini adalah
diajarakannya hermeneutika dan semiotika dalam menafsirkan al-
Qur`an. Sementara dalam beberapa waktu lalu, terjadi polemik
tentang hermeneutika, antara inleketual kampus yang rata-rata
berlatarbelakang pendidikan Barat dan pendidikan Malaysia melalui
ISTAC dan lembaga Insist, kampus ini mengadopsinya sebagai mata
kuliah wajib. Hal ini tidak terlepas dari filosofi integrasi keilmuan
kampus ini yang mememungkinkan integrasi ilmu tafsir dengan
hermeneutika dan dari perkembangan SDM dosen-dosennya yang
berlatarbelakang pendidikan Barat. Begitu juga, pendekatan modern
dalam kajian al-Qur`an dan kajian Barat tentang al-Qur`an adalah
dalam konteks wilayah kajian yang lebih kaya dan bernuasa integrasi
keilmuan. Meski demikian, tradisi keilmuan di kampus ini juga
diwarnai kuat oleh dosen-dosen berlatarbelakang pendidikan Timur
Tengah. Kampus menjadi salah satu cerminan tentang perpaduan
antara keilmuan tafsir klasik dan keilmuan Barat.
Semua subjek-subjek di atas telah menunjukkan dengan jelas
area keilmuan kajian IAT yang tidak akan masuk dalam keilmuan
rumpun lain. Seperti halnya dalam SAA dan AFI, termasuk dalam
wilayah IAT dan TH adalah living Quran, living tafsir, dan living
hadis seperti kajian mengenai bagaimana ulama dan sarjana di
Indonesia, Asia, Timur Tengah dan tempat-tempat lain memahami
al-Qur’an, tafsir dan hadis.6
5Zainul Bahri, “Ilmu-Ilmu Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menatap Masa Depan: Sebuah Pemetaan Keilmuan,” Media, vol. 17, no. 2 (2018):
136-137.
6Zainul Bahri, “Ilmu-Ilmu Ushuluddin...”, 136-137.
19
Di samping kurikulum, tradisi keilmuan tentang al-Qur`an dan
tafsir juga dibentuk oleh berbagai kegiatan-kegiatan ilmiah, antara
lain adalah: Lembaga Tahfizh dan Ta’lim Al-Qur’an (LTTQ), seminar
dan diskusi lewat online tentang al-Qur’an. Lembaga Tahfizh dan
Ta’lim Al-Qur’an (LTTQ) Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta merupakan sebuah organisasi pembinaan al-Qur’an dan
dakwah masyarakat yang berada di bawah naungan Masjid Fathullah
UIN Jakarta. Di LTTQ ini dilaksanakan kegiatan-kegiatan, antara
lain, taḥsīn, taḥfīẓ, tilāwah, dan Bahasa Arab Qurani.7
Adapun seminar tentang kajian al-Qur’an yang pernah
diselenggarakan oleh UIN Syarif Hidayatullah, antara lain adalah
seminar yang dilaksanakan oleh HIQMA UIN JKT pada 23 Oktober
2016 bertema “Menakar Kemampuan Baca Tulis Al-Qur’an
Mahasiswa UIN”. Narasumber pada acara ini adalah Prof. Dr
Arskal Salim dan Dr. Muclis M. Hanafi, M.A. Pada 2021, Fakultas
Ushuluddin juga melaksanakan diskusi isu-isu dalam kajian al-
Qur`an dan tafsir, antara lain, tentang tafsir tematik dan living
Qur`an.
B. UIN Sunan Kalijaga
1. Sejarah Singkat
Perjalanan UIN Sunan Kalijaga sebagai sebuah universitas
dibagi menjadi beberapa periode, dimulai dari periode rintisan,
periode peletakan landasan, periode peletakan landasan akademik,
periode pemantapan akademik dan manajemen, serta periode
pengembangan kelembagaan. Awal mula UIN Sunan Kalijaga
berdiri pada tanggal 26 September 1951, universitas ini masih
disebut dengan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).
Periode ini disebut dengan istilah periode Rintisan (1951-1960)
7“Kajian al-Qur’an dan Tafsir-LTTQ Fathullah UIN Jakarta” dalam https://
lttqfathullahuinjkt.com/kegiatan/kajian-al-quran-dan-tafsir/ (diakses pada 30
Maret 2021).
20
yang merupakan cikal bakal UIN Sunan Kalijaga yang berdiri kokoh
sampai sekarang. Perubahan PTAIN menjadi IAIN (Institut Agama
Islam Negeri) Yogyakarta pada tanggal 24 Agustus 1960 mengawali
periode peletakan landasan (1969-1970). Nama IAIN Yogyakarta
kemudian berubah menjadi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan
diresmikan pada tanggal 1 Juli 1965.8
Selain itu, kampus yang awalnya berada di Jl. Simanjutak
(sekarang menjadi MAN 1 Yogyakarta) berpindah ke Jl. Marsda
Adisucipto dan beberapa gedung fakultas serta sebuah masjid
mulai dibangun di kampus ini. Adapun kurikulum yang digunakan
masih mengacu pada kurikulum yang digunakan di Timur Tengah
(al-Azhar, Cairo). Tahun 1972-1996 disebut dengan Periode
Peletakan Landasan Akademik, yang ditandai dengan penggunaan
sistem kredit semester (SKS) murni. Pada periode ini, ada lima
(5) fakultas yang dibuka, yaitu Fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah,
Tarbiyah, di Fakultas Ushuluddin. Disusul dengan Program
Pascasarjana pada tahun akademik 1983/1984. Selanjutnya Periode
Pemantapan Akademik dan Manajamen (1996-2001) merupakan
periode peningkatan mutu akademik. Para dosen didorong dan diberi
kesempatan untuk melanjutkan studi mereka ke tingkat yang lebih
tinggi, baik tingkat Magister (S2) maupun tingkat Doktoral (S3),
di dalam negeri maupun ke luar negeri. Sistem layanan dan koleksi
perpustakaan pun lebih ditingkatkan pada periode ini. Tahun 2004
merupakan tahun penting yang menandakan Periode Pengembangan
Kelembagaan atau Periode Transformasi. Pasalnya, IAIN Sunan
Kalijaga mengalami perubahan nama menjadi UIN Sunan Kalijaga.
Perubahan ini sekaligus membawa paradigma baru bagi UIN
Sunan Kalijaga, yaitu integrasi dan interkoneksi. Bukti nyata dari
paradigma ini diwujudkan dengan penambahan dua (2) fakultas baru
8Mohammad Muslih, “Tren Pengembangan Ilmu Di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta,” Episteme, vol. 12, no. 2 (2017): 13-14.
21
pada tahun 2005, yaitu Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek) serta
Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum).9
2. Perkembangan Kajian al-Qur`an dan Tafsir
Kajian al-Qur’an dan tafsir di UIN Sunan Kalijaga terlihat dari
kurikulum dan kegiatan-kegiatan ilmiah. Mata kuliah yang berkaitan
dengan kajian al-Qur’an dan tafsir antara lain adalah al-Qur’an
s, Tafsir Ayat Ibadah, Tafsir Ayat Kealaman, Tafsir-Hadis
Tematik, Ulumul Qur’an 1, Kajian al-Qur’an dan Hadis Berbasis
Teknologi, Studi Kitab Tafsir Era Klasik, Tafsir Ayat Muamalah,
Ulumul Qur’an 2, Ilmu Ma’anil Qur’an, Semantik Qur’an, Studi
Tafsir Era Pertengahan, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Kemasyarakatan,
Ulumul Qur’an 3, Tarikh al-Qur’an, Tafsir Maqāṣidī, Mazahibut
Tafsir, Studi Kitab Tafsir Era Moderen, Studi Manuskrip al-Qur’an
dan Tafsir, Metode Pengajaran Tafsir al-Qur’an dan Tafsir, Metode
Penelitian al-Qur’an dan Tafsir, Pemikiran Tafsir al-Qur’an, Tafsir
Ayat Kisah, Pemikiran Tafsir Era Komtemporer, dan Metode Tafsir
Kontekstual.
Di samping kajian al-Qur`an dan tafsir di perkuliahan, juga
dilakukan dalam bentuk seminar-seminar, antara lain adalah
Workshop Digitalisasi dengan tema: “Wajah al-Qur’an Hadis dalam
Bingkai Informatika dan Performatif” yang diselenggarakan LSHQ
pada tahun 2019, workshop dengan tema “Khazanah Manuskrip
Nusantara” yang diselenggarakan oleh LPMQ, Prodi IAT Sunan
Kalijaga, LSQH dan AIAT pada tahun 2018.10
3. Asosiasi Illmu al-Qur`an dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia
Kajian-kajian al-Qur`an dan tafsir di UIN Sunan Kalijaga
diperkuat dengan didirikannya Asosiasi Illmu al-Qur`an dan Tafsir
9 Muslih, “Tren Pengembangan Ilmu..”, 13-14.
10Ekawati, Mundzier Suparta, dan Khaeron Sirin, “Moderasi Kurikulum
Perguruan Tinggi Islam Dalam Deradikalisasi Agama Di Indonesia”, Istiqro’,
vol. 16, no. 01 (2018): 145-147.
22
(AIAT) se-Indonesia. Sebagai lembaga ekstra kampus, asosiasi
ini sebenarnya dibentuk dilatarbelakangi oleh workshop tentang
revitalisasi konsorsium dosen-dosen bidang studi al-Qur`an
dan tafsir di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI),
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN) Yogyakarta pada
tanggal 18-19 Agustus 2014. Workshop ini, menurut Sahiron
Syamsuddin sebagai ketua prodi IAT di Fakultas ini, dimaksud
untuk mendiskusikan tentang peningkatan sumber daya manusia
dan pembentukan asosiasi sebagai wadah pengembangan keilmuan
bagi dosen-dosen IAT di kampus ini dan di PTKIN lain. Workshop
ini akhir melahirkan Asosiasi Ilmu Alquran dan Tafsir (AIAT) se-
Indonesia pada tanggal 19 Agustus 2014. Sebagai ketuanya adalah
Sahiron Syamsuddin. Setahun kemudian, kepenguruan diperbarui
dengan komposisi sebagai berikut: Sahiron Syamsuddin (ketua),
Ahmad Rafiq (sekretaris), dan Ahmad Baidowi (bendahara). Pada
tanggal 24 Agustus 2015, AIAT secara resmi menjadi lembaga yang
bersifat nasional dan terbuka pencinta dan profesional kajian al-
Qur`an dan tafsir.11
Tujuan asosiasi ini adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan kualitas keilmuan al-Qur’an dan tafsir;
b. Meningkatkan kualitas institusi pendidikan dalam bidang ilmu
al-Qur’an dan tafsir, baik formal maupun non-formal, sehingga
mampu bersaing di tingkat global;
c. Mengembangkan kualitas sumbar daya manusia dalam bidang
al-Qu’an dan tafsir;
d. Mengembangkan profesi dalam bidang ilmu al-Qur’an dan
tafsir;
e. Meningkatkan pengabdian pada masyarakat sesuai dengan
bidang ilmu al-Qur’an dan tafsir;
11https://aiat.or.id/history (11 September 2021).
23
f. Menetapkan standar mutu sumber daya dan penyelenggaraan
pendidikan di bidang ilmu al-Qur’an dan tafsir;
g. Meningkatkan kemampuan teknologi yang mendukung kajian
ilmu al-Qur’an dan tafsir; dan
h. Meningkatkan kerja sama dengan berbagai instansi yang tertarik
dalam bidang ilmu al-Qur’an dan tafsir.12
Beberapa kegitan telah dilakukan untuk mewujudkan tujuan-
tujuan, yaitu Workshop Pengembangan Kurikulum Ilmu al-Qur`an
dan Tafsir pada tanggal 6 Desember 2015 dengan bekerjasama dengan
Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kementrian Agama
RI, dan Prodi IAT, Fak. Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Seminar Nasional tentang Tafsir Nusantara
pada tahun 2016 (bekerjasama dengan STAISPA Yogyakarta),
penerbitan Jurnal Nun,13 dan pembuatan website: http://aiat.or.id.14
C. UIN Maulana Malik Ibrahim
1. Sejarah Singkat
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang berdiri
berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 50 tanggal 21 Juni 2004.
Bermula dari gagasan para tokoh Jawa Timur untuk mendirikan
lembaga pendidikan tinggi Islam di bawah Departemen Agama,
dibentuklah Panitia Pendirian IAIN Cabang Surabaya melalui Surat
Keputusan Menteri Agama No. 17 Tahun 1961 yang bertugas untuk
mendirikan Fakultas Syari’ah yang berkedudukan di Surabaya
dan Fakultas Tarbiyah yang berkedudukan di Malang. Keduanya
merupakan fakultas cabang IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan
diresmikan bersamaan oleh Menteri Agama pada 28 Oktober 1961.
Pada 1 Oktober 1964 didirikan juga Fakultas Ushuluddin yang
12https://aiat.or.id/history (11 September 2021).
13Lihat http://ejournal.aiat.or.id/index.php/nun.
14https://aiat.or.id/history (11 September 2021).
24
berkedudukan di Kediri melalui Surat Keputusan Menteri Agama
No. 66/1964.15
Dalam perkembangannya, ketiga fakultas cabang tersebut
digabung dan secara struktural berada di bawah naungan Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel yang didirikan
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama No. 20 tahun 1965.
Sejak saat itu, Fakultas Tarbiyah Malang merupakan fakultas cabang
IAIN Sunan Ampel. Melalui Keputusan Presiden No. 11 Tahun
1997, pada pertengahan 1997 Fakultas Tarbiyah Malang IAIN Sunan
Ampel beralih status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Malang bersamaan dengan perubahan status kelembagaan
semua fakultas cabang di lingkungan IAIN se-Indonesia yang
berjumlah 33 buah. Dengan demikian, sejak saat itu pula STAIN
Malang merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam otonom yang
lepas dari IAIN Sunan Ampel.16
Di dalam rencana strategis pengembangannya sebagaimana
tertuang dalam Rencana Strategis Pengembangan STAIN Malang
Sepuluh Tahun ke Depan (1998/1999-2008/2009), pada paruh kedua
waktu periode pengembangannya STAIN Malang mencanangkan
mengubah status kelembagaannya menjadi universitas. Melalui
upaya yang sungguh-sungguh usulan menjadi universitas disetujui
Presiden melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 50, tanggal 21
Juni 2004 dan diresmikan oleh Menko Kesra Prof. H. A. Malik
Fadjar, M.Sc. atas nama Presiden pada 8 Oktober 2004 dengan nama
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang dengan tugas utamanya
adalah menyelenggarakan program pendidikan tinggi bidang ilmu
agama Islam dan bidang ilmu umum. Dengan demikian, 21 Juni
2004 dijadikan sebagai hari kelahiran universitas ini.17
15https://www.uin-malang.ac.id/s/uin/profil (10 September 2021).
16https://www.uin-malang.ac.id/s/uin/profil (10 September 2021).
17https://www.uin-malang.ac.id/s/uin/profil (10 September 2021).
25
Sempat bernama Universitas Islam Indonesia-Sudan (UIIS)
sebagai implementasi kerja sama antara pemerintah Indonesia
dan Sudan dan diresmikan oleh Wakil Presiden RI, Dr. (Hc) H.
Hamzah Haz pada 21 Juli 2002 yang juga dihadiri oleh para pejabat
tinggi pemerintah Sudan. Secara spesifik akademik, Universitas
ini mengembangkan ilmu pengetahuan tidak saja bersumber dari
metode-metode ilmiah melalui penalaran logis seperti observasi,
eksperimentasi, survei, wawancara, dan sebagainya. Tetapi, juga
dari al-Qur’an dan Hadits yang selanjutnya disebut paradigma
integrasi. Oleh karena itu, posisi matakuliah studi keislaman: al-
Qur’an, Hadits, dan Fiqih menjadi sangat sentral dalam kerangka
integrasi keilmuan tersebut.18
Secara kelembagaan, sampai saat ini universitas ini memiliki
6 (enam) fakultas dan 1 (satu) Program Pascasarjana, yaitu:
(1) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, menyelenggarakan
Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS), dan Jurusan Pendidikan Guru Madrasah
Ibtidaiyah (PGMI), (2) Fakultas Syari’ah, menyelenggarakan
Jurusan al-Ahwal al-Syakhshiyyah dan Hukum Bisnis Syari’ah
(3) Fakultas Humaniora, menyelenggarakan Jurusan Bahasa dan
Sastra Arab, dan Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, dan Jurusan
Pendidikan Bahasa Arab (4) Fakultas Ekonomi, menyelenggarakan
Jurusan Manajemen, Akuntansi, Diploma III Perbankan Syariah, dan
S-1 Perbankan Syariah (5) Fakultas Psikologi, dan (6) Fakultas Sains
dan Teknologi, menyelenggarakan Jurusan Matematika, Biologi,
Fisika, Kimia, Teknik Informatika, Teknik Arsitektur dan Farmasi.
Adapun Program Pascasarjana mengembangkan 6 (enam) program
studi magister, yaitu: (1) Program Magister Manajemen Pendidikan
Islam, (2) Program Magister Pendidikan Bahasa Arab, (3) Program
Magister Agama Islam, (4) Program Magister Pendidikan Guru
Madrasah Ibtidaiyah (PGMI), (5) Program Magister Pendidikan
18https://www.uin-malang.ac.id/s/uin/profil (10 September 2021).
26
Agama Islam, dan (6) Program Magister al-Ahwal al-Syakhshiyyah.
Sedangkan untuk program doktor dikembangkan 2 (dua) program
yaitu (1) Program Doktor Manajemen Pendidikan Islam dan (2)
Program Doktor Pendidikan Bahasa Arab. .19
Ciri khusus lain universitas ini sebagai implikasi dari model
pengembangan keilmuannya adalah keharusan bagi seluruh anggota
sivitas akademika untuk menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Melalui bahasa Arab, diharapkan mereka mampu melakukan kajian
Islam melalui sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan Hadis, dan
melalui bahasa Inggris mereka diharapkan mampu mengkaji ilmu-
ilmu umum dan modern, selain sebagai piranti komunikasi global.
Karena itu pula, universitas ini disebut bilingual university. Untuk
mencapai maksud tersebut, dikembangkan ma’had atau pesantren
kampus di mana seluruh mahasiswa tahun pertama harus tinggal di
ma’had. Karena itu, pendidikan di universitas ini merupakan sintesis
antara tradisi universitas dan ma’had atau pesantren.20
Melalui model pendidikan semacam itu, diharapkan akan lahir
lulusan yang berpredikat ulama yang intelek profesional dan/atau
intelek profesional yang ulama. Ciri utama sosok lulusan demikian
adalah tidak saja menguasai disiplin ilmu masing-masing sesuai
pilihannya, tetapi juga menguasai al-Qur’an dan Hadis sebagai
sumber utama ajaran Islam.21
Terletak di Jalan Gajayana 50, Dinoyo Malang dengan lahan
seluas 14 hektar, Universitas ini memordernisasi diri secara fisik
sejak September 2005 dengan membangun gedung rektorat, fakultas,
kantor administrasi, perkuliahan, laboratorium, kemahasiswaan,
pelatihan, olah raga, bussiness center, poliklinik dan tentu masjid
dan ma’had yang sudah lebih dulu ada, dengan pendanaan dari
19https://www.uin-malang.ac.id/s/uin/profil (10 September 2021).
20https://www.uin-malang.ac.id/s/uin/profil (10 September 2021).
21https://www.uin-malang.ac.id/s/uin/profil (10 September 2021).
27
Islamic Development Bank (IDB) melalui Surat Persetujuan IDB
No. 41/IND/1287 tanggal 17 Agustus 2004.22
Pada tanggal 27 Januari 2009, Presiden Republik Indonesia
Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono berkenan memberikan nama
universitas ini dengan nama Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang. Mengingat nama tersebut cukup panjang
diucapkan, maka pada pidato dies natalis ke-4, Rektor menyampaikan
singkatan nama universitas ini menjadi UIN Maliki Malang.23
Dengan performansi fisik yang megah dan modern dan
tekad, semangat, serta komitmen yang kuat dari seluruh anggota
sivitas akademika seraya memohon ridha dan petunjuk Allah swt,
universitas ini bercita-cita menjadi the center of excellence dan the
center of Islamic civilization sebagai langkah mengimplementasikan
ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (al-Islām raḥmat
li al-‘ālamīn).24
Universitas ini memiliki visi ingin menjadi universitas Islam
terkemuka dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat untuk menghasilkan
lulusan yang memiliki kedalaman spiritual, keagungan akhlak,
keluasan ilmu, dan kematangan profesional, dan menjadi pusat
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang
bernafaskan Islam serta menjadi penggerak kemajuan masyarakat. 25
Untuk mewujudkan visinya tersebut, universitas ini bergerak
untuk mewujudkan misi-misi sebagai berikut: (1) mengantarkan
mahasiswa memiliki kedalaman spiritual, keagungan akhlak,
keluasan ilmu dan kematangan profesional; (2) memberikan
pelayanan dan penghargaan kepada penggali ilmu pengetahuan,
22https://www.uin-malang.ac.id/s/uin/profil (10 September 2021).
23https://www.uin-malang.ac.id/s/uin/profil (10 September 2021).
24https://www.uin-malang.ac.id/s/uin/profil (10 September 2021).
25https://www.uin-malang.ac.id/s/uin/profil (10 September 2021).
28
khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang
bernafaskan Islam; (3) mengembangkan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni melalui pengkajian dan penelitian ilmiah; (4)
menjunjung tinggi, mengamalkan, dan memberikan keteladanan
dalam kehidupan atas dasar nilai-nilai Islam dan budaya luhur
bangsa Indonesia. Pada tahun 2019, universitas ini mengemban
visi untuk menjadi universitas Islam unggul, terpercaya, berdaya
saing, dan bereputasi internasional.26
2. Perkembangan Kajian al-Qur`an dan Tafsir
Universitas ini mengemnagkan tradisi keilmuan yang beragam
yang mencoba mengintegrasikan antara ilmu Islam dan sains. Atas
dasar ini, fakultas-fakultas yang dikembangkan adalah Fakultas
Sains dan Teknologi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan,
Fakultas Ekonomi, Fakultas Humaniora, Fakultas Syariah, Fakultas
Psikologi, dan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
Kajian al-Qur`an dan tafsir secara intensif dilakukan pada
jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir sebagai salah satu jurusan di
Fakultas Syariah. Dari visinya, fakultas ini mengembangkan integrasi
keilmuan, yaitu “terwujudnya Fakultas Syariah integratif dalam
memadukan sains dan Islam yang bereputasi intermasional”. Di
jurusan ini, diajarkan mata kuliah keahlian sebanyak 29 mata kuliah,
dan Teknologi Informasi, Kajian Tafsir Ulama Nusantara, Pemikiran
Tafsir Klasik dan Kontemporer, Ushūl al-Tafsīr wa Qawā’iduh,
Studi Kitab-kitab Tafsir, Sejarah Kodifikasi dan Dokumentasi al-
Qur`an, Balāghah I dan II (Bayān, Ma’ānī, Badī’), Kajian Barat
atas al-Qur`an, Hermeneutika al-Qur`an, Madzāhib al-Tafsīr, Tafsir
Tematik I (Akidah dan Akhlak), Tafsir II (sosial kemasyarakatan),
Tafsir Tematik III (mu’amalah/ ekonomi), Tafsir Tematik IV (aḥwāl
26https://www.uin-malang.ac.id/s/uin/profil (10 September 2021).
29
syakhṣiyyah/ keluarga), Tafsir Tematik V (moderasi Islam), Tafsir
Tematik VI (hubungan antarumat beragama), Tafsir Tematik VII
(kedudukan dan peran perempuan), Metodologi Penelitian al-Qur`an
dan Tafsir, Taḥfīẓ al-Qur`ān I (6 juz), Taḥfīẓ al-Qur`ān II (6 juz),
Taḥfīẓ al-Qur`ān III (6 juz), Taḥfīẓ al-Qur`ān IV (6 juz), dan Taḥfīẓ
al-Qur`ān V (6 juz). Di samping itu, juga ditawarkan beberapa
mata kuliah pilihan yang terkait dengan kajian al-Qur`an, yaitu
Ilmu Khat/ Kaligrafi, Isu-isu Aktual dalam Studi al-Qur`an dan
Rasm al-Qur`ān.27 Berbeda dengan kajian al-
Qur`an dan tafsir di jurusan IAT di Fakultas Ushuluddin yang mata
kuliahnya diintegrasikan dengan beberapa kajian teologi, filsafat,
dan tashawuf, di sini diintegrasikan dengan ilmu-ilmu kesyariahan,
seperti ilmu waris. Akan tetapi, tentu saja, sejumlah mata kuliah
ini hanya merupakan mata kuliah terpisah yang dalam proses
integrasinya dilakukan dalam proses perkuliahan.
Dalam hal integarsi ilmu, di mana kajian al-Qur`an dan tafsir
dipadukan dengan sains, khususnya ilmu pengetahuan Barat dalam
bidang sosial dan humaniora, UIN Maliki hampir sama dengan UIN
Syarif Hidayatullah dalam hal mengadopsi hermeneutika, kajian
Barat tentang al-Qur`an, dan kajian al-Qur`an dalam dimensi sosial
sebagai mata kuliah yang diajarkan. Hanya saja, kajian dengan
pendekatan Islam, seperti ‘ulūm al-Qur`ān I-II, balāghah, tafsir
mata kuliah menjadi ciri kuat bahwa UIN Maliki ingin memperkuat
kajian-kajian dari perspektif Islam sendiri.
3. Pusat Studi Islam dan Sains (PSIS)
Di samping dalam bentuk mata kuliah terprogram untuk
penguatan kajian al-Qur`an dan tafsir yang terintegrasi dalam
kurikulum, UIN Maliki menggalakkan proyek keilmuan integrasi
ilmu ini melalui pendirian institusi (pusat) yang diberi nama Pusat
27https://iat.uin-malang.ac.id (diakses 10 September 2021).
30
Studi Islam dan Sains. Yang menarik adalah bahwa lembaga ini
semula pengembangan dari Lembaga Kajian al-Qur`an dan Sains
(LKQS) dan Pusat Kajian Sains dan Islam (PKSI) yang sebelumnya
berdiri sendiri. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 8
tahun 2013 organisasi dan tata kerja UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang, PSIS menjadi salah satu dari lima pusat studi di Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M).
Dalam periode 2013-2017, pusat ini didirikan dengan misi
melakukan integrasi antara Islam dan sains. Sesuai dengan misi
perguruan tinggi ini, pusat ini juga diarahakan untuk mencetak kader
ulama intelektual yang profesional dan intelektual profesional yang
ulama. Wilayah integrasi yang dilakukan adalah pada penelitian,
pengembangan akademik, dan kelembagaan.28
Visi
Menjadi pusat studi Islam dan sains terkemuka dalam riset dan
pengembangan konsep dan pembinaan akademik dan kelembagaan
dalam bidang integrasi Islam dan sains.
Misi
a. Menciptakan dan memelihara kultur akademik di universitas
yang memadukan secara akademis dan kelembagaan antara
Islam dan sains;
b. Memformulasikan model-model dan strategi integrasi Islam
dan sains;
c. Menyelenggarakan riset dan pengembangan strategi pendidikan
dan kajian tafsir al-Qur`an melalui eksplorasi khazanah
intelektual Islam;
d. Melakukan kajian terhadap karya-karya filsafat dan sains,
produk para pemikir muslim;
28https://lp2m.uin.malang.ac.id (10 September 2021).
31
e. Mengembangkan kajian dan penelitian berparadigma integrasi
Islam dan sains;
f. Mendokumentasikan dan mengkomunikasikan aspek-aspek
keilmuan yang terkait dengan berbagai institusi sosial-budaya
serta hasil pemikiran, kajian, dan penelitian ilmiah.
Tujuan
a. Merumuskan kerangka konseptual dan kerangka kerja
perwujudan integrasi Islam dan sains di UIN Maliki Malang;
b. Melakukan pembinaan akademik dan kelembagaan di tingkat
fakultas dan program studi untuk mewujudkan integrasi Islam
dan sains;
c. Mengembangkan studi dan penelitian dalam rangka perancangan
kebijakan program pengembangan studi Islam dan sains;
d. Melakukan pendampingan, perlindungan, dan pemberdayaan
studi Islam dan sains dalam mengembangkan potensi masyarakat
luas bagi peningkatan kualitas hidup, kesempatan dan perannya
dalam pembangunan bangsa dan negara melalui penguasaan
ilmu dan teknologi (iptek);
e. Mengembangkan komunikasi dan kerja sama efektif dengan
lembaga eksternal, baik di tingkat regional maupun internasional
dalam konteks pengembangan studi Islam dan sains;
f. Melakukan kerja sama nasional dan internasional dalam rangka
penyelenggaraan riset dan pengembangan integrasi Islam dan
sains.
Ruang Lingkup dan Program Keahlian
a. Pengembangan riset ilmiah dalam bidang integrasi Islam dan
sains;
b. Pembinaan akademik dan kelembagaan bagi penyelenggara
pendidikan di UIN Maliki Malang dan Perguruan Tinggi Islam
di Indonesia;
32
c. Pendidikan dan pelatihan kompetensi integrasi Islam dan sains;
d. Publikasi karya-karya ilmiah bidang integrasi Islam dan sains;
e. Mengembangkan layanan data dan informasi tentang peradaban
dan pemikiran Islam, misalnya, melalui laboratorium al-Qur`an,
microfilm, dan direktori.29
29https://lp2m.uin.malang.ac.id (10 September 2021).
33
BAB III
PERKEMBANGAN TAFSIR ILMIAH (AL-TAFSĪR
AL-‘ILMĪ) DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG:
DARI METODE HINGGA PRODUK TAFSIR
A. Pemikiran Metode Tafsir
1. Filsafat Sosial al-Qur`an, Penelitian Sosial Berparadigma al-
Qur`an, dan Tafsir Fenomenologi Kritis: Model M. Fauzan
Zenrif
Nama M. Fauzan Zenrif adalah penulis dari UIN Malang
yang banyak mencetus pemikiran tentang metode tafsir ilmiah
dan penerapannya. Di antara karya-karya di bidang tafsir adalah:
Islamisasi Ekonomi: Studi Tematik Konsep Perniagaan dalam
al-Qur`an, Pendekatan Tafsir Sosial dan Wacana Kerukunan
Antarumat Beragama Kaum Santri, Tafsir Integratif: Kepemimpinan
Perempuan dalam Keluarga, dan Keluarga Muslim Kontemporer:
Antara Realitas, Normativitas, dan Mitos.
Ia adalah penulis yang patut diperhitungkan dalam konteks
integrasi ilmu di UIN Malang, karena dari beberapa karyanya, ia
banyak mewacanakan berbagai pemikiran tentang metode tafsir
ilmiah dan penerapannya, baik dalam bentuk penelitian tafsir
berparadigma sosiologis maupun penelitian tafsir sebagai kajian
literatur berperspektif kajian integratif.
Di antara pemikirannya tentang integrasi ilmu adalah filsafat
sosial al-Qur`an, penelitian sosial berparadigma sosial, tafsir
fenomenologi kritis, dan tafsir integratif.
34
Filsafat Sosial al-Qur`an (Kajian Teoretik)
Integrasi ilmu yang ditawarkannya adalah filsafat sosial al-
Qur`an. Ide tentang hal ini diilhami dari pemikiran sosiolog muslim
dan sosiologi, yaitu Kitāb al-‘Ibar wa Dīwān al-Mubatada` fī Ayyām
al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man Aṣarahum min Dzawī al-
Ṣulṭān al-Akbar dengan pengantarnya yang terkenal, Muqaddimah.
sosial. Menurutnya, ia mengemukakan pemikiran tentang filsafat
dikutip oleh Zenrif, mengemukakan tiga tahap perkembangan
masyarakat, yaitu masyarakat generasi primitif yang dipenuhi
dengan kekerasan dan ketidakberadaban dan bercirikan ikatan
promordialisme (‘aṣabiyyah) yang kuat, masyarakat menengah
yang bercirikan lenturnya ikatan primordialisme dan menetap, dan
yang terakhir, masyarakat yang sudah tidak mementingkan ikat
primordialisme.1 Tidak tampak tentang adanya pemikiran tokoh ini
yang diadopsi oleh Zenrif untuk membangun pandangannya tentang
filsafat sosial al-Qur`an. Tampaknya, bahwa ia hanya terinspirasi
dengan pemikiran tokoh ini yang mencoba mengemukakan teori
tentang filsafat sosial yang dianggap merepresentasi secara orisinal
pandangan tentang sosiologi Islam.
Ali Shari’ati tentu saja tidak asing lagi dalam konteks sebagai
ideolog revolusi Iran dan pemikir ulung yang mngosong berbagai
ide islamisasi pengetahuan sebagai kritiknya terhadap pemikiran
Barat yang sekuler. Salah satu idenya yang terpentig adalah tentang
sosiologi Islam. On the Sociology of Islam (Tentang Sosiologi Islam)
adalah salah satu karya di mana Ali Shariati mengemukakan idenya
tentang sosiologi Islam dan kritik atas pemikiran Barat seperti
1M. Fauzan Zenrif, Realitas dan Metode Penelitian Sosial dalam Perspektif
al-Qur`an: Teori dan Praktik (Malang: UIN-Malang Press, 2006), 9-11.
35
Marxisme. Yang menjadi daya tarik bagi Zenrif dari pemikiran
Shariati adalah tipologi masyarakat Syiah menjadi Syiah asli (pure
shi’ism) dan Syiah palsu (replication shi’ism
dua sosok yang menjadi simbol Syi’ah asli yang menjadi oposan
terhadap penguasa yang diktator.2
Point penting catatan Zenrif terhadap pemikiran dua tokoh
pemikiran sosiologi Islam ini adalah bahwa “keduanya mengikuti
filsafat sosial yang menyatakan bahwa masyarakat mempunyai
wataknya sendiri dan progresif, tidak pasif”. Dari sini, ia berasumsi
bahwa pandangan kedua tokoh ini hampir sama dengan paradigma
Galilean yang berbeda paradigma Aristotelian maupun Lebnizian,
yaitu bahwa seluruh alam semesta ini pada hakikatnya dipahami
sebagai suatu himpunan fragmen yang berhubung-hubungan secara
interaktif dalam sutau jaringan kausalitas yang berlangsung tanpa
henti dan tanpa mengenal titik henti di tengah alam objektif.3 Di sini,
tampak sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa pemikir Muslim
yang cenderung apologetis, pemikiran kedua tokoh ini disejajarkan
dengan pemikir Barat. Ini tentu, sedikit banyak, berbeda dengan
pendirian Shariati yang segan untuk mengidentifikasi pemikirannya
dengan pemikiran Barat, karena pemikiran yang dikemukakannya
justru merupakan kritik atas pemikiran Barat. Tidak jelas benang-
merah yang menghubungan penyejajaran (paralelisme), atau bahkan
penyamaan ini, dengan ide yang akan dibangun oleh Zenrif berkaitan
dengan filsafat sosial al-Qur`an. Pemikiran tokoh ini hanya sebagai
media inspirasi, tidak dikembangkan, malah ditinggal, selanjutnya
ia kemudian mengembangkan filsafat sosial al-Qur`an.
Nama lain yang menginspirasinya adalah Murtadha Muthahhari,
seorang filosof Iran yang terdidik dalam pengetahuan tentang
pemikiran Barat dan mengembangkan ide-ide tandingan yang
2Zenrif, Realitas, 13.
3Zenrif, Realitas, 14-15.
36
menurutnya khas Islam. Catatan tentang pendekatan yang diberikan
dalam mendekat isu-isu filsafat sosial adalah fenomenologis-
historis, sedangkan pendekatan Murtadha Muthahhari adalah
pendekatan normatif.4 Zanrif tidak menjelaskan apa yang ia maksud
dengan pendekatan fenomenologis-historis. Namun, tampak ia
memperlawankannya dengan pendekatan fenomomenologis-
kritis, yang pernah ia rumuskan dan terapkan dalam disertasinya
tentang tafsir, yaitu “memadukan antara analisis teks dan konteks
perilaku kepemimpinan keluarga Bani Isma’il”.5 Meskipun, “kritis”
dalam konteks ini tidak begitu jelas dalam pengertian apa, namun
tampaknya, interrelasi (saling mengisi) antara tafsir teks dan realitas
sebagai tafsir yang hidup, pengertian “kritis” tampak bisa dipahami.
Di sisi lain, pendekatan normatif adalah pendekatan dengan menggali
filsafat sosial dari ayat-ayat al-Qur`an.6
Lalu, apa yang dimaksud dengan filsafat sosial al-Qur`an
sendiri? Filsafat sosial sendiri, menurutnya, adalah penjelasan
filosofis yang melatarbelakangi berbagai pandangan tentang
masyarakat, semisal: apakah masyarakat menentukan anggotanya,
atau anggotanya menentukan masyarakatnya. Bertolak dari kritiknya
atas dua pandangan filsafat sosial di Barat, yaitu pertama, pandangan
atomisme yang melihat anggota masyarakat sebagai individu yang
bebas menentukan gerak masyarakat dan pandangan holisme yang
menyatakan sebaliknya. Menurut Zenrif, pandangan atomisme lebih
dekat kepada ilmu fisika, sedangkan pandangan holisme lebih dekat
kepada ilmu biologi.7 Dalam telaah tafsir tematik (mawḍū’ī) yang
disebutkan menerapkan pendekatan integratif antara pandangan
4Zenrif, Realitas, 15-16.
5Zenrif, Tafsir Fenomenologi Kritis: Interrelasi Fungsional antara Teks dan
Realitas (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), 11.
6Zenrif, Realitas, 16.
7Zenrif, Realitas, 20.
37
al-Qur`an dan sains (tampak ia menerapkan berbagai disiplin
ilmu; filsafat, sosiologi, dan sejarah), ia membantah kedua tesis
tersebut dengan mengatakan bahwa “masyarakat dibentuk melalui
pembentukan kerja sama antarindividu yang diikat dengan adanya
kontrak sosial antara kedua belah pihak. Sekalipun pada mulanya
masyarakat mempunyai kesadaran universal, yaitu suatu kesadaran
bahwa mereka merupakan suatu komunitas, akan tetapi setelah
melakukan akselerasi sosial, setiap individu mempunyai kesadaran
sosial yang berbeda sehingga menghasilkan kelompok-kelompok
berdasarkan kesadaran akseleratif tersebut”.8
Di samping tiga tokoh yang menjadi inspirasi, Zenrif dipengaruhi
oleh tulisan penulis terkenal dari International Institute of Islamic
The Qur`ān and
the Sunnah: the Time-Space Factor, ed. Anas S. al-Shaikh-Ali dan
Islamic Epistemology:
an Introduction to the Theory of Knowledge in al-Qur`an yang
diterbitkan oleh The Islamic Academy di Cambridge. Kedua tulisan
ini memiliki arahnya kurang-lebih sama, yaitu menempatkan al-
Qur`an tidak semata-mata sebagai kitab suci yang berisi ajaran
normatif dan, bahkan, hanya ritual, melainkan sebagai kitab suci
yang menjadi referensi ilmu pengetahuan (al-‘ilm) dan aktivitas
berpikir (al-fikr).9
Sebagai titik-tolak untuk menyatakan bahwa al-Qur`an
adalah sebuah kitab suci yang berisi pengetahuan; pertama, secara
historis, dibuktikan sejak masa klasik hingga sekarang menurut
Zenrif, bahwa pemahaman terhadap kandungan al-Qur`an telah
8Zenrif, Realitas, 42-43.
9Zenrif, Realitas, 20.
38
pengetahuan modern, seperti ilmu alam dengan merujuk ke karya-
karya Ahmad Baiquni dan Harun Yahya, seni dan sastra sebagaimana
ilmu ekonomi sebagaimana antara lain ditunjukkan oleh Afzalur
Rahman, ilmu politik sebagai dibuktikan oleh Abd. Muin Salim
tentang kekuasaan politik, kesehatan mental sebagaimana tampak
dari karya Dadang Hawari, dan sosiologi sebagaimana dibuktikan
oleh Murtadha Muthahhari melalui kajian tentang masyarakat dan
sejarah dalam al-Qur`an dan kritiknya terhadap Marxisme.10
Untuk membuktikan tentang apa yang diklaimnya sebagai
filsafat sosial al-Qur`an, Zenrif melakukan studi tafsir tematik
dengan membahas tentang pertama, “filsafat keluarga”. Keluarga
dipandangnya sebagai wujud dualisme kosmis (zawjiyyah), karena
dibentuk dari adanya pernikahan yang disebutnya sebagai “rukun
sosial”, di mana nikah menjadi tanggungjawab kolektif masyarakat.
Kemudian, ia mencoba menghubungkan keluarga sebagai unit yang
harus memikul peran: tugas kekhalifahan (istikhlāf) dan tugas
memakmurkan bumi (isti’mār), tugas beribadah (al-‘ibādah),
memikul amanah yang dibebankan kepada manusia (al-amānah), dan
tugas kesaksian akan keesaan Allah (al-syahādah). Untuk menopang
keterkaitan antarkonsep ini, Zenrif mengutip Q.s. al-Baqarah (2):
diadopsi dari penafsiran Abd. Muin Salim melalui karyanya, Fiqh
Siyāsah: Konsep Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an, sedangkan
keterkaitan dengan konsep-konsep lain didaposi dari karya Hibbah
Rauf Izzat, Wanita dan Politik dalam Pandangan Islam.11 Dari konsep
tentang keluarga, Zenrif bertolak ke persoalan tentang hubungan
individu dan masyarakat, dua isu yang dibahas oleh penulis Iran,
Shariati dan Muthahhari, berfokus pada persoalan: apakah individu
10Zenrif, Realitas, 21-22. Lihat juga Zenrif, “Islamisasi Metode Berpikir:
Sebuah Pemikiran Awal”, dalam el-Harakah, Edisi 57, Tahun XXII (Desember
2001-Februari 2002).
11Zenrif, Realitas, 26-27.
39
menentukan dirinya sendiri (indetereministik) atau dibentuk oleh
kekuatan di luar diri, yaitu masyarakat (deterministik)?12 Zanrif
menjawab bahwa individu indeterministik (bebas) dengan merujuk
ke sejumlah ayat al-Qur`an: Q.s. al-Baqarah: 58, al-Kahfi: 29,
atau indeterminsitik tidak selalu meruapakan jawaban rigid, karena,
menurutnya, karena terkdaang individu dianggap menentukan
pilihannya, tapi terkadang ia tenggelam dalam kondisi sosialnya
13
Di samping telaah konseptual-filsosofis seperti itu, Zenrif
juga melakukan telaah kesejarahan tentang “sejarah masyarakat”,
atau yang disebut oleh M. Quraish Shihab disebut bangun-runtuh
karena melalaikan kebutuhan spiritual. Keruntuhan itu sendiri
memiliki hukum (sunnat Allāh) yang berlaku umum.14
Di smaping itu, Zenrif juga membahas teori konflik dalam al-
Qur`an. Teori ini sebenarnya muncul dalam bahasan filsafat sosial
seperti melalu karya Karl Max (1818-1883) dan Fridrich Engels
(1820-1895) yang dipengaruhi oleh teori Charles Darwin tentang
eveolusi dalam karyanya, the Origin of Species. Teori konflik yang
menekankan pada pertentangan kelas, yaitu antara kaum borjuis
dan kaum proletar, menurut Zenrif, memiliki banyak kelemahan.
Seperti kesadaran penulis-penulis lain semisal Ali Shariati dan
Murtadha Muthahhari, Zenrif memgritik konsep Barat ini untuk
dikonfrontasikannya dengan konsep al-Qur`an. Kesimpulan kajian
12Zenrif, Realitas, 31.
13Zenrif, Realitas, 32.
14Zenrif, Realitas, 36-42. Lihat juga bahasan, “Di Bawah Bayang-bayang
Pendekatan Tafsir: Pola Keberagamaan Masyarakat”, Zenrif, Realitas, 101-146.
40
tafsir tematik ini adalah bahwa teori konflik dalam al-Qur`an memiliki
sisi-sisi kesamaan dengan teori konflik yang berkembang di Barat
itu. Namun, pungkasnya, teori al-Qur`an lebih komprehensif, yaitu
bahwa al-Qur`an tidak menonjolkan tendensi subjektif (psikologis)
sebagai hal yang terpisah dari tendensi objektif (sosiologis). Bahkan,
menurutnya, konsep al-Qur`an menggabungkan antara keduanya
sebagai sebab yang membentuk perilaku sosial.15
Penelitian Sosial Berparadigma al-Qur`an (Kajian Empiris)
Apa yang dimaksud dengan “paradigma al-Qur`an” itu?
Paradigma diartikan sebagai cara pandang, atau lebih tepatnya,
pandangan yang menyeluruh yang disebut dengan “pandangan-
dunia” (world view). Pandangan-dunia berkaitan erat dengan
pandangan tentang kebenaran yang merupakan bagian substansial
dari metode penelitian, atau terkait dengan epsitemologi dalam
kajian filsafat ilmu. Dengan demikian, menurut Zenrif, paradigma al-
Qur`an adalah pandangan tentang kebenaran ilmiah yang didasarkan
atas “pandangan-dunia Islam” (Islamic world-view), khususnya
pandangan-dunia al-Qur`an.16
Posisi paradigma dalam kajian metode penelitian adalah pada
cara berpikir, bahkan metode itu sendiri adalah cara berpikir ilmiah.
Zenrif memulai uraian tentang hal ini dari berbagai pandangan
epsitemologi Barat; empirisisme dan rasionalisme. Sebenarnya,
menurutnya, kedua aliran dalam epistemologi itu juga dikenal dalam
Islam. Ia mengemukakan bahwa rasionalisme pernah dilontarkan
oleh, misalnya, Ibn Rusyd yang menganggap bahwa pengetahuan
bisa diperoleh melalu perangkat logika, seperti dengan silogisme
(qiyās). Begitu juga, empirisisme juga pernah dilontarkan oleh Ibn
Taymiyyah yang menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan
mengetahui langsung objeknya. Bahkan, Zenrif mengutip pendapat
15Zenrif, Realitas, 59.
16Zenrif, Realitas, 152.
41
ilmu umum, yaitu ilmu yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh kaum muslimin, seperti kewajiban
shalat dan zakat, yang dijelaskan dalam al-Qur`an dan Sunnah,
dan ilmu khusus, yaitu ilmu yang berkaitan dengan rincian-rincian
kewajiban tersebut yang tidak cukup hanya diperoleh melalui al-
Qur`an dan Sunnah.17
Dengan cara begitu, Zenrif ingin menyatakan bahwa rasionalisme
dan empirisisme tidaklah sesuatu yang asing dalam Islam sendiri,
sehingga kemudian ia berkesimpulan, dengan mengutip pendapat
Harun Nasution, bahwa ilmu pengetahuan Barat juga diperlukan
dalam Islam.18 Lalu, apa yang istimewa dari “paradigma al-Qur`an”
yang ditawarkannya? Menurutnya, paradigma ini memadukan
semua aliran tersebut.19 Upaya untuk memadukan aliran-aliran
tersebut, apalagi dari sumber pengetahuan Barat, sebagaimana
tampak dari kritik beberapa pemikiran integrasi ilmu, seperti
Kuntowijoyo dengan “islamisasi” dan M. Dawam Rahardjo dengan
“dekolonialisasi ilmu”, bukanlah hal yang mudah. Menurut Zenrif,
cara memadukannya adalah dengan diadaptasi melalui proses
islamisasi tersebut.
Paradigma al-Qur`an yang ia maksud berfungsi sebagai berikut.
Pertama, secara epistemologis, al-Qur`an berfungsi sebagai sumber
grand theory dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Menurutnya,
ada dua fungsi yang mungkin dikembangkan dari posisi al-Qur`an
ini, yaitu sebagai justifikasi (pembenaran), sebagaimana dilakukan
oleh Ahmad Baiquni dengan tafsir ilmiahnya dalam karyanya,
al-Qur`an dan Ilmu Pengetahuan, dan sebagai kritik atas ilmu
17Zenrif, Realitas, 148-150.
18Zenrif, Realitas, 152-153.
19Zenrif, Realitas, 150.
42
Mawdudi juga tentang pendidikan Islam.20 Kedua, menyatukan
berbagai pandangan atau aliran yang berbeda; tidak hanya antara
rasionalisme dan empirisisme, melainkan juga ketegangan antara
penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif serta perangkat yang,
menurutnya, bermuatan ideologis dan politis.21
Karakteristik paradigma al-Qur`an adalah sebagai berikut.
Pertama, dualitas, yaitu memadukan antara dua pandangan yang
berbeda, baik antara apa yang disebutnya “ide-ide dunia” dan norma
agama, antara rasionalisme dan empirisisme, fenomenologisme dan
simbolisme, dan sebagainya.
Kedua, moderasi, yaitu mencari jalan tengah antara dua
pandangan yang ekstrem, meskipun dua pandangan ekstrem itu
tampak tidak bisa dikompromikan, namun oleh Zenrif dianggap
mungkin untuk dicarikan jalan tengahnya, seperti, antara metode yang
dikembangkan ulama salaf dan materialisme yang dikembangkan
oleh Barat. Menurutnya, logika yang dibangun oleh al-Qur`an adalah
mencari keseimbangan antara ide agama dan dunia.22
Ketiga, formualtif, yaitu bahwa al-Qur`an mampu memberikan
formulasi baru sebagai hasil perpaduan antara dua pandangan yang
ekstrem, seperti pandangan Barat dan pandangan ulama salaf.23
Paradigma al-Qur`an sebagai upaya untuk memadukan berbagai
aliran yang berseberangan tampak masih prematur (tidak matang),
karena seharusnya pertentangan antaraliran itu tidak mudah, bahkan
mustahil, untuk dilakukan, seperti—dicontohkan—antara pandangan
materialisme dan pandangan ulama salaf. Beberapa asumsi aliran
itu sangat rigid dan ekstrem. Oleh karena itu, tawaran seperti ini
seharusnya diiringi tidak hanya pada level teoretis, melainkan
20Zenrif, Realitas, 151.
21Zenrif, Realitas, 152.
22Zenrif, Realitas, 154.
23Zenrif, Realitas, 154.
43
aplikasi secara nyata. Sebagian dari contoh yang ditunjukkan,
seperti telaah tafsir tematik tentang masyarakat, Zenrif berupaya
memadukan berbagai pandangan yang menekankan peran individu
di satu sisi dan peran masyarakat di sisi lain sebagai penentu
(determinan) melalui tawaran dari konsep al-Qur`an. Namun, dalam
beberapa kasus, terutama berkaitan dengan aliran yang asumsinya
terkait dengan pandangan teologis, seperti materialisme di Barat
(Marxisme) yang cenderung mengakui atheisme tidak akan bisa
dipadukan dengan pandangan ulama salaf yang tentu menolak
mentah-mentah pandangan itu, apalagi jika dicarikan perpaduannya
dengan pandangan al-Qur`an. Di sisi lain, akan menjadi tafsir yang
ideologis jika telaah tematik al-Qur`an sejak dari awal diproyeksikan
untuk menjadi penampung berbagai ide atau aliran yang berkembang.
Telaah tafsir tentu harus bertolak dari telaah terhadap konsep al-
Qur`an tanpa dipengaruhi oleh pra-konsepsi-prakonsepsi, termasuk
keinginan untuk memadukan aliran-aliran yang berseberangan
melalui telaah tafsir al-Qur`an.24
Paradigma al-Qur`an ini dijadikan sebagai grand theory dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, khusus pada penelitian-penelitian
sosial. Sayangnya, Zenrif tidak menjelaskan lebih lanjut tentang
bagaimana hal ini dilakukan, seperti dirumuskan oleh, misalnya,
M. Dawam Rahardjo dan Kuntowijoyo.
Di samping istilah “paradigma al-Qur`an”, Zenrif juga
menggunakan istilah lain, “paradigma Qur`ani”. Istilah terakhir ini
didefinisikan dalam karyanya, Tafsir Fenomenologi Kritis, sebagai
berikut:
“...suatu cara pandang akademik yang menunjuk pada frame of
understanding dan digunakan untuk mengorganisir skala teori
yang lebih kecil, dengan berlandaskan pada pandangan al-Qur`an
(Qur`anic weltanschauung). Paradigma ini berisikan komitmen
24
44
konseptual, teoretikal, instrumental, dan metodologikal yang
Qur`ani. Hal ini setidaknya mencakup body of knowledge yang
secara implisit menggambarkan intertwin teori dan metode, yang
memungkinkan dilakukannya seleksi, evaluasi, dan dapat secara
eksplisit maupun implisit, terdiri dari keyakinan metafisikal.
Oleh karenanya, paradigma Qur`ani yang digunakan dalam
penelitian realitas sosial berfungsi sebagai cara pandang dan
membuat asumsi tertentu terhadap realitas sosial. Dengan
fungsinya tersebut, paradigma tidak dinilai dengan standar
salah atau benar, melainkan tepat atau tidak, dan sesuai dengan
permasalahan atau tidak.”25
Tidak ada penjelasan tentang mengapa ia menggunakan dua
istilah yang tampaknya berbeda. Besar kemungkinan bahwa,
menurutnya, kedua istilah tersebut adalah sinonim dan bisa
digunakan secara bergantian. Akan tetapi, dalam karyanya, Tafsir
Fenomenologi Kritis, ia menguraikannya istilah terakhir ini lebih
rinci. Pertama, yang dimaksud dengan frame of understanding
adalah fungsi paradigma dalam mengorganisir teori-teori yang
lebih kecil. Teori dimaksud adalah proposisi yang menjelaskan
hubungan kejadian dengan bagaimana hal itu bisa terjadi. Paradigma
sebagai tentu saja, menurutnya, berisi tentang cara melihat objek.26
Pernyataan Zenrif bahwa paradigma Qur`ani berfungsi sebagai
pengorganisir teori-teori kecil tidak begitu jelas; apakah paradigma
ini, sebagaimana dinyatakannya di karyanya yang lain, menempati
posisi sebagai grand theory. Oleh karena itu, hubungan antara
grand theory dengan “teori kecil” itu seharusnya dijelaskan,
sebagaiman, misalnya, Dawam Rahardjo menjelaskan hubungan
antara grand theory, middle range theory, dan body of knowledge27
25Zenrif, Tafsir Fenomenologi Kritis, 27-28. Istilah “komitmen konseptual”
tampak problematis. Istilah yang umumnya dipakai adalah kerangka konseptual.
Zenrif tidak menjelaskan maksud istilah ini.
26Zenrif, Tafsir Fenomenologi Kritis, 29.
27Lihat M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Ilmiah terhadap Fenomena
Keagamaan”, dalam Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, ed. Taufik
45
dan pemahaman Kuntowijoyo tentang paradigma al-Qur`an sebagai
“suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami
realitas sebagaimana al-Qur`an memahaminya”.28 Meski demikian,
Zenrif setidaknya menjelaskan hubungan antara paradigma Qur`ani,
pendekatan (yang berisi paradigma keilmuan Barat dan teori terkait),
dan cara kerja (pengumpulan data dan teknik analisisnya) sebagai
berikut:
Skema 1: Posisi Paradigma Qur`ani dalam Sistem Kerja
Penelitian
Permasalahan
penelitian
Paradigma dan teori
fenomenologi kritis
Paradigma Qur`ani
Teknik pengumpulan
data
Teknik analisis data
Sumber: Zenrif, Tafsir Fenomenologi Kritis, 29.
Zenrif juga melontarkan apa yang ia sebut sebagai “realitas
metode tafsir masyarakat”. Tidak ada batasan atau definisi
yang jelas tentang hal ini. Namun, dari berbagai kritiknya atas
berbagai kecenderungan dalam penafsiran (seperti tekstual
versus kontekstual) yang melahirkan kelompok-kelompok Islam
(tradisionalis dan modernis; tekstual, literal, dan normatif),29 tampak
Abdullah dan M. Rusli Karim (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), 26-27. Lihat
juga ulasannya dalam Wardani, “Posisi al-Qur`an dalam Integrasi Ilmu: Telaah
terhadap Pemikiran Kuntowijoyo dan M. Dawam Rahardjo”, dalam Nun, vol. 4,
no. 1 (2018): 125-127.
28Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2017), 357-359. Lihat juga ulasannya dalam Wardani, “Posisi al-
Qur`an..”, 115-118.
29Zenrif, Realitas, 124-141.
46
bahwa ia mengritik bahwa “pendekatan dalam memahami doktrin
Islam, terutama al-Qur`an, akan berpengaruh terhadap kehidupan
keberagamaan masyarakat, khususnya dalam hubungan sosialnya”.30
Di sisi lain, Zenrif juga menggunakan istilah “tafsir faktual” yang
tampak semakna dengan istilah ini.31 Apa yang dimaksud oleh Zenrif
tersebut adalah apa yang sekarang populer disebut living Qur`ān,
atau lebih tepatnya dalam hal ini, living tafsir, yaitu tafsir yang
hidup di masyarakat.
Yang menarik dari kritiknya terhadap model tafsir ini, Zenrif
kemudian mengemukakan tafsir yang diintegrasikan dengan ilmu
sejarah. Namun, tafsir integratif ini lebih menekankan pada sisi
“al-Qur`an sebagai analisis kritik terhadap sejarah”. Langkah-
langkah metodologis yang ditawarkannya adalah sebagai berikut.
Pertama, melakukan kajian tematik terhadap adat, cara berekonomi,
dan pandangan dunia (world-view) bangsa Arab dalam al-Qur`an.
mutawātir dan yang
ṣaḥīḥ berkaitan dengan berbagai hal tersebut.32
Dari aspek dan langkah metodologi yang ditawarkannya ini,
tampak bahwa kajian ini sebenarnya cenderung menjadi kajian
sejarah, dengan dua sisi yang dikaji, yaitu pertama, sejarah bangsa
Arab dengan adat kebiasaan mereka, termasuk dalam hal praktik
ekonomi, dan pandangan-dunia mereka, dan kedua, sejarah hidup
Nabi (sīrah) yang bersumber dari al-Qur`an dan ditopang dengan
Sayangnya, Zenrif tidak menguraikan lebih lanjut dari apa yang
ia sebut “analisis kritis” terhadap sejarah itu. Apakah dengan kajian
sejarah seperti itu bisa menjadi kajian yang kritis, atau menurut
30Zenrif, Realitas, 144.
31Zenrif, Tafsir Fenomenologi Kritis, 27.
32Zenrif, Realitas, 139-140.
47
Zenrif, setiap kali al-Qur`an menuturkan tentang sejarah bangsa Arab,
hal itu dengan sendirinya dalam konteks kritik atau perombakan
terhadap tradisi? Dalam beberapa al-Qur`an menempatkan dirinya
sebagai kitab suci yang merombak atau mengritik tradisi, seperti
berlipat-ganda, perbudakan, dan poligami lebih dari empat orang
istri. Namun, tidak semua tradisi bangsa Arab dibongkar oleh al-
Qur`an. Beberapa kajian yang tentang hal ini menunjukkan pola
beragam dalam hal interaksi al-Qur`an dengan budaya.33
Tafsir Fenemenologi Kritis
Istilah “fenomenologi” sebenarnya tidak asing dalam penelitian.
Namun penyebutan “tafsir fenomenologi kritis” merupakan hal
baru yang perlu dikaji. Zenrif mengutip pendapat Glossop dalam
mendefinisikan fenomenologi, “the attempt to describe expereince
without presupposing conceptual frameworks such as those found in
the natural sciences”34 (upaya untuk menggambarkan pengalaman
tanpa menggunakan kerangka konspetual yang berisi asumsi seperti
yang ditemukan dalam ilmu-ilmu alam). Zenrif tidak menjeaskan
dalam hal apa saja pendekatan ini menjadi pendekatan yang kritis.
Besar kemungkinan bahwa karakter kritis tersebut dimaksudkan
sebagai kajian yang mencoba mengkonfrontasikan antara pertama,
tafsir terhadap teks-teks al-Qur`an tentang suatu tema, dengan,
kedua, “tafsir faktual”, yaitu praktik masyarakat terhadap suatu
hal, seperti kepemimpinan dalam keluarga kiyai (disertasi S3 yang
ditulisnya di UIN Sunan Ampel). “Tafsir faktual” itu kemudian
dilakukan “analisis verikatif”, yaitu menilai kesesuainya dengan
pandangan-dunia al-Qur`an atau yang disebutkan paradigma al-
Qur`an tentang kepemimpinan. Oleh karena itu, “penggunaan sistem
33Lihat Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur`an: Model Dialetika Wahyu dan
Budaya (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2012).
34Zenrif, Tafsir Fenomenologi Kritis, 20 fn. 20.
48
analisis realitas lapangan dengan pandangan al-Qur`an” disebut
sebagai kajian kritis.35
Skema 2: Langkah Penelitian Tafsir Fenomenologi Kritis
Pengumpulan
teks ayat
Verifikasi
fakta dengan
teks tafsir
Analisis teks
faktual
Pengumpulan
data tafsir
faktual
Analisis teks
ayat
Sumber: Zenrif, Tafsir Fenomenologi Kritis, 23.
Istilah “tafsir faktual” muncul didasari oleh anggapan Zenrif
bahwa tindakan masyarakat muncul dari upaya menerapkan ajaran-
ajaran al-Qur`an yang diasumsikan didahului oleh pemahaman
atau penafsiran terhadap al-Qur`an. Atas dasar asumsi ini, Zenrif
menyatakan bahwa munculnya berbagai aliran dan gerakan, seperti
kalangan tradisonalis dan modernis, bertolak dari pemahaman ayat
al-Qur`an. Sebenarnya, asumsi seperti ini tidak seluruhnya benar,
karena tidak semua aliran dan gerakan itu bertolak dari pemahaman,
apalagi penafsiran terhadap al-Qur`an sehingga layak disebut “tafsir
faktual”. Lama sebelumnya, Ignaz Goldziher memang pernah berujar
bahwa setiap orang (muslim) mencari pembenaran bagi pendapatnya
dari kitab suci. Akan tetapi, praktik ajaran Islam oleh masyarakat
tentu multi-dimensional; tidak hanya berlatarbelakang faktor mode
of thought keagamaan, tapi secara beragam dilatarbelakangi faktor-
faktor lain, seperti kultural, sosial, bahkan politis.
35Zenrif, Tafsir Fenomenologi Kritis, 30.
49
Mengkonfrontasikan antara “tafsir faktual” dengan “paradigma
al-Qur`an”, “paradigma Qur`ani”, “pandangan-dunia al-Qur`an”
tidak diragukan lagi menjadi kajian evaluatif (vonis benar-salah)
dibandingkan kajian yang sekadar mengapresiasi pengalaman
subjektif individual, sebagaimana diinginkan dalam pendekatan
fenomenologi.
2. Tafsir Psikologi Emansipatoris Berspirit al-Qur`an: Model
Muhammad Mahpur dan Zainal Habib
Sisi lain dari perkembangan pemikiran metode tafsir ilmiah di
UIN Malang adalah metode tafsir yang diaplikasi untuk menafsirkan
ayat-ayat yang berkaitan dengan psikologis, di antaranya adalah
Psikologi Emansipatoris: Spirit al-Qur`an dalam Membentuk
Masyarakat yang Sehat.
Tidak seperti Zenrif yang secara jelas, di mana konsep integrasi
ilmu dalam metode tafsir tampak dengan jelas, dalam karya ini,
pemikiran metode tafsir ilmiah tidak begitu jelas dan tidak mendalam.
Namun, dari beberapa uraian tentang metode yang diterapkan, dapat
dipahami pendekatan integratif yang ditawarkan.
Kerangka teori psikologi Barat
Dalam hal ini, menurut kedua penulisnya, kajian tentang psikologi
dalam al-Qur`an bisa didekati dengan tiga macam pendekatan.
Pertama, kritis-analitis. Yang dimaksud dengan kajian analitis-kritis
adalah kajian yang mencoba mengungkap data psikologis yang jika
didekati dengan pendekatan dogmatik dengan menerapkan sutau
teori, maka data tersebut tidak akan terungkap. Itu artinya, dalam
pendekatan ini, perlu pengembangan sebuah konsep atau teori. Yang
dimaksud “kritis” adalah dalam konteks mengembangkan suatu teori
psikologi yang memperhatikan sifat khas setip individu. Sebagai
contoh, Bourdieu, ketika membahas tentang sikap petani Aljazair
terhadap waktu, tidak terpaku pada suatu teori. Ia memahami bahwa
50
ruang-lingkup realitas masyarakat yang diteliti dan pemahaman
mereka tentang waktu lebih kompleks. Sikap kritis dalam pendekatan
ini mengharuskan terhindarnya dari kekeliruan karena beberapa
faktor, yaitu penerjemahan karya-karya psikolog dunia, seperti Jung
dan Freud yang disalahartikan, neologisme, yaitu istilah-istilah yang
digunakan mungkin mempunyai beberapa pengertian yang berbeda,
seperti istilah self dan ego, dan jebakan metapor.36
Kedua, meta-analisis. Dalam hal, dalam kajian psikologi, perlu
digunakan analisis terhadap “tanda”, sebagaimana ditawarkan oleh
Ferdinand de Saussure, bapak aliran strukturalisme dan semiotika.
Teori psikologi yang dikembangkan harus dilihat dalam kerangka
“permainan tanda”. Akan tetapi, pemahaman tentang “tanda” tidak
berhenti pada tokoh ini. Beberapa nama lain, seperti Bourdieu
yang menyatakan bahwa pemahaman terhadap manusia tidak bisa
dipahami dari semata pilihan rasional. Seiring dengan kemunculan
postmodernisme, pemahaman tentang manusia berangkat pada
pengalaman individual; segala dianggap relatif, dan karenanya
tidak ada klaim kebenaran universal dan absolut. Nama-nama
seperti Husserl, Heiddeger, Marleau-Ponty, Jean Paul Sartre, Jean
Francois-Lyotard, Jacques Lacan, Michel Foucault, Richard Rorty,
dan Jacques Derrida menandai pemikiran ke arah ini.37
Ketiga, kritis-emansipatoris. Teori ini bertumpu pada asumsi
bahwa selalu ada hubungan antara relasi linguistik dan kekuasan,
sehingga tidak bisa dilakukan hanya dengan analisis linguistik.
Tokoh yang menganjurkan pembacaan seperti ini adalah Michel
Foucault yang mengaitkan antara pengetahuan, kekuasaan, dan
wacana yang berkembang yang mungkin dijelaskan secara rasional,
atau secara progresif yang diyakini oleh masyarakat. Dalam konteks
36Muhammad Mahpur dan Zainal Habib, Psikologi Emansipatoris: Spirit
al-Qur`an dalam Membentuk Masyarakat yang Sehat (Malang: UIN-Maliki
Press, 2006), 55-62.
37Mahpur dan Habib, Psikologi Emansipatoris, 62-68.
51
teori yang dipilih, penelitian psikologis tidak tidak bisa terpaku pada
suatu teori. Teori berfungsi sebagai “peta yang mendahului daerah
(peta a teritori) dibandingkan daerah yang menjadi acuan membuat
peta (teritori a peta).38
Spirit al-Qur`an
Berbeda dengan Zenrif yang menggunakan istilah “paradigma”,
Mahrup dan Zainal Habib menggunakan istilah “spirit al-Qur`an”.
Dalam menjelaskan tentang visi emansipatoris berkaiatan dengan
masyarakat dari sudut pandang psikologi sosial, kedua penulis
mengritik pandangan Freud yang mengikuti pandangan Rousseau
tentang “orang biadab yang bahagia” dan Hobbes tentang
permusuhan abadi antarsesama manusia. Hal itu, menurut mereka,
tokoh-tokoh ingin hanya melihat pertentangan antara kodrat
manusia dan masyarakat. Sebagai ganti, Mahrup dan Zainal Habibi
menganggap bahwa menyatukan pandangan antara pentingnya
individu dan masyarakat dari sisi “sehat”, merupakan representasi
spirit al-Qur`an. Istilah “sehat” menyentuh individu dan masyarakat.
Tidak seperti Freud dan Rousseau yang menekankan “bahagia”
atau Hobbes yang menekankan “permusuhan”, kedua penulis buku
ini menganggap bahwa “sehat” secara psikologis sosial meliputi
sejahtera, saling mencintai, bekerja secara kreatif, mengembangkan
akal-budi dan objektivitas, sehingga memiliki kemampuan diri untuk
menjadi produktif.39 Visi ini dianggap lebih emansipatoris (setara),
karena hubungan antara individu dan masyarakat sama-sama penting
dan merupakan hubungan yang dinamis. Dengan visi ini, tidak ada
suatu penjelasan yang tunggal. Menurut mereka berdua, selama ini,
kategorisasi psikologis antara sakit (gila) dan tidak sakit, atau antara
menyimpang dan tidak menyimpang (sehat), harus dihilangkan
38Mahpur dan Habib, Psikologi Emansipatoris, 73.
39Mahpur dan Habib, Psikologi Emansipatoris, 72-73.
52
karena terpaku pada teori atau doktrin yang menguasai dalam
memahami diri manusia.40
Adapun metode yang digunakan untuk menarik spirit al-Qur`an
tentang psikologi sosial terkait dengan masyarakat yang sehat
dijelaskan sebagai berikut:
“Adapun metode yang digunakan dalam menggali gangguan
kepribadian yang sebagai dasar telaah adalah eksplitasi peristiwa
yang digambarkan oleh al-Qur`an dan mengambil gagasan
inti peristiwa tersebut sebagai deskripsi psikologis sehingga
ayat itu menjadi hidup dalam gagasan relasi psikososial, yakni
hubungan persoalan psikologis dan seting sosial bagaimana
ayat al-Qur`an menggambarkan kejadian tertentu. Gagasan inti
ini akan diperkaya dengan kajian dialektis bagaiamana entitas
kepribadian berdialektika secara dinamis dari berbagai pikiran
yang tercakup sebagai bagian (yang) memperkaya pengkajian
aspek-aspek yang mengganggu kelangsungan keotentikan
pribadi.
Analisis terhadap gangguan kepribadian digolongkan ke dalam
tiga pembagian kelompok yang terdiri dari aspek-aspek khusus
yang dirinci berdasarkan model historis asumsi al-Qur`an tentang
pandangan pribadi terkait dengan cara bertuhan, gangguan
kepribadian mengenai artikulasi kedirian dan hubungan sosial
yang juga ikut menentukan bagaimana gangguan kepribadian
terkait dengan persoalan orang lain.”
Dari kutipan di atas, metode tafsir integrasi antara ajaran al-
Qur`an dengan psikologi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut. Pertama, eksplitasi (dieksplisitkan, ditampakan) peristiwa
yang digambarkan oleh al-Qur`an. Kedua, mengambil gagasan inti
peristiwa tersebut sebagai deskripsi psikologis sehingga ayat itu
menjadi hidup dalam gagasan relasi psikososial. Ketiga, melengkapi
analisis tentang ganggian psikososial itu dengan melihat dialektika
40Mahpur dan Habib, Psikologi Emansipatoris, 73-74.
53
dinamis dalam keperibadian yang bisa memunculkan gangguan
tersebut.
Sebagai contoh, dalam al-Qur`an (Q.s. 7: 172) yang menyatakan
bahwa manusia memiliki perjanjian secara fitrah bahwa ia mengakui
Allah swt sebagai tuhan.41 Hal ini dikenal sebagai fitrah bertauhid.
Ayat ini ditafsirkan sebagai berikut:
“Artinya urusan perjanjian itu sudah cukup untuk memberikan
kebebasan kepada siapa saja untuk menyatakan pengakuan
akan perjanjian itu atau ia akan mempertahankan ketauhidan
itu sebagai bagian dari kenyataan diri. Dimensi tauhid inilah
yang menjadi habitus yang mempersatukan manusia dalam satu
entitas tunggal. Di sinilah digambarkan setiap manusia memiliki
kemurnian ketauhidan dan perjanjian ini menunjukkan bahwa
iman itu bersifat pribadi. Menurut Hidayat (1998: 193) gambaran
keimanan adalah stimulus yang menggerakkan personalitas
kepada suatu dimensi ilahiyah yang mengartikulasikan
konsistemsi jaminan amanah dan aman dalam kehidupan.
Dengan begitu ragam pemaknaan sosial terhadap fungsi
keimanan adalah jaminan sosial bagi fungsionalisasi amanah
dan aman yang bertumpu pada aspek personalitas yang didasari
oleh kesadaran keimanan yang bersifat pencerahan esoteris.
Di dalam makna yang lebih potensial iman diletakkan dalam
epistema logos antroposentris guna mewujudkan satu tatanan
baru kemasyarakatan dan dunia baru yang mencerahkan. Jadi
perjanjian itu ruang batin personal yang menjadi cermin bagi
kehidupan hati nurani.”42
41Ayat ini berbunyi: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab:
“Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan): “Sesungguhnya kami (bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (terjemah
diambil dari tim penerjemah, al-Qur`an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen/
Kementerian Agama, 1993) 250).
42Mahpur dan Habib, Psikologi Emansipatoris, 83-84.
54
Ayat yang biasanya ditafsirkan sebagai ayat yang berisi fitrah
bertauhid sejak dari alam rahim ini di sini ditafsirkan dalam konteks
untuk menjelaskan jenis gangguan kepribadian yang diakibatkan
oleh cara bertuhan, atau cara menghayati keberadaan tuhan. Kedua
penulis berupaya mengeksplisitkan penjanjian primordial bertauhid
sebagai peristiwa yang tampak abstrak (karena diyakini di alam
rahim) ini dengan menyatakan bahwa pengakuan ketauhidan itu ada
dalam diri manusia. Dari sini, kemudian kedua penulis “mengambil
gagasan inti peristiwa tersebut sebagai deskripsi psikologis sehingga
ayat itu menjadi hidup dalam gagasan relasi psikososial” dengan
mengatakan bahwa perjanjian tentang pengakuan ketauhidan
itu sebagai bukti pemberian kebebasan kepada manusia untuk
mengakui atau tidak ide ketauhidan itu. Kemudian, penulis menarik
makna psikologis dari ayat dengan mengatakan bahwa perjanjian
itu menjadi bukti bahwa iman itu bersifat pribadi. Selanjutnya,
dengan mengutip pendapat Kamaruddin Hidayat, keimanan sebagai
kesadaran pribadi itu kemudian dihubungkan oleh penulis ke ranah
psikologis sosial dengan menyatakan bahwa keimanan itulah yang
membentuk kepribadian yang secara konsisten memikul amanah
dan bisa menularkan rasa aman (tenang). Keimanan itu membentuk
keperibadian yang bisa mempengaruhi terpenuhi rasa aman di
masyarakat. Dari disimpulkan, bahwa perjanjian yang disebutkan
dalam ayat tersebut sebenarnya menjelaskan tentang kehidupan
hati nurani. Dengan demikian, menurut kedua penulis, gangguan
psikososial itu bisa muncul karena persoalan tentang penghayatan
terhadap makna tauhid, atau disebut di sini sebagai “cara bertuhan”.
Tauhid tidak sekadar pengakuan ketuhananan Allah swt., melainkan
lebih dari itu, adalah pembentukan kepribadian yang penuh amanah
dan penuh rasa tanggung-jawab untuk menciptakan rasa aman bagi
masyarakat. Inilah yang disebut spirit ayat.
Spirit al-Qur`an yang dimaksud bukanlah ajaran Islam sebagai
agama saja, melainkan soal keberagamaan atau watak manusia
55
dalam beragama. Oleh karena itu, menurut penulis, Islam sebagai
agama sebenarnya agama yang terbuka, bahkan untuk dikritik pada
tataran teologis sekalipun. Akan tetapi, Islam bukan sekadar itu,
melainkan inti atau spiritnya lebih mendalam, yaitu “suasana hati
yang damai, nurani keberagamaan yang manusiawi, rasionalitas
kita yang kritis, emosionalitas kita yang matang, spiritualitas kita
yang tembus pandang”. Nilai-nilai ajaran al-Qur`an seperti inilah
yang menjadikan Islam sebagai agama yang tampil natural, akrab,
dan bebas.43
B. Produk-Produk Tafsir Ilmiah (al-Tafsīr al-‘Ilmī)
Di samping menghasilakn pemikiran dalam bidang metode
tafsir ilmiah, di mana di dalamnya diintegrasikan antara ilmu Islam
normatif dengan sains modern, UIN Malang juga menghasilkan
produk-produk tafsir dengan menerapkan metode ini. Akan tetapi,
pemikiran metode tafsir tersebut tidak selalu dibuktikan dalam
bentuk penafsiran, sebagaimana juga produk tafsir tidak diiringi
dengan penjelasan tentang metode tafsir integratif yang diterapkan.
Karya-karya produk tafsir dimaksud adalah sebagai berikut:
No. Penulis Judul
Tahun
Cetakan
Pertama
Bidang
1. Muhammad
Mahpur
Zainal Habib
Psikologi Emansipatoris:
Spirit al-Qur`an dalam
Membangun Masyarakat
yang Sehat
2006 Psikologi
2. Fatchurrohman,
Muhammad
Faisal, Amin
Hariyadi,
Suhartono
Inspirasi al-Qur`an dalam
Algoritma Alami
2006 Matematika
43Mahpur dan Habib, Psikologi Emansipatoris, 166.
56
No. Penulis Judul
Tahun
Cetakan
Pertama
Bidang
3. M. F. Zenrif Di Bawah Cahaya
al-Qur`an: Cetak Biru
Ekonomi Keluarga
Sakinah
2006 Ekonomi
4. Agus Mulyono,
Ahmad Abtokhi
Fisika dan al-Qur`an 2006 Fisika
5. M. F. Zenrif Realitas dan Metode
Penelitian Sosial dalam
Perspektif al-Qur`an:
Teori dan Praktik
2006 Sosial (teori
konflik dalam
al-Qur`an,
keragaman
masyarakat,
kerukunan
umat beragama
6. Anton Prasetyo,
N. Avisena
Lempung: Menguak
Rahasia Keagungan Allah
2007 Fisika
7. Tarranita
Kusumadewi,
Elok Mutiara
Berkaca pada Kota
Alama: Menuju
Kota Berkelanjutan
Berperspektif al-Qur`an
2007 Lingkungan,
tata kota
8. Kiptiyah Embriologi dalam al-
Qur`an: Kajian pada
Proses Penciptaan
Manusia
2007 Embriologi
9. Ulfah Utami Konservasi Sumber Daya
Alam: Perspektif Islam
and Sains
2008 Lingkungan
10. M. Faisol Fatawi Tafsir Sosiolinguistik:
Memahami Huruf
Muqatha’ah dalam al-
Qur`an
2009 Sosiolinguistik
11. Ahmad Dini
Hidayatullah
Al-Qur`ān al-Karīm wa
al-Dzakā` al-Lughawī
2010 Bahasa
12. M. F. Zenrif Tafsir Fenomenologi
Kritis: Interrelasi
Fungsional antara Teks
dan Realitas
2011 Sosial
57
No. Penulis Judul
Tahun
Cetakan
Pertama
Bidang
13. Misbahul
Munir,
Djalaluddin
Ekonomi Qur`ani: Doktrin
Reformasi Ekonomi dalam
al-Qur`an
2014 Ekonomi
14. Djalaluddin Manajemen Qur`ani:
Menerjemahkan Idarah
Ilahiyah dalam Kehidupan
Insaniyah
2014 Manajemen
15. Toriquddin Tafsir Tematik Ayat-ayat
Bisnis
2019 Ekonomi
16. Abdussakir Matematika dalam al-
Qur`an
2020 Matematika
17. Ali Hamdan Narasi Sosiologis al-
Qur`an: Mengurai Narasi
al-Qur`an tentang Bangsa
Aad, Tsamud, Arab dan
Bani Israil
2020 Sosiologi,
sejarah
1. Psikologi Emansipatoris: Spirit al-Qur`an dalam Membangun
Masyarakat yang Sehat karya Muhammad Mahpur dan
Zainal Habib
Karya ini mengusung apa yang disebut penulisnya sebagai
“psikologi emansipatoris”. Ada banyak aliran dalam psikologi,
seperti humanistik dan behavioristik. Dengan istilah “psikologi
emansipatoris”, karya ini ingin keluar dari mainstream berbagai
teori yang berkembang yang dianggap mapan. Menurut penulisnya,
para ilmuwan selama ini mengembangkan disiplin psikologi dari
bangunan keilmuan yang dianggap mapan, seperti Diagniostic and
Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) yang dikeluarkan oleh
the American Psychiatric Association (1994) yang menjadi standar
ringkas dari diagnosis di Amerika Serikat. Edisi DSM pertama
dipublikasikan pada 1952 yang berisi 198 kategori gangguan jiwa.
DSM dianggap menjadi patokan utama. Namun, DSM belakangan
(2005) mendapat kritik, karena kategori gangguan-gangguan jiwa
58
itu seolah menunjukkan bahwa gangguan psikologis lebih terkait
dengan kondisi fisik, padahal situasi kehidupan dan latar budaya
sebenarnya mempengaruhi.44 Ini di satu sisi. Akan tetapi, di sisi
lain, ada perkembangan sebaliknya, di mana psikologi ditandai
dengan Spiritual Quotient (kecerdasan spiritual) sebagaimana
dikemukakan oleh Zohar dan Marshall (2000). Ada beberapa kritik
terhadap tawaran ini, antara lain, bahwa apa yang ditawarkan hanya
merupakan “proses pemaknaan” yang tidak memiliki hubungan
dengan agama; seorang yang atheis bisa saja memiliki SQ yang
tinggi, sedangkan seseorang yang beragama memiliki SQ yang
rendah.45
Dengan psikologi emansipatoris, penulisnya ingin membebaskan
diri dari kukungan berbagai teori psikologi yang dominan yang
diikuti begitu saja. Caranya adalah memahami spirit al-Qur`an. Spirit
ini, menurut penulisnya, mengamanatkan agar kita bersifat kritis,
tidak sekadar menerima warisan terdahulu dalam ilmu pengetahuan.46
Di buku dibahas tentang konsep-kunci al-Qur`an tentang jiwa, yaitu
al-nafs, tentang metode integratif antara kajian psikologi dan al-
Qur`an, tentang gangguan jiwa, dan tentang agama sebagai basis
emansipasi sebagai dasar untuk menuju masyarakat yang sehat.
Tentang al-nafs, dikemukakan penafsiran ayat al-Qur`an tentang
konsep ini dan kaitannya dengan konsep-konsep terkait, seperti rūḥ
dan jism, serta potensi keunggulan manusia dalam posisinya—dalam
term-term yang digunakan oleh al-Qur`an—sebagai al-insān (Q.
18: 110), al-nās (Q. 11: 1), basyar (Q. 18: 110), dan banī Ādam (Q.
17: 70). Menurut penulis, dari semua unsur dalam manusia, nafs
menjadi penentu perilaku manusia.47 Yang menarik dalam konteks
kajian psikologi adalah idenya tentang emansipasi dialektis melalui
44Mahpur dan Habibi, Psikologi Emansipatoris, 4-5.
45Mahpur dan Habibi, Psikologi Emansipatoris, 7-8.
46Mahpur dan Habibi, Psikologi Emansipatoris, 9-16.
47Mahpur dan Habibi, Psikologi Emansipatoris, 21-25.
59
konsep al-Qur`an tentang al-nafs al-muṭma`innah. Menurut Mahpur
dan Habib, hakikat manusia bukanlah kumpulan dari sejumlah
karakteristik yang sudah jadi, melainkan harus harus dibongkar
Jiwa yang tenang sebagai jiwa yang kembali kepada Tuhan adalah
jiwa yang melakukan pembebasan dari segala bentuk represi, yaitu
segala kondisi kejiwaan yang sakit.48
2. Inspirasi al-Qur`an dalam Algoritma Alami karya
Fatchurrohman, Muhammad Faisal, Amin Hariyadi, dan
Suhartono
Al-Qur`an tidak hanya dijadikan sebagai sumber spirit untuk
meneliti persoalan psikologi, sebagaimana dilakukan oleh Mahpur
dan Habib, melainkan juga dijadikan sebagai inspirasi dalam
meneliti sains. Dalam hal ini, tim penulis yang terdiri Fatchurrohman,
Muhammad Faisal, Ahmad Hariyadi, dan Suhartono menggali apa
yang disebut mereka sebagai “algoritma alami” dari spirit al-Qur`an.
Algoritma adalah salah bagian dari matematika. Disiplin menjadi
inti dari informatika yang bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan
berbagai masalah. Menurut mereka, algoritma itu juga didapatkan
dari alam, yang mereka sebut sebagai “algoritma alam”. Hitungan
matematika dari perspektif algoritma bisa ditemukan kesesuaiannya
dengan bagaimana al-Qur`an menjelaskan keserasian alam.
Meski al-Qur`an disebutkan “inspirasi”, dalam pembahasan
tentang algoritma alama, ayat al-Qur`an ditempatkan sesudah
menguraikannya yang tampak seperti fungsi justifikasi. Buku yang
tipis ini hanya membahas sedikit aspek tentang algoritma alam
dimaksud. Pertama, konsep algoritma yang berisi penjelasan tentang
pengertian algoritma yang disebut berasal dari nama ilmuwan
algorism yang kemudian
48Mahpur dan Habibi, Psikologi Emansipatoris, 47-49.
60
berubah menjadi algorithm, lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia
menjadi algoritma. Pada bagian ini, dijelaskan juga beberapa jenis
algoritma, seperti algoritma bubblesort. Menurut mereka, algoritma
bisa dikembangkan berdasarkan mekanisme-mekanisme yang
terhadi di alam, baik proses fisika, biologi, maupun kimia. Sebagai
contoh, manuver seekor campung ketika terbang, sistem navigasi
lumba-lumba, pergerakan lempeng tektonik. Bahkan, manusia
sendiri merupakan contoh di mana prinsip algoritma bekerja. Hal
untuk merenungkan (tafakkur) tentang diri manusia dan kejadian
di langit dan di bumi.49 Ayat ini dikutip sebagai inspirasi algoritma
karena menjelaskan tentang arti penting kejadian manusia dan
alam semesta sebagai objek penyelidikan. Itu artinya, penulis
menganalogikan bahwa perintah untuk menyeledikinya menyiratkan
adanya keserasian, termasuk dalam hal sistem yang bekerja di
dalamnya.
Ketika berbicara tentang jaringan syaraf tiruan, penulis mengutip
yang menyatakan bahwa ilmu Allah swt meliputi
segala sesuatu, dalam konteks untuk menyatakan bahwa ciptaan-
Nya, termasuk manusia, menjadi bahan untuk meniru jaringan
syaraf tiruan yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk berbagai
keperluan. Saat ini, jaringan syaraf tiruan digunakan dalam teknologi
militer, satelit ruang angkasa, dan bisnis.50 Penulis juga berbicara
tentang “algoritma semut” dari perspektif ilmu pengetahuan dan
mengutip Q.s. al-Naml: 18-19 tentang kisah semut pada masa Nabi
Sulaiman as.51 Tidak penjelasan lebih lanjut tentang sisi apa dari
ayat tersebut yang berkaitan dengan algoritma semut.
49Fatchurrohman et. al., Inspirasi al-Qur`an dalam Algoritma Alami (Malang:
UIN-Maliki, 2006), 11-19.
50Fatchurrohman et. al., Inspirasi al-Qur`an, 30.
51Fatchurrohman et. al., Inspirasi al-Qur`an, 72.
61
3. Di Bawah Cahaya al-Qur`an: Cetak Biru Ekonomi Keluarga
Sakinah karya M. Fauzan Zenrif
Sebagaimana dijelaskan dalam pengantarnya, buku ini semula
khusus berbicara tentang tuntunan bagi keluarga sakinah. Namun,
kemudian bahasan ini ditambah dengan tuntutan al-Qur`an tentang
membangun ekonomi.52 Ekonomi adalah disiplin keilmuan yang
seharusnya bisa diitegrasikan dengan al-Qur`an. Namun, tidak
ada, baik isu, metode, maupun pendekatan ekonomi sebagai ilmu
yang diterapkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an. Bagian ini
hanya berisi tentang kiat-kiat, berdasarkan tuntunan al-Qur`an, dan
bahkan beberapa pengalaman yang ditungkan dalam bahasa “saya”,
berkaitan dengan cara mencari rejeki. Oleh karena itu, buku ini
lebih tepat dikategorikan sebagai buku yang berisi ajaran normatif
al-Qur`an dari perspektif monodisipliner, bukan interdisipliner.
Penulisnya menyebut bahwa buku ini ditulis dengan “sinaran
pendekatan normatif dan pembacaan terhadap realitas dalam
keseharian”.53 Yang dimaksud dengan pembacaan terhadap realitas
di sini adalah pengamatan langsung yang ditulisnya berkaitan
dengan praktis bisnis, namun ini tidak sama sekali menerapkan
pendekatan ekonomi.
4. Fisika dan al-Qur`an karya Agus Mulyono dan Ahmad
Abtokhi
Buku ini membahas tentang persoalan-persoalan dalam ilmu
fisika dari perspektif al-Qur`an. Pada prinsipnya, buku membahas
tiga hal. Pertama, konsep-konsep fisika dalam al-Qur`an. Kedua,
sebaliknya, konsep-konsep fisika itu dipelajari dalam konteks
memahami isi dan kandungan al-Qur`an. Ketiga, al-Qur`an sebagai
52Pembahasan tentang keluarga sakinah meliputi hingga halaman 50,
sedangkan tentang ekonomi meliputi halaman 51 dst.
53M. Fauzan Zenrif, Di Bawah Cahaya al-Qur`an: Cetak Biru Ekonomi
Keluarga Sakinah (Malang: UIN-Maliki Press, 2006), xiii.
62
salah satu sumber belajar fisika.54 Dua bahasan pertama tampak
saling terkait; bahasan pertama ingin menekankan fisika menjadi
fokus utama, sedangkan bahasan kedua menekankan bahwa fisika
itu adalah bagian dari kandungan al-Qur`an sendiri. Atau dengan
ungkapan lain, penulis ingin bahwa al-Qur`an dipahami dari
perspektif fisika, dan sebaliknya juga, fisika dipahami dari perspektif
al-Qur`an.55
Di tengah kekhawatiran beberapa penafsir dengan metode
ilmiah (al-tafsīr al-‘ilmī) akan mereduksi al-Qur`an yang
sebenarnya berfungsi kitab suci yang berisi petunjuk, bukan buku
ilmu pengetahuan, kedua penulis ini bahwa secara terang-terangan
menyebutkan al-Qur`an sebagai referensi belajar fisika.
Titik-tolak kajian dalam buku ini adalah bahwa al-Qur`an sebagai
kitan suci yang mengandungan kemukjizatan harus dipelajari untuk
menunjukkan otentisitasnya sebagai kitab suci dengan ditunjukkan
relevansinya dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan
modern. Di samping sebagai mukijizat, al-Qur`an juga berfungsi
sebagai pedoman hidup (niẓām al-ḥayāh) yang, menurut mereka,
ajaran-ajarannya harus dipecahkan secara ilmiah.56
Menurut penulis, ada empat hal yang harus ditempuh dalam
mengkaji fisika dalam al-Qur`an. Pertama, observasi (pengamatan)
terhadap gejala alam. Hal ini sesuai dengan perintah Allah swt dalam
swt adalah sama dengan membaca ayat-Nya. Kedua, melakukan
pengukuran (kuantifikasi) agar gejala-gejala alam itu yang diamati
itu bisa disimpulkan sebagai kesimpulan yang berlaku umum.
54Agus Mulyono dan Ahmad Abtokhi, Fisika dan al-Qur`an (Malang: UIN-
Maliki Press, 2006), 3.
55Lihat bahasan tentang hal ini dalam Agus Mulyono dan Ahmad Abtokhi,
Fisika dan al-Qur`an, 7-20.
56Agus Mulyono dan Ahmad Abtokhi, Fisika dan al-Qur`an, 2-3.
63
Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam al-Qur`an bahwa alam
semesta diciptakan menurut ukuran tertentu (Q.s. al-Qamar: 49).
Ketiga, analisis terhadap data yang terkumpul. Keempat, melakukan
57 Tema-
tema yang dibahas dalam buku ini adalah kosmologi, rotasi alam
semesta, lobang hitam, pulsar, bintang sirius, matahari, atmosfer
bumi, dan sebagainya.
5. Realitas dan Metode Penelitian Sosial dalam Perspektif al-
Qur`an: Teori dan Praktik karya M. F. Zenrif
Buku ini berisi uraian tentang metode tafsir integratif dan
penerapannya. Pemikiran Zenrif tentang metode tersebut telah
diuraikan sebelumnya. Zenrif menerapkannya dalam beberapa
isu, yaitu fundamentalisme Islam, keberagamaan masyarakat,
dan kerukunan antarumat beragama di kalangan santri. Berkaitan
dengan fundamentalisme, sayangnya, tidak tampak satu ayat pun
yang dikutip sebagai bentuk integrasi untuk melihat realitas sosial
tentang fundamentalisme Islam. Penelitian ini hanya merupakan
penelitian sosial murni. Meskipun ia menyebutkan “metode
tafsir”, yang ia maksud adalah realitas sosial yang mungkin
dibentuk oleh pemahaman terhadap ayat al-Qur`an. Misalnya,
ketika memaparkan kategorisasi fundamentalisme menurut Yudi
Latif menjadi fundamentalisme literal dan fundamentalisme
liberal, Zenrif mengomentari bahwa kedua aliran itu sama-sama
“memandang masalah keagamaan sebagai masalah tesktual, yang
pertama terobsesi untuk “dipeluk” (dibatasi) oleh teks dan yang
kedua bernafsu untuk ‘memeluk’ teks”.58
Zenrif mencoba membahas persoalan sosiologis tentang
keberagamaan masyarakat dari perspektif al-Qur`an. Ia membagi
masyarakat menjadi dua macam. Pertama, masyarakat temporal
57Agus Mulyono dan Ahmad Abtokhi, Fisika dan al-Qur`an, 7-13.
58Zenrif, Realitas, 81.
64
dan sekuensial, yaitu masyarakat yang terbangun dengan tendensi
pemenuhan kebutuhan yang profan dan irreligius. Dengan merujuk
kepada fakta kehancuran masyarakat yang dibentuk keluarga
adalah masyarakat agamis. Masyarakat ini adalah masyarakat yang
59 Tidak ada teori sosiologi
atau dari filsafat sosial yang digunakan untuk menggali konsep
masyarakat dalam al-Qur`an, sebagaimana dilakukan oleh Mulyono
dan Ahmad Abtokhi tentang fisika dalam al-Qur`an. Zenrif hanya
membahas isu-isu masyarakat, kemudian dicarikan ayat-ayat yang
relevan. Zenrif tidak menyebut al-Qur`an sebagai “spirit” maupun
“inspirasi”, melainkan sebagai “paradigma”, sehingga al-Qur`an
dianggap sebagai kerangka berpikir untuk melihat konsep-konsep
sosiologis.
6. Lempung: Menguak Rahasia Keagungan Allah karya Anton
Prasetyo dan N. Avisena
Sesuai dengan latar belakang pendidikan penulis pertama
di bidang kimia dan penulis kedua di bidang fisika, buku ditulis
lebih banyak menguraikan lempung dari perspektif dua disiplin
ini. Ada beberapa teori yang berkembang tentang lempung sebagai
bahan penciptaan manusia. Pertama, teori Clay yang menyatakan
bahwa mineral lempung senagai bahan penciptaan manusia. Hal
ini didasarkan atas fakta bahwa organisme pertama adalah hanya
replicator (pengganda) satu-satunya, bukan berupa sel-sel. Penelitian
menunjukkan bahwa lempung adalah paling cocok diidentifikasi
sebagai pengganda tersebut. Teori ini dikemukakan oleh Graham-
Caim Smith. Kedua, the hipotesis RNA yang menyatakan bahwa
molekul pendek RNA dapat terbentuk secara spontan dan mampu
59Zenrif, Realitas, 102-104.
65
melakukan pembelahan secara berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan
oleh James Ferris, direktur the New York Center for Studies on the
Origins of Life dan guru besar kimia pada Rensellaer Polythechnic
Institute di Troy, New York. Teori bahwa lempung menjadi sebagai
katalis penciptaan dikemukakan oleh beberapa ilmuwan, antara lain,
John Desmond Bernal, M. Goldschmidt.60
Lalu, apakah penelitian dan teori yang dihasilkannya ini
membuktikan bahwa Adam adalah manusia sebagai manusia pertama,
di mana ia diciptakan dari tanah, sebagaimana dijelaskan oleh al-
Qur`an? Prasetyo dan Avisena mengatakan hal itu adalah sangat
mungkin.61 Ada missing link yang seharusnya menghubungkan antara
teori ilmiah ini dengan ayat-ayat tentang penciptaan manusia yang
manusia diciptakan dari lempung (ṭīn). Menurut Bucaille, saripati
lempung merupakan unsur utama penciptaan.62
7. Berkaca pada Kota Alam: Menuju Kota Berkelanjutan
Berperspektif al-Qur`an karya Tarranita Kusumadewi dan
Elok Mutiara
Buku ini berisi tafsir integratif ayat-ayat al-Qur`an yang
dikatakan berkaitan dengan tata kota, khususnya apa yang
disebut oleh penulis sebagai “kota alam”. Istilah ini merujuk
kepada pembangunan kota yang berwawacan lingkungan yang
memperhatikan keserasian dengan alam, sehingga kota dimaksud
60Anton Prasetyo dan N. Avisena, Lempung: Menguak Rahasia Keagungan
Allah (Malang: UIN-Maliki Press, 2007), 79-83.
61Prasetyo dan Avisena, Lempung, 88.
62Prasetyo dan Avisena, Lempung, 67-69.
66
adalah kota yang berkelanjutan (sustainable city). Pengelolaan alam
sebagai sumber yang terbatas harus dilakukan secara bijak.63 Dengan
mengusung “perspektif” atau cara pandang al-Qur`an, penulis
sebenarnya mengklaim bahwa konsep kota alam ini terinspirasi
dari rumah serang dan semut. Alasannya karena sarang atau rumah
serangga dibangun secara unik. Mirip dengan pola pengembangan
kota, yaitu adanya place (tempat), work (aktivitas), dan folk (orang,
rakyat), yaitu kota yang yang selalu ada di dalamnya kegiatan yang
bersinergi dengan penduduknya.64
Dalam buku ini, dibahas beberapa tema terkait dengan konsep
kota alam dimaksud; mulai dari definisi kota, kota alam, kota
berkelanjutan (sustainable city). Semua uraian tentang hal itu
disimpulkan pertama, dari ayat-ayat al-Qur`an; kedua, penjelasan
teknik tata kota tentang kota yang ideal. Meskipun mengutip ayat-
ayat al-Qur`an sebagai perspektif atau inspirasi, tidak tampak bahwa
kandungan ayat tersebut berkaitan langsung dengan konsep teknik
tata kota yang dibahas.
Pertama, tentang pengertian kota, penulis merujuk kepada ayat
al-Qur`an yang menyatakan bahwa Allah swt mencipatakan bumi
sebagai hamparan, menciptakan langit sebagai atap, menurunkan
hujan dari langit, dan menumbuhkan teteumbuhan (Q.s. al-Baqarah:
22) dan ayat yang menyatakan bahwa manusia adalah khalīfah di
muka bumi, dan Tuhan menyediakan tempat tinggal di bumi (Q.s.
wujud: Allah swt sebagai pencipta, manusia, dan alam semesta
(bumi dan langit beserta isinya). Hubungan manusia dengan Allah
swt adalah hubungan vertikal, sedangkan hubungan manusia dengan
alam adalah hubungan horizontal. Dari makna yang termaktub dalam
63Tarranita Kusumadewi dan Elok Mutiara, Berkaca pada Kota Alam:
Menuju Kota Berkelanjutan Berperspektif al-Qur`an (Malang: UIN-Maliki Press,
2007), iv.
64Kusumadewi dan Mutiara, Berkaca pada Kota Alam, iii.
67
ayat, kemudian mengembangkan logika dua macam hubungan ini,
penulis kemudian berpindah kepada pendapat pemikir kebudayaan,
Galih Widjil Pangarsa, bahwa pola mentalitas dan daya pikir manusia
menumbuhkan berbagai aktivitas dalam ruang waktu yang kemudian
membentuk karya arsitektur, desa, kota, bahkan lingkungan binaan.65
Kedua, tentang proses terbentuknya kota. Merujuk kepada ayat
yang menyatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah swt dalam
bahwa manusia memiliki pola hidup yang berbeda; ada yang
mirip tumbuhan yang menetap dan ada yang mirip binatang yang
berpindah-pindah. Manusia yang berpindah-pindah mencari sumber
kehidupan dan habitat yang aman dari segala gangguan. Hidup
secara berkelompok menjadikan kegiatan mereka mereka terpusat,
karena kesamaan kepentingan, seperti sumber air (Q.s. al-Qamar:
66 Tentu
saja, ayat-ayat tidak berbicara langsung tentang proses terbentuknya
kota, melainkan dalam konteks yang berbeda-beda, dan ayat-ayat
itu dirangkai oleh penulis untuk tujuan argumenatasi ini.
Ketiga, tentang kota alam. Untuk kepentingan argumentasi ini,
penulis mengutip ayat yang memerintah manusia untuk merenungi
kejadian alam semesta (Q.s. al-Baqarah: 164) dan bahwa alam
67
Dari perintah merenungkan kejadian alam semesta ini, penulis
kemudian tertuju kepada sarang rayap yang mampu membangun
sarangnya layaknya seperti pencakar langit. “Kota rayap” dianggap
ideal karena sesuai dengan prinsip ekologis yang terorganisir dan
biotic level (natural).68
65Kusumadewi dan Mutiara, Berkaca pada Kota Alam, 4.
66Kusumadewi dan Mutiara, Berkaca pada Kota Alam, 20-23.
67Kusumadewi dan Mutiara, Berkaca pada Kota Alam, 43-44.
68Kusumadewi dan Mutiara, Berkaca pada Kota Alam, 47.
68
8. Embriologi dalam al-Qur`an: Kajian pada Proses Penciptaan
Manusia karya Kiptiyah
Buku ini berisi tafsir ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan
dengan proses perkembangan manusia dalam janin dari perspektif
embriologi, yaitu disiplin ilmu yang mengkaji fase manusia dalam
bentuk embrio dalam janin. Buku ini secara eksplisit disebut sebagai
seri buku integrasi Islam dan sains. Menurut penulis, penelitian
tentang embriologi telah dilakukan sejak sebelum masehi. Akan
tetapi, sampai sekarang, belum ada penjelasan yang rinci hingga
turunnya al-Qur`an yang menjelaskannya secara rinci. Tiga belas
abad setelah al-Qur`an turun, baru muncul penelitian-penelitian yang
menguatkan penjelasan al-Qur`an.69 Sebelum masehi, Aristoteles
(322-384 M) mengemukakan teori tentang embriologi yang bertahan
selama 2.000 tahun. Teori ini ditinggalkan setelah munculnya teori
yang dikemukakan oleh Fransisco Redi (1668 M) dan Louis Pasteur
(1864 M) yang mendukung konsep embriologi dalam al-Qur`an.70
Penulis mengkalim bahwa pemahamannya terhadap ayat-
ayat tentang embriologi ini didasarkan atas pernyataan al-Qur`an
secara tersurat.71 Akan tetapi, menjelaskan ayat-ayat yang tidak
secara eksplisit berbicara tentang rincian embriologi tentu melalui
mekanisme pemahaman atau penafsiran. Misalnya, tentang
kandungan zat kimia dalam tanah liat yang menjadi bahan penciptaan,
seperti silikat, oksigen, aluminium, asam karbon, asam amino, dan
karbon,72 penjelasan tentang semua hal ini hanya ditemukan dalam
sains.
Ada beberapa hal yang dibahas dalam buku ini, yaitu tentang
awal penciptaan manusia dari tanah, kandungan zat kimia dalam
69Kiptiyah, Embriologi dalam al-Qur`an: Kajian pada Proses Penciptaan
Manusia (Malang: UIN-Maliki Press, 2014), v-vi.
70Kiptiyah, Embriologi dalam al-Qur`an, 28-29.
71Kiptiyah, Embriologi dalam al-Qur`an, 28.
72Kiptiyah, Embriologi dalam al-Qur`an, 9-16.
69
tanah liat, proses penciptaan manusia, konsep embriologi dalam
al-Qur`an yang dijelaskan secara rinci pada beberapa fase, seperti
perjalanan sel te;ur dan spermatozoa menuju pembuahan hingga
perkembangan janin dalam rahim dari bulan ke bulan. Dalam
menafsirkan ayat-ayat tentang embriologi itu, penulis menggunakan
teori-teori ilmu pengetahuan modern tentang embriologi, misalnya,
menafsirkan kata ‘alaq dalam Q.s. al-‘Alaq: 2 dengan zigot. Zigot
kemudian membelahkan diri menjadi beberapa sel.73 Namun,
beberapa penafsiran tampak tidak sinkron, seperti di tempat lain
dalam buku ini, ‘alaqah (tunggal dari ‘alaq) diaterjemahkan dengan
segumpal darah,74 pada pada teori modern tentang embriologi tidak
dikenal adanya fase segumpal darah dalam perkembangan janin
manusia dalam rahim. Apalagi penulis mengutip pemaknaan secara
bahasa dari kata ‘alaq (lintah, sesuatu yang tergantung, dan segumpal
darah), yang menurutnya, lebih cenderung kepada makna “sesuatu
yang tergantung” yang kemudian diidentifikasi sebagai proses
penempelan (implantasi) embrio di dinding rahim. Segumpal darah,
menurutnya, adalah fase sesudahnya yang melibatkan pembentukan
darah pada pembuluh tertutup hingga siklus metabolisme selesai di
plasenta.75 Penafsiran ilmiah yang dilakukan oleh penulis cenderung
mencocokkan antara ayat al-Qur`an dengan teori embriologi modern.
9. Konservasi Sumber Daya Alam: Perspektif Islam and Sains
karya Ulfah Utami
Karya ini menjelaskan tentang konservasi alam menurut Islam
dan sains. Meskipun perspektif Islam tampak memiliki cakupan yang
umum, penulis ternyata memfokuskannya dari perspektif al-Qur`an.
Namun, perspektif ini tidak dominan dibandingkan perspektif
sains yang dikemukakan. Menurut Utami, konservasi alam dalam
Islam menganut prinsip-prinsip sebagai berikut. Pertama, menjaga
73Kiptiyah, Embriologi dalam al-Qur`an, 73.
74Kiptiyah, Embriologi dalam al-Qur`an, 37.
75Kiptiyah, Embriologi dalam al-Qur`an, 27.
70
keseimbangan jiwa. Keseimbangan dimaksud adalah keseimbangan
pada fisik dan psikis. Tuntunan tentang hal ini, menurutnya, terlihat
26) bahwa orang yang beriman dengan Allah swt hatinya akan
menjadi tenang dengan mengingat-Nya.76 Sebenarnya, tidak ada
kaitan secara langsung antara ketenangan jiwa dengan konservasi
alam, kecuali jika dihubungkan oleh penulis dengan larangan bersifat
berlebih-lebihan yang sebenarnya tidak dibicarakan dalam ayat
tersebut. Kedua, menjaga kestabilan rantai dan jejaring makanan.
Dalam konteks ini, penulis merujuk kepada larangan berburu selama
masa berhaji (sebelum taḥallul
Utami, larangan merusak alam selama melaksanakan ibadah
haji itu seharusnya diindahkan ketika kaum muslimin yang telah
berhaji pulang ke kampung halaman dengan menjaga keseimbangan
alam.77 Tampak dari sini, ayat yang konteksnya spesifik ditarik
pesan universalnya, berupa larangan merusak alam dan perintah
menjaga keseimbangannya, ke konteks lebih luas. Ketiga, menjaga
sebenarnya hanya berbicara tentang proses terjadinya hujan, mulai
dari berhembusnya angin yang memunculkan awan, kemudian
tersebar di langit, lalu bergumpal-gumpal, hingga terjadinya hujan.
Akan tetapi, Utami kemudian menarik kesimpulan bahwa proses
terjadinya hujan itu diciptakan oleh Allah swt dengan tujuan agar
ketersediaan air tetap terjaga. Utami mencoba menghubungkannya
(menafsirkannya) dengan ayat lain yang berbicara tentang fungsi
air sumber air minum bagi manusia dan tetumbuhan serta hewan.78
Keempat, menanam pohon. Mengutip Q.s. ‘Abasa: 24-32, Utami
menyimpulkan bahwa manusia bisa mengambil manfaat dari
76Ulfah Utami, Konservasi Sumber Daya Alam: Perspektif Islam dan Sains
(Malang: UIN-Maliki Press, 2008), 157-159.
77Utami, Konservasi Sumber Daya Alam, 159-163.
78Utami, Konservasi Sumber Daya Alam, 164-165.
71
tetumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup.79 Dalam konteks
ini, Utami menggunakan penyimpulan secara logika, karena meski
dalam ayat tersebut, tidak ada perintah untuk menanamkan pohon,
bagi Utami, manfaat yang dirasakan dari adanya pepohonan bagi
manusia secara logika menjadi indikasi perintah untuk menanamnya.
Jadi, ayat itu sendiri tidak berbicara langsung tentang hal ini.
10. Tafsir Sosiolinguistik: Memahami Huruf Muqatha’ah dalam
al-Qur`an karya M. Faisol Fatawi
Karya ini berisi tafsir dari perspektif sosiolinguistik terhadap
huruf muqaṭṭa’ah, yaitu huruf-huruf abjad bahasa Arab yang
digunakan di awal beberapa surah dalam al-Qur`an, seperti alif-lām-
mīm, hā-mīm-‘ayin-sīn-qāf, kāf-hā-‘ayn-ṣād, alif-mīm-rā`, dan alīf-
lām-rā`. Yang dimaksud dengan tafsir sosiolinguistik adalah tafsir
yang mencoba mengungkap makna al-Qur`an sebagai kitab suci yang
mengandung kemukjizatan dengan basis kultur bahasa Arab yang
merupakan bahasa al-Qur`an.80 “Kultur bahasa masyarakat Arab
merupakan materi bahasa al-Qur`an” yang tentu bisa dipahami”.
Jadi, tafsir sosiolingusitik adalah sebuah tafsir dengan perspektif
yang digunakan untuk memahami al-Qur`an sebagai fakta bahasa
yang tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial budaya. Karena al-
Qur`an turun bertujuan merespon kondisi kultural tersebut, maka
ayat al-Qur`an harus dipahami dari perspektif bagaimana komentar
orang-orang kafir dan musyrik Arab jahiliyyah berupa penolakan
dan tuduhan terhadap Nabi sebagai penyair (kāhin) dan al-Qur`an
sebagai kitanb yang berisi syair.81
Hasil kajian dalam karya ini menunjukkan bahwa huruf-
huruf muqaṭṭa’ah itu adalah sebagai tandingan yang memiliki
79Utami, Konservasi Sumber Daya Alam, 169-170.
80M. Faisol Fatawi, Tafsir Sosiolinguistik: Memahami Huruf Muqatha’ah
dalam al-Qur`an (Malang: UIN-Malang Press, 2009), 17.
81Fatawi, Tafsir Sosiolinguistik, 18-19.
72
nilai sastrawi terhadap sajak para-para penyair (saj’ al-kuhhān)
masyarakat Arab sebelum dan semasa turunnya al-Qur`an, karena
huruf-huruf muqaṭṭa’ah itu sebelumnya dikenal di kalangan mereka.
Dengan menggunakan huruf-huruf hijā’iyyah yang sebenarnya
dikenal oleh masyarakat Arab itu, al-Qur`an ingin menunjukkan
bahwa bahasanya seperti tetap tidak bisa ditandingi oleh mereka.82
berpendapat bahwa huruf-huruf itu dimaksudkan; pertama, sebagai
respon sengit di kalangan masyarakat Arab terhadap keberadaan
al-Qur`an; kedua, huruf-huruf itu terkait dengan surah-surah yang
di dalamnya dikemukakan bukti-bukti otentisitas al-Qur`an; ketiga,
huruf-huruf itu berada pada surah-surah yang diturun di kala orang-
orang musyrik gencar menyerang al-Qur`an dan melontarkan
tuduhan sebagai kitab suci yang berisi kebohongan, syair, dan sihir.83
Menurut kajian Fatawi, huruf-hurup itu bisa “dimengerti” dalam
pengertian bisa dipahami secara abstrak yang merasuk pikiran dan
emosi penyair Arab.84 Yang penting dalam konteks itu, demikian
menjadi ditempatkan pada sebuah ruang makna, yaitu bahwa masing-
masing subjek (audien) tidak berbuat apa-apa selain menerima dan
mengakui keberadaan huruf muqaṭṭa’ah sebagai bukti kebenaran”.85
11. Al-Qur`ān al-Karīm wa al-Dzakā` al-Lughawī karya Ahmad
Dini Hidayatullah
Karya ini sebenarnya lebih cenderung kepada kajian bahasa
Arab ketimbang kajian tafsir. Fokus kajiannya adalah pada
kecerdasan berbahasa (linguistic intellegence, al-dzakā` al-lughawī)
yang dimiliki oleh masyarakat Arab. Posisi al-Qur`an dalam kajian
ini, menurut penulis, adalah sebagai faktor yang menyebabkan
82Fatawi, Tafsir Sosiolinguistik, 124-125.
83Fatawi, Tafsir Sosiolinguistik, 126.
84Fatawi, Tafsir Sosiolinguistik, 128.
85Fatawi, Tafsir Sosiolinguistik, 129.
73
masyarakat Arab cerdas dari segi bahasa. Namun, sayangnya,
dalam konteks kajian tafsir, tidak tampak penulis menjelaskan atau
menafsirkan ayat al-Qur`an dari perspektif kajian bahasa, kecuali
menggunakan ayat-ayat al-Qur`an untuk menopang pendapatnya
tentang perannya dalam peradaban bahasa Arab itu. Penulis
dalam konteks ini mengatakan bahwa al-Qur`an memiliki dimensi
kemukijizatan bahasa yang menjadikannya berpengaruh bagi
masyarakat Arab.86 Oleh karena itu, posisi al-Qur`an dalam konteks
ini lebih banyak sebagai justifikasi, digunakan, atau dijadikan
sebagai argumen (taṭbīq, istidlāl) dalam konteks ini tanpa melakukan
penafsiran terhadap ayat yang dikutip secara lebih memadai.
12. Tafsir Fenomenologi Kritis: Interrelasi Fungsional antara
Teks dan Realitas karya M. Fauzan Zenrif
Bagian ini telah diuraikan sebelumnya pada bagian metode
tafsir.
13. Ekonomi Qur`ani: Doktrin Reformasi Ekonomi dalam al-
Qur`an karya Misbahul Munir dan A. Djalaluddin
Karya berisi penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat ekonomi.
Penulisnya beranggap bahwa ekonomi Islam bukanlah sebuah
ilmu, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ekonom Muslim,
melainkan doktrin (ajaran) Islam, sebagaimana dikemukakan oleh
Monzer Kahf. Pandangan tentang ekonomi Islam bukan sebagai
Djalaluddin menyamakan antara madzhab (seharusnya diartikan
“aliran”) dengan doktrin, sehingga ekonomi Islam sebagai doktrin
pada hakikat, menurut mereka, adalah ekonomi Islam sebagai
madzhab dalam Islam tentang ekonomi. “Madzhab ekonomi”
didefinisikan sebagai “kaidah dan prinsip yang mengarahkan
86Ahmad Dini Hidayatullah, al-Qur`ān wa al-Dzakā` al-Lughawī (Malang:
UIN-Maliki Press, 2010), 108-112.
74
fenomena ekonomi, dan memberikan solusi-solusi atas problematika
kehidupan ekonomi yang sesuai dengan prinsip keadilan sosial“.87
Ada beberapa isu ekonomi Islam yang dibahas dalam karya ini,
yaitu tentang kebutuhan dan keinginan manusia, masalah sumber
daya, tentang paradigma uang sebagai flow concept, optimalisasi
sumber daya, keseimbangan belanja, tentang zakat, investasi,
masalah kemiskinan, riba, dan bank.
Dalam konteks integrasi ilmu, istilah “ekonomi Qur`ani”
menarik diperhatikan. Sebagai suatu istilah, “ekonomi” tentu saja
muncul dari peradaban Barat. Menurut penulis, ekonomi Islam
tampak tidak hanya sebagai doktrin (ajaran) Islam, melainkan sebagai
ilmu (disiplin) yang disimpulkannya, dari pendapat Umer Chapra,
sebagai ilmu yang objeknya adalah alikasi dan distribusi sumber
daya, bertujuan mewujudkan kebahagiaan manusia, tujuannya dalam
mewujudkan kesejahteraan manusia selaras dengan prinsip maqāṣid
al-syarī’ah, dan berlandaskan syariah yang sakral, doktriner, berupa
kaidah-kaidah yang global dan memiliki sisi profan di mana manusia
bisa berkreasi dalam mewujudkan tujuan tersebut.88
Lalu, di mana posisi al-Qur`an dalam bangunan ekonomi Islam
tersebut? Kata “Qur`ani” (bersifat Qur`ani) seharusnya bermakna
bahwa bukan ajaran-ajaran al-Qur`an secara langsung, melainkan
nilai-nilainya, yang diadopsi dalam hal ini. Tampaknya, al-Qur`an
diposisikan sebagai inspirasi, sebagaimana dilakukakan oleh
para penulis lain di UIN Malang, karena Munir dan Djalaluddin
berpendapat bahwa ekonomi Qur`ani mengejewantahkan prinsip-
prinsip ajaran al-Qur`an.
Pertama, prinsip al-insān al-‘ābidi (sic, al-‘ābid) dengan
87Misbahul Munir dan A. Djalaluddin, Ekonomi Qur`ani: Doktrin Reformasi
Ekonomi dalam al-Qur`an (Malang: UIN-Maliki Press, 2014), 1-3.
88Munir dan Djalaluddin, Ekonomi Qur`ani, 6-7.
75
fisik siap untuk beribadah dan, merujuk ke penafsiran Ibn ‘Asyur,
bahwa kemanfaatan tujuan-tujuan luhur syariat dirasakan di dunia
dan di akhirat.89 Ayat ini, menurut penulis, memuat prinsip atau
tepatnya disebut “paradigma ubūdiyyah”. Paradigma ini memuat:
(1) keyakinan bahwa manusia adalah seorang ahli ibadah, bukan
manusia ekonomi (al-insān al-iqtiṣādī
manusia adalah khalīfah; (4) Islam menolak kastaisme; (5) kehidupan
di dunia adalah jembatan menuju ke kehidupan akhirat; (6) undang-
undang ekonomi bukanlah aturan yang kering dan kaku; (7) Islam
menolak budaya malas.90
Kedua, keyakinan bahwa harta pada dasarnya adalah milik Allah
swt (al-māl māl Allāh
mengembangkan kaidah ekonomi Islam, yaitu: (1) kaidah istikhlāf
(penguasaan), yaitu manusia hanya sebagai wakil (khalīfah) yang
diberi kuasa oleh Allah swt yang berkonsekuensi pada beberapa
hal (bahwa manusia harus tunduk kepada pembari kuasa, Allah
swt., manusia perlu mensyukuri nikmat yang diberikan kepadanya,
dan manusia harus rela melepaskan hartanya ketika ada tuntutan
syari’ah yang menghendakinya); (2) kaidah maṣlaḥah (bermanfaat
bagi agama, jiwa, akal, dan keturunan); (3) kaidah awlawiyyah
(prioritas), yaitu penggunaannya harus sesuai kebutuhan dari yang
mendasar (ḍarūiriyyah) hingga yang menjadi kebutuhan (ḥājiyyah)
dan tertier (taḥsīniyyah).91
Ketiga, ekonomi Qur`ani harus didasarkan atas pemenuhan
kemasalahan hamba (maṣāliḥ al-‘ibād) (Q.s. al-Baqarah: 188,
menjadikannya memiliki prinsip yang tetap (statis).
89Munir dan Djalaluddin, Ekonomi Qur`ani,7.
90Munir dan Djalaluddin, Ekonomi Qur`ani, 11-13.
91Munir dan Djalaluddin, Ekonomi Qur`ani, 14-25.
76
14. Manajemen Qur`ani: Menerjemahkan Idarah Ilahiyah dalam
Kehidupan Insaniyah karya A. Djalaluddin
Djalaluddin yang merupakan bersama (co-author) bersama
Misbahul Munir, Ekonomi Qur`ani, juga menjadi penulis tunggal
karyanya yang lain, yaitu Manajemen Qur`ani. Ekonomi dan
manajemen adalah dua disiplin yang saling terkait, sama-sama
sebagai disiplin yang berada di bawah rumpun ilmu-ilmu sosial.
Dalam karya ini, penulis masih secara konsisten, melabeli “Qur`ani”
pada disiplin ini, sehingga disebut “manajemen Qur`ani” atau
“manajemen ketuhanan” (idārah ilāhiyyah).
Karya ini berupaya untuk menggali aspek-aspek manajemen
(jawānib idāriyyah) pertama, dari beberapa kisah para nabi dalam
dalam penciptaan dan pengaturan (tadbīr) alam semesta. Menurut
Djalaluddin, manajemen berbasis ajaran al-Qur`an tersebut pada
prinsipnya untuk menciptakan pribadi muslim yang taat kepada
Allah swt dan memiliki moralitas. Penulis tidak menyebut “teori
ilmiah” (teori manajemen), melainkan, sebagaimana ditempuh oleh
para penulis Timur Tengah tentang “isyarat ilmiah”, menggunakan
“isyarat manajemen”.92
Menurut Djalaluddin, manajemen dalam perspektif al-Qur`an
bukanlah tujuan, melainkan hanya sebagai sarana. Tujuannya bisa
disesuaikan dengan realitas. Atas dasar ini, menurutnya, manajemen
Qur`ani lebih elastis. Ada delapan prinsip manajemen yang
digalinya dari ajaran al-Qur`an. Pertama, legalitas dan objektivitas
49) ketika menangani paceklik di masanya, perlu dalam manajemen
diperintahkan perencanaan masa depan. Perencanaan bermanfaat
92A. Djalaluddin, Manajemen Qur`ani: Menerjemahkan Idarah Ilahiyah
dalam Kehiduoan Insaniyah (Malang: UIN-Maliki Press, 2014), 4-5.
77
untuk mewujudkan tujuan sesuai dengan alasan rasional (ittakhadza
al-asbāb), namun perlu menyadarkan kepada Tuhan (Q.s. al-Kahf:
23-24) Kedua, realistis dalam mengambil keputusan dan kebijakan.
Hal ini terinspirasi dari teguran Allah swt terhadap Nabi Daud as
ketika menetapkan keputusan mengenai dua orang yang bertikai.
Ketiga, mempertimbangkan sumber daya manusia yang dimiliki.
Bertolak dari pernyataan dalam al-Qur`an (Q.s. al-Baqarah: 286)
bahwa Allah swt tidak memberi beban kewajiban yang melebihi
kemampuan manusia, Djalaluddin menyimpulkan bahwa dalam
manajemen Qur`ani, perlu dipertimbangkan SDM, sebagaimana
Nabi menyatakan: “Manusia itu ibarat seratus onta yang hampir
tidak ditemukan yang siap memikul beban”. Keempat, syura
merupakan sarana dalam pengambilan keputusan sesuai dengan
guna membangun komitmen bersama (desentralisasi tanggung
26, penulis menyimpulkan bahwa penugasan harus efektif yang
dikondisikan oleh penunjukan orang yang kompeten. Begitu juga,
dengan seleksi. Ketujuh, optimal dalam kerja dan ihsan dalam
berprestasi. Merujuk kepada Q.s. Saba`: 11, ukuran keberhasilan
pelaksanaan suatu pekerjaan tidak semata-mata dari selesainya
pekerjaan tersebut, melainkan juga dari kesempurnaan dan kebaikan
hasil pekerjaan tersebut. Kedelapan, motivasi dan dorongan untuk
berprestasi. Motivasi yang mendorong tersebut tidak semata materi,
melainkan juga spiritualitas, seperti bisa dipetik dari kisah Fir’aun
ketika memberi upah kepada para penyihir yang kemudian ternyata
93
93Djalaluddin, Manajemen Qur`ani, 6-15.
78
15. Tafsir Tematik Ayat-ayat Bisnis karya Toriquddin
Karya ini merupakan kajian tafsir tematik (mawḍū’ī) terhadap
ayat-ayat bisnis dalam al-Qur`an. Isu-isu yang dibahas dalam buku
juga digunakan oleh Djalaluddin), konsep dan karakteristik bisnis
dalam al-Qur`an.
Menurut Toriquddin, uraian dalam karyanya ini tidak hanya
berisi rambu-rambu (ketentuan), melainkan juga nilai.94 Oleh karena
itu, di samping berbicara aturan tentang berbisnis, penulis juga
menjelaskan etika berbisnis. Namun, berbeda dengan Misbahul
Munir dan A. Djalaluddin dalam Ekonomi Qur`ani, di mana kedua
penulis ini membenturkan antara ekonomi Barat dengan ekonomi
Islam dan keduanya mencoba mempertegaskan identitas ekonomi
Islam sebagai suatu doktrin Islam, maka Toriquddin cenderung
menjelaskan bisnis yang sebenarnya merupakan identik dengan
ekonomi Islam dari satu perspektif, yaitu perspektif al-Qur`an.
Namun, meski demikian, telaah ini tentu saja harus dilihat dari
keinginannya mengaktualisasikan ajaran al-Qur`an dalam konteks
dunia modern.95 Oleh karena itu, semangat yang melatarbelakangi
karya ini adalah relevansi ajaran al-Qur`an, berupa ketentuan dan
nilainya, sebabagai ajaran yang universal.
Bagaimana Toriquddin mendekati isu-isu bisnis dari perspektif
al-Qur`an, misalnya, bisa kita lihat dari bagaimana ia menafsirkan
ayat-ayat yang terkait dengan apa yang ia sebut sebagai “manajemen
Qur`ani”. Secara teori, manajemen terdiri dari aspek perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pengawasan, dan evaluasi. Namun,
Toriquddin tidak berbicara tentang evaluasi. Tentang perencanaan,
misalnya, menurutnya, harus berorientasi ke masa depan. Dalam
94Toriquddin, Tafsir Tematik Ayat-ayat Bisnis dalam al-Qur`an (Malang:
UIN-Maliki Press, 2020), v.
95Toriquddin, Tafsir Tematik, vi.
79
perintah Allah swt agar orang-orang yang beriman bertakwa dan
memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).
yang menurutnya tidak terbatas pada kehidupan di dunia, melainkan
juga kehidupan di akhirat.96 Konteks ayat ini sebenarnya spesifik,
yaitu persiapan untuk menghadapi kehidupan akhirat sebagai hari
esok. Akan tetapi, kemudian di sini dilakukan perluasan penafsiran
dengan melucuti konteks spesifiknya dan mengambil intisari makna
persiapan ke depan. Inilah yang mungkin penulis maksud tidak
hanya al-Qur`an sebagai ajaran, melainkan nilainya. Tidak hanya
dalam hal perencanaan yang berorientasi ke masa depan, melainkan
hampir setiap ayat yang dikutip adalah bukan dalam konteks spesifik,
melainkan ditarik intisari nilainya.
Tidak tampak penulis menerpakna teori ekonomi Barat sebagai
perspektif untuk menafsirkan ayat-ayat bisnis. Penulis hanya
menggali ajaran-ajaran al-Qur`an yang ditawarkan sebagai solusi
terhadap persoalan-persoalan bisnis.
16. Matematika dalam al-Qur`an karya Abdussakir
Dalam pengantar buku ini, Abdussakir mengatakan bahwa
selama ini integrasi agama (Islam) dan sains hanya wacana; belum ada
bukti yang menunjukkan bahwa agama dan sains bisa diintegrasikan.
Atas dasar ini, ia kemudian mengklaim bahwa bukunya ini adalah
bukti konkret integrasi tersebut, dan bahwa tidak ada dikotomi antara
keduanya.97 Melalui karya ini, ia ingin membuktikan bahwa integrasi
tersebut dapat dibuktikan dengan kajian tentang matematika dalam
al-Qur`an. Kajian ini sejati di kalangan penulisnya disebut sebagai
“kemukijizatan angka” (al-i’jāz al-‘adadī) dalam al-Qur`an yang
menjadi bagian dari tafsir ilmiah (al-tafsīr al-‘ilmī).
96Toriquddin, Tafsir Tematik, 19-21.
97Abdussakir, Matematika dalam al-Qur`an (Malang: UIN-Maliki Press,
2020), v.
80
Dalam buku ini, penulis menjelaskan tiga hal. Pertama, struktur
matematika yang rapi dalam al-Qur`an yang tidak bisa ditandangi
oleh manusia. Melalui pendekatan matematis yang dilakukannya
terhadap angka 19 dalam al-Qur`an, ia berkesimpulan bahwa
memang ada matematika dalam al-Qur`an. Analisis korelasi angka ini
dengan berbagai keserasian dalam basmalah, penyebutan bilangan,
dalam shalat dan dzikiri, menurutnya, membuktikan kemukizatan
al-Qur`an melalui matematika.
Kedua, konsep dasar matematika yang bisa digali dari al-
Qur`an. Menurut penulis, konsep dasar matematika al-Qur`an lebih
awal dibandingkan temuan manusia, dan baru dirasakan pentingnya
pada era tahun 1980-an. Bahkan, menurut penulis, konsep dasar
matematika itu bisa diajarkan secara praktis di sekolah-sekolah di
Indonesia di kalangan kaum muslimin.
Ketiga, implementasi matematika dalam pelaksanaan ajaran-
ajaran Islam, seperti pada pembagian warisan (farā`iḍ). Bahkan,
matematika diperlukan untuk memahami kandungan al-Qur`an,
Aṣḥāb al-Kahf tertidur di dalam sebuah gua.
Sebagai contoh, ketika penulis berbicara tentang struktur
matemtika pada basmalah (19 huruf), misalnya, ia menunjukkan
kemukijizatan angka pada basmalah dengan jumlah huruf
penyusunnya sebagai berikut:
No. Kata Huruf Penyusun Total
(numerik hijā`iyyah)
1. Bism 3 102
2. 4 66
3. 6 329
4. 6 298
Jika dilakukan penjumlahan kumulatif jumlah huruf penyusun
masing-masing kata akan diperoleh 3, (3 + 4), (3 + 4 = 6), dan (3 +
81
4 + 6 + 6) yang akan menghasilkan bilangan 3, 7, 13, dan 19. Jika
nomor masing-masing kata diikuti hasil penjumlahan kumulatif
tersebut akan menghasilkan 1327313419. Kemudian jumlah ini bisa
dijelaskan sebagai hasil dari perkalian dengan 19 yang merupakan
jumlah huruf pada basmalah seperti berikut: 1327313419 =
69858601 x 19.98
Mengapa patokan angka yang dijadikan sebagai dasar analisis
matematika ini adalah 19? Di samping karena angka itu ganjil,
yaitu angka yang disukai oleh Allah swt yang ganjil (witr), sesuai
memiliki posisi istimewa. Misalnya, dalam Q.s. al-Muddatstsir:
30-31 disebutkan bahwa jumlah malaikat yang menjaga neraka
adalah 19 orang. Menurutnya, ayat ini berisi tiga hal penting, yaitu:
(1) angka itu menjadi cobaan bagi orang-orang yang kafir dan
orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit; (2) memantapkan
keyakinan orang-orang diberi al-Kitāb sebelu turunnya al-Qur`an;
(3) menambah keyakinan orang-orang yang beriman.99
17. Narasi Sosiologis al-Qur`an: Mengurai Narasi al-Qur`an
tentang Bangsa Aad, Tsamud, Arab dan Bani Israil karya
Ali Hamdan
Karya ini berupaya untuk mengintegrasikan antara kajian
tafsir dengan perspektif sosiologis melalui kisah nabi-nabi dalam
al-Qur`an. Kisah-kisah itu, menurut Hamdan, di samping berguna
sebagai pengetahuan, juga diambil pelajarannya yang bisa berguna
dalam konteks kekinian.100
98Abdussakir, Matematika dalam al-Qur`an, 16.
99Abdussakir, Matematika dalam al-Qur`an, 36.
100Ali Hamdan, Narasi Sosiologis al-Qur`an: Mengurai Narasi al-Qur`an
tentang Bangsa Aad, Tsamud, Arab dan Bani Israil (Malang: UIN-Maliki Press,
2020), viii.
82
Menurut Hamdan, ada empat kategori model narasi al-Qur`an
berkaitan dengan nabi dan rasul: (1) penyebutan nabi dan rasul
secara global tanpa menyebut bangsa; (2) penyebutan dengan disertai
masyarakat (qaum) yang menjadi sasaran risalah; (3) penyebutan
disertai dengan tempat tinggal dan negerinya; (4) penyebutan disertai
dengan menyebut nama nabi dan rasul dan masyarakat yang menjadi
sasaran risalah.101
“Narasi sosiologis” yang dimaksud oleh Hamdan adalah
penuturan perilaku bangsa-bangsa yang menjadi sasaran risalah
para nabi tersebut. Aspek sosiologis yang ditekankan dalam narasi
tersebut adalah pengaruh perilaku masyarakat tersebut sebagai
penyebab kemusnahan mereka dalam sejarah. Sebagai contoh,
arogan dan tiran. Hal ini disebabkan karena mereka dikaruniai fisik
yang kekuatan, istana megah di masanya, kekayaan melimpah, dan
kendaraan berupa hewan tunggangan yang terbaik. Arogansi karena
kelebihan yang mereka miliki ini menyebabkan mereka menolak
risalah yang disampaikan oleh rasul yang diutus oleh Allah swt.
Perilaku negatif itu membawa mereka kepada keruntuhan.102
Karya ini karya dengan deskripsi dari berbagai literatur tafsir
klasik, namun tidak diberikan analisis yang memadai, khususnya
dari perspektif sosiologis, selain hanya menyimpulkan perilaku-
perilaku negatif umat-umat terdahulu seperti itu dan kaitannya
dengan kehancuran mereka. Tidak ada teoretisasi, baik pada hukum
sejarah bangun-runtuh masyarakat tersebut menurut logika al-
Qur`an, maupun analisis sosiologis dari perspektif tertentu.
101Hamdan, Narasi Sosiologis al-Qur`an, 2.
102Hamdan, Narasi Sosiologis al-Qur`an, 119-120.
83
BAB IV
PERKEMBANGAN TAFSIR ILMIAH (AL-TAFSĪR
AL-‘ILMĪ) DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA:
DARI METODE HINGGA PRODUK TAFSIR
A. Tafsir Ilmiah al-Qur`an sebagai Bagian dari Filosofi
Integrasi Ilmu: Jejak Sang Rektor “Arsitek”, M. Amin
Abdullah
1. Integrasi Ilmu dan Posisi Kajian al-Qur`an
Amin Abdulllah bisa dianggap sebagai arsitek filosofi integrasi
ilmu di UIN Sunan Kalija. Ia merumuskan apa yang disebutnya
sebagai “jaring laba-laba” (spider web) yang menggambarkan
hubungan secara integratif dan interkonektif antara ilmu-ilmu
keislaman dan ilmu-ilmu umum. Filosofi integrasi keilmuan ini
memuat paradigma keilmuan baru yang secara epistemologis
mengiringi proyek alih status IAIN ke UIN Sunan Kalijaga.
Gambar 1: Jaring Laba-Laba Keilmuan Teoantroposentrik-
Integralistik Dalam Universitas Islam Negeri
Sumber: Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-
Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 107.
84
Dari hierarki yang terlihat dari bentuk integrasi ilmu di atas,
dapat dipahami sebagai berikut. Pertama, pada lapisan 1 (paling
inti) bahwa al-Qur`an bersama al-Sunnah menjadi sumber utama
ilmu-ilmu lain. Itu artinya bahwa pengembangan keilmuan di
universitas ini harus bersumber, atau setidaknya, tidak bertentangan
dengan ajaran pokok yang bersumber dari keduanya. Al-Qur`an,
menurut Amin, harus dipahami dalam dua pengertian, yaitu sebagai
landasan etika-moral keagamaan yang objektif dan sebagai sumber
pandangan-hidup (weltanschauung) yang menggabungkan dasar bagi
keilmuan dan keagamaan. Al-Qur`an, menurutnya, harus dipahami
baru secara hermeneutis.1 Dengan demikian, bisa dipahami bahwa:
(1) ia memandang al-Qur`an lebih cenderung sebagai kitab suci
yang memuat ajaran moral, sebagaimana juga dipahami oleh Fazlur
Rahman, sebagai hal yang tidak terpisah dari dimensi ajaran (legal-
spesifik); (2) al-Qur`an tidak hanya menjadi dasar pengembangan
keilmuan, melainkan secara padu, juga menjadi dasar keagamaan,
sehingga perguruan tinggi Islam dipandang sebagai lembaga
keilmuan dan keagamaan; (3) al-Qur`an harus dipahami dengan
pendekatan yang baru, yaitu melalui pendekatan hermeneutik; (4)
al-Qur`an harus dipahami tidak hanya dari rincian ajarannya secara
spesifik, atomistik, dan terpisah, melainkan sebagai ajaran yang padu
dan komprehensif yang dipahami dari pandangan menyeluruhnya
yang disebut “pandangan-dunia” (world-view, weltanschauung).
Kedua, pada lapis ke-2, Amin menegaskan pentingnya metode
dan pendekatan. Kedua hal ini, menurutnya, adalah penting agar
pengembangan keilmuan di perguruan tinggi tidak hanya bersumber
dari sumber al-Qur`an dan Sunnah, melainkan juga ilmu-ilmu pada
dan bahasa) tidak hanya bergerak pada pendekatan keilmuan klasik,
melainkan juga bergerak ke pendekatan sosial dan humaniora
1M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 106.
85
kontemporer (antropologi, sosiologi, psikologi, dan filsafat dengan
segala teori dan pendekatannya).2 Pengembangan kajian keislaman,
termasuk tafsir, menurutnya, harus dilakukan dengan pendekatan
multidispiliner, interdisipliner, dan transdisipliner. Pendekatan
transdisipliner dilakukan dengan melibatkan hubungan tridialektis,
yaitu agama, filsafat, dan sains. Dialektika tiga ilmu ini, misalnya,
tergambar dari penafsiran terhadap teks al-Qur`an yang tidak
menafikan keseluruhan realitas (wholeness of reality), sebagaimana
dikembangkan oleh filsafat, dan tidak mengabaikan perspektif
keilmuan dari berbagai disiplin ilmu.3 Ada dua model pengembangan
interdisiplin yang ditawarkannya, yaitu pengembangan interdisipliner
antara ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu sosial dan antara ilmu-
ilmu alam, ilmu-ilmu sosial, dan agama.4
2. Al-Qur`an Sebagai Sumber Filsafat Islam: Contoh Dasar
Pengembangan Kajian Integratif
Amin mengatakan sebagai berikut:
“Kita sepakat bahwa kitab suci al-Qur`an bukanlah buku
filsafat. Tapi, begitu manusia mencoba untuk memahami al-
Qur`an dan menafsirkannya, maka mulailah muncul berbagai
aliran pemikiran. Aliran pemikiran manusia Muslim inilah yang
menjadi obyek kajian ilmu-ilmu agama dan sosial. Berdasarkan
anggapan dasar ini kita dapat mengatakan bahwa filsafat dan
epistemologi Islam yang berkecenderungan Platonis dan
Neoplatonis, agaknya mereduksi keutuhan ajaran al-Qur`an.”5
2Amin, Islamic Studies, 107-108.
3M. Amin Abdullah, Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin: Metode
Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer (Yogyakarta: IB. Pustaka,
2020), 114.
4Amin, Multidisiplin, 117-127.
5M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 256.
86
Menurut Amin, sebenarnya ada ajaran al-Qur`an yang sejati,
tidak sebagaimana dimanipulasi oleh tokoh-tokoh aliran, yang
menjadi dasar pengembangan pemikiran filsafat dalam Islam. Meski
al-Qur`an bukanlah buku filsafat, ia bisa menjadi inspirasi atau
titik-tolak pemikiran kreatif. Sebagai contoh tentang bagaimana
empirisme dalam pengertiannya sesungguhnya sejalan dengan ajaran
al-Qur`an adalah kisah al-Qur`an tentang Nabi Ibrhm mencari
Tuhan. Dalam proses pencarian metafisis sekalipun, Nabi Ibrahim
masih menggunakan peralatan inderawi. Al-Qur`an tidak menafikan
pentingnya penyeledikan empiris untuk mencapai rumusan yang
bersifat abstrak, fundamental, dan universal. Oleh karena itu, Amin
menyarankan agar dalam studi al-Qur`an, juga dilakukan studi
empiris, baik yang berkaitan dengan fakta alam (fisika, astronomi,
dan iptek secara umum) maupun kehidupan manusia (psikologi,
ekonomi, antropologi, sejarah, sosiologi, dan komunikasi). Dalam
konteks ini, kajian empiris-interdisipliner diperlukan untuk
mengungkap ayat-ayat kawniyyah (ayat yang berkaitan dengan
fenomena alam). Memang, di samping ayat kawniyyah, al-Qur`an
juga memuat ayat yang bersifat ajaran normatif yang berkaitan
dengan spiritualitas dan moralitas. Dalam hal ini, kajian ayat
kawniyyah yang masih berserak dalam beberapa kajian harus diikat
dengan aspek normatif al-Qur`an.6
Selanjutnya, dimensi empiris al-Qur`an itu dicoba dituangkan
oleh Amin dalam skema-skema filsafat. Dalam contoh kisah al-
Qur`an tentang pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Ibrhm,
al-Qur`an menekankan aspek “proses”, tidak hanya “fondasi”
(keyakinan yang sifatnya kekal), sama ketika al-Qur`an berbicara
tentang berbagai proses, seperti proses kejadian manusia, proses
kejadian binatang, dan proses kejadian manusia. Nabi Ibrhm
melalui proses yang panjang dalam menemukan iman yang benar.
Setidaknya, al-Qur`an selalu menghubungkan “proses” dengan
6Amin, Studi Agama, 256-257.
87
“kekalan” secara dialektis. Apa yang dimaksud oleh Amin dengan
“proses”, terkandung di dalamnya ide tentang perubahan, sedangkan
dalam “fondasi” atau “kekekalan”, terkandung ide kemapanan dan
tidak adanya perubahan. Secara psikologis, “proses” menyediakan
kepada manusia berbagai alternatif, sedangkan “kekekalan”
menyediakan seperti rumus baku 2 x 2 = 4 dalam matematika.
Padahal, hitungan matematika saja mendapat tantangan dari filosof
analitik dan filosof pragmatis. Filsafat ilmu, menurut Amin, lebih
cenderung kepada pilihan “proses” dibandingkan “fondasi”. Hal-hal
yang mapan mulai dipertanyakan, seperti masukan dari sejarah ilmu
pengetahuan (history of science) dan sosiologi ilmu pengetahuan
(sociology of science). Ilmu-ilmu normal (normal sciences) mulai
digeser ke ilmu-ilmu revolusioner (revolutionary sciences).7 Ulasan
Amin yang begitu panjang ini memang terasa unik dan rumit, hanya
untuk dalam menjelaskan kesejajaran antara ide “proses” dalam
al-Qur`an dengan ide “proses” dalam tinjauan filsafat. Inti yang
mendasari semua adalah kritiknya atas kemapanan, karena dalam
pembeberan al-Qur`an tentang bukti-bukti empiris menuju “fondasi”
(kebenaran iman yang ditawarkan) melalui ayat-ayat kawniyyah,
manusia dihadapkan pada tawaran-tawaran.
Bagaimana al-Qur`an sebagai sumber pemikiran filsafat dalam
Islam, Amin menunjukkan bahwa di samping dimensi dzikr (Q.s.
al-Ra’d: 28) sebagai dimensi spiritualitas, al-Qur`an juga memuat
“dimensi kuriositas al-Qur`an”, yaitu melalui dorongannya
terhadap rasa ingin tahu yang mendalam agar manusia menggali
dan mempelajari alam semesta. Di antara ayat yang dirujuk oleh
Amin berkaitan dengan dimensi kuriositas al-Qur`an adalah Q.s.
al-Kahfi: 109 berikut:
Katakanlah: “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum
7Amin, Studi Agama, 257-258.
88
habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami
datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”.
Yang dimaksud dengan “tinta” (midād) dari air laut untuk
menulis “kalimat-kalimat Allah” (firman dan ilmu-Nya) dalam ayat
di atas, menurut pemahaman Amin, secara metaphor (perumpamaan,
ibarat) adalah tantangan al-Qur`an agar manusia mempelajari alam
dan menemukan hukum-hukum di dalamnya, baik hukum alam
fisika maupun hukum sosial. Namun, pencarian manusia tidak akan
mencapai batas “final”. Dengan demikian, ayat ini menegaskan
tentang dimensi “proses” panjang atau kuriositas al-Qur`an.
“(Menulis) kalimat-kalimat Allah” dalam ayat di atas mengandung
pengertian “meneliti dan menyelidiki lewat trial and error untuk
menemukan rumusan hukum-hukum reguleritas yang melekat
dalam karya dan kreativitas Tuhan yang menjelma dalam bentuk
alam semesta dan manusia”. Menurut Amin, ayat ini menunjukkan
bahwa pengetahuan manusia yang bersifat relatif dalam menulis
mahakarya Tuhan tidak bisa mencapai finalitas, karena keterbatasan
“tinta” manusia akan habis, sebelum mahakarya Tuhan habis tertulis
dan terumuskan dalam lembaran-lembaran ilmu pengetahuan yang
terkonstruksi secara sistematis. Seandainya tinta dari air laut, lalu
ditambah dengan air laut yang baru, manusia akan tetap kehabisan
tinta. Ilmu pengetahuan yang berusaha merumuskan hukum-hukum
reguleritas kreativitas Tuhan selalu kehabisan tinta karena banyaknya
obyek studi yang perlu dikaji oleh manusia.8
Meskipun ayat di atas terbuka untuk ditafsirkan berbeda, Amin
memilih penafsiran yang menggugah kuriositas dibandingkan
penafsiran tashghīr (“mengecilkan”, yaitu penafsiran yang
menekankan betapa “kecil”-nya manusia di hadapan alam
semesta). Penafsiran terakhir ini, menurutnya, cenderung berpotensi
menghilangkan ide kausalitas, karena tantangan tadi benar-
benar di luar jangkauan kemampuan manusia. Amin tidak bisa
8Amin, Studi Agama, 259.
89
memastikan apakah ada hubungan antara penafsiran taṣghīr ini
dengan menghilangnya ide kausalitas dalam teologi Asy’ariyyah.
Mungkin juga, sebagaimana komentarnya dengan munculnya
aliran pasca-pemahaman al-Qur`an seperti tampak dalam kutipan
sebelumnya, ia cenderung menyalahkan aliran teologi ini dalam
kemunculan penafsiran tashghīr. Ia mensinyalir ada intervensi
pemahaman tashawuf dalam teologi Asy’ariyyah. Menurutnya,
terdapat “kontradiksi internal” dalam masalah ini, karena jika filsafat
Islam yang benar-benar Platonis-rasional ketika masuk ke teologi
Asy’ariyyah, ide kausalitas menjadi hilang.9 Jadi, tampaknya ia
melacak menghilangnya ide kausalitas dalam teologi Asy’ariyyah
sebagai akibat masuknya tashawuf, karena dalam beberapa
Kant, ia mengkritik tajam terhadap menghilangnya ide kausalitas
10
Dalam kaitannya dengan munculnya penafsiran tashghīr tersebut,
Amin dengan demikian mengkritik penafsiran yang ideologis,
sehingga ide al-Qur`an tentang kuriositas yang menantang aktivisme
manusia menjadi hilang.
Untuk menarik pesan al-Qur`an yang otentik, tanpa dimanipulasi
oleh kepentingan ideologis, Amin menyarankan “ta’wil ilmiah” (al-
ta`wīl al-‘ilmī), yaitu suatu “pembacaan/penafsiran yang produktif”
(al-qirā`ah al-muntijah), istilah yang sebenarnya dipopulerkan oleh
Yang dimaksud pendekatan hermeneutika adalah gerak melingkar
Dengan cara begini, ada saling mengontrol, mengkritik, dan
memperbaiki antara penafsiran yang ditawarkan.11
9Amin, Studi Agama, 259.
10
dengan alam maupun moralitas. Lihat lebih lanjut Amin, The Idea of Universality
of Ethical Norms, 71-77.
11Amin, Islamic Studies,185.
90
Menurut Amin, al-Qur`an merupakan sumber utama pemikiran
filsafat Islam. Ketika mendefinisikan filsafat (1999), ia menyebut
dengan jelas filsafat Islam sebagai kebudayaan atau peradaban
Islam, yaitu sebagai “cara berpikir, mentalitas, dan perilaku yang
diilhami oleh norma-norma dan ajaran-ajaran al-Qur`an dan al-
Sunnah”. Dalam definisi lain dalam tulisannya yang tampaknya
belakangan yang dikemukakannya, meski tidak secara eksplisit
menyebut al-Qur`an dan al-Sunnah sebagai sumber, secara analogis,
dengan menyebut filsafat Islam sebagai “hasil produk sejarah
budaya manusia Muslim”, dapat dipahami bahwa budaya Muslim
itu pada tingkat idealitasnya tentu bersumber dari al-Qur`an dan
al-Sunnah. Namun, dalam definisi kedua, diperjelas bahwa filsafat
Islam mempersoalkan tiga isu pokok, yaitu epistemologi, metafisika,
dan etika. Dalam tulisannya (1991), “Aspek Epistemologis
Filsafat Islam”,12 ketika baru saja pulang dari Turki menyelesaikan
pendidikan doktornya, ia lebih tampak menekankan pentingnya
peran al-Qur`an dalam pengembangan pemikiran filsafat Islam.
Alasan mendasar dari penegasannya akan pentingnya posisi
al-Qur`an adalah sebagai berikut. Pertama, keterbatasan tawaran
pemikiran dari filsafat Yunani yang selama ini disebut-sebut sebagai
sumber filsafat Islam. Dalam isu epistemologi, misalnya, pemikiran
Plato terlalu mengarah kea rah transenden, ke arah dunia “idea” yang
tidak berubah-ubah, kekal, a-historis, sehingga bersifat kontemplatif.
Oleh sebagian pengamat, kecenderungan ini menyebabkan etos ilmu
pengetahuan empiris terhambat. Sebaliknya, pemikiran Aristoteles
yang bertolak dari induksi empiris yang dikatakan selangkah lebih
12Artikel ini semula disampaikan di Kelompok Pengkajian Filsafat Islam
(KPFI) IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada 28 September 1991, kemudian
diterbitkan di al-Jāmi’ah: Majalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam, IAIN Sunan
Kalijaga, No. 50, 1992. Artikel ini kemudian diterbitkan sebagai bagian dari
bukunya, Studi Agama.
91
maju daripada pemikiran Plato juga dikritik tajam oleh Francis
Bacon (1561-1626 M).13
Kedua, keterbatasan tawaran pemikiran filsafat Islam sendiri.
Persoalannya adalah jika filsafat Islam bersandar kepada pemikiran-
pemikiran Yunani itu saja, kritik-kritik yang dialamatkan kepada
Plato dan Aristoteles tersebut sama artinya dengan kritik-kritik
terhadap filsafat Islam, meskipun dalam filsafat Islam, tidak seluruh
bangunan pemikirannya ditimba dari filsafat Yunani. Salah satu
pemikiran orisinal filosof Islam adalah filsafat kenabian. Selanjutnya,
meski terdapat orisinalitas pemikiran dalam filsafat Islam, sikap
kita, menurut Amin, seperti halnya kritik terhadap pemikiran
Yunani, adalah juga bersikap kritis terhadap rumusan pemikiran
filosof-filosof Muslim. Namun, dalam kenyataannya, kritik
terhadap filsafat Islam bukan pada teori epistemologi, melainkan
metafisika. Akibatnya kemudian adalah berkembangnya teologi
rasional kalm al-Ghazl. Arus transendentalisme ini berpengaruh
terhadap pola pikir kaum Muslim. Kajian epistemologi yang seharus
bersifat kritis historis ditarik ke wilayah rasional teologi Islam dan
metafisika kontemplatif. Keterbatasan pemikiran filsafat Islam
terlihat, misalnya, sekali lagi dalam epistemologi, dalam kajian
filsafat Islam modern.14 Epistemologi Islam sarat dengan dominasi
kalm dan sufisme, seperti tampak pada al-Ghazl, dan terkesan
dangkal, karena dalam pemikiran Islam, wilayah epistemologi, etika,
dan metafisika menyatu. Pemikiran epistemologi Islam tidak bisa
menyahuti spektrum kajian epistemologi yang sesungguhnya lebih
luas.15
Ketiga, kritik terhadap filsafat Barat. Menurut Amin, paradigma
Barat dalam menjelaskan filsafat cukup menimbulkan citra negatif di
kalangan kaum Muslimin. Falsafatunā karya Muhammad Bqir al-
13Amin, Studi Agama, 254.
14Amin, Studi Agama, 254.
15Amin, Studi Agama, 250-253.
92
Shadr (Sy’ah) yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia (1991),
misalnya, hanya mengkaji epistemologi rasionalisme, sedangkan
empirisme dianggap berkaitan langsung dengan materialisme-
komunisme. Empirisme dikonotasikan dengan positivisme
yang berkembang di Barat, yang kemudian berimplikasi pada
materialisme-komunisme yang meniadakan etika dan metafisika.
Kesalahan dalam memahami empirisme oleh kalangan Muslimin
disebabkan oleh “Barat sentris” yang mendominasi kajian filsafat.16
“Ada yang hilang” (something lost) yang dimaksudkan oleh Amin
adalah distorsi pemaknaan empirisme oleh paradigma Barat dalam
kajian filsafat, sehingga hal itu menimbulkan citra yang tidak utuh di
mata kaum Muslimin. Empirisme sesungguhnya adalah studi-studi
empiris yang didasarkan atas data (based on data). Pemahaman ini
malah sealur dengan al-Qur`an dalam bahwa dalam dunia empirislah
justru ada bukti-bukti kebesaran Tuhan, sehingga hal ini tidak
menjurus ke atheisme. Empirisme bisa dikembangkan menjadi studi
empiris berbasis data terhadap berbagai bidang kehidupan yang tidak
lepas dari kerangka moralitas al-Qur`an.17
Melalui kritiknya terhadap filsafat Yunani dengan dominasi
pemikiran Plato dan Aristoteles yang memiliki keterbatasan,
terhadap filsafat Islam di tangan filosof Muslim yang cenderung
didominasi oleh epistemologi kalm dan sufisme, dan dominasi
filsafat Barat yang tidak memberikan penggambaran yang utuh
tentang epistemologi sesungguhnya, dari sini Amin menawarkan
solusi al-Qur`an.
Dalam konteks pengembangan pemikiran filsafat Islam, dalam
hubungannya dengan posisi al-Qur`an sebagai sumber inspirasinya,
16Tentang bagaimana kegelisahan akademik Amin berkaitan dengan tidak
seimbangnya antara kajian Barat terhadap Timur (orientalisme) dan kajian
Timur terhadap Barat (oksidentalisme), lihat tulisannya, “Kita Juga Memerlukan
Oksidentalisme”, dalam Studi Agama, 211-215.
17Amin, Studi Agama, 255-256.
93
Amin menyarankan, khususnya untuk kepentingan mendongkrak
perkembangan ilmu pengetahuan, agar kajian epistemologi,
metafisika, dan etika berjalan secara proporsional, karena al-Qur`an
sendiri membicarakan ketiga aspek itu juga secara proporsional,
tanpa mereduksi yang satu masuk ke wilayah yang lain.18 Di atas,
telah dikemukakan, bahwa menurut Amin, selama ini dalam kajian
filsafat Islam, ketiga wilayah itu menyatu.19
Meski dalam al-Qur`an ketiga aspek itu ditekankan secara
proporsional, dalam praktiknya, ada skala prioritas yang harus
didahulukan. Menrutnya, untuk memicu perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam, rekonstruksi bangunan epistemologi
diperlukan, tanpa meninggalkan metafisika dan etika, sehingga
dengan cara ini, kaum muslimin menjadi produsen ilmu pengetahuan.
Sebaliknya, jika metafisika dan etika menjadi “panglima”, kaum
Muslimin cenderung menjadi konsumen ilmu pengetahuan.20
3. Pembaruan Pemikiran tentang Tafsir al-Qur`an
Alasan mengapa perlunya pembaruan terhadap pemahaman ayat-
ayat al-Qur`an, menurut Amin, adalah karena pola pikir masyarakat
yang selalu merujuk ke teks keagamaan dalam kehidupan beragama,
dibandingkan merujuk ke pertimbangan akal sehat (common sense).
Teks tersebut dirujuk oleh pemuka agama, ketika terjadi persoalan
sosial, tanpa mempertimbangkan bagaimana teks itu dulu muncul
dari konteks yang mengelilinginya. Salah satu persoalan menarik
untuk dikaji dalam wacana filsafat Islam, menurutnya, adalah
khazanah intelektual Muslim yang terkait dengan tafsir al-Qur`an.
Atas dasar ini, perlu pembaruan pemahaman tafsir al-Qur`an.21
18Amin, Studi Agama, 260.
19Amin, Studi Agama, 260.
20Amin, Studi Agama, 260.
21Amin, Islamic Studies, 136-137.
94
Jargon yang selalu digemakannya adalah “pergeseran paradigma”
(shifting paradigm) berpikir dari berpusat pada teks semata ke
konteks. Gugatan terhadap “serba-teks” tersebut dituangkan dalam
kritiknya terhadap hal-hal berikut:
Pertama, ide tentang sakralisasi teks. Ide ini muncul dari fase
klasik Islam tentang status apakah al-Qur`an itu baru (ḥādits)/
diciptakan (makhlūq) atau abadi (qadīm)/ bukan diciptakan (ghayr
makhlūq)? Dalam ungkapan Amin, “apakah al-Qur`an merupakan
bentuk ‘intervensi’ Tuhan (ḥādits) terhadap perjalanan hidup manusia
di era kerasulan Muhammad saw, ataukah al-Qur`an bersifat kekal
dan abadi seperti halnya keabadian Tuhan sendiri?” Amin cenderung
kepada pendapat bahwa teks al-Qur`an tidaklah sakral, atau dalam
debat di sini, tidak abadi, karena al-Qur`an turun proses “kausalitas
antara ayat-ayat al-Qur`an dan peristiwa-peristiwa sejarah sosial-
budaya yang melatarbelakanginya”. Di sini, ia menekankan upaya
desakralisasi. Jadi, menurutnya, sakralisasi teks ayat al-Qur`an
berkaitan dengan penolakan latar belakang historis turunnya ayat
al-Qur`an, yang biasanya disebut sebagai asbāb al-nuzūl. Meski
pernyataan ini tidaklah benar, karena tidak ada hubungan langsung
antara keyakinan akan keabadian teks al-Qur`an dengan penolakan
adanya ayat-ayat al-Qur`an yang terkadang turun karena latar
belakang historis tertentu,22 Amin meyakini ada keterkaitan antara
sakralisasi itu dengan penolakan asbāb al-nuzūl. Bagi Amin, asbāb
al-nuzūl adalah “hubungan kausalitas positif” antara pesan-pesan
atau norma-norma al-Qur`an dengan peristiwa-peristiwa sosial,
ekonomi, politik yang mengitarinya.23
22Begitu banyak ulama yang meyakini sakralitas al-Qur`an tetap meyakini
pentingnya asbāb al-nuzūl
karena itu, kedua isu ini tidak saling terkait.
23Amin, Islamic Studies, 138. Ketika Amin menyebut asbāb al-nuzūl sebagai
“hubungan kausalitas positif”, tampak ada problem serius, karena dalam faktanya
yang disebut sebagai asbāb al-nuzūl tergantung pada pelaporan Sahabat Nabi
yang langsung menyaksikan peristiwa, jika sumbernya riwayat (riwāyah), tidak
nalar (dirāyah
95
Kedua, model penafsiran yang “reproduktif”, yaitu penafsiran
yang cenderung hanya mengulang penafsiran-penafsiran
ulama terdahulu, tanpa melahirkan penafsiran-penafsiran yang
baru. Sebaliknya, yang diinginkan adalah model penafsiran
“produktif”, yaitu penafsiran baru yang sesuai dengan perubahan
dan perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang
melingkupi kehidupan umat Islam kontemporer tanpa meninggalkan
ajaran moral dan pandangan hidup al-Qur`an. Dengan penafsiran
“produktif”, pesan ayat al-Qur`an yang dipahami tidak semata
analisis leksikal (merujuk ke kamus), tanpa mempedulikan konteks,
sehingga akibatnya menjadikan hasil penafsiran sebagai korpus
tertutup dan a-historis, melainkan pesan ayat itu “berdialog” (istilah
yang sering didengung oleh Amin yang dikatakan sebagai ciri kerja
hermeneutika, “bernegosiasi”, ada “proses negosiasi”, negotiating
process) antara teks, pengarang, dan pembaca.24 Distingsi antara dua
macam penafsiran itu, diakuinya, diadopsi dari istilah hermeneutika
kontemporer. Dengan merujuk ke Farid Esack, seorang pengusung
Pelaporan seorang Sahabat yang mewartakan peristiwa tersebut sebagai sabab
al-nuzūl suatu ayat terkadang tergantung pada penilaiannya secara subjektif dalam
menghubungkan antara peristiwa tertentu dengan turunnya ayat. Oleh karena itu,
asbāb al-nuzūl pada
mengatakan, ‘pengetahuan asbāb al-nuzūl adalah persoalan yang diperoleh oleh
Sahabat Nabi dengan melihat indikasi-indikasi (qarīnah) yang diliputioleh banyak
problem, dan sebagian mereka lalu tidak dengan secara meyakinkan mengatakan
Mafum al-Nashsh: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur`ān
T
asbāb al-nuzūl adalah hasil penyimpulan Sahabat terhadap “kondisi” tertentu.
Bahkan, dalam kenyataannya, asbāb al-nuzūl tidak selalu identik dengan riwayat,
melainkan sumber lain, termasuk penafsiran, dan digunakan dalam berbagai
Asbāb al-Nuzūl
2005).
24Lihat pengantar Amin untuk terjemahan buku Khaled Abou El Fadl, Atas
Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (judul asli: Speaking in
God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women) dalam M. Amin Abdullah,
Islamic Studies, 278.
96
hermeneutika pembebasan untuk perjuangannya membebaskan
politik apartheid di Afrika Selatan, dalam karyanya, Qur`an,
Liberation, and Pluralism, apa yang disebutnya hermeneutika al-
Qur`an yang menekankan aspek “produktivitas” penafsiran yang
dimaksud oleh Amin adalah hermeneutika resepsi yang merupakan
salah satu bagian dari aliran fungsionalisme dalam kajian teks, yang
dikontraskan dengan revelasionisme (revelationism). Fungsionalisme
dalam kajian teks menekankan fungsi teks dan mengklaim bahwa
suatu teks tertentu hanya bisa dianggap sebagai teks kitab suci jika
teks tersebut lulus “tes pragmatis dan fungsional”.25 Oleh karena
itu, teks wahyu harus fungsional bagi solusi kemanusiaan, dan hal
itu hanya mungkin jika teks direlasikan dengan konteks, baik ketika
turunnya teks itu maupun konteks sekarang yang perubahannya
cepat sekali.
B. Pemikiran tentang Metode Tafsir
1. Al-Ta`wīl al-‘Ilmī: Pemikiran M. Amin Abdullah
Istilah “al-ta`wīl al-‘ilmī” (takwil ilmiah/ saintifik), bukan
“al-tafsīr al-‘ilmī” (tafsir ilmiah/ saintifik), dipilih oleh Amin, atas
dasar perbedaan antara kedua istilah tersebut. Namun, penjelasan
tentang perbedaan tersebut bukan sekadar penjelasan sebagaimana
berkembang di kalangan pakar ‘ulūm al-Qur`ān yang membedakan
tafsir sebagai upaya menguraikan makna teks berdasarkan makna
lahiriah bahasa dan ta`wīl adalah upaya memahami makna
lebih mendalam dari “makna yang kuat” (al-ma’nā al-rājiḥ) ke
“makna yang lemah” (al-ma’nā al-marjūḥ) dari segi petunjuk
kebahasaan (dilālah) karena ada indikasi-indikasi (qarīnah)
kuat yang menghajatkan peralihan pemaknaan tersebut.26 Meski
25Farid Esack, Qur`an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld, 1998), 51-52.
26Di antara ulama, ada yang menganggap “tafsīr” dan “ta`wīl” sebagai dua
istilah yang sinonim, seperti penggunaan istilah “ta`wīl” yang dianggap dengan
“tafsīr
97
mengaku bertolak dari ‘ulūm al-Qur`ān, ternyata Amin memiliki
definisi sendiri terhadap kedua istilah ini. Menurutnya, tafsir
adalah “cara mengurai bahasa, konteks, dan pesan-pesan moral
yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci”. Menurut Amin,
definisi ini menekankan teks sebagai “subjek”, mungkin karena
teks menjadi pusat pemaknaan. Dalam tafsir, teks menjadi sumber
utama, sehingga Amin menyebutnya didasarkan epistemologi
bayānī yang akan diuraikan di sini. Sedangkan, ta`wīl adalah “cara
memahami teks dengan menjadikan teks dan/ atau lebih tepatnya
pemahaman, pemaknaan dan interpretasi terhadap teks sebagai
‘objek’ kajian”. Amin menyatakan bahwa memposisikan teks
sebagai objek kurang dikenal, terutama dalam kajian konvensional
‘ulūm al-Qur`ān yang telah “matang” dan “baku”.27 Teks sebagai
objek yang diajukan oleh Amin, meski tidak seluruhnya asing dalam
‘ulūm al-Qur`ān,28 dimaksudkan oleh Amin untuk menekankan
sebagai dua istilah yang berbeda. Ada yang menganggap tafsīr berkaitan dengan
menjelaskan makna ungkapan, baik maknanya ditarik secara jelas langsung dari
ungkapan atau tidak langsung (melalui nalar mendalam). Sedangkan, ta`wīl
hanya berkaitan dengan pemaknaan melalui pemaknaan dengan nalar mendalam.
Jadi, tafsīr lebih umum daripada ta`wīl. Namun, sebagian ulama menganggap
tafsīr adalah memahami kehendak Tuhan melalui teks dengan pemaknaan yang
“pasti” (qaṭ’ī, dalam batas pengertian “jelas” maknanya, bukan memastikan
kehendak Tuhan), sedangkan ta`wīl
adalah memutuskan salah satu di antara dua atau beberapa kemungkinan makna
tanpa bukti yang pasti. Ada juga yang memahami tafsīr adalah pemaknaan melalui
sarana riwayat, sedangkan ta`wīl dengan dirāyah (nalar). Tafsir dengan ungkapan
langsung dari ayat (‘ibārah), sedangkan ta`wīl melalui isyarat (isyārah) yang
Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur`ān,
al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur`ān,
Mabāḥits fī ‘Ulūm al-Qur`ān
27Amin, Islamic Studies, 184.
28
bisa berbicara dengan sendirinya, kecuali dijadikan bisa berbicara oleh manusia.
Ia mengatakan, “Ajaklah al-Qur’an berbicara sendiri, tapi ia tidak akan berbicara
sendiri, melainkan kuberitahukan kepadamu tentangnya” (istanṭiqū al-Qur`ān, wa
98
pembacaan hermeneutis, di mana penafsir memiliki peran sentral
dalam menegosiasikan teks dengan konteks. Akan tetapi, juga harus
dipahami bahwa teks sebagai objek, lalu penafsir sebagai subjek,
tidak lantas kemudian menjadikan “teks mati”, yaitu ketika teks tidak
mampu membebaskan diri dari keseweng-wenangan penafsiran
penafsirnya. “Teks hidup” adalah teks yang di tangan penafsirnya
masih bisa menjaga keterbukaannya dengan konteks (pembaca,
masyarakat). Oleh karena itu, ide tentang teks sebagai subjek atau
objek, serta hidup atau mati harus dipahami dari pandangan Amin
bahwa antara teks, pengarang (kehendak Tuhan yang terepresentasi
melalui teks), dan pembaca perlu keseimbangan.29
“Al-ta`wīl al-‘ilmī” yang ditawarkan oleh Amin tidak sama
dengan “al-tafsīr al-‘ilmī” dalam pengertian tafsir ilmiah dengan
menggunakan teori-teori atau “isyarat-isyarat” ilmiah dalam
menafsirkan al-Qur`an, terutama yang berkaitan dengan “ayat-ayat
semesta”, āyāt kawniyyah, dalam diskusi metode tafsir umumnya,
melainkan secara eksklusif digemakan oleh Amin sebagai metode
tafsir yang lebih unggul dibandingkan dengan metode-metode tafsir
konvensional selama ini, baik al-tafsīr bi al-ma`tsūr, al-tafsīr bi al-
ra`y, al-tafsīr al-‘ilmī, al-tafsīr al-isyārī, maupun al-tafsīr al-bāṭinī.30
lan yanṭiqa, lākin ukhbirukum ‘anhu). “Kitab suci al-Qur’an tidak akan berbicara
dengan lisan/ bahasa (sebagaimana manusia). Oleh karena itu, mesti ada para
penafsir. Al-Qur’an hanya menjadi berbicara karena dijadikan berbicara oleh
manusia (penafsir)” (lā yanṭiqu bi lisān wa la budda lahu min tarjumān, wa
innamā yanṭiqu ‘anhu al-rijālAl-Ta`wīl: Manhaj al-Istinbāṭ
fī al-Islām
bahwa penafsir memiliki peran sentral dalam pemaknaan. Akan tetapi, tentu saja,
teks/ nash tetap menjadi pusat atau fokus perhatian, karena tanpa teks, tidak akan
pernah ada makna. Teks sebagai objek tentu harus dipahami dalam pengertian
bahwa penafsir tidak boleh menjadi literalis, karena pemaknaan tidak hanya
dipahami dari dalam teks, melainkan juga konteks.
29Amin, Islamic Studies, 281-283.
30Amin, Islamic Studies, 226.
99
Amin bertolak dari “kegelisahan akademik” yang dialaminya
berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman (‘ulūm al-dīn) yang
dianggapnya terlalu kaku dan tidak responsif terhadap perkembangan
zaman, khususnya berkaitan dengan isu-isu krusial yang sedang
dihadapi oleh manusia sekarang, seperti persoalan HAM,
hukum publik, isu wanita, dan pandangan terhadap non-muslim.
Beberapa nama intelektual Muslim yang disebutnya yang memiliki
keprihatinan yang sama, antara lain, Fazlur Rahman, Mohammed
an-Naim, Riffat Hassan, dan Fatima Mernissi. Mereka ini disebut
mengajukan kritik terhadap paradigma keilmuan fiqh yang dianggap
terlalu kaku. Dengan bertolak dari kritik-kritik yang mereka
kemukakan, Amin juga “mengamini” dengan mengritik bahwa
ilmu-ilmu keislaman selama ini memiliki paradigma yang tertutup
dengan tidak melibatkan “dialog” dengan ilmu-ilmu umum, seperti
antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, dan filsafat.31
Upaya untuk mendialogkan antara ilmu-ilmu keislaman
dengan ilmu-ilmu umum, menurut Amin, memang telah dilakukan,
sebagaimana diusulkan oleh para intelektual muslim ini dan juga
dilakukan oleh Richard C. Martin yang mengedit sebuah buku
antologi, Approaches to Islam in Religious Studies, Mohammed
Arkoun dalam Tārīkhiyyat al-Fikr al-‘Arabī al-Islāmī (edisi bahasa
Naqd
al-Khiṭāb al-Dīnī.32 Buku-buku yang disebut oleh Amin tersebut
memiliki karakter yang sama, yaitu mencoba melihat Islam dari
perspektif yang ilmiah dan kritis. Buku antologi Martin berisi
tentang bagaimana Islam bisa dikaji dari perspektif religious studies
(studi agama), dari aspek yang beragam dan pendekatan ilmiah serta
multi-disipliner, seperti dari aspek kitab suci hingga ritual, dari
pendekatan fenomenologi William A. Graham terhadap al-Qur`an
31Amin, Islamic Studies, 186-187.
32Amin, Islamic Studies, 187.
100
sebagai kata yang dituturkan, pendekatan hermeneutika Henry
Corbin, hingga analisis sastra (literary analysis) John Wansbrough.33
intelektual Muslim yang sangat kritis dengan bangunan keilmuan
Islam yang selama ini. Arkoun, di samping dikenal sebagai
penganjur pendekatan-pendekatan sosial dan humaniora terhadap
Islam, seperti melalui pendekatan antropologi, ia termasuk tokoh
yang berada di depan yang mengumandangkan perlunya ilmu-ilmu
keislaman tersebut dipahami dari aspek historisitasnya (tārīkhiyyah),
karena dengan begitu, sakralisasi pemikiran-pemikiran keagamaan
(taqdīs al-afkār al-dīniyyah) yang selama ini membelenggu umat
penganjur hal yang sama. Bahkan, dalam bukunya tersebut, ia
menekan pentingnya pemaknaan yang objektif terhadap teks-teks
keagamaan dan mengritik berbagai paham keagamaan, begitu juga
proyek pemikiran pembaharuan, seperti pemikiran Hasan Hanafi,
dari aspek objektivitas.34
Dengan mengambil contoh-contoh penerapan pendekatan
ilmu-ilmu umum terahadap ilmu-ilmu keislaman, khususnya fiqh,
seperti yang diterapkan oleh an-Naim dalam melakukan rekonstruksi
fiqh dengan teori revolusioner naskh dengan menyisipkan nilai-
nilai kemanusiaan, Fatima Mernissi, Riffat Hassan, dan Amina
menerapkan analisis gender, Amin berkesimpulan bahwa “ilmu-
ilmu keagamaan dengan model paradigma klasik” (‘ulūmuddīn in
33Lihat Richard C. Martin, Approches to Islam in Religious Studies (Tucson:
The University of Arizona Press, 1985).
34Lihat pada pasal pertama, di mana ia banyak berbicara tentang aspek
metododologi kritik wacana keagamaan kontemporer, dan pada pasal kedua, di
mana ia banyak menyoroti tentang fenomena pemikiran dan gerakan Kiri Islam,
seperti dari aspek ta`wīl atau ideologisasi (talwīnNaqd al-
Khiṭāb al-Dīnī). Buku
ini telah diterjemahkan oleh Khoiron Nahdiyyin dengan judul, Kritik Wacana
Agama (Yogyakarta: LKiS, 2003).
101
its classical paradigm) perlu dikembangkan dan diperkaya agar
ia tidak menjadi tertutup, dan bisa merespon keperluan zaman.
Dalam istilah Amin, “humanisasi ilmu-ilmu keislaman”,35 yaitu
mengkaji ilmu-ilmu keislaman dengan melakukan “penggeseran
paradigma” (shifting paradigm) dari paradigma lama yang tertutup
dan terkesan “melangit” ke paradigma baru yang terbuka dan terasa
lebih “membumi” dan serta menyentuh aspek-aspek kemanusiaan
kontemporer. Jadi, dialog antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu
umum, menurutnya, meniscayakan pergeseran paradigma.
Langkah awal dari pergeseran paradigma tersebut adalah
menjelaskan apa yang disebutnya sebagai “filsafat ilmu keagamaan
Islam” (philosophy of Islamic religious sciences).36 Hal itu karena,
menurutnya, “ilmu apa pun yang disusun, dikonsep, ditulis secara
sistematis kemudian dikomunikasikan, diajarkan dan disebarluaskan
baik lewat lisan maupun tulisan tidak bisa tidak mempunyai
paradigma kefilsafatan”.37 “Filsafat ilmu” yang dimaksud adalah
asumsi dasar seorang ilmuwan, kerangka teori, peran akal, tolok
ukur validitas keilmuan, prinsip-prinsip dasar, serta hubungan subjek
dan objek. Menurutnya, tidak ada satu ilmu pun, termasuk ilmu
agama, terlebih yang tersistematisasi sedemikian rupa, yang tidak
memiliki struktur fundamental yang unsur-unsurnya adalah semua
hal ini, yang mengarahkan kerja teoretik dan praksis keilmuan ke
arah penelitian dan pengembangan lebih lanjut.38
35Amin, Islamic Studies, 190-191.
36Amin, Islamic Studies, 191. Lihat juga tulisan, “Preliminary Remarks on
the Philosophy of Islamic Religious Science”, dalam al-Jāmi’ah: Journal of
Islamic Studies, No. 61, Th. (1998): 1-26. Artikel ini telah diterjemahkan oleh
Siti Syamsiatun ke bahasa Indonesia, “Pendekatan dalam Kajian Islam: Normatif
atau Historis (Membangun Kerangka Dasar Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman” dan
menjadi bagian dari M. Amin Abdullah, Islamic Studies, 26-67.
37Amin, Islamic Studies, 191.
38Amin, Islamic Studies, 192.
102
Dengan asumsi bahwa setiap ilmu memiliki filsafat ilmunya
karyanya, Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī (Formasi Nalar Arab) dan Bunyat
al-‘Aql al-‘Arabī (Struktur Nalar Arab), berkaitan dengan pemikiran
epistemologi yang berkembangan dalam tradisi Islam-Arab. Dari
klasifikasi tokoh ini, Amin kemudian mencoba menghubungkan
berbagai varian epistemologi tersebut, lalu mengaitkannya dengan
penafsiran al-Qur`an.
adalah karena, menurutnya, epistemologi dalam filsafat ilmu
menurut pemikiran Barat, seperti rasionalisme, empirisme, dan
pragmatisme, tidak relevan untuk dijadikan sebagai kerangka teori
dalam memahami cara kerja keilmuan ilmu-ilmu dalam Islam.
Menurutnya, filsafat ilmu Barat hanya relevan dalam memahami
cara kerja ilmu-ilmu alam (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (social
sciences), dan humaniora (humanities), sedangkan kajian-kajian
keislaman (Islamic studies
‘ulūm al-Qur`ān, dan ‘ulūm al-ḥadīts lebih tepat dikategorikan
sebagai wilayah kajian humaniora klasik (classical humanities).39
Kritik Amin ini tentu harus dipahami dalam konteks bahwa wilayah
kajian keislaman yang ia maksud adalah wilayah yang sebagaian
besar fokusnya persoalan teks/ nash (bayānī), nalar (burhānī), dan
intuisi (‘irfānī). Ia sendiri sebenarnya juga sadar bahwa sebagai
fenomena historis, Islam bisa muncul dalam manifestasinya yang
kaya dan beragam, baik secara fenomena antropologis, sosiologis,
kultural, ekonomi, dan politik. Semua fenomena ini tentu layak
dikaji dalam perspektif kajian ilmu-ilmu sosial dari perspektif Barat
sekalipun.40 Di samping itu, memang bisa dipahami alasan pemilihan
39Amin, Islamic Studies, 201.
40Lihat pandangan Amin tentang fenomena agama yang harus dikaji secara
ilmiah dari berbagai perspektif, baik sosial maupun antropologi.
103
ini lebih bisa “didialogkan”, meminjam istilah Amin, dengan tafsir
yang sumbernya teks/ nash.
Amin dalam bentuk aspek-aspek epistemologi, khususnya yang
berkembang sekarang, yaitu dari aspek asal-usul (origin) pengetahuan
yang menjadi sumbernya, metode (proses dan prosedur), pendekatan
(approach),41 kerangka teori (theoretical framework), fungsi dan
peran akal, tipe argumen yang dikembangkan, tolok-ukur validitas
keilmuan (seperti korespondensi, koherensi, dan pragmatism),
prinsip-prinsip dasar yang dianut, kelompok ilmu dan atau ilmuwan
pendukung, dan hubungan antara subjek dan objek. Jasa Amin
dalam penjelasan epistemologi ini lebih pada posisinya sebagai
dengan sepuluh aspek tersebut, kemudian memfungsionalisasikannya
itu tidak bermaksud untuk diterapkan secara aplikatif dalam konteks
metodologi tafsir al-Qur`an. Namun, bagi Amin, epistemologi, atau
lebih luas lagi filsafat ilmu, mesti menjadi kerangka berpikir yang
mengarahkan kerja disiplin keilmuan, sehingga secara otomatis
pemikiran epistemologi ini tidak hanya bisa dijadikan sebagai
framework untuk membaca pemikiran epistemologi dalam Islam,
melainkan juga bisa difungsionalisasikan secara aktual untuk
berbagai keperluan, termasuk dalam konteks penafsiran al-Qur`an.
Pertama, epistemologi bayānī (eksplanatif). Epistemologi ini
mendominasi hampir semua kerja keilmuan dalam Islam, karena
sumbernya adalah teks/ nash. Bahkan, epistemologi ini sering
menghegemoni epistemologi lain, yaitu ‘irfānī dan burhānī.
Epistemologi bayānī bersumber dari teks/ nash, atau sumber-
sumber yang ditransmisikan melalui riwayat, kesepakatan ulama,
41Amin membedakan antara metode dan pendekatan. Yang dimaksud dengan
“pendekatan” (approach), menurutnya, “cara berpikir” (way of thinking).
104
atau melalui petunjuk Nabi. Karena berpusat pada teks/ nash, maka
pendekatannya lebih banyak melalui analisis kebahasaan, sekalipun
di dalam juga digunakan mekanisme penarikan kesimpulan melalui
analogi, seperti qiyās al-ghā`ib ‘alā al-syāhid (analogi tentang
persoalan gaib, seperti tentang Tuhan, atas dasar sesuatu yang bisa
disaksikan). Model epistemologi ini banyak digunakan dalam teologi,
daripada kebenaran rasional, sehingga ilmu-ilmu yang menerapkan
epistemologi ini, seperti teologi, sangat kental sekali dengan klaim
kebenaran yang ekskulsif. Teologi, misalnya, sangat sarat dengan
dialektika antaraliran, karena nalar yang digunakan adalah nalar
dialektis dan kompetitif (al-‘uqūl al-mutanāfisah) yang muncul dari
klaim kebenaran tekstual itu. Berbagai perangkat digunakan dalam
analisis teks, seperti persoalan lafzh dan makna, yang umum (‘āmm)
dan khusus (khāsh), yang ambigu maknanya (musytarak), dan masih
samar maknanya (mutasyābih), dan yang jelas maknanya (muḥkam).
Meskipun akal digunakan dalam memahami teks, fungsinya
terbatas hanya sebagai justifikatif, repetitif, dan taqlīdī (pengukuh
kebenaran teks). Oleh karena itu, dalam memahami gejala alam,
kuatnya pemahaman yang bergantung pada, seperti tampak pada
keyakinan teologi bahwa Tuhan mengatur segalanya, menjadikan
ide tentang kausalitas tidak ditekankan. Penjelasan bayānī tentang
keyakinan teologis dan fakta alam tidak utuh, atomistik, dan masih
tampak terpisah (infiṣāl).42 Hal ini ada kaitannya dengan prinsip
“pengserbamungkinan” (tajwīz), yaitu pola pikir yang melihat segala
sesuatu, terlepas dari kepastian kausalitas, bisa terjadi dalam skema
kekuasaan Tuhan.43
42Amin, Islamic Studies, 202-206.
43“Tajwīz
tokoh Mu’tazilah. Di sini, tajwīz berkaitan erat pandangan relativisme yang dianut
oleh kalangan yang disebut sebagai ashḥāb al-tajāhul (makna literal: kelompok
yang pura-pura tidak mengetahui, atau tidak mengakui adanya kebenaran yang
tolok-ukurnya bisa diketahui; kalangan relativis). Akan tetapi, tajwīz juga bisa
digunakan sebagai “senjata” metodologi untuk membantah paham aliran rival,
105
Model Epistemologi Bayānī44
1. Origin
(Sumber)
• Nash/ teks/ wahyu (otoritas teks)
- al-Khabar, al-Ijmā’ (otoritas Salaf)
• al-‘Ilm al-Tawqīfī
2. Metode
(Proses dan
Prosedur)
• Ijtihādiyyah
- Istinbāthiyyah/ Istintājiyyah/ Istidlāliyyah/
Qiyās
• Qiyās (Qiyās al-ghā`ib ‘alā al-syāhid)
3. Pendekatan
(Approach)
• Lughawiyyah (bahasa)
- Dalālah Lughawiyyah
4. Kerangka
Teori
(Theoretical
Framework)
• al-Ashl—al-Far’
- Istinbāthiyyah (Pola pikir deduktif yang
berpangkal pada teks)
- Qiyās al-‘Illah (Fikih)
- Qiyās al-Dalālah
• al-Lafzh—al-Ma’nā
- ‘Amm-Khāsh, Musytarak, Hakikat,
Majāz, Muḥkam, Mufassar, Zhāhir, Khafī,
Musykil, Mujmal, Mutasyābih
5. Fungsi dan
Peran Akal
• Akal sebagai pengekang/ pengatur hawa
nafsu
kebenaran/ otoritas teks)
• al-‘Aql al-dīnī
seperti tampak dalam Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah, dalam persoalan tentang
validitas pengetahuan intuitif yang ditolak oleh kalangan Mu’tazilah. Prinsip
tajwīz juga mendasari salah satu argumen ilzām (argumentum ad hominem), yaitu
argumen yang digunakan untuk membantah tesis lawan dengan mengadopsi tesis
lawan tersebut, kemudian ditarik darinya konklusi-konklusi logis yang justru
bertentangan dengan tesis lawan. Jadi, argumen ini pada prinsipnya mencari
kontradiksi dalam tesis lawan melalui konsekuensi-konsekuensi logisnya. Lihat
Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan (Yogyakarta: LKiS, 2012),
98, 108, 130.
44Amin, Islamic Studies, 215-216.
106
6. Tipe
argument
• Dialektik (jadaliyyah), al-‘Uqūl al-
Mutanāfisah
- Defensif, Apologetik, Dogmatik
• Pengaruh pola logika Stoic (bukan logika
Aristoteles)
7. Tolok-ukur
validitas
keilmuan
• Keserupaan/ kedekatan antara teks atau
nash dan realitas
8. Prinsip-
prinsip dasar
1. Infiṣāl (diskontinu), atomistik
2. Tajwīz (keserbabolehan), tidak ada hukum
kausalitas
3. Muqārabah (kedekatan, keserupaan),
analogi deduktif, qiyās
9. Kelompok
ilmu-ilmu
pendukung
1.
2.
3.
10. Hubungan
Subjek dan
Objek
• Subjektif (Theistic atau Fedeistic
Subjectivism)
Kedua, epistemologi ‘irfānī. Pandangan Amin tentang
epistemologi ini dimulai dengan penyesalannya, karena latar
belakangnya sebagai pengurus Muhammadiyah yang notabene
puritan, akan berbagai penyimpangan tashawuf yang bertolak dari
Amin “mengamini” kritik ini dengan menyebut citra tashawuf
yang sudah terlanjur tercoreng tidak bisa dirangkul sebagai suatu
kesatuan epistemologi Islam yang utuh dan komprehensif, karena
katanya, “kecelakaan sejarah” ketika ‘irfānī muncul dalam bentuk
tarekat-tarekat (ordo-ordo sufi). Tarekat, menurut penilaiannya, telah
menjadi “institusi” atau “organisasi”. Yang ia maksud dengan tarekat
sebagai institusi atau organisasi adalah tarekat telah menjadi mapan
107
dan telah membentuk semacam bangunan pemahaman yang mandiri
dalam Islam yang memiliki cara dan metode pemikiran sendiri dalam
memandangkan keabsahan berbagai ajaran. Dengan kemandirian itu,
Amin sepakat dengan statemen Fazlur Rahman yang juga menganut
pandangan reformis terhadap tashawuf dalam bukunya, Islamic
Methodology in History. Menurut Rahman, tashawuf seperti itu tidak
lebih daripada “agama dalam agama (religion within religion)”.45
Tampaknya, hanya tashawuf dalam bentuk tarekat tersebut yang
menjadi sasaran kritik Amin. Sedangkan, intuisi yang sebenarnya
epistemologi tandingan bagi epistemologi Barat. Di Barat, dimensi
ini diabaikan. Dalam epistemologi ‘irfānī, kebenaran diukur dari
“pengalaman langsung” (direct experience), yaitu pengalaman
batin dalam kedekatan dengan Tuhan. Ilmu yang diperoleh dengan
metode ini disebut dengan al-‘ilm al-ḥuḍūrī dalam tradisi aliran
filsafat Isyrāqiyyah di Timur, dan kesadaran pra-reflektif dan pra-
verbal, atau pengetahuan pra-logis dalam tradisi aliran filsafat
eksistensialisme di Barat. Amin lebih lanjut menganalisis implikasi
45Amin, Islamic Studies, 207. Amin merujukkan pernyataan ini, sebagaimana
ia kutip, ke karya Rahman, Islam (Chicago: The University of Chicago Press,
1979), 132-133, 135. Sebenarnya, pernyataan ini dikemukakan oleh Rahman
dalam karyanya, Islamic Methodology in History, selengkapnya sebagai berikut:
“We shall now briefly try to establish two points: (a) that Sufism, in the beginning,
was a moral-spiritual protest against certain developments of politico-doctrinal
nature within the Community; but (b) that after things ossified in the manner
described above, Sufism took over as a movement of popular religion and from
the sixth-seventh centuries (twelfth-thirteenth centuries of the Christian era)
established itself with its peculiar ethos not only as a religion within religion
but as a religion above religion” (Kami akan mencoba sekarang secara singkat
untuk menetapkan [tesis] dua poin: [a] bahwa pada awalnya Sufisme adalah
protes moral-spiritual terhadap perkembangan-perkembangan tertentu karakter
politis-doktrinal dalam masyarakat [Islam], tetapi [b] bahwa setelah segala
sesuatu menjadi mengeras dengan cara yang kami deskripsikan di atas, sufisme
berubah menjadi sebuah gerakan agama populer dan dari abad ke-6-7 H (12-13
M), memantapkan dirinya dengan etos yang khas tidak hanya sebagai suatu
agama dalam agama, melainkan suatu agama di atas agama). Rahman, Islamic
Methodology in History (Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1994), 106
108
epistemologi ini pada pandangan seseorang terhadap orang yang lain
berbeda. Menurutnya, pola pikir ‘irfānī lebih bisa “merasakan” atau
empati dan simpati terhadap keadaan orang lain. Hukum timbal-
balik yang bersifat universal (universal reciprocity) yang dianut
oleh penganut pola pikir epistemologi ini menjadikan mereka
lebih bisa memahami keragaman, unity in difference (persatuan
dalam perbedaan), toleran, dan pluralis. Dalam hal hubungan antara
subjek dan objek, epistemologi ini menganut intersubjektivitas, yaitu
kebenaran bukanlah subjektif yang tergantung pada subjek yang
memahami, bukan pula objektif yang semata tergantung pada objek,
melainkan intersubjektif, yaitu bahwa pengalaman yang dialami oleh
kelompok sufi dengan sedikit tingkat perbedaan juga bisa dialami
oleh orang lain yang berbeda.46 Ketika menganalisis perbedaan
antara ‘ālim dan ‘ārif, Amin lebih mengapresiasi seorang ‘ārif,
karena seseorang dengan kapasitas pandangan batin yang lebih
luas dalam melihat perbedaan akan lebih pluralis secara sosiologis
dalam menyikapi berbagai kompleksitas pergaulan sosial, budaya,
dan keagamaan, sedangkan seorang ‘ālim lebih berkonotasi sebagai
kebenaran tekstual.47
Sisi lain dari pandangan Amin lebih banyak bersifat reformis
dibandingkan fenomenologis berkaitan dengan doktrin-doktrin
ittiḥād, fanā`, dan ḥulūl. Paha mini, menurutnya,
bukan kesatuan antara Tuhan dan hamba-Nya (manunggaling kawula
gusti), melainkan “kesatuan dalam keragaman dan perbedaan”
(unity in multiplicity/ unity in difference).48 Pandangan reformis ini
bisa dipahami, karena dengan epistemologi ini, Amin tidak hanya
ingin mengkajinya sebagai kajian akademis murni, melainkan
secara praksis ia ingin memfungsionalisasikannya dalam berbagai
46Amin, Islamic Studies, 209-210.
47Amin, Islamic Studies, 212.
48Amin, Islamic Studies, 210.
109
kepentingan, seperti digunakannya untuk menjelaskan hubungan
integratif-interkonektif ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu umum,
dan dalam konteks ini, antara ilmu tafsir dengan ilmu-ilmu umum.
Model Epistemologi ‘Irfānī49
1. Origin
(Sumber)
• Pengalaman (experience)
- al-Ru`yah al-Mubāsyirah
- Direct experience; al-‘Ilm al-Ḥudhūrī
- Preverbal, Prelogical knowledge
2. Metode
(Proses dan
Prosedur)
• al-Dzawqiyyah (al-Tajribah al-Bāthiniyyah)
• al-Riyādhah, al-Mujādalah, al-Kasyfiyyah,
al-Isyrāqiyyah, al-Ladunniyyah,
Penghayatan batin; tashawwuf
3. Pendekatan
(Approach)
• Psiko-gnosis; intuitif, dzawq (qalb)
4. Kerangka
Teori
(Theoretical
Framework)
• Zhāhir-bāthin
• Tanzīl-ta`wīl
• Nubuwwah-walāyah
• Ḥaqīqī-Majāzī
5. Fungsi dan
Peran
• Partisipatif
- al-ḥads wa al-wijdān
- Bilā wāsithah, Bilā ḥijāb
6. Tipe
argument
• ’Aṭifiyyah-wijdāniyyah
• Spirituality (Esoterik)
7. Tolok-ukur
validitas
keilmuan
• Universal Reciprocity
• Empati
• Simpati
• Understanding Others
8. Prinsip-
prinsip
Dasar
1. Al-Ma’rifah
2. Al-Ittihād/ al-Fanā` (al-Insān adzubu fī
Allāh); al-Insān
3. Al-Ḥulūl
49Amin, Islamic Studies, 216-217.
110
9. Kelompok
ilmuwan
pendukung
1. Sufi (al-Mutashawwifah)
2. Ashḥāb al-‘Irfān/ al-Ma’rifah
3. Hermes/ ‘Arifūn
10. Hubungan
Subjek dan
Objek
• Intersubjektif
• Waḥdat al-Wujūd (Unity in Difference,
Unity in Multiplicity)
- Ittiḥād al-‘Arif wa al-Ma’rūf (Lintas
Ruang dan Waktu);
- Ittiḥād al-‘Aqil wa al-Ma’qūl
Ketiga, epistemologi burhānī. Epistemologi ini bersumber
dari realitas, baik realitas alam, sosial, kemanusiaan (humanitas),
maupun keagamaan. Ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan
metode ini disebut “ilmu perolehan” (al-‘ilm al-ḥuṣūlī), yang
didefinisikan oleh Amin sebagai “ilmu yang dikonsep, disusun, dan
disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-manthiq, dan
bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat otoritas
intuisi”.50 Definisi ini tampak membawa kita pada kesimpulan
bahwa yang ia maksud dengan pengetahuan burhānī identik dengan
pengetahuan rasional, bukan pengetahuan empiris. Namun, ketika
ia mengatakan bahwa premis-premis logika itu disusun lewat kerja
sama antara proses abstraksi—seperti dalam konsep Aristoteles—
dan pengamatan inderawi yang valid, ia menganggap bahwa
pengetahuan empiris juga merupakan pengetahuan bayānī. Hanya
saja, ia menekankan bahwa ilmu pengetahuan disusun dengan logika
dari hasil pengamatan empiris lewat abstraksi, sama halnya bahwa
kebenaran koherensi harus dibangun dari kebenaran korespondensi.51
50Amin, Islamic Studies, 213.
51Amin, Islamic Studies, 213. Uraian Amin identik dengan apa yang
dari kebenaran korespondensi, karena premis-premis logika harus bertolak dari
bukti-bukti awal empiris yang tak terbantahkan, di mana sebuah premis harus
valid untuk menghasilkan konklusi yang juga valid. Lihat Wardani, Epistemologi
Kalam, 76-80.
111
Oleh karena itu, dalam epistemologi burhānī, kausalitas diakui.
Tolok-ukur kebenarannya adalah teori korespondensi (al-muṭābaqah
bayn al-‘aql wa niẓām al-ṭabī’ah, kesesuaian antara akal dan
keajegan tatanan semesta), yaitu, menurutnya, “kesesuaian antara
rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-
hukum alam”, teori koherensi, yaitu “keruntutan dan keteraturan
berpikir logis”, dan teori pragmatism, yaitu “upaya yang terus
menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan
temuan-temuan, rumus-rumus, dan teori-teori yang telah dibangun
dan disusun oleh jerih payah akal manusia”.52 Seperti tampak
dalam skema berikut, kelompok ilmuwan pendukung epistemologi
ini adalah para filosof dan ilmuwan, baik ilmuwan alam, sosial,
maupun humaniora/ humanitas. Dalam hal hubungan objek-subjek,
epistemologi ini menganut objektivisme, yaitu kebenaran seluruhnya
dibangun dari data pada objek, bukan di luarnya.
Model Epistemologi Burhānī53
1. Sumber
(Origin)
• Realitas/ al-Wāqi’ (Alam, Sosial, Humanitas)
• al-‘Ilm al-Ḥushūlī
2. Metode
(Proses dan
Prosedur)
• Abstraksi (al-Mawjūdah al-Bāri`ah min al-
Māddah)
• Baḥtsiyyah-Taḥlīliyyah-Tarkībiyyah-
Naqdiyyah
(al-Muḥākamah al-‘Aqliyyah)
3. Pendekatan
(Approach)
• Filosofis-Saintifik
52Amin, Islamic Studies, 214.
53Amin, Islamic Studies, 217-218.
112
4. Kerangka
Teori
(Theoretical
Framework)
• al-Tashawwurāt - al-Tashdīqāt/ al-Hadd –
al-Burhān
• Premis-premis Logika (al-Manthiq)
- Silogisme (2 premis = Konklusi)
A = B
B = C
A = C
- Analisis unsur-unsur fundamental untuk
mengembaikan wujud dengan bentuk
yang esensial
• Universal-Partikular (Kullī-Juz`ī),
Substansi-Aksidensi (Jawhar-‘Aradh)
5. Fungsi dan
peran akal
• Heuristik-Analitik-Kritis
• Mencari sebab-akibat (idrāk al-sabab wa
al-musabbab)
• al-‘Aql al-Kawnī
6. Tipe
argumen
• Demonstratif (Eksploratif, Verifikatif,
Eksplanatif)
- Pengaruh logika Aristoteles dan logika
keilmuan pada umumnya
7. Tolok-ukur
validitas
keilmuan
• Korespondensi
• Koherensi
• Pragmatik (Falibility of Knowledge)
8. Prinsip-
prinsip dasar
1. Idrāk al-sabab (Nizhām al-Sababiyyah);
Prinsip Kausalitas
2. Al-Hatmiyyah (Kepastian, Certainity)
3. Al-Muthābaqah bayn al-‘aql wa nizhām
al-thabī’ah (Kesesuaian antara akal dan
tatanan alam semesta)
9. Kelompok
ilmuwan
pendukung
1.
2. Ilmuwan (Alam, Sosial, dan Humanitas)
10. Hubungan
Subjek dan
Objek
• Objektif (al-Nazhrah al-Mawdhū’iyyah)
• Rasionalisme Objektif (Terpisah antara
subjek dan objek)
113
2. Pendekatan Hermeneutika dan Pendekatan Ma’nā-cum-
Maghzā: Sahiron Syamsuddin
Integrasi Pendekatan Hermeneutika ke dalam Ilmu Tafsir
Integrasi antara ilmu tafsir dan sains juga tampak dari upaya
menerapkan hermeneutika sebagai pendekatan penafsiran al-
Qur`an. Penerapan metode ini memang menjadi tuntutan filosofi
integrasi ilmu di UIN Sunan Kalijaga. Ditawarkannya hermeneutika
telah menjadi perdebatan, tidak hanya di kalangan intelektual di
dunia, melainkan juga di Indonesia. Pendekatan ini ditawarkan
oleh sebagian akademisi IAIN dan UIN, seperti oleh M. Amin
Abdullah,54 di satu sisi, tapi ditampik oleh kelompok Insists
(Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization) di
sisi lain, seperti oleh Adian Husaini yang menyebut hermeneutika
sebagai bentuk invasi Barat dalam pemikiran Islam55 dan Adnin
Armas yang menyebut hermeneutika sebagai metodologi yang
hanya relevan untuk kajian Bibel, bukan untuk kajian al-Qur`an.56
Di antara tokoh-tokoh yang berpolemik itu, tidak terkecuali, di
antaranya adalah tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, seperti M.
Quraish Shihab menolak hermeneutika untuk digunakan sebagai
metodologi dalam menafsirkan al-Qur`an,57 sedangkan pemikir lain,
seperti Abd. Moqsith Ghazali mengklaim kehandalan hermeneutika
untuk kajian disertasinya tentang pluralisme agama.58 Kontestasi itu
54Lihat, misalnya, dalam M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan
Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),
272-286.
55Lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke
Dominasi Sekular-Liberal (Jakarta: Gema Insani, 2005), 288-333.
56Lihat Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur`an: Kajian
Kritis (Jakarta: Gema Insani, 2005); Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis
terhadap Islam Liberal: Dialog Interaktif dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal
(Jakarta: Gema Insani, 2003), 40-42.
57M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Jakarta: Lentera Hati, 2013), 401-480.
58Lihat Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun
Toleransi Berbasis al-Qur`an (Jakarta: Kata Kita, 2009), 29-37.
114
sesungguhnya menunjukkan adanya dinamika perkembangan yang
menarik untuk diperhatikan.
Menurut Sahiron dalam karyanya, Hermeneutika dan
Pengembangan Ulumul Qur`an, ada tiga sikap terhadap penerapan
hermeneutika dalam penafsiran al-Qur`an ini. Pertama, kelompok
yang menerimanya secara totalitas. Kedua, kelompok yang
menolaknya secara totalitas. Ketiga, kelompok “tengah” yang
memberikan catatan kritis, sehingga sebagian dari pendekatan ini
bisa diterapkan dalam kajian al-Qur`an. Melalui karya ini, Sahiron
ingin memposisikan diri pada kelompok tengah dengan menunjukkan
bahwa hermeneutika bisa diterapkan dalam penafsiran al-Qur`an,
bahkan dalam pengembangan ulūm al-Qur`ān.59
Karya ini, tentu saja, diilhami oleh iklim intelektual UIN Sunan
Kalijaga yang memang diarahkan kepada pengembangan keilmuan
integratif. Menurut pengakuan penulis, karya ini mendapat “inspirasi
secara tidak langsung” (indirect inspiration) dari M. Amin Abdullah,
sang rektor arsitek integrasi ilmu, dan terbukti bahwa dalam buku
ini, penulis berupaya meyakinkan pembaca bahwa hermeneutika
bisa diintegrasikan ke dalam penafsiran al-Qur`an.60
Untuk menjelaskan bahwa hermeneutika bisa diterapkan
dalam kajian tafsir, Sahiron melacak jejak sejarah, di mana ilmu-
ilmu “sekuler” pernah diterapkan dalam kajian-kajian Islam. Ia
menunjukkan bahwa pada abad ke-3 H/ ke-9 M, kaum Mu’tazilah
mengintegrasikan teologi Islam dengan filsafat Yunani. Misalnya,
dalam menafsirkan al-Qur`anm dalam karyanya, Mafātīḥ al-Ghayb.61
59Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur`an
(Yogyakarta: Nawasea, 2009), 1-2.
60Sahiron, Hermeneutika, 69-71.
61Sahiron, Hermeneutika, 69.
115
samping teori sastra klasik, dalam menafsirkan al-Qur`an. Penerapan
ilmu “sekuler” bahkan secara jelas juga diterapkan oleh Fazlur
Rahman dengan teorinya tentang gerak ganda (double movement)
yang mengadopsi teori hermeneutika Hans Georg Gadamer.62
Sahiron menyambut ide integrasi ilmu integrasi dan interkoneksi
yang dilontarkan oleh Amin Abdullah. Akan tetapi, tampaknya ide
ini, menurutnya, masih global, sehingga—sebagaimana menjadi
tujuan penulisan buku ini—perlu penjelasan yang lebih aplikatif.
Disiplin-disiplin ilmu itu seharusnya dihubungkan, diselaraskan,
dan diintegrasikan disertai dengan penjelasan apa dan mengapa bisa
dilakukan seperti itu.63
Ada beberapa argumen yang dikemukakannya lebih lanjut—di
samping preseden masa lalu di atas—dalam hal visibilitas (visible,
bisa diterapkan), identifikasi kemiripan antara hermeneutika dan
cara kerja ilmu tafsir, dan siginifikansinya dalam pengembangannya.
Pertama, untuk menunjukkan visibiltas penerapan hermeneutika
dalam penafsiran al-Qur`an, ia mengajukan asumsi sebagai berikut:
(1) secara terminologi, hermeneutika (“seni menafsirkan”) tidak
berbeda dengan ilmu tafsir, yaitu sebagai disiplin ilmu tentang cara
menafsirkan teks dengan baik dan benar; (2) terdapat perbedaan
antara kedua, yaitu bahwa hermeneutika mengkaji semua objek
kajian ilmu sosial dan humaniora, sedangkan ilmu tafsir hanya
mengkaji teks; (3) meski dari sejarahnya, hermeneutika memang
diterapkan dalam kajian Bibel, dan meski Bible adalah kitab
suci dalam bentuk inspirasi, sedangkan al-Qur`an adalah wahyu
verbatim, namun baik Bibel maupun al-Qur`an dituangkan dalam
bahasa manusia yang bisa dipahami.64
62Sahiron, Hermeneutika, 70-71.
63Sahiron, Hermeneutika, 71.
64Sahiron, Hermeneutika, 72-73.
116
Kedua, kemiripan antara hermeneutika dengan pemikiran tafsir
kontemporer sebagai berikut: (1) berdasarkan pandangan quasi-
objektivis tradisionalis, yaitu suatu pandangan bahwa al-Qur`an
harus ditafsirkan pada masa kini sesuai dengan pemahaman ketika
turunnya al-Qur`an dengan menangkap makna awalnya (original
meaning
tidak mengangkap tujuan-tujuan pokok yang melatarbelakanginya
(maqāṣid al-syarī’ah), dan tidak sesuai dengan konteks zaman,
karena sebagian dari ketetapan hukum yang tersurat dalam al-
Qur`an, seperti perbudakan, tidak lagi bisa diterapkan sekarang; (2)
berdasarkan pandangan quasi-objektivis modernis, yaitu pandangan
bahwa penafsiran al-Qur`an seharusnya dilakukan dengan
memahami pertama, makna awal (historis), untuk selanjutnya
dipahami alasan yang mendasarinya (ratio legis menurut Fazlur
Rahman, maqāṣid maghzā
diterapkan pada masa sekarang; (3) pandangan subjektivis, yaitu
bahwa tidak ada makna yang objektif (makna asal), sebagaimana
diyakini oleh kedua pandangan di atas; yang ada makna subjektif
sesuai penafsiran penafsir yang hidup di masanya sesuai dengan
kebutuhan, sebuah pandangan yang, antara lain, dikemukakan oleh
65
Jika Sahiron sebelumnya mengatakan bahwa ada kemiripan
antara hermeneutika dengan pemikiran tafsir kontemporer, sayangnya
tidak ada elaborasi lebih lanjut tentang dua pandangan terakhir
yang disebutkannya (quasi-objektivis modern dan pandangan
subjektivis); sejauhmana kedua aliran ini memiliki kemiripan di
samping seharusnya juga evaluasi dua pandangan ini yang, tentu
saja, belum tentu menjadi tawaran yang tepat.
65Sahiron, Hermeneutika, 73-76.
117
Sebagai gantinya, Sahiron justru mengemukakan beberapa
tawaran dari beberapa aliran hermeneutika modern untuk
pengembangan ilmu tafsir dan ‘ulūm al-Qur`ān. Misalnya,
hermeneutika Gracia, khususnya melalaui hermeneutika filosofis
(philosophical hermeneutics), menurutnya, bisa diterapkan untuk
hal-hal yang mendasari praktik penafsiran. Penjelasan filosofis ini
tidak ditemukan dalam ilmu tafsir yang dinilainya selama ini hanya
bersifat pragmatis dalam pengertian untuk kepentingan pedagogis
dan yang applicable (diterapkan). Dalam sejarah Islam, metode
penafsiran yang disertai dengan penjelasan filosofis sebenarnya
pernah ditemukan, misalnya, dalam Qānūn al-Ta`wīl karya al-
Faṣl al-Maqāl karya Ibn Rusyd.66 Sebagai contoh, istilah
“tafsīr”
(fahm
saw., menjelaskan (bayān) makna-maknanya, dan mengeluarkan
(istikhrāj) hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”. Sahiron
mengidentifikasi kata fahm di sini dengan verstehen atau to
understand, bayān dengan erklaren, to explain, dan istikhārj dengan
extrahieren, to extract. Sahiron memahami tiga fungsi tafsir ini
dengan hermeneutika Gracia tentang understanding (pemahaman)
itu sebagai aktivitas mental, di mana seseorang menangkap sesuatu
yang dalam kasus teks sesuatu itu adalah makna teks. Dengan
demikian, pemahaman adalah aktivitas mental dalam memahami
teks. Menjelaskan (bayān) adalah menyampaikan ke publik tentang
apa yang telah dipahami. Dalam heremenutika Gracia, fungsi bayān
ini disebut fungsi historis (historical function) dan fungsi makna
(meaning function). Sedangkan, mengeluarkan hukum dan hikmah
dalam ayat (istikhrāj) adalah fungsi implikatif (implicative function)
dari penafsiran. Menurut Sahiron, tiga fungsi ini tidak dijelaskan
67
66Sahiron, Hermeneutika, 76-77.
67Sahiron, Hermeneutika, 78-80.
118
Di samping menjelaskan makna tafsir secara mendalam seperti
itu, Sahiron juga menyandingkan antara teori fusion of horizon
dalam hermeneutika Gadamer dengan kajian tentang sekeliling
teks (dirāsat mā ḥawla al-naṣṣ
awedung) dengan konsep yang
kurang lebih sama dengan “interpretasi ma’nā-cum-maghzā” yang
ditawarkan oleh sejumlah pemikir, baik dari Islam maupun dari
Barat, seperti al-ma’nā al-ẓāhir (makna lahiriah) dan al-ma’nā al-
bāṭinma’nā dan maghzā
meaning) dan signifikansi
(significance), dan antara Sinn (arti) dan Sinnesgemäß (makna yang
berarti/ mendalam).68
Pendekatan Ma’nā-cum-Maghzā
Menurut Sahiron, sebagaimana dikemukakan, pandangan quasi-
objektivis tradisionalis yang cenderung mengidealisasikan penafsiran
literal dan kehilangan relevansinya dengan situasi sekarang dan
pandangan subjektivis yang mengesahkan pandangan yang subjektif
dengan tidak mempedulikan makna awal demi penafsiran yang
relevan dengan situasi. Atas dasar ini, menurutnya, pandangan yang
tepat adalah pandangan quasi-objektivis modernis, di mana makna
awal dipertimbangkan, namun dilihat dari pesan terdalamnya.
keterhubungan antara ma’nā dan maghzā yang diistilahkan dengan
ma’nā-cum-maghzā. Pendekatan ini didefinisikannya sebagai
berikut: “Pendekatan ma’nā-cum-maghzā adalah sebuah pendekatan
tafsir, di mana penafsir mencoba untuk menangkap makna historis
awal (ma’nā) sebuah teks (yaitu al-Qur`an) sebagaimana dipahami
oleh audien pertama, kemudian mengembangkan signifikansinya
68Sahiron, Hermeneutika, 85-86.
119
(maghzā) untuk kepentingan situasi kontemporer”.69 Pendekatan
ini, sebagaimana diakuinya, memiliki kesamaan dengan double
movement yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman dan tafsir
kontekstual Abdullah Saeed. Akan tetapi, perbedaanya adalah bahwa
pendekatan ini bisa diterapkan dalam menafsirkan semua ayat al-
Qur`an, kecuali al-ḥurūf al-muqaṭṭa’ah, tidak seperti metode kedua
tokoh itu yang hanya diterapkan pada penafsiran ayat-ayat hukum.70
Pendekatan ini didasarkan atas anggapan bahwa setiap teks,
termasuk teks suci al-Qur`an, memiliki makna awal yang spesifik
yang sesuai dengan konteks spesifiknya. Akan tetapi, meski
konteksnya spesifik, makna awal itu memiliki dimensi universal
yang bisa dikembangkan dengan penafsiran lebih lanjut yang sesuai
dengan situasi kontemporer.
Ada cara tersendiri dalam memahami keduanya. Pertama,
makna awal yang dipahami dengan dua hal, yaitu tekstualitas
teks dan konteks historisnya. Untuk memahami tekstualitas teks,
diperlukan pengetahuan tentang bahasa Arab pada abad ke-1 H/ 7
M ketika turuannya al-Qur`an. Bahasa memiliki dua aspek, yaitu
sinkronik, yaitu aspek linguistik yang tidak berubah, sedangkan
diakronik adalah aspek linguistik yang berubah. Oleh karena itu,
penafsir harus mengetahui perkembangan makna suatu kata. Sebagai
contoh, kata ikhlāṣ semula bermakna murni, namun kemudian
berkembang sebagai kepercayaan dan kepercayaan monotheistik
(tawḥīd
Makna awal suatu teks adalah makna historis, yaitu makna yang
harus dipahami dalam konteks sejarah turunnya. Dengan meminjam,
69Sahiron, “The Qur`an on the Exclusivist Religious Truth Claim: A
Transformative Readings of Sacred Scriptures: Christians and Muslims in
Dialogue, ed. Simone Sinn, Dina El Omari, dan Anne Hege Grung (Jerman:
The Lutheran World Federation, 2017), 100.
70Sahiron, “The Qur`an on the Exclusivist Religious Truth Claim..”, 100.
120
fungsi historis penafsiran (historical function of interpretation) dari
hermeneutika Jorge Gracia, Sahiron berpendapat bahwa makna
historis ayat al-Qur`an harus dipahami dari data kesejarahan secara
luas, tidak hanya berupa riwayat asbāb al-nuzūl, melainkan juga
data yang terkait dengan konteks umum pewahyuan yang meliputi
budaya, tradisi, sistem hukum, situasi sosio-politik, dan ekonomi.71
Pandangan Sahiron ini sama dengan apa yang dikemukakan
sebelumnya oleh Fazlur Rahman dengan konteks sosio-historis
umum yang disebutnya asbāb al-nuzūl, di samping konteks spesifik
yang disebutnya sya`n al-nuzūl. Sahiron juga berpendapat bahwa
asbāb al-nuzūl terbagi menjadi dua, yaitu mikro dan makro. Asbāb
al-nuzūl mikro adalah peristiwa atau pertanyaan yang direspon oleh
ayat, sedangkan asbāb al-nuzūl makro adalah situasi dan kondisi
pada masyarakat Arab dan bangsa-bangsa di sekitar pada abad ke-1
H/ 7 M. Sebagaimana disebut Sahiron, asbāb al-nuzūl makro telah
al-Muwāfaqāt.72
Kedua, signifikansi (maghzā) merupakan makna yang
dikembangkan dengan penafsiran yang lebih mendalam. Menurut
Sahiron, ada beberapa cara untuk menangkap signifikasi dari
sebuah teks, salah satunya adalah metode Gadamer dengan apa
yang disebutnya sebagai makna yang mendalam (Sinnesgemäß).
Prinsip dari metode Gadamer ini adalah bahwa apa yang diucapkan
oleh penutur sebenarnya adalah makna awal saja yang sebenarnya
tidak dimaksud secara literal, melainkan dipahami dari “makna
mendalamnya”. Dengan demikian, teks bukanlah patoakn satu-
satunya, mealinakn satu fase yang harus dilewati dalam peristiwa
komunikasi.73
71Sahiron, “The Qur`an on the Exclusivist Religious Truth Claim..”, 101.
72Sahiron, “Pentingnya Asbab al-Nuzul dalam Penafsiran al-Qur`an”, dalam
Mu`ammar Zayn Qadafy, Buku Pintar Sababun Nuzul dari Mikro hingga Makro:
Sebuah Kajian Epistemologis (Yogyakarta: In Azna Books, 2015), ix-x
73Sahiron, “The Qur`an on the Exclusivist Religious Truth Claim..”, 102.
121
Untuk membuktikan kehandalan pendekatan yang ditawarkannya,
Sahiron membuktikannya dalam penafsir Q.s. 2: 111-113 tentang
klaim kebenaran agama. Ketika menunjukkan pesan utama (maghzā)
dari ayat ini, Sahiron mencoba melakukan penafsiran intertekstual
dengan merujuk kepada Q.s. 2: 135-136. Dari sini, ia berkesimpulan
bahwa orang-orang yang benar-benar mendapat petunjuk adalah
orang-orang yang menyerahkan diri kepada Satu atau satu-satunya
Tuhan (al-muslimūn dalam pengertian umum). Orang-orang yang
beberapa nabi lainnya. Yang menarik perhatian adalah meski Nabi
menyerahkan diri ke satu-satu Tuhan itu, sebagai sebuah komunitas,
mereka tidak disebut secara eksplisit. Dari sini, kemudian Sahiron
menangkap indikasi bahwa komunitas Muslim tidak boleh membuat
klaim kebenaran, sebagaimana dilakukan oleh komunitas Yahudi
dan Nasrani Madinah ketika itu. Sejalan dengan larangan melakukan
klaim kebenaran ini, janji keselamatan juga berlaku tidak hanya
melainkan juga orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Sabian.74
Pendekatan hermeneutika dalam penafsiran al-Qur`an tidak
hanya ditawarkan oleh Sahiron, melainkan juga ditawarkan oleh
Fahruddin Faiz. Salah satu bagain dari karyanya, Hermeneutika
al-Qur`an: Tema-Tema Kontroversial, ia mengajukan pertanyaan
penting yang juga dibahas oleh Sahiron di atas: “Apa yang diberikan
hermeneutika terhadap ilmu tafsir al-Qur`an?”.
Berbeda dengan Sahiron yang meggugat ilmu tafsir yang
dianggapnya tidak disertasi dengan penjelasan filosofis, sehingga
ia kemudian menawarkan hermeneutika untuk menjadikan ilmu
tafsir sophisticated,75 Faiz justru sebaliknya mengatakan, “Khazanah
74Lihat lebih lanjut Sahiron, “The Qur`an on the Exclusivist Religious Truth
Claim..”, 102-109.
75Sahiron, Hermeneutika, 78.
122
Ulumul Qur`an sebagai sebentuk metodologi untuk menggarap
wilayah penafsiran dan pemaknaan terhadap al-Qur`an harus diakui
memiliki sofistikasi yang luar biasa. Sifat luar biasa dari khazanah
Ulumul Qur`an ini terbukti dari berlimpahnya karya tafsir dengan
berbagai pola, mulai tahlili sampai maudhu’i dan mulai yang sekadar
menafsirkan dengan mencari sinonim kata dan ayat hingga yang
melakukan ta’wil secara intuitif dan menafsirkan secara ilmiah”.76
Lalu, jika khazanah ‘ulūm al-Qur`ān sudah dianggap memadai,
apa yang disumbangkan oleh hermeneutika terhadapnya? Faiz
sejak awal pembahasan dalam bukunya hanya berkutat pada
jargon “teks-konteks-kontekstualisasi”. Menurut ilmu tafsir sudah
memperhitungkan konteks dalam menafsirkan al-Qur`an, terlihat
dari bahasan tentang makkī-madanī, asbāb al-nuzūl, dan nāsikh-
mansūkh. Namun, konteks saja, menurutnya, tidak cukup; harus
selangkah ke depan, yaitu kontekstualisasi. Menurutnya, upaya
kontekstualisasi sudah terlihat dari upaya beberapa penafsir
tafsir sastrawi-kemasyarakatan (adabī ijtimā’ī). Namun, tafsir-
tafsir ini dinilainya meninggalkan “kesadaran konteks”. Yang
dimaksud oleh Faiz ini adalah mungkin makna awal (historical
meaning) sebagaimana disebut Sahiron sebagai langkah awal ke
signifikansi. Akhir dari berbagai kritik atas tafsir-tafsir tersebut,
Faiz menggarisbawahi tentang pentingnya sifat dialektis-dialogis
dan berkesinambungan antara teks-konteks-kontekstualisasi. Di
samping itu, ia juga melihat potensi hermeneutika filosofis dan
kritis untuk diadopsi dalam penafsiran agar lahir penafsiran yang
inklusif dan kontrol ketat atas penafsiran yang dilatarbelakangi oleh
kepentingan.77
76Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur`an: Tema-Tema Kontroversial
(Yogyakarta: Elsaq, 2011), 18.
77Faiz, Hermeneutika al-Qur`an, 18-24.
123
C. Produk-Produk Tafsir Ilmiah (al-Tafsīr al-‘Ilmī)
Karya-karya yang dihasilkan oleh para akademisi UIN Sunan
Kalijaga sebenarnya banyak, namun secara bervariatif, baik dalam
bentuk buku dan artikel, dan sebagian hanya merupakan kajian tafsir
monodisipliner. Oleh karena itu, hanya sedikit dari karya-karya itu
yang akan diulas. Daftar ini juga menunjukkan bahwa karya-karya
yang banyak ditulis adalah tentang metode tafsir, dibandingkan
produk penafsiran. Berikut adalah daftar karya-karya tersebut:
Daftar Karya-Karya:
NO PENULIS JUDUL KATEGORI
TULISAN
KATEGORI
KAJIAN
1. Sahiron
Syamsuddin
Ma’na-cum-Maghza Approach
to The Qur’an: Interpretation
of Q. 5: 51.”
Bab buku Kategori ilmu
tafsir dan
produk tafsir
Muḥkam and Mutashābih:
An Analytical Study of al-
Interpretations of Q.3:7
1999
Penelitian Literatur Tafsir/Ilmu
Tafsir: Sejarah, Metode dan
Analisis Penelitian
Makalah
seminar
1999
1999
Penelitian Literatur Tafsir/Ilmu
Tafsir: Sejarah, Metode dan
Analisis Penelitian
Buku Tidak diketahui
Hermeneutika dan
pengembangan Ulumul Qur’an
Buku 2009
Hermeneutika al-Qur’an dan
Hadis
Buku 2010
Studi Al-Qur`an: Metode dan
Konsep
Buku 2010
Metodologi Penelitian Living
Qur’an dan Hadis
Bab buku 2007
Ranah-ranah Penelitian dalam
Studi al-Qur’an dan Hadis
2007
Studi Al-Qur’an Kontemporer:
Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir
Bab buku 2002
124
NO PENULIS JUDUL KATEGORI
TULISAN
KATEGORI
KAJIAN
Hermeneutika Alqur’an
mazhab Yogya
2003
Buku pintar Sababun Nuzul:
dari mikro hingga makro:
sebuah kajian epistemologis
Pzengantar 2015
Upaya integrasi hermeneutika
dalam kajian al-Qur’an dan
hadis: teori dan aplikasi
Lembaga
penelitian
2011
Integrasi Hermeneutika Hans
Georg Gadamer ke dalam
Ilmu Tafsir? Sebuah Proyek
Pengembangan Metode
Pembacaan Alquran pada Masa
Kontemporer
Annual
conference
Kajian Islam
2006
2006
Ma’na-cum-Maghza Approach
to The Qur’an: Interpretation
of Q. 5: 51.
Jurnal
Advances
in Social
Science,
Education
and
Humanities
Research
2017
Hermeneutika dan
Pengembangan Ulumul Qur’an
(Edisi Revisi dan Perluasan)
2017
An Examination of Bint Al-
Shati’’s Method of Interpreting
the Qur’an
S Syamsuddin
Tesis di
McGill
2000
Penelitian Literatur Tafsir/Ilmu
Tafsir: Sejarah, Metode dan
Analisis Penelitian
1999
Mempertimbangkan
Metodologi Tafsir Muhammad
Syahrur
2003 bb
Metode Intratekstualitas
Muhammad Shahrur Dalam
Penafsiran Al-Quran Dalam
Studi Al-Quran Kontemporer
Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir
Buku 2002
125
NO PENULIS JUDUL KATEGORI
TULISAN
KATEGORI
KAJIAN
Tipologi dan Proyeksi
Penafsiran Kontemporer
terhadap Al-Qur’an”
artikel 2007
Metode Intratekstualitas
Muhammad Shahrur Dalam
Penafsiran Al-Quran Dalam
Studi Al-Quran Kontemporer
Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir
Buku 2002
Konsep Wahyu Al Qur’an
Dalam PerspektifM. Syahrur
Artikel 1998
Al-Qur`an dan Pembinaan
Karakter Umat
Buku 2020
Menjawab Problematika
Sosial Keagamaan di Era
Kontemporer karya Sahiron
Syamsuddin
Buku 2020
2. Waryono
Abdul Ghafur
Tafsir al-Fatihah: Menggali
Makna Aktual Meraih Hikmah
Kontekstual
Buku Tafsir
kontekstual
Strategi Mengenal Diri Sendiri
dan Meraih Kebahagiaan
Hidup
Buku
Tafsir Sosial: mendialogkan
Teks dengan Konteks
Buku Tafsir
kontekstual
Hidup Bersama al-Qur`an:
Jawaban al-Qur`an terhadap
Problematika Sosial
Buku Tafsir
kontekstual
Menyingkap Rahasia al-Qur`an Buku
3. Muhammad
Alfatih
Suryadilaga
Perdamaian dalam Perspektif
al-Qur`an dan Bibel dan
Implikasinya terhadap
Kerukunan Umat Beragama di
Indonesia, dalam Moch. Nur
Ichwan dan Ahmad Muttaqin
(ed.), Agama dan Perdamaian
(111-136)
Bab buku Tafsir
(perbandingan
antarkitab suci)
Metodologi Ilmu Tafsir (2005) Bab buku Ilmu tafsir
126
NO PENULIS JUDUL KATEGORI
TULISAN
KATEGORI
KAJIAN
Kajian atas Pemikiran John
Wansbrough tentang al-Qur`an
dan Nabi Muhammamd
artikel
Majlis Tafsir al-Qur`an dan
Keberagamaan di Indonesia:
Studi tentang Peran dan
Kedudukan Hadis Menurut
MTA
Artikel
(2015)
Living Qur`an
Studi Kitab Tafsir
Kontemporer
Bab buku
(2006)
4. Fahruddin
Faiz
Hermeneutika al-Qur`an: Teori
Kritik dan Implementasinya
Buku (2020)
Hermeneutika al-Qur`an:
Tema-tema Kontroversial
Buku (2005)
Hermeneutika al-Quran:
antara Teks, Konteks, dan
Kontekstualisasi (Melacak
Hermeneutika Tafsir al-Manar
dan Tafsir al-Azhar)
Buku (2002)
5. Ahmad Rafiq The Reception of the Qur`an in
Indonesia: A Case Study of the
Place of the Qur`an in a Non-
Arabic Speaking Community
Disertasi
(2014)
Living Qur`an
Sejarah al-Qur`an: dari
Pewahyuan ke Resepsi
(Sebuah Pencarian Awal
Metodologis), dalam Sahiron
Syamsuddin (ed.), Islam,
Tradisi, dan Peradaban
Bab buku
(2012)
Sejarah al-
Qur`an
Pembacaan yang Atomistik
terhadap al-Qur`an: antara
Penyimpangan dan Fungsi
Artikel
(2004)
Abdul Mustaqim (ed.), Melihat
Kembali Studi al-Qur`an:
Gagasan, Isu, dan Tren Terkini
Bab buku
(2015)
Kesatuan Tuhan dan Kesatuan
Agama (Studi atas Penafsiran
Mawlana Abu al-Kalam Azad
Artikel
(2001)
127
NO PENULIS JUDUL KATEGORI
TULISAN
KATEGORI
KAJIAN
The Anatomy of Ingrid
Mattson’s Interpretation of
Qur`an: History, Authority, and
Translation Problems
Artikel
(2021), co-
author
The Reception of the Qur`an in
Popular Sufism in Indonesia:
Tadabbur among the Ma’iyah
Community
Artikel, 2019
(co-author)
6. Afdawaiza Etika Pemanfaatan
Keanekaragaman Hayati dalam
Perspektif Al-Qur`an
Penelitian
(2015)
Tafsir
7. Achmad
Yafik
Mursyid
The Relation of Traditional
Ottoman Mushafs with Mushaf
Printing Activities in Indonesia
. Tingkat Internasional
Bereputasi. Diterbitkan oleh
Ataturk University Faculty of
Divinity, Turkey.
Artikel
(2020)
Kajian al-
Qur`an
Deturkifikasi dalam Tafsir
Hak Dini Kur’an Dili Karya
Elmalili Hamdi Yazir
Artikel
(2020)
Kajian tafsir
1. Al-Qur`an dan Pembinaan Karakter Umat karya Sahiron
Syamsuddin
Di samping penafsiran terhadap persoalan klaim kebenaran
dalam al-Qur`an dari perspektif teori ma’nā-cum-maghzā, Sahiron
juga menulis suatu karya dalam bentuk buku yang tidak begitu
tebal (94 halaman), yaitu al-Qur`an dan Pembinaan Karakter umat.
Ada 14 tema yang dibahas di dalamnya secara ringkas, namun satu
di antara tidak termasuk dalam kategori produk penafsiran, yaitu
tema tentang terjemah al-Qur`an, sedangkan 13 tema lain secara
bervariatif berisi penafsiran, yaitu Islam sebagai agama rahmat,
al-Qur`an sebagai mau’izah, al-Qur`an sebagai syifā` (obat) bagi
ruhani dan jasmani, menebar kasih sayang, metode dakwah menurut
al-Qur`an, nilai moral puasa untuk kehidupan, sedekah, pesan
moral ibadah Qurban untuk kehidupan, hikmah ibadah haji untuk
128
kehidupan, kesabaran, bersyukur, Islam dan negara bangsa, dan
etika kepemimpinan.
Meski tema-tema ini tampak berbeda, ada satu benang merah
yang menghubungkannya, yaitu penekanan penulis pada unsur
moral atau etika, sehingga penafsiran ajaran-ajaran al-Qur`an,
sedekah, berkurban, ibadah haji, soal bernegara, dan memimpin,
menurut Sahiron, harus dipahami dari prinsip moral atau etisnya.
Di samping itu, tentu saja, ia juga membahas ajaran-ajaran tentang
kebaikan-kebaikan dan tentang moralitas itu sendiri, yaitu tentang
kebaikan sedekah, bersyukur, Islam sebagai rahmat, kandungan
nasehat dalam al-Qur`an, dan menerbarkan kasih sayang.
Di bagian pendahuluan buku ini, Sahiron menekankan 4 funsgi
Islam sebagai agama, yaitu: sebagai peunjuk bagi manusia dalam
perbaikan moral, karena misi kenabian Muhammad saw adalah
perbaikan moral, sebagai jalan untuk memperoleh kemaslahatan,
ketenangan, dan kedamaian, sebagai penyeimbang orientasi
pemikiran dan arah hidup manusia, yaitu prinsip moderasi,
keseimbangan, dan agama yang lurus (al-dīn al-qayyim), dan
terakhir, sebagai pemersatu umat yang berbeda, baik dari segi
keagamaan, suku, dan adat-istiadat. Fungsi terakhir, menurutnya,
dipahami dari bagaimana al-Qur`an mengajarkan tentang prilaku
dan bersikap baik terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan
atau kultur.78
Tulisan-tulisan dalam buku ini semula adalah artikel-artikel
(opini) di Republika, Kedaulatan Rakyat, dan Tribun Yogya, namun
kemudian dikembangkan sesuai kaidah penulisan ilmiah.79
Dari aspek kandungan, penafsiran-penafsiran yang dikemukakan
oleh Sahiron dengan mengacu ke sumber-sumber tafsir klasik
78Sahiron Syamsuddin, al-Qur`an dan Pembinaan Karakter Umat
(Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2020), 1-4.
79Sahiron, al-Qur`an, iii-iv.
129
menekankan sisi moral dalam Islam dan sisi yang humanis dengan
menekankan pada aspek moderasi Islam. Akan tetapi, dari aspek
metodologi, tidak tampak ada penggunaan metodologi tafsir yang
baru, sebagaimana dikemukakannya pada penafsiran tentang klaim
kebenaran dengan menerapkan metode ma’nā-cum-maghzā.
Sebagai contoh, ketika mengemukakan penafsiran
berkaitan dengan pesan moral ibadah qurban untuk kehidupan,
Sahiron mengemukakan beberapa point pesan moral tersebut.
Pertama, pentingnya mengutamakan pendekatan dialogis dalam
menyampaikan kebenaran dan pendidikan umat. Pesan ini dipetik
As dan anaknya, Nabi Ismail As, dalam menyampaikan maksud
ayahnya untuk melaksanakan qurban dengan menyembelih Ismail
As. Point yang ditangkap oleh Nabi Ibrahim As adalah bahwa
meski ia mendapat perintah melalui mimpinya untuk menyembelih
puteranya itu, ia tetap mendialogkannya. Pendekatan dialog, menurut
Sahiron, adalah ciri khas pendekatan Qur`ani. Dari sini, Sahiron
kemudian menarik generalisasi bahwa pendekatan Qur`ani (manhaj
yang diinginkan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
dan bernegara. Begitu juga, menurut Sahiron, masalah yang perlu
didialogkan tidak hanya masalah keagamaan, melainkn hukum,
politik, dan ekonomi. Dengan pendekatan itu, maka masalah
diselasaikan dengan kepuasan, kerelaan, dan kemaslahatan bersama.80
Kedua, komitmen dengan apa yang telah menjadi kesepakatan.
Pesan moral ini dipetik oleh Sahiron dari pernyataan Nabi Ismail As
yang diabadikan dalam ayat tersebut, “Wahai ayahku, lakukanlah
apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; Insya Allah, engkau
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Pernyataan
ini, menurut Sahiron, mengindikasikan komitmen tersebut. Banyak
penjelasan dalam tafsir yang menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim dan
80Sahiron Syamsuddin, al-Qur`an, 46.
130
Nabi Ismail As digoda oleh Iblis, namun mereka berdua berkomitmen
untuk melaksanakan qurban tersebut.81
Ketiga, kesadaran dan kesiapan untuk mendapatkan ujian.
Pesan moral ini dipetik oleh Sahiron dari ungkapan ayat 106:
“Sesungguhnya, ini benar-benar suatu ujian yang nyata”. Dipetik
dari perjalanan Nabi Ibrahim As yang baru dikaruniai anak pada usia
80 tahun, kemudian malah akan diqurbankan, Sahiron berkesimpulan
bahwa kita harus siap dihadapkan dengan ujian-ujian sehingga
dengan demikian kita akan menjadi dewasa. Dengan merujuk ke
Q.s. al-Mulk: 1-2, ia berkesimpulan bahwa ujian adalah sebuah
keniscayaan.82
Keempat, kesadaran sosial. Yang dimaksud oleh Sahiron dengan
“kesadaran sosial” di sini adalah kepedulian sosial untuk membantu
sesama. Hal ini dimanifestasikan dengan membantu, misalnya,
sesama tetangga yang sedang mengalami kesulitan.83
Dari penafsiran Sahiron tentang qurban, tampak bahwa ia
menerapkan langkah penafsiran sebagai berikut: (1) menarik
pesan moral yang terkandung dalam kisah al-Qur`an tersebut; (2)
melakukan rujuk-silang, secara intertekstual, dengan ayat lain,
misalnya ketika ia menyimpulkan bahwa kita harus siap menghadapi
ujian dalam hidup, ia menjelaskannya pesan moral ini dengan
merujuk Q.s. al-Mulk: 1-2; (3) mengaitkan aktualisasi pesan moral
itu dengan konteks sekarang yang dihadapi oleh masyarakat, seperti
persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang harus diselesaikan
dengan komunikasi agar memperoleh kepuasan, kerelaan, dan
kemaslahatan yang lebih luas.
Pendekatan ini bisa jadi merupakan penerapan pendekatan yang
disebutnya ma’nā-cum-maghzā, di mana makna awal (historical
81Sahiron Syamsuddin, al-Qur`an, 46-47.
82Sahiron Syamsuddin, al-Qur`an, 48.
83Sahiron Syamsuddin, al-Qur`an, 49-50.
131
meaning) tidak begitu saja diklaim sebagai satu-satunya makna yang
relevan untuk sekarang, sebagaimana kecenderungan penafsiran
Salafisme, melainkan dimaknai secara kontekstual (contextual
meaning) dengan menarik pesan moral yang kemudian dianggap
relevan untuk konteks sekarang. Tidak juga ia menafikan makna
awal, melainkan makna itu tetap dipertahankan dan dijadikan
sebagai titik-tolak bagi pemaknaan baru.
2. Pendekatan Ma’nā-Cum-Maghzā atas al-Qur`an: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer karya
Sahiron Syamsuddin et.al.
Buku ini merupakan bungai rampai (antologi) yang ditulis oleh
beberapa penulis dan diterbitkan atas inisiasi Asosiasi Ilmu al-Qur`an
dan Tafsir se-Indonesia (AIAT). Buku ini berisi pada bagian pertama
sebanyak dua tulisan Sahiron yang berisi uraian tentang pendekatan
ma’nā-cum-maghzā dan aplikasinya pada persoalan klaim kebenaran
(Q.s. al-Baqarah: 111-113). Pada bagian selanjutnya, dikemukakan
penafsiran dengan menerapkan pendekatan ini pada sejumlah
isu yang ditulis oleh sejumlah penulis. Isu-isu yang dibahas dari
perspektif al-Qur`an memiliki ruang-lingkup cukup luas, yaitu:
klaim kebenaran agama (Q.s. al-Baqarah: 111-113), milk al-yamīn
reproduksi dalam rumah tangga (Q.s. al-Baqarah: 233), poligami
makna ahl dan relevansinya dengan otoritas sarjana di Indonesia
kepemimpinan perempuan (Q.s. al-Naml: 22-41), tentang mati syahid
33: 59), agency perempuan (Q.s. al-Baqarah: 223), kontekstualisasi
makna ‘iddah
116), ideal-moral di balik nikah beda agama (Q.s. al-Baqarah: 221),
132
kisah penghancuran berhala oleh Ibrahim (Q.s. 21: 57-58), dan jihad
dalam membela agama.
Sebagai contoh penafsiran, salah seorang penulis, Ghufron
Hamzah mengemukakan penafsiran tentang hukum potong dalam
dengan mengemukakan beberapa point penting. Pertama, apa yang
disebutnya “makna fenomenal historis” (umumnya disebutnya,
makna historis) adalah peristiwa pencurian yang terjadi pada masa
Nabi, di mana pelaku pencurian, Thu’mah, meletakkan barang curian
di rumah Zaid, sehingga Zaid tertuduh sebagai pelaku pencurian.
Ayat al-Qur`an kemudian turun untuk menjelaskan bahwa yang harus
dihukum adalah Thu’mah. Kedua, makna signifikansi fenomenal
dinamisnya adalah merujuk dari peristiwa-peristiwa pencurian yang
terjadi pada masa Khulafa’ Rasyidun, di mana para khalifah tidak
menghukum pelaku pencurian dengan memahami ayat tersebut
secara literal. Situasi menjadi pertimbangan, misalnya, Umar bin
pencurian pertama kali dan barangnya dalam penguasaannya.
Dengan memahami signifikansi fenomenal dinamis itu, didapatkan
kriteria penerapan hukum potong tangan, yaitu: (1) Harta yang dicuri
mencapai nisab yang telah ditentukan; (2) ada unsur ḥirz (barang
yang dicuri harus beruapa sesuatu yang disimpan, (3) pelaku adalah
orang sudah berkali-kali melakukan pencurian, sehingga disebut
sebagai pencuri (sāriq).84
Sebagaimana dievaluasi oleh Sahiron, tulisan-tulisan yang ada
dalam buku dengan kadar berbeda menerapkan pendekatan ma’nā-
cum-maghzā; ada yang menerapkannya secara komprehensif dan
84Ghufron Hamzah, “Kontekstualisasi Ayat Hukum Potong Tangan:
Pendekatan Ma’nā-Cum-Maghzā atas al-Qur`an: Menjawab Problematika
Sosial Keagamaan di Era Kontemporer karya Sahiron Syamsuddin, ed. Sahiron
Syamsuddin (Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata, 2020), 153.
133
ada yang hanya parsial. Penafsiran Ghufron di atas tampak telah
menerapkan prinsip-prinsip pendekatan ini.
3. Al-Qur`an dan Isu-isu Kontemporer karya Sahiron
Syamsuddin (ed.)
Karya antologi ini adalah kumpulan paper yang dipresentasikan
oleh para mahasiswa pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, dengan Sahiron Syamsuddin sebagai dosen pengampu
mata kuliah “al-Qur`an dan Isu-isu Kontemporer”. Tema-tema
yang ditulis beragam; dari pluralisme agama, radikalisme agama,
demokrasi versus khilafah Islamiyyah, jihad versus terorisme,
pemberlakuan syariah Islam, bencana alam, kelestarian lingkungan,
globang warming, biro jodoh, nikah sirri, trafficking, kepemimpinan
wanita, domestic violence, pengentasan kemiskinan, dan bunga
bank.
Tidak semua kajian dalam buku mendalam, seperti halnya
juga tidak semuanya mengkaji isu-isu tersebut dari perspektif
kajian interdisipliner dan multidisipliner. Berikut dikemukakan
beberapa contoh saja di mana pendekatan ini diterapkan. Sebagai
contoh, Abdurrahman Kiay Demak, ketika menafsirkan ayat
tentang kepimpinan dalam al-Qur`an, menerapkan pendekatan
yang mengintegrasi penekatan kontekstual, pendekatan sastrawi
(bayānī) dan pendekatan hermeneutika. Yang dimaksud dengan
pendekatan kontekstual adalah pendekatan yang bertumpu pada
analisis latar belakang ayat, khusus sabab al-nuzūl. Berdasarkan
rumah tangga, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai argumen (dalīl)
tentang keharaman kepemimpinan perempuan di ruang publik.85
Yang dimaksud dengan pendekatan sastrawi adalah penafsiran yang
menitikberatkan pada analisis kebahasaan. Berdasarkan pendekatan
85Abdurrahman Kiay Demak, “Kepemimpinan Wanita dalam Islam,” dalam
al-Qur`an dan Isu-isu Kontemporer, ed. Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: Elsaq
Press, 2011), 339.
134
ini, kata “rijāl” meski bisa bermakna “laki-laki”, konotasi maknanya
secara kontekstual adalah suami. Begitu juga, kata “qawwāmūn”
meski memiliki cakupan makna yang bidang semantiknya luas,
namun berkonotasi perlindungan, sehingga bermakna “pelindung”.86
Yang dimaksud dengan pendekatan hermeneutika di sini adalah
pendekatan yang dengan memahami setting sosial masyarakat Arab,
penafsir mencoba menegosiasikan makna ayat dengan perkembangan
kontemporer, di mana perempuan aktif di luar rumah. Atas dasar
ini, pelarangan mereka sebagai pemimpin di ruang publik menjadi
bertentangan dengan kemampuan mereka pada kenyataannya untuk
aktif di ruang publik. Penulis dalam hal ini juga menjelaskan makna
ini sangat diwarnai oleh konteks sejarah ketika disabdakan. Sabab
al-wurūd
Kisra Anusyirwan, penguasa Persia yang beragama Majusi. Oleh
secara luas kepada semua perempuan.87
86Abdurrahman, “Kepemimpinan Wanita..”, 340-352.
87Abdurrahman, “Kepemimpinan Wanita..”, 352-355.
135
BAB V
PERKEMBANGAN TAFSIR ILMIAH (AL-TAFSĪR
AL-‘ILMĪ) DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH:
DARI METODE HINGGA PRODUK TAFSIR
A. Tafsir Ilmiah al-Qur`an sebagai Bagian dari Filosofi Integrasi
Ilmu: Jejak Sang Rektor “Arsitek”, Harun Nasution
1. Integrasi Kebenaran Akal dan Wahyu (al-Qur`an)
Salah satu pemimpin yang besar pengaruhnya dalam perubahan
orientasi kajian Islam di IAIN (sebelum menjadi UIN) Syarif
Hidayatullah adalah Harun Nasution. Pembaruannya yang dianggap
penting dalam konteks memahami cikal-bakal integrasi ilmu
dalam kajian Islam di perguruan tinggi adalah diadopsi filsafat ke
dalam kurikulum bersandingan dengan ilmu-ilmu Islam normatif.
Hal ini sesuai dengan keinginannya agar Islam dipahami secara
komprehensif, tidak hanya sebagai doktrin, melainkan juga sebagai
peradaban yang, antara lain, terkait dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam.
Akal sebenarnya adalah sumber berpikir rasional yang diperlukan
dalam memahami wahyu al-Qur`an. Perdebatan tentang hubungan
antara kedua sudah lama terjadi dalam sejarah. Harun mencoba
memposisikan hubungan kedua dalam konteks pengembangan
kajian Islam di perguruan tinggi.
Secara epistemologis, dalam agama, termasuk Islam, memang
dikenal dua jenis ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang
bersumber dari wahyu (revealed knowledge) dan ilmu pengetahuan
yang bersumber dari upaya manusia (acquired knowledge), baik
melalui rasio/ akal maupun pengalaman/ empiri. Dalam pembedaan
lain, yang pertama disebut al-‘ilm al-ḥuḍūrī (meski istilah ini
136
ditekankan untuk ilmu yang diperoleh melalui pengalaman intuitif)
dan al-‘ilm al-ḥuṣūlī al-irtisāmī.
Seperti halnya dalam persentuhan awal kaum muslim dengan
filsafat Yunani, isu yang dimunculkan adalah apakah wahyu
bertentangan dengan akal. Isu ini adalah isu krusial pertama yang
harus dihadapi oleh kalangan Islam, baik teolog maupun filosof,
seperti terlihat persoalan ini begitu polemis dalam debat al-Ghazl
dengan Ibn Rusyd. Harun ingin mendudukkan isu krusial ini, seperti
kesadaran umat muslim generasi awal itu juga, dengan menjelaskan
posisi akal dan wahyu, karena menanamkan pentingnya filsafat bagi
umat Islam Indonesia harus dimulai dari menanamkan “rasionalitas”
(bukan rasionalitas murni dalam pengertian Barat).
Sebagaimana dielaborasinya dalam buku, Akal dan Wahyu
dalam Islam, akal dan wahyu sama-sama merupakan sumber ilmu
pengetahuan. Karena rasionalitas lebih sulit untuk diterima oleh
semua kalangan dibandingkan wahyu, karyanya ini fokusnya
adalah ingin membuktikan akal, baik secara normatif maupun
secara historis, diakui validitasnya dan telah diterapkan juga
dalam disiplin-disiplin ilmu keislaman sepanjang sejarah. Secara
rinci, argumen Harun adalah sebagai berikut. Pertama, al-Qur`an
bukanlah sebuah kitab suci yang lengkap yang mengatur segalanya
berkaitan dengan hidup manusia, melainkan hanya hal-hal yang
fundamental, sehingga akal merupakan hal yang niscaya untuk
diterapkan dalam ijtihd.1 Kedua, sebagai konsekuensi dari hal ini,
pemahaman atau penafsiran terhadap naṣṣ (teks) untuk kepentingan
ijtihād tersebut yang kemudian memunculkan berbagai aliran,
baik teologi, fiqh, tashawwuf, dan politik adalah hal yang harus
diapresiasi, dan semua aliran itu tidak dianggap keluar dari Islam.2
Ketiga, al-Qur`an mendorong manusia untuk menggunakan
1Lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI-Press,
1986), 25-34.
2Lihat Harun, Akal dan Wahyu, 34-38.
137
akalnya dengan berbagai ungkapan, seperti bentuk derivasi dari
‘aqala, tadabbara, tafakkara, faqiha, dan tadzakkara.3 Keempat,
secara historis, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam
adalah hasil dari penerapan akal, dimulai dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan filsafat antara abad ke-7 M hingga abad ke-8 M
hingga abad selanjutnya, meski sempat mengalami kemunduran,
sehingga muncul ilmuwan-ilmuwan Muslim di berbagai bidang.4
Kelima, secara historis juga, perkembangan “ilmu-ilmu normatif”,
atau oleh Harun disebut sebagai “kelompok ilmu-ilmu dasar”,5
seperti fiqh, teologi, filsafat, begitu juga perkembangan lebih lanjut
dalam sains dan pemikiran di era modern melalui pembaruan Islam,
adalah hasil penerapan akal, seperti penggunaan qiyās dalam fiqh,
penggunaan akal secara lebih luas oleh Mu’tazilah dalam persoalan
teologi dan etika, dan berbagai upaya harmoninasi akal—agama
dalam pemikiran filsafat, seperti pada al-Kind, al-Frb, Ibn
Miskawayh, Ibn Sn6
2. Al-Qur`an sebagai Sumber Moral
Menurut Harun, Islam harus dipahami secara integral dengan
pandangan moral, dan sumber utama moral tersebut adalah al-
Qur`an. Moralitas yang dibangun adalah moralitas yang berbasis
al-Qur`an. Dalam kajian etika, model moralitas ini disebut etika
wahyu (etika skripturalis), yaitu etika yang digali dari wahyu al-
3Lihat Harun, Akal dan Wahyu, bab IV (39-51).
4Lihat Harun, Akal dan Wahyu, bab V (52-70).
5Istilah “kelompok ilmu-ilmu dasar” sebenarnya memiliki cakupan yang
lebih luas daripada “ilmu-ilmu normatif”, karena kelompok pertama ini mencakup:
perbandingan agama, serta perkembangan modern (pembaruan) dalam ilmu-ilmu
dan Tradisi Penelitian Islam: Sebuah Perspektif”, dalam M. Deden Ridwan (ed.),
Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu (Bandung:
Nuansa Cendekia, 2001), 27.
6Lihat Harun, Akal dan Wahyu, 71-100.
138
Qur`an7 sebagai “wahyu terbaca” (waḥy matlū), seperti keadilan
(Q.s. al-Nis kalimah
ṭayyibah, Q.s. Ibrhîm: 24-25), larangan mengejek orang lain,
larangan memberi gelar buruk kepada orang lain, larangan berburuk
sangka, larangan mencari-cari kesalahan orang lain, dan larangan
t: 11-12), dan perintah
meminta izin jika ingin memasuki rumah seseorang (Q.s. al-Nr:
27-28). Etika wahyu juga digali dari “wahyu tak terbaca” (waḥy
ghayr matlūts
Nabi, “Tuhan telah menentukan Islam sebagai agamamu, maka
hiasilah agama itu dengan budi pekerti baik dan hati pemurah”.8
Bahkan, Harun menyebut ada yang disebut “norma moral”,
seperti berkata benar dan tidak berdusta. Hadits Nabi yang dikutip
menyebutkan bahwa Nabi bersabda, “Kalau benar menimbulkan
ketenangan, tetapi dusta menimbulkan kecemasan”.9 Istilah
“norma moral” yang dimaksud oleh Harun tidak identik dengan
istilah “norma etika” (ethical norm) dalam kajian semisal M. Amin
Abdullah yang isinya adalah sistem berpikir (system of thought)
yang mendasari pertimbangan berbagai pemikiran etika, baik terkait
pendidikan, lingkungan, dan sebagainya.10 Begitu juga, istilah
tersebut tidak identik dengan “norma moral” (dustūr al-akhlāq)
h Dirz dalam
disertasinya di Sorbonne, La Morale du Koran yang kemudian
diterjemahkan ke bahasa Arab ‘Abd al-Shabr Syhin dengan judul
Dustūr al-Akhlāq fî al-Qur`ān: Dirāsah Muqāranah li al-Akhlāq
al-Naẓariyyah fî al-Qur`ān (Norma Moral dalam al-Qur`an: Kajian
Perbandingan terhadap Etika Teoritis dalam al-Qur`an). Fokus kajian
7Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden: E.J. Brill, 1991), 11-12.
8Harun Nasution, Islam Ditunjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1 (Jakarta:
UI-Press, 2013), 45.
9Harun, Islam, 1: 45.
10Lihat M. Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical Norms in
Ghazali and Kant (Turki: Diyanet Vakfi, 1992), 1-3.
139
disertasi ini adalah mencoba menarik etika moral (etika teoretis)
yang ditarik intisarinya (istikhlāṣ) dari al-Qur`an. Memang, ada
kesamaan antara norma moral Harun dengan norma moral Dirz
dalam hal bahwa tidak semua perintah moral, baik dari al-Qur`an
maupun hadîts, sama tingkat universalitasnya; ada perintah moral
yang spesifik dan terbatas (partikular), dan ada juga perintah moral
yang universal yang bisa menjadi “payung” bagi perintah-perintah
etika di bawah naungannya. Larangan berdusta, sebagaimana dikutip
ts Nabi, adalah “payung” bagi perintah-perintah
moral yang lain.
Selanjutnya, Harun mengutip perkataan ‘Aisyah bahwa sifat
yang paling dibenci oleh Nabi adalah berdusta. Bahkan, Harun
mengaitkan larangan berdusta sebagai ajaran moral fundamental
yang terkait dengan esensi iman dengan mengutip hadîts Nabi bahwa
seorang mukmin boleh bersifat penakut dan pelit, tetapi sekali-kali
tidak boleh berdusta. Orang yang tidak masuk surga, menurut Nabi,
adalah orang tua yang berzina, imam yang berdusta, dan pemimpin
yang bersikap angkuh. Nabi bersabda, “Tidak terdapat iman dalam
diri seseorang yang tidak jujur dan tidaklah beragama orang yang
tidak dapat berpegang pada janjinya”. Seseorang bertanya kepada
Nabi, “Kapan kiamat terjadi?”. Nabi menjawab, “Kalau kejujuran
telah hilang”. Nabi pernah bersabda, “Jika seseorang berjanji tidak
akan membunuh seseorang lain, tetapi kemudian orang itu ia bunuh,
maka aku suci dari perbuataannya, sungguhpun yang ia bunuh itu
adalah orang kafir”. Orang pernah bertanya kepada Nabi tentang
orang yang paling mulia. Nabi menjawab, “Orang yang hatinya
bersih lagi suci dan lidahnya benar”.11
Menurut Majid Fakhry, ada yang dikenal dengan etika religius,
yaitu etika yang menggabungkan (sintesis) antara pandangan-dunia
(world-view) al-Qur`an, pandangan teologis, dan kategori-kategori
11Harun Nasution, Islam, I: 45.
140
filsafat.12 Contoh berikut bisa menggambarkan bagaimana sintesis
antara pandangan-dunia wahyu, pandangan teologis, dan kategori
filsafat dilakukan oleh Harun. Ia mengutip Q.s. al-Dzriyt: 56
berikut: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku” (terjemahan versi Kementerian
Agama).13 Terjemah yang kurang lebih sama dikemukakan oleh
M. Quraish Shihab dengan “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku.”14 Akan tetapi,
Harun menerjemahkannya sebagai berikut: “Tidak Kuciptakan jin
dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku”.15
Harun mengkritik, secara langsung atau tidak langsung,
terjemahan model Departemen (Kementerian) Agama R.I. yang
menerjemahkan ungkapan “liya’budūni” dengan “supaya mereka
menyembah-Ku”, karena dalam pandangan Harun yang mendalami
agama-agama primitif, kata “menyembah” berkonotasi, seperti
halnya pembacaan antropologis tentang hubungan patron-client,
bahwa Tuhan berhajat kepada ibadat, pengabdian, dan penyembahan
hamba-Nya. Sebagai seorang yang terdidik dalam kajian teologi,
Harun sangat menyadari akan doktrin tawḥīd bahwa Tuhan tidak
tidak memerlukan pengabdian dari hamba-Nya. Dari kritik ini, Harun
kemudian mencoba mencari pandangan-dunia al-Qur`an tentang
makna “ibadah” yang lebih filosofis, mendalam, dan perennial dalam
Islam, yaitu “menyerah, tunduk, dan menjaga diri dari hukuman
Tuhan di Hari Kiamat dengan mematuhi perintah-perintah dan
larangan-larangan Tuhan”. Jadi, ungkapan “liya’budūn” seharusnya
diterjemahkan dengan “untuk tunduk dan patuh kepada-Ku”.16
12Fakhry, Ethical Theories, 6-7.
13Tim penerjemah Departemen (Kementerian) Agama RI, Al-Qur`an dan
Terjemahnya (Surabaya: Surya Aksara, 1993), 862.
14M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 13 (Jakarta: Lentera Hati,
2009), 107..
15 Harun Nasution, Islam, Jilid I: 32, catatan kaki no. 1.
16 Harun Nasution, Islam, Jilid II, h. 33.
141
Makna ini muncul dari rujuk-silang (cross-reference) ke makna
“muslim” (tunduk) dan “muttaqī” (patuh; dengan melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya). Rujuk silang bisa
dilakukan antarayat (al-Qur`ān yufassiru ba’ḍuhu ba’ḍa), atau
dengan mempertimbangkan seluruh ayat al-Qur`an yang terkait
yang dikenal dengan tafsir tematik (al-tafsīr al-mawḍū’ī). Namun,
menariknya di sini, Harun melakukan rujuk-silang antarkonsep,
sehingga kita bisa menyebutkan bahwa ia berupaya merumuskan
secara utuh pendangan-dunia al-Qur`an.
Berbeda dengan terjemahan Departemen (Kementerian) Agama
R.I., M. Quraish Shihab tetap mempertahankan kata “ibadat” dalam
terjemahnya, “agar beribadah kepada-Ku” yang sebenarnya menjadi
sasaran tidak langsung kritik Harun. Namun, meski dengan terjemah
itu, M. Quraish Shihab dengan mengutip penafsiran Muhammad
‘Abduh, mengemukakan penafsiran yang lebih mendalam.
Menurutnya, hurup lām dalam ungkapan “liya’budūn” adalah
lām al-‘āqibah (menjelaskan kesudahan, akibat sesuatu). Dengan
demikian, “ibadah bukan hanya sekadar ketaatan dan ketundukan,
tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai
puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang
terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ia juga merupakan
dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang
memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya”.17
Harun, sebagaimana halnya M. Quraish Shihab, masuk ke
kedalaman makna secara filosofis. Mereka masuk ke dimensi
spiritualitas yang merupakan elemen yang secara perennial
menghubungkan antar berbagai ajaran-ajaran dalam al-Qur`an.
Ketundukan dan kepatuhan kelak menggema dalam pemikiran
Nurcholish Madjid yang mengatakan Islam pada intinya adalah
ketundukan dan kepatuhan, sebagai al-Islām al-’āmm, yaitu
istilah dalam distingsi Ibn Taimiyah antara “Islam umum”
17M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 13, 108.
142
(ketundukan) dan “Islam khusus” (agama Islam). Ketundukan
dan kepatuhan, bahkan, adalah perennial yang menghubungkan
antaragama. Jika diskusi ini ditarik lebih jauh ke isu teori tentang
munculnya agama, secara fenomenologis berbagai perbedaan ritus
dan keyakinan dihubungkan dari struktur fundamentalnya oleh
kesamaan dari rasa ketundukan karena perasaan akan yang “Suci”
sebagai yang misteri, dahsyat, dan mengagumkan, atau dalam
istilah Rudolf Otto, mysterium tremendum fascinan. Kesadaran
akan ketundukan adalah karena kesadaran akan numinus.18 Harun,
M. Quraish Shihab, hingga Nurcholish Madjid sama-sama
menangkapkan dimensi spiritualitas yang menghubungkan berbagai
bentuk ritual dalam Islam.
Menurut Harun, dengan “pengabdian” (liya’budūn) yang
mengandung ketundukan dan kepatuhan tersebut, maka selalu
terhubung antara berbagai bentuk ritual dalam Islam dengan tujuan
moral dan spiritual yang mendasarinya. Setiap ibadah dalam Islam
bertujuan agar roh manusia selalu terhubung dengan Tuhan, agar
roh menjadi suci. Kesucian roh itu menjadi rem bagi hawa nafsu
dari melanggar nilai-nilai moral. Shalat adalah media di mana terjadi
dialog antara Tuhan dan manusia, sehingga kesucian roh menjadi
kondisi di mana manusia bisa menghindari perbuatan-perbuatan
yang tidak baik.19 Puasa bertujuan agar manusia memiliki rasa
solidaritas kepada sesame anggota masyarakat yang lemah. Dalam
zakat, diajarkan agar mansia menjauhi kerakusan pada harta dan
memupuk persaudaraan. Dalam ibadah haji, manusia diajarkan agar
ia memiliki solidaritas antara semua manusia, baik kaya maupun
miskin, penguasa dan rakyat, karena semuanya sederajat.20
18 Lihat Rudolf Otto, The Idea of the Holy: an Inquiry into the non-rational
factor in the idea of the divine and its relation to the rational, trans. John W.
Harvey (London, Oxford, dan New York: Oxford University Press, 1958).
19 Harun Nasution, Islam, II: 31.
20Harun Nasution, Islam, II: 32.
143
B. Pemikiran tentang Metode Tafsir
1. Arah Pengembangan Tafsir Ilmiah Berbasis Psikologi Sosial
(Social Psychology): M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab adalah penulis tafsir Indonesia yang dikenal
luas, tidak hanya di Indonesia, di negeri jiran, seperti di Malaysia.
Karya-karyanya di bidang tafsir banyak dibaca luas, di antaranya
paling monumental adalah Tafsir al-Mishbah (15 volume). Di
samping itu, ia juga menulis pemikirannya tentang metode tafsir
ilmiah (al-tafsīr al-‘ilmī). Karya bestseller-nya, “Membumikan”
al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dakan Kehidupan Masyarakat,
yang pertama kali terbit pada 1992, telah memuat responnya atas
persoalan penafsiran secara ilmiah ini. Di samping itu, ia menulis
karya lain, Mukjizat al-Qur`an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan,
Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib, yang pertama kali terbit
pada 1997, yang berisi upaya pembuktian otentisitas al-Qur`an dari
perspektif penafsiran ilmiah yang disebutnya “isyarat ilmiah”.
Prinsip dan Syarat
Uraian Quraish Shihab tentang metode tafsir ilmiah lebih
cenderung hanya menunjukkan prinsip dasar dan syarat yang harus
diperhatikan, ketimbang memberikan mengemukakan metodenya,
apalagi yang baru, dalam hal ini.
Pertama, tafsir ilmiah, menurutnya, lebih ditekankan pada
upaya menunjukkan otentisitas al-Qur`an dengan menunjukkan
aspek kemukjizatannya yang tidak bisa ditandingi. Di samping
bukti kesejarahan, bukti otentisitas itu juga diperoleh dari fakta
dalam al-Qur`an sendiri. Di antara bukti dari al-Qur`an sendiri
adalah apa yang sekarang disebut sebagai kemukjizatan bilangan/
angka (al-i’jāz al-‘adadī
Sebagai contoh, huruf-huruf hijā`iyyah di awal surah yang dikenal
dengan al-ḥurūf al-muqaṭṭa’ah semuanya habis dibagi dengan 19
sesuai dengan jumlah huruf pada basmalah. Hal ini bisa dibuktikan,
144
misalnya, qāf yang merupakan ayat pertama dari surah (ke-50)
tersebut ditemukan sebanyak 57 kali (3x19). Huruf-hurup kāf, hā`,
yā`, ‘ayn, ṣād
surah ini sebanyak 798 (42x19).21
al-Qur`an dilihat sebagai kitab suci yang tujuan utama memberi
petunjuk kepada manusia (Q.s. al-Baqarah: 185), sedangkan dimensi
kemukjizatan yang diungkap melalui penjelasan ilmiah berfungsi
sebagai salah pembuktian otentisitasnya.22 Di antara bukti-bukti yang
menunjukkan fungsi al-Qur`an sebagai kitab suci yang memberi
hidayah kepada manusia, bukan sebagai kitab ilmu pengetahuan
adalah ketika seseorang datang kepada Rasulullah untuk bertanya,
“Mengapakah bulan kelihatan kecil bagaikan benang, kemudian
membesar sampai menjadi sempurna purnama?”, Rasulullah
menjawabnya dengan firman Allah swt (Q.s. 2: 189): “Mereka
bertanya kepadamu perihal bulan. Katakanlah bulan itu untuk
menentukan waktu bagi manusia dan mengerjakan haji”. Jawaban al-
Qur`an ini bukanlah jawaban ilmiah, melainkan merupakan jawaban
yang menjelaskan fungsi bulan itu, karena fungsi al-Qur`an sebagai
pemberi hidayah. Begitu juga, ketika ada pertanyaan tentang hakikat
ruh, al-Qur`an menjawabnya bahwa ruh itu adalah urusan Tuhan
dan manusia hanya diberi pengetahuan sedikit (Q.s. 17: 85). Dalam
konteks ini, al-Qur`an tidak menjelaskan hakikat ruh, melainkan-
-dengan jawaban itu—ingin memberi hidayah kepada manusia.23
Dalam menengahi berbagai kontroversi ulama berkaitan
dengan kebolehan tafsir ilmiah, ia berpendapat bahwa tafsir ini
dilakukan bukan untuk menunjukkan bahwa cabang-cabang ilmu
21M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1995), 21-22.
22Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 41-42.
23Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 51.
145
pengetahuan tersimpul dalam al-Qur`an, sebagaimana dibantah
al-Muwāfaqāt untuk
menolak tafsir ini), bukan pula untuk membenarkan teori-teori ilmiah,
melainkan dengan “diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai
dengan kemurnian dan kesucian al-Qur`an dan sesuai pula dengan
logika ilmu pengetahuan itu sendiri”.24 Yang dimaksud dengan
kemurnian al-Qur`an adalah pengakuan terhadap otentisitasnya
sebagai kalam Tuhan. Dengan demikian, menurutnya, tafsir ilmiah
adalah tafsir yang tidak berimplikasi mempertanyakan otentisitas
al-Qur`an dengan menggunakan “logika” ilmu pengetahuan dalam
pengertian prinsip-prinsip dasar, bukan teori-teori ilmu pengetahuan
yang sebenarnya bersifat relatif (nisbi).
Kedua, bagi Quraish Shihab, tafsir ilmiah bukan dengan mencari
teori ilmu pengetahuan dalam al-Qur`an, melainkan dengan sekadar
menunjukkan bahwa antara suatu ayat al-Qur`an tidak bertentangan
dengan teori ilmu pengetahuan. Ia menggunakan istilah “jiwa ayat”
(spirit) yang bermakna bahwa pernyataan ungkapan lahiriah atau
kandungan ajarannya secara langsung, melainkan kandungan
terdalam dari ayat. Di sini, menurutnya, tafsir ilmiah harus diletakkan
dalam konteks “psikologi sosial” (social psychology), bukan “sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan” (history of scientific progress).25
Dalam perspektif yang terakhir ini (scientific progress), ilmu
(sains)—berbeda dengan agama, seni, filsafat, moralitas, dan
politik—dilihat dari karakter progresifnya, di mana ada standar
yang jelas dalam peningkatan dan pengembangan. Prinsip yang
mendasarinya adalah bahwa ilmu adalah hasil upaya kolektif dari
beberapa penelitian dari berbagai generasi, misalnya, menurut
pandangan Rene Descartes (aliran rasional) di abad ke-17 metode
24Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 41.
25Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 41.
146
yang digunakan harus menjamin proses discovery dan justification.26
Jika tafsir ilmiah diletakkan dari perspektif ini, maka persoalan
tentang kebenaran akan selalu ditelaah ulang, diperbarui, hingga
menemukan suatu kebenaran. Proses relavitas sains, di mana suatu
temuan hanya benar dalam konteks karena belum ada temuan
yang membuktikannya keliru. Sifat relativitas ilmu tidak bisa
dihadapkan dengan kebenaran al-Qur`an yang sudah dianggap oleh
kaum Muslimin sebagai kebenaran final. Telaah ini, menurutnya,
hanya telaah ilmiah murni yang tidak bermuara pada upaya untuk
menyahuti kebutuhan masyarakat, dan kebutuhan mendesak
masyarakat muslim adalah petunjuk (hidayah) sesuai dengan fungsi
awal al-Qur`an. Oleh karena itu, menurut Quraish Shihab, dengan
mengutip pernyataan Malik bin Nabi, ilmu pengetahuan seharusnya
dikembangkan dari masalah dan berakhir dengan pemecahan
masalah. Dengan “psikologi sosial”, Quraish Shihab berpendapat
bahwa tafsir ilmiah tidak hanya menyuguhkan pengetahuan baru
bagi masyarakat, melainkan mewujudkan “suatu iklim yang dapat
mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu”.27
“Psikologi sosial” dalam konteks ini dimaksud oleh Quraish
Shihab adalah iklim sosial dalam hal kesiapan masyarakat secara
psikologis untuk menerima temuan ilmu pengetahuan yang digali
dari al-Qur`an. Ia mencontohkan dari kasus Galileo yang meski
temuannya sesuai dengan asas ilmu pengetahuan, namun ditentang
oleh masyarakat, menyebabkan penemunya menjadi korban.28 Ini
artinya bahwa nilai (value), khususnya kemanfaatan ilmu untuk
kepentingan manusia, menjadi syarat kebolehan dilakukannya tafsir
ilmiah sebagai sebuah penelitian. Ilmu, menurutnya, tidak bebas
nilai.
26https://plato.stanford.edu/entries/scientific-progress/#AspSciPro (17
September 2021).
27Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 42.
28Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 42.
147
Ketiga, pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk
menggalinya dari al-Qur`an, harus disertai dengan kesadaran
akan pentingnya memahami “ide yang dibawa oleh al-Qur`an”
(al-fikrah al-Qur`āniyyah), yaitu menilai secara objektif tentang
sesuatu, tanpa disertai oleh pandangan yang melemahkan, baik
karena pandangan yang didasarkan atas materi maupun atas dasar
pribadi. Quraish Shihab mengutip teori psikologi tentang fase-fase
perkembangan kejiwaan manusia dalam menilai suatu ide, yaitu:
fase pertama, menilai sesuatu berdasarkan ukuran kebendaan atau
sesuatu yang diputuskan melalui panca indera; fase kedua, menilai
sesuatu atas dasar keteladanan seseorang; fase ketiga (kedewasaan),
menilai sesuatu berdasarkan unsur-unsur yang dimiliki oleh ide
itu sendiri. Menurutnya, Q.s. 3: 144 yang berisi celaan terhadap
kaum Muslimin yang meninggalkan medan perang Uhud ketika
mendengar berita wafatnya Nabi Muhammad menunjukkan bahwa
hal itu tidak sesuai dengan ide al-Qur`an. Kaum Muslimin pada
waktu itu masih berada pada fase kedua, yaitu menilai sesuatu
berdasarkan keteladanan seseorang, bukan atas dasar objeknya
itu sendiri.29 Dengan penekanan terhadap prinsip ini, tafsir ilmiah
bukan sekadar penafsiran yang objektif, melainkan juga persoalan
kesiapan mentalitas secara psikologis untuk tidak menjustifikasi
teori ilmu pengetahuan dengan al-Qur`an karena persoalan rendah
diri (inferiority complex). Tujuan tafsir ilmiah adalah agar kaum
Muslimin menggunakan nalar pikirannya dan mendapat petunjuk
dari ayat al-Qur`an.30
Ketiga, tafsir ilmiah bertujuan untuk menjelaskan ayat al-
Qur`an dengan teori ilmu pengetahuan baru. Penafsiran tujuh langit
(sab’ samāwāt) dalam al-Qur`an dengan tujuh planet, misalnya,
adalah keliru, karena berdasarkan temuan modern, terdapat sepuluh
planet dan jutaan bintang dalam tata surya. Ini adalah sebuah
29Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 42-43.
30Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 44; 52.
148
kekeliruan. Kekeliruan lebih, menurutnya, jika seorang penafsir
memaksakan penafsirannya kepada orang lain untuk diyakini.31
Setidaknya, ada dua solusi agar penafsir tafsir ilmiah tidak terjebak
pada justifikasi teori ilmu pengetahuan dengan ayat al-Qur`an.
Solusi pertama, yaitu (1) menggunakan istilah “isyarat ilmiah”32
sebagaimana digunakan oleh para penulis Timur Tengah, dan istilah
itu digunakannya belakangan dalam karyanya Mukjizat al-Qur`an
(terbit pertama pada 1997), dibandingkan istilah “teori ilmiah”
dan “kebenaran ilmiah” yang sebenarnya pernah digunakannya
dalam karyanya, “Membumikan” al-Qur`an (terbit pertama pada
1992).33 Dalam parameter sains, tentu saja, tidak dikenal adanya
istilah “isyarat ilmiah”, karena sains bergerak misalnya dari
hipotesis, temuan/teori, dan bahkan hukum. Akan tetapi, berbeda
dengan sains, pemaparan al-Qur`an tentang fakta semesta hanya
menjadikannya sebagai sarana manusia untuk menalar tentang
Penciptanya, kesadaran yang merupakan hidayah yang dituju oleh
al-Qur`an. Atas dasar ini, sebagaimana ditegaskan Quraish Shihab,
al-Qur`an tidak menjelaskan fakta semesta itu secara detil. Solusi
kedua, daripada menggunakan teori ilmu pengetahuan, Quraish
Shihab menawarkan penggunaan pendapat para cendekiawan dan
ulama, serta hasil percobaan dan pengalaman ilmuwan. Tawaran
pernah ditawarkannya dalam karyanya, “Membumikan” al-Qur`an.34
Akan tetapi, pendapat ini tampaknya diabaikannya ketika ia menulis
karyanya, Mukjizat al-Qur`an, yang berisi penafsiran dengan
menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan modern, seperti teori
embriologi35 dan teori expanding universe (yang menyatakan bahwa
31Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 48.
32M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur`an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan,
Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 1999), 165-191.
33Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 51.
34Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 57.
35Lihat Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 57-59; Shihab, Mukijizat al-
Qur`an, 166-171.
149
alam semesta berkembang seperti balon yang sedang ditiup ke
segala arah).36 Meski demikian, ia tentu saja tidak segan memang
mengutip penelitian ilmuwan Muslim sendiri, seperti peneafsiran
kata “barzakh” (pemisah) dua laut yang disebut dalam Q.s. al-
guru besar pada fakultas sains, jurusan ilmu kelautan Universitas
Qatar.37 Quraish Shihab tampak berhati-hati ketika menafsirkan ayat
kawniyyah dengan teori ilmu pengetahuan modern, terlihat dari
penggunaan ungkapan “agaknya” (diberi dua tanda petik).38
Keempat, tafsir ilmiah tidak bertujuan untuk menolak atau
menerima teori ilmiah dengan ayat al-Qur`an, dengan beberapa
alasan: (1) jika terbukti teori itu salah, maka hal ini akan menimbulkan
cemoohan, karena dalam Q.s. 6: 108, terdapat larangan mencela
sesembahan orang kafir yang jika diaktualisasikan maknanya dalam
konteks tafsir ilmiah bermakna keharusan menghindari faktor-faktor
yang menyebabkan cemoohan terhadap al-Qur`an;39 (2) al-Qur`an
hanya menjelaskan fenomena alam secara global, tidak secara detil,
karena fungsi al-Qur`an sebagai kitab suci yang berisi petunjukan,
bukan buku ilmu pengetahuan;40 (3) membenarkan teori ilmiah
dengan ayat al-Qur`an sama dengan mewajibkan setiap Muslim
untuk mempercayai teori tersebut.41
36Lihat Shihab, Mukijizat al-Qur`an, 171-175.
37Lihat Shihab, Mukijizat al-Qur`an, 179-180.
38 Shihab, Mukijizat al-Qur`an, 175. Tampak bahwa Quraish Shihab lebih
mempercayai hasil temuan muslim dibandingan teori ilmu pengetahuan Barat
modern, meski ia sendiri berpendapat bahwa non-Muslim, bahkan dalam konteks
menafsirkan al-Qur`an sekalipun, dan tidak hanya temuan ilmiah mereka yang
digunakan untuk penafsiran, dimungkinkan selama syarat objektivitas dalam
penafsiran dipenuhi. Lihat karyanya, Kaidah Tafsir. Akan tetapi, dalam contoh
penafsiran dalam karyanya, Mukjizat al-Qur`an ini, tampak bahwa ia lebih
mempercayai temuan ilmuwan Muslim.
39Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 49.
40Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 49-50.
41Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 48.
150
Teori evolusi Darwin secara keliru, misalnya, menurut Quraish
Shihab, diberikan pembenaran oleh beberapa penafsir dengan
beberapa al-Qur`an, seperti Q.s. 71: 13-14 yang menyebut kejadian
manusia “berfase-fase” (aṭwāran) dan teori struggle for life dengan
Q.s. 13: 17. Jauh sebelum teori eveolusi Darwin dikemukakan,
Kitāb al-‘Ibar,
bahwa “manusia meningkat dari alam kera” yang sama dengan
tidak merujuk kepada ayat-ayat al-Qur`an, melainkan berdasar
penyelidikan.42
teori evolusi tidak bertentangan dengan ayat al-Qur`an, namun tidak
diberikan justifikasi dengan al-Qur`an.
Jika Quraish Shihab berpendapat bahwa tafsir ilmiah seharusnya
tidak boleh menolak, atau menerima teori ilmiah, melainkan sebatas
menjelaskan tentang tidak bertentangannya suatu teori ilmiah
dengan ayat al-Qur`an, sebenarnya bagaimana seharusnya tafsir
ilmiah dilakukan? Apa artinya dari suatu penafsiran yang yang
bertujuan hanya menjelaskan tidak bertentangan antara keduanya
itu? Ada perbedaan yang mendasar antara menerima/ menolak teori
ilmiah dengan al-Qur`an dan menjelaskan tidak bertentangan antara
keduanya. Yang pertama berakibat serius pada otentisitas al-Qur`an
sebagai sumber kebenaran mutlak, sedangkan kebenaran teori ilmu
pengetahuan adalah relatif. Sifat kedua hal ini sangat ditekankan
oleh Quraish Shihab. Berbeda dengan sikap pertama ini, sikap kedua
dianggap sebagai sikap proporsional dalam menilai sifat kedua yang
tidak berakibat pada keraguan terhadap otentisitas al-Qur`an.
“Jiwa” Ayat dan “Logika” Ilmu Pengetahuan
Salah satu prinsip atau syarat yang dikemukakan oleh Quraish
Shihab dalam penafsiran ilmiah adalah bahwa tidak ada pertentangan
antara teori, atau katakanlah, isyarat ilmiah dengan ayat al-Qur`an.
42Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 48.
151
Atas dasar ini, ia mengemukakan syarat sebagai berikut. Pertama,
“jiwa” ayat al-Qur`an tidak bertentangan dengan “logika” ilmu
pengetahuan.43 Syangnya, Quraish Shihab tidak menjelaskan lebih
lanjut tentang kedua istilah ini; apakah yang dimaksud dengan
“jiwa” tersebut adalah apa yang diistilahkan belakangan, seperti
maghzā),
yaitu makna kontekstual sebagai yang dikembangkan lebih lanjut
maka historis (historical meaning)? Tampaknya, “jiwa” ayat itu
adalah inti pengertian ayat yang diperas dari “arti dan tujuan
ayat”.44 Secara metodologis, arti adalah pengertian yang dipetik
dari redaksi ayat, sedangkan tujuan yang sering disebut dalam
tafsir disebut hadaf, sebagaimana misalnya dipahami dalam tafsir
tematik persurah (al-tafsīr al-mawḍū’ī li al-sūrah al-Qur`āniyyah),
adalah tema atau fokus yang ingin dibicarakan atau dituju oleh ayat/
surah.45 Tujuan, antara lain, bisa dipahami konteks. Pemahaman
ayat tidak boleh terlepas dari konteks awalnya. Sebagai contoh,
46 yang
umumnya dilakukan oleh sebagian cendekiawan di Indonesia untuk
membuktikan bahwa al-Qur`an berbicara tentang pelawatan ke ruang
angkasa. Menurutnya, pengutipan itu di luar konteks sesungguhnya.
Konteks yang dimaksud di sini khususnya adalah konteks susastra—
meminjam istilah Taufik Adnan Amal, khususnya konteks antarteks.
Menurut Quraish Shihab, ayat ini sebenarnya berbicara tentang
43Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 41.
44Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 54. Cetak miring dari penulis (peneliti).
45Konsep “tujuan” ini kurang lebih sama dengan “tujuan” (gharaḍ, hadaf)
miḥwaramūd
Mustansir Mir, Koherensi dalam al-Qur`an: Konsep Ishlāḥī tentang Nazhm dalam
Tadabbur-i Qur`ān, terjemah dan pengantar Wardani (Banjarmasin: Antasari
Press, 2019), 123-132.
46Ayat ini berbunyi: “Wahai sekalian manusia dan jin, bila kamu sekalian
sanggup keluar dari lingkungan langit dan bumi, maka keluarlah, larilah.
Kamu sekalian tidak dapat keluar kecuali dengan kekuatan, sedang kalian tidak
mempunyai kekuatan” (terjemah oleh Quraish Shihab, “Membumikan” al-
Qur`an, 55).
152
kehidupan akhirat yang berisi tantangan dari Tuhan kepada manusia
untuk keluar dari langit dan bumi dalam pengertian menghindari
perhitungan amal di akhirat nanti. Hal itu, berdasarkan analisis
korelasi antarayat, tidak mungkin bisa dilakukan oleh mereka.
Pengutipan itu, menurutnya, adalah di luar konteks sesungguhnya.47
Sebenarnya, dari perspektif hermeneutika Gracia, sebagaimana
ditawarkan oleh Sahiron, meski makna awal historis (historical
meaning) adalah dalam konteks kehidupan akhirat, ada makna yang
bisa dikembangkan. Namun, Quraish Shihab menganggap bahwa
makna awal sesuai konteksnya itu adalah makna satu-satunya,
terutama dilihat dari korelasi antarayat. Posisi penafsiran Quraish
Shihab dalam hal ini, menurut kategorisasi Sahiron, berada pada
posisi pandangan tentang makna bahwa bahwa makna awal adalah
makna satu-satunya.48
Tentang hubungan antara tafsir ilmiah, Quraish Shihab
menyimpulkan sebagai berikut: “Memahami kandungan al-
Qur`an dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat adakah
teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru tersimpul di
dalamnya, tetapi dengan melihat adakah al-Qur`an atau jiwa ayat-
ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorong
lebih maju”.49 Pernyataannya bahwa tafsir ilmiah bukan dengan
mencari teori-teori ilmiah dalam al-Qur`an jelas sekali adalah
ketidaksetujuan Quraish terhadap pandangan sebagian ulama klasik,
bahwa para Sahabat telah mengetahui secara memadai kandungan
al-Qur`an, dan juga ketidaksetujuannya terhadap pandangan
ulama yang menganggap bahwa dalam al-Qur`an terkandung
47Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 55-56.
48Lihat kategorisasi ini pada bagian bahasan tentang perkembangan metode
tafsir ilmiah di UIN Sunan Kalijaga.
49Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 59.
153
banyak ilmu pengetahuan.50 Pernyataannya bahwa tafsir ilmiah
seharusnya bertujuan untuk membuktikan tidak ada pertentangan
antara ilmu pengetahuan dengan al-Qur`an atau jiwa ayat-ayatnya
sebenarnya diilhami oleh kasus Galileo yang disebut oleh Quraish
Shihab sebagai bentuk kungkungan kalangan gereja terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan. Ini artinya adalah bahwa, menurut
Quraish Shihab, penafsiran al-Qur`an tidak boleh menjadi media
pengekang perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan menunjukkan
ketidakbertentangan antara al-Qur`an dan ilmu pengetahuan,
tafsir ilmiah menjadi sarana pendukung perkembangan ilmu
pengetahuan. Selama tidak ada pertentangan itu, ilmu pengetahuan
bisa berkembang. Dalam konteks ini, jelas sekali bahwa Quraish
Shihab berbicara lebih banyak pada level aksiologis, yaitu bahwa
ilmu pengetahuan harus mendukung hajat sosial dan psikologis
masyarakat.
Menurut Quraish Shihab, sebenarnya tidak ada pertentangan
antara keduanya. Pertentangan yang tampak bagi penafsir seharusnya
diukur dari pertentangan antara “jiwa” ayat dengan “logika” ilmu
pengetahuan. Lalu, apakah yang sesungguhnya yang ia maksud
dengan istilah “logika” di sini? Pertama, yang harus digarisbawahi
dari pandangan Quraish Shihab terhadap ilmu pengetahuan adalah
bahwa sifat relativitas ilmu. Ia sangat menekankan sifat ini, karena
dari aspek perkembangannya, sains silih berganti, misalnya,
pandangan tentang manusia sebelumnya dipengaruhi oleh pendekatan
yang menekankan pada konsep material, yang kemudian dibahas
secara mendalam dalam disiplin tersendiri, yaitu psikologi. Kedua,
temuan ilmu pengetahuan, menurutnya, hanya ikhtisar dari pukul
rata statistik (summary of statistical everages). Ketiga, penelitian
manusia terhadap objek yang diteliti tidak menginformasikan secara
50Jawāhir al-Qur`ān tentang
berkembangnya ilmu-ilmu pengetahuan yang digali dari al-Qur`an, seperti ‘ilm
al-ṣadaf dan ‘ilm al-lubābJawāhir al-Qur`ān
154
dalam al-Munqidz min al-Ḍalāl, tentang “tipuan” penglihatan
terhadap objek, seperti seakan benda bergerak, padahal tidak
bergerak, Quraish menimpali bahwa penyimpulan hukum dalam
ilmu pengetahuan hanya konstruksi keadaan-keadaan psikologis
(psychological states). Ilmu, simpulnya, hanya “meniliki” (meneliti),
bukan “menetapkan”.51
Dengan pandangan seperti itu, tampak jelas bahwa sangat
skeptis; seakan tidak ada teori atau hukum yang bersifat universal
dan banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologis. Pertama, adalah
hal wajar bahwa ilmu pengetahuan berkembang dan berproses
saling melengkapi; revolusi ilmu pengetahuan yang disertai
dengan perubahan paradigma (dari positivisme ke fenomenologi,
strukturalisme, dsb) dan metodologi tidak berarti bahwa disiplin
ilmu pengetahuan yang mengkaji suatu objek tertentu tidak
memiliki kontribusi yang signifikan dalam menjelaskan alam dan
manusia. Kedua, ilmu pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui
penelitian statistik yang bertumpu pada analisis kuantitatif yang
kemudian menghasilkan kesimpulan atas dasar ikhtisar rata-rata
statistik, melainkan secara beragam dikembangkan, misalnya,
dengan penelitian kualitatif. Baik penelitian kuantitatif maupun
kualitatif, meski memiliki sejumlah kelemahan, tentu memiliki
keuanggulan temuan yang bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Ketiga, subjektivisme (bahwa kebenaran pada bagaimana
individu mempersepsikan dan menyimpulkan) yang bertumpu pada
subjek tentu saja tidak seluruhnya benar, karena berbagai aliran
dalam epistemologi ilmu juga menekankan prinsip korespondensi
(kesesuaian kebenaran dengan fakta empiris) yang bertumpu pada
objek. Oleh karena itu, tugas metode dalam kerja ilmu pengetahuan
bukan sekadar “melaporkan” objek ke subjek peneliti, melainkan
juga menarik kesimpulan, temuan berupa proposisi, teori, atau
51Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 44-45.
155
bahkan hukum atas dasar reguleritas fakta yang diteliti, bukan
semakin penyimpulan mental subjek peneliti.
Apa hubungan pandangan Quraish Shihab tentang relativitas
ilmu pengetahuan dengan “logika”-nya yang tidak tidak bertentangan
dengan “jiwa” ayat? Kesimpulan besar yang dipegang oleh Quraish
Shihab adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak bertentangan dengan
al-Qur`an. Pertentangan yang tampak hanya pada “permukaan”,
dalam pengertian tidak memahami “jiwa” ayat-ayat al-Qur`an yang
dipahami dari arti, tujuan, dan konteks sesungguhnya dalam susunan
ayat atau tidak memahami teori ilmu pengetahuan dari “logika”
dalam pengertian prinsip dasarnya, bukan temuan ilmu pengetahuan
yang semata dilihat sebagai produk sekuler. Sebagai contoh, Quraish
Shihab tidak melihat ada pertentangan antara teori evolusi Darwin
tentang, misalnya, struggle for life (pertarungan untuk bertahan
hidup) atau survival for the fittest (yang paling kuat akan bertahan),
karena inti (logika) teori ini—bahwa yang kuat akan bertahan—juga
diakui oleh beberapa ayat al-Qur`an yang meski konteks semulanya
berbeda, namun mengakui prinsip yang sama, misalnya Q.s. 13:
17 “Adapun buih, maka akan lenyaplah ia sebagai sesuatu yang
tak bernilai, sedangkan yang berguna bagi manusia tetap tinggal
di permukaan bumi”. Menurut Quraish Shihab, kesalahan yang
mungkin dialami oleh penafsir adalah jika mereka menjustifikasi
teori ini dengan ayat al-Qur`an, karena ayat-ayat al-Qur`an tidak
bisa dijadikan pembenar teori ilmiah. Namun, hal itu tidak berarti
bahwa teori ini salah menurut perspektif al-Qur`an.52
Di sini, Quraish Shihab tidak melihat teori evolusi berkonsekuensi
pada agama, misalnya soal penciptaan. Kalangan evolusionis
biasanya ditentang keras oleh kalangan agamawan justru karena
implikasi teori ini bertentangan ide penciptaan (creationism) yang
52Shihab, “Membumikan” al-Qur`an, 48-49.
156
diyakini oleh penganut agama, termasuk Islam.53 Dengan demikian,
adagium Quraish Shihab, “ilmu pengetahuan tidak bertentangan
dengan al-Qur`an” harus dipahami dari konteks prinsip dasar teori
keilmuan dan prinsip universal dari ayat al-Qur`an. Jika tidak
begitu, maka akan tampak banyak pertentangan antara keduanya,
sebagaimana disaksikan dalam sejarah ketegangan antara kedua dan
dari sejumlah jerih payah para ulama dan sejumlah ilmuwan untuk
mengintegrasikannya selama berabad-abad. Adagium ini kurang
lebih sama dengan adagium yang pernah beredar di kalangan ulama
kullu mā huwa Qur`ānī ‘aqlī, wa kullu mā huwa
‘aqlī Qur`ānī), yang tentu saja harus dipahami dari prinsip-prinsip
umum yang mungkin bertemu (common ground), karena jika tidak,
betapa banyak doktrin filsafat rasional Peripatetik, seperti aliran Ibn
54
2. Pendekatan Kritik Sastra (Literary Criticism): Yusuf
Rahman
Nama Yusuf Rahman menjadi penting dalam konteks
pengembangan kajian al-Qur`an dan tafsir dari perspektif integratif,
karena ia banyak menulis tentang perkembangan kajian Barat
tentang al-Qur`an, hermeneutika, dan pendekatan sastra terhadap
al-Qur`an di samping beragam tema lain, seperti kajian tafsir al-
53Sebagaimana disebutkan sebelumnya (pada bab 1), konflik antara sains
dan agama di benak para guru/ dosen di Mesir adalah karena sains dipersepsikan
berasal dari Barat (anti-Eurocentrisme) dan pengaruh kuat ide penciptaan
(creationism) sebagai ajaran yang dianut kuat, dibandingkan pandangan bahwa
alam adalah hasil dari proses evolusi (evolutionism). Lihat Nasser Mansour,
“Science Teacher’s View of Science and Religion vs the Islamic Perspective:
Conflicting or Compatible?”, dalam Science Education 95, no. 2 (2011), 296-297.
54Polemik ini tergambar jelas dalam karya Tahāfut al-Falāsifah karya al-
Tahāfut al-Tahāfut karya Ibn Rusyd.
157
Qur`an di Indonesia, khususnya respon kaum muslimin Indonesia
terhadap hermeneutika,55 tentang tafsir dalam Majalah al-Wa’ie,56
respon ulama Aceh terhadap terjemahan al-Qur`an puitis berbahasa
Aceh,57 dan penafsiran K.H. Husein Muhammad, sang kiyai feminis,
terhadap ayat-ayat gender dalam al-Qur`an.58
Pendekatan hermeneutika dikaji oleh Yusuf Rahman tentu
saja lebih banyak diinspirasi oleh kajian disertasinya tentang
kontroversial dengan idenya tentang al-Qur`an sebagai produk budaya
(muntaj tsaqāfī). Berbeda dengan Sahiron yang mengemukakan
idenya tentang hermenutika sebagai dasar pengembangan ‘ulūm
al-Qur`ān untuk diaplikasikan secara nyata, Yusuf Rahman lebih
senang dengan memposisikan dirinya sebagai pengkaji, spectator,
sehingga pandangannya sendiri tidak tampak jelas. Namun, dari
berbagai komentar atas objek yang diperdebatkannya akan tampak
posisi keberpihakannya atas kontroversi hermeneutika yang dicoba
ditawarkan sebagai pendekatan penafsiran al-Qur`an. Dalam konteks
hal, yaitu memperkenalkan konsep wahyu sebagai proses yang
55Yusuf Rahman, “The Indonesian Muslim Responses to the Use of
Quranic Studies in Contemporary Indonesia, ed. Imam Subchi (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2015), 107-139.
56Lihat M.Taufiq Hidayat, Yusuf Rahman, dan Kusmana, “Al-Qur’an And
Radical Ideology; A Critical Study of “Al-Wa’ie” Tafsir by Rokhmat S. Labib”,
paper dipresentasikan pada ICIIS pada Oktober 20-21 2020, Jakarta.
57Lihat Munawir Umar dan Yusuf Rahman, “Respons Ulama Aceh Terhadap
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh”, dalam
Journal of Qur`an and Hadith Studies, vol. 9, no. 2 (2020): 83-102.
58Lihat Yusuf Rahman, “Feminist Kyai, K.H. Husein Muhammad: The
dalam al-Jamiah, vol. 55, no. 2 (2017): 293-326 (doi: 10.14421/ajis.2017.552.293-
326).
158
memiliki dimensi manusiawi dan kultural ketika ia diturunkan
dalam bahasa manusia (bahasa Arab) dan dalam fase-fase turunnya
secara berangsur-angsur. Hal ini berimplikasi pada pandangan
teologisnya tentang keterciptaan al-Qur`an (khalq al-Qur`ān).
Zayd adalah dalam hal metodologi dengan mengadopsi pendekatan
Barat. Fokus perhatiannya adalah menghubungkan sejarah dengan
konteks kontemporer.59 Dengan mengadopsi hermeneutika E. D.
analisis ma’nā (makna) dan maghzā (signifikansi). Dengan metode
ini, penafsiran ini tidak hanya berhenti pada makna historis, yaitu
makna yang dipahami dari konteks awal ketika ayat diturunkan yang
merupakan makna baku, melainkan juga harus mempertimbangkan
signifikansinya yang bisa berubah dalam situasi kontemporer.60
Pendekatan ma’nā dan maghzā ini (disebut ma’nā-cum-maghzā) ini
kemudian dikembangkan dan diterapkan oleh Sahiron Syamsuddin.61
Menurut survei Yusuf Rahman, dan sebagaimana juga ditulis
oleh Mustansir Mir, atas kajian-kajian tentang kandungan sastra
al-Qur`an lebih banyak melihatnya dari perspektif teologis, padahal
kajian ini bertumpu pada prinsip-prinsip kritik sastra (literary
criticism).62 Apa yang dimaksud dengan sastra itu? Ada berbagai
pandangan dan definisi yang saling berbeda. Namun, Yusuf Rahman,
59
Analyitical Study of His Method of Interpreting the Qur`an” (Montreal: McGill
University, 2001), disertasi doktor, tidak dipublikasikan, 251-252.
60Rahman, “The Hermenutical Theory..”, 248.
61Lihat karya Sahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur`an
(Yogyakarta: Nawasea, 2009), 72-86; idem, “The Qur`an on the Exclusivist
Q 2:111-113”, dalam Transformative Readings of Sacred Scriptures: Christians
and Muslims in Dialogue, ed. Simone Sinn, Dina El Omari, dan Anne Hege Grung
(Jerman: The Lutheran World Federation, 2017), 99-109.
62Yusuf Rahman, “The Quran as Literature: Literary Interpretation of the
Journal of Qur`an and Hadith Studies, vol. 1, no. 2 (2012), 23.
159
mengutip David S. Miall dan Don Kuiken, berkesimpulan bahwa
ada tiga komponen kesusastraan sebuah karya; pertama, ada varian
gaya (style) dalam teks tersebut; kedua, ada perasaan tentang sesuatu
yang dianggap tidak familiar (akrab) dalam benak pikiran pembaca;
ketiga, ada proses menginterpretasikan setelah proses kedua
tersebut.63 Dalam konteks nilai kesusastraan al-Qur`an, memang
kitab suci ini bukanlah hasil rekayasa penyair, tapi memiliki irama
(ritme). J.J. Gluck and Devin J. Stewart, misalnya, menunjukkan
keberadaan syair dan saj
nilai kesusastraan al-Qur`an itu muncul ketika seseorang mendengar
atau membaca keindahan gaya bahasa (stilistika) al-Qur`an, lalu ia
diakibatkan oleh apa yang disebutnya sebagai “sihir al-Qur`an” (siḥr
al-Qur`ān). Karakter memukau dari al-Qur`an ini yang kemudian
penyair (syā’ir), tukang tenung (kāhin), atau orang yang kemasukan
jin (majnūn).64
Kajian al-Qur`an, menurut Yusuf Rahman, seharusnya
terintegrasi dengan kajian pendekatan kritik sastra. Upaya yang
dilakukan sebagai karya pioneer, Literary Structures of Religious
Meaning in the Qur`an, yang diedit oleh Issa J. Boullata, menurut
Yusuf Rahman, sayangnya tidak disertai dengan penerapan teori
sastra modern.65
Karakteristik kajian sastra terhadap al-Qur`an adalah sebagai
berikut. Pertama, sebagaimana digarisbawahi oleh Mustansir
Mir, asumsi yang harus dipegang adalah bahwa al-Qur`an harus
63Rahman, “The Qur`an...”, 26.
64Rahman, “The Qur`an...”, 27.
65Rahman, “The Qur`an...”, 28-29. Dalam karya ini, Yusuf Rahman juga
menjadi kontributor dengan menulis tentang ḥadzf (ellipses) dalam karya Ibn
Qutaybah, Ta`wīl Musykil al-Qur`ān (lihat Issa J. Boullata, Literary Structures
of Religious Meaning in the Qur`an (Inggris: Curzon, 2000), 277-291).
160
diterima dalam bentuk final sekarang sebagai titik-tolaknya. Oleh
karena itu, persoalan tentang asal-usul (genesis) dan pengaruh yang
merupakan persoalan tentang pre-history (persoalan pra-sejarah)
teks al-Qur`an tidak menjadi isu yang dipentingkan dalam kajian
ini. Dengan demikian, kritik sastra concern pada persoalan teks yang
ada sekarang dan hubungannya dengan pembaca.66
Kedua, meski ada perdebatan tentang apakah kajian yang
biasanya diaplikasi pada Bibel seperti ini yang merupakan
pendekatan sinkronik (fokus ke teks sekarang), tidak mempersoalkan
hubungannya dengan persoalan historis (diakronik), Yusuf Rahman
cenderung menganggap bahwa baik pendekatan sinkronik dan
diakronik bisa dijembatani, karena kedua pendekatan ini bermuara
pada pemahaman terhadap teks yang sama. Dalam konteks penafsiran
sastrawi (al-tafsīr al-adabī), kedua pendekatan itu harus diterapkan.67
Ketiga, pendekatan kritik sastra fokus pada persoalan tentang
bagaimana suatu teks berkomunikasi, tidak sekadar apa yang
terkandung dalam teks. Secara teori, pendekatan sastra mengkaji
tentang hubungan antara yang mengalamatkan (addresser) dan yang
dituju (addressed). Fokus selanjutnya yang menjadi perhatian adalah
teknik atau medium yang digunakan dalam mengkomunikasikan
pesan itu. Yusuf Rahman mencontohkan melalui buku antologi kajian
ini yang diedit oleh Issa J. Boullata, misalnya: proses komunikasi
dalam al-Qur`an (Angelika Neuwirth and A. Johns), tentang susunan
surah-surah (unit struktural dalam kajian A.M. Zahniser dan fitur
formulaik dalam kajian A. T. Welch), unsur-unsur sastra dalam al-
Qur`an (“ironi” dalam kajian Mustansir Mir dan ellipsis [ḥadzf]
dalam kajian Yusuf Rahman sendiri, dan majāz dalam kajian Kamal
Abu-Deeb).68
66Rahman, “The Qur`an...”, 29.
67Rahman, “The Qur`an...”, 29-30.
68Rahman, “The Qur`an...”, 31.
161
Ada beberapa aliran atau teori dalam kajian kritik sastra. Pertama,
mimetik, yaitu aliran/ teori yang mengatakan bahwa sebuah karya
sastra adalah tiruan terhadap dunia dan tugas pendekatan kritik sastra
kemudian adalah menilainya dalam hal keakuratan representasi
dunia itu yang tercermin pada karya ini. Kedua, pragmatik, yaitu
suatu aliran/ teori yang memusatkan kritik sastranya dengan berpusat
pada pembaca dengan mengevaluasi sejauhmana suatu karya sastra
berpengaruh terhadap pembacanya. Ketiga, ekspresif, yaitu suatu
aliran/ teori yang mengkaji suatu karya sastra dengan berpusat pada
penulis dalam sejauhmana karya itu merepresentasi pandangan dan
pemikiran penulisanya.69
Dunia
Karya
Seniman Pembaca
Yusuf Rahman mencatat bahwa sekarang ada pergeseran kajian
kritik sastra dari berpusat pada penulis ke berpusat pada pembaca.
Dengan kajian kritik sastra seperti ini, maka—seperti pada kajian
kritik Bibel—beberapa pertanyaan kritis yang sama juga ditujukan
kepada al-Qur`an. Yusuf Rahman menyadari tantangan berat yang
dihadapkan kepada al-Qur`an yang selama ini, terutama bagi
kalangan Muslim sendiri, dianggap sebagai “teks suci”. Ada sekian
banyak aliran dalam kritik sastra yang mungkin bisa mempertanyakan
otoritas teks al-Qur`an, baik yang berlatarbelakang ideologi feminis,
Marxis, maupun teologi pembebasan yang kesemuanya merupakan
“ideologi-ideologi oposisional”. Di tengah kemungkinan keraguan
69Rahman, “The Qur`an...”, 32.
162
kaum uslim terhadap penafsiran yang tak ada batas kebenarannya
ini, Yusuf Rahman mencoba untuk menjernihkan bahwa soal
penafsiran bukanlah soal otentisitas teks, melainkan soal penafsiran
yang subjektif yang dilakukan seseorang dengan latar belakang
ideologisnya. Teks tidak menentukan maknanya sendiri. Pembacalah
yang mementukan maknanya. Dalam kajian kritik sastra, tidak ada
standar universal yang bisa mengukur kebenaran penafsiran.70
Sayangnya, Yusuf Rahman tidak memberikan solusi lebih
lanjut terhadap persoalan relativitas penafsiran yang tidak mengenal
standar baku ini, meski ia sebelumnya telah mengemukakan solusi
atas bahaya penggugatan terhadap otentisitas teks, seperti yang
dialami dalam kajian Bibel. Yusuf Rahman tidak mengkhawatirkan
hal itu. Bahkan, ia melihat potensi yang besar dari kajian kritik sastra
ini jika diterapkan terhadap al-Qur`an, yaitu untuk menghilangkan
monopoli penafsiran oleh seseorang atau sekelompok aliran. Kajian
kritik sastra, menurutnya, menjaga kontrol komunitas penafsir
(interpretive communities), sehingga ada penafsiran yang berbasis
pada pembaca. Tentu saja, Yusuf Rahman setuju dengan prinsip
kajian kritik sastra bahwa al-Qur`an bukan kitab suci teologis yang
nilai sastranya dijelaskan secara teologi, melainkan juga kitab sastra
(literature), seperti keyakinan Mustansir Mir.71
Kesimpulan ini senada dengan kesimpulan, misalnya, yang
dikemukakan oleh Nurkholish Setiawan yang banyak mengkaji
tentang kandungan sastra al-Qur`an di tangan penulis muslim
bahkan yang terbesar.72 Kesimpulan Yusuf Rahman dengan jelas
menunjukkan keberpihakan terhadap pendekatan-pendekatan Barat
70Rahman, “The Qur`an...”, 34.
71Rahman, “The Qur`an...”, 35-36.
72Lihat M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur`an: Kitab Sastra Terbesar
(Yogyakarta: Elsaq, 2006).
163
dalam penafsiran al-Qur`an. Baginya, Barat memiliki sejarah yang
panjang, yang tidak hanya dicatat sebagai “sejarah kelam” kajian
yang ideologis, melainkan secara beragam, juga diwarnai kajian
yang menjanjikan untuk diterapkan dalam penafsiran al-Qur`an.
Hal ini sejalan dengan penilaiannya terhadap kontestasi kajian
al-Qur`an di Indonesia yang diwarnai oleh polemik, misalnya,
antara kelompok Insist (yang didominasi oleh lulusan ISTAC
Malaysia) dengan keolompok akademisi berpendidikan Barat yang
mengajurkan pendekatan Barat, seperti hermeneutika, sebagaimana
ditawarkan oleh M. Amin Abdullah dan Sahiron Syamsuddin. Yusuf
Rahman menilai bahwa kajian Barat ada yang bersifat tradisionalis
dan revisionism sehingga penilaian terhadap kajian-kajian mereka
juga tidak secara serta merta sama.73 Bahkan, Yusuf Rahman,
dengan megutip pernyataan Gabriel Said Reynolds, perkembangan
mutakhir kajian al-Qur`an di Barat menunjukkan perkembangan
yang menggembirakan, yaitu memasuki masa keemasan (the golden
age), di mana Barat berkolaborasi dengan sarjana Muslim dalam
berbagai proyek keilmuan dan pertemuan-pertemuan ilmiah.74
C. Produk-Produk Tafsir Ilmiah (al-Tafsīr al-‘Ilmī)
Produk penafsiran yang dihasilkan oleh para akademisi UIN
Syarif Hidayatullah cukup banyak. Di antara penulis yang paling
produktif adalah M. Quraish Shihab yang karya-karyanya telah
dibaca luas oleh masyarakat perguruan tinggi dan masyarakat
umumnya. Daftar karyanya adalah sebagai berikut:
73Lihat Yusuf Rahman, Pendekatan Tradisionalis dan Revisionis dalam
dalam Journal of Qur`an and Hadith Studies, vol. 4, No. 1, (2015): 129-145.
74Lihat Yusuf Rahman, “Trend Kajian al-Qur`an di Dunia Barat”, dalam
Jurnal Studia Insania, vol. 1, no. 1 (2013), 5.
164
NO PENULIS JUDUL KATEGORI
TULISAN
KATEGORI
KAJIAN
PENDE-
KATA N
1. M. Quraish
Shihab
Tafsir al-Manr, Keistimewaan
dan Kelemahannya
Buku Ilmu tafsir komparatif
Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir
Surat al-Fatihah)
Buku Tafsir, 1988
Tafsir al-Amanah Buku, 1992 Tafsir Global
“Membumikan” al-Qur’an:
Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat
Buku, 1992 Tafsir dan
ilmu tafsir
Untaian Permata Buat Anakku:
Pesan al-Qur’an untuk Mempela
Buku, 1995 tafsir Tahlili
Wawasan al-Qur’an: Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat
Buku, 1996 tafsir tematik
Tafsir al-Qur’an al-Karim Buku, 1997 tafsir
Mukjizat al-Qur’an Buku, 1997 tafsir
Menyingkap Tabir Ilahi: -Asmā’
al-Husnā dalam Perspektif al-
Qur’an
Buku, 1998 tafsir tematik
Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab
Seputar Qur’an & Hadis
Buku, 1999 Ulum al-
Secercah Cahaya Ilahi: Hidup
Bersama al-Qur’an
Buku, 1999 Tafsir global
Tafsir al-Mishbah Buku, 2000 Tafsir Tematik
persurah
Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah Buku, 2004 Tafsir /
campuran
Perempuan: dari Cinta Sampai
Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai
Nikah Sunnah, dari Bias Lama
Sampai Bias Baru
Buku, 2005 Tafsir/
campuran
Kehidupan Setelah Kematian:
Surga yang Dijanjikan al-Qur’an
Buku Tafsir/
campuran
Wawasan al-Qur’an tentang Zikir
dan Doa
Buku, 2006 Tafsir tematik
Menabur Pesan Ilahi: al-Qur’an
dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat
Buku, 2006 Tafsir global
Ayat-ayat Fitna: Sekelumit
Keadaban Islam di Tengah
Purbasangka
Buku, 2008 Tafsir tematik
165
NO PENULIS JUDUL KATEGORI
TULISAN
KATEGORI
KAJIAN
PENDE-
KATA N
al-Lubab: Makna, Tujuan, dan
Pelajaran dari al-Fatihah dan Juz
‘Amma
Buku, 2008 tafsir
(inti
petunjuk)
Berbisnis dengan Allah: Tips Jitu
Jadi Pebisnis Sukses Dunia-
Akhirat
Buku, 2008 Tafsir tematik
Membumikan al-Qur`an Jilid 2 Buku, 2011 Tafsir dan
Qur`an
Campuran
2. M. Yunan
Yusuf
Corak pemikiran kalam Tafsir
al-Azhar: sebuah telaah tentang
pemikiran Hamka dalam teologi
Islam
Buku, 1990 Studi tafsir Historis
Qalbun Salim Buku Tafsir
Tafsir al-Qur`an Juz XII al-
Matsula
Buku Tafsir
Buku Tafsir
Tafsir Juz XXIV Rafi’ud Darajat,
dll
Buku Tafsir
3. Salman
Harun
Mutiara al-Qur`an Buku, 2004 Tafsir dan
ilmu tafsir
Mustafid karya Syekh Abdurrauf
Singkel
Disertasi,
1988
Studi tokoh Historis
A rule-based question answering
system on relevant documents of
Indonesian Quran Translation
Paper
konferensi,
2014
(co-author)
Studi
terjemah
al-Qur`an
Kaidah-kaidah Tafsir Buku, 2017 Ilmu tafsir
Tafsir Tarbawi; Nilai-nilai
Pendidikan dalam Al-Qur’an
Buku, 2013 Tafsir Tematik
Perkembangan saintifik ilmu
Qawa’id al-tafsir
Artikel,
2014
Ilmu tafsir Historis
Pintar Bahasa Arab Al-Qur’an:
Cara Cepat Belajar Bahasa Arab
Agar Paham Al-Qur’an
Buku, 2013 Ilmu tafsir Tematik
Morfologi kosakata al-Qur’an Buku, 1992 Ilmu tafsir Tematik
Surah Al-Baqarah 6-22 dan
Nilai-Nilai Pendidikan yang
Dikandungnya
Artikel, 2008 Tafsir Tematik
(tarbawi)
166
NO PENULIS JUDUL KATEGORI
TULISAN
KATEGORI
KAJIAN
PENDE-
KATA N
Peranan guru agama Islam dalam
pencapaian kompetensi membaca
al-Qur’an pada siswa Madrasah
Tsanawiyah Islamiyah Ciputat
Artikel, 2013 Studi al-
Qur`an di
masyarakat
Historis
4. Yusuf
Rahman
Qur`anic Prescription to Sustain
Social Cohesion: A Thematic
Discussion
Paper
konferensi,
2018
Tafsir Tematik
Al-Qur’an And Radical Ideology;
A Critical Study of “Al-Wa’ie”
Tafsir by Rokhmat S. Labib
Paper
konferensi,
2020
(co-author)
Studi tafsir Kritis
Feminist Kyai, K.H. Husein
Muhammad: The Feminist
Interpretation on Gendered Verses
Artikel, 2017 Studi tokoh Historis
The Qur’an as Literature:
Literary Interpretation of the
Qur’an
Artikel, 2012 Ilmu tafsir Historis
The Hermeneutical Theory
of Nasr Hamid Abu Zayd: An
Analytical Study of His Method
of Interpreting the Qur’an
Disertasi,
2001 (tidak
dipubli-
kasikan)
Ilmu tafsir Historis
5 Kusmana Epistemologi Tafsir Maqashidi Artikel, 2016 Ilmu tafsir
Kodrat Perempuan dan al-
Qur`an dalam Konteks Indonesia
Modern: Isyarat dan Persepsi
Artikel, 2020 Studi tafsir
The Qur`an, Woman, and
Nationalism in Indonesia: Ulama
Perempuan’s Moral Movement
Artikel, 2019 Studi tafsir
Pendekatan Tradisionalis dan
Revisionis dalam Kajian Sejarah
Pembentukan Al-Qur’an dan
Tafsir pada Masa Islam Awal
Artikel, 2015 Kajian
pendekatan
orientalis
Historis
Respons Ulama Aceh Terhadap
Al-Qur’an Al-Karim dan
Terjemahan Bebas Bersajak dalam
Bahasa Aceh
Artikel, 2020
(co-author)
Kajian living
Qur`an
Al-Qur’an And Radical Ideology;
A Critical Study of “Al-Wa’ie”
Tafsir by Rokhmat S. Labib
Paper
konferensi,
2020
(co-author)
Studi tafsir Kritis
167
Dari tabel di atas, tampak bahwa karya-karya yang ditulis oleh
para akademisi UIN Syarif Hidayatullah lebih banyak berupa ulasan
terhadap pemikiran tentang pemikiran metodologi tafsir. Hanya
sedikit yang menulis tafsir (produk penafsiran), kecuali dalam bentuk
artikel, sebagaimana ditulis oleh Salman Harun, Yusuf Rahman, dan
Kusmana (dua penulis terakhir menulis sebagai penulis bersama,
co-author). Penafsiran banyak ditulis oleh M. Quraish (di samping
ia juga menulis tentang metode tafsir) dan M. Yunan Yusuf. Tidak
ada penafsiran yang menerapkan perspektif interdisipliner atau
multdisipliner. Tafsīr Tarbawī yang ditulis oleh Salman Harun hanya
merupakan kajian tafsir pada aspek kependidikan, bukan dengan
pendekatan pendidikan. Di sisi lain, karya M. Quraish Shihab,
Mukjizat al-Qur`an, memuat penafsiran secara ilmiah. Karya ini
ditulis pada tahun 1997. Itu artinya bahwa tahun ini merupakan
kondisi awal proses perubahan status IAIN Syarif Hidayatullah.
Pada 1988, kampus ini menjadi IAIN dengan kewenangan atau
mandat lebih luas (with wider mandate). Selanjutnya, pada tahun
2002, secara resmi, IAIN Syarif Hidayatullah beralih status menjadi
UIN Syarif Hidayatullah. Oleh karena itu, karya ini harus dilihat
sebagai karya yang sedikit banyak diilhami oleh iklim perubahan
status itu dan bisa dianggap sebagai indikator keberhasilan integrasi
ilmu di kampus ini. Di sisi lain, 1997 adalah awal masa jabatan yang
kedua bagi M. Quraish Shihab sebagai rektor. Dengan posisinya
sebagai rektor di era berbagai proses pertimbangan alih status itu,
tentu saja, karya ini sedikit banyak diproyeksikan untuk menjadi
dasar integrasi ilmu.
1. Mukjizat al-Qur`an karya M. Quraish Shihab
Buku ini ditulis oleh M. Quraish Shihab tidak untuk sekadar
menunjukkan keistimewaan al-Qur`an yang banyak dilakukan
oleh beberapa penulis yang menurut M. Quraish Shihab cenderung
menutup petunjuk al-Qur`an, padahal tujuan utama diturunkannya
al-Qur`an adalah untuk memberi petunjuk kepada manusia. Atas
168
dasar ini, ia mencoba memisahkan uraian tentang mukjizat al-
Qur`an dari kecenderungan subjektivitas pada penulis yang hanya
mengklaim temuan ilmiah secara apologis.75
Karena temuan ilmiah bersifat nisbi, sedangkan al-Qur`an
memiliki kebenaran mutlak, maka ia menggunakan istilah “isyarat
ilmiah”,76 untuk tidak mengatakan “teori ilmiah” atau teori ilmu
pengetahuan. Kedua istilah ini, tentu saja, berbeda; yang pertama
tidak dimaksudkan bahwa temuan ilmu pengetahuan ada sebelumnya
dalam al-Qur`an, seperti menjadi klaim kalangan apologis, sedangkan
istilah kedua merupakan formulasi temuan ilmu pengetahuan yang
jika dikatakan ditemukan dalam al-Qur`an, akan berimplikasi bahwa
al-Qur`an membenarkan atau menjustifikasi teori-teori tersebut.
Jenis kemukijizatan al-Qur`an (i’jāz al-Qur`ān) yang dijelaskan
dalam karya ini meliputi kemukjizatan dari aspek kebahasaan (al-
i’jāz al-lughawī), dari aspek isyarat ilmiah (al-i’jāz al-‘ilmī), dari
aspek pemberitaan gaib, dari aspek fungsinya sebagai pemberi
petunjuk, baik dalam hal akidah maupun syariat,77 dan dari aspek
pengaruh al-Qur`an terhadap kejiwaan manusia, seperti pada kasus
78
Kemukjizatan al-Qur`an yang relevan dikemukakan di sini
dalam konteks integrasi ilmu adalah kemukjizatan dari aspek isyarat
ilmiah al-Qur`an, karena dengan begitu akan jelas penggunaan
sumber ilmu pengetahuan dalam menafsirkan ayat al-Qur`an.
Sebagai contoh, ketika menafsirkan ayat-ayat tentang reproduksi
manusia, M. Quraish Shihab merujuk kepada tiga ayat, yaitu:
75Shihab, Mukjizat al-Qur`an, 8.
76Shihab, Mukjizat al-Qur`an, 165 dst.
77Shihab, Mukjizat al-Qur`an, 222-231.
78Shihab, Mukjizat al-Qur`an, 232.
169
Apakah manusia mengira bahwa ia akan ditinggalkan begitu saja
(tanpa pertanggungjawaban)? Bukankah dia dahulu nuthfah dari
mani yang dituangkan (ke dalam rahim), kemudian ia menjadi
‘alaqah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya?
Lalu Allah menjadikan darinya sepasang lelaki dan perempuan?
(2) Q.s. al-Najm: 45-46
Dan bahwa sesungguhnya Dialah yang menciptakan berpasang-
pasangan, lelaki dan perempuan, dari nuthfah apabila
dipancarkan.
Maka terangkanlah kepada-Ku tentang apa yang kamu pancarkan
(mani). Kamukah yang menciptakan atau Kami?
Menurut M. Quraish Shihab, nuthfah adalah bagian kecil dari
mani. Kemudian, Quraish menganalisisnya dari segi kebahasaan,
yaitu bahwa nuthfah dalam bahasa al-Qur`an bermakna “setetes
yang dapat membasahi”. Karena nuthfah adlah bagian kecil dari
mani, maka kemudian ia menyelaraskan dengan penjelasan ilmu
pengetahuan bahwa berdasarkan temuan ilmu pengetahuan pada
abad ke-20 M, mani berisi 200.000.000 benih manusia, dan yang bisa
bertemu dengan ovum hanya satu saja. Inilah yang disebut dalam
al-Qur`an dengan ungkapan “nuthfah dari mani yang memancar”
dalam Q.s. al-Baqarah: 37.79
Selanjutkan, berdasarkan Q.s. al-Najm: 45-46, diinformasikan
oleh al-Qur`an bahwa setetes nuthfah tersebut adalah cikal-bakal
penciptaan manusia, lelaki dan perempuan. Menurut M. Quraish
Shihab, adanya penyebutan dua jenis kelamin ini dibuktikan dengan
temuan ilmu pengetahuan, bahwa mani mengandung kromosom
lelaki yang dilambangkan dengan “Y” dan kromosom perempuan
yang dilambangkan dengan “X”. Berdasarkan penjelasan ilmiah,
jika membuahi ovum adalah adalah kromosom Y, maka anak yang
dikandung adalah lelaki, sedangkan jika yang membuahi ovum
79Shihab, Mukjizat al-Qur`an, 168.
170
adalah X (X bertemu X), maka jenis kelamin janin adalah perempuan.
Dengan demikian, yang menentukan jenis kelamin adalah nuthfah
yang dituangkan oleh sang ayah.80
Ayat lain yang “mengisyaratkan” proses pembuahan oleh
lelaki terhadap perempuan adalah ayat yang berbunyi “Istri-istrimu
adalah ladang untukmu, maka garaplah ladangmu bagaimana kamu
kehendaki” (Q.s. al-Baqarah: 223). Menurut M. Quraish Shihab,
perumpamaan perempuan sebagai ladang merupakan kiasan bahwa
dalam proses pembuahan, yang menentukan adalah petani (lelaki),
bukan ladang (perempuan).81
Selanjutnya, pertemuan antara sperma dengan ovum disebut
oleh al-Qur`an dengan nuthfah amsyāj sebagaimana disebut dalam
amsyāj (maknanya: bercampur) adalah
bentuk jamak dari masyaj. Kata nutfah sendiri adalah bentuk
tunggal, jamaknya adalah nuthaf. Dari segi gramatikal, ungkapan
nuthfah amsyāj adalah keliru karena kata nuthfah adalah tunggal,
sedangkan amsyāj adalah jamak, yaitu sebuah kontruk ungkap
sifat dan yang disifati yang sekilas adalah keliru. Menurut kaidah
dalam bahasa Arab, jika suatu sifat berbentuk jamak, maka hal itu
menunjukkan bahwa sifat tersebut mencakup seluruh bagian kecil
dari yang disifatinya. Atas dasar kaidah ini, bisa disimpulkan bahwa
bahwa sperma dan ovum itu tidak sekadar bercampur, melainkan
percampuran kedua begitu menyatu. Dengan menggunakan temuan
ilmu pengetahuan, khusus embriologi, Quraish menjelaskan bahwa
ungkapan dalam ayat tersebut bermakna percampuran antara sperma
dan ovum yang masing-masing memiliki 46 kromosom.82
nuthfah itu kemudian menjadi ‘alaqah. Apakah yang dimaksud
80Shihab, Mukjizat al-Qur`an, 168.
81Shihab, Mukjizat al-Qur`an, 169.
82Shihab, Mukjizat al-Qur`an,169-170.
171
oleh al-Qur`an dengan ‘alaqah ini? Pertama, M. Quraish Shihab
menganalisisnya dari semantik akar kata, yaitu bahwa makna
asalnya (dari kata ‘aliqa) bermakna “tergantung/ melengket”. Al-
Qur`an menjelaskan ungkapan ini ketika menguraikan tentang proses
reproduksi manusia, yaitu ketika nuthfah tersebut telah melengket di
dinding rahim.83 Akan tetapi, berkaitan dengan fase perkembangan
proses reproduksi manusia ini, M. Quraish Shihab tidak merujuk
ke suatu penjelasan embriologi.
2. Rangkaian Paper di Pertemuan Quran and Hadits Academy
Society (QUHAS)
Asosiasi keilmuan ini sebenarnya berinduk dari pascarsajana
UIN Syarif Hidayatullah. Pertemuan yang diinisiasi oleh asosiasi
ini, misalnya, bersama Asosiasi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir (AIAT)
yang digagas oleh Sahiron Syamsuddin dari UIN Sunan Kalijaga.
Secara kelembagaan, tentu saja, baik QUHAS maupun AIAT berada
di luar struktur perguruan tinggi. Itu artinya bahwa baik secara
personil maupun program, asosiasi keilmuan ini bersifat mandiri
maupun terlibat dalam kegiatan-kegiatan kampus. Oleh karena itu,
dilihat dari aspek formal kelembagaan ini, pemikiran dan kegiatan
yang berkembang tidak secara otomatis dianggap sebagai bentuk
implementasi dari filosofi integrasi yang dicanangkan di kedua
perguruan tinggi ini. Umumnya, kegiatan-kegiatan yang mereka
lakukan di samping publikasi, juga dalam bentuk pertemuan ilmiah,
seperti konferensi dengan mengundang penulis/ presenter dari
berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini adalah salah sisi
lain yang menguatkan bahwa kedua asosiasi keilmuan ini tidak bisa
diklaim sebagai implementasi integrasi ilmu di kedua perguruan
tinggi.
83Shihab, Mukjizat al-Qur`an, 170-171.
173
BAB VI
POLA INTEGRASI ILMU YANG DIKEMBANGKAN
A. UIN Maliki Malang
1. Paradigma al-Qur`an
Pertama, secara historis, istilah “paradigma al-Qur`an” dalam
konteks perkembangan wacana keilmuan Islam di Indonesia
dikemukakan oleh Kuntowijoyo dalam karyanya, Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi, di mana di dalamnya, ia mengembangkan
integrasi ilmu antara tafsir dan ilmu sosial melalui “paradigma
al-Qur`an”. Istilah “paradigma” merujuk kepada pengertian,
sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Kuhn dalam The Structure of
Scientific Revolution, bahwa pada dasarnya, realitas sosial dikonstruk
oleh “cara berpikir” (mode of thought) atau “cara meneliti” (mode
of inquiry) tertentu, yang pada gilirannya akan melahirkan “cara
mengetahui” (mode of knowing) tertentu pula.1 Dengan demikian,
paradigma al-Qur`an adalah “suatu konstruksi pengetahuan yang
memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana al-Qur`an
memahaminya”. Pandangan Kuntowijoyo tentang paradigma al-
Qur`an yang bisa digunakan dalam perumusan teori didasarkan atas
pandangannya tentang fungsi al-Qur`an. Menurutnya, al-Qur`an
pada level awal memiliki fungsi sebagai petunjuk, atau lebih tepatnya
“hikmah” yang bisa kita peroleh darinya, untuk mengatur perilaku
kita secara normatif, baik pada level moral maupun sosial. Akan
tetapi, menurutnya, konstruksi pengetahuan itu ternyata juga bisa
digunakan untuk merumuskan desain besar (grand design) tentang
sistem Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, al-Qur`an
1Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2017), 357. Bandingkan dengan pengertian paradigm dalam George
Ritzer, Sociology: A Multiple Paradigm Science, terj. Alimandan (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), 1-9.
174
tidak hanya berfungsi sebagai kerangka rujukan etis (aksiologis),
melainkan juga epistemologis.2
Dari perspektif ‘ulūm al-Qur`an, kajian Zenrif ini terhadap al-
Qur`an lebih cenderung memposisikan al-Qur`an sebagai kitab suci
yang tidak sekadar berisi petunjuk (kitāb hidāyah), melainkan lebih
dari itu, berdasarkan kategorisasi fungsi al-Qur`an menurut ‘Abd
(kitāb i’jāz), khususnya kemukjizatan ilmiah (al-i’jāz al-‘ilmī).3
Secara epistemologis, “paradigma al-Qur`an”, baik yang
ditawarkan oleh Kuntowijoyo maupun oleh Zenrif, di mana penulis
yang disebut terakhir terpengaruh dengan Kuntowijoyo, sebenarnya
integrasi pada tataran epistemologi ilmu. Secara teori, fungsionalisasi
al-Qur`an dalam konteks integrasi ilmu bisa diklasifikasikan: (1)
fungsi al-Qur`an dalam perumusan hakikat ilmu, (2) fungsi al-
Qur`an dalam perumusan teori (theory building), metode dan sumber
ilmu, dan (3) fungsi al-Qur`an sebagai rujukan nilai.4 “Paradigma
al-Qur`an” adalah konsep integrasi yang ditawarkan oleh Zenrif
dalam fungsionalisasi al-Qur`an dalam konteks perumusan teori
(theory building).
Zenrif menganggap bahwa antara al-Qur`an dan ilmu
pengetahuan, tidak terjadi konflik atau pertentangan, melainkan
integrasi. Pemikiran integralisme antara keduanya tampak dari
pernyataannya bahwa ayat-ayat al-Qur`an bisa menjelaskan berbagai
cabang ilmu, sebagaimana, misalnya, dibuktikan bahwa penafsiran
2Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 357.
3Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-
Qur`ān
4Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007); idem, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2017. Tentang contoh penerapan perspektif
ini dalam kajian integrasi ilmu, lihat, Wardani, “Posisi al-Qur`an dalam Integrasi
Ilmu: Telaah terhadap Pemikiran Kuntowijoyo dan M. Dawam Rahardjo, dalam
Nun, vol. 4, no. 1 (2018), 107-157.
175
para ulama terhadap ayat-ayat al-Qur`an dari perspektif keilmuan
ilmu-ilmu pengetahuan modern, seperti ilmu alam seperti diungkap
oleh Ahmad Baiquni dan Harun Yahya, seni dan sastra sebagaimana
ilmu ekonomi sebagaimana antara lain ditunjukkan oleh Afzalur
Rahman.
Dari perspektif model integrasi Ian Barbour, integrasi yang
dikembangkan oleh Zenrif adalah sejenis teologi tentang alam
(theology of nature) dalam pengertian bahwa teologi (agama,
dalam hal ini al-Qur`an) menjelaskan tentang fenomena alam yang
memunculkan ilmu-ilmu yang digali dari al-Qur`an. Dalam konteks
seperti ini, al-Qur`an menjadi sumber ilmu pengetahuan, tidak hanya
ilmu-ilmu normatif melainkan juga ilmu-ilmu kealaman dan sosial.
Ayat-ayat iptek, baik dalam hal ilmu kealaman maupun sosial, bagi
Zenrif, menjadi penjelasan “tandingan” atas penjelasan empiris model
Barat terhadap ilmu-ilmu tersebut. Dari sini, Zenrif sealur dengan
beberapa penulis dari UIN Maliki Malang yang menggali ilmu-
ilmu itu dari al-Qur`an, sehingga melahirkan “ekonomi Qur`ani”,
“manajemen Qur`ani”, dan sebagainya. Prinsip yang mendasari
integralisme model ini adalah al-Qur`an mengandung ilmu-ilmu
oleh Zenrif, dengan islamisasi ilmu model International Institute
of Islamic Thought (IIIT), dan sejumlah pemikiran integrasi dalam
Islam semisal Ali Syari’ati dengan idenya tentang sosiologi Islam.
Berbeda dengan Ali Syari’ati yang terang-terangan
menggunakan istilah “sosiologi al-Qur`an”,5 Zenrif menggunakan
5Lihat Ali Syariati, On the Sociology of Islam, trans. Hamid Algar (Berkeley:
Mizan Press, 1979).
176
istilah “filsafat sosial al-Qur`an”. Sebagaimana diketahui, filsafat
sosial berisi penjelasan filosofis tentang masyarakat,6 sebagaimana
ditunjukkan dalam pembahasan Zenrif tentan apakah individu
mempengaruhi masyarakat atau sebaliknya; individu deterministik
atau indeterministik. Terinspirasi oleh penulis-penulis Iran yang
kontra terhadap pemikiran Barat, seperti Ali Syariati dan Murtadha
Muthahhari, Zenrif memposisikan diri sebagai kritikus pemikiran
sosial Barat, seperti yang dilontarkan oleh Karl Max (1818-1883)
dan Fridrich Engels (1820-1895) seperti tentang teori konflik yang
menekankan pada pertentangan kelas, yaitu antara kaum borjuis
dan kaum proletar. Dengan demikian, al-Qur`an dijadikan sebagai
sumber alternatif terhadap pemikiran Barat. Al-Qur`an dianggap
sebagai penjelasan yang otentik atas pelbagai isu-isu sosial yang
di Barat justru dikaji secara empiris.
Dalam konteks al-Qur`an menjelaskan fenomena alam,
sebagai bentuk theology of nature tersebut, Zenrif menempatkan
al-Qur`an sebagai grand theory dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Sayangnya, ia tidak menjelaskan posisi al-Qur`an
sebagai grand theory dalam hubungan pengembangan teori (theory
building), seperti middle range theory dan theory, dan sebagainya,
sebagaimana dilakukan, misalnya, oleh Dawam Rahardjo. Zenrif
hanya menjelaskan dua fungsi al-Qur`an dalam hal ini, yaitu sebagai
justifikasi (pembenaran), sebagaimana dilakukan oleh Ahmad
Baiquni dengan tafsir ilmiahnya dalam karyanya, al-Qur`an dan
Ilmu Pengetahuan, dan sebagai kritik atas ilmu pengetahuan Barat,
terhadap pendidikan Islam, Abul A’la al-Mawdudi juga tentang
pendidikan Islam.7 Fungsi justifikasi tampak rentan terhadap klaim
apologetis bahwa teori ilmiah telah ada dalam al-Qur`an. Dalam
6Lihat isu-isu fundamental yang dibahas dalam filsafat sosial dalam Hans
Fink, Social Philosophy (USA: Methuen & Co., 1981), 1-5.
7Zenrif, Realitas dan Metode Penelitian Sosial dalam Perspektif al-Qur`an:
Teori dan Praktik (Malang: UIN-Malang Press, 2006), 151.
177
konteks theology of nature, fungsi penjelasan al-Qur`an terhadap
fenomena alam menjadi hanya terbatas menerima penjelasan
teori ilmiah. Sedangkan, fungsi kedua cenderung menjadikan
hubungan al-Qur`an dan ilmu pengetahuan menjadi konflik, bukan
integrasi lagi. Dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan,
hal ini menjadi sesuatu yang buruk jika dipahami dalam konteks
epistemologi, yaitu proses kerja penelitian ilmiah. Fungsi korektif
tersebut lebih mungkin diterima hanya dalam konteks aksiologis
dalam pengertian bahwa al-Qur`an menjadi sumber nilai bagi arah
pengembangan ilmu yang memanusiakan manusia. Atas dasar ini,
konsep integrasi ilmu Zenrif tampak ambigu. Perspektif konflik
masih menjadi kendala dalam konteks ini.
Kedua, fungsi al-Qur`an sebagai media menyatukan berbagai
pandangan atau aliran yang berbeda; rasionalisme dan empirisisme,
penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif,8 tampak merupakan
sebuah pernyataan yang belum dibuktikan atau dijelaskan secara
memadai. Dalam sejarahnya, aliran-aliran dan metode-metode ini
muncul dalam konteks yang beragam. Menyatukan aliran-aliran sama
dengan menyatukan paradigma berpikir. Asumsi yang mendasari
aliran-aliran itu tidak semua kompatibel dengan al-Qur`an. Klaim
ini cenderung sebagai bentuk apologetis.
2. Spirit al-Qur`an
Ide tentang integrasi ilmu dalam bentuk mengambil spirit al-
Qur`an dalam pengembangan keilmuan dikemukakan oleh Mahpur
dan Habib. Kedua penulis ini lebih cenderung mengritik pandangan-
pandangan Barat dalam hal psikologi dan menggantikannya dengan
pandangan al-Qur`an, baik dalam pengertian sebagai kajian kritis-
analitis, meta-analisis, maupun kritis-emansipatoris. Menurut
mereka, teori Barat memiliki sejumlah kelemahan. Sebagai ganti,
8Zenrif, Realitas, 152.
178
menurut mereka, al-Qur`an memuat pandangan psikologis yang
lengkap dan mendalam jika digali “spiritnya”.
Sebenarnya, tidak ada psikologi sebagai disiplin ilmu (Barat)
yang iingin diintegrasikannya secara langsung dengan al-Qur`an.
Sama halnya dengan Zenrif, kedua penulis ini cenderung mengkritisi
teori-teori psikologi Barat. Perbedaan antara keduanya (Zenrif dan
kedua penulis ini) adalah bahwa kedua penulis ini benar-benar
ingin menggali “teori” psikologi dari al-Qur`an, namun tidak
melalui ajarannya secara langsung, melainkan dari “spiritnya”
yang terkait dengan prinsip ajaran-ajaran moral yang berguna bagi
pengembangan diri. Oleh karena itu, integrasi ilmu di sini dilakukan
hanya dalam konteks bahwa sebagai kitab suci al-Qur`an yang
memuat petunjuk tentang kehidupan kejiwaan manusia, al-Qur`an
dianggap sebagai sumber yang kaya akan petunjuk dan informasi
tentang hal itu. Jenis ini sejatinya juga disebut sebagai tafsir ilmiah
(al-tafsīr al-‘ilmī) dalam pengertian mengungkap dimensi ilmiah
dalam al-Qur`an, meski tidak bertolak dari ilmu Barat sebagai teori
yang dikembangkan.
Sejatinya juga, penafsiran ini bisa digolongkan pada upaya
menjelaskan al-Qur`an sebagai kitab suci yang juga memuat
kemukjizatan dalam menjelaskan persoalan ilmiah kejiwaan.
Dengan ungkapan lain, integrasi ilmu ini meski berbeda dengan
integrasi ilmu yang ingin dilakukan oleh Zenrif, tetap dalam kategori
theology of nature, yaitu penjelasan agama (Islam) melalui kitab
sucinya (al-Qur`an) terhadap fenomena kejiwaan.
Dengan kritiknya atas teori psikologi Barat dan mencoba
mengembangkan teori psikologi dari al-Qur`an sendiri, model
integrasi yang dikembangkan Mahpur dan Habib adalah model ala
Kuntowijoyo, yaitu pengilmuan Islam dalam pengertian bahwa teori
psikologi dikembangkan sendiri dari al-Qur`an. Upaya ini adalah
mengilmukan Islam, yaitu menjelaskan Islam (ajaran al-Qur`an)
dalam term-term ilmiah.
179
Istilah “spirit al-Qur`an” dalam konteks perumusan teori berbeda
dengan istilah “inspirasi”, sebagaimana pernah dikemukan oleh
Noeng Muhadjir. Penulis ini mengemukakan bahwa dalam perumusan
teori al-Qur`an berfungsi sebagai inspirasi bagi pengembangan teori.
Dengan “inspirasi”, ayat al-Qur`an yang dikutip tidak masuk dalam
perumusan teori, melainkan hanya sebagai titik-tolak awal, di mana
peneliti muslim, mengembangkan penelitiannya. Ini artinya bahwa
bagian dari kegiatan penelitian adalah keyakinan teologis. Berbeda
dengan hal ini, Mahpur dan Habib menempatkan al-Qur`an sebagai
objek yang dibahas melalui prinsip-prinsip ajaran moralnya; dari
ajaran ke spirit moralnya.
Melalui karya-karya yang ditelaah di sini, tampak bahwa UIN
Maliki Malang mengembangkan tafsir ilmiah terhadap al-Qur`an
sebagai implementasi kebijakan proyeksi keilmuan tentang integrasi
antara Islam dan ilmu pengetahuan seiring dengan filosofi keilmuan
yang mendasari peralihan status dari STAIN ke UIN.
Terbukti bahwa pemikiran metodologi tafsir ilmiah yang
dikemukakan mengusung model integrasi yang dikembangkan
adalah penjelasan Islam melalui al-Qur`an terhadap isu-isu ilmiah
(theology of nature), dalam kategorisasi Ian Barbour, baik terkait
dengan ilmu kealaman maupun sosial. Ada dua model integrasi ilmu
yang dikembangkan dalam dua kasus ini, yaitu: (1) integrasi ilmu
dengan membangun “paradigma al-Qur`an” yang dikatakan, meski
tampak tidak dijelaskan secara memadai dan berhenti pada adagium,
sebagai penyatu berbagai aliran epistemologis (rasionalisme dan
empirisme) dan pendekatan (kuantitatif dan kualitatif); (2) integrasi
ilmu dengan melakukan studi ilmiah melalui penggalian terhadap
dimensi ajaran moral yang disebut dengan “spirit al-Qur`an”.
Persamaan antara kedua model ini adalah kritik atas pemikiran
Barat dan menggantikannya dengan al-Qur`an sebagai solusi yang
dianggap lebih mumpuni dalam menjelaskan ilmu pengetahuan.
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa model pertama mengritisi
180
pemikiran Barat untuk kemudian dikolaborasikan dengan ajaran
al-Qur`an, sedangkan model kedua mengusung al-Qur`an sebagai
alternatif pengganti berbagai teori Barat. Keduanya sama mengritik
ilmu pengetahuan Barat. Hanya saja, “paradigma al-Qur`an”
digadang-gadangkan menyatukan teori, aliran, dan pendekatan,
sedangkan “spirit al-Qur`an” digadang-gadang sebagai solusi satu-
satu atas penjelasan terhadap “ilmu pengetahuan” yang digali dari
al-Qur`an sendiri. Integrasi model awal masih terbuka dengan ilmu
pengetahuan Barat, dan berupaya mencari titik-temunya dalam
al-Qur`an dan lebih dekat kepada “islamisasi ilmu” ala Dawam
Rahardjo, sedangkan model kedua mengembangkan kajian ilmiah
dari dalam al-Qur`an sendiri dan lebih dekat kepada “pengilmuan
Islam” ala Kuntowijoyo.
Tidak syak lagi, bahwa kedua model integrasi ini diilhami oleh
berbagai wacana integrasi ilmu yang berkembang di dunia Islam
sendiri. Sederet nama yang dikutip membuktikan bahwa proyek
integrasi di kampus ini dipengaruhi oleh ide pemikir, semisal bapak
integrasi di Tanah Air, seperti Abd. Muin Salim (penulis disertasi
tentang Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-
Qur`an).
Banyaknya karya dalam bidang tafsir ilmiah yang ditulis
oleh para dosen menunjukkan geliat yang begitu bertenaga dan
bersemangat di kampus ini. Berbagai bidang atau isu yang diuraikan
dari perspektif tafsir ini menunjukkan bahwa integrasi ilmu betul-
betul diterapkan, tidak hanya dalam wacana, melainkan secara nyata.
Tentu saja, tafsir ilmiah bukalah satu-satunya indikator kebehasilan
integrasi ilmu di UIN, melainkan hanya salah satu dari indikator itu.
Namun, kampus ini telah membuktikan bahwa garda depan ilmu
Islam yang harus diintegrasikan dengan sains adalah tafsir al-Qur`an
yang menjadi sumber utama ajaran Islam, dan UIN Maulana Malik
181
Ibrahim telah mengembangkannya secara sistematis dan masif
dalam bentuk pemikiran dan produk penafsiran.
B. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
1. Al-Ta`wīl al-‘Ilmī: Integrasi dan Interkoneksi
M. Amin Abdullah mengemukakan pemikirannya tentang
tafsir ilmiah sebagai tafsir yang menerapkan integrasi ilmu melalui
tawarannya tentang al-ta`wīl al-‘ilmī. Uniknya, Amin mengemasnya
dalam bentuk hubungan interkonektif antara wilayah epistemologi
Dengan tiga varian epistemologi yang berkembang dalam
Islam selama ini, Amin mencoba memfungsionalisasikannya untuk
kepentingan penafsiran al-Qur`an. Poin-poin pemikirannya bisa
dikemukakan sebagai berikut.
Pertama, dengan istilah “ta`wīl ilmiah/ saintifik”, penafsiran
yang dilakukan lebih mendalam, tidak sekadar pemaknaan di
permukaan ungkapan kebahasaan, melainkan dengan memancang
teks sebagai “objek”, dan itu artinya bahwa penafsir sebagai subjek,
penafsiran berupaya secara hermeneutis “menegosiasikan” antara
berbagai aspek. Istilah “proses bernegosiasi” (negotiating process)
merujuk kepada pemahaman Amin bahwa dalam hermeneutika,
perlu “negosiasi” antara pengarang (author), teks (text), dan
pembaca (reader).9
Kedua, konsekuensi dari penerapan pendekatan hermeneutika
adalah bentuk hubungan antara tiga varian epistemologi tersebut
berupa gerak melingkar (sirkuler), bukan linear atau paralel. Bentuk
paralel ini, tegasnya, adalah hasil dari kontribusi pemikiran filsafat
yang bersifat kritis-reflektif-heuristik. Jika hubungannya bersifat
paralel, masing-masing epistemologi tersebut akan berjalan sendiri-
9Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-
Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 278.
182
sendiri tanpa ada hubungan dialogis.10 Sedangkan, hubungan linear
dinilai pada akhirnya akan menghadapi jalan buntu, karena ada
asumsi bahwa salah satu epistemologi akan menjadi primadona.
menguatnya klaim kebenaran (truth claim).11 Dengan model
hubungan sirkuler, disiplin keilmuan di atas tidak mengenal finalitas,
eksklusivitas, dan hegemoni.12
Skema 2: Model Pola Hubungan Sirkuler
Sumber: Amin, Islamic Studies, 224
Ketiga, tujuan akhir model penafsiran seperti ini adalah tafsir yang
berorientasi humanistik-transformatif-emansipatoris. Orientasi tafsir
seperti ini muncul dari adanya proses negosiasi antara teks dengan
konteks dan problem yang dihadapi oleh manusia secara dialogis.
Ketika membedah buku karya Khaled Abou El Fadl, Speaking in
God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (diterjemahkan:
Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif), Amin
banyak mengapresiasi pendekatan hermeneutika yang diterapkan
dalam menyoroti isu-isu hukum Islam dalam buku ini. Lewat
hermeneutika, bisa dibongkar berbagai klaim mengatasnamakan
atau “menggunakan” otoritas Tuhan (authoritarianism) dalam
10Amin, Islamic Studies, 219.
11Amin, Islamic Studies, 220-222.
12Amin, Islamic Studies, 224.
183
penafsiran teks-teks keagamaan yang cenderung bias-gender,
despotik (sewenang-wenang), dan offensif-oppressif (menyerang
dan menindas) terhadap harkat wanita, terutama melalui fatwa-fatwa
yang dikeluarkan oleh Permanent Council for Scientific Research
and Legal Opinions (CRLO). Komunitas penafsir (community of
interpreters), sebagaimana ditawarkan oleh hermeneutika melalui
proses negosiasi, harus dilibatkan untuk menciptakan keseimbangan
antara “rasa keadilan” (dalam penafsiran isu-isu gender, misalnya)
dan “kepastian hukum” (fatwa-fatwa keagamaan yang pasti dan
final).13
Dari perspektif integrasi Ian Barbour, model integrasi seperti
ini adalah dalam konteks `menjelaskan agama (Islam), dalam hal
doktrin al-Qur`an, dari prespektif keilmuan secara luas, baik dari
keilmuan Islam sendiri yang tersimpul dalam ilmu bayān (bahasa,
burhān (seperti filsafat yang berasal dari luar dan
yang berkembang dalam Islam sendiri), dan ‘rfān (tashawwuf).
Tiga tradisi epistemologi keilmuan ini menjadi media penjelas
bagi doktrin, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, dalam perspektif
Barbour, model integrasi ini lebih cenderung merupakan natural
theology (teologi natural), yaitu sains menjelaskan agama. Bagi
Amin sendiri, tampaknya bahwa penjelasan al-Qur`an terhadap
fenomena alam yang lazim disebut tafsīr ‘ilmī, sebagaimana
dipahami pada umumnya, ditanggapi secara hati-hati, karena hal
ini rentan pada klaim kebenaran dan apologis terhadap temuan-
temuan baru ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, integrasi ini tidak
mengambil bentuk theology of nature (penjelasan teologis/ al-Qur`an
terhadap fenomena ilmiah alam dan sosial).
Di sisi lain, bahwa interkoneksi antar wilayah epistemologi itu
mengharuskan adanya proses dialogis yang terus-menerus. Sebagai
atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an tentang teologis. Keyakinan
13Amin, Islamic Studies, 272-284.
184
memang tidak boleh terpisah dari prinsip etis yang menjadi salah
satu dasarnya. Proses interkoneksi dengan begitu menghendaki agar
formulasi penafsiran merupakan proses yang selalu berinteraksi
dengan etika, sehingga formulasi teologi, dalam bahasa Amin,
harus selalu terbuka untuk didiskusikan (qābil li al-niqāsy), atau
bahkan, harus digeser paradigma (shifting paradigm) dari yang
terlalu teosentris ke antroposentris. Prinsip kerja seperti ini, yaitu
terkoneksi secara berkesinambungan, terbuka untuk dikoreksi, dan
selalu berorientasi perubahan paradigma, lebih dekat kepada filsafat
proses, sebagaimana dikemukakan oleh Barbour.
2. Peran Hermeneutika dalam Tafsir Interdisipliner Ma’nā-
cum-Maghzā
Hermeneutika adalah salah satu ilmu dalam ilmu-ilmu
humaniora (humanities). Penerapan hermeneutika dalam penafsiran
al-Qur`an adalah upaya mengintegrasikan antara ilmu tafsir dan
ilmu humaniora (hermeneutika). Sahiron, sebagai pengaju tawaran
ini, telah berupaya mengintegrasikan, baik berdasarkan bukti-bukti
historis bahwa hal ini telah dilakukan dalam sejarah pemikiran Islam
maupun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Dalam
konteks ini, hermeneutika menjadi media atau cara bagaimana al-
Qur`an ditafsirkan.
Sebagaimana diakui sendiri oleh Sahiron, ia mendapat “inspirasi
secara tidak langsung” (indirect inspiration) dari M. Amin Abdullah.
Itu artinya bahwa paradigma yang dikembangkan adalah paradigma
integrasi dan interkoneksi. Sejauh makna pemikiran metode tafsir ini
merepresentasikan model integrasi ini? Menurut Sahiron, ilmu tafsir
harus mengadopsi pendekatan hermeneutika, seperti hermeneutika
yang berisi penjelasan tiga fungsi tafsir, yaitu pemahaman (fahm),
penjelasan (bayān), dan penggalian (istikhrāj) dimensi hukum dan
hikmah-hikmahnya yang disejajarkan dengan kerja hermeneutika
adalah upaya Sahiron mengintegrasikan kedua bidang ilmu ini.
185
Hubungan antara kedua bukanlah hubungan atomistik, berjalan
sendiri-sendiri, atau linear, melainkan terkoneksi satu sama lain.
Caranya adalah memasukkan kerja hermeneutika dalam kerja tafsir.
Langkah-langkah pendekatan ma’nā-cum-maghzā menunjukkan
bahwa hermeneutika diterapkan dalam tafsir, misalnya, adanya
pergeseran dari ma’nā yang diperoleh dari makna teks secara
historis ke maghzā (makna kontekstual) yang merupakan makna
yang relevan dan menjadi inti dari teks yang ditafsirkan.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Fakhruddin Faiz yang
menawarkan pendekatan hermeneutika dalam penafsiran al-
Qur`an. Jargon yang dikemukakannya adalah teks, konteks, dan
kontekstualisasi. Berbeda dengan Sahiron, Faiz tidak mengemukakan
langkah-langkah secara jelas dalam penafsiran, dalam hal bagaimana
pendekatan hermeneutika itu diterapkan.
Meskipun mengemukakan pemikiran tentang metode tafsir
ilmiah, Amin dan Sahiron berbeda dalam penerapannya. Amin
sama sekali tidak menerapkan metode yang ditawarkannya,
melainkan hanya sebatas wacana, bahkan hal ini pun juga tidak
jelas operasionalnya dalam kerja penafsiran. Amin lebih cenderung
“bermain” pada tingkat epistemologi, padahal tafsir seharusnya
bersifat aplikatif. Sama dengan Amin, Faiz juga tidak menerapkan
pendekatan yang ditawarkan. Seharusnya, tidak hanya paradigma,
melainkan yang lebih penting adalah teknik dan langkah
operasionalnya dalam penafsiran.
Sahiron menerapkan pendekatan yang ia tawarkan dalam
penafsiran tentang klaim kebenaran agama dalam al-Qur`an secara
baik. Namun, hal ini tentu saja baru merupakan capaian yang
sangat terbatas. Karyanya, Al-Qur`an dan Pembinaan Karakter
Umat, meski memiliki kecenderungan penafsiran yang berbeda
dibandingkan dengan tafsir-tafsir umum, yaitu bahwa ia lebih
menekankan pada dimensi moral dan kontekstualisasi maknanya
untuk sekarang, karena hanya berupa artikel (opini) di koran dan
186
majalah, capaiannya juga sangat terbatas. Upaya penafsirannya yang
diterapkan secara lebih mendalam justru dilakukan oleh penulis-
penulis lain yang menggunakan pendekatan itu, baik sesama kolega
maupun mahasiswa-mahasiswa pengikut mata kuliah yang diampu
di pascasarjana. Ini berarti upaya mengintegrasikan ilmu tafsir dan
ilmu umum tidak banyak menyentuh kesadaran para dosen atau
peneliti di UIN Sunan Kalijaga. Umumnya, mereka lebih banyak
menulis metode tafsir sebagai wacana ketimbang menulis tafsir
sebagai produknya. Sahiron hanyalah satu-satunya yang berupaya
menawarkan pendekatan baru yang integratif dengan ilmu umum
dan menerapkannya sangat terbatas.
C. UIN Syarif Hidayatullah
1. Integrasi Akal dan Wahyu: Harun Nasution
Tak ragu lagi bahwa founding father UIN Syarif Hidayatullah,
antara lain Harun Nasution, di samping tokoh-tokoh lain seperti
Mahmud Yunus, memberikan arah pengembangan ilmu keislaman
dan ilmu umum di kampus ini. Meskipun fase ketika ia membina
pengembangan keilmuan ini belum dimulai proses alih-satus
IAIN ke UIN, karena fase ini adalah fase awal sekali, namun jejak
kebijakannya menentukan juga arah pengembangan atau tepat
integrasi antara ilmu Islam dan sains.
Wacaana integrasi ilmu yang dilontarkan oleh Harun pada
fase ini adalah integrasi antara kebenaran wahyu (al-Qur`an)
dan kebenaran akal. Meskipun di fase awal, banyak respon kritis
terhadap ide rasional Harun, namun kemudian seiring dengan waktu,
ide Harun diterima dan bahkan idenya dalam pembaruan kurikulum,
di mana ilmu-ilmu umum diintegrasikan dalam kajian keislaman,
diterima hingga sekarang.
Integrasi yang dikembangkannya adalah mengadopsi ilmu-
ilmu rasional, khususnya filsafat dan teologi (kalām). Sebagaimana
tampak dari karya-karya yang ditulisnya, seperti Islam Ditinjau dari
187
Berbagai Aspek, ilmu keislaman tidak identik dengan ilmu normatif
lain, seperti filsafat, kalām, sejarah, dan sebagainya.
Dari perspektif integrasi ilmu yang dikategorisasikan oleh
Ian Barbour, integrasi yang ditawarkan oleh Harun adalah model
theology of nature, yaitu ilmu-ilmu umum tersebut dijadikan sebagai
media untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur`an. Memang, Harun
bukanlah seorang pemikir dan penulis ilmu tafsir. Akan tetapi,
di beberapa bagian dari buku-buku, terdapat penafsiran atau,
katakanlah, pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur`an. Sebagaimana
dikemukakan, misalnya, ketika ia menerjemahkan ungkapan
“liya’budūn
dengan “menyembah”. Menurutnya, terjemahan kedua berkonotasi
sebagai penyembahan sebagaimana juga ditemukan dalam agama-
agama lain dan hanya terkesan ritualistik-formalistik, padahal
esensi keberagamaan terletak pada keterlibatan secara totalitas
terhadap Tuhan. Spiritualitas yang berbasis kedalaman kesadaran
batin adalah yang ditekankan oleh Harun. Sebagai seorang dididik
dalam kajian tashawwuf, ia menyadari betul bahwa keberagamaan
haruslah berbasis dalam kesadaran batin yang mendalam, bukan
sekadar riual-ritual. Pengertian ini terwakilkan dalam ungkapan
“mengabdi” dibandingkan “menyembah”. Perspektif spritualitas,
khususnya tashawwuf, menjadi media yang digunakan oleh Harun
untuk menjelaskan makna ayat al-Qur`an. Pemahaman Harun ini
juga memiliki dasar dari psikologi agama, sebagaimana dijelaskan,
bahwa inti keberagamaan adalah perasaan takzim, atau dalam bahasa
Rudolf Otto, mysterium tremendum fascinan.
2. Psikologi Sosial sebagai Integrasi pada Tataran Etis: M.
Quraish Shihab
Berbeda dengan Harun Nasution, M. Quraish Shihab dididik
dalam disiplin ilmu tafsir dan telah menulis metode tafsir serta
menerapkannya dalam beberapa karyanya. Dengan mengemukakan
188
idenya tentang psikologi sosial dalam syarat pengembangan ilmu
pengetahuan, maka ia sebenarnya mengusulkan integrasi keilmuan
lebih banyak pada tataran etika, yakni melihat kesiapan masyarakat
yang menjadi sasaran penerapan ilmu pengetahuan. Di sisi lain,
tafsir ilmiah tidak dimaksudkan untuk membuktikan bahwa segala
ilmu pengetahuan telah ada dalam al-Qur`an, sesuatu yang bertolak
dari argumen apologis yang menghinggapi sebagian penulis muslim.
Dengan psikologi sosial, bukan dalam konteks sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan, ia menginginkan agar tafsir ilmiah
tidak bertujuan untuk menguji kebenaran, karena kebenaran wahyu
al-Qur`an dianggap final. Itu artinya bahwa, menurutnya, tafsir
ilmiah dibutuhkan dengan menggunakan bahan-bahan informasi
ilmu pengetahuan modern untuk menjelaskan al-Qur`an. Dengan
istilah “isyarat ilmiah”, ia menyatakan bahwa kebenaran absolut
al-Qur`an itu tidak menjadi terreduksi dengan penjelasan tafsir dari
temuan ilmu pengetahuan yang relatif.
Dari perspektif teori integrasi ilmu Ian Barbour, model integrasi
yang ditawarkan oleh Quraish Shihab lebih cenderung sebagai natural
theology, yaitu sains dimanfaatkan untuk menopang keyakinan
dalam agama, bukan sebaliknya, theology of nature, yaitu bertolak
dari agama, bukan dari sains, sebagai kerangka untuk memperkaya,
bahkan mengkritik, temuan-temuan sains. Dari contoh penafsiran
yang dikemukakan oleh Quraish Shihab dalam karyanya, Mukjizat
al-Qur`an, misalnya embriologi digunakan untuk menafsirkan ayat-
ayat al-Qur`an tentang proses reproduksi manusia dalam janin.
Al-Qur`an memang tidak menjelaskan, misalnya, tentang jumlah
kromosom, kecuali melalui penelitian ilmu pengetahuan. Al-Qur`an
hanya menyebut tentang nuthfah (sperma) yang membuahi ovum.
Sperma lelaki membuahi ovum yang kemudian menentukan jenis
kelamin. Dalam konteks ini, Quraish Shihab mengintegrasikan
antara penafsiran dengan temuan ilmu pengetahuan.
189
3. Pendekatan Kritik Sastra sebagai Integrasi Ilmu: Yusuf
Rahman
Penulis lain, Yusuf Rahman, menawarkan pendekatan integratif
antara ilmu tafsir dengan pendekatan sastra. Ia menjelaskan bahwa
al-Qur`an kompatibel untuk ditafsirkan dari perspektif pendekataan
sastra. Meskipun ada sejumlah tantangan yang dihadapi, ia lebih
memihak pada kemungkinan menafsirkannya dengan pendekatan
ini, karena berdasarkan telaahnya kajian sastra, juga diakui oleh
beberapa penulis Muslim sendiri, seperti Sayyid Quthb.
Dari perspektif integrasi ilmu Ian Barbour, integrasi tafsir dan
sastra harus dilihat dari fungsi sastra sebagai media penafsiran, bukan
sebagai sumber penafsiran, seperti hal teori-teori ilmu pengetahuan
yang siap untuk dirujuk. Sebagai media, tentu saja, pendekatan
sastra termasuk dalam metode tafsir. Ini tentu berbeda dengan
pandangan Quraish Shihab yang pada tingkat penafsiran ilmu hanya
berbicara pada level etis melalui usulannya tentang perlu psikologi
sosial dalam pengembangan masyarakat, sedangkan pada tingkat
operasional penafsiran, ia tidak ragu mengutip penjelasan sains,
seperti embriologi. Berbeda dengan Quraish Shihab, Yusuf Rahman
tidak menerapkan sama sekali integrasi ilmu dalam operasional
penafsiran, melainkan hanya mengajukan wacana metode tafsir.
Sebagai media penafsiran, sastra akan melengkapi media ilmu
tafsir dalam menafsirkan al-Qur`an. Ini adalah bagian dari upaya ilmu
pengegetahuan, khusus ilmu humaniora dalam menjelaskan ajaran-
ajaran Islam dalam al-Qur`an. Meskipun ada beberapa tantangan
atau prinsip yang tidak seluruhnya sejalan dengan prinsip al-Qur`an
sebagai kitab suci, namun kecenderungan natural theology dalam
pengertian sastra difungsikan untuk menjelaskan agama tampak di
sini. Ia tetap mengusulkan pendekatan sastra ini meski, misalnya,
muncul berbagai pandangan sastra yang bertolak dari nihilisme
standar kebenaran dalam penafsiran, sebagaimana disinggung
190
sebelumnya. Sayangnya, Yusuf Rahman tidak menerapkan
pendekatan yang didukungnya ini.
191
BAB VII
PENUTUP
A. Simpulan
Dari paparan data yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan
sebagai berikut. Pertama, pada tataran pemikiran tentang tafsir
ilmiah di tiga UIN, secara distingtif UIN Maulana Malik Ibrahim
mengembangkan lebih massif pemikiran tentang hal, baik pada
tataran epistemologis, seperti mengembangkan “paradigma al-
Qur`an”, maupun pada tataran aksiologis yang menangkap pesan-
pesan moral al-Qur`an untuk diimplementasikan pada pengembangan
ilmu pengetahuan, seperti “spirit al-Qur`an”. Arah pengembangan
integrasi ilmu lebih banyak diilhami oleh islamisasi ilmu di negara-
negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, seperti Ali Shariati
dan Murtadha Muthahhari, dua pemikir Iran yang terdidik dalam
kajian filsafat dan anti terhadap pemikiran Barat. Di samping itu,
islamisasi ini juga diilhami oleh pemikir lembaga yang concern pada
pada ilmu pengetahuan, seperti “ekonomi Qur`ani” dan “manajemen
Qur`ani” memiliki hubungan filosofi islamisasi ini. Oleh karena
itu, tawaran islamisasi itu tampak sebagai kritik atas ilmu yang
berkembang di Barat. Tawaran metode tafsir yang berkembang
tampak dimaksudkan sebagai alternatif atau tandingan atas metode
Barat.
Berbeda dengan kasus di UIN Maulana Malik Ibrahim,
pemikiran tafsir ilmiah di UIN Syarif Hidayatullah diwarnai dengan
tawaran penggunaan ilmu Barat, seperti pendekatan sastra, pada
tingkat metode tafsir dan penggunaan temuan ilmu pengetahuan
di Barat sebagai sumber penafsiran. Upaya jalan tengah, dengan
mempertemukan antara “spirit/ jiwa” ayat dengan “logika” ilmu
192
pengetahuan, juga mewarnai integrasi ilmu dalam tafsir ilmiah.
Pengaruh pemikiran Timur-Tengah, seperti tampak dari pemikiran
Quraish Shihab, dan pengaruh pemikiran Barat, seperti tampak pada
pemikiran Yusuf Rahman, berjalan berbarengan sebagai dinamika
yang unik di sini. Berbeda dengan UIN Maulana Malik Ibrahim
yang kentara dengan islamisasi ilmu, dan UIN Syarif Hidayatullah
yang memadukan keilmuan Islam-Barat, UIN Sunan Kalijaga
cenderung lebih banyak menyerap perangkat keilmuan Barat
dalam penafsiran. Hermenutika, dan yang khususnya pendekatan
ma’nā-cum-maghzā, mengadopsi perangkat ilmu Barat. Memang,
ada upaya mempertemukan antara khazanah keilmuan tafsir klasik
dengan pemikiran metode kajian Bibel, seperti dalam pendekatan
itu, namun yang lebih dominan adalah pengadopsian tersebut.
Kedua, dalam hal karya-karya tafsir ilmiah, UIN Maulana
Malik Ibrahim adalah PTKIN yang secara sistematis dan massif
melahirkan karya-karya ini. Beragam tema yang ditulis dilihat dari
perspektif al-Qur`an, seperti ekonomi, manajemen, embriologi, tata
kota, dan masyarakat menunjukkan bahwa PTKIN ini sangat serius
menerapkan integrasi ilmu dalam tafsir ilmiah. Meskipun tidak
selalu metode tafsir yang dilontarkan oleh penulis ditindaklanjuti
dalam bentuk penafsiran, namun produktivitas dalam bentuk karya-
karya tafsir ini menjadi bukti bahwa implementasi dalam penafsiran
berkembang dengan baik. Berbeda dengan kasus di UIN ini, UIN
Syarif Hidayatullah tidak melahirkan produk tafsir ilmiah, kecuali
hanya karya M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur`an, yang di
penghujung tahun 1990-an menyertai proses alih-satus dari IAIN
ke UIN. Itu artinya bahwa proyek integrasi ilmu dalam bentuk
tafsir ilmiah tidak menunjukkan perkembangan yang baik. Produk
tafsir di UIN ini lebih banyak non-tafsir ilmiah, seperti karya tafsir
perjuz M. Yunan Yusuf. UIN ini memiliki “pigur menjulang”, namun
tidak banyak dan tidak merata. Sebagian besar dosen hanya menulis
metode tafsir atau kajian tentang pemikiran tokoh tentang metode
193
tafsir. Karya-karya dalam bentuk tafsir ilmiah lain hanya merupakan
paper-paper di konferensi QUHAS, asosiasi keilmuan pascasarjana,
yang tidak secara otomatis mencerminkan produktivitas tafsir karya
akademisi UIN ini.
UIN Sunan Kalijaga secara bervariatif juga melahirkan karya
pemikiran tentang metode tafsir, kajian tentang pemikiran tokoh
tentang metode tafsir, dan sejumlah karya-karya yang terbatas
tentang produk penafsiran. Namun, sedikit sekali karya yang berisi
penafsiran, apalagi penafsiran ilmiah. Karya Sahiron Syamsuddin
dalam bidang penafsiran yang masih sangat terbatas dari segi isu
yang dibahas dan keluasan/ kedalaman pembahasan adalah karya
tafsir dari perspektif intgrasi ilmu pada tataran metodologi, di mana
hermeneutika diadopsi dalam kerja penafsiran.
Ketiga, dalam hal pola integrasi yang dikembang, UIN Maulana
Malik Ibrahim mengembangkan dua pola dari perspektif Ian Barbour.
Pertama, lebih banyak berorientasi pada theology of nature, yaitu
bahwa bertolak dari agama, bukan dari sains, sebagai kerangka
untuk memperkaya, bahkan mengkritik, temuan-temuan sains.
Kritik terhadap sosiologi Barat, misalnya, oleh Zenrif, menjadi bukti
bahwa di UIN ini berkembang upaya untuk menjadikan penjelasan
ayat al-Qur`an sebagai kritik atas ilmu Barat yang dianggap memiliki
sejumlah kelemahan. Kedua, natural theology, yaitu bahwa sains
dimanfaatkan untuk menopang keyakinan dalam agama. Penjelasan
tentang embriologi dalam al-Qur`an lebih banyak bertolak dari
keinginan agar ilmu ini bisa memperkuat berbagai penjelasan dalam
ayat al-Qur`an.
Berbeda dengan kasus di UIN Maulana Malik Ibrahim, kasus
di dua UIN lain lebih banyak mengembangkan integrasi ilmu
berbasis natural theology, sebagaimana dilakukan oleh Qurasih
Shihab dengan merujuk embriologi dalam menafsirkan ayat-ayat
tentang proses reproduksi manusia. Yang berbeda dari penafsir
lainnya di beberapa UIN di sini adalah bahwa penafsiran Quraish
194
Shihab, meski dengan insentif mengutip temuan ilmu pengetahuan,
dilakukan dengan kesadaran bahwa ayat-ayat al-Qur`an yang
penafsirannya ingin diintegrasikan dengan penjelasan sains,
diyakini hanya memuat “isyarat ilmiah”, bukan “teori ilmiah”.
Berbeda dengan kasus di UIN Syarif Hidayatullah, kasus di UIN
Sunan Kalijaga menunjukkan bahwa natural theology adalah dalam
bentuk penerapan hermeneutika dalam penafsiran al-Qur`an, jadi
dalam bentuk perangkat metodologi, bukan dalam bentuk sumber
penafsiran. Isu yang dibahas juga bukanlah isu iptek, melainkan isu
keagamaan dan sosial, namun dengan pendekatan tafsir integratif
yang menyatukan ilmu tafsir dan hermeneutika. Hasil penafsirannya
lebih menekankan dimensi moral ajaran dan dimensi inklusivitas
Islam dalam berhadapan dengan keyakinan agama lain.
B. Rekomendasi
Pertama, perlu akselerasi atau percepatan implementasi integrasi
ilmu dalam bidang tafsir, khususnya tafsir ilmiah, terutama pada
UIN yang, baik dari segi pemikiran maupun produk penafsirannya,
jauh tertinggal, yaitu UIN Syarif Hidayatullah dan UIN Sunan
Kalijaga. Implementasi juga sama pentingnya dengan teoretisasi
dalam bentuk metode tafsir ilmiah. Reorientasi tafsir ilmiah yang
berbasis pada sebauh kerja metodologi ilmiah diperlukan agar efek
dari apologi, yaitu mengklaim setiap temuan ilmu pengetahuan telah
ada sebelumnya dalam Islam tanpa melakukan kajian ilmiah di satu
sisi, atau efek anti-modernitas, yaitu sikap tradisionalis yang hanya
mencukupkan penafsiran dengan sumber-sumber klasik yang tidak
aktual, bisa dihindari. Di samping itu, ayatisasi juga harus dihindari.
Kedua, perguruan tinggi perlu mengkondisikan, dalam bentuk
kebijakan yang mendukung terciptanya iklim intelektual yang
bisa melahirkan penafsiran ilmiah ini, tidak sekadar dalam bentuk
asosiasi keilmuan yang kemudian berjalan sendiri tanpa dukungan
yang memadai, melainkan terintegrasi dalam pengajaran, penelitian,
dan publikasi ilmiah.
195
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz. “Paradigma Integrasi Sains dan Agama: Upaya
Transformasi IAIN Lampung ke Arah UIN”. Dalam al-Adyan,
Vol. VIII, No. 2 (Juli-Desember 2013), 67-90.
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Abdullah, M. Amin. Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin:
Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer.
Yogyakarta: IB. Pustaka, 2020.
Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Abdussakir. Matematika dalam al-Qur`an. Malang: UIN-Maliki
Press, 2020.
Abidin, M. Zainal. Paradigma Islam dalam Pembangunan Ilmu
Integralistik: Membaca Pemikiran Kuntowijoyo. Banjarmasin:
IAIN Antasari Press, 2016.
Abu Darda. “Integrasi Ilmu dan Agama: Perkembangan Konseptual
di Indonesia”. Dalam At-Ta`dib, Vol. 10, No. 1 (Juni 2015),
33-46.
Mafum al-Nashsh: Dirāsah fī ‘Ulūm al-
Qur`ān.
Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī.
Anonim. “Kajian al-Qur’an dan Tafsir-LTTQ Fathullah UIN Jakarta”
dalam https://lttqfathullahuinjkt.com/kegiatan/kajian-al-quran-
dan-tafsir/.
Anshori dan Zaenal Abidin. “Format Baru Hubungan Sains Modern
dan Islam (Studi Integrasi Keilmuan atas UIN Yogyakarta dan
Tiga Universitas Islam Swasta Sebagai Upaya Membangun
Sains Islam Seutuhnya Tahun 2007-2013”. Dalam Profetika:
Jurnal Studi Islam, Vol. 15, No. 1 (Juni 2014), 90-108.
196
Armas, Adnin. Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur`an: Kajian
Kritis. Jakarta: Gema Insani, 2005.
Armas, Adnin. Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal:
Dialog Interaktif dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal. Jakarta:
Gema Insani, 2003.
Aviedo, Lluis dan Alvaro Garre. “The Interaction between Religion
and Science in Catholic Southern Europe (Italy, Spain,
Portugal)”. Dalam Zygon, vol. 50, no. 1 (2015), 172-191.
Al-Ta`wīl: Manhaj al-Istinbāṭ fī al-Islām.
Barbour, Ian. “Four Ways of Relating Religion and Science:
Conflict, Independence, Dialogue and Integration” (chapter one
of Religion in an Age of Science (https://www.openhorizons.
org/four-ways-of-relating-religion-and-science-8203conflict-
independence-dialogue-and-integration.html, 25 Maret 2021).
Asbāb al-Nuzūl.
Demak, Abdurrahman Kiay. “Kepemimpinan Wanita dalam
Islam,” dalam al-Qur`an dan Isu-isu Kontemporer, ed. Sahiron
Syamsuddin. Yogyakarta: Elsaq Press, 2011.
Djalaluddin, A. Manajemen Qur`ani: Menerjemahkan Idarah
Ilahiyah dalam Kehiduoan Insaniyah. Malang: UIN-Maliki
Press, 2014.
Ekawati, Mundzier Suparta, dan Khaeron Sirin. “Moderasi
Kurikulum Perguruan Tinggi Islam Dalam Deradikalisasi
Agama Di Indonesia”, Istiqro’, vol. 16, no. 01 (2018).
Esack, Farid Qur`an. Liberation, and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression.
Oxford: Oneworld, 1998.
Faiz, Fahruddin. Hermeneutika al-Qur`an: Tema-tema Kontroversial.
Yogyakarta: Elsaq, 2011.
Faizin, “Integrasi Agama dan Sains dalam Tafsir Ilmi Kementerian
Agama RI”. Dalam Jurnal Ushuluddin, vol. 25, no. 1 (2017),
19-33.
Faizin. “Kisah al-Qur`an dalam Tinjauan Sains (Studi atas Serial
197
Tafsir Ilmi Kementerian Agama RI), dalam al-Quds: Jurnal
Studi Alquran dan Hadis, vol. 4, no. 1 (2020): 77-96.
Fakhry, Majid. Ethical Theories in Islam. Leiden: E.J. Brill, 1991.
Fatawi, M. Faisol. Tafsir Sosiolinguistik: Memahami Huruf
Muqatha’ah dalam al-Qur`an. Malang: UIN-Malang Press,
2009.
Fatchurrohman et. al. Inspirasi al-Qur`an dalam Algoritma Alami.
Malang: UIN-Maliki, 2006.
Ideologis dan Kebutuhan Pragmatis (Menimbang Tafsir Karya
Ahmad Baiquni)”. Dalam al-Burhan, vol. 13, no. 1 (2013):
51-68.
Fink, Hans. Social Philosophy. USA: Methuen & Co., 1981.
Ghazali, Abd. Moqsith. Argumen Pluralisme Agama: Membangun
Toleransi Berbasis al-Qur`an. Jakarta: Kata Kita, 2009.
Jawāhir al-Qur`ān.
Haddade, Hasyim. “Air Perspektif al-Qur`an dan Sains”. Dalam
Jurnal Tafsere, vol. 4, no. 2 (2016), 17-30.
Hamdan, Ali dan Miski. “Studi atas Tafsir Ilmi Lebah Menurut al-
Qur`an dan Sains Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur`an Kemenag
RI di Youtube”. Dalam Religia: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman,
vol. 22, no. 2 (2019): 248-266.
Hamdan, Ali. Narasi Sosiologis al-Qur`an: Mengurai Narasi al-
Qur`an tentang Bangsa Aad, Tsamud, Arab dan Bani Israil.
Malang: UIN-Maliki Press, 2020.
Hamiyatun, Nur. “Pemikiran Tafsir Ilmi Karya Ahmad Baiquni”.
Dalam At-Tuhfah: Jurnal Keislaman, vol. 7, no. 2 (2018): 69-80.
Hamzah, Ghufron. “Kontekstualisasi Ayat Hukum Potong Tangan:
(5): 38,” dalam Pendekatan Ma’nā-Cum-Maghzā atas al-
Qur`an: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di
Era Kontemporer karya Sahiron Syamsuddin, ed. Sahiron
Syamsuddin. Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata, 2020.
Hidayat, M.Taufiq, Yusuf Rahman, dan Kusmana. “Al-Qur’an And
Radical Ideology; A Critical Study of “Al-Wa’ie” Tafsir by
198
Rokhmat S. Labib”, paper dipresentasikan pada ICIIS pada
Oktober 20-21 2020, Jakarta.
Hidayatullah, Ahmad Dini. Al-Qur`ān wa al-Dzakā` al-Lughawī.
Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke
Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani, 2005.
Ibrahim, Muhammad Syahrial Razali. “Tafsir ‘Ilmi: Kajian
Metodologis atas Ayat-ayat Kauniyah dalam Tafsir al-Mishbah
Karya Muhammad Quraish Shihab”. Dalam Sosio-Religia, vol.
9, edisi khusus (2010), 33-45.
Kiptiyah. Embriologi dalam al-Qur`an: Kajian pada Proses
Penciptaan Manusia. Malang: UIN-Maliki Press, 2014.
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2017.
Kusumadewi, Tarranita dan Elok Mutiara. Berkaca pada Kota Alam:
Menuju Kota Berkelanjutan Berperspektif al-Qur`an. Malang:
UIN-Maliki Press, 2007.
Legare, Christine H. dan Aku Visala. “Between Religion and
Science: Integrating Psychological and Philosophical Accounts
of Explanatory Coexistence”. Dalam Human Development, vol.
54, no. 3 (2011), 171-172.
M. Amin Abdullah. The Idea of Universality of Ethical Norms in
Ghazali and Kant. Turki: Diyanet Vakfi, 1992.
(Jambi: UIN Sulthan Thaha Saifuddin, 2020).
Mahpur, Muhammad dan Zainal Habib. Psikologi Emansipatoris:
Spirit al-Qur`an dalam Membentuk Masyarakat yang Sehat.
Malang: UIN-Maliki Press, 2006.
199
(Mempertimbangan Signifikansi dan Kritiknya”. Dalam ’Anil
Islam, vol. 12, no (2019), 36-62.
Mansour, Nasser. “Science Teacher’s View of Science and Religion
vs the Islamic Perspective: Conflicting or Compatible?”. Dalam
Science Education 95, no. 2 (2011), 296-297.
Mansour, Nasser. “Science Teacher’s View of Science and Religion
vs the Islamic Perspective: Conflicting or Compatible?”, dalam
Science Education 95, no. 2 (2011).
Martin, Richard C. Approches to Islam in Religious Studies. Tucson:
The University of Arizona Press, 1985.
Martin-Hanse, Lisa Michelle. “First-Year Students’ Conflict with
Religion and Science. Dalam Science and Education 17 (2008),
317-357.
Mir, Mustansir. Koherensi dalam al-Qur`an: Konsep Ishlāḥī tentang
Nazhm dalam Tadabbur-i Qur`ān, terjemah dan pengantar
Wardani. Banjarmasin: Antasari Press, 2019.
Indonesia dari Tafsir An-Nur Hingga Tafsir Salman”. Dalam
Millati: Journal of Islamic Studies and Humanities, vol. 2, no.
2 (2017), 239-257.
Mujiburrahman, M. Rusydi, dan Musyarrafah. Integrasi Ilmu:
Kebijakan dan Penerapannya dalam Pembelajaran dan
Penelitian di Beberapa UIN. Banjarmasin: Antasari Press, 2018.
Mulyono, Agus dan Ahmad Abtokhi. Fisika dan al-Qur`an. Malang:
UIN-Maliki Press, 2006.
Munir, Misbahul dan A. Djalaluddin. Ekonomi Qur`ani: Doktrin
Reformasi Ekonomi dalam al-Qur`an. Malang: UIN-Maliki
Press, 2014.
Muslih, Mohammad. “Tren Pengembangan Ilmu Di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta,” Episteme, vol. 12, no. 2 (2017).
Muttaqin, Ahmad. “Konstruksi Tafsir Ilmi Kemenag RI-LIPI:
Melacak Unsur Kepentingan Pemerintah dalam Tafsir”. Dalam
Religia, vol. 19, no. 2 (2016), 74-88.
200
Nashrullah, Nashih dan Novita Intan. “Kemenag Wacanakan Alih
Status 30 IAIN Menjadi UIN”, dalam https://m.republika.
co.id (diakses 2 Maret 2021).
Nasution, Harun. “Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Penelitian Islam:
Sebuah Perspektif”, dalam M. Deden Ridwan (ed.). Tradisi
Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu.
Bandung: Nuansa Cendekia, 2001.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press,
1986.
Nasution, Harun. Islam Ditunjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1.
Jakarta: UI-Press, 2013.
Nur, Muhammad. “Paradigma Keilmuan UIN Raden Intan
Lampung”. Dalam Analisis: Jurnal Studi Keislaman, vol. 18,
no. 1 (Juni 2018), 1-20.
Otto, Rudolf. The Idea of the Holy: an Inquiry into the non-rational
factor in the idea of the divine and its relation to the rational,
trans. John W. Harvey. London, Oxford, dan New York: Oxford
University Press, 1958.
Porter, Steve L. “Theology as Queen of Sciences and Psychology
as Handmaid: The Authority of Theology as Integrative
Endeavors”, dalam Journal of Psychology and Christianity,
vol. 29, no. 1 (2010), 3-14.
Prasetyo, Anton dan N. Avisena. Lempung: Menguak Rahasia
Keagungan Allah. Malang: UIN-Maliki Press, 2007.
Purwati, Fitri. “Metode Tafsir Ilmi Kementerian Agama (Studi
Penafsiran Ayat-ayat Astronomi),” skripsi. Banten: Universitas
Islam Negeri Sultan Muhamad Hasanuddin, 2018.
Mabāḥits fī ‘Ulūm al-Qur`ān.
Rahardjo, M. Dawam. “Pendekatan Ilmiah terhadap Fenomena
Keagamaan”, dalam Metodologi Penelitian Agama: Sebuah
Pengantar, ed. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1989.
Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History. Delhi: Adam
Publishers & Distributors, 1994.
201
Rahman, Yusuf. “The Indonesian Muslim Responses to the Use
Assessment”, dalam Quranic Studies in Contemporary
Indonesia, ed. Imam Subchi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2015.
Rahman, Yusuf. “The Quran as Literature: Literary Interpretation
Journal of Qur`an and Hadith Studies,
vol. 1, no. 2 (2012).
Rahman, Yusuf. “Trend Kajian al-Qur`an di Dunia Barat”, dalam
Jurnal Studia Insania, vol. 1, no. 1 (2013).
Rahman, Yusuf. “Feminist Kyai, K.H. Husein Muhammad: The
Based Activism”, dalam al-Jamiah, vol. 55, no. 2 (2017): 293-
326 (doi: 10.14421/ajis.2017.552.293-326).
Rahman, Yusuf. “Pendekatan Tradisionalis dan Revisionis dalam
Islam Awal “, dalam Journal of Qur`an and Hadith Studies, vol.
4, No. 1, (2015): 129-145.
Zayd: an Analyitical Study of His Method of Interpreting the
Qur`an” (Montreal: McGill University, 2001), disertasi doktor,
tidak dipublikasikan.
Ries, J. “Science and Religion: Implications for Science Educator”.
Cultural Studies of Science Education 5 (2010), 91-101.
Ritzer, George. Sociology: A Multiple Paradigm Science, terj.
Alimandan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Rudin, Muhammad Anwar. “Studi Tafsir Ilmi; Kritik Metodologis
Ayat-ayat Semesta Karya Agus Purwanto”, skripsi (Tulungagung:
IAIN Tulungagung, 2019).
Saleh, Sujiat Zubaidi. “Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur`an”.
Dalam Tsaqafah, vol. 7, no. 1 (2011), 109-132.
Walisongo, 2019).
Scheitle, Christopher P. “U.S. College Students’ Perception of
Religion and Science: Conflict, Collaboration or Independence?
202
A Research Note”. Dalam Journal for the Scientific Study of
Religion, vol. 50, no. 1 (2011), 175-186.
Setiawan, M. Nur Kholis. Al-Qur`an: Kitab Sastra Terbesar.
Yogyakarta: Elsaq, 2006.
Shane, Joseph W. et. al., ”Beyond Evolution: Addressing Broad
Interactions between Science and Religion in Science Teacher
Education”. Dalam Journal of Science Teacher Education, vol.
27, no. 2 (2016), 165-181.
Shihab, M. Quraish. “Membumikan” al-Qur`an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1995.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Jakarta: Lentera Hati, 2013.
Shihab, M. Quraish. Mukjizat al-Qur`an: Ditinjau dari Aspek
Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib. Bandung:
Mizan, 1999.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah, vol. 13. Jakarta: Lentera
Hati, 2009.
Shipman, Harry L. et.al., “Changes in Student View of Religion
and Science in a College Astronomy Course”. Dalam Science
Education, vol. 86, no. 4 (2002), 526-547.
Sodiqin, Ali. Antropologi al-Qur`an: Model Dialetika Wahyu dan
Budaya. Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2012.
Suharto, Toto. “The Paradigm of Theo-Antropo-Cosmocentrism:
Reposition of the Cluster of Non-Islamic Studies in Indonesian
State Islamic Universities”. Dalam Walisongo, vol. 23, no. 2
(November 2015), 252-282.
Sulaiman. “Tafsir Ilmi dalam Perspektif al-Qur`an”. Dalam al-
Bayan: Jurnal Ilmu al-Qur`an dan Hadits, vol. 2, no. 2 (2019),
164-175.
Syahril, Sulthan. “Kontroversi Para Mufasir di Seputar Tafsir bi
al-Ilmi”. Dalam Millah, vol. 8, no. 2 (2009), 225-239.
Syamsuddin, Sahiron. “Pentingnya Asbab al-Nuzul dalam Penafsiran
al-Qur`an”. Mu`ammar Zayn Qadafy, Buku Pintar Sababun
Nuzul dari Mikro hingga Makro: Sebuah Kajian Epistemologis.
Yogyakarta: In Azna Books, 2015.
203
Syamsuddin, Sahiron. “The Qur`an on the Exclusivist Religious
Application to Q 2:111-113”, dalam Transformative Readings
of Sacred Scriptures: Christians and Muslims in Dialogue, ed.
Simone Sinn, Dina El Omari, dan Anne Hege Grung. Jerman:
The Lutheran World Federation, 2017.
Syamsuddin, Sahiron. al-Qur`an dan Pembinaan Karakter Umat.
Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2020.
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Qur`an. Yogyakarta: Nawasea, 2009.
Syariati, Ali. On the Sociology of Islam, trans. Hamid Algar.
Berkeley: Mizan Press, 1979.
Syarifuddin, M. Anwar dan Jauhar Azizy. “Thematic Scientific
Interpretation of the Qur`an in Indonesia”. Dalam Advances in
Social Sciences, Education and Humanities Research (ASSEHR),
vol. 137 (2017): 43-50.
Tim penerjemah Departemen (Kementerian) Agama RI. Al-Qur`an
dan Terjemahnya. Surabaya: Surya Aksara, 1993.
Toriquddin. Tafsir Tematik Ayat-ayat Bisnis dalam al-Qur`an.
Malang: UIN-Maliki Press, 2020.
Umar, Munawir dan Yusuf Rahman.“Respons Ulama Aceh Terhadap
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam
Bahasa Aceh”, dalam Journal of Qur`an and Hadith Studies,
vol. 9, no. 2 (2020): 83-102.
Utami, Ulfah. Konservasi Sumber Daya Alam: Perspektif Islam dan
Sains. Malang: UIN-Maliki Press, 2008.
Wardani. “Posisi al-Qur`an dalam Integrasi Ilmu: Telaah terhadap
Pemikiran Kuntowijoyo dan M. Dawam Rahardjo. Dalam Nun,
vol. 4, no. 1 (2018), 107-157.
Zainul Bahri. “Ilmu-Ilmu Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Menatap Masa Depan: Sebuah Pemetaan Keilmuan.”
Media, vol. 17, no. 2 (2018): 136-.
al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, Juz 2.
204
Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm
al-Qur`ān,
Zenrif, M. Fauzan. Di Bawah Cahaya al-Qur`an: Cetak Biru
Ekonomi Keluarga Sakinah. Malang: UIN-Maliki Press, 2006.
Zenrif, M. Fauzan. “Islamisasi Metode Berpikir: Sebuah Pemikiran
Awal”, dalam el-Harakah, Edisi 57, Tahun XXII (Desember
2001-Februari 2002).
Zenrif, M. Fauzan. Realitas dan Metode Penelitian Sosial dalam
Perspektif al-Qur`an: Teori dan Praktik. Malang: UIN-Malang
Press, 2006.
Zenrif, M. Fauzan. Tafsir Fenomenologi Kritis: Interrelasi
Fungsional antara Teks dan Realitas. Malang: UIN-Maliki
Press, 2011.
Internet
http://ejournal.aiat.or.id/index.php/nun.
https://aiat.or.id/history
https://iat.uin-malang.ac.id.
https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_proses#:~:textnilai%2D-
nilai%20kemanusiaan.-,Sistem%20Filsafat%20Proses,pen-
gamatan%20ini%2C%20filsafat%20organisme%20lahir.&-
textSatuan%20terkecil%20dan%20mendasar%20dalam%20
proses%2C%20Whitehead%20sebut%20sebagai%20enti-
tas%20aktual. (28 Maret 2021).
https://lp2m.uin.malang.ac.id.
https://plato.stanford.edu/entries/scientific-progress/#AspSciPro.
https://www.uinjkt.ac.id/id/tentang-uin/
https://www.uin-malang.ac.id/s/uin/profil.
205
BIODATA PENULIS
Dr. H. Wardani, M.Ag. lahir di Barabai,
Kalimantan Selatan, pada tanggal 11 April 1973.
Pendidikan strata satu ditempuh pada 1994-
1998 di jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
IAIN Antasari Banjarmasin. Sedangkan,
pendidikan strata dua jurusan Agama dan
Filsafat pada konsentrasi filsafat Islam
diselesaikan pada tahun 2001 di Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Pendidikan strata tiga ditempuhnya di IAIN Sunan
Ampel Surabaya dan selesai pada tahun 2010. Ia pernah mengikuti
Pendidikan Kader Mufassir di Pusat Studi al-Qur`an (PSQ), pada
2009 dan di Cairo pada 2010. Pada akhir 2010 juga, penulis
mengikuti kursus singkat (short course) tentang menulis akademik
(academic writing) di Universitas Leipzig, Jerman, selama sebulan.
Pada 2016, penulis mengikuti program posdoktoral (Postdoctoral
Fellowship Program for Islamic Higher Education, Posfi) yang
diselenggarakan oleh subdit ketenagaan Diktis Kemenag RI yang
bertempat di Universitas l al-Bayt di al-Mafraq, Yordania.
Karya-karyanya, antara lain, dalam bentuk buku: Epistemologi
Kalam Abad Pertengahan, Ayat Pedang Versus Ayat Damai:
Menafsir Ulang Teori Naskh dalam al-Qur`an, Masyarakat Utama:
Telaah Tafsir Tematik dengan Pendekatan Sosiologis, Studi Kritis
Ilmu Kalam: Beberapa Isu dan Metode, Filsafat Islam Sebagai
Filsafat Humanis-Profetik, Islam Ramah Lingkungan: dari Eko-
teologi al-Qur`an hingga Fiqh al-Bi`ah, Tafsir Nusantara: Analisis
Isu-isu Gender dalam al-Mishbah karya M. Quraish Shihab dan
Tarjuman al-Mustafîd karya ‘Abd al-Ra`uf Singkel (menulis bersama
dengan Saifuddin), Trend Perkembangan Modern Metodologi Tafsir
al-Qur`an di Indonesia, Maqshid al-Syar’ah sebagai Paradigma
206
Ideal-Moral Tafsir al-Qur`an: Perspektif Ab Ishq al-Sythib,
Sosiologi al-Qur`an, Kajian al-Qur`an dan Tafsir di Perguruan
Tinggi Keagamaan Islam: Perspektif Integrasi Ilmu.
Ia mendapatkan penghargaan sebagai wisudawan terbaik I
strata satu di IAIN Antasari pada tahun 1998 dan strata tiga di IAIN
Sunan Ampel pada tahun 2010, penghargaan “Mitra Pembangunan
Banua” dari Gubernur Kalimantan Selatan pada tanggal 14 Agustus
2004, penghargaan tesis terbaik nasional dari Direktorat Perguruan
Tinggi Islam Kementerian Agama RI pada tahun 2006, pemenang I
lomba karya tulis ilmiah dalam rangka Banua Education Fair dari
Dinas Budaya dan Pariwisata Kalimantan Selatan pada Mei 2007,
penghargaan Indonesian Scholar Dissertation Award (ISDA) dari
Ford Foundation bekerjasama dengan Indonesian International
Education Foundation (IIEF) Jakarta pada tahun 2010, dan Antasari
Award untuk kategori dosen berprestasi di level internasional dari
ia menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN
Antasari Banjarmasin dan pernah menjadi Kepala Pusat Penelitian
dan Publikasi Ilmiah pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat (LP2M) UIN Antasari periode 2017-2021.
Alamat rumah: Komplek Taman Pesona Permai, Jl. Padat Karya,
RT. 21, No. 37, Kelurahan Sungai Andai, Banjarmasin. URL: https:
independent.academia. edu/WardaniWardani5; www.researchgate.
net/profile/Wardani_Wardani, Email: mwardanibjm@gmail.com,
HP: +62813-4177-1291.